BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Pengertian Perceraian Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta sebab akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-istri itu perkawinannya putus. Kemudian tidak kalah urgensinya adalah alasanalasan yang mendasari putusnya perkawinan itu serta sebab-sebab apa terjadi perceraian. 30 Perceraian merupakan bagian dari perkawinan. Karena itu perceraian senantiasa diatur oleh hukum perkawinan. Hukum perkawinan di Indonesia tidak hanya satu macam, tetapi berlaku berbagai peraturan hukum perkawinan untuk pelbagai golongan warga negara dan untuk pelbagai daerah. Hal ini disebabkan oleh ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang telah membagi golongan penduduk Indonesia menjadi tiga golongan, yaitu : golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Indonesia Asli (Bumiputera). 31 Perceraian hanya dapat terjadi apabila dilakukan di depan pengadilan, baik itu suami karena suami yang telah menjatuhkan cerai (thalaq), ataupun karena istri yang menggugat cerai atau memohonkan hak talak sebab sighat taklik talak. Meskipun dalam ajaran agama Islam, perceraian telah dianggap sah apabila diucapkan seketika itu oleh si suami, namun harus tetap dilakukan di depan pengadilan. Tujuannya untuk melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai dari akibat hukum atsa perceraian tersebut. 32 30
Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, hal. 41. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hal. 15 32 Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007, hal. 17. 31
Universitas Sumatera Utara
Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Artinya, harus ada alasanalasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan sebuah perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang notabene berwenang memutuskan, apakah sebuah perceraian layak atau tidak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian. Misalnya soal hak asuh anak, serta pembagian harta gono-gini. 33 Perceraian adalah hal yang tidak diperbolehkan baik dalam pandangan Agama maupun dalam lingkup Hukum Positif. Agama menilai bahwa perceraian adalah hal terburuk yang terjadi dalam hubungan rumah tangga. Namun demikian, Agama tetap memberikan keleluasaan kepada setiap pemeluk Agama untuk menentukan jalan islah atau terbaik bagi siapa saja yang memiliki permasalahan dalam rumah tangga, sampai pada akhirnya terjadi perceraian. Hukum Positif menilai bahwa perceraian adalah perkara yang sah apabila memenuhi unsur-unsur cerai, diantaranya karna terjadinya perselisihan yang menimbulkan percek-cokan yang sulit untuk dihentikan, atau karna tidak berdayanya seorang suami untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. 34 Secara garis besar, prosedur gugatan perceraian dibagi kedalam 2 (dua) jenis, tergantung pihak mana yang mengajukan gugatannya. Pertama, gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak istri (disebut gugat cerai). Kemudian dalam mengajukan gugatan percearaian, yang juga harus diperhatikan adalah pengadilan mana yang berwenang untuk menerima gugatan tersebut, untuk selanjutnya memeriksa perkara perceraian yang diajukan, berdasarkan kompetensi absolutnya (peradilan umum atau peradilan agama). 35
33
Ibid, hal. 21. Ibid. 35 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 18. 34
Universitas Sumatera Utara
Umumnya proses pengajuan gugatan perceraian ditempuh melalui sejumlah tahapan, yaitu sebagai berikut : 1.
Mengajukan permohonan atau gugatan perceraian.
2.
Pengadilan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah permohonan tersebut diajukan, harus memanggil pasangan suami-istri terkait untuk dimintai penjelasan atas alasan gugatan perceraian yang diajukan. Namun sebelumnya, pengadilan harus mengupayakan jalan perdamaian.
3.
Proses persidangan mulai dari pengajuan gugatan sampai dengan putusan.
4.
Tahap eksekusi. Sejumlah dampak yang timbul akibat eksekusi perceraian adalah sebagai berikut: a.
Terhadap suami maupun istri, hubungan ikatan perkawinan menjadi putus.
b. Terhadap anak, adanya penjatuhan hak asuh anak. c. Terhadap harta benda, harta bersama dibagi rata, terkecuali harta bawaan dan perolehan, selama tidak diatur lain dalam perjanjian, dan di luar penentuan kewajiban nafkah pria untuk mantan istri dan anak. 36 Adapun sebelum agama Islam lahir, perceraian dalam kalangan orang Arab Jahiliyah mudah dan sering kali terjadi. Para suami menceraikan istrinya dengan melakukan thalaq
37
dan rujuk di dalam ‘iddah 38 yang tidak ada batasnya. Begitu suami marah, begitu
dengan mudah ia mel;akukan thalaq. Tetapi begitu marahnya hilang begitu ia melakukan rujuk dan hidup sebagai suami istri lagi. Perbuatan ini dilakukannya tanpa kenal batas, bahkan jika ia ingin menyakiti istrinya,setiap hampir habis ‘iddahnya suami melakukan rujuk kembali, 36
Martiman, Op.cit, hal. 71. Thalaq : Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri 38 ‘iddah : Saat menunggu bagi perempuan (istri) untuk mengetahui kekosongan rahimnya, atau untuk beribadah, atau keadaan bersedih-berduka cita terhadap perkawinanya, yang berakhir. 37
Universitas Sumatera Utara
kemudian melakukan thalaq kembali, dan setiap hampir habis ‘iddahnya, suami melakukan rujuk kembali. Begitulah perbuatan suami terhadap istrinya terus-menerus tanpa ada batasnya. Terjadilah pada waktu itu pasaran thalaq. Wanita atau istri waktu itu tidak berharga, ia laksana bola permainan laki-laki belaka. 39 Islam hanya memperbolehkan thalaq yang boleh rujuk dalam ‘iddah dua kali saja, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an : “Thalaq (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik”. 40 Apabila suami telah melakukan thalaq kali ketiga, maka habislah hak thalaq suami, karena itu hilanglah pula haknya untuk rujuk kepada istrinya. Kecuali jika bekas istrinya menikah dengan suami yang lain (bukan nikah muhallil) dan telah disempurnakan kehidupan perkawinan itu serta telah di thalaq pula oleh suami yang lain itu maka barulah terbuka kesempatan bagi bekas suami pertama untuk kembali kepada bekas istrinya dengan melakukan perkawinan baru, sebagaimana firman Allah: “kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya, sampai ia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkanNYA kepada kaum yang (mau) mengetahuinya”. 41 Menurut
KUH Perdata (BW) putusnya perkawinan dipakai istilah ‘pembubaran
perkawinan’ (otbinding des huwelijks) yang diatur dalam Bab X dengan tiga bagian, yaitu tentang ‘Pembubaran Perkawinan Pada Umumnya’ (Pasal 199), tentang Pembubaran 39
Djamil Latif, Op.cit, hal. 27. Al-Qur’an: 229, S: 2 (Al-Baqarah) 41 Al-Qur’an: 230, S: 2 (Al-Baqarah) 40
Universitas Sumatera Utara
Perkawinan Setelah Pisah Meja dan Ranjang’ (Pasal 200-206(b)), tentang ‘Perceraian Perkawinan’ (Pasal 207-232(a)) dan yang tidak dikenal dalam Hukum Adat atau Hukum Agama (Islam) walaupun kenyataanya juga terjadi ialah Bab XI tentang ‘Pisah Meja dan Ranjang (Pasal 233-249). 42 Pasal 199 BW menyebutkan bahwa perkawinan itu terputus karena : 1.
Oleh karena meninggal dunia
2.
Oleh karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami istri selama sepuluh tahun dan diikuti dengan perkawinan baru sesudah itu oleh istri atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian kelima bab delapan belas
3.
Oleh karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur (perceraian gantung) dan pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagi kedua bab ini
4.
Oleh karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini. 43 Selanjutnya dikatakan ‘jika suami dan istri pisah meja dan ranjang’, baik karena salah satu
dari alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 233, maupun atas permohonan kedua belah pihak, dan perpisahan itu tetap berlangsung selama lima tahun penuh tanpa perdamaian antara kedua pihak, maka mereka masing-masing bebas untuk menghadapkan pihak lain ke Pengadilan dan menuntut agar perkawinan mereka dibubarkan (Pasal 200). Tuntutan itu harus segera ditolak bila pihak tergugat, setelah tiga kali dari bulan ke bulandipanggil ke pengadilan tidak muncul-muncul atau datang dengan mengadakan perlawanan terhadap tuntutan itu atau menyatakan bersedia untuk berdamai dengan pihak lawan (Pasal 201). 44 42
Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 149. Djamil Latif, Op.cit, hal. 87. 44 Hilman Hadikusuma, loc.cit 43
Universitas Sumatera Utara
Gugatan perceraian perkawinan harus diajukan ke Pengadilan Negeri yang di daerah hukumnya si suami mempunyai tempat tinggal pokok pada waktu mengajukan permohonan termaksud dalam Pasal 831 Reglemen Acara Perdata atau tempat tinggal yang sebenarnya bila tidak mempunyai tempat tinggal pokok. Jika pada waktu mengajukan surat permohonan tersebut di atas si suami tidak mempunyai tempat tinggal pokok atau tempat tinggal sesungguhnya di Indonesia, maka gugatan itu harus diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat kediaman istri yang sebenarnya (Pasal 207) perceraian perkawinan sekali-kali tidak dapat terjadi hanya dengan persetujuan bersama (Pasal 208). 45 BW berlaku bagi orang Eropa dan Cina sedangkan HOCI berlaku bagi orang Indonesia Asli Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon. Bagi orang-orang yang beragama Kristen yang berada di luar daerah-daerah tersebut berlaku ketentuan-ketentuan asli dari agama mereka sendiri. 46 Sebenarnya HOCI dalah kombinasi antara BW dan Hukum Adat karena syarat-syarat perkawinan banyak persamaan antara HOCI dengan BW dengan perlunakan sana-sini, sedang mengenai harta perkawinan adalah Hukum Adat, yakni mengikuti prinsip pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan. Satu hal yang oleh umum dianggap sebagai salah satu sendi dari Agama Kristen ialah hal monogami, yaitu ketentuan bahwa seorang laki-laki tidak diperbolehkan mempunyai istri lebih dari seorang. Sistem monogami ini telah dianut oleh BW (Pasal 27 BW) dan HOCI (Pasal 2 S 1993 No. 74). 47 Menurut Pasal 51 S. 1933 No.74 (HOCI), menyebutkan bahwa perkawinan yang dilakukan menurut Staatsblad ini adalah putus karena : 45
Ibid. Djamil Latif, Op.cit, hal. 85. 47 Ibid. 46
Universitas Sumatera Utara
1.
