EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: HIDAYATULLOH NIM. 107044102355
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH KONSENTRASI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Hidayatulloh NIM. 107044102355
Di Bawah Bimbingan:
Dr. H. Yayan Sofyan, S.H., M.Ag. NIP: 196810141996031002
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH KONSENTRASI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul “Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Depok” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah.
Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. NIP. 195505051982031012 PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. NIP. 195003061976031001
Sekretaris
: Hj. Rosdiana, M.A. NIP. 196906102003122001
Pembimbing : Dr. H. Yayan Sofyan, S.H., M.Ag. NIP. 196810141996031002 Penguji I
: Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, M.A. NIP. 150050917
Penguji II
: Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A. NIP. 195811101988031001
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 29 Mei 2011
Hidayatulloh
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah subhana wa ta’ala atas segala taufiq dan inayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang setia hingga akhir zaman. Skripsi ini kami persembahkan kepada Ayahanda Asmawih dan Ibunda Rohimah yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Kami sadar tidak akan dapat menyelesaikan skrispi ini tanpa adanya bantuan orang-orang yang ada di sekitar kami. Dengan segala kerendahan hati, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1.
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. dan Hj. Rosdiana, M.A. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah.
3.
Dr. H. Yayan Sopyan, S.H., M.Ag. selaku pembimbing skripsi yang tak pernah lelah membimbing, mengarahkan, dan mengkritik kami dalam penyelesaian skripsi ini.
v
4.
Dr. Phil. JM. Muslimin, M.A. selaku pembimbing selama menjalani segala aktifitas di kampus yang selalu memberikan dorongan dan motivasi agar selalu bekerja dan berusaha maksimal demi menggapai mimpi kami.
5.
Seluruh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing dan mendidik kami selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6.
Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yakub, M.A. selaku orang tua kami selama belajar di Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah, yang telah memberikan teladan, mendidik, mengajarkan disiplin, dan memberikan ilmu yang sangat berharga bagi kehidupan kami, serta asatidz dan musyrif.
7.
Ketua Pengadilan Agama Depok beserta pihak-pihak yang terkait, khususnya Drs. Sarnoto, M.H. dan Endang Ridwan, S.Ag. yang telah meluangkan waktunya sehingga memudahkan kami menyelesaikan skripsi ini.
8.
Kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas beserta para staf yang telah memberikan fasilitas kepada kami dalam menelusuri literatur yang berkaitan dengan skripsi ini.
9.
Keluarga besar Peradilan Agama Angkatan 2007 kelas A yang menjadi teman seperjuangan kami. Seluruh pengurus BEMJ Peradilan Agama periode 20092010 dan 2010-2011 yang telah menemani kami belajar dan berorganisasi, terutama untuk Ridho Akmal Nasution dan Arifin Bahtiar. Serta kawan-kawan di HMI Komfaksy, LKBHMI, MCC, KMA-PBS, dan KKN Cikembulan terutama Arif Soleh, Asep Solahuddin, Riduan Dalimunthe, Subly, Naila, Andy, Dwima, Hafiz, Daus, Mala, Ima, Yai dan seterusnya yang tidak kami sebutkan satu persatu. Selanjutnya kawan-kawan kelompok studi TOEFL Bang Indra, Ulul vi
Azmi, Alvin, Anya dan kelompok studi Bahasa Arab Pita, Arif, Yeti, Fida, dan Siti. Kawan-kawan di Darus-Sunnah terutama angkatan Ta’aruf 2007 serta teman satu kamar Imam, Ali, Hayat, Munthe, Gus Nabil, Ipul, Faris, Bagus, Munawar, Farhan, dan Riski. Akhirnya, tidak ada yang dapat penulis berikan sebagai balas jasa kecuali hanya doa semoga semua pihak yang telah membantu penulis, mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Ciputat, 29 Mei 2011
Hidayatulloh
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .....................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ..............................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................
iv
KATA PENGANTAR .........................................................................................
v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I
PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................
7
D. Review Studi Terdahulu ..........................................................
9
E. Metode Penelitian.................................................................... 12 F. Sistematika Penulisan ............................................................. 16
BAB II
MEDIASI: KONSEP DAN PENERAPANNYA ......................... 18 A. Pengertian Mediasi .................................................................. 18 B. Asas-asas Umum Dalam Proses Mediasi ................................ 23 C. Keuntungan Menggunakan Mediasi ....................................... 26 D. Peran dan Fungsi Mediator ..................................................... 30 E. Proses Mediasi ........................................................................ 34 F. Mediasi Dalam Islam .............................................................. 39 viii
BAB III
TEORI EFEKTIVITAS ................................................................ 47 A. Pengertian Efektivitas ............................................................. 47 B. Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat .................................. 48 C. Teori Efektivitas Hukum ......................................................... 52
BAB IV
ANALISA EFEKTIVITAS MEDIASI......................................... 59 A. Profil Pengadilan Agama Depok ............................................. 59 B. Analisa Efektivitas Mediasi .................................................... 63 1. Tinjauan Yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ............. 63 2. Kualifikasi Mediator ......................................................... 69 3. Fasilitas dan Sarana ........................................................... 78 4. Kepatuhan Masyarakat ...................................................... 82 5. Kebudayaan ....................................................................... 86 C. Tingkat Keberhasilan Mediasi ................................................ 94 D. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Mediasi .... 98
BAB V
PENUTUP....................................................................................... 102 A. Kesimpulan ............................................................................. 102 B. Saran-saran ............................................................................. 103
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 105 LAMPIRAN ......................................................................................................... 112 ix
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam negara hukum yang tunduk kepada the rule of law, kedudukan peradilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berperan sebagai katup penekan atas segala pelanggaran hukum dan ketertiban masyarakat. Peradilan dapat dimaknai juga sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi dan berperan menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice).1 Meskipun demikian, kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini adalah ketidakefektifan dan ketidakefisienan sistem peradilan. Penyelesaian perkara membutuhkan waktu yang lama. Mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Di sisi lain, para masyarakat pencari keadilan membutuhkan penyelesaian perkara yang cepat yang tidak hanya bersifat formalistis belaka.2
1
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cet.VII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 229. 2
Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan salah satu asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 2 ayat (4) yaitu asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Makna dan tujuan asas ini bukan sekadar menitikberatkan unsur kecepatan dan biaya ringan. Bukan pula menyuruh hakim memeriksa dan memutus perkara dalam waktu satu atau dua jam. Yang dicita-citakan adalah suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu yang lama sampai bertahun-tahun, sesuai dengan kesederhanaan hukum itu sendiri. Apabila hakim
2
Untuk mengatasi problematika sistem peradilan yang tidak efektif dan efisien, maka muncul alternatif penyelesaian sengketa dengan perdamaian. Dalam hukum acara di Indonesia didapati dalam Pasal 130 Herziene Inlandsch Reglement (selanjutnya disebut HIR) maupun Pasal 154 Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (selanjutnya disebut R.Bg). Kedua pasal dimaksud mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:3 Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya akan menperdamaikan mereka itu. Selanjutnya ayat (2) mengatakan: Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu pada waktu bersidang, diperbuat sebuah akte, dengan nama kedua belah pihak diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang diperbuat itu; maka surat (akte) itu akan berkekuatan dan akan dilakukan sebagai putusan hakim yang biasa. Upaya perdamaian yang dimaksud oleh Pasal 130 ayat (1) HIR bersifat imperatif.4 Artinya hakim berkewajiban mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa sebelum dimulainya proses persidangan. Sang hakim berusaha mendamaikan dengan cara-cara yang baik agar ada titik temu sehingga tidak perlu ada proses persidangan yang lama dan melelahkan. Walaupun demikian, atau pengadilan sengaja mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak rasional, maka hakim tersebut tidak bermoral dan tidak professional, serta telah melanggar asas pengadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Lihat Gemala Dewi, ed., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet.III, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 71-72. 3
R. Tresna, Komentar HIR, cet.XVIII, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), h. 110.
4
M. Yahya Harahap, … h. 231.
3
upaya damai yang dilakukan tetap mengedepankan kepentingan semua pihak yang bersengketa sehingga semua merasa puas dan tidak ada yang merasa dirugikan. Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 melihat pentingnya integrasi mediasi dalam sistem peradilan. Bertolak dari ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 145 R.Bg, MA memodifikasikannya ke arah yang lebih bersifat
memaksa. Berangkat
dari
pemahaman
demikian,
maka
diterbitkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung (selanjutnya disebut SEMA) Nomor 01 Tahun 2002 pada tanggal 30 Januari 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (eks Pasal 130 HIR). Tujuan penerbitan SEMA adalah membatasi perkara secara substansif dan prosedural. Sebab apabila peradilan tingkat pertama mampu menyelesaikan perkara melalui perdamaian, akan berakibat turunnya jumlah perkara pada tingkat kasasi. Belum genap 2 (dua) tahun usia SEMA Nomor 01 Tahun 2002 pada tanggal 11 September 2003, MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut PERMA) Nomor 02 Tahun 2003 yang berjudul Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam konsiderans huruf e dikatakan salah satu alasan mengapa PERMA diterbitkan karena SEMA Nomor 01 Tahun 2002 belum lengkap atas alasan SEMA belum sepenuhnya mengintegrasikan mediasi ke dalam sistem peradilan secara memaksa tetapi masih bersifat sukarela dan
4
akibatnya SEMA itu tidak mampu mendorong para pihak secara intensif memaksakan penyelesaian perkara lebih dahulu melalui perdamaian. Setelah dilakukan evaluasi terhadap prosedur pelaksanaan mediasi di pengadilan sesuai PERMA Nomor 02 Tahun 2003 ternyata ditemukan permasalahan yang bersumber dari PERMA tersebut. Kemudian untuk mendayagunakan mediasi yang dilakukan di Pengadilan, MA merevisi PERMA Nomor 02 Tahun 2003 menjadi Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam konsideran huruf a PERMA Nomor 01 Tahun 2008 disebutkan bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak untuk menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Selanjutnya dalam huruf b disebutkan pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).5
5
Konsiderans butir b Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
5
Dalam ajaran Islam, dikenal adanya proses penyelesaian sengketa melalui perdamaian yang disebut dengan al-sulh.6 Islam menganjurkan pihak yang bersengketa menempuh jalur damai, baik di depan pengadilan maupun di luar pengadilan. Sulh memberikan kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam penyelesaian sengketa, dan mereka tidak lagi terpaku secara ketat pada pengajuan alat bukti. Para pihak memperoleh kebebasan mencari jalan keluar agar sengketa dapat diakhiri. Anjuran al-Quran dan Nabi Muhammad dalam ajaran Islam memilih sulh sebagai sarana penyelesaikan sengketa yang didasarkan pada pertimbangan bahwa sulh dapat memuaskan para pihak dan tidak ada pihak yang merasa menang dan kalah dalam penyelesaian sengketa.7 Peradilan Agama sebagai wujud peradilan Islam di Indonesia tentunya mengamalkan konsep sulh yang merupakan ajaran Islam.8 Para hakim di Pengadilan Agama harus selalu mengupayakan dua pihak yang bersengketa
6
Secara bahasa, al-sulh berarti menyelesaikan perkara atau pertengkaran. Sayyid Sabiq memberikan pengertian sulh dengan akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 (Kairo: Dar al-Fath, 1990), h. 201. Muhammad Khatib al-Syarbini menyebutkan sulh sebagai suatu akad di mana para pihak bersepakat mengakhiri persengketaan mereka. Lihat Muhammad Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 177. 7
Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, cet.I, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 159-160. 8
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang termasuk peradilan khusus bagi umat Islam. Eksistensinya tercantum dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
6
untuk menempuh jalur damai, karena jalur damai akan mempercepat penyelesaian perkara dan mengakhirinya atas kehendak kedua belah pihak. Berangkat dari tujuan awal adanya mediasi yang diantara tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah perkara, maka penulis beranggapan perlu untuk dijadikan objek penelitian dalam sebuah skripsi. Tulisan ini ingin menganalisa efektifitas mediasi di Pengadilan Agama dalam sebuah skripsi dengan judul “Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Depok”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Pembahasan pada penelitian ini dibatasi hanya pada tingkat keberhasilan mediasi, faktor-faktor pendukung dan penghambat, efektivitasnya di lingkungan Pengadilan Agama Depok. 2. Rumusan Masalah Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan bertujuan menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan
7
dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif). Namun pada kenyataannya selama 2 (dua) tahun pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 belum mampu mengurangi perkara yang masuk ke persidangan. Belum terjadi perubahan signifikan terhadap jumlah perkara yang masuk ke dalam proses persidangan, sehingga pencapaian belum sesuai dengan harapan. Berdasarkan hal tersebut, penulis merumuskan masalah pokok yang menjadi objek kajian dalam skripsi ini: 1. Bagaimana efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Depok? 2. Bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok? 3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Menguji efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Depok.
8
b. Mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama sesuai dengan PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang dilaksanakan di Pengadilan Agama Depok. c. Mencari
faktor-faktor
yang
menjadi
pendukung
dan
penghambat
keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok serta mencari solusinya. 2.
Manfaat Penelitian Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapkan mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya bermanfaat diantaranya: 1.
Bagi ilmu pengetahuan Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan perkembangan ilmu hukum yang menyangkut proses mediasi dalam penerapannya pada sistem peradilan perdata.
2.
Bagi masyarakat Untuk memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat luas mengenai pengintegrasian proses mediasi didalam penyelesaian perkara di pengadilan agama.
3.
Bagi penulis Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berpikir kritis serta pemenuhan prasyarat dalam menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9
D. Review Studi Terdahulu Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis telah menemukan beberapa skripsi yang membahas tentang mediasi. Berikut skripsi yang penulis temukan: Tabel 1 NO 1.
IDENTITAS M. Ali Suproni, Konsentrasi Peradilan Agama. Judul skripsi: “Pelaksanaan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”.
SUBSTANSI Meneliti kesesuaian antara pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan aturan dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2008, keberhasilan peran mediasi dalam menekan angka perceraian, dan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan mediasi. Proses integrasi proses mediasi dalam peradilan sesuai PERMA Nomor 01 Tahun 2008 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan memerlukan persiapan yang baik, mulai dari kesiapan sarana prasarana, hingga ketersediaan mediator yang profesional.
PEMBEDA Penelitian hanya dilakukan dalam bentuk analisa kesesuaian antara aturan dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dengan penerapannya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Berbeda dengan yang penulis lakukan, yaitu menganalisa efektivitas mediasi berdasarkan teori sebagai alat ukur. Sehingga dapat didapatkan kesimpulan apakah mediasi efektif atau tidak.
10
2.
Syahdan, Konsentrasi Peradilan Agama. Judul skripsi: “Pengaruh Mediasi Terhadap Angka Perceraian (Studi Analisa Pasca Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”.
3.
Siti Umu Kulsum NIM. 106044101441 Konsentrasi Peradilan Agama, 2006. Judul skripsi: “Efektivitas Mediasi Dalam Perceraian Perspektif PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi”.
Menyajikan analisa pengaruh mediasi terhadap angka perceraian, penerapan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan sejak keluarnya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 serta kesesuaiannya, dan faktor-faktor yang menyebabkan pelaksanaan mediasi tidak berjalan efektif. Dalam skripsi ini menggunakan datadata statistik dan hasil wawancara dengan para hakim yang menjadi mediator. Dalam analisa, diberikan kesimpulan bahwa mediasi tidak berpengaruh signifikan terhadap angka perceraian. Membahas sejarah lahirnya PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dan mediasi; pengertian, dasar hukum, prinsipprinsip, dan prosedurnya mulai tahap pramediasi, proses, hingga putusannya. Skripsi ini menyajikan data perkara tahun 2008-2009 di
Wawancara yang dilakukan terhadap para hakim sebagai pelaksana mediasi serta pengumpulan data statistik dijadikan kesimpulan terhadap efektif atau tidaknya mediasi terhadap angka perceraian. Hal tersebut juga dilakukan oleh penulis, namun tidak hanya itu, faktorfaktor lain yang mempengaruhi efektif atau tidaknya mediasi penulis gunakan yang diambil dari teori efektivitas Soerjono Soekanto.
Skripsi ini hanya fokus pada data perkara yang ada lalu menganalisa efektivitas mediasi tanpa menguji faktorfaktor penunjang keberhasilan mediasi. Sedangkan penulis menguji 5 (lima) faktor yang mempengaruhi keberhasilan mediasi berdasarkan teori efektivitas yang penulis gunakan.
11
4.
Pengadilan Agama Jakarta Timur yang kemudian dianalisa keefektivan mediasi sekaligus menjelaskan hambatan dan tantangan pelaksanannya. Widya Alia Menerangakan NIM. pengertian, sejarah, 106043201357 dasar hukum, ruang Konsentrasi lingkup, prinsipPerbandingan prinsip mediasi dalam Hukum, 2006. Judul PERMA Nomor 01 skripsi: Tahun 2008 Tentang “Efektivitas Mediasi Prosedur Mediasi di di Pengadilan Pengadilan. Agama Jakarta Skripsi ini Selatan Setelah menggunakan teori Dikeluarkannya efektivitas Ilham PERMA Nomor 1 Idrus sebagai alat Tahun 2008 Tentang ukur atau indikator Prosedur Mediasi di efektivitas mediasi di Pengadilan”. Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Teori efektivitas yang digunakan sebagai alat ukur lebih kepada aspek mediasi dalam pola kerjanya, sehingga tidak menjangkau indikatorindikator lain yang lebih luas. Lain hal dengan penulis lakukan, yakni menggunakan teori efektivitas Soerjono Soekanto yang lebih luas. Teori ini tidak hanya melihat keefektifan dari pola kerja, tetapi juga melihat faktor pendukung yang bersifat internal maupun eksternal.
12
E. Metode Penelitian Dalam pengumpulan bahan/data penyusunan skripsi ini agar mengandung suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan metode penelitian ilmiah sebagai berikut: 1.
Metode Pendekatan Tipe kajian dalam penelitian ini secara spesifik lebih bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang diteliti, dalam hal ini untuk menggambarkan pengaturan mediasi berdasarkan PERMA Nomor 01 Tahun 2008.
2.
Jenis Penelitian Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuridis sosiologis adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan. 9 Dalam penelitian ini yang akan dicari perihal pelaksanaan mediasi di pengadilan agama dengan berpedoman pada aturan hukum yang berlaku, serta terkait pada pola-pola perilaku sosial dan masyarakat (pelaku sosial), sehingga dapat diperoleh kejelasannya di persidangan pengadilan.
9
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: RajaGrafindo, 2001), h. 26.
13
3.
Data Penelitian a.
Penelitian Kepustakaan (Library Research) Penelitian kepustakaan merupakan metode penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan dasar teori dalam memecahkan suatu masalah yang timbul dengan menggunakan bahan-bahan: a) Bahan Hukum Primer Merupakan bahan utama yang dijadikan pedoman dalam penelitian, terdiri dari: -
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
-
Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
-
Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg)
-
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
b) Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan yang memberikan penjelasan megenai bahan hukum primer, yang terdiri dari: -
Buku-buku
-
Majalah Hukum
-
Artikel Ilmiah
-
Arsip-arsip yang mendukung
-
Publikasi dari Lembaga terkait
14
c) Bahan Hukum Tersier Bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, meliputi: -
Bibliografi
-
Ensiklopedia
-
Kamus Hukum
b. Penelitian Lapangan (Field Research) Dilakukan dengan cara melakukan proses terjun langsung secara aktif ke lapangan untuk meneliti obyek penelitian tersebut. 1) Lokasi Penelitian Mengenai lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Depok, disebabkan perihal yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat menjadi skripsi ini terdapat di tempat tersebut. Dalam hal ini mengenai pelaksanaan mediasi di lokasi tersebut. 2) Subyek Penelitian Untuk mencari kebenaran data dan penjelasan yang mampu dipertanggungjawabkan secara prosesil, maka yang tepat untuk dijadikan rujukan adalah Hakim yang ditunjuk sebagai Mediator itu sendiri dari para pihak yang pernah menjalani proses mediasi dan Hakim
Pengadilan
Agama
Depok
yang
mampu
mengkaji,
mengetahui, serta memeriksa sekaligus memutus jalannya proses mediasi.
15
4.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan: a.
Studi Kepustakaan Studi Kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan mencari konsepsi-konsepsi,
teori-teori,
pendapat,
atau
penemuan
yang
berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaaan berupa peraturan perundangan, karya ilmiah para sarjana, laporan lembaga, dan lain-lain sumber.10 b.
Wawancara (Interview) Wawancara atau interview merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara langsung. Dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak berfungsi sebagai pencari informasi atau interviewer sedangkan pihak lain berfungsi sebagai pemberi informasi atau informan (responden).11 Wawancara dilakukan penulis dengan Hakim yang ditunjuk sebagai Mediator di Pengadilan Agama Depok yang mampu mengkaji,
10
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum (Surakarta: UMS Press, 2004), h. 47. 11
Soemitro Romy H, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h. 71.
16
mengetahui, serta memeriksa sekaligus memutus jalannya proses mediasi. 5.
Metode Analisis Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis serta lisan dan juga perilaku yang nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.12
F. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan terdiri dari 5 (lima) bab yang terdiri dari sub-sub yang dirinci sebagai berikut: Bab Pertama, merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab Kedua, membahas tentang mediasi dalam konsep dan penerapannya yang meliputi pengertian mediasi, asas-asas umum dalam proses mediasi, keuntungan menggunakan mediasi, peran dan fungsi mediator, proses mediasi, dan mediasi dalam Islam. Bab Ketiga, memaparkan teori efektivitas hukum sebagai alat uji proses mediasi di pengadilan agama. Penulis menjelaskan pengertian efektivitas dan 12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1984), h. 13.
17
selanjutnya
dilakukan
pembahasan
bekerjanya
hukum
di
masyarakat.
Selanjutnya, disajikan Teori Efektivitas Hukum Soerjono Soekanto yang dijadikan dasar pengujian penelitian ini. Bab Keempat, berisi analisa efektivitas mediasi yang berisikan tentang profil Pengadilan Agama Depok, laporan pemberdayaan lembaga perdamaian, faktor-faktor pendukung dan penghambat keberhasilan mediasi, dan di akhir penulis sajikan analisa efektivitas mediasi di Pengadilan Agama Depok berdasarkan landasan teori efektivitas, yakni tinjauan yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008, kualifikasi mediator, fasilitas dan sarana, kepatuhan masyarakat, kebudayaan. Bab Kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
18
BAB II MEDIASI: KONSEP DAN PENERAPANNYA
A. Pengertian Mediasi Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.13 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat.14 Dalam Black‟s Law Dictionary, pengertian mediasi adalah:15 “A method of nonbinding dispute resolution involving a neutral third party who tries to help the disputing parties reach a mutually agreeable solution.” 13
Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, cet.I, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 1-2. 14
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, cet.II, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 726. 15
Bryan A. Garner. Ed, Black‟s Law Dictionary, 8th ed, (USA: West, 2004), h. 1003.
19
Pengertian mediasi dalam Kamus Hukum Indonesia adalah berasal dari bahasa Inggris mediation yang berarti proses penyelesaian sengketa secara damai yang melibatkan bantuan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa.16 Kamus Hukum Ekonomi ELIPS sebagaimana dikutip oleh Runtung, memberikan batasan bahwa mediation, mediasi: salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan menggunakan jasa seorang mediator atau penengah.17 Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan dimana seseorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk berkomunikasi antarpara pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.18
16
B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, cet.I, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), h .168.
