Etika Pruduksi dalam Islam Oleh : Djumadi Djunaid PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Kegiatan produksi merupakan mata rantai dari kegiatan konsumsi dan distribusi. Kegiatan produksilah yang menghasikan barang dan jasa, kemudian dikonsumsi oleh para konsumen. Tanpa produksi maka kegiatan ekonomi akan berhenti, begitu pula sebaliknya. Untuk menghasilkan barang dan jasa kegiatan produksi melibatkan banyak faktor. Setidaknya terdapat dua faktor produksi yang amat menentukan dan berpengaruh langsung terhadap konsumen, yaitu bahan – bahan yang digunakan dalam
berproduksi dan
sumber daya manusia yang
handal. Seberapa besar peran dari kedua faktor di atas, ditentukan oleh seberapa besar pemahamannya terhadap etika produksi itu sendiri. Dalam Islam, seluruh kegiatan produksi terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islami. Nilainilai moral itulah yang kemudian membuat sistem ekonomik Islam lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakan secara umum. Seperti yang dikatakan Mannan bahwa produksi dalam Islam haruslah memenuhi kriteria objektif yang dinilai uang, juga kriteria subjektif yang dinilai dengan adanya etika dalam berproduksi. Islam mengharuskan penganutnya untuk berlaku adil dan berbuat kebajkan. Bahkan berbuat adil didahulukan ketimbang berbuat baik.
1
menurut
Dealon, saat ini masyarakat Islam telah kehilangan makna dasar dari istilah di atas, bahkan akibat globalisasi masyarakat dunia saat ini telah dihinggapi tiga penyakit kronis (baca tri sakit) yaitu pertama, sulit menemukan pemerintahan 1
Yang dimaksudkan Adil disini adalah adil dalam menentukan sikap dan perbuatan. Aadil dalam bisnis akan berimplikasi pada nilai ibadah. Dan nilai ini otomatis sebagai kebaikan. Kebaikan tidak sekedar dalam makna ibadah mahda, melainkan kebaikan atas niai yang dihasilkan atasi perbuat baik kepada orang lain.
yang jujur, kedua sulit menemukan pemerintahan yang dapat mensejahterakan rakyatnya dan ketiga, sulit menemukan pemerintahan yang adil. Menurutnya, kedatangan Presiden Obama sebagai perwakilan negara- negara Eropa di Bali pada
KTT Asean penghujung tahun 2011 lalu, merupakan isyarat bahwa
masyarakat dunia mau belajar dan minta kepada masyarakat Indonesia agar sila ketiga Pancasila ― kemanusiaan yang adil dan beradab‖ untuk
dipraktekkan
diseluruh dunia. Dalam konteks bisnis, persyaratan adil yang paling mendasar adalah dalam menentukan mutu (kualitas) dan ukuran (kuantitas) pada setiap takara maupun timbangan (QS al-an’am 6: 152)―...sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kualitas dan kuantitas barang yang diproduksikan tidak sekedar dihasilkan, melainkan dari sumber yang adil dan jujur. Pada konsep ini, produksi bukan dalam makna menciptakan, melainkan menghasilkan. Makna menciptakan sesungguhya ada pada otoritas Tuhan, sedangkan menghasilkan adalah produktifitas khehalifaan manusia. Dalam literatur konvesional misalnya teori produksi ditujukan untuk memberikan
analisa
terhadap
prilaku
perusahaan
dalam
membeli
dan
menggunakan masukan selanjutnya diproduksi kembali dan berakhir dengan menjual keluar atau prodak. Margin pada penjualan pertama dijadikan ukuran, selebihnya dianalisa margin yang lebih tingga untuk mencapai
tujuan
perusahaan. Makanisme produksi konvensional dengan menggunakan sistem bunga atau revenue sharing ataupun profit sharing terdapat struktur biaya (revenue). Kenyataan ini merupakan sifat dan karakteristik produsen. Kajian emperik memperlihatkan bahwa ketergantugan produsen tidak terlepas dari peran orang lain di luar dirinya. Artinya pruduk yang dihasilkan
memerlukan biaya/ modal dan tenaga kerja. Pedagang yang memiliki jiwa dan bakat usaha berani menggantungkan dirinya melalui kredit modal,. karena melalui pinjaman modal itulah dia berusaha menghasilkan jasa dan dimanfaatkan sebesarbesarnya demi kemakmuran bersama. Kelihatnnya teori produksi tanpa memperhatikan struktur permodalan dan struktur pembiayaan menjadikan teori ini kurang relevan dengan kenyataan. Sebab sistem ekonomi konvensional maupun sistem ekonomi Islam, keduanya berangkat dari modal/ pembiayaan. Istilah modal seringkali digunakan dalam sistem Sedangkan dalam sistem ekonomi Islam,
bank konvensional.
menggunakan istilah
pembiayaan.
