BAB II TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN DAN PERJODOHAN
A. Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan dan Dasar Hukum Perkawinan Istilah “Nikah” berasal dari bahasa Arab; sedangkan menurut istilah bahasa Indonesia adalah “Perkawinan”. Dewasa ini kerap dibedakan antara “Nikah” dengan “Kawin”. Akan tetapi pada prinsipnya antara “Pernikahan” dan “Perkawinan” hanya berbeda di dalam menarik akar kata. Apabila ditinjau dari segi hukum nampak jelas bahwa pernikahan atau perkawinan adalah akad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri dan di halalkanya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni, keadaan ini lazim disebut keluarga “Sakinah”.1 Sedangan pengertian perkawinan menurut ketentuan dalam pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pengertian perkawinan ialah: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.2
1 2
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994) hlm 36. Tim Redaksi Fokusmedia, Undang-undang Perkawinan (Jakarta: Fokusmedia 2005)
hlm 1
20
21
Islam sangat menyukai perkawinan, perkawinan itu dijadikan sebagai salah satu Ayat-ayat dari kebesaran Allah. Hal ini sesuai dengan Al-Qur’a n Surat Ar-Rum Ayat 21.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda bagi kaum yang berfikir”. (QS.Ar-Rum;21). Keberadaan Al-Qur’an Surat Ar-Rum Ayat 21 tersebut adalah merupakan salah satu sumber hukum dari perkawinan, atas dasar hukum perkawinan itu menurut asalnya adalah Sunnah menurut Jumhur ulama, hal ini berlaku secara umum. Namun karena ada tujuan mulia yang hendak dicapai dari perkawinan itu dan yang melakukan perkawinan itu berbeda pula kondisinya, serta situasi yang melingkupi suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci Jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu sebagaimana berukut: a. Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan itelah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan.
22
b. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas kawin, belum berkeinginan untuk kawin, sedangkan perlengkapan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada. c. Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin dan khawatir akan terjerumus ke tempat maksiat kalau tidak kawin. d. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan perkawinan atau yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara’ dan meyakini perkawinan itu akan merusak kehidupan pasandgannya. e. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk
kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan
Kemadharatan apa-apa kepada siapapun.3 2. Rukun dan Syarat Perkawinan Islam telah mendapatkan berbagai syarat maupun rukun yang harus dipenuhi dalam sebuah perkawinan. Keberadaan rukun akan berimplikasi pada keabsahan perkawinan yang dilangsungkan. Sedangkan persyaratan yang di maksud disini adalah syarat-syarat yang berkaitan dengan rukunrukun perkawinan yaitu syarat bagi calon mempelai, wali, saksi dan ijab qabul. Syarat dimaksud bersig rat dalam Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang dirumuskan sebagai berikut4:
3 4
Amir Syarifuddin, Garis-garis Fiqih (Bogor: Kencana 2003) hlm 80. Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika 2006) hlm 12.
23
a. Syarat-syarat calon mempelai pria adalah: 1) Beragama Islam 2) Laki-laki 3) Jelas orangnya 4) Dapat memberikan persetujuan 5) Tidak terdapat hubungan perkawinan. b. Syarat-syarat calon mempelai wanita adalah: 1) Beragama Islam 2) Perempuan 3) Jelas orangnya 4) Dapat dimintai persetujuan 5) Tidak terdapat hubungan perkawinan. c. Syarat-syarat wali nikah adalah: 1) Laki-laki 2) Dewasa 3) Pempunyai hak perkawinan 4) Tidak terdapat halangan perkawinan. d. Syarat-syarat saksi nikah adalah: 1) Minimal 2 orang saksi 2) Hadir dalam ijab qabul 3) Dapat mengerti maksud akado 4) Beragama Islam 5) Dewasa.
24
e. Syarat-syarat ijab qabul adalah: 1) Adanya pernyataan perkawinan dari wali 2) Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai 3) Memahami kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari katakata tersebut 4) Antara ijab dan qabul bersambungan 5) Antara ijab dan qabul jelas maksuldnya 6) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umroh 7) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal 4 orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan 2 orang saksi. Selain beberapa persyaratan diatas, calon mempelaipun dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia menentukan salah satu syarat yaitu persetujuan calon mempelai, hal ini berarti calon mempelai sudah menyetujui yang akan menjadi pasangan (suami istri), baik dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki yang akan menjalani ikatan perkawinan, sehingga mereka akan menjadi senang dalam menjalankan hak dan kewajibannya sebagai suami dan istri. Persetujuan calon mempelai merupakan hasil dari peminangan (Khitbah) dan dapat diketahui sesudah petuagas Pegawai Pencatat Nikah meminta calon mempelai untuk menanda tangani blanko sebagai bukti persetujuan sebelum dilaksanakannya akad nikah.
