Judul
: Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa Proses Pacaran (ta’aruf)
Nama/Npm
: Debby Faura Donna /10503039
Pembimbing : Felix Lengkong, Ph. D
ABSTRAK Dalam proses menuju perkawinan, pacaran merupakan cara yang biasa dilakukan masyarakat Indonesia pada umumnya termasuk masyarakat yang beragama Islam dalam mengenal dan memilih calon pasangan.Namun, ada juga pernikahan yang dilakukan tanpa melalui pacaran dan biasanya kesepakatan untuk menikah diatur oleh orang tua atau orang lain, yaitu dijodohkan. Pernikahan tanpa didahului dengan pacaran ini biasanya dilakukan karena alasan latar belakang budaya ataupun latar belakang agama. Walaupun demikian, tidak sedikit pasangan yang yang memutuskan sendiri untuk menikah tanpa melalui proses pacaran, tanpa ada paksaan atau campur tangan dari pihak lain. Salah satunya adalah dengan cara ta’aruf. Dalam hal ini penelitian yang dilakukan. untuk memberikan informasi dan agar kita memperoleh gambaran mengenai bagaimana penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa proses pacaran. Penyesuaian perkawinan adalah perubahan yang terjadi selama masa pernikahan antara suami istri untuk dapat memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing pihak, serta untuk menyelesaikan masalah yang ada sehingga kedua belah pihak merasakan kepuasan. Perkawinan tanpa prosess pacara (ta’aruf) adalah hubungan timbal-balik untuk saling mengenal yang berkaitan dengan masalah pernikahan, cara-cara yang digunakan untuk saling mengenal dalam ta’aruf, berbeda dengan proses pacaran pada umumnya, dan tidak ada cara yang baku dalam pelaksanaannya. Pasangan dapat saling bertemu untuk berkenalan dengan didampingi orang yang dipercaya oleh kedua belah pihak. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan berkenalan melalui media telekomunikasi, seperti telepon ataupun sms. Setelah pasangan merasakan ada kecocokan, perkenalan ini mungkin dilanjutkan dengan saling bertemu muka, tentunya dengan didampingi oleh orang lain. Dalam metode penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Menurut Creswell, Denzin & Lincoln (dalam Heru Basuki, 2006) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan penelitian kuantitatif dengan positivismenya. Penelitian ini meneliti tentang penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa proses pacaran (ta’aruf) yang usia pernikahan dibawah 5 tahun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa subjek dan pasangan memiliki penyesuaian yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan keluarganya yang harmonis dan cukup bahagia serta tidak ada masalah yang terlalu
rumit. Hal tersebut dapat dilihat dari alasan subjek mengenai keputusannya untuk menikah dikarenakan adanya kecocokan dan persamaan minat serta adanya konsep pasangan ideal antara satu sama lain, yaitu keimanan, pengajian, serta proses menikah yang mereka pilih. Hal ini berdasarkan pada sikap subjek dan pasangan yang selalu mengdepankan ajaran agama dalam kehidupan individu suami istri maupun dalam kehidupan perkawinan mereka, untuk saling menerima dan mensyukuri atas apa yang mereka dapat, suami istri juga telah mengetahui tugas dan kewajibannya dalam kehidupan perkawinan. Hal ini juga yang diterapkan subjek bersama pasangannya sehingga kehidupan pernikahan mereka berjalan dengan baik, karena dengan diterapkanya hal tersebut mereka dapat lebih saling menerima, menghargai satu sama lain. Kata kunci: Penyesuaian Perkawinan, Perkawinan Tanpa Proses Pacaran (ta’aruf)
A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Manusiapun diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan. Guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi dengan memiliki pasangan. Hubungan yang terjalin dapat berupa hubungan pertemanan, persahabatan, pacaran, hidup bersama (cohabitation), dan hubungan perkawinan melalui institusi pernikahan. Walaupun hidup bersama dapat menjadi alternatif untuk menggantikan pernikahan, tetapi sebagian besar manusia tetap memilih untuk menjalani pernikahan, karena pernikahan diikat dalam sebuah institusi yang legal (Atwater & Duffy, 1999). Pada usia dewasa muda, tugas tugas perkembangan yang harus diselesaikan adalah intimacy versus isolation (Erikson dalam Papalia, 2001). Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk menjalin suatu hubungan intim seperti persahabatan dan hubungan kerja serta hubungan cinta seksual (Hall & Lindzey, 1985). Mereka siap untuk mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memenuhi komitmen dengan orang lain, walaupun harus disertai dengan kompromi dan pengorbanan. Komitment yang dimaksud adalah komitment pribadi dalam hubungan intim, yang salah satunya berupa pernikahan. Jika dewasa muda tidak dapat mengembangkan hubungan intim dengan orang lain, maka yang terjadi adalah isolasi. Hal yang menghambat pengembangan hubungan intim dengan orang lain adalah ketidakmampuan untuk memikul tanggung jawab (Hall & Lindzey,1985). Atwater dan Duffy (1999) menyatakan bahwa kebahagiaan perkawinan tergantung pada apa yang terjadi saat pasangan memasuki kehidupan perkawinan yaitu seberapa baik mereka mengalami kesesuaian atau kecocokan. Hal yang paling penting dalam meraih kebahagiaan menurut Atwater dan Duffy (1999) yaitu fleksibilitas dan keinginan untuk berubah dari setiap pasangan atau biasanya disebut dengan
istilah dengan penyesuaian perkawinan (marital adjustment). Penyesuaian perkawinan adalah keterampilan sosial yang diperlukan bagi pasangan yang meraih kebahagiaan atau kepuasan perkawinan (Spanier dalam Miranda, 1995). Hurlock (1980) menyatakan bahwa pada dasarnya keberhasilan sebuah perkawinan adalah keberhasilan suami-istri dalam mewujudkan penyesuaian perkawinan. Peneyesuaian perkawinan didefinisikan oleh Burgess dan Locke (1983) sebagai kesesuaian antara suami-istri terhadap keadaan yang dapat menjadi permasalahan yang berat/ krusial, adanya ketertarikan dan melakukan aktivitas bersama, sering mengungkapkan kasih sayang (affection) dan hubungan yang saling mempercayai (mutual confidence), sedikit mengeluh dan sedikit menyatakan merasa sendiri, sedikit merasa sangat tidak senang, tidak mudah marah dan lain-lain (Burgess & Locke dalam Miller, 1983). Biasanya pacaran merupakan proses awal menuju perkawinan atau dengan kata lain pacaran merupakan sarana dalam memilih pasangan yang cocok untuk dijadikan pasangan hidup (Benokraitis, 1996). Pada proses memilih pasangan untuk dijadikan pasangan hidup tidaklah bersifat acak (Random), akan tetapi ada prinsip yang sistematis. Duvall dan Miller (1985) menyatakan bahwa ada dua konsep utama dalam memahami pemilihan dalam pembentukan hubungan dan perkawinan yaitu exogamy dan endogamy. Dalam norma exogamous seseorang diharuskan (require or exerpressure) mengawini pasangan di luar golongannya dan dalam norma endogamus seseorang diharuskan mengawini pasangan di dalam golongannya. Selanjutnya, Duvall dan Miller (1985) juga menyatakan bahwa endogamy agama merupakan faktor yang penting dalam memilih pasangan dan mayoritas orang melangsungkan perkawinan masih disebabkan karena adanya latar belakang agama yang sama. Hal ini disebabkan karena banyak agama menentang adanya perkawinan berbeda agama sebab perkawinan berbeda agama
