BAB II KETENTUAN NIKAH DALAM ISLAM A. Pengertian Pernikahan Menurut hukum perkawinan Islam, kata perkawinan itu merupakan alih bahasa dari istilah nikah atau tazwij.
Nikah menurut bahasa berarti 1
berkumpul atau bersetubuh
Makna nikah adalah al-Aqd dan arti majaznya adalah al-Wath (setubuh).2 Demikian menurut golongan Syafi’iyyah. Menurut golongan mazhab Hanafi sebaliknya nikah arti hakekatanya adalah al-Wath dan arti majaznya adalah al-Aqd. Adapun menurut syar’i para ulama adalah cenderung memberi arti nikah dikaitkan dengan tujuan utama perkawinan itu sendiri yaitu halalnya persetubuhan seperti di bawah ini : 1. Di kemukakan oleh Syaekh Muhammad al-Sarbini : 3
&
!"#
%$Artinya : Dan nikah menurut syara’ ialah akad yang mengandung halalnya persetubuhan dengan menggunakan kata nikah atau tazwij dan atau yang searti.
1
Syaekh Muhammad al-Sarbini, al-Iqna’, Juz. II, Bandung: al-Ma’arif, t. th., hlm. 115
2
Zakaria al-Ansari, Faht al-Wahab, Juz. II, Mesir: Mustafa, t. th., hlm. 30
3
Syarbini, loc. cit.
2. Dikemukakan oleh Sayid Abu Bakar :
! #
%$4
Artinya : Dan nikah menurut syara’ adalah akad yang mengandung kebolehan bersetubuh dengan menggunakan kata nikah atau tazwij. 3. Dikemukakan oleh al- Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad Husaini alDimisqy : 5
( )% *
+
'
Artinya : Akad yang dimasyhurkan yang mengandung beberapa rukun dan syarat. 4. Dikemukakan oleh Sayyid Sabiq.
)%
,-
* .
/ *
' 01 6
'
& '2 3 1
Artinya : Akad yang digunakan untuk menghalalkan suami isteri untuk mereguk kenikmatan satu sama lain menurut aspek yang di syari’atkan oleh Allah SWT. 5. Dalam Ensiklopedi Islam, dinyatakan bahwa dalam pengertian fiqih, nikah adalah akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami isteri dengan lafadz nikah/ kawin atau yang semakna dengan itu.7
4
Al-Sayyid Syata’ al- Dimyati, I’anah al-Thalibin, Juz. III, Bandung: al-Ma’arif, t. th.,
hlm. 285 5
Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad Husaini al-Dimisqy, Kifayah al-Ahyar, jilid. II, Semarang: Toha Putra, t. th., hlm. 30 6 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid. II, Bierut Lebanon: Daar al-Fikr, t. th., hlm. 7 7
Ensiklopedi Islam , Cet. I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993, hlm. 36
6. Mahmud Yunus dalam bukunya perkawinan Islam, mengemukakan bahwa perkawinan adalah akad antara calon suami dan isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syara’.8 B. Dasar-dasar Hukum Perkawinan Perkawinan mempunyai peranan penting bagi manusia dalam hidup dan perekembangannya. Untuk itu Allah melalui utusan-Nya memberikan suatu tuntunan mengenai perkawinan ini sebagai dasar hukum. Adapun dasar perkawinan dalam Islam adalah firman Allah dalam kitab suci al-Qur' an di antaranya :
4! 45 67 6478575 647 57 67 5 7 79: 5 64;!7 )5 5<=; D !
> 7;!<"5
? 7%5 ?7/ 5 >@% 5 77%6 AB 67 >@% >7+7!;C> 5 5A4B
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah maha luas (pemberain-Nya) lagi maha mengetahui. (Q.S. an-Nuur : 32).9 Friman Allah :
64A!65 <*5'5 5 5+6A7 4!46/ A7E 56<"647/ 4$;!<"6 7 64AAF A%A, 6<"775G 675 D
549
5 >@A$A5 H6A7HI JA5K 7A1 L7B 97E5655 EM955
8
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Islam , Jakarta: Hidakarya Agung, t. th., hlm. 2
9
Departemen Agama RI, Al-Qur' an dan Terjamahnya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm.
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah dia yang menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(Q.S. ar-Rum ; 21) .10 Firman Allah :
D !
