BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Pengertian dan Asas Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan dan hukumnya perkawinan a. Pengertian Perkawinan Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. 9Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam Q.S an-Nisa’ ayat 3, yang artinya berbunyi : 10 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada Q.S al-Ahzab ayat 37, yang artinya berbunyi : 11 “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah limpahkan ni’mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni’mat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu 9
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Perdana Media, Jakarta,Cetakan ke-2,2007, hal. 35 10 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Transliterasi Arab-Latin) Model Kanan Kiri, Cv Asy-Syifa’, Semarang, 2001, hal. 165 11 Ibid, hal 934-935.
19 Universitas Sumatera Utara
takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”.
Pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang berlaku di Indonesia terdapat pada Pasal 11 yakni: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan : 12 Pertama: digunakan kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antar jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara Barat. Kedua: digunakan ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”. Ketiga: dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia, dan kekal yang menafikan sekaligus perkawinan temporar sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil. 12
Amir Syarifudin, Op.cit, hal. 40
20 Universitas Sumatera Utara
Keempat:
disebutkan
berdasarkan
Ketuhanan
Yang
Maha
Esa
menunjukkan bahwa perkawinan itu adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama. Di samping defenisi yang diberikan oleh UU No.1 Tahun 1974 tersebut di atas, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan defenisi lain yang tidak mengurangi arti-arti defenisi UU tersebut, namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan tersebut sebagai berikut : “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.(Pasal 2). Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UU Perkawinan yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. 13 Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam UU Perkawinan. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.14 Defenisi-defenisi yang diberikan oleh ulama-ulama terdahulu sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab klasik begitu pendek dan sederhana hanya mengemukakan hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu. Ulama 13 14
Ibid, hal. 40 Ibid, hal. 41
21 Universitas Sumatera Utara
kontemporer memperluas jangkauan defenisi yang disebutkan ulama terdahulu. Di antaranya sebagaimna yang disebutkan Ahmad Ghandur dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah fi al-Tasyri’ al-Islamiy :15 “Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antar laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dan kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban”. Menurut Sajuti Thalib, sebagimana yang dikutip oleh Mohamad Idris Ramulyo :
perkawinan adalah :suatu perjanjian yang suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santunmenyantuni, kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia. 16 Dalam pandangan Islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti: menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaannya, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya. 17 b. Hukumnya perkawinan Menurut Sayyid Sabiq, perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan baik manusia, hewan maupun
15
Ibid, hal. 39 Mohamad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum islam, 1991, Jakarta, Bumi Aksara, hal. 1-2 17 Amir Syarifuddin, Op.cit, hal. 41 16
22 Universitas Sumatera Utara
tumbuh-tumbuhan.
18
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS.Adz-
Dzariat ayat 49, yang artinya berbunyi: 19 “Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran-Nya”. Allah juga berfirman dalam QS .Yasiin ayat 36, yang artinya berbunyi : 20 “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun apa yang tidak mereka ketahui”. Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak, dan menjaga kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Tuhan tidak mau menjadikan manusia seperti makhuk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki tanpa suatu aturan. Akan tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat, Allah membuat hukum sesuai dengan martabatnya. 21 Dengan demikian, hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai dengan upacara ijab qabul dan dihadiri saksi-saksi sebagai lambang dari adanya kesepakatan dari kedua mempelai. Para ulama telah sepakat bahwa menikah itu diperintahkan. Namun, mereka berbeda
18
Sebagaimana yang dikutip Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam: Perspektif Fikih dan Hukum Positif, UII Press, Jogyakarta, 2011, hal. 20 19 Departemen, Agama RI. Op.cit. hal. 1174 20 Ibid, hal. 978 21 Abdul Ghofur Anshori, Loc.cit.
23 Universitas Sumatera Utara
pendapat mengenai hukumnya. Dalam hal ini pendapat para ulama terbagi kepada beberapa kelompok yakni : 22 Pertama, nikah wajib bagi setiap orang yang sudah mampu untuk melakukannya sekali seumur hidup. Pendapat ini adalah pendapatnya Dawud adDahiry, Ibn Hazm dan lainnya. Dalil yang menjadi dasar pendapat ini adalah d dhahir nash-nash, baik berupa al-Quran, maupun hadis nabi yang memerintahkan pernikahan. Kedua, nikah hukumnya bisa sunnah, bagi mereka yang syahwatnya sudah mengebu akan tetapi masih besar kemungkinan seandainya belum menikah pun, ia masih dapat menjaga diri dari perbuatan zina. Ketiga, nikah juga bisa haram, bagi orang yang belum siap menikah, baik secara lahir (menafkahi) maupaun secara bathin (berhubungan badan) sehingga kalau dipaksakan menikah, si wanita akan menderita baik lahir maupaun bathin. Atau, nikah juga bisa haram, bagi orang yang bermaksud jahat dengan nikahnya itu, misalnya ingin menyakiti istri dan keluarganya karena balas dendam. Keempat, nikah juga bisa makruh, bagi orang yang kondisinya seperti disebutkan di atas, akan tetapi tidak menimbulkan madharat bagi istri. Jadi, apabila menikah, si istri tidak merasakan dampak negatif yang besar. Tapi kebanyakan mazhab mengatakan bahwa hukum menikah berbedabeda tergantung kondisi seseorang, khususnya mempelai laki-laki sebagai pihak yang mendapat amanah dari Allah SWT berupa peran sebagai kepala keluarga.
