BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wacana mengenai hubungan sipil dengan militer di Indonesia selalu menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan. Argumentasi itu mengacu pada kenyataan bahwa sudah dari awal kemerdekaan, keberadaan militer di indonesia sebagai kekuatan sosial politik telah menjadi penopang keberlangsungan sistem kenegaaraan dan sistem politik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Lahirnya peran militer Indonesia tidak terlepas dari masa perang perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan Belanda di mana fungsi militer dan politik tidak mempunyai batasan yang jelas, bahkan kedua fungsi tersebut berjalan bersama-sama dan tidak bisa dipisahkan. Sifat perjuangan itu sendiri bersifat politik tetapi juga bersifat militer. Perjuangan para pemuda mengangkat senjata melawan Belanda pada waktu itu di dorong oleh motivasi patriotik untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan oleh para politisi kalangan nasionalis. Karekter tersebut mendorong kecenderungan kalangan militer terjun dalam masalah-masalah politik. Sebagian besar kalangan militer yang berorientasi politik semasa revolusi merasa mempunyai andil besar dalam perjuangan kemerdekaan sehingga mereka merasa juga memiliki kepentingan politik sendiri. Keadaan tersebut
1
memunculkan perbedaan seperti perundingan-perundingan dengan Belanda yang disetujui oleh pemerintah sipil namun tidak dengan pihak milter pada saat itu 1. Perubahan konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar sementara 1950 yang berasaskan demokrasi liberal sangat berdampak kepada menurunnya peran militer bahkan menghendaki militer tidak boleh campur tangan dalam urusan politik. Peran militer tentang kekuatan non-politik tidak bertahan lama dan segera ditarik kembali ke arena politik. Hal tersebut dikarenakan adanya krisis politik yang harus melibatkan militer kedalamanya yaitu peristiwa 17 oktober 1952, di mana terjadi perselisihan antara perwira teknokrat dengan perwira bekas Pembela Tanah Air (PETA) yang juga berimbas kepada perselisihan di parlemen antara oposisi dengan koalisi. Perkembangan politik tersebut semakin mengacaukan stabilitas politik di Indonesia yang diakibatkan pertentangan keras antar partai politik dalam parlemen 2. TNI Angkatan Darat yang sebelumnya terpecah belah dan saling bertentangan mulai menyadari kepentingannya untuk bersatu dikarenakan selama sistem parlementer masih berlangsung pihak militer banyak dirugikan dan diabaikan terutama masalah pembagian dana. Rekonsiliasi formal terwujud dari semua kelompok-kelompok militer yang bertentangan sepakat dan bersumpah untuk menjaga persatuan dan kesatuan.
1 2
Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta. 2002, hal. 215 Ibid hal. 223
2
Kepercayaan diri di kalangan militer yang begitu tertuang dalam masa Orde Baru, di mana tentara sendiri (ABRI) yang seharusnya merupakan alat negara yang bertugas menjaga pertahanan dan keamanan, memberikan perlindungan kepada masyarakat dan menjamin hak-hak politik masyarakat, justru terjebak dalam permainan politik orde baru dengan tidak malu-malu menghalau para perwira potensialnya untuk terlibat dalam jabatan politis seperti menjadi gubernur, bupati atau menjadi kepala desa dengan tujuan untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945, menjaga stabilitas politik dan mengawasi jalannya pembangunan sesuai dengan intruksi soeharto sebagai komandernya. Orde baru adalah tonggak sejarah baru setelah periode pemerintahan Soekarno. Diawali dengan adanya pemberontakan G 30 S/PKI yang secara cepat dapat diatasi oleh ABRI dan rakyat, kemudian diperburuk lagi dengan adanya krisis politik yang tidak menentu akibat keengganan Soekarno untuk menyelesaikan kasus G 30 S/PKI, krisis ekonomi semakin parah, masyarakat menjadi gelisah dan akhirnya terjadilah demonstrasi besar-besaran yang mengajukan 3 tuntutan atau yang sering dikenal dengan aksi Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Untuk mengatasi krisis nasional yang semakin parah tersebut, maka pada tanggal 11 Maret 1966 presiden memerintahkan kepada menteri/PANGAD Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan. Surat perintah tersebut
3
