WARTA CENDANA BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN KUPANG | ENVIRONMENT AND FORESTRY RESEARCH AND DEVELOPMENT OF KUPANG
Edisi IX No. 1 Juni 2016
KEBIJAKAN PENGELOLAAN CENDANA Pasca Undang Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
EKOWISATA MANGROVE
Kedidi putin (Calidris alba) Sanderling
DESA REROROJA
Kecamatan Magepanda Kabupaten Sikka
DESKRIPSI SARANG & TELUR Burung Apung sawah (Anthus rufulus)
Kedidi golgol (Calidris ferruginea) Curlew Sandpiper
Kedidi paruh-lebar (Limicola falcinellus) Broad-billed Sandpiper
foto cover | M. Hidayatullah
KEARIFAN LOKAL PERBURUAN TRADISIONAL oleh Masyarakat Suku Baar
TEKNIK PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN pada Kawasan Stasiun Penelitian Banamlaat, BPPLHK Kupang
| RESENSI | HABITAT DAN KEANEKARAGAMAN Burung Teluk Kupang
| FOKUS |
SEKAPUR SIRIH Pembaca warta cendana yang budiman, Majalah warta pada edisi ini mengnangkat tema unggulan mengenai kebijakan pengelolaan cendana paska Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengenai Pemerintah Daerah. Topik ini menjadi penting mengingat, Undang – Undang tersebut memberikan dampak yang sangat besar terhadap bentuk pengelolaan sektor yang berbasis ekosistem, yang mana kehutanan termasuk di dalamnya. Kami juga mengangkat topik – topik lain, seperti ekowisata mangrove, burung apung, kebakaran KHDTK dan perburuan rusa di Tanjong Porong. Semoga para pembaca mendapatkan pengetahuan dan wawasan dari tulisan ini. Kami juga turut mengudang para pembaca untuk berpartisipasi dengan cara mengirimkan artikel atau memberikan saran, sehingga warta cendana semakin baik di masa mendatang.
Nomor 23/2014
DAFTAR ISI | FOKUS |
Kebijakan Pengelolaan Cendana Pasca Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah oleh: S. Agung Raharjo
h.1 Ekowisata Mangrove Desa Reroroja Kecamatan Magepanda Kabupaten Sikka Oleh : M. Hidayatullah
h.5
Deskripsi Sarang & Telur Burung Apung Sawah (Anthus rufulus) Oleh : Oki Hidayat
Keaifan Lokal Perburuan Tradisional oleh Masyarakat Suku Baar Oleh : Kayat
| RESENSI | h.27 | GALERI PERISTIWA | h.28
h.18
h.11 Teknik Pencegahan Hebakaran Hutan pada Kawasan Stasiun Penelitian Banamlaat, BPPLHK Kupang Oleh : Marianus E.E. Naiaki
Cover photo : Mangrove by M. Hidayatullah dan back cover Burung by Oki HIdayat
h.14
WARTA CENDANA merupakan majalah ilmiah poluler Balai Penelitian Kehutanan Kupang yang diterbitkan 3 kali dalam satu tahun, berisikan tema rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi, sosial ekonomi, ekowisata, lingkungan, HHBK, managemen, hukum kelembagaan, kebijakan publik dan lain-lain.
KEBIJAKAN PENGELOLAAN CENDANA Pasca Undang Undang
REDAKSI
PENERBIT
Penanggung Jawab Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang Dewan Redaksi Imam Budiman, S.Hut, M.A . Hery Kurniawan, S.Hut, M.Sc. DR. S. Agung S. Raharjo, S.Hut.,M.T. Muhamad Hidayatullah, S.Hut, M.Si.
Redaksi Pelaksana Kepala Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian Anggota Ali Ngimron Mardiyanto
Redaksi menerima sumbangan artikel sesuai tema terkait, Tim Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah isi materi tulisan, Tulisan dapat dikirim melalui email ke
[email protected]
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang Jln Untung Suropati No 7 B. Kupang Telp (0380)823357 Fax (0380) 831086 Email :
[email protected] www.foristkupang.org
tentang Pemerintahan Daerah oleh: S. Agung Raharjo Pendahuluan Menurut UNDP (1997) yang dikutip oleh Noor (2012) desentralisasi merupakan bentuk restrukturisasi atau reorganisasi kewenangan sehingga terbentuk sistem tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah menurut prinsip subsidiaritas, sehingga efektifitas dan kualitas sistem pemerintahan meningkat melalui peningkatan kewenangan dan kapasitas daerah. Peningkatan kewenangan dan kapasitas daerah diharapkan dapat memberikan peluang bagi masyarakat
daerah dan entitas lainnya utuk mengatur urusannya sendiri. Dengan pengaturan sendiri ini diharapkan terbentuk sistem pemerintahan lokal yang efektif dan mampu bertanggungjawab terhadap berbagai kebutuhan masyarakat lokal sehingga kehadiran negara dalam kehidupan masyarakat dapat lebih terasa . Desentralisasi merupakan fenomena yang kompleks, meliputi beragam entitas geografis, aktor dan sosial. Entitas geografis meliputi aras internasional, nasional, daerah dan lokal.
WARTA CENDANA
Edisi IX No.1 Juni 2016
1
Entitas aktor meliputi pemerintah, masyarakat dan swasta. Sementara entitas sosial meliputi politik, sosio-kultural dan lingkungan (Noor, 2012). Kompleksitas desentralisasi juga terlihat dalam sejarah desentralisasi di Indonesia. Sejarah mencatat proses tarik ulur pemerintahan yang sentralistis dan desentralistis. Sejak awal kemerdekaan hingga pasca reformasi terjadi dinamika kebijakan desentralisasi yang cukup dinamis. Pada awal kemerdekaan pemerintahan Indonesia cenderung sentralistis, awal orde lama terjadi pergeseran kearah desentralistis namun pada akhir orde lama kembali ke arah sentralistis. Pemerintahan yang sentralistis terlihat pada era orde baru, yang melahirkan beragam ketimpangan diberbagai sektor hingga melahirkan era reformasi. Pada awal era reformasi terjadi perubahan dramatis dari pemerintahan yang sangat sentralistis menjadi desentralistis. Hal inipun ternyata memberikan pengaruh yang kurang diharapkan, terjadi pemborosan pemanfaatan sumberdaya alam dan lahirnya raja-raja kecil di daerah. Kemudian lahirlah kebijakan baru yang mencoba memperbaiki keadaan melalui Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 seolah terjadi resentralisasi kewenangan urusan pemerintahan yang berbasis ekosistem (kehutanan, kelautan dan perikanan serta ESDM /energi sumber daya mineral). Khusus untuk sektor kehutanan, maka kewenangan yang selama in dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota seperti dilucuti dan diserahkan kepada pemerintah provinsi. Sejauh mana hal ini dapat dilakukan, tantangan apa saja yang harus dihadapi dan bagaimana alternatif
2
Edisi IX No.1 Juni 2016
WARTA CENDANA
solusinya? Dalam konteks Nusa Tenggara Timur menarik untuk melihat kebijakan pengelolaan cendana pasca terbit dan berlakunya UU 23/2014. Makalah ini akan menjabarkan peluang dan tantangan kebijakan pengelolaan cendana dalam kerangka UU 23/2014. Kebijakan Pengelolaan Cendana di NTT Kebijakan pengelolaan cendana sebelum era reformasi sangat sentralistik . Pengelolaan cendana sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi NTT. Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya ancaman kepunahan cendana (Rahayu., 2002). Berkaitan dengan hal tersebut maka pada akhir era orde baru berkembang wacana perlunya perbaikan kebijakan pengelolaan cendana sehingga potensi cendana dapat ditingkatkan. Seiring diterapkannya otonomi daerah di era reformasi maka mulai tahun 2000 Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi NTT mulai menyusun Perda tentang cendana. Sampai dengan tahun 2004 terdapat 5 Kabupaten/Kota yang telah memiliki Peraturan Daerah tentang cendana (Raharjo, 2008). Kabupaten yang telah memiliki PERDA tentang cendana dapat dilihat pada Tabel 1. Perubahan yang mendasar pada perda kabupaten adalah pengakuan terhadap kepemilikan cendana oleh masyarakat. Cendana yang tumbuh alami maupun dibudidayakan oleh masyarakat di lahan miliknya diakui sebagai milik masyarakat, hal ini sangat berbeda jika dibanding dengan Peraturan Daerah Propinsi NTT No 16 Tahun 1986 (Raharjo, 2008). Pembagian keuntungan penjualan kayu cendana bervariasi di antara kabupaten tersebut. Kabupaten Timor Tengah
Tabel 1. Peraturan daerah kabupaten di NTT yang mengatur cendana No
Kabupaten
PERDA
Tahun Penetapan
1.
Sumba Barat
Perda No 18
2001
2.
Sumba Timur
Perda No 19
2000
3.
Timor Tengah
Perda No 25
2001
Selatan 4.
Timor Tengah Utara
Perda No 2
2004
5.
Belu
Perda No 19
2002
Sumber: Raharjo (2008) Selatan (TTS) mewajibkan bagi pemilik cendana untuk membayar IHC (Iuran Hasil Cendana) sebesar 10 % dari harga penjualan yang ditetapkan pemerintah. Sementara di kabupaten lain mekanisme pembagian hasil tidak diatur dengan jelas. Setelah sebagian kabupaten di Provinsi NTT memiliki peraturan tentang cendana, Pemerintah Daerah Provinsi NTT memandang perlu untuk membuat peraturan daerah tentang cendana juga. Hal ini dilakukan untuk memberikan kepastian pengelolaan cendana mengingat cendana merupakan ikon atau identitas Provinsi NTT. Selain itu juga karena perubahan kebijakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, urusan pengelolaan hasil hutan non kayu kembali menjadi urusan Pemerintahan Provinsi, maka pada tahun 2012 Pemerintah Provinsi NTT menetapkan Peraturan Daerah Provinsi NTT No 5 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Cendana.