25
Selain
itu
pasal
16
ayat
(2)
Kompilasi
Hukum
Islam
mengungkapkan bahwa bentuk persetujuan calon wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat, tetapi dapat juga berupa diam, dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Sebagai bukti adanya persetujuan mempelai, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan kepada mereka, seperti yang di ungkapkan dalam Pasal 17 Kompilasi Hukum Islam: 1. Sebelum melangsungkan pernikahan, pegawai pencatat nikah harus menanyakan terlebih dahulu persetujuan mempelai dihadapan dua saksi nikah. 2. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah satu seorang calon mempelai maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan 3. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu, persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti5. Ketentuan diatas, dapat dipahami sebagai antitesis terhadap pelaksanaan perkawinan yang sifatnya di paksakan yaitu pihak wali memaksakan kehendaknya untuk mengawinkan perempuan yang berada dalam perwaliannya dengan laki-laki yang ia sukai, maupun laki-laki tersebut tidak di sukai oleh calon mempelai perempuan. Selain itu juga diatur mengenai umur calon mempelai.
5
hlm 75
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000)
26
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan Belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun. Ketentuan batas umur seperti diungkapkan dalam Pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Hal ini sejalan dengan penentuan Undang-undang perkawinan, bahwa calon suami atau istri telah matang jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan sehat. B. Perjodohan 1. Pengertian Perjodohan Perjodohan merupakan jenis ikatan pernikahan dimana pengantin pria dan wanitanya dipilih oleh pihak ketiga dan bukan oleh satu sama lain.6 Untuk menjelaskan persoalan memilih pasangan (jodoh), perlu terdapat pengertian-pengertian yang menjelaskan tentang pengertian Ijbar. Dalam bahasa arab yang telah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia dengan paksa atau memaksa atau yang memilih makna konotasi yang sama. Kata-kata itu antara lain adalah Ikrah dan Taklif. Ikrah adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu dengan suatu ancaman yang membahayakan terhadap jiwa atau tubuhnya, tanpa dia sendiri mampu melawannya. Sementara bagi orang yang dipaksa 6
Depdikbud, “Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke 4”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012, hlm 586.
27
perbuatan tersebut sebenarnya bertentangan dengan kehendak hati nuraninya atau pikirannya. Atau kata paksa dapat diartikan sebagai perbuatan (seperti tekanan, desakan, dan sebagainya) yang mengharuskan (mau tidak mau atau dapat tidak dapat harus).7 Misalnya sesungguhnya bukan karena cinta melainkan karena menjalankan, melakukan tekanan (desakan) keras. Definisi lain paksaan Ikrah menurut bahasa berarti membawa manusia kepada urusan yang tidak diinginkan secara wajar atau syara’. Orang yang dipaksa dinamakan Mukrah. Menurut syara’ paksaan itu adalah membawa orang lain kepada apa yang tidak disenanginya dengan ancaman atau hendak dibunuh, dianiaya, dipenjara, dirusak hartanya, atau dilukai.8 Sedangkan Taklif adalah suatu paksaan terhadap seseorang untuk mengerjakan sesuatu, akan tetapi pekerjaannya sebenarnya merupakan konsekuensi logis belaka dari penerimanya atas keyakinan. Keduanya memiliki makna yang sama yaitu paksaan atau memaksa atau dibebankan atau diwajibkan untuk mengerjakan sesuatu.9 Setelah diuraikan secara umum tentang pengertian perjodohan dan pengertian paksa, maka penulis dapat menarik kesimpulan dari dua arti tersebut untuk menjadi sebuah pengertian yaitu bahwa perjodohan paksa
7
Depdikbud, “Kamus Besar Bahasa Indonesia ...hlm 100.
8
Sayid Sabiq , Fiqh Sunnah jilid VII alih bahasa Muhammad Thalib, (Bandung: PT AlMa’arif 1981),hlm 94. 9
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta:LkiS 2001) hlm 78.
28
ialah perjanjian (ikatan) antara dua pihak calon mempelai suami dan istri karena ada faktor yang mendesak, menuntut, dan mengharuskan adanya perbuatan (dalam melaksanakan pernikahan) tersebut serta tidak ada kemauan murni dari kedua calon mempelai itu dimana tidak ada kekuatan untuk menolaknya. 2. Macam-macam Perjodohan a. Perjodohan Tanpa Paksaan Perkawinan yang kokoh adalah perkawinan yang dimulai dengan cinta. Rumah tangga beserta cinta yang mengikat tersebut tidaklah datang dengan sendirinya. Dia harus dibangun oleh kedua patner yang menjadi teman hidup. Menyala atau tidak menyalanya api cinta, kuat dan lemahnya cinta, tergantung dari niat dan kemauan kedua manusia yang merupakan tiang rumah tangga. Waktu yang diperlukan untuk membangun cinta pada setiap keluarga pun berlainan, ada yang cepat, ada yang lambat, dan ada yang tidak mencapainya selama hidup. Guna membangun rumah tangga yang baik, ada beberapa faktor yang harus diperhitungkan dalam memilih calon, yaitu: a. Faktor umur. b. Faktor pendidikan dan Kafaah (kesepadanan). c. Faktor agama. d. Faktor keturunan. e. Faktor kesukaan.