17
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat FH-Universitas Sumatera Utara. Medan: USU, 2006. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2006/ppgb_2006_runtung.pdf, h. 8. 18
John W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi (Jakarta: Proyek ELIPS, 1997), h. 42.
20
Pengertian mediasi yang lain menurut Cristopher W. Moore sebagaimana dikutip oleh Gatot Soemartono adalah: 19 The intervention in a negotiation or a conflict of an acceptable third party who has limited or no authoritative decision-making power but who assists the involved parties in voluntarily reaching a mutually acceptable settlement of issues in dispute. Definisi tersebut menegaskan hubungan antara mediasi dan negosiasi, yaitu mediasi adalah sebuah intervensi terhadap proses negosiasi yang dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga memiliki kewenangan terbatas (limited) atau sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, yang membantu para pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian sengketa yang diterima kedua belah pihak. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan pengertian mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.20
19
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, cet.I, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 121. 20
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
21
Untuk mengerti secara komprehensif mengenai mediasi, menurut Siddiki perlu dipahami tentang 3 (tiga) aspek dari mediasi sebagai berikut:21 1. Aspek Urgensi/Motivasi Urgensi dan motivasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang berperkara menjadi damai dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses pengadilan. Apabila ada hal-hal yang mengganjal yang selama ini menjadi masalah, maka harus diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah mufakat. Tujuan utama mediasi adalah untuk mencapai perdamaian antara pihakpihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bertikai atau berperkara biasanya sangat sulit untuk mencapai kata sepakat apabila bertemu dengan sendirinya. Titik temu yang selama ini beku mengenai hal-hal yang dipertikaikan itu biasanya bisa menjadi cair apabila ada yang mempertemukan. Maka mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-pihak yang berperkara dengan difasilitasi oleh seorang atau lebih mediator untuk menfilter persoalan-persoalan agar menjadi jernih dan pihak-pihak yang bertikai mendapatkan kesadaran akan pentingnya perdamaian antara mereka. 2. Aspek Prinsip Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Apabila tidak 21
Siddiki, Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan. Artikel di akses pada tanggal 06 November 2010 dari http://www.badilag.net/artikel/mediasi.pdf
22
menempuh prosedur mediasi menurut PERMA ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg. yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk ke pengadilan tingkat pertama tidak mungkin melewatkan acara mediasi. Karena apabila hal ini terjadi resikonya akan fatal. 3. Aspek Substansi Yaitu bahwa mediasi merupakan suatu rangkaian proses yang harus dilalui untuk setiap perkara perdata yang masuk ke Pengadilan. Substansi mediasi adalah proses yang harus dijalani secara sunggguh-sungguh untuk mencapai perdamaian. Karena itu diberikan waktu tersendiri untuk melaksanakan mediasi sebelum perkaranya diperiksa. Mediasi bukan hanya sekadar untuk memenuhi syarat legalitas formal, tetapi merupakan upaya yang sungguhsungguh yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mencapai perdamaian. Mediasi adalah merupakan upaya pihak-pihak yang perperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri. Bukan kepentingan Pengadilan atau hakim, juga bukan kepentingan mediator. Sehingga dengan demikiaan segala biaya yang timbul karena proses mediasi ini ditanggung oleh pihak-pihak yang berperkara. Dalam kamus istilah hukum terdapat pengertian mediasi yang berbeda, begitu pula para ahli hukum memberikan pengertian yang berbeda-beda. Untuk memudahkan dalam memahami pengertian mediasi, penulis berpendapat bahwa
23
untuk kemudahan dalam memahami mediasi dapat dilakukan dengan mengetahui unsur-unsur yang terdapat dalam mediasi sebagai berikut: 1.
Metode alternatif penyelesaian sengketa;
2.
Bersifat non litigasi;
3.
Menggunakan jasa mediator; dan
4.
Kesepakatan sesuai keinginan para pihak.
B. Asas-asas Umum Dalam Proses Mediasi Mediasi merupakan proses penyelesaian non ligitasi atau setidak-tidaknya proses yang terpisah dari proses litigasi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 Ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, bahwa pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan jika mediasinya gagal, kemudian dalam Pasal 19 Ayat (2) disebutkan bahwa semua catatan mediator wajib dimusnahkan. Bila kita telaah lebih lanjut kalimat “keterpisahan mediasi dari litigasi” akan terlihat agak ganjil, karena sejatinya ketika gugatan didaftarkan dan dicatat dalam register pengadilan, berarti sejak saat itu para pihak sudah mulai tunduk dengan aturan dalam proses hukum acara perdata. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mengatur mediasi dalam proses perkara, walaupun belum masuk substansi persidangan yang sebenarnya karena gugatan belum dibacakan. Namun sesungguhnya perkara tersebut sudah ada dalam kewenangan pengadilan. Maka
24
menurut D.Y. Witanto22, bahwasanya PERMA hendak memberikan pengertian bahwa meskipun mediasi dilaksanakan dalam proses berperkara, namun sifat dan substansi penyelesainnya berada di luar kewenangan Majelis Hakim yang menyidangkan perkaranya. Oleh karena PERMA menyebutkan bahwa mediasi merupakan proses yang berada di luar litigasi, maka menurut D.Y. Witanto, proses mediasi memiliki ciri dan prinsip yang berbeda dengan prinsip persidangan pada umumnya yang mana perbedaan tersebut antara lain: 1. Proses mediasi bersifat informal. Mediator sebagai fasilitator akan menggunakan pendekatan non legal dalam menyelesaikan perkara, sehingga tidak kaku dan rigid. Bagi mediator non hakim, pertemuan dapat dilakukan di luar pengadilan seperti hotel, restoran, dan sebagainya, sehingga suasana yang nyaman relatif lebih baik agar tercipta perdamaian bagi kedua belah pihak. Dalam mediasi di pengadilan tetap mengikuti aturan hukum acara sebagai panduan proses, namun tingkat formalitasnya tidak seformal persidangan di pengadilan. Maka proses mediasi di pengadilan bersifat semi informal. 2. Waktu yang dibutuhkan relatif singkat. Dalam Pasal 13 Ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa proses mediasi berlangsung paling
22
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi: Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, cet.I, ( Bandung: Alfabeta, 2010), h. 31.
25
lama 40 (empat puluh) hari dan dalam Pasal 13 Ayat (4) dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari. Waktu tersebut tidaklah mutlak, bila kesepakatan tercapai kurang dari 40 (empat puluh) hari, mediator dapat langsung mengajukan kesepakatan damai kehadapan hakim yang memeriksa perkara untuk dibuat akta perdamaian. Akan tetapi bila mediasi di pengadilan tingkat pertama gagal, dapat dilakukan kembali pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali. 3. Penyelesaian didasarkan atas kesepakatan para pihak. Mediator hanya sebagai
fasilitator
agar
tercapai
sebuah
kesepakatan
yang
dapat
menguntungkan kedua belah pihak. 4. Biaya ringan dan murah. Bila para pihak menggunakan jasa mediator non hakim, biaya mediasi tergantung kebutuhan selama berlangsungnya proses mediasi. Namun bila menggunakan jasa mediator hakim, biaya akan jauh lebih murah, yakni hanya dikenakan biaya pemanggilan bila ada pihak yang tidak hadir sesuai perjanjian. Sedangkan untuk jasa mediator dari kalangan hakim dan penggunaan ruang mediasi di pengadilan tidak dipungut biaya apapun. 5. Prosesnya tertutup dan bersifat rahasia. Dalam Pasal 6 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain.
26
6. Kesepakatan damai bersifat mengakhiri perkara. Artinya bila para pihak menghendaki kesepakatan damai, gugatan perkara harus dicabut, sehingga perkara dinyatakan selesai. 7. Proses mediasi dapat mengesampingkan pembuktian. Para pihak tidak perlu saling berdebat dengan alasan bukti-bukti, namun yang diupayakan adalah mempertemukan titik temu dari permasalahan. 8. Proses mediasi menggunakan pendekatan komunikasi. Dilakukan pendekatan dialog dengan pola komunikasi interaktif saling menghormati dan menghargai. 9. Hasil mediasi bersifat win-win solution. Tidak ada istilah menang kalah. Semua pihak harus menerima kesepakatan yang mereka buat bersama-sama. 10. Akta perdamaian bersifat final dan binding. Berkekuatan hukum tetap (BHT) dan dapat dieksekusi.
C. Keuntungan Memilih Proses Mediasi Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa pastinya memberikan keuntungan bagi para pihak yang ingin menyelesaikan perkaranya. Sehingga sangat tepat bila dijadikan pilihan dibandingkan dengan mengikuti persidangan di pengadilan. Menurut Achmad Ali, keuntungan menggunakan mediasi adalah:23
23
Achmad Ali, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, cet.I, (Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2004), h. 24-25.
27
1. Proses yang cepat: persengketaan yang paling banyak ditangani oleh pusatpusat mediasi publik dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya berlangsung dua hingga tiga minggu. Rata-rata waktu yang digunakan untuk setiap pemeriksaan adalah satu hingga satu setengah jam. 2. Bersifat rahasia: segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi bersifat rahasia di mana tidak dihadiri oleh publik dan juga tidak ada pers yang meliput. 3. Tidak mahal: sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan kualitas pelayanan secara gratis atau paling tidak dengan biaya yang sangat murah: para pengacara tidak dibutuhkan dalam suatu proses mediasi. 4. Adil: solusi bagi suatu persengketaan dapat disesuaikan dengan kebutuhankebutuhan masing-masing pihak: preseden-preseden hukum tidak akan diterapkan dalam kasus-kasus yang diperiksa oleh mediasi. 5. Berhasil baik: pada empat dari lima kasus yang telah mencapai tahap mediasi, kedua pihak yang bersengketa mencapai suatu hasil yang diinginkan. Mediasi memberikan banyak keuntungan karena memiliki metode yang berbeda dari litigasi di pengadilan. Menurut Gatot Soemartono, mediasi dapat memberikan beberapa keuntungan penyelesaian sebagai berikut:24
24
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia …, h. 139-140.
28
a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif murah dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau arbitrase. b. Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan hanya pada hak-hak hukumnya. c. Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka. d. Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya. e. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui konsensus. f. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya. g. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbitrer pada arbitrase.
29
Pendapat lain yang dikemukakan Christopher W. Moore (1995) tentang beberapa keuntungan yang seringkali didapatkan dari hasil mediasi sebagaimana dikutip oleh Runtung, yaitu:25 1.
Keputusan yang hemat, mediasi biasanya memakan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan litigasi;
2.
Penyelesaian secara cepat;
3.
Hasil yang memuaskan bagi semua pihak;
4.
Kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan “customized”;
5.
Praktik dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif;
6.
Tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga;
7.
Pemberdayaan individu;
8.
Melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan dengan cara yang lebih ramah;
9.
Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan;
10. Kesepakatan yang lebih baik dari pada hanya menerima hasil kompromi atau prosedur menang-kalah; 11. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.
25
…, h. 9-10.
Runtung. Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia
30
D. Peran dan Fungsi Mediator Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008, mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Pengertian mediator dalam Black‟s Law Dictionary adalah:26 A neutral person who tries to help disputing parties reach an agreement. Mediator artinya perantara (penghubung, penengah).27 Dalam Kamus Hukum Indonesia, kata mediator berasal dari bahasa latin mediator yang berarti penengah; pihak ketiga sebagai pemisah atau juru damai antara pihak-pihak yang bersengketa.28 Mediator dalam Kamus Ekonomi ELIPS artinya penengah, yakni seseorang yang menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya.29 Mediator harus memenuhi persyaratan-persyaratan agar proses mediasi yang dilakukan dapat berhasil. Persyaratan bagi seorang mediator dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi internal dan sisi eksternal. Sisi internal berupa
…,h. 8.
26
Bryan A. Garner. Ed, Black‟s Law Dictionary …, h. 1003.
27
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia …, h. 726.
28
B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia…, h. 168.
29
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia
31
kemampuan personal dalam menjalankan tugasnya antara lain: kemampuan membangun kepercayaan para pihak, kemampuan menunjukkan sikap empati, tidak menghakimi dan memberikan reaksi positif terhadap sejumlah pernyataan yang disampaikan para pihak dalam proses mediasi, walaupun ia sendiri tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Sisi eksternal berupa persyaratan lain yang berkaitan dengan para pihak dan permasalahan yang dipersengketakan oleh mereka. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut: 30
30
Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional …, h. 60-65.
32
1. Keberadaan mediator disetujui oleh kedua belah pihak; 2. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa; 3. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa; 4. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak; dan 5. Tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya. Mediator memiliki peran yang sangat penting agar tercapai kesepakatan damai diantara pihak-pihak yang bersengketa. Gery Goodpaster sebagaimana dikutip oleh D.Y. Witanto, menyebutkan bahwa mediator memiliki beberapa peran penting antara lain:31 1. Melakukan diagnosa konflik; 2. Mengidentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis; 3. Menyusun agenda; 4. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi; 5. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar menawar; 6. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting; 7. Penyelesaian masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan; dan 8. Diagnosis sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem.
31
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi …, h.102.
33
Dapat kita pahami bahwa seorang mediator memiliki peran yang sangat penting bagi tercapainya kesepakatan damai diantara para pihak. Selain peran tersebut diatas, menurut Fuller, mediator juga memiliki beberapa fungsi antara lain:32 1. Sebagai katalisator, yakni menciptakan keadaan dan suasana baru dari sebuah pertentangan ke arah kondisi kooperatif dalam forum kebersamaan. 2. Sebagai pendidik, yakni mampu memberikan arahan dan nasihat untuk menemukan solusi terbaik bagi semua pihak. 3. Sebagai penerjemah, yakni menerjemahkan konsep masing-masing pihak dan hal-hal yang ingin dilakukan dan ditawarkan satu sama lain. 4. Sebagai narasumber, yakni mampu mendayagunakan atau melipatgandakan kemanfaatan sumber-sumber informasi yang tersedia. 5. Sebagai penyandang berita jelek, yakni menetralisir konflik dari berbagai informasi yang bersifat negatif, memancing emosi, dan memperkeruh suasana. 6. Sebagai agen realitas, yakni menampung segala informasi baik berupa keluhan, tuduhan maupun pengakuan dan menyalurkan informasi tersebut kepada pihak lawan dengan bahasa yang tidak provokatif. 7. Sebagai kambing hitam, yakni siap menerima penolakan dan ketidakpuasan para pihak terhadap solusi yang ditawarkan kepada para pihak. 32
Buku Tanya dan Jawab Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan (Mahkamah Agung RI, Japan International Cooperation Agency (JICA), dan Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), 2008), h. 16.
34
E. Proses Mediasi Berhasil atau tidaknya mediasi tergantung dari proses yang dijalankan. Bila proses baik, tercapailah kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Namun sebaliknya, proses yang tidak baik akan menjadikan mediasi gagal. Berikut tahapan-tahapan dalam proses mediasi yang diatur oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008: 1. Tahapan Pra Mediasi. Penggugat mendaftarkan gugatannya di Kepaniteraan Pengadilan. Kemudian ketua pengadilan akan menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa perkaranya. Kewajiban melakukan mediasi timbul jika pada hari persidangan pertama para pihak hadir. Majelis Hakim menyampaikan kepada penggugat dan tergugat prosedur mediasi yang wajib mereka jalankan. Setelah menjelaskan prosedur mediasi, Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memilih mediator dalam daftar mediator yang terpampang di ruang tunggu kantor pengadilan. Para pihak boleh memilih mediator sendiri dengan syarat mediator tersebut telah memiliki sertifikat mediator. Bila dalam waktu 2 (dua) hari para pihak tidak dapat menentukan mediator, Majelis Hakim akan menunjuk hakim pengadilan di luar Hakim Pemeriksa Perkara yang bersertifikat. Namun jika tidak ada hakim yang bersertifikat, salah satu anggota Hakim Pemeriksa Perkara yang ditunjuk oleh Ketua Majelis wajib menjalankan fungsi mediator.
35
Hakim Pemeriksa Perkara memberikan waktu selama 40 (empat puluh) hari kerja kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi. Jika diperlukan waktu mediasi dapat diperpanjang untuk waktu 14 (empat belas) hari kerja (Pasal 13 Ayat [3] dan [4]). 2. Pembentukan Forum. Dalam waktu 5 (lima) hari setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati atau setelah para pihak gagal memilih mediator, para pihak dapat menyerahkan resume perkara33 kepada mediator yang ditunjuk oleh Majelis Hakim. Dalam forum dilakukan pertemuan bersama untuk berdialog. Mediator dapat meminta agar pertemuan dihadiri langsung oleh pihak yang bersengketa dan tidak diwakili oleh kuasa hukum. Di forum tersebut, mediator menampung aspirasi, membimbing serta menciptakan hubungan dan kepercayaan para pihak. 3. Pendalaman Masalah. Cara mediator mendalami permasalahan adalah dengan cara kaukus34, mengolah data dan mengembangkan informasi, melakukan eksplorasi kepentingan para pihak, memberikan penilaian terhadap kepentingan33
Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap pihak yang memuat duduk perkara dan atau usulan penyelesaian sengketa. Lihat pasal 1 angka 10 PERMA Nomor 1 Tahun 2008. 34
Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya. Lihat Pasal 1 angka 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Kaukus dilakukan agar para pihak dapat memberikan informasi kepada mediator lebih luas dan rinci yang mungkin tidak disampaikan disaat bertemu dengan pihak lawan.
36
kepentingan yang telah diinventarisir, dan akhirnya menggiring para pihak pada proses tawar menawar penyelesaian masalah. 4. Penyelesaian Akhir dan Penentuan Hasil Kesepakatan. Pada tahap penyelesaian akhir, para pihak akan menyampaikan kehendaknya berdasarkan kepentingan mereka dalam bentuk butir-butir kesepakatan. Mediator akan menampung kehendak para pihak dalam catatan dan menuangkannya ke dalam dokumen kesepakatan. Dalam Pasal 23 Ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan syarat-syarat
yang harus
dipenuhi dalam kesepakatan perdamaian adalah sebagai berikut: a. sesuai kehendak para pihak; b. tidak bertentangan dengan hukum; c. tidak merugikan pihak ketiga; d. dapat dieksekusi; dan e. dengan iktikad baik. Bila terdapat kesepakatan yang melanggar syarat-syarat tersebut diatas, mediator wajib mengingatkan para pihak. Namun bila mereka bersikeras, mediator berwenang untuk menyatakan bahwa proses mediasinya gagal dan melaporkan kepada Hakim Pemeriksa Perkara. Jika tercapai kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Dokumen kesepakatan damai
37
akan dibawa kehadapan Hakim Pemeriksa Perkara untuk dapat dikukuhkan menjadi akta perdamaian. 5. Kesepakatan di Luar Pengadilan. Dalam Pasal 23 Ayat (1) PERMA disebutkan bahwa para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan. Maksud dari pengajuan gugatan ini adalah agar sengketa para pihak masuk dalam kewenangan pengadilan melalui pendaftaran pada register perkara di Kepaniteraan Perdata. Ketua Pengadilan selanjutnya dapat menunjuk Majelis Hakim yang akan mengukuhkan perdamaian tersebut dalam persidangan yang terbuka untuk umum (kecuali perkara yang bersifat tertutup untuk umum seperti perceraian). 6. Keterlibatan Ahli dalam Proses Mediasi. Pasal 16 Ayat (1) PERMA Nomor 1 tahun 2008 menyebutkan bahwa atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak. Biaya untuk mendatangkan seorang ahli ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Namun PERMA tidak menjelaskan siapa yang
38
dapat dikategorikan sebagai ahli, sehingga penentuan siapa yang akan dijadikan ahli dalam proses mediasi sesuai dengan rekomendasi mediator dan kesepakatan para pihak. 7. Berakhirnya Mediasi. Proses mediasi dinyatakan berakhir dengan 2 (dua) bentuk. Pertama, mediasi berhasil dengan menghasilkan butir-butir kesepakatan di antara para pihak, proses perdamaian tersebut akan ditindaklanjuti dengan pengukuhan kesepakatan damai menjadi akta perdamaian yang mengandung kekuatan seperti layaknya Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, proses mediasi menemukan jalan buntu dan berakhir dengan kegagalan. Proses mediasi di pengadilan yang gagal akan dilanjutkan di sidang pengadilan. 8. Mediasi Pada Tahap Upaya Hukum. Para pihak atas dasar kesepakatan bersama, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. Demikian tahapan-tahapan mediasi yang telah diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Secara singkat tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat secara sistematis dalam tabel sebagai berikut:
39
Tabel 2 URUTAN PROSES MEDIASI -
Pendaftaran Gugatan di Kepaniteraan Perdata Negeri/Agama
-
Pembayaran Panjar Biaya Perkara dan Penandatanganan Surat Kuasa untuk Membayar (SKUM)
-
Penunjukan Majelis Hakim Pemeriksa Perkara oleh Ketua Pengadilan Negeri/Agama
-
Majelis Hakim Pemeriksa Perkara menentukan hari sidang dengan penetapan
-
Juru Sita Pengadilan melakukan pemanggilan kepada para pihak (Penggugat, Tergugat, dan Turut Tergugat)
-
Para Pihak hadir
-
Para Pihak tidak hadir
-
Penyampaian proses mediasi oleh Ketua majelis Hakim
-
Dilakukan pemanggilan ulang
-
Putusan Verstek/
-
Putusan Gugur
-
Pemilihan Mediator
-
Penundaan sidang
-
Mediator mengadakan pertemuan awal
-
Perkenalan dan penyampaian informasi tentang prosedur mediasi
-
Menyusun jadwal pertemuan
40
-
Penyampaian dan pertukaran resume
-
Melakukan dialog tentang kemungkinan beberapa penawaran
-
Negoisasi
-
Meminta keterangan ahli
-
Perumusan butir-butir kesepakatan
-
Penjelasan-penjelasan
-
Analisis dan koreksi
-
Penandatanganan dokumen kesepakatan damai
-
Penyampaian Dokumen Kesepakatan Damai kehadapan Majelis hakim Pemeriksa Perkara
-
Pengukuhan menjadi Akta Perdamaian
Eksekusi
-
Kaukus
-
Penyampaian usulan/penawaran lain
Proses mediasi gagal
Proses persidangan dilanjutkan
-
Kesepakatan perdamaian tidak dikukuhkan menjadi akta perdamaian
-
Perkara dicabut
41
F. Mediasi Dalam Islam Istilah mediasi dalam Islam dikenal dengan al-Sulh. Secara bahasa artinya qath al-niza‟ yakni menyelesaikan pertengkaran. Pengertian dari al-Sulh sendiri adalah:35
ِعح َ َضعَ نِرَ ْفعِ انًَُُاز ِ ُعمْذٌ و َ Akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak. Sedangkan Hanabilah memberikan definisi al-Sulh sebagai berikut:36
ٍٍَِْيُعَالَذَجٌ ٌَرَىَّصَمُ تِهَا إِنىَ انِإّصْالَحِ تٍٍََْ انًُخْ َر ِهف Kesepakatan yang dilakukan untuk perdamaian antara dua pihak yang bersengketa.
Praktik al-Sulh sudah dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW. dengan berbagai bentuk. Untuk mendamaikan suami istri yang sedang bertengkar, antara kaum muslim dengan kaum kafir, dan antara satu pihak dengan pihak lain yang sedang berselisih. Al-Sulh menjadi metode untuk mendamaikan dengan kerelaan masing-masing pihak yang berselisih tanpa dilakukan proses peradilan ke hadapan hakim. Tujuan utamanya adalah agar pihak-pihak yang berselisih dapat menemukan kepuasan atas jalan keluar akan konflik yang terjadi. Karena asasnya adalah kerelaan semua pihak.