Oleh karena meninggal dunia
2.
Oleh karena suami atau istri meninggalkan tempat kediamannya selama dua tahun tanpa adanya kabar tentang hidup atau matinya dan bersambung oleh suatu perkawinan baru oleh suami atau istri yang ditinggalkan setelah mendapatkan izin dari Pengadilan Negeri di tempat kediaman dari suami atau istri yang meninggalkan tempat kediaman itu, setelah mendengar keterangan jika mungkin dari Kepala Desanya, dan lagi sekedar dianggap perlu oleh Pengadilan Negeri harus dilakukan pemanggilan dengan perantaraan apa saja terhadap yang bepergian itu. Kalau satu sama lain ini terjadi, maka Pengadilan Negeri baru akan memberi izin untuk perkawinan yang baru itu, apabila memang ternyata tidak masuk kabar tentang masih hidupnya orang yang bepergian itu. 48 Kalangan gereja tidak membenarkan adanya perceraian perkawinan. Agama Kristen
Katholik sendiri sama sekali tidak memungkinkan perceraian perkawinan, sedang Agama Kristen Protestan mengenal adanya perceraian akan tetapi dengan alasan zina, sedang alasan lain tidak diperebolehkan. Tetapi orang-orang Indonesia yang beragama Protestan biasanya mengakui beberapa perkara yang berat sebagai alasan-alasan buat perceraian : zina (oleh lakilaki dan oleh perempuan), penganiayaan berat, peninggalan dengan niat jahat, terkadangkadang juga kemajiran. 49 Walaupun agama Kristen-Katholik sama sekali tidak memungkinkan perceraian perkawinan dan hanya kematianlah yang dapat memutuskan perkawinan, namun di Indonesia dan di lain-lain negara juga, perihal perkawinan diantara orang-orang Kristen pada umunya dianut suatu prinsip bahwa suatu perkawinan oleh Undang-undang dipandang hanya selaku 48 49
hal. 86.
Ibid, hal. 92. Ter harr, Begenselen en Stelsel van het Adatrecht, Terjemahan Soebakti Poesponoto, Hero, Surabaya,
Universitas Sumatera Utara
suatu perhubungan perdata belaka antara suami dan istri, artinya terlepas dari pada peraturan agama si suami dan istri. Hal ini bisa kita jumpai dalam Pasal 26 BW dan Pasal 1 S. 1993 No. 74 (HOCI). Karena itu peraturan dari BW dan HOCI yang memungkinkan perceraian perkawinan (echtsheiding) berlaku juga bagi orang-orang yang beragama Kristen-Katholik. Bandingkan dengan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, Undang-undang No.
1 Tahun
1974. 50 Menurut Hukum Adat, perkawinan itu termasuk “urusan keluarga dan kerabat,” 51 walaupun dalam pelaksanaannya pribadi yang bersangkutan yang menentukan untuk berlangsung terus atau terputusnya suatu perkawinan, karena “berkumpulnya dua orang untuk pergaulan suami istri adalah urusan yang bersifat perseorangan.” 52 Karena itu perkawinan menurut Hukum Adat mempunyai berbagai fungsi : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib daripada masyarakat, kerabat kearah angkatannya. Anak-anak yang lahir dalam perkawinan itu meneruskan masyarakat sanak saudaranya. Meneruskan bagian clan, suku, dan keluarga Mempertahankan masyarakat dusun dan wilayah sebagai kesatuan-kesatuan masyarakat. Mempertahankan hubungan golongan-golongan sanak saudara satu sama lain. Meneruskan hubungan yang timbal balik. 53 Fungsi-fungsi tersebut berpengaruh pula atas alasan-alasan dan kemungkinan untuk
perceraian. 54 Dalam Hukum Adat, pada umumnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang sekali dilangsungkan dapat bertahan buat selama-lamanya. Tapi dapat timbul keadaan-keadaan, dimana kepentingan kerabat dan masyarakat menghendaki putusnya 50
Djamil Latif, Op.cit, hal. 86. Ter harr, Op.cit, hal. 179. 52 Ibid, hal. 180. 53 Ibid, hal. 179 dan 180. 54 Ibid, hal. 180. 51
Universitas Sumatera Utara
perkawinan itu, disamping itu ada hal-hal yang bersifat perseorangan oleh masyarakat dianggap sebagai alasan untuk bercerai. 55 Hukum Adat memungkinkan perceraian perkawinan. Perceraian mungkin dimana kepentingan kerabat dan masyarakat menghendaki keputusan perkawinan itu, disamping itu ada hal-hal yang bersifat perseorangan oleh masyarakat dianggap sebagai alasan untuk bercerai. 56 Tetapi yang pada umumnya dianggap sebagai alasan untuk perceraian ialah zina dari pihak si istri. 57 Undang-undang perkawinan yakni Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975, mengadakan klasifikasi perceraian sebagai berikut : 1.
Kematian
2.
Perceraian;
3.
a.
Cerai – Thalaq
b.
Cerai – Gugatan.
Keputusan Pengadilan. Penjelasan umum tentang Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menyebutkan bahwa,
sesuai dengan landasan falsafah pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka undangundang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedang dilain pihak harus dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Karena itu pula undang-undang ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan, sehingga tidak ada perkawinan di luar masing55
Ibid, hal. 180. Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta, 1954, hal. 108. 57 Ibid. 56
Universitas Sumatera Utara
masing hukum agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, 58 disamping tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. 59 Karena tidak ada perkawinan di luar hukum masin-masing agamanya dan kepercayaannya, maka konsekuensinya tidak ada pula perceraian di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Jadi jelaslah bahwa dengan berlakunya undang-undang ini yang pelaksanaannya secara efektif mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, berlaku pula hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sebagai hukum positif untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, termasuk perceraian. Karena itu bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri dan tidak pula kemungkinan untuk cerai dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen, bagi orang Hindu atau Budha. 60 Karena itu Undang-undang ini telah menentukan beberapa prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berlandaskan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. 61 Prinsip-prinsip dan asas-asas tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
58
Pasal 2 ayat (1) PP No. 9-1975 Pasal 2 ayat (2) PP No. 9-1975 60 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 104. 61 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tinta Mas, Jakarta, 1968, hal. 7. 59
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa 62. Karena itu perkawinan bukanlah hanya sekedar hubungan perdata semata-mata tetapi mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama sehingga perkawinan mempunyai unsur lahir (jasmani) dan batin (rohani). 2.
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, disamping menurut perundang-undangan yang berlaku. 63 Dengan demikian hukum agama tentang perkawinan menjadi hukum positif.
3.
Perkawinan berasaskan monogami dan bagi mereka yang karena hukum dan agamanya membolehkan beristri lebih dari seorang (poligami), menunjukkan poligami itu di bawah pengawasan Hakim. 64
4.
Perkawinan dimana calon suami istri itu ditentukan batas umur untuk kawin, yakni 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita, untuk mencegah kawin di bawah umur 65, demi generasi selanjutnya.
5.
Perkawinan dimana menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian. 66
6.
Perkawinan dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, dimana suami sebagai kepala rumah tannga dalam pergaulan masyarakat, dimana suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga yang masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. 67
7.
Penentuan pengadilan berdasarkan keagamaan seseorang untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan termasuk perceraian, yakni : Pengadilan
62
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) (2) UU No. 1 Tahun 1974 64 Pasal 3,4, dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 65 Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 66 Pasal 39 dan 40 UU No. 1 Tahun 1974 67 Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 63
Universitas Sumatera Utara
Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi mereka yang beragama bukan Islam. 68 Prinsip dan asas-asas yang dianut oleh undang-undang ini sebagaimana tersebut di atas adalah sejalan dengan prinsip dan asas-asas yang dianut oleh Islam berdasarkan Al-Qur’an dan hadist Rasul.
