Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
PEMBINAAN MORAL KEAGAMAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN Oleh: Fathurrohman.1 ABSTRAK Kemerosotan moral yang terjadi, salah satu penyebabnya yaitu keringnya jiwa manusia dari nilai-nilai spiritual, jauh dari ajaran agama. Nilai-nilai moral yang tidak didasarkan pada agama akan terus berubah sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat. Nilai-nilai yang berubah itu akan menimbulkan kegoncangan jiwa, disebabkan tidak adanya pegangan yang pasti. Nilai-nilai yang tetap dan tidak berubah adalah nilai-nilai agama, karena nilai agama itu absolut dan berlaku sepanjang zaman. Keyakinan beragama yang didasarkan atas pengertian yang sungguh-sungguh dan sehat tentang ajaran agama yang dianutnya, kemudian diiringi dengan pelaksanaan ajaran-ajaran tersebut merupakan benteng moral yang paling kokoh.Orang yang tidak pernah mendapatkan didikan agama, tidak akan mengetahui nilai moral yang perlu dipatuhinya dan mungkin tidak akan merasakan pentingnya mematuhi moral. Sebaliknya orang yang kuat keyakinan agamanya, mampu mempetahankan nilai-nilai agama yang absolut dalam kehidupan sehari-hari dan tidak akan terpengaruh oleh tindakan amoral yang terjadi dalam masyarakat serta dapat mempertahankan ketenangan jiwa. Dakwah Islam dan Lembaga Pemasyarakatan (tahanan) memiliki kesamaan peran yaitu sama-sama berfungsi sebagai pembinaan moral keagamaan agar mampu membentuk manusia seutuhnya, untuk mengembalikan fitrah kemanusiaan agar bisa bersosialisasi dengan masyarakat. Kata Kunci: Pembinaan Moral Keagamaan, Mayarakat Tahanan. PENDAHULUAN Hidup pada abad modern dengan teknologi yang semakin canggih, bukan hal yang mudah bagi manusia. Mereka semakin dihadapkan pada persoalan diri sendiri maupun pada lingkungan pergaulan mereka. Keadaan masyarakat dan kondisi lingkungan 1
Dosen FKIP Uneversitas Islam Jember
~ 23 ~
Fathurrohman
dalam berbagai corak dan bentuknya akan berpengaruh, baik langsung maupun tidak langsung terhadap manusia itu sendiri. Perubahan-perubahan masyarakat yang berlangsung secara cepat ditandai dengan peristiwa-peristiwa, seperti: persaingan di bidang perekonomian, pengangguran, keanekaragaman mass media, pada garis besarnya memiliki korelasi relevan dengan adanya kejahatan pada umumnya, termasuk kenakalan anak atau remaja.2 Masalah kriminalitas adalah masalah yang berupa suatu kenyataan sosial yang sebab-musababnya kerap kurang dipahami, karena tidak melihat masalahnya menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional. Tindak kriminalitas dan kejahatan yang semakin merebak di mana-mana tetap menjadi santapan kita tiap hari baik melalui media elektronik maupun media cetak. Kejahatan adalah suatu fenomena sosial yang sejak lama sangat merugikan umat manusia. Meskipun sekarang ini belum dapat memberantasnya secara tuntas, namun usaha untuk mengatasi dan mengurangi harus tetap dilakukan demi ketentraman dan kebahagiaan hidup manusia.3 Pada dasarnya setiap masyarakat yang telah maju dan modern, berkepentingan untuk mengendalikan kejahatan dan menguranginya serendah mungkin.4 Salah satu solusinya dengan pembinaan moral. Pembinaan di sini sangat penting karena maju mundurnya suatu bangsa terletak pada baik-buruknya moral masyarakat tersebut. Masalah moral adalah suatu masalah yang menjadi perhatian orang di mana saja, baik dalam masyarakat yang telah maju, maupun dalam masyarakat yang masih terbelakang, 5 yang mewarnai kehidupan manusia dari masa ke masa. Persoalan moral tetap menjadi salah satu dari sekian banyak kompleksitas persoalan kemanusiaan yang senantiasa harus dicermati secara serius. Sebab, seiring dengan laju modernitas
2 Sudarsono,
Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 27. 3 Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 1. 4Ibid., hlm. 165. 5 Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1968, hlm.
