BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian, Dasar Hukum dan Tujuan 1. Pengertian Pembatalan Perkawinan Sudah menjadi Sunnatullah bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini diciptakan Allah SWT dan suatu kenyataan pula dalam keberadaan mahluk hidup di muka bumi ini adalah mereka terdiri dari dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan, kedua jenis mahluk hidup ini baik pada segi fisik maupun psikis mempunyai sifat yang berbeda, namun secara biologis, kedua jenis mahluk tersebut adalah saling membutuhkan, sehingga menjadi berpasang-pasangan atau berjodoh-jodoh.1 Perbedaan ini bukan merupakan perbedaan yang ditimbulkan oleh hukum dan sejarah, tetapi perbedaan tersebut mengandung hikmah yang dalam sebagai bentuk ketentuan Allah SWT. Untuk menyatukan kedua jenis manusia dalam suatu ikatan yang sah maka disyari’atkan perkawinan, adapun pengertian perkawinan menurut hukum Islam secara ekplisit di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 adalah: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
1
M. Zufran Sabrie, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam Nomor. 19 Th. 1995, hlm. 49
15
16 yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah”.2 Baik istilah fasad maupun istilah batal sama-sama berarti suatu pelaksanaan ibadah atau nikah misalnya yang dilaksanakan dengan tidak mencukupi syarat atau rukunnya. Ibadah yang tidak sah, baik karena tidak lengkap syarat atau rukunnya atau karena ada penghalang (mani') bisa disebut akad fasad dan boleh pula disebut akad batal.3 Kata sah berasal dari bahasa Arab "Sahih" yang secara etimologi berarti suatu dalam kondisi baik dan tidak bercacat. Menurut istilah Ushul Fiqh kata sah digunakan kepada suatu ibadah atau akad yang dilaksanakan dengan melengkapi segala syarat dan rukunnya.4 Fasad dan batal adalah lawan dari istilah sah, artinya bila mana suatu akad tidak dinilai sah berarti fasad atau batal.5 Menurut bahasa fasid berasal dari bahasa Arab ﻓﺴﺪا, ﻳﻔﺴﺪ, ﻓﺴﺪyang berarti rusak.6
2
Instruksi Presiden RI No. 1 Th. 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI, 2000, hlm. 14 3
Satria Effendi M. Zein, Probematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis Yurisprudensi dengan pendekatan Ushuliyah), Jakarta, Prenada Media, 2004, hlm. 21. 4
Ibid, hlm. 20.
5
Ibid, hlm. 20-21.
6
A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997, hlm. 92 dan 1055.
17 Dinyatakan dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah
ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺍﻟﻔﺎﺳﺪ ﻫﻮ ﻣﺎﺍﺣﺘ ﹼﻞ ﺷﺮﻁ ﻣﻦ ﺷﺮﻭﻃﻪ ﻭﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺍﻟﺒﺎﻃﻞ ﻫﻮ ﻣﺎﺍﺣﺘ ﹼﻞ ﺭﻛﻦ 7
.ﻣﻦ ﺍﺭﻛﺎﻧﻪ ﻭﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺍﻟﻔﺎﺳﺪ ﻭﺍﻟﺒﺎﻃﻞ ﺣﻜﻤﻬﺎ ﻭﺍﺣﺪ
“Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu dari sayarat-syaratnya, sedang nikah bathil adalah apabila tidak memenuhi rukunnya, hukum nikah fasid dan bathil adalah sama, yaitu tidak sah. Andi Tahir Hamid juga berpendapat: bahwa suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan terlanjur dilangsungkan dapat dimohonkan pembatalannya (fasid).8 Batalnya akad pernikahan juga disebut fasakh.9 Menurut bahasa fasakh berasal dari bahasa Arab ﻓﺴﺤﺎ, ﻳﻔﺴﺢ, ﻓﺴﺢyang berarti rusak atau batal.10 Fasakh adakalanya disebabkan: 1. Adanya cacat dalam akad itu sendiri, contoh apabila kemudian – setelah berlangsungnya akad nikah– bahwa si isteri termasuk makhram bagi si suami, karena ternyata ada hubungan kekerabatan dan sebagainya antara keduanya. Misalnya jika perempuan yang dinikahinya itu ternyata adalah saudaranya sendiri, baik saudara
7
Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, Beirut Libanon, Dar Kitab Al-Ilmiayah, hlm. 118. 8
Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, Sinar Grafika, hlm. 22. 9 Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqh Praktis Menurut al-Qur'an-as-Sunnah dan Pendapat para Ulama, Buku II Cet. I, Bandung, Mizan Media Utama, 2002, hlm. 242. 10
Al Munawir, Op. Cit., hlm. 1054.
