BAB III ETIKA DALAM PENDIDIKAN ISLAM A. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Pendidikan menurut Islam adalah keseluruhan yang terkandung dalam istilah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib.1 Dari tiga akar kata yang menunjukan makna pendidikan tersebut, banyak para ahli pendidikan yang berpendapat dan memaknai salah satu dari ketiga kata tersebut. Sayid Muhammad al-Naquib al-Attas menjelaskan ketiga istilah tersebut. Menurut Ia Ta’dib adalah yang paling tepat digunakan untuk pengertian pendidikan. Adapun istilah tarbiyah terlalu luas karena mencakup juga pendidikan untuk hewan. Ia menjelaskan bahwa istilah ta’dib merupakan masdar dari kata addaba yang berarti pendidikan.2 Berdasarkan dari kata adab tersebut al-Attas mendifinisikan pendidikan sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan pada diri manusia, tentang tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut.3 Definisi di atas menghendaki bahwa pendidikan adalah bentuk usaha agar siswa dapat mengenali dan mau mengakui tempat Tuhan dalam kehidupannya. Dengan mengenalkan Tuhan, kemudian siswa mau mengakui adanya Tuhan, serta semua perilaku, pola pandang berfikir, dan mengenai apa yang ada pada dirinya disandarkan kepada Tuhan. Sehingga agama bisa menjadi kontrol sosial bagi dirinya. Adapun Abdurrahman al-Nahwi berpandangan bahwa
kata yang tepat
untuk merumuskan definisi pendidikan dari kata at-tarbiyah. Menurut pendapatnya, dari segi bahasa kata at-taarbiyah berasal dari tiga kata yaitu pertama, kata raba-yarbu yang berarti bertambah, bertumbuh. Kedua, rabiya-
1
Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), cet.I, hlm. 70 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam ( Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000) hlm. 28 3 Ibid, hlm. 29 2
28
29
yarba yang berarti menjadi besar. Ketiga dari kata rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara.4 Berbeda dengan kedua tokoh tersebut, Abdul Fatttah Jalal berpendapat bahwa kata ta’lim jangkuanya lebih luas dari pada kata tarbiyyah.5 Hal ini Ia berdasarkan ayat al-Quran surat al-Baqarah ayat 151.
ﻤ ﹶﺔ ﺤ ﹾﻜ ِ ﺍﹾﻟﺏ ﻭ ﺎﻢ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ ﻜﹸﻌ ﹼﻠﻤ ﻭﻳ ﻢ ﻴ ﹸﻜ ﺰ ﱢﻛ ﻳﻭ ﺎﻢ ﺃﻳِﺘﻨ ﻴ ﹸﻜ ﻋ ﹶﻠ ﺍﺘ ﹸﻠﻮ ﻳ ﻢ ﻨ ﹸﻜ ﻮ ﹰﻻ ِﻣ ﺭﺳ ﻢ ﻴ ﹸﻜ ﺎ ِﻓﺳ ﹾﻠﻨ ﺭ ﺎ َﹶﺃﹶﻛﻤ ﻮ ﹶﻥ ﻌ ﹶﻠﻤ ﺗ ﺍﺗ ﹸﻜﻮ ﻢ ﺎﹶﻟﻢ ﻣ ﻜﹸﻌ ﹼﻠﻤ ﻭﻳ “Kami telah mengutus kepada kalian Rasul dari kalian, yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian dan menyucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian al-Kitab dan al-Hikmah serta, mengajarkan kepada kalian apa-apa yang belum kalian ketahui.” (al-Baqarah : 151) Berdasarkan ayat ini, menurut Jalal bahwa proses ta’lim lebih universal dibanding proses tarbiyah, sebab ketika mengajarkan bacaan al-Quran kepada kaum muslimin, Rasul tidak terbatas dengan membuat dia bisa membaca, tetapi membaca dengan perenungan yang berisi pemahaman, tanggung jawab, dan amanah. Dari membaca semacam ini Rasul membawa mereka kepada tazkiyah (penyucian) diri dan menjadikan diri itu berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikamah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Menurutnya, bahwa al-hikmah tidak bisa dipelajari secara parsial, tetapi secara menyeluruh terintegrasi. Kata al-hikmah berasal dari kata al-ihkam, yang berarti kesungguhan di dalam ilmu, amal atau di dalam kedua-duanya.6 Uraian diatas memperlihatkan dengan jelas bahwa dikalangan para ahli pendidikan sendiri masih belum terdapat kesepakatan mengenai penggunaan ketiga istilah tersebut untuk digunakan dalam kata pendidikan. Konferensi Internasional Pendidikan Islam Pertama (first world conference moslem education) yang diselengarakan oleh Universitas King Abdul Aziz, di Jeddah, pada tahun 1977, belum berhasil merumuskan secara jelas tentang definisi pendidikan, khususnya menurut Islam. Dalam bagian rekomendasi konferensi,
4
Ibid Ibid, hlm. 31 6 Ibid 5
30
para pesertanya hanya membuat kesimpulan yang terkandung dalam ketiga kata tersebut.7 Namun demikian, ketiga istilah tersebut sebenarnya memberi kesan antara satu dengan yang lainya berbeda. Istilah ta’lim mengesankan proses pemberian pengetahuan, sedang istilah tarbiyah mengesankan proses pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap mental, sementara istilah ta’dib mengesankan proses pembinaan terhadap sikap moral dan etika dalam kehidupan yang lebih mengacu pada peningkatan martabat manusia. Adapun Omar Muhammad al-Toumy al-Syaebani mengartikan pendidikan sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadi atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya.8 Proses pendidikan ini merupakan rangkian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan didalam kehidupan pribadinya sebagai makluk individu dan sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitar dimana ia hidup. Proses tersebut senantiasa berada dalam nilai-nilai Islami yaitu nilai yang melahirkan norma-norma syari’ah dan akhlakul al-karimah.9 Yusuf al-Qardhawi seperti yang dikutip oleh Azyumardi Azra memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya.10 Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dalam keadaan damai atau perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi realitas masyarakat dengan segala kebaikan dan keburukannya. Menurut Moh. Fadil al-Djamily, Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat manusia , sesuai dengan kemampuan dasar dan kemampuan ajarannya.11 Dari uraian di atas bisa penulis simpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan usaha untuk mengubah tingkah laku manusia dan mengarahkan
