BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Permasalahan Indonesia terdiri dari berbagai ragam etnis (suku bangsa), bahasa, dan adat
istiadat.
Salah satu dari etnis di Indonesia yang turut mendukung keberadaan
kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Melayu. Namun, satu hal kompleks bahwa etnis Melayu tidak hanya berada di Indonesia saja, melainkan meliputi berbagai negeri di kawasan Asia Tenggara. Etnis yang disebut Melayu, secara keseluruhan adalah salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah Thailand bagian selatan (Pattani), Semenanjung Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia, yang mempergunakan adatistiadat Melayu. Bahasa nasional yang dipergunakan di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam sebagian besar dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Begitu juga dengan di Singapura, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa nasional kedua. Pada zaman sekarang, penutur bahasa Melayu ini sudah lebih dari 200 juta jiwa. Dengan demikian, sebenarnya kebudayaan Melayu adalah sebagai salah satu khazanah terbesar kuantitasnya di Asia Tenggara ini. Wilayah kebudayaan Melayu di Indonesia mencakup daerah Tamiang, pesisir Timur Sumatera Utara (lazim disebut dengan Sumatera Timur), Riau, Kalimantan, dan Jambi. Khusus di daerah Pesisir Timur Sumatera Utara, mereka berada di daerah Langkat, Deli Serdang, Asahan, dan Labuhan Batu. Kabupaten-kabupaten yang terdapat di dalam kawasan Timur Pesisir Sumatera Utara yang disebutkan di atas terdapat kesamaan dalam adat-istiadatnya. Seperti pada
upacara tepung tawar, khitanan, perkawinan, jamu laut, dan dalam kegiatan pertanian yang dalam kesempatan ini menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini. Dalam kegiatan pertanian, khususnya pertanian padi oleh masyarakat Melayu, pengunaan kesenian biasanya digunakan sebagai pengiring ketika bekerja dan berfungsi sebagai hiburan ketika bekerja. Salah satu kesenian tersebut adalah ahoi. Ahoi merupakan sebuah lagu yang dinyanyikan oleh para petani ketika mengirik padi (melepaskan gabah padi atau bertih padi dari tangkainya dengan cara menginjakinjaknya). Ahoi ini dinyanyikan oleh para petani ketika mengirik padi disaat musim panen tiba. Biasanya para petani atau pengirik berkumpul bersama-sama dengan berjumlah 12 sampai dengan 15 orang dan membentuk posisi lingkaran, kemudian mereka berkeliling secara bersama-sama menginjak-injak tangkai padi sampai bulirbulir padi terlepas dari batangnya sambil bernyanyi. Sehabis menyanyikan satu kuplet pantun secara solo, lalu di dalam refrein diikuti bersama oleh semua pengirik dengan kata-kata “E. .Wak. .Ahoi, ahoi,. . .! Lagu-lagu yang dinyanyikan biasanya berupa pantun berisi tentang ajakanajakan atau seruan mengenai mengirik padi dan juga ucapan syukur atas hasil panen yang melimpah. Pantun yang dinyanyikan biasanya merupakan hasil kreatifitas dari si penyanyi dalam menciptakan pantun. Sama seperti kebanyakan lagu-lagu Melayu lainnya, melodi Ahoi ini juga bersifat berulang-ulang dengan teks yang berbeda-beda. Unsur teks lebih diutamakan daripada unsur melodinya atau dalam dunia etnomusikologi disebut dengan logogenik1. Dalam perkembangannya sekarang ini, ahoi ini sudah sangat jarang ditemui lagi dan bahkan ada yang sudah tidak dilakukan lagi di beberapa daerah. Menurut Bapak
1
Jika lebih mengutamakan melodi daripada teksnya disebut dengan melogenik
Ruslan Nainggolan2 (Salah seorang yang pernah melakukan kegiatan mengirik yang masih hidup), di daerah Batangkuis sendiri kegiatan mengirik padi secara tradisional ini sudah tidak dilakukan lagi semenjak tahun 1983. Salah satu faktor penyebab jarangnya kesenian ini adalah dikarenakan sudah masuknya teknologi mesin dalam pengerjaan proses mengirik padi sehingga tidak membutuhkan banyak orang dalam proses pengerjaannya. Ketika kegiatan mengirik padi secara manual tidak dilakukan lagi, maka secara otomatis kesenian ahoi atau ini pun terkena dampaknya dan tidak dinyanyikan lagi. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, beberapa waktu ke depan kesenian ahoi ini lambat laun akan tinggal sejarah saja, tidak terkecuali juga nilai-nilai falsafah hidup ataupun kearifan lokal kebudayaan Melayu yang terkandung di dalam kegiatan tersebut akan ikut juga menjadi sejarah. Berdasarkan hal yang disebutkan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat dan menulis tentang Lagu Mengirik Padi atau ahoi ini sebagai bahan referensi dan sebagai salah satu syarat khusus kelulusan dari Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU dengan judul : Ahoi Mengirik Padi Pada Masyarakat Melayu Daerah Batang kuis, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara : Suatu Kajian Tekstual dan Musikal
1.2
Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan yang penulis bahas berdasar kepada pertanyaan: 1.
Bagaimana penyajian kesenian ahoi di dalam kegiatan mengirik padi yang dilakukan oleh petani Batang Kuis?
2
Bapak Nainggolan merupakan salah seorang pengirik padi tradisional yang lahir bermukim di daerah Batang Kuis, sehingga penulis memilih beliau sebagai salah satu informan dalam penulisan ini.
2.
Bagaimana unsur musik yang terkandung di dalam kesenian ahoi pada kegiatan mengirik padi pada masyarakat Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang?
3.
Bagaimana makna yang terkandung di dalam teks kesenian ahoi pada kegiatan mengirik padi pada masyarakat Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang?
4.
Bagaimana Fungsi kesenian ahoi dalam kegiatan mengirik padi pada masyarakat Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang?
Pokok permasalahan ini akan dijawab dengan melakukan uraian dalam bentuk kajian penyajian ahoi yang dimaksud. Kemudian menganalisis jalannya kegiatan tersebut, dengan menotasikan musik, mentranskripsi teks-teks nyanyian, dan kemudian menuliskannya dalam bentuk skripsi.
1.3
Pembatasan Masalah
Beberapa aspek dan masalah yang dapat dijumpai pada tradisi nyanyian ahoi ini, diantaranya adalah aspek musikologis, teks, konteks, fungsi dan kegunaan, dan lainnya. Melihat banyaknya masalah di atas, maka penulis lebih menitik beratkan pada aspek musikologis dan aspek tekstualnya.
Dalam aspek musikologisnya, penulis akan membahas tentang analisis melodi dan transkripsi melodi ahoi, yang di dalamnya mencakup : tangga nada, jumlah nada, formula melodi, ritem, interval, perjalanan melodi (contour), dan wilayah nada.
Dalam aspek tekstualnya, penulis akan membahas tentang struktur teks dari nyanyian ahoi, bentuk teks, serta unsur pantun pada teks ahoi dan makna teksnya.
1.4
Tujuan Penulisan Tujuan penulisan merupakan sasaran yang hendak dicapai oleh penulis sebelum
melakukan penulisan. Tanpa adanya tujuan yang jelas, maka kegiatan yang dilakukan tidak akan terarah karena tidak tahu apa yang akan dicapai dalam kegiatan tersebut. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai penulis adalah sebagai berikut: 1.
Mengkaji bagaimana struktur musik lagu mengirik padi yang mencakup melodi dan ritemnya.
2.
Mengkaji struktur teks yang terdapat di dalam lagu mengirik padi.
3.
Sebagai suatu bahan dokumentasi musik tradisional Melayu.
4.
Untuk memenuhi salah satu syarat yang diwajibkan bagi penulis untuk menyelesaikan studi di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
1.5
Manfaat Penulisan Selanjutnya, adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui bagaimana struktur musik dalam lagu mengirik padi atau ahoi. 2. Untuk mengetahui struktur teks di dalam lagu mengirik padi atau ahoi. 3. Sebagai bahan referensi masyarakat akan kesenian Melayu, khususnya lagu mengirik padi atau ahoi. 4. Membantu pemerintah dalam upaya mengembangkan pembangunan di bidang kebudayaan, khususnya kebudayaan Melayu. Kesenian ini dapat dibangkitkan kembali dengan cara merekonstruksinya dan di alih-fungsikan menjadi seni pertunjukan.
1.6
Konsep Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan
menghindari penyimpangan, maka diperlukan pengertian atau definisi terhadap terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini akan menjadi kerangka konsep yang mendasari batasan-batasan makna terhadap topik yang menjadi pokok penelitian. Konsep adalah kesatuan pengertian tentang sesuatu hal atau persoalan yang perlu di rumuskan (Mardalis 2003:46). Demikian juga halnya menurut Koentjaraningrat, yang dimaksud dengan konsep adalah gambaran abstrak. Ia bercerita sebagai berikut: Seorang individu dapat juga menggabung
dan
membandingkan
bagian-bagian
bagian-bagian
dari
suatu
penggambaran dengan bagian-bagian dari berbagai penggambaran lain yang sejenis, berdasarkan asas-asas tertentu secara konsisten. Dengan proses akal itu individu mempunyai suatu kemampuan untuk membentuk suatu penggambaran baru yang abstrak yang sebenarnya dalam kenyataan tidak serupa dengan salah satu dari berbagai macam penggambaran yang menjadi bahan konkret dari penggambaran baru itu. Sehingga manusia dapat membuat penggambaran tentang tempat-tempat tertentu dimuka bumi ini, bahkan juga di luar bumi ini, padahal ia belum pernah berpengalaman melihat atau mempersepsikan tempat-tempat tadi. Itulah konsep (1980:118). Judul skripsi ini adalah Ahoi
Mengirik Padi Pada Masyarakat Melayu
Daerah Batang kuis, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara : Suatu Kajian Tekstual dan Musikal. Agar penulis dan pembaca memiliki pemahaman yang sama terhadap kata-kata yang terkandung di dalam judul tulisan ini, maka perlu diuraikan konsep dari kata-kata tersebut, yaitu sebagai berikut:
Ahoi memiliki pengertian sebagai seruan di antara orang Melayu. Namun dalam penulisan ini, konsep ahoi adalah sebuah seruan yang memiliki unsur musikal yang menjadi judul dalam lagu mengirik padi. Lagu merupakan gubahan seni nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal (biasanya diiringi dengan alat musik) untuk menghasilkan gubahan musik yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan (mengandung irama). Dan ragam nada atau suara yang berirama disebut juga dengan lagu (Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer:2002). Lagu yang saya maksud disini adalah nyanyian vokal yang dinyanyikan para pengirik padi pada masyarakat Batang Kuis. Mengirik berasal dari kata irik yang artinya pijak. Dengan demikian mengirik merupakan sebuah kegiatan memijak atau menebah agar terlepas dari tangkainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Pengertian masyarakat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata masyarakat memiliki pengertian sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yg mereka anggap sama. Masyarakat yang penulis maksud dalam penulisan ini adalah sekumpulan orang yang menempati wilayah Batang Kuis dan terikat di dalam kebudayaan Melayu. Melayu adalah sebuah istilah antropologis dan budaya, yang memiliki berbagai pengertian. Istilah ini bisa bermakna dalam konteks yang luas yaitu ras, bisa juga identitas yang berkaitan dengan tata negara, atau etnik setempat, yang menghuni kawasan tertentu seperti provinsi atau kabupaten. Makna-makna yang bisa luas atau sempit ini umumnya tergantung dalam konteks apa istilah tersebut digunakan.