dapat melemahkan komitmen pemelukanya terhadap kepercayaannya (Benokraitis, 1996). Dalam proses menuju perkawinan, pacaran merupakan cara yang biasa dilakukan masyarakat Indonesia pada umumnya termasuk masyarakat yang beragama Islam dalam mengenal dan memilih calon pasangan. Ada juga pernikahan yang dilakukan tanpa melalui pacaran dan biasanya kesepakatan untuk menikah diatur oleh orang tua atau orang lain, yaitu dijodohkan. Pernikahan tanpa di dahului dengan pacaran ini biasanya dilakukan karena alasan latar belakang budaya ataupun latar belakang agama. Walaupun demikian, tidak sedikit pasangan yang yang memutuskan sendiri untuk menikah tanpa melalui proses pacaran, tanpa ada paksaan atau campur tangan dari pihak lain. Salah satunya adalah dengan cara ta’aruf. Pasangan yang melakukan proses perkenalan biasanya tergabung dalam suatu kelompok pengajian tertentu. Di Indonesia biasanya kelompok keagamaan yang melakukan proses perkenalan ini yaitu kelompok pengajian tarbiyah (Azis dalam Qodari,1997). Kelompok pengajian tarbiyah merupakan kelompok pengajian yang berorientasi pada pemurnian ajaran agama islam, terutama dari segala ideologi alternative yang menawarkan system kehidupan yang utuh. Pada pasangan yang menikah tanpa melalui proses pacaran maka banyak hal yang bagi kedua individu tersebut menjadi suatu hal yang sulit karena pasangan tersebut banyak belum mengetahui dan mengerti tentang satu sama lainnya, sehingga banyak hal yang harus disesuaiakan maka dari itu penyesuaian perkawinan ini sangat menentukan perjalanan rumah tangga yang mereka bangun untuk selanjutnya. Di sini pasangan yang diteliti adalah pasangan yang baru menjalani kehidupan perkawinannya karena masa ini merupakan masa yang sangat menentukan dalam membangun landasan perkawinan pasangan tersebut untuk
kehidupan perkawinan selanjutnya (Landis & Landis, 1970). 2.Pertanyaan Penelitian Berdasarkan dari latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui: Bagaimana gambaran/karakteristik pada penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa proses pacaran (ta’aruf)?, Faktorfaktor apa saja yang menyebabkan penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa proses pacaran (ta’aruf)? 3.Tujuan Penelitian Tujuan ini secara umum untuk memberikan informasi dan agar kita memperoleh gambaran/karakteristik mengenai bagaimana penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa proses pacaran, dan factor-faktor yang menyebabkannya. 4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu psikologi perkawinan, khususnya psikologi perkembangan dan psikologi social. Serta dapat menjadi masukan yang berguna bagi penelitian yang lebih lanjut mengenai penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa proses pacaran. 2. Manfaat Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaaran yang jelas tentang penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa proses pacaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi peneyesuaian perkawinan tersebut, sehingga dapat bermanfaat bagi orang-orang yang melakukan ta’aruf mengenai penyesuaian perkawinan melalui proses ta’aruf. dilakukan. B. TINJAUAN PUSTAKA A. Perkawinan 1. Pengertian Di Indonesia, agar hubungan pria dan wanita diakui secara hukum maka
perkawinan diatur dalam suatu undangundang. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahin 1974 pasal 1 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah: “Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Perkawinan). Menurut UU RI di atas defisi perkawinan tidak hanya bersatunya pria dan wanita secara lahir namun juga secara batin. Perkawinan di Indonesia juga mempunyai nilai yang luhur karena dilandasi nilai ketuhanan pada proses pembentukannya. 2. Fungsi Perkawinan Menurut Duvall dan Miller (1985) dinyatakan bahwa ada beberapa fungsi perkawinan: a. Menghasilkan Kasih Sayang Menimbulkan kasih sayang antara suaniistri, orang tua dan anak, antara satu generasi dengan generasi selanjutnya. Kasih sayang merupakan hasil dari kehidupan berkeluarga. Pria dan wanita dalam masyarakat barat baiasanya melakukan perkawinan karena perasaan kasih sayang dan anak merupakan ekspresi perasaan kasih sayang diantara pasangan. b. Memberikan Keamanan Secara Personal dan Penerimaan Keamanan dan Penerimaan yang mereka perlukan untuk hidup dapat terpenuhi dalam keluarga. Di dalam keluarga, individu dapat melakukan kesalahankesalahan dan belajar dari kesalahan yang mereka lakukan dalam lingkungan yang aman dan terlindungi. Benokraitis (1996) menyatakan bahwa keluarga merupakan kelompok yang di dalamnya ada perasaan saling mencintai, memahami, memberikan rasa aman, menerima, dan kebersamaan melalui hubungan yang intim, jangka panjang,
c.
d.
e.
f.
face-to-face interaction (relasi tatap muka). Memberikan Kepuasan dan Tujuan Rasa kepuasan dan berharga yang ada pada manusia dapat diperoleh dalam keluarga. Di dalam sebuah keluarg, orang dewasa dan anak-anak menikmati kehidupan satu sama laindalam pertemuan dan perayaan-perayaan keluarga, acara keluarga, jalan-jalan keluarga dan aktifitas lain dimana anggota keluarga menemukan kepuasan. Di dalam sebuah keluarga, orang tua juga merasa bahwa mereka hidup untuk pasangan dan untuk anak-anak menjadi tanggung jawabnya. Adanya Kepastian Kebersamaan Hanya dalam keluarga kepastian akan kesinambungan kebersamaan (companionship) didapati. Teman-teman, para tetangga, kolega dan yang lainnya mungkin akan menjadi dekat hanya beberapa tahun saja. Adanya kebersamaan yang berdasarkan rasa simpati mendorong anggota keluarga menceritakan yang terjadi pada hari itu dan untuk saling berbagi tentang kehidupan yang mereka jalani. Sarana Sosialisasi Kehidupan Sosial Dalam setiap masyarakat individu belajar apa yang diharapkan dari mereka dan dimana mereka berada dalam hirarki sosial melalui keluarganya. Pada saat lahir anak secara otomatis memperoleh status keluarga secara genetis, fisik, etnik, kebangsaan, agama, kebudayaan, ekonomi, politik dan pendidikan yang diwariskan dari keluarga dan sanak keluarganya. Keluarga merupakan role model bagi generasi selanjutnya dalam kehidupan social seseorang (Berns, 1997; Benokraitis, 1996). Memberikan Kontrol dan Pelajaran tentang Kebenaran Dalam keluarga individu pertama kali belajar peraturan-peraturan, hukum kewajiban dan tanggungjawab yang merupakan karakteristik dari masyarakat dimana mereka berada. Individu belajar melalui instruksi, modeling,
reinforcement dan punishtment dari anggota keluarganya (Berns, 1997). Anggota keluarga dapat mengkritisi, membenarkan dan menyuruh, memberikan pujian atau menyalahkan, memberikan reward atau punishment, mengajak atau mengancam satu sama lain yang tidak mungkin dilakukan dimanapun. 3. Motivasi Melakukan Perkawinan Turner dan Helms (1995) menyatakan bahwa ada beberapa motivasi orang untuk memasuki kehidupan perkawinan, yaitu: a. Cinta Cinta dan komitmen diantara pasangan sering kali menjadi alasan utama dilakukannya perkawinan. Pasangan ingin selalu saling berbagi dalam hidup dan membina hubungan yang dekat (intimate relationship) dalam lembaga perkawinan. Cinta merupakan hal yang paling utama pasangan melakukan perkawinan dan hanya sedikit pasangan yang melakukan perkawinan tidak didasari adanya perasaan cinta (Simpson, Campbell, Berscheld, dalam Feldman, 1989). b. Kebersamaan Perkawinan merupakan lembaga diman pasangan dapat menghabiskan waktunya hidup bersama secara permanen. Kebersamaan tersebut dapat menimbulkan kesejahteraan (well being) emosional dan psikologis diantara pasangan, yang akan berdampak tumbuhnya rasa aman dan nyaman.kebersamaan tersebut juga dapat memberikan rasa aman dan kesempatan untuk saling berbagi diantara pasangan. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Campbell menyatakan bahwa perkawinan memberikan sumbangan penting yang unik bagi persaan well being pada kebanyakan pria dan wanita (Campbell dalam Duvall dan Miller, 1985). Walaupun perkawinan tidak benar-benar menjanjikan akan adanya kebersamaan, namun kebersamaan tetap menjadi
c.