67 >@% >>+57!;C> )@5 E A7! 5 >7 5 - 5 71@ 7N 7$6'A6/ 5;5
Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mempu kawin hendaklah manjaga kesucian (dirinya) sehingga Allah memampukan. (Q.S. an-Nur : 33).11 Di samping berdasarkan atas firman Allah SWT perkawinan itu sendiri pun merupakan sunnah dari Rasulullah SAW. Sabda Nabi Muhammad SAW :
>@!7QAB 6P 95A5;%AB AM5 5; >4;!7 5. A A6/ 75 7O 5@ 5A 6'5 5 >A >@!7QAB 769: 7 76A%5'AB 67 A6/ 5 6A 655 7P 6A$;%7 >5: 6 <"5 75: 5;%7 ST AR<" 12
Artinya :
10 11
% F$ U
? 57
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a ia berkata : Rasulullah SAW bersabda kepada kami : Wahai para pemuda ! barang siapa di antara kamu sekalian yang mampu kawin, kawinlah : maka sesungguhnya kawin itu lebih memejamkan mata (menangkan padangan) dan lebih memelihara farji. barang siapa yang belum kuat kawin (sedangkan sudah menginginkannya) berpuasalah ! karena puasa itu dapat melemahkan syahwat. (HR. jamaa’ah ahli hadits).
Ibid., hlm. 644
Ibid., hlm. 549 Sayyid Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subu al-Salam, Juz. III, Bandung: Dahlan, t.th., hlm. 109. 12
Sabda Rasulullah SAW :
D %/ : % F$
13
% V )%: L !
" ! V L
:
!"
U
! )%:
)! X %B L !/ O R
*W
K%
)/!
% L!
V
B /! P
B
Artinya : “Dari Annas bin Malik r.a bahwa Nabi SAW memuji Allah SWT. Dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda : akan tetapi aku shalat, tidur, puasa dan mengawini perempuan. Maka barang siapa yang tidak suka akan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku”. (HR. Sepakat ahli hadits). C. Hikmah dan Tujuan Perkawinan Islam menganjurkan dan menggalakkan perkawinan maksudnya tiada lain karena banyaknya faedah manfaat yang terkadung di dalamnya, baik bagi diri pribadi seseorang maupun bagi masyarakat ramai, bahkan bagi seluruh kemanusiaan. Maka anjuran untuk kawin bagi manusia ini tentunya tidak terlepas dari adanya hikmah dan tujuan. 1. Hikmah Perkawinan. a) Naluri seksual merupakan naluri yang paling kuat dan paling eksplosif, yang selalu mendesak manusia untuk mencari penyaluran. Dan jika itu jalannya tersumbat dan ia tidak akan mempunyai kepuasan, manusia akan mengalami kegelisahan dan keluh kesah, yang akan menyeretnya ke dalam penyelewangan-penyelewengan yang tidak dinginkan.14 Maka perkawinan adalah suatu cara yang paling baik, dan corak kehidupan yang paling tepat untuk memuaskan dan menyalurkan naluri ini. Dengan 13
Ibid., hlm. 110
14
Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah, op. cit., hlm. 10
demikian badan jasmani tidak akan menderita kegoncangan lagi. Nafsu kelamin dapat dikendalikan hingga pandangan mata tidak akan merampok pagar dan hasrat keinginan dapat dipenuhi dengan yang halal. Inilah yang disyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya : “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah dia yang menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(Q.S. ar-Rum ; 21) .15 b) Perkawinan adalah cara sebaik-baiknya untuk berkembang biak, serta berlangsungnya kehidupan di sertai terjaminnya kemurnian asal-usul yang amat dipentingkan oleh agama Islam .16 c) Perkawinan adalah cara yang tepat untuk menumbuhkan naluri keibuan dan naluri kebapakan. d) Dapat membangun keluarga bersama, dengan mengingat fungsi masingmasing, sehingga kehidupan keluarga menjadi sehat dan kuat.17 2. Tujuan Perkawinan a) Melaksanakan perintah Allah SWT. Dan sunnah Rasul. Firman Allah :
67 6478575 647 57 67 5 7 79: 5 64;!7 )5 5<( ; > 7;!<"5 D !