Kedua istilah ini memiliki karekter yang berbeda. Perbendaannya terletak pada operasional berupa akad dan prodaknya. . Untuk menganalisa bagaimana prilaku produsen yang Islami al- Ghazali dengan teori adab al- kasab wa al-ma’asy, sebagaimana dikemukakan dalam bukunya yang berjudul ; Ihya Ulum al-din, bahwa sesunggunya berusaha memenuhin hajat hidup adalah fardu kifayah.2 Selain itu Al- Ghazali menampilkan teori mashlahah dan utility. Maslahah mengedepankan aspek kebijakan dan keselamatan produksi dan konsumsi barang
2
Pemikiran Al- Ghazali ini dipengaruhi oleh pemikiran tasaufnya. Dalam konteks tasauf kehidupan mewah adalah suatu yang dianggap menyalahi fitra manusia. Meskipun demikian, ternyata Al- Ghazali memiliki alasan yang amat mendasar bahwa sesungguhnya manusia sebagai khalifah dimaksudkan adalam mahluk yang produktif. Mustahil manusia non produkstif dapat memakmurkan bumi ini, sehingga manusia diharuskan untuk bekerja sekuat tenaga untuk mendapatkan rezeki dari Tuhannya. Atas dasar inilah Al- Ghazali memberikan motifasi mahwa bekerja itu adalah ibadah dan hukumnya fardu kifayah. Istilah fardhu kifayah dalam makna figq adalah suatu urusan yang apabila dikerjakan beberapa orang, akan menyelamatkan kemurkaan Allah bagi manusia yang ada diwilayah itu. Istilah populernya yakni pada shalat jenazah. Itu berarti bahwa usaha mencari rezeki dengan menguras tenaga, beratap langit, meneteskan keringat adalah ajaran para Nabi- nabi sebelum Muhammad Saw. Nabi Daud a.s. adalah contoh yang dapat diambil hikmah, bahwa beliau makan hanya dengan hasil keringatnya sendiri. Selengkapnya lihat, Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, ( Jakarta: Gramata Publhing, 2005), h. 178.
yang halal dan berpengaruh terhadap ketenangannya dalam kemaslahatan dunia akherat, sedangkan utiltas mengedepankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan ketersediaan sumber alam. Disini peran manusia sebagai khalifah, dan posisi akal sebagai penggerak dan pengendali. Al- Qur’an pun memberikan ketegasan yang amat jelas, misalnya pada QS.Al- Jumu’ah, 63: 10-11
“ Apabila shalat telah dilaksanakan, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak- banyaknya agar kamu beruntung. “ dan apabila mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau (Muhammad) sedang berdiri (berkhutbah. Katakanlah “ apa yang ada disisi Allah lebih baik dari permainan dan perdagangan” dan Allah pemberi Rezeki yang terbaik. Bila konsep al- Ghazali dan penekanan ayat di atas dibawa pada wilayah produk bank syari’ah, maka dengan mudah terlihat penyimpangan proses pendapatan dari beberapa prodak akad, terutama bila dikaitkan dengan prinsiprinsip akad syari’ah. B. Kewajiban Produksi Barang Kebutuhan dasar. Al- Ghazali mengatakan bahwa aktivitas perekonomian merupakan kewajiban (fardhu kifayah) bagi segenap manusia, tidak saja pada orang Islam, tetapi berlaku pada semua manusia di dunia, hewan dan tumbuhtumbuhan.3 Fardhu kifayah di atas bila dibawah pada wilayah ekonomi yang lebih khusus memiliki makna antara lain; 1. Allah menciptakan manusia sebagai wakilnya di bumi adalah manusia yang memiliki pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan untuk mengolah dirinya kearah yang lebih sejahtera, baik, halal,dan terhormat. 3
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010), h.
102.