di manfaatkan oleh Soeharto untuk tidak ada alasan lagi untuk membubarkan PKI karena dianggap sebagai sumber ketidakamanan serta ketidaktentraman masyarakat 3. Pelimpahan kekuasaan tersebut menjadikan Jendral Soeharto sebagai presiden yang sah dengan dilakukannya sesuai mekanisme konsitusional. Diangkatnya Soeharto sebagai presiden penuh tahun 1968 oleh MPRS membawa militer ke posisi yang dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan baru ini disambut hangat oleh sebagian kecil kalangan politisi, sedangkan sebagian besar menerimanya dengan terpaksa karena memang militerlah yang paling kuat pada waktu itu. Namun langkah apa yang akan dilakukan militer sebagai pemegang kekuasaan dalam menjaga stabilitas politik belum jelas khususnya yang menyangkut partisipasi rakyat dalam politik. Soeharto merupakan orang kuat yang berdiri di atas tiga pilar utama dalam garis kekuasaannya yaitu : tentara, birokrasi dan golkar sebagai istitusi yang secara politik telah digunakan sebagai mesin penindas dan alat bagi kekuasaan Soeharto yang memiliki aneka fungsi dan peran sesuai dengan garis komando di mana soeharto merupakan panglima tertinggi. Militerisasi atau Tentaraisasi politik adalah suatu langkah yang digunakan dalam usaha menjadikan tentara atau militer sebagai instrumen politik penguasa pada masa orde baru. Strategi yang digunakan biasanya dengan memberikan porsi wilayah dan keterlibatan tentara yang besar dalam dalam seluruh sektor kehidupan masyarakat 3
Gregorius Bahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto. Bantul, 2004. hal 112
4
dan turut mengambil bagian yang dominan dalam membuat keputusan-keputusan politik diluar wilayah pertahanan, seperti dalam kabinet, partai politik atau kelompok kepentingan yang bukan wilayah tugasnya, politisasi tentata sendiri diterjemahkan sebagai usaha tentara atau militer untuk menciptakan kepatuhan, loyalitas dan ketundukan pada keputusan-keputusan politik yang dibuat oleh penguasa negara (pemerintah) melalui serangkaian tindakan intimidasi, teror dan represi atas kepentingan kekuasaan 4. Di bawah payung Soeharto, Tentara Nasional Indonesia tidak saja menjadi pagar pengaman dan tameng pelindung Pancasila, tetapi juga menjadi pilar penggerak pembangunan nasional, baik dalam pembangunan ekonomi maupun pembangunan politik yang di letakkan pada usaha penciptaan stabilitas politik yang sehat dan dinamis, guna melindungi patron-patron bisnis, modal dan mengantisipasi amukan massa yang bisa muncul sewaktu-waktu. Meluasnya pengaruh militer mulai nampak dalam pembentukan kabinet pertama pada tahun 1968 yang mengisi kursi departemen pemerintahan dan juga dalam UU Pemilu No 16/1969 Pasal 10 yang memberikan porsi 75 kursi kepada ABRI untuk duduk di DPR/D dan MPR 5. Meluasnya militerisasi politik juga menembus batas dunia bisnis yang menciptakan kelanggengan pemeliharaan kekuasaan dengan dukungan material yang begitu besar, tercipta melalui kerjasama pribumi dan non-pribumi yang menjalani
4 5
Ibid hal 198. Arif Yulianto, Opcit hal 248.
5
pola hubungan saling menguntungkan dengan militer. Militer di satu sisi berperan sebagai penjaga malama bagi kelestarian usaha para pengusaha dengan menghalau gerakan buruh di sektor massa yang dapat mengancam keberlangsungan perusahaan, di sisi lain juga menerima sejumlah kompensasi dari kerjanya disamping turut menikmati usaha bisnis bersama antara pengusaha dengan militer tersebut. Pemerintahan orde baru yang mampu mempertahankan kekuasaan selama lebih dari tiga dekade pada akhirnya jatuh pada Mei 1998. Runtuhnya pemerintahan tersebut tidak terlepas dari krisis moneter yang terjadi pada waktu itu, kegagalan pemerintah
dalam
menanganin
krisis
ekonomi
telah
membuat
legitimasi
pemerintahan hancur sehingga tidak lagi mendapat kepercayaan dari rakyat. Karena di dasari alasan tersebut dan tindakan repfesif militer yang berutal pada masa orde baru muncullah perlawanan terhadap pemerintah yang semakin masif terutama dikalangan mahasiswa seperti demonstrasi dengan tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI 6. Sejak jatuhnya pmerintahan orde baru pada tanggal 21 mei 1998 oleh gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya sebagai gerakan reformasi, maka posisi ABRI dalam peta perpolitikan di Indonesia ikut jatuh pula. Pada masa transisi tersebut banyak perubahan penting dalam tubuh ABRI, terutama dalam tataran konsep dan organisatoris. Seiring dengan arus deras demokratisasi dan dengan melihat keadaan lingkungan strategis dalam negeri yang menghendaki adanya 6
Eric A Nordling, Militer Dalam Politik. 1994. Jakarta, hal 20.
