PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014
M3P-02
KARAKTERISTIK MINERALOGI DAN PERKEMBANGAN ENDAPAN TRAVERTIN DI DAERAH SIPOHOLON KABUPATEN TAPANULI UTARA, SUMATERA UTARA Dani Mardiati1*, Agung Harijoko1 1
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jl.Grafika No.2 Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia, Tel. 0274-513668, *Email:
[email protected] Diterima 20 Oktober 2014
Abstrak Travertin Sipoholon merupakan salah satu travertin besar di Indonesia. Travertin dijumpai di beberapa tempat seperti SiRia-ria, Sitompul, dan Sipahutar. Travertin siRia-ria berasosiasi dengan mata air panas aktif sedangkan travertin Sitompul-Sipahutar berasosiasi dengan mata air panas yang kecil. Travertin terbentuk sebagai akibat dari pengendapan air geotermal yang kaya akan ion bikarbonat. Penelitian travertin di Sipoholon dilakukan untuk mengetahui karakteristik mineralogi dan perkembangan travertin daerah tersebut. Lokasi penelitian dibagi menjadi dua yakni SiRia-ria dan Sitompul-Sipahutar. SiRia-ria merupakan teras-teras travertin dengan luas 250 x 250 m2. Keduanya dibedakan dari temperatur dan ukuran mineral. SiRia-ria mempunyai ukuran butir mineral yang lebih besar dengan suhu yang lebih tinggi dibandingkan Sitompul-Sipahutar. Berdasarkan analisis petrografi dan XRD travertin di kedua tempat tersusun atas mineral kalsit dan aragonit. Analisis SEM menunjukkan bahwa kalsit penyusun travertin Sipoholon mempunyai bentuk equan, trigonal, dengan porositas yang besar dan tidak memiliki orientasi. Selain itu, pada permukaan kalsit ditemukan adanya Cyanobacteria phormidium yang membentuk filamen. Sedangkan mineral aragonit mempunyai bentuk yang meruncing menyerupai jarum dan ortorombik dengan ukuran kristal 5-20µm. Setelah diendapkan travertin kemudian mengalami proses rekristalisasi. Rekristalisasi tersebut dipengaruhi oleh proses diagenesis yang dipicu oleh struktur geologi. Ukuran kristal kalsit yang halus lebih mudah larut dalam air. Kemudian larutan menjadi jenuh dan mengendapkan kalsit sebagai semen diantara pori-pori mineral. Sehingga rongga mineral terisi dan terjadi proses rekristalisasi. Terdapat setidaknya tiga macam bentuk rekristalisasi di Sipoholon, yakni rekristalisasi travertin berlapis, rekristalisasi di sepanjang rekahan, dan rekristalisasi di dalam gua. Kalsit pada travertin rekristalisasi memiliki bentuk memanjang dan radier. Serta memiliki orientasi mineral yang saling sejajar dan saling tumbuh mengikuti rekahan. Berdasarkan analisis isotop di ketahui bahwa travertin Sipoholon berdasarkan CO2 pembawanya merupakan travertin termogen dimana CO2 berasal dari proses termal dalam bumi. Stratigrafi stravertin menumpang diatas tuf Toba, sehingga travertin Sipoholon diinterpretasikan terbentuk kurang dari 74.000 tahun yang lalu. Kata kunci : Travertin, Karakteristik Mineralogi, Kalsit, Aragonit, Rekristalisasi, Diagenesis.
Pendahuluan Sipoholon merupakan suatu daerah yang terletak di Cekungan Tarutung, Sumatera Utara. Di Sipoholon banyak dijumpai mata air panas dengan temperatur sedang dan keterdapatan teras-teras travertin yang cukup luas (Hochstein dan Sudarman, 1993 Gunderson, 1995 dalam Nukman dan Moeck, 2013). Nukman dan Moeck (2013) meneliti tentang kontrol struktur terhadap keterdapatan Geothermal di Sipoholon. Salah satu manifestasinya adalah mata air panas. Mata air panas di Sipoholon mengendapkan endapan travertin. Proses yang terjadi setelah travertin 606
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ILMU KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014
tersebut diendapkan belum dijelaskan pada penelitian tersebut. Oleh karena itu peneliti berusaha untuk mengetahui karakteristik mineralogi dan perkembangan travertin di Sipoholon. Secara administratif daerah penelitian berada di Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara. Secara geografis terletak pada 98o 54’ 00’’ - 99o 01’ 30’’ BT dan 1o 56’ 00’’ LU sampai 2o 06’ 00’’ LU, atau pada 488.000 mT sampai 504.000 mT dan 215.600 mU sampai 232.100 mU pada sistem koordinat UTM zona 47,belahan bumi utara (Gambar 1). Lokasi penelitian berada di dua lokasi yakni Si Ria-ria dan Sitompul-Sipahutar. Si Ria-ria merupakan singkapan teras-teras travertin dengan luas 250x250 m2. Sedangkan Sitompul-Sipahutar hanya terdapat beberapa titik mata air dengan travertin yang terletak setempat-setempat.
