1 BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Pariwisata di Bali yang berkembang pesat pada era globalisasi saat ini, mendorong banyak investor asing melakukan investasi di pulau yang dikenal dengan Pulau Seribu Pura.Bentuk investasi tersebut salah satunya, di bidang properti dengan mendirikan villa, hotel, restoran maupun rumah tinggal.Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bali merilis data bahwa tingkat penanaman modal di Bali periode tahun 2010-2013 mencapai 5,8 (lima koma delapan) triliyun rupiah, dengan perimbangan bahwa hampir 98% penanaman modal tersebut di sektor pariwisata yang bergerak dalam bidang perhotelan dan villa.1 Keseluruhan akivitas penanaman modal tersebut tentunya memerlukan lahan, yaitu tanah tempat dimana properti tersebut didirikan atau dibangun. Pengaturan hukum tentang tanah secara umum di Indonesia diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).Sedangkan pengaturan terhadap perbuatanperbuatan hukum atau peristiwa-peristiwa hukum yang dilakukan atau terjadi antara warga negara sebagai subyek hukum dengan tanah diatur dalam Pasal 2 ayat (2)-nya yang menentukan :
1
BKPMD (Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah), 2013, Investasi Penanaman Modal Asing di Bali Lampaui Target, http://selebzone.com/bkpmdinvestasi-penanaman-modal-asing-di-bali-lampaui-target.html, diakses tanggal 1 Mei 2013. 1
2 (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 Pasal ini memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Dengan demikian, maka UUPA mengatur tentangperuntukan dan penggunaan tanah termasuk di dalamnya pengaturan terhadap perbuatanperbuatan hukum sebagai hubungan-hubungan hukum antara orang-orang ataupun badan hukum dengan tanah. Tidak terkecuali mengatur perbuatan-perbuatan hukum maupun peristiwa-peristiwa hukum tentang tanah dalam rangka penyediaan tanah guna keperluan investasi tersebut. Karena hal tersebut merupakan salah satu wujud pelaksanaan dari konsepsi hak menguasai negara atas tanah. Agar besarnya daya tarik Pulau Bali dalam mendatangkan investasi oleh investor asing selaras dengan manfaat dan hasil yang diperoleh, maka pengaturan penggunaan tanah untuk membangun villa, hotel, restoran atau rumah tinggal sebagai sarana investasi, selain dilandasi oleh konsepsi tersebut di atas, juga seyogyanya dilandasi oleh konsepsi lain yang terkandung atau dianut oleh UUPA, yaitu asas nasionalitas.Suatu asas yang hanya memberikan hak kepada Warga Negara Indonesia (WNI) yang dapat memiliki hak milik atas tanah. Sebab kedua konsepsi di atas, yaitu konsepsi hak menguasai negara atas tanah dan konsepsi atau asas nasionalitas dapat digunakan untuk menangkal akibat-akibat buruk yang
3 mungkin terjadi sebagai akses dari investasi, terutamanya dalam pemilikan atau penguasaan tanah sebagai sumber kehidupan masyarakat. Terkait dengan asas nasionalitas yang dianut UUPA, dalam Pasal 9 UUPA yang ditentukan : (1) Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2. (2) Tiap-tiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat menfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut oleh AP Parlindungan mengatakan bahwa, UUPA mempertegas bahwa kita telah menutup pintu terhadap kepemilikan yang terbuka, artinya hanya Warga Negara Indonesia saja tanpa diskriminasi antara sesama Warga Negara Indonesia dan jenis kelamin sama mempunyai hak untuk mempunyai sesuatu hak atas tanah (Pasal 9 UUPA). 2Dengan demikian, dalam hal pemilikan tanah dengan titel hak milik hanya dapat dipunyai oleh WNI dan UUPA telah menutup kemungkinan bagi orang asing/Warga Negara Asing (WNA) untuk mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Pelaksanaan asas nasionalitas dalam UUPAdi samping secara normatif ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (1) seperti di atas, juga implisit tersirat dalam ketentuan Pasal 21 dan Pasal 26 UUPA, masing-masing menentukan : Pasal 21menentukan : (1) Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. 2
A.P Perlindungan, 1984, Serba Serbi Hukum Agraria, Percetakan Offset Alumni Kotak Pos 272, Bandung, hal. 44.
4 (3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan-tanpa wasiat ayau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. (4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini. Pasal 26 menentukan : (1) Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Dari ketentuan di atas, sesungguhnya hanya WNI yang mempunyai hak untuk memiliki hak milik atas tanah, sementara bagi WNI yang karena perkawinan dan atau karena memperoleh kewarganegaraan asing juga dilarang untuk memiliki hak milik atas tanah di Indonesia. Ketentuan di atas sekalipun secara tegas tidak sama menentukan larangan bagi orang asing/WNA untuk memiliki hak milik atas tanah di Indonesia, akan tetapi memiliki hakekat yang sama. Sebab baik dalam Pasal 21 maupun Pasal 26 bagi orang asing/WNA atau
5 bagi WNI yang dikemudian hari memperoleh kewarganegaraan asing, baik karena perbuatan hukum yang sengaja dibuat maupun karena suatu peristiwa hukum, mereka itu memperoleh hak milik atas tanah. Akan tetapi kepemilikannya harus dengan segera selambat-lambatnya satu tahun sejak diperolehnya hak milik atas tanah tersebut harus mengalihkan
kepada WNI atau badan atau orang yang
menurut peraturan perundang-undangan dibenarkan memilik hak milik atas tanah. Dalam kaitannya dengan pemilikan WNA maupun badan hukum asing untuk memiliki hak-hak atas tanah, dalam UUPA diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42, masing-masing menentukan : Pasal 41 menentukan : (1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatau asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuanketentuan undang-undang ini. (2) Hak pakai dapat diberikan : a. selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu : b. dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. (3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur kekerasan. Pasal 42 menentukan : Yang dapat mempunyai hak pakai ialah : a. Warga Negara Indonesia; b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
6 Kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 TentangHak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (PP Nomor 40/1996) dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Warga Negara Asing (PP Nomor 41/1996).Misalnya dalam kentuan Pasal 2 angka 1 dan angka 2 PP Nomor 41/1996 mengatur bahwa, rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing adalah rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah hak pakai atas tanah negara yang dapat dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah dan satuan rumah susun yang dibangun di atas bidang tanah hak pakai atas tanah Negara. Tampaknya kondisi tersebut di atas membuat WNA yang berkeinginan selain hanya untuk memiliki tanah atau rumah tempat tinggal di atas tanah hak milik juga yang berkeinginan untuk menanamkan modalnya yang berhubungan dengan penggunaan tanah di Indonesia. Adapun upaya untuk memilikinya adalah dengan melakukan terobosan di bidang hukum dalam bentuk perjanjian yang lazimnya disebut dengan perjanjian nominee. Suatu
perjanjian
nomineedibuat
dimaksudkan
untuk
memberi
kesempatan/celah kepada WNA menguasai dan memiliki bidang tanah hak milik di Indonesia. Dimana orang asing/WNAmembeli sebidang
tanah hak milik
dengan menggunakan nama WNI, yaitu tanah hak milik yang nyatanya dibeli (dibayar) oleh orang asing/WNA tersebut namun didaftarkan menjadi/ke atas nama WNI, sementara itu guna kepastian hukum atas hak atas tanah yang dibelinya tersebut antara orang asing/WNA dengan WNI dibuatkan dalam suatu
7 atau beberapa perjanjian dan bahkan dalam suatu akta pernyataan yang isinya bahwa WNI adalah orang yang hanya dipinjam namanya dalam bukti hak milik (sertipikat) sedangkan pemilik sesungguhnya adalah orang asing/WNA tersebut dan terobosan atau hal seperti inilah dalam kehidupan masyakarat lazim disebut dengan perjanjian nominee. Dengan kata lain suatu perjanjian nominee merupakanperjanjian yang dibuat antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi subyek hak atas tanah tertentu (dalam hal ini Hak Milik atau Hak Guna Bangunan). Dalam hal ini yakni seorang WNA dengan seorang WNI, yang dimaksudkan agar WNA penguasai (memiliki) tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan tersebut (secara de facto), namun secara legal-formal (de jure) tanah yang bersangkutan diatasnamakan WNI. Dengan perkataan lain, WNI dipinjam namanya oleh WNA (bertindak selaku nominee).3 Lebih jelasnya perjanjian nominee merupakan perjanjian yang isinya tentang pengingkaran atas pemilikan tanah hak milik dari seseorang WNI yang telah diberikan/ditetapkan oleh negara kepada warga negaranya sebagaimana ditulis dalam sertipikat tanahnya, dengan menyatakan bahwa ia bukanlah sebagai pemilik (de facto) dari tanah tersebut melainkan milik orang asing/WNA yang memang memberi uang dan selanjutnya menguasai tanah dimaksud untuk keperluan dan keuntungannya. Namun dalam kenyataannyayang menguasai tanah hak milik tersebut adalah WNA sementarayang atasnama adalahWNI.
3
Maria S.W. Sumardjono, 2012, Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara Asing Melalui Perjanjian Nominee, Rapat Kerja Wilayah Ikatan Notaris Indonesia (INI) Pengurus Wilayah Bali dan NTT, Denpasar, hal.2.
8 Dalam Kamus Terminologi Hukum, nominee berarti atas namaorang lain. 4 Black‟s Law Dictionary mendefinisikan mengenai nominee, yaitu : 1. A person who is proposed for an office, membership, award, or like title status. An individual seeking nomination, election or appointment is a candidate. A candidate for election becomes a nominee after being formally nominated. 2. A person designated to act in place of another, usually in a very limited way. 3. A party who holds bare legal title for the benefit of other or who receives and distributes funds for the benefit of others. 5 Inti dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa nominee adalah seorang yang diusulkan untuk suatu jabatan, keanggotaan, penghargaan atau kedudukan serupa.Nominee juga dapat dikatakan sebagai seorang kandidat untuk pemilihan menjadi nominator setelah secara formal dicalonkan. Lebih jauh lagi nominee adalah suatu pihak yang memegang hak sah yang nyata demi keuntungan pihak lain atau yang menerima atau menyalurkan dana demi keuntungan pihak lain. Perjanjiannomineebiasanya dibuat dalam bentuk akta otentik, yaitu dalam bentuk akta notaris yakni akta yang dibuat oleh Notaris untuk para pihak terutamanya oleh orang asing/WNA dibuat dengan tujuan untuk mendapat kepastian hukum dan dapat dijadikan alat bukti yang kuat tentang hak atas kepemilikan tanah tersebut. Selain untuk dirinya sendiri juga untuk alat bukti di pengadilan apabila terjadi permasalahan atau sengketa antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
4
I.P.M. Ranuhandoko B.A, 1996, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,hal.415. 5 Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, Thomson West, United States of Amerika, hal. 1076.
9 Sehubungan dengan itu dan yang penting guna penulisan tesis ini adalah mengkaji penyelesaian dari suatu perjanjian nominee yang dibuat dengan akta notaris yang sesungguhnya secara implisit dilarang oleh UUPA sebagaimana telah dipaparkan di atas. Sebab pada hakekatnya menurut UUPA setiap perbuatanperbuatan yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, sebagaimana yang dimaksud baik dalam Pasal 21 ayat (3) maupun Pasal 26 ayat (2) UUPA.Sementara itu dalam praktek/faktanya, terdapat akta-akta notariil yang dibuat oleh notaris tentang hal itu. Sehingga jika akta-akta nominee tersebut dikaji secara normatif, maka keberadaannya sebagai suatu alat bukti adalah batal demi hukum dan mengandung konsekuensi bahwa akta-akta tersebut tidak pernah dianggap ada oleh hukum. Sedangkan dari sisi hukum agraria, obyek yang diperjanjikan dalam akta-akta nominee tersebut jatuh pada negara.6
6
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 224/Pdt. G/ 2008 PN. Dps., Tanggal 5 Desember 2008, Tentang Duduknya Perkara Surat Gugatan tertanggal 23 April 2008 dan telah didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 10 Juni 2008 dengan register Nomor : 224/Pdt.G/2008/PN. Dps. mengemukakan hal-hal sebagai berikut : 1. Bahwa, para penggugat dan tergugat telah sepakat untuk bekerja sama membangun sebuah villa di atas tanah seluas 300 m2 (tiga ratus meter persegi) yang terletak di Desa Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung; 2. Bahwa, para penggugat telah membeli secara tunai dan menanggung seluruh biaya yang dibutuhkan dalam pembangunan villa sebagaimana mestinya dalam waktu yang telah dijanjikan, namun oleh karena para penggugat masih berkewarganegaraan asing maka para penggugat memakai nama tergugat (sebagai NOMINEE). 3. Bahwa, para penggugat dan tergugat telah sepakat (sebagai konsekuensi dari penggunaan nama tergugat dalam Sertifikat Hak Milik tersebut) untuk menuangkannya dalam akta pernyataan dan pengakuan Nomor : 01, tertanggal 2 Januari 2002 di kantor notaris NJOMAN SUTJINING, SH.
10 Akta yang dibuat oleh notaris mempunyai kedudukan penting dalam menciptakan kepastian hukum di dalam setiap hubungan hukum, sebab akta notaris bersifat otentik dan merupakan alat bukti sempurna, yaitu sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh dalam setiap perkara yang terkait dengan akta notaris tersebut seperti yang dinyatakan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN). Akta otentik menentukan secara jelas bahwa hak dan kewajiban, yang menjamin kepastian hukum sekaligus diharapkan dapat meminimalisasi terjadinya sengketa, walaupun sengketa tersebut pada akhirnya mungkin tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi sumbangan yang nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.7 Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan dihadapan persidangan pengadilan. 8 Dalam hal perjanjian nominee yang dibuat dengan akta notaris, apakah bisa menjadi alat bukti yang tekuat dan terpenuh di Pengadilan apabila terjadi perkara atau sengketa antara para pihak yang membuat perjanjian nominee. Dari uraian di atas maka kajian dalam tesis ini berangkat dari adanya kekaburan norma dalam Pasal 26 ayat (2) perihal apakah perbuatan hukum yang dengan sengaja dibuat untuk terjadinya pengalihan hak dari WNI kepada orang
7
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, CV. Mandar Maju, Bandung, hal.8. 8 Ibid.
11 asing/WNA dalam suatu akta notaris yang disebut dengan akta nominee berlaku untuk satu tahun dan setelahnya apabila tidak dialihkan akan jatuh kepada negara memiliki makna dan maksud yang sama dengan ketentuan Pasal 21 ayat (3). Hal tersebut menjadi sangat penting untuk dikaji mengingat Pasal 26 ayat (2) secara implisit melarang bahwa perbuatan-perbuatan hukum yang secara langsung atau tidak langsung dimaksudkan untuk memindahkan hak atas tanah dari WNI kepada orang asing/WNA adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara. Sebab kalimat yang menyatakan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing di dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA tersebut menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam (multitafsir) sehingga timbul keragu-raguan yang bermuara pada kaburnya norma tersebut (vague van normen). Ketentuan tesebut dikatakan kabur sebab pengaturan hukumnya sudah ada, tetapi tidak jelas atau kurang lengkap, sehingga hakim harus menciptakan hukum yang baru sebagai penyempurna dan atau pengganti hukum yang sudah ada. 9 Selain berangkat dari masalah normatif seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penulisan tesis ini juga lahir dari adanya fakta bahwa di dalam kenyataanya terjadinya praktekpraktek dibuatnya akta-akta nominee yang dibuat oleh notaris antara orang asing/WNA dengan WNI baik pada saat dibuatnya maupun setelah lewat satu tahun setelah dibuatnya akta nominee tersebut, tanah-tanah yang menjadi obyek dalam perjanjian nominee tersebut tidak jatuh dan diambil oleh Negara.
9
Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persepektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 58.
12 Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk menulis tentang penyelesaian sengketa yang timbul dari akta nominee yang berisi peralihan hak milik atas tanah kepada Warga Negara Asing berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UUPA karena pertama, adanya kekaburan norma dalam ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA dalam kalimat perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing. Perbuatan-perbuatan lain yang dimaksud tersebut apakah termasuk perjanjian nominee yang dibuat antara orang asing/WNA dengan WNI. Kedua, apakah perjanjian nominee yang dibuat dengan akta notaris tersebut memiliki legalitas jika dipandang dari perundang-undangan Indonesia khususnya UUPA dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketiga, apakah perjanjian nominee yang dibuat dengan akta notaris dapat menjadi alat bukti yang sempurna di pengadilan apabila terjadi sengketa antara orang asing/WNA dengan WNI. Alasan mendasar permasalahan di atas penting untuk ditulis yaitu pertama, kekaburan norma pada Pasal 26 ayat (2) UUPA tidak memberikan petunjuk yang jelas mengenai perjanjian nominee sehingga diperlukan penemuan hukum. Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode interpretasi atau penafsiran dan melalui metode konstruksi. 10 Interpretasi hukum terjadi, apabila terdapat ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat ditetapkan pada kasus kongkret yang dihadapi, atau metode ini dilakukan dalam hal peraturannya sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa kongkret atau
10
Ibid. hal. 59.
13 mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu makna ganda norma yang kabur (vage van normen), konflik antar norma hukum (antimony normen), dan ketidak pastian dari suatu peraturan perundang-undangan. 11 Konstruksi hukum terjadi apabila tidak ditemukan ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat diterapkan pada masalah hukum yang dihadapi, ataupun dalam hal peraturannya memang tidak ada, jadi terdapat kekosongan hukum (recht vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum).12 Alasan kedua, berkaitan dengan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata antara lain : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Perjanjian nomineetentang peralihan hak milik atas tanah kepada orang asing/WNA yang dibuat dengan akta notaris apakah telah memenuhi semua syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kususnya pada syarat keempat yaitu suatu sebab yang halal. Alasan ketiga, karena beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,
sepanjang
pengetahuan
penulis
belum
pernah
mengkaji
permasalahan yang diteliti oleh penulis. Penelitian-penelitian tersebut antara lain : 1. Penelitian tesis dari A.A. Sri Angraini, Program Studi Ilmu Hukum Minat Kenotariatan,Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang.Judul tesis 11
Ibid. hal. 60. Ibid.
12
14 “Peralihan Hak Atas Tanah dari WNI kepada WNA di Provinsi Bali”. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian tesis ini yaitumengenai apakah peralihan hak atas tanah dari WNI kepada WNA mempunyai landasan yuridis atau penyelundupan hukum dan apakah akta-akta pertanahan yang dibuat dalam peralihan hak atas tanah dari WNI kepada WNA adalah berdasarkan kewenangan pejabat pembuat akta. 2. Penelitian tesis dari Eka Krisna Jayanti, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya-Universitas Udayana tahun 2010. Judul tesis “Penguasaan Tanah Hak Milik Oleh Warga Negara Asing Dengan Menggunakan Perjanjian Nominee.” Permasalahan yang dikaji yaitu mengenai faktor yang menyebabkan WNA menguasai tanah dengan menggunakan perjanjian nominee dan mengapa Notaris/PPAT membuat perjanjian nominee bagi WNA untuk penguasaan tanah. 3. Penelitian tesis dari Luh Putu Ayu Devi Susanti, Program Studi Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Denpasar. Judul Tesis “Hapus Dan Jatuhnya Hak Milik Atas Tanah Kepada Negara Akibat Pemindahan Hak Milik Secara Tidak Langsung Kepada Warga Negara Asing Dengan Akta Notaris. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian tesis ini yaitu apakah dasar pemikiran dirumuskannya larangan pemindahan hak milik atas tanah kepada WNA sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA masih relevan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini dan bagaimanakah mekanisme hapus dan jatuhnya hak milik atas tanah kepada
15 Negara akibat pemindahan hak milik secara tidak langsung kepada WNA dengan akta Notaris. Meskipun ketiga penelitian diatas mengkaji masalah yang berhubungan dengan pengalihan hak milik atas tanah kepada warga negara asing, kajian permasalahannya berbeda dengan yang dikaji oleh penulis dalam penelitian ini. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa tulisan dalam penelitian ini bukan merupakanpengulangan
apalagi
plagiasi
dari
tulisan-tulisan
terdahulu
sebagaimana disebutkan di atas.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu: 1. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan dalam hal terjadinya sengketa perjanjian nominee tentang peralihan hak milik atas tanah kepada orang asing/WNA yang dibuat dengan akta notaris? 2. Bagaimana akibat hukum terhadap perjanjian nominee tentang peralihan hak milik atas tanah kepada orang asing/WNA yang melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA?
1.3. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai peralihan hak milik atas tanah
16 kepada orang asing/WNA melalui perjanjian nominee yang dibuat dengan akta notaris. Dengan pemahaman itu dapat diketahui apakah perjanjian nominee yang dibuat dengan akta notaris tersebut memiliki kekuatan mengikat antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan apakah dapat menjadi alat bukti yang kuat di pengadilan apabila terjadi sengketa antara para pihak yang membuat perjanjian nominee. b. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian nominee tentang peralihan hak milik atas tanah kepada orang asing/WNA yang dibuat dengan akta notaris. 2. Untuk mendeskripsikan dan mengkritisi akibat hukum perjanjian nominee tentang peralihan hak milik atas tanah kepada orang asing/WNA yang melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
1.4. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan berupa asas-asas, prinsip-prinsip dan konsep-konsep hukum bagi perkembangan ilmu hukum dan khususnya dalam bidang kenotariatan, perihal penyelesaian sengketa perjanjian nominee yang dibuat dengan akta notaris yang di dalamnya
mengandung
peralihan hak milik atas tanah dari WNI kepada orang asing/WNA dalam kaitannya denganketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA dan untuk mengetahui akibat
17 hukum terhadap perjanjian nominee yang mengandung peralihan hak milik atas tanah kepada orang asing/WNA. b. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis yang diharapkan dalam penulisan ini, antara lain : Untuk para notaris diharapkan menjadi sumber pengetahuan (baru) bahwa setiap akta
yang
substansinya
mengandung
perbuatan-perbuatan
hukum
yang
dimaksudkan secara langsung atau tidak langsung mengandung peralihan hak milik atas tanah dari WNI kepada orang asing/WNA yang di dalam praktek lazimnya disebut akta nomine merupakan suatu perbuatan melanggar hukum terkait dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA, sehingga akta notaris yang dibuat adalah batal demi hukum. Kemudian untuk masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman mengenai adanya larangan peralihan hak milik atas tanah dari WNI kepada orang asing/WNA dengan menggunakan akta nominee serta dapat memberi pengetahuan praktis tentang upaya penyelesaian sengketa baik melalui jalur non litigasi maupun jalur litigasi berserta akibat-akibat hukum yang dapat timbul dalam penyelesaian sengketa tersebut. Sedangkan untuk pemerintah cq. Badan Pertanahan Nasional, penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terkait penegakan hukum terkait ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Bahwasannya setiap perbuatanperbuatan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 26 ayat (2) UUPA tersebut tanahnya jatuh kepada Negara.
