1
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Lembaga Pemasyarakatan
(LAPAS) merupakan suatu tempat untuk
melakukan pembinaan terhadap narapidana di Indonesia. Sebelum dikenal istilah LAPAS di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Sistem kepenjaraan kita yang sebelumnya berdasarkan Gestichten reglement S.1917 no 708 yang jelas-jelas tidak sesuai dengan konstitusi Negara Indonesia yaitu UUD 1945, telah berangsur-angsur dirubah dan diperbaiki. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan telah dihapus dan diubah dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. dimana sistem pembinaan bagi Narapidana telah berubah dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Perubahan dari Rumah Panjara menjadi Lembaga Pemasyarakatan, bukan sematamata hanya secara fisik merubah atau mendirikan bangunannya saja, melainkan yang lebih penting menerapkan konsep pemasyarakatan. Pemikiran mengenai fungsi hukuman penjara dicetuskan oleh Sahardjo pada tahun 1962 kemudian ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 27 April 1964 yang tercermin didalam Undangundang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 1
1
www. hukumonline.com Esensi lembaga pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana http://hmibecak.wordpress.com//diakses 29 mei 2007.
2
Dalam penjelasan Undang-Undang
Nomor 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan (yang selanjutnya disingkat dengan UU No.12 Th 1995) telah dijelaskan bahwa sistem pemasyarakatan merupakan satu kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum pemidanaan. Sayangnya masalah pemidanaan merupakan masalah yang kurang mendapat perhatian dalam perjalanan hukumnya, bahkan ada yang menyatakan sebagai anak tiri. Padahal hal tersebut berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memungkinkan dapat dijatuhkannya pidana, maka masalah pemidanaan dan pidana merupakan masalah yang sama sekali tidak boleh dilupakan. Bagian yang terpenting suatu kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah stelsel pidananya. Stelsel pidana yang terdapat dalam KUHP tersebut dapat dijadikan ukuran sampai seberapa jauh tingkat peradaban suatu bangsa yang bersangkutan. Stelsel pidana tersebut memuat aturan-aturan tentang jenis-jenis pidana dan juga memuat aturan tentang ukuran dan pelaksanaan pidana itu. Dari jenis, ukuran dan cara pelaksanaannya itu dapat dinilai bagaimana sikap bangsa itu melalui pembentukan undang-undangnya dan pemerintahannya terhadap warga negara masyarakatnya sendiri atau terhadap orang asing yang telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan pidana.2 UU No.12 Th 1995 merupakan induk dari sistem pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, kemudian pengaturan khusus dalam pembinaan dan pembinaan narapidana yang selanjutnya disebut dengan (Napi) merupakan bagian 2
Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, hal 2.
3
dari warga binaan pemasyarakatan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan serta Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal 1 angka 2 UU No.12 Th 1995 memberikan penjelasan mengenai sistem pemasyarakatan yaitu sebagai berikut : Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab. Fungsi LAPAS adalah membina narapidana agar menjadi manusia yang berkualitas, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, yang memiliki kesadaran beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, memiliki kemampuan intelektual dan kesadaran hukum. Sebagai lembaga pembangunan, LAPAS bertugas membentuk narapidana sebagai manusia pembangunan yang produktif, baik selama didalam LAPAS maupun setelah berada kembali dimasyarakat. Namun demikian dengan berjalannya waktu tampak jelas bahwa tujuan pembianaan napi ini banyak menghadapi hambatan dan berimplikasi pada kurang
4
optimalnya bahkan dapat dikatakan dapat menuju pada kegagalan fungsi sebagai lembaga pemasyarakatan.3 Perkembangan masyarakat yang semakin komplek ini juga diiringi dengan munculnya berbagai bentuk tindak pidana baru dan juga semakin meningkatnya baik kualitas maupun kuantitas tindak pidana, yang pada muaranya nanti juga akan berimbas kepada semakin bertambahnya jumlah warga masyarakat yang akan menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan yang seharusnya sebagai wadah atau tempat untuk melakukan pembinaan kepada warga binaan tentunya tidak akan bisa menjalankan fungsinya secara maksimal yang disebabkan oleh kelebihan penghuni. Dengan semakin banyaknya napi yang berada di lembaga pemasyarakatan pada akhirnya juga akan mengakibatkan lembaga pemasyarakatan menjadi penuh dan dapat mengalami “over capacity” (kelebihan kapasitas). Kondisi lembaga pemasyarakatan kelas IIA di Purwokerto saat ini masih mengalami kelebihan kapasitas atau kelebihan hunian, karena kapasitas di lembaga pemasyarakatan kelas IIA Purwokerto hanya 200 tahanan dan napi sedangkan jumlah napi dan tahanannya mencapai 360 orang, sehingga kondisi di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto
3
Angkasa. 2010. Over Capacity Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Jurnal Dinamika Hukum; Unsoed. hal 212.
5
sangat memprihatinkan. Daya tampung yang tersedia sudah over capacity (melebihi kapasitas). Narapidana yang menghuni kamar LAPAS terpaksa berdesak-desakan.4 Peningkatan jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan ini tidak diiringi dengan peningkatan kapasitas LAPAS. Persoalan kelebihan kapasitas di hampir seluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia tentunya mengundang keprihatinan dan kritikan dari berbagai pihak. Dimana persoalan kelebihan kapasitas ini dapat mempengaruhi efektifitas pembinaan terhadap narapidana didalam lembaga pemasyarakatan. Atas dasar uraian di atas penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian lebih jauh tentang “PEMBINAAN NARAPIDANA PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN YANG MELEBIHI KAPASITAS” (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto). B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pembinaan narapidana pada lembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto? 2. Bagaimanakah efektivitas Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto dalam upaya memaksimalkan pembinaan narapidana?
4
Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto Segera Dipindah.http://www.suaramerdeka.com.online diakses 27 april 2009
6
C. TUJUAN PENELITIAN Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetaui bagaimanakah pembinaan narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto yang melebihi kapasitas. 2. Untuk mengetahui efektivitas lembaga pemasyarakatan dalam upaya memaksimalkan pembinaan narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan
Purwokerto. D. KEGUNAAN PENELITIAN Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis a. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat dan kita semua tentang pentingnya
mengetahui
pembinaan
narapidana
pada
lembaga
pemasyarakatan yang melebihi kapasitas (over capacity). b. Untuk memberikan informasi kepada kita semua, bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang melebihi kapasitas (over capacity) akan menimbulkan dampak yang negatif bagi narapidana dalam pelaksanaan pembinaannya. 2. Kegunaan Praktis
7
a. Untuk memberikan masukan dan sumbangan pikiran yang berguna bagi civitas akademika maupun masyarakat mengenai pembinaan narapidana pada lembaga pemasyarakatan yang over capacity. b. Untuk memberikan masukan kepada para penegak hukum, khususnya para petugas lembaga pemasyarakatan (LAPAS) agar dapat membimbing dan membina para narapidana dengan layak dan sesuai aturan yang berlaku.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.
Pemidanaan, Tujuan Pemidanaan, dan Teori-teori Pemidanaan a. Definisi Pemidanaan Pemidanaan adalah suatu upaya terakhir dalam pemberian sanksi terhadap pelaku kejahatan. Baiknya pemidanaan hanya dialkukan apabila norma
yang
bersangkutan
begitu
penting
bagi
kehidupan
dan
kemerdekaan anggota masyarakat lainnya. Suatu pidana dijatuhkan oleh hakim, tidak terlepas dari tujuan dijatuhkannya pidana tersebut bagi narapidana yang bersangkutan. Dalam perkembangan hukum pidana, tujuan pidana pada dasarnya dapat dilihat dari tiga kategori, yaitu: 5 1. Teori Absolut atau teori pembalasan Teori absolut adalah teori tertua dan telah berlangsung beberapa abad. Menurut teori ini, pidana dipandang sebagai pembalasan terhadap orang yang telah melakukan tindak pidana. Dalam hal ini pembalasan harus dilihat sebagai suatu reaksi keras, yang bersifat emosional dan irrasional. Nigel Walker member tiga pengertian mengenai pembalasan (retribution), yaitu retaliatory retribution (berarti dengan sengaja
5
Masruchin rubai, 1997, Mengenal Pidana Dan Pemidanaa, Malang, IKIP, hal. 5.
9
membebankan suatu penderitaan yang pantas diderita oleh seseorang penjahat dan yang mampu menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang dilakukannya), distributive retribution (berarti pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan) dan quantitative retribution ( berarti pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan, sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak melampaui tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang dilakukan) 2. Teori Relatif atau teori tujuan Teori relatif berusaha mencari pembenar dari suatu pidana, semata-mata pada suatu tujuan tertentu. Para pengajar teori relatif ini tidak melihat pidana itu sebagai pembalasan, dank arena itu diketahui bahwa pemidanaan itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain dari pada pemidanaan itu sendiri. Dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang berbuat jahat) melainkan “ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan. 6 Menurut teori ini, hukum pidana bertujuan untuk mencegah dan mengurangi tingkah laku penjahat. Pidana dimaksudkan untuk
6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung , Alumni, hal 16.
10
mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang melakukan kejahatan. 3. Teori Pembinaan Menurut teori pembinaan tujuan pidana adalah untuk merubah tingkah laku atau kepribadian narapidana agar meninggalkan kebiasaan jelek yang bertentangan dengan norma-norma hukum serta norma-norma yang lain dan agar supaya ia lebih cenderung untuk mematuhi norma-norma yang berlaku b. Tujuan Pemidanaan Efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat, meliputi mencegah,
mengurangi
atau
mengendalikan
tindak
pidana
dan
memulihkan keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat) dan aspek perbaikan dari pelaku, meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum. 7.
7
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rpampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung , Citra Aditya Bakti, hal. 224.
11
Ada 3 (tiga) pokok pikiran tentang tujuan yang akan dicapai dengan adanya suatu pemidanaan, yaitu: 1). Untuk memperbaiki dari kejahatannya pelaku itu sendiri; 2). Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan suatu tindak kejahatan; 3). Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lain, yakni penjahat-penjahat dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi. c. Teori Pemidanaan Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman dalam hukum pidana dikenal ada tiga aliran yaitu: 1. Absolute atau vergeldings theorieen (vergelden/imbalan) Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban. 2. Relative atau doel theorieen (doel/maksud, tujuan) Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan
12
pemidanaan itu, artinya teori ini mencari mamfaat daripada pemidanaan (nut van de straf) 3. Vereningings theorieen (teori gabungan) Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan daripada hukum. 8 2.