7
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : logos,1997), hlm.8 Arifin, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : Bumi Aksara, 1991), hlm.14 9 Ibid 10 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru ( Jakarta : Logos, 1999 ), cet. I, hlm. 5 lihat juga dalam Drs. Ahmad. D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam ( Bandung : al-Ma’arif, 1989 ), cet. VIII, hlm. 23 11 Ibid, hlm.16 8
31
kepada kehidupaan yang lebih baik, sesuai dengan kemampuan dasarnya dan kemampuan ajaranya yang sesuai dengan nilai-nilai Islami yaitu nilai yang melahirkan norma-norma Syariah dan akhlakul karimah. 2. Hakikat Pendidikan Islam Istilah pendidikan diartikan sebagai ”usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan untuk bekal di masa yang akan datang.12 Dan kata Islam, menurut pandangan umum mempunyai konotasi dan diartikan sebagai “agama Allah” atau agama yang berasal dari Allah. Agama artinya "“jalan". Agama Allah berarti agama atau jalan yang besumber dari Allah. Jadi agama Islam adalah jalan hidup yang ditetapkan oleh Allah (sebagai sumber kehidupan), yang harus dilalui oleh manusia, untuk kembali dan menuju kepada-Nya.13 Adapun hakikat pendidikan Islam itu adalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam kearah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya.14 Pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” (opveding) kepada jiwa anak didik sehingga sehingga mendapatkan kepuasan rohaniyah, juga sering diartikan dengan “menumbuhkan” kemampuan dasar manusia. Apabila mereka ingin diarahkan pada pertumbuhan yang sesuai dengan ajaran Islam, maka diperlukan didalamnya melalui sistem pendidikan Islam, baik dalam kelembagaan maupun kurikuler.
12
Muntholi’ah, Konsep Diri Positif; Penunjang Prestasi PAI (Semarang : Gunung Jati, 2002 ), cet. I, hlm. 17 lihat pula Undang-undang RI. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengenalan diri, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Lihat juga Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1998), cet. X, hlm. 11 13 Team dosen IAIN Sunan Ampel-Malang, Dasar-Dasar Pendidikan Islam; Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam ( Surabaya: Karya Abdi Tama,1996 ), hlm. 7 14 Arifin, Ilmu pendidikan Islam, lok. cit, hlm. 32 lihat juga Team dosen IAIN Sunan Ampel, Dasar-dasar Pendidikan Islam; Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Surabaya: Karya Abdi Tama, 1996),hlm. 12 diterangkan bahwa hakikat Pendidikan Islam merupakan proses bimbingan dari al-Quraan agar manusia mampu hidup dan berkehidupan (berbudaya dan berperadaban ) serta mampu melaksanakan tugas kekhalifahannya dimuka bumi.
32
Esensi dari pada potensi dinamis dalam setiap individu terletak keimanan dan keyakinan, ilmu pengetahuan, akhlak atau moralitas, dan pengamalannya. Keempat potensi ini menjadi tujuan fungsional dari pendidikan Islam.15 Ada yang mengartikan Pendidikan itu sebagai latihan mental, moral, dan fisik atau jasmaniyah yang menghasilkan budaya tinggi untuk melaksanakn tugas dan kewajiban dalam masyarakat selaku hamba Allah, maka sebuah pendidikan berarti mempunyai makna menumbuhkan personalitas atau kepribadian serta menanamkan rasa bertanggung jawab. Pandangan hidup setiap manusia berbeda-beda sesuai dengan keyakinan yang dimiliki, dan perumusan dari pandangan hidup tersebut didasarkan pula pada keyakinan manusia itu. Untuk mencapai manusia yang sesuai dengan pertumbuhanya yang diinginkan oleh pandangan hidup manusia tadi diperlukan sebuah pendidikan.16 Perbedaan sistem pendidikan dipengaruhi oleh cara pandang (word view) dari setiap masyarakat. Cara pandang berkaitan dengan pandangan hidup mereka yang mencerminkan jati diri yang harus dipertahankan serta dikembangkan dan selanjutnya diwariskan pada generasi selanjutnya yang tentunya pada setiap masyarakat mempunyai sudut pandang yang berbeda.17 Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan fungsional sebagai bimbingan sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup, maka sesederhana apapun komunitas manusia akan memerlukan pendidikan, karena komunitas masyarakat tersebut ditentukan oleh aktivitas pendidikan didalamnya. Masyarakat mempunyai lingkungan yang mempengaruhi cara pendidikan yang dilakukan. Proses pendidikan yang sederhana terdapat pada masyarakat yang sederhana pula, sedangkan proses pendidikan yang lebih maju diterapkan pada masyarakat modern. Perbedaan ini terdapat pula dalam sistem pelaksanaannya. Menurut Hasan Langgulung pendidikan dilihat dari dua sudut pandang, pertama, dari sudut pandang individu yang merupakan suatu usaha untuk 15 16
Ibid, hlm32 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam ( Bandung : Pustaka Setia, 1997), hlm. 12
33
