Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
PENYELESAIAN GUGATAN PERCERAIAN PERKAWINAN TANPA AKTA PERKAWINAN
DI PENGADILAN NEGERI SINGARAJA
ARTIKEL
Oleh:
GEDE SUTARPA HANA WIJAYA
NPM. 012.3.0068
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANJI SAKTI
SINGARAJA
2014
1 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
PENYELESAIAN GUGATAN PERCERAIANPERKAWINAN TANPA AKTA PERKAWINAN DI PENGADILAN NEGERI SINGARAJA
Oleh:
Gede Sutarpa Hana Wijaya
NPM: 012.3.0068
ABSTRAK Peranan dan pentingnya akta perkawinan dirasakan di antaranya dalam hal pihak-pihak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan yang menuntut bukti-bukti yang mengakui sahnya suatu perkawinan menurut undang-undang perkawinan, dalam hal ini adalah akta perkawinan. Mahkamah Agung dalam putusannya No. 544/Pdt/1988, menyatakan bahwa “Suatu gugatan perceraian tanpa adanya akta perkawinan tidak dapat diterima”. Penelitian ini meneliti masalah tata cara penyelesaian gugatan perceraian tanpa akta perkawinan di Pengadilan Negeri Singaraja dan kendala-kendala yang dihadapi dalam penyelesaian gugatan perceraian tanpa akta perkawinan di Pengadilan Negeri Singaraja .
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif.
Pengadilan Negeri Singaraja menerima gugatan perceraian atas perkawinan yang tidak dicatatkan pada Catatan sipil. Jika perdamaian tidak mungkin dilakukan, hakim yang telah meyakini bahwa perkawinan tersebut sah secara hukum, dapat menetapkan perceraian kedua belah pihak dengan putusan pengadilan. Putusan ini tidak perlu disampaikan kepada Catatan sipil. Kendala yang dihadapi dalam hal ini terutama masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat tentang arti penting pencatatan perkawinan.
2 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
Kata Kunci: Gugatan Perceraian, Akta Perkawinan.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dimanapun orang di dunia ini tidak akan dapat melangsungkan hidupnya dengan baik tanpa orang yang ada disekelilingnya. Maka dari itu manusia harus mengadakan hubungan atau interaksi dengan lingkungan dan manusia lain yang ada disekitarnya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri terpisah dari manusia lainnya (Zon Politicon) atau kehidupan kelompoknya. Sudah merupakan kodrat manusia untuk dapat hidup berdampingan dengan sesamanya dan berusaha untuk meneruskan keturunan dengan cara melangsungkan perkawinan. “Perkawinan yaitu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan”.
Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Perkawinan di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Undang-Undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.
Undang-Undang Perkawinan dianggap belum memuaskan semua golongan, namun undang-undang ini telah menunjukkan adanya suatu kemajuan di bidang hukum perdata khususnya dalam bidang hukum perkawinan Indonesia. Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama tersebut satu sama lain ada perbedaan, akan tetapi tidak saling bertentangan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974 nomor 1 tambahan lembaran negara nomor 3019), bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin
3 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
antara seorang peria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan bukan hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat indonesia.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa setiap perkawinan yang telah dilaksanakan secara sah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari ketentuan Pasal 2 ayat (2) tersebut dapat dicermati bahwa setiap perkawinan wajib dilakukan pencatatan dalam Catatan Sipil, sehingga diperoleh akta perkawinan.
Secara faktual di masyarakat sering terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan. Peran dan pentingnya pencatatan dalam bentuk Akta Perkawinan ini, umumnya baru kemudian disadari setelah pihak-pihak memerlukannya. Misalnya untuk kepentingan administrasi kepegawaian, mecari Akta Kelahiran anaknya dan sebagainya. Peranan dan pentingnya akta perkawinan ini dirasakan pula dalam hal pihak-pihak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan yang menuntut bukti-bukti yang mengakui sahnya suatu perkawinan menurut undang-undang perkawinan, dalam hal ini adalah akta perkawinan.