Pengertian Pembinaan Narapidana, Sistem Pemasyarakatan dan Fungsi Pemasyarakatan a. Pengertian Pembinaan Narapidana
Pengertian narapidana adalah seseorang yang melakukan tindak kejahatan dan telah menjalani persidangan, telah divonis hukuman pidana serta ditempatkan dalam suatu bangunan yang disebut lembaga pemasyarakatan9 Pembinaan ialah segala upaya dan usaha yang dilakukan untuk memberi dan meningkatkan keahlian atau keterampilan, pengetahuan, sikap mental dan dedikasi. Sehingga mereka yang dibina dapat menjalankan dan memahami apa yang diberikan. Pembinaan sendiri dapat 8
Satochid Kartanegara, 2001, Hukum Pidana Bagian Satu, Jakarta, Balai Lektur Mahasiswa, hal.
9
www.psychologymania.com. Pengertian narapidana diakses oktober 2012
56.
13
dilakukan melalui beberapa cara misalkan pengarahan, bimbingan, pengembangan, dorongan dan kontrol untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pembinaan dapat dilakukan baik melalui pendidikan formalinformal, pelatihan dan kursus. Meningkatkan keahlian atau keterampilan dan ilmu agar tercapai suatu pribadi yang tangguh pada spesialisasi usaha dan pekerjaannya. Sebagai suatu negara yang menganut hukum sebagai alat mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara maka pembinaan terhadap masyarakat akan pentingnya mentaati segala peraturan hukum yang berlaku perlu diberikan. b. Pelaksanaan Pemasyarakatan Sistem Kepenjaraan adalah tujuan dari pidana penjara, dan tujuan dari pidana penjara maksudnya adalah untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan10. Namun demikian, dalam kenyataanya bekas narapidana yang sudah habis massa perlakuannya, kemudian kembali ke masyarakat, masih ada yang mengulangi perbuatannya, maka dari itu sistem Kepenjaraan diubah menjadi sistem
Pemasyarakatan.
membantu
proses
Disamping
perubahan
memelihara
masyarakat
guna
ketertiban mencapai
yang tujuan
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 yang lebih menghormati azas kemanusiaan.
10
A. Widiana Gunakaya, 1988, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Bandung, CV Armico, hal. 43.
14
Menurut Pasal 1 angka 1 : Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. 11 c. Fungsi Pemasyarakatan Dalam Pasal 3 Kepmenkeh. RI. Nomor M-01-Pr-07-03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan Lembaga pemasyarakatan dalam menjalankan tugasnya lembaga pemasyarakatn tersebut memiliki fungsi, yaitu : 1)
melakukan pembinaan narapidana/anak didik;
2)
memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja;
3)
melakukan bimbingan sosial/kerokhaniaan narapidana/anak didik;
4)
melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib Lembaga Pemasyarakatan;
5)
melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Berdasarkan ketentuan umum undang-undang No.12 Tahun 1995
tentang
pemasyarakatan
bahwa
pembinaan
para
Pemasyarakatan harus dilaksanakan berdasarkan azas: a) pengayoman; b) persamaan perlakuan dan pelayanan 11
UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Pemasyarakatan
warga
binaan
15
c) pendidikan; d) pembinaan; e) penghormatan harkat dan martabat manusia; f) kehilangan kemerdekaan merupakan penderitaan satu-satunya; g) terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu. 3.
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan mempunyai fungsi strategis dan potensial untuk memperbaiki pelanggaran hukum atau narapidana melalui pembinaan. Lembaga Pemasyarakatan bukan saja tempat untuk semata-mata untuk memidana orang melainkan juga sebagai tempat untuk membina dan mendidik orang-orang terpidana agar mereka setelah menjalankan pidananya, mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar Lembaga Pemasyarakatan sebagai warga Negara yang baik dan taat kepada hukum yang berlaku. Pada dasarnya Pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan didasarkan atas prinsip-prinsip sistem pemasyarakatan untuk merawat, membina, mendidik dan membimbing warga binaan dengan tujuan agar menjadi warga yang baik dan berguna. 12 Dalam proses pembinaan narapidana di Lembaga
12
Penjelasan PP No.32 tahun 1999 tentang Syarat Dan Tatacara Pelaksanaan Hak Waga Binaan Pemasyarakatan
16
Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai,yaitu: a. Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dan ruangan yang cukup guna menampung para narapidana sehingga dapat
mendukung proses
pembinaan yang sesuai harapan. Dengan adanya contoh tentang keadaan sarana
gedung
Lembaga
Pemasyarakatan
tepatnya
di
Lembaga
Pemasyarakatan Purwokerto ini yang melebihi kapasitas dimana Lembaga Pemasyarakatan yang idealnya terisi 200 orang kini dihuni 360 narapidana. Hal ini akan mengakibatkan hak-hak narapidana kurang terpenuhi, karena hak-hak narapidana dilindungi oleh UU No. 12 Tahun 1995, dimana dalam Pasal 14 Undang-Undang tersebut mengatur tentang hak-hak yang dimiliki oleh narapidana. Adapun hak-hak tersebut yaitu: a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan; f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
17
i.
mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j.
mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat; l.
mendapatkan cuti menjelang bebas dan;
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 13 b. Berkenaan dengan masalah petugas pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat jumlah petugas dan penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto tidak lah seimbang. Dari apa yang telah dijelaskan diatas bahwa untuk dapat mengurangi narapidana mengulangi kejahatannya itu peran petugas dalam Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan guna melakukan pembinaan terhadap narapidana, namun bukan hanya petugas saja yang menjadi faktor pendorong terciptanya pembinaan narapidana, gedung juga menjadi faktor penting pembinaan narapidana. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan.
13
Pasal 12 UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
18
BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan pendekatan analisis yuridis sosiologis (social legal approach), dimaksudkan sebagai pemaparan dan pengkajian hubungan aspek hukum dengan aspek non hukum dalam bekerjanya hukum di dalam kenyataan. Pendekatan analisis yuridis sosiologis adalah pendekatan dengan menganalisis mengenai pembinaan narapidana dilembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas. Dalam penelitian ini, peneliti akan terfokus pada pelaksanaan pembinaan narapidana pada lembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas di lembaga pemasyarakatan Purwokerto. Dilakukannya penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kejelasan mengenai efektivitas pelaksanaan pembinaan pada lembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di lembaga pemasyarakatan Purwokerto. 2. Metode Penelitian Penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Dalam penelitian kualitatif diperoleh data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari informan atau orang-orang dan perilaku yang
19
diamati. Data tertulis dari informan dan perilakunya dalam hal ini adalah berkaitan dengan bagaimana dan sejauh mana pembinaan narapidana dilembaga pemasyarakatan yang melebihi kapasitas. 3. Spesifikasi Penelitian Deskriptif disini adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu. Biasanya dalam penelitian ini, peneliti sudah mendapatkan/mempunyai gambaran yang berupa data awal tentang permasalahan yang akan diteliti. 14 Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan keadaan dari objek atau masalah yang diteliti tanpa bermaksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum. Seperti yang diungkapkan oleh Soerjono Soekanto15 bahwa penelitian deskriptif bukan semata-mata untuk mengungkapkan atau menggambarkan kesesuaian perundang-undangan dalam realita kehidupan masyarakat belaka, akan tetapi juga untuk memahami pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut berlandaskan pada peraturan hukum dan memahami apa yang menjadi latar belakang dari pelaksanaan tersebut. Dalam
hal
ini
peneliti
akan
menggambarkan
bagaimanakah
pelaksanaan pembebasan bersyarat di lembaga pemasyarakatan Purwokerto,
14
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 8. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, hal. 250. 15
20
faktor-faktor yang mempengaruhinya, hambatan-hambatan yang ada,serta bagaimana cara memecahkan hambatan-hambatan tersebut. 4. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada lembaga yang terkait, yaitu di wilayah Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto, karena pada dasarnya Lembaga Pemasyarakat di Purwokerto telah melebihi kapasitas (over capacity) misalnya tempat hunian, sarana dan prasrana serta pembinaannya yang kurang maksimal, hal ini akan digunakan sebagai bekal setelah narapidana bebas dan kembali lagi dalam kehidupan di masyarakat . 5. Informasi dan Penelitian Untuk melaksanakan penelitian tersebut ditentukan Informan Penelitian sebagai data primer kualitatif. Informan penelitian yang menjadi sumber data adalah : 1. Petugas LAPAS Purwokerto 2. Narapidana LAPAS Purwokerto 6. Metode Pengumpulan Data a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian yaitu di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto, dengan menggunakan metode: 1. Interview (Wawancara) Bebas Terpimpin
21
Wawancara adalah Suatu cara yang dipergunakan untuk tujuan tertentu guna mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadap muka dengan orang tersebut.16 Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara bebas namun terpimpin dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaanpertanyaan tetapi masih di mungkinkan adanya variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika wawancara. 17 2. Observasi (Pengamatan) Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian. 18 Selain menggunakan wawancara, pengumpulan data primer juga dapat dilakukan dengan cara observasi. Teknik observasi merupakan metode pengumpulan data dengan mengamati langsung dilapangan. Mengamati bukan hanya melihat, tetapi juga merekam, menghitung, mengukur dan mencatat kejadian. b. Data Sekunder, Data yang diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka
terhadap
16
peraturan
perundang-undangan,
buku-buku
literatur
dan
Koentjoroningrat, 1986, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Gramedia, hal. 129. Ronny Hanitijo Soemitro, op. cit, hal. 107 18 Hadari Nawawi, 1995, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, hal. 100. 17
22
dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian. 7. Jenis dan Sumber Data Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua sumber data, yaitu : a. Sumber data primer Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari informan penelitian, data yang berupa keterangan atau hasil wawancara dengan pihak lembaga pemasyarakatan
Purwokerto
yang
berhubungan
dengan
pokok
permasalahan yang diteliti untuk data sekunder. Data yang berupa keterangan atau hasil wawancara tersebut akan diolah menjadi ringkas dan sistematis dengan cara menuliskan hasil wawancara, atau rekaman, mengedit, mengklarifikasi, mereduksi, dan menyajikan. 19 b. Sumber data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan. Data sekunder yang digunakan dalm penelitian ini yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bambang Sunggono membedakan ketiga data tersebut yaitu:20 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, yang terdiri dari perundang-undangan, bahan hukum yang 19 20
Noeng Muhadjir, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rake Sarasin, hal. 29 Bambang Waluyo, 2002. Op. Cit., hal.113.
23
tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, serta bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Keputusan Menteri Kehakiman. RI. Nomor M-01-Pr-07-03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan. 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan-bahan hukum sekunder terdiri dari pustaka di bidang ilmu hukum, rancangan peraturan perundang-undangan, artikel-artikel ilmiah, baik dari media massa maupun internet. 3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Hukum. 8. Metode Penyajian Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang tersusun secara sistematis, artinya data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh sesuai dengan kebutuhan penelitian.
