BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah “kesusastraan”. Kata kesusastraan
merupakan bentuk dari konfiks ke-an dan susastra. Menurut Teeuw (dalam Rokhmansyah, 2014:1) kata susastra berasal dari bentuk su + sastra. Kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta yaitu berasal dari akar kata sas yang dalam kata kerja turunan berarti “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau intruksi”, sedangkan akhiran tra menunjukan “alat, sarana”. Kata sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi, atau pengajaran. Awalan su pada kata susastra berarti “baik, indah” sehingga susastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi, atau pengajaran yang baik dan indah. Kata susastra berasal dari bahasa Jawa atau Melayu karena kata susastra tidak terdapat dalam bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna. Konfiks ke-an dalam bahasa Indonesia menunjukan pada “kumpulan” atau “hal yang berhubungan dengan”. Secara etimologis istilah kesusastraan dapat diartikan sebagai kumpulan atau hal yang berhubungan dengan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran, yang baik dan indah. Bagian “baik dan indah” dalam pengertian kesusastraan menunjuk pada isi yang disampaikan (hal-hal yang baik; menyarankan pada hal yang baik) maupun menunjuk pada alat untuk menyampaikan, yaitu bahasa (sesuatu disampaikan dengan bahasa yang indah).
Universitas Sumatera Utara
Banyak batasan mengenai definisi sastra, antara lain: 1.
Sastra adalah seni.
2.
Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam.
3.
Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa. Sedangkan yang dimaksud dengan pikiran adalah pandangan, ide-ide, perasaan, pemikiran, dan semua kegiatan mental manusia.
4.
Sastra adalah inspirasi kehidupan yang dimaterikan (diwujudkan) dalam sebuah bentuk keindahan.
5.
Sastra adalah semua buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang mendalam dan kekuatan moral dengan sentuhan kesucian kebebasan pandangan dan bentuk yang mempesona. Menurut Sumardjo dan Saini (dalam Rokhmansyah, 2014:2), sastra adalah
ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sastra ialah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusastraan. Standar bahasa kesusastraan yang dimaksudkan adalah penggunaan kata-kata yang indah dan gaya bahasa serta gaya cerita yang menarik. Sedangkan kesusatraan adalah karya seni yang pengungkapannya baik dan diwujudkan dengan bahasa yang indah. Menurut Usman Effendi (dalam Zainuddin, 1992:99), kesusastraan atau sastra ialah ciptaan manusia dalam bentuk bahasa lisan maupun tulisan yang dapat menimbulkan rasa bagus.
Universitas Sumatera Utara
Karya seni yang merupakan ciptaan manusia dengan bahasa sebagai medianya; merupakan perpaduan yang harmonis antara isi (menarik dan baik) dengan bahasa (indah, bagus, dan baik susunan katanya) dan bagaimana cara mengungkapkannya. Itulah yang dimaksud (karya) kesusastraan atau dikenal dengan karya sastra. Melalui karya sastra, seorang pengarang menyampaikan pandangannya tentang kehidupan yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu, mengapresiasi karya sastra artinya berusaha menemukan nilai-nilai kehidupan yang tercermin dalam karya sastra. Banyak nilai-nilai kehidupan yang ditemukan dalam karya sastra tersebut. Sastra sebagai produk budaya manusia berisi nilai-nilai yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Sastra sebagai hasil pengolahan jiwa pengarangnya, dihasilkan melalui suatu proses perenungan yang panjang mengenai hakikat hidup dan kehidupan. Sastra ditulis dengan penuh penghayatan dan sentuhan jiwa yang dikemas dalam imajinasi yang dalam tentang kehidupan. Karya sastra sebagai potret kehidupan bermasyarakat merupakan karya yang dapat dinikmati, dipahami, dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra tercipta karena adanya pengalaman batin pengarang berupa peristiwa atau problem dunia yang menarik sehingga muncul gagasan imajinasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan karya sastra akan menyumbangkan tata nilai figur dan tatanan tuntutan masyarakat, hal ini merupakan ikatan timbal balik antara karya sastra dengan masyarakat, walaupun karya sastra tersebut berupa fiksi, namun pada kenyataannya sastra juga mampu memberikan manfaat yang berupa nilainilai moral bagi pembacanya.