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi NTT Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Cendana, kepemilikan cendana oleh masyarakat tetap diakui. Hal ini menunjukkan komitmen Pemerintah Daerah Provinsi NTT untuk memulihkan potensi cendana dengan tidak mengulangi kesalahan “menguasai lagi” seluruh cendana yang tumbuh di NTT. Kebijakan Pengelolaan Cendana Pasca UU 23/2014 Berlakunya UU 23/2014 menguatkan kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi NTT (Dinas Kehutanan Provinsi NTT) untuk mengelola cendana. Lalu bagaimana dengan nasib peraturan daerah kabupaten/kota yang ada? Diperlukan review dan revisi terhadap peraturan perundangan berkaitan dengan pengelolaan cendana. Selain itu yang lebih penting adalah REGULATORY IMPACT ASSESSMENT atau penilaian terhadap impak peraturan yang ada baik peraturan daerah provinsi maupun peraturan daerah kabupaten tentang cendana.
WARTA CENDANA
Edisi IX No.1 Juni 2016
3
Penutup Desentralisasi bertujuan untuk mendekatkan negara kepada masyarakat. Implementasi desentralisasi pemerintahan diharapkan dapat memberikan sistem yang lebih melayani dan dekat dengan masyarakat. Pelayanan dan kedekatan pemerintah dengan masyarakat harus tetap memperhatikan ekosistem yang ada, sehingga pemanfaatan sumber daya alam dapat terkendali dan lestari. Undang Undang
4
Edisi IX No.1 Juni 2016
WARTA CENDANA
Nomor 23 tahun 2014 memberi peluang untuk itu dimana urusan pemerintahan yang berbasis ekosistem menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, sehingga efek eksternalitas pengelolaan sumberdaya alam (termasuk didalamnya cendana) dapat dikelola lebih terpadu. Daftar Pustaka Noor, M. (2012). Memahami Desentralisasi di Indonesia. Interpena. Yogyakarta. Raharjo, S.A.S., (2013). SEJARAH D O M I NA S I N E G A R A DA L A M PENGELOLAAN CENDANA DI NUSA TENGGARA TIMUR (History of State Domination on Cendana Management in Nusa Tenggara Timur). Jurnal Manusia dan Lingkungan. Vol. 20, No.1, Maret. 2013: 1 -10. Rahayu, S. (2002). Cendana, Deregulasi dan Pengembangannya.World Agroforestry – ICRAF, Bogor. Indonesia. Raharjo, S.A.S., (2008). Analisis Kebijakan dan Agenda Setting Media Lokal tentang Perda Cendana. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang. (Tidak di terbitkan)
EKOWISATA MANGROVE
| FOKUS |
Namun sebagai langkah awal terdapat beberapa solusi yang bisa menjadi jalan tengah sementara sebelum kedua hal tersebut di atas dilaksanakan yaitu: (1) membangun kesepahaman dan sosialisasi Peraturan Daerah Provinsi NTT No 5 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Cendana, (2) membuat kelengkapan peraturan daerah Provinsi NTT dalam kerangka UU no 23/2014, (3) membuat skema penugasan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota tentang pengelolaan cendana. Upaya membangun kesepahaman dan sosialisai Peraturan Daerah Provinsi NTT No 5 Tahun 2012 perlu dilakukan mengingat banyak pemerintah daerah kabupaten/kota yang belum mengetahui adanya Peraturan Daerah Provinsi NTT tersebut. Di sisi lain peraturan pendukung Peraturan Daerah Provinsi NTT No 5 tentang Pengelolaan Cendana juga belum semuanya tersedia maka hal ini dapat menjadi peluang untuk menyusun peraturan pendukung tersebut sesuai dengan kerangka berpikir UU 23/2014. Penugasan sebagian urusan pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten maupun pemerintah desa dapat menjadi solusi pengelelolaan cendana kedepan mengingat luasnya dan kompleksnya pengelolaan cendana di NTT.
DESA REROROJA Kecamatan Magepanda Kabupaten Sikka oleh: M. Hidayatullah
Pendahuluan Pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan merupakan salah satu aspek penting dalam kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal tersebut disebabkan karena kawasan pesisir secara ekologis dan ekonomis memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan dalam mendukung kesejahteraan masyarakat. Pola pemanfaatan yang bersifat destruktif masih dapat dijumpai pada berbagai wilayah di
seluruh Indonesia, hal ini menjadi kontra produktif dengan program yang dikembangkan oleh pemerintah. Beberapa bentuk pemanfaatan yang bersifat destruktif antara lain penebangan kayu mangrove untuk bahan bakar/bangunan, bahan pembuatan kapal, konversi hutan mangrove untuk area budidaya ikan/garam, konversi untuk area pemukiman atau industri serta berbagai bentuk pemanfaatan lainnya. Tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup,
WARTA CENDANA
Edisi IX No.1 Juni 2016
5
desakan ekonomi, serta ketersediaan lahan yang semakin terbatas menjadi penyebab kerusakan hutan mangrove. Kondisi ini turut mendorong terjadinya penurunan kualitas hutan mangrove dari tahun ke tahun. Salah satu konsep yang berkembang saat ini untuk mendukung pemanfaatan kawasan pesisir secara berkelanjutan adalah memanfaatkan kawasan hutan mangrove sebagai daerah wisata atau yang lebih dikenal dengan istilah ekowisata hutan mangrove. Ekowisata merupakan suatu bentuk perjalanan wisata pada kawasan hutan mangrove dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Terdapat beberapa tempat yang sudah populer dengan ekowisata hutan mangrove antara lain : Ekowisata Mangrove Wonorejo – Surabaya, Ekowisata Mangrove Pantai Indah Kapuk – Jakarta, Ekowisata Mangrove Tuban – Bali serta beberapa daerah lainnya di Indonesia. Nusa Tenggara Timur (NTT) juga memiliki kawasan hutan mongrove yang sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan Ekowisata Mangrove antara lain Ekowisata Mangrove Oesapa dan Batu Kapala Nunhila di Kota Kupang, ekowisata mangrove Cagar Alam Maubesi – di Kabupaten Malaka atau ekowisata mangrove di Reroroja, Magepanda – Kabupaten Sikka. Mangrove Kabupaten Sikka Meskipun memiliki kawasan hutan mangrove yang tidak terlalu luas, mangrove di Kabupaten Sikka memiliki fungsi, manfaat dan peranan yang sangat besar bagi kelangsungan hidup masyarakat di wilayah ini (khususnya wilayah pesisir). Luas hutan mangrove di Kabupaten
6
Edisi IX No.1 Juni 2016
WARTA CENDANA
Sikka adalah 1.177,57 ha (BPDAS BN, 2010) Luas tersebut setara dengan 2,89% dari luas hutan mangrove di NTT, tersebar pada 8 kecamatan dan 21 desa. Pada tahun 1997 hingga 2012, lebih dari 50 % hutan mangrove di Kabupaten Sikka mengalami kerusakan dan perubahan status penggunaan lahan. Secara umum, luas ekosistem mangrove berkurang cukup signifikan akibat bencana tsunami tahun 1992. Analisis secara visual dengan menggunakan citra Landsat menunjukkan penurunan luas ekosistem mangrove antara tahun 1990 hingga 2000. Penurunan luas dan kualitas ekosistem mangrove meningkatkan kerawanan bencana pesisir di Kabupaten Sikka. Karakteristik lingkungan pesisir Kabupaten Sikka (iklim, topografi, geologis, substrat tanah, dan hidrooseanografi) sangat dinamis dan beberapa dari parameter tersebut rentan terhadap perubahan dan kerusakan. Kondisi demikian menyebabkan sebagian besar Kabupaten Sikka sangat rawan terhadap bencana pesisir. Bencana pesisir yang pernah terjadi antara lain: gempa bumi, tsunami, abrasi pantai, subsiden, gelombang angin (badai dan puting beliung), erosi, tanah longsor serta gelombang pasang dan banjir (Ragil, dkk. 2013). Gempa bumi tektonik yang terjadi pada tahun 1992 dengan kekuatan 6,8 SR, mengguncang empat kabupaten yaitu Sikka, Ende, Ngada dan Flores Timur. Gempa bumi tersebut memicu gelombang tsunami dan merusak rumah serta infrastruktur lainnya di pesisir Pantai Flores. Di Kabupaten Sikka, bencana tsunami setidaknya menelan 1.952 korban jiwa, 492 orang luka berat dan 1.518 luka ringan. Beberapa wilayah dengan dampak bencana tsunami terparah antara lain
Magepanda, Alok, Alok Barat, Alok Timur, Kangae, Kewapante, Waigete, Talibura, Paga, Mego, Lela, Bola, Doreng, Waiblama, Palue (Ragil, dkk. 2013). P a d a b e b e r a p a t a h u n t e r a k h i r, pemerintah Kabupaten Sikka rutin melakukan kegiatan penanaman kawasan pesisir didukung oleh partisipasi masyarakat yang berjalan dengan baik, sehingga beberapa tempat menunjukkan hasil yang cukup baik. Beberapa lokasi yang memiliki konsentrasi hutan mangrove yang cukup baik di Kabupaten Sikka selain di Kecamatan Magepanda adalah di Kecamatan Talibura. Kecamatan Talibura memiliki ekosistem mangrove yang cukup bagus, pada lokasi ini juga menjadi salah satu penghasil madu dari hutan mangrove yang cukup terkenal di Kabupaten Sikka, bahkan di pulau Flores. Mangrove Reroroja Reroroja merupakan nama salah satu desa yang ada di Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lokasi ini berjarak ± 35 km dari kota Maumere ibukota Kabupaten Sikka. Penduduk desa yang sebagian besar beasal dari suku Flores ini bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan dengan hasil utama berupa kopi dan coklat (BPS Kecamatan Magepanda, 2012). Hutan mangrove di Reroroja dan sekitarnya terbentuk sebagai buah dari hasil kerja keras masyarakat setempat melakukan penanaman sejak tahun 1993 sampai dengan saat ini. Total telah dilakukan penanaman tidak kurang seluas 60 Ha dengan beragam jenis mangrove. Menurut Fitrianto, (2015) beberapa jenis yang dapat dijumpai di Reroroja adalah : Avicennia sp. (api-api), Rhizophora