2. Setiap individu diwajibkan memiliki kemampuan dan keberanian merubah sikap (civic desposation) dan menjadi prilaku ekonom yang baik. 3. Apapun bentuk aktivitas manusia baik secara individu maupun kelektif wajib dipertanggung jawabkan diakherat nanti. 4. Etika produktif merupakan tolak ukur dalam beraktivitas antar sasama manusia. Produksi barang- barang kebutuhan dasar dianggap sebagai kewajiba sosial. Jika sekelompok orang dengan sadar dan memiliki sejumlah prinsip yang Islami berkecimpun dalam memproduksi barang- barang dalam jumlah yang telah mencukupi kebutuhan masyarakat, maka dengan sendirinya kebutuhan masyarakat lainnya dianggap telah mencukupi. namun jika tidak ada orang yang dapat memproduksikan barang dan jasa (tenaga kerja/ijarah, muzaraah, musaqah, murabahah dsb) atau jika jumlah produksi tidak mencukupi, maka semua orang dipastikan akan dimintai pertanggungjawaban (sama saja membunuh diri sendiri) di akhirat kelak. Bagaimana ancaman Allah terhadap manusia yang mencelakai dirinya sendiri, mati kelaparan termasuk dalam katagori mati karena kekafiran dan kefakiran. Al- Ghazali beralasan bahwa sesungguhnya ketidakseimbangan produksi menyangkut barang- barang kebutuhan pokok akan cenderung menciptakan malapetaka dan kerusakan dalam masyarakat. Pendapat Al- Ghazali tersebut telah memperlihatkan kebenarannya diberbagai negara di dunia. Di Indonesia, kecenderungan pemerintah hanya sebatas kepentingan kelompok. Tiap kelompok menampilkan janji semu, pada akhirnya sering kita saksikan deviasi anggaran negara dalam jumlah yang amat besar dirampas baik secara
perorangan maupun berjamaah oleh anggota parlemen dan tokoh- tokoh partai politik lainnya. Dalam kehidupan bersama (nation state), pemerintah bertanggungjawab terhadap berbagai kebutuhan dasar masyarakat. Pemenuhan produksi betulbetul berada dalam pengawasan pemerintah, baik menyangkut etika barang maupun pada jasa, dapat ditekan sesuai aturan yang berlaku. Beberapa tahun belakangan di Indonesia, sering dihebohkan dengan berbagai penyimpangan dari hasil produksi perusahaan tertentu, misalnya keracunan makanan dan minuman akibat percampuran bahan- bahan kimia. Belum jelas motif produkasi barang- barang kebutuhan semacam ini, yang pasti lemahnya penegak hukum di Indonesia turut menyemarakan kegiatan ilegal ini. Pemerintah memiliki kekuatan monopoli terhadap semua ijin usaha dari berbagai perusahaan, tetapi hasil dan kejelasan ini sampai sekarang belum terjawab. Kemudian, prilaku yang melanggar kode etik produksi lainnya misalnya penyimpanan produksi kebutuhan masyarakat pun sengaja dilakukan oleh berbagai perusahaan. Tujuan akhir dari pragmen ini adalah meraup keuntungan yang berlipat ganda. Akibatnya kelangkaan kebutuhan dasarpun sering meramaikan demontrasi pada disudut- sudut jalan diberbagai tempat di tanah air. Namun cukup disayangkan, teriakan masyarakat dan mahasiswa ini tidak banyak membuahkan hasil. Untuk mengurangi prilaku bonsai ini, perlu kiranya dipaparkan beberapa prinsip dasar dalam aktifitas ekonomi yang islami. C. Garis besar etika Islam.
Titik sentral etika Islam adalah menentukan kebebasan manusia untik bertindak dan bertanggung- jawab karena kepercayaannya tentang kemahakuasaan Tuhan. Tetapi kekuasaan manusia itu sediri terbatas oleh ruang dan waktu, manusia dalam konteks ini adalah pengguna bukan pemilik. Kalau manusia sebagai pemilik, maka dengan sendirinya akan mengurangi eksistensi kemaha kuasaan Tuhan. Karena sifat
keakuan manusia inilah seringkali melibatkan
manusia pada posisi yang amat terhina. Sebaliknya, jika kepercayaan secara eksklusif didasarkan pada kemahakuasaan Tuhan, maka tanggung jawab manusia atas segala prilakunya atau dasar ekskatalogi agama, menjadi tidak bermakna.4 Oleh karena itu tujuan hidup manusia adalah untuk mewujudkan kebaikan kekhalifaan sebagai
pelaku ―bebas‖ karena
dibekali
kehendak
bebas.5
Konsekwensi dari kehendak ini, manusia adalah mahluk produktif, mahluk sinerjik – melakukan kehendak bebas melalui akal dan pancaindranya. Potensi akan sangat dominan. Kelompok jabaraiyah mengganggap manusia hanya bisa bekerja melalui takdir Tuhan – konsep kefasikan ada pada manusia bukan kehendak mutlak Tuhan.