Mahkamah Agung dalam putusannya No. 544/Pdt/1988, menyatakan bahwa “Suatu gugatan perceraian tanpa adanya akta perkawinan tidak dapat diterima”. Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif bertugas melakukan pengawasan tertinggi atas keputusan-keputusan pengadilan dibawahnya, dalam keputusannya tersebut telah membatalkan keputusan-keputusan pengadilan dibawahnya yang telah mengabulkan gugatan perceraian tanpa adanya akta perkawinan, walaupun pihak-pihak telah membuktikan kebenaran hubungan perkawinan berdasarkan saksi-saksi maupun surat keterangan dari kelian dinas.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung berpendapat, bahwa walaupun benar tidaknya perkawinan itu dilakukan menurut adat agama ternyata perkawinan dan pencatatan tersebut tidak dilakukan di depan pegawai pencatatan perkawinan, maka menurut Mahkamah Agung perkawinan tersebut belum diakui keabsahannya.
Mahkamah Agung dalam usaha menafsirkan atau menginterprestasi terhadap Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya, berpendapat dalam
4 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
pertimbangan hukumnya sebagai berikut : 1. Bahwa walaupun berkelebihan perlu dikemukakan bahwa untuk mengajukan gugatan perceraian terhadap suatu perkawinan menurut adat/agama yang telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tetapi belum memenuhi syarat yang termasuk dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka seharusnya ditempuh jalan untuk meminta pengesahan perkawinan tersebut kepada pengadilan serta agar pengadilan memerintahkan kepada pemohon untuk mendaftarkan/mencatat perkawinan tersebut kepada pegawai pencatat perkawinan yang ditentukan oleh undang-undang. 2. Sesudah memperoleh keputusan pengadilan tentang pengesahan pencatatan perkawinan dan selanjutnya telah mencatatkan perkawinan tersebut pada pegawai pencatat perkawinan. Setelah itu, barulah dapat mengajukan gugatan perceraian berdasarkan bukti surat keputusan pengadilan dan bukti lainnya, termasuk bukti pencatatan perkawinan yang dimaksud di atas (Surat edaran Mahkamah Agung nomor 544/Pdt./1988).
1.2 Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang selanjutnya dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagimanakah tata cara penyelesaian gugatan perceraian tanpa akta perkawinan di Pengadilan Negeri Singaraja? 2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam penyelesaian gugatan perceraian tanpa akta perkawinan di Pengadilan Negeri Singaraja?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup masalah merupakan upaya untuk menetapkan batas-batas permasalahan sehingga mengarahkan peneliti agar penelitian tidak bias dan tidak menyimpang dari masalah yang telah ditetapkan.
Ruang lingkup masalah penelitian ini dibatasi dua hal, yaitu mengenai tata cara penyelesaian gugatan perceraian tanpa akta perkawinan di Pengadilan Negeri Singaraja, dan kendala-kendala yang dihadapi dalam penyelesaian gugatan perceraian tanpa akta perkawinan di Pengadilan Negeri Singaraja.
5 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
1.4 Tujuan Penelitian
Melalui pelaksanaan penelitian ini diharapkan akan dapat dicapai tujuan-tujuan sebagai berikut ini: 1. Untuk mengetahui tata cara penyelesaian gugatan perceraian tanpa akta perkawinan di Pengadilan Negeri Singaraja. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam penyelesaian gugatan perceraian tanpa akta perkawinan di Pengadilan Negeri Singaraja. 3.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian hukum, khususnya mengenai hukum perkawinan. 1. Manfaat Praktis 2. Bagi instansi terkait, khususnya penegak hukum, hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan yang bermanfaat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. 3. Bagi masyarakat luas, hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan dalam meningkatkan kesadaran hukum terutama manfaat dari akta perkawinan. 4. Bagi penulis, merupakan salah satu syarat dalam usaha memperoleh gelar Sarjana Hukum di Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Panji Sa kti.
METODE PENELITIAN
6 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
Penelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya.
Setiap penelitian dilakukan dengan cara-cara tertentu. Cara bagaimana penelitian dilakukan merupakan metode penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian ilmiah. Secara teoritis metode ilmiah yang diterapkan dalam penelitian di antaranya harus berdasarkan fakta, bebas dari prasangka, dan menggunakan ukuran obyektif. Dihubungkan dengan tujuan umum dari suatu penelitian adalah untuk memecahkan masalah, maka dengan demikian langkah-langkah yang ditempuh harus relevan dengan masalah yang telah dirumuskan, termasuk dalam penentuan jenis penelitian yang dilakukan.
