BAB IV ANALISIS KRITERIA HAKIM MEDIATOR DALAM UPAYA EFEKTIFISASI MEDIASI PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KAJEN A. Analisis Kriteria Hakim Mediator di Pengadilan Agama Kajen Semua hakim di Pengadilan Agama (PA) Kajen adalah mediator, kecuali Ketua Pengadilan Agama Kajen (lihat tabel 2). Jumlah hakim di Pengadilan Agama Kajen adalah sembilan orang (termasuk Ketua dan Wakil Pengadilan Agama Kajen), yang terdiri atas enam hakim laki-laki dan tiga hakim perempuan. Sebagaimana yang telah penyusun cantumkan di tabel 2, bahwa jumlah hakim mediator di Pengadilan Agama Kajen adalah delapan orang dilengkapi dengan pengalaman mereka sejak menjadi hakim mediator. Berdasarkan wawancara dari penyusun dengan Ketua Pengadilan Agama Kajen mengenai kriteria hakim mediator di Pengadilan Agama Kajen, dijelaskan bahwa1 di Pengadilan Agama Kajen tidak ada kriteria-kriteria khusus untuk menjadi hakim mediator, karena pada dasarnya persyaratan menjadi hakim lebih sulit dari pada menjadi mediator. Namun, syaratnya yaitu hakim yang menjadi mediator bukan hakim yang memeriksa perkara.
1
Hasil wawancara penyusun dengan Bapak Drs. H. Sugeng, SH., selaku Ketua Pengadilan Agama Kajen (pada tanggal 25 Juli 2011, pukul 11.00 WIB).
69
70
Begitu juga dengan sertifikasi mediator, ketika penyusun menanyai tentang hal tersebut Ketua Pengadilan Agama Kajen menjawab bahwa semua hakim mediator di Pengadilan Agama Kajen belum bersertifikat mediator. Dari praktek yang tergambar di lapangan (PA Kajen), maka penyusun dapat menganalisis gambaran terhadap kriteria hakim mediator di PA Kajen tersebut adalah sebagai berikut: 1. Terkait dengan sertifikat mediator Seorang mediator haruslah mempunyai keahlian khusus di bidang penyelesaian sengketa yang dibuktikan dengan sertifikat mediator. Hal tersebut dimaksudkan agar orang yang menjadi mediator adalah orang yang benar-benar memiliki keterampilan komunikasi dan teknik-teknik perundingan yang memadai.2 Dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008 Pasal 5 ayat (1), disebutkan bahwa: “Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (6), setiap orang yang menjalankan fungsi mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia”. 2
D.Y Witanto, Hukum Acara Mediasi dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama menurut Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. Ke-1, h.91. Dari keterangan hasil wawancara yang diperoleh penyusun dengan Ketua PA Kajen terkait dengan sertifikat mediator yang harus dimiliki, ternyata tidak sesuai dengan isi buku karangan D.Y. Witanto tersebut, meskipun jabatan hakim lebih tinggi dari mediator tetapi ketika hakim tersebut sedang menjalankan tugasnya sebagai mediator, maka pada saat itu ia adalah seorang mediator bukan hakim.
71
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya PERMA No. 1 Tahun 2008 hanya mencantumkan persyaratan tentang sertifikat yang harus dimiliki oleh seorang mediator. Namun, dalam pasal tersebut terdapat pengecualian yaitu pada Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (6) PERMA No. 1 Tahun 2008 yaitu sebagai berikut: Dalam Pasal 9 ayat (3) disebutkan bahwa: “Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator”. begitu juga dalam Pasal 11 ayat (6) disebutkan bahwa: “Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka hakim pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim wajib menjalankan fungsi mediator”. Dari gambaran realita yang ada di PA Kajen, jika dianalisis dengan PERMA No. 1 Tahun 2008 Pasal 5 ayat (1), maka gambaran mengenai Hakim Mediator di Pengadilan Agama Kajen tersebut sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 (lihat tabel 1 dan 2). Hal ini dikarenakan Perma itu sendiri menghendaki agar mediasi itu berlaku secara efektif mengatasi penumpukan perkara di pengadilan. Sehingga, agar dapat mencapai keefektifan tersebut tidak memungkinkan Lembaga Peradilan untuk menunggu mediator yang bersertifikat. Oleh karena itu, jalan yang diambil oleh Perma itu sendiri adalah dengan memfungsikan hakim di pengadilan setempat sebagai mediator.
