BAB II ETIKA PERKAWINAN DALAM ISLAM
Islam adalah agama fitrah, agama yang memberi pedoman hidup kepada manusia sesuai dengan tuntunan fitrah hidupnya yang multi dimensional. Kompleksitas ajaran Islam dapat di lihat dari tujuan umumnya, yaitu sebagai Rahmatan Lil’alamin, terutama dalam mewujudkan masyarakat yang idial. Sebagai upaya kearah tersebut, nikah dianggap sebagai suatu dasar pembentukan dan pembangunan masyarakat. Karena dari sanalah akan muncul generasigenerasi dengan berbagai karakter yang beragam, yang dalam teori sosial keagamaan merupakan wujud kedinamisan suatu tatanan sosial. Perkawinan dalam agama Islam diatur secara cermat dan terperinci karena itu menyangkut kehidupan rumah tangga. Dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Islam diharapkan rumah tangga akan dapat terbangun dengan penuh kebahagiaan dan ketenangan serta kasih sayang. Oleh karena itu masalah perkawinan dalam Islam mendapat prioritas utama untuk ditangani. Hal ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh negara yaitu mewujudkan masyarakat yang adil, makmur yang mendapat ridha Allah SWT. A.
Pengertian Perkawinan Perkawinan asal katanya ialah kawin yang mempunyai arti nikah, berbini, berlaki. Kemudian mendapat awalan “per” dan akhiran “an” menjadi perkawinan yang mempunyai arti hal-hal mengenai perkawinan. Nikah adalah salah satu kata Arab yang telah baku menjadi bahasa Indonesia dapat diartikan dengan kawin. Kata nikah makna asalnya ialah berkumpul, menindas, menghimpun dan memasukkan sesuatu di samping juga berarti bersetubuh dan berakad1 atau akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan halal.
1
Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992,
hlm. 741
12
13
Menurut golongan Hanafiah nikah menurut arti aslinya adalah “setubuh” dan secara majazi ialah, akad yang dengannya menjadi halal suatu hubungan persenyawaan,2 antara pria dan wanita. Golongan Syafi’iyah nikah secara harfiah adalah “akad” yang menghalalkan persenyawaan antara pria dan wanita. Sedang menurut arti majazinya adalah “setubuh”. Menurut Abul Qosim az-Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, dan sebagian ahli usul dari sahabat Abu Hanifah. Nikah adalah berserikat, artinya antara akad dan setubuh. Adapun menurut Zainuddin al-Malibari, pengertian nikah adalah: suatu akad yang berisi pembolehan melakukan persenyawaan dengan mengunakan lafal nikah atau tazwij.”3 Nikah dalam arti sosial: bagi kehidupan masyarakat perkawinan dianggap jalan menghindari perselisihan, pertengkaran, atau permusuhan antar manusia. Hidup perkawinan yang saling mencintai dan berkasih sayang itu ibarat batu bara, semen, pasir, kapur, dan sebagainya dari bangunan umat muslim yang dicita-citakan Islam.4 Nikah dalam arti agama: perkawinan itu ibadah. Manusia sebagai mahluk Allah, harus mematuhi perintahNya untuk berpasang-pasangan dengan jodoh yang telah dipertemukan Allah SWT.5 Islam mengajarkan agar perkawinan itu dilakukan dengan niat yang luhur, niat mengikuti sunah Rasul agar benar-benar bernilai ibadah. Nikah dalam arti hukum: pernikahan berarti ikatan. Menurut UU No.1 Tahun 1974, tentang perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita, sebagai suami istri dengan tujuan
2
Emha Ainun Najib dalam bukunya Slilit Sang Kyai menggunakan kata persenyawaan sebagai ganti dari kata persetubuhan. Sebab hematnya persetubuhan hanya mencakup aspek fisik atau hanya berdasar dimensi watak biologis semata. Sedangkan persenyawaan dilakukan dalam koridor yang mencakup semua aspek atau dimensi yang dimiliki oleh keseluruhan potensi manusia. 3
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in, Toha Putra, Semarang, t. th, hlm. 1
4
Alex Sobur dan Septiawan, Renungan Perkawinan, Puspa Swara, Jakarta, 1999, hlm. 37
5
Ibid., hlm. 38
14
membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.6 Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa nikah atau perkawinan adalah suatu akad dengan menggunakan kata menikahkan atau mengawinkan, sehingga dengan akad tersebut menjadi halal suatu persenyawaan dan mengikat pihak yang diakadkan menjadi suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia lagi kekal. Perkawinan merupakan dasar pembentukan sebuah keluarga yang merupakan proses pelestarian nilai-nilai kemanusiaan secara terhormat untuk menciptakan kehidupan yang bahagia, sejahtera. Perkawinan juga mengharuskan sepasang suami istri menuju kesempurnaan moral dan mental serta kesejahteraan jiwa dan raga. Allah telah menjadikan perkawinan sebagai sunnahNya dalam upaya menjalin keberlangsungan makhluk. Perkawinan yang baik adalah salah satu jembatan untuk menuju rumah tangga yang baik. Bahwa perkawinan ini didasari agama yang baik, sebagai pilihan masing-masing pihak. Islam sangat menyukai perkawinan dan menyuruh manusia untuk, kawin, karena dengan kawin akan terjaga kehormatannya, dan dengan kawin dapat menyelamatkan dirinya daripada perbuatan zina.7 Perkawinan merupakan hal yang penting untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dimana manusia memiliki rasa keterkaitan terhadap lain jenisnya dan juga keinginan akan keturunan. Pengakuaan kebutuhan biologis yang sah melalui perkawinan ini disyariatkan di dalam al-Qur’an sebagai jalan terhormat yang harus ditempuh manusia dalam upaya mewujudkan cinta kasih sesama. Melalui perkawinan manusia akan membangun keluarga yang bahagia sejahtera
