BAB 1 PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Jauh
Sebelum
kemerdekaan
Indonesia
diproklamasikan,
kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara sudah melakukan hubungan diplomasi antar satu kerajaan dengan kerajaan lainnya atau bahkan ke luar Nusantara. Berbagai macam alasan dimulainya hubungan diplomasi ini dimulai dari segi ekonomi, politik, dan lain sebagainya menjadi faktor pendorong hubungan vertikal ini. Di dalam buku “Sejarah Diplomasi RI Dari Masa ke Masa”1 ciri-ciri ini disebut sebagai “Diplomatic Encounter” atau persentuhan diplomatik awal yang terjadi di bumi Nusantara. Sebagai contoh adalah ketika Sultan Banten Abdul Fattah mengutus dutanya yaitu Kyai Ngabehi Naya Wipraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana ke Kerajaan Inggris pada 1681, mereka adalah utusan pertama Nusantara ke London. Para duta besar Banten itu tinggal hampir empat bulan di Kota London, sebagai tamu East India
Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945-1950, (Jakarta, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2004), hlm 47. 1
2
Company (EIC) yang melayani mereka layaknya utusan seorang Raja yang sangat dihormati. Kedua utusan itu mendapat gelar bangsawan “Sir” dari Raja Charles II yang secara pribadi menyerahkan surat kepada Raja mereka.2 Dapat di katakan utusan Banten ini adalah cikal bakal diplomat Indonesia untuk berdiplomasi dengan pihak asing atau nonpribumi. Sejak dahulu kala dengan mempelajari hubungan antar bangsa biasanya dilakukan oleh utusan Raja atau pemerintah, utusan
itu
biasanya
dilengkapi dengan
“Diploma”
atau
surat
kepercayaan dari Pemerintah yang mengutusnya.3 Berakhirnya Perang Dunia II dengan kemenangan pihak sekutu dan kekalahan Jepang, mengakibatkan “Vacuum of Power” di Indonesia yang pada akhirnya diputuskan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Republik Indonesia dihadapkan pada posisi yang sangat genting, dimana masuknya sekutu khususnya pasukan Inggris sebagai pemenang perang untuk melucuti senjata tentara Jepang ternyata diikuti dengan tentara NICA Belanda. Tujuan Belanda sendiri untuk kembali
2 3
Ibid., hlm 79. Ibid, hlm 20.
3
mengambil alih Indonesia yang dahulu pernah menjadi koloninya pada masa Hindia Belanda. Sebelum masuknya Jepang pada 1942, Nusantara bernama Hindia Belanda yang merupakan koloni tradisional Negeri Belanda. Pasukan sekutu khususnya Belanda beranggapan pemerintahan Republik Indonesia yang sah dan telah terbentuk sebelumnya tidak pernah ada. Akibatnya munculah gesekan-gesekan dengan para pemimpin Republik dan pemuda Indonesia. Tidak jarang timbul bentrok fisik dengan tentara sekutu-Belanda yang disebabkan profokasi yang dilakukan pihak Belanda. Melihat kejadian tersebut akhirnya Inggris sebagai pihak penengah, mempertemukan pihak Belanda dan Indonesia di meja perundingan melalui diplomat seniornya bernama Sir Archibald Richard Kerr. Pada
awalnya
banyak
suara-suara
yang
menentang
perundingan itu, baik dari pihak Indonesia maupun Belanda. Akan tetapi karena kebulatan tekad untuk menghadirkan kondisi yang lebih baik lagi diantara keduanya, perundingan pun berhasil dilaksanakan oleh para perwakilan kedua negara tersebut. Di sinilah para diplomat awal Indonesia mulai melakukan diplomasinya. Diplomat-diplomat awal Indonesia seperti Soetan Sjahrir, Haji Agus Salim, dan Moehamad Roem merupakan diplomat-diplomat awal
4
yang berlatar belakang sipil yang begitu menonjol peranya di dalam setiap perundingan, baik dengan pihak Belanda dan negara lain.4 Walaupun pada nantinya masuknya para diplomat awal Indonesia yang berlatar belakang militer di dalam setiap perundingan dengan pihak Belanda, juga ikut menentukan langkah-langkah yang di ambil dalam melakukan diplomasi untuk membantu kemerdekaan RI. Perjanjian Hoge Veluwe di Negara Belanda adalah perundingan pertama antara pihak Belanda dan Indonesia di dalam memperoleh penyelesaian terbaik di dalam sengketa keduanya. Di perundingan ini Republik Indonesia diwakili oleh Mr. Soewandi (Menteri Kehakiman), Mr.