24
9. Metode Analisa Data Data yang diperoleh di analisis dengan model analisis kualitatif. Hal ini dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi yang bersifat ungkapan monografis dari responden.21 10. Metode Pengambilan Sampel Sampel yang diambil menggunakan puerpostve sampling, karena di lembaga pemasyarakatan purwokerto terdapat narapidana dan pegawai yang menurut penulis dapat memberikan data yang dibutuhkan. Sampel yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Pegawai Lembaga Pemasyarakatan : Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kasubag Tata Usaha, Ka. Urusan Kepeg dan Keu, Ka. Urusan Umum, Kasi
Binadik, Kasubsi Registrasi, Kasubsi Bimaswat, Kasi Kegiatan
Kerja, Kasubsi Kegiatan Kerj, Kasubsi Sarana Kerja, Kasi Adm. Kamtib, Kasubsi Pelaporan dan Tertib, Kasubsi Keamanan, Ka. KPLP. b. Narapidana dalam hal ini adalah 4 orang narapidana.
21
Ronny Hanitijo Soemitro, 1986, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, UI Perss, hal. 89.
25
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Keadaan Umum Lembaga Pemasyarakataan Purwokerto Lembaga
Pemasyarakatan
Purwokerto
adalah
Lembaga
Pemasyarakatan kelas IIA dengan kapasitas 80-120 narapidana yang terdiri dari 5 (lima) orang KASI dan ditambah dengan 2 (dua) orang SUBSI (Subseksi) yang pada awal berdirinya Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto adalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA yang hanya berkapasitas 120 narapidana. Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto diresmikan pada tahun 1968 dengan luas tanah 6250 m2 dan luas bangunan 5000m2 . Sedangkan luas kamar untuk narapidana di dalam LAPAS Purwokerto berukuran 10 x 9,5 meter dihuni sekitar 40 narapidana untuk satu ruangan. Hal ini bisa dikatakan kelebihan kapasitas karena untuk idealnya kamar yang berukuran 10 x 9,5 meter tersebut untuk dihuni antara 10-15 orang narapidana. Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto berlokasi di pusat kota adminitrasi Purwokerto yaitu di desa Sokanegara Kecamatan Purwokerto Timur, Jalan Jenderal Soedirman No. 104 dengan batas-batasnya adalah : a. Sebelah utara
: Jalan Jenderal Soedirman.
b. Sebalah Selatan
: Bangunan Rumah Penduduk.
c. Sebelah barat
: Komplek Pertokoan.
26
d. Sebelah timur
: Jalan Penjara.
Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto menjalankan fungsinya sebagai unit pelaksanaan teknis pemasyarakatan yang menampung, merawat dan membina narapidana yang berada dibawah naungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bapak Waluyo Tri Surianto selaku Ka. Urusan Umum menambahkan bahwa : “ Pada tahun 2001 Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto melakukan pemugaran sehingga kondisi Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto saat ini sudah dalam kondisi yang baik meskipun masih ada kekurangan. Dengan adanya pemugaran tentunya Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto memiliki fasilitas-fasilitan yang baru untuk menunjang pelaksanaan pembinaan. Salah satunya adalah mesjid sebagai tempat beribadah dan kegiatan rohani khususnya bagi narapidana yang beragama muslim. Untuk narapidana non muslim sementara kegiatan rohani dan beribadahnya dilakukan di aula karena keterbatasan lahan dan biaya sehingga Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto belum dapat menyediakan tempat beribadah untuk agama lainnya. Bangunan Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto dikelilingi dengan tembok tinggi dan terdiri dari terdapat gerbang berlapis untuk mencegah kemungkinan narapidana yang kabur dan dilengkapi pos penjagaan disetiap bloknya.” 22 Lembaga pemasyarakatan sendiri terdapat tiga (3) kelas, yang masingmasing memiliki klasifikasi yang berbeda. Klasifikasi tersebut berdasarkan pada kapasitas, tempat kedudukan dan kegiatan kerja dari masing-masing lembaga pemasyarakatan. Menurut Pasal 4 Kepmenkeh. RI. Nomor M-01-Pr07-03
Tahun 1985
tentang
Organisasi
dan Tata
Kerja
Pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan di bagi 3 kelas, yaitu : 1. Lembaga Pemasyarakatan Kelas I. Teridiri dari : 22
Wawancara dengan Bapak Waluyo Tri Surianto selaku Ka. Urusan Umum
Lembaga
27
a) Bagian Tata Usaha; b) Bidang Pembinaan Narapidana; c) Bidang Kegiatan Kerja; d) Bidang Administrasi Keamanan dan Tata Tertib; e) Kesatuan Pengamanan LAPAS. 2. Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA. Terdiri dari : a) Sub Bagian Tata Usaha; b) Seksi Bimbingan Narapidana/ Anak Didik; c) Seksi Kegiatan Kerja; d) Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib; e) Kesatuan Pengamanan LAPAS. 3. Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB. Terdiri dari : a) Sub Bagian Tata Usaha; b) Seksi Bimbingan Narapidana/ Anak Didik dan Kegiatan Kerja; c) Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib; d) Kesatuan Pengamanan LAPAS. Pengklasifikasian kelas di lembaga pemasyarakatan purwokerto berdasarkan Daya tampung Lembaga Pemasyarakatan tersebut. yang tadinya Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB naik menjadi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA berdasarkan peraturan menteri hukum dan hak asasi manusia tentang perubahan atas keputusan menteri kehakiman nomor m.01-pr.07.03 tahun 1985 tentang organisasi dan tata kerja lembaga pemasyarakatan . Yang
28
tadinya daya tampung LAPAS Purwokerto 40-70 narapidana menjadi 80-120 narapidana. Pada waktu penulis melakukan penelitian pada tanggal 25 Februari tahun 2013, total jumlah penghuni yang ada sebanyak 345 dibagi antara 224 narapidana dan 101 tahanan dengan jumlah pegawai Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto 102 orang yang terdiri dari 85 pegawai Laki-laki dan 17 pegawai Wanita. Jumlah narapidana dan tahanan hampir berimbang tidak sesuai lagi dengan fungsi LAPAS sebagai sarana atau tempat untuk pembinaan. 23 Namun sebagai mana telah di ketahui di atas walaupun LAPAS purwokerto sudah mengalami kelebihan kapasitas namun proses pembinaan terhadap warga binaan Pemasyarakatan dapat dilaksanakan dengan lancar, tertib dan mencapai tujuan yang diharapkan, maka diperlukan sarana prasarana yamg menunjang, baik fisik maupun non fisik. Sarana fisik diantaranya adalah gedung bangunan Lembaga Pemasyarakatan berserta komponen-komponen serta sarana penunjang yang berupa peralatan untuk pembinaan, sedangkan non fisiknya berupa kinerja pegawai Lembaga Pemasyarakatan sendiri yang harus menaati tata tertib pegawai dan juga menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik. Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto juga memiliki sebuah klinik yang dilengkapi dengan peralatan medis sederhana sehingga kurang mendukung kelancaran dalam melakukan pelayanan medis pasien, tenaga 23
Wawancara dengan bapak M. Junaidi,A.Md.IP, S.Sos selaku kasubsi registrasi
29
medis yang ada hanya berjumlah 1 orang perawat Lembaga Pemasyarakatan yang dibantu oleh staff kesehatan. Menurut penuturan Bapak Efendi Wahyudi selaku Kasi Binadik : “Selain kurang memadai perawatan medis, stok obat-obatan yang ada pun sangat terbatas, sehingga sangat kurang membantu proses penyembubuhan narapidana atau tahanan yang sakit. Bilamana ada narapida atau tahanan yang sakit dideritanya tergolong serius dan harus segera mendapatkan tindak lebih lanjut maka pihak petuga Lembaga Pemasyarakatan dengan persetujuan dokter Lembaga Pemasyarakatan pasien tersebut dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.” 24 Menurut Penunturan Bapak Enuch Siswanto sebagai Kasi Kegiatan Kerja “Fasilitas Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto lainnya adalah berupa bengkel kerja dan sarana olah raga. Bengkel kerja sendiri sudah secara maksimal dimanfaatkan dan berjalan dengan baik karena telah tersedia tenaga ahli dan mesin-mesin besar yang dapat digunakan narapidana untuk menghasilkan sesuatu. Adapun yang telah dihasilkan bengkel kerja Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto adalah sapu glagan, keset, mebelair, souvenir, kolam ikan dan alat-alat pertanian.”25 1. Keadaan Umum Responden Kata lembaga pemasyarakatan pertama kali muncul tahun 1963, dan kata tersebut dimaksudkan untuk menggantikan “kata Penjara” yang berfungsi sebagai wadah pembinaan narapidana. Istilah pemasyarakatan pertama kali dicetuskan oleh Sahardjo pada saat beliau berpidato ketika menerima gelar doctor honoris causa dari universitas Indonesia pada tahun 5 juli 1963. Dalam pidatonya beliau mengatakan antara lain: tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan. Pada waktu itu yang menjadikan dasar untuk pembinaan
24 25
Wawancara dengan Bapak Efendi Wahyudi, selaku Kasi Binadik. Wawancara dengan Enuch Siswanto sebagai Kasi Kegiatan Kerja
30
narapidana dan anak didik adalah Gestichten Reglement (Reglemen Kepenjaraan) STB 1917 Nomor 708 dan kemudian diganti dengan Undangundang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Adapun mengenai jumlah pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto adalah sebagaiman dibarkan berikut ini. Tabel 1. Jumlah Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto No. 1. 2.
Jenis Kelamin Pria Wanita Jumlah Sumber : Data primer diolah
Frekuensi 83 15 98
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa jumlah Pengawai Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto 98 orang yang terdiri dari 83 Pegawai laki-laki dan 15 pegawai perempuan. Tabel 2. Pendidikan Pegawai Lembaga Pemasyrakatan Purwokerto No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pendidikan Terakhir SD SLTP SLTA D3 S1 S2 Jumlah
Frekuensi 1 2 64 3 26 2 102
Prosentase 1% 2% 64% 4% 26% 3% 100%
Sumber : Data primer diolah Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa pada umumnya Pendidikan pegawai Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto adalah tamatan
31
SLTA yaitu 64 orang pegawai dengan prosentase 64 %, 26 orang berpendidikan S1 dengan prosentase 26 %, D3 ada 3 orang dengan prosentase 4 % , SLTP ada 2 orang dengan prosentase 2 %, S2 ada 2 orang dengan prosentase 3 % dan 1 orang tamatan SD dengan prosentase 1 %. Adapun struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Purwokerto berdasarkan Pasal 25 Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01.PR.07.03 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai berikut : LAPAS Kelas IIA terdiri dari: a. b. c. d. e.
Sub Bagian Tata Usaha; Seksi Bimbingan Narapidana/ Anak Didik; Seksi Kegiatan Kerja; Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib; Kesatuan Pengamanan LAPAS.