35
Muhammad Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 177. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 (Kairo: Dar al-Fath, 1990), h. 201 dan Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Juz 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 168. 36
Ibnu Qudamah, al-Mughni Juz 5, cet.I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), h. 3.
42
Dalam perkara perceraian, al-Quran menjelaskan tentang al-Sulh dalam surat al-Nisa ayat 128 sebagai berikut:
صهِحَا ْ ٌُ ٌَْعهٍَْ ِهًَا أ َ َوَإٌِِ ايْرَأَجٌ خَا َفدْ يٍِْ تَ ْعهِهَا َُشُىزًا أَوْ إِعْرَاضًا َفهَا جَُُاح ٌَِشحَ وَإٌِْ ذُحْسُُِىا وَذَ َرمُىا َفإ ُ ص ْهحُ خٍَْرٌ وَأُحْضِ َرخِ ا ْنأَ َْفُسُ ان ُ ّصهْحًا وَان ُ تٍََُْ ُهًَا .انَههَ كَاٌَ ِتًَا ذَ ْع ًَهُىٌَ خَثٍِرًا Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengusahakan perdamaian yang sebenarbenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini diturunkan berkaitan dengan kisah Saudah binti Zam‟ah, isteri Rasulullah SAW disaat ia mencapai usia lanjut, Rasulullah SAW hendak menceraikannya. Lalu Saudah memberikan jatah harinya kepada Aisyah sebagai tawaran asalkan ia tidak diceraikan. Rasulullah SAW menerima hal tersebut dan mengurungkan niatnya untuk menceraikannya.37 Tafsir ayat ini juga ada dalam kitab Shahih al-Bukhari. Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan wanita yang takut akan nusyuz atau sikap acuh tak acuh dari suaminya adalah wanita yang suaminya tidak lagi ada keinginan terhadapnya, yaitu hendak menceraikannya dan ingin menikah dengan wanita lain. Lalu si wanita (isterinya) berkata kepada suaminya: “Pertahankanlah diriku dan jangan engkau ceraikan. Silakan engkau menikah lagi dengan wanita lain,
37
Abu al-Fida Isma‟il bin „Umar bin Katsir al-Qurasy al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al„Azhim, Juz 2, cet.II, (Riyad: Dar Thayibah, 1999), h. 426.
43
engkau terbebas dari nafkah dan kebutuhan untukku.” Maka firman Allah dalam ayat tersebut: Maka tidak mengapa bagi keduanya mengusahakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).38 Dari sebab turunnya ayat ini, penulis berpendapat bahwa Saudah saat itu melakukan upaya perdamaian ketika akan terjadi perceraian. Ia berupaya mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan merelakan jatah harinya diberikan kepada Aisyah, isteri Rasulullah SAW yang paling muda. Dalam hal ini, memang tidak ada pihak ketiga sebagai mediator. Namun apa yang dilakukan Saudah adalah bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang kemudian ditegaskan dalam syari‟at Islam dengan turunnya surat al-Nisa ayat 128 tersebut. Demikian cara Saudah mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan cara memberikan jatah harinya untuk Aisyah. Pemberian jatah tersebut disebutkan pula dalam hadis riwayat Abu Dawud sebagai berikut:39
ٍ عًْرِو تٍِْ انسَرْحِ أَخْثَرَََا اتٍُْ َو ْهةٍ عٍَْ ٌُىَُسَ عٍَِ اتٍِْ شِهَا ب َ ٍُْحًَذُ ت ْ َحَ َذثََُا أ :ْسهَ َى لَا َند َ َعهَ ٍْهِ و َ ُّصهَى اهلل َ ِشحَ زَوْجَ انَُثِى َ ِأٌََ عُرْوَجَ تٍَْ انسُتٍَْرِ حَذَ َثهُ أٌََ عَائ ٍَُسفَرًا أَلْرَعَ تٍٍََْ َِسَا ِئهِ َفأٌََرُه َ َسهَىَ إِرَا أَرَاد َ َعهَ ٍْهِ و َ ُّصهَى اهلل َ ِكَاٌَ رَسُىلُ انَهه ٌََخَرَجَ سَ ْهًُهَا خَرَجَ تِهَا يَ َعهُ وَكَاٌَ ٌَمْسِىُ نِكُمِ ايْرَأَجٍ يُِْهٍَُ ٌَ ْىيَهَا َونَ ٍْهَرَهَا غٍَْرَ أ .َشح َ ِسَىْدَجَ تِ ُْدَ َزيْ َعحَ َوهَ َثدْ ٌَ ْىيَهَا نِعَائ Berkata Ahmad bin „Amr bin al-Sarh, berkata Ibnu Wahb dari Yunus dari Ibnu Syihab: Bahwasanya „Urwah bin Zubeir berkata kepadanya bahwa Aisyah berkata: Rasulullah SAW bila hendak melakukan perjalanan melakukan undian 38
Muhammad bin „Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari. Juz 3, cet.I, (Kairo: Dar al-Hadis, 2000), h. 647. Hadis No. 5206. 39
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Sijistani, Sunan Abu Dawud. Juz 2, (Beirut: Dar alKutub al-„Arabi, t.t.), h. 209. Hadis No. 2140.
44
diantara isteri-isterinya. Siapa yang namanya keluar dalam undian akan ikut bersamanya. Dan Rasulullah SAW membagi hari bagi tiap-tiap isterinya kecuali Saudah bin Zam‟ah memberikan jatah harinya untuk Aisyah.
Bentuk perdamaian antara suami isteri yang sedang berselisih terdapat dalam al-Quran surat al-Nisa ayat 35. Ayat ini lebih dekat dengan pengertian dan konsep mediasi yang ada dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
شمَاقَ تٍَُِْ ِهًَا فَاتْعَثُىا حَ َكًًا يٍِْ َأ ْه ِه ِه وَحَ َكًًا يٍِْ َأ ْههِهَا إٌِْ ٌُرٌِذَا ِ ْخفْرُى ِ ٌِْوَإ .عهًًٍِا خَثٍِرًا َ ٌَّصهَاحًا ٌُىَ ِفكِ انَههُ تٍََُْ ُهًَا إٌَِ انَههَ كَا ْ ِإ Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini menjelaskan bahwa jika ada syiqaq/persengketaan antara suami isteri, maka Hakim mengutus 2 (dua) orang hakam/juru damai. Kedua hakam tersebut bertugas untuk mempelajari sebab-sebab persengketaan dan mencari jalan keluar terbaik bagi mereka, apakah baik bagi mereka perdamaian atau pun mengakhiri perkawinan mereka. Syarat-syarat hakam adalah: 1. Berakal. 2. Baligh. 3. Adil. 4. Muslim.
45
Tidak disyaratkan hakam berasal dari pihak keluarga suami maupun isteri. Perintah dalam ayat 35 diatas bersifat anjuran.40 Bisa jadi hakam diluar pihak keluarga lebih mampu memahami persoalan dan mencari jalan keluar terbaik bagi persengketaan yang terjadi diantara suami isteri tersebut. Penulis berpendapat bahwa perintah mendamaikan dalam ayat ini tidak jauh berbeda dengan konsep dan praktik mediasi. Dimana hakim mengutus hakam yang memenuhi syarat-syarat seperti layaknya seorang mediator profesional. Seorang hakam juga berhak memberikan kesimpulan apakah perkawinan antara suami isteri layak dipertahankan atau bahkan lebih baik bubar. Tidak berbeda dengan tugas mediator yang melaporkan hasil mediasi dengan dua pilihan, berhasil atau gagal. Konsep Islam dalam menghadapi persengketaan antara suami isteri adalah menjaga keutuhan rumah tangga. Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, tidak mungkin dilewati tanpa adanya perbedaan sikap dan pendapat yang berakumulasi pada sebuah konflik. Oleh karena itu, Islam selalu memerintahkan kepada pemeluknya agar selalu berusaha menghindari konflik. Namun bila terjadi, perdamaian adalah jalan utama yang harus diambil selama tidak melanggar syariat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Ibnu Hibban sebagai berikut:41
40
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 …, h. 185. 41 Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Busti, Shahih Ibnu Hibban bi Tartibi Ibnu Bilban. Juz 11, cet.II, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), h. 488. Hadis No. 5091.
46
ِ ًْ حَذَثََُا عَثْذُ اهللِ تٍُْ عَثْذِ انرَح:َسًَرْلَُْذ لَال ٍ َ ِسًْسَارِ ت َ حًَذُ تٍُْ انفَ ْرحِ ان َ ُأَخْثَرَََا ي ٍسهَ ًٍَْاٌُ تٍُْ ِتهَال ُ حَذَثََُا:َحًَذِ انّطَاطَرِي لَال َ ُ حَذَثََُا يَرْوَاٌُ تٍُْ ي:َانذَا ِريًِ لَال ِ لَالَ رَسُىْلُ اهلل:َحَ َذثًَُِ كَثٍِْرُ تٍُْ زٌَْذٍ عٍَِ ان َىنٍِْذِ تٍُْ رَتَاحٍ عٍَْ أَتًِ هُرٌَْرَجَ لَال ّْصهْحًا أَحَمَ حَرَايًا أَو ُ س ِهًٍٍَِْ ِإنَا ْ ًُص ْهحُ جَائِسٌ تٍٍََْ ان ُ ان:َسهَى َ عهَ ٍْهِ َو َ ُّصهَى اهلل َ .حهَانًا َ َحَرَو Berkata Muhammad bin al-Fath al-Samsar di Samarkand berkata Abdullah bin Abd al-Rahman al-Darimi berkata Marwan bin Muhammad alThathari berkata Sulaiman bin Bilal berkata Katsir bin Zaid dari al-Walid bin Rabah dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Perdamaian itu baik antara kaum muslimin, kecuali perdamaian untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Penulis berkesimpulan bahwa perdamaian dalam sengketa yang berkaitan dengan hubungan keperdataan dalam Islam termasuk perkara perceraian adalah boleh, bahkan dianjurkan. Maka mediasi dalam perkara perceraian tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan keutuhan rumah tangga. Bahkan menjadikan upaya perdamaian sebagai alternatif penyelesaian sengketa suami isteri agar terhindar dari perceraian dengan tetap mengutamakan kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangga.
BAB III TEORI EFEKTIVITAS
A. Pengertian Efektivitas
47
Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa Inggris effective, dalam Kamus John M. Echols dan Hassan Shadily artinya adalah berhasil dan ditaati.42 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif artinya “dapat membawa hasil, berhasil guna” tentang usaha atau tindakan. Dapat berarti “sudah berlaku” tentang undang-undang atau peraturan.43 Sedangkan dalam Black‟s Law Dictionary, effective adalah bentuk adjective yang bila disandingkan dengan kata statue, order, contract, dst berarti in operation at given time. Bisa juga berarti performing within the range of normal and expected standards atau juga productive; achieving a result.44 Adapun secara terminologi para pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang yang diambil. Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Nurul Hakim berbicara mengenai derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa: “Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda
42
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet.XXIII, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h.207. 43
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 284.
44
Bryan A. Garner. Ed, Black‟s Law Dictionary …, h. 554.
48
bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”.45
B. Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat Dalam kehidupan masyarakat akan selalu terdapat hubungan atau interaksi sosial. Dalam hubungan tersebut, ada suatu aturan yang ditaati oleh masyarakat agar tercapai ketertiban, keserasian, dan ketentraman hidup. Aturanaturan yang berlaku bertugas mengatur hubungan dalam struktur masyarakat yang kompleks. Di dalam berbagai hal, hukum memiliki pengaruh yang langsung maupun tidak langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan. Artinya hukum memiliki peran dalam perubahan sosial dalam masyarakat. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, menurut Soerjono Soekanto dinamakan social engineering atau social planning.46 Dalam teori-teori hukum tentang berlakunya hukum sebagai kaidah biasanya dibedakan menjadi tiga macam hal. Hal berlakunya kaidah hukum biasanya disebut “gelding” (bahasa Belanda) “geltung” (bahasa Jerman). Tentang 45
Nurul Hakim, Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Hubungannya Dengan Lembaga Peradilan. Artikel diakses pada tanggal 10 Mei 2011 dari http://badilag.net/data/ARTIKEL/efektifitas.pdf 46
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, cet.V, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h.122.
49
hal berlakunya kaidah hukum Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa agar kaidah hukum atau sebuah peraturan berfungsi bahkan hidup dalam tatanan kehidupan masyarakat, maka kaidah hukum/peraturan tersebut harus memenuhi tiga unsur sebagai berikut: 47 1. Hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya, atau bila terbentuk menurut cara yang telah ditentukan/ditetapkan, atau apabila menunjukan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya. 2. Hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa (teori kekuasaan), atau diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). 3. Hukum tersebut berlaku secara filosofis; artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif tertinggi. Kalau ditelaah secara lebih mendalam, maka agar supaya berfungsi, maka suatu kaidah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut di atas. Mengapa demikian? Adapun sebabnya adalah antara lain: 1. Bila hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah mati (dode regel). 2. Kalau hanya berlaku secara sosiologis (dalam arti teori kekuasaan), maka kaidah tersebut menjadi aturan pemaksa (dwangmaatregel). 47
Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, cet.V, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989), h.56-57.
50
3. Apabila hanya berlaku secara filosofis, maka mungkin hukum tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum). Dari penjelasan di atas, kelihatan sedikit betapa rumitnya masalah, oleh karena biasanya seseorang hanya melihatnya dari satu sudut saja. Sebab, agar hukum atau peraturan (tertulis) benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan pada paling sedikit 4 (empat) faktor: 1. Hukum atau peraturan itu sendiri; 2. Petugas yang menegakkannya; 3. Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan hukum; dan 4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut. Satjipto Rahardjo menyatakan dengan tegas bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat tidak serta merta dan terjadi begitu saja. Hukum bukanlah hasil karya pabrik, yang begitu keluar langsung dapat bekerja, melainkan memerlukan beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan (hukum) tersebut dijalankan atau bekerja. Sekurang-kurangnya langkah yang harus dipenuhi untuk mengupayakan hukum atau aturan/ketentuan dapat bekerja dan berfungsi (secara efektif) adalah:48 1. Adanya pejabat/aparat penegak hukum sebagaimana ditentukan dalam peraturan hukum tersebut;
48
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2000), h.70.
51
2. Adanya orang (individu/masyarakat) yang melakukan perbuatan hukum, baik yang mematuhi atau melanggar hukum; 3. Orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan; 4. Orang-orang tersebut sebagai subjek maupun objek hukum bersedia untuk berbuat sesuai hukum. Dalam hal ini, Satjipto Rahardjo melihat bahwa dalam penegakan hukum dilihat sebagai proses yang melibatkan manusia di dalamnya. Maka dalam pengamatan terhadap kenyataan penegakan hukum, faktor manusia sangat terlibat dalam usaha menegakkan hukum tersebut. Penegakan hukum dilakukan oleh institusi yang berwenang untuk itu, seperti jaksa, polisi, dan pejabat pemerintahan. Sejak hukum itu mengandung perintah dan pemaksaan, maka sejak semula hukum membutuhkan bantuan untuk mewujudkan perintah tersebut.49
49
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, cet.II, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), h.192.
52
C. Teori Efektivitas Hukum Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum adalah bagaimana terjadinya sebuah keselarasan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah hukum dapat mengejawantah dalam jiwa masyarakat sehingga tercipta kedamaian, ketentraman, dan ketertiban. Wayne La Favre sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto menilai bahwa penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan diskresi50 yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.51 Gangguan terhadap penegakan hukum dapat saja terjadi. Hal ini terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku dalam masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata pelaksanaan undang-undang, walaupun dalam kenyataan di Indonesia cenderung demikian. Maka dapat terjadi gangguan kedamaian dalam pergaulan hidup bila pelaksanaan aturan dalam undang-undang ternyata malah menyulitkan masyarakat. Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor. 50
Diskresi berasal dari bahasa Inggris discreation yang berarti kewenangan berupa kebebasan bertindak pejabat negara, atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri, demi pelayanan publik yang bertanggung jawab. Lihat B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia …, h.56. 51
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h.7.
53
Faktor-faktor ini mempunyai arti netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:52 1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang). Maksud faktor hukumnya dalam poin pertama ini menurut Soerjono Soekanto dengan undang-undang dalam arti materil adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Masalah-masalah umumnya disini adalah, antara lain: 1. Apakah peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu cukup sistematis? 2. Apakah peraturan-peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu cukup sinkron; artinya: a. apakah secara hierarkis tidak ada pertentangan-pertentangan? b. apakah secara horizontal tidak ada pertentangan? 3. Apakah secara kuantitatif atau kualitatif peraturan bidang kehidupan tertentu sudah cukup atau belum? 4. Apakah penerbitan peraturan tersebut adalah sesuai dengan persyaratan yuridis? Hal tersebut di atas merupakan matra-matra untuk mengetahui apakah sebuah peraturan efektif atau tidak.
52
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum …, h.8.
54
2. Faktor penegak hukum. Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum. Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan penegak hukum penulis batasi pada kalangan yang secara langsung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law inforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Maka mereka ini adalah para pegawai hukum pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama Depok, baik pada strata atas, menengah, dan bawah diantaranya para hakim, panitera, jurusita, dan pegawai non-justisial lainnya. Adapun standarisasi efektivitas sebuah penegak hukum adalah: 1. Sampai seberapa jauh petugas terikat oleh peraturan yang ada? 2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan “kebijaksanaan”? 3. Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat umum? 4. Sampai seberapa jauh derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya? Hal tersebut di atas merupakan matra-matra untuk mengetahui apakah penegak hukum yang ada efektif atau tidak.
55
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan tercapai tujuannya. Adapun standarisasi efektivitas fasilitas penegakan hukum adalah: 1. Apakah sarana prasarana yang ada layak pakai? 2. Apakah yang ada dipelihara terus agar setiap saat berfungsi? 3. Apakah yang kurang perlu dilengkapi? 4. Apakah yang rusak perlu diperbaiki? 5. Apakah yang telah mundur ditingkatkan? Hal tersebut di atas merupakan matra-matra untuk mengetahui apakah fasilitas yang ada efektif atau tidak. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kepatuhan hukum masyarakat sangat dipengaruhi oleh ketiga faktor sebelumnya, yaitu hukum, penegak hukum, dan sarana atau fasilitas. Masyarakat kebanyakan biasanya tidak peduli dengan aturan hukum yang diberlakukan, namun mereka hanya ingin mendapatkan keadilan dan kepastian hukum terhadap perkara yang sedang mereka hadapi.
56
Begitu pula dalam hal proses mediasi, kedua belah pihak yang bersengketa akan memiliki harapan kepada penegak hukum yakni mediator agar sengketa di antara mereka dapat selesai dengan baik. Sehingga peran mediator sangat penting dalam perjalanan proses mediasi di antara kedua belah pihak. Kemampuan mediator tentang nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku di suatu masyarakat sangat penting untuk diketahui, agar mediator dapat mencari solusi atas sengketa dan bukan malah menambah keruh suasana akibat ketidaktahuannya akan nilai dan kaidah yang hidup di masyarakat. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat
sengaja
dibedakan,
karena
di
dalam
pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau material. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan),
maka
hukum
mencakup
struktur,
substansi,
dan
kebudayaan. Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang umpamanya mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajibannya, dan seterusnya.
Substansi
mencakup
isi
norma-norma
hukum
beserta
perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum
57
pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaaan ekstrim yang harus diserasikan. Hal itulah yang akan menjadi pokok pembicaraan di dalam bagian mengenai faktor kebudayaan ini. Dalam hal mediasi di pengadilan agama yang kita ketahui para pencari keadilan disana adalah umat Islam, nilai-nilai Islam menjadi sarat akan pedoman karena telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat muslim. Demikianlah 5 (lima) faktor keberhasilan mediasi yang dijadikan penulis sebagai alat ukur penelitian ini. Adapun teori efektifitas ini bersifat netral. Ia akan dikatakan efektif bila berhasil dijalankan dan dikatakan tidak efektif bila tidak dijalankan. Oleh karena itu, digunakan istilah positif bagi keefektifan dan negatif bagi ketidakefektifan. Demikian teori efektivitas hukum hasil pemikiran Soerjono Soekanto. Demi kemudahan pembaca, penulis menyajikan teori tersebut dalam sebuah tabel sebagai berikut:
58
Tabel 3 Teori Efektivitas Hukum
Kebudayaan
Masyarakat
Sarana atau Fasilitas
Penegak Hukum
Hukum (Undang-Undang)
Penegakan Hukum
Positif
Negatif
Efektif
Tidak Efektif
59
BAB IV ANALISA EFEKTIVITAS MEDIASI
A. Profil Pengadilan Agama Depok Pengadilan Agama Depok Kelas I B beralamat di Jalan Boulevard Sektor Anggrek Komplek Perkantoran Kota Kembang Grand Depok City Depok dan beroperasi pada alamat tersebut setelah diresmikannya gedung Pengadilan Agama Depok bersamaan dengan diresmikannya gedung Pengadilan Tinggi Agama Bandung pada tanggal 20 Februari tahun 2007 oleh Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, M.CL., di Jalan Soekarno Hatta 714 Bandung. Pengadilan Agama Depok dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002 yang peresmian operasionalnya dilakukan oleh Wali Kota Depok di Gedung Balai Kota Depok pada tanggal 25 Juni 2003 dan mulai menjalankan fungsi peradilan sejak tanggal 01 Juli 2003 di Jalan Bahagia Raya No. 11 Depok dengan menyewa rumah penduduk sebagai gedung operasionalnya. Daerah hukum Pengadilan Agama Depok adalah meliputi Pemerintahan Kota Depok sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 Pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa “Daerah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi wilayah Pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat”.
60
Pengadilan Agama Depok yang daerah hukumnya meliputi Wilayah Pemerintahan Kota Depok yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 64 Kelurahan dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dengan beban kerja rata-rata tiap bulan 162 perkara. Dalam melaksanakan tugasnya Pengadilan Agama Depok didukung dengan kekuatan pegawai sebanyak 38 orang dan secara formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Depok harus dipertanggung jawabkan dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung selaku atasan. Pengadilan Agama Depok sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari‟ah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan UndangUndang. Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana Pengadilan Agama Depok sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang dijabarkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu: Visi “Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib dan damai di bawah lindungan Allah SWT” dan Misi : “Menerima, memeriksa,
61
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari‟ah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan”. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Depok meliputi Wilayah Kota Depok. Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6o 19‟ 00” – 6o 28‟ 00” Lintang Selatan dan 106o 43‟ 00” – 106o 55‟ 30” Bujur Timur. Kota Depok berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan wilayah Jabodetabek. Bentang alam Kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50 – 140 meter diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Kota Depok sebagai wilayah termuda di Jawa Barat, mempunyai luas wilayah sekitar 200,29 km2. Kondisi geografisnya dialiri oleh sungai-sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Cisadane serta 13 sub Satuan Wilayah Aliran Sungai. Disamping itu terdapat pula 25 situ. Data luas situ pada tahun 2005 sebesar 169,68 Ha, dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar. Kondisi topografi berupa dataran rendah bergelombang dengan kemiringan lereng yang landai menyebabkan masalah banjir di beberapa wilayah, terutama kawasan cekungan antara beberapa sungai yang mengalir dari selatan menuju utara: Kali Angke, Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan dan Kali Cikeas.
62
Adapun struktur organisasi Pengadilan Agama Depok dalam tabel adalah sebagai berikut:* Tabel 4 KETUA Drs. Nia Nurhamidah R., M.H.