~ 24 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
kompleksitas persoalan manusia pun semakin bertambah.6 Kemerosotan moral yang terjadi, salah satu penyebabnya yaitu keringnya jiwa manusia dari nilai-nilai spiritual, jauh dari ajaran agama. Nilai-nilai moral yang tidak didasarkan pada agama akan terus berubah sesuai dengan keadaan, waktu dan tempat. Nilai-nilai yang berubah itu akan menimbulkan kegoncangan jiwa, disebabkan tidak adanya pegangan yang pasti. Nilai-nilai yang tetap dan tidak berubah adalah nilai-nilai agama, karena nilai agama itu absolut dan berlaku sepanjang zaman. Keyakinan beragama yang didasarkan atas pengertian yang sungguh-sungguh dan sehat tentang ajaran agama yang dianutnya, kemudian diiringi dengan pelaksanaan ajaran-ajaran tersebut merupakan benteng moral yang paling kokoh.7 Orang yang tidak pernah mendapatkan didikan agama, tidak akan mengetahui nilai moral yang perlu dipatuhinya dan mungkin tidak akan merasakan pentingnya mematuhi moral. Sebaliknya orang yang kuat keyakinan agamanya, mampu mempetahankan nilai-nilai agama yang absolut dalam kehidupan sehari-hari dan tidak akan terpengaruh oleh tindakan amoral yang terjadi dalam masyarakat serta dapat mempertahankan ketenangan jiwa. Moral merupakan gambaran dari keadaan jiwa, sikap, prilaku, atau tindakan manusia, karena tidak seorangpun dapat terlepas dari moral bahkan semua manusia selalu terkait dengan moral. Manusia dikatakan bermoral apabila dalam tindakannya sesuai dengan norma agama. Seiring dengan gelombang kehidupan ini, dalam setiap kurun waktu dan tempat tertentu muncul tokoh yang memperjuangkan tegaknya nilai-nilai moral. Termasuk di dalamnya keberadaan para Rasul sebagai utusan Tuhan, khususnya Nabi Muhammad s.a.w. yang memiliki tugas dan misi utama untuk menegakkan nilai-nilai moral.8 Sebagaimana dalam sebuah hadits beliau bersabda yang Artinya:“Bahw asannya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (H.R. Baihaqi dan Hakim).9 Zaenul Arifin, dkk., Moralitas Al-Qur'an dan Tantangan Modernitas, Gama Media, Yogyakarta, 2002, hlm. 2. 7 Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 13-14. 8 Zaenul Arifin, dkk., op.cit., hlm. 1. 9 Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din II, Darul Kitab Al-Islami, Libanon, hlm. 6
~ 25 ~
Fathurrohman
Moral dalam Islam merupakan suatu hal yang penting dan ditekankan dalam kehidupan bermasyarakat. Ini merupakan sebuah aspek yang amat jelas, sekaligus sebagai mustika hidup yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Akhlak (moral) hendak menjadikan manusia orang yang berkelakuan baik, bertindak baik terhadap manusia, terhadap sesama makhluk dan terhadap Allah. Puncak derajat kemanusiaan seseorang dinilai dari kualitas akhlaknya. Bahkan kualitas keimananpun juga diukur dari akhlak. Alat ukur yang paling akurat untuk menilai kemuliaan seseorang adalah kualitas akhlaknya, yang tercermin dari perilaku hidup sehari-hari. 10 Moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan benar salahnya sikap dan tindakan manusia. Etika (moral) sebagai keseluruhan norma penilaian yang digunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana seseorang membaca diri, sikap dan tindakan mana yang harus seseorang kembangkan agar hidupnya sebagai manusia berhasil.11 Dalam pandangan al-Qur'an semua sifat manusia dibagi dalam dua kategori yang secara radikal saling bertentangan, mengingat kenyataan bahwa kategori-kategori tersebut sangat konkret dan secara semantik sungguh tepat untuk disebut dengan predikat baik dan buruk, atau benar dan salah. Secara sederhana dapat dinamakan kelas yang memiliki sifat moral yang positif dan kelas yang memiliki sifat moral yang negatif, secara berturutturut. 12 Baik atau kebaikan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan dan disukai manusia. Kesempurnaan, keharusan, kepuasan, kesenangan, kesesuaian, kebenaran, kesesuaian dengan keinginan, mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang dan bahagia dan merupakan sesuatu yang dicari dan diusahakan manusia. 46. 10 Abdullah Gymnastiar, Pilar-pilar Akhlak Mulia, MQS, Pustaka Grafika, Bandung, 2002, hlm.5. 11 Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, Gramedia, Jakarta, 1993, hlm. 6. 12 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur'an, terj. Mansuruddin Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996, hlm. 165-166.