29
Faktor-faktor itulah yang menyebabkan banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih calon istri maupun calon suami. Keluarga kedua belah pihak harus saling mengetahui bobot, bibit dan bebet calon istri maupun calon suami. Perjodohan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dari pihak laki-laki yang menjodohkan maupun sebaliknya. Berikut ini adalah macam-macam perjodohan dari pihak perempuan yaitu: 1. Arranged marriage yaitu perjodohan oleh orang tua. Dalam kasus ini, ada dua tipe. Pertama, perjodohan yang dilakukan oleh orang tua, tanpa diminta persetujuan sebelumnya oleh pengantin perempuan atau laki-laki. Kedua orang tua pengantin perempuan dengan calon pengantin laki-laki merencanakan perkawinan, tanpa persetujuan si gadis terlebih dahulu dan inilah yang mengarah pada tradisi perjodohan paksa. 2. Mixed marriage yakni anak gadis yang hendak kawin mencari sendiri jodohnya, tetapi keputusan untuk terlaksananya perkawinan diserahkan kepada orang tua. 3. Voluntary merriage yakni anak yang hendak kawin mencari sendiri jodohnya, orang tua tinggal merestui. Artinya anak perempuan mempunyai kemampuan untuk memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri10.
10
Miftahul Huda , Kawin Paksa Ijbar Nikah dan Hak-hak Reproduksi Perempuan (Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press 2009), hlm 73
30
Selain itu, ada berbagai macam cara bagi seorang pria dalam memilih calon wanita sebagai pendamping hidupnya, yaitu: a. Pria mencari sendiri calon istrinya. b. Pria dicarikan calon istri oleh orang tuanya. c. Pria mencari sendiri calon istrinya yang sesuai, kemudian dirundingkan dengan orang tuanya.11 b. Perjodohan Paksa Perjodohan paksa adalah tindakan orang tua atau wali yang memaksa anaknya untuk menikah dengan pasangan pilihannya tanpa ada persetujuan atau kerelaan anak atau jenis ikatan pernikahan dimana pengantin pria dan wanitanya dipilih oleh pihak ketiga dan bukan oleh satu sama lain.12 Sistem perjodohan paksa memang masih sangat tersohor dalam kamus perkawinan di masyarakat Islam Indonesia. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perjodohan paksa diantaranya: -
Pilihan yang dicarikan atau diberikan orang tua, kerabat, pemilihan jodoh macam kedua ini sudah termasuk semi perjodohan paksa.
-
Pilihan perjodohan paksa karena kecelakaan (insiden) artinya mereka yang terpaksa nikah karena terlanjur melakukan hubungan suami istri lebih dahulu yang akhirnya berbuntut kehamilan diluar nikah.
11
Ali Akbar, Merawat Cinta Kasih (Jakarta: Pustaka antar PT 1991) hlm 19.
12
Depdikbud, “Kamus Besar Bahasa Indonesia ...hlm 587.
31
-
Perjodohan paksa murni atas kehendak orang tua, tanpa melibatkan persetujuan anak terlebih dahulu dalam hal ini anak tidak bisa ikut andil memilih dan menentukan dengan siapa seorang anak akan menikah. Perjodohan paksa merupakan kekerasan terhadap anak, khususnya
pada aspek mental dan psikis, memaksakan anak untuk menjalani hidup dengan pasangan yang sama sekali bukan pilihannya tentu berisiko pada kondisi psikologis sianak, meskipun perjodohan paksa belum tentu menimbulkan dampak negatif, ditentukan bahwa perjodohan paksa menimbulkan beberapa efek negatif yaitu : a.
kegoncangan spikologis yang dialami pasangan suami istri belia tersebut. baik laki-laki maupun perempuan dalam hal ini sama-sama berpotensi mengalami tekanan kejiwaan akibat perjodohan paksa. Akan tetapi pihak perempuan lebih rentan karena ditengah kultur keluarga yang patriarki. Perempuan relatif lebih tidak memilih pilihan. Seringkali perempuan merasa tidak berdaya menghadapi paksaan dan tekanan oleh lingkungan keluarganya. Termasuk dalam menentukan pasangan hidup.
b.