A.K Pringodigdo (Direktur
Kabinet Presiden merangkap Sekertaris Dewan Menteri), Mr. Ali Boediardjo (Sekertaris Delegasi Republik Indonesia). Adapun pihak Belanda diwakili oleh perdana menteri Schemerhorn, menteri sosial W. Drees, menteri urusan seberang lautan J. Logemann, menteri luar negeri J.H Van Roijen dan Letnan Gubernur Jendral Dr. H. J. Van Mook
yang
sebelumnya
mengungsi
ke
Australia
pada
masa
pendudukan Jepang. Di dalam perundingan Hoge Veluwe ini
Mohamad Roem, Diplomasi Ujung Tombak Perjuangan RI (Jakarta: Gramedia,1989), hlm Xii. 4
5
mengalami kebuntuan dan tidak dicapai titik temu antara pihak Belanda dan Indonesia.5 Kebuntuan ini dikarenakan sikap tegas delegasi Indonesia yang menolak segala usul Belanda, salah satunya pembentukan Federasi Indonesia yang bertujuan hanya memecah belah Republik Indonesia. Tetapi perundingan ini telah diketahui titik permasalahan di antara pihak Belanda dan Indonesia, sehingga akan di adakan pembicaraan lanjutan untuk menyelesaikan masalah yang ada tersebut. Diplomat awal
Indonesia
dengan
latar
belakang
yang
berbeda-beda
menyatukan visi untuk menghadapi Belanda yang diwakili juga oleh para
diplomat
handalnya,
dimana
mereka
memiliki
misi
mengembalikan Indonesia tetap sebagai negara jajahanya seperti sedia kala sebelum masuknya Jepang di Indonesia. Hal tersebut dicanangkan Belanda tanpa melihat nasionalisme Indonesia pada masa itu, yang ingin menjadi negara merdeka dan tak ingin dijajah oleh negara manapun lagi termasuk Belanda. Di dalam pertemuan berikutnya antara pihak Belanda dan Indonesia yaitu Perundingan Linggarjati di Desa Linggarjati, Ciamis, Jawa Barat pada Oktober 1946-Juli 1947 akan dicoba menyelesaikan sengketa yang ada. Di dalam perundingan ini yang dibuka oleh Lord Kilearn, Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia, op.cit., hlm 412. 5
6
seorang utusan khusus yang baru pemerintah Inggris untuk menggantikan Sir Archibald Richard Kerr yang dipanggil pulang kembali ke Inggris. Di dalam pertemuan ini delegasi Indonesia diketuai oleh perdana menteri sekaligus menteri luar negeri Soetan Sjahrir, Mohamad Roem, Haji Agus Salim, Mr. Soesanto, Dr. A.K. Gani, Mr. Amir Sjarifoedin, Dr. Leimena, Dr. Soedarsono, Mr. Pringodigdo dan Mr. Ali Boediardjo sebagai sekertaris jenderal delegasi Indonesia.6 Setelah penandatanganan naskah perjanjian Linggarjati di antara kedua
belah
pihak
selesai,
maka
secara
otomatis
perjanjian
Linggarjati menjadi dokumen internasional yang mengikat kedua belah pihak. Setelah perundingan tersebut mulai banyak negara yang mulai mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara “de facto” walaupun kedaulat an RI hanya meliputi wilayah Jawa, Madura dan Sumatera. Pengakuan awal diberikan oleh pihak Inggris (31 Maret 1947), Amerika Serikat (17 April 1947) kemudian di ikuti pengakuan dari Mesir, Australia, Iran, India, Myanmar dan Uni Soviet. Hal ini menjadi modal berharga dan keberhasilan berdiplomasi dari para diplomat awal Indonesia, meski masih banyak hal di dalam perjanjian Ide Anak Agung Gde Agung, Persetujuan Renville- Prolog dan Epilog, (Solo, Yayasan Pustaka Nusatama,1995), hlm 18. 6
7
Linggarjati yang merugikan pihak Indonesia. Kenyataan yang lebih besar timbul ketika blokade oleh tentara Belanda, di wilayah Republik Indonesia yang sangat merugikan ekonomi pihak Republik. Berbagai cara ditempuh untuk menyelamatkan Perjanjian Linggarjati agar tetap ditaati oleh kedua belah pihak, namun pada 20 Juli
1947
Belanda
melakukan
aksi
militer
pertama
dengan
menyerang berbagai daerah yang dikuasai pihak Republik. Kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Padang, Medan, Palembang dapat dikuasai oleh Belanda, Setelah itu dengan cepat kota-kota lain menyusul dikuasai. Maksud Belanda sendiri melakukan serangan ini untuk mengurangi krisis keuangan yang terjadi di Negeri Belanda, Maka daerah-daerah perkebunan, pertambangan merupakan target utama pendudukan sebenarnya pasukan Belanda.7 Kejadian ini menimbulkan protes dari berbagai pihak baik di dalam Negeri Belanda, maupun dari luar seperti India dan Australia yang
memprotes
mengakibatkan
agresi
dewan
militer
keamanan
mengadakan
penghentian
perundingan
baru.
dewan
tembak
Belanda PBB
tersebut.