B. Putusnya Perkawinan Dan Alasan-alasannya Dasar-dasar syarat pengajuan gugatan perceraian disebutkan dalam Undang-undang secara limitatife, artinya selain syarat-syarat serta alasan-alasan yang disebut dalam Undangundang bukan merupakan syarat-syarat perceraian. Dengan demikian alasan-alasan lain tidak bisa diajukan sebagai dasar gugatan. Menurut Pasal Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan, adapun alasan-alasan yang sah yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah sebagai berikut : 1.
Salah satu pihak, suami atau isteri, berbuat zinah, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Alasan ini dapat digunakan untuk mengajukan gugatan perceraian, karena bila seseorang telah berbuat zina berarti dia telah melakukan pengkhianatan terhadap kesucian dan kesaklaran suatu perkawinan. Termasuk perbuatan menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang merupakan perbuatan melanggar hukum agama dan hukum positif.
2.
Salah satu pihak (suami atau istri) meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa mendapat izin dari pihak lain. Serta tanpa alasan yang sah, karena hal lain di luar kemampuannya.
68
Pasal 63 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Universitas Sumatera Utara
Hal ini terkait dengan kewajiban memberikan nafkah baik lahir maupun batin, yang bila kemudian salah satu pihak meninggalkan pihak lain dalam waktu lama tanpa seizin pasangannya tersebut, maka akan berakibat pada tidak dilakukannya pemenuhan kewajiban yang harus diberikan kepada pasangannya. Sehingga bila pasangannya kemudian tidak rela, maka dapat mengajukan alasan tersebut untuk menjadi dasar diajukannya gugatan perceraian di pengadilan. 3.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun, atau yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Hampir sama dengan poin b, poin ini juga dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan gugatan perceraian tersebut. Sebab, jika salah satu pihak sedang menjalani hukuman selama 5 (lima) tahun atau lebih, itu artinya yang bersangkutan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami/istri.
4.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat, yang dapat membahayakan pihak lain. Poin ini menitkberatkan pada kemaslahatan atau manfaat dari perkawinan, dibandingkan dengan keselamatan invidi/salah satu pihak. Bila suatu perkawinan tetap dipertahankan namun akan berdampak pada keselamatan individu, maka akan lebih baik jika perkawinan itu diputus dengan perceraian. Dalam hal ini, harus benar-benar bisa dibuktikan, mengenai tindakan atau ancaman yang bisa membahayakan keselamatan seseorang/salah satu pihak. Dengan demikian, alasan tersebut dapat diterima oleh Majelis Hakim pemeriksa perkara di pengadilan.
5.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
Universitas Sumatera Utara
6.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bila ikatan perkawinan dipengaruhi faktor-faktor jasadiah, terutama kebutuhan biologis. Ketika salah satu pihak tidak dapat menjalankan lewajibannya sebagai seorang suami/istri dikarenakan cacat badan atau penyakit yang dimilikinya, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai alasan oleh salah satu pihak untuk mengajukan gugatan perceraian.
7.
Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Tidak ada kehidupan umah tangga yang rukun, tentram, dan nyaman, apalagi, bila pertengkaran tersebut tak terelakkan dan tak terselesaikan. Jika hal itu berlangsung terusmenerus, dan dapat menimbulkan dampak buruk yang lebih besar ke depan, maka diperbolehkan untuk mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan setempat. 69 Setelah terpenuhinya alasan-alasan di atas, maka persyaratan yang harus dipenuhi dalam
melakukan proses perceraian adalah sebagai berikut : Bagi mereka yang beragama Islam dapat diajukan ke Pengadilan agama. a.
Bila suami yang mengajukan perceraian, permohonan diajukan kepada pengadilan, yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama), dengan memberikan alasan-alasan mengapa ia hendak menceraikan istrinya. Untuk permohonan itu, ia harus melampirkan beberapa surat keterangan dari lurah, surat nikah, dan saksi-saksi dari keluarga atau orang yang dekat dengan permohonan dan termohon. Bukti-bukti lainnya, apakah cukup untuk bercerai, maka pengadilan akan memeriksa permohonan tersebut dengan memanggil kedua belah pihak, dengan membawa saksi-saksi yang hendak didengar.
69
Penjelasan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Universitas Sumatera Utara
b.
Bila isteri yang mengajukan perceraian, permohonan dapat diajukan kepada pengadilan, yang daerah hukumnya meliputi tempat kedaiaman penggugat (pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama) , pada prinsipnya samadengan sarana, surat nikah, dan bukti yang harus dibawa oleh istri yang hendak menceraikan suaminya, seperti diuraikan tersebut di atas. 70 Bila mereka yang bukan beragama Islam, gugatan perceraian diajukan oleh suami atau
istri atau kuasanya di Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Gugatan diajukan ke Pengadilan ditempat kediaman penggugat, jika alamat orang yang digugat (Tergugat) tidak jelas atau tidak diketahui. Bilamana tergugat berada di Luar Negeri, maka gugatan diajukan ditempat kediaman tergugat. Pengadilan akan menyampaikan gugatan itu kepada tergugat (PP 9-1975, Pasal 20 ayat (3)) melalui Perwakilan RI di Luar Negeri itu. 71 Apabila pihak suami ataupun istri diwakilkan oleh kuasa hukum nya maka persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan proses perceraian adalah sebagai berikut : a.
Bila tidak didampingi advokat/pengacara -
Mempersiapkan surat gugatan : setelah memahami segala sesuatunya tentang proses perceraian (dengan meminta saran serta nasihat dari pihak yang memahami soal perceraian), maka selanjutnya seorang Penggugat dapat mempersiapkan surat gugatannya.
-
Menyiapkan uang administrasi yang nantinya harus dibayarkan ke bagian pendaftaran gugatan di Pengadilan. Setelah membayar uang administrasi, si Penggugat tersebut akan menerima SKUM (Surat Keterangan Untuk Membayar).
70 71
Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, hal. 42. Ibid. Universitas Sumatera Utara
-
Mempersiapkan apa yang akan diajukan pada pengadilan, tentang rencana perceraian tersebut. Untuk mempersiapkannya, disarankan agar berdiskusi kembali dengan orang-orang/pihak yang memahami soal ini.
-
Mempersiapkan bukti-bukti dan saksi-saksi, untuk diajukan dalam proses pembuktian di persidangan. Dengan demikian, gugatan akan lebih mudah diproses oleh pengadilan.
b.
Bila didampingi advokat/pengacara -
Jika Penggugat memilih untuk didampingi pengacara, maka terlebih dahulu pengacara tersebut harus membuat surat kuasa yang kemudian harus ditandatangani oleh Penggugat tadi. Surat kuasa adalah surat yang menyatakan bahwa Penggugat (sebagai pemberi kuasa) memberikan kuasa kepada pengacara (sebagai penerima kuasa), untuk mewakili penggugat dalam pengurusan penyelesaian perkara perceraian di
pengadilan.
Yaitu,
mulai
dari
pembuatan
surat-surat
seperti
surat
gugatan/permohonan perceraian, surat jawaban, surat replik, surat duplik, surat daftar alat bukti, kesimpulan. Kemudian beracara di depan sidang pengadilan, menghadap institusi atau orang yang berwenang dalam rangka pengurusan penyelesaian perkara perceraian, sampai kepada meminta salinan putusan pengadilan dan lain sebagainya. -
Menyiapkan surat gugatan. Bila surat kuasa tersebut telah ditandatangani oleh Penggugat, maka selanjutnya pengacara (kuasa hukum/pengacara) akan mengurus pembuatan surat gugatan dan surat-surat lainnya yang dibutuhkan selama proses hukum berjalan.
-
Siapkan sejumlah uang untuk keperluan administrasi, yang akan dibayarkan ke bagian pendaftaran gugatan di Pengadilan. Usai membayar, biasanya akan diberi SKUM (Surat Keterangan Untuk Membayar). Universitas Sumatera Utara
-
Lalu, siapkan untuk pembayaran jasa pengacara, terutama bila pengacara yang dibayar diminta bantuannya adalah pengacara yang dibayar sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. 72
Sebelum meminta nasihat hukum, sebaiknya Penggugat terlebih dahulu menyiapkan surat-surat atau dokumen penting yang terkait dengan kasus perceraiannya, seperti Surat Nikah Asli, Aktra Kelahiran Anak, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (C-1) dan surat-surat yang berhubungan dengan proses pengajuan perceraian beserta akibatnya. 73 Dalam menghadapi sidang kasus perceraian, baik di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama, ada beberapa hal yang perlu diketahui. Jika si Penggugat memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hukum, ada baiknya meminta nasihat hukum dari seorang pengacara, konsultan hukum atau orang yang sudah berpengalaman dalam proses pengajuan perceraian. Sebaiknya penggugat tidak menganggap remeh persoalan yang dihadapi, sekalipun kasus tersebut tidak terlalu rumit, karena akonsekuensi hukum yang akan dihadapi nantinya, bersifat mengikat dan memaksa. Oleh karena itu, jangan menunda sampai saat-saat posisi Penggugat sudah terjepit alias tidak diuntungkan. 74 Biasanya kasus perceraian disertai pula dengan pembagian harta gono-gini, karena itu sebaiknya Penggugat juga menyediakan surat-surat yang terkait dengan harta benda perkawinannya. Seperti Akta Jual-Beli Tanah, Kuitansi, Bon Jual-Beli, Surat Bukti Kepemilikan, Slip Gaji dan semacamnya,. Hal ini memudahkan si Penggugat dan pengacaranya dalam memahami persoalan hukum yang sedang dihadapi. Selain itu, Penggugat
72
Budi Susilo, Op.cit, hal. 27. Ibid. 74 Riduan Syahrani, Op.cit, hal 171. 73
Universitas Sumatera Utara
juga dapat meminta nasihat hukum dari seorang konsultan atau pengacara, dengan kebebasan memilih untuk didampingi/tidak di dalam sidang pengadilan nanti. 75 Setelah memahami sejumlah alasan serta syarat-syarat pengajuan gugatan perceraian, maka selanjutnya juga perlu dimengerti tentang beberapa langkah yang harus ditempuh dalam mengajukan gugatan cerai. Secara garis besar, berikut beberapa tahapan yang perlu dilalui dalam mengajukan gugatan tersebut. a.