mengembangkan potensi individu. Kedua, sudut pandang masyarakat yaitu pendidikan diartikan sebuah usaha untuk mewariskan nilai-niali budaya oleh generasi tua kepada generasi berikutnya, agar nilai budaya tersebut terus tetap dan berlanjut dalam masyarakat.18 Menurut
Chabib
Thoha
pendidikan
Islam
hendaknya
dilakukan
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasullullah. Yaitu dimulai dari merubah sikap dan pola pikir masyarakat, menjadi masyarakat Islami kemudian masyarakat belajar. Selanjutnya berkembang menjadi masyarakat ilmu yaitu masyarakat yang mau dan mampu menghargai nilai-nilai ilmiah. Masyarakta inilah yang dapat bertanggung jawab untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Orientasi pendidikan Islam harus diletakan sebagai dasar tumbuhnya kepribadian manusia paripurna (insan kamil). Sehingga keberadaanya selalu dibutuhkan dan memberi kontribusi positif bagi lahirnya masyarakat intelektual. Dari paradigma tersebut, pendidikan Islam bukan hanya sebagai salah satu pengetahuan yang harus dimiliki oleh peserta didik, melainkan harus menjadi nafas sekaligus dasar kepribadian yang di atasnya dibangun manusia paripurna (insan kamil).19 3. Sumber Pendidikan Islam Sumber otentik bagi sistem hidup Islam adalah al-Quran dan Sunnah Rasul. Pendidikan Islam haruslah bersumber dari keduanya. Hal ini didasarkan dari sebuah hadits:
ﻤﺎ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﷲ ﻭ ﺳﻨﱵ ﺭﻭﺍﻩ ﺣﺎﻛﻢ ﻋﻦ ﺍﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺗﺮﻛﺖ ﻓﻴﻜﻢ ﺍﻣﺮﻳﻦ ﻟﻦ ﺗﻀﻠﻮﺍ ﺍﻥ ﲤﺴﻜﺘﻢ Yang artinya “ telah kutinggalkan kepadamu dua hal, engkau tidak akan sesat sesudah keduanya, ialah kitab Allah (al-Quran ) dan Sunahku. (H.R. Hakim Dari abi hurairah)
17
Jalaludin, loc. cit, Hlm. 6 Hasan Langgululung, Azas-Azas Pendidikan Islam (Jakarta: al-Husna, 1987), hlm.3 19 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), 18
hlm. 13 20
Hasan Langgululung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung : alMaarif,1995), hlm. 210 lihat juga Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), cet. I, hlm. 132
34
Al-Quran
sebagai sumber dari segala sumber hukum Islam hanyalah
memuat prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Adapun sebagian ayatnya yang menguraikan prinsip-prinsp dasar tersebut secara rinci merupakan contoh dan petunjuk bahwa isi kandungan al-Quran masih perlu penjelasan. Penjelasan al-Quran dapat dijumpai dalam Sunnah Rasul, dan itu merupakan cermin dari semua tingkah laku Rasul yang harus diteladani. Inilah salah satu alat pendidikan yang paling efektif dalam pembentukan pribadi. Karena keglobalan al-Quran sulit untuk dapat uraikan kecuali melalui Sunnah Rasul, maka sumber kedua setelah al-Quran ialah Sunnah Rasul tersebut. Menurut Hasan Langulung, sumber pendidikan Islam ada enam20 yaitu : a. Al-Quran Al-Quran adalah sumber agama Islam yang pertama dan utama. Al-Quran merupakan kitab suci yang memuat firman-firman (wahyu Allah), yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Muhammad sebagai Rasul Allah, sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, pertama-tama diturunkan di Makkah kemudian di Madinah. Diturunkan dengan tujuan untuk menjadi pedoman atau petunjuk bagi umat manusia dalam hidup dan kehidupanya mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat.21 Al-Quran yang menjadi sumber nilai dan norma umat Islam, terbagi menjadi 30 juz, 114 surat, lebih dari 6000 ayat,22 74.499 kata, atau 325.345 huruf. Dan memuat isi antara lain : pertama petunjuk mengenai akidah. Kedua petunjuk mengenai syari’ah. Ketiga petunjuk tentang akhlak. Keempat kisah-kisah umat manusia di zaman lampau. Kelima berita-berita tentang zaman yang akan datang. Keenam benih dan prinsip ilmu pengetahuan. Ketujuh hukum yang berlaku bagi alam semesta.23 b. Sunnah
21 Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), cet. III, hlm. 93 22 Sesuai dengan hitungan Muhammadiyah ayat dalam al-qur’an ada 6666, sedangkan hitungan dari Masjid Agung al-Azhar Kebayoran Jakarta ada 6236, (lihat Mommad Daud Ali, pendidikan Agama Islam, hlm. 94) 23 Ibid, hlm. 93
35
Sunnah adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Sunnah Rasul yang terdapat dalam Hadis merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang isi yang terkandung dalm al-Quran. Pengertian Hadis menurut istilah ilmu Hadits adalah segala perkataan, perbuatan dan sikap diam Nabi tanda setuju (taqrir).24 Para Ahli Hadis umumnya menyamakan istilah Hadis dan Sunnah. Akan tetapi ada Ahli Hadis yang menyatakan bahwa istilah Hadis dipergunakan khusus untuk sunah qauliyah (perkataan Nabi), sedang sunah fi’liyah (perbuatan) dan sunah taqririyah tidak disebut Hadis, tetapi Sunnah. Dengan demikian Sunnah lebih luas dibanding Hadis. Sebagai sumber dan ajaran Islam, Hadis mempunyai peran penting setelah al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman umat Islam diturunkan pada umumnya dalam hal-hal yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut, agar dapat dipahami dan diamalkan. Sebagai utusan Allah Muhammad mempunyai wewenang menjelaskan dan merinci wahyu Allah yang bersifat umum. Ada tiga peran Hadis di samping al-Quran sebagai sumber agama dan ajaran Islam. Pertama, menjelaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam
al-Quran.
Kedua,
sebagai
penjelasan
isi
al-Quran.