32
33
Sedangkan Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA Purwokerto berdasarkan Pasal 25 Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.01.PR.07.03 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai berikut :26 1. Kepala Lembaga Pemasyarakatan 2. Kasubag Tata Usaha a. Ka. Urusan Kepeg dan Keu b. Ka. Urusan Umum 3. Kasi Binadik a. Kasubsi Registrasi b. Kasubsi Bimaswat 4. Kasi Kegiatan Kerja a. Kasubsi Kegiatan Kerja b. Kasubsi Sarana Kerja 5. Kasi Adm. Kamtib a. Kasubsi Pelaporan dan Tertib b. Kasubsi Keamanan 6. Ka. KPLP
: Drs. Liberti Sitinjak,M.M., M,Si : Suranto, S.Sos. M. Si. : Mudi Artati. : Waluyo Tri Surianto, SH. : Efendi Wahyudi, A.Md. IP. S.Sos. : M. Junaidi, A.Md. IP. S.Sos. : Aris Supriyadi, A.Md. IP. SH. : Enuch Siswanto, A. Ks. : Suroto. : Arnold Tambunan. : Setya Adi Hernowo, SH. : Prihadianto. : Budi Ripto Nugroho, SE. : Agus Nugroho, SH.
Masing-masing Kasi mempunyai fungsi dan tugas masing-masing dan di bantu oleh 2 orang Kasubsi untuk melakukan tugas dan fungsinya dan bertanggung jawab kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan (KALAPAS). Tabel 3. Usia Responden Narapidana No. 1. 2. 3.
Usia Responden 28 Tahun 40 Tahun 50 Tahun Jumlah
Frekuensi 2 1 1 4
Sumber : Data primer diolah
26
Wawancara dengan Bapak Suranto sebagai Kasubag Tata Usaha
Prosentase 60% 20% 20% 100%
34
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui usia responden dari narapidana adalah yang berusia 28 tahun 2 orang dengan prosentase 60 %, berusia 40 tahun 1 orang dengan prosentase 20 %, yang berusia 50 tahun 1 orang dengan porsentase 20%. Tabel 4. Pendidikan terakhir Responden Narapidana No. 1. 3.
Pendidikan Responden SMP STM Jumlah
Frekuensi 2 2 4
Prosentase 50% 50% 100%
Sumber : Data primer diolah Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa pendidikan terakhir dari narapidana yang menjadi responden adalah 2 orang narpidana berpendidikan SMK dengan prosentase 70 % dan 1 orang narapidana berpendidikan STM dengan prosentase 20 %. Tabel 5. Pekerjaan Terakhir Responden Narapidana No. 1. 2. 3.
Pekerjaan Responden Seniman Dagang Pegawai Swasta Jumlah
Frekuensi 1 2 1 4
Prosentase 20% 60% 20% 100%
Sumber : Data primer diolah Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa pekerjaan terakhir dari narapidana yang menjadi responden adalah 1 orang berkerja menjadi seniman dengan prosentase 20 %, 2 orang dagang dengan prosentase 60 % dan 1 orang bekerja sebagai karyawan swasta dengan prosentase 20 %.
35
Tabel 6. Jenis Tindak Pidana yang Dilakukan Responden No. 1. 2.
Nama Responden Mal praktek Kesusilaan Jumlah
Frekuensi 1 3 4
Prosentase 20% 80% 100%
Sumber : data primer diolah Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa jenis tindak pidana yang dilakukan responden adalah sebagai berikut : jenis tindak pidana Mal praktek dilakukan oleh 1 orang dengan prosentase 20 %, jenis
tindak pidana
kesusilaan ada 3 orang dengan prosentase 80 %. Tabel 7. Lama Pidana Responden No. 1. 3.
Lama Pidana 0-2 tahun 1-3 tahun Jumlah
Frekuensi 1 3 4
Prosentase 20% 80% 100%
Sumber : Data primer diolah Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa lama pidana yang dijalani responden adalah sebagai berikut : 0-2 tahun ada 1 orang dengan prosentase 20 %, 1-3 tahun ada 3 orang dengan prosentase 80 %. Tabel 8. Responden Mengetahui tentang kelebihan kapasitas di dalam LAPAS No. 1. 2. 3. 4.
Nama Responden Agung Soleh Dwi Leo Prosentase
Sumber : data primer diolah
Mengetahui 100%
Tidak mengetahui 0%
36
Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa responden yang mengetahui bahwa di dalam lembaga pemasyarakatan terjadi kelebihan kapasitas adalah 4 orang atau dengan prosentase 100 %. 2. Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto Proses pembinaan narapidana bertujuan agar nantinya narapidana setelah bebas dapat diterima dalam masyrakat lagi namun tujuan utama atau pokok dari pembinaan narapidana adalah, yaitu : 27 a. Untuk memperbaiki pribadi dari narapidana itu sendiri; b. Untuk membuat narapidana bahagia dunia akhirat; c. Untuk membuat narapidana berpartisipasi aktif dan positif dalam masyarakat dalam pembangunan; d. Untuk membuat narapidana dapat memiliki keterampilan khusus agar tidak melakukan tindak pidana lagi. Untuk mencapai tujuan dari proses pembinaan maka diperlukan tahap-tahapan
pembinaan
yang
harus
dilakukan
oleh
Lembaga
Pemasyarakatan, adapun proses pembinaan narapidana yang dilakukan melalui 3 tahapan yaitu : a. Tahap Awal (Maximum Security) ±1/3 masa pidana. 1) Admisi dan Oriental Masa Pengenalan dan Penelitian Lingkungan (max 1 bulan)
27
Wawancara dengan Bapak Aris Supriyadi selaku Kasubsi Bimaswat
37
2) Pembinaan Kepribadian a) Pembinaan kesadaran beragama; b) Pembinaan Bangsa dan Negara; c) Pembinaan Intelektual; d) Pembinaan Kesadaran Hukum. b. Tahap Lanjutan (Medium Security) ±1/3 -1/2 masa pidana. 1) Pembinaan kepribadian lanjutan. Program pembinaan ini merupakan kelanjuatan pembinaan kepribadian tahap awal. 2) Pembinaan kepribadian. a) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri; b) Keterampilan untuk mendukung usaha industry kecil; c) Keterampilan yang dikembangkan sesuai bakat masingmasing; d) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri/ pertanian dan teknologi tinggi/ madya. 3) Asimilasi dalam Lembaga Pemasyarakatan terbuka (open camp) dan Lembaga Pemasyarakatan tertutup (Half way hause/work) ±1/2 -2/3 masa pidana c. Tahap Akhir (Minimum Security) ±2/3 masa pidana bebas. 1) Integrasi; 2) Pembebasan Bersyarat;
38
3) Cuti menjelang Bebas; 4) Bebas sebenarnya; 5) Kembali ke dalam masyarakat. Ketiga tahap di atas harus
melalui sidang Tim Pengamat
Pemasyarakatan (TPP) karena sidang TPP ini merupakan dewan tertinggi dalam proses pemasyarakatan. Sidang TPP ini menentukan tahap pembinaan yang akan dijalani oleh narapidana. Ketentuan Sidang TPP tersebut didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 8 Februari 1997 No. K.P.10.13/3/1 dijelaskan sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan pemasyarakatan adalah suatu proses dimana narapidana pada waktu masuk lembaga pemasyarakatan berada pada keadaan tidak harmonis dengan masyarakat, sejak itu lalu narapidana mengalami pembinaan yang tidak lepas dari dan bersama dengan unsurunsur lain dalam masyarakat yang bersangkutan tersebut, sehingga pada akhimya narapidana dengan masyarakat sekelilingnya merupakan suatu keutuhan dan keserasian (keharmonisan) hidup dan penghidupan, sehingga tersembuhlah dari segi-segi yang merugikan (negatif).” Berdasarkan petunjuk teknis bidang pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan tahun 1986 telah menentukan wujud pembinaan yang disesuaikan dengan tahap-tahap pembinaan itu. Adapun wujud pembinaannya; a) Pendidikan umum; b) Pendidikan mental atau spiritual; c) Pendidikan ketrampilan; d) Kegiatan sosial;
39
e) Kegiatan rekreasi. Di dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan/Bina Tuna Warga Nomor KP. 10.13/3/31 Tentang Pemasyarakatan sebagai proses, maka hendaknya disalurkan tahap demi tahap guna menghindari kegagalan dari akibat-akibat lain yang tidak diinginkan. Pentahapannya dapat sebagai berikut; 1. Hendaknya narapidana pada waktu datang di Lembaga Pemasyarakatan dikenal dan diketahui dahulu apa kekurangan atau kelebihannya. Sebabsebab sampai ia melakukan pelanggaran, dan lain-lain hal ikhwal tentang dirinya. Dengan bahan-bahan tersebut dapat direncanakan dan lalu dilakukan usaha-usaha pembinaan terhadapnya (terutama usaha-usaha pendidikan). 2. Jika pembinaan narapidana dan hubungan dengan masyarakat telah berjalan selaras selama 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut pendapat Dewan Pembinaan Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan dalam proses (antara lain narapidana cukup lancar dan telah menunjukkan perbaikan dalam kelakuan, kecakapan, dan sebagainya), maka dipindah dari lembaga pemasyarakatan biasa ke Lembaga Pemasyarakatan Terbuka (minimum security). Di tempat baru ini narapidana diberi tanggung jawab yang lebih besar, lebih-lebih dalam tanggung jawab terhadap masyarakat luar, bersamaan itu pula untuk rasa
40
harga diri, sehingga masyarakat luar memiliki kepercayaan terhadap narapidana. 3. Jika sudah dijalani kurang lebih setengah masa pidana yang sebenarnya dan menurut Dewan Pembinaan Pemasyarakatan proses pemasyarakatan telah mencapai kemajuan yang lebih, baik mengenai narapidana maupun unsurunsur masyarakat, maka wadah proses diperluas, ialah dimulai dengan usaha asimilasi narapidana pada kehidupan masyarakat luar, seperti mengikutkan pada sekolah umum, beribadah dan berolahraga dengan umum, bekerja pada swasta atau instansi lain, berpariwisata dan sebagainya. Segala sesuatu masih dalam pengawasan dan bimbingan petugas-petugas pemasyarakatan. 4. Apabila sudah dijalani 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya, sedikitdikitnya 9 bulan dapat diberikan pelepasan bersyarat, kalau proses berjalan lancar dengan baik. Pada tahap ini wadah proses pemasyarakatan berupa masyarakat luar yang luas, sedang pengawasan dan bimbingan menjadi lebih kurang, sehingga akhirnya narapidana tersebut dapat hidup dalam keadaan harmonis dengan masyarakat luas di atas kaki sendiri. Tujuan pemidanaan dalam Sistem Pemasyarakatan adalah mengembalikan narapidana ke tengah masyarakat agar menjadi warga negara yang baik, berguna dan bertanggung jawab. Pembinaan yang dipilih sesuai dengan kebijakan penghukuman ini adalah segala jenis program treatment (pembinaan) bagi narapidana dimana selagi mereka menjalani sisa