HAKIM
WAKIL KETUA
HAKIM
Drs. Agus Abdullah, M.H.
Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H.
Drs. Azid Izuddin, M.H.
Dra. Hj. Siti Nadirah
Dra. Taslimah, M.H.
Drs. H. A. Baidhowi, M.H.
Drs. Sarnoto, M.H.
Dra. Nurmiwati Dra. Hj. Fauziah, M.H.
Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H.
PANITERA SEKRETARIS
Drs. Andi Akram, S.H., M.H.
Drs. H. Asop Ridwan, M.H.
Asep Nursobah, S.Ag.
Hj. Suciati, S.H.
Drs. Bambang Hermanto, M.H.
Dra. Rogayah
Dra. Suifita Netty, S.H.
Umar Faruq, S.Ag., M.HI. E. Kurniawati Imron, S.Ag.
WAKIL PANITERA
WAKIL SEKRETARIS
Endang Ridwan, S.Ag.
Ita Sasmita, S.H.
PANITERA MUDA
PANITERA MUDA
PANITERA MUDA
KAUR
KAUR
KAUR
GUGATAN
PERMOHONAN
HUKUM
KEUANGAN
KEPEGAWAIAN
UMUM
M. Ali Afriddy, S.H.
Mumu, SH., M.H.
Drs. E. Arifuddin
Siti Aisah, S.H.
Indra Ari Setiawan, S.H.
Mataris, S.H.
JURUSITA PENGGANTI
PANITERA PENGGANTI Hj. Inti Khobijati
JURUSITA
Bahrun Kustiawan
Defrialdi, S.H.
Pepen, S.Ag.
Wiji Piningit
M. Thamrin, S.Ag.
Samsudin, S.Ag.
Novia Husein
Totih R. Amanah, S.H.
Hj. Siti Nurhayati, S.H.
Arifin, S.Ag., M.Ag.
Yulianti Widyaningsih, S.H.
*Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
63
B. Analisa Efektivitas Mediasi 1.
Tinjauan Yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Salah satu kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan pengawasan tidak langsung ialah membuat peraturan. Kekuasaan dan kewenangan itu ditegaskan pada angka 2 huruf c Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yang berbunyi:53 Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. Mengenai kategori PERMA ditinjau dari segi ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, termasuk salah satu jenis ketentuan peraturan perundang-undangan. Tentang hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:54 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi sebagai berikut: Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: 53
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. 54
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, cet.II. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.165-167.
64
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Demikian
hierarki
peraturan
perundang-undangan
an
sich
berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akan tetapi, apa yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut tidak bersifat final dan limitatif karena terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut. Selanjutnya Pasal 7 ayat (4), berbunyi sebagai berikut:55 Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, berbunyi sebagai berikut:
55
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
65
Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang.
Bertitik tolak dari Pasal 7 ayat (4) dan penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut, dengan tegas dinyatakan bahwa PERMA termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan. Bila dilihat konsideran PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dapat diketahui bahwa salah satu dasar diaturnya mediasi dalam PERMA adalah Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR) Staatsblad 1941 Nomor 44 dan Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg) Staatsblad 1927 Nomor 227. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:56 Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya akan menperdamaikan mereka itu. Selanjutnya ayat (2) mengatakan: Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu pada waktu bersidang, diperbuat sebuah akte, dengan nama kedua belah pihak diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang diperbuat itu; maka surat (akte) itu akan berkekuatan dan akan dilakukan sebagai putusan hakim yang biasa.
56
R. Tresna, Komentar HIR …, h. 110.
66
Yahya Harahap menjelaskan bahwa ketentuan peraturan perundangundangan tidak selamanya mampu memberi penyelesaian hukum yang timbul sebagai akibat perubahan sosial yang cepat (rapidly social change). Berikut penjelasannya:57 Pertama, peraturan perundang-undangan langsung konservatif. Sesaat setelah peraturan perundang-undangan diundangkan maka: ketentuan peraturan perundang-undangan itu langsung menjadi huruf atau kalimat mati, sedang pada sisi lain kebutuhan permasalahan sosial ekonomi kehidupan masyarakat berkembang terus tanpa henti, sehingga peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak sesuai lagi sebagai hukum yang hidup (living law) yang mampu menjembatani antara rumusan peraturan perundang-undangan dengan perubahan sosial ekonomi yang terjadi; Oleh karena itu, dalam menghadapi persoalan demikian, apabila kekuasaan penafsiran dianggap kurang efektif membina keseragaman opini hukum (unified legal opinion) dan keseragaman kerangka hukum (unified legal frame work) di antara putusan pengadilan, lebih tepat MA mengeluarkan peraturan.
57
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, …, h.167-169.
67
Kedua, tidak ada undang-undang yang sempurna. Kapan pun dan dimanapun tidak pernah manusia mampu membuat dan mencipta peraturan perundang-undangan yang sempurna. Ketiga, yang berwenang menentukan kebenaran dan keadilan adalah kekuasaan kehakiman melalui peradilan. Sesuai dengan kedudukan yang diberikan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kepada kekuasaan kehakiman untuk menyenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the law and justice), maka berdasarkan konstitusi yang berwenang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce truth and justice) yang terkandung dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah pengadilan melalui hakim. Oleh karena itu, sejak peraturan perundang-undangan diundangkan dan dinyatakan berlaku, yang berwenang menentukan benar tidaknya dan adil tidaknya peraturan perundang-undangan dalam penerapan, langsung berpindah ke pundak kekuasaan
kehakiman/badan
peradilan.
Sedang
pembuat
peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan berada di belakang sebagai penonton. Sehubungan dengan itu, apabila ternyata peraturan perundangundangan itu mengandung berbagai kekosongan maupun telah tertinggal dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, dianggap tepat apabila MA mengeluarkan peraturan yang bersifat komplementer (complementary). PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi para pihak
68
yang berperkara di pengadilan, karena bila tidak melaksanakan mediasi, maka putusan pengadilan menjadi batal demi hukum.58 Setiap pemeriksaan perkara perdata di pengadilan harus diupayakan perdamaian
dan
mediasi
sendiri
merupakan
kepanjangan
upaya
perdamaian.59 Mediasi akan menjembatani para pihak dalam menyelesaikan masalah yang buntu agar mencapai/memperoleh solusi terbaik bagi mereka.60 Berdasarkan teori efektivitas hukum yang penulis gunakan sebagai alat ukur penelitian ini, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan ada daya paksa bagi masyarakat. Oleh karenanya, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut: a. PERMA tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. b. Jenis peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut tidaklah bersifat final dan limitatif,
58
Wawancara dengan Sarnoto dan Fauziah, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011 dan Sulfita Netti, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 59
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 60
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
69
karena terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut. c. Landasan yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008 adalah peraturan perundang-undangan, sehingga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. PERMA merupakan pelengkap peraturan perundang-undangan yang telah ada. Sehingga bertujuan mengisi kekosongan hukum. d. Mahkamah
Agung
memiliki
kewenangan
membuat
peraturan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Oleh karena itu, penerbitan PERMA tidak bertenangan dengan hukum dan aturan perundang-undangan. 2.
Kualifikasi Mediator Mediator memiliki peran yang sangat penting akan keberhasilan mediasi. Oleh karena itu, mereka harus memiliki kemampuan yang baik agar proses mediasi dapat berjalan lancar dan sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
70
Pasal 9 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mengatur tentang daftar mediator sebagai berikut: (1) Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua Pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator dan disertai dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman para mediator.
Ketua Pengadilan yang menentukan daftar mediator. Dalam daftar tersebut tertulis latar belakang pendidikan masing-masing mediator, namun penulis mendapatkan daftar mediator di Pengadilan Agama Depok tidak tercantum pengalaman yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008. (2) Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki sertifikat dalam daftar mediator. (3) Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator. Hakim di Pengadilan Agama Depok yang telah memiliki sertifikat mediator hanya ada 2 (dua) orang, sehingga semua hakim disana ditempatkan dalam daftar mediator. (4) Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar ,mediator pada pengadilan yang bersangkutan. (5) Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator.
71
Jumlah hakim yang telah memiliki sertifikat mediator sangat sedikit namun kebutuhan akan mediator sangat mendesak, maka semua hakim ditetapkan menjadi mediator. Ketua Pengadilan yang menempatkan namanama hakim dalam daftar mediator. (6) Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar mediator. Daftar mediator setiap tahun dievaluasi dan diperbaharui oleh Ketua Pengadilan. Dalam buku laporan pemberdayaan lembaga perdamaian dapat diketahui jumlah mediasi yang berhasil dan gagal. Begitu pula, daftar mediator dapat berubah tiap tahun akibat mutasi hakim. Berikut daftar mediator di Pengadilan Agama Depok:
72
Tabel 5 DAFTAR MEDIATOR PADA PENGADILAN AGAMA DEPOK NAMA/NIP NO PENDIDIKAN TEMPAT TANGGAL LAHIR Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. S 1 IAIN Bandung 1 19630623.198903.1.004 S 2 UNTAG Jakarta Kadipaten, 23 Juni 1963 Dra. Hj. Fauziah, M.H. S 1 IAIN Sunan Ampel Surabaya 2 19671108.199303.2.001 S 2 UNTAG Jakarta Surabaya, 8 November 1967 Drs. Azid Izuddin, M.H. S 1 IAIN Jakarta 3 19620713.1993.1.003 S 2 UNTAG Jakarta Bogor, 13 Juli 1962 Dra. Taslimah, M.H. S 1 IAIN Jakarta 4 19680314.199303.2.005 S 2 UNTAG Jakarta Jakarta, 14 Maret 1968 Drs. Sarnoto, M.H. S 1 Univ Muhammadiyah Surakarta 5 19671225.199403.1.005 S 2 UMI Makassar Kulon Progo, 25 Desember 1967 Dra. Sulfita Netty, S.H. S 1 IAIN Imam Bonjol Padang 6 19580803.199403.2.001 S 2 UNIHAZ Simabur Tanah Datar, 3 Agustus 1958 Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. S 1 IAIN Jakarta 7 19680915.199403.2.004 S 1 Univ Muhammadiyah Sumatera Jakarta, 15 September 1968 Drs. Agus Abdullah, M.H. S 1 IAIN Jakarta 8 19690803.199403.1.003 S 2 UNTAG Jakarta Sukapura, 3 Agustus 1969 Dra. Hj. Siti Nadirah S 1 IAIN Makassar 9 19661119.199303.2.002 Ujung Pandang, 19 November 1966 Drs. H. A. Baidhowi, M.H. S 1 IAIN Jakarta 10 19560912.198511.1.001 S 2 UNTAG Jakarta Jakarta, 12 September 1956 Dra. Nurmiwati S 1 IAIN Yogyakarta 11 19671225.199303.2.002 Bone, 25 Desember 1967 Hj. Suciati, S.H. S 1 Universitas Jakarta 12 19570714.198003.2.005 Dra. Rogayah S 1 IAIN Bandung 13 19600924.199103.2.001 Drs. Bambang Hermanto, M.H. S 1 IAIN Jakarta 14 19590919.198903.1.001 S 2 Universitas Islam Jakarta Umar Faruq, S.Ag., M.HI. S 1 IAIN Yogyakarta 15 19700101.199703.1.007 S 2 UII Yogyakarta E. Kurniawati Imron, S.Ag. S 1 STAI Cirebon 16 19560726.198003.2.001 *Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
73
Dari 16 (enam belas) hakim yang ditetapkan sebagai mediator, hanya ada 2 (dua) orang yang telah memiliki sertifikat mediator, yakni Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H.dan Drs. Sarnoto, M.H. Para hakim mediator yang tidak memiliki sertifikat mediator dikarenakan belum mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI pada tahun 2009 yang lalu. Pelatihan mediator sangat terbatas jumlahnya, karena diselengarakan Mahkamah Agung RI secara nasional, sehingga pesertanya sangat terbatas.61 Idealnya Mahkamah Agung RI perlu memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama, agar: a) Para hakim mediator bisa bekerja maksimal sewaktu melakukan mediasi.62 Bila telah mendapatkan pelatihan, mereka telah memiliki kemampuan sesuai dengan fungsi dan peran mediator. b) Mediasi berjalan efektif.63 Mediator yang terlatih akan mampu mengorganisir proses mediasi dengan baik. c) Menambah keterampilan hakim dalam melakukan mediasi.64 Mereka akan memiliki teknik-teknik yang terprogram.65 Tugas mediator berbeda 61
Wawancara dengan Fauziah, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011 dan dengan E. Kurniati, Sulkha Herawati, Bambang Hermanto, dan Sulfita Netti, kesemuanya Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 62
Wawancara dengan Sulfita Netti, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 63
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
74
dengan hakim saat di persidangan. Bila di persidangan hakim sangat menjaga wibawa pengadilan, sedangkan saat menjadi mediator ia harus lebih luwes dan komunikatif, karena berfungsi sebagai penengah konflik antara para pihak. d) Lebih siap saat ditunjuk menjadi mediator.66 Kenyataannya seluruh hakim ditetapkan oleh Ketua Pengadilan menjadi mediator, dikarenakan jumlah hakim yang bersertifikat masih sangat sedikit. Dalam skripsi ini, penulis meneliti perolehan mediator selama bertugas menangani perkara dalam lembaga perdamaian tahun 2009 dan 2010 sebagai berikut:
64
Wawancara dengan Sarnoto dan Fauziah, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011. 65
Wawancara dengan E. Kurniati, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 66
Wawancara dengan Sulkha Herawati, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
75
Tabel 6 MEDIASI YANG DITANGANI NO
NAMA MEDIATOR
TAHUN 2009
PORSENTASE
TAHUN 2010
PORSENTASE
BERHASIL
GAGAL
BERHASIL
BERHASIL
GAGAL
BERHASIL
1
Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H.
0
0
0%
0
0
0%
2
Dra. Hj. Fauziah, M.H.
0
0
0%
0
10
0%
3
Drs. Azid Izuddin, M.H.
0
2
0%
0
3
0%
4
Dra. Taslimah, M.H.
2
5
28,5%
0
3
0%
5
Drs. Sarnoto, M.H.
8
49
14%
9
39
18,7%
6
Dra. Sulfita Netty, S.H.
0
0
0%
0
3
0%
7
Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H.
3
18
14,2%
0
16
0%
8
Drs. Agus Abdullah, M.H.
4
31
11,4%
1
28
3,4%
9
Dra. Hj. Siti Nadirah
3
43
6,5%
1
20
4,7%
10
Drs. H. A. Baidhowi, M.H.
10
35
22,2%
1
9
10%
11
Dra. Nurmiwati
1
15
6,2%
1
6
14,2%
12
Hj. Suciati, S.H.
0
0
0%
0
8
0%
13
Dra. Rogayah
0
0
0%
0
0
0%
14
Drs. Bambang Hermanto, M.H.
0
0
0%
0
2
0%
15
Umar Faruq, S.Ag., M.HI.
0
0
0%
0
9
0%
16
E. Kurniawati Imron, S.Ag.
0
0
0%
0
17
0%
Dari tabel 6 diatas, ada hal-hal yang perlu dikaji. Pertama, diketahui bahwa hakim yang memiliki sertifikat mediator hanya ada 2 (dua) orang yakni Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. dan Drs. Sarnoto, M.H., namun yang melaksankan fungsi mediator hanya Drs. Sarnoto, M.H. Sangat disayangkan hakim yang telah bersertifikat tidak melaksanakan fungsi mediator padahal telah ditetapkan oleh ketua pengadilan. Ini bertolak belakang dengan tujuan MA yang menyelenggarakan pelatihan mediator agar para hakim yang melaksanakan fungsi mediator memiliki SDM yang berkualitas.
76
Kedua, tidak ada pemerataan tugas sebagai mediator. Ada hakim yang telah ditetapkan sebagai mediator, namun tidak pernah melaksanakan fungsi tersebut. Ada pula hakim mediator yang menangani mediasi lebih banyak dari yang lainnya. Padahal selain yan telah bersertifikat, kemampuan mereka adalah sama. Ketiga, tahun 2009 diketahui angka porsentase keberhasilan mediator sangat kecil. Tidak ada yang mencapai 50%, bahkan 30% pun tidak. Begitu pula tahun 2010, angkanya menurun. Tidak ada yang mencapai 25%. Bahkan banyak yang tidak berhasil sama sekali selama menjalankan fungsi mediator. Keempat, ada angka kenaikan porsentase keberhasilan pada Drs. Sarnoto, M.H., sebagai satu-satunya hakim bersertifikat yang menjalankan fungsi mediator. Pada tahun 2009, porsentase mencapai 14% kemudian meningkat di tahun 2010 sebesar 18,7%. Kenaikan tersebut dapat dipengaruhi oleh kemampuannya setelah mengikuti pelatihan mediator di tahun 2009. Dalam tabel pula dapat diketahui bahwa angka mediasi yang dilakukan terbanyak diantara hakim lainnya. Namun angka keberhasilannya masih sangat kecil, belum mencapai 50%. Sehingga bila dibandingkan dengan mediator lain perbedaan tidak terlalu jauh. Penulis memberikan kesimpulan bahwasanya ada beberapa hal yang harus diperbaiki dalam hal kualifikasi mediator sebagai berikut:
77
a. Sumber Daya mediator harus diperbaiki dengan cara memberikan pelatihan kepada mereka. Mediasi adalah salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) yang berbeda dengan litigasi, sehingga para hakim yang ditetapkan menjadi mediator wajib mendapatkan pelatihan yang baik. Dalam hal ini Mahkamah Agung RI yang harus mengambil inisiatif agar pelatihan mediator dapat segera diberikan lebih banyak lagi. b. Pengadilan Agama Depok harus menyediakan mediator bersertifikat dari luar pengadilan. Hal ini karena jumlah hakim yang ditetapkan menjadi mediator yang bersertifikat hanya ada 2 (dua) orang. c. Pemberian insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. Sampai saat ini Mahkamah Agung RI belum menerbitkan PERMA tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang menjalankan fungsi mediator, padahal sudah diamanatkan dalam Pasal 25 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2008.67 d. Hakim yang melaksanakan fungsi mediator dan telah bersertifikat cenderung memiliki tingkat keberhasilan yang lebih bila dibandingkan dengan hakim yang melaksanakan fungsi mediator tidak memiliki sertifikat. Namun, angka keberhasilan tersebut tidak terlalu jauh. Hakim
67
Pasal tersebut berbunyi: (2) Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang.berhasil menjalankan fungsi mediator.
78
yang telah bersertifikat pun angka keberhasilannya sangat kecil, tidak mencapai 50%. e. Pelatihan mediator bagi para hakim yang menjalankan fungsi mediator bukan satu-satunya jalan keberhasilan mediasi di pengadilan. Hakim yang telah bersertifikat pun belum mampu menggapai angka keberhasilan mediasi yang cukup tinggi. Namun bukan berarti MA tidak perlu memberikan pelatihan, tetapi pelatihan harus tetap diberikan kepada semua hakim
yang menjalankan
fungsi
mediator dan
memberikan pengawasan dan evaluasi secara teratur akan kinerja mereka. 3.
Fasilitas dan Sarana Ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok hanya ada 1 (satu) ruang yang didalamnya dibagi menjadi 3 (tiga) bagian tanpa diberi sekat atau pembatas. Tiap bagian disediakan 1 (buah) meja dan 3 (tiga) buah kursi. Dalam ruang tersebut dapat dilakukan 3 (tiga) proses mediasi sekaligus. Fasilitas ruang mediasi masih kurang ideal bagi proses mediasi. Faktor-faktor yang menyebabkan tidak idealnya ruang mediasi adalah: a. Ruangan yang sempit sehingga membuat tidak nyaman para pihak dan mediator sendiri.
79
b. Tidak adanya sekat pembatas di antara 3 (tiga) meja sehingga bila dilangsungkan proses mediasi secara bersamaan membuat para pihak tidak nyaman karena proses tidak lagi tertutup.68 c. Ruang yang tersedia hanya 1 (satu), tidak sebanding dengan jumlah orang yang akan melakukan mediasi. Para pihak seringkali terlihat mengantri.69 d. Tidak tersedianya ruang untuk kaukus.70 Padahal proses kaukus adalah sebagai alternatif yang dapat diupayakan oleh mediator untuk proses perdamaian para pihak. e. Fasilitas pendukung yang kurang seperti proyektor dan ketersediaan air minum.71 Namun walaupun demikian, ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok menggunakan Air Conditioner (AC) yang menjadikan ruangan tersebut terasa sejuk. Pengadilan Agama Depok terus berbenah diri untuk memperbaiki dan menambah fasilitas dan sarana ruang mediasi. Selain itu, perawatan 68
Wawancara dengan Fauziah pada tanggal 10 Mei 2011, Sulfita Netti pada tanggal 11 Mei 2011, Umar Faruq dan Nurmiwati pada tanggal 13 Mei 2011. Semuanya adalah Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat. 69
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 70
Wawancara dengan Sarnoto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011. 71
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
80
terhadap fasilitas dan sarana tetap dilakukan dengan baik dengan melakukan evaluasi setiap bulannya. Demi kemudahan para pihak yang akan mengikuti proses mediasi, di pintu ruang mediasi terpampang jadual mediator. Dalam jadual tercantum nama-nama mediator disertai latar belakang pendidikan dan hari para mediator bertugas. Setiap hari ada 3 (tiga) orang mediator yang bertugas. Semuanya
berasal
dari
hakim.
Pengadilan
Agama
Depok
belum
menyediakan mediator dari luar pengadilan, karena masih dianggap belum dibutuhkan. Berikut jadual mediator yang ada di Pengadilan Agama Depok: Tabel 7 JADUAL MEDIATOR PADA PENGADILAN AGAMA DEPOK NAMA/NIP NO HARI PENDIDIKAN TEMPAT TANGGAL LAHIR Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. S 1 IAIN Bandung 1 19630623.198903.1.004 S 2 UNTAG Jakarta Kadipaten, 23 Juni 1963 S 1 IAIN Sunan Ampel Dra. Hj. Fauziah, M.H. Surabaya 2 SENIN 19671108.199303.2.001 S 2 UNTAG Jakarta Surabaya, 8 November 1967 Drs. Azid Izuddin, M.H. S 1 IAIN Jakarta 3 19620713.1993.1.003 S 2 UNTAG Jakarta Bogor, 13 Juli 1962 Dra. Taslimah, M.H. S 1 IAIN Jakarta 4 SELASA 19680314.199303.2.005 S 2 UNTAG Jakarta Jakarta, 14 Maret 1968
81
Drs. Sarnoto, M.H. 19671225.199403.1.005 Kulon Progo, 25 Desember 1967 Dra. Suifita Netty, S.H. 19580803.199403.2.001
5
6
S 1 UM Surakarta S 2 UMI Makassar S 1 IAIN Imam Bonjol S 2 UNIHAZ
Simabur Tanah Datar, 3 Agustus 1958
7
8 RABU 9
10
11 12
KAMIS
13 14 15 16
JUM'AT
Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. 19680915.199403.2.004 Jakarta, 15 September 1968 Drs. Agus Abdullah, M.H. 19690803.199403.1.003 Sukapura, 3 Agustus 1969 Dra. Hj. Siti Nadirah 19661119.199303.2.002 Ujung Pandang, 19 November 1966 Drs. H. A. Baidhowi, M.H. 19560912.198511.1.001 Jakarta, 12 September 1956 Dra. Nurmiwati 19671225.199303.2.002 Bone, 25 Desember 1967 Hj. Suciati, S.H. 19570714.198003.2.005 Dra. Rogayah 19600924.199103.2.001 Drs. Bambang Hermanto, M.H. 19590919.198903.1.001 Umar Faruq, S.Ag., M.HI. 19700101.199703.1.007 E. Kurniawati Imron, S.Ag. 19560726.198003.2.001
S 1 IAIN Jakarta S 1 UM Sumatera S 1 IAIN Jakarta S 2 UNTAG Jakarta S 1 IAIN Makassar
S 1 IAIN Jakarta S 2 UNTAG Jakarta S 1 IAIN Yogyakarta
S 1 Universitas Jakarta S 1 IAIN Bandung S 1 IAIN Jakarta S 2 UIJ S 1 IAIN Yogyakarta S 2 UII Yogyakarta S 1 STAI Cirebon
*Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
82
4.