72
Di samping itu, mediator dengan menggunakan jasa hakim tidak dipungut biaya. Hal ini sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 yang berbunyi: “Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya”. Dengan demikian, Perma juga menghendaki agar mediasi tidak keluar dari asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. 2. Terkait dengan mediator bukan berasal dari hakim yang memeriksa perkara Berdasarkan wawancara yang dilakukan penyusun dengan Ketua PA kajen pada tanggal 25 Juli 2011 yang dikatakan bahwa di PA Kajen tidak terdapat kriteria-kriteria khusus untuk menjadi hakim mediator, hanya saja hakim yang berperan sebagai mediator itu adalah bukan hakim yang sedang memeriksa perkara para pihak yang hendak dimediasi.3 Dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 Pasal 11 ayat (6) dijelaskan bahwa apabila pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka hakim pemeriksa perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh majelis hakim wajib menjalankan fungsi mediator. Jika kita telaah pengertian pasal di atas secara lebih mendalam, maka sebenarnya rumusan pasal tersebut sama sekali tidak menunjukkan keadaan bahwa di suatu pengadilan itu tidak ada hakim lagi selain hakim yang memeriksa
3
Hasil wawancara tersebut sesuai dengan Perma No. 2 Tahun 2003 Pasal 4 ayat (4), yang berbunyi: “Hakim yang memeriksa suatu perkara, baik sebagai ketua majelis atau anggota majelis, dilarang bertindak sebagai mediator bagi perkara yang bersangkutan”.
73
pokok perkara, karena yang digambarkan menurut pasal di atas hanyalah mengenai keadaan bahwa di pengadilan tersebut tidak ada hakim di luar pemeriksa pokok perkara yang memiliki sertifikat mediasi, sehingga persoalannya adalah mungkin saja di pengadilan tersebut masih ada hakim lain selain dari hakim yang memeriksa pokok perkara, namun dia tidak memiliki sertifikat mediator.4 Sedangkan dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a PERMA No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa para pihak berhak memilih mediator yang berasal dari hakim pengadilan agama yang bersangkutan selain hakim pemeriksa perkara.5 Dari uraian penjelasan pasal di atas, jika dikaitkan dengan hasil wawancara penyusun dengan Ketua PA Kajen tentang persyaratan hakim mediator di PA Kajen adalah bukan hakim pemeriksa perkara, maka hal ini tidak sesuai dengan keterangan Pasal 11 ayat (6) di atas. Karena dari pasal di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa sebenarnya hakim pemeriksa perkara pun bisa menjadi mediator dengan syarat tidak ada hakim lain selain hakim pemeriksa perkara tersebut. Keterangan Pasal 11 ayat (6) di atas tidak berlaku di PA Kajen, karena sebagaimana yang telah penyusun cantumkan pada tabel 2 bahwa jumlah hakim mediator ada delapan, di mana setiap harinya dijadwalkan untuk dua orang hakim yang bertugas menjadi mediator. Jadi, kemungkinan kekosongan hakim mediator
4
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama menurut Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, h. 93. 5 Dalam Pasal ini para pihaklah yang memilih hakim mediator, namun dalam prakteknya pemilihan hakim mediator di PA Kajen ditetapkan berdasarkan SK dari Ketua PA Kajen, dan para pihak berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf a di atas masih mempunyai hak untuk memilih dua di antara hakim mediator yang bertugas pada hari itu.
74
pada setiap hari sangatlah tipis. Bahkan sejauh ini pelaksanaan mediasi di PA Kajen sesuai dengan yang sudah dijadwalkan. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (4) Perma No. 2 Tahun 2003, juga ditegaskan bahwa: “Hakim yang memeriksa suatu perkara, baik sebagai ketua majelis atau anggota majelis, dilarang bertindak sebagai mediator bagi perkara yang bersangkutan”.6 3. Terkait dengan syarat internal dan eksternal mediator Dalam menjalankan fungsinya, mediator tidak tunduk pada suatu aturan hukum acara tertentu. Ia bebas menentukan bagaimana proses penyelesaian sengketanya berlangsung. Ia dapat menggunakan asas ex auquo et bono (kepatutan dan kelayakan). Karena sifatnya ini, cara penyelesaian sengketa melalui mediasi lebih cocok digunakan untuk sengketa-sengketa yang sensitif.7 Mengingat
peran
mediator
sangat
menentukan
efektivitas
proses
penyelesaian sengketa, maka ia harus memenuhi persyaratan dan kualifikasi tertentu. Persyaratan bagi mediator dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi internal mediator dan sisi eksternal mediator. Sisi internal berkaitan dengan kemampuan personal mediator, sedangkan sisi eksternal berkaitan dengan persyaratan formal yang harus dimiliki mediator.8
6
PA Kajen dalam hal yang telah disampaikan di atas lebih condong mengikuti Pasal 4 ayat (4) Perma No. 2 Tahun 2003, dengan alasan jumlah hakim mediator di PA Kajen telah mencukupi dalam melaksanakan kegiatan mediasi. 7 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. Ke-2, h. 34. 8 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 60.