~ 26 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
Karena semuanya itu dianggap sebagai yang baik atau mendatangkan kebaikan bagi dirinya. Buruk diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, yang tidak seperti seharusnya, tidak sempurna dalam kualitas, di bawah standar kurang dalam nilai, tidak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik dan perbuatan yang bertentangan dengan normanorma masyarakat yang berlaku.13 Pada dasarnya manusia telah dibekali dengan kesadaran moral sebagai fitrah yang dibawanya sejak lahir. Kesadaran moral berdasarkan atas nilai-nilai yang benar-benar esensial fundamental. Perilaku manusia yang berdasarkan atas kesadaran moral, perilakunya akan selalu direalisasikan sebagaimana yang seharusnya, kapan saja dan di mana saja berada. Lembaga Pemasyarakatan sebagai unit pembinaan moral keagamaan mempunyai peran strategis dalam rangka pembentukan manusia seutuhnya, untuk mengembalikan fitrah kemanusiaan agar bisa bersosialisasi dengan masyarakat sebagai manusia yang tidak mengulang pada pekerjaan yang kelam dan mungkar. Dengan demikian berikut akan di jelaskan unsur-unsur pembinaan moral keagamaan di masyarakat tanahanan. PEMBAHASAN 1. Pengertian Moral Keagamaan Perkembangan pesat dalam bidang kehidupan masyarakat sekarang ini disertai dengan perubahan yang membawa kemajuan dan kegelisahan pada banyak orang. Perubahan diberbagai bidang menimbulkan banyak pertanyaan sekitar moral. Banyak orang merasa tidak punya pegangan lagi tentang norma kebaikan. Norma-norma lama terasa tidak menyakinkan lagi, atau bahkan dirasa usang dan tidak dapat dijadikan pegangan sama sekali. Orang juga tidak dapat hanya lari pada hati nurani, 14 karena hati nuranipun merasa tak berdaya menemukan kebenaran apabila norma-norma yang biasanya dipakai sebagai landasan Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta, 1997, hlm. 102-103. Hati nurani merupakan penuntun bagi perubahan-perubahan yang akan datang, mendorong manusia untuk mengerjakan atau menghindarinya, juga sebagai sumber pembenaran diri atau sumber rasa sesal diri. 13 14
~ 27 ~
Fathurrohman
pertimbangan menjadi serba tidak pasti. Norma moral seringkali memang harus dikembalikan sampai pada nilai-nilai yang hakiki, tidak hanya pada soal kepraktisan. Rasionalitas kita usahakan, sehingga orang lain lebih dapat memahami dan ikut berfikir tetang masalahny15 Sebagai seorang yang berketuhanan dan berperikemanusiaan, mau tidak mau rasionalitas kita diperkaya oleh keyakinan iman dan keyakinan tentang martabat luhur manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sebelum membahas tentang moral, akhlak dan etika lebih dalam, penulis akan memberi batasan lebih spesifik lagi, sehingga tidak terjadi perbedaan pemahaman tentang hal ini. Moral berasal dari bahasa latin Mores yaitu jamak dari Mos yang berarti adat kebiasaan. Dr. Purwa Hadiwardoyo, secara sederhana mengartikan bahwa moral adalah menyangkut kebaikan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa moral memuat dua segi, yaitu segi batiniyah dan lahiriyah.16 Orang baik adalah yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Dalam arti bahwa orang yang mempunyai sikap batin yang baik baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula. Dalam Ensiklopedi Pendidikan, moral adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai-nilai hidup (morals), juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menentukan baik/buruk. 17 Oleh karena itu untuk mengukur tingkah laku manusia, baik atau buruk, dapat dilihat dari persesuaiannya dengan adat istiadat yang umum diterima yang meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.18 Jadi moralitas dapat berasal dari satu atau beberapa dari tiga sumber berikut: tradisi atau adat, agama, atau sebuah ideologi. Akhlak, secara etimologi (segi bahasa) berasal dari kata khalaqa, yang kata asalnya khuluqun, yang artinya berarti perangai,
Purwo Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm. 11. 16 Ibid, hlm. 13. 17 Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, Gunung Agung, Jakarta, 1978, hlm. 186. 18 Asmara AS, Pengantar Studi Akhlak, Raja Grafindo, Jakarta, 2000, hlm. 9. 15
~ 28 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
tabiat, adat atau khalaqa, yang berarti kejadian, buatan, ciptaan.19 Jadi secara etimologi, akhlak berarti perangai, adat, tabiat, atau sistem perilaku yang dibuat. Akhlak adalah sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan baik, disebut akhlak mulia, atau perbuatan buruk, disebut akhlak yang tercela. Prof. Dr. Ahmad Amin mengatakan, bahwa akhlak ialah “kebiasaan kehendak”. Berarti bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak. 20 Dalam Ensklopedi Pendidikan dijelaskan bahwa akhlak ialah budi pekerti, watak, kesusilaan (berdasarkan etika dan moral), yaitu kelakukan baik yang merupakan akibat dari setiap jiwa yang benar terhadap khalik-Nya dan terhadap sesama manusia. 21 Akhlak secara kebahasaan bisa baik atau buruk, tergantung pada tata nilai yang dipakai sebagai landasannya, meskipun secara biologis di Indonesia, kata akhlak mengandung konotasi baik. Etika berasal dari bahasa Yunani Ethos yang berarti adat kebiasaan. Artinya etika adalah sebuah pranata perilaku seseorang atau sekelompok orang yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiah masyarakat tersebut.22 Dalam Ensiklopedi Pendidikan diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai-nilai kesusilaan tentang baik dan buruk. 