Geologi regional Secara umum, morfologi daerah penelitian merupakan depresi yang memanjang arah barat laut-tenggara yang dikelilingi oleh pegunungan dan perbukitan bergelombang sedang sampai terjal. Di bagian selatan terdapat Gunung Martimbang dan dibagian barat laut terdapat Gunung Palangkagading. Berdasarkan Aldiss dkk (1982) stratigrafi daerah penelitian tersusun atas Tuf Toba, dan endapan aluvial (Gambar 2). Formasi Tuf Toba tersusun atas batuan beku dasit dan batuan piroklastik berupa tuf yang dihasilkan dari erupsi gunung api Toba. Formasi ini berumur kuarter atau sekitar 74.000 tahun yang lalu (Rampino, 1993). Sedangkan endapan aluvial terkonsentrasi di daerah depresi Tarutung yaitu di sepanjang lereng Sungai Sigaeon. Formasi ini terdiri dari pasir, tuf, batuan beku andesit, dan fragmen dengan diameter mencapai 50 cm.
Metode Penelitian Penelitian ini dimulai dengan melakukan studi pustaka mengenai travertin dan mata air panas di Sipoholon sehingga menghasilkan suatu hipotesis. Hipotesis tersebut akan diuji kebenarannya dengan penelitian di lapangan. Kerja lapangan dimulai pada tanggal 30 september hingga 8 oktober 2013. Pada lokasi penelitian dilakukan pengamatan kondisi geologi, travertin, dan mata air panas sehingga dihasilkan suatu peta persebaran travertin dan mata air panas yang ditampalkan dengan peta geologi. Pada lokasi penelitian juga dilakukan pengambilan sampel fluida dan batuan. Sampel fluida diambil untuk mengetahui geokimia fluida di Sipoholon. Sampel batuan dianalisis menggunakan 4 metode yang berbeda. Analisis petrografi untuk mengetahui bentuk dan hubungan antar mineral di dalam travertin. Analisis X-Ray Diffraction (XRD) untuk mengetahui komposisi mineral penyusun travertin. Analisis Scanning Electron Microscope (SEM) untuk mengetahui komposisi dan karakteristik mineralogi travertin. Terakhir, analisis isotop 13C dan 18O untuk mengetahui jenis travertin di Sipoholon berdasarkan CO2 pembawa.
Hasil penelitian Berdasarkan observasi di lapangan didapatkan data berupa manifestasi mata air panas, travertin, sulfur, rekahan batuan, dan tuf.