18 kandung, saudara tiri atau saudara dalam persusuan (biasa disebut "saudara susu"). 2. Timbulnya sesuatu yang menghambat kelangsungan akad itu sendiri. Misalnya apabila salah satu diantara suami atau isteri menjadi murtad (keluar dari agama Islam), atau apabila si suami (yang tadinya tidak beragama Islam) kini menjadi muslim, sementara si isteri menolak mengikuti
tindakan
suaminya
dan
memilih
tetap
dalam
kemusyrikannya. Dalam hal ini akad nikah diantara mereka batal secara otomatis. Lain halnya apabila si isteri kebetulan termasuk ahlilkitab (pemeluk agama Nasrani atau Yahudi), maka akad nikah mereka tetap
berlangsung,
mengingat
dibolehkannya
seorang
muslim
mengawini perempuan dari ahlil-kitab.11 Adapun pengertian fasakh nikah menurut pendapat Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-Sunnah adalah bahwa memfasakh nikah berarti membataalkan dan melepaskan ikatan tali perkawinan antar suami isteri.12 Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah adalah:
ﺍﻭﻳﻜﻮﻥ ﺗﺪﺍﺭﻛﺎ ﻷﻣﺮﺍﻗﺘﺮﻥ,ﺃﻣﺎﺍﻟﻔﺴﺦ ﻓﺤﻘﻴﻘﺘﻪ ﺃﻧﻪ ﻋﺎﺭﺽ ﳝﻨﻊ ﺑﻘﺎﺀ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ 13
.ﺑﺎﻻﻧﺸﺎﺀ ﺟﻌﻞ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻏﲑ ﺍﻻﺯﻡ
“Adapun fasakh (nikah) itu sebenarnya adalah dating kemudian yang menghalangi kelangsungan nikah sebagai sesuatu usulan 11
Muhammad Bagir al-Habsyi, Op. Cit, hlm, 242.
12
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz VIII, Bandung, PT. Al-Ma’arif, t.th., hlm. 124.
13
Muhammad Abu Zahrah, Al-Akhwal Asy-Syakhsiyah, Beirut: Dar Al-Fikri Al-Arabi, t.th., hlm. 324.
19 terhadap perkara yang bersama-sama dengan timbulnya nikah, sehingga dijadikan akad itu tidak lazim. Dari pengertian di atas, maka tidak berlebihan kiranya apabila penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud pembatalan nikah adalah usaha membatalkan nikah yang telah sah antara suami isteri disebabkan suatu alasan yang dibenarkan oleh syara’. 2. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan Untuk menguraikan tentang dasar hukum pembatalan nikah, disini dikemukakan ayat al-Qur'an dan Hadits-hadits yang berkenaan dengan nikah yang dibatalkan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah. Jika fasid nikah terjadi disebabkan karena melanggar ketentuanketentuan hukum agama dalam perkawinan, misalnya larangan kawin sebagaimana yang dimaksud dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa: 22-23. Surat An-Nisa: 22.
ﻣﻘﹾﺘﹰﺎ ﻭ ﺸ ﹰﺔ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻓﹶﺎ ِﺣ ﻒ ِﺇﻧ ﺳﹶﻠ ﺪ ﺎ ﹶﻗﺎﺀ ِﺇﻻﱠ ﻣﻨﺴﻦ ﺍﻟ ﻣ ﺅﻛﹸﻢ ﺎﺢ ﺁﺑ ﻧ ﹶﻜ ﺎﻮﹾﺍ ﻣﻨ ِﻜﺤﻭ ﹶﻻ ﺗ {22} ﻼ ﺳﺒِﻴ ﹰ ﺎﺀﻭﺳ “Dan janganlah kamu kawinkan wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau, sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).14 Surat An-Nisa: 23.