23 Etika sebagai salah satu cabang dari filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan tersebut baik atau buruk, maka ukuran yang dipergunakannya adalah akal pikiran, atau dengan kata lain, dengan akalah orang dapat menentukan baik atau buruknya perbuatan manusia. Baik karena akal menentukannya baik atau buruk karena akal memutuskannya buruk. Dr. H. Hamzah Ya’qub merumuskan, bahwa etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat Zakiah Daradjat, dkk., Dasar-dasar Agama Islam, Depdikbud, 1995, hlm. 261. Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hlm. 62. 21 Soegarda Poerbakawatja, op. cit, hlm. 9. 22 Zakiah Darajat, dkk., op. cit., hlm. 264. 23 Soegarda Poerbakawatja, op. cit., hlm. 82. 19 20
~ 29 ~
Fathurrohman
diketahui oleh akal pikiran. 24 Etika dapat menimbulkan suatu ketrampilan intelektual yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis. Jadi dengan akal budi yang merupakan ciptaan Allah diberikan kepada manusia yang digunakan dalam semua dimensi kehidupan. Dari definisi di atas dapat dilihat persamaan dan perbedaan antara moral, akhlak, dan etika. Persamaannya terletak pada obyeknya, yaitu ketiganya sama-sama membahas baik buruk tingkah laku manusia. Perbedaannya dapat dilihat dari sumber yang menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Akhlak menilai perbuatan manusia dengan tolak ukur ajaran al-Qur’an dan Sunnah, etika dengan pertimbangan akal pikiran dan moral dengan adat kebiasaanya yang umum berlaku di masyarakat. Akhlak bersifat tetap dan berlaku untuk selama-lamanya, sedang moral dan etika berlaku selama masa tertentu disuatu tempat tertentu. Konsekuensinya, akhlak bersifat mutlak, sedangkan moral dan etika bersifat relatif (nisbi). Dasar-dasar ajaran moral dalam Islam adalah al-Qur’an dan Hadist. Firman Allah SWT yang Artinya : Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung, (QS. Al-Qalam: 4). 25 Dalam ayat lain juga dijelaskan sebagaimana Artinya : Dan berbuat baiklah kepada (orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu. (QS: Al-Qasas: 77). 26 b DalamHaditsRasuldisampaikan: Artinya : Orang mu ’min yang paling sempurna imannya ialah orang yang paling baik akhlaknya. (HR. Turmudzi).27 Al-Qur’an dan Hadist sebagai syari’ah yang mendasari ajaran moral, kiranya tidak bisa diragukan lagi, sebab syrai’ah itu bertujuan mendidik pribadi manusia supaya menjadi sumber kebaikan dalam kehidupan masyarakat, dan tidak menjadi pintu keburukan meskipun terhadap seseorang. Juga bertujuan menegakkan keadilan dan menciptakan kemaslahatan bagi semua pihak. Sedangkan keagamaan berasal dari kata Agama yang Hamzah Ya’qub, Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1983, hlm. 12. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, Al-Quran dan Terjemahnya, , Jakarta, Departemen Agama RI,1989, hlm. 960. 26Ibid, hlm. 623. 27 Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Jami ’ Shohih (Sunan At-Tirmidzi, juz 3), Darul Fikr, 209-279 H, hlm. 466. 24 25
~ 30 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
berubah menjadi kata sifat dengan awalan ke-dan akhiran-an. Pengertian agama bila ditinjau dari segi bahasa, tersusun dari dua kata, yaitu a: tidak, dan gama: pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun temurun. 28 Hal demikian menunjukkan pada salah satu sifat agama, yaitu diwarisi secara turun temurun dari satu generasi kegenerasi lainnya. Menurut WJS. Poerwadarminto, agama ialah segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa, dan sebagainya) serta dengan kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian kepercayaan itu.29 Dalam Ensiklopedi Indonesia, dijelaskan bahwa agama ialah sesuatu yang dianggap “suci” yang mendatangkan rasa tunduk manusia kepada-Nya, dan manusia mencintai-Nya dan mempercayai-Nya dan meminta perlindungan kepada-Nya.30 Moral keagamaan adalah suatu tingkah laku sebagai reaksi atau tanggapan yang dilakukan dalam situasi yang dihadapinya berdasarkan atas keberadaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa. Perilaku manusia lahir, karena dirinya selalu terkontrol oleh Tuhan Yang Maha Mengetahui yang selanjutnya ia akan bertanggung jawab dihadapan-Nya. Jadi, iman seseorang itulah yang menjadi sumber moral dalam segala sikap dan tingkah laku. 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Moral Keagamaan
Setiap manusia ingin memberikan suatu pelajaran dan pendidikan moral, supaya generasi penerusnya memperoleh kehidupan yang lebih baik.Karena moral itulah yang akan membentuk tingkah laku dalam segala dimensi kehidupannya. Kedudukan moral dalam kehidupan manusia menempati posisi yang penting sekali, apakah sebagai individu ataupun sebagai anggota masyarakat. Sebab jatuh bangun dan jaya runtuhnya suatu bangsa dan masyarakat tergantung sepenuhnya pada bagaimana moral yang mereka perbuat. Apabila moralnya baik, maka akan sejahtera lahir batin bangsa tersebut. Sebaliknya 28 Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1985,hlm. 9. 29 WJS. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,Jakarta, 1986,hlm. 21. 30 Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1980,hlm.104.
