PENGELOLAAN SEDIMENTASI (ENDAPAN MATERIAL) DAERAH ALIRAN SUNGAI MAGEPANDA BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN SIKKA I. Gunarto BPTP NTT ABSTRAK Potensi Petugas dan Petani dalam pengendalian sedimen dilakukan di daerah irigasi Magepanda dengan memilih petak tersier hulu, tengah, dan hilir sebagai cuplikan. Secara kuantitas serta fasilitas yang dipunyai, petugas di lokasi studi cukup mampu melaksanakan tugas-tugasnya, khususnya yang berhubungan dengan pengendalian sedimen. Kemampuan tersebut perlu ditingkatkan melalui kursus/pelatihan/training, pertemuan rutin bulanan, kunjungan petugas baik dari instansi terkait maupun perguruan tinggi dan lain-lain. Sementara, dengan pertimbangan luas dan status pemilikan, jarak sawah dari rumah, kondisi petani, keterbukaan terhadap informasi maka potensi petani masih dapat dikembangkan. Reward dan punishment terhadap praktek-praktek organisasi pengelola air di petak tersier, sebagai hal yang tidak bisa ditawar lagi dalam meningkatkan pemeliharaan, khususnya pengendalian sedimen di jaringan irigasi. Kata kunci : Sedimentasi, Daerah Aliran Sungai, Magepanda dan berbasis masyarakat. PENDAHULUAN Pembangunan merupakan usaha peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia. Di Kabupaten Sikka yang dilakukan secara berkelanjutan, berlandasan kemampuan nasional dan daerah. Daerah memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Potensi sumber daya air (Hidrologi) di Kabupaten Sikka terdiri dari air hujan, air, tanah dan air, permukaan mempunyai tipe iklim kering, yang dipengaruhi oleh angin muson. Curah hujan relatif kecil dengan rata-rata 1000-1500 mm/tahun. Dan hari hujan antara 100-120 hari/tahun. Jumlah bulan basah sebanyak 5 bulan dan bulan kering sebanyak 4 bulan (Dinas Pertanian, 2005). Di daerah beriklim kering, air mempunyai peran yang sangat penting dan strategis. Oleh karena itu, keberadaan sumber-sumber air perlu dilestarikan dan dilindungi. Air juga merupakan salah satu kebutuhan yang sangat esensial bagi setiap sistem produksi pertanian terutama Pertanian Tanaman Pangan. Sumber perairan umum yang potensial, digunakan untuk memenuhi kebutuhan pertanian tanaman pangan. Di Kabupaten Sikka adalah sungai. Sungai-sungai yang ada di Kabupaten ini dapat dibagi menjadi dua macam pengaliran. Yaitu pertama sungai yang selalu ada alirannya (Perennial River) dan kedua sungai yang aliran airnya tidak ada atau Inter Mitten Flow (Pusat Penelitian Tanah dan Agro Klimat, 1997). Menurut Direktorat Bina Program Pengairan (1981) Pulau Flores dibedakan menjadi 21 Daerah Aliran Sungai (DAS). Sungai-sungai yang berair sepanjang tahun sudah dimanfaatkan untuk air irigasi. Diantaranya adalah sungai Magepanda di Dataran Magepanda. Keberadaan material endapan di air, irigasi dalam batas-batasan yang diperkenankan sangat diperlukan untuk mengurangi kehilangan air akibat adanya rembesan di jaringan Irigasi (Bogardi, 1978). Bahan endapan tersebut sangat dibutuhkan terutama bila usia jaringan irigasinya relatif masih muda akibat, penyumbatan pori-pori makro tanah oleh bahan endapan, proses rembesan, perkolasi, bocoran dan lain-lain, dalam jaringan irigasi akan dihambat. Disamping itu, sering bahan endapan yang terbawa dari Daerah Aliran Sungai (DAS) membawa lapisan tanah yang subur, yang sangat bermanfaat, untuk meningkatkan kesuburan tanah (Vanoni, 1977) Tidak tertutup kemungkinan bahwa perkendapan yang berlebihan akan mengubur tanaman pokok yang berakibat fatal terhadap usaha pertanian (Bennet 1959). Sebagian besar jaringan irigasi yang telah dikembangkan telah dilengkapi dengan bangunan. Pengendali endapan bangunan tersebut bisa berupa penangkap endapan yang diletakkan di pintu pengambilan utama, atau bangunan pengendap yang diletakkan di bangunan bagi yang terletak di saluran sekunder dan tersier. Namun, berfungsi atau tidaknya bangunan tersebut tidak lepas dari faktor