6
berbagai tuntutan tersebut, akhirnya ABRI menyadari untuk segera melakukan reformasi internal seperti yang diamanatkan dalam ketetapan MPR NO. X/MPR/1998 Tentang pokok-pokok reformasi pembangunan nasional sebagai haluan negara, utamanya tentang agenda penyesuaian implementasi Dwi Fungsi ini dengan paradigma baru dan sipil menjadi kekuatannya. Istilah masyarakat sipil sering kali dipersepsikan kurang tepat. Pengertian masyarakat sipil terkadang dipertentangkan dengan komunitas militer. Di zaman Orde Baru pandangan seperti itulah yang mendominasi. Masyarakat sipil selalu dikotomikan dengan kelompok militer. Pendikotomian itu telah mereduksi makna sesungguhnya dari istilah Civil Society yang menjadi padanan kata masyarakat sipil 7. Term masyarakat sipil sebenarnya hanya salah satu di antara beberapa istilah lain dalam mengindonesiakan kata Civil Society. Di samping masyarakat sipil, padanan kata lainnya yang sering digunakan adalah masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya, masyarakat kewargaan, dan masyarakat madani. Perubahan pola hubungan sipil-militer mengarah pada perubahan sistem politik di Indonesia yang menghendaki adanya sistem pemerintahan yang demokratis sehingga pengawasan terhadapat militer di bawah masyarakat sipil yang direpresentatifkan oleh pemerintahan dapat terlaksana demi terwujudnya supremasi sipil.
7
http://www.referensimakalah.com/2012/12/pengertian-masyarakat-sipil-civil-society.html di akses tgl 6 februari 2015
7
Supremasi sipil merupakan supremasi hukum yang menjadi jawaban dari kegelisahan masyarakat terkait tindakan represif aparat militer. Dengan adanya supremasi sipil tersebut militer terpaksa harus menerima kedudukannya yang lebih rendah, tunduk terhadap supremasi sipil tersebut dan patuh terhadap perundangundangan yang dibuat oleh pemerintah sipil sehingga aparat militer tidak dapat mencampuri urusan di luar bidang keamanan dan pertahanan nasional. Dalam konteks reformasi politik, pembongkaran wacana hubungan sipilmiliter merupakan hukum besi perubahan sosial ke arah terbentuknya tatanan politik demokratis. Inilah keharusan dari proses transisi otoritarian menuju demokrasi yang seharusnya makin disadari oleh setiap elemen militer dan para politisi di Indonesia. Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat posisi dan peran militer militer yang lebih kondusif bagi perwujudan demokrasi. Di alam demokrasi sekarang ini hal yang terpenting adalah bagaimana masyarakat sipil dapat menjalankan perannya yang diwakilkan pemerintahan sipil dalam mengontrol peran militer demi terwujudnya militer yang lebih profesional. Maka untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis mencoba mengangkat dalam tulisan ini yang semoga dapat memberikan kontribusi dan masukan bagi masyarakat dengan judul Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru.
8
1.2 Rumusan Masalah Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data
ke dalam penulisan skripsi ini, maka dirumuskan dahulu masalahnya.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di dalam latar belakang, maka penulis merumuskan masalah yaitu Bagaimana Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru. 1.3 Pembatasan Masalah Dalam melakukan penelitian ini, peneliti membuat pembatasan masalah terhadap masalah yang akan dibahas agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini hanya membahas : “Untuk melihat bagaimana kontrol sipil terhadap militer pasca orde baru yang dimulai dengan pemerintahan
B.J
Habibie
sampai
dengan
pemerintahan
Susilo
Bambang
Yudhoyono’’. 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mendeskripsikan peran militer pasca orde baru 2. Untuk mengetahui bagaimana kontrol sipil terhadap militer pasca orde baru 3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan sipil-militer pasca orde baru
9
1.5 Manfaat Penelitian Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah pengetahuan di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara tentang kontrol sipil terhadap militer pasca orde baru dan penelitian ini dilakukan guna memenuhi syarat memperoleh gelar Ilmu Politik (S.IP) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 1.6 Kerangka Teori 1.6.1 Militer Militer dalam bahasa Inggris military adalah the soldiers; the army, the armed forcec 8. yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan prajurit atau tentara; angkatan bersenjata (terdiri dari beberapa angkatan, yakni darat, laut dan atau mariner serta udara. Dalam studi hubungan sipil-militer, para peneliti dan pengamat militer sering berbeda pendapat mengenai siapa pihak militer itu. Amos Perlmutter membatasi konsep militer hanya ditekankan kepada semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan politik, aspirasi dan orientasi yang bersifat politik, tidak memandang kepangkatan, apakah perwira tinggi, menengah atau pertama. 9 Pendapat