Perjodohan paksa menjadi penyebab semakin tingginya angka perceraian dini. Seperti pernah di singgung. Bahwa merajut mahligai rumah tangga tidak sekedar
32
memerlukan kesiapan ekonomi, walaupun itu menjadi pondasi yang penting, tapi kesiapan mental dan kedewasaan berfikir dan sikap merupakan elemen yang lebih penting dalam menjalani hidup berumah tangga dan berkelimang harta tidak menjadi jaminan utama sebuah keluarga akan bahagia. dalam beberapa kasus harta justru menjadi pemicu sebuah keluarga berceraiberai. Begitu halnya dengan pernikahan yang dipaksakan terhadap anak. Kedewasaan berfikir, bersikap serta kondisi mental yang belum matang berpotensi menjadi penyebab ketidak harmonisan pola hubungan dalam berkeluarga. Hal
ini
bertentangan dengan
tujuan
membangun rumah tangga sakinah, mawaddah wa rohmah, penuh cinta kasih. c.
Tidak ada rasa cinta, penyebab ini sangat berbahaya sekali bagi kedua pasangan yang dijodohkan karena tidak didasari rasa cinta sebelum pernikahan apalagi setelah ada ikatan pernikahan, maka kejadian seperti ini untuk orang yang dijodohkan akan menimbulkan kebencian diantara kedua pasangan tersebut dan susah untuk menyatukan diri keduanya.
d.
Kehilangan semangat hidup, orang yang dijodohkan dengan dasar tidak saling mencintai, maka akan
33
menimbulkan tidak adanya gairah untuk menjalani hidup. Sehingga akan menimbulkan perekonomian lemah karena malas. Jika sudah seperti ini maka orang tersebut menjadi tempramental. e.
Tidak peduli dengan rumah tangga, jika awalnya dijodohkan maka rasa sayang terhadap keluarga jelas tidak ada. Yang ada hanya acuhan begitu saja. Suami atau istri yang berlatarbelakang dijodohkan maka akan menimbulkan kurangnya perhatian terhadap keluarga bahkan terhadap anak nya sendiri.
f.
Pemicu
perselingkuhan,
bagi
seorang
pasangan
pernikahan yang dijodohkan yang paling bahaya adalah adanya perselingkuhan dengan pasangan yang benarbenar dicintainya dengan status saling mencintai tanpa harus berpura-pura.13 Dalam perjodohan paksa dikenal adanya wali mujbir. Wali mujbir adalah wali seorang anak yang mempunyai keturunan kenasaban dari garis ayah ke atas dan wali mujbir tersebut yang punya kuasa atau otoritas menikahkan anak gadisnya meskipun anak gadisnya menolak, meskipun demikian wali mujbir ini dibatasi dengan beberapa syarat: 1. Mempelai laki-laki itu harus sekufu‟ (setingkat) dengan mempelai perempuan. 13
www.elsam.or.id, Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. 02-04-2015.
34
2. Mempelai laki-laki harus membayar maskawin dengan tunai. 3. Tidak ada permusuhan antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. 4. Tidak ada permusuhan yang nyata antara perempuan yang dinikahkan dengan wali yang menikahkan14. Istilah wali mujbir dimaknai sebagai orang tua yang memaksa anaknya untuk kawin atau menikah dengan pilihannya, Bukan pilihan anaknya. Oleh karena itu dalam tradisi yang ada dalam masyarakat kita dan masih berlaku sampai sekarang, kemudian terkenal dengan istilah kawin paksa, satu istilah yang memiliki konotasi tentu saja tidak benar.15 Sistem perjodohan paksa yang masih berlaku disebagian dunia Islam membawa dampak yang cukup jelas dengan konsep wali mujbir yang berkembang dalam wacana hukum Islam, praktek ini sepintas mendapatkan pembenaran dan legitimasi agama.
3. Dasar Hukum Larangan Perjodohan Paksa
Dasar hukum perjodohan paksa jelas bahwa hal ini sangat dilarang oleh agama, karena setiap gadis maupun janda punya hak atas dirinya. Oleh karena itu mereka berhak dimintai persetujuannya. Hal ini sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Nabi bersabda:
14 15
Miftahul Huda, Kawin Paksa Ijbar ...hlm 32. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi ...hlm 80.
35
“Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta persetujuannya terlebih dahulu, dan tidak boleh seorang janda dinikahkan sehingga ia diajak musyawarah.” Lalu ada yang berkata: “Sesungguhnya gadis itu bersifat pemalu”, Beliau menjawab, “persetujuannya ialah jika ia diam.”( HR. Jama’ah)16
Dasar hukum yang lain untuk perjodohan paksa adalah hadis Nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Nasa’i dan Ahmad.