18 1.5. Landasan Teoritis dan Koseptual. 1.5.1 Landasan Teoritis. Dalam menganalisa penulisan ini digunakan Teori Hukum Sengketa, Teori Perjanjian, Teori Tanggung Jawab dan Asas Kepastian Hukum. Definisi dari masing-masing teori dan asas di atas yaitu sebagai berikut : 1) Teori Hukum Sengketa. Teori hukum sengketa digunakan dalam penulisan ini, sebagai pisau analisa untuk menjawab masalah pertama dari penulisan tesis ini.Terutamanya dalam rangka memberikan deskripsi dan jawaban atas upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan dalam hal terjadinya sengketa serta menelaah dan menjawab penyelesaian sengketa perjanjian nominee yang dibuat dalam bentuk akta notaris, melalui jalur litigasi (Pengadilan). Sebuah teori hukum sengketa adalah pada dasarnya melihat aktivitas dari aparat terutama di pengadilan. Dalam proses pengadilan dapat dilihat dari orangorang yang berkompeten dalam masyarakat untuk memperoleh keadilan dan hakim yang menentukan putusan bagi para pihak yang mencari keadilan itu. Menurut Jerome Frank, pendukung radikal dari teori hukum sengketa mengatakan bahwa, penyelesaian sengketa merupakan “legal rules had primarily the function of ex post facto rationalizations of decisions.”13 Inti dari pernyataan Jerome Frank adalah teori hukum sengketa merupakan aturan-aturan hukum yang memiliki fungsi utama ex post facto rasionalisasi dari keputusan. Kemudian sejak masa
13
J.W Harris,1979, Law and Legal Science (An Inquiry into the Concepts Legal Rule and Legal System), Clarendon Press-Oxford, hal. 64.
19 kejayaannya, yang disebut „gerakan Amerika realis‟ pada awal tahun 1930 penganut teori hukum sengketa memiliki kedudukan yang semakin pasti. Pendapat lain seperti, Wendel Holmes penganut Realist Theory of Law (Aliran Realisme Hukum Amerika) mengatakan sebagai dari inti teorinya, bahwa : apapun yang dilakukan oleh hakim dalam memutus perkara itulah hukum. Bagi Holmes, rohnya hukum adalah nilai-nilai yang hidup di masyarakat, bukan pada logika. Ungkapannya “law is not only logic but experions (sic!)”14 dapat diartikan, bahwa aturan hukum itu akan tidak efektif apabila hanya mengandalkan logika saja, hukum itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Dalam memutus sebuah perkara, aturan hukum positif dianggap sebagai pilihan atau petunjuk serta pembenaran pengambilan keputusan. Namun, aturan hukum positif bukanlah satu-satunya pedoman hakim dalam mengambil suatu keputusan, hukum tidak tertulis seperti hukum adat dan kebiasaan juga dipakai sebagai pertimbangan. 2) Teori Perjanjian Teori perjanjian digunakan dalam penulisan tesis ini, sebagai pisau analisa untuk menjawab masalah kedua dari penulisan tesis ini. Terutamanya dalam rangka memberikan deskripsi dan jawaban mengenai akibat hukum terhadap perjanjian nominee tentang peralihan hak milik atas tanah kepada orang asing/WNA. Apakah perjanjian nominee memenuhi semua syarat-syarat sahnya perjanjian terutama pada syarat suatu sebab yang halal sebagai syarat obyektif dari suatu perjanjian. 14
I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press, Jatim, hal. 24.
20 Perjanjian diatur dalam buku Ketiga KUH Perdata tentang perikatan yaitu pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Perjanjian” adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Apabila antara dua orang atau lebih tercapai suatu persesuaian kehendak untuk mengadakan suatu ikatan, maka terjadilah antara mereka suatu persetujuan. Lebih lanjut dalam Pasal 1121 KUH Perdata dinyatakan bahwa “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi bahwa perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.15 Bachsan Mustafa, Bewa Ragawino dan Yaya Priatna memberikan definisi bahwa perjanjian itu adalah hubungan hukum kekayaan antara beberapa pihak, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak
menuntut
atas suatu jasa
(prestasi)sedangkan pihak lainnya (debitur) berkewajiban untuk memenuhi tuntutan (schuld) tersebut dan bertanggung jawab atas prestasi itu. 16 Pendapat lain dikemukakan oleh Soebekti mendefinisikan pengertian pernjanjian sebagai suatu
15
Wirjono Prodjodikoro,1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu,Cet VIII, Sumur, Bandung, hal. 11. 16 Bacshan Mustafa dkk, 1982, Azas-Azas Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Edisi Pertama, Armico, Bandung, hal. 53.
21 peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 17 Dari peristiwa ini muncul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. O.W Holmes berpendapat bahwa: “The duty on keep contract in common law means a prediction that you must pay damages if you do not keep it, if you commit a tort, you are liable to pay compesatory”. 18 (Kewajiban untuk menjaga suatu perjanjian dalam common law diartikan sebagai prediksi bahwa kamu harus membayar ganti kerugianakan tetapi kalau kamu tidak menjaganya, apabila kamu komit dengan gugatan tersebut, maka kamu bertanggung jawab untuk membayar kompensasi tersebut). Sebelum mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, sangatlah penting bagi para pihak untuk menyepakati syarat-syarat suatu perjanjian sebagaimana dikatakan oleh Sucitthra Vasu, mengatakan “The purpose of setting down the terms of contract are; firstly, it stipulates the rights and obligations of the parties. Secondly, in the event of a dispute between parties, it enables the court to decide which is the defaulting party so that the dispute can be resolved.“19 Para pihak dalam membuat suatu kontrak atau perjanjian juga harus mentaati kontrak yang telah disepakatinya, terutama bagi debitur sebagai pihak yang berutang ke pihak lain, selain itu batas waktu pemenuhan kewajiban juga 17
R. Soebekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disingkat R. Soebekti II), hal. 45 18 M.P Golding, 2004,The Nature of Law Readings in Legal Philosophy, Columbia University, Random House, New York, hal. 180 19 Sucitthra Vasu, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books, Singapore, hal.1
22 harus diperhatikansebagaimana dikatakan oleh R. Subekti, dalam bukunya Law In Indonesia, menyatakan bahwa: “The debtor has done something what is in contravention of the contract, it is obvious that he is in default. Also when in the contract is fixed a time limit for carrying out the duty and the debtor has elapsed this time limit, it is clear that the debtor is in default.”20 (Debitur yang telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan kontrak itu dinyatakan menyalahi kontrak. Begitu pula apabila dalam kontrak ditentukan batas waktu pemenuhan kewajiban, akan tetapi debitur tidak mengindahkan limit waktu itu, itu jelas debitur dinyatakan bersalah). Dalam membuat kontrak, perjanjian yang dibuat tersebut harus sah dan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun juga. Perjanjian yang sah artinya perjanjian memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undangsehingga diakui oleh hukum, akibatnya yang timbul dari perjanjian tersebut
dapat
menimbulkan akibat hukum. Undang-Undang yang mengatur tentang sahnya suatu perjanjian yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata.) khususnya Pasal 1320 yang menentukan, yaitu: Untuk sahnya persetujuan persetujuan itu diperlukan 4 syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal”.
20
R. Soebekti, 1982, Law In Indonesia, Centre For Strategic And International, And Studies, third edition, Jakarta, (selanjutnya disingkat R. Soebekti I), hal. 55
23 Ad. 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu tercapainya suatu kesepakatan antara kedua belah pihak. Orang yang hendak membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan kesediaannya untuk mengikatkan dirinya. Ad. 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan. Kedua belah pihak yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. Beberapa golongan orang oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu, seperti orang di bawah umur, orang di bawah pengawasan (Curatele), dan perempuan yang telah kawin (Pasal 1130 KUH Perdata). Ad. 3. Suatu hal tertentu. Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Ad.4. Suatu sebab yang halal”. Adapun suatu hal tertentu yang diperjuangkan tersebut adalah hal yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. 21 Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subyektif karena kedua syarat tersebut harus dipenuhi oleh subyek hukum. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat obyektif karena kedua syarat ini harus dipenuhi oleh obyek perjanjian. Tidak dipenuhinya syarat subyektif akan mengakibatkan suatu perjanjian menjadi dapat dibatalkan. Sedangkan tidak dipenuhinya syarat obyektif akan mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Artinya sejak 21
Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhamad I), hal.77
24 semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. 22 Selain syarat-syarat sahnya perjanjian, dalam membuat suatu perjanjian harus diperhatikan pula tentang asas-asas dalam perjanjian. Asas-asas dalam perjanjian terdapat dalam KUH Perdata pada Pasal 1338 ayat (1), (2), dan (3). Adapun asas-asas yang dimaksud dalam perjanjian tersebut adalah sebagai berikut: Asas kebebasan berkontrak. Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undangundang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 dan 1338 KUH Perdata). Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat mutlak tetapi relatif (kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab). Asas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Ruang lingkup asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian di Indonesia meliputi hal-hal sebagai berikut : a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian. b. Kebebasan untuk memilih dengan siapa ingin membuat perjanjian. c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuat. d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian. e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
22
Komariah, 2002, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiah, Malang, hal. 175-177.
25 f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan perundangundangan yang bersifat opsional. 23 Asas itikad baik. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 KUH Perdata), itikad baik ada 2 (dua) yakni : 1) Bersifat obyektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Standar yang digunakan dalam iktikad baik obyektif adalah standar yang mengacu pada suatu norma obyektif. Perilaku para pihak dalam kontrak harus diuji atas dasar norma-norma obyektif yang tidak tertulis yang berkembang di masyarakat. Contoh : Si A melakukan perjanjian dengan Si B untuk membangun rumah. Si A ingin memakai keramik cap essenza namun di pasaran habis maka diganti cap platinum oleh Si B. 2) Bersifat subyektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. Itikad baik subyektif dikaitkan dengan hukum benda. Di sini ditemui istilah pemegang yang beritikad baik atau pembeli barang yang beritikad baik sebagai lawan dari orang-orang yang beritikad buruk. Contoh : Si A ingin membeli motor, kemudian datang Si B yang berpenampilan preman yang akan menjual motor tanpa surat dengan harga yang sangat murah, Si A menolak membeli karena takut bukan halal atau tidak legal. 24
23
Frans Satriyo Wicaksono, 2008, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, Visimedia, Jakarta, hal. 3. 24 Ridwan Khairandy, 2003, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 194195.
26 Asas Pacta Sunt Servanda Menurut ketentuan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas konsensualisme. Hukum kontrak juga menganut asas konsensualisme. Maksud dari asas konsensualisme ini adalah bahwa suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, tentunya selama syarat-syarat sahnya kontrak lainnya sudah dipenuhi. Jadi dengan adanya kata sepakat, kontrak tersebut pada prinsipnya sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban diantara para pihak. Dengan demikian pada prinsipnya syarat tertulis tidak diwajibkan untuk suatu kontrak.25 Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata “semua” menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya, yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. 26
25
Munir Fuadi, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuadi II), hal. 30 26 Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Cutra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzaman I), hal. 87.
27 Asas kepribadian (personalitas). Seorang tidak dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam Pasal 1317 KUH Perdata tentang janji untuk pihak ketiga yang menegaskan “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain mengandung suatu syarat macam itu.” 27 3) Teori Tanggung Jawab Teori tanggung jawab ini digunakan untuk mengkaji mengenai tanggung jawab notaris dalam membuat akta nominee yang sesungguhnya melanggar ketentuan dalam UUPA. Dimana disini notaris bertindak sebagai pejabat umum yang ditunjuk untuk membuat akta otentik sepanjang berdasarkan peraturan umum tidak ditunjuk atau dikecualikan kepada pejabat lain seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responbility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung gugat, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kajahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responbility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan.Dalam 27
Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal. 46.
28 pengertian
dan
penggunaan
praktis,
istilah
liability
menunjuk
pada
pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responbility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.28 Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu : a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannnya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.29 Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut :30 1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan yaitu prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUH Perdata Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.
28
Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 335-337. 29 Ibid, hal. 365. 30 Rechts Van Banjar, 2013, Prinsip Tanggung Jawab, http://vanbanjarrechts.wordpress.com
29 Prinsip
ini
menyatakan,
seseorang
baru
dapat
dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannnya. Pasal 1365 KUH Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu : a. Adanya perbuatan; b. Adanya unsur kesalahan; c. Adanya kerugian yang diderita; d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. 31 Kesalahan yang dimaksudkan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undangundang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. 2. Prinsip
Praduga
Untuk
Selalu
Bertanggung
Jawab.
Prinsip
ini
menyebutkan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Kata “dianggap” dalam prinsip ini sangat penting karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian. Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam kass 31
Sidharta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasrana, Jakarta, hal. 73.
30 konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak bebas untukmengajukan gugatan karena bisa saja pihak penggugat digugat balik oleh pelaku usaha jika ia gagal menunjukan kesalahan tergugat. 3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab. Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua yang telah disebutkan tadi. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh prinsip ini dalam hukum pengangkutan misalnya dalam kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang adalah tanggung jawab dari penumpang itu sendiri. 4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak. Menurut E. Suherman tanggung jawab mutlak (strict liability) disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak. 32 5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) ini sangat disenangi
32
E. Suherman, 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung, hal. 21.
31 oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian strandar yang dibuatnya. 4) Asas Kepastian Hukum. Asas kepastian hukum digunakan pada penulisan tesis ini berkaitan dengan perjanjian nominee yang dilakukan oleh orang asing/WNA dengan WNI. Perjanjian nominee pada dasarnya dibuat agar orang asing dapat menguasai tanah di wilayah Indonesia agar ia dengan leluasa melakukan kegiatan usahanya. Namun pada akhirnya bertolak belakang dengan keinginan pembentuk undangundang untuk melindungi kepentingan Negara. Sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Pasal 21 ayat (1) yang menyatakan bahwa “hanya Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik”. Dilakukannya perjanjian nominee dimana orang asing/WNA meminjam nama WNI untuk dapat memiliki
tanah
di
wilayah
Indonesia
dapat
dikatakan
sebagai
suatu
penyelundupan hukum. Perjanjian nominee yang dilakukan tersebut tidak mempunyai kepastian hukum karena melanggar ketentuan dalam UUPA. Untuk dapat mendapat kepastian hukum orang asing dapat mengajukan Hak Pakai seperti yang diatur dalam Pasal 41 sampai Pasal 43 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Telah diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, diundangkan pada tanggal 17 Juni 1996, yang menentukan bahwa :
32 Warga Negara Asing hanya boleh mempunyai : 1. Rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah : a. Hak Pakai atas tanah Negara; b. Yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah; atau 2. Satuan rumah susun yang dibangun diatas bidang tanah Hak Pakai atas tanah Negara. Kepastian hukum menurut Gustaf Radbruch seperti yang dikutip oleh The Huijber mengenai kepastian hukum mengemukakan : Menurut Radbruch dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai.Aspek yang pertama adalah keadilan dalam arti yang sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas.Aspek ini menentuan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas.Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaaati.33 Peter Mahmud Marzuki mengemukakan : Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa kemanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus.34 Menurut O. Notohamidjojo bahwa tujuan hukum ada tiga yang saling harmonis yaitu :
Keadilan.
33
Theo Huijber, 2007, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Keempatbelas, Yogyakarta, hal. 163. 34 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Merzuki I), hal. 158.
33
Daya guna.
Kepastian hukum. 35 Menurut J.M. Otto yang dikutip oleh Sri Djatmiati, kepastian hukum
(rechtszekerheid) memiliki unsur-unsur sebagai berikut : a) Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan yang ditetapkan negara. b) Aparat pemerintah menerapkan aturan hukum tersebut secara konsisten dan berpegang pada aturan hukum tersebut. c) Rakyat pada dasarnya tunduk pada hukum. d) Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan aturan hukum tersebut. e) Putusan hakim dilaksanakan secara nyata. 36
1.5.2 Konseptual. Mengenai landasan konseptual yang digunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut : 1. Hak Milik. Hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai mana hak eigendom.Sifat khas dan hak milik ialah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuh bahwa hak milik merupakan hak yang kuat, berarti hak itu tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain, sehingga wajib didaftarkan.
35
Yance Arizona, 2012, Kepastian Hukum, http:/yancearizona. wordpress.com. 36 Tatiek Sri Djatmiati, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Unair, Surabaya, hal. 18
34 Hak milik bersifat turun temurun, artinya dapat diwarisi oleh ahli waris yang mempunyai tanah.Hal ini menunjukkan hak milik tidak ditentukan jangka waktunya seperti misalnya, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha. Hak milik tidak hanya akan berlangsung selama hidup orang yang mempunyainya, melainkan kepemilikannya akan dilanjutkan oleh ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Tanah yang menjadi objek hak milik bersifat tetap, artinya tanah yang dipunyai dengan hak milik tidak berganti-ganti melainkan tetap sama. 37 Mengenai hak milik yang ditentukan dalam Pasal 20 UUPA adalah sebagai berikut : (1) Hak Milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. (2) Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain. 2. Pemindahan hak milik. Dalam peraturan undang-undang pertanahan pada Pasal 20 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa hak milik dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain. Namun demikian, dalam peraturan perundang-undangn tersebut tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan beralih dan dialihkan. Ada dua bentuk peralihan hak atas tanah atau hak milik dapat dijelaskan sebagai berikut : a) Beralih adalah berpindahnya hakatas tanah atau hak milik dari pemegang haknya kepada pihak lain karena pemegang haknya meninggal dunia atau melalui pewarisan. Peralihan ha katas tanah atau hak milik ini terjadi karena 37
Boedi Harsono, 1971, Undang-Undang Pokok Agraria Bagian Pertama, Djambatan, Jakarta, hal. 55.
35 hokum, artinya dengan meninggalnya pemegang hak (subyek), maka ahli warisnya memperoleh hak atas tanah atau hak milik tersebut. Dimana subyek dalam beralihnya hakatas tanah atau hak milik harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah atau hak milik. b) Dialihkan/pemindahan hak adalah berpindahnya hak atas tanah atau hak milik dari pemegang (subyek) haknya kepada pihak lain karena suatu pernuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak tersebut. Dalam dialihkan/pemindahan hak di sini, pihak yang
mengalihkan/memindahkan
hak
harus
berhak
dan
berwenang
memindahkan hak, sedangkan bagi pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang hakatas tanah atau hak milik. 38 Dalam perbuatanhukum pemindahan hak,
hak atas tanah yang
bersangkutan sengaja dialihkan kepadapihak lain. Bentuk pemindahan haknya bisa dikarenakan: a. b. c. d. e. f.
Jual-beli, Tukar menukar, Hibah, Pemberian menurut adat, Pemasukan dalam perusahaan atau “inbreng” dan Hibah wasiat atau “legaat”39
Jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan atau “inbreng” dan hibah-wasiat atau “legaat” dilakukan oleh para pihak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disebut PPAT yang bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya pembuatan hukum 38
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 301. 39 Boedi Harsono, op.cit.hal. 330.
36 yang bersangkutan dihadapan PPAT dipenuhi syarat terang dalam arti bukan perbuatan hukum yang “gelap”, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.Akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata atau “riil” perbuatan hukum jual-beli yang dilakukan. 40 3. Perjanjian nominee. Seperti
yang
telah
dijelaskan
di
atas,
perjanjian
nominee
merupakanperjanjian yang dibuat antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi subyek hak atas tanah tertentu (dalam hal ini Hak Milik atau Hak Guna Bangunan) yakni seorang WNA dengan seorang WNI, yang dimaksudkan agar WNA penguasai (memiliki) tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan tersebut (secara de facto), namun secara legal-formal (de jure) tanah yang bersangkutan diatasnamakan WNI. Dengan perkataan lain, WNI dipinjam namanya oleh WNA (bertindak selaku nominee).41 Walaupun terdapat berbagai varian dalam perjanjian berkenaan dengan penguasaan tanah oleh warga negara asing, tetapi secara garis besar perjanjian yang ditempuh pada umumnya terdiri dari : 1. Perjanjian induk yang terdiri dari Perjanjian Pemilikan Tanah dan Surat Kuasa; 2. Perjanjian Opsi; 3. Perjanjian Sewa-menyewa; 4. Kuasa Menjual; 5. Hibah Wasiat; dan 40 41
Boedi Harsono, loc.cit. Maria S.W. Sumardjono, loc.cit.
37 6. Surat Pernyataan Ahli Waris. Bila dilihat sepintas lalu, perjanjian notariil tersebut di atas seolah olah tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku karena tidak dalam bentuk pemindahan hak secara langsung.Namun, bila isi perjanjian diperiksa dengan seksama, maka semua perjanjian tersebut secara tidak langsung dimaksudkan untuk memindahkan tanah Hak milik atau Hak Guna Bangunan kepada warga negara asing. Isi dari perjanjian tersebut di atas ialah : 1. Perjanjian Pemilikan Tanah dan Pemberian Kuasa. Dalam Perjanjian Pemilikan Tanah pihak WNI mengakui bahwa tanah hak milik yang terdaftar atas namanya bukanlah miliknya, tetapi milik WNA yang telah menyediakan dana untuk pembelian tanah Hak Milik beserta bangunan. Selanjutnya pihak WNImember kuasa yang tidak ditarik kembali kepada pihak WNA untuk melakukan segala tindakan hukum terhadap tanah Hak Milik dan bangunan. 2. Perjanjian Opsi. PihakWNI memberikan opsi untuk membeli tanah Hak Milik dan bangunan kepada pihak WNA kerena dana untuk pembelian tanah Hak Milik dan bangunan itu disediakan pihak WNA. 3. Perjanjian Sewa Menyewa. Pada prinsipnya dalam perjanjian ini diatur tentang jangka waktu sewa berikut opsi untuk perpanjangannya beserta hak dan kewajiban pihak yang menyewakan (WNI) dan penyewa (WNA).
38 4. Kuasa untuk menjual. Kuasa untuk menjual berisi pemberian kuasa dengan hak substansi dari pihak WNI (pemberi kuasa) kepada pihak WNA (penerima kuasa) untuk melakukan perbuatan hukum menjual atau memindahkan tanah Hak Milik dan bangunan. 5. Hibah Wasiat. Pihak WNI menghibahkan tanah Hak Milik dan bangunan atas namanya kepada pihak WNA. 6. Surat Pernyataan Ahli Waris. Istri pihak WNI dan anaknya menyatakan bahwa walaupun tanah Hak Milik dan bangunan terdaftar atas nama suaminya, tetapi suaminya bukanlah pemilik sebenarnya atas tanah hak milik dan bangunan tersebut.42 4. Warga Negara Asing (WNA) atau Orang Asing. Menyimak dari ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang. Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Nomor 12/2006), maka melalui penafsiran a contrario (berlawanan), yang dimaksud dengan orang asing adalah orang yang bukan Warga Negara Indonesia tetapi memiliki kewarganegaraan tertentu dari negara asalnya dan berada di Indonesia baik sebagai penduduk Indonesia maupun tidak. Dengan demikian, orang-orang yang ada di Indonesia baik untuk sementara waktu maupun dalam jangka waktu lama yang bukan berkewarganegaraan Indonesia adalah Orang Asing. Secara formal, mengenai
42
Maria S.W. Sumarjono, op.cit, hal. 14-15.