6
Amir Martosedono, SH, Undang-Undang Perkawinan, Dahara Prize, Semarang, 1993,
hlm. 9 7
Lubis Salam, Menuju Keluarga Sakinah Mawaddah dan Warahmah, Terbit Bintang, Surabaya, tt hlm. 23
15
penuh kasih sayang, mengisi dan memakmurkan dunia untuk mencapai ketentraman dan kedamaiaan. Perkawinan suatu cara yang Allah tetapkan sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan menjaga kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.8 Selain sebagai sarana untuk mengembangkan keturunan, perkawinan dalam Islam juga merupakan sarana untuk mengabdikan diri kepada Allah. Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat suci dan luhur dimana perikatan antara seorang laki-laki dan perempuan dalam menetapkan tanggungjawab dan kelanggengan atas hubungan mereka. Kondisi seperti ini pada akhirnya akan memunculkan suatu komitmen untuk hidup bersama sesuai ajaran Islam. Perkawinan sebagai sesuatu yang suci dan mulia janganlah disiasiakan upaya membentuk dan menciptakan keluarga yang bahagia perlu adanya persiapan yang matang dan perencanaan yang mantap, baik dari segi fisik, mental maupun ekonomi. Islam menganjurkan kepada siapa saja yang telah mempunyai kesiapan untuk segara menikah dalam rangka menghindari fitnah. B
Etika Perkawinan Islam telah menjadikan ikatan pernikahan yang sah berdasar AlKitab dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk membangun keluarga muslim. Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan ini sangat besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding pentingnya dengan separuh Dien atau setengah dari keimanan.9
8
M. Thalib, Buku Pengangan Perkawinan Menurut Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1993,
hlm. 2 9
Husein Muhammad Yusuf, Keluarga Muslim dan Tantangannya, Gema Insani Press, Jakarta, 1994, hlm. 81
16
Nikah termasuk bagian dari ibadah, yang seharusnya dilakukan oleh setiap mauslim yang telah memiliki kesiapan lahir dan batin, sebab menikah merupakan bagian dari kesempurnaan dalam beragama. Dalam penciptaan mahluk, Allah senantiasa menciptakan dengan berpasangan. Manusia, diciptakan Allah berpasangan antara laki-laki dan perempuan yang dapat mengembangkan keturunan yang sah dalam tatanan masyarakat, yang kemudian itu akan membentuk masyarakat baru, sehingga pada akhirnya benar-benar menjadi kholifah di bumi. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi dalam surat Adz-Dzariyat : 49.
(49)ﻭ ﹶﻥﺗ ﹶﺬ ﱠﻛﺮ ﻢ ﻌ ﱠﻠﻜﹸ ﻴ ِﻦ ﹶﻟ ﺟ ﻭ ﺯ ﺎﺧ ﹶﻠ ﹾﻘﻨ ﻲ ٍﺀ ﺷ ﻦ ﹸﻛ ﱢﻞ ﻭ ِﻣ Artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.10 Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan dalam surat al-Hujurat : 13.
ﺭﻓﹸﻮﺍ ِﺇ ﱠﻥ ﺎﺘﻌﺎِﺋ ﹶﻞ ِﻟﻭ ﹶﻗﺒ ﺎﻮﺑﺷﻌ ﻢ ﺎ ﹸﻛﻌ ﹾﻠﻨ ﺟ ﻭ ﻧﺜﹶﻰﻭﹸﺃ ﻦ ﹶﺫ ﹶﻛ ٍﺮ ﻢ ِﻣ ﺎ ﹸﻛﺧ ﹶﻠ ﹾﻘﻨ ﺎﺱ ِﺇﻧ ﺎﺎ ﺍﻟﻨﻳﻬﺎﹶﺃﻳ (13)ﺧِﺒﲑ ﻋﻠِﻴﻢ ﻪ ﻢ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﻟ ﱠﻠ ﺗﻘﹶﺎ ﹸﻛﺪ ﺍﻟ ﱠﻠ ِﻪ ﹶﺃ ﻨ ﻢ ِﻋ ﻣﻜﹸ ﺮ ﹶﺃ ﹾﻛ Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.11 Perkawinan Nabi Muhammad dengan Siti Khadijah sangat penting karena baginya telah disediakan seorang mitra yang kepadanya ia dapat mengandalkan sepenuhnya masa kehidupannya yang paling sulit dan yang diberkahi kebajikan moral serta kebajikan spiritual untuk bertindak sebagai seorang istri yang sempurna dari hamba Allah yang paling sempurna pula
10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Jakarta, 1971, hlm. 862 11
Ibid., hlm. 847
17
dan ibu dari keluarga nabi-nabi ahlul bait yang cahayanya akan menerangi dunia pada kemudian hari. Perkawinan Nabi dengan Khadijah ini kedua pihak merasakan kenikmatan dan
kebahagiaan hidup yang sesuai dengan suasana rumah
tangga mereka yang sangat rukun dan damai sekali. Kebahagiaan dan hidup dalam suasana rukun dan damai yang dilalui Khadijah dengan Nabi ini hidup selama-lamanya dalam kenangan. Kepribadian Muhammad yang telah diakui penduduk Mekkah yang menyebabkan Khadijah cinta kepadanya dan dibebaskan mengurus hartanya. Beruntung sekali Muhammad mendapat istri Khadijah karena ia mendapat kedudukan yang tinggi dan terhormat diantara penduduk Mekkah. Mengenai keutamaan pasangan termulya sepanjang zaman ini juga digambarkan oleh Rus’an. Ia menggambarkan Bahwa Khadijah istri yang jujur, setia, dan senantiasa melihat suaminya dengan perasaan yang hibah, kagum hormat yang berpadukan cinta dan kasih sayang. Keluarga atau rumah tangga secara umum didirikan melalui proses yang disebut pernikahan atau dengan bahasa yang lain prasyarat dari sebuah rumah tangga atau keluarga pernikahan tersebut manusia
adalah pernikahan.12 Dengan melalui dapat berhubungan secara syah
dalam
membentuk rumahtangga sakinah yang penuh dengan mawaddah warahmah sehingga dapat untuk mendapatkan anak sholeh. Bahkan lebih dari itu dengan pernikahan diharapkan dapat meningkatkan jenjang yang lebih tinggi dan mulia, perlindungan moral, pemeliharaan dan kesinambungan suku bangsa, tercipta hubungan psikologis, emosional dan spiritual dan pemeliharaan serta pengembangan anak.13 Uraian di atas merupakan ilustrasi singkat mengenai perkawinan yang ideal yang terbaik sepanjang zaman dan juga merupakan keluarga