8
Lihat AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1974, hal 536. 9 Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2000, hal. 25
10
lainnya, Cohan menyebutkan bahwa pihak militer dapat berupa personal militer, lembaga militer atau hanya perwira senior. 10 Para pengamat hubungan sipil-militer dalam negeri, seperti Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohardiprojo 11 mendefenisikan militer berkaitan dengan kekuatan bersenjata, yaitu TNI sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara. Sedangkan Hardito, 12 membatasi pihak militer ditekankan pada para perwira profesional. Dari defenisi-defenisi yang dikemukakan diatas, dapat dikatakan bahwa pengertian militer secara universal adalah institusi yang bukan sipil yang mempunyai tugas dalam bidang pertahanan dan keamanan, dalam hal ini militer merupakan suatu lembaga, bukan individu, yang menduduki posisi dalam organisasi militer. 1.6.2 Sipil dan Pemerintahan Sipil Istilah sipil dalam bahasa Inggris civilian yakni (person) not serving with armed forces 13 (seseorang yang bekerja di luar profesi angkatan bersenjata). Cohan14 mendefenisikan pihak sipil dapat berupa masyarakat umum, lembaga pemerintah dan swasta, para politisi dan negarawan. Suhartono membatasi pihak sipil sebagai
10
Elliot A. Cohan, “ Civil Military Relation in the Contemporary World”, sebagaimana dikutip oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Pengaruh Internasional dalam Hubungan Sipil-Militer, Jakarta : FISIP UI, 1999,hal 3 11 Sayidiman Suryohadiprojo, Hubungan Sipil – Militer di Indonesia: Suatu Pembahasan, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil-Militer, Jakarta : FISIP UI, 1999,hal 5 12 Bagus A. Hardito, Faktor Militer dalam Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta : CSIS, 1999, hal 144 13 AS. Hornby, Opcit hal 151 14 Elliot A. Cohan, Opcit hal 6
11
masyarakat politik yang diwakili oleh partai politik. Sayidiman Suryohardiprojo memberikan batasan pengertian sipil sebagai semua lapisan masyarakat 15. Dari berbagai pengetian diatas maka dibuat suatu pengertian secara universal bahwa istilah sipil adalah semua orang baik individu atau institusi yang berada diluar organisasi militer. Dalam kajian ini, pengertian sipil dibatasi hanya pada masyarakat politik, dengan alasan bahwa orientasi analisis dalam kajian ini adalah praktekpraktek politik kedua belah pihak dalam memperebutkan kontrol efektif atas kekuasaan pemerintah. Masyarakat politik merupakan integrasi diantara masyarakat yang mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan dalam suatu negara. Istilah pemerintahan sipil digunakan sebagai kebalikan dari istilah pemerintahan militer. Pemerintahan sipil merupakan pemerintahan di mana gaya pengambilan keputusan diambil dengan gaya sipil. Proses administrasi keputusan politik dijalankan dengan mekanisme demokrasi, dimana keputusan itu dibicarakan terlebih dahulu. Jika dalam pemerintahan tersebut kalangan sipil mampu lebih dominan dalam masalah kemiliteran maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan tersebut adalah pemerintahan sipil. Secara teori menurut Eric Nordlinger, pemerintahan sipil terbagi dalam 3 model, yaitu : 16
15 16
Sayidiman Suryohadiprojo, Opcit hal 7 Eric A. Nordlinger, Opcit, Hal 18-25
12
1. Model tradisional, campur tangan militer menggambarkan berlakunya konflik antara kelompok militer dengan pemerintahan sipil. Bentuk pemerintahan sipil ini terjadi karena tidak adanya perbedaan antara sipil dan militer. Pemerintahan sipil tradisional ini, yang disimpulkan dari pemerintahan kerajaan Eropa abad ke 17, dapat mempertahankan legitimasi pihak sipil disebabkan oleh tidak adanya perbedaan yang jelas antara elit sipil dan militer. 2. Model liberal, model pemerintahan ini dengan jelas mendasarkan diri pada pemisahan para elit berkenaan dengan keahlian dan tanggung jawab masingmasing pemegang jabatan tinggi di dalam pemerintahan. Model ini akan menutup kemungkinan militer untuk menekuni arena politik dan kegiatan politik. Model pemerintahan liberal juga didasari pada prinsip penting, yaitu pihak sipil harus menghormati pihak militer. Namun demikian, model liberal bukan merupakan dasar yang kokoh untuk pemerintahan sipil, karena tidak selamanya pihak sipil untuk mematuhi peraturan yang dianggap penting. 3. Model serapan, model pemerintahan sipil ini memperoleh pengabdian dan kesetiaan dengan cara menanamkan ide dan para ahli politik kedalam tubuh angkatan bersenjata. Persamaan ide politik antara kedua belah pihak yang timbul kemudian akan menghapuskan gejala konflik diantara mereka. Bentuk serapan ini begitu berkesan dalam mempertahankan penguasaan sipil.