manusia, yaitu pelaku-pelaku dalam operasi dan pemeliharaannya. Transportasi bahan sedimen merupakan masalah yang sangat komplek dan sangat sukar dicermati, selama hal tersebut menyangkut areal yang luas dan terlibatnya aktivitas manusia (Bogardi, 1978). Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui potensi serta peran petugas pengairan dan petani pemakai air (P3A). Dalam usaha pengendalian endapan material di daerah irigasi yang merupakan masukan dalam penyempurnaan sistim operasi dan pemeliharaan laringan irigasi terutama dalam usaha peningkatan sumber daya manusia. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di daerah irigasi Injura Kecamatan Magepanda Kabupaten Sikka yang menyadap air dari bendungan mengambil air dari sungai Magepanda. Di Injura mempunyai luas oncoran 906 Ha, walaupun jaminan air di musim kemarau masih cukup tinggi, namun kandungan bahan endapan tinggi pada musim penghujan. Hal tersebut dimungkinkan karena sebagian saluran irigasi di bagian hulu terletak dicela-celah pegunungan Kimang Buleng, maka potensi endapan setempat cukup tinggi pada musim hujan. Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi Injura. Dikoordinasi oleh Kantor Pengamat pengairan dengan jumlah petugas dan orang. Rincian petugas adalah sebagai berikut pengamat, staf operasi dan pemeliharaan, juru operasi dan pemeliharaan, petugas pintu saluran, penjaga bendung, petugas pintu bagi dan petugas pintu suplesi. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara petugas pengairan untuk data sistem. Pengelolaan jaringan irigasi wawancara dengan petani juga dilakukan untuk melihat data endapan di lahan petani. Petugas pengairan yang diwawancarai di pilih atas dasar keterlibatannya langsung dalam pengelohan petak tersier, sedangkan petani yang dipilih sebagai responden adalah mereka yang lahannya terletak di petak tersier. HASIL DAN PEMBAHSAN Profil serta Pelaksanaan Tugas Pengatur Pengairan Hasil wawancara dengan petugas pengairan menggambarkan bahwa sebagian besar dari mereka mempunyai pekerjaan sampingan dengan sebaran sebagai Pegawai Pemerintah 20 orang, Pedagang/setiap hari pasar perdesaan 3 orang, buruh penggiling padi lorang dan pedagang hasil komoditi perkebunan 2 orang. Latar belakang pendidikan petugas pengairan pada umumnya hanya tamatan Sekolah Dasar 5 orang, Staf 2 orang dan STM 1 orang. Lama waktu jabatan sebagai Petugas pengairan rata-rata 8 tahun. Ratarata jarak tempuh dari rumah petugas ke tempat pekerjaan adalah 4 km (lama tempuh jalan kaki 1 jam) Tugas pengelolaan, seorang petugas pengairan rata-rata mencakup sekitar 2 petak tersier. Walaupun ada yang harus mengelola 3-5 petak tersier. Walaupun ada yang harus mengelola 3-6 petak tersier, namun jumlahnya tidak begitu banyak. Pertemuan antara Dinas Kimpraswil (PU Pengairan) dengan Petugas diadakan sekali setahun, kedatangan, tersebut di rasa dapat meningkatkan pengetahuan petugas pengairan tentang maksud dari pengairan pembersih saluran biasany dilakukan secara gotong royong dengan petani, penyuluh pertanian dan Pamong Desa. Untuk melaksanakan tugas ini petugas pengairan mendapat tambahan tenaga harian 1 orang dari PU Pengairan. Melihat latar belaang pendidikan Petugas pengairan, maka untuk meningkatkan pemahaman serta keterampilan mereka dalam hal endapan material, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh. Melihat fasilitas yang ada, masih diperlukan usaha-usaha untuk peningkatannya, terutama diketahui bahwa sebagian besar dari peralatan tersebut adalah milik pribadi petugas oleh karena itu perlu dipikirkan untuk melengkapi serta memelihara peralatan secara baik oleh Dinas Pengairan, agar tidak menjadikan kendala dalam pengelolaan jaringan irigasi. Pengendalian Endapan Sebagian petugas mengatakan bahwa endapan akan membahayakan kelangsungan fungsi jaringan irigasi, terutama menghambat aliran air yang masuk ke petak sawah, mengotori saluran dan bangunan. Oleh karena itu secara rutin jaringan harus dibersihkan. Namun demikian ada yang menyatakan bahwa bahan mterial endapan tersebut bisa menguntungkan karena menyuburkan sawah.