2.1 Jenis Penelitian
Soerjono Soekanto membedakan penelitian hukum dari sudut tujuannya menjadi dua, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris.
Penelitian hukum normatif mengkaji hukum secara konseptual sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (Undang-undang Dasar, kodifikasi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan seterusnya), norma hukum tertulis bentukan lembaga peradilan (judge made law), serta norma hukum tertulis buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, laporan hukum, catatan hukum, dan rancangan undang-undang). Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis/ dogmatik karena tidak mengkaji pelaksanaan atau implementasi hukum. Penelitian hukum normatif hanya menelaah data sekunder. Fokus kajian hukum normatif adalah inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Penelitian jenis Hukum Empiris, penelitian Hukum Normatif hanya memperhatikan apa yang seharusnya (das solen) tanpa memperhatikan bagaimana kenyataan yang ada di masyarakat (das sein), penelitian terhadap bagaimana kenyataannya di dalam masyarakat inilah yang dibahas oleh penelitian jenis Hukum Empiris.
7 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
Dari kedua jenis penelitian tersebut di atas, maka dalam pembahasan tentang Penyelesaiann Gugatan Perceraian Perkawinan tanpa akta perkawinan di Pengadilan Negeri Singaraja adalah merupakan jenis penelitian hukum empiris, yang mengutamakan data primer dan data sekunder.
Penelitian hukum empiris adalah penelitian yang ditujukan untuk mengkaji hukum sebagai gejala sosial. Jadi, dalam konteks norma penelitian hukum empiris adalah penelitian tentang pelaksanaan norma.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Ciri-ciri dari suatu penelitian hukum empiris adalah sebagai berikut: 1. Adanya kesenjangan antara das solen dengan das sein yaitu kesenjangan antara teori dengan dunia realita, kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum, dan/ atau adanya situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan kepuasan akademik; 2. Umumnya menggunakan hipotesis; 3. Menggunakan landasan teoritis dan kerangka berpikir; 4. Menggunakan data primer dan data skunder, dimana data skunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier; 5. Data primer dan data skunder kontribusinya sama pentingnya dalam penelitian yang sedang dikerjakan. Dalam hal ini tidak ada data yang satu lebih unggul dari data yang lain atau berkedudukan sebagai data utama sedangkan data yang lain sebagai data penunjang, melainkan kedua jenis data tersebut memiliki kontribusi yang sama pentingnya.
2.2 Sifat Penelitian
Berbicara tentang sifat penelitian, maka sifat penelitian ini dibedakan atas 3 macam yaitu : 1. Penelitian Eksploratif, yaitu penelitian terhadap sesuatu hal yang belum ada buku-buku, hasil-hasil penelitian, sehingga dalam penelitian ini tidak diperlukan hipotesis. 2. Penelitian Deskriptif, yaitu yang bersifat menggambarkan atau melukiskan secara tepat. Dalam penelitian ini sudah mulai ada buku maupun hasil penelitian tetapi tidak begitu banyak. Sehingga dalam penelitian ini dalam pembuatan hipotesis adalah merupakan suatu kebolehan, artinya dapat menggunakan hipotesis dan dapat pula tidak menggunakan hipotesis.
8 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
3. Penelitian Eksplanatoris, yaitu penelitian terhadap sesuatu hal yang sudah banyak buku-buku yang memuat masalah tersebut serta sudah banyak mengadakan penelitian, sehingga dalam sifat penelitian ini hipotesis mutlak diperlukan.
Dari sifat penelitian tersebut di atas, maka penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif (menggambarkan) yang bertujuan untuk menggambarkan/ melukiskan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat. Penemuan gejala-gejala itu berarti juga tidak sekedar menunjukkan distribusinya, akan tetapi termasuk usaha mengemukakan hubungan satu dengan yang lain di dalam aspek–aspek yang diselidiki serta tidak menggunakan hipotesis.