75
Persyaratan mediator berupa kemampuan personal antara lain: 1. Kemampuan membangun kepercayaan para pihak, adalah sikap yang harus ditunjukkan mediator kepada para pihak bahwa ia tidak memiliki kepentingan apa pun terhadap penyelesaian sengketa. Ia semata-mata ingin menunjukkan keprihatinan bahwa sengketa yang tidak di selesaikan akan membawa hal yang berdampak negatif. Hal ini berdasarkan pengamatan penyusun dalam menyaksikan proses mediasi pada tanggal 13 September 2011 bahwa hakim mediator di PA Kajen yang pada saat itu adalah Bapak Chayyun Arifin, SH., telah memenuhi syarat ini, hal ini ditunjukkan dengan nasihat-nasihat yang disampaikan oleh beliau kepada para pihak serta menyampaikan juga tentang dampak-dampak negatif yang akan timbul setelah perceraian itu terjadi. Misalnya mengenai masa depan anak. 2. Mediator harus menunjukkan sikap empati kepada para pihak, bahwa dirinya memiliki rasa peduli terhadap persengketaan yang mendera kedua belah pihak. Rasa empati ini ditunjukkan mediator dengan berusaha secara sungguhsungguh untuk mencari jalan keluar, agar para pihak dapat menyelesaikan sengketa mereka. Mediator meyakinkan para pihak bahwa setiap sengketa pasti dapat diselesaikan. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diupayakan oleh Bapak Chayyun Arifin pada saat memediasi para pihak yang hendak bercerai, yaitu dengan cara
76
beliau dengan sungguh-sungguh mengajak para pihak untuk bersama-sama memikirkan jalan keluar yang dapat menyelesaikan masalah mereka.9 3. Seorang mediator bukanlah seorang hakim,10 yang dapat memutuskan sengketa berdasarkan fakta-fakta hukum. Ia hanyalah menengahi, mendorong dan membantu para pihak mencari penyelesaian terhadap sengketa mereka. Mediator tidak menghakimi bahwa yang satu benar dan yang lain salah. Peran mediator di sini hanyalah menjaga agar proses mediasi berjalan dengan baik, melalui pengendalian pertemuan dan menjaga aturan main yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Hal di atas juga telah sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh Bapak Chayyun Arifin dalam memediasi para pihak, yaitu beliau tidak menghakimi salah satu pihak baik tergugat maupun penggugat, tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, meskipun profesi beliau sebetulnya adalah seorang hakim namun pada saat itu beliau memposisikan dirinya benar-benar sebagai mediator. Hanya saja pada saat mediasi itu berlangsung, beliau tampak lebih condong dan lebih membela tergugat.11 Hal ini berdasarkan pengamatan penyusun dikarenakan pihak
9
Hasil pengamatan penyusun pada saat proses mediasi sedang berlangsung, (tanggal 13 September 2011 dengan hakim mediator Bapak Chayyun Arifin, SH). 10 Mediator yang berasal dari hakim cenderung memposisikan dirinya tidak jauh berbeda dengan fungsinya sebagai hakim di depan persidangan di saat melangsungkan mediasi, lebih jauh lagi, dampak dari tidak dipahaminya tugas dan fungsi mediator dengan baik, maka sebagian mediator yang berasal dari hakim sering melontarkan ucapan yang terkesan pesimistik dan antipati terhadap pelaksanaan mediasi. Bahkan sebagian hakim menganggap tugas sebagai mediator adalah beban dan tanggung jawab baru yang hanya memberatkan dan atau merugikan. (Najamuddin dan Candra Boy Seroza, Permasalahan Mediasi dalam Teori dan Praktek di Pengadilan Agama, h.5), www.Badilag.net, diakses pada 31 Mei 2011. 11 Segi negatif dari mediasi adalah mediator dapat saja dalam melaksanakan fungsinya lebih memperhatikan pihak lainnya, (Rudolf L. Bindschedler, dalam Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, h. 34).