“Ya Rasullah, saya perkenankan apa yang dilakukan ayah itu, hanya saja saya ingin agar kaum wanita tahu bahwa bapak-bapak tidak mempunyai kekuasaan terhadap urusan ini”.17
“...yang aku kehendaki yaitu memberi tahu kepada kaum wanita bahwa bapak-bapak itu tidak mempunyai apa-apa dalam urusan ini (perkawinan)”. (HR. Ibn Majah, Nasa’i dan Ahmad)18 Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa suatu pernikahan yang terjadi tanpa adanya kesanggupan maupun persetujuan
16
Asy. Syaukani, Terjemahan Nailul Authar, Jilid V alih bahasa A. Qadir Hassan, dkk (Surabaya:PT Bima Ilmu 1984) hlm 2162. 17
Abu Abdur Rahman Ahmad An Nasa’iy, Terjemah Sunan An Nasa‟iy, Jilid III, Alih Bahasa Bey Arifin, Yunus Ali al Muhdhor, Ummu Maslamah Rayer (Semarang: CV Asy Syifa, 1993) hlm 482. 18
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid VII, Alih Bahasa Muhammad Thalib (Bandung: PT Al Ma’arif, 1981) hlm 17.
36
dari pihak-pihak yang berkepentingan, maka pernikahanya tidak dapat dilangsungkan19. 4. Asas Persetujuan dalam Perkawinan. Memberi
persetujuan
pernikahan didalam
sebagai
syarat
adanya
kesepakatan
Islam hanya akan dilaksanakan berdasarkan
persetujuan secara suka rela tanpa adanya paksaan dari salah satu pihak, Rasulullah saw bersabda: Yang artinya: “Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta persetujuannya terlebih dahulu, dan tidak boleh seorang janda dinikahkan sehingga ia diajak musyawarah.” Lalu ada yang berkata: “Sesungguhnya gadis itu bersifat pemalu”, Beliau menjawab, “persetujuannya ialah jika ia diam.”( HR. Jama’ah)20 Seorang gadis mendatangi Nabi saw dan memberitahukan bahwa ayahnya telah menikahkanya dengan anak pamannya. Padahal ia tidak menyukainya, karena itu Nabi saw menyarankan masalah ini kepadanya, ia pun bersabda: “Sebenarnya saya mengajarkan kepada kaum perempuan bahwa seorang ayah tidak boleh memaksakan kehendaknya dalam hal ini21.” Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974 juga menentukan salah satu syarat perkawinan adalah persetujuan kedua calon mempelai, pasal 6 ayat 1 Undang-undang perkawinan berbunyi “ Perkawinan harus
19
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 16
20
Asy. Syaukani, Terjemahan Nailul Authar, Jilid V ...hlm 2162.
21
Abu Abdur Rahman Ahmad An Nasa’iy, Terjemah Sunan An Nasa‟iy,...hlm 482.
37
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai22”. Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa perkawinan mempunyai maksud agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua mempelai yang telah melaksanakan pernikahan tersebut tanpa adanya keterpaksaan dari pihak manapun. Ketentuan di atas sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku di Indonesia yang mewajibkan persetujuan calon mempelai sebagai pengukuhan adanya persetujuan calon mempelai, Pegawai Pencatat Nikah (PPN) harus menanyakan kepada mereka sebagaimana diatur dalam pasal 17 KHI : 4. Sebelum melangsungkan pernikahan, pegawai pencatat nikah harus menanyakan terlebih dahulu persetujuan mempelai dihadapan dua saksi nikah. 5. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah satu seorang calon mempelai maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan 6. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu, persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti23. Asas persetujuan dalam pernikahan yang diungkapkan oleh hukum Islam di Indonesia didasarkan pada hukum islam yang menyatakan bahwa dalam suatu pernikahan terdapat pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu
22
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 6 ayat (1).
23
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia...hlm 75
38
pihak-pihak yang berhak akan perkawinan tersebut, dalam asas persetujuan pernikahan Islam terdapat hak beberapa pihak yaitu: a. Hak-hak Allah b. Hak-hak orang yang akan menikah c. Hak wali Yang dimaksud hak Allah ialah dalam melaksanakan pernikahan itu harus diindahkan ketentuan Allah, seperti kesanggupan dari orangorang yang akan nikah dengan seseorang yang dilarang nikah dengannya dan sebagainya. Apabila hak Allah ini tidak diindahkan maka pernikahanya menjadi batal.24 Disamping itu ada hak-hak orang yang akan nikah dan hak wali, mengenai hak-hak orang yang akan nikah dan hak wali ini tersebut dalam Hadis: Artinya: Dari Ibnu Abbas, r.a bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan kepada gadis (perawan dimintai persetujuannya) dan persetujuannya adalah diam (HR Bukhori dan Muslim).
Hadis diatas menerangkan bahwa orang-orang yang akan nikah baik laki-laki ataupun perempuan mempunyai hak atas pernikahanya, begitu pula walinya, akan tetapi orang yang akan nikah lebih besar haknya dibanding dengan hak walinya dalam pernikahannya itu, wali tidak boleh 24
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang 1993), hlm 73.