Memantapkan Niat, Menyediakan Dana dan Waktu Bagaimanapun, perceraian merupakan keputusan yang membutuhkan pemikiran serius, kedewasaan bertindak serta niat yang kuat untuk menjalaninya. Mau tidak mau perceraian akan melahirkan sejumlah dampak serius, baik secara psikologis, yuridis, dan lainnya. Bukan hanya terhadap pasangan yang bersangkutan, namun juga kepada anak keturunannya, keluarga besar, serta harta yang diusahakan selama menjalani kehidupan berkeluarga. Untuk itu, kemantapan niat mutlak diperlukan sebelum seseorang mengajukan permohonan atau gugatan perceraian. Perceraian harus dilatarbelakangi oleh niat dan keinginan untuk melangkah menuju kebaikan, dan bukan didasari oleh hal-hal yang bersifat material semata. Perceraian harus benar-benar menjadi jalan keluar bagi pasangan yang memang sudah tidak cocok lagi, dan tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangganya lagi.
b.
Meminta pertimbangan dari beberapa orang terdekat Sekalipun seorang Penggugat sudah memantapkan niatnya untuk mengajukan permohonan atau gugatan perceraian, namun tidak ada salahnya bila meminta pendapat sejumlah orang terdekat. Paling tidak, itu bisa menjadi bahan pertimbangan untuk 75
Ibid. Universitas Sumatera Utara
memperkuat argumen/alasan pengajuan gugatan perceraian, atau justru membuat si Penggugat membatalkan niatnya bercerai, mengingat sejumlah pertimbangan penting, terutama mengenai keselamatan dan masa depan keluarga. c.
Menentukan perlu atau tidaknya kuasa hukum atau pengacara Keberadaan kuasa hukum/pengacara harus dipertimbangkan secara matang, tidak saja terkait dengan dana yang harus disiapkan untuk membayar jasa pendampingnya. Namun juga mengingat efektivitas penggunaan jasa kuasa hukum/pengacara tersebut, terutama saat dilihat dari rencana perolehan target yang ingin dicapai. Bila hasil yang akan diraih cukup optimal dengan tanpa didampingi kuasa hukum/pengacara, maka jasa dan keberadaan kuasa hukum/pengacara tidak diperlukan. Demikian juga sebaliknya, jika si Penggugat merasa perlu didampingi oleh kuasa hukumn/pengacara, karena buta soal hukum serta bingung mengikuti jalannya persidangan, maka kuasa hukum/pengacara menjadi pilihan tepat.
d.
Mengajukan surat pemberitahuan atau surat permohonan perceraian Bila semua sudah disiapkan, dan niat untuk mengajukan gugatan perceraian sudah mantap, maka langkah selanjutnya adalah menyusun permohonan gugatan perceraian. Yaitu, berisi tentang identitas pihak yang berperkara; alasan mengajukan permohonan perceraian, dimulai dengan kronologis perkawinan, serta kehidupan selama mengarungi bahtera rumah tangga. Kemudian, alasan yang menyebabkan berketetapan mengajukan perceraian (posita); disertai dengan permohonan atas putusan yang akan diperoleh nantinya seperti apa (petitum).biasanya permohonan itu menyatakan bahwa perkawinan putus karena perceraian, kemudian diikuti dengan masalah hadhanah (hak asuh anak), nafkah terutang, nafkah iddah, pembagian harta bersama dan sebagainya. Bila permohonan tersebut telah disusun, kemudian diajukan ke Pengadilan Agama bagi yang Universitas Sumatera Utara
melangsungkan perkawinan secara Islam di Kantor Urusan Agama (KUA), dan di Pengadilan Negeri bagi yang melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil. 76 Harus diperhatikan, bahwa pengajuan permohonan atau gugatan perceraian secara Islam, dilakukan di Pengadialan Agama tempat domisili si istri berada. Dengan tidak melihat posisi apakah sebagai Pemohon/Penggugat atau sebagai Termohon/Tergugat. Sedang bagi yang mengajukan perceraian di Pengadilan Negeri, berlaku ketentuan dalam Hukum Acara Perdata, dimana gugatan diajukan di Pengadialan Negeri tempat domisili Tergugat berada atau bermukim. 77 e.
Melakukan proses sidang perceraian Proses perceraian bisa dilakukan, bila gugatan atau permohonan perceraian sudah didaftarkan dan diregister oleh panitera di Pengadilan yang berwenang mengadilinya. Kemudian Ketua Pengadilan terkait, akan menunjuk Majelis Hakim yang bertugas untuk menyidangkan kasus tersebut, sekaligus menetukan jadwal sidang pertama dari gugatan tersebut. Dalam setiap sidang perceraian, hakim akan selalu menanyakan apakah ada kemungkinan bagi pihak untuk berdamai. Apabila kedua belah pihak sudah tidak mungkin untuk berdamai, maka proses beracara di persidangan dapat dilanjutkan. Secara umum proses beracara di persidangan perceraian, sebenarnya sama dengan apa yang telah diatur dalam Hukum Acara Perdata. Hanya saja, sidang perceraian bersifat tertutup, kecuali dalam putusannya harus dilakukan dengan sidang yang terbuka untuk umum. Hal ini diatur demikian, mengingat persoalan perceraian merupakan aib keluarga. Dimana dalam proses pembuktian gugatannya, dimungkinkan muncul sejumlah hal mengenai rahasia keluarga
76 77
Budi Susilo, Op.cit, hal. 38. Djamil Latif, Op.cit, hal. 142. Universitas Sumatera Utara
yang dapat menjadi aib, bila diketahui khalayak umum. Karena itulah, sidang perceraian harus dilakukan secara tertutup. Bila proses acara telah dilalui, dan hakim berketatapan bahwa perkawinan itu dinyatakan putus oleh perceraian, belum berarti perkawinan itu telah putus. Karena setelah itu masih ada proses lain yang harus dilalui. Yaitu, bila gugatan tersebut merupakan permohonan talak oleh pihak suami di Pengadilan Agama, masih ada lagi persidangan ikrar talak. Dimana, dalam persidangan tersebut pihak laki-laki yang bersangkutan atau kuasanya harus membacakan ikrar talak kepada istrinya. Bila pihak laki-laki tidak mengikrarkan talak dalam jangka waktu 6 bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap, maka dengan sendirinya perkawinan tidak jadi putus oleh perceraian dan rumah tangga tetap bisa diteruskan. Sebaliknya jika gugatan perceraian diajukan oleh istri, maka pembacaan ikrar talak oleh pihak suami tidak perlu dilakukan. Kemudian, ada atau tidaknya ikrar talak tetap membuat perkawinan putus, apabila tidak ada upaya hukum selama masa pengajuan upaya hukum masih bisa dilakukan. Bila upaya hukum tidak dilakukan, maka putusan tersebut dinyatakan inkracht, atau sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga dengan sendirinya dapat dilaksanakannya isi putusannya. Lalu selanjutnya, akan dikeluarkan Akta Cerai untuk mengurus masalah administrasi di Kepaniteraan Pengadilan Agama, atau Kantor Catatan Sipil. Selain itu, apabila gugatan perceraian diajukan oleh seorang pihak bukan berama Islam di Pengadilan Negeri, maka putusan perceraiannya dianggap sudah bersifat (inkracht), jika dalam 14 hari setelah putusan diputus dan dibacakan, tidak ada upaya hukum bagi verzet, banding ataupun kasasi dari pihak yang berpekara. 78 Didalam PP No. 9 Tahun 1975, pada Bab IX disebut tentang Ketentuan Pidana Menurut Pasal 45 Bab tersebut dinyatakan, kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang78
Budi Susilo, Loc.cit Universitas Sumatera Utara
undangan yang berlaku, maka dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 7500,barang siapa melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 40, dihukum sengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7500,-. 79
Untuk masalah Talak di luar pengadilan, Syariat Islam menjadikan talak sebagai jalan keluar terakhir dari perselisihan yang terjadi antara suami istri dalam sebuah rumah tangga yang sudah tidak lagi dapat dipertahankan, bahkan bisa mendatangkan kemudaratan. Dalam prakteknya, Al Quran dan Hadits tidak mengatur secara rinci tata cara menjatuhkan talak. Karena itu terjadi perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini. Ada ulama yang memberikan aturan yang ketat, seperti harus dipersaksikan atau dilakukan di depan hakim. Namun ada pula yang longgar sekali, seperti pendapat yang mengatakan bahwa suami bisa menjatuhkan talak dengan alasan sekecil apapun dan tanpa saksi karena talak itu adalah hak suami. 80
Sedangkan menurut peraturan perundang-undangan, pemerintah berpendapat bahwa untuk menjaga agar aturan syariah dapat berjalan dengan baik, maka talak tidak dilakukan secara sembarangan karena dapat menimbulkan dampak negatif. Melalui undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, pemerintah telah mengatur mekanisme dan syarat sahnya sebuah perceraian di mata hukum, yaitu perceraian yang dilaksanakan di depan sidang pengadilan.