22
Ibid, hal 22
24 Universitas Sumatera Utara
Dengan kata lain bahwa hukum nikah dapat berbeda bagi subjek hukum (mukalaf) satu dengan subjek hukum yang lain.
2. Asas Perkawinan Asas perkawinan adalah ketentuan perkawinan yang menjadi dasar dan dikembangkan dalam materi batang tubuh dari UU Perkawinan. Adapun asas-asas yang dianut oleh UU Perkawinan adalah sebagaimana yang terdapat pada Penjelasan Umum UU Perkawinan itu sendiri, sebagai berikut : a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. b. Dalam undang-undang ini, dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiaptiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam suratsurat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. c. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari orang yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan
25 Universitas Sumatera Utara
dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan bahwa untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita ialah 19 (sembilan belas) tahun untuk pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita. e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut asas untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
Musdah Mulia menjelaskan bahwa prinsip perkawinan ada empat yang didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an yakni : 23 1. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh Prinsip ini sebenarnya kritik terhadap tradisi bangsa Arab yang menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, sehingga untuk dirinya sendiri saja ia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik pada dirinya. Oleh sebab itu, kebebasan memilih jodoh adalah hak dan kebebasan bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. 2. Prinsip mawaddah wa rahmah Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS ar-Rum ayat 21. Mawaddah wa rahmah adalah karakter manusia yang tidak dimiliki oleh mahkluk lainnya. Jika binatang melakukan hubungan seksual semata-mata untuk kebutuhan seks itu 23
Sebagaimana yang dikutip oleh H.Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkemabngan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2006, hal.52-53
26 Universitas Sumatera Utara
sendiri juga dimaksudkan untuk berkembang biak. Sedangkan perkawinan manusia bertujuan untuk mencapai ridha Allah di samping tujuan yang bersifat biologis. 3. Prinsip saling melengkapi dan melindungi Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT. yang terdapat pada surah al-Baqarah ayat 187 yang menjelaskan istri-istri adalah pakaian sebagaimana layaknya dan laki-laki juga sebagai pakaian bagi wanita. Perkawinan laki-laki dan perempuan dimaksudkan untuk saling membantu dan melengkapi, karena setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. 4. Prinsip mu’asarah bi al-ma’ruf Prinsip ini didasarkan pada firman Allah SWT. yang tedapat pada surah an-Nisa’
ayat
19
yang memerintahkan
kepada
setiap
laki-laki untuk
memperlakukan istrinya dengan cara yang ma’ruf. Di dalam prinsip ini sebenarnya pesan utamanya adalah pengayoman dan penghargaan kepada wanita. Asas perkawinan itu dalam bahasa sederhana adalah sebagai berikut :24 1. Asas sukarela 2. Partisipasi keluarga 3. Perceraian dipersulit 4. Poligami dibatasi secara ketat 5. Kematangan calon mempelai 6. Memperbaiki derajat kaum wanita
24
Amir Syarifudin, Op.cit. hal. 26
27 Universitas Sumatera Utara
B. Rukun dan Syarat Perkawinan Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus ada dalam suatu perkawinan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Tapi keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu yang berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun. 25 1. Perspektif UU No. 1 tahun 1974 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) tidak mengenal adanya rukun perkawinan. Tampaknya UUP hanya memuat hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat sahnya perkawinan yang terdapat pada Pasal 6 UU Perkawinan , sebagai berikut : 1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Berarti tidak ada paksaan di adalam perkawinan. 2) Pada asasnya perkawinan itu adalah satu istri bagi satu suami dan sebaliknya hanya satu suami bagi satu istri, kecuali mendapat dispensasi oleh pengadilan
25
Ibid, hal. 59.
28 Universitas Sumatera Utara
agama dengan syarat-syaratnya yang berat untuk boleh beristri lebih dari satu dan harus ada izin dari istri pertama, adanya kepastian dari pihak suami bahwa mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak serta jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. 3) Pria harus telah berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. 4) Harus mendapat izin masing-masing dari orang tua mereka kecuali dalam halhal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau mendapat dispensasi dari pengadilan agama apabila umur para calon mempelai kurang dari 19 dan 16 tahun. 5) Tidak termasuk larangan-larangan perkawinan antara dua orang yang : a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. b. Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping yaitu antara saudara, antara saudara dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya. c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dengan bapak/ibu tiri. d. Perhubungan susuan, yaitu susuan dan bibi/paman susuan. e. Berhubungan saudara dengan istri, dalam hal seoarng suami beristri lebih dari seorang. f. Mempunyai hubungan yang oleh agamnya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
29 Universitas Sumatera Utara
6) Seorang yang telah cerai kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang berlangkutan menentukan lain. 7) Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah lampau tenggang waktu tunggu. 8) Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan yang diatur oleh PP No. 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. 26 Ternyata UUP melihat persyaratan perkawinan itu hanya menyangkut persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur serta tidak adanya halangan perkawinan perkawinan antara kedua calon mempelai tersebut. Ketiga hal tersebut sangat menentukan untuk pencapaian tujuan perkawinan itu sendiri. Persetujuan kedua calon mempelai meniscayakan perkawinan itu tidak didasari paksaan. Syarat ini setidaknya mengisyaratkan adanya emansipasi wanita sehingga setiap wanita dapat dengan bebas menentukan pilihannya siapa yang paling cocok dan maslahat sebagai suaminya. Jadi di sini tidak ada paksaan, terlebih lagi masyarakat yang telah maju.27 2. Perspektif Kompilasi Hukum Islam Berbeda dengan UU No. 1 Tahun 1974, KHI ketika membahas rukun perkawinan tampaknya mengikuti sistematika fiqh yang mengaitkan rukun dan syarat. Ini di muat dalam Pasal 14. Kendatipun KHI menjelaskan 5 rukun perkawinan sebagaimana fiqh ternyata dalam uraian persyaratannya KHI 26 27