13
Seandainya timbul konflik kepentingan dan ide politik, pihak sipil mempunyai kemampuan yang lebih tinggi untuk melakukan penyelidikan dan pengawasan. 1.6.3 Hubungan Sipil – Militer Dengan
mengacu
pada
tulisan
Cohan,
Civil-Military
Relation
in
Contemporary World, Susilo Bambang Yudhoyono dalam makalahnya Pengaruh Internasional dalam Hubungan Sipil-Militer berpendapat bahwa hubungan sipilmiliter dapat berupa: 1. hubungan militer dengan masyarakat secara keseluruhan 2. lembaga militer dengan lembaga lain baik pemerintahan maupun swasta 3. para perwira senior dengan politisi dan negarawan 17. Suhartono lebih menekankan bahwa hubungan sipil-militer adalah hubungan antara pihak militer dengan masyarakat politik yang direpresentasikan partai politik 18. Sedangkan Suryohardiprojo berpendapat bahwa hubungan sipil-militer adalah hubungan antara pihak militer yang meliputi semua jenjang pangkat dalam organisasi tersebut dengan semua lapisan masyarakat tidak hanya dengan masyarakat politik. Sedangkan Hardito berpendapat bahwa hubungan sipil-militer mencakup interaksi yang luas antara kalangan perwira professional dengan berbagai sekmen masyarakat. Hubungan antara sipil dan militer di setiap negara berbeda-beda, 17
Elliot A. Cohan, Opcit hal 8 Suhartono, Hubungan Sipil – Militer Tinjauan Histografis 1945 – 1998, Pola, Arah, dan Perspektif, sebuah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Format Baru Hubungan Sipil – Militer, Jakarta FISIP UI, 1999 hal 3 18
14
tergantung pada sistem politik yang dianut negara tersebut. Misalnya di negara yang menganut sistem demokratik liberal dimana masyarakat cenderung memiliki kebebasan dalam politik, maka yang dianut adalah pola supremasi sipil, dimana sipil memiliki peran yang luas didalam politik dan pihak militer hanya merupakan pihak yang berfungsi sebagai alat negara untuk keamanan. Berbeda dengan yang terjadi dinegara yang menganut sistem otoriter, pola hubungan sipil-militer yang terjadi adalah supremasi militer. Militer memegang peranan penting dalam segala bidang kehidupan, hak-hak sipil dikekang dan hanya dijadikan sebagai pelengkap dalam pemerintahan. Menurut pendapat Hardito bahwa pola hubungan sipil-militer dapat berupa dominasi sipil atas militer atau sebaliknya maupun kesejajaran antara keduanya dalam mencapai tujuan politik suatu negara 19. Sedangkan Bakti yang mengartikan hubungan sipil-militer dalam dua model: 20 Pertama, model negara-negara Barat, yaitu hubungan sipil yang menekankan “supremasi sipil atas militer” (civilian supremacy upon the military) atau militer adalah sub-ordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum. Kedua, model negara-negara berkembang yang
19
Ibid hal 5 Ikrar Nusa Bakti, Tentara Mendambakan Mitra, Hasil Penelitian LIPI Tentang Pasang Surut Keterlibatan Militer dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia, Bandung : Penerbit Mirzan 1999.hal 11 20
15
menganggap bahwa hubungan sipil-militer tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Dalam negara berkembang, militer merupakan kekuatan sosial politik yang memegang peranan penting, hal ini dapat mengakibatkan konfrontasi keduanya dalam mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu, yang terbaik adalah pola hubungan antara sipil dan militer yang saling sejajar dan harmoni. Militer tidak menguasai hakhak sipil dan sipil juga tidak ikut campur dalam masalah internal militer, sehingga tidak terjadi ketidaksenangan diantara sebelah pihak. Cohan mengklasifikasikan pola hubungan sipil-militer kedalam empat model yaitu: 21 1. The traditional model. Militer merupakan kelompok yang dilatih untuk menjadi militer yang professional, tidak ikut campur dalam hal-hal yang bukan wilayahnya dan hanya terfokus pada bidang pertahanan dan keamanan. Militer dalam hal ini tidak berhubungan dengan kelompok sosial disekitarnya. 2. The constabulary model. Dalam model ini, fungsi tentara hampir sama dengan polisi yaitu sebagai pengatur ketertiban. Tentara seperti halnya polisi bersifat sebagai pengatur. Pengaturan yang dilakukan adalah demi ketertiban daripada berkonsentrasi pada peperangan. 3. The military as reflection of society. Sebuah sistem nasional dimana militer memainkan peran yang penting dalam membangun civil society yang 21