mucronata, (bakau), Acanthus ilcifolius (jeruju), Sonneratia alba (pedada), Ceriops tagal, Acrostechum aereum, A. corniculatum dan keluarga Meliaceae (bakau buah jeruk). Selain mangrove sejati terdapat juga beberapa jenis mangrove ikutan, seperti Barringtonia asiatica (bogem), Ipomea pes-caprae, Pongamia pinnata (kacang laut), Terminalia cattapa (ketapang), dan Hibiscus tiliaceus (waru laut). Anonim, (2015) menambahkan jenis bakau kacang hijau (Lumnitzera racemosa), bakau akar tongkat (R. apiculata) dan bakau akar lutut (Avicennia marina) juga dapat dijumpai di lokasi ini. Kawasan hutan mangrove ini pada awalnya merupakan area berpasir yang sulit untuk ditumbuhi oleh sebagian besar jenis mangrove, namun kondisi tersebut tidak meredam keinginan masyarakat untuk melakukan penanaman. Setiap hari masyarakat (anggota kelompok) mengangkut tanah dari darat sebagai campuran media tanam mangrove. Tidak kurang 20 – 70 karung tanah diangkut setiap harinya, sehingga total lebih dari 1.000 karung tanah ditumpahkan pada area hutan mangrove Reroroja. Tanah yang diangkut dari darat ini berguna untuk membantu perakaran mangrove berkembang dengan baik karena media yang didominasi pasir hanya cocok untuk jenis mangrove tertentu saja. Penanaman dan pemilihan jenis mangrove dilakukan atas bimbingan dari Wetlands Internasional Indonesia yang melakukan pendampingan kepada masyarakat pada setiap tahapan kegiatan di lokasi tersebut (Berdasarkan Hasil Wawancara dengan “Babah Akong” Victor Emanuel Rayon, Ketua Kelompok Sabar Subur). Setidaknya terdapat dua pihak yang
WARTA CENDANA
Edisi IX No.1 Juni 2016
7
mendukung keberhasilan kegiatan penanaman mangrove di Reroroja yaitu Wetlands Internasional Indonesia dan Kelompok Tani Sabar Subur. Keberadaan Wetlands Internasional Indonesia di lokasi ini menjadi bagian yang sangat penting karena selain mendukung dalam aspek pendampingan, dalam prosesnya juga memberikan insentif pada anggota kelompok yang memenuhi target untuk mendorong hasil yang lebih baik. Sementara itu, Kelompok Tani Sabar Subur yang beranggotakan sebanyak 25 orang, terlibat dalam aktifitas persiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan mangrove, meskipun dalam perjalanannya hanya beberapa orang anggota saja yang terlibat secara aktif. Inisiatif penanaman mangrove di Reroroja tidak terlepas dari adanya musibah tsunami yang melanda pulau Flores pada tahun 1992 yang menelan banyak korban jiwa termasuk di Reroroja. Musibah tsunami menghantam dan menghancurkan perkampungan Reroroja, sehingga sebagian perkampungan rata dengan tanah. Masyarakat meyakini bahwa dampak dari musibah tsunami demikian dahsyat karena tidak adanya hutan mangrove yang mampu menahan gelombang tsunami, setidaknya dampak yang ditimbulkan oleh gelombang tsunami dapat dikurangi dengan adanya hutan mangrove. Kejadian tersebut menjadi titik awal masyarakat memberi perhatian terhadap penanaman mangrove di wilayah ini. Selain dua pihak tersebut di atas, satu tokoh yang sangat berperan dalam mendukung keberhasilan penanaman mangrove di Reroroja yaitu Victor Emanuel Rayon atau yang dikenal dengan Babah Akong, selain
8
Edisi IX No.1 Juni 2016
WARTA CENDANA
banyak berperan dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan mangrove, Babah Akong berperan dalam pembuatan jembatan dan pondok di tengah hutan mangrove merupakan hasil kerja beliau. Saat ini keberadaan hutan mangrove Reroroja sudah dapat dinikmati oleh masyarakat manfaatnya, selain hasil ikan, kerang dan kepiting bakau yang sangat melimpah, produksi madu dari hutan mangrove juga memberi nilai ekonomi yang sangat menjanjikan bagi masyarakat sekitar. Potensi lain yang tersedia pada hutan mangrove adalah buah dari beragam jenis mangrove, yang dapat mendukung kelangsungan hidup masyarakat sebagai alternatif bahan pangan maupun sebagai campuran bahan baku obat tradisional, namun demikian pemanfaatan potensi buah mangrove belum banyak dikenal oleh masyarakat. Meskipun sudah dikenal oleh berbagai kalangan termasuk dari luar negeri, namun keberadaan hutan mangrove Reroroja masih memerlukan dukungan dan perhatian serius dari Dinas Kehutanan Kabupaten Sikka untuk pengelolaan dan rencana pengembangan selanjutnya. Hal ini diperlukan agar nilai manfaat yang diperoleh masyarakat dari keberadaan hutan mangrove lebih maksimal, serta kelestarian hutan mangrove dapat terus dipertahankan.
yang di dalamnya ada unsur pendidikan dan konservasi. Untuk mengelola dan mencari daerah tujuan ekowisata yang spesifik alami dan kaya akan keanekaragaman hayati serta dapat melestarikan lingkungan hidup (Rutana, 2011) Selain menyajikan indahnya hutan mangrove dengan beragam jenisnya, pada kawasan hutan mangrove Reroroja juga menyediakan beberapa fasilitas untuk mendukung ekowisata di wilayah ini, antara lain : jembatan bambu sepanjang ± 350 m dan lebar ± 1,5 m yang diapit oleh lebatnya hutan mangrove, 2 pondok yang terletak di tengah hutan mangrove sebagai tempat melepas lelah saat menyusuri jembatan bambu, menara bambu dapat digunakan untuk melihat pemandangan hutan mangrove dari ketinggian sekaligus sebagai menara pengawas ketika terjadi kebakaran atau aktifitas illegal loging mangrove. Selain menyajikan kesejukan hutan mangrove, pada kawasan ini juga
Gambar 1. Jembatan Bambu Membelah Hutan Mangrove Reroroja
Wisata Mangrove Pemanfaatan ekosistem mangrove untuk konsep wisata (ekowisata) sejalan dengan pergeseran minat wisatawan dari old tourism yaitu wisatawan yang hanya datang melakukan wisata saja tanpa ada unsur pendidikan dan konservasi menjadi new tourism yaitu wisatawan yang datang untuk melakukan wisata
Gambar 2. Pondok Istirahat di Tengah Hutan Mangrove Reroroja
menghadirkan pemandangan pantai yang sangat indah sehingga sangat mendukung sebagai tempat wisata. Beberapa fasilitas yang tersedia pada kawasan hutan mangrove Reroroja terlihat pada gambar berikut.
Gambar 3. Menara Pandang di Tengah Hutan Mangrove Reroroja
Gambar 4. Keindahan Pantai di Reroroja
Pada saat ini lokasi ekowisata mangrove Reroroja sering digunakan sebagai sekolah lapangan bagi siswa di Kabupaten Sikka, tempat kemah bakti lingkungan bagi pelajar, lokasi cerdas cermat lingkungan serta beragam aktifitas lain yang bertujuan untuk memperkenalkan hutan mangrove serta fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat dan lingkungan. Selain itu, kawasan ini juga sering dijadikan sebagai lokasi pengambilan gambar Pre Wedding bagi pasangan yang akan menikah dengan latar belakang hutan mangrove. Kasawan hutan mangrove Reroroja terletak ± 35 km ke arah barat dari Kota Maumere, Ibu Kota Kabupaten Sikka, untuk mencapai lokasi ini dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor ± 30-40 menit dengan
WARTA CENDANA
Edisi IX No.1 Juni 2016
9
Penutup Ekowisata mangrove Reroroja menjadi salah satu lokasi wisata yang banyak dikunjungi oleh masyarakat, tidak hanya dari Kabupaten Sikka atau dari Kabupaten sekitarnya di Pulau Flores, bahkan lokasi ini sudah banyak didatangi oleh wisatawan dari manca negara. Hal ini disebabkan karena hutan mangrove Reroroja selain menyediakan panorama dan kesejukan alam yang cukup bagus, lokasi ini sekaligus menjadi sekolah alam bagi wisatawan melalui pengenalan beragam jenis mangrove yang ada, sejarah pembangunan ekowisata maupun pembelajaran tentang fungsi dan manfaat dari keberadaan hutan mangrove. Keterlibatan pemerintah Kabupaten dapat dilakukan melalui penataan dan pembangunan berbagai fasilitas pendukung, sehingga keberadaan kawasan ekowisata mangrove Reroroja dapat menjadi sumber pendapatan bagi pemerintah daerah maupun masyarakat setempat melalui aktifitas ekonomi ikutan lainnya yang berkembang sejalan dengan pembangunan ekowisata mangrove.
10
Edisi IX No.1 Juni 2016
WARTA CENDANA
Daftar Pustaka Anonim, 2015. Serunya 'Sekolah Alam' di Mangrove Information Centre Reroroja, Kab. Sikka, NTT. Warta Konservasi lahan basah, Vol 23. No 1, April 2015. Wetlands Internasional Indonesia. BPDAS BN Noelmina. 2010. Statistik Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina Tahun 2011. BPDAS BN Noelmina, Kupang. BPS Magepanda, 2012. Kecamatan Magepanda Dalam Angka 2011. BPS Kabupaten Sikka. Fitrianto, D. 2015. Mangrove Information Centre (MIC) 'Babah Akong' Satusatunya di Nusa Tenggara Timur. Warta Partners for Resilience Indonesia - Edisi Khusus, April 2015. Rutana, F. F. 2011. Studi Kesesuaian Ekosistem Mangrove Sebagai Objek Ekowisata di Pulau Kapota Taman Nasional Wakatobi Sulawesi Tenggara. Skripsi. Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar Ragil S. G, Aswin Rahadian, Eko Budi P, dan Kuswantoro, 2013. Penerapan Perangkap Sedimen di Kawasan Pesisir Teluk Maumere, Kabupaten. Sikka. Warta Konservasi Lahan Basa. Vol 21, No. 3 Juli 2013. Wetlands Internasional Indonesia.
| FOKUS |
akses jalan yang cukup baik. Guna mendukung operasional dan pemeliharaan jembatan maupun pondok istirahat di tengah hutan mangrove, setiap pengunjung yang masuk ke kawasan hutan mangrove Reroroja ditarik retribusi sebesar Rp. 5.000,-. Beberapa sarana penunjang yang diperlukan untuk mendukung pengembangan ekowisata mangrove Rerorora antara lain : penunjuk arah lokasi, nama/identitas jenis mangrove, WC, maupun papan informasi sejarah pembangunan hutan mangrove untuk menambah nilai edukasi dari hutan mangrove Reroroja.