Kepatuhan Masyarakat Bila kita lihat laporan pemberdayaan lembaga perdamaian di tahun 2009, dapat diketahui bahwa tingkat keberhasilan mediasi adalah 14,1 %. Kemudian pada tahun 2010 tingkat keberhasilannya adalah 6,9 %. Porsentase keberhasilannya tahun 2010 menurun 7,2 %. (Lihat Bab Tingkat Keberhasilan Mediasi) Penulis melakukan klasifikasi lebih mendetail, dari sejumlah angka mediasi yang akan dapat diketahui angka cerai talak dan cerai gugat. Berikut data yang penulis sajikan. Tabel 8 LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2009 KETERANGAN
JENIS PERKARA NO
BULAN
BERHASIL
GAGAL
CERAI
CERAI
CERAI
CERAI
CERAI
CERAI
TALAK
GUGAT
TALAK
GUGAT
TALAK
GUGAT
JUMLAH PERKARA
1
Januari
22
18
5
10
17
8
40
2
Februari
8
9
1
3
7
6
17
3
Maret
12
18
0
0
12
18
30
4
April
7
10
2
1
5
9
17
5
Mei
10
16
1
3
9
13
26
6
Juni
16
24
0
4
16
20
40
7
Juli
4
6
0
1
4
5
10
8
Agustus
11
9
1
0
10
9
20
9
September
4
3
0
0
4
3
7
10
Oktober
8
9
0
2
8
7
17
11
November
11
13
1
1
10
12
24
Desember TOTAL
13
8
1
1
12
7
21
126
143
12
26
114
117
269
12
83
Dalam tabel 10 diketahui perkara cerai gugat (53,1%) lebih banyak daripada perkara cerai talak (46,8%). Bahkan rata-rata tiap bulan angka cerai gugat lebih tinggi dibandingkan dengan cerai talak sepanjang tahun 2009. Angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai talak di tahun 2009 adalah 9,5%. Sedangkan angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai gugat adalah 18,1%. Kemudian angka kegagalan mediasi pada perkara cerai talak adalah 90,4%. Lalu angka kegagalan mediasi pada perkara cerai gugat adalah 81,8%. Berdasarkan angka-angka tersebut, penulis berkesimpulan bahwa angka cerai gugat lebih tinggi daripada cerai talak. Bila dibandingkan dengan angka perceraian secara nasional pun demikian. Namun yang menarik adalah keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok lebih banyak terjadi pada perkara cerai gugat. Perbandingan porsentasenya pun cukup jauh. Selanjutnya, mari kita bandingkan dengan data di tahun 2010 sebagai berikut:
84
Tabel 9 LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2010 JENIS PERKARA NO
BULAN
KETERANGAN BERHASIL
CERAI
CERAI
CERAI
CERAI
CERAI
CERAI
TALAK
GUGAT
TALAK
GUGAT
TALAK
GUGAT
7 6 8 1 2 6 2 5 8 0 16 14 75
9 12 8 6 1 5 9 6 8 0 9 26 99
8 9 1 2 8 14 2 Februari 3 8 8 0 Maret 4 1 6 0 April 5 2 2 0 Mei 6 6 6 0 Juni 7 3 9 1 Juli 8 5 7 0 Agustus 9 10 9 2 September 10 Oktober* 0 0 0 11 November 16 10 0 12 Desember 14 26 0 TOTAL 81 106 6 *Data hilang, tidak tercantum dalam laporan tahunan. 1
GAGAL
Januari
0 2 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 7
JUMLAH PERKARA
17 22 16 7 4 12 12 12 19 0 26 40 187
Dalam tabel 11 diketahui perkara cerai gugat (56,6%) lebih banyak daripada perkara cerai gugat (43,3%). Bahkan rata-rata tiap bulan angka cerai gugat lebih tinggi dibandingkan dengan cerai talak sepanjang tahun 2010. Angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai talak di tahun 2010 adalah 7,4%. Sedangkan angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai gugat adalah 6,6%%. Kemudian angka kegagalan mediasi pada perkara cerai talak adalah 92,5%. Lalu angka kegagalan mediasi pada perkara cerai gugat adalah 93,3%.
85
Dibandingkan dengan data tahun 2009 pada tabel 8, diketahui bahwa angka cerai gugat masih lebih banyak daripada cerai talak. Namun angka keberhasilan menunjukkan perbedaan. Porsentase keberhasilan mediasi dalam perkara cerai talak lebih tinggi sedikit daripada angka keberhasilan perkara cerai gugat. Ini berbeda dengan tahun 2009. Sehingga penulis berkesimpula bahwa di tahun 2010 angka keberhasilan mediasi perkara cerai talak lebih tinggi. Oleh karena itu, angka keberhasilan sifatnya fluktuatif. Dapat berubah setiap tahunnya. Setelah mengetahui angka-angka keberhasilan mediasi, penulis memberikan catatan mengenai perilaku dan sikap para pihak selama menjalani proses mediasi yang mempengaruhi kepatuhan mereka dalam menjalani proses mediasi sebagai berikut: a. Seringkali salah satu pihak atau keduanya merasa paling benar.72 Mediator kesulitan mendalami masalah karena sikap mereka yang tidak kooperatif selama proses mediasi. Sikap egois sering muncul pada diri para pihak. b. Sebelum para pihak memasuki pemeriksaan perkara di persidangan, sering kali mereka sudah bersepakat untuk memutuskan ikatan
72
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
86
perkawinan.73 Sehingga saat dilakukan mediasi, sangat sulit bahkan gagal untuk didamaikan. c. Komunikasi para pihak sudah lama terputus.74 Konflik yang telah berlarut-larut menyebabkan kedua belah pihak sudah tidak ada iktikad untuk damai. d. Para pihak ada juga yang kooperatif, namun sikap tersebut mereka lakukan agar proses mediasi cepat selesai hingga dapat dilanjutkan ke proses persidangan selanjutnya. Mereka mengikuti mediasi hanya sebagai formalitas semata. 5.
Kebudayaan Berkaitan dengan kebudayaan masyarakat dalam skripsi ini yang dimaksud adalah budaya masyarakat muslim yang berperkara di pengadilan agama. Alasan ini sangat tepat karena disebutkan dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 03 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 sebagai berikut: 1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
73
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 74
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
87
Dalam pasal di atas, dapat diketahui bahwa hanya orang-orang yang beragama Islam yang dapat menyelesaikan perkaranya di pengadilan agama. Sehingga perkara perceraian yang masuk dipastikan para pihaknya adalah muslim. Penulis melihat kecenderungan angka perceraian di Pengadilan Agama semakin meningkat tiap tahunnya. Berikut perbandingan angka perceraian, baik cerai talak maupun cerai gugat dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir: Diagram 1 ANGKA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA 4 (EMPAT) TAHUN TERAKHIR75 160
149.24
140
126.065
120 100
111.145 94.245
80 60
63.943
67.124
74.131
Cerai Talak Cerai Gugat
54.645
40 20 0 2006
75
2007
2008
2009
Sumber: E-book Profil Peradilan Agama Tahun 2007 diakses dari http://www.badilag.net/data/PROFIL/ebook-profil-PA07en.pdf, Tahun 2008 diakses dari http://badilag.mahkamahagung.go.id/data/ditbinadpa/TABEL%20DATA%20PERSENTASE%20PER KARA%20CT%20CG%20PERK%20LAIN%20YG%20DIPUTUS%20TAHUN%202008.pdf , Tahun 2009 diakses dari http://www.badilag.net/data/ditbinadpa/peradilan%20agama%20V%20indonesia%202009.pdf, dan Tahun 2010 diakses dari http://www.badilag.net/data/PROFIL/peradilan%20agama%20V%20indonesia%202010.pdf.
88
Bila kita perhatikan diagram di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa angka perceraian mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan yang terjadi pun cukup tinggi per tahunnya. Pada tahun 2006 terjadi 54.645 (32,50%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 94.245 (56,20%) perkawinan yang putus akibat cerai gugat. Untuk tahun 2007 terjadi 63.943 (31,845%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 111.145 (55,352%) perkawinan yang putus akibat cerai gugat . Pada tahun 2008 terjadi 67.124 (28,31%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 126.065 (53,16%) perkawinan yang putus akibat cerai gugat. Selanjutnya pada tahun 2009 terjadi 74.131 (28,76%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 149.240 (57,89%) perkawinan yang putus akibat cerai gugat. Melalui diagram diatas, penulis melihat bahwa angka perceraian yang terjadi tiap tahunnya selalu meningkat. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya perceraian pada Peradilan Agama di tingkat pertama. Pertama, moral. Persoalan moral pun memberikan andil untuk memantik krisis keharmonisan rumah tangga. Modusnya mengambil tiga bentuk, suami melakukan poligami tidak sesuai aturan (poligami tidak sehat), krisis akhlak (perilaku salah satu pihak yang rusak/amoral) dan cemburu yang berlebihan. Kedua, meninggalkan kewajiban. Ini disebabkan salah satu pihak tidak bertanggungjawab akan kewajibannya selama menjalani ikatan perkawinan, seperti nafkah baik lahir maupun batin. Ketiga, kawin dibawah umur. Biasanya terjadi pada pihak istri yang sejarah perkawinannya dipaksa oleh
89
kedua
orang
tuanya
yang
kemudian
hari
banyak
menimbulkan
ketidakharmonisan diantara pasangan suami istri. Keempat, dihukum. Salah satu pihak dijatuhi hukum pidana oleh pengadilan. Kelima, cacat biologis. Salah satu pihak memiliki cacat fisik yang tidak dapat disembuhkan, sehingga menyebabkan tidak dapat melaksanakan kewajiban. Keenam, terus menerus berselisih. Perselisihan dalam perkawinan yang berujung pada peristiswa perceraian ini dapat disebabkan oleh ketidak harmonisan pribadi, gangguan pihak ketiga, dan faktor politis. Ketujuh, dan lain-lain. Berikut faktor-faktor penyebab perceraian perbandingan tahun 2006, 2007, 2008, dan 2009.
Diagram 2
90
Tabel 10 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
PENYEBAB CERAI Moral Meninggalkan Kewajiban Kawin dibawah Umur Menyakiti Jasmani dan Rohani Dihukum Cacat Biologis Terus Menerus Berselisih Lain-lain JUMLAH
JUMLAH 9.457 74.042 387 1.110 213 609 63.068 4 148.890
% DARI JUMLAH TOTAL 6,35% 49,72% 0,25% 0,74% 0,14% 0,41% 42,41% 0,02% 100%
Diagram 3
Faktor-faktor Penyebab Perceraian Tahun 2007 0%
6.39%
Moral Meninggalkan Kewajiban
41.71%
Kawin dibawah Umur 49.13%
Menyakiti Jasmani dan Rohani Dihukum Cacat Biologis Terus Menerus Berselisih
1.02%
Lain-lain
0.22% 1.16%
0.32%
Tabel 11 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
PENYEBAB CERAI Moral Meninggalkan Kewajiban Kawin dibawah Umur Menyakiti Jasmani dan Rohani Dihukum Cacat Biologis Terus Menerus Berselisih Lain-lain JUMLAH
JUMLAH 10.090 77.528 513 1.845 356 1.621 65.818 0 157.771
% DARI JUMLAH TOTAL 6,39% 49,13% 0,32% 1,16% 0,22% 1,02% 41,71% 0% 100%
91
Diagram 4
Tabel 12 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
PENYEBAB CERAI Moral Meninggalkan Kewajiban Kawin dibawah Umur Menyakiti Jasmani dan Rohani Dihukum Cacat Biologis Terus Menerus Berselisih Lain-lain JUMLAH
JUMLAH 12.469 95.296 408 1.942 300 1.080 76.482 60 188.037
% DARI JUMLAH TOTAL 6,63% 50,68% 0,22% 1,03% 0,16% 0,57% 40,67% 0,03% 100%
92
Tabel 13 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
PENYEBAB CERAI Moral Meninggalkan Kewajiban Kawin dibawah Umur Menyakiti Jasmani dan Rohani Dihukum Cacat Biologis Terus Menerus Berselisih Lain-lain JUMLAH
JUMLAH 15.966 106.501 384 2.552 459 865 88.753 806 216.286
% DARI JUMLAH TOTAL 7,38% 49,24% 0,18% 1,18% 0,21% 0,40% 41,04% 0,37%
100%
Kenaikan angka putusnya perkawinan tiap tahunnya dapat terjadi akibat perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat. Menurut William J. Goode,76 perubahan ini merupakan interaksi dari beberapa faktor. Mungkin yang terpenting adalah berkurangnya ketidaksetujuan akan perceraian itu 76
William J. Goode, Sosiologi Keluarga, cet.VII. Penerjemah Lailahanoum Hasyim. (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 190.
93
sendiri. Boleh dikatakan bahwa setengah abad yang lalu, hampir setiap yang bercerai kehilangan kehormatannya dalam lingkungan sosialnya, itu pun kalau tidak dikucilkan sama sekali. Kedua, penggantian yang tersedia bagi mereka yang bercerai juga telah berubah. Karena banyak orang bercerai, banyak kemungkinan untuk memperoleh pasangan yang baru. Antara 85-90 persen dari mereka yang bercerai antara umur 20-40 banyak kemungkinan kawin lagi. Lagi pula karena sekarang orang jarang tinggal di tanah pertanian, tenaga yang waktu itu ada dalam diri suami atau istri dapat dibeli dari tenaga ahli. Hal ini merupakan keuntungan bagi seorang wanita yang diceraikan untuk dapat menunjang diri sendiri, meskipun penghasilannya itu tidak akan sama besarnya denganm seorang laki-laki. Dengan demikian, tekanan sosial dari teman-teman dan sanak agar tetap dalam pernikahan mulai melemah, lain daripada waktu setengah abad yang lalu. Gejala meningkatnya angka perceraian pada Peradilan Agama dari tahun ke tahun, menurut penulis dapat dipengaruhi oleh hal-hal berikut: a. Tingginya angka kelahiran di Indonesia secara tidak langsung meningkatkan angka perkawinan laki-laki dan perempuan. Semakin banyak penduduk, berarti semakin banyak orang yang butuh untuk memenuhi kebutuhannya seperti kebutuhan biologis yakni dengan perkawinan selain memiliki tujuan yang lain seperti ketenangan batin dan sebagainya.
94
b. Persepsi masyarakat muslim tentang perceraian. Islam mengajarkan bahwa talak adalah perbuatan halal walaupun dibenci. Namun tidak ada ulama yang mengharamkan perceraian. Apalagi bila perceraian adalah sebagai
jalan
keluar
dari
konflik
rumah
tangga
yang
akan
membahayakan salah satu pihak atau keduanya. c. Tekanan sosial bagi pelaku perceraian yang semakin mengendur. Pada masa lalu ada kesan stereotip bagi laki-laki dan/atau wanita yang memutuskan ikatan perkawinan dengan pasangannya. Namun saat ini kesan itu sudah berkurang, bahkan cenderung hilang di lingkungan masyarakat perkotaan. d. Semakin meningkatnya kualitas pendidikan masyarakat terutama perempuan. Maka istri yang berpendidikan tinggi jika diceraikan oleh suaminya tidak lagi khawatir akan nafkah dirinya dan anak-anaknya. Dengan bekal pendidikan yang dimiliknya, seorang wanita dapat mencari pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhannya. Maka dapat kita lihat pada tahun 2006-2009, angka cerai gugat lebih tinggi dari pada angka cerai talak.
C. Tingkat Keberhasilan Mediasi Untuk mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok, penulis menggunakan Laporan Pemberdayaan Lembaga Perdamaian Pengadilan Agama Depok Tahun 2009 dan 2010. Data laporan tersebut
95
merupakan laporan bulanan yang kemudian dirangkum dalam laporan tahunan di Pengadilan Agama. Didalamnya dapat diketahui perkara yang masuk ke lembaga perdamaian setiap bulan dan dilaporkan hasil mediasi yang berhasil maupun yang tidak berhasil. Sehingga dengan laporan ini, dapat diketahui dengan mudah jumlah perkara yang dimediasi dan hasilnya. Laporan pemberdayaan lembaga perdamaian di Pengadilan Agama Depok mulai dibukukan mulai tahun 2009, walaupun PERMA lahir tahun 2008. Hal tersebut dikarenakan prosedur mediasi yang baru membutuhkan waktu dalam hal implementasi di lapangan. Dan sesuatu yang wajar, bahwasanya aturan yang baru disahkan tidak dapat langsung dilaksanakan dalam waktu singkat, karena membutuhkan proses yang cukup lama. Berikut penulis rangkum laporan pemberdayaan lembaga perdamaian, kemudian dihitung prosentase keberhasilan mediasi tiap tahunnya.
96
Tabel 14 LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2009* KETERANGAN NO BULAN JUMLAH PERKARA TIDAK BERHASIL BERHASIL 1 Januari 40 15 25 2 Februari 17 4 13 3 Maret 30 0 30 4 April 17 3 14 5 Mei 26 4 22 6 Juni 40 4 36 7 Juli 10 1 9 8 Agustus 20 1 19 9 September 7 0 7 10 Oktober 17 2 15 11 November 24 2 22 12 Desember 21 2 19 TOTAL 269 38 231 *Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
Untuk mengetahui prosentase perkara perceraian yang berhasil di mediasi dalam 1 (satu) tahun dapat menggunakan rumusan sebagai berikut:77
Jumlah perkara yang dicabut Jumlah perkara yang diputus
X 100 %
Berdasarkan rumusan diatas dapat diketahui prosentase perkara perceraian yang berhasil di mediasi pada tahun 2009 sebagai berikut: 38 269
X 100 % = 14,1 % 77
Ali Muhtarom, Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian. Artikel diakses pada tanggal 10 April 2011 di http://badilag.net/data/ARTIKEL/tolakukur/efektifitas/mediasi.pdf
97
Maka dapat diketahui bahwa perkara perceraian yang berhasil dimediasi pada Pengadilan Agama Depok selama tahun 2009 adalah sebesar 14,1 % dari semua perkara perceraian yang diputus.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tabel 15 LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2010 KETERANGAN BULAN JUMLAH PERKARA TIDAK BERHASIL BERHASIL 17 1 16 Januari 22 4 18 Februari 16 0 16 Maret 7 0 7 April 4 1 3 Mei 12 1 11 Juni 12 1 11 Juli 12 1 11 Agustus 19 3 16 September 0 0 0 Oktober* 26 1 25 November 40 0 40 Desember TOTAL 187 13 174
*Data hilang, tidak tercantum dalam laporan tahunan. *Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
Prosentase perkara perceraian yang berhasil di mediasi pada tahun 2009 sebagai berikut: 13 187
X 100 % = 6,9 %
98
Maka dapat diketahui bahwa perkara perceraian yang berhasil dimediasi pada Pengadilan Agama Depok selama tahun 2010 adalah sebesar 6,9 % dari semua perkara perceraian yang diputus.
D. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Mediasi Keberhasilan atau kegagalan mediasi sangat dipengaruhi faktor-faktor pendukung dan penghambat selama proses mediasi. Berikut faktor-faktor pendukung keberhasilan mediasi: a. Kemampuan Mediator. Mediator yang pandai mengelola konflik dan berkomunikasi sehingga dapat mengupayakan adanya titik temu antara para pihak akan mudah mendorong terjadinya perdamaian. Oleh karena itu, kemampuan seorang mediator berpengaruh akan keberhasilan mediasi. Dibutuhkan pula kejelian mediator untuk mengungkap apakah permasalahan diantara para pihak dan kebijaksanaan mediator dalam memberikan solusi, sehingga para pihak berhasil menyelesaikan masalahnya dengan damai dan baik.78 b. Faktor Sosiologis dan Psikologis. Kondisi sosial para pihak menentukan akan keberhasilan mediasi. Misalnya, seorang wanita yang menggugat cerai suaminya akan berfikir akan
78
Wawancara dengan Sufita Netti, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
99
nafkah dirinya dan anak-anaknya. Bagi wanita yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki penghasilan namun khawatir kekurangan akan berfikir ulang untuk menggugat cerai suaminya. Namun, wanita yang sudah memiliki pekerjaan tetap dan bahkan penghasilan yang cukup, kecenderungan untuk berpisah dengan suaminya lebih kuat. Kondisi psikologis para pihak dapat mempengaruhi keberhasilan mediasi. Seseorang yang ingin berpisah dengan pasangannya pasti telah merasa ketidaknyaman bahkan penderitaan fisik maupun psikis yang berlangsung lama. Semakin besar tekanan yang ada pada diri seseorang, berarti semakin besar pula keinginannya untuk berpisah dengan pasangannya. Faktor intern dari para pihak terutama faktor kejiwaan dapat mendukung keberhasilan mediasi.79 c. Moral dan Kerohanian. Prilaku para pihak yang baik dapat memudahkan mediator untuk mengupayakan perdamaian. Namun, prilaku yang buruk dapat menjadikan salah satu pihak tidak mau kembali rukun karena bila kembali dalam ikatan perkawinan
akan memperburuk kehidupannya.
Begitu pula tingkat
kerohanian seseorang berpengaruh pada keberhasilan mediasi. 80
79
Disampaikan oleh Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat saat wawancara pada tanggal 11 Mei 2011. 80
Ketiga faktor tersebut disampaikan saat wawancara dengan E. Kurniawati dan Sulkha Herwiyanti, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
100
d. Iktikad Baik Para Pihak. Saat proses mediasi berlangsung, mediator berperan sebagai penengah yang berusaha mendamaikan para pihak. Namun sebaik apapun usaha yang dilakukan mediator dalam mendamaikan tidak akan berhasil bila tidak didukung oleh iktikad baik para pihak untuk dirukunkan serta kesadaran masing-masing pihak akan kekurangannya sehingga dapat saling memaafkan dan memulai hidup rukun kembali. Terutama iktikad baik pihak Pemohon/Penggugat untuk berdamai dan menerima Termohon/Tergugat untuk hidup bersama.81 Sedangkan faktor-faktor penghambat keberhasilan mediasi adalah sebagai berikut: a. Keinginan Kuat Para Pihak Untuk Bercerai. Seringkali terjadi saat mediasi salah satu pihak bahkan keduanya sudah sangat kuat keinginannya untuk bercerai. Kedatangan mereka ke Pengadilan Agama biasanya terjadi akibat tidak berhasilnya upaya perdamaian yang dilakukan oleh pihak keluarga. Sehingga hal ini yang sering menyulitkan mediator untuk mengupayakan perdamaian.82
81
Wawancara dengan Fauziah dan Sarnoto, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011. 82
Wawancara dengan Fauziah dan Sarnoto, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011.