d.
e.
f.
g.
harapan terbesar keuntungan dari perkawinan (Knox, 1988). Konformitas Bagi beberapa pasangan, perkawinan merupakan hal yang memang harus dilakukan atau perkembangan dari suatu hubungan antara pria dan wanita. Perkawinan tampaknya merupakan proses pemilihan. Motif social yang juga turut terpengaruh yaitu tekanan dari keluarga, teman-teman dan lain-laibn yang juga berpengaruh. Legitimasi Hubungan Seks Setiap masyarakat mempunyai normanorma yang berkenaan dengan siapa seseorang dapat melakukan hubungan social dan dalam keadaan (circumstance) seperti apa (Benokraitis, 1996) status perkawinan memberikan legitimasi hubungan seksual. Status perkawinan membuat pasangan suami-istri dapat melakukan hubungan seksual secara sah dan dilindungi secara hukum. Legitimasi anak Anak yang lahir dalam sebuah keluarga mempunyai status identitas. Turner dan Helms (1995) menyatakan bahwa pasangan yang melakukan perkawianan dengan alas an untuk memiliki dan mengasuh anak (Turner & Helms, 1995; Feldman, 1989; Knox, 1988). Perasaan siap Pasangan memutuskan untuk melakukan perkawinan karena mereka merasa telah siap. Perasaan siap ini merupakan hasil proses sosialisasi di lingkungan keluarga, pacaran, sekolah dan lingkungan kerja (Blood, 1969). Pasangan telah melakukan beberapa hal yang mereka ingin capai sebelum perkawinan, seperti menyelesaikan pendidikan dan memiliki karir (Turner & Helms 1995). Mendapatkan keuntungan Hal ini bukanlah alasan yang kuat mengapa seseorang melakukan perkawinan. Akan tetapi, bagi pasangan yang memperhatikan kesejahteraan ekonomi, alasan ini mungkin menjadi alasn utama pasangan melakukan perkawinan. Misalnya, orang tua yang
merasa keberatan anaknya memilih pasangan hidup yang tidak mempunyai latar belakang ekonomi yang sederajat atau keuangan yang tidak menjanjikan (Feldman, 1989). 4.Mengenal Calon Pasangan 1. Pacaran a. Pengertian Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), pacaran didefenisikan sebagai, “Hubungan dengan teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan bathin, biasanya menjadi tunangan atau kekasih” (Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,1999). Menurut kamus bahasa Indonesia kontemporer (Salim & Salim, 1991), pacaran didefenisikan sebagai: “Hubungan dengan lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan cinta kasih”. b. Tahapan Pacaran Duval dan Miller (1985) menyatakan bahwa pacaran (dating) terbagi kedalam beberapa tahap, yaitu: a. Casual dating Pada tahap ini biasanya individu melakukan dating dengan beberapa individu pada saat yang sama (kadangkadang lebih dari satu dalam satu malam). b. Regular dating Pada tahap ini individu lebih sering melakukan dating hanya pada satu orang saja, dating dengan orang lain mulai bertkurang atau sama sekali berhenti. c. Steady dating Pada tahap ini hubungan dating sudah lebih serius dan ditandai dengan adanya komitmen diantara pasangan, yaitu ditandai denagn adanya pemberian suatu symbol komitmen tersebut. Misalnya dengan memberikan cincin atau kalung. Apapun yang diberikan sebenarnya yaitu hanya untuk menandakan atau memberitahukan (signify) orang lain bahwa pasangan datingnya sudah ada
yang punya dan hubungan tersebut serius. d. Engagment Pada tahap ini pasangan memberitahukan kepada orang banyak bahwa mereka menikah dan secara tradisional biasanya ditandai dengan cincin berlian atau penggantinya sebagai pasangan tunangan dan pasangan yang akan dinikahi pada masa yang akan dating. c. Fungsi Pacaran Knox (1988) menyatakan bahwa fungsi pacaran (dating) yaitu: a. Mengetahui Diri Sosial (confirmation of social self ) Pada saat pacaran kita secara kontiniyu berusaha untuk mengetahui bagaimana pasangan melihat kita. Misalnya, apakah dia menyukai saya? Akankah dia bersama saya selamanya? ketika seseorang member umpan balikyang positif melalui perkataan atau bahasa tubuh, maka kita akan mersa lebih baik terhadap diri kita sendiri dan cenderung melihat diri kita secara positif. Pacaran memungkinkan adanya suatu keadaan (context) untuk mengetahui konsep diri kita dari menerima pengaruh orang lain. b. Reaksi Pacaran, jalan-jalan atau aktivitas bersama adalah kegiatan yang menyenangkan. Pada saat pacaran kita melakukan aktivitas sesuai dengan keinginan kita karena kita menyenanginya. Gordon (dalam Benokraitis, 1996) menyatakan meskipun penelitian sekarang menunjukkan tujuan pacaran lebih seriusdan berorientasi untuk melangsungkan perkawinan namun masih tetap menyenangkan. c. Persahabatan /Intimasi/Seks Motivasi utama pacaran yaitu adanya pertemanan/persahabatan, intimasi dan seks (Knox, 1988). Pacaran sangat penting untuk mengembangkan dan memelihara pertemanan jangka panjang daripada hanya untuk rekreasi (McCabe dalam Benokraitis, 1996)
d. Sosialisasi Pada saat pacaran, individu belajar ubtuk saling menyesuaikan dan melakukan adaptasi tingkah lakunya terhadap orang lain. Melalui pacaran seseorang belajar peran gender yang diharapkan, struktur keluarga yang berbeda dengan keluarganya dan belajar sikap, kepercayaan dan nilai-nilai yang berbeda dengan dirinya (Benokraitis,1996). e. Pemilihan Pasangan Pacaran biasanya merupakan tahap dalam memilih pasangan hidup (Benokraitis,1996; knox,1988). Duvall dan Miller (1985) menyatakan bahwa fungsi pacaran yaitu menemukan dan mengetahui seseorang yang berlainan jenis kelamin yang mereka suka, dimana dengannya mereka merasa senang dan yang akan mereka nikahi atau dijadikan suami atau istri.