Namun, di tengah masyarakat masih ditemukan adanya praktik perceraian yang tidak mengikuti aturan hukum tersebut yang sering disebut dengan talak di luar pengadilan. Hal ini terjadi karena masyarakat mengetahui bahwa pendapat mayoritas ulama dalam literatur fiqih
79
Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 184. 80 Desastian, Talak Diluar Pengadilan Sah Hukumnya, Internet, Voa-Islam.com, Diakses Tanggal 11 Februari 2013 Universitas Sumatera Utara
tidaklah mengharuskan talak dilakukan melalui sidang pengadilan. Talak di luar pengadilan yang dimaksud adalah perceraian yang telah memenuhi semua syarat dan rukun talak yang ditetapkan dalam syariat Islam, namun tanpa penetapan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 81
Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB XVI mengenai Putusnya Perkawinan, juga disebutkan sejumlah alasan yang sah untuk mengajukan gugatan perceraian. Secara substansi, inti dari BAB tersebut sama dengan apa yang tertuang dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Hanya saja, ada beberapa tambahan penting yang disampaikan dalam bab tersebut, yaitu :
a.
Suami melanggar taklik-talak Saat akad perkawinan, biasanya mempelai pria membacakan atau setidak-tidaknya menandatangani sighat taklik-talak, atau perjanjian yang diucapkan mempelai pria setelah akad nikah, yaitu, berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu, dan mungkin saja terjadi di masa mendatang. Dalam hal ini, pihak suami dengan sengaja meninggalkan istri tanpa memberi nafkah selama 2 (dua) tahun berturut-turut, kemudian pihak suami melakukan tindak kekerasan pada istri. Maka, si istri memiliki hak untuk memohonkan penjatuhan talak pada dirinya, kepada pengadilan yang berwenang.
b.
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Perkawinan hanya diperkenankan bagi pasangan yang seagama. Jika dalam perjalanan mengarungi rumah tangga, salah satu pihak (suami atau istri) murtad, atau berpindah
81
102.
Zahri Hamid, Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, Jakarta, 1978, hal.
Universitas Sumatera Utara
agama, maka secara otomatis, perkawinan pun berakhir. Jika perkawinan tersebut dipaksakan tetap berlangsung, pada akhirnya hanya akan menimbulkan ketida krukunan. 82 Perkawinan hanya dapat dilakukan, apabila telah memenuhi salah satu dari seluruh alasan di atas. Untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang dapat membuktikan, jika sepasang suami-istri tidak dapat lagi hidup rukun sebagaimana mestinya. 83 Ketika upaya perceraian sudah bulat hendak dilaksanakan, maka pemilihan alasan, terlepas dari alasan yang sesungguhnya, sangat menentukan proses terjadinya perceraian. Serta akibat hukum dari perceraian itu sendiri. Untuk alasan salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya (sukar disembuhkan), pada umumnya akan mempengaruhi keputusan penjatuhan hak asuh anak, yang akan dilakukan oleh Majelis Hakim. Meskipun pada umumnya hak asuh anak yang di bawah umur 12 tahun akan jatuh kepada pihak ibu, namun apabila dalam persidangan pihak istri terbukti melakukan perzinaan, hak asuh anak tersebut justru akan jatuh ke pihak bapak. Sebab seorang istri yang telah terbukti melakukan tidakan amoral (berzina), dimata hukum tidak layak dipercaya untuk mengasuh anak dan mendidik anak. Hal ini bisa saja terjadi apabila alasan perceraiannya adalah, jika suami atau istri memiliki
kebiasaan
buruk
lainnya
seperti
pemadat,
pemabuk,
ataupun
memiliki
kecenderungan untuk melakukan kekerasan, yang dikhawtirkan dapat mengancam jiwa anak. 84 Akibat putusnya ikatan perkawinan menurut Hukum Islam karena kematian, dalam hal perkawinan; bagi istri yang kematian suaminya hanya baru boleh kawin lagi setelah lampau jangka waktu ‘iddah tertentu, sedang suami yang kematian istri dapat segera kawin lagi, dalam 82
Riduan Syahrani, Op.cit, hal. 40. Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Perkawinan 84 Riduan Syahrani, loc.cit 83
Universitas Sumatera Utara
hal anak-anak; menjadi tanggungan pihak yang hidup baik dalam pemeliharaannya, pendidikannya, dan pembiayaannya, dalam hal harta; berhak mendapat harta warisan dari harta peninggalan yang mati. 85 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Hukum Islam adalah sebagai berikut : 1.
Mengenai hubungan bekas suami dan bekas istri a. Pada perceraian yang telah memasuki tingkat tidak mungkin dicabut kembali (thalaqba’in), persetubuhan menjadi tidak boleh lagi, tetapi boleh kawin kembali, asal saja belum lebih dari dua pernyataan thalaq. b. Dalam hal thalaq juga dijatuhkan, perkawinan kembali hanya dapat dilakukan setelah memenuhi syarat-syarat tertentu yang berat, sedang dalam perceraian karena li’an; perkawinan kembali tidak mungkin lagi dilakukan untuk selamanya. c. Suami atau istri yang meninggal dalam jangka waktu ‘iddah-thalaq yang dapat dicabut kembali (thalaq-raj’i), berhak mendapat harta warisan dari harta peninggalan yang meninggal. d. Pada perceraian yang tidak dapat dicabut kembali (thalaq-ba’in) tidak seorang pun dari suami ataupun istri berhak mendapat warisan dari harta peninggalan yang meninggal dunia dalam ‘iddah tersebut.
2.
Mengenai anak Keempat Imam Mahzab sepakat bahwa hanya ibunyalah yang berhak memelihara dan mengasuh (hadlanah) anak-anak yang di bawah umur itu. Hanya mereka berbeda pendapat tentang batas hak hadlanah ibu itu sampai umur anak berapa tahun. Menurut 85
Djamil Latif, Op.cit, hal. 81. Universitas Sumatera Utara
Syafe’i ibu berhak sebelum anak itu berusia 7 tahun 86 baik laki-laki maupun perempuan. Tapi Maliki, Hambali membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Menurut Maliki; anak laki-laki sebelum baligh dan anak perempuan sebelum kawin dan telah dicampuri oleh suaminya, Hambali; anak laki-laki sebelum berumur 7 tahun, demikian juga Hanafi. 87 Dan dengan berakhirnya hak hadlanah ibu, maka anak tersebut bebas memilih sendiri dimana ia suka tinggal, pada ibunya atau pada ayahnya. 3.
Mengenai harta benda Jika selama perkawinan diperoleh harta, maka harta ini adalah harta sirkah, yaitu harta bersama yang menjadi milik bersama dari suami istri. Karena itu dalam Islam ada harta suami yang terpisah (tidak bercampur) dan harta kekayaan tidak terpisah (yang bercampur). 88 Garis penetapan hukum dalam Islam ialah berdasarkan kitab suci Al-Qur’an, jika tidak
dalam Al-Qur’an dilihat dari Hadist Nabi, dan jika para Ulil Amri (penguasa pemerintahan) dan para ilmuwan atau Pemuka Masyarakat (ulama) wajib berijtihad, dan para hakim. Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim, menyatakan Nabi berkata yang maksudnya ialah “Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala. Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala.” Apabila dalam Hukum Agama Islam, agama yang terakhir di muka bumi ini belum ada hukum acara peradilannya, maka untuk mengatur acara perceraian diserahkan kepada Hakim untuk mengaturnya, demikian pula halnya dengan agama yang lain yang lebih tua dari Islam, seperti agama Kristen Katholik dan Hindu atau Budha belum ada hukum acara peradilannya yang
86
Hasbi As-Shiddiqy, Pedoman Rumah Tangga, Pustaka Maju, Medan, hal. 40. Ibid. 88 Djamil Latif, Op.cit, hal. 83. 87
Universitas Sumatera Utara
khusus. Hal mana merupakan tugas dan kewajiban Majelis Ulamanya masing-masing seperti Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI) untuk agama Katholik, Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI) untuk agama Kristen, Parisada Hindu Dharma untuk agama Hindu, dan Dewan Pandita Agama Budha Indonesia (DEPABUDI) untuk agama Budha di Indonesia. 89 Sementara ketentuan-ketentuan hukum acara peradilan daripada masing-masing Majelis Ulama tersebut belum ada, dan penyelesaian pada para Ulama tersebut tidak berhasil dan yang bersangkutan mengajukan perkara perceraian itu ke Pengadilan Negeri, maka merupakan kewajiban para Hakim Pengadilan untuk memeriksa, mendamaikan, mempertimbangkan, dan memutuskan berdasarkan hukum perundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan hukum-hukum agama dan kepercayaan masing-masing dalam menetapkan keputusan. Apabila terjadi perceraian antara suami dan istri menurut Hukum Islam maka akibat hukumnya yang jelas ialah dibebankannya kewajiban suami terhadap istri dan anak-anaknya, yaitu : 1.