DESKRIPSI SARANG & TELUR Burung Apung sawah (Anthus rufulus) oleh: Oki Hidayat PENDAHULUAN Burung apung sawah merupakan jenis burung penetap (resident) pemakan serangga dari marga Motacillidae (Wagtails dan Pipits). Ciriciri morfologinya yaitu berukuran sedang (15 – 18 cm), postur tubuh tegak lurus, tubuh bagian atas bercoret kecoklatan, bagian bawah tubuh putih kekuningan dengan dada bercoret, coretan pada sisi perut sedikit atau bahkan tidak ada, bagian ekor luar putih (Coates and Bishop, 1998). Distribusinya cukup luas mulai dari daerah di sekitar pantai hingga ketinggian 1.500 mdpl, menyukai padang rumput terbuka di sepanjang pesisir atau gunung tinggi, padang alang-alang terbakar, dan sawah kering. Taksonomi untuk jenis ini berubah-ubah dan masih belum tetap, beberapa ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda. Terkadang beberapa literatur menyebutkan jenis ini sebagai Anthus novaeseelandiae. Terdiri dari 6 sub-spesies (Tyler 2004 dalam del Hoyo et al. 2014), dengan daerah persebaran : ? waitei Whistler, 1936 – sub-benua India barat-laut. ? rufulus Vieillot, 1818 – sebagian besar kawasan sub-benua India (kecuali barat-
laut, utara dan ujung barat-daya) sampai China selatan, Thailand selatan dan Indochina. ? malayensis Eyton, 1839 – ujung barat-laut India (Bukit Nilgiri), Sri Lanka, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan utara dan tenggara dan Indochina selatan. ? lugubris Walden, 1875 – Filipina; mungkin juga di Kalimantan utara. ? albidus Stresemann, 1912 – Sulawesi, Bali dan Sunda Kecil (Lombok, Sumbawa, Komodo, Padar, Rinca, Flores, Sumba). ? medius Wallace, 1864 – Sunda Kecil (Sawu, Roti, Timor, Kisar, Leti, Moa, Sermata). Tulisan ini memaparkan ekologi perkembangbiakan apung tanah khususnya mengenai deskripsi sarang dan telur. Selain itu dibahas pula secara singkat mengenai ekologi prilaku.
WARTA CENDANA
Edisi IX No.1 Juni 2016
11
Gambar 1. Apung sawah (Anthus rufulus) © Oki Hidayat
METODE Lokasi Sebuah sarang aktif ditemukan di Desa Lidabesi, Kecamatan Rote Tengah, Kabupaten Rote-Ndao pada koordinat 10°44'18,7” S dan 123°06'05.0” E. Ketinggian lokasi berada pada 154 mdpl. Pengamatan dilakukan pada tanggal 7 dan 10 Januari 2013. Lokasi pengamatan merupakan hutan desa yang terdiri dari hutan sekunder yang tidak terlalu rapat dan diselingi oleh padang rumput savana tempat penggembalaan ternak dan semak belukar. Pengumpulan Data Peralatan yang digunakan untuk pengamatan berupa binokuler dengan perbesaran 16 x 50, kamera dslr, lensa tele dengan focal length 150 – 500 mm dan kamera saku. Untuk menghindari kecurigaan burung pengamat melakukan penyamaran dengan jaring kamuflase. Pengamatan dilakukan dua kali. Pada pukul 09.00 dan 16.00 WITA. Pemeriksaan sarang dilakukan pada saat indukan pergi meninggalkan sarang. HASIL DAN DISKUSI Deskripsi Sarang dan Telur Sarang berbentuk mangkok (cup) menyerupai bunker dengan lubang menghadap ke atas ditengahnya. Sarang terbuat dari anyaman
12
Edisi IX No.1 Juni 2016
WARTA CENDANA
rumput, terletak pada permukaan tanah yang ditumbuhi rerumputan. Diameter sarang ±25 cm dengan diameter lubang ±9 cm. Telur ditemukan tiga butir di dalam sarang pada tanggal 7 Januari 2013. Telur apung sawah biasanya berjumlah tiga atau empat butir. Telur berbentuk lonjong, berwarna biru pucat dengan bercak coklat yang tersebar merata. Pengamatan selanjutnya pada tanggal 10 Januari 2013, satu butir telur ditemukan telah menetas, satu butir sudah mulai retak dan akan menetas sedangkan satu butir lainnya masih utuh. Proses menetasnya telur terdokumentasikan dalam bentuk video, proses penetasan berlangsung sekitar 10 menit. Hasil rekaman dapat dilihat pada situs Internet Bird Collection pada alamat URL: http://ibc. lynxeds.com/video/paddyfield-pipit-anthusrufulus/hatching-process-3-eggs-nest.
sekelilingnya dapat terinjak oleh sapi. Namun saat pengamatan selama dua hari, sarang tetap utuh dan tidak terinjak. Ekologi prilaku Apung sawah biasa ditemukan sendirian atau dalam kelompok kecil. Tinggal di tanah dan terbang bergelombang, bersuara setiap kali menukik (Kutilang Indonesia, 2016). Di Pulau Rote, Apung sawah dapat dijumpai pada daerah terbuka berupa hutan savana dengan semak belukar, persawahan, ladang budidaya masyarakat hingga tepian jalan raya. Pada saat
Gambar 3. Telur dan Anakan yang baru menetas © Oki Hidayat
Gambar 2. Sarang apung tanah © Oki Hidayat
Sarang berada pada padang rumput yang terbuka dengan sedikit semak-semak dan tumbuhan perdu. Catatatan menarik dari lokasi sarang adalah keberadaan ternak sapi di sekitar sarang, Sapi masyarakat yang dilepas secara liar untuk mencari makan dapat menjadi ancaman bagi sarang. Sarang yang berada di permukaan tanah dan menyatu dengan rumput di
mengerami telur, indukan senantiasa waspada dengan melihat keadaan di luar sarang. Di pagi hari saat matahari mulai naik, induk biasanya akan meninggalkan sarang untuk mencari makan. Saat di permukaan tanah burung ini bergerak dengan berlari, terkadang hinggap di atas batu untuk melihat situasi di sekelilingnya. Jika ada ancaman berupa manusia maupun sapi, induk akan menghalau dengan cara menarik perhatian dengan berlari dan terbang rendah sambil berbunyi “crrreett… crrrrreettt…. shirpp…. shirpp… ” secara berulang-ulang.
Gambar 4. Induk Apung tanah di dalam sarang © Oki Hidayat
PENUTUP Hingga saat ini masih amat sedikit informasi mengenai deskripsi sarang, telur dan ekologi prilaku burung apung sawah di kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia. Melalui tulisan ini diharapkan mampu memperkaya informasi mengenai jenis ini secara lebih detail di habitatnya. Masih banyak informasi yang belum tergali seperti ekologi pakan terutama saat membesarkan anak-anaknya dan kepadatan populasi. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengungkap ekologinya. DAFTAR PUSTAKA Coates, B. J. D and Bishop, K. D. (1997) A guide to the birds of Wallacea. Alderley, Australia: Dove Publications. Kutilang Indonesia (2012). Apung Tanah (Apung Sawah). Diakses tanggal 5 April 2016. http://www.kutilang.or.id /2012/11/10/apung-tanah-apungsawah/ Tyler, S. (2004). Paddyfield Pipit (Anthus rufulus). In: del Hoyo, J., Elliott, A., Sargatal, J., Christie, D.A. & de Juana, E. (eds.) (2014). Handbook of the Birds of the World Alive. Lynx Edicions, Barcelona. (retrieved from http://www.hbw.com/node/57769 on 27 March 2015).