memerintahkan
menembak
keamanan
Hal
dan
kemudian
ini
untuk
dimulainya
mengusulkan
pembentukan Jasa-Jasa Baik dan berubah nama menjadi Komisi Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia, op.cit., hlm 564. 7
8
Tiga Negara (KTN), dimana Indonesia dan Belanda menunjuk wakilnya sebagai penengah. Indonesia sendiri menunjuk Australia sedangkan Belanda memilih Belgia, kemudian Australia dan Belgia menunjuk Amerika Serikat sebagai pihak penegah.8 Maka dimulailah Perundingan Renville pada Desember 1947 yang diadakan di atas Kapal Perang Amerika Serikat USS Renville, yang dipersiapkan khusus oleh Amerika Serikat untuk memfasilitasi pertemuan pihak Belanda dan Indonesia di Teluk Jakarta. Delegasi Republik Indonesia terdiri dari : Mr. Amir Sjarifoedin sebagai ketua, Mr. Ali Sostroamidjojo sebagai Wakil Ketua, Dr. Tjoa Sik Len, A.K Gani, Soetan Sjahrir, Haji Agus Salim, Mr. Nasrun, Ir. Djoeanda, dan Drs. Setyadjid. Di dalam perundingan ini terjadi deadlock antara pihak
Belanda
dan
Republik,
persolan
yang
mengakibatkan
timbulnya deadlock yaitu mengenai pembubaran tentara RI dan masalah hubungan luar negeri Republik Indonesia. Seperti diketahui pada bulan April 1947 RI mengutus suatu delegasi besar ke Kairo, Mesir untuk menjalin persahabatan dengan negara-negara Liga Arab dengan ketua delegasinya Haji Agus Salim. Salim dengan cekatan dapat meyakinkan Pemerintah Mesir, sehingga akhirnya mengakui Republik Indonesia secara “de jure” yang 8
Ibid., hlm 569.
9
kemudian diikuti pengakuan oleh Suriah, Irak, Yaman, Afghanistan dan
Saudi
Arabia
disamping
bantuan
yang
diberikan
oleh
perkumpulan kemerdekaan RI di negara-negara Arab.9 Penunjukan Haji Agus Salim sebagai diplomat Republik ke negara-negara Arab sendiri dikarenakan kefasihannya di dalam berbahasa Arab, sehingga mendapatkan simpati dan dukungan dari para pemimpin negara yang tergabung dalam Liga Arab.10 Penunjukan Salim sendiri dapat dikatakan sebagai Cultural Diplomation, Mesir merupakan negara pertama yang mengakui Republik
Indonesia
secara
De facto
dan
De
jure.
Di
dalam
perundingan Renville ini diplomasi Republik tidak berjalan sesuai rencana, akibat dari tekanan KTN akhirnya Indonesia menerima garis demarkasi Van Mook sebagai garis pemisah imajiner antara wilayah kekuasaan Belanda dan Republik. Hal ini mengakibatkan Indonesia hanya menguasai seperlima wilayah Sumatra, setengah Jawa dan Pulau Madura. Kejadian ini merupakan salah satu sebab jatuhnya kabinet Amir Sjarifoedin yang mendapat kecaman dari berbagai pihak, A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan, Periode Renville, (Bandung : Angkasa, 1984), hlm 139. 9
Solichin Salam, Haji Agus Salim Hidup dan Perjuanganya (Jakarta : Djajamurni, 1961), hlm 42. 10
10
khususnya dari militer RI yang menganggap Amir Sjariffoedin terlalu lunak terhadap Belanda di dalam berdiplomasi dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Macetnya perundingan lanjutan antara pihak Belanda dan Republik, menyebabkan munculnya pernyataan dari pihak Belanda
melalui
Menterinya
Saseen
yang
akan
melancarkan
pelaksanaan “berlakunya penetapan” Bewindvoering Indonesie In Overgangstijd
(penetapan
pemerintahan
di
Indonesia
di
masa
peralihan). Dimana Belanda menginginkan pembentukan negaranegara
Federasi
di
Nusantara
tanpa
mengikutsertakan
pihak
Republik yang akhirnya mengalami kebuntuan. Pada tanggal 19 Desember 1948, pada hari Minggu pagi dimulailah agresi Militer Belanda II, Belanda menyerang Yogyakarta yang notabene adalah daerah Ibukota RI, Yogyakarta diserang baik dari darat dan udara oleh Pasukan Belanda. Presiden Soekarno, Mohammad Hatta, H. Agus Salim, Assad (ketua KNIP) dan lainnya telah menjadi tahanan pihak Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka.11 Kesalahan Belanda yang beranggapan bahwa Amerika Serikat akan mendukung langkah Belanda dalam aksi militernya ternyata salah besar. George Mcturnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, (Solo : Uns Press, 1995), hlm 428. 11
11
Laporan dari Panitia Jasa Baik, (Komisi Tiga Negara) kepada dewan keamanan yang isinya menghujat tindakan militer Belanda tersebut. Hal ini dimungkinkan karena diplomat awal Republik di dewan keamanan L. N. Palar, memiliki kecakapan dalam menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia walupun wakil Belanda membantah
semua
laporanya.