2.3 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Singaraja. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan tujuan-tujuan tertentu, yang terpenting adalah untuk memudahkan proses pencarian data. Kemudahan tersebut di antaranya karena peneliti berdomisili di Singaraja, banyaknya kasus yang terjadi dalam perceraian perkawinan tanpa akta perkawinan yang disampaikan oleh Kelihan Adat Desa Pakraman Bondalem yaitu Bapak Made Ardirat.
2.4 Sumber dan Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari sumber data kepustakaan dan sumber data lapangan. Dari sumber data kepustakaan dikumpulkan data sekunder berupa bahan-bahan hukum, terutama bahan-bahan hukum yang berupa: 1. Bahan Hukum Primer yaitu merupakan asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum, yang meliputi : 1. Peraturan Dasar atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Konvensi Ketatanegaraan. 3. Peraturan Perundang-undangan, terutama Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 4. Hukum tidak tertulis yaitu berupa kebiasaan dan hukum adat yang berlaku di masyarakat di lingkungan wilayah hukum Pengadilan Negeri Singaraja. 5. Putusan Pengadilan atau yurisprudensi.
9 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
6. Dan lain-lain. 7. Bahan Hukum Sekunder terdiri dari : 1. Buku-buku Hukum yang erat kaitannya dengan pembahasan terutama dengan perkawinan/perceraian. 2. Jurnal-jurnal Hukum, berupa majalah hukum yang berkaitan dengan perceraian tanpa akte perkawinan. 3. Karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, seperti koran dan sebagainya. 4. Bahan Hukum Tersier, meliputi : 1. Kamus dan Ensiklopedia Hukum. 2. Internet.
Dengan menggunakan data penunjang, yang merupakan hasil wawancara dari pegawai Pengadilan Negeri Singaraja (Ibu Gusti Ayu Akhiryani, SH selaku Hakim Pengadilan Negeri Singaraja pada tanggal 10 Pebruari 2014).
2.5 Teknik Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah pencatatan peristiwa-peristiwa, hal-hal, keterangan-keterangan atau karakteristik-karakteristik sebagian atau seluruh elemen populasi yang akan menunjang atau mendukung penelitian.
Penelitian ini mempergunakan beberapa teknik pengumpulan data seperti: 1. Teknik studi dokumentasi/ kepustakaan yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan cara membaca, menelaah, mengklasifikasikan, mengidentifikasikan dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan dan buku-buku literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. 2. Teknik wawancara berencana/ terstruktur, yaitu suatu wawancara yang disertai dengan suatu daftar pertanyaan yang disusun sebelumnya, serta tidak menutup kemungkinan diajukan
10 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
pertanyaan-pertanyaan tambahan sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat wawancara. Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.
2.6 Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Data adalah mengorganisasikan dan menguraikan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan sesuai masalah penelitian
Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan disajikan secara deskriptif analisis. Metode kualitatif yang dimaksud adalah meneliti obyek penelitian dalam situasinya yang nyata/ alamiah/ riil (natural setting). Analisis kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak melakukan perhitungan ‘jumlah’.
Alur pengolahan data sebagai berikut: data dikumpulkan kemudian disusun secara sistematis, direduksi, dipaparkan secara sistematis, dan ditarik simpulan sebagai jawaban atas permasalahan.
PENYELESAIAN GUGATAN PERCERAIAN
PERKAWINAN TANPA AKTA PERKAWINAN
DI PENGADILAN NEGERI SINGARAJA
3.1. Tata Cara Penyelesaian Gugatan Perceraian Perkawinan Tanpa Akta Perkawinan
Terkait dengan tata cara penyelesaian gugatan perceraian dalam perkawinan yangdilangsungk an menurutAgama Hindu, bahwa seorang suami yang akan menceraikan istrinya, harus
11 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
mengajukan surat gugatan kepada pengadilan di tempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan permohonan perceraian itu.
Pengadilan yang telah menerima surat gugatan perceraian tersebut, setelah mempelajari surat gugatan percerian beserta alasan-alasan yang diajukannya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil penggugat dan juga tergugat (istrinya) untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud gugatan perceraian yang diajukan ke pengadilan itu.
