IMPLEMENTASI SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA PALU IMPLEMENTATION OF PRISONERS CONSTRUCTION SYSTEM IN SOCIALIZAIION INSTITUTRE OF SECOND CLASS PALU
Mardiana 1, Hamka Naping2, Abduh Ibnu Hajar2 1
2
Mahasiswa PPW Universitas Hasanuddin Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi : Mardiana Sekretariat Distrik Ngguti Kabupaten Merauke HP. 081248623001
ABSTRAK Implementasi Sistem Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan sistem pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu dan mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi penghambat dan pendukung dalam proses pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Palu. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, kuesioner, observasi, dan dokumentasi. Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunaan tabel frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu melalui tahap-tahap pembinaan yakni, tahap admisi dan orientasi, atau pengenalan, tahap pembinaan yang meliputi: tahap asimilasi dan tahap integrasi dengan lingkungan masyarakat belum terlaksana secara optimal. Demikian juga pada pembinaan keterampilan dan pembimbingan kerja narapidana serta pembinaan intelektual belum terlaksana secara optimal. Namun pembinaan bidang keagamaan sudah dapat terlaksana cukup baik. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam upaya pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu kurangnya sarana dan prasarana, kuantitas etnis yang berbeda, kurangnya jumlah petugas keamanan, jumlah warga binaan (penghuni) yang melebihi kapasitas sarana fisik bangunan Lembaga Pemasyarakatan, serta masih kurangnya minat narapidana. Kata Kunci: narapidana, lembaga permasyarakatan, pembinaan
ABSTRACT Implementation of Prisoners Construction System in Socializaition Institute of Second Class Palu The aims of the research are to know the implementation of prisoners construction system in in Socializaiion Institutre of Second Class Palu and to identify the factors effected to the implementation of prisoners construction system in in Socializaition Institute of Second Class Palu. The study is conducted in Socializaition Institute of Second Class Palu. This research is qualitative descriptive. The data are collected through interview, questionnaire, observation, and documentation. The data analyzed descriptive by using table frequency. The results of this research reveals that Implementation of implementation of prisoners construction system in Socializaition Institute of Second Class Palu through construction phases, namely admission and orientation phase or introduction, construction phase involved ; assimilation and integrated phase with society environmental has not implemented optimally. In construction of skill and work supervision to prisoners and intellectual construction, but the construction of religion has implemented well. The factors effected to the prisoners construction in Socializaiion Institute of Second Class Palu are the less of infrastructure, the different etnic quality, the less security officier, the amount prisoners over building capacity. Key word: prisioners, socializaition institute, construction
PENDAHULUAN Dalam rangka mewujudkan visi bangsa Indonesia dimasa depan yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera maka dibutuhkan pelaksanaan pembangunan di berbagai bidang. Pembangunan yang biasa diartikan sebagai proses memajukan atau memperbaiki suatu keadaan melalui berbagai tahap secara terencana dan berkesinambungan bukanlah semata-mata merupakan fenomena ekonomi, akan tetapi harus ditujukan lebih dari sekedar peningkatan kemakmuran masyarakat secara material dan finansial. Pembangunan harus dipandang sebagai proses multi dimensional yang melibatkan reorganisasi dan reorientasi sistem ekonomi dan sosial secara menyeluruh. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan nasional dan peningkatan integrasi sosial masyarakat adalah penanggulangan masalah kejahatan dan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan agar kelak setelah menjalani hukumannya dapat kembali ke tengah-tengah masyarakat dan menjadi warganegara yang baik dan berguna bagi pembangunan bangsa dan negara. Pengertian pembinaan menurut Suparlan (1990) bahwa pembinaan adalah segala usaha dan kegiatan mengenai perencanaan, pengorganisasian,
pembiayaan,
penyusunan
program,
koordinasi
pelaksanaan
dan
pengawasan sesuatu pekerjaan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dengan hasil semaksimal mungkin. Menurut Munandar (1993) bahwa pembinaan pada hakekatnya merupakan upaya dalam mengembangkan dan
meningkatkan pengetahuan, keterampilan
serta sikap yang ditujukan bagi terciptanya manusia yang terampil, cakap dan terpupuk sikap mental yang positif dimana pengembangan diselaraskan