Memberi mut’ah 90 yang pantas berupa uang atau barang
2.
Memberi nafkah hidup, pakaian, dan tempat kediaman selama bekas istri dalam masa ‘iddah
3.
Memberi nafkah untuk memelihara dan pendidikan anaknya sejak bayi sampai ia dewasa dan dapat mandiri
4.
Melunasi mas kawin, perjanjian ta’lik talak dan perjanjian ketika perkawinan berlangsung dahulunya. 91
89
Ibid, hal. 85. Mut’ah; suatu pemberian oleh suami kepada istri yang dicerainya agar hati istri dapat terhibur. 91 Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 179. 90
Universitas Sumatera Utara
Kemudian tentang hukuman (hudud) yang dapat dijatuhkan dalam peradilan Islam, antara lain mengenai perbuatan zina, menuduh orang berzina, meminum minuman keras, mencuri, merampok, membela diri, dan riddah. Bagi para pelaku zina, maka kedua belah pihak dapat dijatuhi hukuman dera 100 (seratus) kali dihadapan umum dan dibuang ke luar negara (daerah)-nya selama-lamanya satu tahun, sedangkan barang siapa yang menuduh orang berzina tanpa mengajukan empat orang saksi maka ia dapat dijatuhi hukuman dera 80 (delapan puluh) kali. 92 Adapun alasan-alasan yang sah yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian menurut KUH Perdata (BW) adalah sebagai berikut: 1.
Zina
2.
Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk.
3.
Dikenakan hukuman penjara selama lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi.
4.
Pencederaan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah seorang dari suami istri terhadap yang lainnya sedemikian rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa atau mendatangkan luka-luka yang berbahaya. Jika ada hal-hal yang dapat menjadi dasar untuk menuntut perceraian perkawinan, si
suami atau si istri berhak untuk menuntut pisah meja dan ranjang. Gugatan untuk itu dapat juga diajukan atas dasar perbuatan-perbuatan yang melampaui batas kewajaran, penganiayaan dan penghinaan kasar yang dilakukan oleh salah seorang dari suami maupun istri atau
92
Ibid. Universitas Sumatera Utara
terhadap yang lainnya. 93 Gugatan itu diajukan, diperiksa, dan diselesaikan dengan cara yang sama seperti gugatan untuk perceraian perkawinan. 94 Akibat hukum dari perceraian menurut BW bahwa pihak suami atau istri yang menang karena gugatannya dikabulkan diperbolehkan menikmati segala keuntungan dari apa yang telah dijanjikan dalam perkawinan itu oleh pihak yang lain, termasuk keuntungan yang dijanjikan kedua pihak secara timbal balik. 95 Pihak suami atau istri yang dikalahkan karena perceraian itu kehilangan semua keuntungan dari apa yang telah dijanjikan oleh pihak lain dalam perkawinan itu. 96 Dengan mulai berlakunya perceraian itu tidaklah langsung pihak yang menang dapat menikmati keuntungan itu kecuali pihak yang lain telah wafat. 97 Jika suami atau istri yang menang, tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk biaya hidupnya, maka pengadilan negara dapat menentukan sejumlah tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak yang lain. 98 Kewajiban memberi tunjangan itu berakhir dengan meninggalnya suami atau istri. 99 Setelah keputusan perceraian berkekuatan pasti, Pengadilan menetapkan terhadap setiap anak siapa dari kedua orang tuanya yang harus melakukan perwalian atas anak-anak itu. 100 Sebagaimana dalam BW, maka perceraian menurut S. 1933 No. 74 HOCI)
adalah
putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam
93
Pasal 233 KUH Perdata Pasal 234 KUH Perdata 95 Pasal 222 KUH Perdata 96 Pasal 233 KUH Perdata 97 Pasal 224 KUH Perdata 98 Pasal 225 KUH Perdata 99 Pasal 227KUH Perdata 100 Pasal 229 KUH Perdata 94
Universitas Sumatera Utara
perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang sah yang disebut dalam Undang-undang ini. Alasan-alasan yang sah secara limitatif termaktub dalam Pasal 52, yaitu : 1.
Berzina
2.
Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dengan sengaja
3.
Salah satu pihak selama perkawinan berlangsung mendapat hukuman penjara atau kurungan selama dua tahun atau lebih perihal suatu kejahatan
4.
Penganiayaan berat oleh suami atau istri yang dilakukan terhadap pihak lain, atau suatu penganiayaan sedemikian rupa sehingga dikhawatirkan bahwa pihak yang dianiaya itu akan meninggal dunia, atau suatu penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka yang berat pada badan pihak yang dianiaya.
5.
Cacad badan atau penyakit yang timbul setelah perkawinan dilakukan sehingga perkawinan itu tidak bermanfaat
6.
Percekcokan yang terus menerus diantara suami istri yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. 101 Akibat hukum yang timbul dari perceraian menurut Staatsblad ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengenai hubungan suami istri Akibat pokok dari perceraian perkawinan mengenai hubungan suami istri pada setiap perceraian adalah seperti telah dikemukakan pada BW
2.
Mengenai nafkah Apabila istri setelah terjadi perceraian tidak mempunyai cukup kekayaan untuk biaya hidupnya menurut Pasal 62, Hakim dapat menentukan sejumlah dari kekayaan suami yang diserahkan setiap bulan untuk nafkah istri. Banyaknya pembayaran nafkah itu, menurut
101
Djamil Latif, Op.cit, hal. 93. Universitas Sumatera Utara
Pasal 63 ayat (1), ditentukan menurut penghasilan bekas suami. Menurut ayat (2), Hakim dapat mengubah atau mencabut putusan tentang pembayaran nafkah itu atas permintaan dari salah satu pihak setelah mendengar keterangan dari pihak yang lain. Kalau kemudian salah satu pihak meninggal dunia, maka menurut Pasal 64, kewajiban membayar nafkah ini berhenti. 3.
Mengenai pemeliharaan anak Apabila dari perkawinan yang diputus itu ada anak, maka menurut Pasal 65, Hakim harus menentukan pula dalam putusannya tentang siapa dari bekas suami atau istri itu yang diwajibkan memelihara anak dan beberapa jumlah uang yang harus diberikan setiap bulan oleh pihak lain guna turut serta membiayai pemeliharaan anak-anak itu. Penetapan Hakim tentang hal ini kemudian dapat diubah atas permintaan salah satu pihak dan setelah mendengar keterangan pihak lain dan sanak saudara. 102 Menurut UU No. 1-1974 dikatakan bahwa perkawinan dapat putus karena perceraian,
kematian, dan putusan pengadilan (Pasal 38). Perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri tidak lagi dapat hidup rukun sebagai suami istri. Tata cara perceraian didepan sidang pengadilan diatur dalam perundang-undangan tersendiri (Pasal 29 ayat (1-3)). Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan. Tata cara mengajukan gugatan tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri (Pasal 40 (1-2)). 103
102 103
Ibid. Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 150. Universitas Sumatera Utara
Masih menurut UU No. 1-1974, apabila putus perkawinan karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, bekas suami/istri, dan harta bersama. Akibat hukum terhadap anak ialah, apabila terjadi perceraian, maka baik bapak ataupun ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya. 104 Selanjutnya, di dalam hukum adat alasan-alasan yang sah untuk melakukan perceraian adalah sebagai berikut : 1.
Salah satu pihak dari suami atau istri meninggal dunia.
2.
Istri berzina. “Hanya kadang zinanya istri tidak bisa dipakai alasan untuk bercerai kalau dendanya sudah dibayar, seperti pada suku dayak.”
3.
Salah satu pihak (istri atau suami) bersalah. Alasan ini benar-benar bertalian dengan pergaulan dari masing-masing pihak yang bisa dipergunakan oleh pihak yang lain untuk menuntut perceraian, “suami meninggalkan istri sangat lama, kelakuan istri yang tidak sopan.”
4.
Atas kata sepakat dari suami dan istri. “Akan tetapi bercerai seperti ini amat jarang terjadi.
5.
Istri mandul. Di daerah-daerah dengan corak kebapaan alasan untuk perceraian itu adalah “majir (tidak beranak laki-laki) atau cacat badan dan sebagainya yang bisa menghalanghalangi berlangsungnya fungsi perkawinan sebagai urusan masyarakat.” Dalam perkawinan ambil anak, maka barang tentu alasan itu sudah cukup untuk bercerai.
104
Ibid, hal. 148. Universitas Sumatera Utara
6.