WARTA CENDANA
Edisi IX No.1 Juni 2016
13
| FOKUS |
TEKNIK PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN PADA KAWASAN STASIUN PENELITIAN BANAMLAAT, BPPLHK KUPANG Oleh : Marianus E.E. Naiaki Pendahuluan Menurut Kamus Kehutanan (Zain,1998), kebakaran hutan merupakan suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga menimbulkan kerugian ekonomis dan terancamnya kelestarian lingkungan. Kebakaran terjadi bila sedikitnya tersedia tiga komponen yaitu bahan bakar, oksigen(udara) dan panas. Ketiga komponen itu harus ada secara bersama-sama dalam proses terjadinya api dan kebakaran. Kawasan Stasiun Penelitian (SP) Banamlaat milik Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang didominasi oleh savanna. Arief (2001) menyatakan “hutan sabana (savanna woodland) adalah Hutan yang mempunyai suhu bulanan rata-rata 150C
14
Edisi IX No.1 Juni 2016
WARTA CENDANA
sampai +250C dengan curah hujan dalam satu tahun 90mm – 1.500mm serta periode bulan kering antara 4 – 5 bulan. Bentuk vegetasinya lebih terbuka dengan pepohonan yang tersebar, kecuali pada tepi-tepi sungai. Karena terbukanya pepohonan, maka cahaya matahari mudah menembus sampai lantai hutan. Hal inilah yang menumbuhkan jenis rerumputan secara berlapis-lapis”. Jenis rerumputan yang berlapis-lapis ini merupakan bahan bakar yang rentan kebakaran, apalagi di SP Banamlaat juga sering bertiup angin yang kencang dan panas yang terik. Hal ini semakin meningkatkan kerentanan SP Banamlaat terhadap kebakaran lahan dan hutan. Kebakaran hutan yang tidak terkendali dapat mengakibatkan menjalarnya api ke area yang lebih luas. Dalam kawasan stasiun
penelitian, hal ini dapat menyebabkan tanaman yang telah ditanam dan vegetasi penutup tanah lainnya ikut terbakar. Untuk mencegah kebakaran hutan agar tidak menjalar ke area yang lebih luas, perlu dilakukan pencegahan dini dengan berbagai cara yang sesuai dengan kondisi lokal yang ada. Kebakaran Lahan dan Hutan di Stasiun Penelitian Banamlaat Ada beberapa istilah teknis yang digunakan untuk menilai kebakaran hutan diantaranya tingkat kerusakan (severiti), intensitas dan laju penyebaran. Kimmins dalam Sumardi dan Widyastuti (2004) mendefinisikan severiti sebagai tingkat pengaruh kebakaran terhadap bahan organik. Intensitas digunakan untuk pengertian laju energi yang dikeluarkan oleh kebakaran hutan sedangkan laju penyebaran adalah kecepatan ujung api yang bergerak searah dengan arah angin. Kebakaran hutan di Stasiun Penelitian Banamlaat sangat merugikan. Hal ini karena di dalam stasiun penelitian terdapat plot-plot penelitian yang telah dikembangkan sejak SP Banamlaat terbentuk. Plot-plot tersebut menyimpan beragam informasi yang sangat penting bagi penelitian. Kerugian semakin besar ketika plot konservasi dimana sumber genetiknya sangat bernilai penting bagi kelestarian spesies tertentu. Salah satu faktor penyebab kebakaran hutan di Stasiun Penelitian Banamlaat adalah kelalaian manusia. Kelalaian manusia ini dapat berupa: 1. Kurangnya pengetahuan masyarakat di sekitar Stasiun Penelitian Banamlaat
tentang cara pembukaan lahan (kebun) yang benar. Masyarakat di sekitar Stasiun Penelitian Banamlaat setelah melakukan pembersihan lahan, masyarakat melakukan pembakaran pada lokasi yang dibersihkan dengan membuat ilaran api yang kurang lebar sehingga api yang digunakan untuk membakar lahan dapat merambat ke dalam kawasan Stasiun Penelitian Banamlaat. Hal ini biasa dijumpai di lahan milik masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan Stasiun Penelitian Banamlaat. 2. Kecerobohan perokok yang tidak sengaja membuang puntung rokok di sekitar kawasan Stasiun Penelitian Banamlaat. Puntung rokok ini dapat menjadi sumber api sehingga membakar lahan yang dipenuhi rumput kering. Ketika ada angin yang kencang maka api dapat dengan mudah merambat ke kawasan SP Banamlaat. Hal ini biasa dijumpai di sekitar jalan yang melintasi kawasan SP Banamlaat. 3. Kesengajaan yang dilakukan oleh orangorang yang kurang bertanggung jawab. Mereka ini bertujuan untuk merugikan kehutanan ataupun mencari keuntungan bagi si pembakar agar mendapatkan rumput baru sebagai pakan ternak. Alternatif Solusi Pencegahan Kebakaran Lahan dan Hutan Di Stasiun Penelitian Banamlaat Pencegahan dan penanggulangan kebakaran stasiun penelitian dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu membuat ilaran api dan
WARTA CENDANA
Edisi IX No.1 Juni 2016
15
pembersihan plot serta membangun hubungan baik dengan masyarakat sekitar Stasiun Penelitian Banamlaat. Berikut kami paparkan kedua alternatif solusi tersebut di atas. 1. Pembuatan ilaran api dan pembersihan plot Pembuatan ilaran api bertujuan untuk mencegah api dari luar masuk kawasan stasiun penelitian, mencegah kebakaran yang terjadi di dalam stasiun penelitian dan membatasi penyebaran api apabila terjadi. Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk membuat ilaran api antara lain adalah sabit, alat penggaruk/pembersih rumput, sepatu bot dan karung. Kegiatan pencegahan kebakaran hutan pada stasiun penelitian dilakukan dengan 2 (dua) tahapan, yaitu pembuatan ilaran api keliling lokasi stasiun dan pembersihan total pada plot penelitian. a. Pembuatan ilaran api Kegiatan pembuatan ilaran api dilakukan mengelilingi kawasan stasiun penelitian dengan lebar luar dari pagar ±2 meter dan juga di dalam pagar, sehingga total lebar ilaran api adalah ±4 meter. Ilaran api dibuat dengan cara membersihkan/memangkas rumput sampai rata dengan tanah, kemudian rumput yang sudah dipangkas ditumpuk menutupi rumput pada bagian luar pagar lalu dibakar. Pembersihan dilakukan pada pagi hari, sehingga pada waktu petang sekitar pukul 18.30 WITA bekas rumput yang ditumpuk di luar pagar telah kering dan siap dibakar. Pembakaran dilakukan pada
16
Edisi IX No.1 Juni 2016
WARTA CENDANA
b.
malam hari agar api bisa terkontrol dan tidak menjalar kemana-mana. Pembersihan dilakukan kurang lebih 2 – 3 kali dalam setahun, pembersihan awal dilakukan pada saat rumput antara daun bawahnya kering dan pucuk masih warna hijau (hidup), pembersihan selanjutnya disesuaikan dengan kondisi ketebalan rumput. Pembersihan total pada plot penelitian Pembersihan total dilakukan pada plot penelitian yang pertumbuhan tanaman uji bagus dan persen hidup tinggi, sedangkan pada tanaman yang jarang cukup dilakukan dengan teknik pendangiran. Pendangiran dilakukan dengan pembersihan disekitar tanaman/pembuatan piringan mengelilingi tanaman dengan lebar sesuai tinggi tanaman dan lebar tajuk untuk menghindari api yang mungkin membakar tanaman. Kegiatan pendangiran dilakukan selain sebagai pencegahan kebakaran tanaman tersebut, juga untuk membebaskan tanaman uji dari tumbuhan pengganggu. Selain itu pendangiran juga berfungsi untuk penggemburan tanah disekeliling tanaman uji sehingga pertumbuhan tanaman dapat lebih baik. Apabila pembersihan total tidak memungkinkan karena masalah biaya, maka bisa dilakukan teknik pembersihan dengan sistem jalur yaitu rumput dipangkas rata dengan tanah dan bekas pangkasan rumput ditumpuk diantara tanaman satu dengan yang lain lalu
dibakar. lebar jalur pembersihan adalah ±1 meter ke arah kiri dan kanan tanaman. Sistem ini dilakukan pada tanaman dengan jarak tanam minimal 2x3 meter, sedangkan untuk jarak tanam di bawah 2x3 meter harus dilakukan dengan sistem pembersihan total. Selain upaya di atas agar tiap tahunnya tidak melakukan pembuatan ilaran api, maka di batas kawasan perlu ditanami tanaman yang dapat menghambat pertumbuhan rumput seperti gamal atau lamtoro. Tanaman tersebut selain menghambat pertumbuhan rumput, juga bisa digunakan sebagai pakan ternak, yang pertumbuhan rumput, juga bisa digunakan sebagai pakan ternak, yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar SP Banamlaat. 2. Hubungan antar masyarakat sekitar kawasan stasiun penelitian Masyarakat sekitar kawasan stasiun penelitian sangat berperan penting dalam kelangsungan kegiatan pengelolaan stasiun penelitian. Untuk itu perlu ada pendekatan dan interaksi yang baik antara pengelolah stasiun dengan masyarakat sekitar. Selain itu pengelolah stasiun juga perlu memahami masalah hukum, adat dan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Untuk merangkul masyarakat sekitar kawasan stasiun penelitian, maka masyarakat perlu dilibatkan dalam setiap kegiatan penelitian. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi perselisihan dan permasalahan yang dapat membawa bencana bagi kawasan stasiun penelitian. Sangat banyak manfaatnya apabila kita melibatkan masyarakat sekitar. Manfaat tersebut antara lain adalah bisa meringankan
permasalahan ekonomi masyarakat sekitar kawasan, tidak ada kecemburuan diantara masyarakat dan pengelola stasiun penelitian dan disamping itu masyarakat dengan sendirinya ikut menjaga dan mengamankan kawasan stasiun dari segala macam ancaman. Penutup Kebakaran di stasiun penelitian perlu di perhatikan agar tidak terjadi lagi pada tahuntahun berikutnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pembuatan ilaran api dan pembersihan plot penelitian serta membangun hubungan/interaksi yang baik dengan masyarakat sekitar kawasan stasiun penelitian. “Keberhasilan pengelolaan hutan ditentukan oleh keberhasilan dalam memecahkan masalah sosial ekonomi masyarakat tersebut”. “Gagal dalam pemecahan masalah sosial ekonomi masyarakat, akan gagal pula upaya pengelolaan hutan”(Simon, 2008). Daftar Pustaka Arief, Arifin. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius. Simon, Hasanu. 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Coopertative Forest Management) Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumardi dan Widyastuti, S.M. 2004. DasarDasar Perlindungan Hutan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Zain, Alam Setia. 1998. Kamus Kehutanan. Jakarta: Rineka Cipta.
