1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Dalam Hukum Islam, kata perkawinan dikenal dengan istilah kata nikah. Menurut ajaran islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah. Melakukan perbuatan ibadah berarti juga melaksanakan ajaran agama. “Barang siapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separoh (ajaran) agamanya, yang separoh lagi, hendaklah ia bertaqwa kepada Allah SWT” demikian sunnah qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah. Rasulullah memerintahkan orang-orang yang telah mempunyai kesanggupan untuk kawin, hidup berumah tangga karena perkawinan akan memeliharanya dari (melakukan) perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah SWT. Bahwa agama Islam menganjurkan dan mewajibkan seseorang (kalau sudah memenuhi illat atau alasannya) untuk kawin dapat dibaca dalam al-qur‟an dan dalam sunnah Rasulullah yang kini terekam dengan baik dalam kitab-kitab hadist . Tujuannya jelas agar manusia dapat melanjutkan keturunan, mawaddah, wa ar-rahmah (cinta dan kasih sayang) dalam kehidupan keluarga.2
1
. Tim Penyusun, Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI, (Bandung: Citra Umbara, 2007), hal. 2. 2 . Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 2, hal. 3.
1
2
Allah SWT berfirman dalam surat Ar-rum ayat: 21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.3 Menurut Undang-undang perkawinan (1974) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya itu. Ini berarti bahwa untuk menentukan sah tidaknya perkawinan seseorang, ditentukan oleh ketentuan hukum agama yang dipeluknya. Bagi seorang Islam misalnya, sah tidaknya pernikahan yang dilakukannya tergantung pada dipenuhi tidaknya semua rukun nikah menurut (agama) Islam.4 Dari sekian banyak syarat-syarat dan rukun-rukun untuk sahnya perkawinan (nikah) menurut Hukum Islam. Wali nikah adalah hal yang sangat penting dan menentukan, bahkan menurut Syafi‟i tidak sah Nikah tanpa adanya wali bagi pihak pengantin perempuan, sedangkan bagi calon pengantin lakilaki tidak diperlukan wali nikah untuk sahnya nikah tersebut. 5
3
. Departememen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2005), hal. 324. 4 . Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), OpCit, hal. 28 . 5 . Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), Cet. 2, hal. 12.
3
Sabda Nabi SAW.
“Dari Aisyah bahwa Nabi saw bersabda: ”Tidak sah nikah, kecuali dengan wali”. Hadits Hasan. Di riwayatkan Ibnu Juraiz dari Sulaiman bin Musa, dari Zuhri, dari Urwah dari Aisyah dari Nabi saw”.6 Hadits tersebut mengandung pengertian bahwa pernikahan tanpa wali, tidak dianggap sah oleh syari‟at. Hal itu diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan Aisyah:
“Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka (si gadis dengan walinya) berselisih, maka penguasa (hakim) dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” Dikeluarkan oleh Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Uwanah, Ibnu Hibban, dan Hakim”. 7 Yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan yang akan diuruaikan dibawah ini, karena wali-wali itu memang telah diketahui oleh orang yang ada pada masa turun ayat: “Janganlah 6
. Abu Isa Muh. bin Isa bin Syaurah, Sunan Tirmidzi, (Pakistan: Darul Fikr, 2008), Juz 2,
hal. 353.
7
. Al-Hafidz ibnu Hajar Al-Asqailany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, hal. 211-
212
4
kamu menghalangi mereka menikah.” (Al-Baqarah: 232). Begitu juga hadis Ummu salamah yang telah berkata kepada Rasulullah, “Wali saya tidak ada seorang pun yang dekat”. Semua itu menjadi tanda bahwa wali-wali itu telah diketahui (dikenal), yaitu: 1. Bapaknya. 2. Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan). 3. Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya. 4. Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya. 5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya. 6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya. 7. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak). 8. Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya. 8 9. Laki-laki terdekat dari saudaranya yang ada, dilihat dari garis ahli warisnya. 10. Majikan yang memerdekakannya. 11. Orang yang berkuasa yang dapat dipercayainya (hakim).9 Menurut Imam Syafi‟i, urutan tersebut adalah harus. Artinya jika wali nomor satu tidak ada, wali nomor dua menjadi wali yang lebih dekat dan jika wali nomor dua tidak ada, wali nomor tiga menjadi wali yang lebih dekat. Demikian seterusnya ke bawah.
8
. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2007), Cet. 40, hal. 383-384. 9 . Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), Cet. 1, hal. 161-162.
5
Kepindahan dari wali aqrab kepada wali ab‟ad itu bisa disebabkan wali aqrab telah meninggal dunia, atau masih hidup, tetapi ia sebagai hamba sahaya, bodoh (kurang akalnya), kafir, sedang ihram dan ghaib. Kalau hanya sekedar berjauhan tempat (ghaib) sejauh dua marhalah menurut mazhab syafi‟i, tidaklah dapat diambil alasan untuk menyatakan tidak ada wali. Sekalipun jauh namun hal waliyat (kewalian) masih tetap ada padanya, tidak tanggal.10 Dua marhalah itu sama saja 16 pos atau 12 M. Dan 1 M itu kira-kira 4000 jangka/langka, atau mudahnya kira-kira jaraknya 89 Km. 11 Bapak dan kakek diberi hak menikahkan anaknya yang biqr/perawan dengan tidak memintak izin si anak lebih dahulu, yaitu dengan orang yang dipandangnya baik. Kecuali anak yang sayyib (bukan perawan lagi), tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya lebih dahulu. Wali-wali yang lain yang berhak menikahkan mempelai kecuali sesudah mendapat izin dari mempelai itu sendiri.12 Sabda Rasulullah:
ٲ ٬
َا ٬ َٲ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi SAW. Perna bersabda: “ Janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah dimintai 10
. Moh. Saifulloh Al-Aziz, Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya: Terbit Terang, 2005), hal,
487.
11
. Muhammad Abda‟i Ratmhi, Penuntun Fashalatan Komplik, (Surabaya: Toko Kitab Utama, tt), hal. 82. 12 . Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Loc-Cit, hal. 384.
6
pendapat, dan perawan tidak boleh dinikahkan kecuali setelah dimintai persetujuannya”. Dari Sahabat bertanya: “ Ya Rasulullah ! bagaimana persetujuannya ? ” Rasulullah SAW bersabda : “Diamnya”. (Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, nomor hadist : 5136). 13 Dalam ajaran Islam, hendaknya para orang tua tidak menghalangi putrinya menikah lagi dengan laki-laki yang lain atau dirujuk lagi dengan bekas suaminya apabila kedua calon pasangan sudah sama-sama ridha diantara mereka dan tentu saja dilakukan dengan cara yang makruf.14 Kewenangan wanita untuk menentukan calon suaminya jangan diartikan bahwa dia boleh menikahkan dirinya kepada seorang pilihannya. Proses pelaksaannya nikah harus dilakukan oleh seseorang yang disebut wali, baik wali nasab, wali hakim/pemerintahan, atau wali tahkim (wali lain yang diberi kewenangan untuk menikahkan.15 Menurut Mazhab Syafi‟i, Maliki dan Hambali berpendapat: jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya; wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita itu pun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali. Namun, pengucapan akad adalah hak wali. Akad yang diucapkan hanya oleh wanita tersebut tidak berlaku sama sekali, walaupun akad itu sendiri memerlukan persetujuannya. 16
13
. Iman Az- Zabidi, Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), Cet. 1, hal. 913. 14 . Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah Keluarga, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Cet. 1, hal. 112. 15 . Ibid , hal. 115. 16 . Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 1996), Cet. 2, hal. 345.
7
Dalam kompilasi hukum islam pasal 23 menyebutkan “wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin atau menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau enggan”.17 Adanya wali hakim apabila terjadi hal-hal sebagai berikut: 1. Karena tidak mempunyai wali nasab. 2. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaanya. 3. Walinya sendiri yang akan menjadi mempelai pria. 4. Wali berada ditempat jaraknya masyafatul qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qasar) yaitu 92,5 km. 5. Wali berada ditahanan yang tidak dapat dijumpai. 6. Wali aqrabnya adhal artinya tidak bersedia atau menikahkan. 7. Walinya sedang haji/ihram.18 Maka yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali. Berpindahnya wali nasab kewali hakim sebab anak tersebut hasil diluar nikah (anak tidak sah). Menurut pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.19 Dalam pasal KHI Pasal 100 ditegaskan lagi bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab 17
. Tim Penyusun, Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI, Op-Cit, hal. 235. 18 . Beni Ahmad Soebani, Fiqh Munakahat 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 249. 19 . Tim Penyusun, Undang-Undang RI No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI, Op-Cit, hal.17
8
dengan ayah biologisnya namun hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.20 Karena tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, maka wanita tersebut tidak memiliki seorang wali nasab pun karena urutan wali nasab adalah ayah, maka perwaliannya berpindah kepada wali hakim. Seseorang yang akan melaksanakan pernikahan harus memnuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan. Dalam keadaaan apapun bagi seseorang yang akan melangsungkan pernikahan harus ada wali nikah. Akad nikah dianggap oleh ulama‟ sebagai hal yang harus ditangani dengan hati-hati, karena akan berimplikasi kepada anak dan hal-hal lain yang ditimbulkan karena pernikahan seperti hak warisan. Salah satu urusan dalam akad nikah adalah wali nikah. Hanya wali nikah yang mempunyai hak untuk menikahkan wanita-wanita yang berada dalam perwaliannya. Hak ini diberikan Islam kepada wali nikah, karena wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Jika wanita menikahkan dirinya sendiri, maka nikahnya batal/tidak sah.