~ 31 ~
Fathurrohman
kalau moralnya buruk tidak dapat di ragukan lagi akan rusak pula bangsa tersebut. Manusia tanpa moral akan merusak diri sendiri, merusak manusia lain serta akan merusak alam sekitarnya. Betapapun tingginya pengetahuan (sains) dan teknologi mereka seperti keadaan manusia dewasa ini, tapi tekonolgi yang tinggi justru menakutkan serta akan menghancurkan manusia sendiri. Manusia diciptakan untuk mengemban tugas pengabdian kepada pencipta-Nya. Untuk mengemban tugas-tugas tersebut, manusia diberi status yang terhormat yaitu sebagai khalifah Allah dimuka bumi, lengkap dengan kerangka dan program kerjanya. Kekhalifahan manusia bukan sekedar jabatan biasa. Dengan jabatan tersebut manusia dituntut bertanggung jawab terhadap kehidupan dan pemeliharaan ciptaan Tuhan dimuka bumi. Untuk itu manusia diharapkan dapat mengemban amanat Allah berupa kreasi atas norma-norma Ilahinya. Sebagaimana Firman Allah SWT: yang Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu befirman kepada para Malaikat : ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?.” Tuhan berfirman :” Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS: Al-Baqarah:30)31 Karena ada suatu pertanggungjawaban manusia dalam hidupnya, senantiasa berjuang meningkatkan kualitas amal shalehnya dan mengurangi serta menekan kualitas dan kuantitas kesalahannya. Dengan demikian manusia mengalami perkembangan dan perubahan terhadap tingkah laku/moralnya. Dimana perkembangan perilaku manusia dipenuhi oleh dua faktor, yaitu : A. Faktor endogen ialah faktor atau sifat yang dibawa oleh individu sejak dalam kandungan hingga kelahiran.32 Faktor ini terjadi dari proses bertemunya ovum dari ibu dan sperma dari Al-Qur’an Terjemahan Departemen Agama, 1998, hlm. Bima Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Andi Offset, Yogyakarta, 1997, hlm. 46. 31 32
~ 32 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
ayah, sehingga faktor ini mempunyai sifat turunan dari orangtuanya. Jadi faktor ini disebut juga faktor pembawaan atau faktor keturunan. Pembawaan-pembawaan terpenting adalah pikiran, perasaan dan kehendak, yang masing-masing terbagi-bagi lagi kedalam beberapa jenis pembawaan yang lebih kecil. 33 Tingkah laku atau aktifitas jiwa pada diri seseorang ditentukan oleh pembawaan-pembawaan ini. Disamping itu memberikan corak pembawaan yang berbeda antara satu dan lainnya, tetapi sikap dan tingkah laku bagi masing-masing orang dapat diubah, misalnya melalui pendidikan dan pengajaran. Faktor endogen, terdiri dari dua macam faktor, yaitu :34 1) Faktor Biologis Pada dasarnya, manusia adalah makhluk biologis yang sampai pada batas tertentu terikat pada kodrat alam. 35 Manusia membutuhkan udara untuk bernafas, kebutuhan akan makanan dan minuman dan istirahat untuk mempertahankan hidupnya. Manusia memerlukan lawan jenis untuk kegiatan reproduksinya dan mengembangkan keturunannya. 2) Faktor Sosiopsikologis Manusia disamping makhluk individu, juga sebagai makhluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Mulai dari lahir sampai meninggal manusia tetap membutuhkan orang lain. Jadi manusia dalam memenuhi kebutuhannya, selalu membutuhkan pertolongan dari orang lain. Ada beberapa karakter manusia muncul diantaranya adalah: 36 Pertama, Motif, yaitu berasal dari kata “ motion “ yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Istilah motif erat hubungannya dengan gerak yaitu suatu gerakan yang dilakukan oleh manusia yang disebut perbuatan atau Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umu Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hlm. 13. 34 Jalauddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, CV. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1986, hlm.42. 35 Sarlito Wirawan Sarwono, op. cit., hlm. 22. 36 Sarlito Wirawan Sarwono, op. cit, hlm. 57. 33
~ 33 ~
Fathurrohman
tingkah laku. Motif dalam psikologi berarti rangsangan, dorongan atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu tingkah laku. Disamping itu dikenal istilah motivasi yang merupakan seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong berupa dorongan yang timbul dalam diri individu, dilanjutkan dengan tingkah laku yang merupakan tujuan akhir daripada gerakan atau perbuatan tersebut. Jadi motif adalah suatu gerakan dorongan yang dapat membangkitkan semangat bagi individu sehingga tercipta tingkah laku dari gerakan atau perbuatan yang merupakan tujuan akhir. Motif tercipta tidak saja dari dalam individu, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan kebudayaan. Kedua, Sikap. yaitu kecenderungan bertindak, berpersepsi, berfikir dan merasa menghadapi obyek, ide, situasi, atau nilai. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi.37 Sikap bukan suatu tingkah laku tetapi merupakan suatu kecenderungan untuk bertingkah laku terhadap obyek sikap. Sikap sebagai penentu, apakah orang tersebut harus melakukan atau tidak terhadap suatu perbuatan. Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif.38Sikap positif seorang individu dalam berprilaku cenderung mendekati, menyenangi, mengharapkan obyek tertentu. Sikap negative mempunyai kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu. Misalnya, sikap generasi tua terhadap tingkah laku generasi muda yang dapat meperlebar jurang pemisah antara kedua generasi tersebut adalah sikap negatif, sedagkan sikap anak kecil terhadap coklat/eskrim adalah sikap positif. Ketiga, Emosi. Ada dua pendapat tentang definisi terjadinya emosi;39 yaitu : Pendapat nativistik mengatakan bahwa emosi-emosi itu pada dasarnya merupakan bawaan sejak lahir; dan Pendapat empiristik mengatakan bahwa Jalaluddin Rakhmat, op. cit., hlm. 49. Sarlito Wirawan Sarwono, op. cit.,hlm. 94. 39Ibid, hlm. 51-52. 37 38
~ 34 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
emosi dibentuk oleh pengalaman dan proses belajar. Emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respon terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari luar. Emosi adalah suatu perasaan senang atau tidak senang, perasaan mendalam, lebih luas dan relatif terarah. Jadi emosi menunjukkan kegoncangan organisme yang disertai oleh gejala kesadaran, keprilakuan dan proses fisiologis. Keempat, Komponen Kognitif, Komponen ini merupakan pengetahuan pikir yang berhubungan dengan 5 (lima) suplemen, yaitu: 40 Pengetahuan, Komponen ini, menimbulkan persepsi yang dipengaruhi oleh faktor pengalaman, belajar, penalaran dan pengetahuan. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki oleh seseorang, akan terjadi keyakinan terhadap obyek tersebut. Keyakinan atau keprcayaan disini tidak ada hubungannya dengan hal-hal ghaib, tetapi hanyalah keyakinan bahwa sesuatu itu “benar” atau “salah” atas dasar bukti, sugesti, otoritas, pengalaman, atau intuisi. Jadi kepercayaan dapat bersifat rasional atau irasional.41 Kepercayaan memberikan perspektif pada manusia dalam mempersepsikan kenyataan, memberikan dasar bagi pengambilan keputusan dan menentukan sikap terhadap obyek sikap.
B. Faktor eksogen Faktor eksogen merupakan faktor yang datang dari luar diri individu, yaitu pengalaman-pengalaman, alam sekitar, pendidikan dan sebagainya. Faktor ini juga timbul dari lingkungan sosial budaya, misalnya pengalaman pada masa kecil, khususnya dalam lingkungan keluarga dan cara kedua orang tua mempengaruhi anak, pengaruh kelas sosial dan berbagai lembaga sosial. Lingkungan memberikan kemungkinan-kemungkinan atau kesempatan-kesempatan kepada individu. Bagaimana individu mengambil manfaat dari kesempatan yang diberikan oleh 40 41
Sukanto, op. cit., hlm. 66. Jalaluddin Rakhmat, op. cit., hlm. 66.
~ 35 ~
Fathurrohman
lingkungan tergantung kepada individu yang bersangkutan. Lingkungan keluarga adalah satu wadah yang pertama sebagai dasar yang fundamental, mempunyai peranan dan berpengaruh terhadap pembentukan pribadi manusia. Kebiasaan dan cara hidup orangtua memberikan warna dasar bagi pembentukan pribadi anak, dan dapat menjurus kearah negatif atau kearah positif baik.42 Pengaruh pendidikan keluarga bagi perkembangan kepribadian manusia adalah paling besar dibanding dengan pengaruh kelompok kehidupan lainnya dalam masyarakat.43 Peranan keluarga terhadap perkembangan hidup manusia menentukan arah proses individualisasi dan proses sosialisasi manusia. Keselarasan antara kedua proses tersebut memungkinkan terbentuknya kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup sekitar. Lingkungan masyarakat juga mempunyai peranan yang tidak kecil terhadap perkembangan pribadi manusia karena dalam masyarakat berkembang berbagai organisasi sosial, politik, ekonomi, agama, kebudayaan, dan sebagainya, yang mempengaruhi arah perkembangan hidup khususnya yang menyangkut sikap dan prilaku. Manusia dengan kemampuan psikologi dan fisiologi (jasmaniah) tidak bisa berkembang dengan moral tanpa adanya proses interaksi dengan lingkungan hidup sekitar, baik berupa kelompok sosial dan cultural maupun berupa lingkungan ekologis (alamiah) dimana anggota masyarakat lainnya hidup berkembang. 3. Narapidana
Pengertian Narapidana Narapidana adalah terpidana yang sedang menjalani pidana penjara. Istilah narapidana bagi mereka yang dijatuhi pidana akan kehilangan kemerdekaannya. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan
42 Mahbub
Masduqi, Pembinaan Moral Bagi Generasi Muda Dalam Rangka Ketahanan Nasional, IAIN Walisongo, Semarang, hlm. 21. 43 H.M. Arifin, Psikologi Dakwah Suatu Penghantar Studi, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm.107.