Dalam penyelesaian gugatan perceraian yang diajukan ke pengadilan, pengadilan hanya memutuskan untuk mengad
pengadilan untuk menyaksikan perceraian sesuai dengan surat permohonan yang diajukan penggugat ke pengadilan disertai dengan alasan-alasan yang diajukannya. Sidang pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan keduabelah pihak namun tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami atau istri itu dalam sidang tersebut (wawancara Ibu Eka Ratna Widiastuti, tanggal 10 Pebruari 2014 selaku Hakim Pengadilan Negeri Singaraja).
Adapun alasan-alasan yang dapat diajukan untuk dapat diterima atau dikabulkannya permohonan perceraian yang diajukan penggugat adalah salah satu alasan sebagaimana dipersyaratkan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975.
Adapun alasan-alasan perceraian tersebut adalah : 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
12 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Apabila salah satu dari alasan perceraian tersebut diatas sehingga berakibat suami atau istri sudah tidak mampu mempertahankan ikatan perkawinannya sebagai suami-istri, maka pihak suami atau istri dapat mengajukan gugatan perceraiannya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, maka gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat. Jika tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat, dan ketua pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Apabila perceraian itu disebabkan karena salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lainnya dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya, maka gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat dan gugatan ini baru dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah. Dan gugatan ini dapat diterima apabila tergugat setelah diumumkan melalui media masa berturut-turut namun tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama (wawancara dengan Ibu Gusti Ayu Akhiryani, tanggal 14 Pebruari 2014 selaku Hakim Pengadilan Negeri Singaraja).
Alasan perceraian yang diajukan oleh penggugat yang disebabkan karena antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka gugatan perceraian diajukan di tempat kediaman tergugat. Pengadilan baru dapat menerima gugatan penggugat apabila cukup jelas bagi pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang terdekat dengan suami istri tersebut. Sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu hendaknya dipertimbangkan oleh hakim apakah benar-benar berpengaruh dan prinsipil bagi keutuhan kehidupan suami istri.
13 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat mengijinkan suami-istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
Ijin pengadilan untuk memperkenankan suami istri tidak berdiam bersama dalam satu rumah hanya diberikan berdasarkan pertimbangan demi kebaikan suami istri itu beserta anak-anaknya.
Selama proses perceraian yang sedang terjadi antara suami istri tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya memberikan nafkah kepada istrinya. Demikian pula tugas dan kewajiban suami istri itu terhadap anak-anaknya harus dijaga jangan sampai harta kekayaan baik yang dimiliki bersama-sama oleh suami istri, maupun harta kekayaan suami atau istri menjadi terlantar atau tidak terurus dengan baik. Sebab apabila tidak terurus atau terlantar berakibat bukan saja menimbulkan kerugian kepada suami istri itu, melainkan mungkin juga mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga.
Untuk gugatan perceraian berdasarkan alasan salah seorang dari suami istri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan pengadilan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Setiap kali diadakan sidang pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, maka kedua belah pihak baik penggugat maupun tergugat ataupun kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut, dimana panggilan dilakukan oleh juru sita yang disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpai maka pengadilan akan disampaikan melalui Lurah atau Perbekel (Kepala Desa) atau yang dipersamakan dengan itu. Dan panggilan selambat-lambatnya sudah diterima oleh penggugat dan tergugat atau kuasanya selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan perceraian yang diajukan oleh penggugat.
Apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya Putusan Pengadilan, maka gugatan perceraian yang diajukan oleh penggugat menjadi gugur.
14 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
Jika tergugat yang pergi meninggalkan tempat selama 2 (dua) tahun, dan tempat kediaman tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, maka panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh pengadilan. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.Apabila panggilan sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada namun penggugat maupun tergugat atau kuasanya tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam pasal 19 dari Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. (Wawancara dengan Bapak Amin Imanual Bureni, tanggal 21 Pebruari 2014 selaku Hakim Pengadilan Negeri Singaraja).
Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, maka pengadilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Sebagaimana telah ditentukan sebelumnya bahwa pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perecraian.