B. Penegasan Judul Untuk menghindari kesalahan penafsiran tentang skripsi ini maka penulis menguraikan masing-masing istilah yang penulis pakai dalam skripsi ini:
20
. Ibid, hal. 263.
9
Studi
Dalam kamus besar bahasa indonesia. Studi diartikan penelitian ilmiah, kajian, telaahan, ia melakukan suku-suku terasing di Indonesia.21
Analisis
Penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.22
Faktor
Sesuatu hal, keadaan, peristiwa dan sebagainya yang ikut menyebabkan, mempengaruhi terjadinya sesuatu.23
Wali
Seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. 24
Hakim
Ialah kepala negara yang beragama Islam, dan dalam hal ini biasanya kekuasaanya di Indonesia dilakukan oleh Kepala Pengadilan Agama hingga diberikannya mandat kepada Kepala
Kantor
Urusan
Agama
Kecamatan
untuk
mengaqadkan nikah yang berwali Hakim.25
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis fokus membuat rumusan permasalahan sebagai berikut:
21
. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hal. 1093. 22 . A.A.Waskito, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Wahyu Media, 2008), hal. 35. 23 . Ibid, hal. 161 24 . Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), Cet.3, hal. 90. 25 . H. Moh. Rifa‟i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT. Toha Putra, 2002), hal. 459.
10
1. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya wali hakim di KUA Kec. Tahunan, Kab. Jepara ? 2. Bagaimana prosedur pelaksanaan nikah dengan wali hakim di KUA Kec. Tahunan, Kab. Jepara ?
D. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya wali hakim di Kua Kec. Tahunan, Kab. Jepara. 2. Untuk mengetahui tentang prosedur pelaksanaan nikah dengan wali hakim di Kua Kec. Tahunan, Kab. Jepara.
E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian merupakan untuk menentukan kualitas penilaian dari sebuah penelitian yang dikaji. Ada tiga manfaat penelitian yaitu sebagaimana berikut: 1. Manfaat Teoritis Yaitu sebagai sarana untuk mengembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang wali hakim.
11
2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan penulis dibidang ilmu hukum Islam serta memberikan pengetahuan kepada khalayak umum tentang wali hakim. b. Memberikan sumbangan pemikiran dan pemecahan permasalahan yang ada hubungannya dengan wali hakim. 3. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi atau studi komparatif bagi pihak-pihak ingin mengkaji lebih dalam tentang permasalahan tersebut, yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini.
F. Telaah Pustaka Dalam buku Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat karangan Mohd. Idris Ramulyo, S.H., M.H. menerangkan bahwa wali nikah adalah sangat penting dan menentukan, bahkan menurut Syafi‟i tidak sah nikah tanpa wali bagi pihak pengantin perempuan. Dalam buku fiqh munakahat, karangan Prof. Dr. H.M.A Tihami, M.A dan Drs. Sohari Sahrani, M.M,. M.H. Menerangkan wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai yang paling berhak, mereka yang paling akrab atau dekat, lebih kuat hubungan darahnya. Dalam buku Garis-Garis Besar Fiqh karangan Prof. Dr. Amir Syarifuddin menerangkan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Di dalam
12
skripsi Peranan Wali Nikah dalam Perkawinan oleh Miftahul Huda menerangkan wali nikah itu sangat penting peranan dan keberadaannya, sebab ada atau tidaknya wali nikah yang menentukan sahnya perkawinan.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah jenis penelitian pustaka yang ditunjang dengan penelitian lapangan. Dengan menggunakan Metode Kualitatif yang mencoba memahami makna perbuatan dan kejadian bagi orang yang bersangkutan menurut kebudayaan dan pandangan mereka. 26 Adapun lokasi yang dijadikan obyek penelitian adalah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan. 2. Pendekatan Penelitian Penelitian yang penyusun gunakan dalam kesempatan ini bersifat deskriptif analtik, yaitu penelitian yang bertujuan mengumpulkan data, dianalisis kemudian diinterpretasikan dan data tersebut untuk diambil kesimpulan.27 Setelah data terkumpul dideskripsikan terlebih dahulu mengenai faktor penyebab nikah wali hakim di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan, kemudian dilanjutkan dengan analisis terhadapnya.
26
. Purwanto, Metodologi Penelitian Kuantitatif Untuk Psikologi Dan Pendidikan, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), Cet. 1., hal. 19. 27 . Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode dan Teknik (Bandung: Mizan, 1990), hal. 139.
13
Berdasarkan cara pendekatan penelitian ini dapat dibagi menjadi 2 yaitu sebagaimana berikut: a. Pendekatan Normatif Yaitu pendekatan yang digunakan untuk memahami proses dan dasar penyelesaian mengenai nikah wali hakim serta pertimbangan hukum yang digunakan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan. Pendekatan ini didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadits-hadits serta qaidah ushul fiqh. b. Pendekatan Yuridis Yaitu cara mendekati masalah yang diteliti dengan mendasari pada semua tata aturan perundang-undangan dengan nikah menggunakan wali hakim, sehingga dapat disinkronisasi antara hukum yang berlaku dengan kenyataan yang dihadapi masyarakat Kecamatan Tahunan. 3.
Metode Pengumpulan Data a. Data Primer 1. Wawancara Wawancara merupakan salah satu bagian yang terpenting dari setiap penelitian, karena tanpa wawancara peneliti akan kehilangan informasi dari responden secara langsung.28 Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan pihak terkait dengan obyek penelitian dan juga penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan. 28
. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei (Jakarta: LP3ES, 2008), hal. 192
14
2. Dokumentasi Metode ini merupakan metode pengumpulan data terhadap berkasberkas atau dokumen berupa catatan, transkip dan sebagainya.29 Sedangkan dokumen yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah dokumen yang ada hubungannya dengan topik pembahasan yang bersumber dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan. b. Data Sekunder Adalah data-data yang diperoleh dari buku-buku sebagai data pelengkap terkait dengan data primer, yaitu seperti halnya fiqh munakahat, fiqh sunnah, hadis-hadis, UUD No. 1 Tahun 1974, KHI dan buku-buku lain yang erat hubungannya dengan wali hakim. 4. Metode Analisis Data Analisis data merupakan proses penyederhanaan data-data yang diperoleh dari penelitian, kemudian dianalisa dengan memahami kualitas dari data yang diperoleh dan dibahas secara mendalam mengenai pertimbangan Kantor Urusan Agama Kecamatan Tahunan tentang wali hakim,
kemudian
menggunakan
metode
berfikir
induktif
yaitu
menganalisis hal-hal yang bersifat khusus ke hal-hal yang bersifat umum yaitu menguraikan fakta-fakta yang terjadi pada masyarakat Kecamatan Tahunan yang berkenaan dengan pernikahan wali hakim.
29
. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), hal. 206.
15
H. Sistematikan Penulisan Skripsi Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh dan memudahkan dalam memahami skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut: 1. Sebagai muka, terdiri dari: Halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, abstrak, halaman kata pengantar dan halaman daftar isi. Bagian isi terdiri dari beberapa bab: BAB I
: Pendahuluan Dalam bab I berisi tentang: Latar belakang masalah, penegasan judul, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II : Landasan Teori Dalam bab II berisi tentang: pengertian wali dan dasar hukum wali dalam pernikahan, rukun dan syarat wali, macam-macam wali nikah, wali hakim sebagai wali nikah. BAB III : Kajian Objek Penelitian Dalam bab III ini berisi tentang: Mendiskripsikan gambaran umum tentang obyek letak geografis, sejarah singkat, visi misi, tugas dan fungsi, struktur organisasi KUA kecamatan tahunan dan dalam bab ini juga membahas tentang gambaran secara singkat kasus nikah wali hakim di KUA Kecamatan Tahunan.
16
BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan Dalam bab IV berisi tentang: Analisis terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya wali hakim di KUA kecamatan tahunan tahun 2010-2013, dan analisis prosedur pelaksanaan wali hakim sebagai wali nikah di KUA Kecamatan Tahunan tahun 20102013. BAB V :
Penutup Dalam bab V berisi tentang: Kesimpulan, saran-saran dan penutup.
