BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
A. Sejarah Hukum Perkawinan Penjelasan Umum UUP antara lain dinyatakan bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.12 Hal ini bermakna bahwa dengan keluarnya UUP “keanekaragaman” hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan warga negara dalam masyarakat dan dalam berbagai daerah dapat diakhiri. Namun demikian ketentuan hukum perkawinan sebelumnya, ternyata masih tetap dinyatakan berlaku, selama belum diatur sendiri oleh UUP dan hal itu tidak bertentangan dengan UUP tersebut.13 Ketentuan hukum perkawinan yang lama masih tetap berlaku sesuai dengan peruntukan yakni untuk mereka yang melangsungkan perkawinan sebelum lahirnya UUP, seperti berikut:14 a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum (perkawinan) Islam yang telah diresiplir dalam hukum adat;
12
Lihat Penjelasan Umum Angka 1 Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 13 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal 230 14 Ibid., hal 230-231
b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum perkawinan adat; c. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonnantie Christen Indonesia (Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia) Staatsblad 1933 Nomor 74; d. Bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa dan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa berlaku ketentuan-ketentuan KUH Perdata dengan sedikit perubahan; e. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum (perkawinan) adat dan agama mereka masing-masing; f. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku KUH Perdata. Lahirnya UUP ini bertitik pangkal dari anggapan peraturan perundangundangan yang mengatur masalah perkawinan di masa lalu sudah tidak cocok lagi dengan politik hukum dan kebutuhan masa kini. Oleh karena itu, undang-undang ini harus dipandang sebagai hasil proses penyempurnaan konsepsi-konsepsi hukum dimasa lalu. Suatu perwujudan dari berbagai keinginan dalam menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat “nasional” dan sesuai dengan kebutuhan hukum rakyat Indonesia dimasa kini dan masa mendatang.15 Kelahiran UUP bukan sekedar bermaksud menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat dan berlaku “nasional” dan “menyeluruh”, melainkan juga dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, lebih menyempurnakan,
15
Abdurrahman, Usaha-Usaha Penyempurnaan Pelaksanaan UUP, Jakarta, 1985, hal 90
memperbaiki atau bahkan menciptakan konsepsi-konsepsi hukum perkawinan yang baru sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman bagi rakyat Indonesia yang pluralistik. Dalam kaitan ini, penjelasan umum UUP antara lain menyatakan dalam undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan zaman.16 Cita unifikasi yang telah ditinggalkan oleh pemerintah kolonial Belanda menjadi aktual lagi dan bersifat nasional. Pemerintah kolonial belanda selalu mengalami kegagalan untuk menciptakan unifikasi hukun di Indonesia. Pada dasarnya rencana hukum tersebut mengarah dan berlandaskan kepada hukum Barat. Menggingat bangsa Indonesia merupakan bagian terbesar penduduk dan telah memiliki hukumnya sendiri, sudah tentu merasa keberatan untuk tunduk pada hukum Eropa yang merupakan bagian kecil saja dari penduduk Hindia Belanda pada waktu itu. Ahli-ahli hukum Indonesia memiliki perbedaan pendapat mengenai perlu tidaknya dilakukan unifikasi hukum perkawinan, berhubung hukum perkawinan tersebut erat kaitannya dengan kehidupan sosial keagamaan. Sebagian besar ahli hukum menghendaki adanya suatu unfikasi hukum perkawinan, namun oleh mereka diisyaratkan agar pengunifikasiannya dilakukan secara berhati-hati dan bertahap, jangan sampai menyinggung perasaan sesuatu golongan hukum tertentu. Sebaliknya ada yang mengecam pengunifikasian hukum perkawinan sebab
16
Rachmadi Usman, Op.cit., hal 231
hubungan hukum perkawinan dipengaruhi secara mendalam oleh paham-paham keagamaan dan kemasyarakatan. Tahun 1974 Indonesia telah berhasil menciptakan suatu hukum perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia dan dengan tanpa membedakan golongan penduduk dan daerah lagi, dengan mengatasi persoalanpersoalan yang selama ini dinilai krusial. Saat ini hukum di Indonesia telah berhasil menciptakan suatu unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional sebagaimana diatur dalam UUP, namun masih terbatas pada hal-hal yang bersifat administratif atau formal saja, selebihnya masih diserahkan kepada hukumnya masing-masing.17 Keinginan pemerintah untuk membentuk hukum perkawinan yang bersifat “nasional”, sudah mulai dirintis sejak tahun 1950. Pada masa lalu pembaharuan terhadap hukum perkawinan selalu menemui kegagalan berhubung subjek dan objek yang diatur hukum perkawinan berkaitan erat dengan kehidupan social keagamaan, yang tidak mudah untuk disatupadukan. Ini berarti pembaruan hukum perkawinan
nasional
harus
dilakukan
penuh
hati-hati,
sehingga
tidak
menimbulkan kekecewaan golongan penduduk lainnya. Semenjak tahun 1950 pemerintah telah memberikan perhatiannya pada hukum keluarga, terutama sekali yang berkaitan dengan Undang-Undang Perkawinan. Usaha pembaruan hukum keluarga ini mengalami banyak kegagalan berhubung denngan sifatnya yang sangat sensitif dan sangat erat sangkut pautnya dengan faktor-faktor spiritual dan kebudayaan bangsa, yang menyebabkan 17
Ibid., hal 233
kewenangannya harus dilakukan secara berhati-hati. 18 Pada akhir tahun 1950 dengan Surat Perintah Menteri Agama No B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 oleh pemerintah dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. 19 Panitia ini menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Karena keanggotaannya terdiri dari atas orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Tengku Hasan.20 Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan UndangUndang Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yang mengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum kepada semua organisasi pusat dan lokal dengan permintaan supaya masingmasing memberikan pendapat atau pandangannya tentang soal-soal tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari 1953.21 Rancangan yang dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :
18
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Hukum Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hal 18 19 Asro Soisroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal 9 20 Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Timun Mas, Jakarta, hal 176 21 Ibid., hal 177
1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15 bagi perempuan; 2. Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat; 3. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian hingga dapat memenuhi syarat keadilan; 4. Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama; 5. Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan yang tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum Islam; 6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.22 Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah, Talak dan Rujuk dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam rapatnya bulan Mei 1953 Panitia memutuskan untuk menyusun Undang-Undang Perkawinan menurut sistem yang berlaku:
22
Ibid., hal 178-179