2. Perkawinan Tanpa Pacaran (ta’aruf) a. Pengertian Ta’aruf (perkenalan) merupakan bagian dari Ukhuwah Islamiyah, dimana Islam sangat menganjurkan ummatnya saling berta’aruf satu sama lain, suku tertentu dengan suku lain, bangsa tertentu dengan bangsa lain, maupun individu tertentu dengan individu lain. Adalah sebuah kewajaran jika dalam rangkaian menuju perkawinan. Ta’aruf termasuk di dalamnya. Karena itu, dalam perkembangannya, ta’aruf saat ini juga dikenal sebagai salah satu sarana dalam pencarian pasangan hidup. Aktivitas yang dilakukan pada saat proses perkenalan biasanya yaitu bertukar biodata, kemudian melakukan diskusi dan Tanya jawab dalam forum pertemuan. Pada saat forum pertemuan ini dimungkinkan masing-masing calon untuk mengetahui calon pasangannya yang akan dijadikan sebagai suami-istri dalam batas-batas syari’at. Biasanya pada proses pertemuan ini disertai guru mengaji atau orang yang diminta sebagai mediator oleh salah satu pasangan. Peran mediator adalah sebagai perantara yang memfalitasi pertemuan atau untuk mencairkan suasana karena banyak
pasangan yang melakukan proses perkenalan ini, sebelumnya belum saling mengenal. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan proses ta’aruf (Abdullah, 2003) ini adalah: 1. Persiapan ta’aruf Seseorang yang hendak menikah harus mengetahui siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya tersebut secara jelas dan utuh. Hal-hal yang perlu diketahiu dari masing-masing calon pendamping antara lain: kepribadian, pandangan hidup, pola pikir berikut cara penyelesaian suatu masalah. 2. Adab atau tata cara selama melakaukan ta’aruf Meski ta’aruf merupakan salah satu cara untuk menemukan dua jenis insan dalam perkawinan, namun jika dilakukan dengan asal-asalan, gegabah, tidak cermat lagi tidak teliti, sangat terburuburu, dan mengabaikan segi-segi kebaikan lainnya, maka bukan tidak mungkin jika hanya keburukan semata yang menjadi hasil akhirnya (Abdullah, 2003). Selembar pas photo maupun secarik kertas beriisi data-data diri tentu saja sangat sulit menggambarkan secara utuh perihal siapa orang tersebut. Untuk mengetahui informasi perihal siapa sesungguhnya orang yang hendak dijadikan pasangan hidupnya itu, ia hendaknya berusaha menjemput bola dan tidak bersikap pasif. Mengutus perantara atau mediator serta mendapatkan informasi darinya memang perlu, namun bersikap aktif dalam mencari dan mendapatkan informasi sebanyakbanyaknya perihal calon pendamping tersebut yang dilakukannya sendiri, juga sangat diperlukan. Berbagai sumber dapat digunakan untuk jalur bersikap aktif ini. Sahabat-sahabatnya, tetangga terdekat, hingga kerabat dekat sang calon dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui siapa sesungguhnya calon tersebut. Selama pencarian informasi sikap yang diharapkan juga adalah pncarian dengan cara yang sopan, arif,
dan bijaksana, serta mengedepankan unsure kebaikan tanpamenyinggung atau melukai sang calon yang tengah diselidiki tersebut. 3. Mediator atau perantara proses ta’aruf. Idealnya perantara atau mediator ta’aruf tersebut adalah orang yang paling dekat keberadaannya dengan sang calon tersebut. Perantara sebaiknya adalah seseorang yang dapat mengungkapkan siapa sesungguhnya jati diri sang calon (Abdullah, 2003). Orang yang patut serta pantas dipilih untuk menjadi mediator biasanya adalah orang yang intens berinteraksi dengan salah satu pihak. Peluang ini banyak dimiliki oleh orang yang hidup serumah dengan salah satu pihak, baik itu orang tua, kakak, adik, atau saudara, serta kerabat lainnya. Selain itu, satu pihak dapat mengajukan sendiri atau mempertimbangkan calon perantara yang diajukan orangtuanya sepanjang sesuai dengan syarat-syarat penting selaku perantara. 4. Persiapan mental Agar proses ta’aruf berlangsung dengan benar masing-masing pihak yang terlibat agar mempunyai keberanian, baik itu keberanian untuk mengungkapkan secara jujur, atau benar dalam bertanya maupun juga dalam menjawab. Lebih jauh lagi adalah keberanian untuk menerima hasil akhir proses ta’aruf . Persiapan yang penting diadakan adalah persiapan rohani, dimana orang yang hendak melaksanakan tahap ini hendaklah mempersiapkan batin atau jiwa agar berada dalam kondisi yang stabil (Abdullah, 2003). Kondisi jiwa yang stabil ini tidak lain sumbernya hanyalah dari Allah SWT, dengan jalan mendekatkan diri , khusuk dalam beribadah, memperbanyak tilawah al Qur’an, serta memohon petunjuk kepadaNya. Adapun segala hasil akhir dari tahap ini, hendaklah diserahkan segalanya kepada Allah SWT dan diyakini sepenuh hati, bahwa segala keputusan yang diberikan Allah SWT
adalah takdir yang terbaik bagi seseorang. 5. Jika ta’aruf gagal Tidak ada suatu jaminan atas kepastian, bahwa setelah melaksanakan proses ta’aruf ini maka keduanya secra otomatis akan segera menuju jenjang perkawinan. Memang setelah adanya kecocokan antara keduanya, maka keduanya dapat melanjutkan hubungan tersebut menjadi ikatan yang lebih kukuh menuju pelaminan. Akan tetapi, jika ternyata masing-masing atau salah satu pihak merasa tidak cocok setelah mengetahui ‘kualitas’ pihak lainnya, maka pihak yang bersangkutan dapat memutusakan apakah ia akan terus maju atau tidak (Abdullah, 2003). b. Kelompok Pengajian yang Melakukan Proses Perkenalan Setiap kelompok pengajian tarbiyah dipimpin oleh seorang guru mengaji yang disebut dengan murobbi (untuk guru mengaji laki-laki) dan murobbiyah (untuk guru mengaji perempuan). Untuk menjadi murobbi/yah, kedalaman pengetahuan agama seseorang memang dianjurkan tetapi tidak selalu menjadi syarat. Hal yang paling penting untuk menjadi seorang murobbi/yah yaitu konsistensinya dalam memegang pandangan-pandangan keagamanaan yang telah diajarkan oleh murobbi/yah yang menjadi pembimbing kelompok pengajian tarbiyah. Selain konsistensi, sejumlah sikap lain yang penting dimiliki seorang calon, seperti keikhlasan dalam melaksanakan tugas, berpenampilan sopan dan rapi (baju dan celana dari bahan polos dan mengurangi warnawarni untuk laki-laki, sedangkan untuk wanita menggunakan jilbab dan pakaian terusan). Otoritas seorang murobbi/yah terhadap kelompok yang dipimpinnya sangat besar, bahkan seorang murobbi/yah sangat dipercaya untuk mencarikan jodoh atau pekerjaan yang cocok bagi anggotanya (Azis dalam
Qodari, 1997). orang tuanya. Tetapi subjek berusaha untuk mengatasi rasa hampa yang dirasakan olehnya dengan mencurahkan isi hatinya, bercerita dengan teman atau pun keluarga, karena dengan cara seperti itu subjek merasa bahwa bebannya berkurang dan dirinya merasa tidak sendiri lagi. B. Penyesuaian Perkawianan 1. Pengertian Berdasarkan defenisi yang dinyatakan oleh Laswell & Laswell (dalam Zainab,2002) penyesuaian perkawinan merupakan penyesuaian satu sama lain diantara dua individu terhadap kebutuhankebutuhan, keinginan-keinginan dan harapan-harapan (Laswell & Laswell dalam Zainab,2002). Atau dengan kata lain, setiap pasangan harus fleksibel dan mempunyai keinginan untuk berubah (Atwater dan Duffy,1999) agar dapat mencapai derajat kenyamanan yang baik dalam hubungan tersebut. 2. Dimensi-dimensi penyesuaian perkawinan a. Dyadic consensus atau kesepakatan hubungan adalah kesepahaman atau kesepakatan antar pasangan dalam berbagai masalah dalam perkawinan seperti keuangan, rekreasi, keagamaan. Perkawinan mempertemukan dua orang dengan cirri-ciri pribadi, nilai-nilai yang dianut, dan berbagai karakteristik pribadi yang berbeda. Kedua individu yang berbeda ini akan menghadapi konflikkonflik dalam berbagai aspek kehidupan perkawinan mereka, sehubungan dengan perbedaan diantara mereka (Duvall & Miller, 1985). Dalam hubungan perkawinan, pasangan akan menemukan berbagai permasalahan-permasalahan yang harus diputuskan, seperti mengatur anggaran belanja dan bagaimana membagi tugas-tugas rumah tangga, dan pasangan akan menyadari bahwa mereka mempunyai perbedaan perspektif terhadap berbagai hal (Arnold & Parker dalam Benokraitis, 1996).
