FUNGSI DAN PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A WANITA TANJUNG GUSTA MEDAN
TESIS
Oleh
RITA ULI SITUMEANG 067005059/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRAK
Perubahan sistem penjara ke sistem pemasyarakatan ternyata belum membawa perubahan yang mewujudkan sistem pembinaan ysng bersifat membangun kepribadian bagi setiap narapidana. Belum berjalannya sistem pembinaan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 12 tahun 1995 menimbulkan beberapa permasalahan. Untuk itu permasalahan yang diajukan dalam penelitian Tesis ini adalah (1) Bagaimanakah sistem pembinaan narapidana menurut UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ? (2) Bagaimanakah pelaksanaan sistem pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan Klas IIA Wanita Medan ? (3)Bagaimanakah fungsi dan peranan lembaga pemasyarakatan serta hambatan yang dihadapi dalam pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan Klas IIA Wanita Medan ? Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif empiris dengan didukung oleh data sekunder dan hasil wawancara dengan informan. Sedangkan alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah berpedoman pada wawancara dan hasil penelitian dianalisis dengan cara kualitatif. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pembinaan di lembaga pemasyarakatan wanita Medan belum terlaksana secara optimal sesuai dengan isi UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, disebabkan beberapa hal antara lain : kualitas sumber daya manusia yang belum memadai, sarana dan prasarana serta UU yang mengatur tentang pembinaan narapidana wanita belum ada secara khusus. Selain itu masih kurangnya perhatian pemerintah kota dan daerah Sumatera Utara dalam hal peningkatan pembinaan warganya yang ada di lembaga pemasyarakatan. Untuk itu disarankan agar lembaga pemasyarakatan dalam menjalankan fungsi dan peranannya dalam pembinaan narapidana menggunakan pendekatan persuasif dan pemberian pembinaan agar sepenuhnya mengikuti apa yang diatur dalam UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dan dalam hal pemberian pembinaan, pihak lembaga pemasyarakatan perlu mengadakan kerja sama dengan pihak ketiga.
Kata kunci : Fungsi dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan, Pembinaan, Narapidana Wanita
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRACT In the framework of improving the development of the detainees in the Women Penitentiary Class II A Medan, the government has issued various policies. Skill development is one of the characteristics of the Women Penitentiary Class II A Medan. This is an empirical normative study with sociological juridical approach. The data for this study were obtained through distributing questionnaires and interviews. The data collected were then qualitatively analyzed. The result of this study reveals that the development program for the detainees has not optimally implemented because of several reasons such as inadequate qualified human resources, facilities and infrastructures, the absence of law which especially regulates the development of women detainees that the existing law should be improved, and the city government of Medan and the provincial government of Sumatera Utara still pay less attention to improving the development of their citizens in the penitentiary. It is suggested that the city government of Medan, the provincial government of Sumatera Utara and the central government improve the human resources or the staff serving for the Women Penitentiary through the provision of training and motivation and the development of facilities and infrastructures. Besides, the Women Penitentiary Class II A Medan should continuously look for work associates to meet the objective of development such as to form the detainees to be real men who realize their mistakes, correct themselves, and never do the same criminal act they did before that they can be accepted by their community, actively play their role in development and live naturally as good and responsible citizen. Key words: Development, Law on Penitentiary, Detainee
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkatNya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Fungsi dan Peranan Lembaga Penasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarkatan Klas II A Wanita Tg. Gusta Medan”. Penulisan Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagai persyaratan guna menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, konsentrasi hukum administrasi negara Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Secara khusus manfaat yang diperoleh dari Tesis ini adalah sebagai sarana memperdalam ilmu pengetahuan di bidang hukum administrasi negara. Sedangkan manfaat secara umum Tesis ini dapat digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, baik untuk kepentingan instansi terkait maupun kepentingan masyarakat. Penulisan dan penelitian Tesis ini dapat diselesaikan berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(k) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. Msc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, koreksi dan dorongan, sehingga Tesis ini ini dapat diselesaikan. 4. Bapak Prof. Muhammad Daud, SH selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, koreksi dan dorongan sehingga Tesis ini dapat diselesaikan. 5. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, koreksi dan dorongan sehingga Tesis ini dapat diselesaikan. 6. Ibu. Dr. Sunarni, SH.M.Hum dan Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH.M.Hum selaku penguji. 7. Ibu Martiningsih, Bc.IP, SH selaku Kalapas di Lembaga Pemasyarakatan wanita Medan dan atasan langsung penulis, yang telah membantu dan memberi dorongan dalam penelitian ini. 8. Bapak Drs. Sugihartoyo, Bc, IP, MSi selaku Kadivpas pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI Sumatera Utara yang telah membantu dalam penelitian ini. 9. Ibu Zuraidah Lubis, selaku Kasi Pembinaan di LP. Wanita Medan yang telah membantu dalam penelitian ini. 10. Seluruh Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang ada di dalam Lapas dan yang telah bebas bersedia mengisi kuisioner dan wawancara dengan penulis. 11. Rekan-rekan pegawai yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
12. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan pada Program Magister Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, khususnya teman-teman pada konsentrasi Hukum Administrasi Negara. 13. Para Dosen Pengajar pada Program Magister Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 14. Staff Administrasi pada Program Ilmu Hukum Juli, Fitri dan Fica. Akhirnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada suami yang tercinta Drs. Murtama Panggabean, M.Pd yang penuh kesabaran, kesetiaan, pengertian dan kasih sayang memberikan semangat, motivasi dan doa restu kepada penulis. Demikian juga anak-anakku tersayang, Ruben, Simon, Theo, Bobby Panggabean yang telah memberikan inspirasi dan dorongan buat mama. Belajarlah sungguhsungguh semoga menjadi anak yang berguna bagi agama, bangsa dan negara. Ayahanda dan ibunda serta ibu mertia yang paling penulis hormati dan sayangi. Kakak serta adik-adik ku serta keponakan-keponakanku tersayang. Jadilah kita anak-anak yang berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, orang tua, dan belajarlah bersungguh-sungguh karena masa depan kita masih panjang. Selalulah menghargai waktu dan semoga tercapai cita-cita kalian.
Medan,
Juni 2008
Penulis
Rita Uli Situmeang
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Riwayat Hidup
Nama
: Rita Uli Situmeang
Tempat / Tgl Lahir
: Medan. 17 Mei 1963
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Kristen
Pekerjaan
: PNS pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Medan
Pendidikan
: -
Sekolah Dasar Negeri di Medan (lulus tahun 1976)
-
SMP Swasta di Medan ( lulus tahun 1979)
-
SMA Swasta di Medan (lulus tahun 1982)
-
Fakultas Hukum Universitas Darma Agung di Medan (lulus tahun 1988)
-
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan (lulus tahun 2008)
Medan, Juni 2008 Penulis
Rita Uli Situmeang
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sistem pembinaan narapidana yang dikenal dengan nama pemasyarakatan, mulai dikenal
pada tahun 1964 ketika dalam konferensi Dinas Kepenjaraan di
Lembang tanggal 27 April 1964, Sahardjo yang melontarkan gagasan perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Sebelum Sahardjo mengemukakan gagasan perubahan tujuan pembinaan narapidana itu dalam pengarahannya sebagai Dr.H.C. di Istana Negara pada tanggal 15 Juli 1963. Menurut Sahardjo untuk membina narapidana di perlukan landasan sistem pemasyarakatan, sebagai berikut : “Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara..... Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan......Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat 1 .” Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bukan saja masyarakat yang diayomi dengan adanya tindakan pidana, tetapi juga si pelaku tindak 1
Sahardjo, Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila, Pidato Pengukuhan pada tanggal 3 Juli 1963, di Istana Negara, (Jakarta : UI Press, 1983) hlm 8 dan 15.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
pidana perlu diayomi dan diberikan bimbingan sebagai bekal hidupnya kelak setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, agar berguna di dalam masyarakat. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan Lembaga ”Rumah penjara” secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya. Pandangan lain yang menarik adalah bahwa tobat tidak dilakukan dengan penyiksaan, tetapi dengan bimbingan. Ketika seorang narapidana telah kehilangan kemerdekaan bergerak, hal itu sesungguhnya telah merupakan pidana tersendiri, yang tidak perlu ditambah lagi dengan pidana penyiksaan atau bentuk lain, tetapi harus diberikan bimbingan agar kalau tiba waktunya untuk kembali ke masyarakat, dan akan berguna bagi masyarakat. Pembinaan dan kegiatan bimbingan di dalam lembaga masih perlu dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan makna sistem pemasyarakatan Indonesia untuk meningkatkan usaha-usaha terwujudnya pola upaya baru pelaksanaan pidana penjara dan perlakuan cara baru terhadap narapidana sesuai dengan prinsip pembaharuan pidana. Dibutuhkan kualitas sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana sebagai wadah pelaksana kerja sama tersebut. Agar terciptanya suatu kondisi kerja yang optimal dan keberhasilan program pembinaan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Memang tidak salah jika dikatakan bahwa segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini tunduk pada kodrat alam semesta. Kodrat yang sudah menjadikan segala sesuatu itu ada, kalau ada pria tentu ada pula wanita, dan apabila ada kebaikan tentu ada pula kejahatan dan sebagainya. Secara definitif dapat dikatakan bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan jiwa dan raga yang sangat terbatas, sehingga tidak mengherankan bila setiap saat manusia bisa melakukan kesalahan, baik yang dilakukan dengan kesengajaan maupun diluar kesengajaan. Meskipun secara umum laki-laki lebih banyak yang melakukan tindak pidana, namun dalam kenyataannya wanita yang melakukan tindak pidana cukup banyak pula. Dari data yang ada pada lapas Kelas II A Wanita Medan, bahwa jumlah narapidana wanita Medan pada tanggal 1 November 2007 berjumlah 398 orang yang diberikan bermacam-macam keterampilan dan pembinaan mental rohani dan jasmani. 2 Negara Indonesia juga mengalami perkembangan dalam berbagai bidang diantaranya bidang ilmu hukum, perkembangan ini merupakna sarana untuk menetralisir atau memberikan batasan-batasan agar hak-hak yang dimiliki masyarakat tidak lepas kendali. Kejahatan merupakan fenomena yang kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Masalah kejahatan merupakan hal yang selalu muncul di manapun masyarakat itu berada, sehingga kejahatan itu ada yang menyatakan sebagai
2
Papan Program Pembinaan Narapidana LP Wanita Klas IIA Wanita Medan, tanggal 1 November 2007.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
penyakit masyarakat, sebagaimana yang diungkapkan oleh ”Barnes dan Teters” sebagai berikut : Bahwa kejahatan akan selalu ada dan akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang, seperti halnya dengan manusia yang akan selalu berganti dari tahun ke tahun” 3 Selanjutnya dalam MVT (Memory Van Toelicthing) dinyatakan bahwa : “Kejahatan adalah Rechts Delictum, yaitu suatu perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-undang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum”. 4 Pada hakekatnya akibat dari kejahatan selalu menimbulkan penderitaan pada korban, baik berupa penderitaan fisik maupun psikis, disamping itu juga kerugian materi berupa harta benda. Dalam keadaan demikian dapat dimengerti apabila timbul perasaan tidak senang juga timbul pada diri orang-orang yang mengetahui penderitaan korban. Disamping itu dengan terjadinya tindak pidana, mereka merasa terancam oleh perbuatan yang serupa. Timbullah suatu tuntutan agar pelaku tindak kejahatan dijatuhi sanksi atau pidana. Dalam hal tindak pidana ditengah masyarakat merupakan keharusan yang tidak terelakkan, kenyataan ini menunjukkan bahwa tindak pidana pada hakekatnya merupakan reaksi korban atas terjadinya tindak pidana.
3
Soejono D, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Di Indonesia, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1983) hlm. 1 4 Moelyatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta : PT. Citra Adytya, 1998) hlm. 7
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Akibat dari kejahatan itu seseorang yang melakukannya dapat dipidana yang dapat mengakibatkan orang tersebut akan ditempatkan di lembaga permasyarakatan. Lembaga ini dahulu juga dikenal sebagai ”rumah penjara”, yakni tempat dimana orang-orang yang telah dijatuhi dengan pidana-pidana tertentu oleh Hakim, orang tersebut harus menjalankan pidananya. Mengenai Lembaga Pemasyarakatan Soejono D mengatakan sebagai berikut : Lembaga permasyarakatan (rumah penjara), pada dasarnya merupakan pembicaraan tentang ”sistim hukuman” dan ”pembinaan” di dalamnya., yaitu suatu cara yang merupakan alat untuk mengatasi masyarakat yang melanggar kaidah-kaidah hukum dari suatu negara tertentu.5 Pada masa terdahulu, tempat pemidanaan (lembaga permasyarakatan) merupakan tempat untuk membuat jera bagi pelaku pidana, dengan ditetapkannya pidana-pidana yang bersifat menyiksa/penyiksaan badan, bangunan besi dan batu, dengan ruangan tidur yang diatur sedemikian rupa agar memudahkan pengawasan dan pemeriksaan. Tata kehidupan yang kaku dan berpedoman pada pemeliharaan intern dan wajib kerja. Hak-hak manusia (narapidana) sering dikorbankan, yang katanya demi lebih terpeliharanya keamanan dalam Lembaga Pemasyarakatan atau demi terciptanya tujuan ”penjeraan” dari suatu pidana. Selaras dengan perkembangan sistem pembinaan narapidana tersebut bahwa di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan, pembinaan narapidana itu masih menggunakan pola Top down Approach, dimana pelaksanaan pembinaan sepenuhnya 5
Soejono D, 1998, Op.cit, hlm. 83
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
masih sesuai dengan kebijakan yang ditentukan oleh pembuat kebijakan tanpa memperhatikan apa yang menjadi tuntutan isi dari pada UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, bahwa pada hakikatnya warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu. Selanjutnya
menurut
Menteri
Negara
Pemberdayaan
Perempuan
mengemukakan bahwa : ” Dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa secara umum peningkatan kualitas perempuan di berbagai bidang seperti bidang pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, ekonomi dan ketatanegaraan, politik dan hukum, kesejahteraan dan keadilan gender, penghapusan tindak kekerasan, pengakuan hak asasi manusia, bagi perempuan dan organisasi perempuan yang dilaksanakan melalui program pemberdayaan perempuan”. 6 Menarik sekali bagi peneliti untuk mengetahui tentang implementasi UU No. 12 Tahun 1995 bagi pembinaan wanita khususnya, yang sedang berada di lembaga pemasyarakatan. Bagi wanita melalui upaya pembinaan dalam rangka terwujudnya keutamaan dan keadilan gender, sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah / Lembaga Pemasyarakatan bertanggungjawab atas terwujudnya pembinaan narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan. Dengan terjadinya perubahan dan perkembangan zaman, mengakibatkan terjadi perbaikan dan rehabilitasi secara bertahap mengalami kemajuan. Penjeraan mulai dipandang sebagai sanksi berupa suatu akibat yang tidak dapat dihindarkan dari
6
Khofifah indar parawansa, Rencana Induk Pengembangan Nasional Pemberdayaan Perempuan. (Jakarta : Balai Pustaka, 2000) hlm. 6
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
adanya suatu pencabutan kemerdekaan dan perlakuan terhadap narapidana yang tidak berperikemanusiaan. Sehubungan dengan peraturan lama yang tidak memadai untuk menopang penyelenggaraan pembaharuan pelaksanaan pidana penjara yang antara lain mengenai beberapa kebijakan berupa jenis kelonggaran pidana serta pelaksanaannya di Lembaga Pemasyarakatan, maka dari uraian diatas peneliti ingin menelaah lebih mendalam tentang pembinaan narapidana wanita apakah sesuai dengan kodrat kewanitaan dengan studi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Medan hal ini mengingat bahwa pembinaan terhadap narapidana wanita sangat diperlukan sebagai bekal setelah mereka keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Di Indonesia, perempuan walaupun dia bekas narapidana, tapi mereka juga adalah perempuan yang kedudukannya sama dengan laki-laki. Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari masih dijumpai kesulitan-kesulitan merealisasikan kesamaan hak tersebut. Menurut, Bainar bahwa : ”Pembicaraan mengenai wanita telah mengalami pergeseran yang cukup pada saat konsep ”Gender” digunakan sebagai perspektif. Gender lebih menunjuk kepada relasi dimana laki-laki dan wanita berinteraksi. Dengan cara ini fokus kajian tidak hanya tertuju pada wanita tetapi juga pada laki-laki yang secara langsung berpengaruh di dalam pembentukan realitas hidup wanita. Pendekatan semacam ini telah memberikan nuansa baru, terutama dalam menjelaskan dominasi dan subordinasi atau hubungan-hubungan penting dalam kehidupan wanita secara luas.” 7
7
Bainar, Dari wanita ke Gender,( Jakarta : UI Press, 1998) hlm. 4
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Pada dasawarsa terakhir ini dalam komunitas dan sektor tertentu perempuan telah mendapat tempat yang berarti tetapi secara makro wanita masih berhadapan dengan berbagai masalah. Pemerintah dengan tegas mengakui pembedaan peran secara seksual antara laki-laki dan perempuan menyatakan bahwa peran serta kaum perempuan dalam proses pembangunan harus berkembang selaras dan serasi dengan peran mereka dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga pada umumnya, dan pendidikan generasi muda pada khususnya. Dengan kata lain peran yang diberikan kepada wanita adalah peran ganda dalam artian wanita harus turut bertanggung jawab atas urusan rumah tangga tetapi juga diharapkan aktivitas diluar rumah sebagai anggota mayarakat. Hal ini menguatkan beban perempuan dalam proses pembangunan. Dalam sektor publik, wanita memperoleh berbagai perlakuan yang diskriminatif dan kurang dihargai, juga imbalan/upah yang diberikan sangat berbeda dengan lelaki. Bagi bangsa Indonesia pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekadar pemenjaraan belaka, tetapi juga merupakan suatu rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang melahirkan suatu sistem pembinaan terhadap pelanggar hukum yang dikenal sistem pemasayarakatan. Adapun bentuk dari pembinaan tersebut adalah pembinaan kepribadian dan kemandirian. Bentuk pembinaan kepribadian, pembinaan dimulai sejak tahap awal pembinaan (maximum security) sampai tahap akhir reintegrasi sosial minimum security. Sedangan pembinaan kemandirian atau pemberdayaan napi tersebut agar mendapat ilmu yang mencukupi diberikan pada
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
tahap lanjutan (medium security) sampai tahap akhir pembinaan. Dalam sistem pemasyarakatan, tujuan pemidanaan adalah pembinaan dan bimbingan, dengan tahaptahap admisi/oerientasi, pembinaan dan asimilasi. Tahapan-tahapan tersebut tidak dikenal dalam sistem kepenjaraan. Tahap admisi/oerientasi dimaksudkan, agar narapidana mengenal cara hidup, peraturan dan tujuan dari pembinaan atas dirinya. Di dalam tahap pembinaan, narapidana dibina, dibimbing agar supaya tidak melakukan lagi tindak pidana, di kemudian hari apabila
keluar dari Lembaga
Pemasyarakatan. Narapidana diberikan pendidikan agama, ketrampilan dan berbagai kegiatan pembinaan lainnya. Sedang pada tahap asimilasi, narapidana diasimilasikan ke tengah-tengah masyarakat di luar Lembaga Pemasyarakatan. Asimilasi dimaksudkan sebagai upaya penyesuaian diri, agar narapidana tidak menjadi canggung bila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, apabila telah habis pidananya atau bila mendapat pelepasan bersyarat, cuti menjelang lepas atau pembebasan karena mendapat remisi. Berbeda dengan sistem pemasyarakatan, maka dalam sistem baru pembinaan narapidana, tujuannya adalah meningkatkan kesadaran (consciousness) narapidana akan eksistensinya sebagai manusia. Pencapaian kesadaran dilakukan melalui tahap introspeksi, motivasi dan self development. Kesadaran dimaksudkan agar narapidana sadar akan eksistensinya sebagai manusia, sebagai manusia yang memiliki akal budi, yang memiliki budaya dan potensi sebagai makhluk yang spesifik. Sedang tahap instrospeksi dimaksudkan agar narapidana mengenal diri sendiri. Hanya dengan cara mengenal diri sendiri seseorang bisa merubah dirinya sendiri. Plato mengatakan
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
bahwa tidak ada yang bisa merubah nasib manusia kecuali dirinya sendiri. Perubahan itu dimungkinkan bila manusia itu mengenal akan diri sendiri. Tahap motivasi adalah tahap kelanjutan dari instrospeksi. Dalam hal ini narapidana diberikan teknik motivasi diri sendiri. Teknik memotivasi diri sendiri jauh lebih penting dari pada teknik memotivasi orang lain, sebab jika seseorang bisa memotivasi diri sendiri, ia akan selalu positif dalam memandang semua segi kehidupan. Jika seseorang telah mampu memotivasi diri sendiri, maka ia perlu mengenal pengembangan diri sendiri. Pengembangan diri sendiri dilakukan dalam tahap self development. 8
B. Rumusan Masalah Berpedoman pada judul tesis yang telah ditetapkan maka perumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah sistem pembinaan narapidana menurut UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ? 2. Bagaimanakah
pelaksanaan
sistem
pembinaan
narapidana
di
Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan ? 3. Bagaimanakah fungsi dan peranan Lembaga Pemasyarakatan serta hambatan yang dihadapi dalam pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan ?
8
C.I. Harsono HS. Sistem Baru pembinaan Narapidana, (Jakarta : Djambatan, 1995) hlm 10
& 11.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan ungkapan tentang perlunya diadakan penelitian utuk memecahkan masalah dilakukan oleh peneliti untuk menjawab dan memecahkan persoalannya dan hal itu biasanya kita namakan tujuan penelitian, diakui bahwa tujuan penelitian berangkat dari perumusan masalah yaitu : 1. Untuk mengetahui sistem pembinaan narapidana menurut UU No. 12 Tahun 1995. 2. Untuk mengetahui implementasi atau pelaksanaan sistem pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan wanita Medan. 3. Untuk mengetahui fungsi dan peranan Lembaga Pemasyarakatan serta hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan.