Berdasarkan pengertian ras, Melayu dapat digolongkan kepada kumpulan Melayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami Gugusan Kepulauan Melayu, Polinesia, dan Madagaskar. Namun demikian pada masa pusat imperium Melayu berada di Malaka 1400 M dan Parameshwara menjadi Islam, maka sejak itu agama Islam disebarkan dari Malaka ke segenap penjuru di Nusantara. Penyebaran yang terjadi melalui proses dagang dan perkawinan ini, sekaligus membentuk budaya Melayu. Setelah itu, terbentuk definisi jati diri Melayu yang baru yang tidak lagi terikat pada faktor geneologis (hubungan darah) tetapi dipersatukan oleh faktor kultural yang sama, yaitu kesamaan agama Islam, bahasa Melayu, dan adat-istiadat Melayu. Definisi Melayu sejak abad ke 15 M dikemukakan oleh penguasa kolonial Belanda dan Inggris serta para sarjana asing bahwa seseorang dikatakan orang Melayu apabila ia beragama Islam, berbahasa Melayu sehari-hari, dan melakukan adat istiadat Melayu dalam kehidupannya sehari-hari. Sehingga sampai pada awal kemerdekaan Indonesia istilah “masuk Melayu” sama dengan ”masuk Islam” (Luckman Sinar 1994:89). Menurut seorang ahli antropologi, Vivienne Wee (dalam Takari dan Dewi, 2008), terdapat perbedaan pengertian Melayu di Singapura, Malaysia, dan Indonesia yang secara langsung berkaitan erat dengan persepsi pemerintah masing-masing. Pemerintah Singapura memandang Melayu sebagai sebuah ras, sebuah kategori yang dihasilkan berdasarkan keturunan dalam sistem etnisitasnya. Bahkan di Singapura, seseorang yang rasnya Melayu, beragama Kristen, berbahasa Inggris, secara syah dianggap sebagai orang Melayu. Terdapat sejumlah kecil orang Melayu Kristen dan mereka dipandang sebagai suatu Asosiasi Kristen Melayu di Singapura. Sedangkan di Malaysia, Melayu secara konstitusional diikat identitasnya dengan agama Islam, maka jika seorang Melayu berpindah agama menjadi Kristen misalnya, dia tidak dipandang
lagi sebagai orang Melayu. Meskipun demikian, tidak berarti semua orang Islam di Malaysia dipandang sebagai orang Melayu. Konstitusi Malaysia menyatakan bahwa orang Melayu itu hanyalah orang Islam yang berbahasa Melayu, menuruti adat-istiadat Melayu, lahir di Malaysia atau lahir dari orang tua yang berkebangsaan Malaysia. Berbeda dengan Singapura dan Malaysia, pemerintah Indonesia tidak begitu berminat memberi pengertian secara legal terhadap Melayu. Pengertian Melayu di Indonesia adalah satu istilah yang mengandung makna identitas regional berdasarkan pengakuan penduduknya. Dengan demikian, menurut pandangan pemerintah Indonesia, seseorang dapat saja menyatakan diri sebagai oring Melayu ataupun bukan orang Melayu. Dia boleh menentukan identitas regionalnya. Karena pemerintah Indonesia tidak mencantumkan label etnik dalam kartu tanda penduduk (KTP), sedangkan Singapura dan Malaysia mencantumkannya. Selain itu, istilah Melayu bisa merujuk kepada salah satu etnik setempat di Sumatera Utara yang terdiri dari daerah-daerah kebudayaan yaitu Melayu Deli, Serdang, Langkat, Asahan, Batubara, dan Labuhan Batu. Namun demikian, tidak terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Menurut Fadlin, perbedaan di antara ke enam kelompok Melayu ini hanya terdapat pada dialek atau pengucapan sesuatu, misalnya pada pengucapan kata “kemana” bisa berbeda pada akhir hurufnya di enam wilayah Melayu Sumatera Utara tersebut. Namun hal tersebut tidak membatasi mereka untuk berkomunikasi, mereka dapat saling mengerti dan dapat saling berkomunikasi dengan baik. Dalam penelitian ini, konsep Melayu yang penulis pergunakan merujuk kepada Melayu sebagai salah satu etnik setempat di Sumatera Utara yang terdiri dari daerahdaerah kebudayaan yang salah satunya merupakan daerah yang menjadi daerah objek penelitian ini, yaitu Batang Kuis.
Pengertian kaji menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti penyelidikan, memeriksa, mempertimbangkan dan memikirkan (Poerwadarminta 1984:433). Dengan demikian yang dimaksud dengan kajian adalah suatu penyelidikan yang dilakukan dengan memakai metode-metode ilmiah. Menurut Echols dan shadily (1986:380), tekstual adalah sesuatu yang berkaitan dengan isi karangan. Kemudian Christine Ammer (1973:369) mengemukakan tentang musik vokal, yakni sebagai berikut : Text : In vocal music, the word. A text need not consist of whole words, it may consist f nonsense or other syllables (solmization, vocalization) also called lyrics. Artinya: Teks khususnya dalam musik vokal berarti kata-kata. Sebuah teks tidak hanya terdiri dari kata-kata dalam susunan keseluruhannya, ia dapat saja terdiri dari suku kata yang tidak punya arti atau suku-suku kata lain (seperti solmisasi, vokalisasi), teks juga disebut dengan lirik
Selanjutnya Merriam (1964:187) mengemukakan tentang salah satu sumber yang paling jelas untuk mempelajari tata tingkah laku manusia dalam salah satu kebudayaan yang berkaitan dengan musik adalah teks nyanyian. Dengan demikian yang dimaksud dengan tekstual adalah suatu lirik atau kata-kata yang di dalamnya mempelajari tentang tata tingkah laku manusia yang berkaitan dengan musik. Musikal merupakan segala hal yang mengandung unsur musik. Dan dalam penulisan ini pengertian musikal adalah segala hal di dalam ahoi yang mengandung unsur musik.
1.7
Teori Teori merupakan asas-asas dan hukum-hukum umum yang menjadi dasar
sesuatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Teori juga merupakan pendapat-pendapat atau aturan-aturan untuk melakukan sesuatu (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1991: 154155). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yang sesuai dengan topik yang akan penulis angkat. Untuk melihat ahoi tergolong ke dalam bagian nyanyian tradisional atau nyanyian rakyat yang bagaimana, penulis menngambil teori Brunvand. Ia membagi nyanyian rakyat menjadi tiga bagian, yakni: 1. Nyanyian rakyat yang berfungsi ( Functional folk song ) adalah nyanyian yang katakata dan lagunya memegang peranan yang sama penting dan cocok dengan irama di dalam aktivitas tertentu. 2. Nyanyian rakyat yang bersifat liris ( lirycal folk song ) adalah nyanyian rakyat yang teksnya bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru si penyanyi tanpa menceritakan kisah yang bersambung ( koheren ) . 3. Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah ( Narative folk song ) adalah nyanyian rakyat yang menceritakan suatu kisah. ( Danandjaya, 1984:146-152) Dari keterangan di atas, nyanyian ahoi merupakan nyanyian rakyat yang berfungsi dalam kebudayaannya, karena berhubungan langsung dengan kebudayaan masyarakat Melayu Batang Kuis. Untuk menganalisis melodi di dalam lagu mengirik padi ini, penulis menggunakan teori weighted scale oleh William P Malm. Teori weighted scale adalah sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya. Kedelapan unsur melodi itu menurut Malm (1977:15), adalah: (1) tangga nada; (2) nada
pusat atau nada dasar; (3) wilayah nada); (4) jumlah nada; (5) penggunaan interval; (6) pola cadensa; (7) formula melodi; dan (8) kontur. Dalam menganalisis teks-teks yang dinyanyikan dalam lagu mengirik padi ini, penulis menggunakan teori William P. Malm. Ia menyatakan bahwa dalam musik vokal, hal yang sangat penting diperhatikan adalah hubungan antara musik dengan teksnya. Apabila setiap nada dipakai untuk setiap silabel atau suku kata, gaya ini disebut silabis. Sebaliknya, bila satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa nada disebut melismatik. Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukanhubungan antara aksen dalam bahasa dengan aksen pada musik, serta sangat membantu melihat reaksi musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan pewarnaan kata-kata dalam puisi (Malm dalam terjemahan Takari 1993:15) Teori selanjutnya yang penulis gunakan adalah teori penggunaan dan fungsi musik yang dikemukakan oleh Alan P. Merriam (1964 : 219-222), yang menyatakan tentanng bagaimana sebuah musik digunakan dan apa fungsi musik tersebut digunakan. Merriam menawarkan sepuluh fungsi musik, namun ia tidak membatasinya. Mungkin ada lebih dari sepuluh. Dalam kaitannya dengan ahoi, penulis melihat penggunaannya adalah sebagai pengiring kerja. Sedangkan fungsinya antara lain adalah sebagai hiburan, penghayatan estetis,
komunikasi,
pengintegrasian
masyarakat,
kesinambungan
kebudayaan,
penghayatan nilai-nilai religi (khususnya yang berkaitan dengan pertanian), dan lainnya. Selain teori yang telah disebutkan di atas, penulis juga menggunakan pendekatan transkripsi yang mengacu pada Nettl yang mengatakan ada dua pendekatan utama untuk mendeskripsikan musik yaitu: (1) Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan
(2) Kita dapat dengan cara menuliskan apa yang kita dengar tersebut ke atas kertas lalu mendeskripsikan apa yang kita lihat. Dalam penelitian ini, untuk dapat mentranskripsikan atau menuliskan sebuah musik dalam bentuk simbol-simbol notasi membutuhkan pengetahuan tentang beberapa hal, diantaranya ritem (organisasi musik di dalam waktu) dan meter (skema waktu dalam musik). Cara-cara mentranskripsikan musik adalah sebagai berikut: (1) Belajar memainkan alat musik yang akan ditranskripsikan. (2) Kedua, peniruan bunyi dengan cara bernyanyi atau menirukan secara bernyanyi.
1.8 Metode Penelitian Metode peneletian adalah suatu prosedur atau urutan kerja yang akan dilaksanakan dalam rangka penyelidikan dari suatu bidang yang bertujuan untuk memperoleh fakta-fakta. Metode kerja yang penulis lakukan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu rangkaian kegiatan atau proses menyaring data/informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam bidang kehidupan tertentu pada objeknya (Bogdan dan Taylor 1975:176). Suatu penelitian kualitatif memungkinkan kita memahami masyarakat secara personal dan memandang mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya (Bogdan 1975:4-5). Dalam hal metode penelitian, penulis memakai metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif,
yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Di sini penulis mencari data dilapangan dengan cara wawancara secara langsung. Sebelum melakukan wawancara penulis hanya mempersiapkan garis-garis besar pertanyaan yang akan ditanyakan. Seluruh data yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan setiap informan penulis kumpulkan untuk diolah dalam kerja laboratorium. Menurut Netll (1964:62-64) ada 2 hal yang esensial untuk melakukan aktifitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi yaitu : kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan meliputi pemilihan informan, pendekatan dan pengambilan data, pengumpulan dan perekaman data. Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data, menganalisis dan membuat kesimpulan dari keseluruhan data-data yang diperoleh. Namun demikian, sebelum melakukan hal ini terlebih dahulu dilakukan studi kepustakaan yakni mendapatkan literatur atau sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan pokok permasalahan. 1.8.1
Pemilihan Lokasi Penelitian Dalam hal lokasi penelitian, penulis menetapkan di Desa Bintang Meriah
Kecamatan Batang Kuis. Desa Bintang Meriah dipilih sebagai lokasi penelitian karena di daerah ini sampai saat ini masih terdapat oknum-oknum atau para pelaku kegiatan mengirik padi. Selain itu kegiatan rekonstruksi mengirik padi juga dilakukan oleh penduduk desa ini pada tahun 2010 dalam acara Pesona Kebudayaan melayu 2010.
1.8.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data penulis menjalani dua tahapan, yakni: 1. Studi kepustakaan, 2. Penelitian lapangan. 1.8.2.1 Studi Kepustakaan Sebelum melakukan kerja lapangan, terlebih dahulu penulis membaca beberapa literatur yaitu berupa makalah, skripsi, buku-buku dan majalah yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Kemudian mencari konsep-konsep dan teori yang dapat menjadi
sumber informasi bagi penulis untuk membahas tulisan ini.