Tetapi
dengan
adanya
laporan
tambahan dari KTN tentang kondisi sebenarnya di Indonesia, akhirnya Dewan Keamanan PBB Lebih berpihak kepada Republik. 12 Dewan keamanan PBB pada 7 Januari 1949, membicarakan masalah
Indonesia
menghujat
dan
Belanda
dan
banyak secara
negara tidak
di
dewan
langsung
keamanan mendukung
Indonesia. Atas dukungan dari Amerika Serikat, yang mengancam akan menarik bantuan Marshall Plan untuk Belanda yang sangat dibutuhkanya untuk membangun Negerinya kembali pasca Perang Dunia II. Kejadian ini menyebabkan sikap Belanda melunak dan mau berunding kembali dengan pihak Republik Indonesia. Dewan Keamanan akhirnya menerima 1 resolusi, dimana isi resolusi tersebut sangat menentukan perkembangan selanjutnya masalah
Indonesia–Belanda.
Permasalahan
keduanya
berakhir
dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan Penyerahan Kedaulatan 12
Ibid., hlm 430.
12
secara penuh kepada Republik Indonesia Serikat oleh Belanda pada 27 Desember 1949.13 Sebelum diadakanya Konferensi Meja Bundar telah diadakan pembicaraan pendahuluan antara ketua delegasi Indonesia, yaitu Mohammad Roem dengan wakil dari Kerajaan Belanda yaitu Van Roijen dibawah pengawasan UNCI di Hotel Des Indes, Jakarta pada 14 April 1949. Hasil dari pertemuan itu sangat mencerminkan kemenangan diplomasi yang di jalankan oleh para Diplomat awal Indonesia, Belanda akhirnya bersedia mengembalikan para pemimpin Republik yang ditahan di Bangka untuk dikembalikan ke Yogyakarta Pada 6 Juli 1949. Pemerintah Belanda juga mengakui Republik Indonesia merupakan bagian dari Negara Indonesia Serikat (RIS). Konferensi Meja Bundar yang akan diadakan di Den Haag, diadakan secepatnya setelah pemerintahan RI kembali. Di dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang di adakan di Kota Den Haag, Belanda pada 27 Oktober 1949 delegasi Republik Indonesia diwakili oleh ketua,
Mohamad
Panitia Pusat : Moemamad Hatta sebagai
Roem,
Dr.
Leimena,
Mr.
A.K
Pringadigdo.
Sedangkan Panitia Sipil RI yaitu: Prof. Mr. Soepomo, Mohhamad Roem, Dr. Soekiman Wirdjosadjojo, Mr. Sastroamidjojo, Mr. A.A. Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia, op.cit., hlm 872. 13
13
Maramis, Mr. Kusumah Admadja, Mr. Mohammad Yamin, Hamid Algadri, Mr. Tan Po Guan, T.N. Daud Sjah, Mr. Notosusanto (Sekertaris), Mr. Admodiningrat, Drs. Tambunan, Mr. Wironegoro, Mr. Nasir Pamontjak, Ir. Djoanda, Soenarya Kolopaking.
14
Di dalam Konferensi Meja Bundar yang sedang berlangsung ini, disepakati bahwa Pengakuan baik secara de facto maupun de jure terhadap Republik Indonesia Serikat oleh Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949.