Penetapan waktu 30 (tiga puluh) hari yang cukup singkat untuk mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian adalah sebagai usaha mempercepat proses penyelesaian perkara perceraian. Karena makin cepat perkara itu dapat diselesaikan oleh pengadilan makin baik, bukan saja bagi kedua suami istri itu melainkan bagi keluarga, dan apabila mereka mempunyai anak, mempercepat proses penyelesaian perkara akan semakin baik juga bagi anak-anaknya (wawancara dengan Ibu Gusti Ayu Akhiryani, tanggal 28 Pebruari 2014 selaku Hakim Pengadilan Negeri Singaraja).
Disamping itu jangka waktu antara penyampaian panggilan dan sidang hendaknya diatur dengan baik, agar baik pihak-pihak maupun saksi-saksi mempunyai waktu yang cukup untuk mengadakan persiapan guna menghadapi sidang tersebut, terutama kepada tergugat harus diberi waktu yang cukup untuk memungkinkannya mempelajari secara baik isi gugatan.
15 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
Dalam menghadapi perkara perceraian, pihak-pihak yang berperkara yaitu suami dan istri dapat menghadiri sendiri sidang di pengadilan atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa akte perkawinan atau surat keterangan lainnya.
Dalam hal pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. Usaha untuk mendamaikan suami istri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum diputus oleh hakim.
Dalam mendamaikan kedua belah pihak, pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu.Apabila tercapai perdamaian antara kedua pihak, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.Tetapi apabila pengadilan telah berusaha untuk mencapai perdamaian akan tetapi tidak berhasil, maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang tertutup. Pemeriksaan dalam sidang tertutup ini berlaku juga bagi pemeriksaan saksi-saksi. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian, hakim berdasarkan kehendak suami atau istri untuk melakukan perceraian. Sekalipun pada saat pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan secara tertutup, namun putusan mengenai gugatan perceraian tetap diucapkan dalam sidang terbuka, sehingga dianggap telah terjadi perceraian dengan segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat.
Bertitik tolak dengan yurisprudensi yang ada, terutama di bidang penyelesaian sengketa gugatan perceraian, yakni dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor : 544/Pdt/1988 yang menyatakan bahwa : “suatu gugatan perceraian tanpa adanya akta perkawinan tidak dapat diterima”. Dengan memperhatikan keputusan Mahkamah Agung tersebut, nampaknya persyaratan adanya akta perkawinan dalam gugatan perceraian adalah mutlak. Artinya akta perkawinan itu harus ada, sehingga mereka yang tidak memiliki akta perkawinan tidak boleh mengadakan gugatan perceraian sekalipun alasan untuk bercerai nyata-nyata ada, seperti misalnya dalam rumah tangga sering cekcok dan suami ringan tangan yang sering menganiaya istri.
Keputusan Mahkamah Agung tersebut, nampak adanya kontradiksi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 terutama dalam penjelasan pasal 30 nya. Disana ditentukan bahwa “dalam menghadapi perkara perceraian, pihak yang berperkara, yaitu suami dan istri dapat menghadiri sendiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan
16 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
kepada kuasanya dengan membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lain yang diperlukan”. Dari ketentuan itu dapat kita cermati bahwa syarat adanya akte perkawinan adalah relatif sifatnya, boleh diganti dengan surat keterangan lainnya yang berkaitan dengan perkawinan itu.
Apabila dicermati ketentuan pasal 2 ayat (1) dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dengan tegas ditentukan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari ketentuan itu jelas bahwa kalau perkawinan itu sudah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing, maka perkawinan itu telah dianggap sah secara hukum, dan sah secara nilai-nilai ketuhanan yang dapat dipertanggungjawabkan di dunia dan diakhirat.Sedangkan di dalam pasal 2 ayat (2) nya ditentukan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan”. Nampaknya ketentuan pasal 2 ayat (2) ini mengutamakan adanya bukti fisik dari perkawinan dari kedua mempelai laki-laki dan wanita.