12
Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 120
13
Khursyid Ahmad, Keluarga Muslim, Risalah, Bandung, 1986, hlm. 20-23
18
pertama yang menanggung beban berat perjuangan syi’ar Islam. Kalau kita telaah lebih lanjut berdasarkan ulasan singkat di atas maka setiap prilaku Nabi
beserta keluarga mengandung tauladan yang patut kita ambil
hikmahnya dalam kehidupan masa kini. Masyarakat yang baik terbentuk dari keluarga yang baik, keluarga yang baik tercipta dari perkawinan yang baik. Perkawinan yang baik merupakan perkawinan yang dilaksanakan oleh insan yang baik pula. Islam tidak cukup kalau hanya menerangai segi kerohaniaan belaka, tetapi diikuti pula dengan pengaturan hukum dan jaminan perundangundangannya14: 1. Hubungan antara kedua belah pihak (yakni antara pria dan wanita) harus didasarkan atas prinsip kesukarelaan dan persetujuaan. 2. Hubungan pernikahan itu harus dilakukan secara terbuka dan disaksikan orang, tidak boleh dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi seperti perbuatan jahat. 3. Pernikahan harus dilandasi niat untuk seterusnya, bukan untuk sementara waktu, jika didasarkan pada niat untuk sementara waktu maka pernikahan itu tidak sah. Hubungan keduannya harus bisa mencerminkan rasa ketentraman, kemantapan, cinta kasih, lemah lembut, penuh kasih sayang dan saling menghormati. Mewujudkan keluarga sakinah merupakan sebuah keniscayaan ketika ingin menciptakan masyarakat yang bahagia dan sejahtera. Upaya untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan sejahtera ini dapat diwujudkan melalui penegakan prinsip akhlaq dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban moral yang menjadi kemestian baginya dan penerimaan akan hak masing-masing anggota dengan sempurna.15
14
Sayyid Qutub, Islam dan Perdamaian Dunia, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, hlm. 50-
51 15
Hamzah Ya’kub, Ethika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (suatu pengantar ), CV. Diponegoro, Bandung, 1996, hlm. 146
19
Selain itu kesiapan pasangan suami istri dalam memasuki gerbang perkawinan yang sesuai dengan norma agama, susila, dan peraturan perundangan serta adanya saling kesediaan, saling mengerti dan menerima pasanganya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah kebahagiaan dan kesejahteraan sebuah keluarga ditentukan oleh pribadi calon keluarga yang akan membentuk keluarga tersebut Upaya ini dapat diawali dengan pemilihan jodoh, pernikahan yang baik yang meliputi pemenuhan akan kewajiban masing-masing pihak serta kesadaran akan kekurangan dan kelebihan masing-masing pasangan. 1. Pedoman pemilihan jodoh. Proses pembentukan keluarga dapat di mulai dengan pemilihan jodoh
sebab untuk membina keluarga
yang bahagia dan sejahtera
banyak ditentukan oleh pribadi calon keluarga yang akan membentuk keluarga
tersebut, sehingga sangatlah tepat jika dikatakan memilih
jodoh yang tepat adalah separuh dari sukesnya perkawinan.16 Dalam sebuah keluarga memilih jodoh seperti membuat pondasi rumah, jika baik pondasi tersebut maka bangunan tersebut akan kuat begitu juga sebaliknya jika rapuh pondasi tersebut maka bangunan itu akan rapuh juga. Dasar pemilihan jodoh bermacam-macam, setiap pribadi keluarga dan masyarakat memilki gambaran ideal tentang figur calon hidupnya. Orang-orang tua zaman dahulu misalnya mendasarkan pemilihan jodoh berdasarkan bebet, bibit dan bobot.17 Kemudian Abdul Aziz juga berpendapat bahwa dasar pemilihan jodoh adalah agama, keturunan, akhlaq, pendidikan, kesehatan, adat istiadat dan tanpa menafikan faktor lain sesuai dengan konsep kesepadanan.18
16
Abdul Aziz, Rumah Tangga Bahagia dan Sejahtera, CV. Wicaksana, Semarang, 1990,
hlm. 25 17
Abdul Aziz, op. cit., hlm. 25
18
Ibid., hlm. 26
20
Berbeda dengan di atas adalah Dadang Hawari yang menjelaskan bahwa persiapan bagi calon suami istri yang ingin mencari pasangan memakai tolok ukur aspek fisik, mental psikologik dan psiko sosial.19 Dari berbagai uraian para pakar di atas tentang pemilihan jodoh kalau kita telaah bersama pemilihan jodoh yang baik adalah sesuai dengan konsep kesepadanan atau kesekufuan. Hal ini selaras dengan ajaran Islam sebagaimana Rasulullah SAW memberikan petunjuk untuk memilih jodoh yang terbaik.
ﺎ ﻭﳉﻤﺎﳍﺎ ﻭﻟﺪﻳﻨﻬﺎ ﻓﺎﻇﻔﺮ ﺑﺬﺍﺕ ﺍﻟﺪﻳﻦﺗﻨﻜﺢ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﻷ ﺭﺑﻊ ﳌﺎﳍﺎ ﻭﳊﺴﺎ ﺗﺮﺑﺖ ﻳﺪﻙ Artinya : wanita itu dinikahi karena empat perkara, yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, pilihlah wanita yang beragama engkau akan selamat. (H.R Bukhori dan Muslim)20 Jodoh merupakan masalah yang aktual dan segar untuk selalu diperbincangkan dan juga merupakan masalah yang sulit untuk ditangai dalam dunia kenyataan. Namun begitu ketika kita yakin akan adanya Allah dalam setiap gerak langkah kita, maka Allah akan menunjukkan jalan yang benar.21 Jalan yang benar dalam konteks ini adalah jalan bagaimana kita memilih jodoh yang baik dalam upaya menciptakan keluarga sakinah. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqoroh : 221.