39 kewarganegaraan dari penduduk Indonesia pada umumnya ditunjukkan melalui surat tanda penduduk atau surat keterangan dari pejabat yang berwenang. Secara normatif UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Nomor 12/2006) sebagai pengganti Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tidak mengatur secara tegas tentang pengertian orang asing. Pasal 4 UU Nomor 12/2006 hanya menegaskan bahwa Warga Negara Indonesia adalah: a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia: b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia; c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing: d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia: e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut; f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia: g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia; h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin: i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya: j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui: k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya: l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan
40 dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Berdasarkan rumusan kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU Nomor 12 Tahun 2006 dapat disimpulkan bahwa Warga Negara Indonesia dapat terjadi karena (a) peraturan perundang-undangan (b) perkawinan yang sah dan di luar perkawinan yang sah (c) kelahiran di wilayah Republik Indonesia dan diluar wilayah Republik Indonesia (d) karena permohonan. Selanjutnya pada Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2006 menyebutkan ”Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing”. Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2006 menyebutkan “Warga Negara Asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara dihadapan pejabat. 5. Akta Notaris. Hukum pembuktian mengenal adanya alat bukti yang berupa surat sebagai alat bukti tertulis. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat yang bukan akta. Akta sendiri adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
41 pembuktian. 43 Akta dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Membuat akta otentik inilah pekerjaan pokok sekaligus wewenang notaris. Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Notaris diberikan kepercayaan dan pengakuan dalam memberikan jasa bagi kepentingan masyarakat. Hanya orang-orang yang sudah dikenal kejujurannya serta mempunyai pengetahuan dan kemampuan di bidang hukum saja yang diijinkan untuk memangku jabatan notaris. Oleh karena itulah, pemegang jabatan notaris harus menjaga keluhuran martabat jabatannya dengan menghindari pelanggaran aturan dan tidak melakukan kesalahan profesi yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain. 44 Meski diangkat sebagai pejabat umum, namun Notaris bukan pegawai negeri sipil menurut undang-undang atau peraturan kepegawaian negara, karena Notaris tidak digaji oleh Negara dan tidak mendapat uang pensiun dari negara apabila telah pensiun atau berhenti sebagai pejabat umum. Notaris menerima honorarium dari klien atas jasa-jasa yang telah diberikan kaitannya dengan pembuatan akta otentik.45 Masyarakat membutuhkan jasa notaris untuk dibuatkan akta-akta sebagai alat bukti otentik bagi setiap perbuatan atau hubungan hukum yang oleh para pihak dikehendaki atau oleh undang-undang diharuskan dengan akta otentik.
43
Abdul Ghotur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Persepektif Hukum Dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hal. 18. 44 Husni Thamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, hal. 72. 45 Ibid., hal. 72-73.
42 Akta-akta tersebut oleh para pihak digunakan sebagai alat bukti jika terjadi persengketaan dan untuk mendapat kepastian hukum.
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Soerjono Soekanto, seperti yang dikutip oleh Bambang Sunggono berpendapat bahwa penelitian hukum dapat dibagi dalam 2 (dua) klasifikasi, yakni: 1. Penelitian Normatif yang terdiri dari: a. Penelitian terhadap asas-asas hukum; b. Penelitian terhadap sistematika hukum; c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum; d. Penelitian sejarah hukum; dan e. Penelitian perbandingan hukum. 2. Penelitian Hukum Sosiologis atau empiris, yang terdiri dari: a. Penelitian terhadap identifikasi; b. Penelitian terhadap efektivitas hukum. 46 Berdasarkan klasifikasi di atas maka penelitian ini dapat dimasukkan dalam jenis penelitian hukum normatif, karena penelitian ini berangkat dari adanya kekaburan norma pada Pasal 26 ayat (2) UUPA terkait dengan akibat hukum perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing.
1.6.2. Jenis Pendekatan Metoda pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual 46
Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 42-43.
43 approach), serta pendekatan kasus (case approach).Sebab untuk mengukur sebuah perjanjian nominee yang di dalamnya mengandung peralihan hak milik atas tanah mempunyai atau tidakmempunyai dasar hukum, digunakan UUPA khususnya Pasal 26 ayat 2 sekaligus di dalamnya dikaji perihal konsep peralihan hak milik atas tanah itu sendiri berdasarkan undang-undang. Sedangkan dalam rangka memberi jawaban tentang upaya-upaya hukum yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan sengketa yang ada, digunakan contoh kasus yang terdapat dalam putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum Karena penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, makasumber data utamanya adalah data sekunder yang berupa bahan hukum, baik bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Bahan hukum primer yangterdiri atas berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945),Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-UndangNo. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Bahan hukum sekunderyang berupa buku-buku, Disertasi dan hasil penelitian lain. Bahan hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
44 dari bahan hukum primer dan sekunder contohnya kamus hukum dan ensiklopedia.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dengan teknik study dokumen.Teknik pengumpulan bahan hukum study dokumen dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut : 1. Mengumpulkan bahan hukum yaitu peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli (doktrin) maupun teori-teori hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan. 2. Mencocokkan peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli (doktrin) dan teori-teori hukum yang dibahas dalam penulisan. 3. Menganalisis semua bahan hukum yang telah dikumpulkan mulai dari peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli (doktrin) sampai dengan teori-teori hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan. 4. Hasil analisis dari peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli (doktrin) dan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan praktek yang dalam penulisan ini praktek perjanjian nominee tentang peralihan hak milik atas tanah kepada WNA yang dibuat dengan akta notaris.
45 1.6.5. Teknik Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum Bahan
hukum
yang
telah
dikumpulkan
kemudian
disistematisir
selanjutnya ditafsirkan dan dianalisis. Mengenai metode penafsiran, secara teori dijumpai bebrapa cara yakni : 47 1) Penafsiran menurut tata bahasa (grammaticale interpretatie), adalah penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata di dalam undang-undang tersebut; 2) Penafsiran dari segi sejarah (historische interpretatie) adalah penafsiran yang didasarkan
pada sejarah dari undang-undang yang bersangkutan, untuk
mengetahui maksud pembuatannya. Penafsiran historis dibedakan menjadi penafsiran menurut sejarah undang-undang (wet historische interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah hukum (rechts historische interpretatie); 3) Penafsiran dari segi sistem peraturan/perundang-undangan yang bersangkutan (sistematische interpretatie), yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal satu dengan
pasal
yang
lain
dalam
suatu
perundang-undangan
yang
bersangkakutan atau perundang-undangan lain atau membaca penjelasan undang-undang sehingga mengerti maksudnya; 4) Penafsiran dari segi masyarakat (sosiologische interpretatie),adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan sosial dalam masyarakat agar penerapan hukum sesuai dengan tujuannya yaitu kepastian hukum berdasarkan asas keadilan masarakat;
47
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), hal. 27.
46 5) Penafsiran otentik (authentieke interpretatie), atau penafsian secara resmi yaitu penafsiran yang dilakukan oleh pembuat undang-undang itu sendiri, tidak boleh oleh siapapun, hakim juga tidak boleh menafsirkan; 6) Penafsiran analogis, yaitu penafsiran dengan memberi ibarat/kias, sesuai dengan azas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang tidak cocok dengan peraturannya dianggap sesuai dengan bunyi peraturan itu. 7) Penafsiran berlawanan (a contrario),
yaitu penafsiran dengan cara
melawankan pengertian antara soal yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam suatu pasal undang-undang; 8) Penafsiran ekstensif yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan sehingga suatu peristiwa dapat dimasukan; 9) Penafsiran restrictif, yaitu penafsiran dengan membatasi arti kata-kata dalam peraturan; 10) Penafsiran
perbandingan
yaitu
penafsiran
komparatif
dengan
cara
membandingkan penjelasan-penjelasan agar ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang. Sehubungan dengan penulisan tesis ini yang berangkat dari kekaburan norma, maka digunakan metode penafsiran otentik guna memperjelas makna norma yang terkandung pada ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Dengan metoda tersebut dapat dijelaskan tentang makna dan maksud larangan terhadap dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum yang langsung maupun tidak langsung menyebabkan terjadinya peralihan hak milik atas tanah dari WNI kepada WNA menurut undang-undang, yaitu ketentuan Pasal 26 ayat 2 UUPA. Selain itu,
47 digunakan penafsiran dari segi masyarakat (sosiologische interpretatie), karena dalam pemahaman hukum masyarakat tentang perbuatan-perbuatan hukum yang dilarang oleh undang-undang adalah peralihan hak milik atas tanah antara WNI kepada WNA sehingga secara langsung WNA atas nama dalam bukti pemilikan tanah (sertipikatnya). Demikian juga dalam hal penyelesaian sengketa, bagi masyarakat kebanyakan ditempuh upaya non ligitasi, yaitu berupa penyelesaian muyawarah mufakat antara WNI dengan WNA yang bersengketa.Padahal upaya hukum tersebut seringkali merugikan pihak WNI di samping secara normatif keberadaan tanah sebagai obyek sengketa belum mempunyai kepastian hukum, apakah merupakan hak dan dibawah penguasaan pihak-pihak atau salah satu pihak seperti WNI. Sedangkan menurut UUPA tanah tersebut adalah jatuh kepada Negara.
48 BAB II PERJANJIAN YANG TERKAIT DENGAN PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH YANG DIBUAT DALAM BENTUK AKTA NOTARIS
2.1. Perjanjian Menurut Konsep Hukum Perdata. 2.1.1. Pengertian, Syarat Sahnya dan Unsur-unsur Perjanjian. Pengertian Perjanjian. Pasal 1233 KUHPerdata menentukan bahwa perikatan lahir karena suatu perjanjian atau karena undang-undang. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa sumber terpenting dari perikatan adalah perjanjian selain undang-undang, terutama perjanjian obligatoir yang diatur lebih lanjut di dalam Bab Kedua Buku Ketiga KUHPerdata “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian” sesuai dengan maksud ketentuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menentukan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Semua tindakan baik perikatan yang terjadi karena undang-undang maupun karena perjanjian, merupakan fakta hukum.Fakta hukum adalah kejadiankejadian, perbuatan/tindakan, atau keadaan yang menimbulkan beralihnya, berubahnya, atau berakhirnya suatu hak.Sehingga fakta hukum dapat berupa perbuatan/tindakan, juga dapat berupa fakta lainnya, seperti fakta hukum apa adanya (blote rechtsfeiten) misalnya kelahiran, kematian, kedewasaan atau keadaan belum dewasa, hubungan kekerabatan ataupun lewatnya waktu/daluarsa.
48
49 Ada dua bentuk tindakan atau perbuatan manusia, yaitu tindakan yang berakibat hukum dan yang tidak berakibat hukum. Yang berkibat hukum itu timbul karena pernyataan kehendak orang yang ditujukan untuk terjadinya akibat hukum, dimana timbulnya akibat hukum tersebut merupakan tujuan dari kehendak orang. Tindakan demikian dinamakan tindakan hukum atau perbuatan hukum. Timbulnya suatu akibat hukum baik merupakan maupun tidak merupakan tujuannya maka tindakan tersebut dikenal sebagai peristiwa hukum. Tindakan atau perbuatan hukum dibagi menjadi tindakan hukum sepihak dan tindakan hukum berganda.Tindakan hukum sepihak adalah tindakan yang dilakukan oleh seorang saja dan menimbulkan berubah dan berakhirnya suatu hak seperti pembuatan wasiat, penolakan harta peninggalan dan pengakuan anak (luar kawin). Pada tindakan hukum berganda diperlukan kerja sama dari dua pihak atau lebih untuk memunculkan akibat hukum. Perjanjian adalah contoh utama untuk tindakan hukum berganda. Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi bahwa perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.48Bachsan Mustafa, Bewa Ragawino dan Yaya Priatna memberikan definisi bahwa perjanjian itu adalah hubungan hukum kekayaan antarabeberapa pihak, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak menuntut atas suatu jasa (prestasi) sedangkan pihak lainnya (debitur) berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
48
Wirjono Prodjodikoro,loc.cit
50 tersebut (schuld) dan bertanggung jawab atas prestasi itu. 49 Pendapat lain dikemukakan oleh Soebekti mendefinisikan pengertian perjanjian sebagai berikut : Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 50 Jadi secara umum, berdasarkan pada batasan-batasan dalam definisi di atas, maka perjanjian adalah suatu perbuatan/tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang (pihak) atau lebih. Tercapainaa sepakat tersebut tergantung dari pihak yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban pihak yang lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan. 51 Syarat sahnya perjanjian. Perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.
49
Bacshan Mustafa dkk, loc.cit R. Soebekti II, loc.cit 51 Herlien Budiono, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Herlien Budiono II), hal. 3. 50
51
Ad.1.Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak.Unsur kesepakatan yaitu penawaran (offerte) adalah pernyataan pihak yang menawarkan dan
penerimaan
(acceptasi)
adalah
pernyataan
pihak
yang
menerima
penawaran.Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjiaan. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam teori/ajaran, yaitu : a. Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu, misalnya
saat
menjatuhkan
bolpoin
untuk
menyatakan
menerima.
Kelemahannya sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis. b. Teori Pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang
menerima tawaran.
Kelemahannya adalah tidak dapat dipastikan pengiriman itu telah diketahui atau tidak oleh pihak yang menawarkan. c. Teori Pengetahuan, mengajakan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima (walupun penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara langsung), kelemahannya, bagaimana ia bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.
52 d. Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. Selanjutnya menurut Pasal 1321 KUH Perdata kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Masalah lain yang dikenal dalam KUH Perdata yakni yang disebut cacat kehendak (kehendak yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat kehendak (Pasal 1321 KUH Perdata) : 1) Kekhilafan/kekeliruan/kesesatan/dwaling (Pasal 1322 KUH Perdata). Sesat dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tapi kemauan itu didasarkan atas gambaran yang kelir baik mengenai orangnya (eror in persona) atau obyeknya (eror in substantia). Cirinya yakni tidak ada pengaruh dari pihak lain. Contoh : Si A membeli lukisan “potret” yang dikira lukisan Affandi, tapi ternyata bukan lukisan Affandi melainkan lukisan palsu (eror in substantia). Si A ingin memanggil Inul Daratista Si Goyang Ngebor namun saat pentas ternyata Inul yang tampil bukan Inul Daratista melainkan Inul Daramanja (eror in persona). 2) Paksaan/dwang (Pasal 1323-1327 KUH Perdata). Paksaan bukan karena kehendaknya sendiri, namun dipengaruhi oleh orang lain. Paksaan telah terjadi bila perbuatan itu sedimikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dengan demikian maka pengertian paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan
53 sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga membuat perjanjian. Contohnya orang yang menodongkan pistol guna memaksa orang yang lemah untuk membubuhkan tanda tangan di sebuah perjanjian. 3) Penipuan/bedrog (Pasal 1328 KUH Perdata). Pihak yang menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau obyeknya sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati. Ad. 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan. Dalam dunia hukum perkataan orang (person) berarti pendukung hak dan kewajiban yang juga disebut subyek hukum.Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa setiap manusia baik warga negara maupun orang asing adalah pembawa hak (subyek hukum) yang memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum. Meskipun setiap subyek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum, namun perbuatan hukum tersebut harus didukung oleh kecakapan dan kewenangan hukum. Kewenangan memiliki/menyandang hak dan kewajiban tersebut disebut kewenangan hukum atau kewenangan berhak, karena sejak lahir tidak semua subyek hukum (orang/person) yang ada pada umumnya memiliki kewenangan hukum itu, cakap atau dapat bertindak sendiri (bekwaamheid). Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri.Perbedaan antara kewenangan dengan kecakapan berbuat adalah bila kewenangan hukum maka subyek hukum dalam hal pasif sedang pada kecakapan berbuat maka subyek hukumnya pasif.
54 Cakap untuk berbuat diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, Pasal 330 KUH Perdata dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Kesimpulannya adalah : (1) Orang dewasa (masing-masing aturan berbeda-beda) (2) Sehat akal pikirnya (tidak ditaruh di bawah pengampuan) (3) Tidak dilarang undang-undang. Dulu orang-orang perempuan termasuk orang yang tidak cakap berbuat, namun hal ini telah dihapus dengan SEMA Nomor 3 Tahun 1963. Dengan demikian maka orang yang tidak cakap (tidak berwenang melakukan perbuatan hukum), dapat dibagi menjadi : a) Mereka yang belum cukup umur, menurut Pasal 130 KUH Perdata adalah mereka yang belum genap berusia 21 tahun dan belum menikah. Agar mereka yang belum dewasa dapat melakukan perbuatan hukum maka harus diwakili oleh wali/perwalian (Pasal 331-414 KUH Perdata). Perwalian adalah pengawasan atas orang (anak-anak yang belum dewasa yang tidak ada di bawah kekuasaan orangtua) sebagaimana diatur dalam undang-undang dan pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa. b) Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan, hal ini diatur dalam Pasal 433-462 KUH Perdata tentang pengempuan. Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang (disebut curandus) karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak sendiri (atau pribadi) di dalam lalu lintas hukum, karena orang tersebut (curandus) oleh putusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap
55 bertindak dan lantas diberi seorang wakil menurut undang-undang yang disebut pengampu (curator/curatrice). Sedangkan pengampuannya disebut curatele. Sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap adalah keadaan dungu, sakit ingatan/gila/mata gelap (dianggap tidak cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya) dan pemboros dan pemabuk (ketidakcakapan bertindak terbatas pada perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja). Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang didasarkan adanya permohonan. Yang dapat mengajukan permohonan diatur dalam Pasal 434435 KUHPerdata yaitu keluarga, diri sendiri dan jaksa dari kejaksaan. Akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap berbuat berdasar penentuan hukum ialah dapat dimintakan pembatalan (Pasal 1331 ayat (1) KUH Perdata). Ad. 3. Suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu disini berbicara tentang obyek perjanjian (Pasal 13321334 KUH Perdata). Obyek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut yaitu : -
Obyek yang aka nada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.
-
Obyek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi obyek perjanjian).
56 Ad. 4.Suatu sebab yang halal. Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tinjauan dari para pihak mengadakan perjanjian (lihat Pasal 1337 KUH Perdata). Halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Unsur-unsur Perjanjian Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata di atas, selain disebut sebagai syarat sahnya suatu perjanjianjuga mengandung unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian atau formalitas tertentu yang harus dipenuhimenurut peraturan perundang-undangan dalam suatu perjanjian. Seperti, syarat kesepakatan dan syarat kecakapan, biasa disebut sebagai syarat subyektif yakni mengenai subyeknya. Sedangkan sarat tentang suatu hal tertentu dan syarat suatu sebab yang halal biasanya diseut dengan sarat obyektif atau syarat tetang obyeknya. Bila syarat subyektinya tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (untuk membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif minimal dari salah satu pihak yang merasa dirugikan untuk membatalkannya). Batas waktu untuk membatalkannya lima tahun seperti yang diatur dalam Pasal 1454 KUH Perdata. Kemudian bila syarat obyektifnya tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum (sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu pembatalan). Syarat-syarat sebagaimana diuraikan di atas, di dalam suatu perjanjian dapat berupa unsur-unsur dari perjanjian itu sendiri, yaitu yang terdiri dari bagian inti (essensialia) dan bagian bukan inti (naturalia dan accidentalia). 1). Unsur Essensialia merupakan unsur mutlak yang harus ada. Unsur ini sangat erat kaitannya dengan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata) dan
57 untuk mengetahui ada/tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis perjanjiannya.Contoh : kesepakatan. 2). Unsur Naturalia adalah unsur yang lazimnya ada/sifat bawaan perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian. Contoh : menjamin terhadap cacat tersembunyi. 3). Unsur Accidentalia merupakan unsur yang harus tegas diperjanjikan. Contoh : pemilihan tempat kedudukan.
2.1.2. Asas-asas Perjanjian Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas, namun secara umum asas perjanjian ada lima, yaitu : 1) Asas kebebasan berkontrak. Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapa pun, apa pun isinya, apa pun bentuknya sejauh tidak melanggar undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1337 KUH Perdata dan 1338 KUH Perdata). Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat mutlak tetapi relatif (kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab). Asas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal-pasal dalam hukum perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 KUH Perdata bersifat pemaksa) dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat ketentuanketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasalhukum perjanjian namun bila mereka (para pihak) mengenai soal itu tunduk pada undang-undang dalam hak ini Buku III KUH Perdata. Jika dipahami secara seksama maka asas kebebasan
58 berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentuka isi perjanjian, pelaksanaan, persyaratannya dan menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan. Namun keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. 2) Asas konsensualisme. Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320 KUH Perdata, Pasal 1338 KUH Perdata).Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan para pihak. 3) Asas mengikatnya suatu perjanjian (pacta sunt servada). Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yan membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata). 4) Asas itikad baik (togoe dentrow). Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata). Itikad baik ada dua, yakni : a) bersifat obyektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Contoh : Si A melakukan perjanjian dengan Si B membngun rumah. Si A ingin memakai keramik cap gajah namun dipasaran habis maka diganti cap semut oleh Si B. b) Bersifat subyektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. contoh : Si A ingin membeli motor, kemudian datanglah Si B (berpenampilan preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga sangat murah. Si A tidak mau membeli karena takut bukan barang halal atau barang tidaklegal.
59 5) Asas kepribadian (personalitas). Pada umumnya tidak seorang pun dapt mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri.Pengecualiannya terdapat di dalam Pasal 1317 KUH Perdata tentang janji untuk pihak ketiga. 52 Namun, menurut Mariam Darus Badrulzaman ada sepuluh asas perjanjian yaitu : asas kebebasan mengadakan perjanjian. Asas konsensualisme, asas kepercayaan,
asas
kekuatan
mengikat,
asas
persamaan
hukum,
asas
keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, dan asas kebiasaan. 53
2.1.3. Jenis-jenis Perjanjian. Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, dengan demikian jenisjenis perjanjian dapat digolongkan menjadi 10 (sepuluh) jenis, yang dapat dijabarkan sebagai berikut : 1) Perjanjian menurut sumbernya. a) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, misalnya perkawinan. b) Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan adalah perjanjian yang berhubungan dengan peralihan hukum benda. c) Perjanjian obligatoir, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban. d) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara. e) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik. 54
52
Salim HS, 2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9. 53 Mariam Darus Badrulzaman, 2006, KUHPERDATA Buku III, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Mariam Darus Badrulzman II), hal 108-109. 54 Sudikno Mertokusumo, 1986, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo I), hal. 11.
60 2) Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak. a) Perjanjian timbal balik, adalah perjanjian yang manimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Perjanjian ini ada dua macam yaitu timbal balik yang sempurna dan timbal balik tidak sempurna. Missal : perjanjian jal beli. 55 b) Perjanjian sepihak, adalah perjanjian yang manimbulkan kewajiban pada satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain hanya ada hak. Contoh : hibah (Pasal 1666 KUH Perdata) dan perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792 KUH Perdata).56 3) Perjanjian menurut keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi pada pihak yang lain, dibedakan menjadi : a) Perjanjian cuma-cuma, adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada salah satu pihak. Contoh : perjanjian hibah. b) Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. contoh : perjanjian jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. 57 4) Perjanjian
menurut
khusus/bernama/nominaat
namanya dan
dibedakan
menjadi
perjanjian
perjanjian umum/tidak
bernama/innominaat/perjanjian jenis baru (Pasal 1319 KUH Perdata). a) Perjanjian khusus/bernama/nominaat, adalah perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUH Perdata. Contoh : perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam Buku III Bab V-XVIII KUH Perdata, antara lain perjanjian
55
Mariam Darus Badrulzaman II, op.cit, hal. 90. Djaja S. Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nusa Aulia, Bandung, hal. 87. 57 Salim HS.op.cit, hal. 20. 56
61 jual beli, sewa menyewa, perjanjian untuk melakukan pekerjaan, perjanjian persekutuan, perjanjian tentang perkumpulan, perjanjian hibah, perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjammeminjam, perjanjian bunga tetap atau bunga abadi, perjanjian untunguntungan, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian penanggungan, dan perjanjian perdamaian. b) Perjanjian umum/tidak bernama/innominaat/perjanjian jenis baru, adalah perjanjian yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat karena asas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada saat KUH Perdata diundangkan. 5) Perjanjian menurut bentuknya ada dua macam, yaitu perjanjian lisan/tidak tertulis dan perjanjian tertulis. Termasuk perjanjian lisan adalah : a) Perjanjian konsensual, adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan.58 b) Perjanjian riil, adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan barangnya. Misalnya, perjanjian penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai. 59
58
J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Buku I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 48. 59 Mariam Darus Badrulzaman II, op.cit, hal. 92-93.