Untuk mencari teori,
konsep dan juga informasi yang berhubungan dengan tulisan ini, yang dapat dijadikan landasan dalam penelitian, maka penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian lapangan. Sumber bacaan yang dilakukan dapat berasal dari peneliti luar maupun peneliti dari Indonesia sendiri. Selain bacaan yang dapat berupa majalah atau Koran, bulletin, buku ilmiah, jurnal, skripsi sarjana, tesis, berita dan lain-lain, penulis juga menggunakan buku-buku yang cukup relevan dengan topik permasalahan dalam penelitian ini, terutama yang menyangkut nyanyian ahoi. Buku-buku tersebut antara lain ialah, Kebudayaan Melayu Sumatera Timur, tulisan Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II. SH dan Wan Syaifuddin. M.A, The Anthropology of Music, tulisan Alan P. Merriam, 1964; Theory and Method in Ethnomusicology, karya Bruno Nettl, 1864; Pokok-pokok Antropologi Budaya, karya T.O. Ihromi, 1987; serta buku-buku pendukung lainnya yang dianggap relevan dengan topik penelitian ini. 1.8.2.2 Penelitian Lapangan Dalam penelitian lapangan penulis mengadakan observasi langsung dan wawancara langsung. Adapun observasi langsung ini dilakukan untuk mendapatkan secara langsung data-data yang dibutuhkan selama berlangsungnya kegiatan yang diamati tersebut. Selain mengamati kegiatan dari observasi langsung ini penulis dapat langsung menentukan orang-orang yang dianggap mampu menjadi narasumber dalam pengumpulan data-data yang dibutuhkan penulis. Pengamatan atau observasi dapat dilakukan dengan dua cara, yang kemudian digunakan untuk menyebut jenis observasi, yaitu :
a. Observasi non-sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan instrumen pengamatan. b. Observasi sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan pedoman sebagai instrumen pengamatan. Dalam metode pengamatan setidaknya ada 3 (tiga) macam metode, yaitu : 1. Metode pengamatan bebas. Metode ini menggunakan teknik pengamatan yang mengharuskan si peneliti tidak boleh terlibat dalam hubunganhubungan emosi pelaku yang menjadi sasaran penelitiannya. Si peneliti dalam hal ini tidak ada hubungan apapun dengan para pelaku yang diamatinya. 2. Metode pengamatan terkendali. Dalam pengamatan terkendali, si peneliti juga tidak terlibat hubungan emosi dan perasaan dengan yang ditelitinya, seperti halnya dengan pengamatan biasa. Yang membedakannya adalah pada pengamatan terkendali para pelaku yang akan diamati diseleksi dan kondisikondisi yang ada dalam ruang atau tempat kegiatan pelaku itu diamati dan dikendalikan oleh si peneliti. 3. Metode pengamatan terlibat. Melalui metode pengamatan terlibat si peneliti mempunyai hubungan dengan para pelaku yang diamatinya dalam melakukan pengumpulan bahan-bahan yang diperlukan. Sasaran dalam metode pengamatan terlibat adalah orang atau pelaku. Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode pengamatan terlibat. Disini penulis bertindak sebagai pengamat total yang dapat masuk ke suatu tempat dan melakukan pengamatan sebagai seorang peneliti. Melalui pengamatan ini peneliti dalam mengumpulkan bahan keterangan yang diperlukan tidak perlu bersembunyi tapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh kehadirannya pada kegiatan
yang diamati. Dalam hal ini, peneliti harus berusaha memperoleh kepercayaan penuh dari orang-orang yang menjadi sasaran penelitiannya. Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara, jawaban responden akan dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recorder) (Suhartono, 1995:67). Teknik wawancara yang dilakukan oleh penulis adalah seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:138-140) mengatakan bahwa wawancara dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: 1. Wawancara berfokus : pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu dan selalu berpusat kepada satu pokok permasalahan 2. Wawancara bebas : pertanyaan yang diajukan tidak hanya berpusat pada pokok permasalahan tetapi beraneka ragam selama masih berkaitan dengan objek penelitian. 3. Wawancara sambil lalu : pertanyaan dalam hal ini diajukan kepada nara sumber dalam situasi yang tidak terkonsep ataupun tanpa persiapan. Dengan kata lain informan dijumpai secara kebetulan. Adapun wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara bebas. Wawancara bebas adalah wawancara yang lebih santai dan fleksibel. Kendala yang penulis alami dalam wawancara hanya berkisar dari informan yang merasa terganggu dengan adanya alat rekam. Namun setelah penulis memberikan pengertian dari tujuan dari peralatan tersebut hal ini segera dapat diatasi. Sebelum wawancara secara terfokus penulis membuat kerangka pertanyaan, hal ini sengaja penulis lakukan agar disaat wawancara dapat melakukan wawancara sesuai dengan yang penulis inginkan dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.
1.8.3 Pemilihan Informan Sebelum melakukan penelitian penulis terlebih dahulu menentukan informan pangkal3 yang dapat membantu memberikan informasi untuk keperluan penelitian. Dalam hal ini penulis memilih Ibu Aisyah Tarmidzi menjadi informan pangkal. Dari informan pangkal inilah penulis mendapat informasi mengenai siapa orang yang banyak mengetahui tentang Ahoi. Setelah mendapat informasi dari informan pangkal selanjutnya penulis menentukan informan kunci4. Dalam hal ini yang menjadi informan kunci adalah Bapak Amirudin atau lebih dikenal dengan nama Pak Ying. Dari informan kunci inilah penulis memperoleh data dan masukan mengenai permasalahan yang ada dalam tulisan ini, serta dibantu oleh tokoh-tokoh masyarakat yang dituakan oleh masyarakat di Desa Bintang Meriah Kecamatan Batang Kuis. Untuk kelengkapan data tentang permasalahan yang ada dalam tulisan ini terutama dalam hal perubahan musik, penulis mendapat informasi dari para personil pertunjukan lagu mengirik padi pada Pesona Budaya Melayu 2010 yaitu Bapak Ruslan Sinulingga.
1.8.4 Metode Penelusuran Data Online Perkembangan Internet yang sudah semakin maju pesat serta telah mampu menjawab berbagai kebutuhan masyarakat saat ini memungkinkan para akademisi mau ataupun tidak menjadikan media online seperti Internet sebagai salah satu medium atau ranah yang sangat bermanfaat bagi penelusuran berbagai informasi, mulai dari
3
Informan pangkal adalah orang yang memberikan informasi awal tentang Gondang Naposo Informan kunci adalah orang yang memberikan informasi mendalam mengenai pokok permasalahan dalam tulisan ini. 4
informasi teoritis maupun data-data primer ataupun sekunder yang diinginkan oleh peneliti untuk kebutuhan penelitian. “Pada mulanya banyak kalangan akademisi meragukan validitas data Online sehubungan apabila data atau informasi itu digunakan dalam karya-karya ilmiah, seperti penelitian, karya tulis, skripsi, tesis maupun disertasi. Namun ketika media Internet berkembang begitu pesat dengan sangat akurat, maka keraguan itu menjadi sirna kecuali bagi kalangan akademisi
konvensional
–ortodoks
yang
kurang
memahami
perkembangan teknologi informasi sajalah yang masih mempersoalkan akurasi media online sebagai sumber data maupun sumber informasi teori. Hal ini disebabkan karena saat ini begitu banyak publikasi teoritis yang disimpan dalam bentuk online dan disebarkan melalui jaringan Internet. Begitu pula saat ini, berbagai institusi telah menyimpan data mereka pada server-server yang dapat dimanfaatkan secara Intranet maupun Internet. Dengan demikian polemic tentang keabsahan dan validitas data-informasi online menjadi sesuatu yang kuno, tergantung pada bagaimana peneliti dapat memilih sumber-sumber data online mana yang sangat kredibel dan dikenal banyak kalangan”. Dengan demikian, Burhan Bungin menjelaskan bahwa metode penelusuran data online yang dimaksud adalah tata cara melakukan penelusuran data melalui media online seperti Internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data informasi online yang berupa data maupun informasi teori, secepat atau semudah mungkin, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
1.8.5 Perekaman Ada dua jenis perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dan perekaman video audio. Hal perekaman audio digunakan alat perekam dari handphone merk Nokia 5630 Expressmusic, dan menggunakan software Adobe Audition 1.5. Sedangkan untuk merekam video digunakan digunakan kamera video Casio 12.0 Megapixel. 1.8.6 Pemotretan Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar maka penulis menggunakan kamera digital merk Casio, 12 megapixel. Data digital ini kemudian dipindahkan ke dalam bentuk data komputer dalam format bmp (bitmap picture graphics), yang kemudian diinsert ke tempat-tempat analisis yang memerlukan data visual ini.
1.8.7 Kerja Laboratorium Kerja laboratorium yang penulis lakukan adalah bertujuan mengolah data yang telah terkumpul dari pengamatan dan wawancara. Demua data diklasifikasikan sesuai dengan jenis yang dibutuhkan oleh penulis dengan melihat relevansi dari data tersebut. Pengklasifikasian bertujuan untuk menghindari data yang bertumpang tindih dan untuk mempermudah penulis untuk mengolah data tersebut. Rekaman musik juga dianalisa untuk melihat pola melodi yang terdapat dalam nyanyian ahoi. Data-data diolah sesuai materi permasalahan. Hasil dari data yang telah diolah tersebut penulis jadikan sebagi laporan dalam bentuk skripsi.
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MELAYU BATANG KUIS
2.1 Identifikasi Kecamatan Batang Kuis merupakan sebuah kecamatan yang termasuk ke dalam bagian kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Batang Kuis terdiri atas 11 Desa, dan 72 Dusun. Mayoritas penduduk di kecamatan ini adalah etnis Melayu. Menurut Tengku Lukman Sinar dalam bukunya Pengantar Etnomusikologi dan Tari Melayu mengatakan bahwa kebudayaan Melayu secara historis telah terbentuk sejak keberadaan ras Melayu yang berasal dari daratan benua Asia berabad-abad sebelum Masehi. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, kebudayaan Melayu mengalami perubahan dan penyesuaian akibat adanya pengaruh besar dari tata kehidupan manusia pada zamannya (1990 : 45). Sistem kehidupan masyarakat Melayu Batang Kuis menyerap semua nilai-nilai Islam yang bersumber dari agama Islam. Nilainilai Islam diwujudkan dalam segala aspek budaya Melayu Batang Kuis, mulai dari ideide, konsep, gagasan, sampai kepada aktifitas, dan perwujudannya. Berdasarkan administrasi pemerintahan, Kabupaten Batang Kuis mempunyai luas wilayah 40,34 Km² dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
1.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pantai Labu.
2.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Morawa.
3.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Beringin dan Pantai Labu.
4.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan.
Berdasarkan data yang di dapat dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang, Kecamatan Batang Kuis memiliki jumlah penduduk sebesar 59.989 Jiwa dan 10.837 Rumah Tangga yang tersebar di 11 Desa, dan 72 Dusun. Perincian jumlah rumah tangga dan jumlah penduduk di setiap desa dapat dilihat melalui tabel sebagai berikut :
LUAS DESA NO
JUMLAH
JUMLAH
R.TANGGA 2.027
PENDUDUK 12.596
NAMA DESA
1.
TANJUNG SARI
( KM2 ) 7,34
2.
BATANG KUIS PEKAN
0,75
1.115
5.779
3.
SENA
6,40
1.593
7.079
4.
BARU
4,32
1.001
6.047
5.
TUMPATAN NIBUNG
3,70
1.100
6.898
6.
PAYA GAMBAR
3,03
432
3.138
7.
BINTANG MERIAH
0,65
899
6.073
8.
MESJID
2,67
328
1.292
9.
SIDODADI
9,50
850
3.822
10.
SUGIHARJO
1,53
1.040
4.644
11.
BAKARAN BATU
0,45
487
2.757
2.2 Mata Pencaharian Hidup Deskripsi mengenai mata pencaharian masyarakat dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. hal ini terjadi karena skripsi ini sendiri memfokuskan kajian kepada eksistensi ahoi, yang meliputi tuga aspek utama yaitu dalam konteks kebudayaan, struktur musik, dan teksnya. Ahoi sendiri merupakan nyanyian yang dilakukan dalam kegiatan dari salah satu mata pencaharian masyarakat Melayu di Batang Kuis, yaitu bertani. Penduduk Kabupaten Batang Kuis kebanyakan hidup dari pekerjaan bertani, pegawai negeri, pegawai perusahaan, nelayan, dan juga wiraswasta.
Daerah Kecamatan Batang Kuis pada umumnya adalah dataran rendah yang subur. Tanahnya banyak mengandung zat-zat hara yang dibutuhkan oleh tumbuhtumbuhan yang khas dataran rendah seperti pohon kelapa, kelapa sawit, bakau, padi, dan lain-lain. Oleh karena itu,
daerah ini sangat cocokdijadikan lahan pertanian
(perkebunan). Oleh sebab itu, di Kecamatan Batang Kuis ini banyak dijumpai perkebunan yang bergerak di bidang agroindustri sawit dan coklat. Dilihat dari segi pengusahaannya, di Kecamatan Batang Kuis terdapat dua macam perkebunan yaitu: perkebunan rakyat/swasta dan perkebunan negara. Rakyat Batang Kuis pada umumnya berkebun kelapa sawit dan coklat. Teknologi pertanian, pada masa kini umumnya telah mengarah kepada pertanian modern. Pengertian modern di sini adalah sudah mempergunakan mesin-mesin meliputi mesin traktor untuk mengolah tanah, perontok hasil pertanian, pengolahan teknologi pasca panen seperti mesin giling padi, dan sejenisnya. Hal ini mengakibatkan pergeseran-pergeseran kepada keberadaan ahoi di kawasan ini sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
2.3 Sistem Perkawinan Dalam sistem perkawinan dalam adat-istiadat etnis Melayu di Batang Kuis, umumnya pencarian jodoh dilakukan oleh si pemuda atau orang tuanya dengan cara meminang anak pamannya. Namun, setelah masuknya agama Islam maka pencarian jodoh itu bukan lagi hanya semata-mata dengan cara endogami melainkan malah sering dengan cara exogami5.
5
Endogami adalah istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan kebiasaan atau adat untuk mencari isteri atau suami di kalangan sendiri. Sedangkan exogami ialah istilah yang diperrgunakan untuk menyebutkan kebiasaan atau adat untuk mencari isteri di luar lingkungan keluarga
Seorang laki-laki dapat melakukan poligami6. Jika seorang perempuan kebetulan adalah anak tunggal maka mereka akan tinggal di rumah orang tua perempuan tersebut. Sebab-sebab terjadinya poligami antara lain tidak bertentangan dengan agama Islam, isteri pertama mandul, tidak ada keturunan anak laki-laki untuk meneruskan keturunan, dan adanya perselisihan dalam rumah tangga yang tidak dapat dipersatukan kembali antara suami dan isteri. 2.3.1 Tujuan Perkawinan Perkawinan bertujuan untuk mendapatkan kesinambungan keturunan, silsilah, dan penerus hak
waris. Hal itu semakin lebih penting lagi terutama di kalangan
bangsawan demi meneruskan kerajaan ataupun kesultanan Perkawinan itu adalah hal yang wajar dalam kehidupan ini, apalagi di daerah yang luas wilayahnya setiap keluarga menginginkan jumlah anak yang banyak. Sebaliknya pada daerah-daerah yang sempit arealnya dan padat penduduknya, setiap keluarga mengingini keluarga kecil tetapi sejahtera. 2.3.2 Jenis Perkawinan Jenis perkawinan di kalangan Etnis Melayu Batang Kuis tidak begitu banyak. Beberapa jenis perkawinan yang terdapat dalam kebudayaan Melayu di batang Kuis adalah perkawinan perawan, perkawinan janda, kawin lari, kawin ngaleh (ganti tikar), dan perkawinan lako mangani.