77
tergugat tidak menginginkan perceraian, akan tetapi pihak penggugatlah yang bersikeras ingin bercerai, dan beliau memandang masalah yang timbul dalam rumah tangga para pihak adalah masalah yang ringan, yang sebenarnya masih bisa diperbaiki lagi. 4. Persyaratan lain yang harus dimiliki mediator dalam kaitannya dengan kemampuan personal adalah memberikan reaksi positif terhadap setiap pernyataan para pihak, walaupun pernyataan tersebut tidak ia setujui. Hal ini tidak sesuai dengan pelaksanaan mediasi yang dilakukan di PA Kajen, karena dari pengamatan penyusun dalam mengikuti berlangsungnya proses mediasi perkara perceraian, hakim mediator menunjukkan sikap keberpihakan pada salah satu pihak, yaitu pihak tergugat dan juga hakim mediator tampak selalu memotong pernyataan penggugat pada saat menyampaikan permasalahannya. Di samping persyaratan di atas, mediator harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik, jelas, dan teratur serta mudah dipahami para pihak, dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Hal ini telah sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh hakim mediator di PA Kajen, yaitu dalam berkomunikasi dengan para pihak menggunakan bahasa yang sederhana, bahkan sering kali hakim mediator PA Kajen menggunakan Bahasa Jawa Krama, hal ini dimaksudkan agar para pihak mengetahui apa yang disampaikan oleh hakim mediator. Persyaratan-persyaratan di atas tidak cukup bagi seseorang untuk menjadi mediator, karena ia harus didukung oleh persyaratan lain yang berkaitan dengan
78
para pihak dan permasalahan yang dipersengketakan oleh mereka. Persyaratan lain terdiri atas:12 1. Keberadaan mediator disetujui oleh kedua belah pihak; 2. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa; 3. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa; 4. Tidak mempunyai kepentingan finansial, atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak; 5. Tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya. Dari lima persyaratan di atas, ternyata juga telah sesuai dengan prosedur mediasi yang dilakukan oleh hakim mediator di PA Kajen, karena selama ini belum pernah ada permasalahan yang muncul terkait dengan lima persyaratan di atas. Seperti, keberadaan mediator disetujui oleh kedua belah pihak. Sejauh ini para pihak selalu mau dimediasi setelah diterangkan oleh majelis hakim bahwa apa pun hasilnya proses mediasi itu wajib dilakukan, karena mediasi merupakan prosedur beracara di pengadilan dan jika mediasi itu tidak dilakukan maka putusannya akan batal demi hukum. Kemudian, majelis hakim menunjuk hakim
12
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
64-65.
79
mediator yang bertugas pada hari itu. Para pihak pun menerima hakim mediator yang ditunjuk untuk memediasi perkara mereka.13 Dalam masyarakat tradisional, persyaratan kemampuan personal tetap harus dipenuhi. Demikian pula persyaratan yang terkait dengan para pihak dan permasalahan mereka. Namun, dalam beberapa kasus hukum yang ditangani melalui jalur mediasi, peraturan perundangan di Indonesia membuat syarat mediator begitu ketat seperti yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Dalam PP tersebut ditentukan kriteria sebagai mediator yaitu sebagai berikut: 1. Cakap melakukan tindakan hukum; 2. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun; 3. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang lingkungan hidup paling sedikit 5 (lima) tahun; 4. Tidak ada keberatan dari masyarakat (setelah diumumkan dalam jangka waktu satu bulan); 5. Memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan.
13
Hasil wawancara dengan Ibu Hj. Awaliyatun Nikmah, S.Ag, selaku Hakim di Pengadilan Agama Kajen, (pada tanggal 23 September 2011, pukul 11.15 WIB).