2. Bagian akhir, terdiri dari: Daftar pustaka, daftar riwayat hidup dan lampiran-lampiran.
17
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Wali Wali dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pengasuh, orang tua pengantin perempuan pada waktu menikah atau pembimbing terhadap orang atau barang.30 Maka orang yang mengakadkan nikah tersebut menjadi sah karena adanya seorang wali. Nikah yang tanpa menggunakan wali maka nikahnya tidak sah. Menurut Syafi‟i tidak sah nikah tanpa adanya wali bagi pihak pengantin perempuan, sedangkan bagi calon pengantin laki-laki tidak diperlukan wali nikah untuk sahnya nikah tersebut. At-Tirmidzi menambahkan: “Bahwa para ulama dari kalangan sahabat Nabi seperti Umar bin Khathtab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan lainnya berpegang pada hadist ini. Demikian para fuqaha dari kalangan tabi‟in, dimana mereka mengatakan: pernikahan tidak sah tanpa adanya wali.31 Wali adalah suatu kententuan hukum syara‟ yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.32 Perwalian dalam istilah Hukum islam disebut Wilayah yang berarti penguasaan dan perlindungan. Menurut Hukum Islam yang dimaksud
30
. Tim Penyusun Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hal. 92. 31 . Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), Cet. 1, hal. 386. 32 . Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang (Dimas), 1993), hal. 65.
17
18
perwalian ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama untuk seseorang mengusai dan melindungi orang atau barang. Penguasaan dan perlindungan ini disebabkan oleh : 1. Pemilikan atas barang atau orang, seperti perwalian atas budak yang dimiliki atau barang-barang yang dimiliki. 2. Hubungan kerabat atau keturunan, seperti perwalian seseorang atas salah seorang kerabatnya atau anak-anaknya. 3. Karena memerlukan budak, seperti perwalian seseorang atas budak-budak yang telah dimerdekakannya. 4. Karena pengangkatan, seperti perwalian seseorang kepala negara atas rakyatnya atau perwalian seorang pemimpin atas seorang orang yang dipimpinya. Oleh sebab itu dalam garis besarnya perwalian itu dapat dibagi atas: a. Perwalian atas orang. b. Perwalian atas barang. c. Perwalian atas orang dalam perwaliannya.33 Orang yang diberi kekuasaan disebut Wali. Dari macam-macam perwalian tersebut diatas yang akan dibahas disini adalah perwalian dalam perkawinan seseorang. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.34
33
. Mawardi Muzamil, Hukum Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Dan Perkembangannya Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Semarang: Unissula Press, 2006), Cet, 1, hal. 66.
19
Menurut Imam Al-Syafi‟i dan Imam Malik ibn Anas, dan juga menurut riwayat yang lain, dari Asyahab, Imam sufyan Al-Tsauri, Ishaq ibn Rahawaih, Ibn Hazm; mereka berpendapat bahwa ijab yang diucapkan oleh perempuan, baik janda maupun gadis tidaklah sah.35 Berdasarkan pada surat Al-Baqarah [2]: 221 dan Al-Nur [24]: 32. Yang berbunyi: Dalam surat Al-Baqarah [2]:221 :
“Sesungguhnya budak yang mu‟min lebih baik dari orang musyrik walaupun diya menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatnya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.36
Dalam surat An-Nur [24]:32 :
“ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian. Diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnianya. Dan Allah maha luas (pemberiannya) lagi maha pengetahui”.37
34
. Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), Cet. 3, hal. 6. 35 . Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), hal. 75. 36 . Departememen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op-Cit, hal. 27 37 . Ibid, hal. 282
20
Tidak heran, jika konsep wali yang didalamnya terdapat beberapa perbedaan pendapat dari para fukaha diadopsi dalam hukum positif negara, yaitu Kompilasi Hukum Islam yang tercakup dalam pasal 19, 20 ayat 1, dan 21 ayat 1, yang memposisikan wali menjadi salah satu rukun nikah yang harus dipenuhi oleh pasangan yang akan menikah. Pengadopsian konsep tersebut karena di Indonesia sebagian besar menganut Mazhab Syafi‟iyah.
B. Dasar Hukum Wali dalam Perkawinan Dasar hukum wali dalam perkawinan. Nabi Saw bersabda:
Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan wali”. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Sebagian menilainya hadits mursal.38 Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain.39 Perwakilan dalam pernikahan itu dibolehkan baik wali pengantin atau wanitanya hadir atau tidak, dipaksa maupun tidak dipaksa. Karena telah 38
. Al-Hafidz ibnu Hajar Al-Asqailany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Op-Cit,
hal. 211. 39
. Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Loc-Cit.
21
diriwayatkan dari Nabi Saw bahwa beliau pernah mewakilkan Abu Rafi‟ untuk menikahkan Maimunah. Dan beliau juga pernah mewakilkan Amr bin Umayyah untuk menikahkan Ummu Habibah. Karena pernikahan merupakan akad timbal balik sehingga boleh diwakilkan sebagaimana halnya dalam jual beli.40 Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang Syar‟i atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna. Karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri. 41 Yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya. Keberadaan seorang wali dalam akad nikah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Ini adalah pendapat jumhur ulama‟. Hal ini berlaku untuk semua perempuan, yang dewasa atau masih kecil, masih perawan atau janda. 42 Dan banyak dalil yang menyebutkan bahwa wanita itu tidak boleh melaksanakan akad pernikahan untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Tetapi ia harus dinikahkan oleh walinya atau dengan menghadirkan
40
. Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. 1, hal.
91. 41
. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Loc-Cit. . Amir Syarifuddin, Garis- Garis Besar Fiqh, Loc-Cit.
42
22
seorang wali yang mewakilinya. Jika ada seorang wanita yang melaksanakan akad nikah sendiri (tanpa wali), maka akad nikahnya batal. Demikian yang dikatakan mayoritas ahli fiqih. 43
C. Rukun dan Syarat Wali Wali merupakan persyaratan mutlak dalam suatu akad nikah. Sebagian Fuqaha menamakannya sebagai rukun nikah, sedangkan sebagian yang lain menetapkan sebagai syarat sah nikah. Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar para ulama.44 Mereka beralasan dengan dalil Al-qur‟an Surat Al-Baqarah; 232 sebagai berikut :
“Apabila kamu mentalak istri-istrimu lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka (para istri) kawin lagi dengan bekas suaminya apabila telah dapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma‟ruf.” (QS. Al-Baqarah; 232). 45
Adapun Syarat-syarat Wali adalah sebagai berikut: 1. Syarat orang yang bukan islam tidak sah menjadi wali, sebab dalam alqur‟an telah dinyatakan bahwa orang kafir itu tidak boleh menjadi wali yang menikahkan pengantin perempuan islam.46 Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam Al-Qur‟an :
43
. Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, Op-Cit, hal. 77-78. . Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Op-Cit, hal. 66. 45 . Departememen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op-Cit, hal. 29 46 . Moh. Rifa‟i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Loc-Cit 44
23
“Janganlah orang-orang mu‟min mengambil orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu‟min. (S. Ali- Imran, ayat 28) 47 2. Balig (sudah berumur sedikitnya 15 tahun). 3. Berakal. 4. Merdeka bukan sahaya. 5. Laki-laki (Jumhur Ulama‟) 6. Bersifat Adil .48
D. Macam-macam Wali Nikah Wali nikah ada lima macam, yaitu: wali nasab, wali hakim (sultan), wali tahkim, dan wali maula, wali mujbir. 1. Wali Nasab Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab terdapat perbedaan pendapat diantara ulama fiqih. Imam Malik mengatakan bahwa perwalian itu didasarkan atas „ashabah, kecuali anak laki-laki dan keluarga terdekat lebih berhak untuk menjadi wali. Selanjutnya, ia mengatakan anak laki-laki sampai kebawah lebih utama, kemudian ayah sampai keatas, kemudian saudara-saudara lelaki seayah seibu, kemudian saudara lelaki seayah saja, kemudian anak lelaki dari
47
. Departememen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op-Cit, hal. 41. . Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Op-Cit, hal. 384.
48
24
saudara-saudara lelaki seayah saja, kemudian anak lelaki dari saudara lelaki seayah saja, lalu kakek dari pihak ayah, sampai keatas. 49 Nabi Saw bersabda:
“Hak perwalian yang paling tinggi adalah ayah, kemudian ayah dari ayah (kakek), kemudian saudara laki-laki seayah seibu (sekandung), kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah, kemudian paman (saudara laki-laki ayah) sekandung, kemudian paman seayah, kemudian sepupu (anak paman) laki-laki dari paman sekandung dan seterusnya sesuai urutan tersebut”.50
Dalam Al-Mugni terdapat keterangan bahwa kakek lebih utama dari pada saudara lelaki dan anaknya saudara lelaki, karena kakek adalah asal. Imam Syafi‟i berpegang pada „ashabah, yakni bahwa anak laki-laki tidak termasuk „ashabah seorang wanita. Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab‟ad (jauh). Dalam urutan diatas wali aqrab yang paling dekat adalah wali ayah, sedangakan wali ab‟ad adalah kakak atau adiknya.