2.4 Sistem Kekerabatan Etnis Melayu di darah Batang Kuis menganut sistem kekerabatan yang bilateral, artinya seorang anak (laki-laki atau perempuan) langsung mengikuti garis keturunan ayah dan ibunya. 6
Poligami adalah sistem perkawinan bahwa seseorang lakii-laki mempunyai lebih dari seorang isteri. (Ensiklopedia Indonesia, 1986:80)
E♂
♀F
G♂
C ♂
♀F
♀D
A♂
♀B
Keterangan: A = Anak Perempuan
C = Ayah
E dan F = Kakek dan Nenek (Pihak ayah)
B = Anak Laki-laki
D = Ibu
G dan H = Kakek dan Nenek (Pihak ibu)
2.5 Sistem Religi dan Kepercayaan Masyarakat Melayui pada
awalnya menganut kepercayaan animisme dan
dinamisme. Kemudian setelah masuknya kepercayaan monotheisme (ahama Islam dan Kristen) maka sebagian besar anggota masyarakat sudah memeluk agama Islam. 2.5.1 Agama Sesuai dengan dasar falsafah negara dan dengan ketentuan pemerintah, setiap warga negara Indonesia bebas memilih agamanya. Religi yang dikategorikan sebagai agama di Indonesia ialah: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindhu, dan Konghuchu. Selain itu religi yang dikategorikan pemerintah Indonesia sebagai aliran kepercayaan contohnya adalah: Parmalim, Sipelebegu, Kejawen, dan lain-lain. Mayoritas pemeluk agama di Batang Kuis merupakan agama pemeluk agama Islam, yakni kira-kira 80% dari jumlah penduduknya, sedangkan pemeluk agama
Kristen, Hindu dan Budha berkisar lebih kurang 20% dari jumlah penduduk di Batang Kuis. Masuknya agama Islam merupakan lebih dahulu dari agama lainnya yaitu sewaktu pedagang-pedagang Gujarat dan Semenanjung Malaysia datang ke Pesisir Sumatera bagian Timur. Demikian juga karena Sultan sebagai kepala pemerintahan di Batang Kuis memeluk agama Islam turut menambah cepatnya perkembangan agama Islam sampai ke pelosok-pelosok desa.
2.5.2 Upacara-upacara Tradisional Dalam kebudayaan Etnis Melayu di Batang Kuis terdapat berbagai upacara tradisional. Dalam pelaksanaannya masih terdapat perbedaan-perbedaan antara satu tempat dengan tempat lainnya pada upacara yang sejenis. Upacara tersebut masih ada yang dilaksanakan sampai saat ini dan konsep dasarnya telah disesuaikan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Hal itu berlangsung dalam masyarakat karena upacara dari tradisi lama itu merupakan salah satu identitas kebudayaan mereka dan dapat disesuaikan konsep dasarnya dengan ajaran agama Islam dan dipergunakan untuk kemajuan kebudayaan mereka. Mereka meyakini adanya hari-hari baik dan buruk untuk pelaksanaan upacara tradisional. Upacara tersebut antara lain adalah upacara kelahiran, upacara perkawinan, upacara kematian, upacara turun ke sawah, upacara menjamu laut, dan sebagainya. 2.5.2.1 Upacara Kelahiran Semasa seorang hamil tujuh bulan dilakukan satu upacara yang disebut upacara kebo. Upacara ini adalah suatu pertanda syukur kepada Allah. Pelaksanaan upacara ini telah disesuaikan dengan agama Islam dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Setelah
40 hari bayi lahir maka diadakanlah upacara turun ke sawah. Pelaksanaannya tergantung pula kepada kemampuan orang tua. Jika belum mampu waktunya dapat diundurkan. Kemudian barulah dilanjutkan dengan upacara penabalan anak dan menidurkan anak. Upacara ini juga sudah disesuaikan dengan agama Islam. Anak yang mau ditidurkan dengan cara diayun diiringi dengan nyanyian berupa nasyid yang isinya adalah nasehat-nasehat dan petuah dan juga ayat-ayat Al-Qur’an oleh ibunya. Pel5aksanaannya tetap bergantung kepada kemampuan orang tua. 2.5.2.2 Upacara Perkawinan Setiap perkawinan yang dilaksanakan dengan baik akan terikat oleh janji tentang jumlah biaya yang ditanggung oleh pihak laki-laki. Sesuai dengan adat yang berlaku, biaya perkawinan tersebut disampaikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, yang sering disebut dengan istilah mas kawin. Selain mas kawin ini, masih ada lagi apa yang disebut dengan : uang hangus, ikat tanda, pakaian, uang buka kipas dan sebagainya. Besarnya mas kawin itu tergantung pada kemampuan pihak laki-laki dan kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun pada saat ini perkawinan yang membutuhkan biaya seperti di atas sudah semakin jarang terjadi, pelaksanaan perkawinan sudah semakin bebas dari ikatan biaya yang mahal. Kebiasaan perkawinan antar turuna bangsawan-bangsawan tidak begitu berlaku lagi, karena dasar utama perkawinan sekarang ini adalah saling mencintai dan suka sama suka. 2.5.2.3 Upacara Turun ke Sawah/Ladang Upacara ini dilaksanakan untuk menjamu sawah atau ladang sebagai ucapan permintaan kepada Tuhan agar hasil panen padi tetap membaik, serta pertanda syukur atas panen padi pada musim tanam sebelumnya yang berbuah baik.
Upacara dilakukan saat akan memulai musim tanam di atas lahan yang akan ditanam. Upacara ini dimulai dengan tepung tawar, yaitu merinjis-rinjiskan beras kunyit, dan daun-daunan di atas tanah itu. 2.5.2.4 Upacara Menjamu Laut Biasanya upacara ini berlangsung dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat yang bertempat tinggal di tepi laut. Upacara menjamu laut ini biasanya diadakan sekali setahun. Bahan-bahan yang diperlukan untuk upacara ini adalah: pulut kuning, bertih, beras, tepung tawar (yang terdiri dari sedingin, pulut-pulut, dan buah-buahan). Semua bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam sebuah wadah yang disebut talam. Bahanbahan inilah yang dibawa oleh pawang ke tepi laut atau kuala. Di tempat tersebut dibangun sebuah pancang bertiang empat. Talam yang berisi bahan-bahan tadi diletakkan di atas altar tersebut. Dengan dihadiri oleh anggota-anggota masyarakat yang ada, dukun atau pawang mengucapkan mantera yang berbunyi sebagai berikut :”mambang diajid datuk setinggi yang menguasai laut, lindungilah kami anakanak nelayan dari segala marabahaya.” Sehabis mengucapkan mantera di atas, maka ditaburkanlah bahan-bahan upacara tadi ke laut. Sehabis upacara tersebut maka seluruh anggota masyarakat desa pantai selama tiga hari tidak boleh turun ke laut. Sehabis upacara menaburkan bahan-bahan tadi maka sang dukun atau seorang pawang segera melepas sampan kecil ke lepas pantai lalu sampan tersebut bergerak ditiup angin. Bila acara menjamu laut itu berlangsung di lepas pantai, maka altar tempat talam tadi didirikan di atas sampan. Sampan itu diiringi oleh sampan lainnya yang berisi anggota masyarakat dibawah pimpinan datuk atau pawang. Pada puncak acara, datuk penghulu segera menaburkan bahan-bahan upacara tadi ke laut.
Kemudian mereka kembali ke darat dengan penuh harapan bahwa kehidupan mereka akan bertambah baik dari tahun-tahun sebelumnya.
BAB III AHOI DALAM KONTEKS KEBUDAYAAN ETNIS MELAYU DI BATANGKUIS
3.1 Pengertian Ahoi Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, ahoi adalah sebuah nyanyian tradisional Melayu Batangkuis yang dinyanyikan secara solo lalu pada setiap akhir dari sampiran dan isi pantun yang dinyanyikan disambut dengan teriakan “e..wak ahoiii..ahoii...,”oleh pengirik lain dan secara harafiah artinya menghimbau ataupun mengajak kaum kerabat untuk bekerja-sama seperti yang dijelaskan oleh Bapak Amirudin kepada penulis pada saat wawancara yang dilakukan pada tanggal 17 Juni 2012 bahwa ahoi artinya adalah berdendang atau bernyanyi untuk menghimbau masyarakat untuk mengirik padi bersama-sama.
3.2 Sejarah Ahoi Hingga saat ini penulis belum menemukan referensi yang menjelaskan kapan aktifitas mengirik dan menyanyikan ahoi pertama kali dilaksanakan masyarakat Melayu di Batang Kuis. Namun, menurut Amirudin terakhir kali dia melihat aktifitas ini sekitar tahun 70-an. Ada beberapa penyebab hilangnya aktifitas ini menurut Amirudin. Salah satu faktor penyebab tidak dilakukannya lagi kegiatan mengirik adalah dikarenakan pada tahun itu pemerintah mengambil alih lahan pertanian masyarakat, termasuk juga lahan pertanian padi untuk dialih fungsikan menjadi perkebunan coklat dan sawit.
Selain itu faktor utama yang menyebabkan masyarakat meninggalkan tradisi mengirik padi ini adalah masuknya teknologi kedalam sistem pertanian masyarakat pada umumnya dan tidak terkecuali pada masyarakat petani di Batang Kuis. Mengirik padi yang dahulunya dilakukan beramai-ramai, sudah dapat dilakukan oleh satu orang saja dengan bantuan mesin. 3.3 Penyajian Ahoi Dalam Kegiatan Mengirik Padi Selanjutnya dalam penyajian ahoi tersebut tidak terlepas hubunganya dengan kondisi musim panen padi di daerah Batang Kuis yang berlangsung sekitar bulan Oktober. Musim panen terjadi dalam sekali setahun dikarenakan jenis padi yang ditanam pada waktu itu adalah jenis padi yang berbuah setelah berumur 6 bulan. Proses pemanenan padi ini dilakukan oleh para penduduk secara bergotongroyong. Merupakan sebuah kebiasaan setiap panen berlangsung masyarakat di desa melakukannya secara bergotong royong dari satu lahan pertanian kelahan pertanian yang lain. Hasil panen biasanya disimpan selama lebih kurang 10 hari di dalam lumbung tempat penyimpanan padi. Hal ini dilakukan agar batang padi lebih kering, sehingga pada saat proses mengirik padi lebih mudah dipisahkan dari batangnya. Padi yang sudah dianggap kering dipindahkan ketempat mengirik. Disinilah pemilik padi mengundang para pemuda pemudi desa untuk bersama-sama bergotong royong mengirik padi. Selain para pemuda yang mengirik padi biasanya di ikuti juga oleh para gadisgadis yang tinggal di sekitar desa. Para gadis-gadis desa tersebut biasanya turut dalam aktifitas ini dengan mengemping padi yang masih muda. Padi yang dijadikan emping biasanya padi yang masih memiliki kandungan air yang tinggi sehingga lebih mudah di tumbuk didalam lesung untuk digongseng sehingga menjadi emping.
Disinilah nyanyian ahoi dilakukan, pada saat pemuda desa telah berkumpul. Biasanya warga yang datang berjumlah 15 sampai 20 warga yang terdiri dari pemuda, pemudi, dan orang tua. Selain mengirik menurut pak ying kegiatan ini juga dimanfaatkan oleh para pemuda dan pemudi sebagai ajang mencari jodoh. Kemudian tamu warga yang datang tersebut memberikan salam kepada tuan rumah dengan cara menyampaikan pantun, misalnya; Ku tutuh dali baru kutebang Ambil sebatang hamparan kain Assalamualaikum kami yang datang Apa gerangan hajat disini Pantun di atas melambangkan bahwa para undangan yang datang menyampaikan salam kepada tuan rumah dan mengatakan bahwa mereka sudah datang dan apa yang hendak dilakukan di rumah si tuan rumah. Pantun tersebut pun dibalas tuan rumah, misalnya: Bebirik batang bebirik Batang bayam sandaran dulang Mengirik kita mengirik Kokok ayam kita pe pulang Pantun tersebut menyatakan bahwa si tuan rumah mengharapkan bantuan para tamu untuk membantunya dalam mengirik padi hasil panen sawahnya. Dan setelah padi selesai di irik mereka pun bisa kembali ke rumah masing-masing. Setelah maksud dan tujuan kegiatan tersebut disampaikan, maka kegiatan mengirik padi pun dimulai. Tangkai padi yang telah kering tersebut pun dihamparkan di atas tikar yang luasnya kira kira 25 meter persegi. Jumlah padi yang diirik dalam sekali proses pengirikan adalah 4 sampai 5 karung goni tangkai padi.