Mohd. Idris Ramulyo, Op.cit. hal.56-57 Ibid, hal. 69
30 Universitas Sumatera Utara
mengikuti UUP yang berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur.28 Pasal 14 KHI berbunyi : “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada : 1. Calon suami 2. Calon isteri 3. Wali nikah 4. Dua orang saksi dan 5. Ijab dan Kabul”
a. Calon suami dan calon istri Mengenai calon suami dan calon istri diatur dalam Pasal 15 KHI. Dalam pasal ini diatur batas umur seseorang untuk menikah. KHI mengikuti ketentuan Pasal 7 UU Perkawinan yaitu untuk laki-laki berusia 19 tahun dan bagi perempuan berusia 16 tahun. 29 Sesuai dengan ajaran Islam, perkawinan tidak boleh dipaksakan, dalam Pasal 16 dan 17 KHI disyaratkan persetujuan kedua calon mempelai. Bentuk persetujuan ini dapat berupa pernaytaan yang tegas dan nyata baik secara tertulis, lisan maupun isyarat. Namun boleh juga berupa diamnya calon mempelai dalam arti tidak ada penolakan. 30 Islam hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan tidak boleh lebih dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama perempuan, karena ini yang disebut dalam Al-Qur’an. Adapun syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin ini adalah sebagai berikut : 31
28
Ibid, hal.71 Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Recca Publishing, Jakarta, 2005, hal. 65 30 Ibid, hal. 66 31 Ibid, hal. 64-66 29
31 Universitas Sumatera Utara
1) Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya. Adanya syarat peminangan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi kiranya merupakan suatu syarat supaya kedua calon pengantin telah samasama tahu mengetahui mengenai pihak lain, secara baik dan terbuka. 2) Keduanya sama-sama beragama Islam. 3) Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan. 4) Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang mengawininya. KHI mengatur persetujuan kedua mempelai itu dalam Pasal 16 dengan uraian sebagai berikut : (1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan yang tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau syarat tapi dapat juga diam dalam arti tidak ada penolakan yang tegas. 5) Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
b. Wali dalam perkawinan 1) Pengertian wali Dalam perkawinan, wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
32
32
Amir Syarifuddin, Op.cit, hal. 69.
32 Universitas Sumatera Utara
Mengenai wali, KHI mensyaratkan harus ada wali mempelai wanita. Macam wali diatur dalam Pasal 20 adalah wali nasab dan wali hakim. Sedangkan ketentuan wali nasab diatur dalam Pasal 21. 33 2) Orang-orang yang berhak menjadi wali Yang berhak menempati kedudukan wali ada tiga kelompok : 34 Pertama: wali nasab, yaitu wali berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan kawin. Pasal 21 KHI menyebutkan bahwa wali nasab terdiri dari emapt kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Petama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat sauadara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara lakilaki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka. Pasal 22 menyebutkan apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi atau karena wali itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka yang berhak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut syarat sebagai wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. Kedua: wali hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa. Menurut Pasal 23 KHI, wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin 33 34
Neng Djubaedah, Loc.Cit. Ibid, hal. 75.
33 Universitas Sumatera Utara
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan. Jumhur ulama yang terdiri dari Syafi’iah, Hanbilah, Zhahiriah, dan Syi’ah Imamiah membagi wali menjadi dua kelompok :35 Pertama: wali dekat atau wali qarib; yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Ulama Hanabiah menempatkan orang yang diberi wasiat oleh ayah untuk mengawinkan anaknya berkedudukan sebagai ayahnya. Kedua: wali jauh atau wali ab’ad; yaitu wali dalam garis keturunan selain ayah dan kakek, juga selain anak dan cucu, karena anak menurut ulama jumhur tidak boleh menjadi wali terhadap ibunya dari segi ia adalah anak, bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh ia mengawinkan ibunya sebagai wali hakim. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut : a. Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada b. Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada c. Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada d. Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada e. Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada f. Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada g. Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada h. Anak paman seayah. i. Ahli waris kerabat lainnya kalau ada.
35
Ibid, hal. 75-76.
34 Universitas Sumatera Utara
3) Syarat-syarat wali Menurut Pasal 20 ayat (1) KHI, yang bertindak sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baliqh. Orang-orang yang disebutkan di atas baru berhak menjadi wali bila memenuhi syarat sebagai berikut : 36 a) Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang melakukan akad. b) Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali. c) Muslim; tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk muslim. Hal ini berdalil dari firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 28, yang artinya berbunyi : 37 “Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” d) Orang merdeka. e) Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. Alasannya ialah bahwa orang yang berada di bawah pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kedudukannya sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum.