WARTA CENDANA
Edisi IX No.1 Juni 2016
17
KEARIFAN LOKAL PERBURUAN TRADISIONAL
oleh Masyarakat Suku Baar oleh: Kayat
PENDAHULUAN Pada awal peradaban, manusia mengandalkan pada perburuan untuk survive, kemudian selanjutnya perburuan bergeser untuk alasan kebutuhan ekonomi dan untuk olah raga (Morrison et al., 2006). Beberapa alasan lain mengapa masyarakat melakukan perburuan satwa liar adalah (a) berburu subsisten tradisional asli (Altrichter, 2005), (b) berburu untuk daging dan rekreasi dan (c) berburu untuk olahraga dan rekreasi (Fischer et al, 2013); dan (d) sebagai sumber daging dan pendapatan serta menunjang perekonomian rumah tangga pedesaan (Hurtado-Gonzales and Bodmer, 2004). Perburuan tradisional merupakan salah
18
Edisi IX No.1 Juni 2016
WARTA CENDANA
satu kearifan lokal yang masih tersisa di zaman modern ini. Kearifan lokal sendiri didefinisikan sebagai kebudayaan yang terwujud sebagai kecerdasan, kepandaian, dan kebijakan yang dipilih oleh suatu komunitas yang dipakai merespons lingkungan dan merespons tantangan yang dihadapi dalam kerangka keberlangsungan kehidupan mereka sendiri (Sulaiman et al., 2011). Informasi perburuan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat lokal sudah ada di beberapa daerah seperti Papua (Pattiselanno, 2007) dan Kalimantan (Harisson et al., 2011; Wadley dan Colfer, 2004). Namun informasi kegiatan perburuan tradisional sebagai bentuk kearifan lokal di wilayah Nusa Tenggara Timur
masih sangat sedikit. Hasil penelitian ini diharapkan bisa mengisi keterbatasan informasi tentang kearifan tradisional yang berkaitan erat dengan pemanfaatan sumber daya alam hayati, khususnya satwa liar di wilayah Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana konsep kearifan lokal yang berlaku dalam kegiatan perburuan satwa liar oleh masyarakat Suku Baar di Kecamatan Riung Kabupaten Ngada Propinsi Nusa Tenggara Timur sebagai alternatif pelestarian satwa liar.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil wawancara terstruktur, wawancara mendalam, dan observasi partisipatif, perburuan satwa liar yang dilakukan oleh masyarakat Suku Baar di Desa Sambinasi dan Sambinasi Barat Kecamatan Riung Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur ada dua jenis, yaitu pertama perburuan tradisional dan kedua perburuan adat. Perburuan adat dalam kalangan Suku Baar lebih dikenal dengan nama “Malang Onto” (malang artinya berburu; dan onto adalah tanah tempat berburu adat), karena perburuan adat ini hanya di lakukan di tanah onto tersebut. Kedua jenis perburuan tersebut berbeda dari aspek : (1) pelaku dan tujuan perburuan; (2) ritual adat sebelum berburu; (3) target satwa buruan; (4) lokasi perburuan; (5) musim dan waktu berburu; (6) teknik dan peralatan berburu; dan (7) Aturan pembagian daging hasil berburu (Tabel 1).
PENGAMBILAN DATA Penelitian ini dilakukan di kawasan Tanjung Torong Padang dan desa di sekitarnya yaitu Desa Sambinasi dan Sambinasi Barat, yang secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian dilakukan selama tiga bulan, pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2014. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama berupa wawancara terstruktur Tabel 1. Perbedaan Perburuan Adat dan Perburuan Tradisional Perbedaan menggunakan kuesioner dengan No Kriteria Perburuan Adat Perburuan Tradisional beberapa orang masyarakat Suku 1 Pelaku dan tujuan Massal; Melestarikan budaya/adat Perorangan; Memenuhi kebutuhan perburuan istiadat dan untuk kebersamaan daging atau ekonomi keluarga Baar dan wawancara mendalam 2 Ritual sebelum berburu Ada Tidak ada 3 Target satwa buruan Rusa Rusa, landak dan satwa lainnya dengan beberapa orang tokoh adat, 4 Lokasi perburuan Tanjung Torong Padang/ Tana Hutan dan kampung lama Pirong Onto sedangkan tahap kedua berupa 5 Musim dan w aktu Terkait dengan r angkaian upacara Tidak mengenal waktu berburu adat larik; memasuki musim observasi partisipasi pada kegiatan persiapan lahan 6 Teknik dan Peralatan ? Diawali pembakaran savana ? Tidak ada pembakaran savana Berburu ? Peralatan jerat, tumbak, ? Peralatan : jerat, parang, tumbak, perburuan adat yang dilakukan di tempuling, banso, parang, anjing, dan anjing. dan kuda kawasan Tanjung Torong Padang 7 Aturan pembagian Dimanfaatkan secara Daging untuk pemburu, keperluan daging hasil berburu pribadi/keluarga adat dan orang lain yang ikut (Bungin, 2012). Metode yang berburu Sumber : Hasil wawancara dan observasi partisipatif (2014) digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan Pelaku dan Tujuan Perburuan teknik studi kasus, seperti yang dilakukan oleh Pelaku perburuan pada perburuan tradisional Pattiselanno dan Mentansan (2010). Data yang bersifat perseorangan, biasanya hanya terdiri diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif.
WARTA CENDANA
Edisi IX No.1 Juni 2016
19
dari satu atau dua orang. Perburuan tipe ini sudah sering dilakukan oleh masyarakat lokal di Papua (Pattiselanno et al., 2015). Di masyarakat Suku Baar hanya ada tiga orang sebagai pelaku perburuan tradisional. Ketiga orang tersebut menjadikan perburuan tradisional sebagai mata pencaharian sampingan yang cukup membantu perekonomian keluarga. Sedangkan pelaku perburuan adat bisa mencapai seratusan orang. Perburuan tradisional dan perburuan adat mempunyai motif dan tujuan yang berbeda. Perburuan tradisional mempunyai motif untuk memenuhi kebutuhan akan daging atau ekonomi keluarga, seperti perburuan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Papua (Pattiselanno dan Mentansan, 2010). Sedangkan perburuan adat yang dilakukan oleh masyarakat Suku Baar mempunyai motif untuk melestarikan budaya adat istiadat peninggalan nenek moyang mereka dan untuk kebersamaan di antara masyarakat Suku Baar. Ritual Adat Sebelum Berburu Perbedaan lainnya antara perburuan tradisional dan perburuan adat adalah pada perburuan tradisional, pelaku perburuan tidak melakukan ritual adat seperti halnya pada perburuan adat. Pada perburuan adat ada beberapa rangkaian upacara adat yang harus dilakukan sebelum melakukan perburuan adat di kawasan Tanjung Torong Padang. Hal yang sama dilakukan oleh orang Sentani di Kabupaten Jayapura Papua (Soemanagara, 2014). Rangkaian acara adat tersebut adalah upacara adat “Pintu Manuk” pertama dilakukan di dusun atau kampung (Gambar 1). Kemudian dilanjutkan dengan upacara “Pintu Manuk” kedua yang dilakukan di Maroraja,
20
Edisi IX No.1 Juni 2016
WARTA CENDANA
Gambar 1. Upacara adat “pintu manuk” pertama dilakukan di Dusun Damu
yaitu lokasi awal dimulainya kegiatan perburuan adat. Target Satwa Buruan Jika dibedakan berdasarkan jenis perburuannya, maka satwa target buruan antara kedua jenis perburuan ada sedikit perbedaan. Perburuan tradisional akan menangkap beberapa jenis satwa yang ditemukan seperti rusa timor dan landak (Gambar 2). Sedangkan satwa target perburuan adat adalah rusa timor. Satwa target
a. Rusa timor
b. Landak Gambar 2. Satwa Target Perburuaan Oleh Masyarakat Suku Baar (a.Rusa timor; b.Landak)
buruan masyarakat Suku Baar tidak seberagam seperti yang menjadi target buruan masyarakat lokal di Papua. Beberapa spesies satwa yang
sering menjadi sasaran perburuan di Papua di antaranya adalah kelompok mamalia darat dan burung seperti babi hutan, rusa, walabi, kuskus, bandikut, kasuari, mambruk serta buaya dan penyu (Pattiselanno et al., 2015). Lokasi Perburuan Masyarakat Suku Baar mempunyai lokasi khusus untuk kegiatan perburuan adat yaitu di tanah adat kawasan Tanjung Torong Padang atau masyarakat biasa menyebut Tana Pirong Onto, seperti orang Sentani di Kabupaten Jayapura Papua (Soemanagara, 2014). Tana Pirong menurut masyarakat Suku Baar merupakan tanah larangan, yaitu kawasan ini hanya diperbolehkan untuk kegiatan perburuan adat saja sedangkan aktivitas masyarakat lain seperti bermukim dan bercocok tanam tidak diperbolehkan. Sementara itu perburuan tradisional dilakukan di wilayah lain seperti di hutan dan kampung lama yang berada di bagian selatan dari kampung, tidak boleh di lokasi kawasan Tanjung Torong Padang. Musim dan Waktu Berburu Musim berburu perburuan tradisional tidak mengenal waktu. Pemburu akan melakukan perburuan tradisional jika menginginkan makan daging atau ada pesanan dari kenalan mereka dari Kota Bajawa. Pemburu melakukan perburuan tradisional selama dua sampai tiga hari di hutan. Sedangkan perburuan adat dilakukan dalam rangka rangkaian upacara adat larik (caci) - kaizo rentok. Upacara adat larik merupakan upacara adat dalam memasuki musim persiapan lahan sebelum memasuki musim tanam. Masyarakat Suku Baar melakukan perburuan adat yang