49
. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 95-96. 50 . Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad, Kifayatul Akhyar Fii Halli Ghoyatul Ikhtishor, (Surabaya: Al-Hidayah, tt ), Juz. 2, hal. 51.
25
Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab‟ad adalah sebagai berikut: a. Apabila wali aqrabnya non muslim, b. Apabila wali aqrabnya fasik, c. Apabila wali aqrabnya belum dewasa. d. Apabila wali aqrabnya gila, e. Apabila wali aqrabnya bisu/tuli.51
2. Wali Hakim Wali Hakim yaitu Pejabat Pencatat Nikah/kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang mewilayahi perempuan itu bertempat tinggal. Jadi Wali Hakim ialah pejabat yang diangkat oleh pemerintah khusus untuk mencatat pendaftaran nikah dan menjadi wali nikah bagi wanita yang tidak mempunyai atau wanita yang menikah itu berselisih paham dengan walinya.52 Sabda Rasulullah SAW:
“Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin untuk 51
. Beni Ahmad Soebani, Fiqh Munakahat 1, Op-Cit, hal. 247-248. . Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1999),
52
hal. 216.
26
kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka (si gadis dengan walinya) berselisih, maka penguasa (hakim) dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” Dikeluarkan oleh Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Uwanah, Ibnu Hibban, dan Hakim”.53 Wali hakim dibenarkan menjadi wali dari sebuah akad nikah jika dalam kondisi-kondisi berikut: 1. Tidak ada wali nasab. 2. Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab‟ad. 3. Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh ± 92.5 km atau dua hari perjalan. 4. Wali aqrab dipenjara dan tidak bisa ditemui. 5. Wali aqrabnya „adlal. 6. Wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit). 7. Wali aqranbnya sedang ihram. 8. Wali aqrabnya sendiri yang akan menikah. 9. Wanita akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada.54 Hakim merupakan urutan terakhir dari perwalian. Hakim menjadi wali mencakup dua hal pokok yaitu: pertama, bila terjadi perselisihan diantara para wali yang ingin menjodohkan anak atau wali tidak menyetujui pilihan jodohnya, sedangkan wanita itu bersikeras ingin menikah dengan laki-laki pilihannya. Agar terhindar dari perbuatan maksiat (setelah diupayakan persetujuan wali), maka hakim, bertindak sebagai wali yang dikenal “wali 53
. Al-Hafidz ibnu Hajar Al-Asqailany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Op-Cit, hal. 211-212 54 . Beni Ahmad Soebani, Fiqh Munakahat 1, Op-Cit, hal. 249.
27
hakim”. Kedua, bila wanita tersebut tidak mempunyai wali, baik menurut pemahaman jumhur ulama‟ maupun menurut pemahaman hanafiyah.55 Wali hakim tidak berhak menikahkan: 1) Wanita yang belum baligh. 2) Kedua belah pihak (calon wanita dan pria) tidak sekutu. 3) Tanpa seizin wanita. 4) Wanita yang berada diluar daerah kekuasaannya.
3. Wali Tahkim Dalam keadaan tertentu, apabila wali nasab tidak bertindak sebagai wali karena tidak memenuhi syarat atau menolak, dan wali hakim pun tidak dapat bertindak sebagai wali nasab karena berbagai macam sebab, mempelai yang bersangkutan dapat mengangkat seseorang menjadi walinya untuk memenuhi syarat sahnya nikah bagi yang mengharuskan ada wali. Wali yang diangkat oleh mempelai disebut wali muhakkam atau wali tahkim.56 Wali Tahkim ialah wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun cara pengangkatnya (cara tahkim) adalah: Calon suami mengucapkan tahkim kepada seseorang dengan kalimat, “saya angkat bapak/saudara untuk menikahkan saya dengan si........ (calon istri) dengan mahar ...... dan putusan bapak/saudara saya terima dengan senang.” Setelah
55
. M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh, (Jakarta: PT. RajaGeafindo Persada, 1997), Cet. 1, hal. 140. 56 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, ( Jogyakarta: UII Press, 1999), Cet. 9, hal. 45.
28
itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, “saya terima tahkim ini.” 57 Tahkim dan Muhakam: adalah Wali Nikah yang terdiri seorang lelaki yang diangkat oleh kedua calon suami istri untuk menikahkan mereka karena tidak ada wali nasab, wali hakim.58 Sebagai dasar hukum bagi wali tahkim ini adalah firman Allah dalam surat An-Nisa‟ (4) ayat 35:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga lelaki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufiq kepada suami istri itu. Sesunggunya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.59
Wali tahkim terjadi apabila: a. Wali nasab tidak ada. b. Wali nasab gaib, atau berpergian sejauh dua hari agar perjalanan, serta tidak ada wakilnya di situ. c. Tidak ada qadi atau pengawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).
57
. Tihami, Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat:Kajian Fikih Nikah Lengkap, Op-Cit, hal.
98. 58
. Mawardi Muzamil, Hukum Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan dan Perkembangannya dalam Kompilasi Hukum Islam, Op-Cit, Hal. 75. 59 . Departememen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op-Cit, hal. 66.
29
4. Wali Maula Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya. Artinya, majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Maksud perempuan di sini terutama adalah hamba sahaya yang berada dibawah kekuasaannya.60 Diceritakan dari said bin Khalid, dari ummu Qais binti Qaridh, ia berkata kepada Abdur Rahman bin Auf, “lebih dari seorang yang datang meminang saya. Oleh karena itu, nikahkanlah saya dengan salah seorang yang engkau sukai. Kemudian, Abdul Rahman berkata , “Apakah berlaku juga untuk diri saya? “Ia menjawab, “Ya“, lalu Abdul Rahman, “ kalau begitu aku nikahkan diri saya dengan kamu. Adapun Imam Syafi‟i berkata, “Orang yang menikahkannya haruslah hakim atau walinya yang lain, baik setingkat dengan dia atau lebih jauh. Sebab, wali termasuk syarat pernikahan. Jadi, pengantin tidak boleh menikahkan dirinya sendiri sebagaimana penjual yang tidak boleh membeli barangnya sendiri.61
5. Wali Mujbir Wali mujbir adalah wali bagi orang yang kehilangan kemampuannya, seperti orang gila, belum mencapai umur, mumayyiz termasuk di dalamnya
60
. Beni Ahmad Soebani, Fiqh Munakahat 1, Op-Cit, hal. 248-250 . Tihami, Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat:Kajian Fikih Nikah Lengkap,Op-Cit, hal.
61
99-100.
30
perempuan yang masih gadis maka boleh dilakukakan wali mujbir atas dirinya.62 Wali mujbir yaitu wali yang berhak mengaqadnikahkan orang yang diwalikan diantara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka dahulu. Agama mengakui wali mujbir karena memperhatikan kepentingan yang diwalikan. Sebab orang yang kehilangan kemampuan atau yang kurang kemampuannya tentu ia tidak dapat memikirkan kemaslahatan dirinya. Di samping itu ia tidak dapat memikirkan kemaslahatan aqad yang akan dihadapinya. Jadi segala tindakan yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila atau orang yang kurang akalnya, maka bagi hal yang mengalami tersebut, segala persoalan dirinya harus dikembalikan kepada walinya.63 Wali mujbir ialah hak seorang ayah (ke atas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan dengan syarat-syarat tertentu. Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut: 1. Tidak ada rasa permusuhan antara wali dengan perempuan menjadi wilayat (calon pengantin wanita). 2. Calon suaminya sekufu‟ dengan calon istri atau yang lebih tinggi. 3. Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad nikah.64 4. Antara gadis dan laki-laki calon suami tidak ada permusuhan.
62
. Ibid, hal. 252 . Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, Op-Cit, hal. 19 64 Beni Ahmad Soebani, Fiqh Munakahat 1, Op-Cit, hal. 252-253 63
31
5. Laki-laki pilihan walinya akan dapat memenuhi kewajibankewajiban terhadap istri degan baik, dan tidak terbayang akan berbuat yang mengakibatkan kesengsaraan istri. Demikianlah syarat-syarat yang harus diperhatikan wali mujbir apabila akan menggunakan hak ijbarnya sehingga prinsip sukarela tersebut tidak terlanggar. Dan syarat-syarat tersebut diatas apabila tidak terpenuhi maka, hak mujbir menjadi gugur. Mujbir bukan harus diartikan paksaan melainkan diartikan pengarahan.65
E. Wali Hakim Sebagai Wali Nikah Menurut peraturan Menteri Agama nomor 2 tahun 1987 Wali Hakim adalah penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau penjabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai Wali Nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali (pasal 1 ayat b). Sedang wali nasab adalah pria beragama islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum islam (pasal 1 ayat b). Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkan atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan. Dalam hal ini adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada keputusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.66
65
. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Op-Cit, hal. 43. . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Op-Cit, hal. 8.