607
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ILMU KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014
Manifestasi mata air panas Mata air panas di lokasi penelitian berwarna jernih dengan suhu 44,5-64,4°C. Mata air panas di Si Ria-ria memiliki suhu mulai dari 44.5-64.4°C sedangkan suhu mata air panas di Sitompul-Sipahutar berkisar antara 35.7-48.7°C. Diameter mata air panas bervariasi mulai 5 cm hingga 3 meter (Gambar 3). Travertin Travertin yang ditemukan di lokasi penelitian terdiri dari tiga jenis, yakni endapan travertin baru dimana proses pengendapannya masih berlangsung hingga sekarang, travertin perlapisan, dan travertin rekristalisasi. Travertin endapan baru berada di sekitar lubang mata air panas dan membentuk terasteras. Teras tersebut mempunyai ukuran yang beragam. Mulai cm hingga meter. Ketebalan endapan travertin baru juga bervariasi bergantung pada tingkat pengendapan. Endapan travertin ini masih sangat lunak serta memiliki warna yang beragam, mulai dari putih, coklat kekuning-kuningan, hingga hijau lumut. Perbedaan warna pada permukaan travertin disebabkan oleh adanya mikroorganisme. Travertin berlapis pada lokasi penelitian mempunyai warna putih kecoklat-coklatan dengan ketebalan tiap lapisan mulai dari 2 cm hingga 15 cm. Perlapisan travertin tersebut masih lunak atau belum mengeras (Gambar 4.A). Travertin rekristalisasi di lokasi penelitian dicirikan dengan kenampakan yang keras dan dibedakan menjadi 3 jenis yakni travertin rekristalisasi yang ada di zona rekahan, travertin rekristalisasi yang berlapis, serta travertin rekristalisasi yang ditemukan di dinding gua. Travertin rekristalisasi yang berada di zona rekahan batuan memanjang mengikuti zona rekahan. Warna secara umum coklat keputih-putihan, terdiri atas beberapa lapis sebagai hasil dari beberapa kali proses pengendapan di sepanjang rekahan (Gambar 4.B). Travertin rekristalisasi berlapis mempunyai struktur perlapisan, berwarna coklat muda, serta mempunyai rongga-rongga. Perbedaan antara travertin berlapis dengan travertin rekristalisasi berlapis adalah travertin rekristalisasi berlapis lebih keras dari pada travertin berlapis yang belum rekristalisasi. Travertin rekristalisasi di dalam gua membentuk stalaktit dan stalagmit. Travertin ini mempunyai ciri khas memiliki struktur yang radier atau melingkar (Gambar 4.C).
Pembahasan Karakteristik mineralogi Analisis Petrografi dan XRD menunjukkan bahwa komposisi mineral pada travertin Si Ria-ria dan Sitompul-Sipahutar tersusun atas mineral kalsit dan aragonit. Namun, ukuran kristal di Si Ria-ria lebih besar dari pada Sitompul-Sipahutar. Perbedaan ukuran kristal ini menurut Pentecost (2005) diakibatkan oleh kondisi pergerakan air dan tingkat kejenuhan. Pada travertin Si Ria-ria, membentuk morfologi teras yang mengakibatkan kondisi pergerakan air sedikit dengan tingkat kejenuhan yang rendah sehingga ukuran kristal yang terbentuk besar. Sedangkan travertin Sitompul-Sipahutar kondisi pergerakan air lebih dinamis sehingga ukuran kristal yang terbentuk lebih kecil. Berdasarkan analisis petrografi dan SEM (Scanning Electron Microscope), travertin yang belum mengalami rekristalisasi mempunyai bentuk yang equan (dimensi panjang dan lebar relatif sama). Mempunyai ukuran mulai dari 50 µm hingga 0,2 mm dengan sistem kristal trigonal rhombohedral (Gambar 5.A). Sedangkan mineral aragonit mempunyai
608
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ILMU KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014