D. Manfaat Penelitian Dari penelitian yang akan penulis lakukan, diharapkan dapat memiliki manfaat secara keseluruhan, antara lain : a. Secara Teoritis Hasil keseluruhan karya ilmiah ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum pidana, dan dapat dijadikan tambahan pengetahuan tentang peranan Lembaga Pemasyarakatan dalam memberikan pembinaan narapidana wanita di lembaga Pemasyarakatan wanita Medan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
b. Secara Praktis Diharapkan bermanfaat bagi proses pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
khususnya
bagi
masyarakat
dan
petugas
Lembaga
Pemasyarakatan. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk membangun bagi Jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam melakukan perbaikan atau pembaharuan sistem pemasyarakatan di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian Keaslian Penelitian peranan dan fungsi Lembaga pemasyarakatan dalam studi di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Wanita Medan, sepanjang pengetahuan peneliti belum ada yang membahasnya, begitu juga setelah diteliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara di Medan belum ada yang meneliti tentang judul ini, jadi baru peneliti yang melaksanakan penelitian. Dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Dalam tesis ini teori yang digunakan berdasarkan dari Roscoe Pound yang mengutamakan hukum pada tujuan-tujuan praktis untuk memperjelas perspektifperspektif yang meluas. Roscoe Pound berpendapat bahwa : Ilmu hukum sebagai seni, yang ditafsirkan secara teleogis, karena ia mengira bahwa hubungan ilmu hukum, sebagai ”social engineering” dapat diwujudkan sebaik-baiknya oleh tujuan-tujuan sosial yang dianut
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
oleh para ahli hukum. Pound lebih mengutamakan tujuan-tujuan praktis dalam memperjelas perspektif-perspektif yang meluas dari sosiologi hukum yang terdiri dari: 1. Menelaah ”akibat-akibat sosial yang aktual dari lembaga-lembaga hukum dan doktrin hukum” dan ” karenanya ”lebih memandang kepada kerjanya hukum dari pada isi abstraknya”. 2. Mengajukan ”studi sosiologis berkenaan dengannya studi hukum untuk mempersiapkan perundang-undangan,” dan karena itu menganggap hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha yang bijaksana guna menemukan cara-cara terbaik untuk melanjutkan. 3. Untuk menciptakan ”efektifitas studi tentang cara-cara membuat peraturanperaturan” dan memberi tekanan kepada tujuan-tujuan sosial” yang hendak dicapai oleh hukum dan bukannya sanksi. 4. Studi ”sejarah hak sosiologis” yakni tentang ”akibat sosial yang telah dihasilkan oleh doktrin-doktrin hukum dan bagaimana cara menghasilkannya”. 5. ”Membela apa yang telah dinamakan pelaksanaan hukum secara adil” dan ”mendesak agar ajaran-ajaran hukum harus dianggap sebagai petujuk-petujuk ke arah hasil-hasil yang adil bagi masyarakat dan bukannya terutama sekali sebagai bentuk-bentuk yang tidak dapat berubah. 6. akhirnya tujuan yang hendak dicapai oleh apa yang tersebut diatas ialah agar lebih efektifnya usaha untuk mencapai maksud-maksud serta tujuan-tujuan hukum”. 9 Akibat dari caranya berfikir itu adalah suatu pertentangan antara keadilan dan ”tata tertib sosial” yang istimewa dan monistic. Dari semua ini timbul suatu tendensi yang dogmatis serta bersifat menyusilakan yang secara langsung mengancam pendirian metode dalam sosiologi hukum. Dalam sistem pembinaan tidak terlepas dari unsur-unsur mengapa manusia melakukan kejahatan. Hans Kelsen berpendapat : bahwa sesungguhnya manusia sekalu bertindak dibawah keterpaksaan tak terelakkan, karena tindakannya selalu ditentukan secara kausal; dan dilihat dari sifatnya, kausalitas merupakan keterpaksaan yang tak terelakkan. Yang dinamakan ”keterpaksaan tak terelakkan” dalam terminologi hukum sebenarnya 9
Alvin S. Johnson; Sosiologi Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hlm. 4:151-152; dan
157.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
hanyalah kasus tertentu dari tekanan tak terelakkan - yakni kasus dimana tata hukum tidak mengenakan tanggungjawab. Ketika imputasi dilakukan, keterpaksaan tak terelakkan selalu muncul. Namun imputasi tidak berlangsung dalam setiap kasus dari keterpaksaan tak terelakkan. 10 Selanjutnya Hans Kelsen mengatakan bahwa adanya kecocokan antara determinisme dan pertanggungjawaban moral hanya dengan mengatakan bahwa pengetahuan tentang determinisme kausal perilaku manusia masih belum memadai – bahwa tidak tahu, atau tidak cukup diketahui penyebab-penyebab ini. Manusia tidak akan berada dalam posisi membebankan tanggungjawab kepada seseorang atau perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya; karena itu ada pepatah mengatakan: ”Memahami segala hal berarti
memaklumi segala hal.” Memahami perbuatan
manusia berarti mengetahui sebab-sebabnya; memaklumi seseorang berarti mencabut tanggung jawab atas perbuatannya, menolak menyalahkan atau menghukum dirinya, menolak mengaitkan perbuatannya dengan sanksi dan ini berarti menolak melakukan imputasi. Namun dalam banyak kasus dimana penyebab dari perbuatannya diketahui dan karenanya perbuatannya dipahami, imputasi tidaklah ditiadakan, dan perbuatan itu tidak dimaklumi atau dimaafkan. Pepatah tadi bersandar pada kesalahan anggapan bahwa kausalitas meniadakan imputasi. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa yang memungkinkan dilakukannya imputasi bukanlah kebebasan, yakni non-determinasi (tidak ditentukannya) kehendak, melainkan lawan azasnya, yakni determinabilitas kausal dari kehendak. Orang tidak mengimputasikan (mengalamatkan) suatu sanksi kepada perbuatan seseorang 10
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, (Bandung : Nuansamedia & Penerbit Nuansa, 2006), hlm. 111-113
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
individu karena dia bebas, namun individu itu bebas karena seseorang mengimputasikan sanksi imputasi kepada perbuatannya. Imputasi dan kebebasan (dalam hal ini) pada dasarnya saling terkait. Seperti yang telah dijelaskan dalam kaitan yang lain, suatu norma dapat melarang perilaku yang memiliki akibat tertentu (misalnya pembunuhan), dan suatu norma dapat memerintahkan perilaku tertentu yang tidak hanya dikondisikan oleh perilaku individu lain. Namun juga oleh faktafakta lain, misalnya norma moral untuk mencintai tetangga. Jika seseorang tengah menderita seharusnya di bantu melepaskan dari penderitaan. Atau Norma Hukum, jika seseorang dianggap membahayakan masyarakat karena dia menderita sakit mental, dia seharusnya diasingkan secara paksa. Imputasi yang dilakukan berdasarkan prinsip retribusi (dan yang merepresentasikan tanggung jawab moral dan hukum) hanya merupakan kasus imputasi yang sangat khusus, meski juga sangat penting, dalam arti yang lebih luas yakni, kaitan antara perilaku manusia dengan kondisi dimana perilaku ini diperintahkan oleh sebuah norma. Latar belakang mengapa wanita harus dibina adalah masih banyaknya wanita yang terpuruk dan kualitas hidupnya rendah. Seperti dalam hal kesehatan, pendidikan atau kesempatan mencari nafkah. Padahal menurut Meutia, sesunggugnya harus di lihat perempuan sebagai aset, sumber daya manusia yang kreatif dan mau maju. 11
11
Meutia Farid Hatta Swasono, 100 Wanita terinspiratif 2008, (Jakarta : Majalah Wanita Kartini Edisi Khusus) hlm 63; 5 Mei 2008
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
a. Pembinaan Pembinaan narapidana wanita tidak terlepas dari wanita yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita, sebab walaupun narapidana wanita Medan berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan mereka tetap wanita, wanita yang masih mempunyai masa depan kelak dikemudian hari wanita-wanita yang berada di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Wanita tetap ditangani sebagai wanita karena yang hilang hanyalah kemerdekaan bergeraknya. Pada dasarnya, tindakan pemidanaan (penahanan dan pemenjaraan) adalah ”upaya paksa” terhadap seseorang yang bertentangan dengan hak asasi manusia, namun karena dijamin oleh peraturan perundangan, maka tindakan itu sah menurut hukum. Lembaga pemasyarakatan dalam hal ini berfungsi sebagai tempat pelaksanaan ”upaya paksa” tersebut. Sebagai tempat di lakukan pemidanaan, lembaga pemasyarakatan, melaksanakan fungsinya berdasarkan teori pemidanaan
yang
berlaku. Sebagaimana di ketahui, teori pemidanaan dari masa ke masa mengalami perubahan. Pada zaman dahulu, pidana dijatuhkan dengan tujuan ”pembalasan”. Keadilan masyarakat dicapai melalui pembahasan yang setimpal, mata di balas dengan mata, dan gigi dibalas dengan gigi (an eye for an eye, and a tooth fot a tooth ; Mozaik Doktrin). Pada masa
kemudian, disamping masih menganut teori
pembahasan, tujuan pemidanaan berkembang dalam bentuk penjeraan (deterence),
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
baik yang ditujukan kepada di pelaku (special deterence) maupun kepada anggota masyarakat (general). 12 b. Tujuan Pembinaan Gagasan
Sahardjo
kemudian
dirumuskan
dalam
konferensi
Dinas
Kepenjaraan di Lembang Bandung, dalam sepuluh prinsip pembinaan dan bimbingan bagi narapidana. Prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan adalah : 1.
Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat. 2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara. 3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan. 4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga. 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara. 7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas Pancasila. 8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat. 9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan. 10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. 13 Ke sepuluh prinsip-prinsip bimbingan dan pembinaan narapidana, lebih dikenal sebagai Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan. Ada tiga hal yang dapat ditarik dari kesepuluh Prinsip Pemasyarakatan, yaitu : sebagai tujuan, proses
dan
pelaksanaan pidana penjara di Indonesia. Sebagai tujuan, proses dan pelaksanaan
12
Marjaman, Warta Pemasyarakatan, Jakarta : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Desember 2006, hlm. 3. 13 C.I. Harsono, Op.cid, hlm. 2-3.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
pidana penjara di Indonesia, pemasyarakatan telah berjalan lebih dari seperempat abad. Dalam usianya yang semakin dewasa, pemasyarakatan baik sebagai tujuan, proses, pelaksanaan pidana maupun sebagai disiplin ilmu, telah membuktikan kemandiriannya, sekaligus telah membuktikan keberhasilan dan kegagalannya. Sebagaimana di ketahui bahwa teori pemidanaan dari masa ke masa mengalami perubahan. Di mana pada zaman dahulu pidana dijatuhkan dengan tujuan pembalasan. Keadilan masyarakat hanya dicapai melalui pembalasan yang setimpal. Pecah kulit, atau diikat dan ditarik dengan beberapa kuda dari semua arah, di samping juga pengurungan dalam sel, merupakan bagian dari penjeraan seseorang. Maksud mendapatkan ”rasa keadilan” si korban dan masyarakat pada kedua zaman tersebut dilakukan melalui perlakukan fisik/kekerasan, yang lebih cenderung termasuk kategori penyiksaan. Pada masa selanjutnya sudah tidak ada lagi berorientasi kepada tujuan pembalasan/penjeraan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu tujuan pemidanaan berubah pada orientasi rehabilitasi (perbaikan, penyembuhan), namun masih dipandang berorientasi pada individu dengan mengesampingkan kepentingan masyarakat secara umum. Oleh karenanya, pada masa kini pemidanaan diarahkan lebih pada tata perlakuan yang bertujuan bukan saja agar para terpidana bertobat dan tidak melakukan tindak pidana lagi, melainkan
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
juga melindungi masyarakat dari tindak kejahatan. Dimana tata perlakuan ini dilaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan (berlaku sejak 27 April 1964). 14 Dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan menyatakan
bahwa
sistem
pemasyarakatan
disamping
bertujuan
untuk
mengembalikan warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan diulangi tindak pidana oleh narapidana. Demikian juga Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan adalah merupakan salah satu tempat untuk membina, pembinaan narapidana wanita.
2.
Kerangka Konsepsi Beberapa Pengertian : 1. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalah, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. 15 2. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk
melaksanakan
pembinaan
narapidana
dan
anak
didik
pemasyarakatan. 16
14
Nugroho, Warta Pemasyarakatan, Jakarta; Direktorat Jendral Pemasyarakatan, Maret 2007, No. 24 hlm 19. 15 UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat 2, hlm 3. 16 UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat 3, hlm 3.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
3. Warga
Binaan
Pemasyarakatan
adalah
narapidana,
anak
didik
pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan.17 4. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. 18
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian : Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan hukum normatif empiris sebab penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturanperaturan
dan perundang-undangan dan bahan hukum tertulis. 19 Secara empiris
dikatakan karena dalam penelitian juga dilakukan penelitian lapangan (field research) untuk melihat pelaksanaan sistem pembinaan narapidnaa di Lembaga Pemasyakatan Klas II A Wanita Medan.
2. Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa dokumen-dokumen hukum tertulis ditambah dengan dokumen-dokumen yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan.
17
UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat 5, hlm 3. UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat 7, hlm 3. 19 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996) hlm.13 18
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
3. Alat Pengumpulan Data a. Studi dokumen dilakukan dalam studi kepustakaan meliputi : 1) Bahan hukum primer ; yaitu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah undang-undang No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan berikut peraturan pelaksanaan lainnya, kepmen, juklak, juknis. 2) Bahan hukum sekunder ; yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan-bahan hukum primer berupa buku-buku yang berkaitan dengan objek yang diteliti, majalah, jurnal ilmiah, surat kabar dan internet juga menjadi tambahan dalam penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian. 3) Bahan hukum tertier ; yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum dan ensiklopedi. b. Pedoman Wawancara (interview) ; Narasumber yang terdiri dari : 1) Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan 2) Kasi pembinaan LP wanita Medan 3) Kepala Devisi pemasyarakatan pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI Sumatera Utara di Medan 4) Narapidana Wanita 5) Mantan narapidana 5 orang
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
4. Analisa Data Setelah data terkumpulkan, maka data tersebut diolah dan dianalisis melalui pendekatan kualitatif. David D. Willem seorang peneliti yang banyak menggunakan pendekatan kualitatif menyatakan bahwa pendekatan kualitatiflah yang cocok dan tepat digunakan terhadap penelitian yang menghendaki diskripsi dan konklusi yang kaya konteks. 20 Sebagi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, maka analisis datanya bergerak secara induktif, yaitu dari data/fakta menuju tingkat abstraksi yang lebih tinggi. Untuk itu dalam kerja menganalisis datanya dimulai dari membuat deskripsi atau gambaran fakta-fakta hukum dalam pembinaan narapidana dan pemberdayaan narapidana wanita untuk meningkatkan peranan dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan, kemudian dikaitkan dengan peraturanperaturan serta edaran-edaran tentang pembinaan narapidana atau pemberdayaan narapidana wanita hingga mencapai suatu analisis tentang peranan dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan dalam memberikan pembinaan narapidana wanita.
20
Sarifah Faisal, Penelitian Kualitatif; Dasar-Dasar dan Aplikasi, (Malang, YA3, 1990) hlm
21-22
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Selanjutnya disampaikan di sini bahwa karena pendekatan yang digunakan merupakan pendekatan kualitatif, maka analisis terhadap datanya telah dilakukan sejak dari awal pekerjaan pengumpulan data. 21 Guna menghindari bertumpuknya data yang dikhawatirkan akan dapat mempersulit pemahaman kembali akan makna, bila dihubungkan dengan masalah penelitian. Mengenai penyajian data dalam penelitian ini dilakukan secara bersamaan dengan analisisnya yang dalam bentuk uraian, tidak dilakukan secara terpisah antara keduanya.
20 Hadari Nawawi dan Murtini Hadyri Tentang proses kerja menganalisa data dalam penelitian kualitatif ini lebih lanjut dapat dilihat, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992), hlm. 213
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB II SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA MENURUT UU NO. 12 TAHUN 1995
A.
Landasan Hukum Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Hukum tidak terlepas dari kehidupan manusia, maka kalau membahas
mengenai hukum maka tidak terlepas membicarakan tentang kehidupan manusia. Hukum itu pada hakekatnya adalah kekuasaan. Hukum itu mengatur, mengusahakan ketertiban dan yang dapat membatasi ruang gerak individu. Tidak mungkin hukum menjalankan fungsinya itu kalau tidak merupakan kekuasaan. Hukum adalah kekuasaan-kekuasaan yang mengusahakan ketertiban. Sekalipun hukum itu kekuasaan, mempunyai hak untuk memaksa dan berlaku sebagai sanksi, namun hendaknya di hindarkan jangan sampai menjadi hukum kekuasaan, hukum bagi yang berkuasa. Karena ada penguasa yang menyalah gunakan hukum, maka muncullah istilah ”Rule of law”. Rule of Law berarti pengaturan oleh hukum. Jadi yang mengatur adalah hukum, hukumlah yang memerintah atau yang berkuasa. Demikian ini berarti supremasi hukum. Rule of Law ini jangan diartikan secara singkat sebagai ”Govermance not by man but by law”. Perlu diingat bahwa hukum adalah perlindungan kepentingan manusia, sehingga Govermance not by man but by law “ tidak boleh diartikan bahwa manusia pasif sama sekali dan menjadi budak hukum. 22
22
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum dan Pembinaan di Indonesia, (Jogyakarta : Mandar Maju, 1999) hlm 20-21.
24 Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Bangsa Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum, maka segala produk atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah harus berlandaskan pada hukum. Dalam kaitannya dengan peranan dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan dalam penerapan pembinaan bagi narapidana wanita sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat. Landasan hukum yang dipakai adalah : 1. Pancasila sila ke lima (Kemanusiaan yang adil dan beradab) 2. UUD 1945 (Dalam pembukaan Undang-undang Dasar) 3. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) 4. KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) 5. UU No. 12 Tahun 1995 (Tentang Pemasyarakatan) 6. PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. 7. PP No. 57 tahun 1999 tentang syarat dan tata kerja sama penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. 8. Per. Men Hukum dan Hak Azasi Manusia RI. No. M.09.PR.07.10 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM RI. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merupakan tonggak sejarah baru bagi Pemasyarakatan. Dengan Undang-undang ini maka diakhiri segala atribut hukum kolonial yang mengatur mengenai kepenjaraan yang dalam kenyataan telah lama ditinggalkan dan diganti dengan sistem Pemasyarakatan. Untuk itu selanjutnya berbagai konsepsi dan sistem kemasyarakatan yang selama 30 tahun lebih dilaksanakan berdasarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat ”ad-hoc”, dengan
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
undang-undang ini diberi landasan hukum yang kuat baik ditinjau dari segi formal maupun material penyelenggaraan sistem Pemasyarakatan dalam rangka mewujudkan politik kriminal modern yaitu mempersiapkan warga binaan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab, berguna bagi keluarga dan masyarakat pada umumnya. Untuk mencapai hal-hal tersebut, undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan memuat konsepsi sebagai berikut : 1. Sistem Pemasyarakatan sebagai pengganti sistem Kepenjaraan. 2. Petugas Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. 3. Petugas Pemasyarakatan sebagai pejabat fungsional. 4. Pengaturan secara tegas mengenai hal-hal warga binaan Pemasyarakatan.
B.
Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia Dengan Sistem Pemasyarakatan Di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 12 tahun 1995, tentang
pemasyarakatan disebutkan bahwa pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. CI Harsono mengemukakan bahwa: Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem, maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan sedikitnya ada 14 komponen yaitu : Filsafat, dasar, tujuan, pendekatan sistem, Kelasifikasi, pendekatan Kelasifikasi, perlakuan terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana, keluarga narapidana dan pembina/pemerintahan. 23 Perkembangan tujuan pembinaan bagi narapidana, berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan, pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan pada awalnya berangkat dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan nilai dan harkat hidup yang tumbuh di masyarakat. Membiarkan seseorang dipidana, tanpa memberikan pembinaan, tidak akan merubah narapidana. Bagaimanapun juga narapidana adalah manusia yang masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan kearah perkembangan yang positif, mampu merubah seseorang untuk menjadi lebih produktif, untuk menjadi lebih baik dari sebelum menjalani pidana. Potensi itu akan sangat berguna bagi narapidana, melalui tangan para pembina narapidana yang mempunyai itikad baik, dedikasi tinggi, semangat tinggi, untuk memberikan motivasi bagi perubahan diri narapidana dalam mencapai hari esok yang lebih cerah. 24 Untuk membantu naiknya kemajuan nilai narapidana, kepadanya diberikan pendidikan dan pelajaran dalam bidang ilmu pengetahuan, kesenian. keagamaan, semua sesuai dengan pengalamannya yang dilakukannya di dalam lembaga semua dengan kemajuannya. 25 Sistem pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan atas Azas Pancasila dan memandang terpidana sebagai makluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat sekaligus, dalam membina terpidana dikembangkan hidup kejiwaanya, jasmaninya, pribadi serta kemasyarakatannya, 23 24 25
CI. Harsono, Pembinaan narapidana. (Jakarta : UI Press, 1986) hlm. 5 Ibid, hlm . 43 Ibid, hlm. 43
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
mengikut sertakan secara langsung dan tidak melepaskan hubungannya dengan masyarakat. Wujud serta cara pembinaan terpidana dalam segi kehidupan dan pembatasan kebebasan bergerak serta pergaulannya dengan masyarakat di luar lembaga disesuaikan dengan kemajuan sikap dan tingkah lakunya serta lama pidananya yang wajib dijalani. Dengan demikian diharapkan terpidana pada waktu lepas dari lembaga benar-benar telah siap hidup bermasyarakat kembali dengan baik. 26 Sistem pemasyarakatan di atas bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam. Pancasila. Fungsi dan tugas pembinaan dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar mereka setelah selesai menjalani masa pidana dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Dan petugas Pemasyarakatan sebagai abdi negara wajib menghayati serta mengamalkan tugas-tugas pembinaan pemasyarakatan dengan penuh tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan pembinaan pemasyarakatan yang budaya tepat guna dan berhasil guna. Petugas harus memiliki kemampuan profesional dan integrasitas moral. Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan di sesuaikan dengan asasasas yang terkandung dalam Pancasila, dan yang perlu di lakukan adalah memperbaiki tingkah laku dari narapidana tersebut agar pembinaan dapat dicapai.