Antara Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia
berdiri sejajar dengan persamaan hak, Indonesia juga terlepas sepenuhnya tanpa terikat dengan Kerajaan Belanda. Sedangkan masalah Irian Barat akan dibicarakan selanjutnya, sementara menunggu pembicaraan lanjutan antara pihak Indonesia-Belanda soal Irian Barat wilayah tersebut akan berada dalam pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kebijakan luar negeri Republik Indonesia yang bebas aktif, dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh para wakil Indonesia diluar negeri maupun para diplomat awal Republik. Mereka mulai melakukan pendekatan ke berbagai negara seperti pihak komunis baik Uni Soviet, China maupun Komintern untuk menghadapi Belanda yang sangat di dukung pihak Sekutu. Walaupun pada saat Tim Peneliti ANRI, Konferensi Meja Bundar (KMB), (Jakarta : Anri, 2004). hlm 47 dan 48. 14
14
itu Indonesia bukan lah prioritas bagi komintern khususnya pihak Uni Soviet, yang masih ragu-ragu di dalam membantu Indonesia untuk menghadapi Pihak Belanda. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan Uni Soviet tentang Indonesia, juga kurang pentingnya posisi Republik Indonesia pada saat itu bagi Uni Soviet. 15 Diplomat-diplomat awal Republik Indonesia seperti Soetan Sjahrir, Haji Agus Salim, Moehamad Hatta, dan Mohammad Roem adalah
para
diplomat
awal
Republik
yang
sering
melakukan
perjalanan tugas ke luar negeri untuk mencari dukungan terhadap Republik Indonesia. Indonesia juga meminta bantuan dengan negaranegara Blok Barat, namun banyak negara Barat yang enggan membantu Indonesia. Ini dikarenakan apabila membantu RI akan dicap tidak membela Belanda yang notabene juga negara Barat dan tergabung di dalam Aliansi menghadapi pihak Jerman dan Jepang di perang dunia II. Hal tersebut dapat dimengerti kerena kepentingan Republik Indonesia merupakan tujuan utama tanpa harus terikat di dalam suatu aliansi dengan negara lain. Seperti yang di katakan oleh Moehammad Hatta : “Politik Luar Negeri Indonesia harus ditentukan
Larrisa M Effimova, Dari Moscow ke Madiun ? Stalin-PKI dan Hubungan Diplomatik Uni Soviet-Indonesia, 1947-1953. (Yogyakarta : Syarekat, 2010 ), hlm 56. 15
15
oleh kepentinganya sendiri dan dijalankan menurut keadaan dan kenyataan yang kita hadapi”.16 Hal
yang
kurang
lebih
sama
juga
disampaikan
oleh
Mohammad Roem, “Peran senjata memang besar, tetapi tanpa kemahiran berdiplomasi, baik langsung dengan Belanda, maupun dengan kelompok Liga Arab atau forum PBB, kemerdekaan RI sulit tercapai dan terima kasih untuk para tokoh yang berdiplomasi secara brilian di forum internasional.” Di dalam setiap perundingan pasti terdapat orang-orang yang sangat penting dan berperan besar didalam perundingan tersebut, seperti halnya di dalam perundingan antara pihak Republik dan Belanda. Para Tokoh pro diplomasi seperti Sjahrir, Soekarno, Mohamad Roem, Hatta, Van Mook dan juga Schemerhorn, merupakan orangorang yang berperan penting di dalam setiap perundingan. Dimana orang-orang yang sangat anti untuk berdiplomasi baik di Indonesia dan Belanda dapat sewaktu-waktu menggagalkan setiap usaha perundingan di antara kedua belah pihak.17 Kaum kiri Indonesia dengan poros Tan malaka tidak Ingin melakukan perundingan Mohammad Hatta, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, (Jakarta : Tintamas,1953), hlm 16. 16
17
Mohamad Roem, op.cit., hlm 76.
16
dengan pihak Belanda, sebelum Belanda keluar dari Indonesia. Hal ini sendiri disebabkan Tan Malaka menganggap berdiplomasi dengan Belanda hanya suatu kesia-siaan belaka dan ingin menyelesaikannya dengan jalur militer. Hal yang sama juga terjadi di pihak Belanda dimana banyak kalangan Politisi khususnya Partai Kristen, maupun orang-orang Konservatif
Belanda
lainnya
tidak
menginginkan
perundingan.
Mereka masih menganggap Republik Indonesia masih merupakan Hindia Belanda yang notabene adalah wilayah kolonial Belanda terdahulu, Tanpa melihat nasionalisme RI dan mau berunding dengan pihak Republik Indonesia. Secara umum pihak sekutu juga enggan mengakui pihak Republik Indonesia secara de facto, namun hal berbeda di perlihatkan pihak Inggris. Brigadier King pemimpin pasukan Inggris menemui Walikota Jakarta, Suwiryo dalam meminta bantuan dalam memperbaiki sarana di rumah dinas Perwira Inggris yang rusak. King memanggil Walikota Suwiryo dengan istilah “Mr. Mayor” Peristiwa ini telah menunjukan
pengakuan
terhadap
orang-orang
Republik
yang
berkuasa di pemerintahan, dengan kata lain pihak sekutu terutama Inggris telah mengakui Republik secara de facto.18 18
Ibid., hlm 46 dan 47.
17
Pihak Inggris yang sangat mengerti akan nasionalisme bangsa yang baru merdeka seperti Indonesia sangat tinggi, dan sangat berhati-hati untuk menghadapi pihak Republik yang mendapat dukungan rakyat. Inggris yang memiliki pengalaman serupa dengan Nasionalisme India, sangat menyadari betul hal ini. Inggris bersikap lebih lunak dan ingin bekerja sama dengan pihak Republik untuk melancarkan kedudukan pasukan sekutu di Indonesia.19 Tema
ini
dipilih
awalnya
karena
keingintahuan
penulis
terhadap sejarah para diplomat awal Republik Indonesia. Selama ini kebanyakan Penulis sejarah yang mengangkat tema tentang ini khususnya
adalah
sejarah
diplomasi
Indonesia,
ataupun
soal
perjuangan kemerdekaan Indonesia tanpa menerangkan lebih lanjut peran dan siapa saja para diplomat awal Republik. Baik di dalam membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, selain jalur militer yang juga ditempuh untuk mewujudkan Indonesia merdeka secara de facto dan de jure dimata hukum internasional.