bentuk memanjang menyerupai jarum dengan ukuran butir 5-20 µm. Sistem kristal aragonit adalah ortorombik dengan pertembuhan kristal pada sumbu c-nya dengan porositas yang tinggi (Gambar 5.B). Mineral kalsit dan aragonit juga ditemukan secara bersama-sama (Gambar 5.C). Namun mineral kalsit lebih sedikit dibandingkan dengan mineral aragonit.Fouke dkk (2000) pada penelitiannya di mata air panas Mammoth mengemukakan bahwa kalsit dan aragonit dapat terbentuk bersama-sama pada suhu antara 30-43°C. Dibawah suhu 30°C hanya kalsit yang dapat terbentuk. Suhu 30-43°C merupakan suhu transisi antara kalsit dan aragonit sehingga sangat memungkinkan kalsit dan aragonit ditemukan bersama. Sedangkan pada kalsit yang sudah mengalami reksristalisasi mempunyai permukaan kristal yang tidak teratur, hubungan antar kristal saling tumbuh dengan porositas yang rendah. Selain itu kalsit rekristalisasi mempunyai orientasi yang baik mengikuti bidang rekahan batuan. Selain itu, kebanyakan travertin sering berasosiasi dengan cyanobakteria. Pada lokasi penelitian Si Ria-ria juga ditemukan adanya organisme tersebut. Analisis SEM menunjukkan bahwa cyanobakteria membentuk koloni berada di permukaan mineral kalsit. Cyanobakteria tersebut menyerupai filamen yang disebut dengan Phormidium (Gambar 5.D). Perkembangan travertin Berdasarkan observasi di lapangan, travertin di Sipoholon mengalami perkembangan. Mulai dari endapan travertin baru, berlapis, hingga travertin rekristalisasi. Travertin baru terbentuk ketika air geotermal yang banyak mengandung ion bikarbonat sampai ke permukaan yang memiliki CO2 dengan tekanan parsial yang lebih rendah dari pada larutan, maka CO2 akan lepas melalui proses evaporasi dan segera mengendapkan karbonat (CaCO3). Struktur pengendapan yang terbentuk pada travertin tergantung dari morfologi dimana ia diendapkan. Ketika morfologinya miring, maka travertin akan terendapkan lapis demi lapis sehingga akan menghasilkan struktur perlapisan. Setelah itu, ketika air meteorik masuk ke dalam pori-pori travertin maka travertin akan mengalami proses rekristalisasi. Sebagian travertin yang mengalami rekristalisasi berdekatan dengan zona rekahan batuan. Karena pada zona tersebut, air meteorik akan lebih mudah masuk kedalam endapan travertin. Kemudian air meteorik masuk ke pori-pori batuan mengendapkan semen kalsit dan travertin menjadi semakin keras pada zona-zona rekahan. Sementasi merupakan hal yang penting dalam proses rekristalisasi. Sementasi merupakan proses pertumbuhan mineral kalsit pada rongga pori primer (Mcllreath dan Morrow, 1990). Pada lokasi penelitian, ditemukan 3 macam jenis travertin rekristalisasi. Yakni rekristalisasi travertin berlapis, reksristalisasi travertin di sepanjang rekahan batuan, dan rekristalisasi di dalam gua. Pada travertin berlapis banyak ditemukan rongga batuan yang memungkinkan air meteorik untuk dapat masuk ke dalam travertin. Air tersebut yang akan melarutkan kristal kecil kalsit kemudian mengendapkannya kembali di rongga antar butir.Rekristalisasi travertin di sepanjang rekahan batuan merupakan yang paling umum dijumpai pada lokasi penelitian. Seperti yang telah diketahui bahwa rekahan merupakan pintu terbaik bagi air meteorik untuk masuk ke dalam travertin dengan melarutkan mineral karbonat yang dilewatinya untuk kemudian mengendapkanya kembali di rongga antar pori. Kemudian yang ketiga adalah rekristalisasi travertin di dalam gua. Rekristalisasi ini pada mulanya diawali dengan adanya rekahan pada travertin yang memudahkan air untuk masuk.
609
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ILMU KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014