bersifat massal karena ada kaitannya dengan aktivitas pertanian dalam memasuki musim persiapan lahan. Hal ini berbeda dengan masyarakat di Papua yang melakukan aktivitas perburuan yang bersifat bersama dalam rangka perayaan ritual keagamaan dan budaya (Pattiselanno et al., 2015). Masyarakat Suku Baar melakukan perburuan adat pada saat puncak musim kemarau antara bulan September sampai dengan November. Namun sebaiknya perburuan dilakukan pada bulan Oktober atau November karena pada bulan September merupakan musim kelahiran anak rusa (Takandjandji dan Sutrisno, 2006). Rusa timor mengalami masa bunting rata-rata selama delapan bulan dan ditambah masa sapih selama empat bulan (Takandjandji dan Sutrisno, 2006). Sehingga secara tidak langsung memberikan kesempatan kepada satwa untuk berkembangbiak secara alami (Pattiselanno et al., 2015). Teknik dan Peralatan Berburu Teknik perburuan antara perburuan tradisional dengan perburuan adat memiliki beberapa perbedaan. Perburuan adat diawali dengan kegiatan pembakaran savana satu bulan sebelum perburuan adat dilakukan. Hal ini sebagaimana yang dikemukan oleh Bird et al. (2005) bahwa pembakaran adalah alat yang dirancang untuk meningkatkan efisiensi berburu di savana kering. Sedangkan pada perburuan tradisional tidak ada kegiatan pembakaran savana. Peralatan perburuan yang digunakan dalam perburuan tradisional dan perburuan adat ada sedikit perbedaan. Pemburu yang melakukan perburuan tradisional hanya
WARTA CENDANA
Edisi IX No.1 Juni 2016
21
berbekal jerat, parang, tumbak, dan anjing. Sedangkan peralatan yang digunakan pada saat perburuan adat lebih banyak jenisnya seperti jerat, tumbak, tempuling, banso, parang, anjing, dan kuda. Sedangkan penggunaan alat modern seperti senjata api sangat dilarang pada kedua jenis perburuan tersebut. Schroder (1976) menyatakan di dalam perburuan tradisional beberapa metode yang telah digunakan adalah perburuan individu, menggunakan perangkap (trap), dengan bantuan anjing, dan menggunakan kuda. Sedangkan Pattiselanno dan Mentansan (2010) menginformasikan bahwa masyarakat lokal di Papua menggunakan beberapa alat dalam berburu tradisional seperti menggunakan tombak, panah dan busur, menggunakan anjing berburu, meniru suara binatang, ilmu berburu, dan jerat. Beberapa teknik berburu yang pernah dilakukan oleh masyarakat Suku Baar adalah : 1. Teknik Berburu Memakai Kuda Teknik berburu dengan menggunakan kuda terdapat dua jenis alat yang digunakan, yaitu dengan menggunakan tumbak dan jerat. Pada zaman dulu yang menggunakan kuda dalam berburu adat sangat banyak, bisa mencapai puluhan orang. Namun dengan berkembangnya zaman dan adanya nilai ekonomi dari kuda tersebut, saat ini hanya beberapa orang saja yang menggunakan kuda untuk kegiatan berburu. Pada saat ini, masyarakat Suku Baar memelihara kuda untuk dijual ketika membutuhkan uang dalam jumlah cukup besar seperti untuk membuat atau merenovasi rumah dan menyekolahkan anaknya di bangku kuliah. 2. Teknik Berburu Memakai Jerat dan Anjing
22
Edisi IX No.1 Juni 2016
WARTA CENDANA
Pada zaman nenek moyang Suku Baar membuat jerat yang berasal dari tali-talian hutan, hal serupa biasa digunakan oleh masyarakat lokal di Papua (Pattiselanno et al., 2015). Namun seiring berjalannya waktu, jerat yang digunakan mengalami perubahan. Masyarakat Suku Baar menggunakan kawat harmonika, kemudian memakai kawat sling dan terakhir menggunakan kawat rem sepeda motor Pemasangan jerat seperti pada Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3. Model jerat yang digunakan untuk menjerat rusa timor
Orang yang biasa ikut berburu setiap ada kegiatan perburuan adat sudah tahu wilayah pemasangan jerat masing-masing. Titik-titik lokasi pemasangan jerat tidak boleh diambilalih oleh orang lain, kecuali yang bersangkutan tidak datang berburu. Apabila jerat sudah terpasang semuanya, maka anjing mulai dilepaskan untuk mengusir rusa keluar dari
semak-semak yang ada di dalam lembah. Orang yang memasang jerat harus dibekali tumbak atau tempuling (Gambar 4), sehingga kalau ada rusa yang terjerat langsung ditumbak dan disembelih. Tempuling untuk berburu rusa merupakan mata pisau besi berkait yang disambung dengan kayu yang berdiameter sekitar 2 cm dan panjang sekitar 2 m. Tempuling juga digunakan untuk berburu paus. Ukuran tempuling untuk berburu paus lebih besar dibanding tempuling untuk berburu rusa. empuling untuk berburu paus pegangannya berupa bambu sepanjang 4 meter dan mata pisaunya lebih panjang sekitar 60 cm (Indiana, 2013). 3. Teknik Berburu Memakai Banso Banso merupakan salah satu alat berburu rusa yang pernah digunakan nenek moyang Suku Baar. Banso bisa berupa bambu besar (seperti bambu betung) yang dibelah-belah menjadi beberapa bagian dengan lebar sekitar 3 cm dan panjang 160 cm. Kemudian setelah dibelahbelah bambu dihaluskan dan kedua bagian ujungnya diruncingkan. Sepertiga bagian dari banso ditanam di dalam tanah dengan posisi agak miring kemudian ujung banso bagian atas ditandai dengan daun agar tidak kelihatan oleh rusa (Gambar 5).
4. Ilmu berburu Pada zaman nenek moyang Suku Baar dahulu, perburuan adat merupakan salah satu ajang mengadu kekuatan ilmu dalam berburu. Ada mantera-mantera tertentu yang dibaca oleh masing-masing pemburu agar berhasil dalam mendapatkan satwa buruan, bahkan ada juga ilmu yang digunakan agar orang lain yang menjadi pesaing dalam berburu tidak memperoleh satwa buruan. Namun saat ini ilmu-ilmu yang tujuannya negatif sudah mulai ditinggalkan. Masyarakat Suku Baar masih mempercayai bahwa yang memiliki “sekur wakar” mempunyai daya tarik untuk mendapatkan hewan buruan (Gambar 6). Sekur wakar merupakan campuran jahe merah dan beberapa akar ditambah minyak dan disimpan dalam botol kecil. Setiap melakukan perburuan, sekur wakar ini selalu dibawa agar berhasil mendapat satwa buruan.
Gambar 6. Sekur Wakar, ilmu yang digunakan untuk berburu
Batas permukaan tanah
Tempuling
Tumbak
Gambar 4. Tumbak dan tempuling, salah satu alat berburu adat
Gambar 5. Banso, salah satu alat tradisional berburu rusa timor
Aturan Pembagian Daging Hasil Berburu Satwa hasil perburuan tradisional dimanfaatkan secara pribadi oleh pemburu dan keluarganya. Jika ada kelebihan dari daging yang diperoleh tersebut, maka sebagian dijual di wilayah kampung tempat pemburu itu
WARTA CENDANA
Edisi IX No.1 Juni 2016
23
tinggal. Namun kadangkala jika ada pesanan maka satwa hasil buruan dikirim ke Riung atau ke Ibukota Kabupeten Ngada di Bajawa. Pada perburuan adat, satwa hasil buruan selain dinikmati oleh pemburu juga ada bagian yang diperuntukkan untuk keperluan adat dan orang-orang yang ikut berburu. Individu rusa yang pertama kali diperoleh harus dibawa ke kampung diserahkan ke tetua adat (Dor : kepala kampung). Daging rusa ini akan digunakan untuk menjamu para tamu undangan yang datang pada saat upacara larik/caci. Apabila para pemburu mendapatkan lagi rusa hasil buruan maka daging rusa tersebut harus dibagi. Pemburu yang membunuh mendapat bagian lima rusuk ke arah kepala dan kepala. Sedangkan bagian daging punggung, paha (depan dan belakang), rusuk bagian bawah, perut besar, dan hati untuk umum atau semua orang yang ikut berburu. Perburuan Adat dan Tradisional Sebagai Kearifan Lokal Dalam Pelestarian Satwa Liar Penggunaan peralatan dan teknik tradisional pada perburuan adat rusa timor yang dilakukan oleh Masyarakat Suku Baar merupakan salah satu kearifan tradisional dalam perburuan satwa liar. Masyarakat Suku Baar tidak menggunakan senjata modern dalam kegiatan perburuan adat ini karena mereka meyakini bahwa penggunaan peralatan dan teknik tradisional sebagai salah satu cara melestarikan rusa timor. Hal yang sama diungkapkan oleh Pattiselanno dan Mentansan (2010), bahwa praktek kearifan tradisional yang dilakukan oleh Suku Maybrat di Sorong Selatan Pulau Papua, seperti penggunaan alat buru, tempat
24
Edisi IX No.1 Juni 2016
WARTA CENDANA
untuk berburu dan jenis satwa yang diburu secara tidak langsung memberikan dampak positif guna mendukung usaha pelestarian satwa liar. Upaya lain yang dilakukan masyarakat Suku Baar dalam pelestarian rusa timor adalah dengan menerapkan beberapa aturan adat di kawasan Tanjung Torong Padang diantaranya adalah (a) Dilarang mencuri rusa hasil buruan pada saat perburuan adat, kalau ketahuan mencuri maka akan didenda dengan satu ekor kambing dan satu blek beras (sekitar 15 kg); (b) Jika menemukan mbou/komodo (Varanus komodoensis) jangan diganggu; (c) Jika menemukan rusa belang (dipercayai sebagai raja rusa) maka berburu harus dihentikan; (d) Semua orang yang ikut berburu adat harus taat pada aturan adat agar perburuan berhasil dan selamat tidak ada yang celaka; dan (e) Jika melakukan perburuan liar di luar waktu berburu adat maka mereka percaya akan mengalami kecelakaan dan didenda satu ekor kambing dan satu blek beras. Masyarakat Suku Baar berkeyakinan dengan menerapkan aturan adat di kawasan Tanjung Torong Padang, mereka turut mendukung pemerintah dalam pelestarian rusa timor. Dengan adanya aturan adat yang berlaku, tidak sembarangan orang bisa berburu di kawasan Tanjung Torong Padang. Semua masyarakat Suku Baar mengetahui bahwa rusa timor ini termasuk satwa yang dilindungi pemerintah. Namun masyarakat Suku Baar mempunyai keyakinan jika perburuan adat dilakukan hanya sekali dalam setahun maka akan memberi kesempatan pada rusa untuk bisa berkembangbiak lagi. Keyakinan yang sama diakui masyarakat Napan di kawasan Teluk