ﻮ ﻭﹶﻟ ﺸ ِﺮ ﹶﻛ ٍﺔ ﻦ ﻣ ِﻣﻴﺮ ﺧ ﻨﺔﹲﺆ ِﻣ ﻣﺔﹲ ﻣ ﻭﹶﻟﹶﺄ ﻦ ﺆ ِﻣ ﻳ ﻰﺣﺘ ﺕ ِ ﺸ ِﺮﻛﹶﺎ ﻤ ﻮﺍ ﺍﹾﻟﻨ ِﻜﺤ ﺗ ﻭﻟﹶﺎ ﻢ ﺘ ﹸﻜ ﺒﺠ ﻋ ﹶﺃ 19
Dadang Hawari, Alqur’an Ilmu Kedokteran Jiwa, PT. Dhana Bhakti Prima Yasa, 1998,
hlm. 252 20
Kholilah Marhijanto, Menciptakan Keluarga Sakinah, CV. Bulan Bintang, Surabaya, t.th, hlm. 31 21
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius (Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat), Paramadina, Jakarta, 2000, hlm. 76
21
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.22 Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa, pemilihan jodoh merupakan permasalahan yang aktual dan krusial sepanjang zaman. Jika salah kita dalam memilih jodoh maka salah kita dalam memilih calon pondasi atau landasan dari sebuah bangunan yang akan kita bangun. Mengenai pemilihan jodoh ini Hakam menjelaskan pemilihan jodoh yang baik
bahwa
adalah berdasarkan tuntunan agama.
Tuntunan agama tersebut adalah bagi calon pasangan suami istri dalam memilih
pasangan
hidupnya
hendaknya
memperhatikan
aspek
lingkungan yang baik, agama dan ketrampilan. a. Lingkungan yang baik. Faktor lingkungan didahulukan sebab seseorang sangat terpengaruh bahkan terbentuk oleh akhlaq dan kebiasaanya dengan segala sesuatu yang berkembang dalam lingkungannya. Kenyataanya bahwa tanah yang baik akan menghasilkan tanaman yang baik begitu pula tanah yang kurang baik akan menghasilkan tanaman yang kurang baik pula. Di samping itu secara ilmu genetika dijelaskan bahwa semakin dekat hubungan kekerabatan antara suami dan istri maka akan semakin menimbukan semacam penimbunan sifat-sifat yang tidak dikehendaki pada keturunan seperti idiot 23 b. Agama. Unsur agama sangat penting karena suatu pernikahan atas tujuan duniawi saja, maka akan ditimpa berbagai macam goncangan yang tidak terkira dan juga terpenuhinya unsur agama bagi calon 22
Lihat al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 53
23
Abdul Hakam Ash-Sha’di, Menuju Keluarga Sakinah, Akbar, Jakarta, 2001, hlm. 55-
56
22
pasangan suami istri akan bisa menutupi kekurangan unsur yang lain. Di samping itu syarat agama yang kuat berlaku bagi keduanya terlebih
bagi
keluarga.
pria karena
dia sebagai pemegang tali kendali
24
Dengan kesempurnaan atau kualitas agama calon pasangan suami istri diharapkan agar kaum muslimin dalam membangun rumah tangga tidak hanya berpangkal pada kehidupan duniawi saja namun juga kebutuhan ukhrawi. Di samping itu wanita atau pria yang kuat agamanya diharapkan akan mampu menjadi pendidik, pengasuh, pelatih dan pemelihara yang baik bagi generasi penerus. 25 c. Memiliki ketrampilan. Prinsip memiliki ketrampilan juga ditekankan pada kedua calon
pasangan suami istri terlebih bagi calon suami. Hal ini
dikarenakan untuk memenuhi unsur kesepadanan, walaupun tentang masalah ini para ulama‘ berbeda pendapat.26 2. Perkawinan yang baik. Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturan agama.27 Di samping itu perkawinan yang baik adalah perkawinan yang didasari oleh kesadaran masing-masing pihak akan hak dan kewajiban masing-masing serta pemenuhannya secara sempurna . Mengenai hak dan kewajiban suami istri ini dalam UndangUndang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 di sebutkan bahwa hak dan kewajiban suami istri pada dasarnya adalah suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumahtangga
24
Ibid., hlm. 76
25
Abdul Aziz, op.cit., hlm. 33
26
Abdul Hakam Ash-Sha’di, op.cit., hlm. 78
27
Lubis Salam, op.cit., hlm. 23
23
sesuai dengan kemampuan dan juga istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Kewajiban pokok tersebut antara lain : a. Kewajiban suami terhadap istri. Bagi seorang suami, Istri adalah amanat Allah yang harus dijaga sebaik-baiknya karena seorang suami mendapatkan istri dengan melalui perjanjian yang luhur atau sebuah perjanjian yang berat dalam bahasa Nurcholis Madjid.28 Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa : 21.
ﻢ ﻣِﻴﺜﹶﺎﻗﹰﺎ ﻨ ﹸﻜ ﺧ ﹾﺬ ﹶﻥ ِﻣ ﻭﹶﺃ ﺾ ٍ ﻌ ﺑ ﻢ ِﺇﻟﹶﻰ ﻜﹸﻌﻀ ﺑ ﻰﺪ ﹶﺃ ﹾﻓﻀ ﻭ ﹶﻗ ﻧﻪﺧﺬﹸﻭ ﺗ ﹾﺄ ﻒ ﻴ ﻭ ﹶﻛ (21)ﹶﻏﻠِﻴﻈﹰﺎ Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.29 Selanjutnya kewajiban suami
terhadap istri yang pokok
antara lain : mengajarkan pengetahuan agama dan dunia yang ia butuhkan, memperlakukan dengan baik dan menjaga perasaannya30 1. Mengajarkan pengetahuan agama dan dunia yang ia butuhkan. Ini ditempatkan pada posisi awal sebab istri nanti diharapkan bisa menjadi wanita shaleh secara global atau sosial bukan hanya shaleh secara individual.31 Kelalaian suami dalam mengajarkan berbagai masalah lain sebagai bekal
dalam berinteraksi dengan
orang lain terhadap istri akan menimbulkan berbagai ketimpangan.