62 Perjanjian tertulis dapat digolongkan menjadi 2 (dua) jenis yang masingmasing dijabarkan sebagai berikut : a) Perjanjian standar atau baku adalah perjanjian yang berbentuk tertulis yang isinya telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dahulu secara sepihak oleh produsen serta bersifat massal tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen.60 b) Perjanjian formal adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan fomalitas tertentu. Misalnya, perjanjian perdamaian yang harus secara tertulis (Pasal 1851 KUH Perdata), perjanjian hibah dengan akta notaris. 6) Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. Yang termasuk dalam perjanjian ini menurut Mariam Darus Badrulzaman, yaitu : a) Perjanjian liberatoir, adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya, pembebasan hutang (1438 KUH Perdata). b) Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka. c) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi (Pasal 1774 KUH Perdata). d) Perjanjian publik, adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas.61 7) Perjanjian campuran/contactus sui generis (Pasal 1601 C KUH Perdata). Dalam perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari beberapa perjanjian bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisahpisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri-sendiri. Contoh : perjanjian antara pemilik hotel dengan tamu.
60 61
Djaja S. Meliala,op.cit, hal. 90. Mariam Darus Badrulzaman II, op.cit, hal.93.
63 8) Perjanjian penanggungan (borgtocht), adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur tidak memenuhi perikatannya (Pasal 1820 KUH Perdata). 9) Perjanjian garansi (Pasal 1316 KUH Perdata) dan derden beding (Pasal 1317 KUH Perdata). a) Perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seorang menjamin pihak lain (lawan janjianya) bahwa seorang pihak ketiga yang ada di luar perjanjian (buka pihak dalam perjanjian bersangkutan) akan melakukan sesuatu (atau tidak akan melakukan sesuatu) dan kalau sampai terjadi pihak ketiga tidak memenuhi kewajibannya, maka ia akan bertanggung jawab untuk itu.62 Dengan kata lain, perjanjian garansi adalah perjanjian dimana seorang A berjanji kepada pihak B bahwa orang lain C akan melaksanakan/memenuhi prestasi. b) Derden beding (janji pihak ketiga) berdasarkan asas pribadi suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri (Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUH Perdata) dan para pihak tidak dapat mengadakn perjanjian yang mengikat pihak ketiga, kecuali dalam apa yang disebut janji guna pihak ketiga (Pasal 1317 KUH Perdata). 10) Perjanjian menurut sufatnya dibedakan menjadi : a) Perjanjian pokok, yaitu perjanjian utama.
62
J. Satrio, op.cit, hal. 97.
64 b) Perjanjian accessoir adalah perjanjian tambahan yang mengikuti perjanjian utama/pokok, misalnya perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fudisia. 63 Sedangkan penggolongan yang lain adalah didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya kewajiban tersebut, yaitu ; 1) Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang hanya (baru) meletakkan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak dan belum memindahkan hak milik. 2) Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu kepada pihak lain, misalnya peralihan hak milik.
2.1.4. PerjanjianNominee. Perjanjian
menurut
namanya
khusus/bernama/nominaat
dibedakan
dan
menjadi
perjanjian
perjanjian umum/tidak
bernama/innominaat/perjanjian jenis baru. Perjanjian khusus/bernama/nominaat adalah perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUHPerdata sedangkan perjanjian
umum/tidak
bernama/innominaat/perjanjian
jenis
baru
adalah
perjanjian yang timbul, tumbuh dan hidup di masyarakat karena asas kebebasan berkontrak. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwasuatu perjanjian nominee dibuat dimaksudkan sebagai penyelundupan hukum bagi orang asing/WNA untuk menguasai dan memiliki bidang tanah hak milik di Indonesia. Dimana orang asing/WNA sesungguhnya membeli sebidang
63
Salim HS., op.cit, hal. 20.
tanah hak milik dengan
65 menggunakan nama WNI, yaitu tanah hak milik yang nyatanya dibeli (dibayar) oleh orang asing/WNA tersebut namun didaftarkan menjadi/ke atas nama WNI. Sementara itu, guna memperoleh perlindungan hukum terhadap pemilikan hak atas tanah yang dibelinya tersebut,diantara orang asing/WNA dengan WNI dibuatkan perikatan dalam satu atau beberapa perjanjian dan bahkan dalam suatu akta pernyataan yang isinya bahwa WNI adalah orang yang hanya dipinjam namanya dalam bukti hak milik atas tanah (sertipikat), sedangkan pemilik sesungguhnya adalah orang asing/WNA tersebut. Terobosan atau hal seperti inilah dalam kehidupan masyakarat lazim disebut dengan akta nominee. Lebih jelasnya perjanjian nominee merupakan perjanjian yang isinya tentang pengingkaran atas pemilikan tanah hak milik dari seseorang WNI yang telah diberikan/ditetapkan oleh negara kepada warga negaranya sebagaimana ditulis dalam sertipikat tanahnya, dengan menyatakan bahwa ia bukanlah sebagai pemilik (de facto) dari tanah tersebut melainkan milik orang asing/WNA yang memang memberi uang dan selanjutnya menguasai tanah dimaksud. Dimana faktanya yang menguasai tanah hak milik tersebut adalah orang asing/WNA yang diatasnamakanWNI. Menurut Maria S.W. Sumardjono perjanjian nominee merupakanperjanjian yang dibuat antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi subyek hak atas tanah tertentu (dalam hal ini Hak Milik atau Hak Guna Bangunan) yakni seorang orang asing/WNA dengan seorang WNI, yang dimaksudkan agar orang asing/WNA dapat menguasai tanah hak milik atau hak guna bangunan tersebut (secara de facto), namun secara legal-formal (de jure) tanah yang bersangkutan
66 diatasnamakan WNI. Dengan perkataan lain, WNI dipinjam namanya oleh orang asing/WNA (bertindak selaku nominee).64 Dari uraian tentang maksud suatu perjanjian nominee di atas, maka perjanjian nominee termasuk perjanjian innominaat karena telah memenuhi unsurunsur dari perjanjian innominaat, yaitu : 1) Perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata. 2) Perjanjian yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. 3) Berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Serta pada dasarnya perjanjain nominee tersebut dibuat untuk menyiasati peraturan perundang-undangan khususnya UUPA pada Pasal 26 ayat (2) yang sebenarnya secara implisit melarang WNA memiliki hak milik atas tanah di Indonesia.
2.2. Peralihan Hak Atas Tanah Menurut Hukum Agraria 2.2.1. Hak-hak Atas Tanah Dalam UUPA Pembentukan Hukum Tanah Nasional (HTN) yang diawali lahirnya UUPA berusaha melakukan unifikasi hukum tanah adat dan barat menjadi hukum tanah yang bersifat tunggal.Sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria barat.Dualisme hukum agraria ini baru berakhir setelah berlakunya UUPA yakni sejak tanggal 24 September 1960 dan sejak itu seluruh wilayah Indonesia hanya ada satu hukum agraria yaitu hukum agraria berdasarkan UUPA.
64
Maria S.W. Sumardjono, loc.cit.
67 Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yang menentukan : (1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk, yaitu : 1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang memiliki jangka waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP). 2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara seperti Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang dan Hak Menyewa atas Tanah Pertanian. Sistem penguasaan tanah di Indonesia yang meliputi hak perorangan meliputi berbagai hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16
UUPA yang
menentukan : (1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalan Pasal4 ayat (1) ialah : a. Hak milik, b. Hak guna-usaha, c. Hak guna-bangunan,
68 d. e. f. g. h.
Hak pakai, Hak sewa, Hak membuka tanah, Hak memungut hasil-hutan, Hak-hak yang tidak termasuk dlam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutka dalam Pasal 53. (2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ialah : a. Hak guna-air, b. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, c. Hak guna-ruang angkasa. Demikianlah berbagai hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA, namun yang akan dijelaskan selanjutnya dalam penulisan ini yaitu hak-hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, sebagai berikut : (a) Hak Milik (HM), HM digambarkan sebagai “hak yang paling penuh dan paling kuat yang bisa dimiliki atas tanah dan yang dapat diwariskan turun menurun”. Turun menurun artinya HM atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka HMnya dapat dilanjutkan oleh akli warisnya sepanjang memenuhi sebagai subyek HM. Terkuat artinya HM atas tanah lebih kuat dibandingkan hak atas tanah yang lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya HM atas tanah member wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan denganhak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain dan penggunaan tanahnya lebih luas dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain. Subyek HM yang dapat memiliki HM atas tanah menurut UUPA dan peraturan pelaksanaannya adalah :
69 1. Perseorangan, yaitu WNI baik pria maupun wanita tidak berkewarganagaraan rangkap (Pasal 9, Pasal 20 ayat (1) UUPA). 2. Badan-badan hukum tertentu, yaitu bank-bank yang didirikan oleh Negara, koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan sosial (Pasal 21 ayat (2) UUPA, PP Nomor 38 Tahun 1963 tentag Penunjukan Badan-badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Atas Tanah, Permen Agraria/Kepala BBPN Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan). HM atas tanah dapat terjadi melalui tiga cara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUPA, yaitu : 1. HM atas tanah yang terjadi menurut hukum adat, yaitu terjadi karena pembukaan tanah (pembukaan hutan), terjadi karena timbulnya lidah tanah. 2. HM atas tanah terjadi karena Penetapan Pemerintah, yaitu pemberian hak baru (melalui permohonan) dan peninhkatan hak. 3. HM atas tanah terjadi karena undang-undang. Faktor-faktor penyebab hapusnya HM atas tanah diatur dalam Pasal 27 UUPA, yaitu : 1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA. 2. Dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya. 3. Dicabut untuk kepentingan umum. 4. Tanahnya ditelantarkan. 5. Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subyek HM atas tanah.
70 6. Karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek HM atas tanah. 7. Tanahnya musnah, misalnya terjadi bencana alam. (b) Hak Guna Usaha (HGU), adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu guna kegiatan usaha pertanian, perkebunan, perikanan atau peternakan (Pasal 28 ayat 91) UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Subyek HGU yang dapat mempunyai HGU menurut Pasal 30 UUPA jo Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, adalah : 1. WNI. 2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. HGU berasal dari tanah Negara, apabila asal tanah HGU berupa tanah hak, maka tanah hak tersebut harus dilakukan pelepasan atau penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian ganti kerugian oleh calon pemegang HGU.Terjadinya HGU dapat memlalui Penetapan Pemerintah (pemberian hak) dan ketentuan undang-undang. Mengenai jangka waktu HGU untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 UUPA). Sedangkan menurut Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang
Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah mengatur jangka waktu HGU untuk
71 pertama kalinya 35 tahun, diperpanjang paling lama 25 tahun dan dapat diperbaharui paling lama 35 tahun. Hapusnya HGU diatur dalam Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, yaitu : 1. Jangka waktunya berakhir. 2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat yang tidak dipenuhi. 3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya. 4. Dicabut untuk kepentingan umum. 5. Ditelantarkan. 6. Tanahnya musnah. 7. Pemegang HGU tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HGU. (c) Hak Guna Bangunan (HGB), adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu. Subyek HGB yang dapat mempunyai HGB menurut Pasal 36 UUPA dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, adalah : 1. WNI. 2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. HGB berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, tanah Hak Pengeloaan atau tanah HM orang lain (Pasal 39 UUPA dan Pasal 21 Peraturan
72 Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah). HGB dapat terjadi karena Penetapan Pemerintah (tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan), perjanjian pemberian oleh pemegang HM dengan akta yang dibuat oleh PPAT, dan ketentuan undangundang. Jangka waktu HGB berbeda sesuai dengan asal tanahnya, sebagai berikut: 1. HGB atas tanah Negara dan tanah Han Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. 2. HGB atas tanah HM berjangka waktu paling lama 30 tahun, tidak ada perpanjangan waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang HGB dapat diperbaharui dengan pemberian HGB baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada kantor BPN setempat. Hapusnya HGB diatur dalam Pasal 40 UUPA dan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Thaun 1960tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, yaitu : 1. Jangka waktunya berakhir. 2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Penglolaan atau Pemegang HM sebelum jangka waktunya berakhir karena tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya ketentuanketentuan dalam HGB, tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajibankewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak antara pemegang
73 HGB dengan pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang HM, dan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. 3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya. 4. Dicabut untuk kepentingan umum. 5. Ditelantarkan. 6. Tanahnya musnah. 7. Pemegang HGB tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HGB. (d) Hak Pakai (HP), adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasi dari tanah yang dikuasai oleh Negara atatu tanah HM orang lain yang member wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberian haknya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah. Subyek HP diatur dalam Pasal 42 UUPA dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, adalah : 1. WNI. 2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Daerah. 4. Badan-badan keagamaan dan sosial. 5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia. 6. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. 7. Perwakilan Negara asing dan perwakilan badan internasional.
74 Obyek HP berasal dari tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan dan tanah HM (Pasal 41 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah). HP dapat terjadi karena Penetapan Pemerintah (tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan), perjanjian pemberian oleh pemegang HM dengan akta yang dibuat oleh PPAT, dan ketentuan undang-undang. Jangka waktu HP berbeda sesuai dengan asal tanahnya yang diatur dalam Pasal 45-49 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, sebagai berikut : 1. HP atas tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Khusus HP yang dipunyai oleh Departemen, Lembaga Non Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan keagamaan dan sosal, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan Internasional diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. 2. HP atas tanah HM berjangka waktu paling lama 25 tahun, tidak ada perpanjangan waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang HP dapat diperbaharui dengan pemberian HP baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada kantor BPN setempat. Hapusnya HP diatur dalam Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, antara lain :
75 1. Jangka waktunya berakhir. 2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Penglolaan atau Pemegang HM sebelum jangka waktunya berakhir karena tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atau dilanggarnya ketentuanketentuan dalam HGB, tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajibankewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian hak antara pemegang HGB dengan pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang HM, dan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. 3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya. 4. Dicabut untuk kepentingan umum. 5. Ditelantarkan. 6. Tanahnya musnah. 7. Pemegang HP tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HP. (e) Hak Sewa, adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah HM orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang Hak Sewa seperti yang ditentukan dalam Pasal 44 ayat (1) UUPA. Hak Sewa merupakan HP yang memiliki sifat-sifat khusus dimana Hak Sewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan yang berhubungan dengan pertanian (Pasal 10 ayat (1) UUPA). Subyek Hak Sewa diatur dalam Pasal 45 UUPA,dimana dalam Pasal tersebut ditentukan yang dapat menjadi subyek Hak Sewa adalah :
76 1. WNI. 2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia. 3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Obyek Hak Sewa merupakan hak atas tanah yang dapat disewakan kepada pihak lain yang berupa HM dan obyek yang disewakan pemilik tanah kepada pemegang Hak Sewa adalah tanah bukan bangunan. Terjadinya Hak Sewa karena perjanjian persewaan tanah yang tertulis antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Sewa, yang tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.Mengenai jangka waktu Hak Sewa, UUPA dalam hal ini tidak mengatur secara tegas berapa lama jangka waktunya.Jangka waktu Hak Sewa diserahkan sepenuhnya kepada pemilik tanah dengan pemegang Hak Sewa. Hapusnya Hak Sewa tidak diatur dalam UUPA maupun Peraturan Pemerintah, hapusnya Hak Sewa tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Jangka waktunya berakhir. 2. Dihentikan sebelum jangka wakunya berakhir karena pemegang Hak Sewa tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Sewa. 3. Dilepaskan oleh pemegang Hak Sewa sebelum jangka waktunya berakhir. 4. HM atas tanahnya dicebut untuk kepentingan umum. 5. Tanahnya musnah.
77 (f) Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan, merupakan hak yang hanya dapat didapatkan oleh WNI yang diatur oleh Peraturan Pemerintah. Menggunakan suatu hak memungut hasil hutan secara hukum tidaklah serta merta
mendapatkan
HM
(right
of
ownership)
atas
tanah
yang
bersangkutan.Hak Membuka Lahan dan Hak Memungut Hasil Hutan merupakan hak atas tanah yang diatur dalah hukum adat.65
2.2.2. Hak Penguasaan Atas Tanah Oleh Negara Hak penguasaan tanah oleh Negara ditentukan dalam Pasal 2 UUPA, yang menyatakan bahwa : (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan mengelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) Pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swantantra dan masyarakat65
Maulanaz Nova, 2012, Jenis-Jenis Hak Atas Tanah Di Indonesia, http://www.google.com/search?q=maulanaz+nova+jenis-jenis+hak +atas+tanah+di+Indonesia&hl=en&sa=x&as_q=&spell=1&ei=YB5tUsDoB4f9rA fLI4CYBg&ved=0CAoQBSgA, diakses tanggal 5 Agustus 2013.
78 masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya yang dimaksud penguasaan Negara terhadap semua tanah yang ada di wilayah Indonesia, yaitu kekuasaan kegara yang dimaksud adalah mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan suatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh yang bertujuan bahwa negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atau memberikannya dengan pengelolaan kepada suatu badan penguasa (department, jawatan atau daerah swantantra) untuk diperguanakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing berdasarkan Pasal 2 ayat (4).66 Kekuasaan Negara atas tanah dapat digolongkan menjadi tiga macam, antara lain : 1. Penguasaan secara penuh, yaitu terhadap tanah-tanah yang tidak dipunyai dengan suatu hak oleh suatu sunyek hukum. Tanah ini dinamakan “tanah bebas/tanah Negara” atau “tanah” yang dikuasai langsung oleh Negara”. 66
Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Citra Media, Yogyakarta, hal. 37-38.
79 Negara dapat memberikan tanah ini kepada suatu subyek hukum dengan suatu hak. 2. Penguasaan secara terbatas/tidak penuh, yaitu terhadap tanah-tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak oleh suatu subyek hukum. Tanah ini dinamakan “tanah hak” atau “tanah” yang dikuasai secara tidak langsung oleh Negara”. 3. Kekuasaan Negara yang bersumber pada hak menguasai tanah oleh Negara terhadap tanah hak, dibatasi oleh isi dari hak itu. Artinya, kekuasaan Negara tersebut dibatasi oleh kekuasaan (wewenang) pemegang hak atas tanah yang diberikan oleh negara untuk menggunakan haknya. 67
2.2.3. Peralihan Hak Atas Tanah Peralihan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memindahkan, sedangkan hak berarti suatu yang benar. 68 Jadi peralihan hak adalah suatu peristiwa hukum yaitu pemindahan hak dari satu pihak kepada pihak lain, pihak yang menerima hak akan menerima hak dalam status asal tanpa perubahan dan untuk selama-lamanya. 69 Pengertian lain tentang peralihan hak atas tanah, menurut Erene Eka Sihombing adalah beralihnya atau berpindahnya hak kepemilikan sebidang tanah atau beberapa bidang tanah tanah dari pemilik semula kepada pemilik yang baru
67
Ibid. Poerwadarminta,1998, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.156 69 Munir Fuadi 1996, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek (Buku III), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 67. 68
80 karena sesuatu atau perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain untuk selamalamanya (dalam hal ini subyek hukumnya memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah).70 Menurut konsep peralihan hak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pertanahan bahwa peralihan hak yang dilakukan dihadapan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan proses balik nama merupakan suatu peristiwa hukum terjadinya transaksi jual beli dengan merubah status kepemilikan dari penjual sebagai pemilik tanah sebelumnya kepada pembeli sebagai pemilik tanah yanag baru. Akan tetapi, yang dimaksud dalam penulisan ini tidak sebatas itu karena dalam suatu perjanjian dan kuasa yang dibuat oleh para pihak sebelum pencatatan secara yuridis dilakukan telah memberikan kuasa secara penuh kepada pihak ke tiga sehingga terjadi suatu peralihan hak. Peralihan hak dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah jo Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah masuk dalam bagian keempat yaitu bagian pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pemeliharaan data dan pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Perbahan data fisik yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (3) PMKA/Ka BPN Nomor 3 Tahun 1997 yaitu : 70
Irene Eka Sihombing, 2005, Segi-segi Hukum Tanah Nasional dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 56.
81 a. Pemecahan bidang tanah. b. Pemisahan sebagin atau beberapa bagian dari bidang tanah. c. Penggabungan dua atau lebih dari bidang tanah. Penguasaan secara yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untukmenguasai secara fisik tanah yang dihaki. Namun, ada pula penguasaan yuridis yang biarpun member kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain yang didasarkan atas perjanjian dan kuasa seperti yang telah dijelaskan di atas.
2.3. Pengertian Orang Asing Menurut Hukum di Indonesia Penduduk yang tinggal dalam suatu negara dapat terdiri dari warga negara dan bukan warga negara.Penduduk yang bukan merupakan warga negara dari negara yang bersangkutan biasa disebut dengan orang asing.Demikian halnya dengan penduduk di Indonesia, yang terdiri dari WNI dan WNA atau orang asing. Pengaturan hukum mengenai kewarganegaraan diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Nomor 12/2006). Dalam Pasal 4-nya menentukan bahwa: Warga Negara Indonesiaadalah : a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang–undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lainsebelum Undang–Undang ini berlaku sudah menjadi Warga NegaraIndonesia; b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia;
82 c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing; d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia; e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut; f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia; g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia; h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang padawaktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Selanjutnya tentang orang asing diatur dalam Pasal 7 dari UU Nomor 12/2006 yang menentukan bahwa : “Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing”. Namun demikian secara yuridis, orang asing di Indonesia, selain dari yang ditentukan dalam Pasal 7 tersebut, adalah
juga
WNI
yang
kehilangan kewarganegaraannya.
Hal
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 UU Nomor 12/ 2006, yaitu :
tersebut
83 Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan : a. Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; b. Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu; c. Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang KewarganegaraanRepublik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan; d. Masuk dalam dinas tentara asingtanpa izin terlebih dahulu dari Presiden; e. Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia; f. Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut; g. Tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing; h. Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau i. Bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alas an yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan. Kehadiran orang asing/WNA untuk menetap sementara di Indonesia, secara yuridis membawa akibat hukum terutamannya dari sisi hukum perdata, bahwa mereka tetap memiliki hak-hak perdata yang dijamin oleh undang-undang. Diantara hak-hak perdata yang dimiliki, antara lain orang asing mempunyai hak untuk melakukan jual beli berbagai jenis barang termasuk membeli tanah yang
84 berstatus hak pakai untuk membangun tempat tinggal. Selain itu mempunyai hak untuk melakukan perkawinan dan dapat memilih orang Indonesia sebagai pasangannya, yang kemudian dengan perkawinan itu orang asing tersebut mempunyai hak untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Selain hal tersebut, hak keperdataannya bagi orang asing yang bekerja di Indonesia mempunyai hak untuk menerima upah atau gaji dan kesejehteraan lainnya. 71
2.4. Hakekat Akta Notaris dan Tanggung Jawab Notaris Terhadap Pembuatan Akta 2.4.1. Akta Otentik dan Akta Di Bawah Tangan Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1867 KUH Perdata akta notaris dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu akta umum dan akta khusus. Kemudian akta umum tersebut dibagi lagi menjadi 2 (dua) jenis, antara lain : 1. Akta yang dibuat oleh (door) notaris biasa disebut dengan istilah akta relaas atau Berita Acara, akta ini merupakan akta yang inisiatif pembuatannya dari pejabat yang bersangkutan. Contoh : Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham pada Perseroan Terbatas. 2. Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) notaris biasa disebut dengan istilah akta pihak atau akta partij, akta ini adalah akta yang inisiatif
71
Gatot Supramono, 2012, Hukum Orang Asing di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hal. 2.