Cenderawasih, dengan melakukan perburuan hanya pada musim-musim tertentu memberikan kesempatan kepada satwa buruan untuk berkembang biak secara alami (Pattiselanno et al., 2015). Pattiselanno (2008) mengatakan bahwa pemanfaatan satwa liar oleh manusia mempunyai implikasi terhadap pengaturan kondisi populasi satwa liar yang ada di alam. Aktivitas masyarakat lokal dalam perburuan adat dan tradisional menggambarkan etika konservasi untuk memelihara keseimbangan populasi satwa liar yang ada di alam. Karena pertumbuhan populasi yang tidak terkendali akan menyebabkan terjadinya kelebihan populasi dan selanjutnya akan berpengaruh negatif, karena akan terjadinya persaingan yang semakin ketat. Sedangkan, penurunan populasi dapat menyebabkan kepunahan spesies. Solusi lebih lanjut yang dikatakan Angulo dan Villafuerte (2003) adalah jika hasil berburu menunjukkan terjadi gejala penurunan populasi satwa liar maka untuk meningkatkan populasi satwa liar tersebut perlu adanya pembatasan berburu. Para pemburu juga harus mengetahui kelimpahan satwa buru terlebih dahulu sehingga bisa menentukan jumlah satwa yang bisa diburu. Langkah lainnya adalah dengan mengubah waktu berburu, jumlah hari berburu dan intensitas berburu. KESIMPULAN Berdasarkan aspek yang dikaji konsep kearifan tradisional yang selama ini dipraktekan secara turun temurun oleh masyarakat Suku Baar dalam aktivitas perburuan tradisional dan perburuan adat dapat dilihat pada teknik dan penggunaan peralatan berburu, lokasi berburu,
musim dan waktu berburu, dan satwa yang menjadi target perburuan. Masyarakat Suku Baar menerapkan praktek perburuan secara tradisional dan menerapkan aturan adat dalam perburuan adat sebagai upaya ikut menunjang konservasi satwa liar. Potensi ini merupakan bagian dari kekayaan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki masyarakat dalam menunjang program konservasi flora dan fauna khususnya di Nusa Tenggara Timur. Pemerintah bisa mendukung kearifan lokal masyarakat Suku Baar dengan membuat aturan yang mengakomodir dan memperkuat aturan adat yang berlaku di masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Altrichter, M. 2005. The sustainability of subsistence hunting of peccaries in the Argentine Chaco. Biological Conservation 126 (2005) 351–362. Angulo, E. and R. Villafuerte. 2003. Modelling hunting strategies for the conservation of wild rabbit populations. Biological Conservation 115 (2003) 291–301. Bird, D.W., R. B. Bird, and C. H. Parker. 2005. Aboriginal Burning Regimes and Hunting Strategies in Australia's Western Desert. Human Ecology, Vol. 33, No. 4, August 2005. Bungin, Burhan. 2012. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Rajawali Pers – Divisi Buku Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Fischer, A., V. Kerezi, B. Arroyo, M. MateosDelibes, D. Tadie, A. Lowassa, O. Krange, and K. Skogen. 2013. (De)legitimising hunting – Discourses
WARTA CENDANA
Edisi IX No.1 Juni 2016
25
26
Edisi IX No.1 Juni 2016
WARTA CENDANA
Pattiselanno, F. 2007. Perburuan Kuskus (Phalangeridae) oleh Masyarakat Napan di Pulau Ratewi, Nabire, Papua. Biodiversitas Volume 8, Nomor 4 Halaman: 274-278. Schroder, T.O. 1976. Deer in Indonesia. Nature Conservation Dept. Agricultural University Wegeningen – Netherlands. Soemanagara, D.F. 2014. “Elha” Tradisi Berburu Tradisional Orang Sentani. Kategori: Suku. Ditulis oleh Dewi Fadhilah Soemanagara. Dipublish Agustus 8, 2014. Sumber: BPNB Jayapura. (Diakses 27 Februari 2016) Sulaiman, R. Fauzi, A. Sodli, dan A.R. Dahlan. 2011. Menguak Makna Kearifan Lokal Pada Masyarakat Multikultural. Penerbit CV. Robar Bersama. Semarang. Takandjandji, M. dan E. Sutrisno. 2006. Teknik Penangkaran Rusa Timor (Rusa timorensis timorensis) di NTT. Juknis. Aisuli Tahun 2006. Badan Litbang Kehutanan – Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang. Wadley, R.L., and C.J.P. Colfer. 2004. Sacred Forest, Hunting, and Conservation in West Kalimantan, Indonesia. Human Ecology, Vol. 32, No. 3, June 2004.
| RESENSI |
over the morality of hunting in Europe and eastern Africa. Land Use Policy 32 : 261–270. Harrison, M.E., S.M. Cheyne, F. Darma, D.A. Ribowo, and S.H. Limin. 2011. Hunting of flying foxes and perception of disease risk in Indonesian Borneo. Biological Conservation 144 (2011) 2441–2449. Hurtado-Gonzales, J.L. and R.E. Bodmer. 2004. Assessing the sustainability of brocket deer hunting in the TamshiyacuTa h u a y o C o m m u n a l R e s e r v e , northeastern Peru. Biological Conservation 116 : 1-7. Indiana, A. 2013. Berburu Ikan Paus Sejak dengan Kearifan Lokal. adminindie 03/06/2013. (Diakses 27 Februari 2016). Morrison, M.L., B.G. Marcot, and R.W. Mannan. 2006. Wildlife-Habitat Relationships, Concepts and Applications. Third Edition. Island Press. Washington. Covelo. London. Pattiselanno, F., J. Manusawai, A.Y.S. Arobaya, dan H. Manusawai. 2015. Pengelolaan dan Konservasi Satwa Berbasis Kearifan Tradisional di Papua. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol. 22, No.1, Maret. 2015: 106-112 Pattiselanno, F. dan G. Mentansan. 2010. Kearifan Tradisional Suku Maybrat dalam Perburuan Satwa Sebagai Penunjang Pelestarian Satwa. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 14, No. 2, Desember 2010: 75-82. Pattiselanno, F., 2008. Man-wildlife Interaction: Understanding the Concept of Conservation Ethics in Papua. Tigerpaper, Vol. 35: No. 4 Oct-Dec 2008 : 10-12.
Habitat dan Keberanekaragaman
Burung Teluk Kupang Penulis Editor Penerbit Deskripsi Fisik ISBN Resensor
: Oki Hidayat , S.Hut : Maria Rosdalima Panggur, kayat : IPB Press : xii + 58 Halaman : 978-979-493-895-9 : Ali Ngimron, S.Hut, M.Eng
Keberadaan Teluk Kupang memiliki peranan penting bagi entitas di Nusa Tenggara Timur. Tidak hanya masyarakat sekitar yang menggantungkan kebutuhan pada teluk kupang, namun juga satwa – satwa yang ada juga bergantung pada teluk Kupang. Teluk Kupang merupakan habitat dari berbagai macam satwa. Beberapa jenis satwa yang ada di teluk kupang diantaranya adalah burung, serangga, mamalia, reptile dan amfibi. Buku ini merupakan panduan singkat untuk pengenalan habitat dan satwa yang ada di Teluk Kupang. Terdapat lima bagian pembahasan mengenai teluk kupang. Bagian pertama mengulas mengenai profil ekosistem Teluk Kupang. Terdapat beberapa ekosistem yang dapat dijumpai di Teluk Kupang, yaitu ekositem mangrove, Ekosistem Hutan Dataran Rendah, Ekosistem hamparan lumpur, Ekosistem Pantai, ekosistem rawa rumput musiman, Ekosistem Estuaria, Ekosistem tambak dan Ekosistem Persawahan. Bagian kedua menyajikan mengenai nilai penting teluk kupang bagi burung. Hal ini terutama berkaitan dengan kegiatan migrasi burung air. Bagian ketiga mengulas mengenai peluang dan tantangan pengelolaan teluk Kupang. Potensi yang dimiliki oleh Teluk Kupang tidak bisa lepas Dari tantangan yang dapat menyebabkan kerusakan.
Akumulasi sampah di muara sungai, pembangunan yang pesat di sekitar pesisir pantai, penebangan pohon di hutan mengrove dan perburuan satwa liar merupakan penyebab terjadinya lkerusakan di Teluk Kupang. agian keempat menjelaskan petunjuk pengamatan burung. Bab ini mengulas info – info teknis tatacara penangamatan burung di Teluk Kupang. Bagian kelima mengulas deskripsi jenis – jenis burung di Teluk Kupang. Terdapat 20 jenis burung yang diulas berdasarkan nama, suku, status deskripsi, tips identifikasi, habitat dan info tambahan. Ke 20 jenis burung tersebut adalah undan Kacamata (pelecanus conspicillatus), Ibis-sendok raja (Platalearagia), Kuntul kecil (Egrettagarzetta), Cerek topimerah (charadrius ruficapillus), Trinil bedaran (tringa cinereus), Kedidi putih (Calidris alba), Kedidi golgol (Calidris ferruginea), Kedidi paruh-lebar (Limicola falcobellus), Biru-laut ekor-blorok (Limosa lapponica), Terik australia (stiltia isabella), Elang paria (Milvus migrans), Perkutut loreng (Geopelia maugei), Cekakak sungai (todiramphus chloris), Kirik-kirik Australia (Merops ornatus), Layang-layang batu (Hirudotahitica), Apung sawah (Anthus rufulus), Cici padi (Cisticola juncidis), Isap-madu australia (Lichmera indistincta), Burung madu-matari (Nectariasolaris), serta Pipit zebra (Taeniopygia guttata).
WARTA CENDANA
Edisi IX No.1 Juni 2016
27
| GALERI PERISTIWA |
PETUNJUK BAGI
PENULIS BAHASA Naskah artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia, memuat tulisan bersifat popular/semi ilmiah dan bersifat informatif.
FORMAT
Foto Karyawan Balai Litbang LHK Kupang bersama dengan Kepala Badan Litbang dan Inovasi
Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto pada satu permukaan dengan spasi 1,5 dan jumlah karakter maksimal 1.400 karakter. Ukuran tepi kertas disisakan 3,5 – 3,5 – 3 – 3 cm.
JUDUL Judul dibuat tidak lebih dari 2 baris dan harus mencerminkan isi tulisan, Nama penulis dan alamat email dicantumkan dibawah tulisan.
ISTILAH SULIT Istilah – istilah yang jarang digunakan harus diberi keterangan tersendiri agar pembaca mudah memahami
Kegiatan Hari Penanaman di Daerah Oemanunu - Kabupaten Kupang
FOTO Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi judul dan keterangan pada gambar.
GAMBAR GARIS Grafik atau ilustrasi lain yang berupa gambar diberi garis harus kontas dan dibuat dengan tinta hitam. Setiap gambar garsi harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantum-kan tahun penerbitan, sebagai berikut : . Allan, J.E. 1961. The Determination of Copper by atomic Absorbstion of spectrophotometry. Spec-tophotometrim Acta (17), 459-466 Foto Upacara Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 2016 bersama Seluruh UPT Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur
28
Edisi IX No.1 Juni 2016
WARTA CENDANA