14
hlm. 120.
Departemen Agama RI, AL-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putera, 1989,
20
ﺥ ِ ﺕ ﺍ َﻷ ﺎﺑﻨﻭ ﻢ ﻜﹸﺎ ﹶﻻﺗﻭﺧ ﻢ ﺗ ﹸﻜﺎﻋﻤ ﻭ ﻢ ﺗ ﹸﻜﺍﺧﻮ ﻭﹶﺃ ﻢ ﺗ ﹸﻜﺎﺑﻨﻭ ﻢ ﺗ ﹸﻜﺎﻣﻬ ﻢ ﹸﺃ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﺖ ﻣ ﺮ ﺣ ﺕ ﺎﻣﻬ ﻭﹸﺃ ﻋ ِﺔ ﺎﺮﺿ ﻦ ﺍﻟ ﻣ ﺗﻜﹸﻢﺍﺧﻮ ﻭﹶﺃ ﻢ ﻨ ﹸﻜﻌ ﺿ ﺭ ﻼﺗِﻲ ﹶﺃ ﻢ ﺍﻟ ﱠ ﺗ ﹸﻜﺎﻣﻬ ﻭﹸﺃ ﺖ ِ ﺧ ُﺕ ﺍﻷ ﺎﺑﻨﻭ ﻦ ﹶﻓﺈِﻥ ﻢ ِﺑ ِﻬﺧ ﹾﻠﺘ ﺩ ﻼﺗِﻲ ﺍﻟ ﱠﺂِﺋﻜﹸﻢﻧﺴ ﻦﻮ ِﺭﻛﹸﻢ ﻣﺣﺠ ﻼﺗِﻲ ﻓِﻲ ﺍﻟ ﱠﻜﹸﻢﺎِﺋﺒﺭﺑ ﻭ ﻢ ﺂِﺋ ﹸﻜِﻧﺴ ﻢ ﻼِﺑﻜﹸ ﺻﹶ ﻦ ﹶﺃ ﻦ ِﻣ ﺍﱠﻟﺬِﻳﺎِﺋﻜﹸﻢﺑﻨﻼِﺋﻞﹸ ﹶﺃ ﺣ ﹶ ﻭ ﻢ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﺡ ﺎﺟﻨ ﻼ ﻦ ﹶﻓ ﹶ ﻢ ِﺑ ِﻬﺧ ﹾﻠﺘ ﺩ ﻮﹾﺍﺗﻜﹸﻮﻧ ﻢ ﱠﻟ {23} ﺭﺣِﻴﻤﹰﺎ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻏﻔﹸﻮﺭﹰﺍ ﻒ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﹼﻠ ﺗ ﻭﺃﹶﻥ ﺳﹶﻠ ﺪ ﺎ ﹶﻗﻴ ِﻦ ﹶﺇﻻﱠ ﻣﺘﺧ ُﻦ ﺍﻷ ﻴﺑ ﻮﹾﺍﻤﻌ ﺠ “Diharamkan atas kamu (mengawini): ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara yang perempuan. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu), isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dan perempuan yang bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.15 Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Bukhori:
،ﻴﺐﻰ ﹶﺛ ﻫ ﻭ ﺎﺟﻬ ﻭ ﺯ ﺎﺎﻫﺎ ﹶﺃﻥﱠ ﹶﺃﺑﻨﻬﻋ ﷲ ُ ﻰ ﺍ ﺿ ِ ﺭ ﻳ ِﺔﺎ ِﺭﻧﺼﺖ ِﺧﺬﹶﺍ ٍﻡ ﺍ َﻷ ِ ﻨﺎ َﺀ ِﺑﻨﺴﺧ ﻦ ﻋ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ.ﺣﻪ ﺩ ِﻧﻜﹶﺎ ﺮ ﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﹶﻓﺭﺳ ﺖ ﺗﻚ ﹶﻓﹶﺄ ﺖ ﹶﺫِﻟ ﻫ ﹶﻓ ﹶﻜ ِﺮ “Dari Khansa’ binti Khidzam al-Anshariyah ra.: Bahwa ayahnya telah mengawinkannya sedangkan ia sudah janda, lantas ia tidak menyukai pernikahan itu, kemudian ia mengadukannya kepada Rasulullah SAW maka beliau membatalkannya. (HR. Bukhari).16 15 16
Ibid., hlm. 120.