36 37
Amir Syarifuddin, Op,cit. hal. 76-78. Departemen Agama RI, Op.cit., hal.112
35 Universitas Sumatera Utara
f) Berpikir baik. Orang yang terganggu pikirannya karena keduaanya tidak boleh menjadi wali, karena dikawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut. g) Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan sering berbuat dosa kecil serta tetap memelihara sopan santun. Keharusan wali adil ini berdasarkan kepada sabda Nabi dari Aisyah menurut riwayat dari al-Qithniy, yang artinya : 38 “ tidak sah nikah kecuali bila ada wali dan dua orang saksi yang adil.” h) Tidak sedang melakukan ihram, haji atau umroh. c. Dua orang saksi KHI mensyaratkan wajib ada dua orang saksi dalam Pasal 24, 25, 26. Syarat saksi adalah laki-laki muslim, akil baligh, adil, tidak terganggu ingatannya dan tidak tuna rungu atau tuli. Saksi ini harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah dan menandatangani akta nikah pada waktu itu juga. 39 Akad nikah mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di kemudian hari. 40 Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 41
1) Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumruh ulama. Bagi ulama Hanafiah saksi itu boleh terdiri dari satu orang 38
Sebagaimana yang dikutip oleh Amir Syarifuddin, Lok,cit. Neng Djubaidah, Loc. cit. 40 Amir Syarifuddin, Op.cit . hal. 81. 41 Ibid ,hal. 83. 39
36 Universitas Sumatera Utara
laki-laki dan dua orang perempuan, sedangkan bagi ulama Zhahiriah boleh saksi itu terdiri dari empat orang perempuan. 2) Kedua saksi itu adalah beragama Islam. 3) Kedua saksi itu adalah orang merdeka. 4) Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap terjaga sopan santun. Ulama Hanafiah tidak menyaratkan adil pada saksi perkawinan. 5) Kedua saksi dapat melihat dan mendengar. UU Perkawinan tidak menempatkan kehadiran saksi dalam syarat-syarat perkawinan, namun UU Perkawinan menyinggung kehadiran saksi itu dalam Pembatalan Perkawinan dan dijadikan sebagai salah satu hal yang membolehkan pembatalan perkawinan, sebagaimana terdapat dalam Pasal 26 Ayat (1). d. Ijab dan qabul (akad nikah) Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.. 42 UU Perkawinan tidak mengatur tentang akad perkawinan bahkan tidak membicarakan akad sama sekali. Mungkin UU Perkawinan menempatkan akad perkawinan itu sebagaimana perjanjian atau kontrak biasa dalam tindakan perdata. Penempatan seperti ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiah yang
42
Ibid, hal. 61.
37 Universitas Sumatera Utara
menganggap akad perkawinan tidak memerlukan wali selama yang bertindak telah dewasa dan memenuhi syarat. 43 Namun KHI secara jelas mengatur akad perkawinan dalam Pasal 27, 28, dan 29 yang keseluruhannya mengikuti apa yang terdapat dalam fiqh. Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas dan beruntun dan tidak berselang waktu. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain. (1) Yang berhak mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara pribadi. (2) Dalam hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. (3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
44
Ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul itu sebagai rukun perkawinan. Untuk sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat. Di antara syarat tersebut ada yang disepakati oleh ulama dan ada yang diperselisihkan oleh ulama. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 45 a. Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Seperti ucapan wali pengantin perempuan: “ Saya kawinkan anak saya bernama si A kepadamu 43 44 45
Ibid. Mohd. Idris Ramulyo, Op.cit, hal.55-56 Amir Syarifuddin, Op.cit, hal. 62-63.
38 Universitas Sumatera Utara
dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an”. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki. Seperti ucapan mempelai laki-laki: “ Saya terima mengawini anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an. Tentang bolehkah pihak laki-laki mendahului ucapan pihak perempuan, kebanyakan ulama memperbolehkannya. Bentuk ucapan pihak laki-laki yang mendahului ucapan pihak perempuan, umpamanya ucapan suami:” Saya nikahi anak Bapak bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al-Qur’an”. Ucapan wali yang menyusul kemudian umpamanya: “ Saya terima engkau nikahi anak saya bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al- Qur’an”. b. Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, nama perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan. c. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat. Ulama Malikiah memperbolehkan terlambatnya ucapan qabul dari ucapan ijab, bila keterlambatan hanya dilakukan dalam waktu yang pendek. d. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ucapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup. Di samping rukun dan syarat perkawinan yang telah diuraikan di atas, ada syarat yang harus dipenuhi agar perkawinan sah, yaitu harus ada mahar. Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa Indonesia yang dipakai. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefenisikan mahar itu sebagai :
39 Universitas Sumatera Utara
“pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika akad nikah”.46 Mahar itu dalam bahasa Arab disebut dengan delapan nama yaitu: mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar, dan alaiq. Keseluruhan kata tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan atas sesuatu yang diterima. Hukum taklifi dari mahar itu adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada istrinya.
47
Menurut KHI, calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. 48 Mahar diberikan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. 1. Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. 2. Apabila calon mempelai wanita menyejutui, penyerahan boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria. 3. Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. 4. Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.
46
Ibid , hal. 84. Ibid, hal. 84-85 48 Mohd. Idris Ramulyo, Op.cit, hal 76 47
40 Universitas Sumatera Utara
5. Suami yang menalak istrinya qabla ad-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. 6. Apabila suami meninggal dunia
qabla ad-dukhul, seluruh mahar yang
ditetapkan menjadi hak penuh istrinya. 7. Apabila perceraian terjadi qabla ad-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.49 Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat dig anti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang. 50 Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke pengadilan agama. 1. Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas. 2. Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami wajib menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinnya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar. 51 Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu ditetapkan dalam Al- Qur’an dan hadis Nabi. Dalil dalam ayat Al-Qur’an adalah firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 4 yang artinya: 52 “Berikanlah mahar kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan 49 50 51 52
Ibid, hal 76-77 Ibid, hal 77 Ibid. Departemen Agama RI, Op.cit, hal.165
41 Universitas Sumatera Utara
kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Adapun dalil dari hadis di antaranya adalah sabda Nabi yang berasal dari Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi dalam suatu kisah panjang dalam bentuk hadis mutaffaq alaih yang artinya : 53 “Ya Rasul Allah bila anda tidak punya keinginan untuk mengawininya, maka kawinkan saya dengannya. Nabi berkata:” Apa kamu memiliki sesuatu”. Ia berkata :”tidak ya Rasul Allah”. Nabi berkata:”Pergilah kepada keluargamu mungkin kamu akan mendapatkan sesuatu. Kemudian ia pergi dan segera kembali dan berkata:”Tidak saya memperoleh sesuatu ya Rasul Allah”. Nabi berkata:”carilah walaupun hanya sebentuk cincin besi”.