Universitas Sumatera Utara
Unsur bahasa merupakan ciri pembeda yang membedakan karya sastra dengan karya seni yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya karya sastra adalah karya seni yang bermedia atau berbahan utama bahasa. Wellek dan Warren (dalam Rokhmansyah, 2014:3), membandingkan bahasa khas sastra dengan bahasa ilmiah dan bahasa percakapan sehari-sehari. Bahasa ilmiah bersifat denotatif, ada kecocokan antara tanda (sign) dan diacu (referent). Karya sastra terdiri atas puisi, prosa, dan drama. Prosa terbagi lagi atas novel, cerpen, roman, dan sejenisnya. Novel merupakan sebuah genre sastra yang memiliki bentuk utama prosa, dengan panjang yang kurang lebih bisa untuk mengisi satu atau dua volume kecil, yang menggambarkan kehidupan nyata dalam suatu plot yang cukup kompleks. Novel dibedakan dengan puisi terutama dari bahasanya yang tidak berima dan tidak memiliki irama yang teratur. Novel dibedakan dengan drama dari bentuknya yang lebih bersifat naratif, yang tidak mengandalkan peragaan dan dialog. Novel juga dibedakan dari cerpen atau novela karena novel cukup panjang untuk mengisi satu atau dua volume kecil, dan juga memberikan treatment yang mendalam terhadap kehidupan dan perkembangan sosial serta psikologis para tokohnya (Aziez dan Hasim, 2010:7) Novel ialah bentuk karangan prosa yang pengungkapannya tidak panjang lebar seperti roman, biasanya melukiskan atau mengungkapkan suatu peristiwa atau suatu kejadian yang luar biasa pada diri seseorang (Zainuddin, 1992:106). Novel merupakan suatu karya fiksi, yaitu karya dalam bentuk kisah atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan. Menurut
Universitas Sumatera Utara
pengertian yang diberikan oleh Yelland (dalam Aziez dan Hasim, 2010:2), bahwa fiksi berarti “that which is invented as distinguished from that which is true”. Sebuah novel bisa saja memuat tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa nyata, tetapi pemuatan tersebut biasanya hanya berfungsi sebagai bumbu belaka dan mereka dimasukkan dalam rangkaian cerita yang bersifat rekaan atau dengan detail rekaan. Walaupun peristiwa dan tokoh-tokohnya bersifat rekaan, mereka memiliki kemiripan dengan kehidupan sebenarnya. Mereka merupakan “cerminan kehidupan nyata”. Novel dibangun oleh dua unsur yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur yang membangun novel dari dalam seperti tema, alur, plot, tokoh, dan penokohan, amanat dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang membangun sastra dari luar seperti agama, pendidikan, ekonomi, psikologi, filsafat dan lain-lain. Salah satu unsur intinsik yang terdapat pada novel ialah tokoh. Tokoh menjadi pemegang peran atau pelaku cerita yang sangat penting karena dapat menghidupkan kejadian atau peristiwa yang terdapat di dalam novel. Melalui perilaku tokoh-tokoh yang ditampilkan inilah seorang pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan konflik-konflik yang dihadapinya, baik konflik dengan perorangan maupun dengan kelompok. Sastra di Cina sebelum abad ke-14 mengutamakan penciptaan karya syair, esei, dan cerita pendek. Akan tetapi, pada abad ke-14 sastra di Cina khususnya di Tiongkok mulai memasuki masa puncak penciptaan novel. Pada masa itu di Tiongkok berturut-turut muncul banyak novel. Di antara novel-novel itu ada
Universitas Sumatera Utara
empat novel yang paling terkenal, di antaranya yaitu novel 红楼梦 (Hóng Lóu Mèng), 水浒传 (Shuǐhǔ Zhuàn), 三国演义 (Sānguó Yǎnyì), 西游记 (Xīyóu Jì). Selama seratus tahun lebih ini, keempat novel klasik itu menjadi karya sastra yang paling populer di kalangan para pembaca dari berbagai lapisan di Tiongkok. Novel 红楼梦 (Hóng Lóu Mèng) karya Cao Xueqin dikenal di Negara Cina dengan novel klasik. Novel 红 楼 梦 (Hóng Lóu Mèng) sudah banyak diceritakan ulang dengan berbagai jilid dan versi yang berbeda, misalnya untuk anak-anak dicetak dengan versi komik dan untuk orang dewasa dicetak dengan versi novel yang menceritakan secara detail serta terdapat syair-syair. Novel ini juga sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Misalnya, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris novel 红楼梦 (Hóng Lóu Mèng) dikenal dengan A Dream of Red Mansions dan dalam bahasa Indonesia novel 红楼梦 (Hóng Lóu Mèng) dikenal dengan novel Impian di Bilik Merah. Novel Impian Di Bilik Merah ditulis oleh Cao Xueqin di pertengahan abad ke-18, pada masa pemerintahan Dinasti Qing. Di dalam novel ini banyak menceritakan kehidupan perempuan china pada masa itu. Novel ini memiliki lebih banyak tokoh perempuan dibanding dengan laki-lakinya, walaupun tokoh utamanya tetap seorang laki-laki, namun dalam novel ini, kehidupan perempuan banyak diceritakan dan digambarkan oleh Cao Xueqin. Cerita pada novel ini lebih banyak menceritakan kehidupan di dalam rumah. Meskipun novel ini dikenal sebagai roman keluarga, tetapi novel ini mampu memaparkan kehidupan hampir