19
Ibid.
18
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
Dari latar belakang di atas pokok permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini adalah, mencakup peran para diplomat awal Indonesia baik diplomat awal yang berlatar belakang sipil maupun diplomat yang berlatar belakang militer. Ini dimulai di masa awal kemerdekaan Republik Indonesia untuk mempertahankan eksistensinya, di dalam menghadapi pihak Belanda yang tidak ingin melepaskan Indonesia menjadi negara berdaulat penuh yang berdiri sejajar dengan negara lain. Juga tentunya pihak sekutu yang lebih suka apabila Republik Indonesia tetap berada di bawah kekuasaan Belanda, sehingga usaha yang dilakukan oleh Republik banyak yang pada akhirnya malah menguntungkan pihak Belanda.
Dari
problem
statement
tersebut
penulis
mengajukan
beberapa pertanyaan penelitian, diantaranya : 1.
Siapa
saja
diplomat
awal
Republik
Indonesia
paska
kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 ? 2.
Apa latar belakang para Diplomat awal Republik Indonesia sehingga dipilih menjadi “Juru runding” menghadapi pihak Belanda dan negara lain ?
19
3.
Sejauh mana peran para diplomat awal Republik di dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia ?
4.
Langkah-langkah apa yang diambil para diplomat awal Republik di dalam menekan Belanda untuk kembali berunding ?
5.
Faktor penentu apakah bagi keberhasilan diplomasi RI sehingga dipandang sukses, sehingga Belanda mengakui Kemerdekaan Republik Indonesia sebagai negara Merdeka dan berdaulat ?
Lingkup penelitian ini akan banyak membicarakan aspek sosial-politik dimana lebih mengedepankan para diplomat awal Republik Indonesia di dalam maupun di luar meja perundingan, baik dengan Belanda maupun negara lain. Spasial dari penelitian ini tentu saja di fokuskan di wilayah spasial Republik Indonesia, dikarenakan hampir semua perundingan dengan pihak Belanda bertempat di Indonesia. Dapat dikatakan semua diplomat awal Republik Indonesia merupakan orang asli Indonesia, sehingga penelitian ini akan difokuskan di wilayah Republik Indonesia. Temporal yang digunakan pada penelitian ini adalah pada 1945-1950, dikarenakan pada 17 Agustus 1945 Republik Indonesia memproklamasikan
kemerdekaanya dan
ingin
mempertahankan
eksistensi kemerdekaanya ketika dicoba untuk dihancurkan oleh
20
Belanda. Pada tahun-tahun ini juga Belanda akhirnya mengakui Indonesia sebagai negara merdeka baik secara de facto maupun de jure dan terlepas dari Kerajaan Belanda yakni penyerahan kedaulatan kepada RI pada 27 Desember 1949. Di tahun-tahun ini juga Indonesia mulai diakui oleh negara-negara lain khususnya negaranegara Arab secara de jure.
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan skripsi ini adalah menjelaskan sejauh mana peran besar para diplomat awal Indonesia, baik diplomat yang berasal dari kalangan sipil maupun dari kalangan militer di dalam berdiplomasi dengan Belanda dan negara lain. Di samping itu penelitian ini juga berusaha
untuk
menjelaskan
latar
belakang
kehidupan
para
diplomat awal Indonesia, dimana pada akhirnya dapat menjadi tolak ukur yang pasti untuk menjelaskan tujuan maupun motivasi utama dan langkah-langkah apa yang diambil oleh para diplomat awal RI untuk mencapai tujuan-tujuan Republik. Diplomasi yang merupakan ujung tombak perjuangan yang ditempuh pemerintah RI selain jalur militer yang juga di ambil oleh pihak Republik Indonesia, apabila sewaktu-waktu perundingan dengan Belanda gagal. Diplomasi yang
21
dijalankan oleh beberapa orang “pilihan” ini akhirnya membawa RI diakui oleh Belanda dan negara lain secara de jure maupun de facto. Seperti kita ketahui sebelumnya, tujuan utama perjuangan RI yaitu untuk mempertahankan eksistensi kemerdekaannya yang telah diproklamasikan dan diakui oleh dunia internasional sebagai negara merdeka dan lepas dari kolonisasi bangsa asing.