Dari adanya perintah Allah dan perintah nabi untuk memberikan mahar itu, maka ulama sepakat
menetapkan hukum wajibnya memberi mahar kepada
istri. Tidak ditemukan adanya literatur ulama yang menempatkannya sebagai rukun. Mereka sepakat menempatkannya sebagai syarat sah bagi suatu perkawinan, dalam arti perkawinan yang tidak pakai mahar tidak sah. Bahkan ulama Zhahiriah mengatakan bahwa bila dalam akad nikah dipersyaratkan tidak pakai mahar, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.54
C. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Suatu Perkawinan Hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga 53 54
Sebagaimana yang dikutip oleh Amir Syarifuddin, Op.cit. hal. 86 Ibid , hal. 87.
42 Universitas Sumatera Utara
suami mempunyai hak begitu juga dengan istri. Di balik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula dengan istri mempunyai beberapa kewajiban. UU Perkawinan memberikan aturan yang jelas berkenaan dengan hak dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban suami isteri ini diatur di dalam Pasal 30 sampai Pasal 34. 1. Dalam UU Perkawinan, ketentuan tentang hak dan kewajiban suami istri dirumuskan dalam Pasal 30 yang berbunyi : “Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi dasar dari sususnan masyarakat.” Dari ketentuan pasal ini dapat dipahami bahwa perkawinan yang bertujuan untuk membentuk rumah tangga merupakan satu perbuatan yang luhur. Perkawinan dianggap sebagai suatu perbuatan pentint dalam kehidupan seseorang.Tujuan perkawinan yang luhur itu adalah untuk menegakkan keluarga atau rumah tangga. Dalam rumah tangga ini merupakan sendi yang mendasari struktur masyarakar. Apabila tiap-tiap rumah tangga sudah terbina dengan baik, maka hal ini akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di sekelilingnya. 55 2. Tentang hak dan kedudukan suami istri dalam rumah tangga dan masyarakat di atur dalam Pasal 31. a. Pasal 31 ayat (1) menentukan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang, dengan hak dan kedudukan suami dalam rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Hal ini berarti bahwa
55
Neng Djubaedah, Op.cit, hal.112
43 Universitas Sumatera Utara
kedudukan suami istri adalah sama, baik dalam kedudukannya sebagai manusia maupun dalam kedudukannya dalam membina keluarga. Dengan adanya ketentuan ini akan membuka peluang seorang istri dapat menduduki jabatan-jabatan penting
dalam mayarakat, yang semula
diduduki oleh pria saja. Namun yang perlu diperhatikan oleh istri adalah walaupun ia memangku jabatan tinggi dalam masyarakt, ia tidak bolah melupakan kewajibannya sebagai itri dan ibu rumah tangga. Ia harus dapat menyeimbangkan antara kesibukan di luar rumah dan kewajiban pokok yang harus dilaksanakan di dalam rumah tangga. b. Pasal 31 ayat (2) menetapkan bahwa masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa seorang istri diizinkan melakukan tindakan-tindakan hukum tanpa bantuan suami. Artinya istri boleh bertindak dalam hukum tanpa harus mendapat izin dan pertolongan dari suaminya. c. Pasal 31 ayat (3) mengatur tentang suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.Ketentuan ayat ini mengatur tentang pembagian tugas antara suami dan istri dalam membina rumah tangga. Perbedaan kedudukan ini semata-mata hanyalah didasarkan atas perbedaan secara fungsional, bukan perbedaan dalan hal persamaan hak dan kedudukan. Artinya kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga, mempunyai alasan yang kuat baik secara hukum maupun fungsinya dalam rumah tangga. Seorang suami, lazimnya lebih banyak menggunakan rasio dibanding dengan istri. Di samping itu, dilihat
44 Universitas Sumatera Utara
dari segi fisik, seorang suami lebih kuat dan mempunyai daya juang lebih tinggi. Sebaliknya, seorang istri memiliki kejiwaan atau emosi yang lembut dan fisik yang tidak sekuat pria. Istri sebagai seorang wanita dan sebagai ibu, memiliki perasaan yang halus, sabar, teliti, tabah dan sifatsifat inilah yang dibutuhkan untuk merawat dan memelihara anak atau keturunan. d. Pasal 32 ayat (1) dan (2) menentukan tentang tempat kediaman bersama. Pada dasarnya, suami istri harus mempunyai kediaman yang tetap, dan kediaman itu ditentukan oleh sumai istri bersma. Ketentuan ini apabila dikaitkan dengan tujuan perkawinan seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1 UU Perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal bersasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka wajarlah apabila suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. Tempat kediaman ini adalah tempat mereka hidup bersama dan membina rumah tangga. e. Pasal 33 dan Pasal 34 mengatur tentang kewajiban suami istri dalam rumah tangga. Pengaturannya adalah sebgai berikut : 1) Suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, dan memberi bantuan lahir batin yang satu pada yang lain. Perasaan saling cinta-mencintai ini merupakan ikatan batin kedua belah pihak, sebab, perkawinan tidak hanya ikatan lahir tetapi juga ikatan batin. Kewajiban saling menghormati merupakan akibat dari kedudukan suami istri yang sama dan sederajat, baik dalam rumah tangga maupun dalam masyarakt. Keharusan saling setia antara suami istri berkaitan dengan
45 Universitas Sumatera Utara