Al-Iman Zainudin Ahmad, Ringkasan Shahih Al-Bukhori, Bandung, Mizan Media Utama, t.th., hlm. 791.
21 Sabda Rasulullah SAW, riwayat dari Aisyah ra.:
ﺎ ﻓﻠﻬﺎ ﺍﳌﻬﻲ ﻬﺎ ﻓﻨﻜﺎ ﺣﻬﺎ ﺑﺎﻃﺎﻝ ﻓﺎﻥ ﺩ ﺧﻞﻤﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻧﻜﺤﺖ ﺑﻐﲑ ﺍﺫﻥ ﻭﻟﻴﺍﻳ 17
.ﳍﺎ
ﱄ ﱄ ﻣﻦ ﻻ ﻭ ﹼ ﻠﻄﺎﻥ ﻭ ﹼﲟﺎﺳﺘﺤ ﹼﻞ ﻣﻦ ﻓﺮﺟﻬﺎ ﻓﺎﻥ ﺍﺳﺘﺠﺮﻭﺍ ﻓﺎ ﻟﺴ
"Apabila seorang perempuan menikah tanpa ijin walinya maka nikahnya batal, apabila si suami telah menggaulinya, maka bagi dia bagi dia berhak menerima mahar sekedar menghalalkan farjinya, apabila walinya enggan (memberi ijin) maka wali hakim (pemerintah) lah yang menjadi wali bagi perempuan yang (dianggap) tidak memiliki wali." (Riwayat Imam empat kecuali al-Nasa'i). 3. Tujuan Pembatalan Perkawinan Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa nikah yang difasidkan maupun nikah yang dibatalkan keduanya adalah nikah yang tidak diakui kebenarannya dan kesalahannya oleh syara’. Jika yang itu terjadi, maka pernikahan tersebut harus digugurkan demi menegakkan ajaran Islam di tengah-tengah para pengikutnya. Hukum agama Islam dalam masalah perkawinan hanya mengenal adanya perkawinan yang sah dan perkawinan yang tidak sah. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan memenuhi segala rukun dan syaratnya, jika perkawinan dilaksanakan, tapi ada sebagian dari syarat atau rukun yang tidak terpenuhi maka perkawinan yang demikian dianggap tidak sah.18 Banyak syarat dan rukun perkawinan yang menyebabkan suatu perkawinan terpaksa harus dibatalkan, bila pelanggaran itu dibawa ke 17
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 83.
18
Ibid, hlm. 72.
22 Pengadilan Agama dinyatakan fasid dan terhadap pernikahan dianggap sejak semula tidak pernah terjadi.19 Maka akibatnya segala sesuatu yang dihasilkan dari pernikahan itu menjadi batal dan semuanya dianggap tidak pernah terjadi pula. Kemudian karena fasid nikah atau pembatalan pernikahan ini dapat mengakibatkan pasangan suami isteri itu terpisah untuk selamalamanya, tetapi dapat juga menjadi pasangan suami isteri lagi, artinya berpisahnya hanya untuk sementara, hal ini tergantung melihat penyebab terjadinya fasid nikah. Meskipun telah terjadi pembatalan perkawinan, akibat hukumnya juga sampai menimbulkan kerugian dan kesengsaraan bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 75 dan 76 Kompilasi Hukum Islam, dengan rumusan yang berbeda. Adapun bunyi Pasal 75 dan 76 adalah sebagai berikut: Pasal 75:
“Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a. Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. c. Pihak ketiga, sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beri’tikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan yang tetap. Pasal 76: “Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Maksud dan tujuan dari Pasal 76 kompilasi hukum Islam di atas adalah untuk melindungi kemaslahatan dan kepentingan hukum serta masa
19
hlm. 37.