dengan nilai yang dianut. Dan
menurut Thoha (1993) bahwa pembinaan merupakan suatu tindakan, proses, hasil, atau pernyataan menjadi lebih baik. Setelah narapidana bebas karena telah menjalani hukuman dengan suatu proses pembinaan maka sangat diharapkan bahwa narapidana tersebut tidak akan kembali lagi ke Lembaga Pemasyarakatan, akan tetapi nyatanya masih ada juga di antara mereka yang mengulangi perbuatan yang melanggar hukum serupa yang disebut residivis. Hal tersebut disebabkan pembinaan narapidana di Indonesia belum dilakukan lewat tahapan self realisation process, yaitu suatu proses yang memperhatikan dengan seksama pengalamanpengalaman, nilai-nilai pengharapan dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang budaya, kelembagaannya dan kondisi dari mana ia berasal. Selain disebabkan sistem pembinaan yang belum dilakukan melalui tahapan self
realization process sebagaimana diikemukakan di atas, pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan terhambat masalah buruknya fasailitas Lembaga Pemasyarakatan, tidak idealnya rasio antara petugas dan narapidana. Ketidak berhasilan penerapan kebijakan pembinaan narapidana juga terkait dengan perlakuan terhadap narapidana juga masih jauh dari idealisme awal sistem pemasyarakatan,
masih banyak perlakuan di zaman penjara
ditemukan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Padahal tujuan dari pembinaan itu sendiri adalah memelihara dan meningkatkan kecakapan dan kemampuan dalam menjalankan tugas pekerjaan lama maupun baru dari segi peralatan maupun metode, dan tujuan menyalurkan keinginan mereka untuk maju dari segi kemampuan dan memberikan rasa kebanggaan kepada mereka Moenir (1991). Demikian halnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu tidak terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi dalam melaksanakan pembinaan pada narapidana. Sistem pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu nampaknya belum berjalan dengan maksimal. Hal ini dapat dilihat dari adanya sebanyak 46 orang narapidana per Pebruari tahun 2012 yang berstatus residivis. Tingginya angka residivis menujukkan bahwa mantan narapidana belum terbantu di dalam membentuk kemandirian selama berada di Lembaga Pemasyarakatan. Fenomena permasalahan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu tidak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi di daerah lain, yakni terjadinya perkelahian antar narapidana, kaburnya narapidana, dan keengganan mantan napaidana untuk kembali ke tempat tinggal asalnya. Hal ini menunjukkan bahwa narapidana belum terbantu di dalam membangun kembali kepribadiannya dalam proses pembinaan dan tentunya menimbulkan pertanyaan yang mendasar untuk menjadi bahan kajian yaitu apakah dalam pelaksanaan pembinaan selama ini di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu sudah berjalan sesuai dengan kehendak atau idealisme sistem pemasyarakatan atau belum. Maka perlu dilakukan suatu kajian untuk mendeskripsikan pelaksanaan sistem pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Palu dan menidentifikasi faktor-faktor yang menjadi penghambat dan pendukung dalam proses pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan tersebut dan diharapkan lahirlah rekomendasi arahan kebijakan dalam mengoptimalkan pelaksanaan pembinaan narapidana.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu. Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh narapidana Lapas Klas IIA Palu yang berjumlah 398 orang narapidana yang terdiri dari laki-laki sebanyak 380 orang dan perempuan 18 orang. Penarikan sampel yang digunakan adalah simple random sampling, yaitu sampel ditentukan dengan mengambil sampel sebanyak 10% dari jumlah populasi, sehingga responden yang digunakan sebanyak 40 sampel. Metode Pengumpulan Data Dalam memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini digunakan teknik observasi, dokumentasi, interview (wawancara), dan kuesioner. Wawancara dilakukan kepada sumber-sumber (informasi) responden yang terlibat langsung dalam masalah penelitian, yaitu terdiri dari: Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Pegawai Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana, dan Narapidana Residivis serta masyarakat. Analisis Data Data yang telah dikumpulkan, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Kegiatan analisis data dalam penelitian ini adalah mengelompokkan data berdasarkan masing-masing indikator variabel dan hasil responden yang diteliti, kemudian melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah yang telah diajukan. Pengolahan data dilakukan dengan cara tabulasi data, dengan menggunakan tabel analisis distribusi frekuensi dalam bentuk persentase.