Elliot A. Cohan, Opcit Hal 14
16
dilaksanakan melalui dinas militer secara luas melalui pendidikan dan indoktrinasi yang positif. 4. The guardian military. Sebuah sintesa dimana militer berfungsi melindungi orde politik dan sosial namun tidak melibatkan diri dalam politik praktis. Menurut Huntington 22 hubungan sipil-militer ditunjukkan melalui dua cara, yaitu: 1. Subjective civilian control (pengendalian sipil subyektif) Hubungan sipil-militer dalam hal ini dilakukan dengan cara meminimalisir kekuasaan militer. Hak-hak sipil diperbesar dan membuat militer menjadi terpolitisasi. Model ini merupakan bentuk ketidakharmonisan hubungan sipil dan militer, karena militer menjadi sangat terbatas ruang geraknya. Namun sebaliknya kekuasaan sipil menjadi sangat luas atau dengan kata lain maximizing civilian control. Kaum sipil menjadi suatu kekuatan yang menjadi pengontrol atas militer. 2. Objective civilian control (pengendalian sipil objektif) Menurut Huntington istilah objective civilian control mengandung 4 unsur yaitu 1). Profesionalisme yang
tinggi
dan
pengakuan
dari
pejabat
militer
akan
batas-batas
profesionalisme yang menjadi bidang mereka; 2) subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer; 3) pengakuan dan persetujuan dari pihak 22
Samuel P. Hutington, The Soldier And The State : The Theory and Politict of Civil – Military Relations, Cambridge : Harvard University Press, 1957, hal 80-99
17
pemimpin politik tersebut atas kewenangan professional dan otonomi bagi militer;dan 4). Akibatnya minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi politik dalam militer. Hal ini dilakukan dengan cara memperbesar profesionalisme militer namun tidak sama sekali diminimkan kekuasaannya, melainkan tetap menyediakan kekuasaan terbatas tertentu yang hanya berhubungan dengan bidang militer. Hal ini diharapkan menjadi suatu model untuk pencapaian hubungan sipil- militer yang sehat atau dengan kata lain model ini dilakukan dengan cara militarizing the military atau memiliterkan militer. 1.6.4 Orientasi Militer Tipe-tipe orientasi militer dari setiap negara berbeda satu sama lainnya. Hal ini tergantung pada bagaimana peran pihak militer didalam pemerintahan. selain itu juga tergantung pada system politik yang dianut oleh negara tersebut. Setiap negara mempunyai karakteristik tersendiri terhadap tipe-tipe orientasi militernya. Menurut Amos Perlmutter ada tiga jenis orientasi militer yang timbul di negara bangsa modern masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap jenis kekuasaan sipil yang dilembagakan, yakni: 23 1. Prajurit Profesional Perwira professional di zaman modern mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
23
Amos Perlmutter, Opcit, hal 14
18
a. keahlian (manajemen kekerasan) b. pertautan (tanggung jawab kepada klien, masyarakat atau negara) c. korporatisme (kesadaran kelompok dan organisasi birokrasi) d. ideologi (semangat militer). Ciri-ciri ini dapat dijumpai dalam semua lembaga militer baik di negara maju ataupun berkembang. Selain itu menurut Huntington militer yang professional mempunyai tiga ciri yaitu : Pertama, keahlian sebagai karakter utama yang karena keahlian ini profesi militer kian menjadi spesifik serta perlu pengetahuan dan keterampilan. Militer memerlukan pengetahuan yang mendalam untuk mengorganisasi, merencanakan, dan mengarahkan aktivitasnya, baik dalam kondisi perang maupun damai. Kedua, militer profesional mempunyai tanggung jawab sosial yang khusus. Selain mempunyai nilainilai moral yang harus terpisah sama sekali dari insentif ekonomi, perwira militer mempunyai tanggung jawab kepada negara. Ini berbeda dengan paradigma yang lazim sebelumnya bahwa militer seakan-akan ”milik pribadi” komandan dan harus setia kepadanya, yang dikenal dengan sebutan ”disiplin mati”. Sebaliknya, pada profesionalisme, perwira militer berhak mengontrol dan mengoreksi komandannya, jika komandan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan rasional. Ketiga, militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan apa yang
19