4
Tehnik al- Qur’an dalam kaitan ini bahwa ketika ia berbicara tentang Tuhan itu sendiri, ia selalu memberi penekanan pada kemahakuasaan: Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki (QS.22:14), :Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS.24:45),... sesungguhnya Tuhanmu menyaksikan segala sesuatu (QS.41:53), di sisi lain ketika al- Qur’an bicara tentang tanggung jawab dan kebebasan manusia, ia memberi kebebasan bertindak kepada manusia misalnya; Tiap- tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS.74:38), “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran dari Tuhanmu, sebab itu, barang siapa yang mendapat petunjuk, maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu untuk mencelakakan dirinya seniri (QS. 10;108). Pernyataan terakhir ini berkaitan dengan etika produksi, karena apapun yang kita hasilkan, kerjakan pasti akan dimintai pertanggung jawaban. Selengkapnya lihat, Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics and Socaity, tej. Saiful Anam” Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pustaka Pelajar, 2003),h. 35. Selanjutnya penulis gunakan Haider Naqvi. 5 Menurut Mu’tazila, manusia telah dipersiapkan.................
Untuk itu dalam kontek produksi, manusia hanyalah pengguna atas segala sesuatu yang telah ada sebelumnya. Kepemilikan sempurnah adalah Tuhan. Maka, ketika manusia melakukan sesuatu harus tunduk pada pesan- pesan Tuhan ...‖ Dan janganlah kamu sekalian berjalan di muka bumi dengan kesombongan‖ (QS.). Posisi manusia adalah pewaris Tuhan di bumi, maka etika produksi tidak sekedar menggunakan potensi alam yang amat terbatas, melainkan kewajiban manusia untuk melestarikan dan merawatnya, Akibat dari keserakahan manusia, mengakibatkan manusia juga yang menerima hasilnya ; telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar manusia merasakan (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). (QS. 30:41). Kontek ayat ini setidaknya mengandung tiga makna yaitu: 1. Allah tidak mengatakan kerusakan di laut dan di darat, tetapi disebutkan kerusakan di darat dan di laut. Ini artinya bahwa manusia cenderung mendiami wilayah daratan bukan lautan. Sifat ketamakan dan keserakahan manusialah mengakibatkan rusaknya daratan, misalnya penabangan pohon, pembakaran hutan, dan penggalian sumber- sumber alam – otomatis akan membuat kerusakan ekologi yang ada di dasar bumi. Pengikisan dasar tanah selain akan menghabiskan unsur hara (humus anah) juga akan mengakibatkan erosi, longsor dan musibah kemanusiaan lainnya.6 Di Papua /Irian, tahun 2010 merengut ratusan nyawa manusia, hanya ulah tangan- tangan jahil yang tidak bertanggung jawab. Akibat 6
Berbagai peristiwa yang mengerikan, bahkan belum pernah terjadi pada generasi 40-an, banjir merengut nyawa manusia, tanah longsor yang merengut ratusan nyawa manusia yang tidak berdosa, stuname di aceh, Jepang, India, Cina, Vitnam, telah menghanguskan puluhan jutaan manusia. Semua ini adalah tanda- tanda kemahakuasaan Tuhan. Penyebabnya ada pada manusia.
penabangan
pohon
yang
tidak
berimbangan
terjadilah
musibah
kemanusiaan, berapa nilai harta yang hancur di bawa air, belum lagi infra struktur yang hancur. Semua ini adalah pelajaran bagi orang- orang yang mau berfikir. 2. Kerusakan akibat tangan- tangan manusia. Tangan- tangan yang dimasudkan disini adalah sifat dan karakter manusia cenderung pada materi, kecenderungan tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Alasannya, karena Allah mengharuskan manusia untuk segera bertebaran di muka bumi, selain mencari rejeki (Al- Ghazali ― Fardu Kifayah) shalat jumat pun hendaknya dipercepat dan dipersingkat. 3. Allah menghendaki agar manusia merasakan (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). Di awal makalah ini saya katakan bahwa sesunguhnya Allah menjadikan bumi atas dasar keseimbangan. Manusia menafikkan
produktifitas kekhalifaannya dengan merusak
amanah Allah. Hukum kausalitas atau hukum keseimbangan tetap berlalu tidak saja dalam konteks kebutuhan manusia, tetapi dalam berbagai aspek kehidupan di dunia dan di akherat. Dua hukum ini yakni baik- buruk, suka- duka, memelihara- merusak, hidup- mati, produksi- konsumsi, siang- malam, semuanya berimbang, tidak ada yang saling mendahului, kecuali atas ijin Allah. D. Aksioma Etika Produksi. Pandangan Islam tentang manusia dalam konteks etika produksi dan lingkungan sosialnya dapat direpresentasikan dalam empat prinsip yaikni; a. Kesatuan ( tauhid ).