HASIL Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang Pemasyarakatan yang termasuk dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Tengah. Tabel 1 menunjukkan jumlah narapidana serta jumlah residivis mengalami kanaikan dari tahun ke tahun, baik secara nominal maupun persentase. Kualifikasi tingkat pendidikan pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu yang ditunjukkan pada tabel 2 masih didominasi tingkat pendidikan SMA yakni terdapat 66 atau 66,67% pegawai yang memiliki tingkat pendidikan SMA, 24 pegawai atau 24,24% yang
memiliki tingkat pendidikan Sarjana (S1), 5 pegawai atau 5,05% yang memiliki tingkat pendidikan Diploma (D3), 3 pegawai atau 3,03% yang memiliki tingkat pendidikan Pascasarjana dan hanya 1 pegawai atau 1,01% yang memiliki tingkat pendidikan SMP. Pada tabel 4 [tabel 6] menunjukkan bahwa narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat belum terlaksana dengan optimal. Dimana pada tahun 2009 rata-rata narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat ada 12,03%, tahun 2010 ada 14,03%, tahun 2011 ada 12,6% dan tahun 2012 ada 3,01%. Tabel 5 [tabel 7] menunjukkan bahwa narapidana yang mendapatkan cuti menjelang bebas (CMB) belum terlaksana dengan optimal. Dimana pada tahun 2009 rata-rata narapidana yang mendapat CMB 9,3%, tahun 2010 ada 13,2%, tahun 2011 ada 10,9% dan tahun 2012 ada 0,50%. Tabel 6 []tabel 8 menunjukkan bahwa narapidana yang mendapatkan cuti bersyarat (CB) belum terlaksana dengan optimal. Dimana pada tahun 2009 rata-rata narapidana yang mendapat CB ada 4,6%, tahun 2010 ada 6,37%, tahun 2011 ada 2,53% dan tahun 2012 belum ada. Sistem pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu mencakup pembinaan kepribadian, kemandirian, asimilasi, dan integrasi narapidana. Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam proses pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu adalah tahap admisi dan orientasi atau pengenalan, tahap pembinaan, tahap asimilasi dan tahap integrasi dengan lingkungan masyarakat. Pada tahap admisi dan orientasi, narapidana akan diteliti tentang segala hal ikhwal perihal dirinya, termasuk sebab-sebab melakukan tindak pidana, tempat tinggal narapidana, situasi ekonominya, latar belakang pendidikan, dan sebagainya. Tahap pembinaan merupakan kelanjutan dari tahap admisi dan orientasi. Tahap ini dilakukan apabila narapidana telah menjalani 1/3 masa pidana sampai 1/2 masa pidananya dengan medium security. Pada tahap asimilasi, narapidana yang diasimilasikan di luar Lembaga Pemasyarakatan belum terlaksana dengan optimal sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 3. Pada tahun 2009 rata-rata narapidana yang diasimilasikan ada 14,8%, tahun 2010 ada 16,5%, tahun 2011 ada 12,6% dan tahun 2012 ada 12,5%. Tahap akhir pada proses pembinaan narapidana dan dikenal dengan istilah integrasi. Apabila proses pembinaan dari tahap admisi dan orientasi atau pengenalan, pembinaan, asimilasi dapat berjalan dengan lancar dan baik serta masa pidana yang sebenarnya telah dijalani 2/3 atau sedikitnya 9 bulan, maka kepada narapidana tersebut diberikan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat. Narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat, dapat dilihat pada tabel 4, 5, dan 6.