D. METODE PENELITIAN
Metode penelitian sejarah adalah penelitian sejarah yang menggunakan
penyelidikan
menyeluruh,
terhadap
setiap
objek
penelitian baik berupa arsip dan literatur maupun wawancara dengan para tokoh yang terkait dengan peristiwa sejarah tersebut. 20 Seorang
Sejarawan
menurut
Louis
Gottschalk,
apabila
telah
menemukan sebuah dokumen sejarah harus menetapkan dua hal yaitu : pertama, apakah dokumen sejarah tersebut otentik ? kedua adalah bagian mana yang otentik jika hanya sebagian yang otentik dan dapat dipercaya, dan sejauh mana ? namun apabila Sejarawan hanya menetapkan sebuah dokumen otentik atau tidak, maka Helius Syamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm 13. 20
22
sejarawan tersebut hanya seorang spesialis yang menerapkan kegiatan bantu dari sejarah.21 Dikarenakan Sejarawan akan menemui kendala yang besar dalam penulisan sejarah, seperti bagaimana caranya menyusun detail yang telah disimpulkannya dari dokumen-dokumen yang otentik tersebut menjadi sebuah kisah atau penyajian yang saling berhubungan. Penulisan sejarah mengenai suatu tempat, peristiwa, periode, lembaga atau orang bertumpu pada empat kegiatan pokok yang meliputi : 1. Pengumpulan pengumpulan
objek
yang
bahan-bahan
berasal
dari
tercetak,
zaman
tertulis,
itu
lisan
dan yang
relevan. 2. Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik. 3. Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai bahan-bahan yang otentik. 4. Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya tersebut menjadi sebuah kisah dan penyajian yang berarti. 22
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Pengantar Metode Sejarah. (Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975), hlm 18. 21
22
Ibid., hlm 22.
23
Sumber yang digunakan dalam penelitian skripsi ini berupa Arsip, Foto, Surat kabar dan juga Majalah (Sumber tertulis). Adapun Surat Kabar maupun Majalah yang digunakan dalam skripsi ini yaitu Koran Kedaulatan Rakyat dan Majalah Tempo. Selain sumber tersebut, penelitian ini juga menggunakan sumber lain berupa buku maupun artikel yang relevan dengan judul penelitian ini. Apabila sumber yang diperlukan dalam penelitian ini telah didapatkan, maka langkah selanjutnya yaitu melakukan kritik Intern dan Ekstern. Yaitu melakukan kritik mengenai sumber tersebut asli atau tidak palsu, juga kritik mengenai isi dari sumber tersebut apakah dapat dipercaya apa tidak.23 Apabila semua langkah telah dilakukan, maka selanjutnya adalah melakukan penulisan mengenai penelitian tersebut.
E. TINJAUAN PUSTAKA
Pada saat meneliti tentang hal yang sedikit banyak mempunyai persamaan dengan tulisan lain dalam hal ini kesamaan tema, penulis akan mencoba membandingkan tulisan-tulisan yang banyak
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Bentang, 2005), hlm 90. 23
24
di jumpai mengenai diplomasi juga
para diplomat Indonesia.
Dikarenakan akan menulis tema tentang hal tersebut, maka penulis akan membuat pustaka yang membandingkan antara satu tulisan dan tulisan lainya. hal ini dimaksudkan untuk membantu penulis mengetahui adanya kaitan antara tulisan mereka dan tema penulis. Buku
yang berjudul “Sejarah Diplomasi Republik Indonesia
Periode 1945-1950”,24 adalah buku yang menjelaskan bagaimana sejarah
Perjuangan
Bangsa
Indonesia
untuk
mempertahankan
kemerdekaanya di mana pada masa setelah Perang Dunia II usai. Belanda
kembali
Pemerintahan yang
masuk
ke
Indonesia
dan
tidak
mengakui
pada saat itu telah terbentuk di Indonesia. Di
dalam buku ini juga di jelaskan tiap pertemuan antara pihak Republik
dan
Belanda,
di
dalam
meja
perundingan
untuk
menyelesaikan masalah yang sedang berlangsung. Kelihaian para diplomat Indonesia di uji untuk berdiplomasi dengan para Diplomat Belanda yang juga ingin memaksakan kehendak Pemerintahanya agar berkuasa kembali di Indonesia. Pada akhirnya diperoleh pengakuan oleh Belanda pada 27 Desember 1949
Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia Dari Masa Ke Masa Periode 1945-1950, (Jakarta : Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2004) 24
25
yang mengakui Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh baik secara de facto maupun de jure. Buku kedua berjudul “Diplomasi :Ujung Tombak Perjuangan Rl” 25
yang menjelaskan bagaimana konflik internal yang terjadi di tubuh
pemerintah, paska proklamasi antara para pemimpin Republik. Perbedaan pandangan di antara mereka mengakibatkan tidak jelasnya arah perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan RI. j Di jelaskan juga dalam buku ini, para diplomat Indonesia yang berpergian ke negara-negara lain untuk memperoleh dukungan dan pengakuan sebagai negara merdeka. Dimana negara-negara tersebut pada