39
menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang tidak disukai, wali berkewajiban meminta pendapat anak perempuannya mengenai laki-laki yang akan dijodohkan, apakah ia mau menerima laki-laki itu atau menolaknya25. Seseorang tidak dapat dipaksa untuk melaksanakan haknya atau tidak melaksanakan haknya selama tindakannya itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan haknya. Hak Ijbar (memaksa) dalam Islam dimiliki oleh wali mujbir, namun bukan berarti wali mujbir berhak menjodohkan anaknya tanpa memberikan persetujuannya kepada anaknya, didalam Islam, hak Ijbar dimaknai sebagai bimbingan atau arahan seorang wali kepada putrinya untuk menikah dengan pasangan yang sesuai, adanya keikhlasan, kerelaan dan izin dari seorang anak gadis adalah hal yang tidak bisa diabaikan, sebab seorang anaklah yang akan menjalani kehidupan rumah tangga dan waktunya rentang lama dan bukan untuk waktu yang sementara. Selain adanya persetujuan antara kedua belah pihak, asas-asas dalam perkawinan pun sangat perlu diperhatikan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditentukan prinsip-prinsip dan Asas-asas pernikahan yang meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan yang antisipasif terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. Karena Kompilasi dalam banyak hal merupakan penjelasan Undang-undang perkawinan,
25
Abu Abdur Rahman Ahmad An Nasa’iy, Terjemah Sunan An Nasa‟iy,...hlm 482.
40
maka Asas-asas dan Prinsip-prinsipnya dikemukakan dengan mengacu pada Undang-undang tersebut. Ada enam Asas dalam Undang-undang Perkawinan itu adalah26: a. Asas perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu, dan mencapai kesejahteraan spiritul dan material. b. Asas legalitas yaitu bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Dan disamping masing-masing perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-
undangan yang berlaku. c. Asas monogami yaitu perkawinan antara seorang suami dengan istri, hal ini bukan berarti bahwa perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri ditutup sama sekali kemungkinannya, perkawinan seorang suami dengan istri lebih dari seorang masih dimungkinkan, apabila dikehendaki yang bersangkutan yang mengizinkan, meskipun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri dikehendaki oleh yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. d. Prinsip selanjutnya adalah prinsip kedewasaan ialah bahwa calon suami istri itu harus matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat melangsungkan dan mewujudkan tujuan 26
hlm 35
Arso Sosroatmojo, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
41
perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian serta mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Apabila diingat bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan masalah kependudukan, yang merupakan batas umur yang merupakan masalah nasional kita, maka Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan menentukan batas umur kawin untuk laki-laki dan perempuan, untuk laki-laki batas umur untuk kawin 19 tahun dan untuk perempuan 16 tahun. e. Asas mempersulit terjadinya perceraian telah diterangkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal, sejahtera, maka Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974 tentang perkawinan menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. perceraian hanya terjadi apabila dipenuhinya alasan-alasan tertentu yang terdapat dalam
perundang-undangan
serta
dilakukan
didepan
pengadilan,
sedangkan sidang pengadilan sendiri memberikan nasihat agar suatu perceraian dapat digagalkan sehingga dapat terlaksana tujuan perkawinan yang bahagia, kekal, sejahtera, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. f.
Asas keseimbangan, maksudnya adalah hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Sehingga dengan demikian maka segala sesuatunya dalam keluarga dapat dirundingkan.
42
5. Indikasi Kerelaan dalam Perkawinan. a. Persetujuan atau kerelaan Anak Perempuan dalam Menentukan Pasangan Hidup. Hak untuk memilih merupakan salah satu hak yang dimiliki seseorang disamping hak-haknya yang lain, manusia diberi hak memilih untuk menetapkan sesuatu yang berhubungan dirinya, cita-cita dan agamanya. Dengan begitu diharapkan seseorang akan mencapai tujuan hidupnya.27 Demikian pula dalam perkawinan, manusia mempunyai hak memilih untuk
urusan
pasangan
hidupnya.
terdapat
pihak-pihak
yang
berkepentingan dalam urusan perkawinan dan berharap perkawinan itu mencapai tujuannya. Pihak-pihak yang berkepentingan itu ialah caloncalon mempelai yang mukallaf, wali dan tuan. Namun calon-calon mempelai merupakan pihak yang mempunyai hak paling besar khususnya calon mempelai wanita dibanding pihak yang lain.28 Dalam hal jodoh, memilih seorang pria bagi seorang wanita sama dengan memilih seorang wanita bagi seorang pria, tidak ada seorang pun yang berhak memaksa wanita untuk menerima pria yang tidak dicintainya. Bahkan suatu perkawinan menjadi batal bila tidak didasarkan pada keingginan dan pilihan seorang gadis. Ini merupakan bukti konkret bahwa Islam memberikan hak penuh kepada wanita untuk memilih pasangan hidupnya, dan melarang keluarga yang menolak pria yang menjadi pilihan hatinya selama diantara mereka terdapat kesesuaian. 27
Arso Sosroatmojo, Hukum Perkawinan.....hlm 72.