kesucian rumah tangga. Kedua belah pihak mampu memelihara dan mempertahankan kepercayaan yang telah diberikan, baik bersifat moral, maupun material. Artinya masing-masing pihak tidak berlaku serong atau menyeleweng dengan wanita atau pria lain. Demikian pula dalam penggunaan uang nafkah yang diberikan oleh suami, tidak dimanfaatkan untuk kepentingan lain tanpa sepengetahuan suami. Dalam hal saling membantu lahir batin mempunyai makna bahwa antara keduanya harus dapat bekerja sama dan saling mengingatkan, serta saling menasehati dalam membina rumah tangga. 2) Suami wajib melindungi istrinya dan dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Keharusan suami ini meliputi kebutuhan primer bagi kehidupan rumah tangga. Termasuk dalam kebutuhan ini adalah tempat kediaman, keperluan hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan pemeliharan anak. Namun, suami tidak dapat dituntut di luar kesanggupannya, artinya pemenuhan kebutuhan itu sesuai dengan kemampuan suami. 3) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Hal ini memang sesuai dengan kedudukan istri sebagai ibu tumah tangga. Oleh karena itu, sudah sepantasnya bila istri berkewajiban dan mampu mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Pengaturan rumah tangga ini meliputi penyediaan makan/minum untuk keluarga, mengatur belanja, mengasuh dan memlihara anak. 56
56
Ibid, hal 112-115
46 Universitas Sumatera Utara
Demikianlah hak dan kewajiban suami istri yang ditentukan dalam Pasal 30- Pasal 34 UU Perkawinan. Apabila ketentuan ini bila dibandingkan dengan ketentuan dalam Hukum Islam ( dalam Al-Qur’an dan Hadis), maka pada prinsipnya tidak ada perbedaan. Dengan perkataan lain, pengaturan dalam UU Perkawinan sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam Hukum Islam. 57 Pada dasarnya pengaturan tentang hak dan kewajiban suami istri dalam KHI merupakan gabungan dari ketentuan dalam Hukum Islam ( Al-Qur’an dan Hadis) dan ketentuan dalam UU Perkawinan. Mengenai hak dan kewajiban suami istri menurut KHI, terdapat dalam Bab XII dan terdiri dari enam bagian. 1. Pada bagian pertama merupakan ketentuan umum, meliputi Pasal 77 dan Pasal 78. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. a. Suami istri wajib menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddan dan rahmah, yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. b. Suami istri wajib saling mencintai, saling menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kapada yang lain. c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anakanak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya. d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
57
Ibid.
47 Universitas Sumatera Utara
e. Jika suami atau istri memalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama. f. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) UU Perkawinan). g. Rumah kediaman tersebut ditentukan oleh suami istri bersama (sesuai dengan Pasal 32 ayat (2). 2. Bagian kedua mengatur tentang kedudukan suami istri (Pasal 79). a.
Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam msyarakat. c. Masing- masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Bagian ketiga menentukan tentang kewajiban suami (Pasal 80). a. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangga diputuskan bersama. b. Suami harus melindungi istri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. c. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. d. Sesuai dengan kemampuan suami menganggung nafkah, tempat kediaman bagi istri, biaya rumah tangga, perawatan dan pengobatan bagi istri dan anak dan biaya pendidikan bagi anak.
48 Universitas Sumatera Utara
e. Kewajiban suami terhadap istri mengenai nafkah dan tempat kediaman mulai berlaku setelah ada tamkin sempurna dari istrinya. f. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya tersebut di atas. g. Kewajiban suami seperti huruf e di atas dapat gugur apabila istri nusyuz. 4. Bagian keempat menetapkan tentang tempat kediaman (Pasal 81). a. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dana anak-anaknya, atau mantan istri yang masih dalam masa iddah. b. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang pantas untuk istri salama pernikahan, atau masa iddah. c. Tempat kediaman disiapkan untuk melindungi istri dan anak-anak, agar mereka merasa aman dan tenteram. d. Suami wajib melengkapai tempat kediaman sesuai dengan kemampuan dan disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat kediamannya. 5. Bagian keenam mengatur tentang kewajiban istri (Pasal 83 dan Pasal 84) a. Kewajiban utama bagi seorang istri adalah berbakti lahir batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Hukum Islam. b. Istri menyelanggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. c. Istri dapat dianggap nusyuz apabila ia tidak mau melaksanakan kewajibankewajibannya, kecuali ada alasan yang sah.
49 Universitas Sumatera Utara
d. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istri yang ditentukan dalam Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. e. Kewajiban suami pada huruf d di atas berlaku kembali setelah istrinya tidak nusyuz. f. Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari istri harus didasarkan pada bukti yang sah. 58 Demikianlah uraian tentang ketentuan hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan menurut UU Perkawinan dan KHI.