41
pidananya, mereka telah diberi kesempatan untuk kembali ke tengah masyarakat dengan pengawasan tertentu. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan disebutkan bahwa pembinaan dibagi atas dua bagian yaitu: 1. Pembinaan Kepribadian 2. Pembinaan Kemandirian Dalam proses pembinaan Lembaga Pemasyarakatan berkerja sama dengan beberapa instansi antara lain instansi penegakan hukum seperti POLRI; Kejaksaan Negeri; Pengadilan Negeri. Instansi lainnya adalah DEPKES; DEPNAKES; DEPERINDAG; DEPAG; DEPDIKNAS; PEMDA, dan juga dengan instansi swasta seperti Perseroan; kelompok; LSM dan perusahaan. Berpedoman pada ketentuan tersebut, maka Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto berdasarkan hasil penelitian yaitu: 1. Pembinaan Spiritual Pembinaan ini bertujuan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME, melalui pembinaan kesadaran beragama. Usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan keimanan Narapidana terutama memberikan pengertian agar narapidana dapat menyadari akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya. Pembinaannya berupa pengajian dari
42
petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purbwokerto dan Departemen Agama, sholat jumat berjamaah dan kunjungan dari ormas Islam serta masyarakat yang dilaksanakan di masjid LAPAS, dan untuk yang beragama Kristen dilakukan siraman rohani oleh pendeta di seluruh Kabupaten Banyumas. 2. Pembinaan Kesadaran Berbangsa Dan Bernegara Usaha ini dilaksanakan melalui pemahaman wawasan kebangsaan, termasuk menyadarkan narapidana agar dapat berbakti menjadi warga negara yang baik dan berbakti pada nusa dan bangsa. Pembinaannya dapat berupa penyuluhan hukum dari Polres Purwokerto, penyuluhan hukum oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto dan pengarahan saat apel oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto. 3. Pembinaan Kemandirian Merupakan kegiatan pembinaan yang bertujuan meningkatkan kemampuan Narapidana melalui program kerja. Pembinaannya berupa pemberian keterampilan hanya bagi yang mempunyai minat. Pemberian keterampilan yang biasa dilakukan yaitu membuat sapu dan keterampilan kayu. Sedangkan keterampilan yang lain yaitu membuat baju batik, kesed serta membuat tralis dari mesin bubut. 4. Pembinaan Olahraga dan Kesenian
43
Kegiatan ini dimaksudkan untuk membentuk jiwa yang sehat serta mengembangkan kemampuan di bidang olahraga yang dimiliki masingmasing narapidana antara lain bulutangkis, serta tenis meja dan kemampuan dalam bermain musik seperti kemampuan memainkan alat musik seperti gitar, drum, bas, ataupun keyboard, dan juga mengasah kemampuan dalam vokal. 5. Pembinaan Mengintegrasikan Diri dengan Masyarakat Bertujuan untuk memperbaiki hubungan antara narapidana dengan masyarakat dengan memberikan kesempatan mengembangkan aspek-aspek pribadinya, memberikan keleluasaan yang lebih besar untuk berintegrasi dengan masyarakat dalam kegiatan kemasyarakatan, bekerja pada pihak ketiga, melanjutkan pendidikan umum, dan beribadah bersama masyarakat. 3. Faktor-Faktor
Pendorong
dan
Penghambat
Dalam
Pelaksanaan
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto Data primer ini diperoleh oleh penulis melalui wawancara dengan para responden. Responden yang dimaksud adalah: a.
Petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto yang diwakili oleh Effendi Wahyudi, Amd, IP, S.Sos. selaku Kasi BIM. NAPI/ANAK DIDIK.
b.
Narapidana pidana yang berjumlah 4 orang.
44
Tabel 9. Hasil Wawancara Dengan Petugas Tentang Faktor Penghambat dan Pendorong Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto Kode Informan Effendi Wahyudi, Amd, IP, S.Sos. (Kasi Binadik)
Hasil Wawancara
-Faktor pendorong pembinaan narapidana adanya dukungan dari pihak ketiga seperti masyarakat, ormas-ormas, dan instansi pemerintah ikut antusias dalam pelaksanaan pembinaan, para narapidana pun menyambut dan merima dengan baik. -Faktor penghambat untuk pembinaan kepribadian tidak ada. Kalau untuk pembinaan keterampilan hambatannya tempat yang kurang memadai, perlengkapan alat-alat untuk kerajinan kurang serta kurang dana. Sumber: Data primer yang sudah diolah.
Substansi
Tema
Tujuan
-Dalam pelaksanaana pembinaan narapidana di LAPAS Purwokerto ada bebebrapa faktor pendorong dan penghambat.
-Faktorfaktor yang mendorong dan menghambat pelaksanaan pembinaan narapidana di LAPAS Purwokerto.
-Dapat mengantisipasi hambatan dan meningkatkan faktor pendorong untuk kelancaran pelaksanaan pembinaan narapidana di LAPAS Purwokerto.
45
Tabel 10: Hasil Wawancara Dengan Narapidana Tentang Faktor Penghambat dan Pendorong Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto Kode Informan
Hasil Wawancara
Anwar (bukan -Faktor pendorong, nama sebenarnya). pelaksanaan pembinaan sangat berarti. Khususnya pembinaan spiritual, memberikan bekal rochani bagi kehidupan dengan adanya pengajianpengajian, kunjungan dari ormas Islam, sholat berjamaah. -Faktor penghambat Tidak ada hambatan dalam pembinaan, karena dalam menjalaninya dengan nyaman, hubungan dengan petugaspun baik-baik saja. Tukijo (bukan -Faktor pendorong, jadi nama sebenaranya). banyak kegiatan, yang dapat diikui oleh narapidana seperti membuat sapu, kesed, bersihbersih. Jadinya tidak bosen di bingker karena diselingi banyak kegiatan. Pembinaan spiritualnya juga lancar, dibina oleh petugas dan kadang-kadang ada pengajian dari Depag sehingga mendekatkan kita pada Yang Maha Kuasa. Hubungan antara narapidana di LAPAS Purwokerto baik, dengan petugas pun juga baik. -Faktor penghambat secara pribadi tidurnya kurang nyaman karena jumlah narapidananya terlalu banyak.
Substansi
Implikasi
-Tidak adanya faktor yang menghambat dalam pelaksanaan pembinaan narapidana walaupun jumlah petugas dengan napi tidak seimbang di LAPAS Purwokerto.
Dimana ditekankan agar narapidana mengetahui cara pembinaan yang baik dan benar, melaksanakan pembinaan keterampilan serta mengetahui manfaat dari pelaksanaan pembinaan.
-Pelaksanaan pembinaan narapidana dapat menjadi kegiatan yang positif, dan agar ruangan kamar dan tempat keterampilan diperluas lagi.
Dapat menjadikan suatu pembinaan yang berguna bagi kehidupan narapidana di kemudian hari.
46
Paijo (bukan nama -Faktor pendorong, sebenarnya). pembinaannya baik serta bermakna bagi kehidupan sehari-hari, menjadikan serta menyadarkan kita akan pentingnya kehidupan. Pelaksanaan pembinaan dapat mendekatkan diri kepada ALLAH SWT. -Faktor penghambat, secara pribadi penghambatnya saat pembinaan khusus ke rochanian cara penyampaian ceramahennya kurang menaraik sehingga membuat ngantuk. Parman (bukan -faktor pendorong secara nama sebenarnya). umum, pemberi pembinaan menyampaikan pembinaannya dengan baik dan jelas sehingga membuat narapidana antusias dan tertarik mengikuti pelaksanaan pembinaan di LAPAS Purwokerto. Dan juga pelaksanaan pembinaan narapidana terjadwal dengan baik. -Fator penghamba, selama menjalani hukuman di LAPAS Purwokerto ada hambatan yaitu mengenai ruangan yang agak sempit sehingga agak susah untuk tidur. Sumber: Data primer yang sudah diolah
-Menerima pembinaan secara positif. Masih ada faktor penghambat dalam penyampaian pembinaan.
Adanya pembenahan dalam penyampaian pembinaan kepada narapidana di LAPAS Purwokerto.
Karena pelaksanaan pembinaan sudah terjadwal maka pelaksanaan pembinaan di LAPAS Purwokerto dapat berjalan dengan lancar.
Pelaksanaan pembinaan yang sudah berjalan dengan baik untuk tetap dipertahankan dan di tingkatkan lagi di kemudian hari serta LAPAS purwokerto untuk diperluas lagi ruangan karena tindak kejahatan terlalu banyak tapi ruangan dalam LAPAS Purwokerto tetap.
Penempatan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan menjadi masalah bagi petugas LAPAS Purwokerto dalam menyiapkan narapidana kembali menjadi manusia Indonesia seutuhnya karena tugas pokok dan fungsi LAPAS adalah pembinaan narapidana sesuai dengan Undang-undang No. 12 Tahun
47
1995 . Dengan keberadaan tahanan di LAPAS Purwokerto, berarti juga bahwa LAPAS Purwokeerto harus melakukan pembinaan terhadap tahanan untuk mencapai tujuan Pemasyarakatan. LAPAS Purwokerto dapat melakukan pembinaan dalam kemandirian dan pembinaan kepribadian.
LAPAS
Purwokerto memiliki fasilitas atau ruangan-ruangan yang mendukung pembinaan seperti masjid atau ruang ibadah, aula, ruangan bimbingan latihati kerja, perpustakaan, ruangan kunjungan, ruang kesehatan serta ruangan hunian yang memadai termasuk ruang isolasi dan sebagainya. Permasalahannya adalah di dalam LAPAS Purwokerto dihuni oleh dua pelanggar hukum yang mempunyai status yang berbeda yaitu tahanan dan narapidana. Percampuran antara tahanan dan narapidana dapat mengakibatkan dampak negatif bagi tahanan, narapidana dan petugas LAPAS. Hal ini hampir berimbang tidak sesuai fungsi LAPAS sebagai tempat pembinaan. Apalagi jika memperhatikan fasilitas LAPAS yang serba kekurangan, kemungkinan hal itu dapat terjadi sangat besar oleh karena itu petugas harus dapat mencegah atau mengatasi masalah yang timbul terutama mengenai masalah penempatan penghuni di LAPAS Purwokerto.
48
B. Pembahasan
1.
Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto. a. Pengertian Pembinaan Narapidana Pembinaan ialah segala upaya dan usaha yang dilakukan untuk memberi dan meningkatkan keahlian atau keterampilan, pengetahuan, sikap mental dan dedikasi. Sehingga mereka yang dibina dapat menjalankan dan memahami apa yang diberikan. Pembinaan sendiri dapat dilakukan melalui beberapa cara misalkan pengarahan, bimbingan, pengembangan, dorongan dan kontrol untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pembinaan dalam pemasyarakatan mengandung pengertian bahwa memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana yang didorong untuk membangkllkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada orang lain serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat dan selanjutnya berpotensi utnuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi28. Pembinaan dapat dilakukan baik melalui pendidikan formal-
28
Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta, Liberty, hal. 187.
49
informal, pelatihan dan kursus. Meningkatkan keahlian atau keterampilan dan ilmu agar tercapai suatu pribadi yang tangguh pada spesialisasi usaha dan pekerjaannya. Sebagai suatu negara yang menganut hukum sebagai alat mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara maka pembinaan terhadap masyarakat akan pentingnya mentaati segala peraturan hukum yang berlaku perlu diberikan. Dimana tujuan pembinaan terhadap narapidana untuk membentuk narapidana seperti yang diamanatkan Pasal 2 UU No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan sebagai berikut: “Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.” Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dalam Pasal 2 ayat (l) menyatakan: “Program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian.” Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, maka pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto yaitu diberikan pembinaan kepribadian dan kemandirian. Pembinaan kemandirian yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto, meliputi
50
pembinaan mengenai keterampilan seperti rak sepatu, teralis, sangkar burung, membuat kerajinan tangan. Sarana dan prasaran keterampilan rak sepatu, teralis, sangkar burung semuanya disediakan oleh pihak LAPAS Puwokerto, untuk tenaga ahli yang dapat mendampingi narapidana dalam pembinaan keterampilan adalah Petugas Bimker dan PHK, pembinaan kepribadian yang dilaksanakan meliputi: a. Penyuluhan hukum Diadakan
penyuluhan
hukum
baik
dari
petugas
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto maupun dari Humas Polres Puwokerto. Pembinaan ini menanamkan pemahaman bagi narapidana terhadap norma dan kaidah hukum agar tidak melanggar hukum. Kesadaran hukum ini membawa keinginan bagi narapidana untuk tidak lagi melanggar hukum yang berlaku karena ini akan sangat merugikan diri mereka sendiri maupun orang lain. Selama kehilangan kemerdekaan
bergerak,
narapidana
harus
dikenalkan
kepada
masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Hal ini sesuai dengan kodratnya sebagai manusia yang tidak lepas dari masyarakat. b. Pengajian Pengajian dilaksanakan setiap hari Senin, Rabu dan Sabtu, dibimbing oleh petugas bimpas dan pada hari tertentu penceramah/da’i pengajian didatangkan dari Kementerian Agama Kabupaten Banyumas, pondok pesantren Ubay bin Kaab Purwokerto, STAIN Purwokerto, Univ.
51
Muhammadiyah Purwokerto dan dari yayasan Al Irsyad al Islamiyah Purwokerto serta mubaligh sekitar LAPAS Purwokerto. Hal ini dilaksanakan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan melalui kesadaran beragama. Usaha ini diperlukan untuk memberi pengertian agar narapidana dapat menyadari akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya selama ini termasuk menyadarkan narapidana agar menjadi warga negara yang dapat memberikan sumbangsihnya kepada bangsa dan negara. c. Sholat berjamaah Dilakukan sholat bersama 5 (lima) waktu serta sholat jumat dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto di Masjid yang ada di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto. Bagi yang beragama Kristen diadakan kegiatan kebaktian yang dilaksanakan pada hari Senin dan rabu yang bertempat di aula lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Puwokerto yang dibimbing dari Dewan Gereja Indonesia Purwokerto. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan, maka terhadap narapidana ditanamkan norma-norma hidup dan kehidupan serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatan salah yang pernah diperbuat. Narapidana dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatannya.
sosial
untuk
Tiap
orang
menumbuhkan adalah
manusia
rasa dan
hidup harus
52
diperlakukan sebagai manusia meskipun ia tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat. Narapidana harus diperlakukan sebagai manusia, segala bentuk label yang negatif yang
melekat
pada
narapidana
hendaknya
sedapat
mungkin
dihapuskan. d. Kunjungan-kunjungan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto mempunyai hubungan yang baik dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) di Kabupaten Banyumas. Hal ini berdampak positif dengan adanya kunjungankunjungan dari ormas Islam di Kabupaten Banyumas. e. Mengikuti senam pagi Untuk lebih meningkatkan kesehatan jasmani narapidana LAPAS Purwokerto, maka diadakan Senam pagi yang dilaksanakan setiap hari Selas dan Kamis dilakukan secara bergantian antara narapidana dan tahanan dengan mendatangkan instruktur senam dari luar LAPAS Purwokerto. f. Olahraga Olahraga yang ada yaitu, bulutangkis, tennis meja dengan sarana dan prasarana yang telah ada di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto. g. Pelayanan kesehatan
53
LAPAS Purwokerto sampai saat ini memiliki tenaga paramedi (perawat)
sebanyak
tiga
orang.
Jadwal
berobat
narapidana
dilaksanakan setiap hari kerja. h. Kebersihan lingkungan Dilaksanakan di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto seperti mencabuti rumput, bersih-bersih dan menyapu ruangan.
54
55
Berdasar Tabel 11 dapat diketahui pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian dapat bermanfaat bagi narapidana setelah masa hukuman selesai.
Serta
pembinaan kepribadian dan pembinaan
kemandirian tersebut dapat diterapkan di lingkungan masyarakat hal ini sesuai dengan tujuan pembinaan itu sendiri. Pembinaan di dalam LAPAS purwokerto sudah baik namun belum tentu masyarakat dapat menerima mereka dengan baik di lingkungan masyarakat itu sendiri. 29 Pembinaan di Lembaga Pemasyarakata Kelas IIA Purwokerto berdasarkan pada teori relatif atau teori tujuan dan teori pembinaan menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam bukunya teori-teori dan kebijakan pidana,bahwa proses pembinaan bukan tempat pembalasan melainkan sebagai tujuan untuk mengubah tingkah laku untuk tidak berbuata jahat kembali. b. Pelaksanaan Pemasyarakatan di LAPAS Kelas IIA Purwokerto Sistem Kepenjaraan adalah tujuan dari pidana penjara, dan tujuan dari pidana penjara maksudnya adalah untuk melindungi masyarakat
dari
segala
bentuk kejahatan30. Pentahapan proses
pemasyarakatan dan upaya pembinaannya secara operasional berusaha untuk menjauhkan narapidana secara bertahap dari lingkungan buruk tembok penjara dan mendekatkan narapidana pada hakekat hidup manusia 29
Wawancara dengan para responden A. Widiana Gunakaya, 1988, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan. Bandung, CV Armico, hal. 43. 30
56
dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem pemasyarakatan merupakan suatu perubahan dalam pelaksanaan pidana penjara yang kaitannya deagan perlakuan terhadap narapidana berdasarkan paham humanisme dan berdasar filsafat Pancasila sebagai dasar dalam membina narapidana. Pihak keluarga dan masyarakat juga diberi kesempatan untuk ikut membina
sehingga
narapidana
metasa bahwa dia tetap diakui
eksistensinya sebagai anggota masyarakat. Pelaksanaan pembinaan terhadap
narapidana
di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto dilaksanakan berdasarkan Pasal 2 UU No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah No 31 tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
dimana
pada
prakteknya
diberikan
pembinaan
kepribadian dan pembinaan kemandirian. Berdasarkan Pasal 2 UU No 12 Tahun
1995
Tentang
Pemasyarakatan,
pelaksanaan
pembinaan
kepribadiaan di LAPAS Purwokerto yang meliputi penyuluhan hukum, pengajian, sholat berjamaah, kunjungan-kunjungan, mengikuti senam pagi, olahraga dan kebersihan lingkungan dalam rangka untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Pembinaan kemandirian yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto, meliputi pembinaan mengenai
57
keterampilan seperti membuat sapu, membuat tralis, membuat kesed, dan membuat kerajinan tangan, dalam rangka narapidana dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Narapidana yang menjadi responden di LAPAS Purwokerto ada 4 (empat) orang dan semuanya telah menerima pembinaan baik pembinaan kepribadian maupun kemandirian. 31 Pentahapan proses pemasyarakatan dan upaya pembinaannya secara operasional berusaha untuk menjauhkan narapidana secara bertahap dari lingkungan buruk tembok penjara dan mendekatkan narapidana pada hakekat hidup manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem pemasyarakatan merupakan suatu perubahan dalam pelaksanaan pidana penjara yang kaitannya deagan perlakuan terhadap narapidana berdasarkan paham humanisme dan berdasar filsafat Pancasila sebagai dasar dalam membina narapidana. Pihak keluarga dan masyarakat juga diberi kesempatan untuk ikut membina sehingga narapidana metasa bahwa dia tetap diakui eksistensinya sebagai anggota masyarakat. Pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto berdasarkan hasil penelitian dalam prakteknya telah sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
31
Berdasarkan hasil wawancara dengan suroto selaku Kasubsi BIKER dan PHK di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto pada tanggal 23 februari 2013.
58
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Dimana dalam Pasal 3 menyatakan bahwa Pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi hal-hal yang berkaitan dengan: a. ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; Narapidana mendapatkan pembinaan keagamaan menurut dengan kepercayaannya. Pembinaan yang diterima seperti sholat lima waktu dan sholat jum’at, membaca Al’Quran serta buku-buku keagaman yang disediakan oleh pihak LAPAS Purwokerto, pengajian rutin setiap minggu dilaksanakan, penyuluhan dari Depag dan STAIN Purwokerto yang dilaksanakan di masjid yang berada didalam LAPAS Purwokerto, serta bagi yang beragama non muslim dapat menjalankan ibadahnya dengan diantar ketempat peribadahannya. b. kesadaran berbangsa dan bernegara; Mengikuti upacara bendera, memperingati serta merayakan hari besar nasional serpeti memperingati hari pahlawan, kesaktian pancasila, dan kebangkitan nasional. c. intelektual; Petugas LAPAS Puwokerto menyediakan buku-buku bacaan koran, majalah, serta buku-buku lain dimana agar narapidana dapat berkembang dan memiliki wawasan yang luas. d. sikap dan perilaku;
59
Pembinaan
mengenai
karakter
narapidana
serta
kesempatan
mengembangkan aspek-aspek kepribadian dan kemandirian. Yang dilakuakan oleh petugas LAPAS Puwokerto dan dilaksanakan oleh narapidana. e. kesehatan jasmani dan rohani; Adanya fasilitas olahraga untuk kebugaran jasmani dan tersedianya fasilitas kesehatan bagi narapidana yang sakit. Keagamaan, hiburanhiburan serta adanya waktu besuk kunjungan bertemu keluarga di LAPAS Puwokerto. f. kesadaran hukum; Adanya pembinaan tentang penyuluhan hukum oleh pihak Polres Puwokerto dan petugas
LAPAS Puwokerto. Pembinaan tersebut
bertujuan meningkatkan kesadaran hukum narapidana agar pada saat narapidana tersebut berbaur dengan mayarakat dapat diterima dengan baik. g. reintegrasi sehat dengan masyarakat; Meningkatkan kesadaran serta dapat lebih menghargai diri sendiri dan menghargai orang lain serta masyarakat. h. keterampilan kerja; dan Adanya pelaksanaan pembinaan kemandirian. Seperti menjait membuat kerajinan kristik. i.
latihan kerja dan produksi.