b. Dyadic cohesion atau kedekatan hubungan adalah kebersamaan atau kedekatan, yang menunjukkan seberapa banyak pasangan melakukan berbagai kegiatan secara berasama-sama dan menikmati kebersamaan yang ada. Banyaknya waktu yang dihabiskan bersama akan mempengaruhi kepuasaan individu terhadap perkawinan (Miller dalam Hurlock, 1980). Selanjutnya Anderson menyatakan bahwa pasangan yang merespon peristiwa-peristiwa krisis dengan baik mempunyai derajat kedekatan (cohesion), ikatan emosi dengan kemampuan untuk beradaptasi yang tinggi (Anderson dalam Knox,1988). Selanjutnya, Jhonson (dalam knox, 1988) menyatakan bahwa sumber kedekatan yaitu berbagi pengalaman-pengalaman di antara pasangan yang berlangsung selama bertahun-tahun, baik itu pengalaman kegagalan atau pengalaman kesuksesan. c. Dyadic satisfaction atau kepuasaan hubungan adalah derajat kepuasan dalam hubungan. Atwater (1983) dan Benokraitis (1996) menyatakan bahwa peran (suami-istri) yang dijalankan sangat berperan dalam kepuasan hubungan perkawinan. Blumstein (dalam Benokraitis, 1996) menyatakan bahwa pasangan yang baru melakukan perkawinan melakukan proses identity bargaining dimana pasangan saling menyesuaikan diri kembali harapan ideal pasangan pada kenyataan (realities) kehidupan perkawinan mereka. Dalam proses identity bargaining, pasangan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap peran baru mereka sebagai suami-istri. Selain itu, ada tiga hal yang dapat menggambarkan kepuasan dalam suatu hubungan perkawinan yaitu (1) Setiap pasangan harus mempunyai sikap yang positif satu dengan yang lainnya. (2) Pasangan memahami bahwa kehidupan perkawinan memerlukan komitmen dalam jangka panjang dan waktu perkawinan merupakan lembaga yang suci dimana pasangan bersungguhsungguh melakukan perjanjian “till death
us do part”, sehingga konflik dapat dihindari. (3) Adanya dukungan emosional dari pasangan dalam hubungan perkawinan tersebut. d. Affectional expression atau ekperesi afeksi adalah kesepahaman dalam menyatakan perasaan dan hubungan seks maupun masalah yang ada menenai
hal-hal tersebut. Bagi beberapa orang tidak mudah untuk membiarkan orang lainmengetahui siapa mereka, apa yang mereka rasakan atau apa yang mereka fikirkan. Mereka mungkin takut jika orang lain benar-benar mengetahui mereka, mereka mungkin ditolak sebagai teman dan orang-orang yang dicintainya. Oleh karena itu mereka berhati-hati terhadap dirinya dan hubungannya dengan membatasi fikiran dan perasaanperasaan yang dikemukakannya (Knox, 1988). Selanjutnya menurut Knox (1988) rasa percaya terhadap orang lain merupakan keadaan dimana orang mempunyai kemauan untuk terbuka satu sama lain. Mereka harus merasa bahwa apapun perasaan-perasaan atau informasi yang mereka bagi/kemukakan (share) tidak akan dikritik dan merasa tetap aman berada pada orang yang mereka percayai. 3. Kondisi-Kondisi yang Berpengaruh terhadap Kesulitan dalam Penyesuaian Perkawinan a. Persiapan yang terbatas untuk perkawinan Persiapan yang terbatas dari suami-istri dalam keterampilan rumah tangga, mengasuh anak, serta manajemen uang membuat pasangan kesulitan dalam penyesuaian perkawinannya. b. Peran dalam perkawinan Kecendrungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria dan wanita, kemudian konsep yang berbeda tentang peran yang dianut kelas sosial dan kelompok religious yang berbeda, membuat penyesuaian perkawinan lebih sulit dari pada masa lalu ketika peranperan sudah ditentukan. c. Kawin muda
d.
e.
f.
g.
Perkawinan dan kedudukan sebagai orang tua sebelum pasangan muda yang menyelesaikan pendidikan dan belum mandiri secara ekonomi membuat merekan tidak mempunyai kesempatan untuk mempunyai pengalaman yang dipunyai kesempatan untuk mempunyai pengalaman yang dipunyai teman-teman mereka. Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan Orang dewasa yang bekerja disekolah dan perguruan tinggi, dengan sedikit atau tanpa pengalaman kerja, cenderung mempunyai konsep yang tidak realistis tentang makna perkawinan berkenaan dengan pekerjaan, deprivasi, pembelanjaan uang, atau perubahan dalam pola hidup. Perkawinan campur Penyesuaian terhgadap kedudukan sebagai orang tua dan dengan para saudara dari pihak istri dan sebaliknya, jauh lebih sulit dalam perkawinan antar agama daripada bila keduanya berasal dari latar belakang budaya (agama) yang sama. Masa pacaran yang singkat Priode atau masa pacaran yang lebih singkat berdampak pada setidaknya waktu bagi pasangan untuk memcahkan banyak masalah tentang penyesuaian sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Grover (dalam Benokraitis, 1996) menyatakan ada pengaruh yang sangat tinggi antara lamanya waktu pacaran dengan kepuasan perkawinan yang merupakan indicator dari penyesuaian perkawinan yang baik. Konsep perkawinan yang romantis Banyak orang dewasa yang mempunyai konsep perkawinan yang romantis yang berkembang pada masa remaja. Pada saat pacaran masing-masing pasangan merasakan adanya suatu keadaan yang romantic dan mereka menganggap bahwa keadaan itu akan selalu ada ketika mereka telah melangsungkan perkawinan. Namun, banyk pasangan menemukan bahwa perkawinan yang
romantis dan bulan madu tidak akan abadi selamanya (Turner & Hems, 1995). 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian terhadap Perkawinan a. Konsep pasangan yang ideal. Dalam memilih pasangan, baik pria maupun wanita sampai tingkat tertentu dipengaruhi oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk selama masa dewasa. Semakin telatih seseorang seseorang menyesuaikan diri terhadap realitas maka akan semakin sulit penyesuaian dilakukan terhadap pasangan. Misalnya ketika seseorang dapat melakukan penyesuaian diri diri yang dituntut dalam dunia kerja maka orang tersebut akan menuntut orang lain/rekan kerjanya juga berbuat hal yang sama, sedangkan belum tentu orang lain dapat menyesuaikan diri dalam dunia kerja seperti dirinya. b. Pemenuhan kebutuhan Pada penyesuaian yang baik, individu harus saling membantu memenuhi kebutuhan pasangannya. Sehingga, apabila orang dewasa perlu pengenalan, pertimbangan prestasi dan status social agar bahagia, pasangan harus saling membantu untuk memenuhi kebutuhan tersebut. c. Kesamaan latar belakang Semakin sama latar belakang suami dan istri, semakin mudah untuk saling menyesuaikan diri. Semakin berbeda pandangan hidup, maka semakin sulit penyesuaian diri dilakukan. d. Minat dan kepentingan bersama Kepentingan yang sama tentang suatu hal, yang dapat dilakukan pasangan cenderung membawa penyesuaian yang baik dari kepentingan bersama yang sulit dilakukan dan dibagi bersama. e. Kesamaan nilai Pasangan yang menyesuaikan diri dengan baik mempunyai nilai yang kurang lebih sama daripada mereka yang penyesuaian dirinya buruk. Biasanya latar belakang yang sama menghasilakan nilai yang sama pula.