Ketiga,
menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samarsamar ketentuannya dalam al-Quran.25
c. Kata Sahabat Nabi Muhammad diutus Allah dengan aqidah Islam, mempunyai beberapa sahabat yang menerima dakwah langsung dari Beliau, menanggung penderitaan dalam menyiarkannya. Rasul dalam kurun waktu yang lama memberi petunjuk, memperbaiki dan menuntun mereka mengenai apa yang mereka katakan dan lakukan. Dengan demikian, kata-kata dan perbuatan sahabat-sahabat dimasukkan sebagai sumber pendidikan Islam26 24
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,1991),cet.X, hlm. 22 25 Mohammad Daud Ali, loc.cit., hlm. 113 26 Hasan Langgulung, loc. cccit, hlm. 213
36
d. Kemaslahatan Sosial Seperti yang telah dikutip Hasan Langgulung, al-Ghozali pernah mengatakan bahwa yang disebut maslahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menghindari madharat. Sebenarnya sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menghindari madharat itu adalah menjadi tujuan manusia. Dalam sejarah umat Islam, banyak pendapat ulama tentang hal-hal yang “:maslahat” mendapat tempat yang kuat dalam perundang-undangan. Dengan kata lain, bahwa kemaslahatan sosial dapat dibuat pedoman dalam penetapan hukum. Hal ini sangat erat kaitanya dengan pendidikan Islam terutama berkenaan dengan nilai-nilai.27 e. Nilai dan Kebiasaan Sosial Oleh mazhab Hanafi dan Maliki nilai-nilai dan kebiasaan masyarakat dapat digunakan menetukan hukum ini. Hal in berpedoman pada al-Quran surat al-Baqarah ayat 233:
ﻑ ِ ﻭ ﺮ ﻌ ﻦ ِﺑ ﹾﺎ ﹶﳌ ﻬﻮﺗ ﺴ ﻭ ِﻛ ﻦ ﺯﻗﹸﻬ ﻮ ِﺩ ﻟﹶﻪ’ ِﺭ ﻮﹶﻟ ﻋﻠﹶﻰ ﹾﺍ ﹶﳌ ﻭ “Haruslah anak yang dilahirkan ini diberi belanja dan pakian bapaknya sesuai dengan kebiasaan” Dengan hal ini, berarti kebiasaan sosial yang tidak menyimpang dengan al-Quran boleh dibuat sumber pendidikan Islam. f. Pemikir Islam Sudah pasti bahwa para pemikir banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan dalam dunia Islam. Banyak pemikir Islam dalam berbagai bidang disiplin ilmu seperti fiqih, tasawuf, ilmu kalam ,etika dan lain-lain. Pemikir-pemikir ini memandang fitrah dari dua sudut pandang yaitu wahyu dan potensi.28 Dengan ijtihad berfikirnya mereka bisa dibuat pedoman dan sumber bagi pendidikan Islam, sesuai dengan keahlian yang mereka miliki. Dasar Pendidikan Islam adalah wawasan tajam terhadap sistem hidup yang sesuai dengan kedua sumber pokok, al-Quran dan Sunnah Rasul, yang menjadi dasar perumusan tujuan dan pelaksanaan pendidikan Islam. Ada beberapa nilai
27
Ibid, hlm. 39
28
Ibid,hlm. 238
37
fundamental dalam sumber pokok ajaran Islam yang harus dijadikan dasar bagi pendidikan Islam yaitu : a. Aqidah b. Akhlak c. Penghargaan terhadap akal d. Kemanusiaan e. Keseimbangan f. Rahmat bagi seluruh alam Implikasinya, bahwa pendidikan Islam dalam perencanaan, perumusan dan peleksanaanya harus mengarah kepada pembentukan pribadi yang beraqidah Islam, berakhlak mulia, berfikir bebas. Manusia mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, pendidikan Islam harus memperhatikan dua sudut dalam segala aspek kehidupan manusia secara terpadu tanpa adanya pemisahan. Seperti aspek jasmaniyah dan rohaniah, aqliyah dan qolbiyah, individu dan sosial, dunawiyah dan ukhrowiyah. B. Etika dalam Pendidikan Islam 1.Etika dalam Perspektif Islam Ilmu akhlak atau yang disebut ethics ada beberapa definisi yang diberikan para ahli ilmu akhlak, antara lain sebagai berikut : Ahmad Amin dalam kitabnya al-Akhlak dalam bukunya yang berjudul Sistem Etika Islami memberi pengertian sebagai berikut:
ﻋﻠﻢ ﻳﻮﺿﺢ ﻣﻌﲎ ﺍﳋﲑ ﻭﺍﻟﺸﺮ ﻭﻳﺒﲔ ﻣﻌﺎﻋﻤﻠﺔ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﻌﻀﺎ ﻭﻳﺸﺮﺡ ﺍﻟﻐﺎﻳﺔ ﺍﻟﱴ ﻳﻨﺒﻐﻰ ﺃﻥ ﻳﻘﺼﺪﻫﺎ ﻣﺎﰱﺃﻋﻤﺎﳍﻢ ﻭﻳﺒﲔ ﺍﻟﺴﺒﻴﻞ ﻟﻌﻤﻞ ﻣﺎ ﻳﻨﺒﻐﻰ “Etika ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang harus dilaksanakn oleh sebagian manusia terhadap sebagiannya, menjelaskan oleh sebagian manusia terhadap sebagiannya, menjelaskan tujuan yang hendak dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan yang harus diperbuat”29
29 30
hlm 3
Rachmat Djatmika, Sistem Etika Islam ( Jakarta : Pustaka Panjimas, 1992 ) hlm. 30 Ahmad Amin, Etika (Ikon Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang,1975) terj. Farid Ma’ruf,
38
Rosyidi mengatakan etika adalah suatu pengetahuan yang membicarakan tentang kebiasaan-kebiasaan pada manusia, yakni budi pekerti mereka dan prinsip-prinsip yang mereka gunakan sebagai kebiasaan.30 Menurut Mahdi Ahkam ada dua definisi yang diberikan tentang etika yaitu : 1. Etika ialah ilmu yang menyelidiki perbuatan manusia dari arah baik dan buruk, atau nilai percontohan tertinggi untuk perbuatan manusia. 2. Etika adalah ilmu yang menyelidiki aturan–aturan yang menguasai perbuatan manusia dan menyelidiki tujuan yang terikat bagi manusia. Jadi menurut definisi tersebut etika mengandung hal-hal : 1. Menjelaskan pengertian baik dan buruk 2. Menerangkan apa yang harus dilakukan oleh seseorang atau sebagian manusia terhadap sebagian yang lain 3. Menjelaskan tujuan yang sepatuhnya dicapai oleh manusia dengan perbuatanperbuatan manusia itu. 4. Menerangkan jalan yang harus dilalui untuk berbuat.31 Perlu penulis tegaskan bahwa ilmu akhlak atau yang disebut dengan eihika pengertiannya berbeda dengan akhlak. Etika membahas bagaimana seseorang itu harus berakhlak, atau bisa disebut etika adalah ilmu yang membahas tetang akhlak. Adapun akhlak berasal dari bahasa arab ( ) ﺃﺧﻼﻕbentuk jamak dari mufrad khuluq ( ) ﺧﻠﻖyang berarti “ budi pekerti”. Sinonim akhlak adalah moral. Moral dari bahasa latin mores yang berarti “kebiasaan”.32 Dari pengertian di atas yang di sampaikan dari para tokoh etika Islam menunjukan bahwa untuk mengetahui baik dan buruk manusia dan menjelaskan tentang aturan-aturan hidup manusia di perlukan etika. Islam sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad dari Allah yang di lengkapi dengan al-Qur’an sebagai petunjuk, maka semua yang mengatur tentang kebijakan hidup harus berpedoman pada al-Qur’an. Begitu juga dengan konsep etika secara islam, juga harus berpedoman dan berdasarkan al-Qur’an.