Untuk mengimplementasikan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali telah mengeluarkan Keputusan No. 241 Tahun 1988 tertanggal 4 Juli 1988 yang dirubah dan diganti dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali No. 233 Tahun 1990 tentang Penunjukkan Kepala Urusan Pemerintahan Kecamatan dan Bendesa Adat/Kelihan Adat di tingkat desa sebagai pembantu pencatatan perkawinan bagi umat Hindu di Provinsi Daerah Tingkat I Bali.Dengan mengacu dari ketentuan penjelasan pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dikaitkan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 233 Tahun 1990, seharusnya Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh Kelihan Adat di tingkat desa dapat digunakan sebagai “surat keterangan lainnya” sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 30 PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12 Lembaran Tambahan Negara Nomor 3050).
Terkait dengan ketentuan pasal 2 ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan syarat adanya akta perkawinan dalam gugatan perceraian karena kedua belah pihak sudah tidak mungkin disatukan lagi berdasarkan alasan-alasan yang mereka ajukan, dan usaha perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) tidak tercapai. Pengadilan Negeri Singaraja mengambil kebijakan bahwa “ditempuh jalan untuk memohon pengesahan perkawinan tersebut kepada pengadilan serta agar pengadilan memerintahkan kepada pemohon untuk mendaftarkan atau mencatat perkawinan tersebut kepada pegawai pencatatan perkawinan”. Setelah memperoleh keputusan pengadilan tentang pengesahan pencatatan perkawinan serta telah mencatatkan perkawinan tersebut pada pegawai pencatat perkawinan, maka barulah pihak penggugat mengajukan gugatan perceraian berdasarkan bukti surat keputusan pengadilan dan bukti lainnya termasuk bukti pencatatan perkawinan (wawancara dengan Bapak Made Sukadana, tanggal 3 Maret 2014 selaku Ketua Panitera Pengadilan Negeri Singaraja).
17 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
3.2 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Penyelesaian Gugatan Perceraian Tanpa Akta Perkawinan di Pengadilan Negeri Singaraja. 1. Kendala Bagi Pengadilan.
Kendala yang dihadapi dan upaya penyelesaian secara teknis pelaksanaan di dalam persidangan, hampir tidak menemukan kendala, kendala yang ada yaitu kurangnya mengerti para pihak dalam pemahaman masalah, hakim telah menyadari karena perkara ini tidak memakai kuasa hukum. Namun hal ini dapat diatasi dengan terus menerus memberikan pengertian atau penjelasan sehingga para pihak dapat mengerti apa yang dimaksudkan oleh hakim, maka proses penyelesaian gugatan perceraian tanpa akta perkawinan dapat berjalan dengan lancar. 1. Kendala Bagi Masyarakat.
Hal yang menjadi kendala atau penyebab belum adanya kesadaran dari masyarakat untuk mencatat perkawinan ini, karena kurangnya pemahaman tentang Undang-Undang Perkawinan terutama bagi masyarakat yang tidak berpendidikan (SD tidak tamat) selain itu adanya anggapan bahwa prosedur pencatatan perkawinan berbelit-belit sehingga enggan untuk mengurus, disamping menganggap biaya pembuatan akta perkawinan tinggi. Di pihak lain ada yang berpendapat bahwa tidak ada keharusan untuk mencatatkan perkawinan tersebut dan tidak ada sanksi, apabila tidak mencatatkan perkawinan, sehingga menganggap akta perkawinan baru dibuat apabila betul-betul dibutuhkan.