28
Arso Sosroatmojo, Hukum Perkawinan....hlm 73.
43
Hak mementukan pasangan atau jodoh merupakan milik pihakpihak yang akan menikah, menentukan bukanlah memilih. Memilih dapat dilakukan siapa saja baik seorang ayah, ibu atau orang lain. mereka dapat memilih laki-laki untuk anaknya atau untuk orang lain, sedangkan hak menentukan atau memutuskan berada ditangan anak perempuan sendiri, hak Ijbar sebagaimana dikenal dalam fikih, jelas lebih berkonotasi dengan hak mengawinkan.29 Dalam pernikahan terdapat syarat-syarat yang wajib dipenuhi, salah satunya adalah kerelaan calon istri. Wajib bagi wali untuk menanyai terlebih dahulu kepada calon istri, dan mengetahui kerelaannya sebelum diakad nikahkan. Pernikahan merupakan pergaulan abadi antara suami istri kelanggengan, keserasian, persahabatan tidaklah akan terwujud apabila kerelaan pihak calon istri belum diketahui, Islam melarang menikahkan dengan paksa, baik gadis atau janda dengan pria yang tidak disenanginya, akad nikah tanpa kerelaan wanita adalah tidak sah. Wanita berhak menuntut dibatalkannya pernikahan yang dilakukan oleh walinya dengan paksa tersebut. Perkawinan mempunyai tujuan untuk membina keluarga yang bahagia, diliputi rasa cinta dan kasih sayang, serta diridhoi Allah swt. Tujuan tersebut akan tercapai apabila kedua calon mempelai telah saling menyukai dan sepakat untuk mengadakan ikatan perkawinan, saling menyukai ini dalam bentuk lahiriyah berupa izin dan persetujuan antara
29
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi ...hlm 88.
44
pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan, pihak wanita tidak langsung melaksanakan ijab, maka agama mensyaratkan adanya izin dan persetujuan dari seorang wanita sebelum dilaksanakan perkawinannya.30 Jika faktor atau kerelaan atau dalam bahasa arab disebut Ridha, menjadi sangat mendasar bagi akad perkawinan, lantas bagaimana kita mengetahui bentuk atau sikap kerelaan tersebut pada seorang perempuan? Menurut pakar fikih, untuk mengetahui atau melihat bentuk kerelaan seorang perempuan adalah sebagai berikut31: a) Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, mereka menjelaskan bahwa kerelaan seorang perempuan untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki ditandai dengan kedewasaan, menurut mereka kedewasaan diukur dari sisi apakah dia (perempuan) sudah baligh dan berakal (balighah- „aqilah) atau belum jadi seorang perempuan
tanpa
melihat
statusnya
gadis
atau
janda,
dinyatakan sebagai dewasa apabila sudah baligh dan berakal. b) Menurut Imam Syafi’i, bahwa kerelaan hanya dapat dipastikan dengan melihat statusnya gadis atau janda, mengenai hadis Nabi Muhammad saw yang membicarakan hak janda ( atstsayyib ahaqqu binafsiha min waliyyiha ) dan gadis ( al- bikru tus ta‟dzanu wa idznuha shimatuha ), pada hakikatnya hanyalah tentang cara mengungkapkannya kerelaan itu, pada perempuan janda kerelaan itu diungkapkan dengan terbuka, 30
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi ...hlm 97.
31
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi ...hlm 88.
45
terang-terangan, sedangkan pada gadis adalah sebaliknya yakni tertutup, malu-malu, sikap keterbukaan janda disebabkan oleh pengalamannya dalam perkawinan, sedangkan untuk gadis, dia belum berpengalaman dalam perkawinan sehingga sering kali merasa kesulitan untuk mengungkap pendapatnya secara terang-terangan. Dengan demikian faktor kerelaan merupakan hal yang sangat penting. Oleh karenanya harus diperhatikan dan tidak boleh asal memaksa, karena kerelaan menunjukkan persetujuan perempuan terhadap apa yang akan dilakukannya oleh walinya yakni menikahkan dengan calon pilihan ayahnya tersebut. b. Persetujuan atau Kerelaan Wali Wali adalah keluarga terdekat pihak perempuan dalam hubungan nasab, seperti ayah, kakek, saudara lelaki atau paman. Akad tidak sah jika tanpa keridhaan dan persetujuannya. Karena wanita mungkin akan menerima suatu pernikahan dengan orang yang tidak kufu‟ atau tidak dapat melaksanakan hak-haknya atau orang yang tidak menjaga hukum-hukum Allah. Oleh karena itu Islam menjadikan keridhaan wali sebagai salah satu syarat pernikahan32. Abu Musa al-asari mengatakan bahwa, Nabi SAW pernah bersabda: “Tidak ada nikah kecuali oleh wali” HR. Abu Dawud33.