85 pembuatannya dari para pihak dihadapan pejabat yang berwenang. Contoh : akta jual beli, akta sewa menyewa.72 Akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar dari sesuatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Alat bukti tulisan dibagi menjadi dua seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1867 KUH Perdata, yaitu : “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.” Dalam pasal-pasal selanjutnya, KUH Perdata menyebut tulisan-tulisan otentik dan di bawah tangan tersebut dengan kata “akta”, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa akta ialah tulisan-tulisan yang sengaja dibuat oleh yang berkepentingan untuk dipergunakan sebagai alat pembuktian. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, dengan atau tanpa bantuan dari pihak-pihak yang berkepentingan yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Akta otentik tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan tentang apa yang dilakukannya atau dilihat dihadapannya.
73
Dalam Pasal
1868 KUH Perdata disebutkan bahwa “Suatu akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.
72
Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Thun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal. 45. 73 Husni Thamrin, 2011, op.cit, hal. 11.
86 Dengan demikian undang-undang telah menegaskan bahwa suatu akta disebut sebagai akta otentik jika : (1) bentuknya ditentukan oleh undangundang; (2) dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum; (3) dibuat di wilayah kewenangan dari pejabat yang membuat akta tersebut. Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata tersebut adalah salah satunya notaris sebagaimana diatur dalam UUJN yang merupakan pejabat umum yang ditunjuk untuk membuat akta otentik sepanjang berdasarkan peraturan umum tidak ditunjuk atau dikecualikan kepada pejabat lain. Akta otentik mempunyai kekuatan yang sempurna dan mengikat, artinya sempurna adalah bahwa untuk membuktikan akta itu sempurna/tidak, atau benar/tidak, cukup dibuktikan dengan akta itu sendiri, dengan kata lain tidak memerlukan pembuktian dengan alat bukti lainnya. Mengikat artinya bahwa hakim harus menguji kebenaran isi akta otentik itu sendiri kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. 74 Akta Di Bawah Tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat umum yang berwenang. Akta demikian dibuat semat-mata oleh para pihak yang berkepentingan.75 Akta di bawah tangan ini mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari pihak-pihak yang membuatnya, artinya kekuatan akta di bawah tangan ini dapat dipersamakan kakuatannya dengan akta otentik bila dalam hal pembuktiannya oleh para pembuat akta di bawah tangan mengakui atau membenarkan apa yang ditandatangani. Dengan demikian, maka bila di dalam 74 75
Hendri Raharjo, op.cit, hal. 65. Husni Thamrin, loc.cit.
87 akta otentik tidak perlu persetujuan dari pihak tertentu namun di dalam akta di bawah tangan memerlukan persetujuan dari pihak tertentu. Oleh karena itu, perbedaan antara akta di bawag tangan dengan akta otentik adalah terletak pada ada atau tidaknya campur tangan dari pejabat yang berwenang. 76
2.4.2.Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis Alat bukti yang sah atau diterima dalam suatu perkara (perdata), pada dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan, sumpah dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai pembuktian.Dalam perkembangan alat bukti alat bukti sekarang ini (untuk perkara pidana atau perdata telah pula diterima alat bukti elektronik atau yang terekam atau yang simpan secara elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan pengadilan. 77 Menurut KUH Perdata dalam Pasal 1866, alat bukti yang sah atau yang diakui oleh hukum terdiri dari : 1. Bukti tulisan. 2. Bukti dengan saksi-saksi. 3. Persangkaan-persangkaan. 4. Pengakuan. 5. Sumpah.
76
Hendri Raharjo, op.cit.hal. 66. M. Ali Boediarto, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justisia, Jakarta, hal. 157. 77
88 Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan seperti yang ditentukan dalam Pasal 1867 KUH Perdata. Pasal 1868 KUH Perdata juga menentukan bahwa “Tulisan otentik berupa akta otemtik yang dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang, dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. ”Tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta di bawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa perantara atau tidak dihadapan pejabat umum yang berwenang”. Baik akta otentik maupun akta di bawah tangan dibuat dengan tujuan sebagai alat bukti. Perbedaan yang penting antara kedua jenis akta tersebut yaitu dalam nilai pembuktiannya. Akta otentik memiliki nilai pembuktian yang sempurna, dalam arti akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam akta tersebut. Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya dan tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak.Jika para pihak mengakuinya maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana akta otentik.Jika ada salah satu pihak yang menyangkalnya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian panyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim. 78Baik alat bukti akta di bawah tangan maupun akta otentik keduanya harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata dan secara materiil mengikat para pihak yang membuatnya sesuai dengan Pasal 1338
78
Ibid, hal. 136.
89 KUH Perdata sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak (asas Pacta Sunt Servanda).
2.4.3. Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta Pasal 1 angka 1 UUJN memberikan definisi notaris sebagai berikut : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.” Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa wewenang notaris sebagai pejabat umum membuat akta otentik yang secara tegas ditugaskan kepada mereka oleh undang-undang, sedangkan wewenang pejabat lain selain notaris merupakan pengecualian. Dalam hal ini, ada peraturan umum atau undang-undang yang juga memberikan wewenang kepada pejabat atau orang lain untuk membuat akta otentik, bukanlah berarti bahwa mereka itu kemudian menjadi pejabat umum. Notaris di dalam menjalankan tugas kewenangannya sebagai pejabat umum memiliki ciri utama, yaitu pada kedudukannya yang tidak memihak dan mandiri (independent), bahkan dengantegas dikatakan “bukan sebagai salah satu pihak”. Notaris selaku pejabat umum di dalam menjalankan fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat antara lain di dalam pembuatan akta otentik bukan merupakan pihak yang berkepentingan. Pada hakekatnya notaris selaku pejabat umum hanyalah mengkonstatir atau merekam secara tertulis dan otentik dari perbuatan hukum pihak-pihak yang berkepentingan.Notaris tidak ada di dalamnya, yang melakukan perbuatan hukum itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan serta yang terikat dalam dan oleh isi perjanjian. Oleh karena
90 itu,akta notaris atau akta otentik tidak menjamin bahwa pihak-pihak “berkata benar” tetapi yang dijamin oleh akta otentik adalah pihak-pihak “berkata benar” seperti yang termuat di dalam akta perjanjian mereka. 79 Atau dengan kata lain, akta notaris sebagai akta otentik memberi kekuatan hukum atau menjamin kebenaran tentang memang benar ada pihak-pihak berkata atau menerangkan halhal yang diuraikan dalam akta dan bukan menjamin tentang kebenaran apa yang dikatakan atau diterangkan oleh pihak-pihak dalam akta. Seorang notaris dapat bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan notaris tersebut bersalah. Kemampuan bertanggung jawab merupakan keadaannormalitas psikis dan kematangan atau kecerdasan seseorang yang membawa kepada tiga kemampuan yaitu : 1. Mampu untuk mengerti nilai dan akibat-akibatnya sendiri; 2. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatan itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan; 3. Mampu untuk menentukan niat dalam melakukan perbuatan itu. 80 Pemasalahan pertama menyangkut apakah notaris dalam hal membuat akta otentik mengerti benar akan nilai dan akibat-akibat dari pembuatan akta tersebut sebelum akhirnya akta tersebut dinyatakan cacat hukum. Dalam praktek lebih banyak ditemui seorang notaris yang akan membuat akta cenderung menganggap akta yang diabuatnya sudah sah apabila para pihak telah sepakat, dan masingmasing pihak cakap unyuk melakukan perbuatan hukum. Namun sering tidak diperhatikan terhadap obyek dan causa yang diperbolehkan.Hal ini selaras dengan 79 80
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, op.cit., hal. 65. Sjaifurrachman dan Habib Adjie, loc.cit.
91 pendapat Koeswadji, bahwa akibat suatu kesalahan dalam menjalankan tugas jabatannya, notaris dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan (onvoldoende kennis), kekurangan pengalaman (onvoldoende ervaring) dan kekuranya pengertian (onvoldoende inzicht).81 Sebagai contoh : seseorang (WNA) membeli tanah dengan mengatasnamakan WNI, mengingat larangan pemilikan tanah Hak Milik oleh WNA di wilayah Indonesia. Untuk membantu kliennya mendapatkan tanah tersebut, atas dasar kesepakatan antara WNA dan WNI tersebut dibuatkanlah akta perjanjian antara WNA dengan WNI oleh notaris yang bersangkutan, meskipun pada kenyataanya tanah tersebut bukan milik dari pembeli yang namanya tercantum dalam akta jual beli. Perolehan Hak Milik atas tanah tersebut pada akhirnya mengakibatkan notaris yang bersangkutan kurang memperhatikan aspek-aspek hukum yang tersirat dalam suatu pembuatan akta notaris, bahwa sebagai seorang notaris berkewajiban menghasilkan suatu akta otentik yang berperan sebagai alat bukti yang sempurna. Tanggung jawab notaris terkait akta otentik yang dibuatnya adalah terbatas pada awal atau kepala akta dan akhir atau penutup akta. Notaris pada dasarnya tidak bertanggung jawab terhadap isi atau substansi akta karena substansi suatu akta adalah merupakan kehendak para pihak yang menghadap kepada notaris. Sesuai tugasnya, notaris hanya memformulasikan keinginan para penghadap untuk kemudian dituangkan ke dalam bentuk akta. Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara materiil mengenai hal-hal yang dikemukakan oleh para penghadap.Namun, tidak bertanggung jawabnya seorang notaris terhadap isi atau 81
Koeswadji, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center of Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta, hal. 98.
92 substansi akta yang dibuat, tidak seharusnya diartikan secara mutlak. Artinya meskipun substansi atau materi akta merupakan keinginan para pihak, tapi dalam memformulasikan keinginan atau permintaan para penghadap ke dalam bentuk akta, seorang notaris harus tetap berpijak pada aturan hukum yang berlaku. Hal ini penting untuk diingat agar jangan sampai kehendak para pihak tersebut merupakan kehendak yang dilarang atau melanggar aturan hukum, ketertiban, maupun kesusilaan. Karena pembuatan akta yang cacat hukum akan berakibat akta tersebut batal demi hukum.
93 BAB III PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN NOMINEE YANG DIBUAT DENGAN AKTA NOTARIS
3.1. Akta Notaris Sebagai Dasar Peralihan Hak Atas Tanah dan Sarana Yang Digunakan WNA Dalam Penguasaan Tanah. 3.1.1. Akta Notaris Sebagai Dasar Peralihan Hak Atas Tanah Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UUJN, memberi dasar hukum dan kedudukan yang kuat bagi notaris, sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan sepanjang perbuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Ketentuan tersebut mengandung konsekuensi bahwa notaris tidak dapat menolak pembuatan akta yang dimintakan kepadanya, kecuali terhadap permintaan tersebut dilarang oleh peraturan perundang-undangan untuk dibuatnya, atau dengan kata lain notaris dapat menolak untuk membuat akta yang diminta kehadapannya jika terdapat alasan yang mendasar, yaitu berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang menentukan bahwa akta tersebut tidak dapat dibuat. Seperti misalnya, pembuatan akta Jual-Beli sebagai akta otentik yang berhubungan dengan peralihan hak atas atas tanah, yang dikenal dengan akta jual-beli balik nama dan Akta Pembebanan Hak Tanggungan atas tanah (APHT) yang merupakan tugas seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagaimana dimaksud dalam
93
94 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP Nomor 24/1997). Notaris berwenang membuat akta otentik tentang peralihan hak atas tanah dalam bentuk akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB), akan tetapi akta dimaksud bukanlah akta sebagaimana dimaksud PP Nomor 24/1997 yaitu akta jual beli sebagai syarat pendataran peralihan hak atas tanah di kantor Pertanahan Kabuaten/Kota setempat, dimana letak tanah yang menjadi obyek dari PPJB tersebut.PPJB yang dibuat dihadapan notaris merupakan perjanjian yang diangkat dan dibuat dari konsepsi KUHPerdata yang merupakan kesepakatan para pihak mengenai hak dan kewajiban yang dibuat berdasarkan Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUHPerdata. Berdasarkan PPJB antara penjual dan pembeli menyatakan kehendaknya untuk melangsungkan jual beli, dimana penjual menyatakan menjual dan karenanya melepaskan hak sedangkan pembeli menyatakan membeli dan karenanya menerima hak atas tanah yang diperjual-belikan tersebut. Akta PPJB sebagai akta notaris tentang peralihan hak atas tanah, mengandung dua ranah hukum yang
berbeda yakni ranah hukum perdata
terutama yang terkait dengan perjanjian dan ranah hukum publik/agraria yang terkait dengan obyek dari akta PPJB tersebut, yaitu tanah. Dari sisi hukum perdata, yaitu hukum perikatan yang bersumber pada perjanjian, sehingga keberadaan PPJB yang dibuat oleh notaris tunduk pada syarat-syarat, unsur-unsur dan tata cara dibuatnya suatu perjanjian menurut hukum perdata khususnya suatu perjanjian yang obyeknya barang tetap.
95 Terkait dengan hal tersebut Subekti mengatakan bahwa, B.W. menganut sistem bahwa perjanjian jual-beli itu “obligatoir” saja, artinya bahwa perjanjian jual-beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli) yaitu meletakkan kepada si penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui dan disebelah lain meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga barang sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya.82 Selanjutnya dikatakan pula bahwa, perjanjian jual-beli menurut B.W. itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik
baru berpindah dengan
dilakukannya “levering” atau penyerahan. Dengan demikian maka dalam sistem B.W. tersebut “levering” merupakan suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik (“transfer of ownership”) yang caranya tergantung dari macamnya barang.Dalam hal ini untuk barang tetap dengan perbuatan yang dinamakan “balik-nama” (bahasa Belanda : “overschrijving”) dimuka Pegawai Kadester yang juga dinamakan Pegawai balik-nama atau Pegawai Penyimpan hipotik, yaitu menurut Pasal 616 jo Pasal 620. Pasal 616 menentukan bahwa : “Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara yang ditentukan dalam Pasal 620.” Selanjutnya Pasal 620 menentukan sebagai berikut :
82
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Subekti II), hal. 11.
96 Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman termaksud di atas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke kantor penyimpanan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan berada, dan dengan dibukukannya dalam register. Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akta atau keputusan itu, agar penyimpan mencatat didalamnya hari pemindahan beserta bagian dari nomor register yang bersangkutan.Dalam pada itu segala sesuatu yang mengenai tanah dengan mencabut semua ketentuan yang termuat dalam buku B.W. tersebut, sudah diatur dalam UUPA.83 Kemudian dikatakan pula bahwa, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan telah diganti dengan PP Nomor 24/1997 tentang hal yang sama yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UUPA dalam Pasal 19 menentukan bahwa jual-beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Sedangkan, menurut maksud paraturan tersebut hak milik atas tanah juga berpindah pada saat dibuatnya akta dimuka pejabat tersebut.84 Berdasarkan pendapat di atas dalam kaitannya dengan akta notaris yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan peralihan hak atas tanah yakni PPJB tentang hak atas tanah sebagai obyek perjanjiannya dapatlah dikatakan bahwa sebagai suatu perjanjian, PPJB merupakan suatu perjanjian yang bersifat
83 84
Ibid, hal. 10. Ibid.
97 obligatoir yakni perjanjian yang hanya meletakkan hak dan kewajiban secara bertimbal balik antara penjual dan pembeli. Bagi penjual diharuskan menyerahkan tanahnya kepada pembeli sementara pembeli harus menyerahkan uang pembayaran sebagai pelunasan harga tanah kepada penjual.Dari sisi ini, suatu akta PPJB telah memenuhi asas terang dan tunai untuk sahnya suatu jual beli atas tanah yang dianut dalam UUPA.Asas ini mengandung makna bahwa suatu jual beli atas tanah telah dikatakan sah mengikat, dalam arti ketika harga pelunasan tanah telah dibayar dari pembeli kepada penjual maka saat itu pula, hak atas tanah tersebut telah beralih kepada pihak pembeli. Dengan demikian maka PPJB atas tanah secara yuridis dalam rangka sahnya perbuatan hukum yang menjadi obyek PPJB tersebut yakni tanah tunduk pada asas dalam UUPA, sehingga di dalam akta PPJB oleh notaris yang dibuat dengan memenuhi asas terang dan tunai sesungguhnya mengandung makna telah terjadi peralihan hak atas tanah sekalipun belum dilakukan pendaftaran balik namanya di kantor pertanahan dimana letak tanah itu berada sebagaimana dimaksud oleh peraturan pemerintah tentang pendaftaran peralihan hak atas tanah. Sebab sebagaimana dikatakan oleh Subekti di atas, pendaftaran peralihan hak atas tanah pada kantor kadaster dimaksudkan sebagai bentuk yuridis levering, yakni pencoretan nama penjual untuk kemudian menjadi dan atas nama pembeli di dalam bukti kepemilikan tanah yakni sertifikatnya. Sedangkan di dalam akta PPJB telah mengandung terjadinya feitelijke levering yakni terjadi penyerahan nyata atas tanah yang menjadi obyek PPJB, jikalau misalnya pembelian tanah dan rumah maka ketika PPJB dibuat pihak penjual menyerahkan kunci rumah dan sertifikat kepada pihak pembeli
98 sebagai bentuk penyerahan nyata sedangkan dalam hal beli tanah saja, penyerahan nyata disimbolisasi dengan penyerahan bukti hak milik yakni sertifikat berikut bukti-bukti lain yang terkait dengan bukti obyek PPJB yakni tanah. Berdasarkan pada uraian di atas dalam praktek dibuatnya akta jual beli balik nama yang dibuat oleh PPAT sebagai dasar pendaftaran peralihan hak sebagaimana dimaksud PP Nomor 24/1997 tentang pendaftaran tanah, akta PPJB notaris yang dibuat dengan memenuhi unsur terang dan tunai dalam hal ini akta PPJB lunas yang biasanya diikuti akta kuasa menjual dapat digunakan sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama yang dibuat PPAT. Dengan demikian maka yang dimaksud dengan akta notaris sebagai dasar peralihan hak tas tanah adalah akta PPJB lunas yang diikuti dengan kuasa menjual yang dijadikan dasar oleh pembeli untuk melakukan peralihan hak baik kepada dirinya sendiri maupun kepada pihak lainnya yang dipilih oleh pembeli dengan perantaraan kuasa menjual.
3.1.2. Instrumen atau Sarana yang Digunakan WNA dalam Penguasaan Tanah di Indonesia Instrumen atau sarana yang digunakan oleh WNA untuk memiliki atau menguasai tanah di Indonesia, sebagai topik bahasan dalam sub bab ini dimaksudkan instrument atau sarana berupa akta yang dibuat oleh notaris sebagai akta otentik yang dimaksudkan oleh WNA menjadi alat bukti tentang pemilikan atau penguasaan tanah-tanah hak milik di Indonesia yang dalam bukti kepemilikannya/sertifikat, atas nama WNI. Dalam prakteknya ditempuh melalui
99 cara-cara yang merupakan penyelundupan hukum. 85Walaupun terdapat berbagai varian dalam perjanjian berkenaan dengan penguasaan tanah oleh orang asing/WNA, tetapi secara garis besar perjanjian yang ditempuh pada umumnya terdiri dari : 1. Perjanjian induk yang terdiri dari Perjanjian Pemilikan Tanah dan Surat Kuasa; 2. Perjanjian Opsi; 3. Perjanjian Sewa-menyewa; 4. Kuasa Menjual; 5. Hibah Wasiat; dan 6. Surat Pernyataan Ahli Waris. Secara normatif,yaitu dari tata cara dibuatnya akta notaris akta-akta di atas seolah-olah tidak menyalahi peraturan perundnag-undangan yang berlaku karena tidak dalam bentuk pemindahan hak secara langsung.Namun, bila isi perjanjian diperiksa dengan seksama, maka semua perjanjian tersebut secara tidak langsung dimaksudkan untuk memindahkan tanah Hak milik atau Hak Guna Bangunan kepada orang asing/WNA. Isi dari perjanjian tersebut di atas antara lain: 1. Perjanjian Pemilikan Tanah dan Pemberian Kuasa. Dalam Perjnajian Pemilikan Tanah pihak warga negara Indonesia mengakui bahwa tanah hak milik yang terdaftar atas namanya bukanlah miliknya, tetapi milik warga negara asing yang telah menyediakan dana untuk pembelian tanah hak milik beserta bangunan. Selanjutnya pihak warga negara Indonesia
85
Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hal. 14.
100 memberikuasa yang tidak ditarik kembali kepada pihak warga negara asing untuk melakukan segala tindakan hukum terhadap tanah hak milik dan bangunan. 2. Perjanjian Opsi. Pihak warga negara Indonesia memberikan opsi untuk membeli tanah hak milik dan bangunan kepada pihak warga negara asing kerena dana untuk pembelian tanah hak milik dan bangunan itu disediakan pihak warga negara asing. 3. Perjanjian Sewa Menyewa. Pada prinsipnya dalam perjanjian ini diatur tentang jangka waktu sewa berikut opsi untuk perpanjangannya beserta hak dan kewajiban pihak yang menyewakan (warga negara Indonesia) dan penyewa (warga negara asing). 4. Kuasa untuk menjual. Kuasa untuk menjual berisi pemberian kuasa dengan hak substansi dari pihak warga negara Indonesia (pemberi kuasa) kepada pihak warga negara asing (penerima kuasa) untuk melakukan perbuatan hukum menjual atau memindahkan tanah hak milik dan bangunan. 5. Hibah Wasiat. Pihak warga negara Indonesia menghibahkan tanah hak milik dan bangunan atas namanya kepada pihak warga negara asing.