80
Dari lima persyaratan yang dikeluarkan oleh PP No. 54 Tahun 2000, jika dikaitkan dengan keadaan hakim mediator di PA Kajen, maka setidaknya masingmasing hakim mediator di PA Kajen telah memenuhi 70% hingga 80% dari kriteria yang dikeluarkan oleh PP No. 54 Tahun 2000 tersebut. B. Analisis Upaya Efektifisasi Mediasi Perkara Perceraian oleh Hakim Mediator di Pengadilan Agama Kajen Pengadilan Agama Kajen mulai memberlakukan mediasi sejak awal tahun 2010. Hal ini dibuktikan dengan laporan tahunan mediasi di PA Kajen yang telah dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Semarang hanya ada sejak tahun 2010.14 Hal ini menandakan bahwa mediasi mulai efektif dilakukan PA Kajen adalah sejak tahun 2010, terhadap upaya efektifisasi mediasi perkara perceraian di PA Kajen sendiri telah dijelaskan oleh Ketua Pengadilan Agama Kajen Bapak Drs. H. Sugeng, SH ketika diwawancarai oleh penyusun pada tanggal 25 Juli 2011, pukul 11.00 WIB beliau menerangkan bahwa: Upaya efektifisasi perkara perceraian di PA Kajen yaitu ketika kedua belah pihak hadir pada sidang pertama mereka langsung dimediasi, membuat jadwal untuk hakim yang tidak sidang pada hari itu, mediator di PA Kajen menggunakan jasa hakim dengan alasan lebih efektif serta tidak dipungut biaya, kemudian upaya yang terpenting yaitu hakimhakim yang bertugas memediasi para pihak yang akan bercerai, dengan cara
14
Keterangan dari Panitera Muda (Panmud) Hukum, Bapak M. Munjid Sudinoto, S.Ag, pada tanggal 23 September 2011, pukul 10.30 WIB.
81
menyentuh hati para pihak yang akan bercerai bahkan dianjurkan sampai para pihak benar-benar terharu dan meneteskan air mata. Sedangkan upaya ke depan yang akan dilakukan PA Kajen yaitu dengan meningkatkan pengetahuan-pengetahuan, kiat-kiat hakim mediator di PA Kajen dalam memediasi para pihak, serta mengadakan pembinaan teknis dan kiat-kiat mediasi untuk hakim-hakim mediator di PA Kajen, juga dengan memberikan motivasi kepada hakim-hakim mediator PA Kajen dengan menyampaikan bahwa yang banyak berhasil memediasi para pihak akan mendapatkan penghargaan dari Mahkamah Agung (MA). Keberhasilan mediasi biasanya diawali dengan terciptanya dialog yang interaktif di antara kedua belah pihak. Respon dan antusias masing-masing pihak pada awalnya mungkin saja lemah, di sinilah tugas seorang mediator untuk bisa memacu semangat para pihak dengan pola komunikasi yang baik. Sering disebutkan bahwa proses mediasi tertuju pada hasil akhir yang samasama menang (win-win solution), hal itu cukup beralasan karena semua bentuk penyelesaian damai merupakan hasil kesepakatan dari para pihak dengan kontribusi dan manfaat yang sama.
82
Berikut ini adalah jalur komunikasi yang mungkin terbentuk dalam proses mediasi, dapat digambarkan sebagai berikut:15 Mediator
Pihak Penggugat
Pihak Tergugat
Sebaimana jalur komunikasi yang tergambar di atas, jika dikaitkan dengan penelitian penyusun pada saat proses mediasi itu sedang berlangsung. Maka, jalur komunikasi di atas sesuai dengan apa yang penyusun amati dalam proses mediasi di PA Kajen, di mana hakim mediator berkomunikasi dengan para pihak, begitu juga sebaliknya, dan komunikasi juga terbentuk di antara para pihak. Namun, dalam hal ini komunikasi lebih dikuasai oleh hakim mediator sedangkan para pihak lebih sering diam. Hal ini menandakan bahwa hakim mediator di PA Kajen telah menjalankan fungsinya sebagai mediator dengan baik. Sedangkan jika upaya efektifisasi di Pengadilan Agama kajen dikaitkan dengan apa yang ada dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka hal tersebut sesuai dengan ketentuan pada penjelasan pasalpasal di bawah ini: 1. PA Kajen mewajibkan mediasi pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, maka hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008,
15
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama menurut Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, h. 45.