f. Konsep peran Setiap pasangan mempunyai konsep yang pasti mengenai bagaiman seharusnya peran seorang suami dan istri, atau setiap orang mengharapkan pasangannya memainkan perannya. Jika harapan terhadap peran tidak terpenuhi, akan mengakibatkan konflik dan penyesuaian yang buruk. g. Perubahan dalam pola hidup Penyesuaian terhadap pasangannya berarti mengorganisasikan pola kehidupan, mengubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan social, serta mengubah persyaratan pekerjaan,terutama bagi seorang istri. Penyesuaian-penyesuaian ini sering kali diikuti oleh konflik emosional. C. Metode Penelitian 1. Pendekatan Kualitatif Dalam penelitian ini menggunakan format studi kasus tipe pendekatan penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif. Dalam penelitian studi kasus ini lebih menekankan mengkaji variabel yang cukup banyak pada jumlah yang kecil, tujuan dari penelitian studi kasus ini adalah memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus (Nazir, 1999). 2. Subjek penelitian Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah remaja putra, yang rentang usianya antara 11-24 tahun yang kedua orang tuanya telah meninggal. Sementara itu subjek penelitian dalam penelitian ini terdiri dari satu orang subjek dengan 1 orang significant others. 3. Tahap-tahap Persiapan a. Tahap Persiapan Penelitian, dalam membuat pedoman wawancara yang akan dibuat sesuai dengan tujuan penelitian dan berdasarkan teori yang relevan
dengan permasalahan pedoman wawancara ini berisi pertanyaanpertanyaan mendasar yang nantinya dapat berkembang dalam wawancara dengan topik penelitian. b. Tahap Pelaksanaan Penelitian, peneliti terjun langsung ke lapangan untuk melakukan observasi dan wawancara secara terpisah. Setelah itu, peneliti memindahkan hasil rekaman berdasarkan wawancara dan hasil observasi ke dalam bentuk verbatim tertulis, kemudian peneliti melakukan analisis data dan interpretasi data sesuai dengan langkahlangkah yang dijabarkan pada bagian teknik analisis data. Terakhir peneliti membuat diskusi dan kesimpulan dari seluruh hasil penelitian. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitan ini tipe pengumpulan data yang akan dipergunakan adalah metode wawancara dan metode observasi. Wawancara dengan pedoman umum, yaitu proses wawancara dimana peneliti dilengkapi dengan pedoman mengenai aspek-aspek yang dibahas dan pertanyaanpertanyaan dijabarkan tergantung pada konteks saat wawancara berlangsung. Sedangkan dalam jenis observasi yang dilakukan adalah observasi sistemik, dimana pada jenis observasi ini peneliti melakukan wawancara (Poerwandari, 1998) adapun sistemik pencatatan yang dilakukan meliputi materi, cara-cara mencatat hasil observasi dan wawancara, hubungan observer dan observee dilingkungan tempat wawancara dilakukan dan lain sebagainya. 5. Alat Bantu Penelitian Menurut Poerwandari (2001), penulis sangat berperan dalam seluruh penelitian mulai dari memilih topik, mendekati topik, mengumpulkan data, analisis, interpretasi dan menyimpulkan data, dalam pengambilan data dalam metode wawancara dan observasi diperlukan alat bantu, untuk mempermudah peneliti untuk mengumpulkan data yaitu: pedoman wawancara, pedoman observasi, alat perekam.
6. Keakuratan Penelitian Untuk mencapai keakuratan dalam suatu penelitian dengan metode kualitatif, ada beberapa teknik yang digunakan dan salah satu teknik tersebut adalah triangulasi. Triangulasi adalah suatu teknik pemeriksaan keakuratan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Triangulasi dapat dibedakan menjadi emapat macam yaitu triangulasi data, pengamat, teori, dan metodologis. 7. Teknik Anlisis Data Data yang diperoleh akan di analisa dengan menggunakan teknik analisa data kualitatif. Adapun tahapan tersebut adalah mengorganisasikan data, mengelompokkan data, analisis kasus, dan menguji asumsi. D. Hasil Dan Analisis 1. Persiapan Penelitian Pertama kali yang dilakukan oleh peneliti sebelum proses pengambilan data dilakukan, peneliti terlebih dahulu datang menemui subjek di rumahnya untuk menjelaskan kedatangan dan tujuan peneliti. Setelah maksud dan tujuan telah di ketahui oleh calon subjek maka peneliti menjelaskan lebih rinci mengenai penelitian yang dilakukan peneliti agar subjek lebih mengerti dan merasa nyaman dengan peneliti sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik. Sebelum proses pengambilan data, peneliti mempersiapkan pedoman wawancara, pedoman observasi, dan memepersiapkan alat-alat penelitian berupa tape recorder, kertas dan alat tulis. Hal ini dilakukan agar proses pengumpulan data dapat berjalan dengan baik dan lancar. 2. Pelaksanaan Penelitian Kegiatan observasi dalam penelitian ini dilakukan pada tanggal 8 Maret 2009,pada hari minggu dikediaman rumah subjek. Sedangkan kegiatan observasi dengan significant others, yaitu sepupu subjek pada tanggal 23 Maret 2009, pada hari senin.
Kegiatan wawancara dalam penelitian ini dilakuakan pada tanggal 8 Maret 2009 dikediaman rumah subjek. Sedangkan wawancara pada significant others juga dilakukan pada tanggal 23 Maret 2009 dirumah significant other. 3. Hasil Observasi dan Wawancara a. Gambaran Umum Subjek Karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah pasangan suami-istri yang menikah tanpa proses pacaran atau ta’aruf yang mana masa perkawinan dalam rentang waktu 1 sampai 5 tahun perkawinan. Suami dengan inisial F, lahir pada tahun 1976 11 juni, 33 tahun yang lalu, anak ke dua dari lima bersaudara, pendidikan terakhir STM, pekerjaan sebagai karyawan Design Grafic di salah satu percetakan di daerah Depok, menikah pada tanggal 24 agustus 2006, suku Minangkabau (padang). Istri dengan inisial D, lahir pada tahun 1979 20 agustus, anak ke lima dari tujuh bersaudara, pendidikan terakhir Sarjana, subjek bekerja sebagai guru bimbingan di salah satu tempat les di Depok, menikah pada tanggal 20 agustus 2006, suku Jawa. b. Pembahasan 1. Perkawinan tanpa proses pacaran (ta’aruf). Dalam penelitian ini peneliti meneliti mengenai penyesuaian perkawinan pada pasangan suami-istri yang menikah tanpa pacaran (ta’aruf) yang usia penikahan kurang dari 5 tahun. Ta’aruf secara khusus diartikan, yaitu ta’aruf antara laki-laki dan perempuan yang hendak mengikat hubungan mereka dengan perjanjian kokoh (mitsaqon gholizo), di bawah naungan lembaga perkawinan. Amran mengakui istilah proses perkenalan (ta’aruf) dalam konteks pendekatan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah (sebelum proses melamar), Aktivitas yang dilakukan pada saat proses perkenalan biasanya yaitu bertukar biodata, kemudian melakukan diskusi dan Tanya jawab pada saat pertemuan. Pada saat forum pertemuan ini dimungkinkan masing-masing calon untuk mengetahui calon pasangannya yang akan
dijadikan sebagai suami-istri dalam batasbatas syari’at. Biasanya pada proses pertemuan ini disertai guru mengaji atau orang yang diminta sebagai mediator oleh salah satu pasangan. Pada penelitian ini pengalaman ta’aruf dapat dilihat pada kasus yang dialami oleh subjek I (suami) dan subjek II (istri), yang usia perkawinannya 2 setengah tahun, berasal dari keluarga islam yang taat baik istri maupun suami, terutama keluarga istri karena proses ta’aruf adalah bukan hal baru bagi keluarga mereka. Kedua subjek memiliki latar belakang sosial dari kelas menengah, dan memiliki latar belakang budaya yang berbeda, subjek I (suami) suku Minangkabau (Padang), dan subjek II (istri) suku Jawa. Proses perkawinan tanpa pacaran (ta’aruf) yang dilakukan oleh subjek adalah sebuah proses pernikahan yang dipilih oleh keduanya, karena menurut keduanya sesuai dengan ajaran agama, dalam proses ini memakan waktu sekitar 5 bulan, dimana biasanya proses ta’aruf selalu melibatkan guru dari pengajian mereka secara keseluruhan, namun pada perakteknya mereka tidak menggunakan guru sampai akhir pemutusan untuk menikah, dikarenakan ada hamabatan informasi diantara kedua guru mereka. Dalam proses mereka tidak pernah bertemu secara langsung, namuan menggunakan media, seperti surat dan handphone. Subjek selalu memanfaatkan waktu untuk lebih mengenal satu sama lain sehingga pembicaraan yang dilakukan juga serius. Hal yang membuat subjek I dan II menjadi yakin karena adanya kesamaan fisi dan misi, serta pandangan hidup yang sesuai dengan ajaran agama. . 2. Faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan. Dari hasil wawancara dengan subjek I dan subjek II serta significant other, maka penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa pacaran (ta’aruf) memiliki hasil analisis bahwa penyesuaian yang mereka jalani berjalan dengan baik. Hal ini didapat dari awal pernikahan subjek dan pasangan, dimana alasan mereka
menikah adalah karena adanya kecocokan, kesepahaman, minat dan kepentingan bersama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor pendorong yang melandasi pernikahan subjek adalah adanya kesamaan mendasar antara subjek dan pasangannya. Sesuai dengan pendapat Hurlock (1980) yang menyatakan bahwa kepentingan yang sama tentang suatu hal, yang dapat dilakukan pasangan cenderung membawa penyesuaian yang baik dari kepentingan bersama yang sulit dilakukan dan berbagi bersama. Sesuai dengan makna dari penyesuaian perkawinan yakni proses adaptasi antara suami dan istri dalam aspek-aspek kehidupan perkawinan sehingga akan tercapainya hubungan yang bahagia dan harmonis. Maka setelah memasuki kehidupan pernikahan, subjek dan pasangan saling menyesuaikan diri satu sama lain meskipun menemui hambatan dengan adanya perbedaan latar belakang budaya dan pendidikan antara mereka tetapi dapat dilalui dengan baik karena adanya kesepakatan dan komunikasi antara subjek dan pasangannya. Seperti yang diungkapkan oleh Duvall dan miller (1985) bahwa dalam hubungan perkawinan, pasangan akan memnemukan berbagai permasalahan permasalahan, yang harus diputuskan melalui kesepakatan untuk mendapatkan kesepahaman anatara pasangan. Dari dimensi-dimensi dalam penyesuaian perkawinan dapat ditarik kesimpulan bahwa kesepakatan antar pasangan (Dyadic consesus) merupakan dimensi yang paling dominan dan penting dalam pernikahan subjek dan pasangan. Kemudian juga kedekatan dalam hubungan secara fisik dan emosi (Dyadic cohesion) terlihat dalam hubungan subjek dan pasangannya. Sesuai dengan Spanier (dalam Miranda, 1995) yang mengatakan bahwa kebersamaan atau kedekatan ditunjukkan dari seberapa banyak dan seberapa sering pasangan melakukan berbagai kegiatan secara bersama-sama dan menimati kebersamaan yang ada yang mana hal ini akan mempengaruhi kepuasan individu terhadap perkawinannya.