Gatot Suparmono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta: Djambatan, 1998,
23 depan anak yang perkawinan ibu bapaknya dibatalkan. Anak-anak tersebut tidak dapat dibebani kesalahan akibat kekeliruan yang dilakukan kedua orang tuanya. Meskipun secara psikologis jika pembatalan perkawinan tersebut benar-benar terjadi, akan tetap membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi kepentingan anak-anak tersebut. Tetapi karena demi hukum, maka kebenaran harus ditegakkan meski kadang membawa kepahitan.20 B. Faktor-faktor yang Membatalkan Perkawinan Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas maka pada dasarnya terdapat dua unsur yang mempengaruhi terjadinya fasid atau batalnya perkawinan, kedua unsur tersebut adalah syarat dan rukun. Syarat perkawinan adalah sesuatu yang ada dalam perkawinan, hanya saja jika salah satu dari syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi maka perkawinan itu menjadi tidak sah (batal) demi hukum. Syarat sah nikah adalah hakikat dari perkawinan itu sendiri.21 Sah atau tidak sah yang dimaksud di sini adalah, terpenuhinya segala rukun dan syarat dalam suatu ibadah.
20 21
Ahmad Rofiq, Op. Cit, hlm. 152.
Dari pertimbangan perintah Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW adalah perkawinan itu diwajibkan bagi seorang lelaki yang memiliki kekayaan cukup untuk membayar mahar, memberi nafkah kepada isteri dan anak-anaknya, sehat jasmani dan khawatir kalau tidak menikah justru akan menimbulkan perbuatan zina. Pernikahan juga diwajibkan bagi perempuan yang tidak memiliki kekayaan apapun untuk membiayai hidupnya. Dan dikhawatirkan kebutuhan seksnya akan menjerumuskannya ke dalam perzinaan (A. Rahman I, Doi, dalam bukunya “Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 155-156). Selain itu K. Wanjik Saleh, dalam bukunya “Hukum Perkawinan Indonesia”, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976, hlm. 16.: menyebutkan : bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya yaitu ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
24 Menurut istilah ushul fiqh, kata sah digunakan kepada suatu ibadah atau akad yang dilaksanakan dengan melengkapi syarat dan rukunnya. Sebagaimana makna asal dari kata sah, yaitu sesuatu dalam kondisi baik dan tidak cacat. Ibadah shalat misalnya, dikatakan sah bilamana dilaksanakan secara lengkap syarat dan rukunnya. Demikian pula akad perkawinan, dapat dikatakan sah apabila melengkapi syarat dan rukun perkawinan itu sendiri. Sedangkan tidak sah (fasid) atau batal, merupakan lawan dari sah, yang berarti tidak memenuhi/melengkapi syarat dan rukun suatu ibadah atau akad.22 Jadi, tanpa adanya salah satu rukunnya maka perkawinan itu tidak mungkin dapat dilaksanakan, hal ini berarti jika suatu perkawinan dilakukan tanpa unsur pokoknya yaitu syarat dan rukun perkawinan maka akan batal menurut hukum, karena rukun merupakan pokok, sedangkan syarat merupakan pelengkap dalam suatu perbuatan hukum. Dalam masalah ini para ahli ushul fiqh telah merumuskan kaidah:
ﻣﺎﺗﺸﺘﺮﻁ ﻓﻴﻪ ﻋﺪﺓ ﺷﺮﺍﺋﻂ ﻳﻔﺘﻔﻰ ﺑﺎﻧﺘﻔﺎﺀ ﺍﺣﺪﺍﻫﺎ “Apa yang disyaratkan dengan beberapa syarat, salah satu syarat tidak ada, maka tidak ada pula sesuatu itu.”23
ﻣﺎﻻ ﻳﺘﻢ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﺇﻻ ﺑﻪ ﻓﻬﻮﻭﺍﺟﺐ “Sesuatu yang menjadikan kewajiban sempurna karenanya adalah wajib adanya.”24 22
Satria Effendi M. Zein, “Analisis Fiqh”, dalam Jurnal Mimbar Hukum; Aktualisasi Hukum Islam, No. 31 tahun VIII 1997, Jakarta: Al Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, hlm. 121-122. 23
Muchlis Usman, Kaidah; Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. 3, 1999, hlm. 200. 24
Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung, al-Ma’arif, Cet. 1, 1986, hlm. 344.