28
Nurcholish Madjid, op.cit., hlm. 76
29
Lihat al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 120
30
Abdul Hakam Ash-Sha’di, op.cit., hlm. 82-84 Ibid., 83
31
24
2. Memperlakukan dengan baik. Termasuk dalam kategori ini adalah berbuat baik, sopan, adil dalam berbagai hal terlebih jika mempunyai istri lebih dari satu. Mengenai hal ini Hamzah Ya’kub menambahkan yaitu : menggauli istri dengan sopan,
memberikan nafkah lahir dan bathin dan
menyimpan rahasia istri. 3. Menjaga perasaan istri. Suami harus menghormati perasaan istri
dan menjaga
nalurinya serta bertindak kepadannya dengan tindakan yang layak kemanusiaannya. Selain itu juga suami harus memperlakukannya dengan penuh kebijakan demi mempertahankan rasa cintanya demi mendorong berkembangnya bakat- bakat yang positif. Demikian tadi uraian tentang kewajiban suami terhadap istri berdasarkan petunjuk Islam. Oleh karena itu jika tidak memenuhi kewajibannya terhadap istri berarti dia telah menghianati Allah SWT. b. Kewajiban istri terhadap suami. Sebagaimana diketahui Islam telah memberikan hak bagi seorang istri atas suaminya dia juga telah menetapkan hak seorang suami atas istrinya agar kehidupan keluarga menjadi berkembang dan seimbang menuju terciptanya keluarga sakinah. Kewajiban yang diberikan oleh Allah SWT kepada masing-masing
adalah sesuai
dengan fitrahnya sehingga setiap pelanggaran atas hal itu di anggap sebagai
jalan
yang
merusak
keluarga
dan
menghancurkan
kedamaiannya. Kewajiban istri terhadap suami tersebut adalah :32 1. Kepemimpinan keluarga. Kendali keluarga di tangan suami (lelaki) karena kekuatan dan kegigihan
yang dikaruniakan Allah kepadanya
serta kemampuan mencari rizeki di muka bumi. Kepemimpinan 32
Ibid., 88-96
25
ini
bermakna
menyerahkan
pengarahan-pengarahan
manajemen
anggotanya
kepada
keluarga
serta
sesuatu
yang
membawa kebaikan untuk mereka di dunia dan akhirat kepada pemimpin mereka yakni suami. Berangkat dari pengertian ini berarti seorang lelaki harus bekerja keras
untuk menghidupi
keluarga. Hal ini juga berdasarkan statusnya sebagai mahluk Allah yang mempunyai kelebihan maka suami merupakan pemimpin rumah tangga.33 Hak tersebut bagi suami merupakan hak lelaki yang normal dan tidak ada otoritarianisme dan perampasan hak wanita dan kehormatannya. Karena hal itu semata-mata penentuan tanggung jawab dan penyerahan tugas kepada yang berhak menerimanya. 2. Ketaatan secara mutlak dalam hal tidak maksiat pada Allah. Allah telah mewajibkan seorang istri untuk taat pada suaminya dalam segala hal yang di sana tidak terdapat pelanggaran ajaran agama dan kemaksiatan pada Allah. 3. Melayani suami dengan baik. Wanita yang mentaati suaminya hendaknya berperasaan lembut saat ada suami maupun tidak ada, mencari keridhaanya dan mewujudkan sebesar mungkin rasa ketentraman dan ketenangan di rumah. Sesungguhnya kalau istri menunaikan hal itu dan senantiasa menjaganya hingga menjadi sifat yang menempel pada dirinya maka akan mendapatkan ridha suaminya. 4. Amanah terhadap nama baik dan harta suami. Hal ini menuntut istri untuk tidak menghianati suaminya baik di dalam maupun di luar tempat tidur dan juga dalam hartanya. Tidak menghianati berarti seorang istri tidak bebas memasukkan seorang lelaki manapun dirumahnya ataupun kamarnya dengan motivasi. Sedangkan tidak menghianati 33
Hamzah Ya’kub, op.cit., hlm. 146
26
hartanya berarti seorang istri tidak boleh menggunakan harta suami tanpa seijin suaminya. 5. Melihat harta suami yang sedikit menjadi banyak. Kewajiban istri terhadap suami
lagi adalah untuk
memandang yang sedikit yang diberikan oleh suami itu sebagai banyak dan membalas perbuatanya dengan rasa syukur serta melihat kondisi suaminya dengan rasa penghargaan. 6. Setia terhadap suami dan menghormati keluarganya. Kalau Islam mewajibkan suami untuk setia terhadap istrinya maka sebaliknya Islam juga mewajibkan seorang istri untuk taat pada suaminya. Hal ini karena kesetiaan merupakan akhlaq mulia yang mengungkapkan ketulusan, keimanan yang dalam dan keikhlasan. Demikian sekilas tentang hak dan kewajiban suami istri yang pokok yang dapat menunjang terciptanya keluarga sakinah yang penuh mawaddah warahmah. Berdasarkan pendapat para ahli tentang kewajiban suami dan istri
tersebut maka menurut hemat
penulis kunci bagi terciptanya
perkawinan yang baik menuju keluarga sakinah yang penuh cinta dan kasih sayang atau keluarga bahagia dan sejahtera dapat ditegakkan mulamula dengan pemenuhan kewajiban secara sempurna akan masing-masing hak. C.
Tujuan Perkawinan Allah
SWT
menyariatkan
nikah
adalah
untuk
memelihara
kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari kerusakan. Berdasar penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan untuk mencapai maslahat, yakni: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Perkawinan bukanlah suatu perbuatan yang tanpa tujuan, tetapi perkawinan adalah amanah dan sunnah Allah yang bisa menempatkan manusia benar-benar pada possisinya sebagai makhluk yang paling
27
sempurna. Dengan perkawinan berarti manusia menghormati nilai-nilai sebuah kehormatan yang dilakukan oleh makhluk Allah SWT yang mempunyai cipta, rasa dan kasra. Islam begitu menekankan lembaga perkawinan. Tentu saja ada tujuan yang jelas. Secara umum Islam menerima baik lembaga perkawinan agar setiap orang memperoleh kepuasan perasaan dan seksual. Sebagai bentuk mekanisme untuk mengurangi ketengangan, membiakkan keturunan dan kedudukan sosial seseorang secara absah. Serta memperkuat pendekatan dalam keluarga dan solidaritas kelompok.34 Islam memandang lembaga itu bukanlah sekedar keterkaitan yang sepele.