32
Abdullah Nashih Ulwan. Pengantin Islam Adab Meminang dan Walimah Menurut AlQur‟an dan Al-Sunnah (Jakarta:Al- Ishlahy Press 1990), hlm 67. 33
Abu Dawud, Asunah Bab Nikah, No. Hadits: 2085, Juz II, hlm 229.
46
Disini yang dimaksud “tidak ada nikah kecuali oleh wali” ialah tidak sahnya suatu pernikahan kecuali oleh wali. “Berkonsultasilah terhadap wanita-wanita dalam masalah anakanak perempuan”, kata Rasulullah SAW dalam sebuah hadis, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Daud. Al- Imam Abu Sulaiman Al-Khaththabi memberikan kesimpulan tentang hadis tersebut. Beliau mengatakan, “Berkonsultasilah terhadap wanita-wanita dalam masalah anak-anak perempuan, bukan berarti mempunyai wewenang terhadap akad nikah. Akan tetapi dipandang dari segi kebaikan dan perbaikan terhadap diri mereka dan dalam segi menggauli mereka dengan baik. Dan jika akad nikah itu diluar kerelaan ibu-ibu mereka, maka bisa jadi ibu-ibu mereka merongrong suami mereka. Dia juga akan menimbulkan kerusakan terhadap hati anak gadisnya. Sedangkan anak-anak perempuan, biasanya lebih cenderung terhadap ibuibu mereka dan akan lebih menerima perkataan yang datang dari ibu-ibu mereka. Adanya masalah yang seperti ini, maka berkonsultasi dengan sang ibu adalah sunnah hukumnya dalam masalah akad pernikahan anaknya.34 c. Kafa’ah (kufu’) dan Ukurannya. Islam
tidak
menjadikan
kekufu‟an
sebagai
syarat
sahnya
pernikahan. Tetapi sebagai keseimbangan. Jika seorang wali menikahkan anak putrinya dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu‟ kemudian dia menentang, maka batallah akadnya, dan begitu pula jika perempuan itu 34
hlm 100.
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Seraja, 2006),
47
menikah dengan seorang yang tidak sekufu‟ kemudian ditentang oleh walinya. Tetapi jika masing-masing dari wali dan anak perempuan itu mencabut persyaratannya maka pernikahan itu tetap sah dan dapat dilanjutkan.35 Maka disini disebutkan pengertian kafa‟ah dan ukuran kafa‟ah antara lain: a. Pengertian Kafa‟ah (kufu‟) Kafa‟ah dalam bahasa arab sebanding, setaraf dan sesuai. Kesetaraan yang perlu dimiliki oleh calon suami dan istri, agar dihasilkan keserasian hubungan suami istri secara mantap dalam menghindari cela dalam masalah-masalah tertentu. Istilah kafa‟ah dibahas oleh ulama fikih dalam perkawinan pada saat membicarakan jodoh seorang wanita.36 Kafa‟ah adalah kesesuaian antara kondisi calon suami dengan calon istri dalam hal agama, profesi, kehormatan dan harta. Islam memelihara segi kekufu‟an pernikahan ini untuk melindungi kehormatan wanita agar tidak dihinakan, menjaga hak-haknya, memperkukuh jalinan suami istri, menghindari problem yang mungkin terjadi, dan membantu untuk menciptakan kehormatan, keharmonisan, dan kasih sayang antara suami-istri.
35
Abdullah Nashih Ulwan. Pengantin Islam Adab Meminang,...hlm 71-72.
36
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm 371.
48
Kafa‟ah/kufu‟ dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami–istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.37 b. Ukuran kafa‟ah (kufu‟) Masalah kafa‟ah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran adalah sikap hidup yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan dan sebagainya. Seorang yang shaleh walaupun dari keturunan rendah berhak menikah dengan perempuan yang berderajat tinggi. Laki-laki yang memiliki kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan yang memiliki derajat dan kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang miskin sekalipun, ia berhak dan boleh menikah dengan perempuan yang kaya-raya, asalkan laki-laki itu muslim dan dapat menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorangpun dari pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan. Selain itu, ada kerelaan dari walinya yang mengakadkan dari pihak perempuannya. Akan tetapi jika laki-lakinya bukan dari golongan yang luhur dan jujur berarti dia tidak kufu‟ dengan perempuan salihah. Bagi perempuan salihah jika dikawinkan oleh ayahnya dengan laki-laki fasik, dan dipaksa oleh orang tuanya maka ia boleh menuntut pembatalan.38
37
Slamet Abidin dkk, Munakahat cet ke 1jilid 1 dan 2, (Bandung: CV. Pustakasetia, 1999), hlm 50-51. 38
Abd, Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm 97-98.