26
Ibid, hlm. 93
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Pemasyarakatan sebagai suatu sistem pembinaan pada hakekatnya merupakan kegiatan yang bersifat multidimensial, karena upaya pemulihan kesatuan hubungan hidup kehidupan dan penghidupan merupakan masalah yang sangat kompleks dan dalam pembinaan ini melibatkan banyak aspek, dan pembinaannya dimulai sejak yang bersangkutan di tahan dirumah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) negara. Yang paling memprihatinkan dalam pembinaan dan pembimbingan adalah meningkatkan kualitas demi ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kualitas intelektual, kualitas sikap dan perilaku, kualitas profesionalisme/ketrampilan (pemberdayaannya), kualitas kesehatan jasmani dan rohani. Sarana pelaksanaan sistem pemasyarakatan pada dasarnya juga merupakan situasi kondisi yang memungkinkan bagi terwujudnya tujuan pemasyarakatan yang merupakan
bagian
dari
upaya
meningkatkan
Pembinaan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan (WBP) sosial dan kewarga Binaan Pemasyarakatan (WBP) nasional, serta merupakan indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur tentang sejauh mana hasil-hasil yang dicapai dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan menurut Adi Suyatno dalam bukunya sistem pemasyarakatan di Indonesia sebagai berikut : 27 a. Isi Lembaga Pemasyarakatan lebih rendah dari pada kapasitasnya b. Umumnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka pelarian dan gangguan keamanan dan ketertiban akan menuntut.
27
Ady Suyatno ; Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, (Jakarta : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2002) hlm 15.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
c. Meningkatkan secara bertahap jumlah narapidana yang bebas sebelum waktunya melalui proses asimilasi dan integrasi. d. Semakin menurunnya dari tahun ke tahun angka residivis. e. Semakin banyaknya jenis-jenis institusi sesuai dengan kebutuhan
berbagai
jenis/golongan narapidana f. Secara bertahap perbandingan banyaknya narapidana yang bekerja di bidang industri dan pemeliharaan adalah 70 : 30 g. Prosentase kematian dan sakit sama dengan prosentase di masyarakat h. Biaya perawatan sama dengan kebutuhan minimal manusia pada umumnya i. Lembaga Pemasyarakatan dalam kondisi bersih dan terpelihara j. Semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan proyeksi nilai-nilai
masyarakat
kedalam
Lembaga
Pemasyarakatan
dan
semakin
berkurangnya nilai-nilai sub kultur penjara dalam lembaga pemasyarakatan Sistem pemasyarakatan memandang narapidana bukanlah objek tetapi subjek pembinaan yang pada hakikatnya melakukan perbuatan melanggar hukum karena adanya keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antara yang bersangkutan dengan masyarakat sekitarnya. Narapidana dalam lembaga pemasyarakatan dalam proses penyembuhan dengan syarat adanya terciptanya keserasian, keselarasan, keseimbangan hubungan antar petugas sebagai pembina, narapidana sebagai warga binaan dan masyarakat sebagia ajang kehidupan dan penghidupan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
C.
Perkembangan Pembinaan Narapidana di Indonesia Dalam kehidupan narapidana, pembina harus mampu menciptakan grup,
kelompok, atau usaha bersama, dimana setiap anggota dapat belajar untuk mempraktekkan saling ketergantungan. Kelompok-kelompok narapidana dalam suatu Lembaga Pemasyarakatan/Rutan akan tumbuh subur, secara positif dalam kegiatan yang positif, terarah dan mempunyai tujuan yang pasti, untuk saling bersaing dan terobsesi untuk maju bersama. Banyak cara untuk membangkitkan gairah pembinaan narapidana, dengan mengembangkan sumber daya manusia, sumber daya pribadi, dengan mempraktekkan kehidupan dari ketergantungan menjadi mandiri dan saling ketergantungan. Proses perkembangan kedewasaan akan memacu narapidana untuk mengembangkan diri, mengembangkan sumber daya pribadi, dan untuk dijalankan kelak setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan/Rutan. Praktek-praktek psikologis, sangat diperlukan dalam perkembangan pribadi narapidana, untuk menjadi mandiri, dewasa dan dapat menghanyati arti saling ketergantungan. 28 Suatu pidana yang dijatuhkan oleh hakim tidak terlepas dari tujuan dijatuhkannya pidana tersebut bagi narapidana yang bersangkutan. Hukuman dalam segala bentuknya pada awalnya merupakan ”Pembalasan Dendam”.
28
Bambang Waluyo Penelitian Hukum dalam Praktek; (Jakarta : Sinar Gafika, 1996) hlm 20.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Menurut Kant dengan teorinya bahwa dasar pembenaran dari suatu pidana itu terdapat di dalam apa yang disebut ”Katagorischen Imperative”, yakni yang menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas. 29 Simon berpendapat, bahwa para penulis lama itu pada umumnya telah mencapai dasar pembenaran dari suatu pemidanaan pada tujuan yang lebih jauh dari suatu pembinaan, disamping melihat dengan jelas bahwa tujuan awal dari adanya pemidanaan sebagai pembalasan dendam, sedikit demi sedikit mulai bergeser dengan tidak sekedar memikirkan untuk membalas dendam kepada pelaku kejahatan membuatnya jera, namun juga mulai melihat pemidanaan untuk pembinaan. Hal tersebut diketahui dari 10 prinsip teori pemasyarakatan sebagai berikut : 30 1. Orang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat : Bekal yang berguna untuk tidak hanya berupa finansial dan meteril, tetapi yang lebih penting adalah mental, fisik, keahlian, ketrampilan hingga orang mempunyai kemauan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum lagi dan berguna dalam pembangunan negara. 2. Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari negara, terhadap narapidana, tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara
29
C.I Harsono, Op.cit, hlm. 29. Ady Suyatno Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pemasyarakatan : Jakarta Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2000 hlm 15. 30
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
perawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita hanya dihilangkan kemerdekaannya. 3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan; Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau; 4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelumnya dia masuk lembaga pemasyarakatan; Karena harus diadakan pemisahan, antara : a. Laki-laki dan perempuan b. Sipil dan militer c. Anak-anak dan dewasa d. Orang terpidana dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) e. Satu perkara yang menjadi perhatian masyarakat 31 5.
Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat; Menurut sistem pemasyarakatan tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam arti secara kultural, secara bertahap mereka akan dibimbing ketengah masyarakat yang merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan didasarkan kepada pembinaan yang ”Community Centered” 31
Ady Suyatno, Ibid hlm 16.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
dan berdasarkan interaktivitas dan ”Interdispliner Approach” antara unsurunsur pegawai, masyarakat, dan narapidana ; 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan Lembaga atau Negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan Negara ; Pekerjaan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat ditujukan kepada pembangunan nasional, karena harus ada integrasi pekerjaan narapidana dengan pembangunan nasional. 7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Asas Pancasila : Pendidikan dan bimbingan harus diberikan asas-asas yang tercantum dalam Pancasila, kepada narapinada harus diberikan pendidikan agama, serta diberikan kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya, ditanamkan jiwa kegotong-royongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan, rasa persatuan, rasa kebangsaan harus diikutsertakan dalam segala kegiatan demi kepentingan-kepentingan bersama dan umum. 8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah sesat. Tidak boleh ditujukan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat; Kepada narapidana tidak boleh selalu merasa bahwa ia adalah penjahat, ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Sehubungan dengan itu petugas kemasyarakatan tidak boleh bersikap kasar maupun memakai kata-kata yang dapat menyinggung perasaannya.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan; dan Narapidana perlu diusahakan agar mendapat mata pencaharian untuk keluarga dengan jalan menyediakan atau memberikan pekerjaan dengan upah. Bagi pemuda dan anak-anak disediakan lembaga pendidikan diluar pemasyarakatan. 10. Sarana fisik bangunan lembaga, dewasa ini merupakan salah satu gambaran dalam pelaksaan sistem pemasyarakatan ; Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang disesuaikan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan dan memindahkan lembaga-lembaga yang ada ditengah kota ketempat-tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses masyarakat. 32
Pembinaan narapidana ditinjau dari perkembangannya terdapat beberapa pendapat antara lain : Menurut Soejono Soekanto menyatakan bahwa : Fungsi hukuman sebagai salah satu alat untuk ”menghadapi” kejahatan melalui rentetan sejarah yang panjang yang mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan dari satu cara yang bersifat ”pembalasan” terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan berubah menjadi alat untuk perlindungan individu lainnya dalam masyarakat, dan perlindungan masyarakat dari gangguan kejahatan terus berubah dan berkembang kearah fungsi hukuman (Khususnya hukuman penjara) sebagai wadah pembinaan narapidana untuk pengembalian kedalam masyarakat. 33 Pendapat lainnya Bonger menyatakan bahwa sejak abad ke-18 terlihat adanya suatu perubahan yang sedang berlangsung dalam peradilan. Dahulu Hakim sedikit atau sama sekali tidak memikirkan keadaan pribadi penjahat. Jika sudah terbukti kesalahannya, tinggal kewajiban para hakim dengan tidak memandang bagaimana keadaan si terdakwa dijatuhi hukuman. Namun setelah peranan masyarakat (negara) makin besar, maka timbul perubahan di mana ”Pembalasan” dari pihak yang dirugikan dilarang baik menurut kesusilaan yang terdapat dalam masyarakat maupun 32
Undang-undang Pemasyarakatan No.12 Tahun 1995, Jakarta : Departemen Kehakiman dan Perundang-Undangan RI 33 Soejono Soekanto, Op.cit, hlm. 11
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
menurut hukum pidana. Sehingga masalah hukum sepenuhnya dijatuhkan oleh negara. 34 Selanjutnya Jhon P. Conrad setelah melakukan pengamatan dalil-dalil di 18 (delapan belas) negara mengemukakan dalil-dalil pembinaan narapidana yang dimaksud adalah : 1. Pejahat mengalami kelainan-kelainan sosial, ada sesuatu yang salah pada dirinya; 2. Pelaksanaan pidana penjara tidak memberikan manfaat, berada di dalam penjara sudah merupakan hukuman penderitaan; 3. Selama dalam pembinaan narapidana harus diarahkan pada kehidupan yang baik dan berguna; 4. Oleh karena pembinaan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing narapidana, maka baik lama pembinaan atau aktivitas beraneka ragam; dan 5. Semua petugas pembina berkewajiban mengawasi narapidana yang berada dibawah asuhannya. 35 .
Pada perkembangan lebih jauh memandang hukuman sebagai cara yang mengandung dua unsur, yaitu : 1. Memuaskan rasa dendam dan benci para anggota suatu kelompok yang berarti agar kelompok tersebut merasa puas, maka penjahat dihukum. 2. Melindungi masyarakat agar terhindar dari gangguan penjahat sehingga mengisolasikannya dari masyarakat.
Melihat penderitaan narapidana di penjara-penjara dan para Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang belum tentu bersalah John Howard mencoba 34 35
Ibid, hlm. 9 Masruchin Ruba’I, Mengenal dan Pembinaan di Indonesia, (Malang :Citra Malang, 1997)
hlm. 9
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
melakukan pembaharuan di dalam sistem kepenjaraan dengan meluruskan makna yang sebenarnya dari ”Hukuman Penjara” yang harus dititik beratkan kepada pembinaan narapidana (dalam hal ini termasuk pendidikan) agar mereka dapat kembali sebagai anggota masyarakat yang baik. Akhirnya pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 hingga sekarang ini usaha-usaha rehabilitasi (pembinaan dan pendidikan narapidana) mulai menunjukkan hasil yang baik dan efektif. Hal ini dapat di lihat pada tabel I berikut ini :
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel I : Perbandingan Kepenjaraan, Pemasyarakatan dan Pemasyarakatan Baru 36 No 01. 02.
Sistem Komponen Filasafat Dasar Hukum
Kepenjaraan Liberal Gestichten/Reglement
03.
Tujuan
Penjaraan
04. 05.
Pendekatan sistem Klafisikasi
Security Approach Maximum Security
06.
Pendekatan klasifikasi
Maximum Security
07.
09.
Perlakuan narapidana Orientasi Pembinaan Sifat pembinaan
10.
Pemasyarakatan Pancasila Gestichten reglement dengan perubahan Pembinaan dengan tahap admisi/orientasi/pembinaan, asimilasi
Pemasyarakatan Baru Pancasila Undang-undang Pemasyarakatan
Obyek
Security Approach Maximum security Medium security Minimum security Maximum security Medium security Minimum security Subjek
Meningkatkan kesadaran narapidana (Consiousness ) dengan tahap introspeksi, motivasi, dan self development (pengembangan sumber daya manusia) Conciousness Approach High Conciousness Half Conciousness Low Conciousness Maximum Conciousness Medium Conciousness Minimum Conciousness Subjek / objek
Top Down Approach
Top Down Approach
Bottom up approach
Exploitasi
Melatih bekerja
Remisi
Anugrah ( 1917-1949)
Hak (1950-1986)
11.
Bentuk bangunan
Penjara
12.
Narapidana
Dibiarkan/tidak diberikan bimbingan, pembinaan
Penjara (bangunan lama), bangunan baru belum sepenuhnya mencerminkan LP Diberikan bimbingan/pembinaan
Mandiri/percaya diri dapat mengembangkan kemampuan diri/pengembangan sumber daya manusia. Hak dan kewajiban (1987 sampai dengan ada perubahan) Perlu dirancang secara khusus
13.
Keluarga
14.
Pembina/pemerinta h
Kurang diberi kesempatan untuk ikut membina kepenjaraan tidak terbuka sifatnya. Peran keluarga diabaikan dalam ikut serta membina narapidana. Ditekankan untuk membuat jera narapidana, sehingga tidak melakukan tindak pidana lagi. Karena jera masuk penjara
08.
36
Diberikan kesempatan untuk ikut membina (cuti dan lain-lain)
Sebagai pembina, mengarahkan narapidana untuk setidaktidaknya tak akan melakukan tindakan pidana lagi setelah keluar dari LP.
Dikenalkan dirinya sendiri, diberikan teknik motivasi, baik untuk memotivasi diri sendiri maupun yang lain/kelompok. Kemampuan mengembangkan diri sendiri/self development, pengembangan sumber daya manusia. Kesempatan penuh, keluarga diberitahukan tahap pembinaan yang dilakukan oleh LP bagi narapidana. Perkembangan kesadaran narapidana yang masih saudaranya. Panutan. Sepanjang petugas LP tidak mampu menjadi panutan, sebaiknya mundur saja dari tugasnya. Petugas LP harus mempunyai kemampuan untuk memotivasi narapidana dan mengembangkan kepribadian/diri narapidana secara utuh. Harus selalu berfiki secara positif dan konstruktif.
C.I. Harsono, Hs. Op.cit, hlm. 7
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Sistem Pemasyarakatan termuat di dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yaitu pada Pasal 1 angka 2 : ”Sistem permasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan permasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan permasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab” 37 Untuk lebih berhasilnya pembinaan narapidana sebaiknya ada bangunanbangunan yang khusus sehingga dapat diadakan pemisahan antara narapidana : a. Dewasa, dewasa muda, dan anak-anak; b. Laki-laki dan wanita; c. Residivis dan bukan Residivis; d. Yang melakukan tindak pidana berat dan ringan; serta e. Narapidana dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Sedangkan dalam Pasal 5 Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyebutkan sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan : a. Pengayoman Pengayoman merupakan dasar dari pembinaan narapidana Lembaga Pemasyarakatan yang intinya adalah menyayomi narapidana tersebut dari pengaruh yang tidak baik dalam kehidupannya di Lembaga Pemasyarakatan, baik pengaruh yang tidak baik dalam kehidupannya di Lembaga Permasyarakatan, baik yang datang dari temannya sendiri/sesama narapidana wanita maupun dari masyarakat sekitarnya.
37
Bambang Purnomo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996) hlm.
10
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
b. Persamaan perlakukan dan pelayanan Persamaan perlakuan dan pelayanan disini dimaksudkan setiap narapidana baik yang kaya maupun miskin setelah masuk ke Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Wanita Medan diperlakukan sama dan tidak memandang ras dan agama dan mantan pejabatpun diperlakukan sama juga tidak memandang apakah itu dari golongan kaya maupun miskin, pejabat atau rakyat jelata. c. Pendidikan Pembinaan narapidana wanita didasarkan kepada pemberian pendidikan yang merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan tujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang penekanannya pada pembentukan kualitas dalam, misalnya keimanan, ketakwaan, kepribadian, kecerdasan, kedisplinan, kreativitas dan juga kemandirian setiap narapidana wanita tersebut. d. Pembimbingan Pembinaan narapidana wanita juga didasarkan memberikan bimbingan pada setiap narapidana tersebut, pembimbingan dimaksud agar narapida dapat meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya, dapat meningkatkan sumberdaya manusia, khususnya narapidana wanita. Dengan adanya peningkatan sumber daya wanita maka keterlibatan, wanita dalam segala aspek pembangunan akan terwujud sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Wanita Medan. e. Penghormatan harkat dan martabat manusia Dalam pelaksanaan pembinaan narapidana wanita pada dasarnya juga dilaksanakan azas dasar penghormatan harkat dan marbat manusia. Maksudnya walaupun mareka narapidana tapi mereka tetap dihormati sebagai manusia yang kelak akan tetap berguna bagi nusa dan bangsa. f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Dalam hal ini dimaksudkan setiap narapidana yang masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan hanya mengalami kehilangan kemerdekaan bergerak, kebebasannya untuk tidak bisa keluar Lembaga Pemasyarakatan kecuali telah memenuhi syarat pembinaan sebab itu narapidana dapat hak-hak lain seperti : makan, minum, tidur, rekreasi, pendidikan dan lain-lain kemerdekaan bergeraknya saja dicabut, yang lain hak-haknya harus dipenuhi oleh negara. 38
38
Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan, (Jakarta : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 1996) hlm. 15
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Selanjutnya dalam Surat Edaran Kepala Direktorat pemasyarakatan No. KP. 10.13/3/1, tanggal 8 Februari 1965 dalam sistem pemasyarakatan diatur tentang proses pembinaan narapidana yang meliputi empat tahap, yaitu : 1. Amisi Orientasi (pengawasan maximum security), yaitu : tahap tiap narapidana yang masuk di lembaga pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal tentang dirinya ; Pada tahap admisi orientasi ini narapidana tersebut diberikan peneranganpenerangan tentang tata tertib dan disiplin yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan; dan program apa saja yang diberikan baik program kerja maupun pembinaannya ; program kerja maupun pembinaannya ; tata cara dan prosedur pengajuan keluhan dari narapidana ; hak-hak dan kewajiban selama yang bersangkutan di Lembaga Pemasyarakatan ; pemberitahuan nama-nama petugas yang membimbing mereka serta kunjungan keluarga ke Lembaga Pemasyarakatan. 2. Tahap Pembinaan (pengawasan medium security) yaitu : jika proses pembinaan telah berlangsung 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut pendapat T.P.P sudah dicapai cukup kemajuan ; Tahap pembinaan medium security ini narapidana tersebut telah mulai menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan, maka kepada narapidana tersebut diberikan kebebasan lebih banyak dengan menggunakan pengawasan medium security. 3. Assimilasi (pengawasan minimum security), yaitu : jika proses pembinaan telah dijalani 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut T.P.P telah mencapai cukup kemajuan, maka wadah proses pembinaannya diperluas dengan diperbolehkannya mengadakan Assimilasi dengan masyarakat luar. Contoh : Melakukan sholat di mesjid Lembaga Pemasyarakatan Wanita atau ikut pertandingan olah raga di luar Lembaga Pemasyarakatan. 39 Syarat-syarat narapidana diberikan asimilasi antara lain : 1) Telah menjalani 1/2 dari masa pidana 2) Berkelakuan baik selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan 3) Ada jaminan dari keluarga bahwa yang bersangkutan tidak akan melarikan diri 39
Surat Edaran Direktur Jendral Pemasyarakatan No: K.P. 10. 13 /3/1; (Jakarta : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 1995) hlm 18.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
4) Surat keterangan sehat dari dokter 5) Ada putusan vonis dari pengadilan 6) Tidak ada perkara lain dari kejaksaan setempat. 4. Integrasi, yaitu jika proses pembinaan telah dijalani 2/3 dari masa hukuman yang sebenarnya atau sekurang-kurangnnya 9 bulan, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan Pembebasan Bersyarat berdasarkan pertimbangan T.P.P. Dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M.02.PK.04.10 tahun 1990 tentang pola pembinaan narapidana, menyebutkan 2 (dua) pola pembinaan, yaitu : 1. Pembinaan secara umum : a. Pembinaan kepribadian yaitu : Pembinaan kesadaran beragama, kesadaran berbangsa dan bernegara, kemampuan intelektual, kesadaran hukum, mengintegrasikan dengan masyarakat. b. Pembinaan ketrampilan
Kemandirian, untuk
yaitu
mendukung
:
Program usaha
pendidikan
industri,
ketrampilan,
ketrampilan
yang
dikembangkan sesuai dengan bakat, ketrampilan untuk mendukung usahausaha pertanian (perkebunan) 2. Pembinaan secara khusus : a. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta optimis akan masa depannya. b. Memperoleh pengetahuan c. Berhasil menjadi manusia patuh hukum d. Memiliki jiwa dan semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Pembinaan dengan bimbingan dan kegiatan lainnya yang diprogramkan terhadap narapidana dapat meliputi cara pelaksanaannya, yang antara lain : a.
Bimbingan mental : yang diselenggarakan dengan pendidikan agama, kepribadian dan budi pekerti, dan pendidikan umum
b.