Sumber utama etika produksi Islam adalah adanya kepercayaan penuh dan murni terhadap kesatuan Tuhan.7 Hal ini secara khusus menunjukan bahwa dimensi vertikal Islam adalah menghubungkan intuisi- intuisi sosial yang terbatas dan tidak sempurnah dipengaruhi oleh penyerahan manusia tanpa syarat dihadapan-Nya, terhadap ciptaan-Nya, dengan menjadikan ambisi dan keinginan tunduk pada perintahnya.8 Pernyataan penyerahan tanpa syarat ini, pertanda bahwa manusia itu kerdil atas ketidak berdayaannya terhadap penguasa alam semesta ― Katakanlah : Sesungguhnya sembahyangku,ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam” (QS. 6: 162). Menurut G. Hadley bahwa ketundukan manusia pada Tuhan sebenarnya membantu manusia merealisasikan potensi teomorfiknya.9 Dengan mengintegrasikan etika produksi dalam wilayah religius, kehidupan manusia bisa mencapai keharmonisan sosial dengan meningkatkan rasa memiliki dan pesaudaraan yang universal. Pandangan Islam tentang kesatuan dunia—akherat tidak terbatas pada
masyarakat
muslim
saja, melainkan
terhadap
segenap
manusia.‖Wahai manusia, sesungguhnya, Kami ciptakan kalian dari jenis 7
Kursyid Ahmad dalam ―Foreword‖ pada Nawab Haider Naqvi, Ethich and Economic Syinthesis, Leiserters : The Islamic Foundation, 1976), h. 138. 8 Haider Naqvi, Op. Cit., h. 37. 9 Teomorfika manusia , tidak dimaksudkan untuk menetapkan kesejajaran antara manusia dan Tuhan. Ini hanya penegasan tentang realitas manusia dalam kaitannya dengan Tuhan. Tetapi relativitas ini menjadikan manusia sebagai stocholdre mahluk, memiliki perwakilan ganda, karena jika manusia mewakili Tuhan dalam wilayah dunia, berarti manusia juga mewakili dunia di hadapan Tuhan. Kelihatanya Hadley lebih mengedepankan peran manusia terhadap alam, perwakilan tuhan dalam konteks amanah, demikian juga Tuhan sebagai Zat sempurnah menjadikan manusia sebagai mitra ubudiyah fil ardhi, tetapi karinahnya “ wala> tamsyi fil ardhi marahan>. Tuhan bermitra dalam pengolahan bumi, dengan Zat ― Rahman dan Rahim”. Lihat, G. Hadley, Lincar Algebra, (London: Addison Wesley Publishing, 1964), dalam Naqvi, Ibid.
laki- laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa- bangsa dan bersuku- suku agar kalian bisa saling mengenal”(QS.49;13). Bagan berikut ini setidaknya dapat menggambarkan posisi Allah— manusia dan alam semesta. Kesatuan tauhid Kepentingan Sunahtullah Keseimbangan
Ekonomi Pluralitas & keragaman
Sumber Alam terbatas.