83
yang berbunyi sebagai berikut: “Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi”. 2. PA Kajen berdasarkan SK Ketua PA Kajen membuat jadwal untuk hakimhakim yang tidak sidang untuk melaksanakan tugas sebagai mediator, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008, yaitu sebagai berikut: “Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, ketua pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat sekurang-kurangnya lima nama mediator dan disertai dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman mediator”. 3. Mediator di PA Kajen menggunakan jasa hakim dengan alasan biaya lebih ringan dan lebih efektif, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 yaitu: “Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya”. Sedangkan untuk keefektifannya dapat dikaitkan dengan bunyi Pasal 9 ayat (3) yaitu: “Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator”. 4. Ketua PA Kajen menghimbau agar hakim mediator PA Kajen dalam memediasi para pihak yang akan bercerai dengan cara menyentuh hati mereka, dalam hal ini berarti dikaitkan dengan kemampuan masing-masing hakim
84
mediator di PA Kajen dalam hal komunikasi dan keahlian mereka dalam memberi nasihat pada para pihak yang akan bercerai. 5. Upaya ke depan yang dilakukan PA Kajen dalam mengefektifkan mediasi adalah dengan meningkatkan pengetahuan, kiat-kiat hakim mediator di PA Kajen, serta mengadakan pembinaan teknis dan kiat-kiat mediasi untuk hakimhakim mediator di PA Kajen, juga dengan memberikan motivasi kepada hakim-hakim mediator PA Kajen dengan menyampaikan bahwa yang banyak berhasil memediasi para pihak akan mendapatkan penghargaan dari Mahkamah Agung (MA). Terkait dengan upaya efektifisasi mediasi ke depan yang direncanakan oleh Pengadilan Agama Kajen, maka hal di atas dapat dikaitkan dengan ketentuan pada Pedoman Perilaku Mediator Pasal 8 yang berbunyi: “Mediator diharapkan untuk senantiasa meningkatkan kemampuan atau keterampilan tentang mediasi melalui pendidikan, pelatihan, seminar, dan konferensi”.16 Sedangkan untuk motivasi yang diberikan kepada hakim mediator di Pengadilan Agama Kajen, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2008, yaitu sebagai berikut: Ayat (1): Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator.
16
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Perilaku Mediator, Pasal 8 tentang Kemampuan/Keterampilan Mediator.
85
Ayat (2): Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. Berdasarkan upaya efektifisasi mediasi perkara perceraian di PA Kajen yang telah penyusun sebutkan di atas, tentunya tidak semudah yang dibayangkan. Karena dalam prakteknya upaya tersebut banyak menemui kendala-kendala yang mempengaruhi keberhasilan proses mediasi. Kendala yang paling mempengaruhi upaya efektifisasi mediasi berasal dari para pihak sendiri yang ingin bercerai. Dalam prakteknya para pihak yang sudah mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan Agama Kajen pada umumnya sudah berkeinginan bulat untuk bercerai. Sehingga di antara keduanya sulit untuk didamaikan. Kendala selanjutnya berasal dari hakim mediator yang menangani mediasi di Pengadilan Agama Kajen. Hal ini tentu dikaitkan dengan kemampuan personal yang dimiliki oleh masing-masing Hakim Mediator PA Kajen dalam memediasi para pihak. Semakin banyak keberhasilan mediasi yang dilakukan seorang hakim mediator menandakan bahwa kemampuan yang dimilikinya sangat baik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penyusun dalam menyaksikan proses mediasi, penyusun dapat mengetahui bahwa mediasi ternyata bukan suatu proses yang mudah. Karena dibutuhkan kesabaran dan kemampuan untuk membuka hati masing-masing pihak yang akan bercerai.
86
Kendala yang terakhir adalah kehadiran para pihak terutama pada sidang pertama. Hal ini menjadi kendala karena mediasi hanya dilakukan jika kedua belah pihak hadir (Pasal 7 ayat 1 PERMA No. 1 Tahun 2008). Meskipun sebenarnya dapat dilakukan kaukus,17 namun dalam prakteknya di Pengadilan Agama Kajen tidak pernah dilakukan kaukus. C. Analisis Pengaruh Upaya Hakim Mediator terhadap Efektivitas Mediasi Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Kajen Pengaruh upaya hakim mediator terhadap efektifitas mediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama Kajen dapat dilihat dari banyaknya jumlah perkara yang berhasil dimediasi di PA Kajen. Sebagaimana yang telah penyusun cantumkan di bab tiga (lihat tabel 4 dan tabel 5), dapat diketahui bahwa jumlah perkara perceraian yang berhasil dimediasi pada tahun 2010 adalah 67 perkara18 dari 1433 perkara atau sekitar 4,7% perkara perceraian yang berhasil dimediasi. Berikut adalah cara menentukan prosentase keberhasilan mediasi:19 67 X 100% = 4,7% 1433 Sedangkan pada Bulan Januari sampai dengan Bulan September 2011, tingkat keberhasilan mediasi mencapai 3,8%, dari jumlah perkara perceraian yang diterima PA Kajen sampai Bulan September 2011 yaitu 1116 perkara dan 43
17
Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya, (PERMA No. 1 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 4). 18 Dari 67 perkara tersebut dicabut oleh para pihak, mereka bersepakat tidak melanjutkan perkaranya ke persidangan dan bersepakat untuk menjadi sepasang suami isteri yang kembali rukun. 19 Ali Muhtarom, Mencari Tolak Ukur Efektivitas Mediasi Perkara Perceraian, www.badilag.net, h.3, (Diakses pada 31 Mei 2011).