31 32
Ibid, hlm. 31 Ibid, hlm. 26
39
Konsep etika menurut Fazlur Rahman terekspresikan melalui kata-kata iman, Islam, dan taqwa.33 Ketiga istilah tersebut membentuk pondasi etika alQuran dan memberikan ciri dan karakter yang khusus. Dengan ketiga istilah itu dapat untuk memahami konsep etika al-Quran dan dapat juga diperoleh hakikat doktrin al-Quran. Rahman juga berpandangan bahwa al-Quran adalah suatu ajaran yang terutama bermaksud untuk menghasilkan sikap moral yang benar dalam setiap tindakan manusia. Tindakan yang benar baik di dalam hal politik, keagamaan, maupun sosial merupakan bentuk ibadah atau pengabdian diri kepada Tuhan.34 Menurut Toshihiko Izutsu pembahasan tentang moral yang berdasarkan alQuran dibedakan menjadi tiga kelompok,35 yaitu pertama, katagori yang menunjukkan dan menguraikan sifat Tuhan, kedua, katagori yang menjelaskan berbagai macam aspek sikap fundamental manusia terhadap Tuhan, dan ketiga, katagori yang menunjukkan tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan tingkah laku yang jadi pedoman hidup di dalam masyarakat Islam. Kelompok pertama tersusun dari nama-nama Tuhan, yakni kata-kata seperti “pemurah”, “penuh kebaikan”, “adil”, atau “penuh keagungan”, yang menguraikan aspek khusus yang dimiliki Tuhan, yang digambarkan dalam alQuran, sebagaimana juga dalam semua agama semitik, pada hakikatnya bersifat etik. Kelompok konsep ini, yang kemudian dikembangkan oleh ahli teologi menjadi teori tentang sifat-sifat keTuhanan yang barangkali secara tepat di sebut sebagai etika ke-Tuhan-an. Kelompok kedua menyangkut hubungan etika dasar manusia dan Tuhan. Fakta tersebut menurut konsep al-Quran yang disampaikan Toshihiko, Tuhan bersifat etik dan tindakan-Nya terhadap manusia dengan cara yang etik. Membawa pengertian yang sangat penting bahwa manusia diharapkan merespon dengan cara yang etik.
33 Tafsir, dkk., moralitas al-quraan dan tantangan modernitas ( Yogyakarta : Gama Media, 2002) hlm.116 34 Ibid, hlm.110 35 Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’an (Yogyakarta : Tiara Wacana,1993) terj., Agus Fahri Husein,dkk, hlm. 20
40
Kelompok ketiga berhubungan dengan sikap etik antara seorang manusia dengan sesama manusia yang hidup dalam masyarakat. Kehidupan seseorang diatur oleh seperangkat prinsip moral beserta semua derivatifnya. Peraturanperaturan ini membentuk apa yang disebut dengan etika sosial, yang kemudian pada periode pasca-Al-Quranik dikembangkan menjadi sistem hukun Islam. Toshihiko juga berpandangan antara sifat Tuhan dan etika manusia mempunyai mata rantai, semisal manusia harus saling menyayangi karena Tuhan mempunyai sifat penyayang, manusia harus berbuat adil dan benar karena Tuhan selalu adil dan benar, manusia dilarang berbuat dzalim kepada sesama manusia karena Tuhan tidak pernah mendzalimi makhluk-Nya. Al-Quran tak pernah henti-hentinya menegaskan sifat penyayang, pemurah, adil dan benar-Nya Tuhan, maka akan mudah dilihat bahawa menurut pandangan Al-Quran, sifat rahmah, adil dan benar nanusia tidak lain merupakan peniruan manusia terhadap sifat rahmah, adil dan benar Tuhan.36 Manusia pada etika ketuhanan ini nampak dalam bentuk yang lebih luas dalam ayat berikut, yang secara jelas menyatakan bahwa seseorang haruslah berusaha memaafkan dan mengampuni orang lain karena Tuhan sendiri selalu siap memberikan ampun dan mengasihi. Dalam surat an-Nuur ayat 22 Allah berfirman
ﷲ ِ ﻴ ِﻞ ﺍ ﺳِﺒ ﻦ ﻓِﻰ ﻳﺎ ِﺟ ِﺮﻭﹾﺍ ﹸﳌﻬ ﻦ ﻴ ﺎ ِﻛﻭﹾﺍ ﹶﳌﺴ ﰉﺍ ﺃﹸﻭﻟِﻰﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮﺗﻮﺀﻳﻮ ﻌ ِﺔ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺴ ﺍﻟﻢ ﻭ ﻨ ﹸﻜ ﻀ ِﻞ ِﻣ ﺗ ِﻞ ﺃﹸﻭﻟﹸﻮﺍﹾﻟ ﹶﻔﻳ ﹾﺄﻭَﻻ ِ ﺭ .ﻴﻢ ﺣ
ﻮﺭ ﺍﷲ ُ ﹶﻏ ﹸﻔﻢ ﻭ ﻬَﻠﻜﹸ ﺮ ﺍﻟﻠ ﻐ ِﻔ ﻳ ﻮ ﹶﻥ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺒﺤ ِ ﺍ ﹶﺃ ﹶﻻﺗﺤﻮ ﺼ ﹶﻔ ﻴﻭﹾﻟ ﺍﻌ ﹸﻔﻮ ﻴﻭﹾﻟ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu (kerabatnya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah tidak ingin bahwa Allah mengampunimu ? dan Allah adalah Maha Pengampun (ghafur), lagi Maha Penyayang (rahim)” (an-Nuur ayat 22)37 Dari ayat di atas dijelaskan antara sesama manusia harus saling memaafkan apabila melakukan kesalahan dan kelalaian serta saling menyayangi tidak saling memusuhi, karena Allah mempunyai sifat pengampun dan penyayang. 2. Urgensi Etika Dalam Pendidikan Islam 36
Ibid, Toshihiko, hlm. 22
41