Bimbingan sosial, dengan memberikan pengertian pentingnya hidup bermasyarakat, diberi kesempatan berassimilasi serta integrasi dengan masyarakat, diberi kesempatan berassimilasi serta integrasi dengan masyarakat luar
c.
Bimbingan keterampilan yang dapat diselenggarakan dengan adanya kursus, latihan kecakapan tertentu sesuai dengan bakatnya
d.
Bimbingan untuk memelihara rasa aman dan damai, untuk hidup dengan teratur dan belajar mentaati peraturan
e.
Bimbingan
lainnya
yang
menyangkut
segala
aspek
kehidupan
bermasyarakat. Selain peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembinaan terhadap narapidana, sistem pemasyarakatan secara tegas menyatakan bahwa narapidana mempunyai hak dan juga diatur dalam Undang-undang No.12/Thn/1995. Harus
diakui,
narapidana
sewaktu
menjalani
pidana
di
Lembaga
Pemasyarakatan, ada beberapa hal kurang mendapatkan perhatian khususnya perlindungan hak asasinya sebagai manusia. Dari uraian di atas bahwa di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan belum sepenuhnya pembinaan diberikan sesuai dengan apa yang diharapkan UU No. 12
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
tahun 1995, karena di dalam Undang-undang itu sendiri belum ada pasal yang mengatur tentang tata cara pemberian pembinaan yang khusus untuk wanita, sehingga sangat diharapkan adanya perbaikan atau penambahan pasal yang khusus untuk wanita. Sesuai
dengan Pasal 14 Undang-undang No.12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, Hak-hak Narapidana meliputi : 1. Melakukan ibadah sesuai dengan Agama atau kepercayaannya. 2. Mendapat perawatan rohani maupun jasmani 3. Mendapat pendidikan dan pengajaran 4. Mendapat pelayanan kesehatan makanan yang layak 5. Menyampaikan keluhan 6. Mendapat bacaan dan mengikuti siaran media massa yang tidak dilarang 7. Mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan 8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya 9. Mendapat pengurangan masa pidana (remisi) 10. Mendapatkan kesempatan ber-Assimilasi termasuk Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK) 11. Mendapat Pembebasan Bersyarat 12. Mendapatkan Cuti Menjelang Bebas (CMB), dan 13. Mendapatkan hal lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
D.
Faktor Pendukung dan Harapan Pelaksanaan Pembinaan
1. Suatu Perspektif atas dasar pengayoman dan pemasyarakatan Perlakuan
narapidana
berdasarkan
prikemanusiaan
dan
pendekatan
pelaksanaan pidana penjara tidak lepas dari cara-cara kehidupan masyarakat tersebut, sesuai dengan rumusan stándar minimum Rules For The Treatment Of Prisoners yang antara lain mengatur tentang pembinaan, perbaikan nasib, pekerjaan, pendidikan, rekreasi, hubungan-hubungan sosial. Pemerintah Indonesia berusaha turut melaksanakan dan memantapkan pembaharuan pelaksanaan pidana penjara dengan menyesuaikan pembaharuan tersebut dengan pandangan hidup dan keadaan lingkungan masyarakat yang berkepribadian Indonesia. Pokok dari dasar memperlakukan narapidana menurut kepribadian kita ialah : a. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia. b. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat c. Narapidana hanya dijatuhi kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi perlu diusahakan supaya para narapidana mempunyai mata pencaharian. 40 Dari penjelasan diatas terlihat bahwa sistem pemasyarakatan di Indonesia harus diartikan sistem pelaksanaan pidana baru dan perlakuan cara baru terhadap narapidana yang berdasarkan pada prinsip-prinsip universal yang sudah berkembang
40
Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Jogyakarta, Liberty, 1985, hlm. 176.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
secara internasional dan metoda dan teknik pendekatannya disesuaikan menurut kepribadian bangsa dan kemampuan negara Indonesia. Kebijaksanaan berupa perlakukan terhadap narapidana dengan dasar pemikiran melalui La Nouvelle Defence Sosiale menjadi kebijakan pemidanaan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Melindungi masyarakat terhadap kejahatan b. Mempunyai efek untuk membuat seseorang untuk tidak melakukan kejahatan lagi dengan cara memperbaiki atau mendidiknya. c. Berusaha mencegah dan menyembuhkan pelanggar hukum dengan menekankan sistem resosialisasi. d. Melindungi hak asasi manusia termasuk sipelaku kejahatan. e. Pandangan hukum untuk menghadapi kejahatan dan penjahat ditempuh berdasarkan palsafah yang mengakui manusia sebagai makhluk individu dan sosial. 41
a. Faktor Manusia berperan dalam sistem pemasyarakatan Seorang narapidana adalah seseorang manusia ataupun anggota masyarakat yang dipisahkan dari induknya pada waktu tertentu, itu diproses dalam lingkungan dan tempat tertentu dengan tujuan, metoda dan sistem pemasyarakatan. Dimana pada suatu saat narapidana itu akan kembali menjadi manusia anggota masyarakat yang baik dan taat kepada hukum. Dengan demikian antara narapidana dan petugas 41
Bambang Poernomo, Ibid, hlm.177
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Lembaga Pemasyarakatan yang bersangkutan merupakan hubungan antar orang yang berhadapan dengan orang dalam sifat-sifatnya sebagai manusia. Narapidana sebagai manusia yang harus dihormati hak-hak dan kewajiban-kewajibannya disamping memikul tanggung jawab dalam masyarakat yang hendak kita bangkitkan selama masa pembinaan, dimana petugas negara sebagai manusia yang memiliki kekuasaan tertentu berdasarkan undang-undang dan sekaligus bertindak untuk melindungi kepentingan yang sah dari masyarakat beserta anggota-anggotanya. Peranan petugas dibidang hukum tersebut untuk mulai memasukkan narapidana ke dalam lembaga sampai mengeluarkan kembali ke masyarakat dengan sistem pemasyarakatan, mempunyai mata rantai selama melaksanakan pembinaan. Petugas lembaga pemasyarakatan harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang seluk beluk sistem pemasyarakatan dan terus menerus meningkatkan kemampuan, terutama petugas yang diserahi tanggung jawab urutan TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) dalam menghadapi perangai narapidana. Sistem pemasyarakatan Indonesia di masa depan sangat memerlukan dukungan dan keikutsertaan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung yang bersama-sama dengan petugas pemasyarakatan dan petugas negara lainnya. Sikap positif dari masyarakat dan dalam batas-batas yang di ijinkan oleh peraturan turut langsung berperan membimbing narapidana. Peran serta masyarakat melalui badan sosial bergerak di bidang usaha, seperti perusahaan yang memberikan jasa dan dana secara tetap dalma proyek kerja ketrampilan, atau biro bantuan hukum dan biro penyantunan yang didirikan khusus untuk pembinaan kepentingan narapidana, dan
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
pembinaan lanjutan sesudah bebas penuh dengan memberikan kesempatan pekerjaan yang layak untuk harapan hidup baru. Bantuan masyarakat yang paling utama adalah sikap yang positif untuk menerima kembali mereka yang lepas dari pembinaan itu menjadi anggota warga masyarakat, dan memberikan saluran dalam menempuh hidup baru setelah sekian lama terlepas dari ikatan hidup bermasyarakat. Tindak lanjut bantuan masyarakat akan lebih ideal apabila masyarakat turut melakukan pembinaan lanjutan, melalui suatu usaha perkumpulan sosial yang berfungsi memberikan bantuan terhadap mereka yang lepas setelah habis masa pidananya, manakala masih mengalami kesulitan.
b. Pembinaan dan Bimbingan dalam Pemasyarakatan Bahwa sistem pemasyarakatan Indonesia mengandung arti pembinaan narapidana yang berintegrasi dengan masyarakat dan menuju kepada integritas kehidupan dan penghidupan. Pemasyarakatan sebagai proses bergerak dengan menstimulir timbulnya dan berkembangnya self proppeling adjusment diantara elemen integritas, sehingga narapidana yang bersangkutan menuju ke arah perkembangan pribadi melalui asosiasinya sendiri menyesuaikan integritas kehidupan dan kehidupan. Upaya pembinaan atau bimbingan yang menjadi inti dari kegiatan sistem pemasyarakatan, adalah merupakan suatu sarana perlakuan cara baru terhadap narapidana untuk mendukung pola baru pelaksanaan pidana penjara agar mencapai keberhasilan peranan negara mengeluarkan narapidana untuk kembali menjadi
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
anggota masyarakat yang baik. Pembinaan narapidana mempunyai arti memberlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi. Pembinaan dengan bimbingan dan kegiatan lainnya yang diprogramkan terhadap narapidana dapat meliputi cara pelaksanaan : 1)
Bimbingan
Mental,
yang
diselenggarakan
dengan
pendidikan
agama,
kepribadian dan budi pekerti, dan pendidikan umum yang diarahkan untuk membangkitkan sikap mental baru sesudah menyadari akan kesalahan masa lalu. 2)
Bimbingan sosial, yang dapat diselenggarakan dengan memberikan pengertian akan arti pentingnya hidup bermasyarakat, dan pada masa-masa tertentu diberikan kesempatan untuk asimilasi serta integrasi dengan masyarakat di luar.
3)
Bimbingan keterampilan, yang dapat diselenggarakan dengan kursus, latihan kecakapan tertentu sesuai dengan bakatnya yang nantinya menjadi bekal hidup untuk mencari nafkah di kemudian hari.
4)
Bimbingan untuk memeliharan rasa aman dan damai, untuk hidup dengan teratur dan belajar mentaati peraturan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
5)
Bimbingan-bimbingan lainnya yang menyangkut perawatan kesehatan, seni budaya dan sedapat-dapatnya diperkenalkan kepada segala aspek kehidupan bermasyarakat dalam bentuk tiruan masyarakat kecil selaras dengan lingkungan sosial yang terjadi di luarnya. Pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagian tugas sistem
pemasyarakatan sesudah dikurangi oleh pembinaan di luar Lembaga, namun dalam praktek pelaksanaannya pembagian tugas yang demikian itu masih dijalankan bersama karena pertimbangan tenaga dan fasilitas yang kurang. Terutama tugas pembinaan dalam proses asimilasi / integrasi sangat membutuhkan tenaga pengaman yang terdidik, dan tugas bimbingan lanjutan (after care) hanya mungkin berjalan dengan penyediaan dana yang relatif besar. Kesulitan dalam menjalankan tugas pembinaan adalah membutuhkan tenaga ahli perlu diusahakan dengan bantuan tenaga kerja sosial dari berbagai bidang disiplin ilmu (behavioral scientist), terutama adanya petugas agama, kesehatan, pendidik, kedokteran jiwa, dan ahli-ahli lainnya yang berkaitan dengan situasi konvergensi manusia dan pembinaan yang bersifat individual. 42
2. Manfaat sistem pemasyarakatan bagi narapidana, pembangunan negara dan perkembangan ilmu pengetahuan
masyarakat,
Melalui hakekat daripada sistem pemasyarakatan dapat diharapkan terjadinya suatu proses perubahan terhadap seseorang yang menjurus kepada kehidupan yang
42
Bambang Poernomo, Op.cit, hlm. 186-188
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
positif setelah ia selesai menjalani pidana penjara, karena ketika masa menjalani masa pidana dapat dirasakan adanya suatu bekal tertentu dari hasil pendidikan non formal bagi narapidana melalui progam-progam pembinaan. Pelaksanaan pembinaan narapidana harus menganut dasar pembaharuan pidana yang digerakkan dengan nilai-nilai perikemanusiaan dan pendekatannya harus menganut sistem pemasyarakatan, dan juga kepada narapidana harus diajarkan untuk mengenal sikap hidup bahwa perlakukan berdasarkan perikemanusiaan terhadap dirinya membawa konsekuensi untuk menuntut kepadanya untuk berbuat serupa kepada sesama manusia yang menjadi anggota masyarakat yang lain. Pada umumnya orang masih berpendapat bahwa kejahatan harus diberantas sampai keakar-akarnya, dengan menyesampingkan sendi perikemanusiaan dan dalam praktek masih terdapat tindakan yang bengis menyerupai kejahatan itu sendiri untuk memberantas kejahatan. Pandangan yang demikian ini perlu diperbaharui, bahwa kejahatan itu dapat diberantas namun tetap memperhatikan hak-hak asasi manusia yang tidak dapat dihapuskan begitu saja. Karena hal yang demikian hak asasi manusia yang fundamental. 43 Sehubungan dengan hal tersebut diatas, masyarakat indonesia diharapkan untuk berganti dengan pandangan baru tentang kegunaan asas perikemanusiaan yang berkaitan
dengan
kenyataan
didunia
tentang
pembaharuan
pidana
untuk
mengembangkan upaya baru pelaksanaan pidana penjara serta perlakukan cara baru terhadap narapidana. Pembaharuan pidana yang dimaksud secara khas di Indonesia 43
Bambang Poernomo, Op.cit, hlm. 196-197.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
telah dicetuskan pada tahun 1964 dan kiranya sudah menjadi kewajiban untuk menghayati serta mengamalkan di alam kenyataan bahwa lambang Pohon Beringin Pengayoman sebagai tujuan hukum dan pemasyarakatan, sebagai sistem pembinaan narapidana. 44
3. Sistem Pembinaan Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan, yang terletak di Jl. Pemasyarakatan T. Gusta Medan Tel. 061 - 8450995 merupakan Lembaga Pemasyarakatan Wanita satu-satunya di Sumatera, dan NAD. Saat ini lembaga Pemasyarakatan wanita tersebut dihuni oleh tidak kurang dari 398 orang, terdiri atas 183 orang narapidana dan sisanya sebanyak 276 orang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) titipan (dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan). Narapidana yang menghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Medan di Medan, pada umumnya mereka yang dijatuhi hukuman penjara 1 (satu) tahun atau lebih. Terhadap narapidana yang dijatuhi hukuman penjara kurang dari 1 (Satu) tahun, mereka ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan-Lembaga Pemasyarakatan yang ada di masing-masing wilayah daerah kota/kabupaten setempat. Di dalam proses pemasyarakatan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A wanita di Kota Medan, tampak bahwa diantara para petugas Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dan masyarakat mempunyai peranan yang sama pentingnya. Ketiganya itu merupakan satu kesatuan, saling mendukung dalam upaya 44
Bambang Poernomo, Op.cit, hlm. 198.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
menyukseskan pembinaan terhadap narapidana. Pelaksanaan pembinaan narapidana jika dikaitkan dengan tahap-tahap narapidana, maka sistem pembinaannya dapat diuraikan sebagai berikut : a. Tahap Pertama Dalam tahap pertama ini pembinaan narapidana diusahakan mengenal terhadap diri narapidana terlebih dahulu mengenai kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Diusahakan bisa diketahui sebab - sebab ia melakukan tindak pidana atau latar belakangnya, sehingga dengan bahan-bahan itu dapat direncanakan upaya pembinaan yang sesuai dan tepat terhadap dirinya. Pada saat yang bersamaan pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita berusaha untuk mengetahui identitas dari narapidana yang bersangkutan.
b. Tahap Kedua Pemasyarakatan sebagai proses telah ditentukan bahwa jika pembinaan terhadap narapidana telah mencapai kurang kebih sepertiga dari masa pidana dan menurut penilaian tim pengamat kemasyarakatan telah cukup kejamuan artinya narapidana telah insyaf dan menunjukkan kelakukan baik, cakap, tidak melanggar tata tertib maka wadah utama dari proses kemasyarakatan dapat dipindahkan dari maksimun security ke medium security yaitu penjagaan yang ketat diberikan ke yang agak bebas bergerak bagi narapidana pada tahap ini narapidana diperbolehkan bekerja dan diserahi tugas-tugas tertentu seperti memasak untuk makanan narapidana, membersihkan ruangan kantor, mengantarkan minuman untuk pegawai dan
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
sebagainya. Hal ini akan menjadikan tingkah laku narapidana tersebut menjadi baik karena dia mendapatkan kepercayaan. c. Tahap Ketiga Pada tahap ini narapidana
telah menjalankan setengah dari masa pidana
proses pembinaannya diperluas dengan diberikan asimilasi kepada masyarakat luar Lembaga Pemasyarakatan misalnya dengan mengikuti kegiatan olah raga sholat kemesjid diluar dan gereja diluar. Dan pengawasannya diperlonggar dari medium security ke minimun security. Dan pada tahap ini mereka diberikan pelepasan bersyarat. Mereka diberikan sebagai tamping maksudnya memberikan kepercayaan kepada narapidana yaitu mengantarkan surat-menyurat tetapi masih tetap didalam Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana juga diberi kesempatan untuk sholat dan pergi ke gereja. Narapidana diberikan keluar dari Lembaga Pemasyarakatan untuk berasimilasi dengan masyarakat tetapi tidak boleh melanggar peraturan tata tertib Lembaga Pemasyarakatan. d. Tahap Keempat Tahap ini narapidana sudah menjalani dua pertiga dari masa pidana yang sebenarnya paling sedikit 9 bulan bisa diberikan pelepasan bersyarat oleh Lembaga Pemasyarakatan. Tahap ini diperluas pembinaannya narapidana boleh tinggal di luar apabila sudah keluar keputusan dari menteri tetapi dia diberi pembinaan oleh balai pemasyarakatan. Sesuai dengan surat edaran dirjen pemasyarakatan Nomor : K.P.10.4/17/28 Tahun 1968 yang menyatakan bahwa pelepasan bersyarat diberikan kepada narapidana yang pidananya lebih dari satu tahun ke atas.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam sistem pemasyarakatan terkandung nilai-nilai yang mencerminkan penghematan terhadal hak-hak asasi manusia narapidana, yaitu sebagaimana yang tercermin dalam 10 (sepuluh) prinsip pemasyarakatan, dimana pada prinsik ke-3 menyebutkan “Berikan bimbingan, bukan penyiksaan, supaya mereka bertobat” dan prinsip ke-4 menyebutkan bahwa “Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana”, serta prinsip ke-8 juga menyebutkan bahwa “Sebagai orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia”. Prinsip ini sejalan dengan prinsip-prinsip dasar tentang perlakuan terhadap narapidana, yaitu sebagaimana disebutkan pada prinsip pertama, “ Setiap narpaidana diperlakukan dengan cara menghargai martabat dan nilai yang melekat sebagai manusia” dan prinsip ke-5 “Kecuali untuk batasan-batasan yang dibutuhkan untuk tindakan pengurungan, semua narapidana dipelihara hak asasi manusia dan kebebasan mendasar. 45
45
Nugroho, Warta Pemasyarakatan no. 24, (Jakarta : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Maret 2007) hlm. 20.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB III PELAKSANAAN SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KELAS II A MEDAN
A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Medan, berdiri sejak 1986. Peranannya sangat penting sekali ia adalah salah satu bagian dari criminal justice system, peranannya bila ditinjau dari segi penegakan hukum, istilah penjara secara hukum masih digunakan hingga kini, karena terdapat di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan putusan-putusan pengadilan yang memeriksa dan menjatuhkan hukuman pidana penjara bagi terpidana. Oleh karena itu sesungguhnya para terpidana ini dihukum dan di perintahkan oleh hakim untuk masuk ke Lembaga Penjara. Luas LP Kelas II A Wanita Medan yang sekarang adalah 6,435 m2 dengan luas bangunan seluas 5,050 m2. Lembaga Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari sistem peradilan pidana, yang merupakan bagian unit pelaksanaan teknisi bidang pemasyarakatan yang bertugas menampung, merawat,
membina, melatih, melindungi dan
memberikan bimbingan kepada narapidana atau anak didik. Isi lembaga pemasyarakatan wanita Medan pada saat ini dihuninya 428 orang sedangkan kapasitas hanya 150 orang Maret 2008. Dan sistem kepenjaraan dirubah menjadi pemasyarakatan, mengutamakan pembinaan dan itu dilaksanakan sejak 1964. Karena kepenjaraan tidak sesuai lagi
56 Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
dengan falsafah Pancasila. 46 Sesuai dengan struktur organisasi Departemen Kehakiman Republik Indonesia Surat Keputusan Menteri Kehakiman Hak Azasi Manusia NO : SK. J.S.4/6/3/19997 tentang ORTA Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tanggal 30 Juli 1977 di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan khusus untuk wanita. Narapidana wanita yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan berasal dari Lembaga Pemasyarakatan, rutan, dan cabang rutan se Sumatera Utara termasuk Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Berhubung narapidana tersebut berasal dari daerah yang jauh dan kemungkinan untuk di besuk oleh keluarganya sangat kecil sekali dan mereka berada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita ini sampai waktu yang telah ditentukan, selama putusan Pengadilan yang memutuskan mereka / sampai habis masa hukuman mereka. Lembaga Pemasyarakatan mulanya merupakan rumah penjara yang didalamnya didasarkan pada sistem penghukuman tutupan yang bertujuan memberikan penjeraan (balas dendam) kepada narapidana, namun seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan pemikiran yang memandang perlunya napi wanita dijadikan objek yang harus dibimbing, sesuai kodratnya sebagai wanita, manusia yang punya sifat-sifat yang menjadi baik, berubah menjadi mandiri, berguna bagi
nusa
dan
bangsa,
maka
Lembaga
Pemasyarakatan
mengubah
pada
pembinaannya dari yang bersifat kepenjaraan menjadi pemasyarakatan, perubahan ini
46
Masruchin Ruba’I, Mengenal dan Pembinaan di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1997)
hlm. 32
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
berlaku secara serentak di seluruh Indonesia sejak tanggal 27 April 1964. 47 Mengingat misi dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan adalah melaksanakan pembinaan narapidana, melakukan pembinaan kepada narapidana wanita dan melakukan pembimbingan kepada narapidana wanita Medan serta penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Tujuan dari instansi Ini adalah untuk membentuk narapidana wanita agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri menjadi manusia mandiri, tidak mengulangi tindak pidana lagi sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dapat aktif berperan dalam pembangunan dan hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarga serta masyarakat. Tujuannya juga untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang berada di Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka memperlancar proses penyelidikan penuntutan dan pemerintahan di sidang pengadilan. Sistem pemasyarakatan disini menurut responden adalah 2 (dua) arah, yaitu sistem yang menguntungkan bagi narapidana maupun keamanan bagi masyarakat sekitarnya. Narapidana tidak dianggap sebagai objek semata melainkan mereka diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya dengan keterampilan yang dimilikinya
47
Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm. 27
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
sebagai bekal hidupnya setelah kembali ketengah-tengah masyarakat. 48 Lembaga Pemasyarakatan Wanita merupakan lembaga yang sama seperti pemasyarakatan pada umumnya yang menjalankan fungsinya sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.01.PR.07.03 tahun 1983 yaitu, melakukan pembinaan narapidana/ anak didik ; memberi bimbingan; mempersiapkan sarana dan pengelolaan hasil kerja; melakukan bimbingan sosial dan kerohanian narapidana dan anak didik; melaksanakan pemeliharaan keamanan dan tata tertib Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan; dan melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga. Lembaga Pemasyarakatan mengemban misi untuk memberikan pembinaan kepada narapidana dari tidak tahu menjadi tahu, Sedangkan visinya adalah memberikan proses pembinaan agar taat hukum (memiliki kesadaran hukum). Pendekatan yang dilakukan dalam pelaksanaan pembinaan adalah secara dinamis, sistematis dan berlanjut.