Kegiatan mengirik ini dimulai pada pukul 7 malam dan berakhir pada waktu subuh tiba. Biasanya yang melakukan kegiatan mengirik adalah kaum pemuda, sedangkan kaum pemudi membantu mengemping padi untuk dijadikan makanan para pengirik. Sementara itu, para orang tua mengawasi anak-anak mereka sambil membuat lemang di luar. Sambil mengirik, mulailah salah seorang dari pengirik menyanyikan sebuah pantun yang isinya ajakan kepada para pengirik lainnya agar bersemangat. Contoh pantun yang dinyanyikan adalah sebagai berikut: Bukan batang sembarang batang Batang padi di atas pedang Sesudah yang bernyanyi selesai menyanyikan sampiran pantunnya, pengirik lainnya pun menyambut dengan meneriakkan “E wak ahoi ahoi.” Kemudian si pengirik pun mengulang bait kedua dari sampiran tersebut dan disambut lagi oleh pengirik lain dengan sambutan “E wak ahoi ahoi”. Kemudian dilanjutkan lagi oleh si pengirik yang pertama bernyanyi dengan menyanyikan isi dari pantunnya tersebut yang terdiri dari dua bait, yaitu: Maek kabar tuan yang datang Mari mengirik sambil berdendang Nyanyian tersebut pun disambut oleh pengirik lain dengan meneriakkan “E wak ahoi ahoi.” Kemudian bait kedua dari isi pantun pun dinyanyikan kembali oleh si pengirik yang pertama bernyanyi dan disambut lagi dengan teriakan “ E wak ahoi ahoi.” Tidak jauh dari tempat para pemuda mengirik padi, para wanita yang datang menyiapkan penganan buat para pemuda yang mengirik dengan cara membuat emping. Padi yang masih muda mereka gongseng dan setelah itu ditumbuk di dalam lumpang. Hasil tumbukan itu mereka campur dengan gula dan santan. Sambil mengemping
mereka juga bernyanyi dan membalas pantun dari si pengirikm yang pertama. Contoh pantun dari seorang pemudi tersebut adalah sebagai berikut. Kalau tidak karena bulan Mana bintang meninggi hari E...wak....ahooii.....ahooii. Jika tidak karena tuan Mana kami datang kemari E...wak....ahooii.....ahooii. Lalu disambut lagi oleh seorang pemuda yang disebelah si pengirik yang pertama bernyanyi dengan pantun pula. Kalau ada kaca di pintu Kaca lama kami pecahkan E wak ahoii.. ahoii.. Kalau ada kata begitu Badan dan nyawa kami serahkan E wak ahoii.. ahoi.. Para wanita yang mendengarnya pun tersenyum tersipu-sipu dan salah seorang dari mereka pun menyambutnya dengan menyanyikan pantun pula Tiga petak tiga penjuru Tiga ekor kumbang diapit E...wak....ahooii.....ahooii. Pantun tidak padamu tertuju Teruntuk jaka berlesung pipit E...wak....ahooii.....ahooii.
Mendengar hal itu maka meledaklah gelak dan tawa pemuda-pemudi diselingi oleh kekeh orang tua-tua. Setelah semua bulir padi terlepas dari tangkainya, padi pun di bersihkan dari sisa-sisa tangkainya dan dimasukkan ke dalam karung. Ketika padi dimasukkan, para pengirik pun duduk beristirahat sambil menyanyikan teks sebagai berikut. Allah halim sewa Allah Maimunah silotan dona Warabikum tuan saridi Habibina saidina ali Setelah itu nyanyian dilanjutkan dengan menyanyikan teks berupa pantun yang di setiap akhir baitnya disambut dengan teriakan ‘iak iak” sebagai berikut. Kalau ada sumur di ladang (iak iak) Bolehlah kita menumpang mandi (iak iak) Kalau ada umur yang panjang (iak iak) Bolehlah kita berjumpa lagi (iak iak) Setelah padi selesai dimasukkan ke dalam karung, tangkai padi yang belum diirik pun diletakkan lagi ke atas tikar dan kegiatan mengirik pun dimulai kembali sambil menyanyikan ahoi dengan bentuk yang sama seperti sebelumnya. Demikianlah proses penyajian nyanyian ahoi ketika mengirik padi pada masyarakat Melayu Batang Kuis.
3.4 Alat-Alat Yang Dipakai Untuk Mengirik Padi Peralatan yang dipakai dalam kegiatan mengirik padi menurut informan yang penulis wawancarai adalah sebagai berikut: 1. Tikar
Tikar digunakan sebagai wadah untuk meletakkan tangkai padi agar padi mudah untuk dikumpulkan. 2. Tampi Tampi dipergunakan untuk memindahkan bulir-bulir padi yang sudah terlepas dari tangkainya ke dalam karung atau goni 3. Lesung Lesung merupakan alat yang digunakan para pemudi yang mengemping untuk menumbuk padi yang akan dijadikan emping.
3.5 Penyanyi Ahoi Ahoi dapat dinyanyikan oleh siapa saja yang dapat menyanyikannya, baik pria atau wanita, tua maupun yang muda, kaya atau miskin, sudah menikah ataupun belum. Namun secara umum yang menyanyikan ahoi adalah para kaum lelaki. Kenyataannya pada masa sekarang ini, tidak semua bahkan sangat sedikit sekali masyarakat Melayu Batangkuis yang dapat menyanyikan atau mengenal ahoi ini. Salah satu Hal yang tak bisa di pungkiri yang mengakibatkan jarangnya diadakan kegiatan mengirik padi secara bersama-sama lagi adalah dikarenakan sudah berkembangnya tekhnologi mesin di bidang pertanian.
3.6 Cara Belajar Ahoi Menurut Aisyah (informan), seorang pengirik tidak belajar langsung dari guru, melainkan berdasarkan pengalamannya mendengar atau menyaksikan selama ikut serta dalam kegiatan mengirik padi tersebut.
Menurut Pak Sinulingga (informan), cara belajar ahoi juga tidak memakai guru dan tidak ada penilaian terhadap orang yang menyanyikan apakah bagus atau tidak, karena lirik yang dinyanyikan biasanya memiliki tema-tema tersendiri yang dapat berubah–ubah tergantung kebutuhan pengirik.
3.7 Cara Menyanyikan Ahoi Menurut Aisyah (informan), cara pengirik menyanyikan ahoi yaitu: 1. Sambil berdiri dan memijak tangkai padi, para pemuda menyanyikan ahoi. 2. Sambil menumbuk padi menjadi emping, para pemudi menyanyikan ahoi.
3.8 Tujuan Penyajian Ahoi Dalam penyajiannya, ahoi ditujukan kepada dua hal, pertama untuk manusia dan kedua untuk alam. Secara kronologis, ahoi yang ditujukan kepada manusia dimulai dengan mengajak kerabat-kerabat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan mengirik padi sehingga kegiatan tersebut menjadi lebih cepat selesai. Selain itu ahoi juga mampu berfungsi sebagai media komunikasi verbal antara para pemuda dan pemudi yang terlibat di dalam kegiatan itu. Ahoi yang ditujukan kepada alam merujuk kepada ucapan syukur kepada alam karena memberikan hasil panen yang melimpah.
3.9 Penggunaan dan Fungsi Ahoi Penggunaan musik menurut Alan P Merriam terbagi ke dalam lima bagian dan fungsinya ke dalam 10 bagian. Dalam penggunaannya, ahoi digunakan pada saat kegiatan mengirik padi dilakukan, yang tujuannya sebagai ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang melimpah.
Berbicara tentang fungsi, Alan P. Merriam mengemukakan sepuluh fungsi musik,
antara lain: (1) Fungsi pengungkapan emosional; (2) Fungsi penghayatan
estetika; (3) Fungsi hiburan; (4) Fungsi komunikasi; (5) Fungsi perlambangan; (6) Fungsi reaksi jasmani; (7) Fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial; (8) Fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan; (9) Fungsi kesinambungan kebudayaan; dan (10) Fungsi pengintegrasian (pemersatu) masyarakat. (1964:219-226) Selanjutnya, dari sepuluh fungsi musik yang ditawarkan Alan P. Merriam di atas akan dijadikan sebagai dasar untuk melihat bagaimana fungsi ahoi dalam konteks mengirik padi pada Melayu Batang Kuis.
3.9.1 Fungsi Pengungkapan Emosional Musik atau nyanyian mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa emosi para penyanyi dan dapat menimbulkan emosi para pendengarnya. Ahoi ini dinyanyikan sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang melimpah dan dengan melimpahnya hasil panen mereka dapat berbagi kebahagiaan dengan cara mengirik dan menikmati hasil secara bersama-sama. Hal tersebut dapat dilihat dari salah satu teks yang dinyanyikan dari Ahoi, yaitu:
Ambil upih tampungkan hujan, Daun ubi di ikat ikat, E....wak
ahoooiii.....ahoooiii...
Terima kasih kepada Tuhan Tahun ini bisa berzakat E....wak
ahoooiii.....ahoooiii...
Lirik di atas menceritakan bahwa mereka merasa berbahagia dan bersyukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah, sehingga mereka dapat mengirik bersama-sama dan hasilnya berupa emping dapat dinikmati secara bersama-sama. Demikianlah salah satu bait teks ahoi sebagai ungkapan rasa emosional. 3.9.2 Fungsi Hiburan Hiburan merupakan hal yang dibutuhkan ketika kegiatan mengirik padi dilakukan agar pengirik tidak merasa terlalu capai, sehingga kegiatan mengirik dapat berlangsung secara efektif. Dalam hal ini mereka mengisahkan apa maksud dan tujuan mereka mengirik padi tersebut dan mengutarakan hal-hal apa saja yang mereka harapkan di kemudian hari. Kesemuanya ini mereka utarakan untuk menghibur diri mereka agar rasa letih yang mereka rasakan dapat berkurang. Hal itu dapat kita lihat dari contoh lirik di bawah ini:
Padi tua buat kan bertih, Buatkan emping si padi muda E....wak
ahoooiii.....ahoooiii...
Biar badan terasa letih , Tapi hati kita gembira. E....wak
ahoooiii.....ahoooiii...
Lirik yang dituliskan di atas dapat diartikan para pengirik dan pengemping bernyanyi untuk menyenangkan hati walaupun badan letih. Karena bagi mereka, jika hati gembira maka segala pekerjaan yang dikerjakan pasti akan terasa menjadi lebih ringan.
3.9.3 Fungsi Komunikasi Komunikasi merupakan suatu hubungan timbal-balik antara satu pihak dengan pihak yang lain. Tanpa komunikasi segala sesuatu tidak akan dapat bberjalan seperti apa yang diinginkan. Demikian juga halnya dengan Ahoi. Ahoi merupakan salah satu sarana komunikasi di antara Masyarakat Melayu Batang Kuis pada waktu itu. Komunikasi tersebut salah satunya adalah komunikasi di antara pemuda dan pemudi selama kegiatan mengirik berlangsung. Berikut ini adalah salah satu contoh teks yang isinya sebagai komunikasi antara pemuda dan wanita dalam kegiatan mengirik padi:
Kalau tuan mempunyai sapi Enak dimasak denganlah rebung E....wak
ahoooiii.....ahoooiii...
Hati-hati menghembus api Jangan sampai terbakar hidung E....wak
ahoooiii.....ahoooiii...
Teks di atas mengandung makna bahwa si pemuda menyatakan agar para wanita yang sedang mengemping hati-hati ketika menghembus api untuk menggongseng padi, agar jangan sampai hidung mereka jangan menjadi hitam karena terkena asap. Pernyataan tersebut diterima oleh para wanita yang sedang mengemping dan mereka membalasnya dengan nyanyian pula. Berikut adalah teks yang dinyanyikan para wanita sebagai balasannya: Kami memang punya rebung Tidak dimasak dengan daging sapi E...wak....ahooii.....ahooii.
Biarlah terbakar hidung Asal sampai hajat di hati E...wak....ahooii.....ahooii. Teks nyanyian di atas mengandung makna bahwa para wanita menyatakan bahwa mereka tidak memiliki masalah jika hidung mereka sampai menghitam karena terkena asap pembakaran. Mereka sudah sangat senang apabila maksud atau tujuan mereka kepada para pengirik tersampaikan. Dari dua teks nyanyian di atas kita dapat melihat bahwa ada hubungan komunikasi di antara pengirik dan pengemping.