101
b. Sudah Terjadi Konflik yang Berkepanjangan. Konflik yang terjadi diantara para pihak sudah terjadi berlarut-larut, saat mediasi para pihak tidak dapat diredam emosinya, sehingga para pihak tidak dapat menerima lagi masukan-masukan dari mediator dan merasa benar sendiri. Bahkan, sering terjadi pihak Pemohon/Penggugat sudah tidak bisa memaafkan pihak Termohon/Tergugat sehingga sulit untuk rukun lagi.83 c. Faktor Psikologi atau Kejiwaan. Kekecewaan yang sangat dalam terhadap pasangan hidupnya seringkali memunculkan rasa putus harapan seseorang akan ikatan perkawinannya. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mengakhiri perkawinannya.84
83
Wawancara dengan E. Kurniawati dan Sulkha Herwiyanti, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 84
Disampaikan oleh Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat saat wawancara pada tanggal 11 Mei 2011.
102
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Depok, penulis menyimpulkan bahwa mediasi belum efektif. Adapun faktor-faktor penyebabnya adalah sebagai berikut: 1. Tingkat kepatuhan masyarakat yang menjalani proses mediasi sangat rendah. Faktor ini yang menjadi penyebab utama belum efektifnya mediasi di Pengadilan Agama Depok. 2. Budaya masyarakat yang beranggapan bahwa perceraian bukanlah sebuah aib bagi pribadi maupun keluarga. Begitu pula kemajuan tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat turut mempengaruhi persepsi bahwa perceraian bukanlah masalah dalam menjalani kehidupan. 3. Fasilitas dan sarana mediasi di Pengadilan Agama Depok masih kurang memadai baik dari segi ruang mediasi maupun fasilitas penunjang didalamnya. 4. Kualitas hakim yang ditunjuk sebagai mediator belum merata. Hanya ada 2 (orang) yang telah mengikuti pelatihan mediasi yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI.
103
B. Saran Di bagian akhir ini, penulis memberikan saran-saran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkai sebagai berikut: 1. Kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama yang membawahi Kantor Urusan Agama (selanjutnya disebut KUA) dan Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Pernikahan (selanjutnya disebut BP4), agar memberikan pelatihan dan pembinaan kepada calon pasangan yang ingin kawin. Hal ini dilakukan agar mereka memiliki pengetahuan yang cukup serta kesiapan mental baik, sehingga terhindar dari perceraian yang disebabkan ketidaksiapan mereka menjalani kehidupan rumah tangga. Hal ini sebagai tindakan preventif terhadap perceraian. 2. Kepada Mahkamah Agung, agar segera mengeluarkan PERMA tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang menjalankan fungsi mediator yang telah diamanatkan dalam Pasal 25 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan; menyelenggarakan pelatihan mediasi kepada hakim yang ditetapkan sebagai mediator yang belum mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh MA pada tahun 2009; dan membangun ruang mediasi dan fasilitas lainnya yang baik demi menunjang pelaksanaan mediasi di pengadilan agama. 3. Kepada Pengadilan Agama, agar menjalankan proses mediasi dengan sebaikbaiknya sesuai dengan aturan yang ada serta mengoptimalkan kinerja mediator dari hakim yang telah ditetapkan; hendaknya disiapkan mediator
104
bersertifkat dari luar pengadilan untuk memenuhi kebutuhan mediator terlatih yang jumlahnya masih sangat sedikit di pengadilan agama; dan melakukan evaluasi kinerja mediator secara rutinn. 4. Kepada para hakim yang ditetapkan menjadi mediator, agar melaksanakan tugas dengan baik sesuai dengan pelatihan mediasi yang telah diberikan MA dan bagi yang belum mendapatkan pelatihan supaya belajar secara mandiri sehingga mampu bersaing secara kualitas dengan yang telah mendapatkan pelatihan. 5. Kepada para akademisi hukum, agar memberikan pembelajaran tentang mediasi secara komprehensif disertai dengan praktikum teknis bermediasi. Hal demikian sangat membantu para mahasiswa yang akan terjun di dunia hukum dan peradilan.
105
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal. Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009. Ali, Achmad. Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan. Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2004, Cet. Ke-1. Al-Bukhari, Muhammad bin „Ismail. Shahih al-Bukhari. Juz 3. Kairo: Dar al-Hadis, 2000, Cet. Ke-1. Al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats. Sunan Abu Dawud. Juz 2. Beirut: Dar al-Kutub al-„Arabi, t.t. Al-Syarbini, Muhammad Khatib. Mughni al-Muhtaj Juz 2. Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Budiardjo, Ali. dkk. Law Reform in Indonesia: Diagnostic Assessment of Legal Development in Indonesia: Result of a Research Study Undertaken for The World Bank, vol. I. Jakarta: Cyber Consult. Dewi, Gemala (ed.). Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006, Cet. Ke-2. Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiono. Metode Penelitian Hukum. Surakarta: UMS Press, 2004. Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, Cet. Ke-23. Fauzan, M. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari‟ah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, Cet. Ke-1.
106
Garner, Bryan A. (ed.). Black‟s Law Dictionary, 8th ed. USA: West, 2004. Goode, William J. Sosiologi Keluarga. Penerjemah Lailahanoum Hasyim. Jakarta: Bumi Aksara, 2007, Cet. Ke-7. Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet. Ke-7. ----------------------------. Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet. Ke2. Head, John W. Pengantar Umum Hukum Ekonomi. Jakarta: Proyek ELIPS, 1997. Hejazziey, Djawahir (ed.). Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007, Cet. Ke-1. Ibnu Hibban, Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Busti. Shahih Ibnu Hibban bi Tartibi Ibnu Bilban. Juz 11. Beirut: Muassasah alRisalah, 1993, Cet. Ke-2. Ibnu Katsir, Abu al-Fida Isma‟il bin „Umar bin Katsir al-Qurasy al-Dimasyqi. Tafsir al-Quran al-„Azhim, Juz 2. Riyad: Dar Thayibah, 1999, Cet. Ke-2. Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 2007, Cet. Ke-3. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Buku Tanya dan Jawab Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di
107
Pengadilan. Mahkamah Agung RI, Japan International Cooperation Agency (JICA), dan Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), 2008. Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008. Marbun, B.N. Kamus Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 2006, Cet. Ke-1. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Musthofa Sy. Kepaniteraan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, Cet. Ke-1. Nasution, Bahder Johan. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju, 2008, Cet. Ke-1. Pengadilan Agama Depok. Laporan Pemberdayaan Lembaga Perdamaian Tahun 2009 dan 2010. Qudamah, Ibnu. al-Mughni Juz 5. Beirut: Dar al-Fikr, 1984, Cet. Ke-1. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Adytia Bakti, 2000. -----------------------. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, Cet. Ke-2. Romy H, Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah Juz 3. Kairo: Dar al-Fath, 1990. Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
108
--------------------------. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989, Cet. Ke-5. --------------------------. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: RajaGrafindo, 2001. -------------------------. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1984. --------------------------. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, Cet. Ke-5. Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, Cet. Ke-1. Sutiyoso, Bambang. Aktualita Hukum dalam Era Reformasi: Paparan Aktual Berbagai Permasalahan Hukum dan Solusinya Selama Proses Reformasi di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet. Ke-2. Tresna, R. Komentar HIR. Jakarta: Pradnya Paramita, 2005, Cet. Ke-18. Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung: PT. Citra Adytia Bakti, 2003. D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi: Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Bandung: Alfabeta, 2010, Cet. Ke1. Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Juz 6. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
109
Peraturan Perundang-undangan: Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. -------------------------. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Situs Internet: Fajar, Asep Rahmat. Potret Dunia Peradilan Indonesia: Refleksi dan Proyeksi. Jakarta: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH-UI, t.t. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari http://www.pemantauperadilan.com/opini/57POTRET%20DUNIA%20PERADILAN%20INDONESIA.pdf ----------------------- . Wajah Lembaga Peradilan Indonesia: Kenyataan dan Harapan. Jakarta: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH-UI, t.t. Di akses pada tanggal
06
November
2010
dari
http://www.pemantauperadilan.com/opini/29.WAJAH%20LEMBAGA%20P ERADILAN%20INDONESIA.pdf Hakim, Nurul. Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Hubungannya Dengan Lembaga Peradilan. Artikel diakses pada
tanggal
10
Mei
http://badilag.net/data/ARTIKEL/efektifitas.pdf
2011
dari
110
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Profil Peradilan Agama Tahun 2007, 2008, 2009,
dan
2010.
Data
diakses
dari
http://www.badilag.net/data/PROFIL/ebook-profil-PA07en.pdf, http://badilag.mahkamahagung.go.id/data/ditbinadpa/TABEL%20DATA%20 PERSENTASE%20PERKARA%20CT%20CG%20PERK%20LAIN%20YG %20DIPUTUS%20TAHUN%202008.pdf, http://www.badilag.net/data/ditbinadpa/peradilan%20agama%20V%20indone sia%202009.pdf,
dan
http://www.badilag.net/data/PROFIL/peradilan%20agama%20V%20indonesi a%202010.pdf pada tanggal 05 Mei 2011. Muhtarom, Ali. Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian. Artikel
diakses
pada
tanggal
10
April
2011
di
http://badilag.net/data/ARTIKEL/tolakukur/efektifitas/mediasi.pdf Runtung. Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat FH-Universitas Sumatera Utara. Medan: USU, 2006. Di akses pada
tanggal
06
November
2010
dari
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2006/ppgb_2006_runtung.pdf Siddiki. Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan. Artikel. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari http://www.badilag.net/artikel/mediasi.pdf
111
Sunarmi. Membangun Sistem Peradilan di Indonesia. Artikel. Medan: e-USU Repository, 2004. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1576/1/perdata-sunarmi3.pdf Tampubolon, Muhammad Buchary Kurniata. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pengadilan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan Negeri: Tesis Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Semarang: UNDIP, 2008. Di akses pada tanggal 06 November 2010
dari
http://eprints.undip.ac.id/18261/1/Muhammad_Buchary_Kurniata_Tampubol on.pdf
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia Hari/Tanggal 1.
2. 3.
4.
: E. Kurniati S.Ag. : 19560726.198003.2.001 : Hakim : 55 tahun : Rabu, 11 Mei 2011
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? Ya, sejak November 2010. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama Depok. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? Tidak/belum. b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Tidak, karena serifikasi mediator diberikan hanya kepada yang mengikuti pelatihan bertaraf nasional yang pesertanya sangat terbatas. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? Perlu, karena lebih baik apabila mediator mempunyai teknik-teknik yang terprogram. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, sebab ada dampak yang disampaikan kepada para pihak sebelum berperkara bahwa mediasi akan menjembatani para pihak dalam menyelesaikan masalah yang buntu. b. Bila tidak, apa alasannya? 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? -
7.
8.
b. Bila tidak perlu, apa alasannya? Tidak, karena dalam beberapa hal akan memperpanjang rantai penyelesaian perkara dan menjadi sangat mengikat. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sudah dilakukan sosialisai baik secara khusus dalam bentuk pelatihan,maupun dalam setiap pertemuan di setiap tingkat. (MA, PTA, dan PA). Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena masing masing pihak mempunyai kepentingan yang sama yaitu sama-sama merasa lebih memperlancar proses ber”acara”di persidangan. b. Bila tidak, apa alasannya? -
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? Mediasi berarti mempertemukan kedua pihak yang bermasalah melalui juru bicara agar tercapai perdamaian atau minimal ada titik temu dalam tujuan yang akan dicapai atau meminimalisis perbedaan-perbedaan antar dua pihak yang bermasalah. 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? Sangat diperlukan, sebab mendamaikan para pihak di persidangan waktunya sangat terbatas, tetapi dengan mediasi bisa lebih leluasa dan bisa dilakukan secara parsial. 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Ya, maksimal 40 hari. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? Melanjutkan persidangan. 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? Ya ada, masing-masing pribadi lebih terbuka menyampaikan permasalahannya. b. Bila tidak, kenapa? 14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi? -Faktor teknik mediator.
15.
16.
-Faktor sosiologis dan psikologis. -Faktor moral dan kerohanian. Kesemua hal tersebut sangat berpengaruh kepada para pihak. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? -Para pihak tidak bisa diredam emosinya, sehingga para pihak tidak dapat menerima lagi masukan-masukan dari mediator dan merasa benar sendiri. -Pihak penggugat/pemohon sudah tidak bisa memaafkan pihak tergugat/ sehingga sulit untuk rukun lagi. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena mempertemukan perbedaan-perbedaan pendapat dalam perkara perceraian juga memang digunakan dan cocok dengan melalui mediasi . b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Belum. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Tidak. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Tidak disediakan anggaran untuk itu. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? Cukup baik, tapi tidak ideal. b. Bila belum cukup baik, apa alasannya? Ruang yang tersedia hanya satu, tidak sebanding dengan jumlah orang yang akan melakukan mediasi. 19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya? b. Bila tidak, kenapa tidak ada? -Tidak, karena diperlukan biaya untuk membayarnya. D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? Sebagian besar merasa puas. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? -Masing masing pihak merasa di posisi yang benar. -Merasa telah tercapai kata sepakat untuk mengakhiri perkawinan dengan perceraian. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Belum pernah. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Sepanjang tidak ada relevansinya maka belum diperlukan. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena saling membutuhkan pencerahan dan kemudahan dalam berproses perkara. b. Bila tidak, apa alasannya? -
Pihak yang diwawancarai
(E. Kurniati S.Ag.)
Pewawancara
(Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia Hari/Tanggal 1.
2. 3.
4.
: Dra. Hj. Fauziah, M.H. : 19671108.199303.2.001 : Hakim : 44 tahun : Selasa, 10 Mei 2011
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? Sejak bertugas di Pengadilan Agama Depok tahun 2010. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Karena belum mendapat pelatihan mediator. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? Perlu, karena akan menambah keterampilan Hakim dalam melakukan mediasi. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena bila tidak dilaksanakan dapat menjadikan Putusan Pengadilan Batal Demi Hukum. b. Bila tidak, apa alasannya? 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? b. Bila tidak perlu, apa alasannya? Tidak, karena perkembangan hukum itu sangat cepat.
7.
8.
Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sudah, dengan mengikutsertakan salah satu/beberapa hakim dalam pelatihan mediator dan menerbitkan PERMA untuk dibagikan kepada Para Hakim. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, setiap perkara yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara harus diperintahkan untuk dilakukan mediasi terlebih dahulu sebelum pemeriksaan pokok perkara. b. Bila tidak, apa alasannya? -
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? -Mediasi adalah satu upaya perdamaian di luar pengadilan guna mencari titik temu dalam masalah yang disengketakan. -Fungsi mediator sebagai jembatan atau penengah dalam mencari solusi. 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? -Sangat diperlukan. -Ya. -Karena ketika mediasi, kita bisa berbicara lebih rileks dan terbuka, sehingga perdamaian itu lebih mudah diwujudkan. 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Pada umumnya dalam ruangan tertutup tersendiri dan hanya 1 (satu) hari, bila keadaan tertentu bisa lebih. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? Dalam PERMA ada tahapan Kaukus (pertemuan sepihak), dimana mediator dalam menggali keinginan/hal-hal yang mendalam mendengar secara terpisah dan masing-masing pihak diberi kesempatan yang sama. 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? Ya ada pengaruhnya, setidak-tidaknya dapat meredakan emosi para pihak. b. Bila tidak, kenapa? -
14.
15.
16.
Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi? -Faktor utama adalah iktikad baik dari para pihak sendiri untuk dapat dirukunkan. -Kesadaran akan masing-masing kekurangannya sehingga dapat saling memaafkan dan memulai hidup rukun kembali. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? -Karena keadaan rumah tangga sudah sangat komplek dan kedua belah pihak sudah ingin mengakhiri pernikahannya. -Salah satu pihak sangat kuat keinginannya untuk bercerai. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Cocok, karena mediasi merupakan bagian dari upaya perdamaian. b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Belum. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Tidak ada insentif bagi hakim. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Sudah menjadi tugas dan kewajiban sebagai hakim mediator. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? b. Bila belum cukup baik, apa alasannya? Karena ruang mediasi baru ada satu dan didalamnya difungsikan 2 (dua) meja sebagai tempat pelayanan mediasi, sehingga kurang eksklusif. 19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya? b. Bila tidak, kenapa tidak ada? Tidak ada, karena mediator dari hakim yang ada sudah dianggap cukup. D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? Ada yang menerima dengan senang hati dan ada pula yang menganggap tidak perlu karena sudah sangat keras untuk bercerai. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? Salah satu pihak atau keduanya sudah sama-sama kuat kehendaknya untuk bercerai. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Tidak pernah. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Karena masih belum diperlukan untuk mengundang ahli. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? b. Bila tidak, apa alasannya? Karena tidak semua pihak siap untuk dilakukan mediasi, mereka menginginkan perkara cepat selesai dan sangat kuat keinginan untuk bercerai. Pihak yang diwawancarai
Pewawancara
(Dra. Hj. Fauziah, M.H.)
(Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia 1.
2. 3.
4.
: Dra. Nurmiwati : 19671225.199303.2.002 : Hakim : 44 tahun
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? April 2009. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Belum mengikuti pelatihan mediator. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? Perlu untuk meningkatkan SDM Peradilan. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? b. Bila tidak, apa alasannya? Tidak, karena upaya mediasi hak bagi para pihak pengadilan tidak dapat memaksa. 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
7.
8.
Sudah ada UU tentang ADR dan UU No 30 Tahun 1999. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sudah dengan pelatihan. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? Efektif, namun masih perlu ditingkatkan SDM mediator. b. Bila tidak, apa alasannya? -
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? Mediasi adalah mencari titik temu yang diinginkan oleh kedua pihak dengan difasilitasi oleh mediator. 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? -Perlu mediasi, -Untuk efektivitas dan efisiensi persidangan. 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Prinsipnya tertutup, namun para pihak dapat meminta yang lain sesuai kesepakatan. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? b. Bila tidak, kenapa? Belum perlu. 14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi? -Iktikad baik dari kedua pihak. -Persoalan yang tidak terlalu ruwet. -Persuasif yang baik.
15.
16.
Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? -Persoalan terlalu rumit. -Persuasif kurang. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Perlu, karena boleh jadi gugatan yang diajukan oleh pihak hanya karena emosi atau soek terapi, dengan mediasi pihak dapat diingatkan/tersadar kembali. b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Belum. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Belum. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Sudah menjadi tugas hakim yang diamanatkan oleh PERMA No 1 Tahun 2008. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? b. Bila belum cukup baik, apa alasannya? Belum, satu ruang dipakai oleh 2 (dua) mediator. 19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim? a. Bila ya, berapa jumlahnya?
b. Bila tidak, kenapa tidak ada? Tidak, karena itu bukan tugas PA, D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? Untuk perkara perceraian lebih banyak yang ingin tidak perlu mediasi. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? -Persoalan yang sudah ruwet -Tersinggung harga dirinya. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Tidak. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Belum diperlukan. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena proses mediasi sifatnya wajib, bila tidak dilalui dapat mengakibatkan putusan batal demi hukum. b. Bila tidak, apa alasannya? -
Yang Diwawancarai
(Dra. Nurmiwati)
Depok, 13 Mei 2011 Yang Mewawancarai
(Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia Hari/Tanggal 1.
2. 3.
4.
: Drs. Sarnoto, M.H. : 19671225.199403.1.005 : Hakim : 44 tahun : Selasa, 10 Mei 2011
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? Sejak tahun 2006. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? Ya punya, dari MA RI tahun 2009. b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? Perlu, karena dengan pelatihan mediasi akan menambah keterampilan hakim dalam melaksanakan mediasi. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena bila pihak pencari keadilan tidak mau melaksanakan mediasi, maka putusan pengadilan menjadi batal demi hukum. b. Bila tidak, apa alasannya? 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
7.
8.
Tidak perlu, karena perkembangan hukum itu sangat cepat dan problem hukum selalu datang duluan baru itu solusi hukumnya. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sudah, dengan memanggil/mengikutsertakan salah satu/beberapa hakim secara bertahap untuk mengikuti pelatihan dan dengan menerbitkan PERMA tersebut untuk dibagikan kepada para hakim. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, setiap perkara yang pada awal prinsipnya dua-duanya (kedua belah pihak) hadir; Majelis Hakim selalu mewajibkan dilakukan mediasi terlebih dahulu sebelum pemeriksaan pokok perkara dilanjutan. b. Bila tidak, apa alasannya? -
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? Mediasi adalah upaya untuk mencari titik temu atau kesamaan pandangan antara pihak yang berperkara dalam menyelesaikan perkaranya. Mediator hanya berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan penengah (wasit). 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? Mediator diberi kebebasan oleh Majelis Hakim untuk menentukan proses mediasi sesuai PERMA. 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Mediasi selalu harus tertutup; pada umumnya pihak berperkara hanya 1 (satu) kali melaksanakan mediasi. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? Dalam PERMA ada tahap KAUKUS (pertemuan sepihak), mediator mencoba menggali keinginan pihak secara tertulis dan masing-masing pihak diberi kesempatan yang sama. 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? Ya, ada pengaruhnya yaitu setidak-tidaknya dapat mengendalikan emosi para pihak. b. Bila tidak, kenapa?
14.
15.
16.
Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi? Faktor utama adalah tekad/iktikad para pihak sendiri untuk kembali rukun, terutama pihak Pemohon/Penggugat yang masih bisa menerima Termohon/Tergugat untuk kembali bersama. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? -Kedua belah pihak sudah sama-sama menghendaki perceraian. -Salah satu pihak sangat kuat keinginannya untuk bercerai. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Cocok, karena mediasi adalah salah satu dari upaya perdamaian yang kemudian diformulasikan sebagai bagian hukum acara perdata. b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Belum. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Tidak ada insentif bagi hakim yang berhasil dalam mediasi. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Dalam PERMA telah ditegaskan bahwa mediasi yang dilakukan di pengadilan dan oleh mediator hakim tidak dipungut biaya. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? b. Bila belum cukup baik, apa alasannya? Ruang mediasi baru 1 (satu) dan didalamnya ada 3 (tiga) meja yang berfungsi semua sebagai pelayanan mediasi dan tidak tersedia ruang kaukus.
19.
Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim? a. Bila ya, berapa jumlahnya? b. Bila tidak, kenapa tidak ada? Tidak ada, karena mediator dari hakim masih dianggap cukup dan sanggup untuk melayani pihak-pihak.
D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? Ada yang dengan kooperatif dan senang sekali untuk melakukan mediasi dan ada pula yang menolak untuk mediasi. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? Salah satu pihak atau kedua-duanya sudah sama-sama menghendaki perceraian. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Tidak pernah. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Sampai saat ini belum atau tidak perlu untuk mengundang ahli. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? b. Bila tidak, apa alasannya? Tidak semua pihak siap untuk melakukan mediasi, karena tidak semua pihak memahami tentang maksud dan tujuan mediasi.
Pihak yang diwawancarai
(Drs. Sarnoto, M.H.)
Pewawancara
(Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia Hari/Tanggal 1.
2. 3.
4.
: Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. : 19680915.199403.2.004 : Hakim : 43 tahun : Rabu, 11 Mei 2011
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? Ya. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama Depok. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Tidak, karena belum mengikuti pelatihan mediator. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? Perlu, karena hakim sering diminta para pihak untuk menjadi mediator dalam perkaranya. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena mediasi akan menjembatani para pihak dalam meyelesaikan masalahnya sehingga mencapai/memperoleh solusi terbaik bagi mereka. b. Bila tidak, apa alasannya? 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
7.
8.