Jenis travertin berdasarkan CO2 pembawa Jenis travertin berdasarkan CO2 pembawa dibagi menjadi dua yakni travertin meteogen dan travertin termogen. Travertin meteogen CO2 pembawanya berasal dari tanah (soil) selama tanahnya mengandung karbondioksida dari atmosfer. Sedangkan travertin termogen, CO2 pembawanya berasal dari proses termal yang ada di dalam bumi seperti proses magmatik, metamorfisme (dekarbonisasi), dan CO2 dari material organik yang terpanaskan. Kedua jenis travertin tersebut dapat dibedakan berdasarkan hasil analisis 13C dan 18O. Travertin meteogen mempunyai nilai δ13C sekitar -10‰ dengan komposisi Ca2+ sebesar 160 ppm. Sedangkan untuk travertin termogen mempunyai nilai δ13C sekitar -1‰ hingga +10‰ dengan komposisi Ca2+ adalah 80-800 ppm. Meteogen travertin mempunyai nilai δ18O mulai dari +3 hingga -9‰ sedangkan termogen travertin mempunyai nilai δ18O mulai dari +5 hingga -24‰ (Gambar 7) Berdasarkan analisis isotop 13C dan 18O pada travertin, kandungan Ca2+, HCO3-, DIC (dissolved Inorganic Carbon), dan morfologi sekitar di Sipoholon, dibandingkan dengan travertin meteogen dan termogen standar didapatkan hasil seperti pada tabel 1. Berdasarkan tabel 1. dapat disimpulkan bahwa travertin yang ada di lokasi penelitian merupakan travertin termogen dimana CO2 “pembawa” nya berasal dari proses termal yang ada di dalam bumi. Lokasi penelitian merupakan jalur yang dilalui oleh sesar sumatera, maka banyak terjadi struktur-struktur geologi yang ada di daerah tersebut. Ketika batuan mengalami kekar maupun sesar, maka akan terjadi penurunan tekanan di sepanjang sesar atau kekar. Penurunan tekanan tersebut mengakibatkan adanya boiling di bawah permukaan bumi. Proses boiling mengakibatkan pelepasan gas CO2. Ketika terdapat batuan karbonat atau batuan yang banyak mengandung Ca dilewati oleh CO2 tersebut, maka karbon dioksida akan bereaksi dengan batuan dan menjadi larutan bikarbonat. Adanya proses magmatisme sendiri dibuktikan dengan adanya pengendapan sulfur yang ada di lokasi penelitian. Sulfur akan terendapkan jika ada kandungan gas H2S di dalam bumi. Sedangkan gas H2S dalam komposisi yang banyak berasal dari proses magmatisme. Kemudian berdasarkan geologi regional, batugamping Formasi Alas juga dapat menjadi sumber CO2 yang membentuk travertin. Oleh karena itu, dapat diinterpretasikan bahwa sumber CO2 yang membentuk travertin dapat berasal dari proses magmatisme dan batugamping formasi Alas. Sedangkan batuan yang banyak mengandung Ca sendiri, berdasarkan geologi regional diinterpretasikan bahwa formasi alas (batugamping) merupakan sumber batuan karbonat batuan yang mengakibatkan pengendapan travertin di Sipoholon. Namun demikian, tuf Toba yang ada di bawah travertin juga memungkinkan sebagai sumber Ca yang membentuk travertin. Dimana Ca tersebut dapat berasal dari mineral plagioklas yang ada di tuf. Oleh karena itu, Ca yang membentuk travertin dapat berasal dari batugamping formasi alas dan batuan vulkanik tuf Toba. Umur relatif travertin Berdasarkan pengamatan litologi sekitar yang ada di lokasi penelitian, terdapat adanya kontak travertin Sipoholon dengan Tuf. Tuf tersebut berdasarkan geologi regional termasuk kedalam tuf Toba yang mempunyai umur 74.000 tahun yang lalu (Rampino, 1993). Berdasarkan kontak tersebut travertin berada di atas tuf Toba tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa travertin tersebut terendapkan setelah terbentuknya tuf
610
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ILMU KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014
Toba. Sehingga umur relatif dari travertin tersebut adalah kurang dari 74.000 tahun yang lalu.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa karakteristik mineralogi travertin Sipoholon adalah Travertin Sipoholon tersusun atas kalsit dan aragonit. Kalsit di Si Ria-ria memiliki ukuran kristal yang lebih besar dari Sitompul Sipahutar karena pergerakan air yang sedikit dan tingkat kejenuhan tinggi. Kalsit berbentuk equan, trigonal, porositas tinggi dengan keterdapatan Cyanobakteria Phormidium di permukaannya.Sedangkan aragonit berbentuk menjarum dengan sistem kristal ortorombik dan memiliki porositas yang tinggi. Travertin berkembang mulai dari endapan baru perlapisan, hingga rekristalisasi dan terbentuk kurang dari 74.000 tahun yang lalu. Jenis travertin berdasarkan sumber pembawa CO2 adalah travertin termogen.