3.9.4 Fungsi Yang Berkaitan Dengan Norma-Norma Sosial Musik atau nyanyian juga mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk mensosialisasikan norma-norma atau falsafah hidup suatu kebudayaan. Ahoi merupakan salah satu nyanyian yang memiliki fungsi sebagai sarana untuk mensosialisasikan norma-norma sosial yang terkandung di dalam kebudayaan Melayu. Hal tersebut dapat dilihat dari contoh teks nyanyian berikut: Asal atap darilah rumbia Lalu semat denganlah bemban E…wak….ahooii……ahooii Akal tetap jadikan panglima Biarkan nafsu jadi tawanan E…wak….ahooii……ahooii. Teks nyanyian Ahoi di atas menyiratkan makna bahwa sebagai seorang Melayu yang baik hendaklah kita menjadikan akal sehat atau logika sebagai acuan dalam melaksanakan segala sesuatunya, dan hendaklah kita untuk mengesampingkan
keinginan nafsu kita. Karena, jika manusia bertindak hanya berdasarkan nafsu belaka maka hanya kehancuranlah yang akan di dapat. 3.9.5 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan Fungsi Ahoi dalam proses kesinambungan kebudayaan dalam hal ini menjurus kepada bagaimana nyanyian Ahoi memiliki peran sebagai salah satu sarana untuk menjaga kesinambungan kebudayaan Melayu. Hal ini dapat dilihat dari teks nyanyian di bawah ini: Pohon duku kayu nya keras Pohon langsat buah nya lima, E…wak….ahooii……ahooii Jika melayu sudahlah bungkas Maka terangkat lah marwah nya bangsa E…wak….ahooii……ahooii.
Contoh 2 Marilah gelar menggelar tikar Untuk tempat mengirik padi E...wak....ahooii.....ahooii. Biarlah zaman terus berputar Takkan Melayu hilang di bumi E...wak....ahooii.....ahooii. Teks pertama menceritakan tentang keberadaan kebudayaan Melayu ditengah kehidupan masyarakat. Ada keinginan untuk mengangkat kebudayaan Melayu menjadi sebuah kebudayaan yang memiliki marwah yang tinggi. Hal itu dapat berarti pula ada
keinginan untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan Melayu sehingga menjadi lebih baik untuk ke depannya. Pada contoh teks kedua terdapat pesan dan keinginan agar Kebudayaan Melayu dapat bertahan ditengah perkembangan kebudayaan dunia. 3.9.6 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat Ahoi sebagai salah satu sarana pemersatu bangsa dapat terlihat dari kebersamaan masyarakat Desa Batang Hari, Kecamatan Batang Kuis dalam mengirik padi. Kegiatan mengirik padi tidak akan bisa dikerjakan oleh satu orang saja, melainkan harus dilakukan secara beramai-ramai dengan sistem gotong-royong. Dengan mengirik sambil bernyanyi, para pengirik menjadi lebih bersemangat dan menimbulkan kekompakan dalam mengirik sehingga pekerjaan dapat selesai pada waktu yang diharapkan. Dalam hal ini tidak ada jarak atau gab di antara sesama anggota masyarakat.
BAB IV STRUKTUR MUSIK NYANYIAN AHOI 4.1 Kajian Musikal Kajian musikal ini bertujuan untuk keperluan analisis, sehingga dalam proses ini penulis dapat mempelajari aspek-aspek musikal yang terdapat dalam nyanyian ahoi dalam kegiatan mengirik padi pada masyarakat Batang Kuis. Sebelum melakukan pentranskripsian, penulis terlebih dahulu mendengarkan rekaman ahoi secara berulang-ulang dengan seksama serta mencoba menirukannya, menentukan bagian strukturnya dan menulis notasi dengan suatu pola tertentu, menetapkan nadanada yang dihasilkan dan menuliskannya secara teliti, setelah pentranskripsian selesai penulis melakukan pengecekan kembali. Penulisan notasi dalam transkripsi ini penulis berorientasi kepada sistem penulisan not balok (notasi balok barat) karena sampai saat belum ditemukan notasi yang tepat dalam menuliskan musik Melayu. Di sisi lain notasi barat sudah lazim dikenal di kalangan dunia musik maka secara umum telah dikenal masyarakat luas. Alasan lain penulis memakai sistem notasi ini karena dalam penganalisaan penulis memperoleh kemudahan seperti penulisan gerak melodi (kontur) baik naik ataupun menurun penulis dapat melihat dengan jelas, begitu juga penganalisaan yang lain seperti nada-nada modal, interval, dan frasa. Untuk mengetahui musikal musik vokal ahoi penulis menggunakan pendapat Bruno Nettl (1964 : 68) tentang dua pendekatan untuk menganalisis suatu musik yaitu, (1) kita dapat menganalisa dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, (2) kita dapat menulis diatas kertas apa yang kita dengar lalu mendeskripsikan apa yang kita lihat. Sebagai kebutuhan analisis pentranskripsian, penulis menggunakan pendekatan deskriptif, yaitu bagaiamana suatu pertunjukan tersebut disajikan dari apa yang kita
dengar yang kemudian kita transkripsikan. Untuk mentranskripsikan musik vokal ahoi penulis mengacu penulisan dalam bentuk notasi barat kedalam garis paranada. Penggunaan notasi ini akan mempermudah dalam kerja analisis, sehingga dapat menentukan tinggi rendahnya nada-nada yang dihasilkan. Garis paranada tersebut mempunyai lima garis dan empat spasi serta satu garis pembantu dengan cleff (kunci) yang disebut kunci G, seperti berikut ini : \
Sebagai bentuk tanda istrahat yang tertera dibawah ini menandakan tidak ada nada/melodi yang terdengar. Lamanya tanda istrahat sama nilainya dengan nada musik barat.
Berikut keterangan tanda istrahat yang dihasilkan :
Berdasarkan acuan-acuan yang terdapat di atas, maka hasil transkripsi nyanyian ahoi ketika mengirik padi adalah sebagai berikut.
4.2 Struktur Melodi Lagu Untuk mengkaji sebuah musik vokal, ada beberapa teori yang dapat kita terapkan. Dalam skripsi ini, penulis menggunakan teori analisis melodi oleh William P Malm yang meliputi 8 unsur. Adapun kedelapan unsur melodi yang akan dianalisis meliputi: (a) tangga nada (b) nada pusat atau nada dasar; (c) wilayah nada, (d) jumlah nada-nada, (e) interval yang digunakan; (f) pola-pola kadensa; (g) formula melodi ,dan (h) kontur Dengan berdasar kepada teori weighted scale, yang diaplikasikan untuk menganalisis nyanyian ahoi ketika mengirik padi ini, maka hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut. 4.2.1 Tangga Nada Setelah melakukan transkripsi terhadap nyanyian ahoi ketika mengirik padi, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis struktur melodinya. Pendekatan yang penulis lakukan untuk menentukan tangga nada dan nada dasar dilakukan dengan pendekatan weighted scale, seperti yang dikemukakan oleh Bruno Nettl (1964:7). Meskipun dapat saja pendekatan ini tidak sesuai dengan cara pandang masyarakat Desa Bintang Meriah, Kecamatan Batang Kuis, namun teori ini dapat mendeskripsikan secara umum keberadaan struktur melodi ahoi, terutama bagi para pemula yang
dilatarbelakangi pendidikan musik Barat yang selanjutnya lebih dapat menelusuri konsep dan struktur sebenarnya ahoi ini. Dari hasil transkripsi dua lagu sampel itu, maka struktur tangga nada yang digunakan oleh lagu mengirik padi tersebut adalah sebagai berikut tersebut adalah seperti berikut ini.
do – re – mi – fa – sol – la – si (Tangga Nada Diatonis)
4.2.2 Nada Pusat atau Nada Dasar Dalam menentukan nada dasar, penulis mempergunakan kriteria-kriteria generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl dalam bukunya yang berjudul Theory and Method in Ethnomusicology (1984:164). Menurutnya ada tujuh kriteria yang ditawarkannya untuk menentukan nada dasar suatu lagu, yaitu sebagai berikut. (1) Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering dipakai, dan mana yang paling jarang dipakai dalam sebuah komposisi musik; (2) Kadang-kadang nada yang harga ritmisnya besar dianggap sebagai nada dasar, walaupun jarang dipakai dalam keseluruhan komposisi musik tersebut. (3) Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bahagian tengah komposisi musik dianggap mempunyai fungsi penting dalam menentukan tonalitas komposisi musik tersebut. (4) Nada yang berada pada posisi paling rendah atau posisi tengah dianggap penting.
(5) Interval-interval yang terdapat di antara nada , kadang-kadang dapat dipakai sebagai patokan. Umpamanya kalau ada satu nada dalam tangga nada pada sebuah komposisi musik yangdigunakan bersama oktafnya. (6) Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga dapat dipakai sebagai patokan tonalitas. (7) Harus diingat bahwa barangkali terdapat gaya-gaya musik yang mempunyai sistem tonalitas yang tidak dapat dideskripsikan dengan keenam patokan di atas. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu, cara terbaik adalah berdasar kepada pengalaman akrab dengan gaya musik tersebut (terjemahan Marc Perlman 1990). Dengan mempergunakan ketujuh kriteria di atas, maka nada dasar ahoi ini dapat diuraikan sebagai berikut ini. (1)
Nada yang paling sering dipakai adalah nada G
(2)
Nada yang memiliki nilai ritmik paling besar dalam keseluruhan komposisi musik ini adalah nada G
(3)
Nada awal lagu ini dan paling sering digunakan adalah nada G
(4)
Nada yang memiliki posisi paling rendah adalah nada G
(5)
Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf G
(6)
Tekanan ritmik pada umumnya terjadi pada nada C
(7)
Menurut pengalaman musikal penulis dalam bidang musik, kemungkinan paling besar sebagai nada dasar lagu mengirik padi adalah nada C
Tabel 4.1 Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu Ahoi No
Kriteria
Nada
1.
K1
G (84)
2.
K2
C
3.
K31
G (Oktaf rendah)
4.
K32
C
5.
K33
E
6.
K4
G (oktaf rendah)
7.
K5
G
8.
K6
C
9.
K7
C
Keterangan: K1 = nada yang paling sering dipakai K2 = nada yang memiliki nilai ritmis terbesar K31 = nada awal yang paling sering dipakai K32 = nada akhir yang paling sering dipakai (frase) K33 = nada tengah yang paling sering dipakai K4 = nada yang menduduki posisi paling rendah K5 = nada dengan penggunaan duplikasi oktaf K6 = nada yang mendapat tekanan ritmis K7 = nada dasar sebagai ciri khas musik Melayu
4.2.3 Wilayah Nada Dari tangga nada yang telah didapatkan pada melodi ahoi di atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi lagunya. Dengan berpedoman pada nada terendah dan nada yang tertinggi frekuensinya dan jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan demikian maka wilayah nada lagu ini adalah nada G1 sampai ke nada G’
4.2.4 Jumlah Nada Untuk menentukan jumlah nada-nada ada dua cara yang perlu dilakukan. Yang pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap nada tanpa melihat jumlah durasinya secara kumulatif. Yang kedua adalah melihat kemunculannya dan sekaligus menghitung durasi kumulatif. Karena durasi juga menentukan komposisi jumlah nada dalam melodi. Dengan konsep tersebut, maka didapati jumlah nada dalam ahoi (lagu mengirik padi) ini adalah berjumlah 828 nada.
4.2.5 Penggunaan Interval Interval yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara satu nada dengan nada lain yang dipergunakan di dalam sebuah komposisi musik. Ukuran interval ini dapat menggunakan laras atau langkah dan sent. Setelah memperhatikan interval-interval yang dipergunakan dalam lagu ini, maka interval yang digunakan dalam komposisi ahoi ini adalah sebagai berikut. Selengkapnya jumlah penggunaan interval-interval juga dapat dilihat sebagai berikut.
Interval
Murni
Prime Murni
350
Sekunda Terst
Mayor
Minor
200
10
Gambar
5
Kwart
14
Oktaf
16
4.2.6 Pola-pola Kadensa Pola-pola kadensa dapat dikonsepkan sebagai rangkaian nada-nada akhir pada setiap frase melodi, namun pola kadensa ini ju/ga dapat diartikan sebagai nada-nada akhir frase pada musik yang bentuknya harmoni empat suara atau sejenisnya. Pola-pola kadensa dalam lagu mengirik padi adalah sebagai berikut. Pada frase 1 di bar 3, yaitu :
Pada frase 2 di bar 7 ke 8, yaitu :
4.2.7 Formula Melodi Formula melodi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah susunan melodi berdasarkan blok-blok atau kesatuan-kesatuannya. Dalam hal ini ditentukan tiga jenis blok secara umum dari yang terbesar sampai yang terkecil, yaitu: (a) bentuk, (b) frase, dan (c) motif melodi.
Bentuk melodi adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar perulangan bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi terdiri dari dua frase melodi atau lebih. Yang dimaksud dengan frase melodi adalah seuntai melodi yang terdiri dari dua frase atau lebih, yang merupakan satu ide melodi yang utuh. Sedangkan motif melodi adalah bahagian melodi terkecil yang menjadi karakter perulangan seluruh komposisi (lihat Nettl 1964). Bentuk, frase, dan motif melodi ahoi (lagu mengirik padi) adalah seperti pada analisis berikut ini. a)
Bentuk Bentuk melodi nyanyian ahoi ini terbagi atas tiga bentuk, yaitu bentuk A, B dan
C. Contohnya dapat di lihat dari gambar di bawah ini. 1.
Bentuk A melodi nyanyian dalam ahoi
2.