66
32
Dan Seluruh Mazhab sepakat bahwa hakim yang adil berhak mengawinkan laki-laki dan permpuan gila manakalah mereka tidak mempunyai wali yang dekat, berdasarkan Hadist dibawah ini:
“Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali” 67 Juga dalam hal wali berkeberatan mengawPinkan anaknya, sedangkan si anak sudah berhasrat kawin, maka wali hakim berhak menikahkannya setelah ternyata bahwa wali yang berkeberatan itu tanpa alasan yang sah. Menurut Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili berkata bahwa pernikahan tidak terlaksana dengan ungkapan dari kalangan perempuan. Jika ada seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri atau menikahkan orang lain, atau mewakilkan
hak
kewalian
atas
dirinya
kepada
orang
lain
untuk
menikahkannya sekalipun dengan seizin lainnya maka pernikahannya tidaklah sah. Itu karena syarat akad nikah belum terpenuhi, yaitu keberadaan seorang wali. 68 Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan kedua saksi yang adil, jika wali-wali itu berkeberatan maka sultan (Hakim) lah yang menjadi wali orang yang tidak mempunyai wali. Akan tetapi bagi Imamiyah dan syafi‟i, hakim tidak dapat berhak mengawinkan anak gadis yang masi kecil. Sedangkan Hanafi mengatakan bahwa hakim punya hak atas itu, tetapi akad tersebut tidak mengikat, dan bila 67
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Op-Cit, hal. 349. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, hal. 84.
68
33
si anak sudah baligh, dia berhak menolaknya. Pendapat ini, sesungguhnya kembali pada pendapat Syafi‟i dan Imamiyah, sebab dalam keadaan seperti itu, sang hakim telah melakukan aqad fudhuli (tanpa izin). Diatas sudah dijelaskan, bahwa hak wali nikah dari wali nasab berpindah kepada wali hakim apabila: 1. Wali nasab sama sekali tidak ada 2. Wali Mafqud (dinyatakan hilang atau tidak diketahui tempatnya) 3. Walinya sendiri menjadi mempelai lelaki, padahal tidak ada wali nikah yang sederajat dengannya. 4. Walinya sedang sakit pitam (ayan) 5. Walinya jauh dari tempat akad nikah (ghaib) 6. Walinya sedang menjalani hukuman dan tidak boleh ditemui 7. Walinya berada dibawah pengampunan (majhur alaih) 8. Walinya bersembunyi (tawari) 9. Walinya jual mahal (sombong atau ta‟azzuz) 10. Walinya menolak, atau membangkang menjadi wali nikah (adhol) 11. Wali nasab sedang berihram haji/umroh. 69
69
. Mawardi Muzamil, Hukum Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Dan Perkembangannya Dalam Kompilasi Hukum Islam, Op-Cit, hal. 73.
34
BAB III OBYEK KAJIAN
A. Obyek Lokasi Penelitian 1. Kondisi Letak Geografis Secara administratif letak geografis Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan berada di Jalan Soekarno Hatta No. 02 Ngabul Tahunan Jepara kode pos 59428. KUA Tahunan adalah pemekaran dari KUA Jepara Kota. Berdasarkan catatan buku register Nikah, KUA Tahunan berdiri pada tahun 1997 M. dan dipimpin oleh kepala KUA pertama bernama H. Abdul Qohar, BA. KUA Kecamatan Tahunan dibangun Tahun 2004 diatas tanah Hak pakai Kantor Urusan Agama hibah dari pemkab Jepara dengan luas tanah adalah 300 M2 (tigaratus meter persegi). Sedangkan luas bangunan adalah 90 M2 (Sembilan puluh meter persegi), Yang mencakup wilayah Kecamatan Tahunan dan dibagi menjadi 15 desa, yaitu Desa: Tahunan, Senenan, Kecapi, Ngabul, Langon, Sukodono, Tegalsambi, Krapyak, Mantingan, Petekeyan, Mangunan, Demangan, Platar, Semat, Teluk awur. Dengan jumlah penduduk Kecamatan Tahunan adalah: ± 12.471 jiwa. Berdasarkan data monografi Kecamatan Tahunan merupakan kecamatan daerah perkotaan dan merupakan pemecahan dari kecamatan kota. Pada tahun 2014, wilayah KUA kecamatan Tahunan terletak pada
34
35
jalur jalan protocol Jepara-Semarang atau Jepara Surabaya, Adapun batasbatas wilayah Kecamatan Tahunan yaitu: - Sebelah utara
: berbatasan dengan kec. Batealit Kab. Jepara
- Sebelah timur
: berbatasan dengan kec. Pecangaan Kab. Jepara
- Sebelah selatan
: berbatasan dengan kec. Kedung Kab. Jepara
- Sebelah barat
: berbatasan dengan kec. Jepara Kab. Jepara
2. Sejarah Singkat Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan Berdasarkan arsip Register yang ada, Sejarah berdirinya Kantor Urusan Agama (KUA) kacamatan Tahunan ialah sejak tahun 1997 M. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan dahulu masih menginduk atau satu atap dengan Kantor Urusan Agama (KUA) Jepara. Wilayah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan dan Jepara dahulu juga masih menjadi satu atap. Dari 15 desa dan 16 desa hingga akhirnya pada tahun 1997 terjadi pemekaran wilayah menjadi dua wilayah, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) Jepara dan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan. Sebelum bangunan selesai, SK dari atasan sudah turun, sehingga untuk sementara Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan berada di gedung karang taruna desa Ngabul selama 2 tahun, akhirnya berpindah lagi yaitu tepatnya bulan Agustus tahun 2000 berpindah di gedung aula milik pemerintah desa Langon yaitu di balai desa Langon selama 2 tahun, karena pada waktu itu belum mempunyai gedung sendiri.
36
Setelah memiliki tanah seluas 300 M2 dan sudah bersertifikat maka Kepala Kantor Urusan Agama Tahunan (Drs. Muh Habib), menghadap kepada Kandepag Kab. Jepara (Drs. H. Surandhim Achmad, SH) untuk dibuatkan/dibangun Gedung Kantor Urusan Agama Kec. Tahunan yang belum mempunyai gedung sendiri. Maka Kepala Kandepag Kab. Jepara (Drs. H. Surandhim Achmad, SH) menghadap ke Bapak Bupati Jepara (Drs. Hendro Mantojo) mengenai hal tersebut diatas, dan hasil musyawarah diputuskan diberi bangunan melalui Biaya APBD. Jepara. Kemudian tahun 2004 Pemerintah Kabupaten Jepara memberikan hibah tanah yang terletak di desa Ngabul Kecamatan tahunan untuk pembangunan Kantor Urusan Agama
melalui dana APBD Kab. Jepara
tersebut. Dan Alhamdulillah selsai juga pada tahun yang sama dan akhirnya KUA Kec. Tahunan diresmikan oleh Kepala Kandepag Kab. Jepara.70 Berdirilah tahun 2004 bangunan Kantor Urusan Agama Kec. Tahunan pada Kantor Departemen Agama Kab. Jepara seperti apa adanya sekarang dan sampai sekarang hanya diadakan rehab kecil pada tahun 2011. Kesimpulannya: Tanah Pekarangan KUA Kec. Tahunan Kab. Jepara seluas 300 M2 (tiga ratus meter persegi) milik Kantor Urusan Agama Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara adalah hibah dari Pemerintah Kabupaten Jepara.
70
. Wawancara dengan Kepala KUA Tahunan Bapak Drs. H. Sunzaidi, MM., (29 Oktober 2014)
37
Regenerasi jabatan kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan dari tahun ketahun yaitu pada tahun 1997 hingga sekarang ini mempunyai 4 priode yang dijabat oleh: -
Bapak. H. Abdul Kohar pada tahun 1997-2003
-
Bapak. Drs. Muh. Habib pada tahun 2003-2007
-
Bapak. Sururi, S. Ag., pada tahun 2007-2011
-
Bapak. Drs. H. Sunzaidi, MM., pada tahun 2011-Sekarang.71
3. Visi dan Misi Visi: Terwujudnya keluarga muslim yang beriman, bertaqwa dan berakhlakul karimah, sejahtera lahir bathin dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Misi: - Meningkatkan kualitas dibidang administrasi, organisasi dan ketatalaksanaan. - Meningkatkan sarana dan prasarana pelayanan yang presentatif dan modern. - Meningkatkan
pemahaman
masyarakat
dibidang
munakahat,
keluarga sakinah, kemasjidan, zakat, wakaf, ibadah sosial, pangan halal, hisab rukyat dan kemitraan umat serta haji dan umrah. - Meningkatkan akses pelayanan nikah, rujuk, wakaf, haji berbasis ilmu dan teknologi. 71
.Wawancara dengan Penghulu KUA Tahunan Bapak Mustain, S.Ag., MH. (30 September 2014).