Daftar Pustaka Aldiss, D.T., Whandoyo, R., Ghazali, S.A,. dan Kuyono., 1993, Peta Geologi Lembar Sidikalang dan (sebagian) Sinabang, Sumatera. Bandung, Pusat Penelitian dan Pengambangan Geologi Bakosurtanal, 1982, Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar 0618-32 (Tarutung), Bogor, Bakosurtanal Chafetz, H.S and Folk, R.L., Travertines : Depotitional Morphology and The Bacterially Constructed Constituents Faure, G, 1998, Principle and Application of Geochemistry, USA, Prentice Hall Fouke, B.W., Farmer, J., Des Marais, D.J., Pratt, L., Sturchio, N.C., Burns, P.C., dan Discipulo, M.K., 2000, Depotitional Facies and Aqueous-Solid Geochemistry of Travertine-Depositing Hot Springs (Angel Terrace, Mammoth Hot Spring, Yellowstone national Park, U.S.A. Jurnal of Sedimentary Research, p 565-585 Hoefs, J., 1996, Stable Isotope Geochemistry, Berlin, Springer Leeman, W.P., Doe, B.R., Joseph, W., 1997, Radiogenic and Stabil Isotope Studies of Hot Spring Deposits in Yellowstone National Park and Their Genetic Implications, Geochemical Journal, Vol. 11, pp.65-74 Mcllreath, I.A. dan Morrow, D.W., 1990, Diagenesis. Canada, Geoscience Canada Nukman, M dan Moek. I., 2013, Structural Controls on Geothermal System in The Tarutung Basin, North Central Sumatera, Jurnal of Asian Earth Science 74, 86-96 Okumura, T., Takashima, C., Shiraisi, F., Akmaluddin, Kano, A., 2012, Textural Transition in an Aragonite Travertine Formed UNDER Various Flow Conditions at Pancuran Pitu, Central Java, Indonesia, Sedimentary Geology, 265-266 p. 195-209 Pedley, H.M., Ford T.D., 1996, A Review of Tufa and Travertine Deposits of the World. Earth Science Review 41, pp 117-175 Pentecost, A., 2005, Travertine, London, Springer Rampino, M.R., Self, S., 1993, Climate-Volcanism Feedback and The Toba Eruption of 74.000 Years Ago, Quartenary Research, Elsevier Sawada, K., 1997, The Mechanism of Crystallization and Transformation of Calcium Carbonates, Pure & Appl, Chem., Vol. 69, No. 5, pp 921-928
611
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ILMU KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014
Setyawan, A., Ehara. S., Fujimitsu, Y., Nishijima, J., 2010, An Estimate of Resources Potential of Ungaran Geothermal Prospect for Indonesia Power Generation, Proceedings World Geothermal Congress 2010 Sieh, K., Natawidjaja, D., 2000, Neotectonics of the Sumatran Fault, Indonesia, Journal of Geophysical Research, Vol. 105, No. B12, pp.28,295-28,326 Sundhoro, H., Sulaeman, B., lim, D., 2010, Travertine Deposits Indicated of a Medium Enthalpy for Geothermal Reservoir Beneath Dolok Marawa Area, Simalungun, North Sumatera Province-Indonesia, Proceeding World Geothermal Congress 2010
Tabel 1. Perbandingan antara travertin standar meteogen dan termogen dengan sampel travertin Sipoholon (Pentecost, 2005) Parameter 13
δ C (‰)
Meteogen -10‰
Termogen -1 s/d +10
Sampel +5.74 s/d +11.51
612
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ILMU KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014
δ18O (‰)
+3 s/d -9
+5 s/d -24
-9.75 s/d -15.46
Ca2+ (ppm)
160
80 s/d 800
399,2 s/d 406,8
HCO3-
<8 mmol/L
10s/d 100
16,405 s/d 16,687
mmol/L
mmol/L
12 s/d 50
20,4 s/d 31,8
mmol/L
mmol/L
DIC (dissolved Inorganic
<1-8 mmol/L
Carbon) Morfologi
Kerak
sungai, Mound dan
teras sungai
fissure ridges
Mound dan fissure ridges
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
613
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ILMU KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014
Gambar 2. Peta geologi ditampalkan dengan struktur dan mata air panas (kiri) dan skema stratigrafi Cekungan Tarutung (kanan) (Nukman dan Moeck, 2013)
Gambar 3. Mata air panas di Sipoholon.
614
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ILMU KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014
Gambar 4. (A) Rekristalisasi yang ada di dalam gua, (B)Travertin berlapis, (C) Travertin rekristalisasi yang berada di zona rekahan batuan.
615
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ILMU KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014
Gambar 5. Hasil analisis Scanning Electron Microscope (SEM) travertin Sipoholon. (A) Kalsit; (B) Aragonit; (C) Kalsit dan aragonit; (D) Filamen cyanobakteria
616
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ILMU KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014
Gambar 6. Peta persebaran mata air panas dan travertin di Sipoholon
Gambar 7. Grafik perbedaan nilai isotop (A) meteogen (B) termogen (Pentecost, 2005)
617