Secara khusus mereka belum pernah mendapatkan kursus tentang pengendapan material aliran sungai, karena masalah tersebut biasanya diselipkan pada acara kursus yang lain sedangkan pengerukan saluran dan bangunan irigasi permusim tanam rata-rata dilakukan 1 kali dengan cara gotongroyong. Penentuan waktu pengerukan dilakukan oleh petugas pengairan dengan cara pengamatan banyaknya kotoran yang ada di bangunan, dengan lama pengerukan 1 hari untuk bangunan dan sampai 7 hari untuk saluran. Pada umumnya petugas pengairan telah menyadari arti bahaya pengendapan pada jaringan irigasi pengetahuan tersebut sebaiknya ditingkatkan melalui kursus, Sekolah lapang ataupun peninjauan lapang antar petugan pengairan dengan instansi terkait. Dampak yang lebh luas akibat pengendapan aliran sungai perlu diperjelas, agar petugas lebih serius dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Usaha-usaha tersbebut selain berguna untuk memperluas areal sawah yang dapat di irigasi juga dapat meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) gotong royong merupakan hal yang menguntungkan dalam pemeliharaan bangunan irigasi dan masih bisa dipertahankan. Namun demikian frekwensi pengerukan saluran maupun bangunan irigasi masih perlu diamati lagi agar fungsi jaringan sebagai penyadap, pembagi, pengukur, serta pembuangan kelebihan air bisa dipertahankan. Potensi dan Peran Petani Pemakai Air Hasil Wawancara dengan responden menunjukkan bahwa bertani merupakan pekerjaan pokok mereka. Pekerjaan lainnya adalah buruh, pedagang dan ojek. Latar belakang pendidikan Petani sangat beragam, mulai dari yang tidak Tamat Sekolah Dasar 17 %, 53 % Petani hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, pernah duduk di bangku Sekolah Lanjutan Pertama 27 % dan 3 % Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Pemilikan sawah pada umumnya sudah cukup lama, yaitu rata-rata 10-20 tahun, dengan luas berkisar antara 1000-3000 m, status pemilikan sendiri dengan catatan semakin ke hilir status tersebut semakin mengecil, yaitu dari 80 % di hulu dan tengah menjadi 47 % di hilir. Untuk menunjang kemajuan usahatani, kedatangan Penyuluh Pertanian Lapangan maih cukup baik, walaupun frekuensi kedatangannya masih tidak menentu. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) sudah terbentuk, walaupun belum aktif tetapi petani pernah hadir dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh P3A. Untuk bisa melaksanakan tugasnya, P3A telah menetapkan iuran bagi anggotanya dalam bentuk uang. Polatanam yang diterapkan petani sangat berbeda dari hulu ke hilir, dan sangat dipengaruhi oleh tingkat tersedianya air. Dari polatanam padi – padi – padi di bagian hulu, menjadi polatanam padi – palawija – bero di bagian hilir. Keadaan panen dinilai oleh petani dalam keadaan cukup baik yaitu 70 % di hulu dan hilir dan kurang baik (sekitar 73 %) di bagian hilir. Pengolahan tanah yang diterapkan di hulu pada umumnya adalah bajak1 demikian pula di bagian tengah. Namun yang paling menonjol di bagian hilir adalah bajak1 – bajak2 – garu. Melihat latar belakang pendidikan petani tersebut diperlukan cara-cara khusus agar penyampaian teknologi baru kepada petani dapat dipahami. Dengan mencermati kondisi petani, potensi petani di lokasi penelitian masih dapat dikembangkan, terutama bila dilihat luas, status kepemilikan, serta jarak dari rumah ke sawah. Bimbingan oleh petugas terkait, keberadaan P3A, dan lain-lain akan mempercepat laju penyampaian informasi teknologi. Permasalahan yang ada ialah bagaimana meningkatkan peranan petugas terkait serta P3A agar bisa menyampaikan informasi kepada petani dengan efisien. Dengan mengamati perbedaan polatanam dan pola pengolahan tanah di bagian hulu dan hilir, diduga ada kaitan antara polatanam dan pengolahan tanah dengan tingkat ketersediaan air. Semakin banyak air tersedia, kecenderungan petani untuk menanam padi sepanjang musim menjadi sangat besar. Bila kekurangan air, maka polatanam yang ada banyak mengandalkan palawija, bahkan kadang-kadang bero. Peranan Kantor Pengamat Pengairan untuk menetapkan sistem giliran yang konsisten sangat diperlukan agar bagian hilir juga mendapatkan bagian air yang proporsional. Sedangkan pola pengolahan tanah masih terkait dengan tingkat ketersediaan air. Semakin jarang tanah mendapatkan air, maka tanah semakin mengeras sehingga membutuhkan pembajakan dua kali yang diikuti dengan penggaruan agar cukup ideal sebagai lahan pertanaman padi.