Tidak perlu, karena dalam bentuk PERMA saja saat ini sudah cukup/memadai dan mengikat. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sudah dengan menjadi salah seorang hakim Pengadilan Agama Depok untuk mengikuti pelatihan mediator. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? b. Bila tidak, apa alasannya? Ya, karena dengan mediasi terhadap para pihak membuat proses beracara di lingkungan kerja dan mudah (memperlancar proses beracara).
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? Mediasi adalah mempertemukan dua pihak yang bermasalah melalui juru bicara/juru runding agar tercapai perdamaian atau minimal ada titik temu dalam tujuan yang akan dicapai atau meminimalisir perbedaan-perbedaan antara dua pihak yang bermasalah. 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? Sangat diperlukan, sebab mendamaikan para pihak di persidangan sangat terbatas waktunya. Dengan mediasi bisa lebih leluasa dan bisa dilakukan secara parsial (kaukus). 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Ya, maksimal 40 (empat puluh) hari. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? Melanjutkan persidangan untuk menyelesaikan perkara lagi. 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? Ya, dapat karena masing-masing pribadi lebih leluasa dan terbuka menyampaikan keluhannya. b. Bila tidak, kenapa? 14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
15.
16.
-Teknis menyampaikan mediator. -Faktor sosiologi dan psikologis. -Faktor rohani. -Faktor moral. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? -Bila para pihak tidak dapat diredam emosinya. -Sebagian para pihak tidak dapat menerima lagi masukan-masukan dari mediator dan merasa benar sendiri. -Bila pihak Penggugat/Pemohon sudah tidak bisa memaafkan pihak Tergugat/Termohon. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena mempertemukan perbedaan-perbedaan terdapat dalam perkara perceraian juga diperlukan dan cocok dengan melalui mediasi. b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Belum. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Tidak. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Tidak disediakan anggaran untuk itu. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? Cukup baik tapi tidak ideal. b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
19.
Ruang yang tersedia hanya satu tidak sesuai dengan jumlah orang yang akan melakukan mediasi. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim? a. Bila ya, berapa jumlahnya? b. Bila tidak, kenapa tidak ada? Tidak, karena diperlukan biaya untuk membayarnya.
D. Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? Sebagian besar merasa puas. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? -Masing-masing pihak merasa di posisi yang benar. -Merasa telah tercapai kata sepakat untuk mengakhiri perkawinan dengan perceraian. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Belum pernah. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Sepanjang tidak ada relevansinya maka belum diperlukan. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena saling membutuhkan, diantaranya untuk pemecahan dan kemudahan dalam berproses perkara. b. Bila tidak, apa alasannya? -
Pihak yang diwawancarai
(Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H.)
Pewawancara
(Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia Hari/Tanggal 1.
2. 3.
4.
: Umar Faruq, S.Ag., M.H.I. : 19700101.199703.1.007 : Hakim : 41 tahun : Jum’at, 13 Mei 2011
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? Ya, sejak Januari 2011. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Belum mengikuti pelatihan mediator. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? -Perlu untuk peningkatan SDM Peradilan. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? b. Bila tidak, apa alasannya? Tidak, karena upaya mediasi hak bagi para pihak, Pengadilan tidak dapat memaksa. 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
7.
8.
Sudah ada UU tentang ADR dan UU No 30 Tahun 1999. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sudah dengan pelatihan-pelatihan. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? Efektif, namun masih perlu ditingkatkan SDM mediator. b. Bila tidak, apa alasannya? -
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? Mediasi berarti mencari titik temu yang diinginkan oleh kedua pihak dengan difasilitasi oleh mediator. 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? -Perlu mediasi. -Untuk efektivitas dan efisiensi persidangan. 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Prinsipnya tertutup, namun para pihak dapat meminta yang lain sesuai kesepakatan. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? b. Bila tidak, kenapa? Belum perlu. 14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi? -Iktikad baik dari kedua pihak. -Persoalan yang tidak terlalu ruwet -Persuasif yang baik. 15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
16.
-Persoalan sudah rumit -Persuasif sudah kurang. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Perlu, karena boleh jadi gugatan yang diajukan oleh pihak hanya karena emosi atau shock terapy, dengan mediasi pihak dapat diingatkan/tersadar. b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Belum. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Belum. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Sudah menjadi tugas hakim yang diamanatkan oleh PERMA No 1 Tahun 2008. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? b. Bila belum cukup baik, apa alasannya? -Belum. -Satu ruang dipakai oleh 2(dua) orang mediator. 19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim? a. Bila ya, berapa jumlahnya? b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak, karena itu bukan tugas Pengadilan Agama. D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? Untuk perkara perceraian lebih banyak yang ingin tidak perlu mediasi. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? -Persoalan yang sudah ruwet. -Tersinggung harga dirinya. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Tidak. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Belum diperlukan. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena proses mediasi sifatnya wajib, bila tidak dapat mengakibatkan putusan batal demi hukum. b. Bila tidak, apa alasannya? -
Pihak yang diwawancarai
(Umar Faruq, S.Ag., M.H.I.)
Pewawancara
(Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia Hari/Tanggal 1.
2. 3.
4.
: Drs. H. Bambang Hermanto, M.H. : 19590919.198903.1.001 : Hakim : 50 tahun : Rabu, 11 Mei 2011
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? Ya, sejak tahun 2010. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? Belum bersertifikat. b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Belum ikut pelatihan sertifikat mediator. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? Ya, sangat perlu. Supaya lebih efektif. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena setiap pemeriksaan harus diupayakan perdamaia dan mediasi sendiri merupakan kepanjangan upaya perdamaian. b. Bila tidak, apa alasannya? 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? Ya perlu supaya ada keseragaman beracara. b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
7.
8.
Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sudah melalui pembinaan rutin oleh Ketua Pengadilan Agama. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? b. Bila tidak, apa alasannya? Belum efektif, alasannya sebagian besar mediator belum bersertifikat.
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dibantu oleh mediator. Mediator berfungsi sebagai penengah bagi pihak pihak berperkara. 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? Ya proses mediasi diperlukan, ya memang majelis hakim berkewajiban mendamaikan dalam persidangan, sedangkan mediator di luar persidangan dan dari integrasi ada kesan untuk ada alternatif penyelesaian di luar sidang dan menghindari penumpukan. 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Ya proses mediasi dilakukan secara tertutup dan biasanya berlangsung 1-2 minggu. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? Jika sudah diupayakan tetapi menemui jalan buntu, ya sudah tinggal dibuatkan laporan gagal memperoleh kesepakatan. 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? Sebetulnya perlu dilakukan kaukus. Dan saya yakin ada pengaruhnya. b. Bila tidak, kenapa? 14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
15.
16.
Faktor intern dari para pihak terutama faktor kejiwaan. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? Faktor psikologi kejiwaan yang terlalu kecewa, sehingga sering berputus harapan. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, alasannya merukunkan kembali rumah tangga yang sudah pecah, sungguh sulit tetapi mulia. b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Masih kurang memadai dan dibutuhkan sarana penunjang seperti proyektor. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Mediator hakim yang berhasil disediakan insentif sesuai dengan pasal 25 PERMA Tahun 2008. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Pasal 10 ayat (1) PERMA No 1 Tahun 2008 disebutkan penggunaan jasa mediator tidak dipungut biaya. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? Ya cukup memadai, yaitu ada ruang tersendiri dan ber-AC. b. Bila belum cukup baik, apa alasannya? Satu ruang 3 mediator, sarana air minum, dan proyektor. 19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim? a. Bila ya, berapa jumlahnya?
b. Bila tidak, kenapa tidak ada? Tidak, sebab belum ada mediator diluar hakim yang bersertifikat mendaftarkan diri. D. Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? 70-80% memberikan respon positif. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? -Komunikasi yang sudah terputus. -Ada pihak ke tiga. -Pendidikan. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Belum pernah, namun para pihak sendiri yang menyatakan sudah pernah menghadap seorang ahli. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Para pihak sendiri merasa tidak perlu. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, hampir semua siap mengikuti mediasi setelah upaya perdamaian. b. Bila tidak, apa alasannya? Sudah terlalu parah keadaan rumah tangganya.
Pihak yang diwawancarai
(Drs. H. Bambang Heryanto, S.H.)
Pewawancara
(Hidayatulloh)
EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: HIDAYATULLOH NIM. 107044102355
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH KONSENTRASI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Hidayatulloh NIM. 107044102355
Di Bawah Bimbingan:
Dr. H. Yayan Sofyan, S.H., M.Ag. NIP: 196810141996031002
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH KONSENTRASI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul “Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Depok” telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah.
Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. NIP. 195505051982031012 PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. NIP. 195003061976031001
Sekretaris
: Hj. Rosdiana, M.A. NIP. 196906102003122001
Pembimbing : Dr. H. Yayan Sofyan, S.H., M.Ag. NIP. 196810141996031002 Penguji I
: Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, M.A. NIP. 150050917
Penguji II
: Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A. NIP. 195811101988031001
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 29 Mei 2011
Hidayatulloh
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah subhana wa ta’ala atas segala taufiq dan inayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang setia hingga akhir zaman. Skripsi ini kami persembahkan kepada Ayahanda Asmawih dan Ibunda Rohimah yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Kami sadar tidak akan dapat menyelesaikan skrispi ini tanpa adanya bantuan orang-orang yang ada di sekitar kami. Dengan segala kerendahan hati, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1.
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. dan Hj. Rosdiana, M.A. selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah.
3.
Dr. H. Yayan Sopyan, S.H., M.Ag. selaku pembimbing skripsi yang tak pernah lelah membimbing, mengarahkan, dan mengkritik kami dalam penyelesaian skripsi ini.
v
4.
Dr. Phil. JM. Muslimin, M.A. selaku pembimbing selama menjalani segala aktifitas di kampus yang selalu memberikan dorongan dan motivasi agar selalu bekerja dan berusaha maksimal demi menggapai mimpi kami.
5.
Seluruh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing dan mendidik kami selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6.
Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yakub, M.A. selaku orang tua kami selama belajar di Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah, yang telah memberikan teladan, mendidik, mengajarkan disiplin, dan memberikan ilmu yang sangat berharga bagi kehidupan kami, serta asatidz dan musyrif.
7.
Ketua Pengadilan Agama Depok beserta pihak-pihak yang terkait, khususnya Drs. Sarnoto, M.H. dan Endang Ridwan, S.Ag. yang telah meluangkan waktunya sehingga memudahkan kami menyelesaikan skripsi ini.
8.
Kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas beserta para staf yang telah memberikan fasilitas kepada kami dalam menelusuri literatur yang berkaitan dengan skripsi ini.
9.
Keluarga besar Peradilan Agama Angkatan 2007 kelas A yang menjadi teman seperjuangan kami. Seluruh pengurus BEMJ Peradilan Agama periode 20092010 dan 2010-2011 yang telah menemani kami belajar dan berorganisasi, terutama untuk Ridho Akmal Nasution dan Arifin Bahtiar. Serta kawan-kawan di HMI Komfaksy, LKBHMI, MCC, KMA-PBS, dan KKN Cikembulan terutama Arif Soleh, Asep Solahuddin, Riduan Dalimunthe, Subly, Naila, Andy, Dwima, Hafiz, Daus, Mala, Ima, Yai dan seterusnya yang tidak kami sebutkan satu persatu. Selanjutnya kawan-kawan kelompok studi TOEFL Bang Indra, Ulul vi
Azmi, Alvin, Anya dan kelompok studi Bahasa Arab Pita, Arif, Yeti, Fida, dan Siti. Kawan-kawan di Darus-Sunnah terutama angkatan Ta’aruf 2007 serta teman satu kamar Imam, Ali, Hayat, Munthe, Gus Nabil, Ipul, Faris, Bagus, Munawar, Farhan, dan Riski. Akhirnya, tidak ada yang dapat penulis berikan sebagai balas jasa kecuali hanya doa semoga semua pihak yang telah membantu penulis, mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Ciputat, 29 Mei 2011
Hidayatulloh
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .....................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ..............................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................
iv
KATA PENGANTAR .........................................................................................
v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I
PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................
7
D. Review Studi Terdahulu ..........................................................
9
E. Metode Penelitian.................................................................... 12 F. Sistematika Penulisan ............................................................. 16
BAB II
MEDIASI: KONSEP DAN PENERAPANNYA ......................... 18 A. Pengertian Mediasi .................................................................. 18 B. Asas-asas Umum Dalam Proses Mediasi ................................ 23 C. Keuntungan Menggunakan Mediasi ....................................... 26 D. Peran dan Fungsi Mediator ..................................................... 30 E. Proses Mediasi ........................................................................ 34 F. Mediasi Dalam Islam .............................................................. 39 viii
BAB III
TEORI EFEKTIVITAS ................................................................ 47 A. Pengertian Efektivitas ............................................................. 47 B. Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat .................................. 48 C. Teori Efektivitas Hukum ......................................................... 52
BAB IV
ANALISA EFEKTIVITAS MEDIASI......................................... 59 A. Profil Pengadilan Agama Depok ............................................. 59 B. Analisa Efektivitas Mediasi .................................................... 63 1. Tinjauan Yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ............. 63 2. Kualifikasi Mediator ......................................................... 69 3. Fasilitas dan Sarana ........................................................... 78 4. Kepatuhan Masyarakat ...................................................... 82 5. Kebudayaan ....................................................................... 86 C. Tingkat Keberhasilan Mediasi ................................................ 94 D. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Mediasi .... 98
BAB V
PENUTUP....................................................................................... 102 A. Kesimpulan ............................................................................. 102 B. Saran-saran ............................................................................. 103
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 105 LAMPIRAN ......................................................................................................... 112 ix
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam negara hukum yang tunduk kepada the rule of law, kedudukan peradilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang berperan sebagai katup penekan atas segala pelanggaran hukum dan ketertiban masyarakat. Peradilan dapat dimaknai juga sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi dan berperan menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice).1 Meskipun demikian, kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini adalah ketidakefektifan dan ketidakefisienan sistem peradilan. Penyelesaian perkara membutuhkan waktu yang lama. Mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Di sisi lain, para masyarakat pencari keadilan membutuhkan penyelesaian perkara yang cepat yang tidak hanya bersifat formalistis belaka.2
1
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, cet.VII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 229. 2
Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan salah satu asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 2 ayat (4) yaitu asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Makna dan tujuan asas ini bukan sekadar menitikberatkan unsur kecepatan dan biaya ringan. Bukan pula menyuruh hakim memeriksa dan memutus perkara dalam waktu satu atau dua jam. Yang dicita-citakan adalah suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu yang lama sampai bertahun-tahun, sesuai dengan kesederhanaan hukum itu sendiri. Apabila hakim
2
Untuk mengatasi problematika sistem peradilan yang tidak efektif dan efisien, maka muncul alternatif penyelesaian sengketa dengan perdamaian. Dalam hukum acara di Indonesia didapati dalam Pasal 130 Herziene Inlandsch Reglement (selanjutnya disebut HIR) maupun Pasal 154 Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (selanjutnya disebut R.Bg). Kedua pasal dimaksud mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:3 Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya akan menperdamaikan mereka itu. Selanjutnya ayat (2) mengatakan: Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu pada waktu bersidang, diperbuat sebuah akte, dengan nama kedua belah pihak diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang diperbuat itu; maka surat (akte) itu akan berkekuatan dan akan dilakukan sebagai putusan hakim yang biasa. Upaya perdamaian yang dimaksud oleh Pasal 130 ayat (1) HIR bersifat imperatif.4 Artinya hakim berkewajiban mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa sebelum dimulainya proses persidangan. Sang hakim berusaha mendamaikan dengan cara-cara yang baik agar ada titik temu sehingga tidak perlu ada proses persidangan yang lama dan melelahkan. Walaupun demikian, atau pengadilan sengaja mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak rasional, maka hakim tersebut tidak bermoral dan tidak professional, serta telah melanggar asas pengadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Lihat Gemala Dewi, ed., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet.III, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 71-72. 3
R. Tresna, Komentar HIR, cet.XVIII, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), h. 110.
4
M. Yahya Harahap, … h. 231.
3
upaya damai yang dilakukan tetap mengedepankan kepentingan semua pihak yang bersengketa sehingga semua merasa puas dan tidak ada yang merasa dirugikan. Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 melihat pentingnya integrasi mediasi dalam sistem peradilan. Bertolak dari ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 145 R.Bg, MA memodifikasikannya ke arah yang lebih bersifat
memaksa. Berangkat
dari
pemahaman
demikian,
maka
diterbitkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung (selanjutnya disebut SEMA) Nomor 01 Tahun 2002 pada tanggal 30 Januari 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (eks Pasal 130 HIR). Tujuan penerbitan SEMA adalah membatasi perkara secara substansif dan prosedural. Sebab apabila peradilan tingkat pertama mampu menyelesaikan perkara melalui perdamaian, akan berakibat turunnya jumlah perkara pada tingkat kasasi. Belum genap 2 (dua) tahun usia SEMA Nomor 01 Tahun 2002 pada tanggal 11 September 2003, MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut PERMA) Nomor 02 Tahun 2003 yang berjudul Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam konsiderans huruf e dikatakan salah satu alasan mengapa PERMA diterbitkan karena SEMA Nomor 01 Tahun 2002 belum lengkap atas alasan SEMA belum sepenuhnya mengintegrasikan mediasi ke dalam sistem peradilan secara memaksa tetapi masih bersifat sukarela dan
4
akibatnya SEMA itu tidak mampu mendorong para pihak secara intensif memaksakan penyelesaian perkara lebih dahulu melalui perdamaian. Setelah dilakukan evaluasi terhadap prosedur pelaksanaan mediasi di pengadilan sesuai PERMA Nomor 02 Tahun 2003 ternyata ditemukan permasalahan yang bersumber dari PERMA tersebut. Kemudian untuk mendayagunakan mediasi yang dilakukan di Pengadilan, MA merevisi PERMA Nomor 02 Tahun 2003 menjadi Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam konsideran huruf a PERMA Nomor 01 Tahun 2008 disebutkan bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak untuk menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Selanjutnya dalam huruf b disebutkan pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).5
5
Konsiderans butir b Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
5
Dalam ajaran Islam, dikenal adanya proses penyelesaian sengketa melalui perdamaian yang disebut dengan al-sulh.6 Islam menganjurkan pihak yang bersengketa menempuh jalur damai, baik di depan pengadilan maupun di luar pengadilan. Sulh memberikan kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam penyelesaian sengketa, dan mereka tidak lagi terpaku secara ketat pada pengajuan alat bukti. Para pihak memperoleh kebebasan mencari jalan keluar agar sengketa dapat diakhiri. Anjuran al-Quran dan Nabi Muhammad dalam ajaran Islam memilih sulh sebagai sarana penyelesaikan sengketa yang didasarkan pada pertimbangan bahwa sulh dapat memuaskan para pihak dan tidak ada pihak yang merasa menang dan kalah dalam penyelesaian sengketa.7 Peradilan Agama sebagai wujud peradilan Islam di Indonesia tentunya mengamalkan konsep sulh yang merupakan ajaran Islam.8 Para hakim di Pengadilan Agama harus selalu mengupayakan dua pihak yang bersengketa
6
Secara bahasa, al-sulh berarti menyelesaikan perkara atau pertengkaran. Sayyid Sabiq memberikan pengertian sulh dengan akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 (Kairo: Dar al-Fath, 1990), h. 201. Muhammad Khatib al-Syarbini menyebutkan sulh sebagai suatu akad di mana para pihak bersepakat mengakhiri persengketaan mereka. Lihat Muhammad Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 177. 7
Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, cet.I, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 159-160. 8
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang termasuk peradilan khusus bagi umat Islam. Eksistensinya tercantum dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
6
untuk menempuh jalur damai, karena jalur damai akan mempercepat penyelesaian perkara dan mengakhirinya atas kehendak kedua belah pihak. Berangkat dari tujuan awal adanya mediasi yang diantara tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah perkara, maka penulis beranggapan perlu untuk dijadikan objek penelitian dalam sebuah skripsi. Tulisan ini ingin menganalisa efektifitas mediasi di Pengadilan Agama dalam sebuah skripsi dengan judul “Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Depok”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Pembahasan pada penelitian ini dibatasi hanya pada tingkat keberhasilan mediasi, faktor-faktor pendukung dan penghambat, efektivitasnya di lingkungan Pengadilan Agama Depok. 2. Rumusan Masalah Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan bertujuan menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan
7
dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif). Namun pada kenyataannya selama 2 (dua) tahun pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 belum mampu mengurangi perkara yang masuk ke persidangan. Belum terjadi perubahan signifikan terhadap jumlah perkara yang masuk ke dalam proses persidangan, sehingga pencapaian belum sesuai dengan harapan. Berdasarkan hal tersebut, penulis merumuskan masalah pokok yang menjadi objek kajian dalam skripsi ini: 1. Bagaimana efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Depok? 2. Bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok? 3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Menguji efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Depok.
8
b. Mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama sesuai dengan PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang dilaksanakan di Pengadilan Agama Depok. c. Mencari
faktor-faktor
yang
menjadi
pendukung
dan
penghambat
keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok serta mencari solusinya. 2.
Manfaat Penelitian Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna, serta diharapkan mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya bermanfaat diantaranya: 1.
Bagi ilmu pengetahuan Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan perkembangan ilmu hukum yang menyangkut proses mediasi dalam penerapannya pada sistem peradilan perdata.
2.
Bagi masyarakat Untuk memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat luas mengenai pengintegrasian proses mediasi didalam penyelesaian perkara di pengadilan agama.
3.
Bagi penulis Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berpikir kritis serta pemenuhan prasyarat dalam menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9
D. Review Studi Terdahulu Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis telah menemukan beberapa skripsi yang membahas tentang mediasi. Berikut skripsi yang penulis temukan: Tabel 1 NO 1.
IDENTITAS M. Ali Suproni, Konsentrasi Peradilan Agama. Judul skripsi: “Pelaksanaan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”.
SUBSTANSI Meneliti kesesuaian antara pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan aturan dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2008, keberhasilan peran mediasi dalam menekan angka perceraian, dan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan mediasi. Proses integrasi proses mediasi dalam peradilan sesuai PERMA Nomor 01 Tahun 2008 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan memerlukan persiapan yang baik, mulai dari kesiapan sarana prasarana, hingga ketersediaan mediator yang profesional.
PEMBEDA Penelitian hanya dilakukan dalam bentuk analisa kesesuaian antara aturan dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dengan penerapannya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Berbeda dengan yang penulis lakukan, yaitu menganalisa efektivitas mediasi berdasarkan teori sebagai alat ukur. Sehingga dapat didapatkan kesimpulan apakah mediasi efektif atau tidak.
10
2.
Syahdan, Konsentrasi Peradilan Agama. Judul skripsi: “Pengaruh Mediasi Terhadap Angka Perceraian (Studi Analisa Pasca Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”.
3.
Siti Umu Kulsum NIM. 106044101441 Konsentrasi Peradilan Agama, 2006. Judul skripsi: “Efektivitas Mediasi Dalam Perceraian Perspektif PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi”.