Pembinaan yang diterapkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu (pembinaan internal) mencakup pembinaan kepribadian (mental dan spiritual) serta pembinaan kemandirian. Adapun target yang hendak dicapai melalui pembinaan yang diterapkan disini adalah agar narapidana menyadari kesalahan yang telah dilakukannya (insaf) serta berhasil menata masa depan dan ketika selesai menjalani masa pidananya dapat berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Dua pola pembinaan tersebut merupakan realisasi dari pasal 14 dan15 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam upaya pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu dapat dilihat dari segi fasilitas dan kuantitas: etnis yang berbeda, kurangnya jumlah petugas keamanan, jumlah narapidana yang melebihi kapasitas sarana fisik bangunan Lembaga Pemasyarakatan, serta masih kurangnya minat narapidana. Sedangkan dilihat dari segi pelaksanaan pembinaan hambatan yang dihadapi yaitu, dibidang pembinaan intelektual, di bidang keterampilan, di bidang bimbingan kerja, dan pelaksanaan masih ada yang menyimpang dari prosedur yang telah ditatapkan. Selain pembinaan internal, ada juga pembinaan di luar lembaga permasyarakatan atau eksternal. Pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan bertujuan agar narapidana lebih mendekatkan diri dengan masyarakat dan merupakan realisasi dari salah satu prinsip pemasyarakatan yakni selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Bentuk pembinaan ini merupakan pendidikan sosial kemasyarakatan yang diadakan bagi narapidana. Pembinaan secara eksternal yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan. narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Program pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu tidak sepenuhnya mengikuti aturan yang sesuai dengan apa yang termuat dalam Undang-undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia maupun surat–surat edaran. Dalam pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Palu ada beberapa faktor penghambat dan pendukung. Sistem koordinasi dan peran antara lembaga terkait dalampelaksanaan pembinaan narapidana berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan beberapa informan menunjukan bahwa peran Lapas dalam mengkoordinasikan program-program pembinaan dengan unsur-unsur pendukung sistem pemasyarakatan di luar Lapas belum optimal, hal ini
terlihat dari beberapa informan yang menyatakan bahwa peran Lapas perlu ditingkatkan terutama dalam menjembatani kebutuhan-kebutuhan bagi Narapidana sehingga ada kegiatan yang dapat membawa perubahan dan perbaikan terhadap sikap, mental, kepribadian narapidana. PEMBAHASAN Dalam pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana, Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu telah dilakukan dengan pola baru yaitu sistem pemasyarakatan dengan fokus pembinaan adalah reintegrasi sosial sebagai perubahan dari sistem lama yang dikenal dengan sistem
kepenjaraan.
Pembinaan
narapidana
berdasarkan
Sistem
Pemasyarakatan,
pelaksanaanya menganut dasar pembaharuan yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan. Hak asasi manusia harus diperhatikan dan dijunjung tinggi (Sudirman, 2007 :48).Dalam melaksanakan pembinaan dari tahun ke tahun, narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu senantiasa mengalami peningkatan termasuk jumlah residivisnya seperti yang ditunjukkan pada tabel 1. Hal ini merupakan indikasi dari belum berhasilnya pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu sehingga memerlukan perhatian serius dari semua pihak, terutama petugas Lembaga Pemasyarakatan dalam menjalankan tugasnya. Melihat kondisi tingkat pendidikan yang dapat dikatakan relatif rendah dan hal ini tentunya dapat berpengaruh pada kompetensi kerja pegawai dalam melaksanakan tugas pembinaan narapidana,
Dengan pendidikan
yang rendah,
sulit diharapkan dapat
mengembangkan dan mengimplementasi program-program pembinaan narapidana yang bersifat inovatif dan sensitif terhadap kebutuhan narapidana. Sebagaimana ditegaskan oleh Salladien (1998) bahwa pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas, dedikasi, logika dan inovasi tenaga kerja. Tenaga kerja yang berpendidikan akan mampu mengeksploitasi lingkungannya dlam rangka kesejahteraan nusa bangsanya. Sistem pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu mencakup pembinaan kepribadian, kemandirian, asimilasi, dan integrasi narapidana. Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam proses pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu adalah tahap admisi dan orientasi atau pengenalan, tahap pembinaan, tahap asimilasi dan tahap integrasi dengan lingkungan masyarakat.Tahap-tahap tersebut secara umum dapat dikatakan sebagai tahap pembinaan standar yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu dalam narapidana.