Kepentingan masyarakat. Di Kalimantan, perceraian perkawinan yang bahkan dituntut demi kepentingan masyarakat, berdasarkan atas keadaan yang membahayakan dipandang dari sudut sihir. 105 Walaupun alasan-alasan atau sebab-sebab tersebut bersifat khas adat, akan tetapi pada
umumnya perceraian tersebut dipengaruhi dalam pelaksanaannya oleh peraturan agama terutama Hukum Islam dan Kristen. Menurut perkiraan yang bukan suatu hasil penelitian ilmiah sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 di kalangan masyrakat Jawa dan Pasundan yang bersifat kekerabatan adatnya parental dengan bentuk perkawinan bebas (mencar, mentas, mandiri) banyak terjadi perceraian. Begitu pula dikalangan masyarakat Minangkabau yang sifat kekerabatannya martilineal dengan bentuk perkawinan samenda dan kuat beragam Islam banyak terjadi perceraian. Tetapi, dikalangan masyarakat matrilineal Samenda dengan bentuk perkawinan semanda tidak begitu banyak terjadi perceraian. 106 Dikalangan umat Kristen Minahasa perceraian jarang terjadi tetapi baku piara (hidup bersama) banyak terjadi. Begitu pula dikalangan umat Kristen Maluku dan Nusatenggara Timur, perceraian jarang terjadi tetapi berlaku hidup bersama dan poligami yang tidak resmi. Tetapi dikalangan Kristen Batak, perceraian jarang terjadi dan hidup bersama bukan merupakan adat istiadat. Didaerah Lampung yang penduduk aslinya beragama Islam, ternyata di lingkungan masyarakat beradat peminggir (pesisir) lebih mudah terjadi perceraian daripada di lingkungan masyarakat yang beradat pepadun.
105 106
Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta, 1954, hal. 110. Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 151. Universitas Sumatera Utara
Demikian keadaan sebelum berlakunya Undang-undang No. 1-1974 tetapi sekarang nampaknya perceraian itu sudah jarang sekali terjadi dibanding keadaan dahulu, dikarenakan, Undang-undang No. 1-1974 mempersulit terjadinya perceraian. Terjadinya perceraian tersebut itu bukan saja dikarenakan hukum agama dan perundangan tetapi juga akibat sejauh mana pengaruh budaya malu dan kontrol dari masyarakat. Pada masyarakat yang ikatan kekerabatannya kuat perceraian sulit terjadi daripada masyarakat yang ikatan kekerabatannya lemah. 107 Pada umumnya menurut Hukum Adat yang ideal, baik putus perkawinan karena kematian maupun karena perceraian, membawa akibat hukum terhadap kedudukan suami maupun istri, terhadap pemeliharaan, pendidikan, dan kedudukan anak, terhadap keluarga dan kerabat dan terhadap harta bersama (harta pencarian), harta bawaan, harta hadiah atau pemberian, warisan dan atau harta peninggalan/pusaka. Segala sesuatunya berdasarkan hukum adat yang berlaku masing-masing, dan tidak ada kesamaan antara masyarakat adat yang satu dengan yang lainnya. 108 Jika kita membicarakan tentang pengadilan dan peradilan menurut sistem Hukum Adat dibandingkan dengan sistem barat yang kini kita gunakan, maka tidak banyak yang dapat dibicarakan. Namun tidak berarti bahwa hukum adat tidak mengenal sistem peradilan dalam menyelesaikan perselisihan diantara warga masyarakat hukum adat, yang pada umumnya bersifat perdata, dan sampai sekarang masih berlaku. Sistem peradilan adat yang dimaksud adalah sistem yang diwarisi dari zaman purba yaitu peradilan tanpa penjara, yang dizaman kerajaan Mataram dalam abad ke 17 disebut “Peradilan Padu” dan yang oleh Pemerintah
107 108
Ibid. Ibid, hal. 176. Universitas Sumatera Utara
Hindia Belanda disebut ‘dorpsjustitie’ (peradilan desa). Peradilan adat tidak dapat dibayangkan seperti peradilan pemerintah, karena kedudukannya yang bersifat insidentil, sewaktu-waktu diperlukan, dan kalau disebut “Hakim Adat” ia merupakan orang yang berperan sebagai penengah (mediator). 109
C. Akibat Hukum Putusnya Perkawinan Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa pembagian harta gono-gini kerap menjadi persoalan penting dalam proses perceraian. Bahkan pada sejumlah kasus, sengketa perebutan harta gono-gini justru memperlambat dan memperumit proses perceraian. Ketidakpahaman masyarakat pada umumnya tentang harta dalam perkawinan, merupakan faktor kuat yang memicu lahirnya sengketa harta gono-gini.
Seorang laki-laki atau perempuan, ketika belum menikah mereka mempunyai hak dan kewajiban yang utuh. Hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kehidupannya, hak dan kewajiban akan harta miliknya dan sebagainya. Kemudian setelah mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan, maka mulai saat itulah hak kewajiban mereka menjadi satu. Pengertian menjadi satu tersebut bukan berarti hak dan kewajiban masing-masing pihak akan meleburkan diri, melainkan hak dan kewajiban mereka tetap utuh walaupun mereka telah bersatu dalam kehidupannya. Untuk itulah mereka harus memahami dan menghormati satu sama lain. Tidak merasa salah satu sebagai penguasa dan lainnya menjadi budak, tidak merasa salah satu dari mereka paling berjasa dan lainnya menumpang. Pemahaman tentang hak dan kewajiban ini menjadi sangat penting dan sangat mendasar, apabila kita akan mengkaji lebih
109
Ibid. Universitas Sumatera Utara
dalam tentang konsekuensi-konsekuensi dari kehidupan perkawinan, karena dalam kehidupan perkawinan, akan melahirkan hak dan kewajiban antara lain tentang anak & hak kewajiban tentang harta. Bahkan kemudian akan kemungkinan pembagian harta bila perkawinan putus baik karena perceraian atau karena kematian. Untuk kali ini, dalam tulisan ini hanya akan dibahas tentang hak dan kewajiban yang berkaitan dengan harta perkawinan. 110
Persengketaan harta perkawinan dalam perceraian memang riskan terjadi, terlebih bila tidak ada perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan. Kadangkala, masing-masing pihak mengklaim bahwa harta bersama menjadi harta bawaan atau harta perolehan. Jika tidak paham betul, salah satu pihak terutama pihak yang lemah, dapat saja terkecoh dengan pembagian harta bawaan, harta bersama, dan harta perolehan. Ditambah lagi dengan realita di masyarakat, kebanyakan orang tidak pernah memisahkan dengan sengaja harta-harta yang mereka miliki, terutama harta bersama dan harta perolehan, serta tidak menutup kemungkinan juga pada harta bawaan. Karena pada umumnya, tidak pernah ada orang/pasangan yang memprediksikan apalagi merencanakan untuk bercerai dan akan berakhir pada persengketaam pembagian harta. Dengan demikian, banyak pasangan suami-istri yang umumnya tidak membuat perjanjian perkawinan, atau tidak melakukan pencatatan pemisahan harta yang dimiliki. 111
Selain itu, agar lebih menghemat biaya sebaiknya masalah persengketaan harta dalam perkara perceraian, disatukan dalam satu gugatan bersama-sama dengan perkara perceraian, hak asuh anak, serta permohonan nafkah. Sedapat mungkin hal tersebut harus dilakukan oleh para pihak yang berselisih, meskipun hingga kini pada kenyataannya kadangkala Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, masih memisahkan masing-masing perkara tersebut kedalam
110 111
Pramudya, Tentang Harta Bersama, Internet, WordPress.com, Diakses Tanggal 12 Februari 2013 Budi Susilo, Op.cit, hal 126. Universitas Sumatera Utara
persidangan yang berbeda. Dengan pertimbangan, kadangkala masing-masing gugatan tersebut memiliki keadaan/kondisi spesifik yang berbeda pula. 112
Menurut Pasal 35, Undang-undang No. 1 Tahun 1975 harta benda dalam perkawinan ada yang disebut harta bersama, yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena itu Pasal 36 menentukan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. 113
Menurut penjelasan pasal 35, apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Disini tidak dijelaskan putus perkawinan karena apa. Karena itu perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak mati, mungkin pula karena perceraian, akan tetapi pasal 37, mengaitkan putusnya perkawinan itu karena perceraian yakni apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masingmasing. 114
Pasal 37, Undang-undang Perkawinan, menyebutkan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah, ditegaskan dalam penjelasan pasal tersebut sebagai Hukum Adat, Hukum Agama, dan Hukum-hukum lainnya. Kemudian KHI dan Undang-
112
Ibid. Djamil Latif, Op.cit, hal. 115. 114 Ibid. 113
Universitas Sumatera Utara
undang Perkawinan merumuskan, apabila perkawinan pecah, maka suami istri masing-masing berhak mendapat setengah bagian dari harta bersama. Hal ini juga berlaku untuk perceraian yang terjadi karena kematian. 115 Selanjutnya, yang harus dilakukan untuk mengantisipasi kerumitan dalam pemecahan persoalan persengketaan harta perkawinan adalah pertama, mulailah perkawinan dengan melakukan perjanjian perkawinan (sebagai langkah preventif), serta melakukan pencatatan atas kategori bawaan, harta bersama, dan harta perolehan. Kedua, jika proses perceraian sedang berjalan, namun di sisi lain perkawinan sudah dilangsungkan dan tidak ada perjanjian perkawinan yang menerangkan tentang pemisahan harta benda, maka sebelumnya harus sudah dilakukan pembagian kesepakatan harta. Jika tidak dapat disepakati secara musyawarah, maka pihak istri berhak mengajukan gugatan pembagian harta bersama. Gugatan ini dapat diajukan bersamaan dengan gugatan perceraian di Pengadilan, atau diajukan terpisah setelah adanya putusan cerai. Jika masih kerap bingung, maka berkonsultasilah dengan pakar hukum perkawinan atau pengacara, sekaligus memintakannya menjadi kuasa hukum/pengacara atas masalah gugatan yang sedang dihadapi. 116 Satu hal yang penting yang sering dilupakan adalah mengenai semangat dan kesabaran dalam melakukan upaya memintakan keadilan atas hak, terutama dalam persoalan harta. Kadangkala saat proses perceraian belum selesai, para pihak yang berselisih sudah lebih dulu mengalami kelelahan mental, sehingga cenderung berfikir pendek, serta lebih mengutamakan “yang penting bercerai terlebih dahulu”. Hal tersebut sebenarnya tidak terlalu salah, hanya saja
115 116
Budi susilo, Loc.cit, hal. 133. Ibid, hal. 134. Universitas Sumatera Utara
dikemudian hari akan menimbulkan ketidakadilan yang lain. Tunaikanlah kewajiban, dan mintakanlah hak secara adil dengan sebagaimana mestinya, itulah yang lebih baik 117 Dalam Pasal 119, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dijelaskan bahwa, saat perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta suami dan istri. Dengan kata lain, percampuran harta (alghele gemeenschap) goederen) baru terjadi setelah dilangsungkannya perkawinan antara perempuan dan laki-laki, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Maka dengan demikian, ketentuan tidak adanya percampuran antara harta suami dan iustri karena perkawinan, berlaku bagi setiap orang. 118 Apabila perkawinan yang dilakukan oleh suami dan istri dengan persatuan harta benda, maka menurut Pasal 232 BW pembagiannya harus dilakukan menurut cara-cara seperti tesebut dalam Bab keenam. Harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri antar suami dan istri, dengan tidak memperdulikan dari pihak mana asalnya barang-barang tersebut.