B.
Orientasi Pembinaan Pembinaan narapidana, tidak hanya ditujukan kepada pembinaan spiritual
saja, tetapi juga dalam bidang ketrampilan. Sebab itu pembinaan narapidana juga dikaitkan dengan pembinaan pekerjaan selama menjalani pidana. Dalam sistem kepenjaraan, orientasi pembinaan lebih bersifat top down approach. Pembinaan yang
48
Ady Suyatno, Himpunan Perundang-undangan Tentang Pemasyarakatan, (Jakarta : Dirjen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2003) hlm. 10
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
diberikan kepada narapidana, merupakan program-program yang sudah ditetapkan dan narapidana harus ikut serta dalam program tersebut. Top down approach juga didasarkan atas pertimbangan keamanan, keterbatasan sarana pembinaan dan pandangan bahwa narapidana hanya objek semata-mata. Jadi sebagai objek, eksistensi narapidana untuk ikut serta membangun
dirinya atau membangun
kelompok yang kurang diperhatikan. 49 Pembinaan adalah paket yang datang dari atas. Sering pembinaan semacam tidak memperhatikan kondisi daerah atau kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang bersangkutan. Dalam sistem pemasyarakatan, orientasi ini masih tetapi dipertahankan. Sebagai top down approach, maka narapidana tidak dapat menentukan sendiri pekerjaan
atau
jenis
pembinaan
yang
dipilihnya,
yang
dianggap
sangat
dibutuhkannya. Sehingga banyak terjadi ketidaksesuaian antara kebutuhan belajar narapidana dengan sarana pendidikan yang tersedia. Atau ketidaksesuaian antara kebutuhan belajar narapidana dengan pembinaan yang diberikan padanya. Akibatnya upaya pembinaan menjadi hal yang mubazir saja. Padahal dari segi biaya pembiayaan, cukup mahal untuk membina seorang narapidana. Hasilnya tidak sesuai dengan biaya, tenaga dan waktu yang telah dikeluarkan. Jadi sebenarnya pembinaan narapidana denga top down approach tidaklah efektif sama sekali. Orientasi pembinaan semacam harus ditinjau kembali, agar pembinaan yang diberikan kepada narapidana
49
berdaya
guna
dan
berhasil guna, seperti yang diharapkan
C.I Harsono Hs, Op.cit hlm 20
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
pemasyarakatan. 50 Dalam sistem baru pembinaan narapidana, orientasi pembinaan harus diubah. Orientasi itu menjadi bottom up approach. Bottom up approach adalah pembinaan narapidana yang berdasarkan kebutuhan belajar narapidana, setiap narapidana haruslah menjalani pre test sebelum dilakukan pembinaan. Dari hasil pre test akan diketahui
tingkat
pengetahuan,
keahlian
dan
hasrat
belajarnya.
Dengan
memperhatikan hasil pre test, dipersiapkan materi pembinaan narapidana. Pada pertengahan pembinaan, perlu diadakan mid test untuk mengetahui sejauh mana pembinaan bisa berhasil dan diakhiri pembinaan diadakan post test, untuk mengetahui keberhasilan pembinaan. 51 Cara demikian akan menemukan kesesuaian belajar narapidana dengan kebutuhan belajarnya. Jika yang dipelajari adalah sesuatu yang dibutuhkan, maka hasil yang dicapai bisa semaksimal mungkin, sebab pembinaan mencapai daya guna dan hasil guna yang diinginkan, biaya, tenaga dan waktu yang dikeluarkan untuk membina narapidana juga tidak sia-sia. Tidak sulit untuk memenuhi kebutuhan belajar narapidana, sekalipun jumlah jenis kebutuhannya bermacam-macam. Pembina dapat membuat skala prioritas dari kebutuhan belajar tersebut. Dari skala prioritas dapat ditentukan jenis pembinaannya dengan mempertimbangkan lama setiap jenis pembinaan dengan lama pembinaan yang dijalani oleh setiap narapidana.
50 51
Ady Suyatno, Op.cit hlm 20. Ibid hlm 21.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Sekali lagi bahwa pembinaan narapidana tidak hanya pembinaan mental spiritual saja, tetapi juga pemberian pekerjaan selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan merupakan permasalahan tersendiri. Sistem
pemasyarakatan
telah
mampu
merubah
citra
itu,
dengan
memperlakukannya sebagai subjek. Disinilah faktor manusiawi lebih banyak berbicara, eksistensi manusia lebih ditonjolkan, harga diri lebih dibangkitkan dan didudukkan sejajar dengan manusia yang lain. Perlakuan dan pengaturan yang keras dikendorkan
dan narapidana dibina, agar kelak setelah keluar dari Lembaga
Pemasyarakatan tidak lagi mengulangi perbuatannya dan bisa beradaptasi dengan masyarakat. Pandangan pemasyarakatan tentu sangat baik sekali, setidak-tidaknya untuk mencapai tujuan pemasyarakatan. 52 Dalam sistem baru pembinaan narapidana, perlakuan narapidana diterapkan sebagai subjek sekaligus objek. Ada yang perlu digaris bawahi disini, bahwa perlakuan narapidana yaitu subjek sekaligus objek.
C. Metode Pembinaan Dalam membina narapidana, dapat digunakan dengan banyak metode pembinaan. Karena metode pembinaan merupakan cara dalam penyampaian materi pembinaan agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana yang dibina, dan yang dapat menghasilkan perubahan dalam diri narapidana itu sendiri, baik itu perubahan dalam berpikir, bertindak atau dalam bertingkah laku. Dalam hal 52
Ibid hlm 21-23
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
penyampaian materi pembinaan tidak saja dilakukan asal dapat menyampaikan materi, tetapi harus juga diperhatikan sejauh mana kesiapan para narapidana dalam penerimaan materi pembinaan tersebut. Karena narapidana adalah suatu masyarakat yang sangat heterogen yang terdiri dari berbagai macam manusia, dengan segala karakteristik, latar belakang ekonomi, sosial, pendidikan dan lain sebagainya sering kali tidak sama. Oleh karena itu penyampaian materi pembinaan harus melihat banyak sudut pandang. Dimana pemberian materi yang sama, dapat disampaikan secara berbeda kepada beberapa narapidana. Sehingga dalam membina narapidana, sangat diperlukan banyak metode penyampaian materi pembinaan, baik metode itu digunakan secara sendiri-sendiri atau digabungkan. Dalam hal ini pembina narapidana harus banyak mengenal metode pembinaan, sebelum melakukan pembinaan. Karena pembina narapidana tidak dapat menyama ratakan pembinaan narapidana secara sama untuk seluruh narapidana yang memiliki latar belakang kehidupan yang heterogen. Penelitian awal untuk pembinaan narapidana, harus dilakukan pada saat narapidana masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan di mana penelitian harus akurat. Sebelum suatu pembinaan berlangsung diharapkan para pembina harus langsung mengenal situasi kejiwaan dari narapidana yang akan dibina. Situasi pembinaan sering kali tidak diperhatikan oleh para pembina, bukan saja dalam pembinaan narapidana, akan tetapi juga dalam pendidikan formal di luar Lembaga Pemasyarakatan. Sehingga sering terjadi bahwa
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
anak didik hanya mampu menyerap 60% dari materi pendidikan yang diberikan dalam pembinaan. Situasi kejiwaan narapidana, kekacauan pikiran terhadap segala sesuatu, misalnya terhadap keluarga dirumah, terhadap hubungan sesama narapidana, harus terlebih dahulu dihilangkan agar narapidana tersebut dengan serius menerima materi pembinaan dan dapat mengikuti pembinaan dengan tuntas. Ada dua pendekatan dalam memberikan pembinaan bagi narapidana menurut kebutuhan yaitu : 2. Pendekatan dari atas (Top down approach) Dimana pembinaan atau materi pembinana berasal dari pembina, atau paket pembinaan bagi narapidana telah disediakan dari atas. Narapidana tidak ikut menentukan jenis pembinaan yang akan dijalaninya, tetapi langsung saja menerima pembinaan dari para pembina. Praktek pembinaan inilah yang masih digunakan oleh Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan dalam memberikan pembinaan bagi Warga Binaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan. 3. Pendekatan dari bawah (Bottom up approach) Dimana pendekatan pembinaan narapidana dari bawah merupaakn suatu cara pembinaan narapidana dengan memperhatikan kebutuhan pembinaan atau kebutuhan belajar narapidana. Tidak setiap narapidana mempunyai kebutuhan belajar yang sama, minat belajar yang sama pula.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam pembinaan ini seluruh kegiatan sangat tergantung kepada pribadi narapidana sendiri, dan fasilitas pembinaan adalah yang dimiliki oleh Lembaga Pemasyarakatan.
Sering kali seorang narapidana tidak mengetahui apa yang
menjadi kebutuhan pembinaan bagi dirinya atau kebutuhan belajarnya. Hal ini disebabkan narapidana tersebut tidak tahu dan tidak mengenal diri sendiri. Pembinaan narapidana dengan pendekatan dari bawah, membawa konsekuensi yang tinggi bagi para pembina, karena pihak pembina harus mampu menyediakan sarana dan prasarana bagi tercapainya tujuan pembinaan. Ada perbedaan yang menyolok antara pendekatan dari atas dengan pendekatan dari bawah yaitu pada tujuan yang hendak dicapai melalui pembinaan tersebut. Dalam pendekatan dari atas, tujuan yang hendak dicapai telah ditentukan oleh pembina, sedangkan pendekatan yang dari bawah, tujuan yang hendak dicapai ditentukan oleh narapidana itu sendiri. Selain dari pada itu bahwa pendekatan dari atas membuat para pembina menentukan arah pembinaan narapidana, tujuan pembinaan sesuai dengan keinginan pembina, sedangkan pendekatan dari bawah narapidana telah menentukan akan menjadi apa, sesuai dengan tujuan yang dibuatnya. 53
D. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Berdasarkan pasal 1 angka 1 PP No. 31 tahun 1999, tentang pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan serta pasal 1 angka 2 PP No. 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan disebutkan bahwa pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku,
53
C.I Harsono, Op.cit, hlm 348-349.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik lembaga pemasyarakatan. Pada umumnya pembinaan yang diberikan kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan meliputi : 54 1. Pembinaan pendidikan dan kepribadian/Intelektual Usaha pembinaan ini dilakukan agar pengetahuan serta kemampuan berpikir warga binaan pemasyarakatan semakin meningkat sehingga dapat menunjang kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama masa pembinaan. Pembinaan intelektual (kecerdasan) dapat dilakukan baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Pendidikan formal adalah yang diselenggarakan sesuai dengan ketentuanketentuan yang telah ada dan ditetapkan oleh pemerintah agar dapat meningkatkan kualitas warga binaan Pemasyarakatan. Pendidikan non formal diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan melalui kursus-kursus, latihan ketrampilan dan sebagainya. Bentuk pendidikan non formal yang paling mudah ialah kegiatan-kegiatan ceramah umum, dan membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh informasi dari luar, misalnya : membaca koran/majalah, menonton TV, mendegarkan radio dan sebagainya.
54
Soejono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta : CV. Pers, 1984) hlm 18
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
2. Pembinaan jasmani dan rohani 55 Pembinaan jasmani yaitu dengan memberikan kegiatan yang dapat menyehatkan badan dari narapidana tersebut, seperti olah raga, volly, tennis meja, senam dan lain-lain. Yang mana kegiatan tersebut dapat memberikan manfaat kesehatan jasmani yang bersangkutan. Sedangkan pembinaan rohani berupa pembinaan yang dilakukan untuk pemenuhan rohani berupa pembinaan yang dilakukan untuk pemenuhan rohani berupa bimbingan agama sesuai dengan agama meraka masing-masing, bagi yang beragama Islam diberikan pelajaran agama Islam dan begitu juga dengan agama lainnya seperti Katolik, Kristen atau Hindu/Budha. Mereka mendapatkan siraman rohani untuk kepercayaan masing-masing tampak ada perkecualian. Dengan adanya siraman rohani ini maka mereka sadar betul akan kehadiran yang maha pencipta yang menciptakan alam semesta dan isinya. Pembinaan rohani tentang bimbingan dan pendidikan agama yang umum di Lembaga Pemasyarakatan : 1. Setiap Petugas Lembaga Pemasyarakatan berkewajiban untuk memelihara dan menjaga ketertiban dalam pelaksanaan bimbingan dan pendidikan agama bagi narapidana.
55
Soejono Soekanto ; R.Otje Salman, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial Rajawali Pers, 1987) hlm 30.
(Jakarta :
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
2. Setiap Petugas tidak diperkenankan untuk menghalang-halangi atau mencegah bagi narapidana untuk melakukan perintah-perintah Agamanya dan mengikuti bimbingan ataupun pendidikan Agama. 3. Setiap Petugas harus bersedia untuk menampung segala keluhan-keluhan ataupun pengaduan-pengaduan narapidana tentang pelaksanaan kewajiban menurut agamanya, dan dalam mengikuti bimbingan ataupun pendidikan Agama. 4. Setiap Petugas Lembaga Pemasyarakatan tidak diperkenankan untuk mendorong ataupun mengasut atau membujuk seseorang narapidana untuk berpindah Agama. 5. Dalam pelaksanaan bimbingan dan pendidikan Agama, kepala lembaga Pemasyarakatan setempat dapat mengadakan kerjasama dengan Jawatan Agama setempat atau perseorangan. 6. Pelaksanaan kerja sama lebih lanjut akan ditetapkan dalam petunjuk-petunjuk pelaksanaan bimbingan dan pendidikan Agama dibawah ini. 7. Tiap Narapidana diperbolehkan untuk membaca Kitab-kitab suci menurut kayakinan Agama masing-masing. 8. Penyebarluasan brosur-brosur yang menyangkut bimbingan dan pendidikan Agama kepada narapidana harus terlebih dahulu dengan sepengetahuan dan seizin Kepala Lembaga pemasyarakatan. 56
56
Ady Suyatno, Op.cit hlm 35.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
9. Kegiatan penyuluhan rohani meliputi : a Penyuluhan / Pendidikan, b. Penyuluhan / pendidikan umum. 10. Kegiatan dan kunjungan yang dilakukan oleh Yayasan atau Lembaga Sosial sehubungan dengan kegiatn penyuluhan rohani harus mendapat ijin dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan. 11. Untuk keperluan penyuluhan / pendidikan agama atau penyuluhan / pendidikan umum, Kepala lembaga Pemasyarakatan dapat bekerja sama dengan instansi pemerintah setempat. 12. Dalam pelaksanaan penyuluhan / pendidikan tersebut butir 11, tenaga penyuluh / pendidik harus mengisi buku absensi dan mencatat materi pokok yang akan diberikan dalam buku yang telah disediakan. 13. Pokok-pokok materi ceramah, penyuluhan dan pendidikan harus diketahui Kepala lembaga Pemasyarakatan dan kegaitannya tidak boleh menyinggung perasaan
atau
menimbulkan
keresahan
bagi
para
Warga
Binaan
Pemasyarakatan (WBP). 14. Setiap kegiatan penyuluhan / pendidikan perlu diawasi agar tidak dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang dapat menggangu keamanan dan ketertiban Lembaga pemasyarakatan maupun keamanan Negara. 15. Untuk kegiatan penyuluhan / pendidikan agama dan penyuluhan / pendidikan umum disediakan sarana dan ruangan yang diperlukan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
16. Apabila dipandang perlu, ikut sertanya Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dalam berbagai kegaitan tersebut diatur dan agar diadakan konsultasi dengan pihak yang menahan. 17. Petugas Keamanan dan ketertiban berkewajiban membantu agar pelaksanaan pendidikan dan penyuluhan dapat berjalan secara terlatih dan lancar. 57 Pembinaan Jasmani di Lembaga Pemasyarakatan : 58 1. Untuk menjaga kondisi jasmani, kepada Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) diberikan kegiatan olah raga, kesenian dan rekreasi di dalam Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan fasilitas yang tersedia, dengan tidak menutup kemungkinan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) membawa sendiri peralatan yang diperlukan sepanjang tidak mengganggu keamanan dan ketertiban Lembaga Pemasyarakatan. 2. Senam pagi bagi narapidana dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang dipimpin oleh petugas Lembaga pemasyarakatan dilaksanakan sekurangkurangnya dua kali seminggu. 3. Penyelenggaraan Olah Raga berupa Bola Volley, Bulu Tangkis, Tennis Meja, Sepak Bola, Catur dan lain-lain, dilakukan di dalam Lembaga dibawah pengawasan petugas 4. Kegiatan kesenian meliputi jenis-jenis kesenian yang sesuai dengan kebudayaan nasional
57 58
Ady Suyatno, Op.cit hlm 36-37 Martiningsih; Program Kerja LP Wanita Medan Tahun 2007 hlm 5.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
5. Rekreasi bagi narapidana dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di dalam Lembaga Pemasyarakatan berupaya untuk memberikan hiburan dengan cara; a. Menyelenggarakan kesenian yang dilakukan oleh narapidana dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) atau yang didatangkan dari luar, terutama menjelang atau pada hari-hari besar nasional b. Menyelenggarakan pemutaran film, video atau televisi. 6. Memberikan kesempatan kepada narapidana dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) untuk melakukan kegaitan sosial yang bersifat sukarela (misalnya ikut dalam kegiatan sosial donor darah) Pelaksanaan bimbingan dan pendidikan Agama di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan yaitu : 59 1. Pelaksanaan bimbingan dan pendidikan agama sehari-hari dilakukan oleh bagian bimbingan sosial pada Lembaga Pemasyarakatan yang bersangkutan, dengan dibantu oleh petugas Keamanan. Narapidana yang mengikuti bimbingan dan pendidikan Agama harus dicatat dalam Buku Register yang tersedia. 2. Setelah bimbingan dan pendidikan Agama selesai dilakukan, petugas keamanan harus segera meneliti dan memeriksa kembali nama dan jumlah Narapidana yang telah mengikuti bimbingan dan pendidikan. 3. Petugas Bagian Keamanan harus selalu menjaga agar pelaksanaan bimbingan dan pendidikan Agama berlangsung secara tertib dan lancar. 59
Ady Suyatno, Op.cit hlm 6.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
4. Setiap kunjungan perseorangan maupun instansi ke Lembaga Pemasyarakatan dalam
pelaksanaan
bimbingan
dan
pendidikan
Agama,
harus
dengan
sepengetahuan Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang bersangkutan. 5. Perseorangan ataupun instansi yang bersangkutan harus mengisi Buku Tamu terlebih dahulu di Ruangan Jaga sebelum memperoleh izin dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan 6. Tiap narapidana diperbolehkan untuk membaca buku-buku yang tersedia di Perpustakaan Lembaga Pemasyarakatan. 7. Tiap-tiap buku yang dipinjam hanya dapat dibaca di ruangan yang telah disediakan untuk itu. 8. Waktu untuk mengikuti Pendidikan Umum adalah : tiap hari selama-lamanya 3 (tiga) jam. 9. Pembinaan keterampilan Pembinaan ketrampilan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan 60 a. Setiap narapidana, tanpa membedakan menurut lamanya pidana, usia dan status sosial harus memperoleh kesempatan atau mengikuti Pendidikan Ketrampilan di Lembaga Pemasyarakatan. b. Kesempatan untuk mengikuti Pendidikan ketrampilan ini tidak dapat diberikan, apabila Narapidana tersebut sedang sakit, atau sedang menjalankan hukuman disiplin.
60
Ibid, hlm 7.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
c. Kesempatan untuk mengikuti Pendidikan ketrampilan hanya dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, kecuali bagi narapidana yang : 1) Sedang menjalani Lepas bersyarat 2) Sedang menjalani Assimilasi tahap ke III Dapat dilakukan diluar Lembaga Pemasyarakatan d. Setiap 3 (tiga) bulan sekali, Kepala Bagian Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan
membuat
laporan
tertulis
kepada
Kepala
lembaga
Pemasyarakatan setempat pada formulir yang tersedia. e. Bagi Narapidana yang telah selesai mengikuti Pendidikan Ketrampilan ini harus diberikan Surat Keterangan pada formulir yang tersedia, Pemberian Surat Keterangan dimaksud dilakukan apabila : 1) Narapidana yang bersangkutan memperoleh Lepas bersyarat 2) Narapidana yang sedang menjalani Assimilasi tahap ke III 3) Narapidana yang bersangkutan telah selesai menjalani pidananya (habis masa pidananya) 4) Pembinaan seni 5) Rekreasi, dan olah raga Setiap narapidana wanita berhak mengikuti rekreasi yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Rekreasi ini dapat dilakukan di dalam maupun di luar
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Lembaga Pemasyarakatan, rekreasi di dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat berupa : olahraga, kesenian dan lain-lain. 61 Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan berupa alat kesenian Nasyid, yang dapat dipergunakan oleh para anak didik. Dan dapat juga mendatangkan tim kesenian atau tim olahraga dari luar Lembaga Pemasyarakatan. Petunjuk pelaksanaan rekreasi bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan 62 a. Setiap narapidana, tanpa membedakan usia, status dan lamanya pidana, berhak memperoleh rekreasi, kecuali narapidana yang : 1) Sedang menjalani hukuman disiplin; 2) Sedang menjalani cuti; 3) Sedang sakit b. Rekreasi di Lembaga Pemasyarakatan yang diperbolehkan adalah : 1) Kegiatan olahraga; 2) Kegiatan kesenian c. Setiap Petugas Lembaga Pemasyarakatan, wajib memperhatikan dan mengawasi pelaksanaan rekreasi bagi narapidana, agar tidak menimbulkan kericuhan atau kegaduhan antar narapidana. d. Pelaksanaan rekreasi dilakukan oleh Kepala Sub Bimpas Bagian Pendidikan e. Setiap 3 (tiga) bulan sekali, Kepala Seksi pembinaan menyampaikan laporan tertulis pada formulir yang tersedia kepada kepala Lembaga Pemasyarakatan.