Esensi Agama, nyawa, harta, akal, keturunan. Etika produksi
b. Keseimbangan/ kesejajaran. Berkaitan dengan konsep kesatuan, dua konsep Islam lainnya ; al- Adl dan al- Ihsan menunjukan suatu keadaan keseimbangan/ kesejajaran sosial. Seperti disebutkan dalam al- Qur’an ―Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berbuat adil dan ihsan “(QS. 16:90). Pada tataran ekonomi, kedua prinsip tersebut amat menentukan konfigurasi dari seluruh aktivitas produksi, konsumsi dan distribusi terbaik dalam teori ekonomi sepanjang aman.10 Naqvi dalam konteks etika produksi, justru lebih mengutamakan pemenuhan
kebutuhan
masyarakat dengan harga terjangkau, tanpa
mengabaikan faktor- faktor produksi seperti penggunaan tenaga kerja, besarnya pembiayaan, dan pinjaman modal 11 10
Nawab Haider Naqvi, Individual fredom, Social Welfare and Islamic Economic Order (Islamabad: Pakistan Institute of Deploment Economics, 1981), h. 54. 11 Pemikiran Naqvi tersebut sesuai petunjuk dan arahan al- Qur’an, misalnya pada QS. 70: 24-25 ― Dan orang- orang yang dalam hartanya terdapat hak tertentu; bagi orang miskin yang
Konsep keseimbangan ini selain memiliki sifat ihsan (kebaikan bersama antara produsen dan pihak konsumen) terutama pada kualitas prodak) juga terdapat prinsip adil. Kedua prinsip ini menurut hemat penulis
belum
menggambarkan
etika
produksi
yang
bersifat
komprenhensif karena masih ada beberapa kerangka lainnya misalnya sifat kejujuran dalam produksi. Sifat kejujuran dalam produksi selain sebagai standar pemasaran, sifat kejujuran pun justru membela kepentingan kaum lemah. Misalnya harga pasaran produksi mencapai keuntungan di atas rata- rata, maka faktor lain dalam proses produksi perlu mendapat perhatian. Setidaknya sistem penggajian tidak didasakan pada jumlah hari kerja, melainkan ditentukan oleh besar kecilnya pendapatan perusahaan terhadap produk yang dipasarkan. E. Kehendak Bebas (Ikhtiar). Dalam pandangan Islam, sesungguhnya manusia dilahirkan memiliki kehendak bebas yakni potensi menentukan berbagai pilihan di antara beragam pilihan lainnya. Karena kebebasan manusia juga tidak dibatasi, maka tidak jarang kita jumpai kebebasan menentukan pilihan yang salah. Konteks kebebasan yang dikehendaki dalam Islam adalah kebebasan yang membawa seseorang pada tingkat keshalehan, dan berimplikasi pada
meminta dan orang- orang yang tidak mempunyai apa- apa (yang tidak mau meminta). Kaitannya dengan konsep ini, Syed Abdul Hasan al- Maududi mengatakan; ayat ini diturunkan di Makkah, dimana masyarakat muslim belum terbentuk dengan baik. Maka menurutnya, ayat ini sesuai konteksnya, jelas menunjukkan bahwa siapa saja yang membutuhkan bantuan dan siapa saja yang mengalami pemerasan, memiliki hak untuk mendapatkan bagian kekayaan dan harta benda dari orang tanpa peduli apakah dia dari uang negara atau dari bangsa ini atau itu, dari ras itu atau ini. Selengkapnya lihat, Syed Abul Hasan al- Maududi, Human Rights in Islam, (Leicester : TheIslamic Foundation, 1976), h. 132.
kemashlahatan orang lain.12 Dengan demikian, dasar pengambilan keputusan atas kehendak dan kebebasan manusia bersumber dari anatomi pengambilan pilihan yang benar. ―108).Katakanlah hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran dari Tuhanmu, sebab itu, barang siapa yang mendapat petunjuk, maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu untuk mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah penjaga terhadap dirimu” QS. Yunus (10: 108). Konsep kebebasan memang anugrah Allah yang harus disukuri, namun bergantung pada pilihan awal manusia terhadap yang benar. ― Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka sendiri mau mengubah dirinya “ QS. Ar- Ra’d (13: 11). F. Tanggung Jawab (Fardh). Hubungannya dengan konsep kebebasan, adalah aksioma taggung jawab. Meskipun keduanya pasangan secara alamiah. Islam menaruh penekanan yang amat besar terhadap konsep tanggung jawab, tetapi bukan berarti membatasi dan menafikan kebebasan, atau tidak memperhatikan konsep kebebasan individu. Justru Islam memberikan ruang keseimbangan pada kedua etika di atas.13 Atas dasar
pemikiran tersebut di atas, peradaban modern akan dapat
ditentukan berdasarkan serangkaia langkah pembatasan
kebebasan individu
secara tepat, sehingga konflik antara konsep maksimalikasi kepentingan diri seimbang dengan kebutuhan maksimalisasi sosial – harus ada garis
sendiri
pemisah antara kebebasan individu dengan masyarakat harus bersifat ad hoc dan dapat bergeser seiring perubahan waktu dan zaman. 12
Nawab Haider Naqvi, Op. Cit, h. 42. Ibid, h, 46.