101 6. Surat Pernyataan Ahli Waris. Istri pihak warga negara Indonesia dan anaknya menyatakan bahwa walaupun tanah hak milik dan bangunan terdaftar atas nama suaminya, tetapi suaminya bukanlah pemilik sebenarnya atas tanah hak milik dan bangunan tersebut. Bentuk lain perjanjian yang juga bermaksud memindahkan hak milik secara tidak langsung kepada orang asing/WNA yaitu dalam bentuk sebagai berikut : 1. Akta Pengakuan Utang. 2. Pernyataan bahwa pihak WNI memperoleh fasilitas pinjaman uang dari orang asing/WNA untuk digunakan membangun usaha. 3. Pernyataan pihak WNI bahwa tanh HM adalah milik pihak orang asing/WNA. 4. Kuasa Menjual. Pihak WNI memberi kuasadengan hak substitusi kepada pihak orang asing/WNA untuk menjual, melepaskan atau memindahkan tanah HM yang terdaftar atas nama WNI. 5. Kuasa Roya. Pihak WNI memberi kuasa dengan hak substitusi kepada pihak ornag asing/WNA untuk secara khusus mewakili dan bertindak atas nama pihak WNI untuk meroya dan menyelesaikan semua kewajiban utang piutang pihak WNI. 6. Sewa-menyewa Tanah. WNI sebagai pihak yang menyewakan tanah memberikan hak sewa kepada orang asing/WNA sebagai penyewa selama jangka waktu tertentu, misalnya
102 25 tahun dapat diperpanjang dan tidak dapat dibatalkan sebelum beakhirnya jangka waktu sewa. 7. Perpanjangan Sewa-menyewa. Pada saat yang bersamaan dengan pembuatan perjanjian sewa-menyewa tanah (angka 6) dibuat sekaligus perpanjangan sewa-menyewa selama 25 tahun denga ketentuan yang sama dengan angka 6. 8. Perpanjangan Sewa-menyewa. Sekali lagi pada saat yang bersamaan dengan perbuatan perjanjian sewamenyewa tanah (angka 6 dan 7) dibuat perpanjangan sewa-menyewa lagi untuk wakktu selama 25 tahun dengan ketentuan yang sama dengan angka 6 dan7. 9. Kuasa. Pihak WNI memberi kuasa dengan hak substitusi kepada pihak orang asing/WNA (penerima kuasa) untuk mewakili dan bertindak untuk atas nama pihak WNI mengurus segala urusan, memperhatikan kepentingannya dan mewakili hak-hak pemberi kuasa untuk keperluan menyewakan dan mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), menandatangani surat pemberitahuan pajak dan surat-surat lain tang diperlukan, menghadap kepada pejabat yang berwenang
serta
menandatangani
semua
dokumen
yang
diperlukan.Ditambahkan bahwa kedua belah pihak sepakat untuk menjaga kerahasiaan perjanjian beserta dokumen-dokumen yang terkait. Setelah dengan seksama terhadap perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian lain terkait dengan penguasaan tanah hak milik oleh orang asing/WNA tersebut
103 menunjukkan bahwa secara tidak langsung melalui perjanjian notariil telah terjadi penyelundupan hukum.Pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa saling diuntungkan dengan perjanjian tersebut tidak dipermaslahkan kebenaran materiil, bagi mereka pertimbangan praktis lebih penting dibandingkan pertimbangan yuridis. Kenyataan ini menunjukkan bahwa amanat Pasal 9, Pasal 21 dan Pasal 26 ayat (2) UUPA disimpangi dalam praktek. Tindakan notaris dalam menangani permohonan pembuatan akta sebagaimana disebutkan di atas, merupakan orientasi
motivasional
dan
orientasi
sebuah prosesdalam konteks
nilai. 86
Lebih
lanjut
dalam
mendeskripsikanorientasi motivasional yang menunjuk pada keinginan individu (notaris-PPAT) yang bertindak unuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kerugian. Adapun empat hal yang menjadi dasar pertimbangan lahirnya orientasi motivasional tersebut adalah : (1) Atas dasar pertimbangan sukses, (2) Atas dasar pertimbangan nilai, (3) Atas dasar pertimbangan pengalaman, dan (4) Atas dasar pertimbangan kesempatan langka. Sedangkan dasar pertimbangan nilai dari tindakan seorang notaris-PPAT justru berorientasi pada keharusan normatif yang mengendalikan pilihanpilihannya. Keharusan normatif yang dimaksudkan menyangkut tujuan yang hendak dicapai dan sarana-sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut
86
Maria S.W. Sumardjono, loc.cit.
104 dengan dasar pertimbagan (1) mempertahankan citra diri (2) mengendalikan kesan.87 Ikhwal orientasi notaris dalam menjalankan profesinya sebagaimana disebutkan di atas akan membawa implikasi teoritis dan implikasi pragmatis. Implikasi teoritisnya berkaitan dengan pilihan tindakan seorang notaris yang berpegang pada nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam menjalankan profesinya. Hal ini berarti notaris dalam menjalankan profesinya sebagai pejaat umum merupakan pengejawantahan dari citra diri, sehingga demi menjaga citra diri sebagai pejabat umum, notaris akan mengorbankan pemenuhan kebutuhankebutuhan lainnya seperti tawaran uang atau kolusi dengan klien. Notaris dalam hal ini akan memandang nilai tertinggi dalam hidupnya sebagai pejabat umum terletak pada kesadaran menghormati jabatan lewat kepatuhan pada segala aturan dan etika profesi. Sementara itu terhadap implikasi pragmatis normatif notaris diperlukan re-orientasi pembinaan notaris yang tidak hanya diarahkan pada ketrampilan menerapkan hukum apalagi terbatas pada bagaimana mengisi form baku seperti sekarang ini, namun diperlukan pemahaman secara konstektual terhadap jiwa dan kepentingan hukum yang terkandung dalam suatu peraturan. Peran
strategis
ini
dapat
dilakukan
oleh
Majelis
Pengawas
(Pusat/Wilayah/Daerah) sesuai amanat UUJN maupun oleh Organisasi Profesi Notaris terkait dengan kode etik notaris serta oleh masyarakat sebagai pengguna jasa notaris.
87
Maria S.W. Sumardjono, op.cit., hal. 161-164.
105 3.2. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Non Litigasi dan Litigasi 3.2.1. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Non Litigasi Penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan disebut Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR). Khusus berkenaan dengan sengketa di bidang pertanahan, penyelesaian sengketa melalui jalur ADR sangatlah relevan. Hal ini disebabkan karena dua hal yaitu pertama, pada saat kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan semakin merosot maka penyelesaian sengketa ADR melalui cara perundingan, mediasi, arbitrase, dan sebagainya, merupakan jalan keluar yang sangat bermanfaat.88 Kedua, dari segi kuantitas kasus tanah memang banyak terjadi dalam berbagai varian, di samping itu ada kecenderungan dari masyarakat menaruh harapan agar sengketa dapat diselesaikan dengan “win-win solution” yang terkadang memerlukan uluran tangan pihak ketiga yang bersifat netral untuk membantu mengeksplorasi berbagai alternatif pemecahan sengketa. Cara-cara ADR/Penyelesaian Sengketa Alternatif ini terdiri dari : 1. Konsiliasi Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa konsiliasi merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang berupa tindakan atau proses perdamaian di luar pengadilan serta mencegah dilaksanakannya proses litigasi (pengadilan). Selain itu konsiliasi juga dapat dilakukan dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berlangsung, baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan pengecualian untuk
106 hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Konsiliasi ini diperlukan apabila para pihak yang bersengketa tidak mampu untuk menyelesaiakan perselisihannya. Konsiliasi tidak sama dengan mediasi karena penyelesaian konsiliasi lebih mengacu pada cara penyelesaian sengketa melalui konsensus atau kesepakatan para pihak, sedangkan pihak ketiga sebagai pihak yang netral. 89 Pada prinsipnya konsiliasi sama dengan perdamaian yang diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUHPerdata, maka dari itu, hasil kesepakatan melalui konsiliasi harus dibuat dalam bentuk tertulis dan ditandatangani bersama oleh para pihak yang bersengketa. Sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (7) jo Pasal 6 ayat (8) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alkternatif Penyelesaian Sengketa, kesepakatan tertulis hasil konsiliasi harus didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penandatanganan dan dilaksanakan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat final dan mengikat bagi para pihak. 2. Negosiasi Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan bahwa : “Penyelesaian sengkata atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dengan 89
H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, 2004, Mengenal Arbitrase, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 11.
107 pertemuan secara langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.” Negosiasi pada dasarnya merupakan lembaga informal, walaupun adakalanya dilakukan secara formal. Tidak ada suatu kewajiban para pihak yang bersengketa melakukan pertemuan secara langsung dan tidak ada pula kewajiban negosiasi tersebut dilakukan oleh para pihak itu sendiri, artinya negosiasi tersebut dapat diwakilkan oleh pihak lain. Melalui negosiasi para pihak dapat berkompromi mengenai hak dan kewajiban para pihak melalui situasi yang sama-sama menguntungkan serta memberikan kelonggaran atas hak-hak tertentu berdasarkan asas timbal balik. Setelah para pihak mencapai kesepakatan, kesepakatan tersebut dibuat dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh para pihak sebagaimana mestinya.Namun hasil kesepakatan tertulis dari negosiasi antara para pihak tersebut masih dapat dibantah dengan alasan kekhilafan ataupun dengan alasan salah satu pihak merasa dirugikan.Dengan demikian, masih terbuka kemungkinan untuk dapat dibatalkan, apabila terbukti telah terjadi kekhilafan, paksaan, maupun penipuan atau kesepakatan yang diadakan atas dasar surat-surat atau bukti yang dinyatakan palsu. 3. Mediasi Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merumuskan mediasi adalah proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut Pasal 6 ayat (2). Pasal 6 ayat (3) tersebut juga menentukan bahwa “atas
108 kesepakatan tertulis dari para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.” Ketentuan Pasal 6 ayat (3) di atas memberi pengertian bahwa mediasi melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral, independent, tidak memihak dan ditunjuk oleh para pihak (secara langsung maupun melaui lembaga mediasi). Mediator
berkewajiban
untuk
membantu
para
pihak
untuk
mencapai
kesepakatannya sesuai dengan kehendak dan kemauan dari para pihak yang bersengketa. Mediator sebagai pihak di luar perkara memiliki kewenangan untuk memaksa, yang berkewajiban untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok permasalahan yang disengketakan oleh para pihak.Berdasarkan
informasi
yang
diperoleh
kemudian
mediator
dapat
menentukan duduk perkara, kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pihak yang bersangkutan, selanjutnya mediator menyusun proposal menyelesaian yang kemudian di komunikasikan kepada para pihak secara langsung. 90 Penyelesaian sengketa melalui sistem mediasi akhir-akhir ini banyak dipilih sebagai upaya penyelesaian sengketa oleh pihak-pihak yang bersengketa yang ingin menyelesaikan sengketanya dengan cepat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
90
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Arbitrase, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 34.
109 1) Proses penyelesaian relatif cepat, karena hanya dibutuhkan dua atau tiga kali pertemuan saja sudah dapat dikompromikan tentang cara penyelesaiannya yang rata-rata bisa diwujudkan dalam waktu satu atau dua bulan. 2) Biaya murah, penyelesaian secara mediasi memerlukan biaya yang relatif murah karena membutuhkan waktu yang singkat. Hal ini karena mediator hanya terlibat sebagai pihak yang memberi nasehat. 3) Bersifat rahasia, salah satu asas ketertiban umum yang harus ditegakkan aleh mediator dalam persidangan adalah tidak terbuka untuk umum, bersifat rahasia tidak boleh diliput dan diublikasikan. 4) Penyelesaian bersifat bebas melalui kompromi. Penyelesaiannya dilakukan dengan cara : a. Informal, artinya penyelesaiannya tidak berdasarkan pada ketentuanketentuan acara yang memaksa. b. Fleksibel,
artinya
tidak
terikat
pada
peraturan
hukum
bahkan
penyelesaiannya menympang dari ketentuan hukum formal, pada dasarnya hanya menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. c. Memberi kebebasan kepada para pihak untuk mengajukan proposal yang dikehendaki, namun harus juga bersedia menerima proposal dari pihak lain. 5) Hubungan komperatif, penyelesaian secara mediasi akan memperbaiki hubungan para pihak karena pada dasarnya para pihak yang bersengketa dilandasi hubungan karjasama.
110 6) Sama-sama menang, melalui mediasi masing-masing pihak dalam posisi sama-sama menang karena adanya kompromi yang telah disepakati oleh para pihak. 7) Tidak
emosional,
penyelesaian
mediasi
menggunakan
pendekatan
kekeluargaan sehingga para pihak tidak bersikeras mempertahankan pendapatnya masing-masing.91 Penyelesaian sengketa melalui mediasi berbeda dengan penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase karena mediator tidak memiliki wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak, namun dalam hal ini para pihak harus koperatif dalam menyelesaikan masalah diantara mereka. 4. Arbitrase Arbitrase merupakan cara yang sedang popular saat ini dalam upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Arbitrase menurut Subekti yaitu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan para pihak yang tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. 92Sedangkan Poerwosutedjo menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase ini menyatakan bahwa perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak mereka yang dapat mereka kuasai sepenuhnya
91
M. Yahya Harahap, 1995, Mencari Sistem Alternatif Penyelesaian Sengketa, Varia Peradilan Nomor 21, hal. 116-117. 92 Subekti, 1992, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung, (selanjutnya disingkat Subekti I), hal. 1.
111 diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengkat bagi kedua pihak. 93 Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Pasal 1 huruf 1 menentukan bahwa : “arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.”Dalam dunia bisnis tentunya banyak pertimbangan para peleku bisnis untuk memilih arbitrase sebagai jalan keluar penyelesaian masalah mereka. Dasar pertimbangan memilih arbitrase adalah : a. Ketidakpercayaan pada Pengadilan Negeri, karena proses pengadilan menghabiskan jangka waktu lama dan melalui tingkatan-tingkatan dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi sampai ke Mahkamah Agung. b. Prosesnya cepat, proses arbitrase seringkali lebih cepat dibandingkan proses pengadilan. c. Dilakukan dengan rahasia, pemeriksaan dan pemutusan sengketa oleh majelis arbitrase dilakukan secara tertutup dan tidak dipublikasikan sehingga para pihak terjaga kerahasiaannya. d. Bebas memilik arbiter, para pihak bebas memilih arbiter yang akan meyelesaikan perselisihan mereka. e. Merupakan putusan akhir (final) dan mengikat (binding), putusan arbitrase pda umumnya dianggap sudah final dan tidak ada upaya untuk banding.
93
H.M.N Peorwosutedjo, 1992, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Cet. III, Djambatan, Jakarta, hal. 1.
112 f. Biaya lebih murah, biaya arbitrase lebih murah daripada biaya pengadilan pada umumnya karena sudah ditentukan tarifnya. g. Bebas memilih hukum yang diberlakukan. h. Eksekusinya mudah, keputusan arbitrase biasanya lebih mudah dilaksanakan karena bersifat final dan binding yang dilandasi itikad baik dari para pihak. Selain memiliki beberapa keuntungan, arbitrase juga memiliki kelemahan, yaitu : a. Selama atau sesudah selesainya arbitrase kemungkinan terjadi hal-hal yang harus diajukan kepada hakim seperti pengangkatan para arbiter, adanya saksi dan sebagainya. b. Arbitrase tidak selalu biayanya murah, bahkan kadangkala bisa lebih tinggi karena para pihak yang ikut menyelesaikan arbitrase tersebut meminta honor yang tinggi. c. Sekalipun dalam arbitrase tidak diisyaratkan adanya suatu perwakilan dalam prosesnya tetapi pada kenyataannya pihak-pihak yang bersangkutan pada umumnya menggunakan jasa pengacara. Berkaitan dengan penyelesaian kasus mengenai akta nominee yang dibuat antara WNI dengan orang asing/WNA dimana akta tersebut menuangkan perjanjian antara kedua belah pihak yang isinya tentang peralihan hak milik atas tanah kepada orang asing/WNA dapat dilakukan dengan cara non litigasi. Dalam alternatif penyelesaian sengketa/non litigasi terdapat beberapa cara seperti yang telah dijelaskan di atas, namun penyelesaian terhadap kasus-kasus pertanahan banyak yang menggunakan cara perundingan/mediasi. Mediasi memberikan
113 memberikan perasaan kesamaan kedudukan kepada para pihak dan upaya penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan.Mediasi menggunakan perantara pihak ketiga (mediator) yang dapat membantu menengahi perselisihan diantara para pihak dan membantu untuk mencarikan solusi dari permasalahan yang dihadapi.Dengan demikian, solusi yang dihasilkan mengarah pada win-win solution.Win-win solutionadalah kesepakatan yang sama-sama menguntungkan bagi para pihak dan tidak merugikan salah satu pihak.
3.2.2.Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Litigasi Apabila penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi sebagaimana dipaparkan di atas tidak berhasil antara WNI dengan WNA yang bermaksud menguasai/memiliki tanah hak milik di Indonesia dengan menggunakan WNI sebagai nominee, maka penyelesaiannya dilakukan melalui jalur litigasi. Di bawah ini dideskripsikan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi sebagai berikut : Kasus posisi : (1) Seorang WNA bernama Philip R. Grandfiel bertempat tinggal sementara di Buleleng-Bali, berkeinginan memiliki dan menguasai tanah hak milik di Indonesia di”bingkai” dalam suatu perbuatan penyelundupan hukum dalam bentuk akta kerjasama dengan seorang WNI bernama K. Pani di bidang restoran di mana WNA menyerahkan modal pinjaman sebesar Rp. 115.000.000,-.
114 Dana tersebut oleh K. Pani dibelikan 3 (tiga) bidang tanah hak milik di Buleleng dan semua sertifikat tanah dilakukan balik nama menjadi atas nama K. Pani, sementara seluruh akta jual beli tanah dan sertifikat tanah hak milik atas nama K. Pani disimpan oleh Philip R. Grandfiel. Selain itu K. Pani membuat surat kuasa menjual kepada Philip R. Grandfiel dihadapan notaris W. Nuaja, Notaris dan PPAT berkantor di Singaraja. Kemudian surat kuasa menjual yang dibuat tersebut dimasalahkan oleh K Pani melalui pengacaranya dengan dalil bahwa kuasa menjual terseut merupakan kuasa mutlak merupakan hal yang dilarang dan bertentangan dengan peraturan perundang-undagan. K. Pani merasa tidak terima tentang hal tersebut, karena seharusnya notaris memberitahukan kepadanya tetapi tidak dilakukan sehingga
K. Pani melapor kepada
polisi, bahwa WNA
tersebut telah melakukan penipuan atau penggelapan surat-surat tanah di atas. Akhirnya K. Pani mengajukan gugatan terhadap Philip R. Grandfield dan notaris W. Nuaja ke pengadilan agar ketiga bidang tanah hak milik tersebut dinyatakan sebagai milik penggugat, dan surat pernyataan penyimpanan suratsurat tanah, dan surat kuasa menjual dinyatakan batal demi hukum serta mengesahkan uang Rp. 115.000.000,- merupakan pinjaman dari Philip R. Grandfield terhadap K. Pani. Terhadap sengketa tersebut, Pengadilan Negeri Singaraja dengan putusannya tanggal 28 Maret 2001 Nomor 105/Pdt.G/2000/PN.SGR mengabulkan gugatan penggugat dengan menghukum penggugat membayar Rp. 115.000.000,- ditambah dengan bunga sebesar 6% pertahun kepada
115 tergugat WNA. Tidak puas atas putusan pengadilan tingkat pertama, tergugat Philip R. Grandfiel mengajukan banding. Di Pengadilan Tinggi Denpasar dengan putusannya Nomor 156/Pdt/2000/PT. DPS, tanggal 20 Agustus 2001 memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Singaraja dengan mengungatkan hukuman kepada penggugat untuk membayar uang pinjaman dan bunganya tersebut kepada penggugat pembanding, bahwa uang untuk membeli tanah sengketa sebesar Rp. 115.000.000,- adalah milik Philip R. Grandfiel. Kalah lagi di pengadilan tingkat banding Philip R. Grandfiel mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan putusannya Nomor 980 K/Pdt/2002 Mahkamah Agungn menolak permohonan kasasi terguagat tersebut, karena judex facti sudah tepat dalam pertimbangan hukumnya, karena telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan tepat, secara yuridis tanah terpekara atas nama penggugat/termohon kasasi dan uang pembelian tanah Rp. 115.000.000,- (seratus lima belas juta rupiah) merupakan utang piutang dari penggugat/termohon kasasi kepada tergugat I/pemohon kasasi. Selain itu, karena orang asing dilarang memiliki tanah Hak Milik di Indonesia berdasarkan Pasal 2 UUPA dan bahwa isi akta kuasa menjual merupakan surat kuasa menjual merupakan surat kuasa mutlak bertentangan dengan Instrusi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982. (2) Seorang WNA bernama Neville Jenniver Maree sebidang tanah hak milik Nomor 1907/Desa Buduk seluas 300 meter persegi, yang terletak di Desa Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Karena Neville Jenniver Maree berkewarganegaraan asing, maka dipinjamlah nama Ni Nyoman Sutini
116 (sebagai nominee) untuk didaftarkan dalam sertifikat hak milik tersebut. Untuk melindungan kepentingan hukumnya dalam pemilikan tanah di atas, selanjutnya dibuat pernyataan dan pengakuan dengan akta notaries dihadapan Notaris Njoman Sutjining, SH notaris di Kabupaten Badung. Dalam akta pernyataan dan pengakuan tersebut dinyatakan bahwa pembelian sebidang tanah tersebut masing-masing berasal dari Ni Nyoman Sutini sebesar 20% dan dari Neville Jenniver Maree sebesar 80%. Karena Neville Jenniver Maree masih berkewarganagaraan asing, maka tanah tersebut untuk sementara didaftar atas nama Ni Noman Sutinisampaidengan Neville Jenniver Maree berhak untuk mendapatkan hak milik sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam waktu berjalan, ternyata Ni Nyoman Sutini tidak mentaati isi perjanjian yang telah dibuatnya, sehingga Neville Jenniver Maree dan suaminya Robert Jon Charles mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Denpasar dengan duduk perkara sebagai berikut : 1. Bahwa para penggugat dan tergugat telah sepakat (konsekuensi dari penggunaan nama tergugat dalam sertifikat Hak Milik tersebut) untuk menuangkannya ke dalam akta pernyataan dan pengakuan Nomor; 01, tertanggal 2 Januari 2002 di kantor notaries Njoman Sutjining, SH., yang seolah-olah tergugat turut serta dalam mengeluarkan dana sebesar 20% dari harga tanah tersebut dan bila suatu saat villa tersebut terjual maka tergugat berhak atas 20% dari hasil penjualan villa tersebut;
117 2. Bahwa faktanya mana kala para penggugat bermaksud mengurus pajak-pajak maupun legalitas berkaitan dengan tanah tersebut, serta menawarkan villa kepada calon pembeli, tidak disetujui dan dihalang-halangi oleh tergugat bahkan mengklaim dengan mengatakan bahwa penggugat tidak berhak menguasai tanah tersebut karena sudah diatasnamakan tergugat. Terhadap sengketa tersebut Pengadilan Negeri Denpasar dengan putusannya Nomor 224/Pdt.G/2008/PN. Dps, tertanggal 5 Desember 2008 meyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan mengikat Akta Nomor : 1 tertanggal 3 Januari 2002 tentang “Pernyataan dan Pengakuan” (“Deklaration and Acknowledgement”) yang dibuat dihadapan Njoman Sutjining, SH., notaris di Kabupaten Badung. Kemudian menghukum tergugat untuk mengembalikan uang yang telah diterimanya kepada para penggugat sebesar Rp. 1.308.057.925,00 (satu milyard tigaratus delapan juta limapuluh tujuh ribu sembilanratus duapuluhlima rupiah). Dari kedua contoh penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi terhadap masalah yang timbul dari perjanjian nominee, ternyata setiap perbuatan-perbuatan hukum yang dimaksudkan untuk langsung dan tidak langsung mengandung peralihak hak milik atas tanah dari WNI kepada WNA adalah bata demi hukum.Berdasarkan pada teori penyelesaian sengketa dari Menurut Jerome Frank, yang mengatakan bahwa penyelesaian sengketan merupakan “legal rules had primarily the function of ex post facto rationalizations of decisions.”94Teori tersebut juga menjadi dasar Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
94
J.W Harris, loc.cit.