? 7%5 ?7/ 5 >@% 5 77%6 AB 67 >@% >7+7!;C> 5 5A4B 4! 45
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba15
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 10
16
Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 11
17
Ibid.,
hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui. (Q.S. an-Nuur : 32).18 Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Islam membenciumatnya yang hidup membujang atau menggadis, sampai dia meninggal dunia 2. Islam membenci laki-laki dan perempuan hidup janda sampai meningal dunia 3. Famili yang bersangkutan seharusnya mendorong mereka itu supaya kawin dan kalau perlu diberikan sumbangan moril dan materiil, sehingga tidak seorangpun dari umat Islam yang tidak berkeluarga waktu meninggal dunia. 4. Perkawinan bukan saja menolong penyaluran nafsu seksual secara halal, tapi pula meringankan penderitaan ekonomi mereka menuup kemungkina melacur, dan termasuk ibadah karena dianjurkan agar berkeluarga dalam Islam.19 b) Menjaga dan menyalurkan nafsu dengan benar dan sehat. Firman Allah :
;I AA%5 5 6<" 67+7 56<" )A%5 @- 7 5 4# 7B5 67+7 >4$7 6>Y 5 71@5 [ D !Z
5 7 4%5 >6AR 6>+@!7QAB 6>+4!56<"
Artinya : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka
18 19
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 549
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7, wali nikah dan Pesta Kawinm (tarj.), Kahar Masyhur, juz. VII, Jakarta: Kalam Mulia, 1990, hlm. 4
miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (Q.S. al-Mukminun : 5-6).20 Dari ayat tersebut dapat kita ambil kesimpulan : Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup. ketenangan dan ketentraman untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenagan dan ketentraman anggota-anggota keluarga dalam keluarganya. Keluarga yang merupakan bagian dari masyarakat menjad faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami isteri dalam suatu rumah tangga. Keharmonisan diciptakan
oleh
adanya
kesadaran
anggota
keluarga
dalam
menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban.21 c) Menjaga nasab agar tetap sehat dan bersih e) Membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal dengan penuh ketentraman dan kasih sayang, sebagaimana firman Allah dalam surat alFurqan ayat 74 :
H>6<" AM94W A!79\415 A!7 56<" 67 A!A 6O 5Y A!95 5 4 45 5 71@5 D W$
E 575 7@>;%7 A!;%5'6 5
Artinya : Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkan lah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
20 21
Ibid., hlm. 526
Departemen Agama Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fiqh, Jilid. II, Jakarta: 1984/1985, hlm. 69.
penyenang hati (kami). Dan jadikanlah kami iman bagi orangorang yang bertaqwa. (Q.S. al-Furqan : 74).22 Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaiman tersebut di atas karena mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia. 1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bila mana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banykalah manusia yang mengalami goncang dan kacau serta menerobos jalan yang jahat. Dan kawinlah jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluriah seks ini. 2. Kawin, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak
keturunan,
melestarakan
hidup
manusia
serta
memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan sekali. 3. Selanjutnya, naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup denga anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifatsifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang. 4. Pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain
berkerja di luar, sesuai dengan batas-
batas tanggungjawb antara suami isteri dalam menangani tugastugasnya.23
22 23
Ibid., hlm. 569 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 19-20
D. Syarat-syarat dan Rukun Perkawinan Syarat oleh Ahmad Warson Munawwir dalam kamusnya alMunawwir dikemukakan, bahwa pengertian syarat itu dari bentuk kalimat fiil madhi yaitu
atau
:
yang mempunyai arti
“mengikat”, mengadakan syarat (perjanjian).24 Syarat sahnya perkawinan adalah adalah syarat yang apabila terpenuhi, maka ditetapkan padanya seluruh hukum akad (perkawinan). Syarat pertama adalah halalnya seorang wanita bagi calon suami yang akan menjadi pendampingnya. Artinya, tidak diperbolehkan wanita yang hendak dinikahi itu berstatus sebagai muhrimnya, dengan sebab apapun, yang mengharamkan perkawainan di antara mereka berdua, baik itu bersifat sementara maupun selamanya. Syarat kedua adalah saksi yang
mencakup hukum kesaksian
dalam perkawinan, syarat-syarat kesaksian dan kesaksian dari wanita yang bersangkutan.25 Syarat perkawinan, dikemukakan oleh Sayyid Sultan al-Dimyati dalam kitabya “I’anah al-Thalibin” bahwa syarat perkawinan calon suami adalah :
24
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pon-Pes al-Munawwir, 1984, hlm. 760 25 Syaikh Kamil Muhammad Waidah, al-Jami’ fi Fiqhi al-Nisa, (terj.) Abdul Ghofur, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, hlm. 405
M ' )B
' ' 26
' P
)B
3 / I &
)B +!- '
M ' )B + C
Artinya : Syarat calon suami adalah : orangnya tertentu, tidak ada hubungan mahram antara isteri yang telah ada dengan calon isteri (bagi pria yang ingin kawi lagi) tidak telah beristeri empat orang (walaupun salah satu telah ditalak dan dalam keadaan ditalak raj’iyyah karena iddah raj’iyyah itu masih dalam hukum perkawinan). Sedangkan syarat bagi seorang calon isteri, menurut al-Dimyati
adalah :
+
'
U R M
!
! 27
&.
)B O /!
Artinya : Syarat calon isteri adalah : tidak dalam ikatan (dengan orang lain) tidak dalam keadaan iddah (dari talak dengan orang lain) tidak ada hubungan mahram dengan suaminya (baik dari keturunan maupun susuan) Di samping kita mengetahui syarat-syarat tentang perkawinan tersebut, perlu pula kita sebutkan tentang rukun-rukun perkawinan. Dalam kitab “Fath al-Wahab”, diterangkan bahwa rukun perkawinan itu adalah : 28
& C:
Y
L
P
/ ,] !
Artinya : Rukun nikah ada lima : calon suami, calon isteri, wali, dua orang saksi dan ijab kabul (shiggat).