D. Pencegahan Perkawinan Pencegahan berlangsungnya
perkawinan
perkawinan.
adalah
Berbeda
usaha dengan
yang
meyebabkan
pembatalan
tidak
perkawinan,
pencegahan itu berlaku sebelum terjadinya perkawinan sedangkan pembatalan adalah usaha untuk tidak dilanjutkan hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu telah terjadi secara sah.59 UU Perkawinan mengatur pencegahan perkawinan itu dalam Pasal 13 sampai dengan 21 yang secara esensial tidak menyalahi ketentuan fiqh. 60 Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan. Pencegahan perkawinan dapat diajukan ke pengadilan agama dalam daerah hukum di mana perkawinan tersebut akan 58 59
Ibid, hal.116-119 Amir Syarifuddin, Op.cit ,hal. 150.
50 Universitas Sumatera Utara
dilangsungkan oleh pihak keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Pencegah memberitahukan juga kepada PPN yang bersangkutan tentang usaha pencegahannya tersebut dan PPN memberitahukan adanya permohonan pencegahan perkawinan kepada masingmasing calon mempelai. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan keputusan pengadilan agama oleh yang mencegahnya. Selama pencegahan belum dicabut, perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Alasan pencabutan dapat juga dilakukan dengan alasan nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti dalam ayat (1) Pasal 14 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
61
Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan. 62 Pejabat
yang
ditunjuk
berkewajiban
mencegah
berlangsungnya
perkawinan apabila ketentuan-ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974. Pasal-pasal 17, 18, 19, 20 dan 21 mengatur tata cata pelaksanaan pencegahan perkawinan. Selanjutnya KHI mengatur panjang lebar pencegahan perkawinan yang secara langsung tidak merujuk kepada kitab fiqh manapun, karena dalam fiqh 61 62
Mohd, Idris Ramulyo, Op.cit, hal 175-178 Ibid.
51 Universitas Sumatera Utara
memang tidak dibicarakan secara khusus pencegahan perkawinan itu sebagaimana yang disinggung di atas. Materi dari KHI dalam hal ini hampir sama dengan rumusan UU Perkawinan, dengan sedikit tambahan dalam bentuk penjelasan dan rincian. 63 1. Pencegahan perkawinan bertujuan menghindari perkawinan yang dilarang Hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. 2. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut Hukum Islam dan peraturan perundangundangan. 64 Tidak se-kufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak se-kufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien. 65 1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para kelaurga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan. 2. Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain. 66 Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau istri yang masih terikat perkawinan dengan salah seorang calon istri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan . 63 64 65 66
Amir Syarifuddin, Loc.cit. Mohd, Idris Ramulyo, Op.cit, hal 83-84 Ibid, hal 84. Ibid.
52 Universitas Sumatera Utara
Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak dipenuhi. 1. Pencegahan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan agama dalam daerah
hukum
tempat
perkawinan
akan
dilangsungkan
dengan
memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN). 2. Kepada
calon-calon
mempelai
diberitahukan
mengenai
pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh PPN.
permohonan
67
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik permohonan pencegahan pada pengadilan agama oleh yang mencegah atau dengan putusan pengadilan agama. Pengawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 atau Pasal 12 UU N0.1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan perkawinan . 1. Apabila PPN berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UU Perkawinan maka ia kan menolak melangsungkan perkawinan. 2. Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh PPN akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolaknnya.
67
Ibid.
53 Universitas Sumatera Utara
3. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan agama dalam wilayah berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas. 4. Pengadilan agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan supaya perkawinan dilangsungkan. 5. Ketetapan
ini
hilang
kekuatannya,
jika
rintangan-rintangan
yang
mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka. 68
E. Analisis Perbandingan antara Fiqh Munakahat, Kompilasi Hukum Islam dan UU Perkawinan Dalam sub bab ini akan dicoba memperbandingkan fiqh munakahat, hukum perundang-undangan tentang perkawinan, dan KHI Buku I tentang Perkawinan. Dari hasil perbandingan tersebut akan terlihat bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang perkawinan secara prinsip tidak menyalahi ketentuan agama yang bernama fiqh munakahat, sehingga pada akhirnya umat Islam dapat mengakuinya sebagai fiqh muamalat yang berlaku khusus untuk Indonesia. 1. Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan Fiqh munakahat sebagai Hukum Agama mendapat pengakuan resmi dari UU Perkawinan dalam mengatur hal-hal yang berkenaan dengan perkawinan bagi
68
Amir Syarifuddin, Op.cit, hal 83-85
54 Universitas Sumatera Utara
umat beragama Islam. Landasan hukum ini terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang rumusannya: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan melihat kepada lahiriah pasal tersebut di atas akan berarti bahwa apa yang dinyatakan sah dalam fiqh munakahat adalah juga sah menurut UU Perkawinan. Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada perbedaan antara fiqh munakahat dengan UU Perkawinan. Namun dengan melihat kepada materi UU Perkawinan dan dibandingkan dengan materi fiqh munakahat masih terlihat adanya perbedaan itu. Kalau perbandingan itu dilakukan dengan mazhab fiqh tertentu, umpamanya dengan fiqh munakahat yang berlaku menurut mazhab Syafi’i, terlihat ada perbedaan. Namun bila dibandingkan dengan fiqh munakahat salah satu mazhab mana pun secara terbuka mungkin adanya perbedaan itu semakin tidak nyata. Oleh karena itu, dalam membuat perbandingan tidak hanya melihat kepada mazhab tertentu saja, tetapi juga kepada keseluruhan mazhab yang nyata-nyata keseluruhannya adalah mazhab Islami. Umpamanya, UU Perkawinan yang tidak mencantumkan wali sebagai syarat perkawinan adalah salah bila dibandingkan dengan mazhab Syafi’i tetapi tidak salah bila dibandingkan dengan mazhab Hanafi. 69
69
Ibid, hal. 28-29.