Dari keterangan di atas menjelaskan bahwa etika belum menjadi jaminan yang mempelajarinya akan menjadi orang yang berakhlak baik, terjauh dari sifat-sifat yang buruk (jelek). Etika adalah ibarat dokter yang hanya memberikan penjelasan penyakit yang diderita pasien dan memberikan obat-obatan yang diperlukan untuk menyembuhkannya. Dokter menjelaskan apa dan bagaimana memelihara kesehatan pasien agar ia sembuh dari penyakitnya. Dokter memberikan peringatan bahaya-bahaya penyakit yang diderita pasiennya, agar ia lebih berhati-hati menjaga dirinya.38 Jika pasien itu mau mentaati nasihat-nasihat dokter , besar harapan ia akan sehat dari penyakitnya. Tetapi jika ia tidak mengindahkan saran dokter, penyakit itupun akan tetap bersarang didalam dirinya dan dokter tidak dapat berbuat apaapa. Sakit dan senang akan diderita sendiri oleh pasien. Begitu pula dengan etika, etika tidak memberi jaminan seseorang menjadi baik dan sopan. Etika membuka mata hati seseorang untuk mengetahui suatu yang baik dan yang buruk, juga memberikan pengertian apa faedahnya jika berbuat baik dan apa pula bahayanya jika berbuat jahat. Walaupun begitu seseorang yang mempelajari etika akan lebih sadar dalam segala perilakunya. Ia dapat mengerti dan memahami dengan sempurna apa faedah berlaku baik dan apa pula bahayanya berlaku jahat. Besar harapannya seseorang yang mempelajari ilmu akhlak akan menjadi orang baik, ia akan berbuat amal salih, berjuang untuk bangsa dan negaranya. Iapun akan bermanfaat bagi masyarakat, karena ia berbudi pekerti luhur dan mulia, serta terhindar dari sifat tercela dan berbahaya.39 Ilmu akhlak atau yang disebut juga dengan ethika adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan Islam, yang didalamnya termasuk dibahas dan dikaji tentang filsafat, mempunyai berbagai manfaat. Manfaat itu menunjukkan bahwa sangat pentingnya (urgensi) ethika dalam pendidikan Islam. Diantara manfaat itu adalah 40 a. Membina bidang rohani
37
Mahmud Yunus, Tarjamah al-Qur’an al-Karim ( Bandung : al-Ma’arif, 1985 ), cet. I,
hlm. 392 38
Oemar Bakry, Akhlak Muslim ( Bandung : Angkasa, 1986), hlm. 14, Ibid 40 Ibid 39
42
Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk membina dan meningkatkan kemajuan rohani manusia atau dalam bidang mental spiritual. Dalam alQuran sudah dijelaskan bahwa antara orang yang berilmu dan tidak berilmu akan sangat berbeda. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam al-Quran surat azZumar ayat 9 suratnya salah
ﺏ ِ ﺎﻭ ﹶﻥ ﺃﹸﻭﻟﹸﻮﺍﺍ ﹶﻻﹾﻟﺒ ﺘ ﹼﺬ ﹼﻛﺮﻳ ﺎﻧﻤﻮ ﹶﻥ ِﺇ ﻌ ﹶﻠﻤ ﻳﻦ ﹶﻻ ﻳﺍﹼﻟ ِﺬﻮ ﹶﻥ ﻭ ﻌ ﹶﻠﻤ ﻳ ﻦ ﻳﺘﻮِﻯ ﺍﹼﻟ ِﺬﺴ ﻳ ﻫ ﹾﻞ ﹸﻗ ﹾﻞ “Katakanlah (hai Muhammad) bukanlah tidak sama orang-orang yang berilmu pegetahuan dengan orang yang tidak berilmu pengetahuan ? , hanyalah orang-orang yang mengerti dapat menyadari”(az-Zumar : 9) Allah juga berfirman dalam surat al-Fathir ayat 28
ﺎ ُﺀﻌ ﹶﻠﻤ ﺎ ِﺩ ِﻩ ﺍﹾﻟﻦ ِﻋﺒ ﷲ ِﻣ َ ﻰ ﺍﺨﺸ ﻳ ﺎﻧﻤِﺇ “ Bahwasanya yang takut kepada Allah adalah orang-orang yang berilmu diantara hamba-hamba-Nya “(al-Fathir :28) Dengan demikian etika membawa manusia kejenjang kemuliaan perilaku, sebab dengan etika manusia dapat menyadari dan membedakan antara perbuatan yang baik yang dapat membawa kepada kebahagiaan dan perbuatn yang jahat yang akan menjerumuskan kejurang kesengsaraan. Dengan mempunyai bekal etika manusia akan selalu berusaha memelihara sehingga dia tetap dalam koridor mempunyai perilaku yang mulia yaitu perilaku yang tetap mendapat bimbingan dan petunjuk Allah dan senantiasa diridlai-Nya.41 b. Petunjuk Kebaikan Etika tidak hanya sebuah ilmu pengetahuan yang menjelaskan tentang kejelekan dan kebaikan, tetapi ada juga suatu sikap mempengaruhi dan memberi dorongan untuk selalu hidup dengan memperbanyak amal perbuatan yang baik dan yang dapat mendatangkan manfaat bagi sesama manusia dan makhluk semua. Hal ini tidak menafikan bahwa tidak semua dapat dipengaruhi oleh sebuah ilmu pengetahuan, akan tetapi etika sangat dibutuhkan untuk memberi pengetahuan seseorang mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang
41 Hamzah Ya’qub, Etika Islam; Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar) ( Bandung : Diponegoro, 1985) cet. III, hlm.24
43
jahat. Bisa dikatakan bahwa etika menunjukan kepada seseorang tentang jalan-jalan untuk membentuk pribadi mulia yang berakhlakul karimah. Manusia dapat mengerti dirinya berakhlakul karimah karena dia mengetahui akhlak yang mulia. Rasulullah menjadi suritauladan karena Beliau mengetahui tentang