Universitas Sumatera Utara
setiap golongan masyarakat secara nyata, maka tidak heran jika novel klasik Tiongkok ini menjadi salah satu dari empat novel klasik china yang tersohor. Novel Impian di Bilik Merah menceritakan peranan perempuan dalam sejarah Tiongkok yang menggunakan sistem feodal. Selain itu, novel ini juga menceritakan tentang perlawanan terhadap aturan sistem feodal yang dipandang sebagai ketidakadilan sistem oleh para tokoh perempuan di dalamnya. Di dalam novel Impian di Bilik Merah ini terdapat tokoh-tokoh perempuan yang memiliki keinginan yang begitu kuat untuk mempertahankan diri dan memberontak sistem feodal. Seperti tokoh Wang Xifeng yang berambisi menguasai
kekuasaan
dan
piawai
dalam
mengatur
acara-acara
yang
diselenggarakan oleh keluarganya. Di tambah lagi dengan kehadiran tokoh Yuanyang sebagai seorang pelayan, yang menolak aturan sistem feoadal meskipun dia hidup dalam keluarga yang feodal. Tokoh-tokoh seperti Wang Xifeng dan Yuanyang dapat dijadikan sebagai pintu pembuka pada kajian feminisme yang nantinya akan mengungkapkan beberapa kisi- kisi yang membuktikan
eksitensinya
mengangkat mereka sebagai sosok yang mampu sebagai
seorang
perempuan
dan
sekaligus
mengkontruksi berbagai budaya yang berkembang dalam tradisi budaya Cina masa lampau. Feminisme adalah faham atau aliran yang secara kontiniu menuntut persamaan atau menyetarakan hak wanita dengan laki-laki. Konsep feminisme adalah membalikkan paradigma bahwa perempuan berada di bawah dominasi laki-laki, perempuan adalah pelengkap, dan perempuan adalah sebagai makhluk
Universitas Sumatera Utara
kedua. Sejalan dengan konsep itu, studi feminisme dalam sastra adalah studi literer perempuan, pengarang perempuan, pembaca perempuan, tokoh perempuan, dan sebagainya (Rokhmansyah, 2014:127). Perjuangan kaum wanita untuk menyetarakan gender dengan kaum lakilaki adalah satu hal yang terus berkembang. Wanita akan terus membagi informasi serta pengetahuan kepada sesama wanita dari satu generasi ke generasi selanjutnya agar dapat mengambil hikmah, pelajaran, dan motivasi diri agar kedepannya wanita mampu mengembangkan diri dalam persaingan di masyarakat, tanpa menghilangkan kodrat wanita sebagai wanita adalah hal utama yang membuat ketertarikan bagi peneliti untuk meneliti tentang feminisme dalam karya sastra.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang, yang menjadi rumusan masalah
penelitian ini adalah: 1.
Bagaimanakah struktur cerita yang terdapat dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin ?
2.
Bagaimanakah kandungan feminisme dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin ?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Mendeskripsikan struktur cerita yang terdapat dalam novel Impian di Bilik Mera karya Cao Xueqin.
Universitas Sumatera Utara
2.
Mendeskripsikan kandungan feminisme yang terkandung dalam novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin.
1.4
Batasan Masalah Analisis ini fokus pada analisis feminisme yang terkandung dalam novel
Impian di Bilik Merah 1 karya Cao Xueqin dalam versi dewasa dengan menggunakan pendekatan struktural yang fokus pada tema, penokohan dan perwatakan serta alur cerita (plot). Penulis menggunakan pendekatan feminisme Marxis dalam penelitian ini.
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1
Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini diharapkan mampu menambah ilmu
pengetahuan tentang pemakaian teori-teori feminisme dan teori sastra. Di samping itu penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa sastra yang ingin mengkaji tentang analisis wacana. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya.
1.5.2
Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan bagi
pembaca tentang feminisme dalam novel, khususnya novel Impian di Bilik Merah karya Cao Xueqin. Selain itu penelitian ini juga diharapkan bisa menambah pengetahuan bagi penulis lain bagaimana cara menganalisis novel yang menggunakan pendekatan feminisme serta menambah pengetahuan tentang novel.
Universitas Sumatera Utara