55 Universitas Sumatera Utara
Bila dihubungkan UU Perkawinan kepada fiqh munakahat yang selama ini berlaku di Indonesia, yaitu menurut mazhab Syafi’i, terdapat empat bentuk hubungan: 70 Pertama: UU sudah sepenuhnya mengikuti fiqh munakahat bahkan sepertinya UU mengutip langsung dari Al-Qur’an. Contoh dalam hal ini umpamanya ketentuan tentang larangan perkawinan dan ketentuan tentang masa tunggu bagi istri yang bercerai dari suaminya yang dijabarkan dalam PP No.9 Tahun 1975. Kedua: Ketentuan yang terdapat dalam UU sama sekali tidak terdapat dalam fiqh munakahat mazhab manapun, namun kerena bersifat administratif dan bukan substansial dapat ditambahkan ke dalam fiqh. Contohnya dalam hal ini, umpamanya pencatatan perkawinan dan pencegahan perkawinan. Ketiga: Ketentuan dalam UU tidak terdapat fiqh munakahat dalam mazhab manapun, namun dengan pertimbangan kemaslahatan dapat diterima. Contoh dalam hal ini adalah batas minimal umur pasangan yang akan kawin dan harta bersama dalam perkawinan. Keempat: Ketentuan UU tidak terdapat fiqh munakahat dalam mazhab manapun, namun dengan menggunakan reinterpretasi dan pertimbangan maslahat tidak ada salahnya untuk diterima dalam fiqh. Umpamanya, keharusan perceraian di pengadilan dan keharusan izin poligami oleh pengadilan serta perceraian harus didasarkan kepada alasan-alasan yang sudah ditentukan. Fiqh munakahat manapun membolehkan perceraian di luar pengadilan; perceraian boleh saja
70
Ibid, hal. 30.
56 Universitas Sumatera Utara
dilakukan tanpa alasan apa pun dan tidak mensyaratkan izin pengadilan untuk lakukan poligami. Mungkin ketentuan UU menurut lahirnya tidak sejalan dengan fiqh munakahat yang berlaku dalam mazhab tertentu namun tidak menyalahi fiqh munakahat mazhab lainnya. Contoh dalam hal ini, umpamanya UU tidak mensyaratkan adanya wali dalam perkawinan pasangan yang telah dewasa. Menurut fiqh munakahat mazhab Syafi’i yang berlaku di Indonesia perkawinan yang demikian tidaklah sah, karena wali merupakan salah satu rukun dalam perkawinan. Meskipun demikian, ketentuan UU tersebut sudah sejalan dengan mazhab Hanafi. Dalam membicarakan sumber fiqh munakahat dan banyaknya versi kitab fiqh munakahat sebagai reasilasi dari pendapat yang beragam dalam memahami sumber fiqh tersebut yang belum menjalankan bagian-bagaian dari UU Perkawinan itu dapat diyakinkan bahwa sumber fiqh layak untuk direformulasi sehingga UU Perkawinan yang ada itu dapat diterima sebagai formulasi baru dari fiqh munakahat. Dengan demikian, UU Perkawinan secara prinsip dapat diterima karena tidak menyalahi ketentuan fiqh tertentu. Hal ini terjadi mungkin karena pembuat UU Perkawinan tersebut, yaitu DPR lebih memperhatikan kesadaran hukum mayarakat yang mayoritas adalah beragama Islam. 71 2.
KHI dan UU Perkawinan KHI disusun dengan maksud untuk melengkapi UU Perkawinan dan
diusahakan secara praktis mendudukkannya sebagai hukum perundang-undangan meskipun kedudukannya tidak sama dengan itu. KHI dengan demikian berinduk
71
Ibid.
57 Universitas Sumatera Utara
kepada UU Perkawinan. Dalam kedudukannya sebagai pelaksana praktis dari UU Perkawinan, maka materinya tidak boleh bertentangan dengan UU Perkawinan. Oleh karena itu, seluruh materi UU Perkawinan disalin ke dalam KHI meskipun dengan rumusan yang sedikit berbeda. Di samping itu, dalam KHI ditambahkan materi lain yang prinsipnya tidak bertentangan dengan UU Perkawinan. Hal ini terlihat dari jumlah pasal yang ada di antara keduanya. UU Perkawinan mempunyai lengkap 67 pasal sedangkan KHI mencapai 170 pasal.72 Sejauh materi UU perkawinan yang diatur dalam KHI, pengaturannya mengikuti rumusan yang terdapat dalam UU dan ditambahkan pasal-pasal lain yang tidak terdapat dalam UU sebagai pelengkap UU Perkawinan. Sejauh yang mengatur secara langsung materi perkawinan dalam UU Perkwinan tidak ada yang luput dari KHI. 3. Fiqh Munakahat dan KHI Di atas telah dijelaskan hubungan antara fiqh munakahat dengan UU Perkawinan. Kemudian dijelaskan pula bahwa KHI itu adalah UU Perkawinan yang dilengkapi dengan fiqh munakahat atau dalam arti lain fiqh munakahat itu adalah bagian dari KHI. Hubungan fiqh munakahat, dengan bagian KHI yang bukan merupakan fiqh munakahat, yaitu UU Perkawinan itu adalah sebagaimana digambarkan sebelum ini. Namun fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak seluruhnya sama dengan dengan fiqh munakahat.73
72 73
Ibid, hal. 31. Ibid, hal. 34.
58 Universitas Sumatera Utara