~ 36 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
tidak boleh diasingkan daripadanya. 44 Maksudnya keberadaan mereka tidak asing dari kehidupan masyarakat. Pidana penjara diartikan sebagai pidana perampasan atau pencabutan, atau pembatasan kemerdekaan seseorang untuk menentukan kehendak (psikis) dalam berbuat sesuatu selama waktu tertentu yang diakibatkan oleh putusan hakim. 45 Pidana penjara yang merampas kemerdekaan manusia patut sekali mendapat perhatian. Disatu pihak terdapat prosentasi yang tinggi dari putusan hakim pengadilan yang menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa, dilain pihak dalam pelaksanaannya menyatakan martabat manusia yang menjadi narapidana serta kedudukannya sebagai warga negara RI. Pidana penjara, menurut sejarah dikenal sebagai reaksi masyarakat akibat adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelanggar hukum. Oleh karena itu pidana penjara juga disebut sebagai pidana hilang kemerdekaan, dimana seseorang diasingkan secara sosial dari lingkungan semula. Hakikat pembaharuan pidana penjara, bukanlah menghapus jenis pidana penjara, tetapi menunju kearah penyusunan upaya baru pelaksanaan pidana penjara agar menjauhkan pengaruh buruk tembok bertalia besi, dan upaya perlakuan cara baru terhadap narapidana yang sesuai dengan semangat hak azazi manusia yang sudah berlaku secara universal. Klasifikasi Narapidana Dalam sistem pemasyarakatan, klasifikasi masih dipergunakan. Di dalam pengawasan pemasyarakatan membagi pengawasan narapidana dalam tiga klasifikasi, yaitu:46 Pertama, Maximum security, diberikan kepada narapidana dalam klasifikasi B-1, residivis, narapidana karena kasus subversi, pembunuhan berencana, perampokan, pencurian dengan kekerasan;
44 .
A. Widiada Gunakaya, SA, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, CV. Armico, Bandung, 1988, hlm. 78. 45 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 125. 46 Harsono CI, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Unipress, Jakarta 1995, hlm. 15-17.
~ 37 ~
Fathurrohman
Kedua, Medium security, diberikan kepada narapidana yang lebih ringan pidananya atau yang masuk dalam kategori pidana berat, tetapi telah mendapatkan pembinaan dan menunjukan sikap serta tingkah laku yang baik selama dalam Lembaga Pemasyarakatan. Ketiga, Minimum security adalah narapidana telah mendapat pembinaan secara khususu dan telah dinyatakan layak untuk mendapat pengawasan ringan. Minimum security, diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu : 1). High consciousness (mereka yang telah memiliki kesadaran penuh) yaitu narapidana yang secara mental spiritual telah mengenal dirinya sendiri, telah mampu memotivasi diri sendiri, mampu berfikir secara positif dan sudah mulai mengembangkan diri sendiri kearah yang positif; 2). Half consciousness, yaitu narapidana yang masih setengah sadar akan dirinya sendiri. Termasuk narapidana yang baru tergugah hatinya ketika tahu akan nilai-nilai hidup yang positif, cara berfikir positif, dan pandangan-pandangan tentang hidup dan kehidupannya; dan 3). Low consciousness, yaitu narapidana yang masih sangat rendah tingkat kesadaran akan diri sendiri. Narapidana ini baru saja masuk Lembaga Pemasyarakatan, sehingga pengenalan terhadap diri sendiri segera diberikan. Lembaga Pemasyarakatan a) Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Lembaga pemasyarakatan yang disebut juga LAPAS adalah suatu tempat bagi penampungan dan pembinaan manusia yang karena perbuatannya dinyatakan bersalah dan diputuskan oleh hakim dengan pidana penjara. Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir di dalam sistem peradilan pidana dan pelaksanaan putusan pengadilan (hukum) di dalam kenyataannya tidak mempersoalkan, apakah seseorang terbukti bersalah atau tidak.47 Sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan, LP melakukan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanaan secara terpadu antara pembinaan, yang dibina, dan masyarakat, untuk meningkatkan kualitas WBP agar menyadari kesalahan, Petrus Irwan P. dan Pandapotan Simonangkis, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Sinar Harapan, 1995, hlm. 63. 47
~ 38 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Lembaga pemasyarakatan sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana (SPP) dengan sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaannya mempunyai tangung jawab merealisasi salah satu tujuan dari SPP, yaitu resosialisasi dan rehabilitasi pelanggaran hukum.48 Lembaga pemasyarakatan berusaha untuk membina narapidana, mengenal diri sendiri menjadi lebih baik, menjadi positif, mengembangkan diri sendiri menjadi manusia yang lebih berguna bagi masyarakat, agama, nusa, dan bangsa. b) Tujuan dan Tanggung Jawab Lembaga Pemasyarakatan Lembaga pemasyarakatan sebagai unit pembinaan moral tentunya mempunyai peran strategis bagi pembinaan narapidana. Lembaga ini memainkan peran sosialnya dalam rangka pembentukan manusia seutuhnya, dalam arti bisa mengembalikan fitrah manusia agar bisa bersosialisasi dengan masyarakat. Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat pembinaan sosial, moral maupun mental para napi sebagai realisasi pembaharuan dari sistem pidana yang dulunya berbentuk penjara, yang mana bertentangan dengan hak asasi manusia, kemudian berubah menjadi pembinaan pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan semangat kemanusiaan. Memahami fungsi LP yang dilontarkan Sahardjo, yang dikutip oleh Petrus Irawan Panjaitan dijelaskan bahwa, pembinaan narapidana meliputi:49 a. Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina. b. Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan. c. Pembinaan berencana, terus-menerus, dan sistematis. d. Pembinan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, berbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan dan kesadaran hukum, ketrampilan, mental spiritual. 48
Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir, op. cit., hlm. 46. hlm. 49-50.