118 Kekuasaan Kehakiman dalam penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang menentukan bahwa, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Maka penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi terhadap perjanjian nominee yang berisi peralihan hak milik atas tanah antara WNA dengan WNI merupakan keputusan hakim yang rasional berdasarkan pemahaman
terhadap
nilai-nilai
hukum
dan
rasa
yang
hidup
di
masyarakat.Dikatakan demikian oleh karena dalam dua putusan di atas putusan yang diambil oleh hakim berdasarkan yang terkandung dalam pasal 26 UUPA, sehingga setiap perikatan atau perjanjian yang dilakukan antara WNI dengan WNA yang bermaksud mengalihkan hak milik atas tanah dinyatakan batal demi hukum. Sehingga penyelesaian melalui jalur litigasi secara normatif mengadopsi pula nilai-nilai keadilan yang berkembang di masyarakat selain mengacu dan berdasar pada peraturan formil yang ada.
3.3. Kekuatan Pembuktian Perjanjian Nominee Yang Dibuat Dengan Akta Notaris Sebagai Alat Bukti di Pengadilan. Secara yuridis berdasarkan pada Pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik mempunyai 3 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu : 1. Kekuatan pembuktian lahiriah; 2. Kekuatan pembuktian formil; dan 3. Kekuatan pembuktian materiil.
119 1) Kekuatan Pembuktian Lahiriah. Kemampuan lahiriah akta otentik merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik actapublica probant sesse ipsa jika dilihat dari luar atau lahirnya sebagai akta otentik sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik sampai terbukti sebaliknya artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. 95 Nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya, secara lahiriah tidak perlu dibuktikan lagi dengan alat bukti lain. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah buka akta otentik. 2) Kekuatan Pembuktian Formil. Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta benar-benar dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuktian akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul atau waktu menghadap, dan identitas dari para pihak yang menghadap (comparanten), paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan notaris, demikian juga tempat dimana akta itu dibuat serta
95
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II), hal. 157.
120 membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris pada akta pejabat/berita acara dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak. Apabila aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas dari akta yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan , tahun, dan para pihak waktu menghadap, membuktikan ketidak benaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidak benaran tempat dimana akta itu dibuat, membuktikan ketidak benaran apa yang dilihat, disaksikan, dan didengar oleh notaris. Selain itu juga harus dapat membuktikan ketidak benaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan dihadapan notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak, saksi dan notaris atau ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta notaris. Jika tidak mampu membutikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun. 3) Kekuatan Pembuktian Material. Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, karena apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapatkan hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegen bewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat atau akta berita acara atau keterangan atau para pihak yang diberikan/disampaikan dihadapan notaris akta pihak dan para pihak harus dinilai benar berkata yang kemudian
121 dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang kemudian menghadap notaris yang kemudian/keterangan dituangkan dan akta harus dinilai telah benar berkata. Apabila ternyata pernyataan/keterangan para penghadap tersebut tidak benar atau apa yang diterangkan/dijelaskan oleh para pihak ternyata tidak benar, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab para pihak sendiri, notaris terlepas dari hal semacam itu. Apabila akan membuktikan aspek material dari akta notaris tersebut tidak benar, maka harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek material dari akta notaris. Ketiga aspek di atas merupakan kesempurnaan akta notaris sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut, jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Dalam kaitannya dengan topik bahasan dalam sub bab ini, dihubungkan dengan kekuatan pembuktian akta otentik di atas berkaitan dengan pembahasan terhadap akta-akta yang digunakan oleh orang asing/WNA untuk memiliki/menguasai tanah hak milik di Indonesia beserta beberapa penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi di atas, maka perjanjian nominee yang sekalipun dibuat dengan akta notaris yang memiliki kedudukan sebagai akta otentik tidaklah tidak mempunyai kekuatan hukum pembuktian sempurna sebagaimana kekuatan pembuktian suatu akta otentik pada umumnya. Hal tersebut didiskripsikan mengingat akta nominee yang dibuat dengan akta notaris kehilangan kekuatan pembuktian materiilnya sebab suatu akta otentik haruslah dibuat dengan tidak
122 bertentangan dengan norma-norma atau kaidah-kaidah baik yang terdapat dalam norma-norma hukum formil maupun norma-norma kepatutan dalam dibuatnya akta otentik/akta notaris. Berdasarkan norma hukum umumnya dalam hal ini syarat sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, akta nominee tidak memenuhi syarat keempat yaitu suatu sebab yang halal sebagai syarat obyektifnya. Akta nominee yang sekalipun secara tidak langsung mengandung unsur tentang peralihan hak milik atas tanah dari WNI kepada orang asing/WNA hal tersebut atau perbuatan hukum tersebut oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung dinyatakan batal demi hukum. Hal tersebut mengandung arti bahwa perbuatan hukum peralihan hak milik natas tanah dari WNI kepada orang asing/WNA sejak awal terjadinya perbuatan hukum tersebut dipandang tidak pernah terjadi.Konstruksi hukum tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 26 UUPA yang pada dasarnya menentukan bahwa setiap perbuatan-perbuatan hukum baik langsung maupun tidak langsung dimaksudkan untuk melakukan peralihan hak atas tanah dari WNI kepada orang asing/WNA adalah batal demi hukum. Suatu perjanjian nominee, sekalipun sejak awal oleh para ahli hukum dipandang sebagai suatu perbuatan penyelundupan hukum namun apabila diuji dari ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata jo Pasal 26 UUPA maka perbuatan tersebut dapat batal demi hukum. Dengan kata lain, perbuatan-perbuatan tersebut oleh hukum dianggap tidak pernah ada, oleh karenanya akta-akta nominee tersebut
123 oleh hukum dianggap tidak pernah ada sepanjang mengandung unsur peralihan hak-hak atas tanah. Dari sisi teori perjanjian keberadaan akta-akta nominee dengan berbagai variannya yang dilakukan antara orang asing/WNA dengan WNI di dalam praktek tidak dapat dibenarkan. Sebab berdasarkan pada teori perjanjian sebagai pisau analisa dalam penulisan tesis ini, yang oleh Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi bahwa perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggapberjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 96 Kemudian Bachsan Mustafa, Bewa Ragawino dan Yaya Priatna memberikan definisi bahwa perjanjian itu adalah hubungan hukum kekayaan antara beberapa pihak, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak menuntut atas suatu jasa (prestasi)sedangkan pihak lainnya (debitur) berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut (schuld) dan bertanggung jawab atas prestasi itu.97 Demikian juga dengan Soebekti mendefinisikan pengertian pernjanjian sebagai berikut : Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 98 Maka pada dasarnya perjanjian yang merupakan hubungan hukum antara satu orang dengan orang yang lain tentang suatu hal menekankan bahwa perjanjian nominee sebagai suatu perbuatan hukum yang mengadung hubungan-hubungan hukum antara orang
96
Wirjono Prodjodikoro,loc.cit. Bacshan Mustafa dkk, loc.cit. 98 R. Soebekti II, loc.cit. 97
124 asing/WNA dengan WNI memuat sesuatu hal yang dapat dibenarkan bahwa suatu hal tersebut dapat atau patut dijadikan obyek suatu perjanjian. Oleh karena tanah hak milik dilarang untuk diperjanjikan dalam bentuk dialihkan hak miliknya dari WNI kepada orang asing/WNA yang disebabkan karena hanya WNI yang dapat memiliki hak milik, sehingga orang asing/WNA dilarang untuk mempunyai hak milik dengan demikian, perjanjian nominee tidak sejalan dengan teori perjanjian itu sendiri terlebih-lebih dikaji dari sudut Pasal 1320 KUH Perdata yaitu unsur keempat dari sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
125 BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN NOMINEE YANG MELANGGAR KETENTUAN UNDANG UNDANG NO 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
4.1. Larangan Terhadap Perbuatan Hukum Peralihan Hak Milik Atas Tanah Kepada WNA Dalam UUPA. Negara Indonesia sebagai negara hukum yang merupakan organisasi kekuasaan yang bersumber pada kedaulatan rakyat,kedaulatannya mempunyai sifat keberlakuan keluar dan kedalam. Keluar diberlakukan terhadap bukan WNI atau terhadap warga negara lain (WNA) yang menduduki atau menggunakan wilayah Negara, sedangkan kekuasaan kedalam didasarkan pada sifat formal dan struktural negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat. Dalam artian ini, adalah negara yang memiliki karakter kelembagaan yang berwenang mengatur atau memiliki kekuasaan untuk mengatur.99 Selain sebagai negara hukum, Indonesia menganut dan tergolong dalam negara kesejahteraan, sebagaimana diamanahkan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) alinea keempat yang menyatakan: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...
99
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak MenguasaiNegara Atas Tanah, total Media, Yogyakarta., hal. 111. 125
126 Sebagai negara kesejahteraan, yaitu sebagai negara dengan tujuan mewujudkan sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, Negara Indonesia
memiliki
tanggungjawab
mensejahterakan
dan
memakmurkan
rakyatnya, salah satunya melalui berbagai kebijakan atau dituangkan dalam peraturan perundang-undangan guna tercapai serta terjaga keberlangsungan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satuwujud kesejahteraan rakyat adalah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut memberi amanat atau perintah kepada negara (pemerintah) agar menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya semata-masa untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan amanat tersebut memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur bentuk-bentuk penguasaan negara atas bumi dan air dan kekayaan alam Indonesia, yang harus dilaksanakan oleh penyelenggara negara dan harus dipatuhi oleh seluruh rakyat Indonesia. Konstitusi sebagai landasan normatif dalam setiap pelaksanaan tugas Negara sebagaimana dinyatakan oleh Neil MacCormick, yaitu : Everyone just has to act as if they had such authority-at least, they have to do so in the event that the constitution they made comes to be efficacious as the normative basis for state activity, that in virtue of which acts are right or wrong, valid or invalid. Given a constitutional order that is byand-large efficacious, it makes sense to treat the constitution as that which ought to be respected. That is, it makes sense to act on the footing that state coercion ought to be exercised only in accordance with the
127 provisions laid down by the constitutional founders, and that all other forms of coercion ought to be repressed as legally wrongful.100 Berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 tersebut tampak bahwa konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut konsep bawah, hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah hubungan penguasaan. 101 Konsepsi tersebut memiliki dua garis besar yaitu : pertama, negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kedua, bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Hak menguasai negara merupakan suatu konsep yang mendasarkan padapemahaman bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat sehingga bagi pemilik kekuasaan, upaya mempengaruhi pihak lain menjadi sentral, yang dalam hal ini dipegang oleh negara. 102 Berkenaan dengan makna dikuasai oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 di atas, oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang disebutkan dalam Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 sebagai berikut: Bahwa dalam menemukan pengertian dan/atau maksud dari suatu ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal UUD 1945 tidaklah cukup apabila hanya berpegang pada bunyi teks pasal yang bersangkutan dan hanya dengan 100
Neil MacCormick, 2007, Institutions of Law – An Essay in legal Theory, Oxford University Press, New York, hal. 45-46. 101 Muhammad Bakri, 2007, op.cit, hal. 1. 102 Winahyu Erwiningsih, op.cit., hal.103.
128 menggunakan satu metode interpretasi tertentu. UUD 1945, sebagaimana halnya setiap undang-undang dasar atau konstitusi adalah sebuah sistem norma dasar yang memberikan landasan konstitusional bagi pencapaian tujuan hidup berbangsa dan bernegara sebagaimana digariskan dalam UUD 1945. Sebagai suatu sistem, UUD 1945 adalah susunan kaidah-kaidah konstitusional yang menjabarkan Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, alinea keempat : “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Oleh karena itu, setiap interpretasi dalam suatu ketentuan dalam Pasal-pasal UUD 1945 harus selalu mengacu kepada tujuan hidup berbangsa dan bernegara sebagaimana yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut; Bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem sebagaimana dimaksud, maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh
129 negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Bahwa jika pengertian “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikian dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan. 103 Demikian pula dengan pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan dan diusahakan oleh negara, yang bermuara pada satu tujuan yaitu menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tujuan itu menjadi tanggung jawab negara sebagai bentuk konsekuensi dari hak menguasai negara terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini juga merupakan jaminan dan bentuk perlindungan terhadap sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kesejahteraan umum atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada tiga fokus utama yang dapat menopang pemanfaatan tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat yaitu :
103
PutusanPerkara Nomor 002/PUU-I/2003, http://hukum. ac.id/mk/mk_2_2003. pdf , diakses tanggal 1 Agustus 2013.
unsrat.
130 a. Ketegasan negara dalam melaksanakan redistribusi tanah atas tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara, termasuk dalam hal ini adalah peningkatan fungsi dari lembaga pengelolaan tanah; b. Upaya pemerintah dalam menciptakan sebesar-besar mungkin rakyat dapat mempunyai hak atas tanah; c. Kemampuan negara untuk menerapkan penegakan hukum (law enforcement) guna memenuhi kewajiban para pemilik tanah, pemenuhan fungsi sosial tanah dan pemenuhan kepentingan umum atas tanah. 104 Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 kemudian dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA yang menyebutkan : (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 Pasal ini memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 Pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas, pelaksanaannya dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
104
Winahyu Erwiningsih, op.cit., hal. 103-104.
131 dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan Pemerintah. UUPA sebagai peraturan pelaksana ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mempertimbangkan bahwa negara tidak perlu bertindak sebagai pemilik tanah, namun hanya terbatas sebagai pihak yang menguasai tanah. Hak menguasai negara atas tanah memperoleh legitimasi dikarenakan status negara sebagai pencerminan dari organisasi kekuasaan bangsa yang mengemban tugas yang sama berupa hak dan kewajiban yang berasal dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai konsekuensi, hak menguasai dari negara ini merupakan hak yang tertinggi, yang berarti hak-hak atas tanah yang lain berada di bawah hak menguasai. Akibat tindak lanjut adalah apabila negara menghendaki untuk menguasai tanah yang sudah dibebani dengan hak-hak lain, hak-hak lain ini harus dikalahkan. 105 Wewenang negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang termasuk masyarakat hukum adat dengan tanah terkait erat dengan hubungan hukum antara negara dengan tanah. Hal ini disebabkan karena hubungan hukum antara negara dengan tanah sangat mempengaruhi dan menentukan isi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah serta pengakuan dan perlindungan hak-hak yang timbul dari hubungan-hubungan hukum tersebut. Hukum yang mengatur pengakuan dan
105
Winahyu Erwiningsih, op.cit., hal. 42-43.
132 perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk memberi jaminan kepastian hukum kepada masyarakat.106 Salah satu hubungan hukum antara masyarakat dengan tanah yang diatur oleh negara adalah mengenai kepemilikan hak atas tanah. Hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA yang mengatur mengenai subjek hak milik, sifat hak milik, terjadinya hak milik, pemindahan hak termasuk juga dengan larangan pemindahan hak milik, sampai dengan hapusnya hak milik atas tanah, dimana pengaturan dalam pasal-pasal tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari asas hukum agraria nasional. Dalam UUPA dimuat beberapa asas dari hukum agraria nasional. Asasasas ini karena sebagai dasar, dengan sendirinya harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya. Asas-asas tersebut antara lain : a. Asas kenasionalan b. Asas pada tingkatan yang tertinggi, bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. c. Asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dari padakepentingan perseorangan dan golongan. d. Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. e. Asas hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. f. Asas persamaan bagi setiap warga negara Indonesia.
106
Muhammad Bakri, op.cit., hal. 6-7.
133 g. Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara arif oleh pemiliknya sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan. h. Asas tata guna tanah/penggunaan tanah secara berencana. 107 Dari kedelapan asas yang terdapat dalam UUPA tersebut di atas, tampak bahwa yang menjiwai adanya larangan pemindahan hak milik atas tanah kepada WNA sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA adalah asas kenasionalan dan asas hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Dalam asas kenasionalan, seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia dan seluruh bumi, air, ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara bangsa dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia adalah hubungan yang bersifat abadi. Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia masih ada, dalam keadaan bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.108 Bagi keberlangsungan suatu negara, maka tanah yang merupakan bagian dari wilayah suatu negara memiliki arti yang sangat penting. Tanah dalam wilayah negara Republik Indonesia adalah merupakan hak bangsa Indonesia. Hanya rakyat Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan tanah Indonesia. 107
Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, 2010, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung, hal. 54-60. 108 Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin, op.cit., hal. 54.
134 Sehingga, sudah sangat tepat jika asas hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah juga menjiwai adanya larangan pemindahan hak milik atas tanah kepada WNA.Berdasarkan hak menguasai negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UUPA tersebut, penyelenggara pemerintahan diberikan wewenang untuk mengatur, menyelenggarakan, dan menetapkan berbagai segi peruntukan, penataan, penguasaan tanah dan penggunaan tanah, yang termasuk juga kewenangan dalam menetapkan larangan pemindahan hak milik atas tanah kepada WNA.
4.2. Keberadaan Akta Notaris Yang Isinya dilarang Oleh Pasal 26 ayat (2) UUPA. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata ditegaskan bahwa “Suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuat”. Ketentuan tersebut juga menempatkan suatu akta sebagai alat bukti yang sempurma, artinya bahwa suatu akta yang dibuat berdasarkan dan mengacu pada ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata seperti di atas memiliki kekuatan pembuktian lahiriah, formal dan material untuk membuktikan kebenaran suatu perbuatanperbuatan hukum atau peristiwa-peristiwa hukum bagi pihak-pihak yang membutuhkan pembuktian tentang hal itu dengan tanpa atau tidak memerlukan alat-alat bukti lain. Hal demikian berlaku pula bagi suatu akta notaris yang lazim pula disebut dengan istilah akta notariil apabila dalam proses dibuatnya akta tersebut oleh
135 notaris, selain telah memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata juga UUJN dan ketentuan-ketentuan lain yang diberlakukan bagi dibuatnya suatu akta notaris, seperti misalnya ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam kode etik kenotarisan. Sehingga dalam hal demikian, suatu akta notaris adalah akta otentik, yang oleh sistem hukum pembuktian di Indonesia diberi kedudukan sebagai alat bukti yang sempurna. Keberadaan akta notaris/akta notariil
seperti di atas, dalam praktek
pemilikan/ penguasaan tanah hak milik olehWNA di Indonesia pada umumnya dan di Bali khususnya, akta notaris berpotensi digunakan sebagai salah satu upaya hukum dalam rangka mencapai tujuannya tersebut. Penggunaan akta notaris seperti itu, lazimnya digunakan akta-akta perjanjian nominee dalam berbagai variannya (varian akta), seperti dengan menggunakan akta notariil berupa kuasa mutlak sebagai alat untuk menguasai sacara fisik maupun secara yuridis atas tanah hak milik. Sementara itu, kuasa mutlak berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas Tanah yang isinya mengintruksikan bahwa : 1. Semua Gubernur Kepala Daerah Tingkat I 2. Semua Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Seluruh Indonesia untuk : 2.1.Melarang Camat dan Kepala Desa atau Pejabat yang setingkat dengan itu, untuk membuat/menguatkan perbuatan Surat Kuasa Mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah. 2.2.A) Kuasa Mutlak yang dimaksud dalam Diktum Pertama adalah kuasa yang didalamnya mengandung unsur tidak dapat di tarik kembali oleh pemberi kuasa. B) Kuasa Mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah Kuasa Mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan
136 menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya. Dalam kaitannya dengan penguasaan tanah hak milik oleh WNA dengan menggunakan akta notaris/notariil dalam pembahasan ini adalah menelaah dan mengkaji keberadaan akta-akta (varian akta) tersebut sehubungan dengan larangan yang terkandung dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA yang menentukan, bahwa : Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga Negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Berdarkan pada ketentuan di atas, keberadaan akta notaris yang di dalamnya mengandung adanya suatu perbuatan-perbuatan hukum baik secara langsung ataupun tidak langsung mengakibatkan terjadinya peralihan hak milik atas tanah antara WNI dengan WNA,
merupakan perbuatan melanggar hukum dan
perbuatan-perbuatan tersebut batal demi hukum. Suatu perjanjian nominee dalam varian akta berupa akta perjanjian perikatan jual beli (PPJB) yang diikuti dengan akta menjual atas tanah hak milik antara WNA dengan WNI misalnya, atau dalam bentuk akta lain, sesungguhnya telah mengandung peralihan hak atas tanah dimaksud dari WNI kepada WNA, sekalipun belum dilangsungkan balik namanya untuk menjadi dan ke atas nama WNA tersebut pada kantor Pertanahan. Dikatakan demikian oleh karena perjanjian jual beli tanah yang dibuat dalam bentuk akta notaris (PPJB) dan kuasa
137 menjual, telah mengandung
feitelijke lavering,
yaitu suatu penyerahaan
kekuasaan belaka, suatu perbuatan physik 109. Sehingga dapat merupakan suatu penyerahan nyata atas barang/benda dalam hal ini adalah tanah hak milik tersebut. Selain itu dalam akta-akta tersebut secara yuridis juga mengandung makna telah terjadi peralihan hak milik atas tanahnya dari WNI kepada WNA, sebab ketika kuasa menjual sebagai ikutan akta PPJB digunakan untuk melakukan proses penjualan dalam suatu akta jual beli balik nama (akta yang dibuat oleh PPAT) baik kepada dirinya sendiri maupun kepada pihak lain, itu berarti mekanisme hukum yang menyebabkan kuasa dapat digunakan dan diterima sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama tersebut telah terjadi. Dengan kata lain, sesungguhnya hak atas tanah tersebut sudah melekat pada WNA (pada kuasa menjualnya) sehingga akta kuasa tersebut dapat dijadikan dasar hukum untuk melakukan peralihan hak/menjual baik kepada diri sendiri maupun kepada pihak lainnya. Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa akta perjanjian dan akta jual beli yang dibuat oleh notaris telah mengandung peralihan hak dari penjual kepada pembeli dalam hal ini dari WNI kepada WNA sekalipun yuridische levering, yaitu penyerahan secara yuridis, yakni dicatatkan balik namanya pada sertipikat belum dilaksanakan di Kantor Pertanahan. Artinya sertifikat hak miliknya belum dilakukan pencoretan dari atas nama pemilik (penjual) ke atas nama pembeli sebagai bentuk levering di dalam hal jual beli hak milik atas tanah.
109
Subekti II, op.cit, hal. 12.