25 Rukun dan syarat perkawinan telah ditentukan menurut hukum syara’ di mana seorang mukallaf tidak boleh menggantungkan suatu akad perkawinan kepada rukun dan syarat yang dia kehendaki. Adapun rukun dan syarat perkawinan menurut kebanyakan para ulama’ diantaranya adalah sebagai berikut: a. Bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan duka sama suka tanpa adanya akad.25 b. Syarat bagi kedua belah pihak yang melakukan nikah adalah baligh dan berakal, kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai, terlepas dari keadaankeadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik karena hubungan keluarga maupun hubungan yang lainnya, harus pasti dan tentu orangnya.26 c. Saksi minimal terdiri dari dua orang laki-laki.27 Ada beberapa hal yang membuat akad nikah menjadi batal, bilamana salah satu dari beberapa hal di bawah ini terdapat pada suatu pernikahan, akad nikah itu dianggap batal. a. Nikah syigar. b. Nikah mut'ah. Yaitu nikah kontrak sementara waktu sampai waktu yang ditentukan menurut kesepakatan. 25
Muh. Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, Jakarta, Lentera, 2004, hlm. 309.
26
Ibid, hlm. 315.
27
Ibid, hlm. 321.
26 c. Nikah mukhrim. Yaitu pernikahan yang dilaksanakan dimana dua calon suami isteri atau salah satunya sedang dalam keadaan ihram baik untuk melaksanakan haji maupun untuk melaksanakan umrah. d. Nikah dua orang laki-laki dengan seorang perempuan yang dinikahkan dengan dua orang wali yang berjauhan tempat. e. Nikah wanita yang sedang beriddah. f. Nikah laki-laki muslim dengan wanita non Islam. g. Nikah wanita muslimah dengan laki-laki non muslim. Selain itu dalam Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. Seorang suami melakukan poligami tanpa seijin Pengadilan Agama. b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri orang lain yang mafqud. c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain. d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU. No. 2 tahun 1974. e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak. f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.28
28
Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991, op. cit., hlm. 40.
27
C. Pihak yang Berhak Membatalkan Perkawinan Mengenai orang-orang atau pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri. b. Suami atau isteri. c. Pejabat yang berwenang mengawasi jalannya perkawinan menurut undang-undang. d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.29 Pada Pasal 74 ayat 1 kompilasi hukum Islam menentukan bahwa pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan dan permohonan pembatalan perkawinan itu diajukan oleh para pihak yang mengajukan pada Pengadilan daerah yang hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami isteri.30 Permohonan
pembatalan
perkawinan
dibuat
dalam
bentuk
permohonan yang bersifat kontensius (sengketa).31 Sehingga dapat lebih jelas dalam melangsungkan pembatalan perkawinan yaitu sama halnya dengan cara gugatan perceraian yang diatur
29 30 31
Ibid, hlm. 41. Ibid. Ahrum Khoirudin, Pengadilan Agama, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 14.
28 secara terperinci dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Sepanjang hal ini dapat diterapkan dalam hubungannya dengan pembatalan perkawinan itu. Seperti halnya perceraian, fasakh juga putusnya hubungan perkawinan. Secara harfiyah fasakh berarti batalnya sebuah perjanjian atau menarik kembali suatu penawaran.32 Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusakkan atas salah satu pihak oleh hakim Pengadilan agama. Tuntutan pemutusan perkawinan disebabkan karena salah satu pihak memenuhi cela pada pihak lain yang belum diketahui sebelum berlangsung perkawinan. Perkawinan yang sudah berlangsung dianggap sah dengan segala akibat hukumnya bubarnya hubungan perkawinan dimulai sejak difasakhkan perkawinan itu. Dasar dari putusnya perkawinan dalam bentuk fasakh berdasar firman Allah SWT Surat An-Nisa’: 35 dan Surat Al-Baqarah: 231.