Dalam suatu perkawinan khususnya perkawinan tanpa pacaran (ta’aruf) yang dibahas dalam penelitian ini, banyak sekali penyesuaian-penyesuaian yang terjadi. Oleh karena itu suksesnya suatu penyesuaian perkawinan pada suami istri dapat terwujud apabila terdapat titik temu antara pasangan, yaitu keimanan, pengajian, serta proses menikah yang mereka pilih. Hal ini berdasarkan pada sikap subjek dan pasangan yang selalu mengdepankan ajaran agama dalam kehidupan individu suami istri maupun dalam kehidupan perkawinan mereka, untuk saling menerima dan mensyukuri atas apa yang mereka dapat, suami istri juga telah mengetahui tugas dan kewajibannya dalam kehidupan perkawinan. Hal lain yang mendukung penyesuaian perkawinan subjek dan pasangan sehingga berjalan dengan baik karena subjek dan pasangan dapat mnerima perubahanperubahan yang anda tanpa menimbulkan konflik, hal ini dikarenakan adanya konsep yang realitas mengenai perkawinan, hal ini adalah kondisi yang berpengaruh dalam penyesuaian perkawinan menurut Hurlock (1980). Yang mana subjek dan pasangan telah memiliki kesiapan dan tujuan yang sama dalam membangun sebuah pernikahan. Keberhasilan penyesuaian perkawinan antara subjek dan pasangan juga terlihat dari adanya kebahagiaan antara suami dan istri, hubungan yang baik antara orang tua dan keluarga suami maupun pasangan, dan rasa kebersamaan antara subjek dan pasangan, serta adanya penyesuaian dalam hubungan yang telah dibina suami atau istri sebelum pernikahan dengan baik, hal ini termasuk kedalam kriteria-kriteria keberhasilan dalam penyesuaian perkawinan dalam kehidupan rumah tangga. Dimana jika penyesuaian perkawinan dapat berhasil, maka keluarga dapat menikamati waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama, kebersamaan tersebut akan menimbulkan kesejahteraan (well being) emosionel dan psikologis diantara pasangan yang akan berdampak tumbuhnya rasa aman dan nyaman (Duvall & Miller, 1985). Adanya konsep pasangan ideal yang terpenuhi oleh suami dan istri, minat dan
kepentingan bersama mengenai tujuan pernikahan, subjek dan pasangan menyesuaikan diri dengan memiliki nilai, pandangan hidup yang sama mengenai baik dan buruknya suatu hal dalam ajaran agama dalam penelitian ini agama Islam, memiliki konsep peran yang pasti mengenai subjek dan pasangan, serta subjek dan pasangan telah saling membantu memenuhi kebutuhan pasangannya, yang mana kesemua hal ini adalah faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan mennurut Hurlock (1980). Dari keseluruhan aspek yang diteliti dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan yang subjek I dan II jalani dapat berlangsung dengan baik dan positif, karena mereka menginterpretasikan tiap-tiap dimensi penyesuaian perkawinan, kondisikondisi yang berpengaruh, serta kriteria dan faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan berdasarkan pada kenyataan diri sendiri dan pasangan, sebagian besar dan
hampir seluruhnya terdapat dalam diri subjek I dan II. Bila subjek dan pasangan menemukan masalah mereka dapat dan mampu menyelesaikannya dengan jalan saling menerima dan memahami dengan berdiskudi untuk mencari jalan keluar yang terbaik bagi subjek dan pasangan, sesuai dengan kesepakatan bersama yang telah mereka setujui pada awal pernikahan. E) Penutup A. Kesimpulan 1. Gambaran pada penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa proses pacaran (ta’aruf) Subjek dan pasangan melaksanakan pernikahan tanpa proses pacaran (ta’aruf) dapat dilihat dari proses yang mereka jalani dan persiapan dalam pernikahan mereka, lamanya proses perkenalan hanya 5 bulan, namun subjek dapat memutuskan menikah, dan berdasarkan analisa terhadap berbagai aspek mengenai penyesuaian perkawinan maka dapat disimpulkan subjek dan pasangan memiliki penyesuaian yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari alasan subjek
mengenai keputusannya untuk menikah dikarenakan adanya kecocokan dan persamaan minat serta adanya konsep pasangan ideal antara satu sama lain. Menurut definisi pernikahan tanpa proses pacaran (ta’aruf) adalah komunikasi timbal balik untuk saling mengenal yang berkaitan dengan masalah perkawinan. Sejalan dengan hal tersebut, proses perkenalan berbeda dengan pacaran. Pada proses perkenalan diperlukan adanya mediator yang menjadi perantara. mediator hendaknya orang yang sholeh yang bisa dipertanggung jawabkan agama dan kejujurannya. Mediator biasanya guru mengaji salah satu calon pasangan atau teman dekat calon yang tergabung dalam kelompok pengajian yang sama. Apabila ditinjau dari segi ta’arufnya maka banyak sekali penyesuaian-penyesuaian yang terjadi. Oleh karena itu suksesnya suatu penyesuaian perkawinan bagi pasangan suami istri dapat terwujud apabila terdapat titik temu antara pasangan. , yaitu keimanan, pengajian, serta proses menikah yang mereka pilih. Hal ini berdasarkan pada sikap subjek dan pasangan yang selalu mengdepankan ajaran agama dalam kehidupan individu suami istri maupun dalam kehidupan perkawinan mereka, untuk saling menerima dan mensyukuri atas apa yang mereka dapat, suami istri juga telah mengetahui tugas dan kewajibannya dalam kehidupan perkawinan. Hal ini juga yang diterapkan subjek bersama pasangannya sehingga kehidupan pernikahan mereka berjalan dengan baik, karena dengan diterapkanya hal tersebut mereka dapat lebih saling menerima, menghargai satu sama lain. Subjek melakukan proses ta’aruf tersebut selama 5 bulan, dimana biasanya proses ta’aruf selalu melibatkan guru dari pengajian secara keseluruhan, namun pada perakteknya subjek tidak menggunakan guru sampai akhir pemutusan untuk menikah, dikarenakan ada hamabatan informasi diantara kedua guru mereka, tetapi mereka memiliki perantara yaitu sahabat dari ibu subjek masing-masing, selama ta’aruf itu berlangsung subjek telah mengikuti segala aturan yang berlaku, dan persiapan-