Contoh bentuk B dalam nyanyian ahoi.
3.
Contoh bentuk C dalam nyanyian ahoi
b) Frase Ada 6 buah frase dalam melodi nyanyian ahoi ini, yaitu : A-B-C-D-E-F c. Motif melody
: A = a1, a2 B = b1,b2
Selain itu, menurut Malm (1964 :8) ada beberapa formula melodi yaitu (1) repetitif yaitu bentuk nyanyian yang di ulang-ulang, (2) interactive yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil yang kecenderungan pengulanganpengulangan keseluruhan nyanyian, (3) reverting yaitu bentuk nyanyian yang terjadi pengulangan pada frase pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi, (4) strophic yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang sama, (5) progresif yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan melodi yang berbeda. Jika dikaitkan dengan pendapat Malm tersebut, maka bentuk nyanyian pada ahoi lebih cenderung pada bagian yang ketiga dan pertama yaitu stropic dan repetitive
4.2.8 Kontur Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah nyanyian. Jenisjenis atau nama kontur dibedakan atas gerakan melodi: (a) Bila gerakan melodi naik maka disebut dengan asending; (b) Bila gerak melodi tersebut turun maka disebut konturnya dengan disending; (c) Jika melengkung seperti lintasan jarum jam maka disebut dengan pendulum atau pendulous; (d) Bila susunannya berjenjang disebut dengan terraced; (e) Bila gerak melodi terbatas gerak intervalnya, maka kontur melodi ini disebut dengan statis (Malm 1977:17). Melodi nyanyian ahoi memiliki berbagai jenis kontur melodi. Selengkapnya dapat dilihat pada contoh berikut ini. 1. Pada bar 4 asending (menaik)
2. Pada bar 4 ke 5 desending (menurun)
3. Pada bar 11 ke 12 terraced (berjenjang)
4. Pada bar 11 ke 12 pendulum (melengkung)
5. Pada bar 2 statis (sejajar)
BAB V KAJIAN TEKSTUAL AHOI
5.1 Pengantar Lagu-lagu dalam musik Melayu lebih mengutamakan garapan teks dibandingkan garapan melodi atau instrumentasinya. Hal ini dapat dilihat dari garapan teks yang terus menerus berubah, sedangkan melodinya sama atau hampir sama, atau sering disebut dengan istilah logogenik. Struktur lagu Melayu kebanyakan dipengaruhi oleh pantun. Pantun banyak mendapatkan peran utama dalam lagu-lagu musik Melayu. Teksnya berdasar kepada pantun empat baris (kuatrin) yang terdiri dari dua baris sampiran dan dua baris isi. Lagu-lagu yang digarap berdasarkan pantun, teksnya selalu diubah terus menerus. Perubahan teks tersebut menjadi karakteristik khas musik Melayu.
5.2 Tekstual Ahoi Dalam mengkaji struktur dan isi tekstual ahoi, penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Alan P. Merriam dalam bukunya The Antropology of Music (1964 : 187-189) mengatakan bahwa salah satu sumber dalam memahami tentang tingkah laku manusia yang berhubungan dengan musik ialah teks dari nyanyian dimana dalam teks tersebut dapat memberikan kesan kepada orang yang berada di saat dinyanyikan teks nyanyian tersebut sehingga teks dalam sebuah nyanyian serta musik sangat perlu dan saling mempengaruhi.
Untuk lebih mudah memahami tentang syair ahoi, penulis memberikan angka di depan setiap bait syair ahoi agar dalam pembahasan berikutnya tidak membingungkan. Berikut adalah beberapa teks nyanyian ahoi yang akan di analisis.
1. Bebirik batang bebirik
Daun ubi di ikat ikat,
Batang bayam sandaran dulang
Terima kasih kepada Tuhan
Mengirik kita mengirik
Tahun ini bisa berzakat
Kokok ayam kita pe pulang 2. Bukan batang sembarang batang
7. Padi tua buatkan bertih
Batang padi di atas pedang
Buatkan emping si padi muda
Maek kabar tuan yang datang
Biar badan terasa letih
Mari mengirik sambil berdendang
Tapi hati kita gembira
3. Kalau tidak karena bulan
8. Kalau tuan mempunyai sapi
Mana bintang meninggi hari
Enak dimasak denganlah rebung
Jika tidak karena tuan
Hati-hati menghembus api
Mana kami datang kemari
Jangan sampai terbakar hidung
4. Kalau ada kaca di pintu
9. Kami memang punya rebung
Kaca lama lah kami pecahkan
Tidak dimasak dengan daging sapi
Kalau ada kata begitu lah sayang
Biarlah terbakar hidung
Badan dan nyawa kami serahkan
Asal sampai hajat di hati
5. Anyam pandan buatkan tikar
10. Asal atap darilah rumbia
Untuk tempat menjemur padi
Lalu semat denganlah bemban
Biar zaman terus berputar
Akal tetap jadikan panglima
Tak Melayu hilang dibumi
Biarkan nafsu jadi tawanan
6. Ambil upih tampungkan hujan,
11. Pohon duku kayu nya keras
Pohon langsat buah nya lima Jika Melayu sudahlah bungkas Maka terangkat lah marwah bangsa 12. Kalau ada sumur di ladang Bolehlah kami menumpang mandi Kalau ada umur yang panjang Boleh lah kita berjumpa lagi
5.3 Struktur Pantun Dalam Teks Lagu-Lagu Melayu Untuk mengetahui bagaimana struktur pantun di dalam nyanyian ahoi, ada baiknya dicari dulu apa pengertian pantun agar dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan bahan pertimbangan. Menurut Harun Mat Piah sebagaimana yang dikutip oleh M. Takari dalam bukunya Budaya Musik dan Tari Melayu (2008:139), pantun adalah sejenis puisi pada umumnya, yang terdiri dari: empat baris dalam satu rangkap, empat perkataan sebaris, mempunyai rima akhir a-b-a-b, dengan sedikit variasi dan kekecualian. Tiap-tiap rangkap terbagi ke dalam dua unit, yaitu: pembayang (sampiran) dan maksud (isi). Setiap rangkap melengkapi satu ide. Pantun Melayu memiliki ciri-ciri tersendiri. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat berdasarkan dua aspek penting, yaitu aspek eksternal dan aspek internal. Aspek eksternal adalah dari segi struktur dan seluruh ciri-ciri visual yang dapat dilihat dan didengar, yang termasuk dari hal-hal berikut ini. 1. Terdiri dari baris-baris yang sejajar dan berpasangan, 2,4,6,8,10, dan seterusnya. Tetapi yang paling umum adalah empat baris (kuatrin) 2. Setiap baris mengandung empat kata dasar. 3. Adanya klimaks, yaitu perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata atau perkataan ada dua kuplet maksud. 4. Setiap stanza(Footnote) terbagi kepada dua unit. Yaitu sampiran dan maksud (isi); karena itu sebuah kuatrin mempunyai dua kuplet; satu kuplet sampiran dan satu kuplet maksud. 5. Adanya skema rima yang tetap, yaitu rima akhir a-b-a-b, dengan sedikit variasi a-a-a-a. Mungkin juga terdapat rima internal, atau rima pada
63
perkataan-perkataan yang sejajar, tetapi tidak sebagai ciri penting. Selain rima, asonansi juga merupakan aspek yang dominan dalam pembentukan sebuah pantun. 6. Setiap stanza pantun, apakah itu dua, empat, enam, dan seterusnya, mengandung satu pikiran yang bulat dan lengkap. Sebuah stanza dipandang sebagai satu kesatuan. Aspek-aspek internal adalah unsur-unsur yang hanya dapat dirasakan secara subjektif berdasar pengalaman dan pemahaman pendengar, termasuk : 7. Penggunaan lambang-lambang yang tertentu berdasarkan tanggapan dan dunia pandangan (world view) masyarakat. 8. Adanya hubungan makna antara pasangan pembayang dengan pasangan maksud, baik itu hubungan konkrit atau abstrak atau melalui lambanglambang. Dalam lagu-lagu Melayu Sumatera Utara, ciri-ciri pantun seperti yang dikemukakan Harun Mat Piah terebut juga berlaku. Namun karena pantun ini diajikan secara musikal, maka ada lagi beberapa ciri pantun lagu-lagu Melayu, yaitu: 1. Pantun biasanya disajikan berulang-ulang mengikuti ulangan-ulangan melodi. 2. Walau prinsipnya teks lagu-lagu Melayu mempergunakan pantun, namun tidak sembarangan pantun dapat dimasukkan. 3. Pantun dalam lagu Melayu juga dapat diulur dan dipadatkan sesuai dengan kebutuhan melodi musik yang dimasukinya. 4. Pantun dalam lagu-lagu Melayu juga dapat disisipi oleh kata-kata seperti : ala sayang, sayang, hai, lah, tuan, puan, abang, pak Ucok, Bang Ucok, juga
64
judul-judul lagu seperti Gunung Sayang, Dondang Sayang, Serampang Laut, dan lain-lainnya di tempat awal, tengah, atau akhir baris. 5. Selain empat hal di atas, dalam satu baris tidak harus mutlak terdiri dari empat kaya atau sepuluh suku kata. Tetapi bisa lebih melebar dari ketentuan pantun secara umum. Hal ini memungkinkan terjadi, karena teks tersebut disampaikan secara melodis, bukan dalam gaya berpantun. Misalnya untuk memperpanjang beat, dapat dipergunakan dengan teknik melismatik, sebaliknya dengan teknik silabik dengan durasi yang relatif pendek.
Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, maka penulis akan menganalisis struktur pantun yang menjadi teks dalam nyanyian ahoi dengan hasil sebagai berikut. 1. Pantun dalam nyanyian ahoi terdiri dari rangkap-rangkap yang berasingan. Setiap rangkap terdiri empat baris (kuatrin). Contoh dapat kita lihat pada pantun nomor 1: Bebirik lah batang bebirik
Baris 1
Batang bayam sandaran dulang
Baris 2
Mengirik kita mengirik
Baris 3
Kokok ayam kita pe pulang
Baris 4
Selain pantun nomor 1, seluruh pantun-pantun lain yang dipakai dalam nyanyian ahoi ini terdiri dari empat baris (Kuatrin) 2. Setiap baris dalam pantun yang dinyanyikan dalam nyanyian ahoi mayoritas mengandung empat kata dasar. Contoh dapat kita lihat pada pantun nomor 3. Kalau tidak karena bulan Mana bintang meninggi hari
65
Jika tidak karena tuan Mana kami datang kemari 3. Terdapat klimaks, yaitu perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata atau perkataan ada dua kuplet maksud. Contohnya adalah pantun nomor 4 Kalau ada kaca di pintu Kaca lama lah kami pecahkan Kalau ada kata begitu lah sayang Badan dan nyawa kami serahkan 4. Setiap stanza pantun dalam nyanyian ahoi terbagi kepada dua unit. Yaitu pembayang (sampiran) dan maksud (isi). Contohnya adalah pantun nomor 2 berikut. Bukan batang sembarang batang Kuplet sampiran Batang padi di atas pedang Maek kabar tuan yang datang
Kuplet isi
Mari mengirik sambil berdendang 5. Dalam setiap pantun yang dinyanyikan dalam nyanyian ahoi ini, terdapat skema rima yang tetap, yaitu rima akhir a-b-a-b, dengan sedikit variasi a-a-a-a. a. Contoh pantun yang berima a-a-a-a terdapat pada pantun nomor 2 berikut. Bukan batang sembarang batang
a
Batang padi di atas pedang
a
Maek kabar tuan yang datang
a
Mari mengirik sambil berdendang
a
66
b. Contoh pantun yang berima a-b-a-b adalah pantun nomor 8 berikut. Kalau tuan mempunyai sapi
a
Enak dimasak denganlah rebung
b
Hati-hati menghembus api
a
Jangan sampai terbakar hidung
b
6. Setiap stanza pantun, apakah itu dua, empat, enam, dan seterusnya, mengandung satu pikiran yang bulat dan lengkap. Sebuah stanza dipandang sebagai satu kesatuan. 7. Pantun yang dinyanyikan dalam kegiatan mengirik padi ini disisipi oleh kata-kata tambahan. Contohnya dapat kita lihat pada pantun nomor 4, yaitu sebagai berikut Kalau ada kaca di pintu Kaca lama lah kami pecahkan Kalau ada kata begitu (lah sayang) Badan dan nyawa kami serahkan Pantun di atas, tepatnya pada kuplet isi baris pertama jika dilihat dari strukturnya seharusnya berhenti pada kata begitu. Namun dalam nyanyian ini, baris tersebut ditambahi kata“lah sayang” 8. Pantun yang dinyanyikan dalam nyanyian ahoi ini tidak mutlak terdiri dari empat kata atau sepuluh suku kata. Hal ini terjadi karena teks tersebut disampaikan secara melodis, bukan dalam gaya berpantun.