26
Sayyid Sultan al-Dimyati, I’anat al-Thalibin, Juz. III, Semarang: Toha Putra, t. th.,
27
Ibid., hlm. 380
hlm. 296 28
Syaikh al-Islam Abi Yahya Zakaria al-Ansahri, Fath al-Wahab, Juz. II, Semarang: Toha Putra, t. th., hlm. 34.
Sedangkan menurut Abdurrahman al-Jaziri menyebutkan, bahwa rukun perkawinan adalah :
Y
L
P
/ , ] !
D
W '$ 29
& C:
Artinya : Imam Syafi’i berpendapat bahwa rukun nikah itu ada lima yaitu: calon suami, calon isteri, wali dua orang saksi dan shighat (ijab qabul). Dari keterangan tersebut maka kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa rukun yang pokok dalam perkawinan, ridhanya laki-laki dan perempuan dan persetujuan mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan ridha dan setuju bersifat kejiwaan yang tak dapat dilihat dengan mata kepala, karena itu harus ada perlambang yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami isteri. Perlambang itu diutarakan dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan aqad.30 Selanjutnya adalah adanya wali, wali dalam perkawinan adalah suatu yang harus ada menurut syara’ yang bertugas melaksanakan hukum atas orang lain dengan paksa. Wali nikah itu ada dua macam, yaitu : Wali secara umum dan wali secara khusus. Yang dinamakan dengan wali khusus adalah mengenai perwalian jiwa atau nyawa dan harta. Yang
29
Abdurrahman al-Jazuri, Kitab al-Fiqh ’ala Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Mesir: alTijaariyah al-Kubra, 1969, hlm. 12 30 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 48
dimaksud dalam bahasan ini adalah perwalian mengenai jiwa atau nyawa dalam perkawinan.31 Jumhur ulama seperti : Malik, Tsauri, Laits dan Syafi’i berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah ahli waris, tetapi bukan paman dari ibu, bibi dari ibu, saudar seibu dan keluarga dzawil arham. Syafi’i berkata : nikah seorang wanita tidak dapat dilakukan, kecuali dengan pernyataan wali qarib (dekat). Jika ia tidak ada, dengan wali yang jauh. Dan jika ia tidak ada, dengan hakim.32 Berbeda dengan pendapatnya Abu Hanifah, Abu Yusuf, berpendapat bahwa wanita yang baligh mempunyai hak langsung mengaqadkan bagi dirinya, apakah dia masih gadis atau sudah janda. Disunnatkan baginya agar mewakilkan akad nikahnya kepada wali nikahnya, untuk menjaganya dari kemurahan, karena sebenarnya dialah yang berhak mengaqadkan, walaupun ada laki-laki lain hadir waktu
bersama dengannya. Tidak ada hak bagi
walinya yang bernilai hak ashabah atas waris untuk menentangnya.33 Adapun syarat-syarat wali sebagai berikut : 1. Orang merdeka atau tidak budak belian 2. Telah sampai umur atau sudah baligh, baik yang dalam perwaliannya orang Islam atau non-Islam. Oleh sebab itu, maka budak belian tidak boleh menjadi wali nikah dalam perkawinan. Begitu juga tidak boleh menjadi wali nikah orang gila atau anak-anak sebabnya adalah karena
31
Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 1
32
Ibid., hlm. 22
33
Ibid., hlm. 8
mereka belum dapat menjadi wali salah seoranpun, apalagi terhadap dirinya. Oleh sebab itu maka ia tidak berhak menjadi wali orang lain. 3. Berakal. 4. Beragama Islam, yang demikian adalah bila yang dalam perwaliannya beragama Islam pula. Sebabanya ialah karena non-Islam tidak patut menjadi wali orang Islam. Karena firman Allah SWT : 34
D /!
E^ 75/ 5 7!7_Z>; )A%5 5 77BA;%7>@% <*5'6 5 6A5
Artinya : Allah tidak akan memberikan jalan bagi orang-orang kafir atas orang-orang beriman (al-Nisa : 141). 35 Berikutnya adanya dua orang saksi, menurut jumhur ulama, perkawinan yang tidak dihadiri oleh saksi-saksi tidak sah. jika ketika inab qabul tak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain, perkawinannya tetap tidak sah. jika para saksi
hadir dipesan oleh pihak yang mengadakan aqad nikah agar
merahasiakan dan tidak memberitahukannya kepada orang ramai maka perkawinannya tetap sah. 36 Dalam memberikan kesaksian, seseorang disyaratkan memenuhi empat kriteria, yaitu : a. Islam b. Berakal c. Baligh 34
Ibid.
35
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 146
36
Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 79
d. Adil “adanya ijab qabul : ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya sedang qabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.37
37
Departemen Agama Dirjen Pembinaan kelembagaan Agama Islam, op. cit.,hlm. 98