138 Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa, dalam suatu perjanjian jual beli sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata, menegaskan bahwa “Jual beli adalah suatu tujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”, mengandung arti bahwa perjanjian jual beli membawa akibat hukum bertimbal balik (obligatoir), bahwa si penjual berkewajiban untuk menyerahkan benda obyek jual beli dan pembeli berkewajiban untuk membayar, untuk menyerahkan uang pembayarannya. Itulah sebabnya orang menyebut perjanjian-perjanjian seperti itu dengan perjanjian obligatoir, maksudnya perjanjian sudah sah jika sudah dipenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata), walaupun obyeknya belum diserahkan. Demikian dalam sistem KUHPerdata dibedakan antara perjanjian obligatoir dengan perjanjian penyerah obyek perjanjiannya. Telah dikatakan di depan, bahwa perjanjian obligatoir mengakibatkan adanya perikatan tertentu. Perikatan tersebut dapat berisi kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). Isi perikatan tersebut adalah untuk memberikan sesuatu ke dalam pemilikannya orang lain (keditur), maka perjanjian tersebut perlu diikuti dengan suatu perjanjian yang lain, yaitu perjanjian kebendaan.Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk mengadakan, mengubah dan menghapuskan hak-hak kebendaan. Karena levering atau penyerahan, menjadikan orang yang menerima penyerahan sebagai pemilik dari barang yang diserahkan dan hak milik adalah hak kebendaan, maka kita menamakan perjanjian penyerahan atau levering suatu
139 perjanjian kebendaan. Itulah sebabnya undang-undang menyatakan bahwa levering atau penyerahan adalah cara untuk memperoleh hak milik (Pasal 584 KUH Perdata). Beralihnya hak milik atas benda yang bersangkutan bararti ada penghapusan hak milik, hak kebendaan dan bagi yang menerima berarti ada hak milik atas suatu benda yang sebelumnya tidak ada padanya. Baginya penyerahan perjanjian kebendaan mengadakan hak kebendaan. Latar belakang seperti ini kiranya kita dapat mempunyai gambaran yang lebih baik tentang levering atau penyerahan hak tagihan. Karena ia menjadikan orang yang menerima penyerahan pemilik dari tagihan yang diserahkan (mendapatkan hak kebendaan) maka perjanjian seperti itu merupakan suatu zakelijke overeenkoms (perjanjian kebendaan). Dari apa yang telah diuraikan di atas kita tahu bahwa penyerahan levering tidak pernah berdiri sendiri. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa untuk sekedar membantu, penyerahan hak milik atas tanah baik secara nyata maupun yuridis merupakan akhir dari suatu perjanjian obligatoir, sehingga akta notaris yang memberikan WNA dasar hukum untuk memiliki/menguasai hak milik atas tanah di Indonesia, yang sesungguhnya merupakan perbuatan yang dilarang UUPA Pasal 26 ayat 2, merupakan perbuatan batal demi hukum. Dengan demikian dapatlah dideskripsikan bahwa akta nominee yang dibuat dengan akta notariil sebagai upaya hukum penguasaan/pemilikan tanah hak milik di Indonesia, terlebih lebih dengan klausula tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa (WNI) secara langsung memberi kewenangan bagi penerima kuasa (orang asing/WNA) untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan
140 hak atas tanah tersebut, yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak (WNI) sehingga pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah. Akta nominee antara WNI denganWNA sebagai suatu perjanjian tidak sah. Karena dari sisi sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata, perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur obyektifnya suatu perjanjian yakni suatu sebab yang halal. Sehingga perjanjian tersebut dibuat dengan tidak mengindahkan norma-norma dan kaedah-kaedah tentang dapat atau tidak dapatnya tanah hak milik diperjanjikan untuk dialihkan haknya kepada WNA, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA. Keberadaan akta nominee seperti itu adalah akta perjanjian yang batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara.
4.3. Akibat Hukum Akta Notaris (Nominee) yang Melanggar Larangan Dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA. Dalam sub bab ini yang dimaksud dengan akibat hukum akta notaris (nominee) yang melanggar larangan dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA adalah akibat hukum yang dapat lahir, selain terhadap keberadaan perbuatan-perbuatan hukum yang terkandung di dalamnya sebagaimana yang telah dibahas pada sub bab di atas, adalah akibat hukum berupa bagaimana status tanah hak milik sebagai obyek perjanjian nominee tersebut. Mengingat berdasarkan ketentuan di atas, tanahnya jatuh kepada Negara serta akibat hukum yang dapat terjadi terhadap notaris yang membuatkan akta nominee tersebut.
141 Dengan tetap mengacu pada dua kasus penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi di atas, Negara dalam hal ini pengadilan memutuskan bahwa perjanjian yang dimaksudkan baik langsung maupun tidak langsung mengalihkan hak milik atas tanah dari WNI kepada WNA adalah batal demi hukum.Hal tersebut mengadung konsekuensi bahwa perbuatan-perbuatan hukum tersebut dari awal memang tidak pernah ada, sehingga secara yuridis mengukuhkan pemilikan WNI atas tanah hak milik yang menjadi obyek perjanjian nominee tersebut. Terlepas dari telah pernah dilakukannya perjanjian-perjanjian nominee yang terbukti dari adanya akta notaris dan hanya oleh hukum dianggap tidak pernah ada sekalipun sejatinya pernah ada, yang penting untuk ditelaah lebih lanjut guna memenuhi ketentuan Pasal 26 ayat (2) yang pada anak kalimat menentukan bahwa : ”…, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.” Telaahan tersebut dianggap penting oleh penulis untuk disampaikan dengan logika hukum bahwa apabila perbuatan hukum yang terkandung dalam perjanjian nominee dianggap batal demi hukum, yang mengandung konsekuensi bahwa perbuatan hukum itu tidak pernah ada yang membawa akibat tiadanya hak WNA atas tanah hak milik dalam perjanjian nominee tersebut.Seyogyanya akibat itu juga harus diberlakukan bagi WNI, sebab yang namanya tidak pernah ada, perbuatan hukum kedua belah pihak dianggap tidak ada.Dengan demikian, hak
142 WNI atas tanah yang menjadi obyek dalam perjanjian nominee seyogyanya dianggap tidak pernah ada. Sekalipun fakta hukum bahwa bukti pemilikan hak atas tanah (sertifikat) yang menjadi obyek perjanjian nominee atas nama WNI, yang secara yurudis formil WNI tersebut adalah pemiliknya menurut hemat penulis tidak serta merta kedudukan tersebut menjadi benar. Mengingat lahirnya sertifikat atas nama WNI tersebut diawali dengan adanya perjanjian nominee yang merupakan perbuatan melanggar hukum dan merupakan perbuatan diputuskan batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridis sepantasnyalah pemilikan WNI terhadap tanah yang menjadi obyek perjanjian nominee itu juga dibatalkan. Argumentasi tersebut perlu disampaikan sejalan dengan norma yang terkandung dalam Pasal 26 ayat (2) di atas, yang menegaskan bahwa tanah-tanah yang lahir dari perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam uraian ini adalah jatuh kepada Negara. Mengingat tanah hak milik tersebut diperoleh dari perbuatan yang melanggar hukum dan guna memenuhi ketentuan Pasal 26 ayat (2) di atas seyogyanya putusan pengadilan memerintahkan pemilikan WNI atas tanah hak milik tersebut adalah batal demi hukum, bukti pemilikannya dalam hal ini sertifikat dikembalikan kepada Negara dalam hal ini BPN dan tanahnya pun diambil oleh Negara. Dengan tetap berdasarkan pada dua putusan pengadilan di atas dimana, hanya menghukum WNA untuk kehilangan hak atas tanah tersebut dan sebaliknya mengukuhkan pemilikan WNI atas tanah tersebut secara langsung atau tidak langsung putusan pengadilan meniadakan kewenangan Negara untuk mangambil
143 alih tanah-tanah yang lahir dari perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana bahasan dalam tesis ini. Kalau tidak mau dikatakan bahwa putusan pengadilan berpotensi melahirkan hukum baru. Sisi lain dari akibat hukum yang dapat terjadi terhadap notaris yang membuat akta nominee, yaitu berupa tanggung jawab seorang notaris dalam hal akta sebagai sebuah produk hukum notaris batal demi hukum sehingga ada pihak yang dirugikan haknya, dalam hal ini tanah yang menjadi obyek perjanjiann nominee jatuh kepada Negara, atau setidak-tidaknya WNA tidak memperoleh tanah sebagaimana dimaksudkan dalam akta perjanjian nominee sebab, dalam dua putusan dalam penyelesaian hukum melalui jalur ligitasi di atas, ternyata WNA tidak memperoleh tanah sebagaimana maksud dibuatnya akta. Pada umumnya, sebuat akta notaris sebagai produk dari pejabat umum berlaku adigium bahwa, penilaian terhadap akta notaris harus dilakukan dengan asas praduga sah (vermoeden van rechtmatigheid)110 atau presumtio lustae cause.111 Asas ini dapat digunakan untuk menilai akta notaris, yaitu akta notaris harus dianggap sah sampai ada pihak yang menyatakan akta tersebut tidak sah. Untuk menyatakan atau menilai akta tersebut tidak sah harus dengan gugatan ke Pengadilan Umum. Selama dan sepanjang gugatan berjalan sampai dengan ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka akta notaris
110
Philipus M. Hadjon, 1993, Pemerintah Menurut Hukum, Cetakan Pertama, Yuridika, Surabaya, hal. 6 111 Paulus Effendi Lotulung, 1993, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah-Seri Ke I : Perbandingan Hukum Administrasi dan Sistem Peradilan Administrasi (Edisi Ke II dengan revisi), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 118.
144 tetap sah dan mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dalam akta tersebut. Gugatan untuk menyatakan akta notaris tersebut tidak sah, maka harus dibuktikan ketidak absahan dari aspek lahiriah, formal dan material akan notaris. Jika tidak dapat dibuktikan maka akta yang yang bersangkutan tetap sah mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Asas ini telah diakui dalam UUJN yang tercantum dalam Penjelasan Bagian Umum ditegaskan bahwa : “Akta notaris sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal sebaliknya secara memuaskan dihadapan persidangan pengadilan.” Asas praduga sah bila dikaitkan dengan akta yang dapat dibatalkan, merupakan suatu tindakan mengandung cacat, yaitu tidak berwenangnya notaris untuk membuat akta secara lahiriah, formal, material dan tidak sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta notaris.Serta asas ini tidak dapat digunakan untuk menilai akta batal demi hukum, karena akta batal demi hukum dianggap tidak pernah di buat. Berdasarkan hal tersebut, maka kedudukan akta notaris : 1. Dapat dibatalkan. 2. Batal demi hukum. 3. Mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tanagn. 4. Dibatalkan oleh para pihak sendiri.
145 5. Dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena penerapan asas praduga sah. 112 Kelima kedudukan akta notaris di atas tidak dapat dilakukan secara bersamaan, yaitu jika telah ada Putusan Pengadilan Umum yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan akta notaris tersebut kehilangan keotentikannya sehingga akta notaris mempunyai kedudukan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta notaris batal demi hukum atau akta notaris dibatalakan oleh para pihak sendiri dengan akta notaris lagi, maka pembatalan akta notaris yang lainnya tidak berlaku. Hal ini berlaku pula untuk asas praduga sah. Cacatnya akta notaris dapat menimbulkan kebatalan bagi suatu akta notaris dan ditinjau dari sanksi atau akibat hukum dari kebatalan dapat dibedakan menjadi: 1. Batal demi hukum. 2. Dapat dibatalkan. 3. Non existent. Akibat hukum dari suatu kebatalan pada prinsipnya sama, yaitu : batal demi hukum, dapat dibatalkan atau non existent yang ketiganya mengakibatkan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak berlaku atau perbuatan hukum tersebut tidak mempunyai akibat hukum. Perbedaannya terletak pada waktu berlakunya kebatalan tersebut,yaitu : Ad.1. Batal demi hukum, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak mempunyai akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut atau
112
Habib Adjie, op.cit, hal. 141.
146 berdaya surut (ex tunc), dalam praktek batal demi hukum didasarkan pada Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ad.2.Dapat dibatalkan, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak mempunyai akibat sejak terjadinya pembatalan dan dimana pembatalannya atau pengesahan perbuatan hukum tersebut tergantung pada pihak tertentu, yang menyebabkan perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan.Akta yang sanksinya dapat dibatalkan, tetap berlaku dan mengikat selama belun ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang membatalkan akta tersebut. Ad.3. Non existent, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak ada atau non existent yang disebabkan karena tidak dipenuhinya essensilia dari suatu perjanjian atau tidak memenuhi salah satu unsur atau semua unsur dalam suatu perbuatan hukum tertentu. Sanksi non existent secara dogmatis tidak diperlukan putusan pengadilan, namun dalam praktek tetap diperlukan putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap dan
implikasinya sama dengan batal demi hukum. 113 Dalam hal lahirnya tanggung jawab notaris terhadap aktanya yang batal demi hukum, dapat digunakan teori pertanggungjawaban seperti, liability dan responbility. Liability merupakan karakter risiko atau tanggung gugat yang bergantung atau yang meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kajahatan, biaya atau kondisi yang
113
Herlien Budiono, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Herlien Budiono I), hal. 363-366.
147 menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Sedangkan responbility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum. Sedangkan istilah responbility menunjuk pada pertanggungjawaban politik. 114 Menurut Kranenburg dan Vegtig diberikan dua teori yang melandasi tanggungjawab tersebut, yaitu : 1. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. 2. Teori fautes de services, yaitu teori yang manyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan riingannnya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung. 115 Kedua teori di atas, dalam hal lahirnya tanggung jawab notaris akibat kebatalan demi hukum akta yang dibuatnya adalah petanggung jawaban fautes personalles, 114 115
Ridwan H.R.,loc.cit. Ridwan H.R., loc.cit.
148 artinya notaris yang membuat akta tersebut bertanggung jawab secara pribadi karena ia menjabat selaku notaris kepada pihak yang mengalami kerugian. Hal tersebut didasari pula oleh argumentasi bahwa jabatan notaris merupakan jabatan yang melekat pada individu/pribadi notarisnya dan bukan merupakan jabatan institusional.Dengan kata lain, jabatan notaris atau seseorang menjadi notaris bukan karena ada suatu instansi/lembaga notaris kemudian seseorang diangkat untukmenjabat di instansi/lembaga tersebut, sebagaimana layaknya jabatan seseorang pada instansi/lembaga pemerintahan. Selain hal itu, teori fautes personalles dapat dijadikan dasar hukum dan rujukan untuk membebani/meminta tanggungjawab kepada notaris bilamana aktanya melahirkan kerugian terhadap kliennya akibat kesalahan notaris dalam mengkonstantir suatu peristiwa/perbuatan hukum konkrit untuk dijadikan suatu peristiwa/perbuatan hukum
di dalam
pembuatan aktanya. Kaitannya dengan kajian dalam tesis ini, kesalahan notaris mengkonstatir akta terdapat ketika notaris yang secara normatif seharusnya mengetahui larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat(2) UUPA, akan tetapi masih tetap bersedia membuat akta yang dimintakan kepadanya dalam bentuk akta nominee. Sehingga apabila akta tersebut melahirkan kerugian bagi pihak WNA, dapat dimintakan pertanggung jawaban personal karena jabatannya untuk memberi ganti rugi sebagaimana layaknya berlaku dalam hukum perdata.
149 BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan Berdasarkan pada pembahasan terhadap topik penulisan pada tesis ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Upaya hukum yang dapat dilakukan dalam hal terjadinya sengketa terhadap perjanjian nominee yang didalamnya mengandung perbuatan-perbuatan hukum peralihan hak milik atas tanah antara WNI dengan WNA adalah diselesaikan melalui jalur non litigasi dan melalui jalur litigasi. Dalam jalur non litigasi, upaya hukum yang ditempuh adalah penyelesaian secara musyawarah mufakat guna tercapainya win-win solution sehingga diantara para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut tidak ada yang merasa dirugikan baik secara materiil maupun secara immateriil. Sebaliknya penyelesaian melalui jalur litigasi dilakukan dengan cara melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri. 2. Terdapat tiga akibat hukum yang lahir dari perjanjian nominee yang berisi tentang peralihan hak atas tanah dari WNI kepada WNA yang melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (2), yaitu : a) Akibat hukum terhadap substansi/isi akta atau terhadap perbuatanperbuatan hukum peralihan hak milik atas tanahnya batal demi hukum dan
149
150 tidak memiliki kekuatan mengikat, karena berdasarkan norma hukum dalam hal ini syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, akta nominee tidak memenuhi syarat keempat yaitu suatu sebab yang halal sebagai syarat obyektifnya. b) Akibat hukum status tanah hak milik sebagai obyek perjanjian nominee tersebut secara yuridis mengukuhkan pemilikan WNI atas tanah hak milik yang menjadi obyek perjanjian nominee tersebut. c) Akibat hukum notaris yang mau membuatkan akta
nominee yaitu
menimbulnya tanggung jawab personal bagi si notaris, apabila akta nominee yang dibuatnya mengakibatkan kerugian maka notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban personal karena jabatannya untuk memberi ganti rugi sebagaimana layaknya berlaku dalam hukum perdata.
5.2. Saran Adapun saran-saran yang dapat diberikan sebagai berikut : 1. Berdasarkan pada penyelesaian kasus melalui jalur litigasi terhadap perjanjian nominee tidak serta merta menyebabkan tanahnya jatuh kepada negara, maka disarankan kepada Pengadilan agar putusan-putusan hakim menghukum bahwa tanah obyek sengketa nominee jaruh kepada negara dan selanjutnya digunakan oleh Negara cq. Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai dasar dalam mengambil tanah-tanah tersebut menjadi tanah negara. 2. Penyelesaian melalui jalur litigasi terhadap perbutan-perbuatan hukum yang mengandung peralihan hak milik atas tanah antara WNI kepada WNA hanya
151 menghukum pihak WNA saja yang tidak berhak dan sebaliknya pihak WNI dikukuhkan pemilikannya atas obyek perjanjian tersebut, sehingga substansi, maksud dan tujuan yang terkandung dalam Pasal 26 ayat (2) tidak tercapai, yaitu tanah tersebut jatuh kepada Negara. Maka disarankan kepada para penegak hukum dalam hal ini Pengadilan agar penyelesaian melalui jalur litigasi juga menghukum WNI yang bersangkutan dengan menyatakan bahwa tanah yang menjadi obyek dalam perjanjian nominee bukanlah haknya, sehingga menjadi jatuh kepada negara. Hal tersebut ditujukan agar norma yang terkandung dalam Pasal 26 ayat (2) dapat terpenuhi, selain untuk mencegah
terjadinya
praktik
serupa
dikemudian
hari.
152 DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU-BUKU : Adjie, Habib, 2009, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Thun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung. Atmadja, I Dewa Gede, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press, Jatim. Badrulzaman, Mariam Darus,2001,Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Cutra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2006, KUHPERDATA Buku III, Alumni, Bandung. Bakri, Muhammad, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Citra Media, Yogyakarta. Boediarto, M. Ali, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justisia, Jakarta. Budiono, Herlien. 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Fuadi, Munir. 1996, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek (Buku III), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Garner, BryanA. 2004, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, Thomson West, United States of Amerika. Ghotur, AnshoriAbdul, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Persepektif Hukum Dan Etika, UII Press, Yogyakarta. Golding, M.P, 2004, The Nature of Law Readings in Legal Philosophy, Columbia University, Random House, New York.
153 Hadjon, Philipus M., 1993, Pemerintah Menurut Hukum, Cetakan Pertama, Yuridika, Surabaya. Handri, Raharjo. 2009, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Harahap, M. Yahya, 1995, Mencari Sistem Alternatif Penyelesaian Sengketa, Varia Peradilan Nomor 21. Harris, J.W,1979, Law and Legal Science (An Inquiry into the Concepts Legal Rule and Legal System), Clarendon Press-Oxford. Harsono, Boed,. 1971, Undang-Undang Pokok Agraria Bagian Pertama, Djambatan, Jakarta. Huijber, Theo, 2007, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Keempatbelas, Yogyakarta. Khairandy, Ridwan, 2003, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Koeswadji, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center of Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta. Komariah, 2002, Hukum Perdata, Universitas Muhammadiah, Malang. Lotulung, Paulus Effendi, 1993, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah-Seri Ke I : Perbandingan Hukum Administrasi dan Sistem Peradilan Administrasi (Edisi Ke II dengan revisi), Citra Aditya Bakti, Bandung. MacCormick, Neil, 2007, Institutions of Law – An Essay in legal Theory, Oxford University Press, New York. Marzuki, Peter Mahmud,2005,Penelitian Hukum Edisi pertama, cet. Ke-2, Kencana, Jakarta. _______, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Meliala, Djaja S., 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nusa Aulia, Bandung. Mertokusumo, Sudikno. 1986, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyakarta. _______, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
154 Muchsin, Koeswahyono Imam, dan Soimin, 2010, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung. Muhammad, Abdulkadir. 1982, Hukum Perjanjian.Alumni, Bandung. Mustafa, Bacshandkk, 1982, Azas-Azas Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Edisi Pertama, Armico, Bandung. Peorwosutedjo, H.M.N. 1992, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Cet. III, Djambatan, Jakarta. Perlindungan, A.P, 1984, Serba Serbi Hukum Agraria, Percetakan Offset Alumni Kotak Pos 272, Bandung. Poerwadarminta,1998, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Prodjodikoro, Wirjono. 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu,Cet VIII, Sumur, Bandung. Ranuhandoko,I.P.M. B.A., 1996, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Ridwan, H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta Rifai, Ahmad. 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persepektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta. Salim, HS., 2003,Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Satrio, J, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Buku I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Satriyo, Wicaksono, Frans. 2008, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, Visimedia, Jakarta. Sidharta, 2006, Hukum Widiasrana, Jakarta.
Perlindungan
Konsumen
Indonesia,
Gramedia
Sihombing, Irene Eka, 2005, Segi-segi Hukum Tanah Nasional dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Universitas Trisakti, Jakarta. Soebekti,R, 1982, Law In Indonesia, Centre For Strategic And International, And Studies, third edition, Jakarta. _______, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta.
155 Subagyo, P. Joko. 1999, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Cet. III, Rineka Cipta, Jakarta. Subekti, 1992, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung. ________, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Sudiarto, H. dan Asyhadie, Zaeni. 2004, Mengenal Arbitrase, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Suherman, E., 1979, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan), Cet. II, Alumni, Bandung. Sumardjono,Maria S.W. 2012, Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara Asing Melalui Perjanjian Nominee, Rapat Kerja Wilayah Ikatan Notaris Indonesia (INI) Pengurus Wilayah Bali dan NTT, Denpasar. Sunggono, Bambang. 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Supramono, Gatot. 2012, Hukum Orang Asing di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Timur. Thamrin, H. Husni. 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, LaksBang Pressindo, Yogyakarta. Vasu, Sucitthra. 2006, Contract Law For Business People, Rank Books, Singapore. Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad. 2000, Hukum Arbitrase, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 20430). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432).
156 Undang-Undang Repubulik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872). Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan Di Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1987 Tentang Pendaftaran Tanah jo Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Instruksi Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.
III. DISERTASI : Djatmiati, Tatiek Sri, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana, Unair, Surabaya.
IV. BAHAN INTERNET : BKPMD (Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah), 2013, Investasi Penanaman Modal Asing di Bali Lampaui Target,http://selebzone.com/ bkpmd-investasi-penanaman-modal-asing-di-bali-lampaui-target.html, diakses tanggal 17 April 2013. Maulanaz Nova, 2012, Jenis-Jenis Hak Atas Tanah Di Indonesia, http://www.google.com/search?q=maulanaz+nova+jenis-jenis+hak +atas +tanah+di+Indonesia&hl=en&sa=x&as_q=&spell=1&ei=YB5tUsDoB4f9r AfLI4CYBg&ved=0CAoQBSgA, diakses tanggal 5 Agustus 2013.
157 Yance Arizona, 2012, Kepastian Hukum, http:/yancearizona.wordpress.com, diakses tanggal 2 Mei 2013.