49Ibid.,
~ 39 ~
Fathurrohman
KESIMPULAN Pembinaan agama narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang berbudi pekerti yang baik sesuai dengan ajaran agama. Dan salah satu tujuannya yaitu berusaha kearah memasyarakatkan kembali seseorang yang pernah mengalami konflik sosial, menjadi seseorang yang benarbenar sesuai dengan jati dirinya, sehingga dapat diterima kembali di tengah-tengah masyarakat yang normal, berperilaku yang bermartabat. Dan yang menjadi kunci untuk melakukan pembinaan adalah memperhatikan kepribadian yang bersangkutan, karakter, latarbelakang keluarga, keturunan, dan kemampuan kognitifnya. DAFTAR PUSTAKA A. Widiada Gunakaya, 1988 SA, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, CV. Armico, Bandung. Abdullah Gymnastiar, 2002. Pilar-pilar Akhlak Mulia, MQS, Pustaka Grafika, Bandung. Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Jami’ Shohih (Sunan AtTirmidzi, juz 3), Darul Fikr, 209-279 H Abuddin Nata, 1997. Akhlak Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta. Ahmad Amin, 1991. Etika (Ilmu Akhlak), Bulan Bintang, Jakarta. Anwar Masy’ari, 1985. Akhlak al-Qur'an, Bina Ilmu, Surabaya. Asmaran AS, 2000. Pengantar Studi Akhlak, Raja Grafindo, Jakarta. Bambang Poernomo, 1985. Pelaksanaan Pidana penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta. Bima Walgito, 1997. Pengantar Psikologi Umum, Andi Offset, Yogyakarta. Charris Ahmad Zubair, 1990. Kuliah Etika, CV. Rajawali, Jakarta. Frans Magnis Suseno, 1993. Etika Jawa, Gramedia, Jakarta. H.M. Arifin, 1991.Psikologi Dakwah Suatu Penghantar Studi, Bumi
~ 40 ~
Al-Tatwir, Vol. 2 No. 1 Oktober 2015
Aksara, Jakarta. Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, 1998. Mengenal Mudah Rukun Islam, Rukun Iman, Rukun Ihsan Secara Terpadu, Al-Bayan: Bandung. Hadari Nawawi dan Martini Hadari, 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hamzah Ya’qub, 1983. Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung. Harsono CI, 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Unipress, Jakarta. Harsono. CI., 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Karya Unipress, Jakarta. Harun Nasution, 1985. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, JilidI, UI Press, Jakarta. Imam al-Ghazali, 1998. Ihya Ulum al-Din II, terj. Ismail Yakub, Pustaka Nasional PTE LTD, Singapura. Jalauddin Rakhmat, 1986. Psikologi Komunikasi, CV. Remaja Rosdakarya, Bandung. Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, 1987. Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya, Bina Aksara, Jakarta. Petrus Irwan P. dan Pandapotan Simonangkis, 1995. Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Sinar Harapan. Poerwadarminto, 1986. WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Puwo Hadiwardoyo, 1990. Moral dan Masalahnya, Kanisius, Yogyakarta. Sarlito Wirawan Sarwono, 1976. Pengantar Umum Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta. Soegarda Poerbakawatja, 1978. Ensiklopedi Pendidikan, Gunung Agung, Jakarta. Sudarsono, 1993 Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Rineka Cipta Jakarta, ~ 41 ~
Fathurrohman
Sukanto, 1994. Paket Moral Islam, Indika Press, Solo. Toshihiko Izutsu, 1996. Etika Beragama dalam al-Qur'an, terj. Mansuruddin Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta. Yayasan dan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsir al-Qur’an, 1989. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, Jakarta. Zaenul Arifin, dkk., 2002. Moralitas al-Qur'an dan Tantangan Modernitas, Gama Media, Yogyakarta. Zakiah Daradjat, dkk., 1995. Dasar-dasar Agama Islam, Depdikbud. Zakiah Daradjat, 1968. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta. Zakiah Daradjat, 1966. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, Gunung Agung, Jakarta.
~ 42 ~