disebut oleh Huntington dengan the military mind, yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara. Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya dimaknai sebagai kemahiran atau kemampuan dalam menggunakan senjata, tetapi tanggung jawab akan tugasnya sebagai lembaga yang bertugas dalam masalah pertahanan negara. Dalam pandangan Huntington, profesionalitas militer tidak hanya dalam konteks mahir dalam menggunakan senjata dan dilatih dalam tugasnya saja, tetapi juga harus dapat menggunakan kemampuan analisis, pandangan luas, imajinasi dan pertimbangan. Profesionalisme menyangkut keseimbangan antara keahlian dan tanggung jawab sebagai pelindung negara. Prajurit professional klasik timbul apabila suatu koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap tentara. Prajurit dengan keahlian profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara. Lembaga militer yang merupakan unit korporasi berjuang keras untuk menjaga hubungan ini. Dalam hal ini tentara telah mempercayakan pengelolaan negara kepada sipil. Tentara dalam hal ini hanya berkonsentrasi kepada tugasnya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. 2. Prajurit Pretorian Tentara pretorian adalah tentara yang timbul akibat dari ketidakpuasan terhadap kepemimpinan sipil. Pretorian selalu diintervensi oleh kaum sipil. Oleh karena itu kemudian muncullah semacam pemberontakan dari pihak militer yang kemudian berujung pada penguasaan militer didalam segala bidang kehidupan.
20
Menurut Perlmutter 24 kaum pretorian memang lebih sering timbul di masyarakat yang bersifat agraris atau transisi atau secara ideologis terpecah-pecah. Intervensionisme atau kecenderungan tentara dalam hal ini bersifat permanen. Tentara dapat melakukan perubahan konstitusi dan menguasai negara. Hal ini dapat mengakibatkan pandangan yang negatif terhadap keprofesionalan tentara. Perlmutter membedakan tipe tentara pretorian dalam dua kategori yaitu tipe tentara pretorian yang paling ekstrim (tipe penguasa) dan tipe yang kurang ekstrim (tipe penengah). Tentara pretorian penguasa mendirikan eksekutif yang independen dan suatu organisasi politik untuk mendominasi masyarakat dan politik. Jenis tentara pretorian penguasa ini mempunyai ciri, yaitu: 1. menolak orde yang berlaku dan menentang keabsahannya, 2. tidak mempercayai pemerintahan sipil dan tidak mengharapkan akan kembali ke tangsi, 3.
mempunyai organisasi politik dan cenderung memaksimumkan militer,
4. yakin bahwa pemerintahan militer merupakan satu-satunya alternatif yang dapat mengatasi kekacauan politik, 5. memvorpolitisir profesionalisme, 6. beroperasi secara terbuka dan tidak takut akan aksi pembalasan kaum sipil.
24
Ibid, hal 18
21
Sedangkan tentara pretorian penengah tidak mempunyai organisasi politik dan tidak banyak menunjukkan minat dalam penciptaan ideologi politik. Jenis tentara ini mempunyai ciri, yaitu: 1. menerima orde sosial yang ada dan tidak mengadakan pembaharuan fundamental didalam rezim atau struktur eksekutif, 2. kesediaan untuk kembali ke tangsi setelah perdebatan dan konflik diselesaikan, 3. tidak mempunyai organisasi politik yang berdiri sendiri dan tidak berusaha memaksimumkan kekuasannya, 4. menentukan batas waktu bagi pemerintahan militer dan mengalihkan kepada pemerintahan sipil yang dapat diterima, karena mereka memandang pemerintahan tentara yang berkelamaann merugikan integritas profesinya, 5. keprihatinan pemikiran tentang peningkatan profesionalisme, 6. disebabkan karena ketakutannya terrhadap keterlibatan terbuka dalam politik, maka cenderung beroperasi dibelakang layar sebagai kelompok penekan yang mempengaruhi pemerintahan sipil untuk bereaksi terhadap tuntutan rakyat dan tidak perlu bagi militer untuk campur tangan secara terang-terangan, 7. takut terhadap pembalasan pihak politisi maupun penduduk sipil. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara pretorian modern jika militer telah menguasai bidang politik. Militer memegang peranan didalam eksekutif sebagai
22
pelaksana pemerintahan. Oleh karena itu, eksekutif tidak berfungsi dengan baik. Negara ini timbul karena adanya kelompok-kelompok yang bersimpati pada pihak militer sehingga terjadilah istilah political decay yang dapat merusak citra pemerintahan yang dipimpin oleh militer. 3. Tentara Revolusioner Profesional Tentara revolusioner professional hampir sama dengan tentara pretorian. Hanya saja jika tentara pretorian melakukan intervensi secara terang-terangan dengan melakukan