persiapan, kedua subjek menjadi yakin akan keputusan keduanya karena adanya kesamaan fisi dan misi, serta pandangan hidup yang sesuai dengan ajaran agama sebagaimana yang telah diatur dakan alQur’an dan hadist. 2. Faktor-faktor yang menyebabkan penyesuaian perkawinan pada pasangan yang menikah tanpa proses pacaran (ta’aruf). Berdasarkan analisa terhadap berbagai Aspek mengenai penyesuaian perkawinan maka dapat disimpulkan subjek dan pasangan memiliki penyesuaian yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari penelitian yang telah dilakukan dan berdasarkan pada dimensi-dimensi penyesuaian perkawinan maka kesepakatan antar pasangan (Dyadic consesus) merupakan dimensi yang paling dominan dan penting dalam pernikahan subjek dan pasangan. Kemudian juga kedekatan dalam hubungan secara fisik dan emosi (Dyadic cohesion) terlihat dalam hubungan subjek dan pasangannya, kebersamaan atau kedekatan ditunjukkan dari seberapa banyak dan seberapa sering pasangan melakukan berbagai kegiatan secara bersama-sama dan menimati kebersamaan yang ada yang mana hal ini akan mempengaruhi kepuasan individu terhadap perkawinannya. Bila dilihat dari kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap kesulitan dalam penyesuaian perkawinan maka yang dominan adalah perkawinan campur dan masa pacaran yang singkat, namun kedua hal ini bisa dilewati karena pada hal lain suami dan istri dapat menerima konsep realitis tentang perkawinan, dan suami istri memiliki tujuan dan pandangan yang sama tentang hidup dan pernikahan mereka. Dari kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan maka suami dan istri telah telah memenuhi kriteria tersebut dimana hal yang dominan adalah suami dan istri merasa bahagia satu sama lain yang berasal dari kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka jalani bersama. Dimana terdapat hubungan yang baik antara anak dan orang tua baik suami maupun istri, yang
mencerminkan keberhasilan penyesuian perkawinan, serta adanya rasa kebersamaan antara suami dan istri dimana masingmasing dapat menikamti waktu yang digunakan bersama, dan kebersamaan tersebut akan menimbulkan kesejahteraan emosional dan psikologis diantara pasangan yang menumbuhkan adanya rasa aman dan nyaman berada disisi pasangan. Bila dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan maka konsep pasangan ideal memang telah ditemukan suami maupun istri didalam diri pasangan masing-masing. Serta adanya minat dan kepentingan bersama yang membuat pasangan dapat memutuskan untuk bersama dalam kehidupan pernikahan bahwa, sehingga masalah-masalah yang terjadi dapat diselesaikan dan di perbaiki dikarenakan adanya kesamaan nilai dan pandangan mengenai kehidupan yang berlandaskan agama dan keimanan antara suami maupun istri yang telah sefaham. Serta konsep peran yang jelas yang telah dijalankan keduanya. . B. Saran 1. Kepada subjek (suami-istri) Dari hasil penelitian, bahwa subjek dan pasangan sebaiknya terus mencoba dan memahami kebiasaan-kebiasaan dan hal yang disukai maupun tidak disukai oleh masing-masing individu, agar jauh lebih baik kehidupan berumah tangganya. 2. Kepada istri subjek Dari hasil penelitian yang dilakukan sebaiknya istri subjek belajar untuk lebih ekspresif dan lebih terbuka kepada pasangan, karena hal ini akan lebih membantu untuk perjalanan kehidupan pernikahan subjek dan pasangan. 3. Kepada peneliti selanjutnya Diharapkan pada penelitian selanjutnya, peneliti bisa mengambil kriteria subjek dengan latar belakang yang lebih beragam lagi seperti, subjek yang menikah dengan usia yang berbeda jauh, agar dapat membandingkan apa saja masalah-masalah yang dihadapi dan bagaimana mengatasinya.
DAFTAR PUSTAKA Adhiem, M. F. (2000). Saatnya untuk menikah. Jakarta: Gema Insane Press. Al-Mukaffi, A. (2003). Pacaran dalam kacamata Islam. Jakarta: Penerbit Media Dakwah Atwater, E. (1993). Psychology of adjustment (2th ed). New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Atwater, E., & Duffy, K. G. (1999). Psychology for living adjustment, growth, and behavior today (6th ed). New Jersey:Prentice Hall, Inc. Baron, R.A., & Byrne, D. (2000). Social psycology (9th ed). Massacchussetts: Allyn and Bacon. Benokraitis, N. V. (1996). Marriage and family (2th ed): Changes, choise and constraints. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Berns, R. M. (1997). Child, family, school, community. socialization and Support. (4th ed). Florida: Hacourt Brace Collage Publisher.. Bersiap Menjadi Pengantin. (2002). Majalah wanita ummi: Identitas wanita Islam. Edisi Spesial 5/XIV/2002. Jakarta: PT. Kimus Bina Tadzika. Blood, R. O. (1969). Marriage (2nd ed). New York: The Free Press. Brehm, S.S. Intimate relationships (2nd ed). New York :McGraw-Hill Inc. Departeman Urusan Agama Islam. (1971). Al-Qur’an dan terjemahannya (4 th ed). Medinah: Mujamma’al malik Fadh li thiba’at al Mush-haf asy Syarif.
Duvall,
E.M. ; Miller, B.C. (1985). Marriage and family development (6th ed). New York: Harper & Row, Publishers
Feldman, R. S. (1989).Adjustment: applying psychology in a complex world. Singapore. Hurlock, E. B. (1993). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (edisi kelima) (Terjemahan). Jakarta: Penerbit Erlangga. Knox, D. (1998). Choices in relationships (2nd ed): An introduction to marriage and the family. St. Paul: West Publishing company. Miranda, S. (1995). Kelekatan (attachment) dengan penyesuaian perkawinan: studi penjajakan mengenai pengaruh kelekatan terhadap penyesuaian perkawinan suami-istri pada masa perkawinan dua tahun pertama. Skripsi sarjana. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Moleong, L. J. (2002) Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Narbuko, C. & Achmadi, A. (2003) Metode penelitian. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Nugroho, W. C. (2000). Gaya komunikasi pada laki-laki dan perempuan berstatus pacaran saat mengalami konflik interpersonal dengan pasangannya. Skripsi Sarjana Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Papalia, D. E., S. W., & Feldman, R.D. (2004). Human development. (9 th ed). USA: Mc Graw-Hilll Companies, Inc.
Phelan, G. K.(1979). Family relationships. Minnesota: Burgess Publishing Company. Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Penguruan dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Universitas Indonesia. Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk perilaku manusia. Depok: LPSP3 Faultas Psikologi Universitas Indonesia. Qadari, M. (1997). Sifat keterbukaanketertutupan sistem kepercayaan peserta gerakan tarbiyah dikalangan mahasiswa Universitas Indonesia. Skripsi Sarjana, Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Robert, G. L. (1968). Personal growth and adjustment (7 th ed). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Salim, P. & Salaim, Y. (1991). Kamus bahasa Indonesia kontemporer. Jakarta: Modern English Press. Takariawan, C. (2002). Di jalan dakwah aku menikah. Jogjakarta: Tiga Lentera Utama Jogjakarta. Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1999). Kamus besar bahasa Indonesia (4 th ). Jakarta: Departement Pendidikan Dan Kebudayaan-Balai Puataka. Turner, J. S. & Helms, D. B. (1995). Lifespan development (5th ed). Fort Worth: Harcourt Brace Collage Publisher. Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974.
Zainab,
R. K. (2002). Penyesuaian perkawinan antar bangsa : studi kasus pada 5 orang wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing. Skripsi Sarjana. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.