61 62
Ady Suyatno, Op.cit, hlm 8. CI. Harsono, Op.cit, hlm 9.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
f. Untuk keperluan rekreasi ini kepala Lembaga Pemasyarakatan dengan sepengetahuan dan seizin Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia RI cq Kadiv pemasyarakatan setempat dapat mengundang atau mendatangkan team olah raga atau kesenian dari luar Lembaga Pemasyarakatan. 6. Latihan Kerja dan Produk Setiap pekerjaan yang diberikan merupakan sarana pendidikan bagi narapidana wanita agar menjadi manusia yang terampil. Dan sekaligus merupakan bekal hidup bagi narapidana wanita itu apabila mereka bebas nanti. Dan pekerjaan yang diberikan bermanfaat serta sesuai dengan bakat dan keahlian sebagai wanita. Sebagaimana hasil wawancara dengan narasumber Ibu Martiningsih pada tanggal 27 Maret 2008, pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan, antara narapidana biasa, narapidana anak dan narapidana residivis tidak ada perbedaan dalam memberikan pembinaan, hanya yang beda adalah cara pendekatannya, di mana terhadap narapidana residivis pendekatannya lebih ditekankan secara individual misalnya yang dilakukan oleh pembina (wali). 63 Hal ini untuk menghindari adanya kesenjangan diantara para narapidana. Di samping itu juga karena kedudukan narapidana dalam hal mendapatkan remisi tidak dibedakan lagi, dimana narapidana residivis bisa memperoleh remisi (Dasar Kepres No. 174 tahun 1999, tentang remisi).
63
Hasil Wawancara dengan Kalapas Wanita Medan, Martiningsih, di ruang kerjanya pada tanggal 27 Maret 2008.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Berdasarkan sifatnya, bentuk pembinaan yang telah dilakukan oleh pihak Lembaga
Pemasyarakatan, sebagaimana menurut keterangan narasumber, maka
dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu : 1. Pembinaan Materiil, terdiri atas : a. Pemberian keterampilan berupa pembuatan keset dari busa, pembuatan kristik, pembuatan dompet rajutan dan kue kering, merangkai bunga kering. b. Kegiatan-kegiatan olahraga, berupa senam, volly ball, bulu tangkis, tennis meja. 2. Pembinaan non materiil, berupa pembinaan kepribadian seperti : a. Pengajian rutin, kebaktian, dan kegiatan keagamaan yang disesuaikan dengan agama dan kepercayaan narapidana masing-masing. b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara (upacara bendera setiap hari senin). c. Pendampingan narapidana oleh wali narapidana. Selanjutnya penulis menanyakan tentang adakah upaya yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan untuk meningkatkan pembinaan bagi narapidana. Menurut Ibu Martiningsih tanggal 27 Maret 2008 adapun upaya-upaya pembinaan narapidana yang telah dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan adalah sebagai berikut : 64
64
Hasil Wawancara dengan Kalapas Wanita Medan, Martiningsih, di ruang kerjanya pada tanggal 27 Maret 2008.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
a. Pembinaan kepribadian : 1) Pembinaan kesadaran beragama yang diwujudkan dalam bentuk pengajian rutin bagi narapidana yang beragama Islam, kebaktian bagi narapidana yang beragama kristen, dan bagi yang beragama lain disesuaikan dengan kepercayaannya masing-masing. 2) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara : Dalam tahap pembinaan ini narapidana
diberitahukan
tentang
apa-apa
yang
menjadi
hak
dan
kewajibannya selama menjalankan pidananya di Lembaga Pemasyarakatan serta hak-hak dan kewajibannya setelah mereka keluar dari Lembaga Pemasyarakatan kelak. 3) Pendampingan narapidana oleh wali narapidana : Dalam menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan, seluruh narapidana memiliki wali, yang selanjutnya disebutkan wali narapidana. Wali narapidana ini adalah petugas Lembaga Pemasyarakatan sendiri. Seorang wali narapidana bertanggung jawab terhadap beberapa orang narapidana (tidak kurang sepuluh narapidana). Wali narapidana ini melakukan pembinaan secara berkelompok, adapun tugas wali narapidana masih menurut Ibu Martiningsih adalah melakukan pengawasan terhadap perilaku narapidana sekaligus memberikan nasehat-nasehat atau memecahkan masalah-masalah yang dipertanyakan oleh narapidana yang berkaitan dengan problem narapidana itu sendiri.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
b. Kegiatan olahraga Kegiatan ini merupakan kegiatan dalam pembentukan jiwa narapidana agar memiliki kesehatan dan jiwa yang sehat pula. Kegiatan olahraga ini meliputi senam, bola volly, bulu tangkis, tenis meja. Walaupun sederhana pelaksanaan olahraga ini telah disediakan sarana prasarananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan. c. Kepramukaan dan Sekolah Umum Bentuk dari kegiatan ini adalah mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan kependidikan, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan di tempat Kursus Pendidikan Sekolah Dasar (KPSD). Sebagai sarana penunjang disediakan pula perpustakaan yang dalam program ini Lembaga Pemasyarakatan bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional dalam hal ini penyediaan buku untuk perpustakaan. Sedangkan untuk pendidikan Pramuka di LP Wanita Medan belum terlaksana, namun masih dalam penjajakan. Disamping itu tujuan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan adalah untuk melatih narapidana wanita menjadi disiplin dan dapat mewujudkan narapidana yang mandiri, hormat dengan sesama narapidana dan menghargai sesama. Sedangkan pendidikan umum dimaksudkan untuk menambah intelektual, bebas dari kebodohan. Bentuk kegiatannya berupa paket A yaitu untuk memberantas buta huruf bagi narapidana wanita yang sebelumnya tidak bisa membaca menjadi bisa membaca dan juga menambah ilmu bagi narapidana
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan yang dilaksanakan setiap hari jam 09.00 sampai 11.30 Wib. Dan ini sangat berguna bagi narapidana wanita, karena setelah bebas mereka tidak buta huruf lagi dan dapat membaca surat dari keluarganya, dan ilmu pengetahuan yang lainnya semakin bertambah dan menguntungkan bagi narapidana wanita tersebut. Biasanya surat dari keluarga dibacakan oleh teman, sekarang mereka dapat membacanya sendiri, sehingga disinilah narapidana menimba ilmu pengetahuan yang semakin lama semakin berkembang untuk menuju apa yang dicita-citakannya dan diwujudkan sesuai dengan ketentuanketentuan yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan tersebut. d. Pendidikan Budi Pekerti Dalam prakteknya, kegiatan ini hampir tidak kelihatan oleh mata, karena meliputi tingkah laku dan tanggung jawab narapidana. Dan untuk pelaksanaannya wali narapidana yang berhubungan langsung dengan kegiatan ini. Dalam penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis di lembaga pemasyatakatan, yang berhubungan dengan pembinaan, pada dasarnya pembinaan yang dilakukan dapat penulis katakan cukup mendapat perhatian dari narapidana, adapun kegiatan pembinaan tersebut adalah : 1) Pembinaan kesadaran beragama : Dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan yang dilakukan narapidana yang hadir di acara yang diadakan tersebut sangat banyak, yang hadir adalah juga narapidana wanita yang hukuman lama. Disini terlihat jelas bahwa
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
kegiatan yang bersifat keharusan dan sadar terlaksana dengan baik. Menurut pengamatan penulis di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan, hal demikian terjadi karena adanya tindakan dari petugas, sehingga narapidana beranggapan bahwa kegiatan tersebut merupakan suatu keharusan bagi narapidana. Tapi juga menambah ilmu keagamaan mereka. Di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan dalam
kesadaran beragama, narapidana Wanita Medan sangat antusias sekali, namun demikian pihak petugas serta jajarannya belum mengadakan kerja sama dengan Departemen Agama Kota Medan. Sehingga sampai saat ini belum terlihat adanya kesepakatan yang konkrit untuk mendirikan Majelis Taklim sebagai suatu sarana organisasi warga binaan yang anggotanya terdiri dari narapidana wanita yang beragama Islam, karena dengan cara demikian bagi warga binaan dapat ditingkatkan iman Islamnya. Narapidana ditingkatkan iman Islamnya mengerti tentang agama Islam, bisa membaca Al’quran. Pembinaan kesadaran beragama juga diberikan oleh Yayasan Aisyah Kota Medan. Ini telah terlaksana sejak 1998, menurut Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan, Martiningsih. Kerjasama dalam memberikan kesadaran beragama terhadap narapidana wanita ini sangat berdampak positif terhadap perkembangan mental dari narapidana wanita selama berada di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan. Di samping pembinaan yang dilakukan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, dilakukan juga pembinaan diluar Lembaga Pemasyarakatan. Kegiatan yang dilakukan
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
di luar Lembaga Pemasyarakatan adalah ikut berpartisipasinya narapidana dalam kegiatan-kegiatan di luar Lembaga Pemasyarakatan, seperti Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), serta Pembebasan Bersyarat (PB), dan kegiatan assimilasi lainnya yang berhubungan dengan olah raga. Dalam pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan ini tidak semua narapidana diikutsertakan, sebab yang dapat mengikuti atau memperoleh pembinaan ini adalah narapidana yang sudah menjalani setengah masa pidana dan dinyatakan layak, dalam pengertian narapidana memiliki perilaku yang baik serta bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu bentuk pembinaan diluar Lembaga Pemasyarakatan adalah assimilasi. Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh narapidana yang ingin mendapat assiminasi antara lain adalah : a) Telah menjalani masa pidana dalam jangka waktu ½ dari masa pidana b) Berkelakuan baik, dan c) Aktif melakukan kegiatan pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Yang kemudian untuk jadwal ditentukan oleh pembina yang bersangkutan di Lembaga Pemasyarakatan. 65 Yang kemudian penulis lebih lanjut mengadakan wawancara dengan salah seorang pejabat di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara pada tanggal 31 Maret 2008 yang membidangi Pemasyarakatan yaitu Bapak
65
Wawancara dengan Ibu Zuraidah Lubis Kasie Pembinaan pada tanggal 18 Maret 2008.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
KadivPas Sugihartoyo berpendapat bahwa pelaksanaan sistem pembinaan bagi narapidana itu
belum disesuaikan dengan apa yang diinginkan oleh butir-butir
daripada UU No. 12 Tahun 1995. Hal ini karena masih kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan. Dan bukan hanya itu, bahwa disini juga petugas selaku pembina yang diharapkan dapat menyampaikan materi pembinaan masih sangat kurang memahami fungsi dan tanggung jawabnya sebagai petugas di Lembaga Pemasyarakatan. Bapak Sugihartoyo mengatakan bahwa Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan sampai saat ini belum membuat koordinasi dengan pihak luar dalam hal penanggulangan pembinaan yang dibutuhkan narapidana. Dan juga sejauh itu bahwa Pemerintah Kota dan Pemerintah Daerah belum pernah memberikan perhatian dalam hal pembinaan bagi narapidana, untuk itu diharapkan pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita harus lebih kooperatif dalam hal membuat kerjasama agar pembinaan dapat tercapai. Yang dalam hal ini diharapkan dapat membuat kerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Dinas Sosial Sumatera Utara. Pembinaan diluar Lembaga Pemasyarakatan ditujukan kepada narapidana wanita yang mendapat pidana bersyarat. Narapidana wanita yang mendapat pidana bersyarat apabila vonis telah mempunyai kekuatan hukum, dan narapidana telah menjalani hukuman 2/3 dari putusan hakim si terpidana dan dibimbing oleh Bapas (Balai Pemasyarakatan).
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Balai pemasyarakatan berada di bawah Direktorat Jendral Pemasyarakatan. Balai pemasyarakatan akan mencatat identitas dari narapidana wanita yang mendapat pidana bersyarat tersebut dan di daftarkan kedalam buku register pembinaan. Balai
pemasyarakatan
akan
memerintahkan
PK
(Pembimbing
Kemasyarakatan) untuk melaksanakan pembinaan terhadap klien atau narapidana tersebut. Dalam melaksanakan pembinaan, PK (Pembimbing Kemasyarakatan) akan mendapat Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) terhadap narapidana tersebut. Penelitian kemasyarakatan berisi tentang bagaimana asal-usul narapidana, bagaimana tanggapan keluarganya terhadap narapidana, bagaimana tanggapan masyarakat sekitar tempat dia melaksanakan tindak pidana dan tanggapan tentang tingkah lakunya, kenapa dia berbuat tindak pidana tersebut, apa pula tanggapan tokoh masyarakat yang berada di sekitar tempat tinggal narapidana bersyarat tersebut, semua akan dibuat menjadi suatu resume untuk langkah pembinaan apa yang cocok bagi narapidana wanita tersebut. Jika Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) yang bersangkutan sudah dibuat maka Balai Pemasyarakatan tersebut memerintahkan klien tersebut untuk melaporkan diri pada PK (Pembimbing Kemasyarakatan) akan melakukan kunjungan pembinaan kerumah atau tempat kerja klien ataupun ke sekolah-sekolah atau tempat-tempat lain yang mempunyai hubungan yang erat dengan perikehidupan klien yang bersangkutan, sepanjang tidak mengganggu klien yang bersangkutan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Adapun pelaksanaan Bimbingan lanjutan sesuai ketentuan-ketentuan lainnya yaitu : 1. Adapun klien dari balai Bispa masih menjalani masa pengawasan dan bimbingannya, belum dapat diberi Bimbingan lanjutan oleh Dinas Sosial. 2. Bilamana Klien Balai Bispa, seperti Klien : Pidana bersyarat (Anak atau Dewasa), Lepas atau Lepas bersyarat (Anak atau Dewasa) anak yang oleh Hakim dikembalikan kepada orang tua/walinya, dan Klien Cuti menjelang lepas mutlak (Cuti pre-release treatment), sudah selesai menjelang masa bimbingannya, mereka dapat diberi Bimbingan lanjutan oleh Dinas Sosial. 3. Pemberian Bimbingan lanjutan dapat diberikan kepada Klien tersebut di atas, jika Klien yang bersangkutan telah menyatakan bersedia diberi Bimbingan lanjutan. 4. PK (Pembimbing Kemasyarakatan) menyerahkan daftar data calon Klien yang bersedia diberi Bimbingan lanjutan kepada Dinas Sosial setempat, dilampiri data klien dalam waktu 1 (satu) bulan sebelum masa bimbingannya berakhir. 5. Petugas Dinas Sosial dapat mengadakan pendekatan kepada calon kliennya yang bersangkutan, sebelum masa pengawasan atau bimbingannya berakhir. 6. Segera, setelah Klien yang
bersangkutan berakhir masa pengawasan dan
bimbingannya, PK (Pembimbing Kemasyarakatan) memberitahukan secara tertulis, kepada Dinas Sosial untuk memberikan bimbingan lanjutan yang diperlukan kepada Dinas Sosial dan Dit. Jen. Pemasyarakatan melalui atasannya. Jadi klien yang dibina diluar Lembaga Pemasyarakatan dapat diberi bimbingan
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
lanjutan oleh Dinas Sosial, jika masa pengawasan dan bimbingannya telah selesai. 7. PK (Pembimbing Kemasyarakatan) dapat membantu klien anak-anak mencarikan sekolah, jika orang tuanya sulit mendapatkan sekolah anaknya, atau jika orang tua tersebut kurang mampu. Bagi bangsa Indonesia pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar pada pemenjaraan belaka, tetapi juga merupakan suatu rehabilitas dan reintegrasi sosial telah melahirkan suatu sistem pembinaan terhadap pelanggar hukum yang dikenal sebagai sistem pemasyarakatan. Adapun bentuk dari pembinaan tersebut adalah pembinaan-pembinaan kepribadian dan kemandirian pembinaan kepribadian diberikan mulai dari tahap awal pembinaan (maximum security) sampai tahap akhir (reintegrasi sosial), sedangkan pembinaan kemandirian mulai diberikan pada tahap lanjutan (medium security) sampai tahap akhir pembinaan. a. Pembinaan kepribadian : pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual, pembinaan kesadaran hukum. b. Pembinaan kemandirian : ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, ketrampilan yang dikembangkan
sesuai
dengan
bakat
masing-masing,
ketrampilan
mendukung usaha-usaha industri/pertanian.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
untuk
2. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Lembaga Pemasyarakatan Umum a. Tugas pokok Direktorat Jenderal Pemasyarakatan adalah melaksanakan sebagian tugas Departemen Hukum dan HAM RI dalam pelaksanaan pemasyarakatan dan Bispa (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan anak). b. Dalam
melaksanakan
tugas-tugas
pokok
diatas,
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan memiliki 3 (tiga) pola pembinaan sebagai pola pokok, yaitu : 1) Pembinaan narapidana (dewasa) di dalam Lembaga Pemasyarakatan 2) Pembinaan anak didik di dalam Lembaga Pemasyarakatan 3) Pembinaan diluar Lembaga Pemasyarakatan terhadap narapidana dan anak didik c. Ketiga pola pembinaan diatas harus dilaksanakan dengan mengingat kebutuhan
pembinaan
setempat
dan
landasan
kepada
cita-cita
pemasyarakatan. d. Untuk memelihara hubungan kerjasama antara unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, harus diperhatikan oleh setiap aparat pelaksana, landasan strukturil yang telah digariskan dalam pola tentang hubungan kerjasama strukturil organisatoris antara Unit Pusat dengan unit-unit pelaksana teknis. 66 .