akhlak yang mulia. Keterangan di atas
menjelaskan bahwa etika adalah ilmu yang menunjukkan, memberi tuntunan, dan mendorong kepada kebaikkan. c. Menyempurnakan iman Manusia yang beriman tidak akan sempurna apabila tidak mepunyai akhlak yang mulia. Begitu juga sebaliknya tidak dikatakan orang itu beriman dengan sungguh-sungguh apaila akhlaknya buruk. Dalam hal Abuhurairah :
ini dijelaskan dalam Hadits yang diriwayatkan
oleh
42
ﻋﻦ ﺍﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺹ ﻡ ﺃﻛﻤﻞ ﺍﳌﻮﺀﻣﻨﲔ ﺍﳝﺎﻧﺎ ﺍﺣﺴﻨﻬﻢ ﺧﻠﻘﺎ ﻭﺧﻴﺎﺭﻛﻢ (ﻟﻨﺴﺎﺋﻬﻢ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah orang yang terbaik akhlak nya. Dan sebaik-baik diantara kamu ialah yang paling baik kepada isterinya” (H.R. Tarmidzi) Untuk menyempurnakan iman, harus menyempurnakan akhlak, supaya akhlak sempurna harus mempelajari ilmunya yaitu etika yang berfungsi sebagai petunjuk. d. Utama di hari kemudian Orang yang beriman pasti percaya dengan kehidupan setelah mati, dia percaya dengan adanya hari pembalasan. Dengan hal ini Rasulullah mekemukakan bahwa orang yng berakhlak luhur, akan menempati kedudukan yang terhormat di hari kemudian. Nabi bersabda43 :
42
Muhyiddin Abi Zakariya Yahya Ibn Syaraf an-Nawawi, Riyadh as-Solihin ( Indonesia, Dar Ihya), hlm 304 43
Ibid
44
ﻋﻦ ﺍﰉ ﺍﻟﺪﺭﺩﺍﺀ ﺍﻥ ﺍﻟﻨﱮ ﺹ ﻡ ﻗﺎﻝ ﻣﺎ ﻣﻦ ﺷﲕﺀ ﺍﺛﻘﻞ ﰱ ﻣﻴﺰﺍﻥ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺍﳌﻮﺀﻣﻦ ﻳﻮﻡ ﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻣﻦ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ
ﺣﺴﻦ ﺍﳋﻠﻖ ﻭﺇﻥ ﺍﷲ ﻳﺒﻐﺾ ﺍﻟﻔﺎﺣﺶ ﺍﻟﺒﺬﻯ
“Tiada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari kiamat, selain dari keindahan akhlak. Dan Allah benci kepada orang yang keji mulut dan kelakuan” (H.R. Tarmidzi) e. Bekal membentuk keluarga sejahtera Dalam segi kebutuhan biologis dan kebutuhan materi manusia membutuhkan makan, minum, pakaian, dan rumah sebagai tempat berlindung. Maka dari segi moral manusia membutuhkan etika sebagai petunjuk untuk membentuk akhlak yang baik. Etika merupakan faktor yang dominan dalam membentuk keluarga yang sejahtera. Keluarga yang tidak dibina dengan akhlak yang mulia, tidak akan meraih kebahagiaan, walaupun kehidupannya dihiasai dengan kekayaan yang melimpah ruah. Dengan ini akhlak yang mulia dapat mengharmoniskan rumah tangga, menjalin cinta dan kasih sayang kepada semua pihak. Walaupun banyak tantangan dan badai rumah tangga yang menghantam, dapat diatasi dengan akhlak yang mulia. f. Menciptakan kerukunan Manusia sudah ditakdirkan menjadi makhluk sosial yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Kehidupan sosial inipun mutlak menggunakan etika agar manusia dalam berinteraksi tetap memakai akhlak yang baik. Dengan etika bisa untuk membina kerukunan antar tetangga dan dapat mengatur tatacara bergaul yang baik. Islam menganjurkan agar antara tetangga tetap dibangun kasih sayang, mahabbah, dan mawaddah. Tauladan ini pernah diberikan Rasulullah yaitu Beliau menghimbau agar jangan malu-malu menghadiahi tetangga, walaupun hanya berupa kaki kambing atau kuah gulai. g. Membina moralitas remaja Fenomena sekarang ini banyak sekali para orang tua, kaum pendidik, dan masyarakat dipusingkan dengan masalah kenakalan remaja. Tawuran sekolah menjadi tren masa sekarang hanya karena memenuhi hawa nafsu dan gengsi belaka. Anak yang dari keluarga berada dan berpangkat, banyak ditemukan kasus kenakalan remaja seperti penyalah gunaan obat terlarang, minuman
45
keras, pemerkosaan, dan sebagainya. Itu semua kembali kepada akhlak remaja itu sendiri. Remaja yang seperti kasus-kasus diatas adalah remaja yang belum mengenal akhlak. Sebaliknya tidak sedikit remaja yang menyejukan mata, karena tingkah lakunya yang sopan dan baik, dan selalu berbuat kebaikan. Remaja yang demikian inilah, adalah remaja yang saleh, yang berakhlak mulia. Dari segi ini sangat jelas hikmah dari etika yang dapat menuntun para remaja menemukan dunianya, menyalurkan kepada tindakan yang baik dan konstruktif.44 3. Pendidikan Akhlak dalam Islam Pendidikan akhlak dalam Islam, hal ini menyangkut seluruh syariat Islam dan ihsan, karena menjadi salah satu bagian dari keseluruhan. Sebagai pelengkap iman dan Islamnya seseorang, ia tidak bisa berdiri sendiri. Ketigatiganya menjadi satu kasatuan yang tidak