1. Undang-Undang Pokok yg berisi semua peraturan yang berlaku bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama; 2. Undang-Undang Organik, yang mengatur soal perkawinan menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen Katolik, dan golongan Kristen Protestan; 3. Undang-Undang untuk golongan netral, yaitu yang tidak termasuk suatu golongan agama itu.23 Tahun 1954 akhirnya panitia telah berhasil membuat Rancangan UndangUndang tentang Perkawinan Umat Islam yang kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Kabinet akhir bulan September 1957 dengan penjelasan masih akan ada amandemen-amandemen yang menyusul. Tetapi sampai permulaan tahun 1958 belum ada tindakan-tindakan apapun dari pemerintah mengenai soal undang-undang perkawinan itu.24 Pemerintah juga selama bertahun-tahun tidak memberikan tanggapan sampai pada tahun 1958 beberapa anggota wanita parlemen di bawah pimpinan Soemari, mengajukan rancangan inisiatif terpenting diantaranya, setidak-tidaknya bagi dunia Islam Indonesia sebuah masalah yang menggemparkan bahwa didalam usul inisiatif itu telah ditetapkan suatu keharusan untuk menjalankan monogami. Pemerintah pada waktu itu sudah memberikan reaksi dengan mengemukakan suatu rancangan yang hanya mengatur perkawinan Islam. Justru dari pihak Islam tradisional terdapat keraguan apakah bagi orang-orang Islam diperlukan hukum perkawinan. Bukankah peraturan-peraturan yang sekali telah diberikan Tuhan, 23 24
Ibid., hal 180 Ibid., hal 182
sebagaimana yang telah diwahyukan secara cermat dalam syariat diperuntukkan untuk segala zaman dan negara. Bahan-bahan baru untuk didiskusikan yakni rencana-rencana tersebut tidak pernah dibahas selanjutnya.25 Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober 1959, Rancangan Undang-Undang Soemari tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya, kendati memperoleh perhatian yang besar dari sejumlah anggota DPR, Rancangan tersebut sepertinya tidak bepeluang untuk dibicarakan. Para anggota Partai Islam menngadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogami yang dikandung dalam Rancangan tersebut. Sudah barang tentu sebagai organisasi kaum
perempuan
memprotes
argumentasi
yang
dipergunakan
untuk
membenarkan poligami.26 Pembentukan
UUP
berproses
sangat
panjang
dan
kemudian
dimusyawarahkan dengan sungguh isi Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan, agar dapat menampung aspirasi masyarakat dan memberikan formulasinya secara teknis yuridis. Dalam memberikan isi kepada Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan tersebut diusahakan untuk mempertemukan aspirasi hukum yang berbeda-beda itupun tidak bisa dilakukan materi yang dipermasalahkan akan dicabut. Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa dilihat dari sudut fungsi hukum sebagai a tool of social engineering, Undang-Undang tentang Perkawinan ini tidak sesuai dengan perkiraan yang didasarkan pada kemampuan hukum untuk 25
J. Prins, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Alih Bahasa G.A. Ticoalu, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal 19-20 26 Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan Indonesia Dan Belanda, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal 196-197
menjalankan a tool of social engineering di bidang-bidang yang berkaitan erat dengan kehidupan kebudayaan dan spiritual masyarakat, namun dilihat dari proses perkembangan masyarakat menuju masyarakat industri, pengundang-undangan ini patut dicatat
sebagai suatu kemajuan yang besar. Undang-Undang tentang
Perkawinan ini memuat ketentuan-ketentuan yang apabila dinilai dari sudut tipe keluarga yang dikehendakinya, bisa digolongkan pada keluarga yang cocok untuk masyarakat modern industrial. Apabila ditempatkan pada latar belakang sebagai bentuk perkawinan di Indonesia yang masih mendasarkan diri pada ikatan dan struktur clan (kesukuan), maka kehadirannya dapat dinilai sebagai sarana untuk melakukan perubahan sosial. Perubahan sosial di sini terjadi dengan cara melakukan perombakan-perombakan pada struktur hubungan sosial.27 Apabila dilihat dari segi peranannya bagi pembangunan nasional, hukum perkawinan yang baru ini bisa dipandang sebagai satu bangunan yang didirikan di tengah-tengah masyarakat yang memberikan peringatan tentang berbagai janji yang termuat dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut. Ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya mungkin belum seluruhnya atau secara sempurna dapat dijalankan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini dan diingatkan pula agar berhati-hati dalam membuat hukum yang menyangkut bidang kehidupan yang bersifat pribadi, apalagi jika hukum itu hendak melakukan perombakanperombakan dibidang tersebut. Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji dalam sambutannya atas disetujuinya Rancangan Undang-Undang tentang
27
Satjipto Raharjo, Hukum Dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1979, hal 248-250
Perkawinan untuk dijadikan Undang-Undang tentang Perkawinan sangat penting terutama bagi pemerintah. Bagi suatu Negara dan Bangsa Indonesia adalah mutlak adanya UndangUndang Perkawinan Nasional dan dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang Perkawinan ini harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengandung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan hukum masing-agama agama dan kepercayaannya itu. Sebagai suatu Undang-Undang yang nasional sifatnya dan yg meliputi seluruh warga negara Indonesia, merupakan suatu penggarisan lanjutan dari TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, yang antara lain menentukan bahwa seluruh kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan hukum, dalam arti bahwa hanya ada satu hukum dalam hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Ketunggalekaan dalam Hukum Perkawinan ini dalam beberapa hal masih memungkinkan adanya kebinekaan. Undang-Undang tentang Perkawinan ini merupakan sutau refleksi dari pidato kenegaraan Presiden pada tanggal 16 Agustus 1973, tentang menyinggung Undang-Undang yang sekarang diselesaikan bersama dan disahkan oleh DPR yg terhormat. Undang-Undang tentang Perkawinan ini memiliki landasan bagi suatu perkawinan sebagai suatu lembaga yang suci dan luhur oleh semua agama dan cita budaya yang mengilhami alam fikiran, atas dasar mana dibangun suatu keluarga yang kekal, sejahtera, dan bahagia diwujudkan dalam asas monogami yang memandang poligami sebagai exceptional, dan restriktif dan perceraian harus dihindarkan, dan terdapat sesuatu untuk menaikkan kedudukan, harkat, dan martabat wanita, sedangkan pengaturan itu sejalan dengan tugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap kesucian dan keseluruhaun tujuan perkawinan.28 Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan, walaupun belum sempurna dan pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, baik teoritis maupun praktis tetapi telah memberikan suatu pegangan.29 B. Perkawinan Segala peraturan yang ada mengenai perkawinan itu akan mencakup pengertian daripada perkawinan. Ditinjau dari segi adanya peraturan tentang 28
Rachmadi Usman, Op.cit., hal 243-244 Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum, Rajawali, Jakarta, 1983, hal 53 29
perkawinan, maka perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang pria dengan seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan yaitu peraturan hidup bersama.30 Menurut Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam, perkawinan yang disebut “nikah” berarti : Melakukan suatu akad atau perjanjian untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan caracara yang diridhoi oleh Allah.31 Dilihat dari aspek hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengandung tiga karakter khusus, yaitu :32 1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak; 2. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan tersebut berdasarkan ketentuan yang ada dalam hukum-hukumnya; 3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Persetujuan perkawinan itu secara prinsipil berbeda dengan persetujuanpersetujuan lainnya, seperti persetujuan jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar dan lain-lain.