66
Buku Manual Pembinaan Sarana Sistem Pemasyarakatan, (Jakarta : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 1990) hlm.20
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
e. Golongan orang-orang yang dapat
dimasukkan atau ditempatkan dalam
Lembaga Pemasyarakatan, adalah : 1) Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak kejaksaan ; 2) Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak pengadilan ; 3) Mereka yang telah dijatuhi pidana hilang kemerdekaan oleh Pengadilan negeri setempat ; 4) Mereka yang dikenakan pidana kurungan ; 5) Mereka yang tidak menjalani pidana hilang kemerdekaan akan tetapi dimasukkan ke Lembaga Pemasyarakatan secara sah. f. Menteri Kehakiman atau pejabat yang ditunjuk olehnya, menetapkan penetapan bagi narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan tertentu. g. Sepanjang tidak ditetapkan lain, penempatan tersebut pada angka 69 diatas harus memperhatikan : 1) Status Lembaga Pemasyarakatan yang bersangkutan 2) Sifat tindak pidana (kejahatan) yang dilakukan oleh narapidana yang bersangkutan 3) Keadaan sarana fisik Lembaga Pemasyarakatan yang bersangkutan h. Klasifikasi narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan tidak mengenal perbedaan Suku, Agama, Ras, Antar Golongan (SARA). i. Klasifikasi narapidana hanya mengenal perbedaan yang didasarkan atas perbedaan usia, jenis kelamin, dan lamanya pidana.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
j. Klasifikasi berdasarkan perbedaan usia, hanya mengenal atau mengakui perbedaan antara narapidana dewasa dan anak-anak. k. Klasifikasi berdasarkan perbedaan jenis kelamin, hanya mengenal atau mengakui perbedaan antara narapidana pria dan wanita. l. Klasifikasi berdasarkan lamanya pidana dibedakan antara : 1) Narapidana (dewasa dan anak-anak) yang dijatuhi pidana antara 5 (lima) tahun ; 2) Narapidana (dewasa dan anak-anak) yang dijatuhi pidana antara 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun ; 3) Narapidana (dewasa dan anak-anak) yang dijatuhi pidana di bawah 1 (satu) tahun. m. Pembinaan narapidana berdasarkan lamanya pidana di atas mengenal 3 (tiga) tingkat urgensi pembinaan sebagai berikut : 1) Pembinaan tingkat Nasional, berlaku bagi mereka yang mengenal pidana di atas 5 (lima) tahun; 2) Pembinaan tingkat Regional, berlaku bagi mereka yang dijatuhi pidana antara 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun ; 3) Pembinaan tingkat Lokal, berlaku bagi mereka yang dijatuhi pidana dibawah 1 (satu) tahun. n. Sepanjang tidak ditetapkan lain, penggunaan bentuk formulir/register pembinaan yang ada masih tetap berlaku.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
o. Sepanjang tidak ditetapkan lain, pelaksana pembinaan tingkat nasional, regional dan lokal harus berpedoman kepada proses pemasyarakatan sebagai berikut : Tahap pertama : Terhadap setiap narapidana yang didatangkan ke Lembaga Pemasyarakatan, dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal ikhwal perihal dirinya, termasuk : sebab-sebab ia melakukan tindak pidana, dan segala keterangan mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarganya, bekas majikan atau atasannya, teman sekerja, sikorban dari perbuatannya, serta dari petugas instansi lain yang menangani perkaranya. Kedua : Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan langsung selama-lamanya 1/3 (sepertiga) dari masa pidana yang ada dan menurut pendapat Anggota sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Pemasyarakatan sudah cukup kemajuan antara lain menunjukkan perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan tata-tertib yang berlaku Lembaga Pemasyarakatan, maka kepada narapidana yang bersangkutan kebebasan lebih banyak dengan mempergunakan tingkat pengawasan security. Ketiga : Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani ½ (setengah) dari
masa
pidana
yang
sebenarnya,
dan
menurut
pendapat
Dewan
pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan-kemajuan baik secara fisik maupun mental, dan juga segi ketrampilannya, maka wadah prosesnya perlu diperluas dengan diperbolehkannya mengadakan assimilasi masyarakat luar antara lain : ikut beribadah bersama-sama dengan masyarakat luar, mengikuti
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
pendidikan di sekolah-sekolah umum, bekerja di luar, akan tetapi pelaksanaannya masih berada dibawah pengawasan dan bimbingan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat : Jika proses pembinaannya telah dijalani 2/3 (dua pertiga) dari pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan, narapidana yang bersangkutan dapat diberikan lepas bersyarat, dan pengusulan lepas bersyarat ini ditetapkan oleh anggota sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP). Lembaga Pemasyarakatan sekali-kali tidak boleh menerima atau seseorang dalam Lembaga Pemasyarakatan, jika tidak berdasarkan putusan pengadilan, surat perintah atau surat penetapan yang diberikan oleh yang berwenang yang ditunjukkan kepadanya. Penolakan terhadap penerimaan atau penempatan dimaksud pada keterangan diatas, harus dilakukan melalui prosedur atau petunjuk berlandaskan perundangundangan yang berlaku. Mengelola
Lembaga
Pemasyarakatan,
kepala
Lembaga
Pemasyarakatan
memperhatikan petunjuk-petunjuk sebagai berikut : Bila narapidana bagi narapidana yang bersangkutan telah habis masa pidananya, maka narapidana yang bersangkutan harus segera dikeluarkan
dari Lembaga
Pemasyarakatan dengan memberikan surat keterangan tentang pembebasannya. Apabila Narapidana atau narapidana tertentu sudah tiba saatnya
untuk
memperoleh hak-haknya sebagaimana telah diatur oleh perundang-undangan yang berlaku, segera harus dilaksanakan pemberian haknya berdasarkan prosedur yang
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
telah ditetapkan; kecuali apabila Anggota sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) menetapkan lain. Terhadap setiap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang berada di Lembaga Pemasyarakatan, harus selalu diteliti kembali lamanya masa penahanan yang telah dijalaninya. Untuk menjaga ketertiban dan disiplin di kalangan para petugas Lembaga Pemasyarakatan, maka harus selalu dipelihara dan ditegakkan kewibawaan dengan sebaik-baiknya, dengan mengindahkan kode etik kepegawaian. Pembinaan berdasarkan sistem pemasyarakatan mengenai suatu dewan yang diberi nama anggota sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) antara lain : a. Menyelesaikan dan menetapkan serta memutuskan pada tingkat pendahuluan setiap masalah yang menyangkut pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik; b. Mengadakan penelitian dan evaluasi terhadap perkembangan pembinaan narapidana dan anak didik. Setiap putusan anggota sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) merupakan rekomendasi bagi Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah atau Direktur Jenderal masyarakat, sesuai dengan fungsi Anggota sidang Tim
Pengamat
Pemasyarakatan
(TPP)
dimaksud
pada
tingkat
Lembaga
Pemasyarakatan, tingkat Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Devisi Pemasyarakatan dan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Analisa dari bab ini adalah sebagai berikut bahwa setelah dilakukan penelitian dan wawancara dengan pejabat dan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan dapat dianalisa sebagai berikut bahwa
pembinaan narapidana
Wanita Medan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan karena terbatasnya sarana dan prasarana yang ada, dan UU itu sendiri belum mengatur secara khusus pembinaan terhadap narapidana wanita. Sedangkan masyarakat luas beranggapan pembinaan itu ada perbedaan antara lakilaki dan perempuan (wanita), namun kenyataannya di dalam UU itu tidak dibedakan menurut jenis dan kelamin dalam hal pemberian pembinaan sehingga kadang-kadang petugas mengalami kesulitan dalam hal memberikan pembinaan dimaksud kepada narapidana wanita.
Untuk itu diharapkan kepada Pemerintah agar diadakan
perubahan UU tentang pemasyarakatan yang membedakan pemberian pembinaan antara laki-laki dan perempuan (wanita) sehingga apa yang menjadi tujuan pembinaan tercapai sesuai dengan cita-cita pembangunan nasional.
E. Pemeliharaan Kesehatan Disamping kepala Lembaga Pemasyarakatan, dokter atau petugas paramedis, didampingi kepala blok, setidak-tidaknya dua kali setiap minggu mengadakan pemeriksaan kebersihan lingkungan blok dan kamar-kamar serta kesehatan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang ada diblok atau kamar dan tempat kerja.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Jika terdapat Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang sakit, harus segera dibawah kebagian kesehatan/rumah sakit atau balai pengobatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan untuk diperiksa kesehatannya dan mendapatkan pengobatan. Hasil pemeriksaan lingkungan yang telah dilakukan, segera dilaporkan kepada kepala Lembaga Pemasyarakatan. Perawatan kesehatan
untuk Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di
Lembaga Pemasyarakatan, sedapat-dapatnya dilakukan oleh seorang dokter. Untuk keperluan kesehatan, kepala Lembaga Pemasyarakatan dapat mengadakan hubungan kerjasama dengan Dinas Kesehatan setempat atau rumahrumah sakit terdekat. Pemeriksaan kesehatan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) selama berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali dalam satu bulan. Perawatan kesehatan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang sakit, ditetapkan oleh dokter Lembaga Pemasyarakatan dicatat dalam kartu sakit. Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang sakit dan dokter mengganggap perlu untuk diperiksa atau mendapatkan pengobatan dari dokter spesialis maka : 1. Kepala Lembaga Pemasyarakatan mendatangkan dokter spesialis dari luar untuk mengadakan pemeriksaan kesehatan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) kedalam Lembaga Pemasyarakatan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
2. Jika dokter spesialis sulit untuk didatangkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan seijin pihak yang menahan Kepala Lembaga Pemasyarakatan mengirim Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang sakit ke dokter spesialis diluar Lembaga Pemasyarakatan dengan dikawal oleh petugas Polri dan setelah selesai pemeriksaan kembali ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. 3. Perawatan kesehatan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang sakit keras dapat dilakukan di rumah sakit diluar rutan, setelah memperoleh ijin dari pihak yang menahan dan atas nasehat atau saran dari dokter Lembaga Pemasyarakatan setelah dokter yang bersangkutan melakukan pemeriksaan secara teliti dan jika perlu dengan bantuan penelitian laboratorium pemerintah. 4. Pengawalan, pengawasan dan penjagaan atas Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang akan dirawat atau selama dirawat di rumah sakit diluar Lembaga Pemasyarakatan, dilakukan oleh Polri, terhadap penderita yang digolongkan darurat gawat, sementara belum dapat menghubungi Polri maka untuk pengawalannya dapat dilakukan oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan. 5. Perawatan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang menderita sakit jiwa dilakukan di rumah sakit jiwa dan dilaksanakan atas nasehat dokter Lembaga Pemasyarakatan serta seijin pihak yang menahan. 6. Apabila terdapat Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang meninggal dunia karena sakit selama berada dalam Lembaga Pemasyarakatan : a. Dokter Lembaga Pemasyarakatan harus segera memeriksa dan membuat keterangan sakit serta kematian kepada pihak yang menahan dan keluarga
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), setelah diketahui Kepala Lembaga Pemasyarakatan. b. Kepala Lembaga Pemasyarakatan membentuk team untuk membuat berita acara kematian yang anggotanya terdiri dari tiga unsur yaitu : keamanan, kesehatan dan pendaftaran (register). c. Pemberitahuan kepada pihak yang menahan dan keluarga Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) disampaikan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan selambat-lambatnya satu kali dua puluh empat jam. d. Selambat-lambatnya dua kali dua puluh empat jam, Kepala Lembaga Pemasyarakatan
memberi
laporan
atas
kematian
Warga
Binaan
Pemasyarakatan (WBP) tersebut kepada : 1) Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM setempat. 2) Direktur Jenderal Pemasyarakatan. 3) Kepolisian setempat . e. Apabila dalam waktu dua kali dua puluh empat jam tidak ada keterangan dari pihak
keluarga,
maka
jenazah
dimakamkan
oleh
pihak
Lembaga
Pemasyarakatan dengan berita acara pemakaman. f. Jika pemakaman dilakukan oleh keluarganya maka harus dibuat berita acara penyerahan Jenazah. g. Apabila terjadi kematian secara tidak wajar, karena bunuh diri dan sebagainya, kepala Lembaga Pemasyarakatan harus segera melaporkannya
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
kepada polisi dan pihak yang menahan, untuk diadakan penyelidikan atas kematiannya. Tindakan yang harus dilakukan selama menunggu kedatangan polisi : a. Petugas keamanan mengadakan pengamanan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). b. Menjaga agar jenazah tetap ditempat kejadian dan tidak disentuh oleh siapapun. c. Petugas segera memberitahukan kepada keluarganya d. Kepala Lembaga Pemasyarakatan segera melaporkan kejadian tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan. h. Setiap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang meninggal dunia harus segera diambil sidik jarinya. i. Barang-barang milik pribadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang meninggal harus segera dikembalikan kepada keluarga dengan berita acara. j. Dalam hal barang-barang milik Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dimaksud tidak diambil atau diperlukan oleh keluarganya maka : 1) Barang-barang milik berharga dimusnahkan atas perintah Kepala Lembaga Pemasyarakatan 2) Barang-barang yang kemungkinan masih dapat digunakan diserahkan kepada Dinas Sosial untuk dimanfaatkan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
k. Lokasi Lembaga Pemasyarakatan ini berada di Kota Madya Medan Wilayah Kerja Departemen Hukum dan HAM RI Daerah Tk I, Propinsi Sumatera Utara yang beralamat : JL. Pemasyarakatan T. Gusta Medan. Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan mempunyai batas atau wilayah sebagai berikut : Sebelah Timur
: Berbatasan dengan tanah kosong
Sebelah Barat
: Berbatasan dengan rumah dinas
Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Lapas Anak Medan
Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Rumah Penduduk
Kondisi bangunan Lembaga
Pemasyarakatan kelas II A Wanita Medan
berdiri pada tahun 1986 menempati diatas tanah seluas 6,435 m2 dengan luas bangunan 5,050 m2 yang terdiri dari : Ruang Kalapas Unit keamanan dan tata tertib yang terdiri dari : a. Ruangan portir b. Ruangan Ka. KPLP dan staf KPLP c. Ruangan kunjungan d. Ruangan Blok Hunian Ruang administrasi kepegawaian dan keuangan a. Ruangan Ka. Sub Bagian Tata Usaha b. Ruangan Ka. Urusan kepegawaian c. Ruangan urusan umum
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
d. Ruangan Bendahara e. Ruangan registrasi f. Ruang pelaksana Bimkes g. Ruang Koperasi h. Ruang serba guna i. Ruang poliklinik j. Ruang Musholla k. Ruang Gereja l. Ruang dapur dan gudang Bangunan penghuni, terdiri dari 4 (empat) blok meliputi : Blok A
: Untuk Admsi orientasi
Blok B
: Napi narkoba
Blok C
: Napi kriminal lainnya
Blok D
: Tahanan
Dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan memiliki sarana dan prasarana penunjang yang meliputi : Ruang kantor pegawai : a. Ruang bagian umum b. Ruang bagian administrasi c. Ruang bagian registrasi d. Ruang bagian bimkemasy e. Ruang bagian tata usaha
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
f. Ruang bagian kesatuan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan g. Ruang besuk (kunjungan) h. Ruang narapidana i. Penjagaan j. Ruang bimbingan kerja Dalam memperlancar dan menunjang kegiatan pembinaan narapidana, maka struktural yang ada di Lembaga Pemasyarakatan terbagi dalam : 1. Kalapas, Kepala Subag Tata Usaha : Kepala Urusan Umum, Kepala Urusan Keuangan tata usaha dan kepala urusan kepegawaian 2. Kepala sub bagian. Tata usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Lembaga Pemasyarakatan Fungsi dari sub, bagian tata usaha adalah melakukan urusan kepegawaian, dan melakukan surat menyurat, perlengkapan dan rumah tangga. Sub bagian tata usaha terdiri dari : a. Urusan kepegawaian dan keuangan yang mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian dan keuangan b. Urusan umum melakukan urusan surat menyurat dan perlengkapan rumah tangga 3. Kepala seksi Pembinaan narapidana : Kasubsi Register, Kasubsi Bimpas seksi bimbingan narapidana dan anak didik, mempunyai tugas memberikan bimbingan pemasyarakatan narapidana
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Fungsi dari bimbingan narapidana adalah : a. Melakukan registrasi dan membuat statistik serta dokumentasi sidik jari narapidana. b. Memberikan
bimbingan
pemasyarakatan
mengurus
kesehatan
dan
memberikan perawatan kepada narapidana. Seksi bimbingan terdiri dari : a. Sub seksi registrasi yang bertugas melakukan pencatatan dan membuat statistik, dokumentasi sidik jari narapidana b. Sub seksi bimbingan kemasyarakatan dan perawatan yang bertugas memberikan bimbingan dan penyuluhan rohani serta latihan, olahraga, pendidikan, asimilasi dan perawatan kepada narapidana.
4. Kepala seksi keamanan dan ketertiban terdiri dari ; kasubsi keamanan, kasubsi pelaporan. Keamanan dan tata tertib mempunyai tugas, mengatur jadwal tugas, kegunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan, menerima laporan dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta menyusun laporan berkala di bidang keamanan dan menegakkan tata tertib. Dari seksi administrasi keamanan adalah : a. Mengatur jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
b. Menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta menyiapkan laporan berkala dibidang keamaan dan menegakkan tata terbit. c. Kasubsi keamanan mempunyai tugas mengatur jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan d. Kasubsi pelaporan dan tata tertib mempunyai tugas menerima paloran harian dan berita acara dari satuan pengamannan yang bertugas serta memperisapkan laporan berkala dibidang keamanan dan menegakkan tata tertib.
5. Kepala Seksi kegiatan kerja mempunyai tugas memberikan bimbingan kerja, mempersiapkan sarana kerja dan mengelola hasil kerja. Seksi kegiatan kerja terdiri dari : a. Kasubsi sarana kerja, memberikan bimbingan latihan kerja bagi narapidana dan mengelola hasil kerja (pemberdayaan) b. Kasubsi pengelolaan hasil kerja, mempersiapkan fasilitas sarana kerja 6. Kepala kesatuan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Wanita Medan kepala keamanan dan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan). Kesatuan pengaman mempunyai tugas menjaga keamanan dan ketertiban Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan. Tugas dari Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan adalah : a. Melakukan Penjagaan dan pengawasan terhadap narapidana/anak didik b. Melakukan Pemeliharaan keamanan dan ketertiban
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
c. Melakukan
Pengawalan,
penerimaan,
penempatan,
dan
pengeluaran
narapidana. d. Melakukan Pemeriksaan pelanggaran keamanan dan ketertiban Lembaga Pemasyarakatan e. Membuat Laporan harian dan berita acara pelaksanaan pengamanan. 67
Bagan Struktur organisasi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan:
67
Papan Program Uraian Tugas Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
ruktur organisasi
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
F. Pelaksanaan Pembinaan Keterampilan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Medan Pembinaan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan bertujuan untuk meningkatkan keterampilan narapidana wanita yang wujud kegiatannya antara lain dengan diadakannya kegiatan keterampilan berupa, membuat kue kering, susu kedelai, merangkai bunga kering, membuar keset kaki dari busa dan lain-lain sehingga kegiatan ini dapat meningkatkan keterampilan narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan. Pemberdayaan narapidana wanita, pembinaan kemandirian diwujudkan dalam bentuk keterampilan dan untuk mendukung usaha-usaha mandiri dan usaha kecil dan dikembangkan sesuai dengan bakat masing-masing kesemuanya pemberdayaan ini dimaksudkan dapat membuat narapidana
perempuan
menjadi
mandiri
setelah
terbebas
dari
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan. Keterampilan tersebut akan meningkatkan kemampuan narapidana agar hasil produknya laku dijual dipasaran. Adapun cara pemberdayaan narapidana tersebut adalah keterampilan ini yang sangat bermanfaat bagi narapidana wanita dan bahan bakunya mudah diperoleh dari lingkungan setempat, tanpa harus memesan dari luar daerah. Pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan sampai saat ini belum mempunyai kerjasama yang permanen dalam menjalankan kegiatan. Dan sampai saat sekarang bahwa peran Pemerintah Daerah belum terlihat dalam meningkatkan pembinaan warga binaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Adapun keuntungan yang didapat dari kegiatan ini diperuntukkan bagi narapidana wanita itu sendiri dan
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Lembaga Pemasyarakatan, dan sebagian disetorkan ke kas negara sebesar yang telah ditentukan oleh UU yaitu 15% dari keuntungan yang diperoleh. Sedangkan untuk narapidana sebesar 65% dari keuntungan. Dan 15 % adalah untuk dana penunjang. Pemberian keuntungan ini kepada narapidana dilakukan setelah narapidana tersebut selesai melaksanakan tugasnya dan ada juga yang setelah habis masa pidananya, dengan tujuan sebagai modal atau bekal bagi napi itu sendiri saat berada diluar Lembaga Pemasyarakatan. Kerajinan ini diajarkan kepada narapidana wanita yang berbakat dengan pembuatan kue kering kebanyakan mereka mau melaksanakannya, karena sangat berguna bagi mereka setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan dan mereka dapat meningkatkan taraf hidup keluarga dan dapat membiayai anak dan keluarga kelak kemudian hari. Dalam keterampilan ini narapidana memperoleh modal dari Lembaga Pemasyarakatan, dan untuk pemasarannya kurang lancar, jadi dibuat setelah ada pemesan. Dalam hal ini para narapidana wanita merasa beruntung dapat memperoleh kesempatan untuk memproduksi karena mereka mendapat ilmu yang sangat berguna untuk bekal mereka setelah selesai menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Wanita Medan. Mereka berharap setelah pulang nantinya mereka bisa mengembangkan produksinya di masyarakat sehingga bisa membantu menambah penghasilan keluarga, dapat berpartisipasi aktif dan positif dalam pembangunan dan mampu menjadi manusia mandiri sehingga dapat bahagia dunia dan akhirat hal tersebut sesuai dengan tujuan pemasyarakatan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Narapidana wanita yang sudah mengikuti pembinaan pada umumnya mereka telah menjalani ½ masa pidananya dan sudah minimum security, hal ini adalah untuk dapat mempermudah petugas untuk mengawasinya. Selain itu juga untuk memberi bekal kepada mereka agar nantinya dapat berwirausaha dimasyarakat nantinya setelah bebas dari Lembaga Pemasyarakatan. Dan mereka mendapatkan upah atau premi sesuai peraturan yang berlaku sebesar 65% dari keuntungan, sehingga apabila dikumpulkan dalam tabungan mereka bisa memberikan tambahan masukan untuk uang saku mereka. Adapun untuk pemasaran produk sampai saat ini masih terbatas untuk kalangan WBP dan petugas di Lembaga Pemasyarakatan wanita saja. Untuk menembus pasar di luar masih sulit dilaksanakan, karena selain banyak saingan juga terbentur dengan modal yang sangat terbatas. Jenis keterampilan yang saat ini sedang ramai digalakkan ialah keterampilan untuk produksi pembuatan kue kering dan basah. Kerjasama yang sudah berjalan sampai saat ini mendatangkan guru bordir dari Yayasan Maya Deli Sari kerja sama dengan swasta. Berdasarkan interview/wawancara yang diperoleh dari WBP yang telah ditunjuk untuk melaksanakan produksi kue kering, rajutan dan merangkai bunga yaitu rata-rata mereka merasa beruntung dapat memperoleh kesempatan untuk belajar produksi karena mereka mendapatkan ilmu yang sangat berguna untuk bekal mereka setelah selesai menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan wanita. Mereka berharap setelah pulang nantinya mereka bisa mengembangkan produksinya
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
dimasyarakat sehingga bisa membantu menambah penghasilan keluarga dapat berpartisipasi aktif dan positif dalam pembangunan dan mampu menjadi manusia yang mandiri dan tidak melanggar hukum lagi sehingga hidup bahagia didunia dan akhirat, hal tersebut sesuai dengan tujuan pemasyarakatan. Dari beberapa narapidana yang diwawancarai hal pembinaan narapidana wanita yang diberikan pada umumnya merasa cukup diperhatikan oleh pemerintah melalui petugas yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan. Pendapat mereka tentang pembinaan narapidana wanita Medan sangat positif dan mereka merasa sangat diperhatikan yang pada akhirnya setelah mendapat pembinaan mereka semua dapat mengembangkan ilmu apabila bebas dari Lembaga Pemasyarakatan. Dari sepuluh narapidana wanita tersebut semua merasa beruntung dapat ilmu di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan peneliti mengambil sampel 10 orang dari narapidana yang berjumlah 284 orang.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 2 Penggolongan Narapidana Wanita Berdasarkan Tindak Pidana Yang Dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan Per Maret 2008 68
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Jenis Kejahatan Pencurian Perampokan Pembunuhan Penganiayaan Kesusilaan Korupsi Perjudian Pemalsuan uang Penipuan Penggelapan Penadahan Penculikan Ketertiban Pembakaran Narkotika UU NO. 3 / 02 Pemalsuan Surat / Materai Lain-lain Napi residivis Tahanan Residivis Napi / tahanan Jumlah
68
Pasal KUHP
Jumlah 38 orang 5 orang 17 orang 8 orang 3 orang 1 orang 10 orang 4 orang 22 orang 22 orang 3 orang 1 orang 4 orang 252 orang 27 orang 3 orang 11 orang 18 orang 21 orang 39 orang 419 orang
Sumber data Papan Daftar Registrasi per Maret 2008 Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Medan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Untuk saat sekarang ini isi lembaga pemayarakatan adalah terdiri dari narapidana sebanyak 284 orang dan tahanan 135 orang, jadi jumlah keseluruhan 419 orang (Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan narapidana). Narapidana tersebut meliputi narapidana yang pidananya 1 (satu) tahun keatas sebanyak 241 orang, dibawah 1 (satu) tahun (3 bulan < 1 tahun) 36 orang dan pidana dibawah 3 bulan orang. Sementara Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) polisi 1 orang terdiri dari Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) kejaksaan 3 orang, Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) pengadilan (tingkat I) 7 orang, dan tingkat banding 3 orang dan seumur hidup 1 orang.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB IV FUNGSI DAN PERANAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA WANITA SERTA HAMBATAN YANG DIHADAPI
A. Fungsi dan Peran Lembaga Pemasyarakatan Terciptanya kualitas manusia dan kualitas masyarakat Indonesia yang maju dalam suasana tentram dan sejahtera lahir dan batin, dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang berdasarkan Pancasila, dalam suasana kehidupan bangsa Indonesia yang serba berkeseimbangan dan selaras dalam hubungan antara sesama manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam, lingkungannya, manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu perlu dihayati betul bahwa pembangunan itu sendiri baru dapat terselenggara dengan baik apabila dilaksanakan oleh manusia yang bermental dan berkualitas baik dan semua pihak haruslah memberikan partisipasinya dalam pembangunan, paling tidak ikut menciptakan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan pembangunan itu. Dalam hubungan inilah pemasyarakatan penting artinya bukan saja karena ia merupakan sarana untuk membina para narapidana dan tahanan sebagai manusia pembangunan guna meningkatkan kemampuan hidup mandiri ditengah masyarakat kelak, tetapi dengan diberikannya juga pendidikan kesadaran bernegara termasuk untuk mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban, maka pemasyarakatan merupakan juga sarana pendidikan dan sarana pembangunan. Dengan dasar pemikiran tersebut sehingga konsep pemasyarakatan pada hakekatnya
110 Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
adalah Pancasila yang turut berperan di dalam pembangunan, sehingga iapun merupakan
salah
satu
lembaga
pendidikan
dan
pembangunan.