ﺍﻳﺮِﻳﺪ ﺎ ﺇِﻥﻫِﻠﻬ ﻦ ﹶﺃ ﻣ ﺣﻜﹶﻤﹰﺎ ﻭ ﻫِﻠ ِﻪ ﻦ ﹶﺃ ﻣ ﺣﻜﹶﻤﹰﺎ ﻌﺜﹸﻮﹾﺍ ﺑﺎ ﻓﹶﺎﻴِﻨ ِﻬﻤﺑ ﻕ ﻢ ِﺷﻘﹶﺎ ﺘﻭِﺇ ﹾﻥ ِﺧ ﹾﻔ {35} ﺧﺒِﲑﹰﺍ ﻋﻠِﻴﻤﹰﺎ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﺎ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﹼﻠﻬﻤ ﻨﻴﺑ ﻪ ﻮﱢﻓ ِﻖ ﺍﻟﻠﹼ ﺻﻼﹶﺣﹰﺎ ﻳ ِﺇ “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa: 35).33
32
A. Rahman I. Doi, Op. Cit., hlm. 224.
33
Departemen Agama RI, AL-Qur’an dan Terjemahnya, Op. Cit., hlm. 123.
29
ﻭ ﹶﻻ ﻑ ٍ ﻭﻌﺮ ﻤ ِﺑﻫﻦ ﻮﺮﺣ ﺳ ﻭ ﻑ ﹶﺃ ٍ ﻭﻌﺮ ﻤ ﻦ ِﺑ ﻫ ﺴﻜﹸﻮ ِ ﻣ ﻦ ﹶﻓﹶﺄ ﺟﹶﻠﻬ ﻦ ﹶﺃ ﻐ ﺒﹶﻠﺎﺀ ﹶﻓﻨﺴ ﺍﻟﻢﻭِﺇﺫﹶﺍ ﹶﻃﻠﱠ ﹾﻘﺘ ﺕ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ِ ﺎﻭﹾﺍ ﺁﻳ ﺨﺬﹸ ِ ﺘﺗ ﻭ ﹶﻻ ﺴﻪ ﻧ ﹾﻔ ﻢ ﺪ ﹶﻇﹶﻠ ﻚ ﹶﻓ ﹶﻘ ﻌ ﹾﻞ ﹶﺫِﻟ ﻳ ﹾﻔ ﻦﻭﻣ ﻭﹾﺍﺘﺪﻌ ﺘﺍﺭﹰﺍ ﱠﻟﺿﺮ ِ ﻫﻦ ﺴﻜﹸﻮ ِ ﻤ ﺗ ﻳ ِﻌ ﹸﻈﻜﹸﻢ ﻤ ِﺔ ﺤ ﹾﻜ ِ ﺍﹾﻟﺏ ﻭ ِ ﺎﻦ ﺍﹾﻟ ِﻜﺘ ﻣ ﻢ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﺰ ﹶﻝ ﺎ ﺃﹶﻧﻭﻣ ﻢ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﺖ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ﻤ ﻌ ﻭﹾﺍ ِﻧﺍ ﹾﺫ ﹸﻛﺮﻭﹰﺍ ﻭﻫﺰ {231} ﻢ ﻋﻠِﻴ ﻲ ٍﺀ ﺷ ﻪ ِﺑ ﹸﻜﻞﱢ ﻮﹾﺍ ﹶﺃﻥﱠ ﺍﻟﹼﻠﻋﹶﻠﻤ ﺍﻪ ﻭ ﺗﻘﹸﻮﹾﺍ ﺍﻟﹼﻠﺍِﺑ ِﻪ ﻭ “Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan Al Hikmah (As Sunah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 231).34 Isteri yang diceraikan Pengadilan dengan fasakh tidak dapat dirujuk oleh suaminya, jadi jika keduanya ingin kembali hidup bersuami isteri harus dengan perkawinan baru yaitu melaksanakan akad nikah baru.35
34
Ibid, hlm. 56.
35
Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm. 125.