119
Keadaan ini akan
memungkinkan orang yang tadinya miskin, mungkin akan mendadak menjadi kaya raya setelah ia menikah dengan orang yang hartawan dan kemudian cerai dengannya. Akan tetap Pasal 232 menentukan, bahwa apabila kemudian terjadi lagi kawin ulang antar keduanya, maka segala perhubungan antar mereka dikembalikan kepada keadaan sebelum perceraian perkawinan dan dianggap seolah tidak pernah terjadi apa-apa antara mereka. 120 Karena itu harta kekayaan yang diperoleh oleh pihak yang mendadak kaya karena perceraian tadi, tidak boleh diselewengkan dan harus dikembalikan pada harta perkawinan mereka kembali.
117
Ibid. Ibid, hal. 120. 119 Pasal 128 KUH Perdata 120 Pasal 232 Huruf (a) KUH Perdata 118
Universitas Sumatera Utara
Akibat hukum yang menyangkut harta bersama atau harta pencarian ini Undang-undang rupanya menyerahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, dan jika ada kesepakatan Hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya. 121 Didalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), dijelaskan bahwa pada dasarnya tidak ada pencampuran harta suami dan istri karena perkawinan. Pasal 86 telah mengatur bahwa harta istri tetap menjadi milik istri dan begitu juga sebaliknya pada suami. 122 Berbeda dengan sistem Hukum Perdata Barat (Pasal 119 BW), maka didalam Islam tidak dikenal pencampuran harta kekayaan antara suami atau istri karena pernikahan. Karena itu pula menurut Hukum Islam perempuan yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak hukum, sehingga ia dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat; perempuan yang bersuami menurut Hukum Barat tidak cakap bertindak hukum dan hanya dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, jika dibantu atau dikuasakan secara tertulis oleh suaminya. 123 Jika selama perkawinan diperoleh harta, maka harta ini adalah harta sirkah, yaitu harta bersama dan menjadi milik bersama dari suami istri. Karena itu dalam Islam ada harta suami yang terpisah (tidak bercampur) dan harta kekayaan tidak terpisah (bercampur). Dalam harta kekayaan yang terpisah, masing-masing dari suami dan istri berhak berwewenang atas harta kekayaannya masing-masing. Suami tidak berhak atas harta istri, karena kekuasaan istri terhadap hartanya tetap ada dan tidak berkurang sebab perkawinan. Karena itu suami tidak boleh mempergunakan harta istri untuk membelanjai rumah tangga kecuali dengan izinnya. Bahkan, harta istri yang digunakan uintuk membelanjai rumah tangga, menjadi hutang atas suami dan suami wajib membayar kepada istrinya, kecuali jika istri mau 121
Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal. 176. Pasal 86 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam 123 Pasal 108 ayat (2) KUH Perdata 122
Universitas Sumatera Utara
membebaskannya. Sebaliknya istri dapat mempergunakan harta suaminya dengan izin Hakim, seandainya tidak membelanjainya. 124 Dalam hal harta kekayaan yang tak terpisah (harta syirkah) yang merupakan harta kekayaan tambahan karena usaha bersama suami istri (syirkah) selama perkawinan menjadi milik bersama dari suami istri untuk kepentingan bersama. Karena itu apabila ikatan perkawinan putus baik meninggalnya salah satu pihak atau oleh perceraian, maka harta ini dibagi antara suami dan istri. 125 Didalam Hukum Adat, apabila terjadi putus perkawinan baik karena kematian maupun karena perceraian dalam masyarakat Hukum Adat tentunya dilihat pada suami dan istri yang bersangkutan, apakah mereka di dalam ruang lingkup kemasyarakatan adat yang patrilineal, matrilineal, atau parental, bagaimana bentuk perkawinan yang mereka lakukan (kawin jujur, semanda, atau bekas), dan situasi lingkungan yang mempengaruhi, apakah mereka bertempat di kediaman daerah yang bersangkutan, di daerah atau di kota, ataukah di perantauan, apakah mereka merupakan perkawinan campuran antar agama, antar suku, antar adat. Misalnya saja perkawinan orang Minangkabau di kota Bandar Lampung, menurut hasil penelitian Fakultas Hukum Lampung, sudah tidak ada lagi mempertahankan sistem kekerabatan matrilineal tetapi lebih banyak cenderung pada parental. 126 Dilingkungan masyarakat partrilineal jika suami wafat maka istri tetap, tali perkawinan tidak putus, ia dapat memilih kawin dengan saudara suami (levirat), atau kawin dengan lelaki lain yang disukainya namun suaminya yang baru harus menggantikan kedudukan suaminya almarhum masuk dalam kerabat suaminya semula, atau ia tetap menjadi janda dengan
124
Djamil Latif, Op.cit, hal. 83. Ibid. 126 Hilman Hadikuduma, Op.cit, hal. 176. 125
Universitas Sumatera Utara
mengurus dan memelihara serta mendidik anak-anaknya dengan menggunakan harta peninggalan suaminya di bawah perlindungan dan bantuan saudara-saudara suaminya. 127 Namun pada umumnya pada masyarakat matrilineal jika putus perkawinan, akibat hukumnya bagi harta perkawinan sebagaimana dikatakan orang Minang, ‘Suaran diagih, sekutu di belah, nan tepatan tinggal, nan dibawa pulang. Jadi harta bersama dibagi antara suami dan istri, harta pusaka/peninggalan tetap pada pihak wanita, sedangkan harta bawaan suami boleh dibawanya pergi. Lalu kedudukan anak tetap berkedudukan di pihak ibunya sebagai ahli waris dari kerabat ibunya. Pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mengaturnya berada di kekuasaan mamak, saudara pria dari ibunya. Hal ini tidak berarti tanpa adanya perhatian dan bantuan dari ayah si anak dan kerabat pihak ayahnya. Lebih-lebih di perantauan di masa kekuasaan mamak sudah lemah, tanggung jawab terhdap anak langsung pada orang tuanya, dan jika putus perkawinan diurus oleh ayah dan ibunya walaupun sudah bercerai. 128 Di lingkungan masyarakat parental (keorangtuaan) yang dapat dikatakan tidak lagi mempertahankan garis keturunan, dan pada umumnya melaksanakan perkawinan bebas (mandiri) maka akibat putus perkawinan, cerai mati atau cerai hidup dapat berakibat harta bersama dibagi antara suami dan istri sedangkan harta bawaan masing-masing, harta pemberian/hadiah, warisan masing-masing tetap dikuasai dan dimiliki masing-masing. Begitu pula anak-anak, pemeliharaan dan pendidikannya menjadi tanggung jawab bapak dan ibunya, terutama bapaknya kecuali jika bapak tidak mampu boleh ditangani ibunya. Jadi apa yang dijalankan UU no. 1-1974 sejalan dengan kekeluargaan parental yang lebih banyak berlaku di Indonesia. 129
127
Ibid, hal. 177. Ibid, hal. 178. 129 Ibid. 128
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut Staatsblad 1933 No. 74 mengikuti sistem hukum adat. Karena itu Staatsblad tersebut tidak mengadakan ketentuan sama sekali mengenai pembagian harta benda, tetapi penyelesaiannya diserahkan kepada Hukum Adat setempat. 130
130
Djamil Latif, Op.cit, hal. 98. Universitas Sumatera Utara