Dengan
dikembangkannya fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang terbuka dan produktif dan bertujuan turut menggiatkan kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomi untuk kepentingan mereka sendiri dan untuk kepentingan pembangunan, sehingga langkha-langkah pembinaan keamanan dan ketertiban dalam setiap Lembaga Pemasyarakatan dilaksanakan sesuai dengan tingkat keadaan mulai tahap maximum security, medium security dan minimum security. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang terbuka dan produktif adalah sebagai : 1.
Lembaga Pendidikan yang mendidik manusia dalam rangka terciptanya kualitas manusia.
2.
Lembaga pembangunan yang mengikutsertakan manusia narapidana menjadi manusia pembangunan yang produktif Sehingga dengan demikian dapat diketahui bahwa Lembaga Pemasyarakatan
bukan saja berubah dalam pola pembinaan yang dilakukan tetapi sekaligus juga harus merubah orientasinya dari Lembaga Konsumtif menjadi Lembaga Produktif. Lembaga Pemasyarakatan saat ini jelas memiliki potensi sumber daya manusia berupa tenaga kerja (narapidana). Oleh karena itu, Lembaga Pemasyarakatan memiliki pertanggungjawabannya akan kekayaan seperti lahan yang belum diolah (didayagunakan) maka kekayaan itu perlu diolah atas dasar kerja sama dengan pihak pengusaha (negara maupun swasta) yang tenaga-tenaga pekerjanya keseluruhannya adalah para narapidana.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Fungsi dan tugas pembinaan Lembaga Pemasyarakatan terhadap warga binaan pemasyarakatan dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar mereka setelah selesai menjalani pidananya, pembinaannya dan bimbingannya dapat menjadi warga masyarakat yang baik.
B. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemasyarakatan dalam Rangka Pembinaan Narapidana Dalam upaya pelaksanaan sistem pembinaan terhadap narapidana perlu ada keseragaman dalam pelaksanaannya yang dilaksanakan berdasarkan sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk mempersiapkan narapidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab dan untuk mewujudkan tujuan pembinaan tersebut salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan melalui pelaksanaan Asiminasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Dan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaannya terdiri dari : 1.
UU No. 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.
2.
UU No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan (Lembaran Negara RI tahun 1995 No. 77, tambahan Lembaran Negara RI No. 3614).
3.
Peraturan pemerintah No. 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan hak warga binaan pemasyarakatan (Lembaran Negara RI tahun 1999 No. 68 tambahan Lembaran Negara RI No. 3846.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
4.
Peraturan pemerintah No. 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak Warga Binana Pemasyarakatan (Lembaran Negara RI tahun 1999 No. 69, tambahan Lembaran Negara RI No. 3846).
5.
Keputusan Presiden RI No. 174 tahun 1999 tentang Remisi (Lembaran Negara RI tahun 1999 No. 223).
6.
Peraturan Presiden RI No. 62 tahun 2005 tentang perubahan atas peraturan Presiden No. 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara RI.
7.
Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No.: M.03-PR.07.10 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM RI. Dengan demikian tanpa landasan hukum pembaharuan pelaksanaan
pembinaan dengan sistem pemasyarakatan itu tidak lebih sebagai usaha kewajiban moral saja, sekalipun dicanangkan secara nasional. Perlakuan yang bertentangan dengan hak azasi manusia terhadap narapidana tidak memperoleh jaminan hukum, karena terdesak alasan demi ketertiban. Untuk memenuhi kewajiban sebagai warga negara dan warga masyarakat, bangsa Indonesia menggunakan Pancasila sebagai pedoman secara bulat dan utuh dihayati dan diamalkan, sehingga kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rohaniah.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Sehubungan dengan dasar idiologis dan fisiologis tersebut maka dalam pembentukan hukum dan penerapan hukum di Lembaga Pemasyarakatan harus selalu berpedoman pada Pancasila yang merupakan ide yang diwujudkan dalam kenyataan, juga sebagai norma dasar yang menjadi pengukur tata hukum di Indonesia. Usaha pemerintah yang rasional tentang pelaksanaan pembinaan dengan sistem pemasyarakatan termasuk pembaharuan politik kriminal di Indonesia. Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan, yang terletak di Jl. Pemasyarakatan T. Gusta Medan Tel. 061 - 8450995 merupakan Lembaga Pemasyarakatan Wanita satu-satunya di Sumatera, dan NAD. Saat ini lembaga Pemasyarakatan wanita tersebut dihuni oleh tidak kurang dari 398 orang, terdiri atas 183 orang narapidana dan sisanya sebanyak 276 orang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) titipan (dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan). Narapidana yang menghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Medan di Medan, pada umumnya mereka yang dijatuhi hukuman penjara 1 (satu) tahun atau lebih. Terhadap narapidana yang dijatuhi hukuman penjara kurang dari 1 (Satu) tahun, mereka ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan-Lembaga Pemasyarakatan yang ada di masing-masing wilayah daerah kota/kabupaten setempat. Di dalam proses pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A wanita di Kota Medan, tampak bahwa di antara para petugas Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dan masyarakat mempunyai peranan yang sama pentingnya. Ketiganya itu merupakan satu kesatuan, saling mendukung dalam upaya menyukseskan pembinaan terhadap narapidana. Pelaksanaan pembinaan narapidana
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
jika dikaitkan dengan tahap-tahap pembinaan narapidana, maka sistem pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan, masih belum mengikuti apa yang menjadi tujuan dari pada sistem pembinaan narapidana yang baru. Mengingat isi daripada Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan belum ada pasal yang mengatur tentang pembinaan terhadap narapidana wanita, sehingga dalam pemberian pembinaan masih menggunakan pola yang sama dengan pembinaan narapidana laki-laki. Selain dari pada itu bahwa rangkaian atau bahan landasan kegiatan proses pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita tidak dapat berjalan lancar, sebab kodrat wanita yang harus mendapat perlindungan dari kaum laki-laki. Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat proses pembinaan narapidana sering tidak melakukan pembinaan sesuai dengan tahap-tahap pembinaan yang ditentukan di dalam undang-undang, dikarenakan belum adanya peraturan yang mengatur bagaimana pembinaan khusus yang diberikan kepada narapidana wanita misalnya, dalam hal pemberian asimilasi kerja luar tembok pemasyarakatan dengan membuat perjanjian kontrak kerja dengan pihak ke 3 (tiga). Sementara pembinaan asimilasi ini di dalam undang-undang No. 12 Tahun 1995 telah di tetapkan sebagai hak-hak daripada narapidana yang tertuang di dalam pasal 14. Seiring dalam proses pembinaan narapidana untuk merubah menjadi manusia yang baik dan taat kepada hukum harus dilaksanakan dengan cara ”Proses Konversi” menurut Sistem Tata Usaha Negara, karena pada dasarnya hanya petugas negara yang berwenang melaksanakan putusan pidana penjara, sedangkan proses konversi dalam
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
sistem pemasyarakatan dapat diartikan merubah tabiat narapidana untuk menjadi lebih baik melalui berbagai upaya pembinaan. 69 Dalam sistem pemasyarakatan terkandung nilai-nilai yang mencerminkan penghematan terhadap hak-hak asasi manusia narapidana, yaitu sebagaimana yang tercermin dalam 10 (sepuluh) prinsip pemasyarakatan, dimana pada prinsip ke-3 menyebutkan “Berikan bimbingan, bukan penyiksaan, supaya mereka bertobat” dan prinsip ke-4 menyebutkan bahwa “Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana”, serta prinsip ke-8 juga menyebutkan bahwa “Sebagai orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia”. Prinsip ini sejalan dengan prinsip-prinsip dasar tentang perlakuan terhadap narapidana, yaitu sebagaimana disebutkan pada prinsip pertama, “ Setiap narpaidana diperlakukan dengan cara menghargai martabat dan nilai yang melekat sebagai manusia” dan prinsip ke-5 “Kecuali untuk batasan-batasan yang dibutuhkan untuk tindakan pengurungan, semua narapidana dipelihara hak asasi manusia dan kebebasan mendasar. 70
69
Bambang Pornomo, Op.cit, hlm. 97. Nugroho, Warta Pemasyarakatan no. 24, (Jakarta : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Maret 2007) hlm. 20. 70
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
C. Hambatan dan Solusi yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, terdapat faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian karena dapat berfungsi sebagai faktor pendukung dan dapat pula faktor penghambat. Faktor-faktor yang dimaksud antara lain : 1. Pola dan tata letak bangunan; sebagaimana diatur dalam keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.PL.01.01 tahun 1985 tanggal 11 April 1985 tentang pola bangunan Lembaga Pemasyarakatan perlu diwujudkan, karena pola dan tata letak bangunan merupakan faktor yang penting guna mendukung pembinaan sesuai dengan tujuan pemasyarakatan. 2. Struktur Organisasi; sangat mempengaruhi mekanisme kerja, khususnya hubungan dan jalur-jalur perintah/komando dan staf hendaknya mampu dilaksanakan secara berdayaguna. Agar pelaksanaan tugas disetiap unit kerja berjalan dengan lancar. Setiap petugas harus mengerti dan dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan wewenang dan tanggungjawabnya masing-masing. Namun demikian, disiplin penerapan struktur organisasi hendaknya tidak menjadikan tugas-tugas menjadi lamban apalagi sampai terlambat. Dengan perkataan lain, struktur organisasi tidak boleh menjadi penghambat, sehingga harus diperlakukan secara luwes, sepanjang tidak melanggar ketentuan yang ada. 3. Kepemimpinan Kalapas; juga harus mampu menjadi faktor pendukung apabila kepemimpinannya mampu mendorong memotivasi kerja bawahan, membina dan memantapkan disiplin, bertanggungjawab dan kerjasama serta bergairah dalam bekerja. Demikian juga kemampuan profesional dan integritas moral Kepala
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Lembaga Pemasyarakatan sangat dituntut agar kepemimpinannya dapat menjadi faktor pendukung sekaligus menjadi teladan. 4. Kualitas dan kuantitas Petugas; juga harus selalu diusahakan
agar kualitas
petugas mampu menjawab tantangan-tantangan dan masalah-masalah yang ada dan muncul di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, disamping penguasaan terhadap tugas-tugas rutin. Kekurangan dalam kualitas jumlah petugas hendaknya dapat diatasi dengan peningkatan kualitas dan pengorganisasian yang rapi, sehingga tidak menjadi faktor penghambat atau bahkan menjadi ancaman bagi pembinaan dan keamanan/ketertiban. 5. Managemen; hal ini berkaitan dengan mutu kepemimpinan, struktur organisasi dan kemampuan, keterampilan pengelolaan (Manajerial skill) dari pucuk pimpinan maupun staf
sehingga pengelolaan administrasi di Lingkungan
Lembaga Pemasyarakatan, dapat berjalan tertib dan lancar. Dalam kaitan ini perlu dikaji terus menerus mengenai type managemen Pemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Indonesia. 6. Kesejahteraan Petugas; disadari sepenuhnya bahwa faktor kesejahteraan petugas pemasyarakatan memang masih memprihatinkan, namun faktor kesejahteraan ini tidak boleh menjadi faktor yang menyebabkan lemahnya pembinaan dan keamanan/ketertiban. 7. Sarana dan fasilitas; pembinaan dalam hal kekurangan sarana dan fasilitas baik dalam jumlah maupun mutu telah menjadi penghambat pembinaan bahkan telah menjadi salah satu penyebab rawannya keamanan/ketertiban. Adalah menjadi
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
tugas dan kewajiban bagi Kepala Lembaga Pemasyarakatan untuk memelihara dan merawat semua sarana dan prasarana yang ada dan mendayagunakannya secara optimal. 8. Anggaran; sekalipun dirasakan kurang mencukupi untuk kebutuhan seluruh program pembinaan namun hendaklah diusahakan memanfaatkan anggaran yang tersedia secara berhasil guna dan berdaya guna. 9. Sumber daya alam; adalah sebagai konsekuensi dari pada pelaksanaan konsep pembinaan pemasyarakatan terbuka dan produktif, maka sumber daya alampun merupakan salah satu faktor pendukung. Namun demikian tanpa sumber daya alampun pembinaan tetap harus dapat berjalan dengan memanfaatkan sarana dan fasilitas yang ada. 10. Kualitas dan ragam pembinaan; dimana kualitas dan bentuk-bentuk program pembinaan tidak semata-mata ditentukan oleh anggaran ataupun sarana dan prasarana yang tersedia. Sehingga diperlukan program-program kreatif yang murah dan mudah serta memiliki dampak yang edukatif dan optimal bagi warga binaan pemasyarakatan. 11. Masalah-masalah lain yang berkaitan dengan warga binaan pemasyarakatan yang dalam hal ini adalah para petugas yang dituntut untuk mampu mengenal masalahmasalah lain yang berkaitan dengan Warga Binaan Pemasyarakatan serta dapat membuat solusi yang tepat dalam penyelesaiannya. Dan yang umum masalah itu berkisar pada :
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
c. Sikap acuh tak acuh keluarga narapidana, karena masih ada keluarga narapidana yang bersangkutan tidak lagi memperhatikan nasib narapidana tersebut. d. Partisipasi masyarakat yang masih perlu juga ditingkatkan karena masih didapati pada kenyataan sebahagian anggota masyarakat enggan menerima kembali bekas narapidana untuk hidup bersama pada lingkungannya semula. e. Kerjasama dengan instansi (badan) tertentu baik yang terkait secara langsung masih perlu ditingkatkan juga, karena masih ada diantaranya yang belum terketuk hatinya untuk membina kerjasama. f. Informasi dan pemberitaan-pemberitaan yang tidak seimbang, bahwa cenderung juga selalu mendiskreditkan Lembaga Pemasyarakatan sehingga dapat merusak citra Pemasyarakatan dimata umum. Dengan mengenali faktor-faktor tersebut baik yang ada di dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, maupun dari luar Lembaga Pemasyarakatan, maka diharapkan pembinaan yang dilakukan dapat dilaksanakan dengan lebih baik sesuai dengan fungsi dan peranan Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Sistem pembinaan narapidana menurut UU No. 12 tahun 1995 adalah ssuatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertangungjawab. Dalam praktek masih sulit untuk dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Medan, karena di dalam UU tersebut belum ada pasal yang khusus mengatur tentang pembinaan terhadap narapidana wanita sesuai dengan kodratnya sebagai wanita, sehingga petugas dalam memberikan pembinaan masih dengan pola-pola yang tidak sesuai dengan tujuan pembinaan seperti apa yang diharapkan oleh UU No. 12 tahun 1995. 2. Bahwa setelah penulis melaksanakan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan, ternyata pada Lembaga Pemasyarakatan tersebut dalam memberikan pembinaan terhadap narapidana masih menggunakan pola top
down
Approach,
dimana
pelaksanaan
pembinaan
sepenuhnya
121 Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
dilaksanakan sesuai dengan keinginan petugas. Namun dalam hal ini bahwa Lembaga Pemasyarakatan Wanita telah memulai pembinaan mengarah pada apa yang diterapkan dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Bahwa disana telah melaksanakan program pembinaan peningkatan keterampilan
dan memberikan pendidikan kepribadian yang menyangkut
agama, olah raga dan pemberantasan buta huruf paket A. 3. Dalam mengatasi hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembinaan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu : Pola dan tata letak bangunan, Struktur Organisasi, Kepemimpinan Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Kualitas dan kuantitas Petugas, Managemen, Kesejahteraan Petugas, Sarana dan fasilitas, Anggaran, Sumber daya alam, Kualitas dan ragam pembinaan.
B. Saran 1.
Hendaknya pembinaan dilakukan dengan menggunakan pendekatan persuasif, dalam arti bahwa narapidana diperlakukan sebagai subyek bukan obyek, sehingga narapidana akan merasa diperlakukan dengan baik. Dengan demikian pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan akan efektif dan berhasil, sesuai dengan tuntutan UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
2.
Bahwa pemberian pembinaan di LP. Wanita Medan belum sepenuhnya mengikuti apa yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995, karena isi dari pada UU no. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan belum secara khusus ada pasal yang mengatur tentang pembinaan terhadap wanita, sehingga dengan demikian sudah sepatutnya ada perubahan ataupun penambahan pasal agar pembinaan khusus bagi wanita diberikan secara khusus.
3.
Perlu mengadakan kerjasama melalui Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman antara pihak Lembaga Pemasyarakatan wanita dengan lembaga-lembaga pendidikan yang ada juga dengan Dinas Perdagangan dan Perindustrian, utamanya dalam rangka mengatasi kesulitan tenaga pembina. Dengan demikian, paling tidak akan dapat membantu meringankan beban Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Medan, ketika kesulitan mencari tenaga pembina yang profesional dan berkualitas. Diharapkan pihak Lembaga Pemasyarakatan mengadakan pendekatan kepada pemerintah daerah agar bekerja sama dalam memasarkan hasil produksi dan juga dalam hal pengadaan dana karena sebagian besar WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) adalah penduduk Kota Medan, sehingga diharapkan perhatian khusus dari pemerintah kota maupun Tingkat I Provinsi Sumatera Utara.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Saharjo, Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila, Pidato Pengukuhan pada tanggal 3 Juli 1963, Jakarta : UI Press, 1983. R.N.C, Whelan, J. Christopher Podgorecki Adam, diterjemahkan oleh Widyaningsih. G. Kartasapoetra, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Jakarta : PT. Melton Putra, 1987. Meliala, Aman Sembiring, Jakariawan, Agus, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Malang : Mandar Maju 2001. Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta : Sinar Grafika, 1996. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pemasyarakatan, Jakarta 2000. Rasjidi, Lili, H, Rayidi, Ira, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001. Sutrisno, Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta : Universitas Gajah Mada, 1975. Nawawi Hadari, dan Hadiri Murtin, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 1992. Soekanto Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pembangunan di Indonesia, (Suatu Tinjauan Secara Sosiologis), Jakarta : Universitas Indonesia, 1983. _______________, Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta : CV. Pers, 1984. _______________, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta : CV. Rajawali, 1982. Soekanto Soerjono, Salman Otje R, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Jakarta : Rajawali Pers, 1987. Dirdjosisworo Sudjano, Sosiologis Hukum Studi Tentang Perubahan Hukum Sosial, Jakarta : CV. Rajawali, Januari 1983.
124 Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Mertokusumo Sudikno, Mengenal dan Pembinaan di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 1997. Soejono D, Penanggulangan Kejahatan, Bandung : Nuansa, 1998. _________, Usaha Pembaharuan Sistem Kepenjaraan dan Pembinaan Narapidana, Bandung : Dasar-dasar Penologi 1983. Lili Rasjidi, dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001. Moelyatno, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta : Universitas Indonesia, 1998. Ruba’I Masruchin, Mengenal dan Pembinaan di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 1997. Johnson S Alvin, Sosiologi Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 1994. Poernomo Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta : Liberty, 1985.
2. Perundang-Undangan Undang-undang Pemasyarakatan No. 12 Tahun 1995. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Pemasyarakatan, Dirjen Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Kajian Wanita Dalam Pembangunan T.O Ihromi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia 1995. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Pemasyarakatan, Jakarta : Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2000.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
3. Jurnal Ilmiah, Majalah, Program Kerja, Makalah Parawansa Khofifah Indar, Rencana Induk Pembangunan Nasional Pemberdayaan Perempuan, Jakarta : 2000-2004. Meutia Farid Hatta Swasono, 100 Wanita terinspiratif 2008, Jakarta : Majalah Wanita Kartini Edisi Khusus, Mei 2008. Nugroho, Warta Pemasyarakatan, Jakarta : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Maret 2007. Sitorus, Oloan, Darwinsyah Minim, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah di Bidang Hukum (Paduan dalam menuntaskan Skripsi, Tesis dan Disertasi) Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2003. Protap Tentang Perawatan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Dirjen Pemasyarakatan Tahun 1995. Raka Joni. T Penuntun Teknik Penulisan Tesis, Medan : FIP IKIP Medan, 1997. Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi Medan : YA3, 1900. Martiningsih, Program Kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Medan. Medan, 2008. W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta : Balai Pustaka, 1976.
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008
Rita Uli Situmeang: Fungsi Dan Peranan Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Wanita Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, 2008. USU e-Repository © 2008