terpisah-pisah. Maka pendidikan akhlak adalah proses pendidikan dalam usaha membentuk kepribadian lengkap yang berasaskan Islam (insan kamil).45 Pada masa kanak-kanak, pada saat anak belum mempunyai kemauan baik selain kemauan naluri, dididik dengan diberi stimulan untuk menggugah kemauannya melalui contoh-contoh dan latihan–latihan. Dengan cara ini dimaksudkan agar anak merespon stimulan yang diberikan lewat contohcontoh dan latihan-latihan sehingga kemudian anak memiliki kemauan baiknya sendiri, dan bila sudah beranjak dewasa bisa mengembangkan sendiri. Kemauan baik bila tidak dibina, akan menghilangkan keinginan untuk mencapai yang baik itu. Dengan demikian, seseorang tidak akan lagi mempunyai harapan dan cita-cita. Dia tidak aktif, tidak ada sesuatu yang bermanfat untuk diperbuatnya. Dengan begitu, dia tidak bereksistensi lagi sebagai manusia, karena tidak berperan dan tidak mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainya.46 Pendidikan dilakukan sering kali berpangkal pada rasa tanggung jawab seorang pendidik terhadap dirinya atau pada orang lain. Seringkali manusia tidak sadar dengan dirinya. Karena sedikit sekali manusia sadar dengan dirinya, itu merupakan tanda bahwa ia tidak tahu akan dirinya sendiri. Dengan 44 45
Hamzah Ya’qub, op. cit, hlm.29 Mudlor Achmad, Etika Dalam Islam ( Surabaya : al-Ikhlas,tanpa tahun), hlm. 153
46
demikian secara hakiki manusia itu jauh dengan dirinya sendiri. Terkadang orang lain justru yang lebih mengetahui pribadinya walaupun tidak seluruhnya. Ketidaksenonohan sering kali dilakukan dalam keadaan tidak sadar. Maka untuk mencegah hal–hal itu, ia harus berusaha mengekang hawa nafsu, dan menguasai diri. Penguasaan diri itulah yang dinamakan peristiwa psikologis untuk mencarikan arah penyaluran hasrat dengan sebaik-baiknya, agar keseimbangan pribadi terjaga. Orang yang bisa menguasai diri hidupnya akan berjalan dalam jalan yang lurus, tidak terombang-ambing oleh hawa nafsu. Maka penguasaan diri merupakan pangkal tolak menuju kearah penyempurnaan pribadi. Penguasaan diri dilakukan sebab ada kesadaran sesuatu yang dilakukan dan kesalahan yang ia perbuat. Dari kesalahan itu timbul rasa penyesalan dan kemudian bertaubat. Konsekuensi dari taubat adalah berusaha untuk tidak melakukan kesalahan lagi. Usaha untuk tidak melakukan lagi itulah yang dimaksud dengan penguasaan diri. Kesadaran diri harus selalu di gugah dan dikembangkan. Akhlak tidak hanya sekedar diajarkan secara teoritis, namun lebih kearah kehidupan praktis. Penggugahan dan pengembangan kesadaran, dilakukan melalui pendidikan. Didalam pendidikan, kepribadian dilatih untuk diwujudkan dalam bentuk yang ideal. Dengan pendidikan ini, manusia bisa menjadi ”apa yang seharusnya” dan berjuang dengan gigih untuk melawan hawa nafsu sehingga menjadi manusia yang seimbang.47 Pendidikan akhlak menurut Ibnu Maskawih dititik beratkan pada pembersihan pribadi dari sifat-sifat yang berlawanan dengan agama, seperti ; takabur, pemarah, dan penipu. Keluhuran akhlak sebagai media untuk menduduki tingkat kepribadian seorang muslim. Tujuan pendidikan akhlak adalah untuk menyempurnakan nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai dengan ajaran Islam, yang taat beribadah dan sanggup hidup bermasyarakat dengan baik.48
46
Ibid, hlm. 77 Ibid, hlm. 156 48 Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja (Jakarta : Bina Aksara, 1989), 47
hlm. 148
47
Dengan demikian pendidikan akhlak merupakan salah satu cara untuk membentuk mental manusia agar memiliki kepribadian yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur, dan bersusila. Cara tersebut sangat tepat untuk membina mental anak remaja. Dalam proses ini tersimpul indikator bahwa pendidikan akhlak merupakan penuntun bagi umat manusia untuk memiliki sikap mental dan kepribadaian sesuai dengan yang ditunjukan dalam al-Quran dan Hadits. Pendidikan, pembinaan, dan penanaman akhlakul karimah sangat tepat bagi anak usia dini, agar dalam perkembangan mentalnya tidak mengalami hambatan dan penyimpangan kearah negatif. Media yang dapat digunakan yakni lewat contoh-contoh, latihan-latihan, dan praktek-praktek nyata yang dilakukan oleh kedua orangtua di dalam kehidupan keluarga, oleh para guru di lingkungan sekolahan, juga para pendidik selain kedua orangtua dan guru di sekolah.49
49
Ibid., hlm. 151