30
Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung,
1984, hal 7 31
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, 1977, hal 10 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, hal 10 32
Sejak semula dalam persetujuan perkawinan telah ditentukan oleh hukum isi dari persetujuan antara suami isteri, sementara pada persetujuan biasa para pihak pada pokoknya bebas menentukan isi dari persetujuan itu sesuka hatinya asalkan isi persetujuan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan, undangundang dan ketertiban umum.33 Pengertian perkawinan menurut KUH Perdata Pasal 26, yang mengatakan bahwa perkawinan ialah Pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Pada KUH Perdata memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja, yang berarti bahwa asalnya suatu perkawinan hanya ditentukan oleh pemenuhan syarat-syarat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut, sementara syarat-syarat serta pengaturan agama dikesampingkan.34 Perkawinan dianggap suatu lembaga yang terikat pada suatu pengakuan oleh negara dan hanya sah bila dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang (penguasa).35 Hal tersebut berbeda dengan perkawinan yang sekarang dianut oleh hukum positif di Indonesia. UUP memberikan defenisi perkawinan dalam Pasal 1, yang menyatakan bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang kekal dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian tersebut mengandung makna bahwa suatu perkawinan adalah suatu perikatan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti 33
Wirjono Projodikoro, Op.cit., hal 8 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hal 23 35 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia, Surabaya Airlangga University Press, Surabaya, 1988, hal 36 34
dalam suatu perkawinan terdapat unsur keagamaan yang kuat, bahwa tiada perkawinan tanpa didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Terdapat beberapa hal dari rumusan perkawinan tersebut di atas yang perlu diperhatikan :36 1. Digunakannya kata: “seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara Barat. 2. Digunakannya ungkapan “sebagai suami isteri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalaha bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam satu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”. 3. Dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil. 4. Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama. Selain pengertian perkawinan berdasarkan UUP, karena di Indonesia mengakui adanya beberapa agama dan berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) UUP yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
36
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2007, hal 40
masing-masing agamanya dan kepercayaannya”, maka perlu juga diketahui pengertian dari perkawinan menurut hukum agama. Menurut hukum agama pada umumnya, perkawinan merupakan perbuatan yang suci (sakramen; samskara) yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya.37 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan defenisi lain yang tidak mengurangi arti-arti defenisi UUP tersebut namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan yang terdapat pada Pasal 2 menyatakan bahwa : “Perkawinan menurut islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan gahlizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UUP yang mengandung arti bahwa akad pernikahan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Ungkapan untuk menaati perintah Allah dan pelaksanaannya merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam UUP. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam
37
Hilman Hadikusuma, Loc.cit.
merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.38 Suatu perkawinan yang dibangun dengan dilandasi cinta kasih dan saling menghormati dan menghargai satu sama lain merupakan tonggak kuat menuju rumah tangga yang sejahtera. Atas dasar tersebut maka setiap perkawinan yang dilakukan pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut antara lain adalah ingin menciptakan suatu rumah tangga yang bahagia dan sejahtera baik secara materil maupun imateril. Dalam UUP disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti tujuan perkawinan di sini bukan hanya tujuan dari segi keperdataan saja akan tetapi tujuan di sini lebih mengarah kepada hubunngan yang bersifat spiritual, yaitu hubungan harmonis antara kedua manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan yang pelaksanaannya sesuai dengan agama masing-masing. Pada penjelasan umum UUP menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan perkawinan maka suami isteri perlu saling bantu membantu dan melengkapi
agar
masing-masing
dapat
mengembangkan
kepribadiannya
membantu dan mencapai kebahagiaan spiritual dan materil. Agar tujuan dan citacita perkawinan itu dapat tercapai maka setiap anggota keluarga khususnya suami isteri dituntut agar dapat menciptakan stabilitas dalam keluarga sehingga keharmonisan akan tetap terjaga dalam rumah tangga karena ini merupakan modal utama tercapainya tujuan perkawinan.
38
Amir Syarifuddin, Op.cit., hal 40-41
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat keperdataan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan berumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan. Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lainnya berbeda-beda, termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda-beda diantara suku bangsa yang satu dan suku bangsa yang lain.39 Tujuan perkawinan menurut hukum agama juga berbeda antar agama yang satu dan agama yang lainnya. Menurut hukum Islam tujuan perkawianan adalah untuk menegakkan agama, untuk mendapatkan keturunan yang sah, untuk mencegah maksiat dan untuk membina keluarga rumah tangga yang damai dan teratur. Menurut hukum agama Kristen tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu persekutuan hidup yang kekal antara pria dan wanita yang berdasarkan cinta kasih dan untuk melahirkan anak dan mendidik anak serta saling tolong menolong antara suami isteri dan obat nafsu. Hukum agama Budha memberikan rumusan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha/Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan Para Bodhisatwa-Mahatsatwa. Selanjutnya tujuan perkawinan menurut hukun agama Hindu adalah untuk mendapatkan keturunan
39
Hilman Hadikusuma, Op.cit., hal 22
dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra (yang akan menyelamatkan orangtuanya dari neraka).40 Untuk mencapai tujuan perkawinan tersebut, maka dapat dilihat dari perumusan Pasal-Pasal dalam UUP, Penjelasan Umum, dan Penjelasan Pasal demi Pasalnya, maka dapat disimpulkan bahwa UUP menghendaki :41 a. Adanya perkawinan yang kekal abadi, artinya perkawinan diharapkan hanya putus karena kematian salah satu pihak (suami/isteri); b. Dalam perkawinan tidak terjadi adanya perceraian; c. Perkawinan dilakukan oleh mereka yang telah cukup umur; d. Adanya perkawinan monogami; e. Adanya perkawinan atas dasar agama; f. Adanya keturunan dalam perkawinan; g. Adanya perkawinan berdasarkan hukum. Beberapa unsur-unsur perkawinan adalah sebagai berikut : a. Unsur Agama/Kepercayaan Suatu perkawinan harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 UUP. Selain itu unsur agama juga terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, kemudian dalam Pasal 8 huruf
(f) dijelaskan bahwa 2 (dua) orang yang berbeda agama
dilarang untuk melakukan perkawinan. Oleh karena itu, unsur agama dalam suatu perkawinan merupakan salah satu unsur yang penting dalam melakukan 40
Ibid., hal 23-24 Wahyu Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal 5 41
suatu perkawinan, sehingga suatu perkawinan tidak dapat dilakukan dengan seenaknya saja. b. Unsur Biologis UUP memberikan jalan keluar bagi pasangan yang secara biologis tidak dapat memiliki
keturunan.