Pengelolaan Air Irigasi dan Pengendalian Sedimen
Kondisi saluran untuk mengalirkan air rata-rata dalam keadaan baik, kecuali ada beberapa yang rusak disebabkan adanya kebocoran saluran, letak sawah terlalu tinggi dari saluran atau saluran terlalu kecil. Akibat adanya penyadapan air yang berlebihan di hulu, maka di bagian hilir sering terjadi kasus terlambatnya giliran air. Hal tersebut disebabkan karena air menjadi tidak lancar, pembagian air tidak adil, dan adanya pencurian air. Jika terjadi sengkatan masalah air, umumnya diselesaikan di kalangan petani sendiri. Fungsi P3A untuk menangani permasalahan ini belum tampak, karena justru potensi lebih mempercayai tokoh-tokoh informal dibanding dengan pengurus perkumpulan tersebut. Pembersihan/pengerukan saluran irigasi di bagian hulu dilakukan setiap selesai panen, demikian pula yang dilaksanakan di bagian tengah. Di bagian hilir, pekerjaan tersebut dilaksanakan sekali dalam setahun. Pengerukan dilaksanakan secara gotong-royong, namun demikian tidak ada sangsi bagi mereka yang tidak ikut kegiatan gotong-royong. Apabila saluran bersih maka petani dapat merasakan manfaat akan terjaminnya perolehan air. Petani di hulu dan tengah merasakan adanya pendangkalan di petak sawahnya. Pendangkalan tersebut berpengaruh kurang baik terhadap produksi pertaniannya. Untuk mengatasi persoalan tersebut, petani mengeruk petak sawahnya (masing-masing di hulu, tengah, dan hilir), atau tidak dilakukan apa-apa karena ketidaktahuan mereka. KESIMPULAN Terjadi kekurangan air di hilir akibat pengaliran air yang tidak ditepati oleh petani di hulu. Polatanam Daerah Irigasi tidak direkomendasikan. Rekomendasi polatanam di bagian hulu adalah padipalawija, dengan catatan pada saat tanam palawija masih tersisa air untuk palawija di hilir. Koordinasi antara P3A di masing-masing petak tersier oleh Panitia Irigasi sangat penting artinya dalam usaha penyempurnaan pembagian air yang adil dan merata. Dalam menyelesaikan persengketaan yang berkaitan dengan pembagian air P3A dapat dilibatkan. Keberadaan tokoh-tokoh informal atau perangkat desa semestinya sudah dilibatkan dalam kepengurusan P3A. Kalaupun mereka terlibat dalam penyelesaian persengketaan, tentunya dalam kapasitasnya sebagai pengurus P3A. Pengelolaan petak tersier sudah bukan wewenang dan tanggun jawab pemerintah, tetapi sepenuhnya sudah diserahkan kepada petani, melalui organisasi P3A. Oleh karenanya, aktivitas dan berfungsinya perkumpulan merupakan tanggung jawab anggota P3A. Sebagai contoh dalam pengerukan bangunan irigasi, tentunya semua anggota P3A harus terlibat, karena bangunan tersebut sudah menjadi milik bersama. Bagi yang tidak bisa kerja bakti untuk membersihkan bangunan seharusnya mulai diberi sangsi. Untuk itu sudah perlu difikirkan adanya reward dan punishment terhadap anggota yang berprestasi dan atau yang sebaliknya. Dengan demikian kelangsungan jaringan tersier sebagai sarana penyadap, pembagi, serta pembuang air kelebihan, bisa dipertahankan. Kesadaran petani terhadap bahaya sedimen masih bisa ditingkatkan. Bahaya tersebut bisa dikaitkan dengan menurunnya kemampuan jaringan irigasi untuk mencukupi kebutuhan air bagi pertumbuhan tanaman. Akibat endapan bahan sendimen di jaringan irigasi akan dapat menurunkan kapasitas saluran, menjadiken petak sawah lebih tinggi dari saluran, menjadikan petak sawah lebih tinggi dari saluran, tidak berfungsinya secara baik bangunan irigasi dan lain-lain. Penyampaian informasi tersebut tentunya harus dilakukan dan disesuaikan dengan kemampuan penalaran petani dengan ratarata latar belakang pendidikan masih rendah. Hal ini diperburuk dengan adanya petani yang tidak tahun tentang permasalahan sendimentasi di petak tersier dan di petak sawah. Oleh karenanya kesadaran petani terhadap permasalahan ini sebaiknya ditingkatkan dalam rangka mempertahankan sekaligus meningkatkan produksi pertaniannya. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Thomas Toda dan Istutik sebagai Teknisi yang telah membantu kegiatan ini. DAFTAR PUSTAKA
Benneth, H.H., 1967. Soil Conservation. Mc Graw-Hill Book Co.Inc. New York. Bogardi, J., 1978. Sediment Transport in Alluvial Streams. Akademisi Kiado, Budapest, Hongaria. Mardjikoen, P., 1991. Transpor Sediment. PAU-Ilmu Teknik, Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Simons, J.B. and F. Senturk, 1977. Sediment Transport Technology, Water Resources Publishing, Fort Collins, Colorado, USA. Vanoni, V.A, 1977. Sedimentation Engineering. American Society of Civil Engineering, New York.