13
Mohamad Iqbal,
menekankan sentralisasi konsep tanggung jawab sebagai implikasi dalam kenyataan bahwa sesungguhnya manusia adalah pemegang amanah sebagai pribadi yang bebas.14 Secara tersurat, Iqbal mengisyaratkan bahwa sesungguhnya manusia dalam perspektif ekonomi adalah mahluk produktif . Sikap produktifitas manusia dimaksud dapat terlihat ketika manusia (Adam sa) menerima amanah untuk menjaga dan mengolah alam semesta dengan berbagai konsekuensinya. Sebagai makhluk produktif, Ali Sariati mengatakan bahwa
secara
individu manusia wajib mempertanggungjawabkan keberadaannya di bumi sebagai wakil Tuhan untuk memelihara dan mengolah alam semesta 15. Sementara dalam konteks kemiskinan, Sariati memberi ketegasan bahwa pada orang- orang miskin dan fakir akan bertanggungjawab terhadap kemiskinan dan kefakirannya. Secara umum ketegasan Sariati di atas, terdapat dua karakter alami pada diri manusia yaitu kelompok manusia yang produktif dan kelompok manusia yang tidak produktif. kelompok pertama menghasilkan barang dan jasa dimana sumbersumber produksinya berasal dari barang- barang yang dihalalkan Allah bukan pada kegiatan monopoli, eksploitasi apalagi koropsi, intimidasi, dan diskriminasi. Adapun kelompok kedua selain bertanggungjawab terhadap prilaku pemiskinan diri, iapun wajib mendoakan kepada kelompok manusia produktif, dan kelompok produktif wajib menyerahkan pendapatannya kepada kelompok yang selalu memdoakannya berupa zakat, infak, sadakah, dan wasiat kepada kelompok fakir dan miskin. G. Kesimpulan
14
Mohamad Iqbal, The Recontruction of Religious Thought in Islam ed M. Saeed sheikh ( Lahore : Institute of Islam Culture, First Published in, 1986), 201. 15 Ali Shariati, On the Sociology of Islam, tejm’ Hamid Algar, Berkeley, Calif: Mizan Press, 1974), h. 76.
1. Kegiatan ekonomi manusia telah ada sejak diciptakannya alam semesta. Kebutuhan ini oleh Al- Ghazali disebut wajib kifayah dan bukan wajib ain (aktifitas ekonomi amat menentukan kelangsungan hidup manusia di bumi). 2. Penekanan terhadap etika produksi berkisar pada seberapa baik hasil yang diperoleh konsumen dari barang- barang yang dihasilkan.. 3. Islam tidak menghendaki kebebasan menentukan pilihan secara eksekutif, melainkan didasari oleh tuntuan syari’ah. 4. Konsumen dan produsen akan mempertanggungjawabkan di hadapan Allah terhadap barang yang dihasilkan dan dimanfaatkan. 5. Perlu adanya keseimbangan dan etika antara konsumen dan produsen. Karena kedua unsur ini sebagai bagian dari prinsip- prinsip ekonomi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Kursyid dalam ―Foreword‖ pada Nawab Haider Naqvi, Ethich and Economic Syinthesis, Leiserters : The Islamic Foundation, 1976. Amalia,
Euis,
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
Jakarta: Gramata
Publhing, 2005. Hadley,G, Lincar Algebra, London: Addison Wesley Publishing, 1964. Iqbal, Mohammad, The Recontruction of Religious Thought in Islam ed M. Saeed sheikh ,
Lahore : Institute of Islam Culture, First
Published in, 1986 Haider Naqvi, Syed Nawab, Islam, Economics and Socaity, tej. Saiful Anam” Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pustaka Pelajar, 2003. ………………,Individual fredom, Social Welfare and Islamic Economic Order (Islamabad: Pakistan Institute of Deploment Economics, 1981. Al- Maududi, Syed Abul Hasan, Human Rights in Islam, Leicester : TheIslamic Foundation, 1976. Karim, A. Adiwarman,
Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2010. Shariati, Ali, On the Sociology of Islam, diterjemkan oleh ’ Hamid Algar, Berkeley, Calif: Mizan Press, 1974.