87
perkara yang berhasil dimediasi. Dengan tingkat keberhasilan tertinggi pada Bulan September 2011. Sedangkan pada tahun 2010 tingkat keberhasilan mediasi tertinggi yaitu pada Bulan Agustus dan Bulan Oktober 2010. Tingkat keberhasilan mediasi pada tahun 2010 dan tahun 2011 pada setiap bulannya tidak menunjukkan angka yang stabil, atau bahkan tidak mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa mediasi di Pengadilan Agama Kajen belum efektif, jika menggunakan perbandingan setiap bulannya. Namun, jika dibandingkan antara tahun 2010 dan 2011 maka akan diketahui dengan cara membagi jumlah perkara yang berhasil dimediasi dengan perkara yang diterima sampai pada tiap Bulan September dikalikan seratus persen.20 Tahun 2010: perkara yang berhasil dimediasi sampai bulan September 2010 adalah 50 perkara (dari 50 perkara tersebut dicabut oleh para pihak karena mereka sepakat untuk kembali rukun menjadi suami isteri), dibagi dengan jumlah perkara yang diterima sampai Bulan September 2010 yaitu 1043 perkara (lihat tabel 4) dikalikan seratus persen, maka hasilnya adalah sebagai berikut: Tahun 2010 :
50 X 100% = 4,7 % 1043
Tahun 2011: perkara yang berhasil dimediasi sampai Bulan September 2011 adalah 43 perkara, dibagi dengan jumlah perkara yang diterima sampai Bulan September 2011 yaitu 1116 perkara (lihat tabel 5) dikalikan seratus persen, maka hasilnya adalah sebagai berikut: 20
Ali Muhtarom, Mencari Tolak Ukur Efektivitas Mediasi Perkara Perceraian, www.badilag.net, h.3, (Diakses pada 31 Mei 2011).
88
Tahun 2011 :
43 X 100% = 3,8% 1116
Dari hasil perhitungan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa mediasi sampai pada Bulan September tahun 2010 lebih efektif dibandingkan dengan mediasi pada Bulan September tahun 2011. Hal ini dikarenakan jumlah perkara yang diterima sampai pada September 2011 lebih banyak dibanding jumlah perkara yang diterima pada September 2010. Jadi dapat disimpulkan bahwa selain jumlah perkara yang berhasil dimediasi, jumlah perkara yang diterima pun mempunyai pengaruh terhadap efektivitas mediasi. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut hakim mediator di Pengadilan Agama Kajen harus lebih optimal dalam melaksanakan kegiatan mediasi jika perkara perceraian yang diterima semakin banyak. Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka dapat disimpulkan mediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama Kajen belum efektif. Hal ini didasarkan pada makalah Ali Muhtarom (Hakim PA Tanjungredeb-Kalimantan Timur), yang berjudul Mencari Tolak Ukur Efektivitas Mediasi dalam Perkara Perceraian, dalam makalahnya dijelaskan bahwa apabila prosentase nilai perkara yang berhasil dimediasi mempunyai grafik yang lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya, maka proses pelaksanaan mediasi dapat dikatakan berhasil, namun apabila sebaliknya, maka dapat dinilai bahwa proses pelaksanaan mediasi kurang berhasil. Jadi dapat disimpulkan bahwa upaya efektifisasi hakim mediator PA Kajen hanya mempunyai sedikit pengaruh terhadap keberhasilan mediasi di PA Kajen.