38
4. Tugas Kantor Urusan Agama (KUA) Berdasarkan keputusan Menteri Agama Nomor 517 tahun 2001 tentang penataan organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, maka tugas Kantor Urusan Agama (KUA) adalah melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama (KUA) Kabupaten/Kota di bidang urusan agama Islam dalam wilayah kecamatan (pasal 2). Dengan demikian Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan mempunyai tugas sebagai berikut: a. Memimpin bawahan/pelaksana yang terdiri atas petugas tata usaha dan petugas-petugas lain yang menjadi wewenangnya. b. Memberi pedoman, dibawah bimbingan dan petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahannya. c. Menerapkan kordinasi, integrasi dan sinkronisasi vertikal kementerian agama lainnya maupun antara unsur kementerian di kecamatan dengan unsur Pemerintah Daerah. d. Melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Kantor Kementerian Agama Kabupaten. Dalam
melaksanakan
tugasnya,
KUA
Kecamatan
Tahunan
berpedoman pada surat keputusan Menteri Agama RI No. 517 tahun 2001 Jo PMA No 39 tahun 2012, yaitu bahwa Kantor Urusan Agama Kec. Tahunan adalah Unit pelaksanaan teknis Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam yang bertugas melaksanakan sebagian tugas Kantor Kementerian Agama Kabupaten/kota dibidang Urusan Agama Islam.
39
Dari beberapa tugas kepala KUA di atas, Berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) NOMOR 39 tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama, sebagai berikut: Uraian tugas dari jabatan penghulu muda meliputi: a. Menyusun rencana kerja tahunan kepenghuluan b. Menyusun rencana kerja operasional kegiatan kepenghuluan c. Melakukan pendaftaran dan meneliti kelengkapan administrasi pendaftaran kehendak nikah dan rujuk d. Mengolah dan menverifikasi data calon pengantin e. Menyiapkan bukti pendaftaran nikah/rujuk f. Membuat materi pengumuman peristiwa nikah/rujuk g. Mengolah
dan
menganalisa
tanggapan
masyarakat
terhadap
pengumuman peristiwa nikah/rujuk h. Melakukan penetapan dan atau penolakan kehendak nikah/rujuk dan menyampaikannya i. Memimpin pelaksanaan aqad nikah/rujuk dan menetapkan legalitas akad nikah/rujuk j. Menerima dan melaksanakan taukil wali nikah/tauliyah wali hakim k. Memberikan Khutbah/nasihat/doa nikah/rujukMemandu pembacaan sighat taklik talak l. Mengumpulkan data kasus pernikahan m. Memberikan penasehatan dan konsultasi nikah/rujuk n. Melakukan pembinaan keluarga sakinah
40
o. Memberikan pelayanan fakta hukum munakahat dan bimbingan muamalah p. Memasukan data/berkas nikah ke SIMKAH q. Komputerisasi pengisian blangko N, NA, NB, NC, dan ND r. Menbuat Akta Ikrar wakaf dan memasukan data wakaf ke SIWAK s. Membuat data dinding, grafik NTCR, data keagamaan, data pendidikan t. Membuat profil KUA, laporan Tahunan u. Mempersiapkan peserta MTQ, MKQ v. Mempersiapkan
Bimbingan/Penataran
Manasik
Haji
Tingkat
Kecamatan. Uraian tugas dari jabatan staff meliputi: a. Menyiapkan sarana dan prasarana peralatan Kantor b. Membuat laporan bulanan dan mengarsipkannya dan mengirimkan ke Bimas Islam c. Menulis surat keluar, mengagendakan dan menyusun dalam Oldner d. Membuat Rekomendasi/Pindah Nikah e. Menyiapkan buku tamu, buku notulen rapat dan lain-lain f. Menata ruang arsip yang representative, dan modern g. Menginventarisir Barang Milik Negara (BMN) h. Menata dan menjilit berkas NB, dan N i. Melengkapi buku-buku administrasi nikah j. Menerima legalisasi surat nikah/duplikat surat nikah
41
k. Membuat buku administrasi dan laporan keuangan l. Mengelola pengembalian PNBP dan membuat pelaporan m. Bertanggung jawab terhadap K3 n. Membuat brosur tentang pelanan dan profil singkat KUA o. Membuat prosedur pelayanan Nikah dan alur pelayanan nikah rujuk 5. Fungsi Kantor Urusan Agama (KUA) Dalam melaksanakan fungsi tersebut agar berjalan dengan baik, maka Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan melaksanakan fungsi sebagai berikut: a. Menyelenggarakan Statistik dan dokumentasi. b. Menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan, pengetikan dan rumah tangga kantor urusan agama kecamatan. c. Melaksanakan pencatatan nikah dan rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf, baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan
oleh
Dirjen
Bimbingan
Masyarakat
Islam
dan
penyelenggaraan Haji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dengan adanya tugas dan fungsi tersebut diatas agar pelaksanaan dan kinerja Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan berjalan dengan baik. 6. Struktur KUA
42
Struktur organisasi dan personalian KUA kecamatan tahunan terdiri dari Kepala, dua orang penghulu, dan dua orang staf, dengan susunan sebagai berikut: Tabel Tempat tangal No
Nama/Nip/Gol
Tmt. Di Jabatan
lahir
1
Alamat KUA
Drs. H.
Sowan
Sunzaidi,MM.
Kidul Jepara, 15-12-
Kepala
1965
KUA
Nip. 19651215
01-09-2011
06/04
199403 1002
Kedung
Pembina/ Iva
jepara
H. Muh. Rotib, Sowan S. Ag Jepara, 15-032
Nip. 19680315
Lor 10/03 Penghulu
01-09-2014
1968
Kedung
200012 1001 jepara Pembina / Iva Mustain, S.Ag.
Kedung
MH.
Malang Jepara, 15-01-
3
Nip. 19740115
Penghulu
01-02-2013
03/01
1974 200501 1002
Kedung
Penata Tk. I/IIId
jepara
Sayid Edris
Jepara, 12-06-
Nip. 19630612
1963
4
Kecapi Staf
01-07-2007 05/01
43
198903 1004
Tahunan
Penata Tk. I/IIIb
jepara
Chaeriyah, S. Sy Sowan Nip. 19700828 Cilacap, 285
199303 2002
Lor 08/02 Staf
08-1970
01-09-2014 Kedung
Penata Mudah jepara Tk.I/IIIb
B. Nikah Wali Hakim Di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan. Wali hakim menjadi sesuatu yang penting bagi keabsahan sebuah terjadinya akad nikah bagi mempelai yang tidak mempunyai wali atau karena walinya adhal/enggan. Karena setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah agar mempunyai kedudukan yang kuat menurut hukum, Ia merupakan sebagai pegawai negeri yang di angkat oleh Menteri Agama pada tiap-tiap Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan. tugas pokok pembantu PPN di atur dalam peraturan Menteri Agama nomor.2 tahun 1989 yaitu membantu pegawai pencatat nikah dalam melaksanakan pelayanan nikah dan rujuk serta melaksanakan pembinaan kehidupan beragama Islam di desa, dengan demikian PPN masing masing mempunyai tugas dan fungsi yang jelas, karena ditetapkan dengan peraturan yang berlaku. UU perkawinan tidak terlepas dari hukum perkawinan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, syarat sah dan rukun sebuah perkawinan salah
44
satunya adalah Wali nikah pengertian dan dasar hukum adanya wali nikah terdapat dalam pasal 1(b) tentang devinisi wali adalah wali nikah yang di tunjuk oleh Menteri Agama atau Pejabat yang di tunjuk olehnya yang di beri hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah, selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam yang membahas tentang wali nikah terdapat pada pasal 19-23 dan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan
yang
mengatur
Wali
nikah
pada
pasal
6
(1-6).
Pernikahan tidak dapat berlangsung dengan tindakan atau ucapan perempuan itu sendiri. Sebab, perwalian merupakan syarat yang harus terpenuhi demi keabsahan akad nikah. Dan yang mengakadkan haruslah seorang Wali yang berhak. Adapaun jika walinya tidak ada atau karena walinya adhal/enggan maka boleh dengan wali hakim. PPN (pegawai Pencatat Nikah) atau penghulu mempunyai tugas yang sangat penting dalam hal meneliti urutan-urutan wali bagi calon mempelai apalagi wali sampai ke wali hakim. Karena ini dilakukan agar calon mempelai perempuan benar-benar dinikahkan oleh walinya sendiri yang sah sesuai tata tertib urutan wali atau dengan wali hakim jika wali aqrab dan ab‟adnya tidak ada. karna Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain. Wali Hakim di KUA kecamatan Tahunan rata-rata terjadi karna: Tidak mempunyai wali nasab.
45
Walinya jauh, sejauh masyafatul qasri. Walinya tidak diketahui keberadaannya. Dan ada juga wali adhol/enggan. 72 Dan berdasarkan Pasal 23 ayat (1), wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabilah wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya, atau tidak diketahui tempat tinggalnya, atau ghaib atau adhal.