Admisi dan orientasi merupakan tahap yang kritis bagi narapidana yang baru masuk ke Lembaga Pemsyarakatan, karena dari dunia luar yang bebas dan luas memasuki situasi lembaga pemasyarakatan yang sempit dan terkekang. Pada tahap ini dilakukan dengan pengawasan yang sangat ketat (maximum security). Narapidana akan merasakan hilangnya kebebasan, pelayanan, dan lain-lain. Sangat diharapkan agar narapidana dapat menyesuaikan diri dalam masa transisi tersebut, sehingga dapat hidup secara normal di lembaga pemasyarakatan. Tahap pembinaan merupakan kelanjutan dari tahap admisi dan orientasi. Tahap ini dilakukan apabila narapidana telah menjalani 1/3 masa pidana sampai 1/2 masa pidananya dengan medium security. Bentuk-bentuk pembinaan diantaranya, pembinaan kepribadian (mental dan spiritual) serta pembinaan kemandirian. Untuk kepentingan pembinaan narapidana akan didata mengenai bakat dan minatnya masing-masing dan juga jenjang pendidikan yang pernah ditempuh. Pembinaan narapidana pada tahap asimilasi dapat dimulai dari 1/2 masa pidana sampai 2/3 dari masa pidananya dan menurut penilaian tim pengamat pemasyarakatan sudah memiliki kemajuan fisik, mental, dan keterampilan. Tahap akhir pada proses pembinaan narapidana dan dikenal dengan istilah integrasi. Apabila proses pembinaan dari tahap admisi dan orientasi atau pengenalan, pembinaan, asimilasi dapat berjalan dengan lancar dan baik serta masa pidana yang sebenarnya telah dijalani 2/3 atau sedikitnya 9 bulan, maka kepada narapidana tersebut diberikan pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat. Pada tabel 4 menunjukkan bahwa narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat belum terlaksana dengan optimal. Dimana pada tahun 2009 rata-rata narapidana yang mendapat pembebasan bersyarat ada 12,03%, tahun 2010 ada 14,03%, tahun 2011 ada 12,6% dan tahun 2012 ada 3,01%. Tabel 5 menunjukkan bahwa narapidana yang mendapatkan cuti menjelang bebas (CMB) belum terlaksana dengan optimal. Dimana pada tahun 2009 rata-rata narapidana yang mendapat CMB 9,3%, tahun 2010 ada 13,2%, tahun 2011 ada 10,9% dan tahun 2012 ada 0,50%. Tabel 6 menunjukkan bahwa narapidana yang mendapatkan cuti bersyarat (CB) belum terlaksana dengan optimal. Dimana pada tahun 2009 rata-rata narapidana yang mendapat CB ada 4,6%, tahun 2010 ada 6,37%, tahun 2011 ada 2,53% dan tahun 2012 belum ada. Pada pembinaan kepribadian keadaan narapidana itu dalam suasana tertekan secara psikologis,
sesorang
secara
relatif
tidak
mampu
mengaktualisasikan
kemampuan
interpretatifnya, malahan sebaliknya relatif mudah muncul kerancuan interpretasi, malahan sebaliknya relatif mudah muncul kerancuan interpretasi. Akibatnya, wujud tindakan aktual
yang sering kita saksikan di dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah perkelahian, merusak atau membakar bangunan Lembaga Pemasyarakatan dan faslitas lainnya, usaha melarikan diri, menyerang petugas dan sebagianya. Fenomena tersebut mencerminkan adanya suatu kendala interaksi diantara tiga komponen pelaku pemasyarakatan, yaitu: petugas pengamanan Lembaga Pemasyarakatan, narapidana baru, dan narapidana senior di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pembinaan yang diterapkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu (pembinaan internal) mencakup pembinaan kepribadian (mental dan spiritual) serta pembinaan kemandirian. Adapun target yang hendak dicapai melalui pembinaan yang diterapkan disini adalah agar narapidana menyadari kesalahan yang telah dilakukannya (insaf) serta berhasil menata masa depan dan ketika selesai menjalani masa pidananya dapat berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Dua pola pembinaan tersebut merupakan realisasi dari pasal 14 dan15 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pembinaan kemampuan intelektual bagi para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Palu belum dilaksanakan secara maksimal. Dimana belum semua narapidana yang memenuhi persyaratan untuk pendidikan KF, Paket A dan Paket B tersebut diikutkan program pembinaan. Sedangkan masalah pembinaan agama, narapidana mengikuti pembinaan ini dengan baik, meskipun tidak semuanya. Yang mengikuti kegiatan pembinaan dengan tekun terbukti dapat merubah sikap dan