Dalam
Pasal
4
ayat
(2)
dijelaskan
bahwa
ketidakmampuan isteri untuk melahirkan keturunan dapat dijadikan alasan bagi seorang suami untuk menikah lagi. Kemudian dalam Pasal 7 ayat (2) diatur mengenai batas usia bagi pria dan wanita untuk menikah juga termasuk dalam unsur biologis. Untuk melakukan perkawinan seorang pria minimal berumur 19 (Sembilan belas) tahun, sedangkan bagi wanita minimal berumur 16 (enam belas) tahun. c. Unsur Sosiologis Memperoleh keturunan merupakan salah satu tujuan dari perkawinan. Dalam UUP diatur mengenai batas umur untuk melakukan perkawinan. Untuk pria batas minimal adalah berumur 19 (Sembilan belas) tahun, sedangkan untuk wanita batas minimal berumur 16 (enam belas) tahun. Kalau calon mempelai menikah dibawah umur yang ditentukan, dikhawatirkan dalam menjalankan rumah tangganya mereka belum memiliki rasa tanggung jawab, kedewasaan dan kematangan fisik dan mental, oleh karena itu perkawinan haruslah dilakukan dengan persiapan yang matang.42
42
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1978, hal 2
d. Unsur Yuridis Suatu perkawinan harus dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang. Perkawinan sah jika dilakukan sesuai dengan syarat dan prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang. UUP menganut asas monogami, dimana seorang pria hanya boleh menikah dengan seorang wanita, dan seorang wanita hanya boleh menikah dengan seorang pria. e. Unsur Hukum Adat Seorang anak selalu mempunyai hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya. Pasal 2 ayat (1) UUP menentukan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dari rumusan ini berarti tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu ialah suatu perkawinan adalah sah, bila dilangsungkan
menurut
hukum
agamanya
masing-masing
termasuk
kepercayaannya sepanjang diakui oleh negara Republik Indnonesia. Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP, maka dapat dilihat bahwa Undang-undang perkawinan ini menggantungkan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya. Menurut pendapat Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika bahwa : Sahnya perkawinan itu ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang melakukan perkawinan, berarti apabila suatu perkawinan yang dilakukan bertentangan degan ketentuan agama dan kepercayaannya, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.43 Jelaslah suatu perkawinan yang didasarkan pada UUP adalah mutlak dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya dari masing-masing 43
Ibid., hal 20
orang yang akan melaksanakan perkawinan, kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah.44 Undang-undang perkawinan juga menentukan syarat-syarat perkawinan di samping ketentuan-ketentuan masing-masing agama dan kepercayaan, sebagai berikut :45 1. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai. Jadi, dalam perkawinan ada kebebasan berkehendak dan dihindari adanya unsur paksaan. 2. Seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari orang tuanya. Sedangkan menyimpang dari umurumur disebutkan diatas, dapat meminta dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak perempuan maupun pihak lelaki. Dalam undang-undang ditentukan untuk pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, dan untuk pihak perempuan sudah mencapai 16 (enam belas) tahu. Tiap-tiap negara dapat menentukan batas umur untuk kawin. Ketentuan itu menegaskan bahwa bagi mereka yang berumur 21 (dua puluh satu) tahun ke atas tidak memerlukan izin dari orang tuanya. 3. Jika salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 44 45
K. Wantjik Saleh, Op.cit., hal 16 Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit., hal 13-14
4. Jika kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat diantara mereka atau jika seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan kehendaknya maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang disebutkan diatas. 6. Hal-hal yang disebutkan di atas angka satu sampai lima, berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain. C. Perceraian Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan yang diatur dalam UUP yang ditempatkan pada Bab VIII dimana Pasal 38 menentukan : “Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian; b. Perceraian; dan c. Atas keputusan pengadilan”.
Putusnya perkawinan karena perceraian bukanlah suatu hal yang mutlak terjadi karena dapat diatasi agar tidak terjadi perceraian. Penjelasan umum dari UUP menyebutkan bahwa :46 “Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, …” Berdasarkan penjelasan umum dinyatakan prinsip Undang-Undang sejauh mungkin menghindarkan terjadinya perceraian. Perceraian yang di maksud dalam UUP dan pengaturan yang ditentukan dalam Undang-Undang menganggap perceraian hanyalah merupakan pengecualian dari prinsip kekal abadinya perkawinan. Artinya dalam suatu perkawinan maka suami isteri pada hakikatnya diharapkan dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sehingga perceraian sejauh mungkin dapat dihindarkan. Perceraian hanya dapat terjadi apabila sebelumnya telah ada hubungan suami-isteri (hubungan perkawinan) sebagaimana yang dimaksudkan oleh UUP. Untuk memberikan pengertian yang lebih bulat lagi, perlu pula dikemukakan pengertian Perkawinan menurut Pasal 1 UUP, sebagai bahan perbandingan, yakni: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan melihat perumusan Pasal tersebut, akan bertambah lagi pemahaman
mengenai
perceraian,
yang
memiliki
makna
yang
saling
bertentangan, yaitu perceraian merupakan suatu pengecualian terhadap prinsip
46
Lihat Penjelasan Umum Angka 4 huruf e Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
perkawinan yang kekal yang diakui oleh semua agama.47 Dari uraian di atas, dapat diidentifikasikan beberapa hal mengenai perceraian, yakni : a. Perceraian adalah salah satu peristiwa yang menyebabkan putusnya perkawinan; b. Perceraian memiliki akibat-akibat hukum tertentu bagi masing-masing pihak; c. Perceraian merupakan pengecualian terhadap prinsip perkawinan yang kekal yang diakui oleh semua agama. Perceraian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perihal bercerai antara suami isteri, yang kata “bercerai” itu sendiri artinya “menjatuhkan talak atau memutuskan hubungan sebagai suami isteri.” Menurut KUH Perdata Pasal 207 perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam undang-undang. Sementara pengertian perceraian tidak dijumpai sama sekali dalam UUP begitu pula di dalam penjelasan serta peraturan pelaksananya. Meskipun tidak terdapat suatu pengertian yang otentik tentang perceraian, tidak berarti bahwa masalah perceraian ini tidak diatur sama sekali di dalam UUP. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, pengaturan masalah perceraian menduduki tempat terbesar. Hal ini lebih jelas lagi apabila kita melihat peraturan-peraturan pelaksananya.