67
5.4 Makna Teks Nyanyian Ahoi Makna ialah sesuatu yang tersirat dibalik bentuk atau aspek isi dari suatu kata atau teks kalimat. Teks atau syair yang terdapat pada nyanyian ahoi tersebut akan menghasilkan makna. Ada dua jenis makna yang biasanya terkandung di dalam sebuah nyanyian. Makna tersebut adalah makna konotatif , yaitu makna yang terkandung arti tambahan, dan yang kedua adalah makna denotatif , yaitu makna yang tidak mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna yang sebenarnya (Groce Kraft, 1991 : 25). Berikut akan dijelaskan apa saja makna yang tersirat di dalam beberapa teks nyanyian ahoi yang mewakili nilai-nilai kehidupan sosial yang terdapat pada masyarakat kebudayaan Melayu. 1. Bebirik batang bebirik Batang bayam sandaran dulang Mengirik kita mengirik Kokok ayam kita pe pulang Lirik di atas merupakan sebuah pantun yang terdiri dari dua baris sampiran dan dua baris isi. Isi dari pantun di atas menyatakan sebuah pemberitahuan dan ajakan untuk ikut dalam kegiatan mengirik seperti yang tertulis dalam baris ke tiga. Selain itu diberitahukan juga tentang waktu pelaksanaannya sebagaimana yang tertulis dalam bait ke empat, waktu yang dibutuhkan hanyalah satu malam dan ketika ayam berkokok, padinya pasti sudah selesai diirik dan para pengirik boleh pulang. 2. Bukan batang sembarang batang Batang kuis lah di deli serdang Maye kabar tuan yang datang Mari mengirik sambil berdendang
68
Makna yang terkandung di dalam pantun kedua ini sudah jelas terlihat. Dalam pantun
ini ada sapaan kepada semua pelaku kegiatan mengirik dan ajakan untuk
bernyanyi sambil mengirik. 3a. Kalau tidak karena bulan
3b. Kalau ada kaca di pintu
Mana bintang meninggi hari
Kaca lama lah kami pecahkan
Jika tidak karena tuan
Kalau ada kata begitu lah sayang
Mana kami datang kemari
Badan dan nyawa kami serahkan
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, kegiatan mengirik ini juga dapat dijadikan sebagai ajang mencari jodoh antara si pengirik dan pengemping, karena dalam kegiatan ini waktu untuk bertemu dan berkomunikasi cukup lama, yaitu selama kegiatan mengirik berlangsung. Dua buah Lirik pantun yang ketiga tersebut menyiratkan makna tentang perasaan salah seorang pengemping terhadap salah seorang pengirik dengan menyatakan bahwa dia menaruh hati pada salah seorang pengirik dan jika bukan karena si pengirik tersebut juga hadir disitu, dia pasti tidak akan hadir disitu. Makna yang terkandung dalam pantun tersebut dimengerti oleh si pengirik dan dibalas dengan pantun yang kedua. Makna yang terkandung di dalam pantun 3a di atas adalah menyatakan bahwa si pengirik merasa terhormat dengan pernyataan si gadis pengemping yang menyatakan bahwa dia menaruh hati pada dirinya, sehingga si pengirik menyatakan bahwa dia siap memberikan seluruh jiwa raganya untuk kebahagiaan si gadis. 4a. Kalau tuan mempunyai sapi Enak dimasak denganlah rebung Hati-hati menghembus api Jangan sampai terbakar hidung
69
4b. Kami memang punya rebung Tidak dimasak dengan daging sapi Biarlah terbakar hidung Asal sampai hajat di hati Lirik di atas merupakan contoh dari pantun yang berbalasan antara pengirik dan pengemping dalam ahoi. Pantun pertama menyiratkan tentang sindiran si pengirik kepada si pengemping, agar ketika mengemping hati-hati menghembus apinya supaya asapnya tidak terkena wajah dan membuat wajah menjadi hitam dan tidak enak dipandang mata. Para pengemping tidak mau kalah dan membalasnya dengan pantun b yang maknanya menyatakan rayuan kepada para pengirik. Rayuannya adalah mereka tidak mempermasalahkan walau hidung mereka menghitam karena terkena asap seperti yang dikatakan si pengirik, asalkan hajat atau maksud di hati mereka tersampaikan, yaitu hajat untuk bergaul dengan para pengirik. Dalam pantun yang dinyanyikan dalam ahoi ini, ada juga pantun yang isi atau maknanya adalah ucapan syukur dan terima kasih kepada Tuhan karena diberikan hasil panen yang melimpah. Hal tersebut dapat kita lihat dalam pantun di bawah ini. 5. Ambil upih tampungkan hujan Daun ubi di ikat ikat Terima kasih kepada Tuhan Tahun ini bisa berzakat Dalam baris ke 3 dan ke 4 dinyatakan bahwa ada ucapan syukur kepada Tuhan atas panen yang melimpah sehingga sebagian hasil panen tersebut bisa dibagi-bagi
70
kepada para tetangga dalam bentuk emping dan lemang yang dimasak ketika kegiatan mengirik berlangsung dan juga bisa berzakat lebih. 6. Asal atap darilah rumbia Lalu semat denganlah bemban Akal tetap jadikan panglima Biarkan nafsu jadi tawanan Pantun di atas merupakan sebuah pantun nasihat. Makna yang terkandung di dalam pantun tersebut menyatakan bahwa sebagai seorang pemuda-pemudi Melayu, hendaklah menggunakan logika dalam menjalankan ataupun menyelesaikan segala permasalahan hidup ini, bukan dengan menggunakan nafsu. 7.a Anyam pandan buatkan tikar Untuk tempat menjemur padi Biar zaman terus berputar Tak Melayu hilang dibumi 7b. Pohon duku kayu nya keras Pohon langsat buah nya lima Jika Melayu sudahlah bungkas Maka terangkat lah marwah bangsa Pantun pertama menyiratkan tentang keberadaan kebudayaan Melayu di dalam arus globalisasi dan modernisasi saat ini. Ada keyakinan dalam diri mereka bahwa seperti apapun perkembangan zaman ini, kebudayaan melayu pasti dapat bertahan. Pantun kedua menyiratkan makna bahwa kebudayaan suatu bangsa lah yang membuat bangsa tersebut berharga. Kebudayaan Melayu merupakan salah satu kebudayaan yang menyusun bangsa Indonesia ini, sehingga jika kebudayaan Melayu
71
melekat pada masyarakat, maka marwah bangsa Indonesia pun ikut terangkat dan dikenal. 8a. Padi tua buatkan bertih Buatkan emping si padi muda Biar badan terasa letih Tapi hati kita gembira 8b. Kalau ada sumur di ladang Bolehlah kami menumpang mandi Kalau ada umur yang panjang Bolehlah kita berjumpa lagi Pantun pertama berisi tentang ungkapan para pengirik ketika kegiatan sudah hampir selesai yang menyatakan bahwa meskipun badan mereka letih setelah mengirik padi, rasa letih tersebut seakan-akan hilang karena hati mereka bergembira. Hal tersebut dikarenakan mereka melakukannya sambil bernyanyi dan berbalas pantun dengan lawan jenis yang mereka sukai. Sedangkan pantun yang kedua menyiratkan tentang keinginan di antara para pengirik dan pengemping untuk dapat bertemu kembali dalam kegiatan mengirik selanjutnya. Pada zaman itu, biasanya para pengirik dan pengemping yang hari ini mengirik dan mengemping di salah satu rumah, mereka pula yang nantinya melakukan hal yang sama di rumah yang lainnya. Pantun ini sebagai isyarat kepada lawan jenisnya masing-masing agar jangan sampai tidak ikut dalam kegiatan mengirik selanjutnya, agar dapat bertemu dan berkomunikasi kembali lewat nyanyian ahoi.
72
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan Berdasarkan pada uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, penulis akan membuat kesimpulan dari pembahasan dan hasil penelitian yang telah penulis lakukan. Ahoi merupakan sebuah nyanyian pada saat kegiatan mengirik padi dilakukan dan disajikan para pemuda-pemudi yang diwakili oleh pengirik dari kaum laki-laki, dan pengemping dari kaum perempuan. Teks yang dinyanyikan dalam ahoi ini merupakan pantun-pantun yang mengandung nilai-nilai yang berlaku di dalam kehidupan sosial masyarakat Melayu Batang Kuis. Pantun tersebut terdiri atas pantun-pantun yang sudah berlaku di dalam kehidupan masyarakat, dan juga pantun yang diciptakan secara spontan oleh para pengirik atau pengemping sesuai dengan kondisi atau topik yang sedang di bahas. Pola pantun yang digunakan kebanyakan adalah pola a-b-a-b, namun ada juga sebagian kecil yang menggunakan pola a-a-a-a. Berdasarkan teori penggunaan dan fungsi musik oleh Alan P Merriam, ahoi digunakan sebagai musik pengiring kerja, dan memiliki beberapa fungsi yaitu : fungsi pengungkapan emosional, fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial, fungsi kesinambungan kebudayaan, dan fungsi pengintegrasian masyarakat. Dilihat dari sistem notasi musik barat, tangga nada yang terdapat dalam nyanyian ahoi adalah tangga nada diatonis dengan nada dasar C.
73
6.2 Saran Melayu adalah salah satu suku yang ada di nusantara yang sejak dahulu kaya dengan aktifitas budayanya. Aktifitas tersebut dapat dilihat mulai dari siklus hidup, mata pencaharian, dan lain-lain. Akan tetapi, dengan adanya pengaruh dari budaya barat atau masuknya teknologi menyebabkan sebagian nilai-nilai budaya tersebut hilang. Dalam tulisan ini penulis mempunyai beberapa saran kepada pembaca diluarbaik dari etnis Melayu maupun dari luar etnis Melayu, agar nyanyian ahoi ini dapat dipertahankan eksistensinya meskipun kegiatan mengirik padi tidak dilakukan lagi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengalih-fungsika ahoi dari sebuah kesenian pengiring kerja menjadi sebuah seni pertunjukan. Ahoi merupakan salah satu kekayaan budaya yang harus dijadikan milik bersama, sehingga setiap kebudayaan etnis yang ada di seluruh Indonesia tetap hidup dan terus berkembang.
74
DAFTAR PUSTAKA Bandem, I Made dan Sal Murgiyanto. 1996. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta : Kanisius Bogdan, R. and Taylor, S.J. 1975. Introduction to Qualitative Research Methode. New York : John Willey and Sons. Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka. Ihromi, T.O. 1987. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Koentjaraningrat. 1973. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. 1980. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1981. Pengantar Antropologi, Jakarta : Balai Pustaka. 1985. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Malm, William P. 1977. Music Culture Of Pacific Music The Near East and Asia, New Jersey : Prentice Hall, Inc. England Wood Cliffs. Terjemahan Rizaldi Siagian Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago, Northwestern University Press. Muhammad Takari bin Jilil Syahrial. 2011. Tengku Luckman Sinar : Pemikirannya Mengenai Melayu Sebagai Bingkai Kemajemukan Sumatera Utara Dan Aplikasinya Dalam Kesenian. Kumpulan Makalah Seminar Internasional Pemikiran Tengku Luckman Sinar Tentang Kemelayuan dan KeIndonesiaan. Medan. Murgianto, Sal. 1996 Cakrawala Pertunjukan Budaya Mengkaji Batas-batas dan Arti Pertunjukan. MSPI Nainggolan, Kasiro. 2011. Studi Deskriptif Pertunjukan Makyong Cerita Putri Ratna oleh Sinar Budaya Group Medan. Medan: Skripsi. Jurusan Etnomusikologi USU. Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology. The Free Press of Glencoe. New York Sinar Luckman T. 1996. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Malayu. Medan, Perwira. 2007. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Malayu. Yayasan Kesultanan Serdang. Medan. Sinar Luckman T, Syiafuddin Wan. 2002. Kebudayaan Melayu Sumatera Timur. Medan, USU PRESS
75
Suhartono, Irawan. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bandung, Remaja Rosdak. Takari, M dan Heristina Dewi. 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: USU Press. Takari, Muhammad “Komunikasi dalam Seni Pertunjukan Melayu.” Dalam Jurnal Etnomusikologi Vol 1 No.2 - September 2005 Zein, St. Muhammad. 1957. Kamus Modern Bahasa Indoensia. Jakarta : Balai Pustaka.
76
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
: Aisyah Mudatsir
Umur
: 44 Tahun
Alamat
: Jalan Ampera No.211 Desa Bintang Meriah Kec. Batang Kuis
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
2. Nama
: Amiruddin
Umur
: 58 Tahun
Alamat
: Jalan Pancasila Batang Kuis
Pekerjaan
:Pegawai Dinas Perhubungan
3. Nama
: Drs. Muhamad Takari, M.Hum, Ph.D
Umur
: 47 Tahun
Pekerjaan
: Dosen
4. Nama
: Drs. Fadlin, M.A
Umur
: 49 Tahun
Pekerjaan
: Dosen
5. Nama
: Datuk Fauzi
Umur
: 50 Tahun
Pekerjaan
: Dosen
77
Peta Kecamatan Batang Kuis
78