perilakunya kearah yang lebih baik. Sebagaimana Madjid (2000: 4) menjelaskan bahwa rasa tawakal yang tinggi adalah mereka menginsafi dan mengakui keterbatasan diri sendiri setelah usaha yang optimal dan untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua persoalan dapat dikuasai dan diatasi tanpa bantuan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka, dengan bekal tawakal yang memadai, tidak lagi mengulang kejahatan yang pernah dilakukan sebelumnya, berperilaku sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat, sekaligus diharapkan dapat memiliki bekal keterampilan untuk menjalani kehidupan seperti masyarakat kebanyakan. Upaya pembinaan keterampilan kerja dilaksanakan oleh tujuh petugas Lembaga Pemasyarakatan. Hasil pengamatan penulis menunjukkan bahwa kegiatan tersebut kurang efektif, terlihat misalnya tidak semua anggota kelompok melakukan kegiatan secara rutin, aparat Pembina juga jarang memantau kegiatan para narapidana. Penyebab belum efektifnya keterampilan kerja karena pengorganisasian pekerjaannya belum dilakukan. Menurut Sahardjo (dalam Panjaitan, 1995: 13-14) bahwa mata rantai yang harus jelas diperhatikan
oleh para pembina maupun pemerintah, yaitu bagaimana pembina itu mampu menghasilkan narapidana yang tetap mempunyai mata pencarian setelah keluar dari penjara. Sedangkan upaya pembinaan kemandirian narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan Palu belum mancakup aspek-aspek kemandirian yang sesuai dengan tuntutan dinamika kebutuhan kerja. Pembinaan kemandirian bagi narapidana mestinya mencakup peningkatan kemampuan menyadari permasalahan yang dihadapi, mengetahui potensi dan kelemahan yang melekat pada dirinya, dan menentukan pilihan terhadap berbagai alternatif yang ada dengan memperhitungkan kesempatan dan ancaman yang ada. Program pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu tidak sepenuhnya mengikuti aturan yang sesuai dengan apa yang termuat dalam Undang-undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia maupun surat–surat edaran. Dalam pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Palu ada beberapa faktor penghambat dan pendukung. Hal yang menyebabkan ketimpangan tersebut ada faktor internal dan eksternal. Faktor internalnya yaitu: tidak ada kemampuan pemimpin dalam mendorong motivasi kerja bawahan, kurangnya pemahaman petugas terhadap peraturan-peraturan tentang tata cara pelaksanaan hak warga binaan, peraturan perundang-undangan yang berlaku cenderung berubah dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, sikap acuh Wali Pemasyarakatan, pembebanan biaya proses pengusulan kepada narapidana, rasa putus asa dari narapidana, sistem kepemimpinan tertutup, narapidana melakukan pelanggaran tata tertib. Faktor eksternalnya yaitu: Sulitnya mendapatkan surat keterangan dari Jaksa, letak keluarga narapidana yang jauh dari Lembaga Pemasyarakatan, keluarga korban tidak menandatangani surat perdamaian dan menyatakan menolak narapidana untuk kembali ke tengah masyarakat di tempat tinggal saat peristiwa pidana berlangsung. Begitupun dengan faktor pendukungnya, ada internal dan eksternal. Faktor internalnya yaitu: Sarana dan Prasarana walaupun
terbatas alokasinya namun Pemerintah tetap
menyiapkan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan program pembinaan yang diikuti oleh seluruh narapidana, kesiapan petugas Lapas dalam mendukung program, dan kesadaran narapidana untuk serius dalam mengikuti program pembinaan. Faktor eksternalnya yaitu: Masyarakat yang tinggal di sekitar Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu dapat menerima kehadiran narapidana yang melaksanakan kegiatan asimilasi dalam bentuk olah raga bersama dan kerja bakti, adanya bengkel kerja milik Lembaga pemasyarakatan Klas IIA Palu, dan
aparat Penegak Hukum menyambut baik program pembinaan narapidana dan meningkatkan pengawasan kepada narapidana yang sedang mengikuti kegiatan asimilasi. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan beberapa informan menunjukan bahwa peran Lapas dalam mengkoordinasikan program-program pembinaan dengan unsurunsur pendukung sistem pemasyarakatan di luar Lapas belum optimal, hal ini terlihat dari beberapa informan yang menyatakan bahwa peran Lapas perlu ditingkatkan terutama dalam menjembatani kebutuhan-kebutuhan bagi Narapidana sehingga ada kegiatan yang dapat membawa perubahan dan perbaikan terhadap sikap, mental, kepribadian narapidana. Perlu diketahui juga kalau dukungan dari Instansi (lain) Pemerintah sudah ada, namun belum sepenuhnya belum berjalan dengan efektif karena tidak adanya komunikasi dan koordinasi yang baik dari instansi terkait.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan
yang telah dikemukakan pada pembahasan
sebelumnya, maka beberapa kesimpulan dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) Pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu
dengan cara melalui
tahap-tahap pembinaan, tahap admisi dan orientasi, atau pengenalan, tahap pembinaan yang meliputi : tahap asimilasi dan tahap integrasi dengan lingkungan masyarakat belum terlaksana secara optimal. Demikian juga pada pembinaan keterampilan dan pembimbingan kerja narapidana serta pembinaan intelektual belum terlaksana secara optimal. Namun pembinaan bidang keagamaan sudah dapat terlaksana cukup baik. aktivitas pembinaan narapidana, serta sarana dan prasarana dalam menunjang pembinaan-pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu belum cukup memadai. 2) Faktor-faktor yang berpengaruh dalam upaya pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu dapat dilihat dari segi fasilitas dan kuantitas: etnis yang berbeda, kurangnya jumlah petugas keamanan, jumlah narapidana yang melebihi kapasitas sarana fisik bangunan Lembaga Pemasyarakatan, serta masih kurangnya minat narapidana . Sedangkan dilihat dari segi pelaksanaan pembinaan hambatan yang dihadapi yaitu, dibidang pembinaan intelektual, di bidang keterampilan, di bidang bimbingan kerja, dan pelaksanaan masih ada yang menyimpang dari prosedur yang telah ditatapkan, dan 3) Belum adanya suatu peraturan yang mengatur sistim koordinasi antar lembaga penegakan hukum dan intansi pemerintah serta pihak swasta sebagai mitra Lapas di daerah untuk mengoptimalkan pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu.
DAFTAR PUSTAKA Madjid, N. (2000). Islam, Doktrin dan Peradaban (sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan, dan kemoderenan). Paramadina, Jakarta. Moenir, A.S. (1991). Pendekatan Manusia dan Organisasi Terutama Pembinaan Pegawai. Gunung Agung, Jakarta. Munandar, A. (1993). Pembinaan dan Masalahnya. Gunung Agung, Jakarta Panjaitan, P, dan Simorangkir. 1995. Kinerja Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Sudirman, Dindin .(2007). Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta. Suparlan, YB. (1990). Kamus Istilah Pekerjaan Sosial. Kanisius. Yogyakarta. Thoha, M. (1993). Pembinaan Organisasi. Bina Aksara, Jakarta.
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Persentase Residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Palu Periode Tahun 2009 – 2012 Tahun
Jumlah Narapidana
Residivis
Persentase Residivis (%)
2009
385
38
8,83
2010
392
41
10,46
2011
394
46
11,68
2012
398
46
11,68
Keadaan Jumlah Pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis kelamin, Tahun 2012
IIA Palu
Pendidikan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Persentase (%)
SMP
1
-
1
1,01
SMA
48
18
66
66,67
Diploma
3
2
5
5,05
Sarjana
18
6
24
24,24
Pascasarjana
2
1
3
3,03
Jumlah
72
27
99
100,00
Persentase narapidana di Lapas Palu yang diasimilasikan, Tahun 2009 2012. Tahun
Jumlah narapidana
2009 2010 2011 2012
385 392 394 398
Jumlah narapidana yang diasimilasikan 57 65 50 50
Jumlah
1569
222
Persentase 14,8 16,5 12,6 12,5 56,4
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Persentase narapidana di Lapas Palu yang mendapat PB, Tahun 2012.
2009 -
Tahun
Jumlah narapidana
Jumlah narapidana PB
Persentase
2009 2010 2011 2012
385 392 394 398
48 55 50 12
12,4 14,03 12,6 3,01
Jumlah
3.569
165
42,04
Persentase narapidana di Lapas Palu yang mendapat CMB, Tahun 2009 2012 Tahun
Jumlah narapidana
Jumlah narapidana CMB
Persentase
2009 2010 2011 2012
385 392 394 398
36 52 43 2
9,3 13,2 10,9 0.50
Jumlah
3.569
133
33,9
Persentase narapidana di Lapas Palu yang mendapat CB, Tahun 2009 -2012.
Tahun
Jumlah narapidana
Jumlah narapidana CB
Persentase
2009 2010 2011 2012
385 392 394 398
18 25 10 -
4,6 6,37 2,53 -
Jumlah
3.569
165
13,5