47
T. Jafizham, Persintuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, Mestika, Jakarta, 2006, hal 54
Dalam UUP mengenai masalah perceraian ini, diperjelas pengaturannya pada Bab VIII yang mengatur tentang Putusnya Perkawinan serta Akibatnya. Pasal 38 menentukan bahwa : “Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian; b. Perceraian; dan c. Atas keputusan pengadilan”. Beberapa sarjana juga memberikan rumusan atau defenisi dari perceraian, antara lain : a. Menurut Subekti sebagai berikut : 48 “Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.” b. Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin sebagai berikut :49 ”Perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur yang didalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun dari isteri untuk pemutusa perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan isteri.” c. Menurut P.N.H. Simanjuntak sebagai berikut :50 “Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.” d. Menurut Soemiyati sebagai berikut : “Menurut hukum Islam talak mempunyai dua arti yaitu talak dalam arti umum adalah segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggal salah seorang suami atau isteri, sementara dalam arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.51 48
Subekti, Op.cit., hal 42 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang Dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1986, hal 109 50 P.N.H.Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007, hal 53 51 Soemiyati, Op.cit., hal 104 49
Dua orang yang mempunyai sifat dan kepribadian yang berbeda disatukan dalam suatu ikatan perkawinan, tentu bukan suatu hal yang akan terus berjalan mulus. Pasti ada masanya di antara suami isteri akan timbul masalah baik itu disebabkan oleh isteri maupun suami. Karena masalah yang ada di antara mereka tidak menemukan jalan keluar yang baik, maka salah satu pihak dapat mengajukan perceraian. UUP menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian, karena perceraian akan membawa akibat buruk bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan maksud untuk mempersukar terjadinya perceraian maka ditentukan bahwa melakukan perceraian harus ada cukup alasan bagi suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.52 Undang-Undang
tidak
membolehkan
perceraian
dengan
dasar
permufakatan atau persetujuan semata antara suami dan isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. UUP, dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, menyebutkan beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian, yaitu : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
52
307
Sudarsono, Lampiran UUP Dengan Penjelasannya, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun dan hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Selain itu, ketentuan dalam Pasal 116 KHI menyebutkan alasan lainnya yang dapat dijadikan dasar bagi perceraian, yakni : a. Suami melanggar taklik talak; b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Alasan perceraian di atas disebutkan secara limitatif, artinya selain alasanalasan yang disebut dalam Undang-Undang bukan merupakan alasan perceraian. Dengan demikian alasan lain tidak bisa diajukan sebagai dasar gugatan.53 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengenal 2 (dua) macam bentuk perceraian yaitu : a. Cerai Talak Istilah cerai talak ini disebutkan dalam penjelasan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Peraturan mengenai cerai talak ini yang diatur dalam Pasal 14 sampai Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
53
Martiman Projohamidjojo, Op.cit., hal 40
Adapun bunyi Pasal 14 Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut, “Pasal ini berikut Pasal 15, 16, 17, dan 18 mengatur tentang cerai talak.” Cerai talak yang dimaksud uraian di atas adalah untuk mereka yang beragama Islam seperti yang dirumuskan oleh Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu menurut seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Uraian Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah tersebut memberi hak kepada seorang suami yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam untuk menjatuhkan talak kepada isterinya. Ini berarti UndangUndang Perkawinan Nasional mengakui bahwa talak itu hak suami, ketentuan ini sejalan pula dengan ketentuan hukum Islam. b. Gugatan Perceraian K. Wantjik Saleh mengemukakan yang dimaksud dengan gugatan perceraian adalah perceraian karena ada suatu gugatan lebih dahulu dari salah satu pihak kepada pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan. 54 Gugatan Perceraian diatur di dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pada Pasal 20 Peraturan Pemerintah tersebut ditegaskan hal sebagai berikut.
54
K. Wantjik Saleh, Op.cit., hal 40
“Gugatan perceraian dimaksud dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam.”Berdasarkan pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa gugatan perceraian dilakukan oleh : (a) seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam; dan (b) seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama islam.55 Bagi yang beragama Islam, perceraian berlaku terhitung sejak tanggal jatuhnya putusnya perkawinan oleh pengadilan agama yang telah mempunyai kekuatan yang tetap, sedangkan bagi mereka yang non muslim, suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftaran putusannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat. Pasal 39 ayat (1) Nomor 1 Tahun 1974 memuat ketentuan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak sedangkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang yang sama memuat ketentuan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan. Adapun yang dimaksud dengan pengadilan di sini ialah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri) bagi lainnya sebagaimana ditentukan oleh Pasal 63 ayat (1) dan (2) UUP. Jika gugatan perceraian dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, maka pengadilan yang akan memeriksa dan memutus gugatan perceraian itu adalah Pengadilan Agama. Tetapi jika gugatan jika gugatan perceraian dilakukan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan 55
R. Sardjono, Masalah Perceraian, Academica, Jakarta, 1979, hal 21
perkawinan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam maka pengadilan yang akan memeriksa dan memutus gugatan perceraian itu adalah Pengadilan Umum (Pegadilan Negeri). D. Akibat Hukum Perkawinan Dan Perceraian Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang sudah tentu menimbulkan akibat hukum, dalam perkawinan akibat hukum dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) masalah penting, yaitu : 1. Masalah Suami-Isteri Akibat hukum setelah terjadinya suatu perkawinan adalah hubungan antara suami dengan isteri, terutama yang menyangkut soal hak dan kewajiban. UUP mengatur hal tersebut dengan merumuskan hubungan tersebut dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34. Antara suami isteri diberikan hak dan kedudukan dalam kehidupan rumah tangga maupun pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. 56 Adanya hak dan kedudukan yang seimbang ini dibarengi dengan suatu kewajiban yang sama pula untuk membina dan menegakkan rumah tangga yang diharapkan akan menjadi dasar dari susunan masyarakat. Pembinaan rumah tangga diperlukan saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir-bathin. Suatu rumah tangga yang dibina, haruslah mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang untuk itu haruslah ditentukan secara bersama.
56
K. Wantjik Saleh, Op.cit., hal 33
Persamaan yang lain adalah dalam hal melakukan perbuatan hukum. Suami dan isteri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Umpamanya seorang isteri dapat saja mengadakan perjanjian, jual beli dan lain lain perbuatan hukum sendiri tanpa memerlukan bantuan atau pendampingan dari suaminya. Bahkan diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan gugatan kepada Pengadilan apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya.57 Berdasarkan kodrat dan untuk pembagian kerja, maka antara suami dan isteri diberikan perbedaan. Suami dibebani kewajiban untuk mendampingi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dinyatakan dengan tegas bahwa suami adalah “kepala keluarga”, sedangkan isteri adalah “ibu rumah tangga”. Isteri sebagai ibu rumah tangga, tentulah harus mengatur urusan rumah tangga itu dengan sebaik-baiknya. 2. Masalah Orang Tua Dan Anak Akibat hukum yang timbul dari perkawinan adalah kedudukan anak serta bagaimana hubungan antara orangtua dengan anaknya. UUP mengaturnya dalam pasal 42 sampai dengan pasal 49.58 Pasal 42, 43, dan 44 menjelaskan masalah sahnya seorang anak yang merupakan bagian terpenting yaitu pernyataan bahwa yang dianggap sebagai anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Mengenai hak dan kewajiban antara orang tua dan anak diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UUP dimana ditentukan bahwa orangtua wajib 57 58
Ibid., hal 34 Ibid.
memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan terus walaupun perkawinan antara urang tua itu putus. Orang tua juga menguasai anaknya sampai anak berumur 18 tahun atau belum pernah kawin. Kekuasaan itu juga meliputi untuk mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Kekuasan tersebut dapat dicabut atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat berwenang, dengan alasan kalau orang tua tersebut sangat melalaikan kewajibannya atau berkelakuan sangat buruk. Kewajiban anak terhadap orangtua pertama sekali adalah untuk menghormati dan menaati kehendak orang tua yang baik dan apabila orang tua telah beranjak tua maka sesuai dengan kemampuannya anak wajib memelihara orangtuanya. 3. Masalah Harta-Benda Akibat hukum dari sebuah perkawinan adalah mengenai persoalan hartabenda yang merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan atau ketegangan dalam perkawinan, sehingga mungkin akan menghilangkan kerukunan hidup berumah tangga. Akibat perkawinan terhadap harta benda ini diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UUP.59 Menurut Pasal 35 UUP akibat ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu terhadap :
59
Ibid., hal 35
a. Harta bawaan yaitu harta benda yang diperoleh kedua belah pihak sebelum perkawinan dilangsungkan, baik harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah maupun harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai warisan sebelum perkawinan dilangsungkan dikategorikan juga ke dalam harta bawaan. b. Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh baik oleh suami maupun isteri selama perkawinan, dan terhadap harta benda ini suami ataupun isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Mengenai harta bersama, baik suami atau isteri dapat mempergunakannya dengan persetujuan salah satu pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan, suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya masing-masing atas harta bendanya itu. Apabila perkawinan putus ditentukan pula terhadap harta bersama dinyatakan diatur menurut hukumnya masing0masing. Adapun yang dimaksud dengan “hukumnya” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.60 Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah dihadapan hakim Pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang. Dengan putusnya perkawinan, maka sudah tidak ada lagi pertalian perkawinan menjadi terhenti. Adanya perceraian maka akan menimbulkan akibat hukum, baik terhadap suami atau isteri yang ditinggalkan juga sudah pasti terhadap anak-anak. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana UUP tidak disebutkan atau tidak diatur tentang akibat perceraian.
60
Ibid.
Hanya dalam UUP pada Pasal 41 disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :61 a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak; pengadilan memberikan keputusannya; b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. E. Perkawinan Campuran Pasal 27 Undang_Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa seluruh Warga Negara Indonesia kedudukannya sama dalam hukum, termasuk di dalamnya hak asasi manusia untuk menikah dengan siapapun baik, baik sesama warga negara maupun dengan Warga Negara Asing sekalipun berbeda agama. Ketentuan mengenai perkawinan campuran sebelum diatur dalam UUP yang bersifat nasional dan berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia, maka pengaturannya berdasarkan Regeling Op de Gemende Huwelijken Staatblaad 1898 Nomor 158, atau yang lebih dikenal dengan sebutan GHR, Menurut Pasal 1 GHR maka “perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada 61
Ibid., hal 44
hukum yang berlainan disebut perkawinan campuran”. 62 Istilah hukum yang berlainan jika ditafsirkan secara luas dapat meliputi pengertian-pengertian sebagai berikut : 1. Hukum yang berlaian itu dapat terjadi kombinasi antara stetsel hukum Perdata Barat dan Stetsel Hukum Adat Perkawinan Campuran, demikian disebut perkawinan campuran antaragolongan (intergentil); 2. Hukum yang berlainan dapat terjadi kombinasi antara stetsel hukum adat lain, perkawinan campuran demikian disebut perkawinan campuran antartempat (interlokal); 3. Hukum yang berlainan dapat terjadi kombinasi antara stetsel hukum islam dengan stetsel hukum nasrani, perkawinan campuran demikian disebut perkawinan campuran antaragama; 4. Hukum yang berlaian dapat terjadi kombinasi antara stetsel hukum nasional dan stetsel hukum asing disebut perkawinan campuran internasional.63 Pasal 7 GHR menyebutkan bahwa “perberdaan agama”, golongan rakyat, atau keturunan tidak dapat merupakan penghalang suatu perkawinan. Dari Pasal 1 dan Pasal 7 ini, maka yang disebut perkawinan campuran menurut GHR mencakup perkawinan antar agama, antar golongan, dan antar tempat. Pengertian perkawinan menurut GHR ini lebih luas dibandingkan degan pengertian perkawinan campuran menurut UUP. Sebab perkawinan campuran menurut UUP hanya didasarkan atas adanya hukum yang berlainan karena kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia, sedangkan 62 63
Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, Alumni, Bandung, 1995, hal 10 Soedharyo Soeimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, hal 112
dalam GHR tidak hanya mencakup perkawinan antar dua org yang berbeda kewarganegaraan akan tetapi juga mencakup perkawinan antar agama ataupun antar tempat. Sehingga dibandingkan dengan UUP maka pengertian campuran dalam GHR ini lebih luas dibandingkan dengan yang diatur dalam Pasal 57 sampai Pasal 62 UUP. Berdasarkan Pasal 57 UUP , perkawinan campuran diartikan sebagai suatu perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena
perbedaan
kewarganegaraan,
salah
satu
pihak
berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa perkawinan campuran di Indonesia diartikan hanyalah perkawinan antara mereka yang mempunyai kewarganegaraan berbeda, 64 sedangkan perkawinan antara mereka yang berbeda agama bukan termasuk dalam perkawinan campuran, jika dilakukan oleh warga negara Indonesia. Undang-Undang
menentukan
syarat
bagi
seseorang
yang
ingin
melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat tersebut antara satu negara dengan negara yang lain berbeda-beda. Di Indonesia syarat untuk melakukan perkwian diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 11 UUP. Seseorang yang ingin melangsungkan perkawinan yang termasuk dalam lingkup perkawinan campuran maka mereka juga harus tunduk pada syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan dari masing-masing negaranya. Di Indonesia syarat-syarat untuk 64
K. Wantjik Saleh menyimpulkan bahwa Perkawinan Campuran menurut UUP itu, kongkritnya adalah : 1. Seorang pria Warga Negara Indonesia kawin dengan seorang wanita Warga Negara Asing, atau 2. Seorang wanita Warga Negara Indonesia kawin dengan seorang pria Warga Negara Asing.
melangsungkan perkawinan campuran diatur dalam Pasal 60 UUP. Oleh karena perkawinan campuran di Indonesia merupakan perkawinan natar Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing, maka syarat tersbeut juga terbagi menjadi dua yaitu syarat bagi Warga Negara Indoensia sendiri dan syarat bagi Warga Negara Asing. Warga Negara Indonesia yang ingin melangsungkan perkawinannya dengan seorang Warga Negara Asing harus memenuhi syarat-syarat yang telah dittapkan oleh UUP jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, serta harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan Pegawai Pencatat perkawianan tempat perkawinan itu dilangsungkan. UUP menentukan persyaratan untuk sahnya perkawinan yang dilangsungkan. Tidak terpenuhinya syarat yang ditentukan oleh undang-undang tersebut, menyebabkan pria dan wanita itu tidak dapat melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat perkawinan telah dijabarkan pada sub bab sebelumnya. Syarat-syarat yang harus dijalani dalam proses perceraian perkawinan campuran sama dengan proses perceraian pasangan Indonesia. 65 Seperti yang telah dikemukakan bahwa hukum perkawinan di Indonesia mengenal lembaga perceraian yang memutuskan suatu perkara perceraian. Namun pada perkawinan campuran terdapat perbedaan terhadap status kewarganegaran anak yang masih di bawah umur yang akan segera otomatis mengikuti kewarganegaraan ayah sampai dengan mencapai usia 18 tahun baru kemudian dapat memilih kewarganegaraan.