Seseorang
haruslah
secara
jujur
mampu
menunjukkan
tanggungjawabnnya, sebelum menikah. Islam justru bertujuan untuk meningkatkan derajat manusia itu lewat perkawinan. Tujuan perkawinan bukan sekedar pemenuhan kesenangan duniawi atau biologis, tetapi mempunyai tujuaan yang lebih dari itu, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an Surat Ar-Rum : 21 sebagai berikut:
ﺩ ﹰﺓ ﻮ ﻣ ﻢ ﻨ ﹸﻜﻴ ﺑ ﻌ ﹶﻞ ﺟ ﻭ ﺎﻴﻬ ﻮﺍ ِﺇﹶﻟﺴﻜﹸﻨ ﺘﺎ ِﻟﺍﺟﺯﻭ ﻢ ﹶﺃ ﺴﻜﹸ ِ ﻧﻔﹸﻦ ﹶﺃ ﻢ ِﻣ ﻖ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺧ ﹶﻠ ﺎِﺗ ِﻪ ﹶﺃ ﹾﻥﻦ ﺀَﺍﻳ ﻭ ِﻣ ﻭ ﹶﻥﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺮﻳ ﻮ ٍﻡ ﺕ ِﻟ ﹶﻘ ٍ ﺎﻚ ﻟﹶﺂﻳ ﻤ ﹰﺔ ِﺇ ﱠﻥ ﻓِﻲ ﹶﺫِﻟ ﺣ ﺭ ﻭ Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.35 Dari ayat di atas bahwa perkawinan bertujuan untuk membina keluarga yang rukun, tenang, dan bahagia. Dalam hidupnya diharapkan
34
Hammudah ‘Abd Al ‘Ati, Keluarga Muslim (The Family Structure in Islam), PT. Bima Ilmu, Surabaya, 1984, hlm. 73-74 35 Lihat al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 644
28
saling cinta mencintai dan kasih mengkasihi, serta dapat membuahkan keturunan yang sah secara agama. Berikut ini pendapat berbagai tokoh tentang tujuan perkawinan : 1. Mahtuh Ahnan, menjelaskan tujuan perkawinan ada tiga, 36 yaitu : a. Sakinah: dimana anggota keluarga hidup dalam keadaan tenang dan tentram, seia sekata, seayun selangkah, ada sama dimakan, kalau tidak ada sama dicari. b. Mawaddah: kehidupan anggota keluarga dalam suasana kasih mengasihi, butuh membutuhkan, hormat menghormati satu sama lainnya. c. Rahmah: pergaulan anggota keluarga dengan sesamanya saling menyanyangi, cinta mencintai, sehingga kehidupannya diliputi rasa kasih sayang. 2. A. Muhjab Mahalli, menjelaskan tujuan perkawinan ada 11,37 yaitu : a. Menciptakan keluarga Islami. Dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa tidak lebih adalah ibarat bangunan, yang pasti memiliki tiang-tiang penyangga. Masyarakat terdiri dari unsur keluarga terdiri dari insan-insan shalih, kuat lagi produktif, tentu keluargapun akan menjadi shalih lagi kokoh, pasti tercipta lingkungan masyarakat yang sehat, kuat lagi mulia. Islam menaruh perhatian khusus bagi terciptanya keluarga muslim, yang pada gilirannya tercipta suatu masyarakat dan bangsa yang hidup penuh ketentraman, hingga mereka mampu menjadi kholifah di muka bumi yang sebenarnya. Pernikahan yang dilandasi
36
Maftuh Ahnan, Rumahku Syurgaku, CV. Bintang Remaja, tt, tth, hlm. 12
37
A. Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Menjadi Kaya (Kado Pernikahan untuk Pasangan Muda), Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2001, hlm. 36-84
29
dengan nilai-nilai Islami sajalah yang mampu melahirkan generasi berkualitas serta membina keluarga berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Pernikahan merupakan satu-satunya sarana untuk menciptakan keluarga, keturunan dan merupakan fitrah dari Allah SWT yang diberikan kepada umat manusia, agar kehidupan mereka berkembang dan terus berkesinambungan. b. Mengatur potensi kelamin. Pernikahan merupakan sarana untuk melestarikan keturunan, serta menentukan kelestarian sejarah perkembangan hidup manusia yang nantinya membentuk sebuah rumahtangga yang dapat mengarahkan umat manusia kearah keselamatan yang hakiki. Hubungan kelamin menjadi kebutuhan biologis, yang sudah barang tentu kelestarian hidup manusia di bumi ini tidak bisa terwujud tanpa dengan menyalurkan kebutuhan tersebut. Islam
sangat
menginginkan
adanya
sasaran-sasaran
kehidupan yang terpuji. Islam juga menghargai segala sesuatu yang dapat mengantarkan kepada tercapainya tujuan-tujuan mulia dalam melestarikan sejarah kehidupan manusia. c. Merasakan penderitaan hidup. Pernikahan adalah bersifat abadi bukan terbatas pada waktu tertentu dan tidak pula akan habis pada massa yang ditentukan. Berkeluarga haruslah bersifat terus menerus, yang tujuannya adalah untuk mencapai kedamaian dan ketenangan. Itu terwujud dengan adanya rasa kasih sayang diantara suami istri. Kehidupan masa depan tidak mungkin cemerlang tanpa adanya kedamaian. d. Menebus dosa. Pernikahan dalam pandangan Islam dapat dijadikan sebagai sarana penebus dosa, bertaubat, beristiqomah dan pengangkat derajat.