pengambilalihan
terhadap
kepemimpinan
negara,
maka
tentara
revolusioner professional melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Jenis tentara ini memberikan dukungan terhadap kaum revolusioner yang menginginkan perubahan. Tentara ini bukan merupakan hasil dari pendidikan militer, melainkan lahir dari panggilan negara untuk berjuang bersama revolusi. Dari pertama masuk tentara, jenis tentara ini sudah mengalami politisasi dan memiliki hubungan yang simbolik sifatnya dengan revolusi itu sendiri. Tentara revolusioner tidak mengenal adanya pendaftaran dan penerimaan perwira, melainkan kesadaran sendiri untuk ikut bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh karena itu tentara revolusi tidak ada pembatasan jumlah tentaranya. Tentara revolusi adalah angkatan bersenjata massal suatu bangsa yang di persenjatai. Tentara revolusioner professional enggan berdamai dengan rezim yang baru, terutama bila angkatan bersenjata sebelumnya memainkan peranan penting dalam
23
perang pembebasan yang revolusioner itu. Sebelum dan selama revolusi tentara selalu setia kepada gerakan partai. Bila gerakan partai menjadi sama dengan negara atau rezim, maka ia lebih setia kepada bangsanya daripada rezimnya. Kaum revolusioner mutlak harus setia kepada revolusi dan ajaran - ajarannya. Tujuan pokok rezim revolusioner adalah subordinasi segala peralatan kontrol ditangan gerakan partai dan ideologinya. Jadi ideologi kaum revolusioner akan mencakup semua persyaratan prajurit professional pada saat terakhir. Semua nilai orientasi militer tersebut merupakan hasil dari tradisi para perwira militer yang cenderung mematuhi dan mempublikasikannya kepada masyarakat luas. Hal ini dilakukan oleh militer untuk mendapat keabsahan dari masyarakat luas. 1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Penulis menggunakan jenis penelitian studi kasus interpretif. Studi kasus interpretif atau disiplin-konfiguratif bertujuan untuk menjelaskan/menafsirkan kasus tunggal, tapi interpretasi itu secara ekplisit dibangun oleh teori atau bingkai kerja teoritis kokoh yang memusatkan perhatian pada beberapa aspek teoritis spesifik atas realitas dan mengabaikan hal lain. 1.7.2 Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data dan informasi dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode library research atau studi pustaka, yakni dengan cara
24
pengumpulan data dengan menghimpun buku-buku, makalah-makalah dan dokumendokumen serta sarana informasi lainnya yang tentu saja berhubungan dengan masalah-masalah penelitian ini. 25 1.7.3 Teknik Analisa Data Pada penelitian ini bersifat deskriptif dengan harahapan dapat memberikan gambaran terhadap kondisi dan situasi yang terjadi. Data-data yang telah terkumpul akan ditampilkan dalam bentuk uraian kemudian dianalisis lalu dieksplorasi secara mendalam dengan cara membuat penjelasan tentang militer pasca orde baru dalam paradigma baru TNI, kontrol pemerintah terhadap militer pasca orde baru dan hubungan sipil-militer pasca orde baru seperti hubungan militer dengan partai politik dan birokrasi. 1.8 Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci dan untuk mempermudah isi daripada skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan ke dalam 4 bab, yaitu : BAB I : Pendahuluan Dalam bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, kerangka teori atau pemikiran, metodologi penelitian serta sistematika penulisan.
25
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1995, hal. 30
25
BAB II : Sejarah dan Praktek Hubungan Sipil-Militer di Masa Orde Baru Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran sejarah militer di Indonesia masa orde baru. BAB III : Analisis Kontrol Sipil Terhadap Militer Pasca Orde Baru di Indonesia Pada bab ini nantinya akan membahas secara garis besar hasil penelitian sekaligus menganalisis data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan penelitian serta analisis bagaimana kontrol sipil terhadap militer pasca orde baru di Indonesia. BAB IV : Penutup Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga akan terjawab pertanyaan apa yang dilihat dalam penelitian yang dilakukan serta berisi saran-saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadi maupun lembaga- lembaga yang terkait secara umum.
26