65
Lihat Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Bab V Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Seperti perceraian pada umumnya perceraian pada perkawinan campuran pun menimbulkan akibat-akibat terhadap hubungan suami isteri yang bercerai, juga terhadap anak jika ada dan mengenai harta bersama, bahkan terhadap status personil mereka sehubungan dengan perubahan kewarganegaraan. Hal-hal tersebut akan diuraikan satu per satu sebagai berikut :66 a. Kewarganegaraan Putusnya perkawinan mempengaruhi hal kewarganegaraan seseorang dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dikatakan bahwa : 1) Perempuan WNI yang kawin dengan Laki-laki WNA kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan isteri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut; 2) Laki-laki WNI yang kawin dengan perempuan WNA kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asaln isterinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan isteri akibat perkawinan tersebut; 3) Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud ayat (2) jika ingin tetap menjadi WNI dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan RI yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda; 4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah tiga (3) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung. Ketentuan di atas, memberi kemungkinan bagi mereka yang karena perkawinannya telah kehilangan kewarganegaraan Indonesia, untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesianya tersebut. Sedangkan bagi mereka yang karena perkawinan telah mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, dapat pula kehilangan kewarganegaraan indonesianya tersebut jika perkawinan terputus, 66
Yudie Reza Haryansyah, Pelaksanaan UUP Tentang Perkawinan Terhadap Perceraian Pada Perkawinan Campuran, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hal 54-59
berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, bahwa : Warga negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaran republic Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf I, Pasal 25, Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) dapat memperoleh kembali kewarganegaraan republik indonesia denngan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri tanpa melalui prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai Pasal 17. Ketentuan tersebut di atas, menyebabkan perceraian pada perkawinan campuran menurut UUP mempunyai akibat terhadap status personal para pihak, dalam hal ini suami isteri yang bercerai yaitu yang berkenaan dengan hal kewarganegaraan. Hal ini diperjelas oleh Pasal 59 ayat (1) UUP , bahwa : Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik yang mengenai hukum public maupun mengenai hukum perdata. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa putusnya perkawinan campuran dapat menyebabkan seseorang memperoleh kewarganegaraan menurut ketentuan yang berlaku, sehingga kewarganegaraan tersebut menentukan hukum yang berlaku bagi dirinya. b. Nafkah Isteri Menurut UUP terdapat kemungkinan pembiayaan sesudah bercerai yang diatur pada Pasal 41 huruf c yang berbunyi : “pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isterinya.”
Ketentuan di atas mengatur tentang akibat putusnya perkawinan karena perceraian, bahwa kemungkinan suami diberi kewajiban untuk memberi nafkah kepada isteri yang telah diceraikannya. c. Kekuasaan Orang Tua dan Biaya Pemeliharaan Anak Masalah kekuasaan orang tua dan biaya pemeliharaan baru timbul apabila perkawinan campuran melahirkan anak, sehingga perceraian pada perkawinan campuran tersebut mempengaruhi kedudukan anak. Mengenai kekuasaan orang tua dan biaya pemeliharan anak dalam perceraian perkawinan campuran sama dengan akibat putusnya perceraian pada pasangan Indonesia yaitu pada Pasal 41 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUP . Hanya saja karena perkawinan campuran ini mengandung persoalan dua hukum yang berbeda, maka masalah mengenai persoalan hukum yang menguasai perwalian ini juga memerlukan pertimbangan mengenai hukum mana yang harus diberlakukan untuk menyelesaikannya, hukum ayah, hukum ibu, ataukah hukum si anak itu sendiri. d. Harta Bersama UUP Pasal 37 menyatakan bahwa : “bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatus menurut hukumnya masing-masing.” Ketentuan tersebut mendapat uraian dalam Penjelasan Pasal 37 UUP bahwa: “yang dimaksud dengan ‘hukumnya’ masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukumhukum lainnya.”
Ketentuan di atas menyerahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.67 Apabila terdapat pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah harta bersama, maka hakim akan menyelesaikan pembagian harta bersama tersebut berdasarkan hukum yang telah dipilih sehingga hakim harus menentukan hukum mana yang berlaku, hukum pihak isteri atau suami. F. Peraturan Mengenai Perkawinan Penjelasan mengenai peraturan-peraturan tentang perkwinan
pada
pembahasan sejarah hukum perkawinan telah menjabarkan bahwa setelah lahirnya Undang-Undang Perkwinan Nasional yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 1974 maka peraturan-peraturan lama setelah diundangkannya UUP tidak berlaku lagi. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 66 UUP bahwa : “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkaiwnan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesie S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemende Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, di nyatakan tidak berlaku.” Ketentuan perkawinan yang secara khusus atau berkaitan dengan perkawinan yang berlaku pada saat ini dapat ditemukan dalam :
67
Hilman Hadikusuma, Op.cit., hal 176
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dengan berlakunya UUP, terjadi perubahan fundamental terhadap kodifikasi hukum perdata barat. Karena UUP menyatakan: “ketentuan-ketentuan perkawinan yang diatur dalam Burgerlijk Wetbiek tidak berlaku lagi. Pernyataan ini membawa pengaruh terhadap Buku I Burgerlijk Wetboek dimana sebagian ketentuan dalam pasal-pasal dari Buku I Burgerlijk Wetboek yang mengatur mengenai perkawinan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi . UUP memuat kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan perkawinan dalam garis besar secara pokok, yang selanjutnya ditindak lanjuti dalam pelbagai peraturan pelaksananya. Ini berarti UUP akan berfungsi sebagai “paying” dan “sumber pokok” bagi pengaturan hukum perkawinan, perceraian, dan rujuk yang berlaku bagi semua warga negara di Indonesia. Dengan demikian, UUP mengadakan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan nuances (kebhinekaan) yang masih harus dipertahankan,
karena
masih
berlakunya
ketentuan-ketentuan
hukum
perkawinan yang beraneka ragam dalam masyarakat hukum Indonesia. 68 Dengan sendirinya UUP mengadakan perbedaan hukum perkawinan, yang berlaku secara khusus bagi golongan penduduk warga negara Indonesia tertentu dan itu didasarkan kepada hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya itu. Bagi umat beragama selain tunduk pada UndangUndanng Nomor 1 Tahun 1974 juga tunduk pada ketentuan hukum agamanya
68
Rachmadi Usman, Op.cit., hal 245