Bahwa
Rasulullah
telah
menegaskan”
Barangsiapa
30
menginfakkan harta untuk diri sendiri dengan maksud untuk menjaga kehormatan diri, maka hal itu adalah termasuk amal sedekah”. Dan barangsiapa menginfakkan hartanya untuk kepentingan anak, istri dan keluarga yang menjadi tanggungannya, maka hal itu termasuk amal sedekah. e. Meningkatkan kualitas berjihad. Bekerja demi mencari kecukupan keluarga, sabar terhadap perilaku istri, terus-menerus membimbing istri kejalan agama, dan mendidik anak adalah bagian dari berjihad di jalan Allah. Hal tersebut merupakan upaya memberikan perlindungan, pemeliharaan dan pembinaan terhadap keluarga. Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan: “Satu di antara banyak jenis berjihad adalah mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarga”. Mendidik anak dan berlaku adil terhadap mereka merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan sebagaimana kewajiban berjihad meluhurkan agama Allah. f. Menyempurnakan akhlak. Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sarana efektif untuk menyelamatkan umat manusia dari dekadensi moral, dan menjaga kehidupan bermasyarakat dari keporak-porandaan. Rasulullah sangat manganjurkan kepada para pemuda untuk menikah. Menikah dapat memejamkan mata dari pandangan yang diharamkan dan memelihara kehormatan dari perzinaan. Yang terpenting dari pernikahan adalah mengikuti Sunnah Rasul dan mencari ridha Allah SWT. Agama dan akhlak adalah ukuran dalam memilih jodoh, bukan kekayaan, kecantikan maupun keturunan. Allah sama sekali tidak akan memberikan penilaian terhadap keindahan tubuh atau harta benda yang dimiliki, tetapi akan mengutamakan amal perbuatan dalam mengarungi kehidupan
31
g. Melahirkan keturunan yang mulia. Pertemuan
antara
seorang
laki-laki
dengan
seorang
perempuan dalam jenjang pernikahan sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan yaitu keturunan yang mulia. Keturunan yang baik sangat didambakan oleh keduannya, sebab keturunan yang baik merupakan bagian dari kenikmatan yang diberikan Allah kepada umat manusia. Hubungan antara anak dengan seorang bapak merupakan hubungan fitri yang didasari rasa cinta kasih yang abadi, dimana tidak ada seorangpun yang mampu melepaskan kecintaanya terhadap anak turun dan keluarga. Bahwa anak turunlah yang dapat melanjutkan perjuangan hidupnya, serta akan menghidupkan kembali nama harum keluarga. Pernikahan dalam Islam merupakan sarana efektif untuk mencapai tujuan terbentuknya masyarakat mulia yang dihias dengan tali persaudaraan yang erat lagi penuh kemesraan. Pernikahan menjadi penyebab luasnya persaudaraan antara satu keluarga dengan keluarga yang lain, antara suku dengan suku yang lain, sehingga terciptalah lingkungan keluarga yang lebih besar. Hubungan itu nantinya semakin meluas, dan dapat memunculkan masyarakat islami yang kokoh, saling menopang dan saling menghormati. h. Memperbanyak keturunan. Rasulullah berulangkali menganjurkan kepada umatnya untuk menikah dan memperbanyak keturunan. “Nikahilah olehmu wanitawanita yang penuh keibuan dan subur peranakannya. Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memperoleh anak shalih yang sebanyak-banyaknya, sehingga kehidupannya bisa memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
32
i. Meraih kesehatan. Pernikahan memberi perlindungan terhadap mereka dari kebiasaan tercela yang dapat menjerumuskan dirinya ke dalam jurang kehinaan, dan menghindarkan mereka dari bahaya yang mengancam. Misalnya perbuatan kotor berupa onani, perzinaan, homoseks, lesbi, sipilis, aids, dan perbuatan yang lain yang dilarang oleh agama. Rasulullah tidak henti-hentinya selalu menganjurkan kepada umatnya agar menikah. Hanya dengan menikah mereka akan terhindar dari berbagai penyakit kelamin yang memalukan. Semua perbuatan
yang
di
atas
merupakan
perbuatan
yang
dapat
mengantarkan mereka kearah kehancuran. j. Menegakkan Sunnah Rasul. Pernikahan adalah bagian dari Sunnah Rasul yang harus dilestarikan. Rasulullah telah menegaskan “Sebagian dari sunahKu adalah menikah. Barangsiapa mencintai Aku, maka hendaklah dia menegakkan
sunahKu”.
Pernikahan
memperpanjang
tali
persaudaraan semakin kuat, terjaga kesucian nasab, agama semakin sempurna, dan tingkat ketaatan dalam menegakkan sunah Rasul. k. Mendidik generasi baru. Pendidikan yang baik adalah sebagai tanda terwujudnya keturunan yang mulia. Sebab yang dimaksud mencari keturunan, bukan sekedar melahirkan akan membiarkan mereka tersia-sia, tetapi mewarnai kehidupan ini dengan unsur-unsur yang dapat menegakkan prinsip-prinsip keluarga, serta membekali masyarakat dengan sesuatu yang bersifat membangun. Kewajiban dalam keluarga adalah memberikan didikandidikan agama kepada anggota keluarga itu sendiri. Memberikan pelajaran agama yang nantinya dapat membuat berpendirian kokoh, diantaranya memasukkan kata-kata yang bernilai Islami.
33
3. Drs. RS Abdul Aziz, menjelaskan tujuan perkawinan ada 5, 38 yaitu : a. Untuk mencapai ketenangan hidup. Seperti yang tercantum dalam surat Ar-Rum: 21, tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan sakinah, yakni merasakan ketenangan yang di ikat dalam rasa kasih sayang dan cinta mencintai. b. Untuk memperolah keturunan yang sah. Sudah menjadi Sunnatullah bahwa semua mahluk hidup menjalani proses regenerasi atau mengembangkan keturunan bagi kelangsungan hidupnya pada masamasa mendatang. c. Untuk
mengamalkan
dan
menegakkan
ajaran
Islam.