60
Berkerjasama dengan pihak ketiga (masyarakat) seperti perusahaan mebeler. Untuk memproduksi barang mentah yang kemudian diolah menjadi barang siap jual. Hak-hak narapidana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dimana dalam prakteknya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto hak-hak yang telah didapatkan antara lain: a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya: Bagi yang beragama muslim disediakan mushola untuk tempat beribadah, sedangkan yang beragama non muslim pihak LAPAS Puwokerto dapat mengantarkan ke tempat peribadahannya. b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani: Perawatan rohani dapat diterima melalui ibadah sesuai agama dan kepercayaan, sedangkan perawatan jasmani dengan adanya fasilitas olahraga yang disediakan oleh pihak LAPAS Puwokerto. c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran: Narapidana mendapat pendidikan serta pengajaran seperti membuat kerajinan tangan dan penyuluhan sebagai bekal narapidana.
61
d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak: Bagi narapidana yang sakit mendapatkan pengobatan gratis dari pihak LAPAS Puwokerto serta makan-makanan yang layak dan bergizi. e. Menyampaikan keluhan: Narapidana dapat menyampaikan keluhan-keluhan kepada petugas LAPAS Puwokerto apabila ada permasalahan. f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang: Narapidana mendapatkan bimbingan serta hiburan melalui buku dan media massa yang telah disediakan oleh pihak LAPAS Puwokerto. g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan: Apabila narapidana dalam membuat kerajinan tangan dan dapat dijual maka hasil dari penjualan barang tersebut narapidananjuga dapat memperoleh keuntungannya. h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya: Adanya izin dari pihak LAPAS apabiala narapidana mendapatkan kunjungan. i.
Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi): Dapat diperoleh apabila perilaku narapidana tergolong baik.
62
j.
Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga: Hal ini dapat diperoleh narapidana apabila narapidana akan bebas dari hukuman.
k. Mendapatkan pembebasan bersyarat: Pembebasan ini diperoleh narapidana dengan adanya ketentuan yang harus dijalani terlebih dahulu. l.
Mendapatkan cuti menjelang bebas dan: Apabila narapidana sudah tinggal sebentar masa tahanannya.
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. n. Mendapatkan remisi (pengurangan masa hukuman), remisi dapat diberikan kepada narapidana apabila: 1) Narapidana tersebut berkelakuan baik 2) Sudah menjalani pidananya minimal 6 bulan 3) Berbuat jasa kepada Negara Untuk remisi biasanya diberikan pada hari raya besar agama dan hari kemerdekaan Republik Indonesia, adapun ketentuan besarnya remisi: 1) Telah menjalani pidana selama enam bulan sampai dua belas bulan, memperoleh remisi 1 bulan. 2) Telah menjalani pidana lebih pada pada tahun pertama, memperoleh remisi 2 bulan.
63
3) Telah menjalani pidana lebih pada tahun kedua, memperoleh remisi 3 bulan 4) Telah menjalani pidana lebih pada tahun ketiga, memperoleh remisi 4 bulan. 32 Sistem atau model pembinaan yang dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakata Kelas IIA Puwokerto ini cukup baik. Dengan berbagai jenis keterampilan serta pembimbingan dari para petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto membuat mereka banyak memperoleh manfaat yang baik. Upaya pembinaan dan bimbingan yang demikian itu telah sesuai pula dengan dasar pembaharuan pidana yang mengandung aspek menempuh upaya baru terhadap narapidana. Narapidana sebagai manusia yang dibina harus bisa dikembangkan rasa tanggung jawabnya untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat agar selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi. Dengan demikian sasaran pembinaan tertuju pada pribadi dan budi pekerti narapidana tersebut. c. Fungsi Pemasyarakatan Dalam Pasal 3 Kepmenkeh. RI. Nomor M-01-Pr-07-03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan
32
Undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
64
Lembaga
pemasyarakatan dalam
menjalankan tugasnya
lembaga
pemasyarakatn tersebut memiliki fungsi, yaitu : 1) Melakukan pembinaan narapidana/anak didik; 2) Memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja; 3) Melakukan bimbingan sosial/kerokhaniaan narapidana/anak didik; 4) Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib Lembaga Pemasyarakatan; 5) Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga. Berdasarkan ketentuan umum undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan bahwa pembinaan para warga binaan a. Pengayoman; Yang dimaksud dengan pengayoman adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan
diulanginya
tindak
pidana
oleh
warga
binaan
Pemasyarakatan,juga memberikan bekal hidup kepada Warga Binaan Pemasyarakatan
agar
menjadi
warga
yang
berguna
di
dalammasyarakat. b. Persamaan perlakuan dan pelajaran; Adanya perlakuan dan pemberian materi yang sama terhadap narapidana di LAPAS Purwokerto tanpa membedakan latar belakang, pendidikan, usia, jabatan dari narapidana.
65
c. Pendidikan; Pendidikan yang diterima narapidana sesuai dengan pancasila misalnya keagamanan, ketersmpilan, kenegaraan, kemasyarakatan. d. Pembimbingan; Adanya suatu bimbingan untuk meningkatkan jiwa kekeluargaan, dan menunaikan ibadah. e. Penghormatan harkat dan martabat manusia; Yang dimaksud dengan penghormatan harkat dan martabat manusia adalah
bahwa
sebagai
orang
yang
tersesat
warga
binaan
pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia. f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; Yang dimaksud dengan kehilangan kemerdekaan merupakan satusatunya penderitaan adalah warga binaan pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya menjadi lebih baik. g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu. Yang dimaksud dengan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu adalah bahwa walaupun warga binaan pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh
66
diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga. Didalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto asasasas tersebut sudah diterapkan serta berjalan dengan baik dimana sesuai dengan harapan para petugas yang melaksanakan pembinaan. Karena pada dasarnya narapidana juga mempunyai hak-hak seperti manusia pada umumnya, seperti yang ditegaskan DR. Sahardjo SH, tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat, tidak boleh ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Berdasarkan pembahasan diatas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto telah melakukan pelaksanaan pembinaan narapidana sudah sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UU No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peran masyarakat dalam pembinaan narapidana sangat diperlukan guna mensukseskan fungsi dari pemasayarakatan itu sendiri. Angapan
67
bahwa narapidana adalah orang-orang yang harus dicurigai ternyata diungkapkan oleh Harry Elmer Barnes dan Negley K. Teeters dalam bukunya C. Djisman Samosir sebagai berikut: The presioner or the ex-presioner is marked man-a human dog to whom a bad name has been given. He is called a “convict” or ex convict.33 Tindakan masyarakat yang membuat jarak terhadap narapidana dengan mencurigai dan mengasingkan mereka dari pergaulan sosial sudah barang tentu dapat menimbulkan hal-hal yang tidak kita inginkan, misalnya munculnya rasa dendam dari narapidana yang bersangkutan terhadap masyarakat. Sikap masyarakat yang demikian tidak saja menghambat proses sosialisasi tetapi juga merupakan faktor kriminogen. Kejahatan
umumnya
masyarakat
menempatkan
narapidana
sebagai obyek, padahal di dalam penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan secara tegas disebutkan bahwa narapidana bukan saja sebagai obyek melainkan juga sebagai subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktuwaktu dapat melakukan kekhilafan yang dapat dikenakan pidana sehingga tidak harus diberantas. Dalam suatu kehidupan masyarakat yang semakin canggih, sudah barang tentu kejahatan pun semakin meningkat sesuai
33
Samosir C. Djisman, 2012, Sekelumit Tentang Penologi dan Pemasyarakata, Bandung, Nuansa Aulia, hal. 105.
68
dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, kejahatan yang terjadi dewasa ini tidak terbatas lagi dengan kejahatan konvensional seperti: white collar crime dan kolusi. Kesemuanya itu terjadi akibat berbagai hal sebagaimana diungkapkan oleh Kartini Kartono sebagai berikut: Kondisi lingkungan dengan perubahan-perubahan yang cepat, norma-norma dan sanksi sosial yang semakin longgar serta macammacam subkultur dan kebudayaan asing yang saling berkonflik, semua faktor itu memberikan pengaruh yang mengacu dan memunculkan disorganisasi dalam masyarakat, dapat memunculkan banyaknya tindak kejahatan.34 Sungguh merupakan hal yang tidak menguntungkan bagi petugas Lembaga Pemasyarakatan yang begitu giat dan sungguh-sungguh membina narapidana agar kembali kejalan yang benar,akan tetapi ternyata masyarakat mesih memberikan “stigma” (noda atau cap) terhadap narapidana sebagai orang jahat. Stigma (noda atau cap) yang dialami narapidana, sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari suatu pemidanaan yang telah ada sejak dulu kala. Dengan stigma tersebut, narapidana tidak bebas mengadakan kontak sosial dengan masyarakat lainnya. Mereka merasa terasing dan terpojok dengan sikap masyarakat yang sinis dan tidak mau tahu, hal mana mengakibatkan penderitaan 34
Samosir C. Djisman. Opcit. Hal 157
69
psikis bagi narapidana yang bersangkutan. Kondisi narapidana yang demikian yang demikian memerlukan perhatian, tidak saja dari pemerintah melalui petugasnya akan tetapi dari masyarakat secara keseluruhan.35 2.
Faktor-Faktor Pendorong dan
Penghambat
dalam Pelaksanaan
Pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Kelas II A Puwokerto. Hukum didalam negara berkembang dapat berperan untuk mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional dan modern, dalam hal ini hukum berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Konsepsi ini membawa suatu konsekuensi bahwa perubahan yang diinginkan berjalan dengan teratur dan terencana. Hukum di sini mungkin dapat mempunyai pengaruh langsung maupun tidak langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. 36 Bekerjanya hukum merupakan proses yang kompleks, bukan hanya sekedar menegakkan aturan yang telah ditetapkan akan tetapi para penegak hukum dihadapkan pada kualitas dari aturan itu sendiri, sarana dan prasarana yang digunakan, kualitas penegak hukum dan kepentingan institusinya serta masyarakat yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda. Bekerjanya hukum tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang linier dan
35 36
Samosir C. Djisman. Ibid. Hal 157 Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Rajawali Press, hal. 100.