awalnya
enggan
memberikan
pengakuan
dan
kemudian
berbalik arah dan berlomba-lomba untuk mengakui Indonesia. Dalam buku ini Mohamad Roem banyak bercerita tentang perundingan-perundingan yang dilakukan di antara kedua belah pihak yaitu Republik Indonesia dan juga Negeri Belanda. Pada akhirnya pihak Indonesia lah yang memenangkan konfrontasi dengan Belanda yang selalu dibantu oleh negara-negara Barat. Belanda akhirnya menyerah setelah tekanan dan kecaman yang diterimanya
Mohamad Roem, Diplomasi : Ujung Tombak Perjuangan RI (Jakarta: Gramedia,1989) 25
26
dari seluruh dunia, dan bersedia mengakui Republik Indonesia sebagai negara merdeka lepas dari Kerajaan Belanda. Dibuku ketiga yang berjudul “Menelusuri Jalur Linggarjati :Diplomasi Dalam Perspektif Sejarah”,26 tentang
diplomasi
perundingan
dan
dengan
diplomat
pihak
dimana banyak diulas
Indonesia
Belanda
di
khususnya
dalam di
meja dalam
perundingan Linggarjati. Dimana di dalam perjanjian tersebut tidak disepakati tentang suatu penyelesaian atas sengketa yang terjadi, namun dengan terjadinya konflik bersenjata setelah perundingan ini masalah Indonesia mulai masuk ke panggung Internasional dan menjadi masalah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bukan lagi menjadi masalah dalam Negeri Belanda saja, hal ini membawa pengaruh yang besar di dalam pengakuan Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka di mata dunia internasional. Buku
keempat
berjudul
“Nasionalisme
dan
Revolusi
di
Indonesia”27 di dalam buku ini George Mc Turnan Kahin, sebagai penulis
menceritakan tentang awal masa VOC hingga masa pasca
A.B. Lapian & Drooglever P.J, Menelusuri Jalur Linggarjati : Diplomasi Dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta : Pustaka Utama Graffiti,1992) 26
George Mcturnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, (Solo : Uns Press, 1995) 27
27
kemerdekaan Republik Indonesia yang banyak disebut dengan masa revolusi Indonesia. Buku ini banyak dijelaskan tentang nasionalisme yang sangat kuat di dalam tubuh masyarakat Indonesia yang ingin merdeka lepas dari penjajahan, baik oleh Jepang maupun pihak Belanda
yang
ingin
berkuasa
kembali
di
Indonesia
dengan
membonceng pasukan sekutu. Di jelaskan juga perundingan antara pihak Republik dan pihak Belanda, hingga tercapainya penyerahan kedaulatan RI oleh Belanda. Buku kelima berjudul Renville28 buku yang merupakan buah fikiran dari Ide Anak Agung Gde Agung yang menjelaskan tentang perjanjian Renville. Yaitu perjanjian antara pihak Republik Indonesia dan Belanda di atas Kapal Perang Amerika Serikat USS Renville di Teluk Jakarta. Di dalam buku ini di jelaskan peran komisi 3 negara atau juga komisi jasa-jasa baik, dimana Indonesia diwakili oleh Australia sedangkan Belanda diwakili oleh Belgia. Dimana dua negara
tersebut
menunjuk
Amerika
Serikat sebagai
penengah
diantara keduanya. Di jelaskan juga konflik yang terjadi antara Belanda
dan
Indonesia
sebelum
berlangsungnya
Perundingan
Renville, yang mengakibatkan pihak luar masuk khususnya PBB dan
Ide Anak Agung Gde Agung, Renville (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1991) 28
28
Amerika Serikat untuk turun tangan ikut mengetengahi konflik yang ada melalui jalur Perundingan.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan akan dilakukan secara kronologis yang akan diawali dengan awal kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, hingga kedepannya yaitu disaat pasukan sekutu mulai masuk ke Indonesia dengan diboncengi pasukan Belanda. Sehingga banyak terjadi pertempuran antara RI dan sekutu, juga dijelaskan awal mula Para diplomat awal RI menjadi utusan Republik Indonesia di dalam melakukan perundingan dengan pihak sekutu, Belanda, negara Arab maupun Forum Internasional. Kemudian di bagian isi menjelaskan siapa saja diplomat awal RI yang mewakili RI dalam setiap perundingan dengan pihak Belanda maupun dengan negara lain ataupun dengan pihak PBB. Di dalam mewujudkan
misi
sebagai
negara
yang
merdeka
dan
diakui
eksistensinya oleh negara lain, sehingga terwujudnya kemerdekaan sesungguhnya setelah Belanda mengakui RI secara de jure pada 27 Desember 1949. Indonesia akhirnya berdiri sendiri menjadi negara merdeka yang dapat menentukan sendiri nasibnya, tanpa harus
29
terikat dengan Belanda di dalam membuat kebijakan didalam dan luar negeri. Indonesia akan dan seterusnya menjadi bagian yang setara dan sederajat dengan Kerajaan Belanda maupun negaranegara lain di seluruh dunia.