Islam
memerintahkan umatnya agar melangsungkan pernikahan menurut kecocokan masing-masing, agar dapat mengatur hidup antara lakilaki dan perempuan sesuai dengan fitrah manusia. d. Untuk menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, terutama perzinaan. Dengan pernikahan yang sah seseorang dapat menempatkan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. e. Untuk menciptakan ketentraman hidup dan kasih sayang, cinta mencintai antara suami istri dan anak-anak. Tujuan
menurut
Rasulullah
SAW
adalah
membina
hidup
rumahtangga bahagia, menjaga kehormatan, mengikat persaudaraan dan menjauhkan diri dari penyelewengan syahwat.39 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pernikahan mempunyai tujuan yang sangat mulia. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera, harmoni, kekal, kehidupannya terasa lebih tenang dan tentram, memperteguh kelanggengan rasa cinta dan kasih sayang, menciptakan keharmonisan, serta dapat memperoleh kekayaan yang melimpah ruah Perkawinan akan membentuk suasana menjadi damai, saling
38
Abdul Aziz, (ed) Drs H Moh Rifai, op.cit., hlm. 18-23
39
M. Thalib, Buku Pengangan Perkawinan Menurut Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1993,
hlm. 3
34
menghormati, saling toleransi, muncul rasa saling mengasihi dan menyanyangi. Perkawinan akan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat dan penuh berkat dari Allah. Maka calon suami istri harus sudah matang, baik secara fisik maupun mental.
Dengan memahami tujuan tersebut dapat
menjadikan barometer dan pedoman di dalam mengemudikan bahtera rumahtangga Islam menganjurkan dan mendorong adanya suatu perkawinan dengan ketentuan-ketentuan yang sudah diaturnya sedemikian rupa karena akan dapat membawa khas positif yang sangat bermanfaat. Baik bagi pelaku sendiri, sebagai indivudu, sebagai anggota masyarakat. Terkhusus pada hal memelihara
keturunan,
ada
ketentuan-ketentuan
daruriyyah,
yaitu
memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensi bagi kehidupan manusia. Di samping hal tersebut ada beberapa hikmah yang dikemukakan oleh para ulama dari pensyariatan nikah, antara lain. 1. Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar. Islam ingin menunjukkan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan dalam penyaluran naluri seksual adalah melalui perkawinan, sehingga segala akibat negatif yang ditimbulakan oleh penyaluran seksual secara tidak benar dapat dihindari sedini mungkin. 2. Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan secara sah. Rasullullah bersabda “Nikailah wanita yang bisa memberikan keturunan yang banyak, karena saya akan bangga sebagai Nabi yang memiliki umat yang banyak dibanding Nabi-Nabi lain di akhirat kelak” (HR Ahmad bin Hanbal) 3. Menyalurkan naluri kebapakana atau keibuan yang dimiliki seseorang dalam rangka melimpahkan kasih sayang.
35
4. Memupuk rasa tanggungjawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggungjawab. 5. Membagi rasa tangungjawab antara suami dan istri yang selama ini dipikul masing-masing pihak. 6. Menyatukan keluarga masing-masing pihak, sehingga hubungan silaturahim semakin kuat dan terbentuk keluarga baru yang lebih banyak. 7. Memperpanjang usia. Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyanyagi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumahtangganya.40 Dengan
terpenuhinya
syarat
dan
rukun
sebagaimana
telah
dikemukakan, maka akad nikah di pandang sah sebagai peristiwa hukum dalam pandangan hukum syar’i. Dengan demikain timbul hak dan kewajiban di antara dua pihak yang diakadkan, yaitu sejalan dengan perubahan kedudukan keduanya telah menjadi suami dan istri.
40
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hlm. 1329-1330
36
37
DAFTAR PUSTAKA BAB II 1. Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 741 2. Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in. Kudus: Menara Kudus, 1979, jilid III, hlm. 1 3. Alex Sobur dan Septiawan, Renungan Perkawinan, Puspa Swara, Jakarta, 1999, hlm. 37 4. Amir Martosedono, SH, Semarang, 1993, hlm. 9
Undang-Undang
Perkawinan,
Dahara
Prize,
5. Lubis Salam, Menuju Keluarga Sakinah Mawaddah dan Warahmah, Terbit Bintang, Surabaya, tt hlm. 23 6. M. Thalib, Buku Pengangan Perkawinan Menurut Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1993, hlm. 2 7. Husein Muhammad Yusuf, Keluarga Muslim dan Tantangannya, Gema Insani Press, Jakarta, 1994, hlm. 81 8. Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, Mizan, Bandung, t.th., hlm. 120 9. Khursyid Ahmad, Keluarga Muslim, Risalah, Bandung, 1986, hlm. 20-23 10. Sayyid Qutub, Islam dan Perdamaian Dunia, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, hlm. 50-51
11. Hamzah Ya’kub, Ethika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (suatu pengantar ), CV. Diponegoro, Bandung, 1996, hlm. 146 12. Abdul Aziz, Rumah Tangga Semarang, 1990, hlm. 25
Bahagia Dan Sejahtera, CV. Wicaksana,
13. Suheri Sidik Ismail, Ketentraman Suami Istri, Dunia Ilmu, Surabaya, 1999, hlm. 40 14. Dadang Hawari, Alqur’an Ilmu Kedokteran Jiwa, Yasa, 1998, hlm. 252
PT. Dhana Bhakti Prima
15. Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, Paramadina, Jakarta, 2000, hlm. 76 16. Abdul Hakam Ash-Sha’di, Menuju Keluarga Sakinah, Akbar, Jakarta, 2001, hlm. 55-56 17. Nurbini, Dakwah Islam dalam Keluarga, dalam Risalah Walisongo Edisi 66 Nop-Des 1996 18. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an , Jakarta, 1971, hlm. 120 19. DR. Hammudah ‘Abd Al ‘Ati, Keluarga Muslim (The Family Structure in Islam), PT. Bima Ilmu, Surabaya, 1984, hlm. 73-74 20. Maftuh Ahnan, Rumahku Surgaku, CV. Bintang Remaja, tt, tth, hlm. 12 21. Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Menjadi Kaya (Kado Pernikahan untuk Pasangan Muda), Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2001, hlm. 36-84 22. M. Thalib, Buku Pengangan Perkawinan Menurut Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1993, hlm. 3 23. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hlm. 1329-1330
38