72
Wawancara dengan Kepala KUA Tahunan Bapak Drs. H. Sunzaidi, MM, (30 Oktober 2014) Dan Wawancara dengan Penghulu KUA Tahunan Bapak Mustain, S. Ag. MH, (26 September 2014).
46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Terhadap Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Wali Hakim Di KUA Kecamatan Tahunan Tahun 2010-2013. Perkembangan zaman sekarang ini yang begitu pesat, juga tidak lepas dari berbagai persoalan-persoalan seperti halnya dalam pernikahan khususnya wali hakim. Wali Hakim merupakan pejabat pencatat nikah/Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang mewilayahi daerah perempuan tersebut bertempat tinggal. Jadi Wali Hakim ialah pejabat yang diangkat oleh pemerintah atau Kementerian Agama khusus untuk mencatat pendaftaran nikah dan menjadi wali nikah bagi wanita yang tidak mempunyai wali atau wanita yang akan menikah tersebut berselisih paham dengan walinya.73 Wali nasab boleh berpindah pada wali hakim apabila : 1.
Sudah tidak ada garis nasab
2.
Walinya Mafqud (hilang)
3.
Walinya sendiri mau menikahi perempuan itu (tidak ada yang sederajat)
4.
Walinya Ba‟id (sejauh masafatulqashri 92,5 km)
5.
Walinya sedang sakit pitan
6.
Walinya tidak boleh dihubungi (dipenjara)
7.
Walinya dicabut haknya oleh negara
73
. Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Loc-Cit.
46
47
8.
Walinya sedang melakukan ibadah haji atau umroh
9.
Walinya tawaro‟ (bersembunyi)
10. Walinya ta‟adzur 11. Walinya adhol/enggan. 74 Dalam hal ini penulis menganalisis perkawinan wali hakim sebagai wali nasab, sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab III. Adapun faktorfaktor terjadinya wali hakim sebagai wali nikah yang terjadi di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan yang banyak kita temui mulai dari tahun 2010-2013, diantaranya adalah : 1. Urutan walinya habis (urutan ayah keatas dan seterusnya habis) 2. Kebanyakan walinya jauh (yang jaraknya melabihi masyafatul qashri 92,5 km) 3. Walinya tidak diketahui tempat tinggalnya. 4. Walinya pikun 5. Wali nasabnya belum baligh 6. Karna adhal/walinya enggan. Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut. Untuk wali adhol calon mempelai perempuan harus mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Agama, agar bisa mendapatkan putusan dari
74
Moh. Rifa‟i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Op-Cit, hal. 458.
48
Pengadilan Agama yang sudah ditentukan melalui sidang tersebut agar menetapkan wali adhol serta mengangkat wali hakim untuk menikahkannya. Dan ada beberapa faktor penyebab terjadinya wali adhol diantaranya yaitu : a. Orang tua (walinya) tidak setuju dengan kehendak pilihan anaknya, sedangkan anaknya bersikeras untuk tetap menikah dengan calon pilihannya. b. Karna pembagian warisan tidak adil, maka tidak mau menjadi wali. c. Urutan walinya tidak ada yang islam. d. Karna orang tuanya sudah bercerai dan tidak ada komunikasi dengan si anak maupun mantan istrinya, sebab itu si bapak tidak mau menjadi walinya.75 Berikut adalah tabel hasil jumlah terjadinya wali nikah yang ada di KUA kecamatan Tahunan dari tahun 2010 sampai tahun 2013: Tahun 2010 Wali
Hakim
SATUAN Seluruhnya NO ORGANISASI
Lain Nasab
Adhal Adhal
75
1
2
3
4
5
6
1
KUA Kec.
1034
1009
0
25
. Wawancara dengan Kepala KUA Tahunan Bapak Drs. H. Sunzaidi, MM. ( 30 Oktober 2014 ).
49
Tahunan Jumlah
1034
1009
0
25
Tahun 2011 Wali
Hakim
SATUAN NO
Seluruhnya ORGANISASI
Lain Nasab
Adhal Adhal
1
2
3
4
5
6
1035
987
0
4
1035
987
0
48
KUA Kec. 1 Tahunan Jumlah
Tahun 2012 Wali
Hakim
SATUAN Seluruhnya NO ORGANISASI
Lain Nasab
Adhal Adhal
1
2
3
4
5
6
767
719
0
48
KUA Kec. 1 Tahunan
50
Jumlah
767
719
0
48
Tahun 2013 Wali
Hakim
SATUAN Seluruhnya NO ORGANISASI
Lain Nasab
Adhal Adhal
1
2
3
4
5
6
945
897
0
48
945
897
0
48
KUA Kec. 1 Tahunan Jumlah
Penulis mempunyai catatan bahwa kedudukan wali dalam pernikahan sangatlah penting didalam pelaksanaan pernikahan. Karena menyangkut sah tidaknya sebuah pernikahan. Namun, hal yang terjadi dalam pernikahan masih adanya nikah yang menggunakan wali hakim. yang seharusnya para wali nasab yang lebih berhak dalam mewakili putrinya saat pernikahan. Wali hakim bukanlah menjadi sebuah pelanggaran dalam pernikahan jika seorang walinya sendiri adhal maupun garis keturunannya habis atau walinya gila, meski orang tersebut tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu bisa dilakukan di tengah masyarakat dengan menjadikan wali hakim
51
sebagai wali nikah yang sah menurut ketentuan syari‟ah agama Islam maupun undang-undang Pernikahan.
B. Analisis Prosedur Pelaksanaan Wali Hakim Sebagai Wali Nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan Tahun 2010-2013. Prosedur pelaksanaan wali hakim sebagai wali nikah ini mempunyai dua pelayanan yaitu persyaratan administrasi dan non administrasi yang akan diuraikan dibawah ini, diantaranya: 1. Persyaratan Administrasi Prosedur Pendaftaran Nikah - Calon pengantin datang ke KUA untuk mengisi formulir pendaftaran nikah yang sudah disediakan oleh KUA kecamatan setempat dan penasehat BP4. - Waktu mendaftar minimal 10 hari kerja sebelum menikah. - Membawah surat keterangan untuk penikah yang berupa Model N1 sampai N7 dari kantor Desa/kelurahan setempat atau ada juga yang disediakan di KUA. Jika wali hakim yang dikarenakan walinya adhal/enggan maka harus mendapatkan surat keputusan dari Pengadilan Agama sedangkan jika wali nasab keatas atau garis keturunannya habis maupun gila maka tidak perlu dengan surat keputusan dari Pengadilan Agama. - Membawah bukti imunisasi TT I bagi calon pengantin wanita dari puskesmas setempat.