PENUTUP
4.1. Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut dalam bab-bab sebelumnya, dapatdisimpulkan hasil sebagai berikut :
18 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
1. Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, suatu gugatan perceraian baru dinyatakan sah apabila dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Salah satu bukti adanya pengajuan gugatan perceraian disyaratkan adanya bukti-bukti yang menunjukkan telah terjadinya hubungan perkawinan yang sah menurut undang-undang. Menurut penetapan Undang-Undang Perkawinan, bukti-bukti tersebut dibuat dalam bentuk akta perkawinan sebagai hasil pencatatan perkawinan. Untuk menyelesaikan perkara gugatan perceraian perkawinan tanpa akta perkawinan yang menjadi pertimbangan pengadilan atau hakim dengan mengacu pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat (1) perkawinan yang telah dilaksanakan secara agama dan kepercayaannya Sah secara hukum, maka Hakim Pengadilan Negeri Singaraja dalam menyelesaikan perkara ini, pengadilan memberikan penetapan putusan bahwa perceraian tersebut sah secara hukum, putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap tidak perlu didaftarkan di Catatan Sipil untuk memenuhi bukti berupa akta perkawinan maupun akta perceraian karena perkawinan tersebut tidak pernah didaftar/ dicatat. Mahkamah Agung dalam tugasnya melakukan pengawasan tertinggi atas tindakan pengadilan dibawahnya dalam hal penerapan hukum, ada tidaknya pelanggaran hukum tersebut menyatakan dalam putusannya No. 544/Pdt./1988 bahwa “Gugatan Perceraian tanpa akta perkawinan tidak dapat diterima”. Menurut putusan Mahkamah Agung tersebut, seharusnya dalam gugatan perceraian tanpa adanya akta perkawinan tersebut diputuskan lebih dahulu melalui sidang tersendiri atas permohonan tentang pengesahan perkawinan, dengan memerintahkan pihak-pihak mencatatkan perkawinannya kepada pegawai pencatat perkawinan. Berdasarkan keputusan pengadilan tentang pengesahan pencatatan perkawinan, para pihak dapat mengajukan gugatan perceraian berdasarkan bukti-bukti lainnya termasuk bukti pencatatan perkawinan/akta perkawinan. 2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam penyelesaian gugatan perceraian tanpa akta perkawinan di Pengadilan Negeri Singaraja, adalah sebagai berikut: 3. Kendala bagi Pengadilan.Kendala yang ada yaitu kurangnya pengertian para pihak dalam pemahaman masalah, hakim perlu menyadari karena perkara ini umumnya tidak memakai kuasa hukum. H al ini dapat diatasi dengan terus menerus memberikan pengertian atau penjelasan sehingga para pihak dapat mengerti dan proses penyelesaian gugatan perceraian tanpa akta perkawinan dapat berjalan dengan lancar. 4. Kendala Bagi Masyarakat.Hal yang menjadi kendala karena adanya anggapan bahwa prosedur pencatatan perkawinan berbelit-belit sehingga enggan untuk mengurus, disamping menganggap biaya pembuatan akta perkawinan tinggi. Di pihak lain ada yang berpendapat bahwa tidak ada keharusan untuk mencatatkan perkawinan tersebut dan tidak ada sanksi, apabila tidak mencatatkan perkawinan, sehingga menganggap akta perkawinan baru dibuat apabila betul-betul dibutuhkan.
19 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
4.2 Saran
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan di atas, maka saya memberikan saran kepada Kantor Catatan Sipil dan masyarakat yang hendak mengadakan perkawinan sebagai berikut : 1. Saran kepada Kantor Catatan Sipil
Pencatatan perkawinan ini sesuai dengan maksud dan tujuan undang-undang perkawinan, hendaknya prosedur dan tata cara pencatatan perkawinan khususnya bagi umat Hindu diatur lebih baik , sehingga begitu perkawinan dilaksanakan menurut hukum agama , saat itu dihadirkan pegawai pencatat perkawinan, sehingga mempelai berdua pada saat itu langsung mendapat surat kutipan akta perkawinan sesuai keinginan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 khususnya pasal 2 ayat (2) sehingga undang-undang perkawinan menjadi lebih efektif. 1. Saran kepada bendesa adat pakraman maupun kepala desa setempat.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 masyarakat khususnya di pedesaan belum memahami tentang undang-undang perkawinan, maka diharapkan Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Di Tingkat Desa Maupun Bendesa Adat Pakraman bersatu padu untuk mensosialisasikan undang-undang perkawinan .
DAFTAR PUSTAKA
20 / 21
Naskah Publikasi Gede Sutarpa Hana Wijaya Ditulis oleh I Nyoman Gede Remaja
Abdurahman dan Riduan Syahrini.1978.Hukum Perkawinan. Bandung:Alumni
Bambang Sunggono. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Buku Pedoman Penulisan Skripsi Universitas panji Sakti . Singaraja.
Burhan Ashofa. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Joko P. Subagyo. 1997. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Moleong, L. 1999. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Nawawi, Hadari. 1998. Metode Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soejono dan Abdurahman H. 2003. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.
Subekti. 1984. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
Sunggono, Bambang. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
21 / 21