atau kepercayaan agamanya, sepanjanag belum diatur dalam UUP. Apa yang diatur dalam UUP terbatas pada mengatur soal-soal perkawinan yang belum diatur oleh hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya itu.69 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah Undang-Undang tentang Peradilan Agama yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkannya pada tanggal 29 Sesember 1989. Secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 diatur hal yang berkenaan dengan sengketa perkawinan sekaligus meningkatkan pengaturan hukum acara sengekta perkawinan yang sampai saat ini masih diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu mengenai : a. cerai Talak (Pasal 66 sampai dengan Pasal 92); b. cerai Gugat (Pasal 73 sampai dengan Pasal 86); dan c. cerai dengan alasan zina ({Pasal 87 sampai dengan Pasal 88).70 Adanya perundang-undangan khusus seperti Undang-Undang Peradilan Agama ini yang melayani kepentingan golongan penduduk pemeluk suatu agama bukanlah dimaksudkan sebagai suatu pengaturan materi secara diskriminatif sewenang-wenang, ataupun mengurangi martabat manusia. Dengan adanya karakteristik pada ada golonngan agama yang bersangkutan maka ia menimbulkan legal distinction, bukan suatu inequality bfore the law. Sebaliknya tidak dapat pula dikatakan asas persamaan dalam hukum ini hanya 69 70
Ibid., hal 246 Ibid., hal 249
dianggap sah apabila factual conditions sama secara keseluruhan. Oleh karena itu, selalu dapat dipikirkan suatu pengaturan hukum yang mengenai sesuatu golongan yang didasarkan pada suatu agama. 3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dalam KUH Perdata dituangkan dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 249 Buku I tentang Orang, dengan beberapa pengecualian bagi golongan Timur Asing Cina, yang dihimpun dalam di bawah Bab IV sampai dengan Bab XI. Dengan berlakunya UUP maka Pasal 26 sampai dengan Pasal 249 KUH Perdata tidak berlaku lagi, sepanjang sudah diatur atau bertentangan dengan UUP.71 4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Untuk melaksanakan Undang-Undang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif, maka masih diperlukan peraturanperaturan pelaksanaan, antara lain yang menyangkut masalah-masalah : a. Pencatatan perkawinan; b. Tata cara pelaksanaan perkawinan; c. Tata cara perceraian; d. Cara mengajukan gugatan perceraian; e. Tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan; f. Pembatalan perkawinan; g. Ketentuan dalam hal seorang suamiberisteri lebih dari seorang; h. Dan sebagainya. 71
Ibid., hal 251
Sebagai tindak lanjutnya pada tanggal 1 April 1975 oleh Pemerintah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perlaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ini memuat ketentuan tentang masalahmasalah yang dikemukakan di atas, yang
diharapkan akan dapat
memperlancar dan mengamankan pelaksanaan dari UUP.72 5. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 merupakan peraturan mengenai izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pada dasarnya PNS adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian , kehidupan PNS harus ditunjang oleh kehidupan berkeluarga yang serasi, sehingga setiap PNS dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya. Sehubungan dengan contoh dan keteladanan yang harus diberikan oleh PNS kepada bawahan dan masyarakat, maka kepada PNS dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi. Dalam rangka meningkatkan disiplin PNS dalam melakukan perkawinan dan perceraian, maka oleh pemerintah dipandang perlu untuk menetapkan peraturan pemerintah mengenai izin perkawinan dan perceraian bagi PNS sebagaimana diundangkan
72
Ibid., hal 251-252
dalam Peraturan Pemerintah Nomo3 10 Tahun 1983yang mulai berlaku sejak tanggal 21 April 1983.73 6. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Istruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam untuk dapat digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan disamping peraturan perundanng-undangan lainnya. Kompilasi Hukum Islam selain melengkapi pilar peradilan agama juga telah menjadikan jelas dan pasti nilai-nilai hukum Islam di bidang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf, dan warisan. Bahasa dan nilai-nilai hukum yang dipertarungkan di forum Peradilan Agama oleh masyarakat pencari keadilan, sama kaidah dan rumusannya dengan apa yang mesti ditetapkan oleh para hakim di seluruh nusantara. Sebagai bagian dari keseluruhan tata hukum Islam, sudah dapat ditegakkan dan dipaksakan nilai-nilai bagi masyarakat Islam Indonesia melalui kewenangan Peradilan Agama. Peran kitab-kitab fikih dalam penegakan hukum dan keadilan, lambat laun akan ditinggalkan karena hanya berperan sebagai bahan orientasi dan kajian doktrin. Semua hakim yang berfungsi di lingkungan Peradilan Agama, diarahkan ke dalam persepsi penegakan hukum yang sama. Pegangan dan rujukan hukum yang mesti
73
Ibid., hal 254
mereka pedomani sama di seluruh Indonesia, yakni Kompilasi Hukum Islam sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki ke absahan dan otoritas.74 7. Petunjuk Mahkamah Agung Dalam beberapa hal Mahkamah Agung memberikan petunjuk kepada para hakim, baik hakim Peradilan Umum maupun Peradilan Agama melalui Surat Edaran, yang juga merupakan sumber hukum perkawinan nasional. Dasar Hukum Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran dapat dijumpai dalam Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985 yang menetapkan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam Kaitannya dengan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan nasional, Mahkamah Agung pernah mengeluarkan Surat Edaran, antara lain :75 a. Surat Mahkamah Agung Nomor MA/Pemb/0807/1975 perihal PetunjukPetunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UUP dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tanggal 20 Agustus 1975; b. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1981 tentang Perkara Perceraian; c. Surat Edaran Mahmakah Agung Nomor 5 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983; d. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989; 74 75
Ibid., hal 255-256 Ibid., hal 258-259
e. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1994 tentang Pengertian Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Perlu diingat juga sebagai anggota masyarakat Indonesia telah sama-sama mengetahui bahwa aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi ajaran agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, bahkan dipengaruhi budaya perkawinan barat. Jadi, walaupun bangsa Indonesia telah memiliki hukum perkawinan nasional sebagai aturan pokok dan peraturan-peraturan tentang perkawinan yang disebutkan di atas, namun adalah nyata bahwa dikalangan masyarakat Indonesia masih tetap berlaku adat dan tata-upacara perkawinan yang berbeda-beda. Kita masih melihat berlakunya tata-tertib perkawinan bagi masyarakat yang bersendi keibuan (Minangkabau), tata-tertib perkawinan bagi masyarakat yang bersendi kebapakan (Batak) atau sendi keorangtuaan (Jawa), dan sudah banyak pula yang sifatnya campuran Begitu pula kita dapat melihat bagaimana berlakunya hukum perkawinan
menurut adat Hindu-Budha, hukum perkawinan menurut agama
Islam hukum perkawinan menurut adat Kristen.
76
Indonesia tidak bisa
memungkiri jika hukum adat mengenai perkawinan yang terdapat di Indonesia masih tetap hidup dan berlaku di Indonesia karena masyarakat Indonesia tetap melestarikan hukum adat mereka sepanjang tidak bertentangan dengan aturan pokok terutama Undang-Undang Perkawinan Nasional.
76
Hilman Hadikusuma, Op.cit., hal 1-2