52
- Membawa: a. Surat izin pengadilan apabila tidak ada izin dari orang tua/wali (bagi yang belum berusia 21 tahun). b. Pas photo ukuran 2x3 sebanyak 4 lembar dan 4x6 sebanyak 1 lembar. c. Dispensasi nikah dari pengadilan bagi calon suami yang belum berumur 19 tahun dan bagi calon istri yang belum berumur 16 tahun. d. Surat izin dari atasan/kaesatuan jika calon pengantin adalah angota TNI / POLRI. e. Surat izin dari pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari satu orang. f. Akta cerai atau bukti pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. g. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/istri yang ditanda tangani oleh Kepala Desa/Kelurahan setempat atau penjabat berwenang yang menjadi dasar pengisian model N6 bagi janda/duda yang akan menikah, serta surat ganti nama bagi warga negara indonesia keturunan calon pengantin wajib mengikuti kursus calon pengantin (suscatin). - Calon pengantin wajib mengikuti kursus calon (Suscatin)
pengantin
53
- Pelaksanaan
akad nikah dipimpin oleh Pegawai
Pencatat
Nikah/penghulu. - PPN/penghulu menyerahkan buku kutipan akta nikah kepada calon pengantin setelah akad nikah. - Membayar biaya sesuai dengan peraturan pemerintahan No. 48 tahun 2014 : 1. Apabila pernikahan dilaksanakan diluar KUA dan diluar jam kerja, Biaya pencatatan nikah dan rujuk diluar KUA = Rp. 600.000. Dan 2. Apabilah dilaksanakan di KUA dan pada jam kerja, biaya nikah dan rujuk di KUA adalah Gratis = 0. 2. Persyaratan Non Administrasi Pemeriksaan Calon pengantin dan wali, diperiksa oleh PPN (Pengawai Pencatat Nikah) atau penghulu dan ditanda tangani terlebih dahulu. Berita Acara (Model NB) sesuai PMA. No. 11/2007, pasal 9. Teknik Penyuluhan Terhadap Calon Mempelai Sebelum akad nikah dilangsungkan Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau Pembantu Petugas Pencatat Nikah (P3N) harus mengadakan pemeriksaan ulang atau penyuluhan terhadap calon mempelai tentang persyaratan dan administrasi apakah sudah cocok sesuai data yang terisi dalam model NB. Dalam hal ini teknik penyuluhan terdapat calon mempelai yang akan dilakukan
selama tiga hari sebelum
pernikahan
dilaksanakan dan ini dilakukan secara lisan, dengan mengajukan
54
beberapa pertanyaan pokok yang bersangkutan dengan kedua calon mempalai, antara lain : - Status Calon Mempelai Ini dilakukan untuk mengetahui apakah memang benar calon mempelai laki-laki ini benar-benar perjaka atau duda serta mengetahui apakah calon mempelai perempuan ini gadis atau janda. Dengan dilakukannya pertnyaan
kepada kedua calon
mempelai akan bisa diketahui terkait status mereka dan calon mempelai bisa saling mengetahui satu dengan yang lain, dan bisa meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan. - Usia Calon Pengantin Ini dilakukan untuk memastikan bahwa calon mempelai ini sudah cukup umur untuk melakukan pernikahan. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam umur laki-laki bisa melangsungkan pernikahan adalah 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahu. Namun ketika ditemukan salah satu calon mempelai belum cukup umur untuk melangsungkan pernikahan maka KUA akan menolak untuk menikahkan dan KUA akan memberikan surat penolakan berupa N9 kepada calon mempelai yang akan melakukan pernikahan. Untuk bisa melaksanakan pernikahan maka calon tersebut bisa mengajukan permohonan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama dengan melampirkan surat penolakan yang berupa N9 yang telah diberikan oleh KUA. Dan setelah
55
mendapatkan putusan dari pengadilan agama terkait dispensasi nikah maka calon mempelai baru bisa dilakukan pernikahan. - Wali Nikah Ini dilakukan agar calon mempelai perempuan ini benarbenar dinikahkan oleh walinya yang sah sesuai tata tertib urutan wali. - Nama Calon Pengantin Ini dilakukan untuk mencocokkan apakah nama calon mempelai ini sudah cocok dengan apa yang telah tertera dalam akta kalahiran atau ijazah. - Mahar Untuk mengetahui mahar apa yang diminta oleh calon mempelai wanita yang nantinya akan diucapkan dalam ijab qobul pernikahan. Selain pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan oleh petugas PPN tersebut calon pengantin juga diberi nasehat-nasehat sebagai bekal dalam mengarungi sebuah pernikahan, sehingga bisa mewujudkan tujuan dari pernikahan itu sendiri yaitu tercapainya rumah tangga yang Sakinah, Mawaddah, Warohmah. - Pengumuman Kehendak Nikah Setelah pemeriksaan calon pengantin tidak ada halangan PPN membuat pengumuman ditempel ditempat yang strategis (waktu
56
dari mendaftar sampai pelaksanaan akad nikah minimal 10 hari kerja), sesuai PMA. No.11/2007, pasal 16. - Pelaksanaan Akad Nikah 1. Akad nikah dilaksanakan di KUA oleh wali nikah dan dihadapkan PPN atau penghulu dari wilayah tempat tinggal istri, sesuai dengan PMA.No.11/2007, pasal 17,18 dan 21. 2. Atas permintaan calon pengantin dan persetujuan dan persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan diluar KUA. Penulis mempunyai catatan bahwa prosedur pelaksanaan wali hakim dalam pernikahan diatas sangatlahlah penting. Dalam hal wali hakim disini prosedur pelaksanaanya sama dengan prosedur pernikahan seperti biasanya yang terjadi dalam pernikahan. Jika wali hakim dikarenakan walinya adhal/enggan, maka harus melalui proses persidangan untuk mendapatkan surat izin keputusan dari Pengadilan Agama. Agar menunjuk wali hakim sebagai wali nikah, sedangkan jika wali hakim dikarenakan nasab garis keturunannya keatas habis atau karena walinya gila maka tidak perlu dengan izin dari Pengadilan Agama. Wali hakim merupakan wali yang sah, hal ini sesuai dengan Sabda Nabi SAW:
57
“Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka (si gadis dengan walinya) berselisih, maka penguasa (hakim) dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” Dikeluarkan oleh Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Uwanah, Ibnu Hibban, dan Hakim”. 76
Meskipun hakim tersebut tidak termasuk dalam daftar para wali sesuai keturunan nasab. Hal tersebut dapat dilakukan di tengah masyarakat dengan menjadikan wali hakim sebagai wali nikah yang sah menurut ketentuan syari‟at agama Islam maupun undang-undang Pernikahan.
76
. Al-Hafidz ibnu Hajar Al-Asqailany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, hal. 211-
212
58
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan Berdasarkan permasalahan wali hakim dalam pernikahan yang telah dibahas dalam bab sebelumnya maka sebagai suatu jawaban dari permasalahan, penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya wali hakim di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tahunan pada tahun 2010-2013 diantaranya adalah karena walinya adhal (enggan), urutan walinya habis, walinya ghaib, masyafatul qashri, walinya tidak diketahui tempat tinggalnya. Untuk mendapatkan wali hakim datanglah ke Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan tempat calon mempelai perempuan tinggal. Hal ini karena di Indonesia sejak 14 Januari 1952 berdasarkan peraturan pemerintah No. 1 tahun 1952, wali hakim dijalankan oleh Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan yang dilaksanakan oleh para naib yang menjalankan pekerjaan pencatat nikah dalam wilayah masing-masing. Sedangkan bagi wali masyafatul qashri, maka walinya harus dihubungi terlebih dahulu, apakah bersedia untuk pulang memberikan hak perwaliannya atau diwakilkan dengan wali hakim. Apabila walinya adhal atau enggan menikahkan, maka PPN Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan memberikan surat penolakan kepada yang bersangkutan serta memberikan
57
59
alasan penolakannya tersebut sesuai dengan model N9.77 Pemeriksaan tersebut menyatakan bahwa tidak ada wali yang menikahkan, maka pihak Kantor Urusan Agama (KUA) memberikan surat penolakan pelaksanaan perkawinan. Berdasarkan surat penolakan tersebut yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan terhadap penolakan itu ke Pengadilan Agama. Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada Putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.Wali hakim bukanlah menjadi sebuah pelanggaran dalam pernikahan jika seorang walinya sendiri adhal maupun garis keturunannya habis atau walinya gila, meski orang tersebut tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu bisa dilakukan di tengah masyarakat dengan menjadikan wali hakim sebagai wali nikah yang sah menurut ketentuan syari‟ah agama Islam maupun undang-undang Pernikahan. 2. Prosedur pelaksanaan wali hakim yang dilakukan adalah sama dengan proses perkawinan pada umumnya yaitu dilakukan dihadapan pegawai pencatat nikah yang meliputi keinginan pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan persyaratan nikah, pengumuman kehendak nikah, pelaksanaan akad nikah, pembacaan taklik talak, penyerahan mas kawin dan penyerahan akta nikah. Sebelum akad nikah dilangsungkan Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau Pembantu Petugas Pencatat Nikah (P3N) harus mengadakan pemeriksaan ulang atau penyuluhan terhadap calon mempelai tentang persyaratan dan administrasi apakah sudah cocok sesuai data yang terisi 77
. Pasal 16 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 1 Tahun 1990 Tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah.
60
dalam model NB. Dalam hal ini teknik penyuluhan terdapat calon mempelai yang akan dilakukan selama tiga hari sebelum pernikahan dilaksanakan dan ini dilakukan secara lisan, dengan mengajukan beberapa pertanyaan pokok yang bersangkutan dengan kedua calon mempalai, diantaranya wali, Dan diajukan beberapa pertanyaan pokok yang menyangkut adanya wali. Jika tidak adanya wali dari pertanyaan tersebut, maka PPN (Pegawai Pencatat Nikah)/penghulu menganjurkan wali tersebut dan menintak surat keterangan dari Balai Desa setempat karna tidak mempunyai wali.
disinilah proses terjadinya wali nikah atau dengan
menggunakan wali hakim karna perselisian yang terjadi. B. Saran Berdasarkan
hasil
penelitian
yang
telah
dilakukan,
penulis
menyarankan: 1. Mengingat pentingnya peran dan kedudukan wali nikah dalam pelaksanaan akad nikah bagi perempuan, maka hendaklah hubungan dalam sebuah keluarga dijaga keharmonisannya, baik orang tua dengan anak maupun sebaliknya, selain itu hendaknya tidak mengedepankan kepentingan masing-masing agar tidak terjadi perselisihan antara anak dan orang tua. 2. Setiap pihak yang ingin melangsungkan perkawinan dan mempunyai kepentingan didalamnya hendaknya lebih memperhatikan aturan-aturan yang berlaku dalam hukum Agama serta hukum Negara, agar membuat perkawinan tersebut dapat dijalankan dengan sempurna.
61
C. Penutup Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq serta inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik tanpa adanya hambatan yang berarti. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Tidak lupa penulis minta maaf, apabila dalam penyusunan kalimat maupun bahasa yang mungkin masih banyak kekeliruan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif guna perbaikan dimasa mendatang. Semoga dengan apa yang penulis buat ini mendapat Ridlo dari Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Semoga dengan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya. Amin ya rabbal alamin.