70
deterministik seperti pandangan kaum positivistik, sebab di sana akan terlihat berbagai pertentangan kepentingan yang masing-masing ingin didahulukan. Pelaksanaan pembinaan narapidana merupakan masalah penegakan hukum. Sehubungan dengan masalah penegakan hukum ini, Soerjono Soekanto berpendapat bahwa masalah pokok daripada penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-laktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut 37: a) Faktor hukumnya sendiri dalam hal undang-undang. Hukum yang dibahas ini akan dibatasi pada undang-undangnya saja. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang kemungkinan disebabkan oleh: 1. Tidak
diikutinya
asas-asas
berlakunya
undang-undang
yang
mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. 2. Belum adanya peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menempatkan undang-undang.
37
Soerjono Soekanto, 1990, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegukan Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal. 9.
71
3. Ketidak
jelasan
mengakibatkan
arti
kata-kata
kesimpangsiuran
dalam di
undang-undang
dalam
penafsiran
yang serta
penerapannya. 4. Faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan. Yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Secara sosiologis, maka setiap penegakan hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Permasalahan yang timbul dari faktor penegakan hukum yaitu penerapan peran penegakan hukum. Halangan yang memerlukan penanggulangan tersebut adalah antara lain: 1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi; 2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi; 3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sangat sulit untuk membuat suatu proyeksi; 4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material; 5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. 5. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
72
Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan akan berlangsung dengan lancar dan mencapai tujuan. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. 6. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Pendapat masyarakat mengenai hukum ikut mempengaruhi penegakan hukum dengan kepatuhan hukum. Salah satu pendapat masyarakat yaitu mengenai arti hukum yang dianggap identik dengan petugas (penegak sebagai pribadi). Pendapat tersebut menyebabkan masyarakat akan mematuhi hukum jika ada petugas 7. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cita dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusiadi dalam pergaulan hidup. Hukum harus dibuat sesuai dengan kondisi masyarakat dan tidak boleh bertentangan dengan kebudayaan yang hidup di masyarakat. Kebudayaan yang berkembang di Indonesia sangat beragam. Setiap daerah terdiri dari suku bangsa dengan bahasa dan adat istiadat yang berbeda dengan suku bangsa di daerah lain.
73
Kemajemukan ini berpengaruh terhadap usaha penegakan hukum di Indonesia. Ketentuan yang diatur dalam suatu peraturan perundangundangan dapat berlaku bagi suatu daerah tapi belum tentu bisa dilaksanakan di daerah lain. Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka terdapat beberapa faktor yang penghambat dalam pelaksanaan pembinaan narapidana baik itu faktor intern maupun faktor ekstern. Faktor-faktor intern yang menghambat berjalannya proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto adalah faktor penegak hukum, sarana gedung yang kurang memadai dan sarana fasilitas pembinaan. Petugas LAPAS sebagai salah satu penegak hukum, dalam hal ini harus ditunjang dengan mutu dan kualitas pegawai atau personil lembaga pemasyarakatan khususnya LAPAS Kelas IIA Purwokerto. Bangunan sebagai tempat dalam proses pembinaan juga harus ada perluasan guna mengantisipasi adanya kelebihan kapasitas, ruangan tang harusnya diisi empat orang menjadi sepuluh orang. Sarana fasilitas proses pembinaan seperti alat-alat untuk kerajinan yang tergolong sedikit dan harganya yang relatife mahal menjadikan para narapidana tidak seluruhnya dapat ikut serta dalam proses pembinaan keterampilan. Kondisi ruangan yang demikian LAPAS sudah tidak pada eksistensinya lagi namun mengarah kepada budaya penjara. Munculnya budaya penjara karena adanya keterbatasan-keterbatasan
dan
deprisasi
dalam
penjara
(pain
of
74
imprisonment)38. Selain itu factor ekstern yang menghambat berjalannya pembinaan narapidana di LAPAS Purwokerto adalah factor ekonomi yang diikuti dengan minimnya lapangan kerja yang ada atau tersedia setelah narapidana itu bebas, dan faktor pendidikan bagi narapidana yang minim baik pendidikan formal maupun non formal. Faktor pendorong pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto yaitu pembinaan narapidana sebagian besar berasal dari Puwokerto, sehingga memudahkan untuk menyampaikan pelaksanaan pembinaan. Serta adanya dukungan dari pihak ketiga seperti masyarakat, ormas-ormas, dan instansi pemerintah ikut antusias dalam pelaksanaan pembinaan, para narapidana menyambut dan merima dengan baik. Narapidana adalah manusia yang memiliki spesifikasi tertentu, secara umum narapidana adalah manusia biasa seperti manusia-manusia lainnya, namun kita tidak dapat begitu saja menyamakan, sehingga tidak harus diberantas. Bagaimanapun juga narapidana adalah manusia yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi lebih produktif. Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Puwokerto menyambut dengan baik pelaksanaan pembinaan narapidana khususnya mengenai pelaksanaan pembinaan tentang jasmani dan kerochanian yang dapat
38
Josias A. Simon R, 2012, Budaya Penjara Pemahaman dan Implementasi, Bandung, Karya Putra Darwati, hal. 7.
75
mendekatkan diri kepada Allah Swt menjadiakan kepribadian yang lebih baik. Pelaksanaan pembinaan keterampilan yang diterima oleh narapidana sangatlah bermanfaat sebagai kegiatan yang positif dan meningkatkan kemandirian. Pelaksanaan pembinaan dapat berjalan dengan baik dan lancar karena sudah terjadwal. Faktot-faktor tersebut sangat penting karena dapat berfungsi sebagai faktor pendorong terlaksananya pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto dengan baik. Pembinaan kemandirian yang diberikan kepada narapidana misalnya membuat meja, lemari, sapu, tralis, rak sepatu. Petugas LAPAS Kelas IIA Puwokerto sudah berusaha mencoba kerjasama dengan bengkel las/bubut atau perusahaan pengrajin kayu di Kabupaten Banyumas untuk menyiapkan bahan mentah agar dapat dikerjakan oleh narapidana. Tetapi masih mengalami hambatan karena respon dan kepedulian mereka terhadap narapidara masih kurang. Bengkel las/bubut atau perusahaan yang akan diajak kerjasama masih memperhatikan untung ruginya karena mereka takut kalau nantinya narapidana membuat kesalahan-kesalahan dalam proses produksi. Selain itu masalah pendanaan pelaksanaan pembinaan kemandirian serta mengenai keterampilan itu hanya bersifat sementara kadang kala ada narapidana yang bebas dan petugas serta narapidana yang sudah agak terampil harus melatih narapidana yang masih baru, sehingga menjadi suatu kendala serta menjadi faktor penghambat pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Puwokerto.
76
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto yaitu pelaksanaan pembinaan kepribadian dan kemandiriaan.
Narapidana
Lembaga
Pemasyarakatan
Kelas
IIA
Purwokerto yang berjumlah 345 orang yang dibagi antara narapidana dan tahanan. Yang semuanya telah menerima pembinaan kepribadian dan kemandirian, walaupun telah terjadi kelebihan kapasitas. Mengenai Pembinaan Kepribadian tersebut yaitu meliputi: a) Penyuluhan hukum; b) Pengajian; c) Sholat berjamaah; d) Kunjungan-kunjungan; e) Mengikuti senam pagi; f) Olahraga; g) Kebersihan lingkungan. Mengenai Pembinaan Kemandirian yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto, meliputi pembinaan mengenai
77
keterampilan seperti membuat meja, lemari, sapu, tralis, rak sepatu. Pelaksanaan pembinaan kemndiriaan berguna untuk narapidana setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto. 2) Berkaitan dengan efektivitas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto untuk memaksimalkan pembinaan narapidana adalah dengan cara pembangunan Lembaga Pemasyarakatan yang baru yang bisa menampung narapidana lebih dari 500 orang narapidana serta meningkatkan kelas lembaga pemasyarakatan menjadi kelas I berdasarkan pasal 4 Kepmenkeh RI Nomor M-01-Pr-07-03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lemabaga Pemasyarakatan. B. SARAN
1. Mengenai sarana dan prasarana, diharapkan pemerintah pusat untuk menambah fasilitas-fasilitas yang ada di Lembaga Pemasyarakatan yang ada di seluruh wilayah Republik Indonesia pada umumnya dan pada
khusus
untuk
Lembaga
Pemasyarakatan Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Purwokerto. 2. Meningkatkan Sumber Daya Manusia bagi para petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan tersebut dengan berbagai macam pelatihanpelatihan yang ada, program dan ragam pembinaan terutama dalam program kemandirian terhadap Narapidana hendaknya dilaksanakan secara efektif dan kreatif serta berdaya guna untuk pengembangan
78
kepribadian serta peningkatan ketrampilan bagi Narapidana yang akan memberikan dampak yang cukup besar bagi para Narapidana.
79
DAFTAR PUSTAKA Angkasa. 2010. Over Capacity Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Unsoed. Jurnal Dinamika Hukum; Arief Barda Nawawi, 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung; ________________dan Muladi, 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung. Alumni; Gunakaya A. Widiana. 1988. Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan. Bandung. Armico; Hadari, Nawawi.1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; Hanitijo Soemitro Ronny. 1986. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press; Josias A. Simon R. 2012. Budaya Penjara Pemahaman dan Implementasi. Bandung. Karya Putra Darwati; Kartanegara Satochid. 2001. Hukum Pidana Bagian Satu. Jakarta. Balai Lektur Mahasiswa; Koentjoroningrat. 1986. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia; Muhadjir Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Rake Sarasin; Rubai Masruchin. 1997. Mengenal Pidana Dan Pemidanaan. Malang. IKIP; Samosir C. Djisman. 2012. Sekelumit Tentang Penologi dan Pemasyarakatan. Bandung. Nuansa Aulia;
Soekanto Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. Universitas Indonesia; ________________. 1990. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegukan Hukum. Jakarta. Raja Grafindo Persada; _______________. 2007. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta. Raja Grafindo Persada; Waluyo Bambang. 2002. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika.
80
Peratuan Perundang-undangan
Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. PP No.32 tahun 1999 tentang Syarat Dan Tatacara Pelaksanaan Hak Waga Binaan Pemasyarakatan PP No.31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
Internet
Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto Segera Dipindah. http://www.suaramerdeka.com.online diakses pada tanggal 27 april 2009; www. hukumonline. com Esensi lembaga pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana http://hmibecak.wordpress.com// diakses 29 mei 2007 www.psychologymania.com. Pengertian narapidana diakses oktober 2012