Menyajikan analisa pengaruh mediasi terhadap angka perceraian, penerapan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan sejak keluarnya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 serta kesesuaiannya, dan faktor-faktor yang menyebabkan pelaksanaan mediasi tidak berjalan efektif. Dalam skripsi ini menggunakan datadata statistik dan hasil wawancara dengan para hakim yang menjadi mediator. Dalam analisa, diberikan kesimpulan bahwa mediasi tidak berpengaruh signifikan terhadap angka perceraian. Membahas sejarah lahirnya PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dan mediasi; pengertian, dasar hukum, prinsipprinsip, dan prosedurnya mulai tahap pramediasi, proses, hingga putusannya. Skripsi ini menyajikan data perkara tahun 2008-2009 di
Wawancara yang dilakukan terhadap para hakim sebagai pelaksana mediasi serta pengumpulan data statistik dijadikan kesimpulan terhadap efektif atau tidaknya mediasi terhadap angka perceraian. Hal tersebut juga dilakukan oleh penulis, namun tidak hanya itu, faktorfaktor lain yang mempengaruhi efektif atau tidaknya mediasi penulis gunakan yang diambil dari teori efektivitas Soerjono Soekanto.
Skripsi ini hanya fokus pada data perkara yang ada lalu menganalisa efektivitas mediasi tanpa menguji faktorfaktor penunjang keberhasilan mediasi. Sedangkan penulis menguji 5 (lima) faktor yang mempengaruhi keberhasilan mediasi berdasarkan teori efektivitas yang penulis gunakan.
11
4.
Pengadilan Agama Jakarta Timur yang kemudian dianalisa keefektivan mediasi sekaligus menjelaskan hambatan dan tantangan pelaksanannya. Widya Alia Menerangakan NIM. pengertian, sejarah, 106043201357 dasar hukum, ruang Konsentrasi lingkup, prinsipPerbandingan prinsip mediasi dalam Hukum, 2006. Judul PERMA Nomor 01 skripsi: Tahun 2008 Tentang “Efektivitas Mediasi Prosedur Mediasi di di Pengadilan Pengadilan. Agama Jakarta Skripsi ini Selatan Setelah menggunakan teori Dikeluarkannya efektivitas Ilham PERMA Nomor 1 Idrus sebagai alat Tahun 2008 Tentang ukur atau indikator Prosedur Mediasi di efektivitas mediasi di Pengadilan”. Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Teori efektivitas yang digunakan sebagai alat ukur lebih kepada aspek mediasi dalam pola kerjanya, sehingga tidak menjangkau indikatorindikator lain yang lebih luas. Lain hal dengan penulis lakukan, yakni menggunakan teori efektivitas Soerjono Soekanto yang lebih luas. Teori ini tidak hanya melihat keefektifan dari pola kerja, tetapi juga melihat faktor pendukung yang bersifat internal maupun eksternal.
12
E. Metode Penelitian Dalam pengumpulan bahan/data penyusunan skripsi ini agar mengandung suatu kebenaran yang objektif, penulis menggunakan metode penelitian ilmiah sebagai berikut: 1.
Metode Pendekatan Tipe kajian dalam penelitian ini secara spesifik lebih bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang diteliti, dalam hal ini untuk menggambarkan pengaturan mediasi berdasarkan PERMA Nomor 01 Tahun 2008.
2.
Jenis Penelitian Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuridis sosiologis adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan. 9 Dalam penelitian ini yang akan dicari perihal pelaksanaan mediasi di pengadilan agama dengan berpedoman pada aturan hukum yang berlaku, serta terkait pada pola-pola perilaku sosial dan masyarakat (pelaku sosial), sehingga dapat diperoleh kejelasannya di persidangan pengadilan.
9
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: RajaGrafindo, 2001), h. 26.
13
3.
Data Penelitian a.
Penelitian Kepustakaan (Library Research) Penelitian kepustakaan merupakan metode penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan dasar teori dalam memecahkan suatu masalah yang timbul dengan menggunakan bahan-bahan: a) Bahan Hukum Primer Merupakan bahan utama yang dijadikan pedoman dalam penelitian, terdiri dari: -
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
-
Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
-
Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg)
-
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
b) Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan yang memberikan penjelasan megenai bahan hukum primer, yang terdiri dari: -
Buku-buku
-
Majalah Hukum
-
Artikel Ilmiah
-
Arsip-arsip yang mendukung
-
Publikasi dari Lembaga terkait
14
c) Bahan Hukum Tersier Bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, meliputi: -
Bibliografi
-
Ensiklopedia
-
Kamus Hukum
b. Penelitian Lapangan (Field Research) Dilakukan dengan cara melakukan proses terjun langsung secara aktif ke lapangan untuk meneliti obyek penelitian tersebut. 1) Lokasi Penelitian Mengenai lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Depok, disebabkan perihal yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat menjadi skripsi ini terdapat di tempat tersebut. Dalam hal ini mengenai pelaksanaan mediasi di lokasi tersebut. 2) Subyek Penelitian Untuk mencari kebenaran data dan penjelasan yang mampu dipertanggungjawabkan secara prosesil, maka yang tepat untuk dijadikan rujukan adalah Hakim yang ditunjuk sebagai Mediator itu sendiri dari para pihak yang pernah menjalani proses mediasi dan Hakim
Pengadilan
Agama
Depok
yang
mampu
mengkaji,
mengetahui, serta memeriksa sekaligus memutus jalannya proses mediasi.
15
4.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan: a.
Studi Kepustakaan Studi Kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan mencari konsepsi-konsepsi,
teori-teori,
pendapat,
atau
penemuan
yang
berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaaan berupa peraturan perundangan, karya ilmiah para sarjana, laporan lembaga, dan lain-lain sumber.10 b.
Wawancara (Interview) Wawancara atau interview merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara langsung. Dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak berfungsi sebagai pencari informasi atau interviewer sedangkan pihak lain berfungsi sebagai pemberi informasi atau informan (responden).11 Wawancara dilakukan penulis dengan Hakim yang ditunjuk sebagai Mediator di Pengadilan Agama Depok yang mampu mengkaji,
10
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum (Surakarta: UMS Press, 2004), h. 47. 11
Soemitro Romy H, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h. 71.
16
mengetahui, serta memeriksa sekaligus memutus jalannya proses mediasi. 5.
Metode Analisis Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis serta lisan dan juga perilaku yang nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.12
F. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan terdiri dari 5 (lima) bab yang terdiri dari sub-sub yang dirinci sebagai berikut: Bab Pertama, merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab Kedua, membahas tentang mediasi dalam konsep dan penerapannya yang meliputi pengertian mediasi, asas-asas umum dalam proses mediasi, keuntungan menggunakan mediasi, peran dan fungsi mediator, proses mediasi, dan mediasi dalam Islam. Bab Ketiga, memaparkan teori efektivitas hukum sebagai alat uji proses mediasi di pengadilan agama. Penulis menjelaskan pengertian efektivitas dan 12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1984), h. 13.
17
selanjutnya
dilakukan
pembahasan
bekerjanya
hukum
di
masyarakat.
Selanjutnya, disajikan Teori Efektivitas Hukum Soerjono Soekanto yang dijadikan dasar pengujian penelitian ini. Bab Keempat, berisi analisa efektivitas mediasi yang berisikan tentang profil Pengadilan Agama Depok, laporan pemberdayaan lembaga perdamaian, faktor-faktor pendukung dan penghambat keberhasilan mediasi, dan di akhir penulis sajikan analisa efektivitas mediasi di Pengadilan Agama Depok berdasarkan landasan teori efektivitas, yakni tinjauan yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008, kualifikasi mediator, fasilitas dan sarana, kepatuhan masyarakat, kebudayaan. Bab Kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
18
BAB II MEDIASI: KONSEP DAN PENERAPANNYA
A. Pengertian Mediasi Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.13 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat.14 Dalam Black‟s Law Dictionary, pengertian mediasi adalah:15 “A method of nonbinding dispute resolution involving a neutral third party who tries to help the disputing parties reach a mutually agreeable solution.” 13
Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, cet.I, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), h. 1-2. 14
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, cet.II, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 726. 15
Bryan A. Garner. Ed, Black‟s Law Dictionary, 8th ed, (USA: West, 2004), h. 1003.
19
Pengertian mediasi dalam Kamus Hukum Indonesia adalah berasal dari bahasa Inggris mediation yang berarti proses penyelesaian sengketa secara damai yang melibatkan bantuan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa.16 Kamus Hukum Ekonomi ELIPS sebagaimana dikutip oleh Runtung, memberikan batasan bahwa mediation, mediasi: salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan menggunakan jasa seorang mediator atau penengah.17 Menurut John W. Head, mediasi adalah suatu prosedur penengahan dimana seseorang bertindak sebagai “kendaraan” untuk berkomunikasi antarpara pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.18
16
B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, cet.I, (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), h .168.
17
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat FH-Universitas Sumatera Utara. Medan: USU, 2006. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2006/ppgb_2006_runtung.pdf, h. 8. 18
John W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi (Jakarta: Proyek ELIPS, 1997), h. 42.
20
Pengertian mediasi yang lain menurut Cristopher W. Moore sebagaimana dikutip oleh Gatot Soemartono adalah: 19 The intervention in a negotiation or a conflict of an acceptable third party who has limited or no authoritative decision-making power but who assists the involved parties in voluntarily reaching a mutually acceptable settlement of issues in dispute. Definisi tersebut menegaskan hubungan antara mediasi dan negosiasi, yaitu mediasi adalah sebuah intervensi terhadap proses negosiasi yang dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga memiliki kewenangan terbatas (limited) atau sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, yang membantu para pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian sengketa yang diterima kedua belah pihak. Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan pengertian mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.20
19
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, cet.I, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 121. 20
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
21
Untuk mengerti secara komprehensif mengenai mediasi, menurut Siddiki perlu dipahami tentang 3 (tiga) aspek dari mediasi sebagai berikut:21 1. Aspek Urgensi/Motivasi Urgensi dan motivasi dari mediasi adalah agar pihak-pihak yang berperkara menjadi damai dan tidak melanjutkan perkaranya dalam proses pengadilan. Apabila ada hal-hal yang mengganjal yang selama ini menjadi masalah, maka harus diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah mufakat. Tujuan utama mediasi adalah untuk mencapai perdamaian antara pihakpihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bertikai atau berperkara biasanya sangat sulit untuk mencapai kata sepakat apabila bertemu dengan sendirinya. Titik temu yang selama ini beku mengenai hal-hal yang dipertikaikan itu biasanya bisa menjadi cair apabila ada yang mempertemukan. Maka mediasi merupakan sarana untuk mempertemukan pihak-pihak yang berperkara dengan difasilitasi oleh seorang atau lebih mediator untuk menfilter persoalan-persoalan agar menjadi jernih dan pihak-pihak yang bertikai mendapatkan kesadaran akan pentingnya perdamaian antara mereka. 2. Aspek Prinsip Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Apabila tidak 21
Siddiki, Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan. Artikel di akses pada tanggal 06 November 2010 dari http://www.badilag.net/artikel/mediasi.pdf
22
menempuh prosedur mediasi menurut PERMA ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg. yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk ke pengadilan tingkat pertama tidak mungkin melewatkan acara mediasi. Karena apabila hal ini terjadi resikonya akan fatal. 3. Aspek Substansi Yaitu bahwa mediasi merupakan suatu rangkaian proses yang harus dilalui untuk setiap perkara perdata yang masuk ke Pengadilan. Substansi mediasi adalah proses yang harus dijalani secara sunggguh-sungguh untuk mencapai perdamaian. Karena itu diberikan waktu tersendiri untuk melaksanakan mediasi sebelum perkaranya diperiksa. Mediasi bukan hanya sekadar untuk memenuhi syarat legalitas formal, tetapi merupakan upaya yang sungguhsungguh yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mencapai perdamaian. Mediasi adalah merupakan upaya pihak-pihak yang perperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri. Bukan kepentingan Pengadilan atau hakim, juga bukan kepentingan mediator. Sehingga dengan demikiaan segala biaya yang timbul karena proses mediasi ini ditanggung oleh pihak-pihak yang berperkara. Dalam kamus istilah hukum terdapat pengertian mediasi yang berbeda, begitu pula para ahli hukum memberikan pengertian yang berbeda-beda. Untuk memudahkan dalam memahami pengertian mediasi, penulis berpendapat bahwa
23
untuk kemudahan dalam memahami mediasi dapat dilakukan dengan mengetahui unsur-unsur yang terdapat dalam mediasi sebagai berikut: 1.
Metode alternatif penyelesaian sengketa;
2.
Bersifat non litigasi;
3.
Menggunakan jasa mediator; dan
4.
Kesepakatan sesuai keinginan para pihak.
B. Asas-asas Umum Dalam Proses Mediasi Mediasi merupakan proses penyelesaian non ligitasi atau setidak-tidaknya proses yang terpisah dari proses litigasi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 Ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, bahwa pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan jika mediasinya gagal, kemudian dalam Pasal 19 Ayat (2) disebutkan bahwa semua catatan mediator wajib dimusnahkan. Bila kita telaah lebih lanjut kalimat “keterpisahan mediasi dari litigasi” akan terlihat agak ganjil, karena sejatinya ketika gugatan didaftarkan dan dicatat dalam register pengadilan, berarti sejak saat itu para pihak sudah mulai tunduk dengan aturan dalam proses hukum acara perdata. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mengatur mediasi dalam proses perkara, walaupun belum masuk substansi persidangan yang sebenarnya karena gugatan belum dibacakan. Namun sesungguhnya perkara tersebut sudah ada dalam kewenangan pengadilan. Maka
24
menurut D.Y. Witanto22, bahwasanya PERMA hendak memberikan pengertian bahwa meskipun mediasi dilaksanakan dalam proses berperkara, namun sifat dan substansi penyelesainnya berada di luar kewenangan Majelis Hakim yang menyidangkan perkaranya. Oleh karena PERMA menyebutkan bahwa mediasi merupakan proses yang berada di luar litigasi, maka menurut D.Y. Witanto, proses mediasi memiliki ciri dan prinsip yang berbeda dengan prinsip persidangan pada umumnya yang mana perbedaan tersebut antara lain: 1. Proses mediasi bersifat informal. Mediator sebagai fasilitator akan menggunakan pendekatan non legal dalam menyelesaikan perkara, sehingga tidak kaku dan rigid. Bagi mediator non hakim, pertemuan dapat dilakukan di luar pengadilan seperti hotel, restoran, dan sebagainya, sehingga suasana yang nyaman relatif lebih baik agar tercipta perdamaian bagi kedua belah pihak. Dalam mediasi di pengadilan tetap mengikuti aturan hukum acara sebagai panduan proses, namun tingkat formalitasnya tidak seformal persidangan di pengadilan. Maka proses mediasi di pengadilan bersifat semi informal. 2. Waktu yang dibutuhkan relatif singkat. Dalam Pasal 13 Ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa proses mediasi berlangsung paling
22
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi: Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, cet.I, ( Bandung: Alfabeta, 2010), h. 31.
25
lama 40 (empat puluh) hari dan dalam Pasal 13 Ayat (4) dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari. Waktu tersebut tidaklah mutlak, bila kesepakatan tercapai kurang dari 40 (empat puluh) hari, mediator dapat langsung mengajukan kesepakatan damai kehadapan hakim yang memeriksa perkara untuk dibuat akta perdamaian. Akan tetapi bila mediasi di pengadilan tingkat pertama gagal, dapat dilakukan kembali pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali. 3. Penyelesaian didasarkan atas kesepakatan para pihak. Mediator hanya sebagai
fasilitator
agar
tercapai
sebuah
kesepakatan
yang
dapat
menguntungkan kedua belah pihak. 4. Biaya ringan dan murah. Bila para pihak menggunakan jasa mediator non hakim, biaya mediasi tergantung kebutuhan selama berlangsungnya proses mediasi. Namun bila menggunakan jasa mediator hakim, biaya akan jauh lebih murah, yakni hanya dikenakan biaya pemanggilan bila ada pihak yang tidak hadir sesuai perjanjian. Sedangkan untuk jasa mediator dari kalangan hakim dan penggunaan ruang mediasi di pengadilan tidak dipungut biaya apapun. 5. Prosesnya tertutup dan bersifat rahasia. Dalam Pasal 6 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain.
26
6. Kesepakatan damai bersifat mengakhiri perkara. Artinya bila para pihak menghendaki kesepakatan damai, gugatan perkara harus dicabut, sehingga perkara dinyatakan selesai. 7. Proses mediasi dapat mengesampingkan pembuktian. Para pihak tidak perlu saling berdebat dengan alasan bukti-bukti, namun yang diupayakan adalah mempertemukan titik temu dari permasalahan. 8. Proses mediasi menggunakan pendekatan komunikasi. Dilakukan pendekatan dialog dengan pola komunikasi interaktif saling menghormati dan menghargai. 9. Hasil mediasi bersifat win-win solution. Tidak ada istilah menang kalah. Semua pihak harus menerima kesepakatan yang mereka buat bersama-sama. 10. Akta perdamaian bersifat final dan binding. Berkekuatan hukum tetap (BHT) dan dapat dieksekusi.
C. Keuntungan Memilih Proses Mediasi Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa pastinya memberikan keuntungan bagi para pihak yang ingin menyelesaikan perkaranya. Sehingga sangat tepat bila dijadikan pilihan dibandingkan dengan mengikuti persidangan di pengadilan. Menurut Achmad Ali, keuntungan menggunakan mediasi adalah:23
23
Achmad Ali, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, cet.I, (Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2004), h. 24-25.
27
1. Proses yang cepat: persengketaan yang paling banyak ditangani oleh pusatpusat mediasi publik dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya berlangsung dua hingga tiga minggu. Rata-rata waktu yang digunakan untuk setiap pemeriksaan adalah satu hingga satu setengah jam. 2. Bersifat rahasia: segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi bersifat rahasia di mana tidak dihadiri oleh publik dan juga tidak ada pers yang meliput. 3. Tidak mahal: sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan kualitas pelayanan secara gratis atau paling tidak dengan biaya yang sangat murah: para pengacara tidak dibutuhkan dalam suatu proses mediasi. 4. Adil: solusi bagi suatu persengketaan dapat disesuaikan dengan kebutuhankebutuhan masing-masing pihak: preseden-preseden hukum tidak akan diterapkan dalam kasus-kasus yang diperiksa oleh mediasi. 5. Berhasil baik: pada empat dari lima kasus yang telah mencapai tahap mediasi, kedua pihak yang bersengketa mencapai suatu hasil yang diinginkan. Mediasi memberikan banyak keuntungan karena memiliki metode yang berbeda dari litigasi di pengadilan. Menurut Gatot Soemartono, mediasi dapat memberikan beberapa keuntungan penyelesaian sebagai berikut:24
24
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia …, h. 139-140.
28
a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif murah dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau arbitrase. b. Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan hanya pada hak-hak hukumnya. c. Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka. d. Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya. e. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui konsensus. f. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya. g. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbitrer pada arbitrase.
29
Pendapat lain yang dikemukakan Christopher W. Moore (1995) tentang beberapa keuntungan yang seringkali didapatkan dari hasil mediasi sebagaimana dikutip oleh Runtung, yaitu:25 1.
Keputusan yang hemat, mediasi biasanya memakan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan litigasi;
2.
Penyelesaian secara cepat;
3.
Hasil yang memuaskan bagi semua pihak;
4.
Kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan “customized”;
5.
Praktik dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif;
6.
Tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga;
7.
Pemberdayaan individu;
8.
Melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan dengan cara yang lebih ramah;
9.
Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan;
10. Kesepakatan yang lebih baik dari pada hanya menerima hasil kompromi atau prosedur menang-kalah; 11. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.
25
…, h. 9-10.
Runtung. Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia
30
D. Peran dan Fungsi Mediator Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2008, mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Pengertian mediator dalam Black‟s Law Dictionary adalah:26 A neutral person who tries to help disputing parties reach an agreement. Mediator artinya perantara (penghubung, penengah).27 Dalam Kamus Hukum Indonesia, kata mediator berasal dari bahasa latin mediator yang berarti penengah; pihak ketiga sebagai pemisah atau juru damai antara pihak-pihak yang bersengketa.28 Mediator dalam Kamus Ekonomi ELIPS artinya penengah, yakni seseorang yang menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya.29 Mediator harus memenuhi persyaratan-persyaratan agar proses mediasi yang dilakukan dapat berhasil. Persyaratan bagi seorang mediator dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi internal dan sisi eksternal. Sisi internal berupa
…,h. 8.
26
Bryan A. Garner. Ed, Black‟s Law Dictionary …, h. 1003.
27
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia …, h. 726.
28
B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia…, h. 168.
29
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia
31
kemampuan personal dalam menjalankan tugasnya antara lain: kemampuan membangun kepercayaan para pihak, kemampuan menunjukkan sikap empati, tidak menghakimi dan memberikan reaksi positif terhadap sejumlah pernyataan yang disampaikan para pihak dalam proses mediasi, walaupun ia sendiri tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Sisi eksternal berupa persyaratan lain yang berkaitan dengan para pihak dan permasalahan yang dipersengketakan oleh mereka. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut: 30
30
Syahrizal Abbas, Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional …, h. 60-65.
32
1. Keberadaan mediator disetujui oleh kedua belah pihak; 2. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa; 3. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa; 4. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak; dan 5. Tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya. Mediator memiliki peran yang sangat penting agar tercapai kesepakatan damai diantara pihak-pihak yang bersengketa. Gery Goodpaster sebagaimana dikutip oleh D.Y. Witanto, menyebutkan bahwa mediator memiliki beberapa peran penting antara lain:31 1. Melakukan diagnosa konflik; 2. Mengidentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis; 3. Menyusun agenda; 4. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi; 5. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar menawar; 6. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting; 7. Penyelesaian masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan; dan 8. Diagnosis sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem.
31
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi …, h.102.
33
Dapat kita pahami bahwa seorang mediator memiliki peran yang sangat penting bagi tercapainya kesepakatan damai diantara para pihak. Selain peran tersebut diatas, menurut Fuller, mediator juga memiliki beberapa fungsi antara lain:32 1. Sebagai katalisator, yakni menciptakan keadaan dan suasana baru dari sebuah pertentangan ke arah kondisi kooperatif dalam forum kebersamaan. 2. Sebagai pendidik, yakni mampu memberikan arahan dan nasihat untuk menemukan solusi terbaik bagi semua pihak. 3. Sebagai penerjemah, yakni menerjemahkan konsep masing-masing pihak dan hal-hal yang ingin dilakukan dan ditawarkan satu sama lain. 4. Sebagai narasumber, yakni mampu mendayagunakan atau melipatgandakan kemanfaatan sumber-sumber informasi yang tersedia. 5. Sebagai penyandang berita jelek, yakni menetralisir konflik dari berbagai informasi yang bersifat negatif, memancing emosi, dan memperkeruh suasana. 6. Sebagai agen realitas, yakni menampung segala informasi baik berupa keluhan, tuduhan maupun pengakuan dan menyalurkan informasi tersebut kepada pihak lawan dengan bahasa yang tidak provokatif. 7. Sebagai kambing hitam, yakni siap menerima penolakan dan ketidakpuasan para pihak terhadap solusi yang ditawarkan kepada para pihak. 32
Buku Tanya dan Jawab Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan (Mahkamah Agung RI, Japan International Cooperation Agency (JICA), dan Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), 2008), h. 16.
34
E. Proses Mediasi Berhasil atau tidaknya mediasi tergantung dari proses yang dijalankan. Bila proses baik, tercapailah kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Namun sebaliknya, proses yang tidak baik akan menjadikan mediasi gagal. Berikut tahapan-tahapan dalam proses mediasi yang diatur oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008: 1. Tahapan Pra Mediasi. Penggugat mendaftarkan gugatannya di Kepaniteraan Pengadilan. Kemudian ketua pengadilan akan menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa perkaranya. Kewajiban melakukan mediasi timbul jika pada hari persidangan pertama para pihak hadir. Majelis Hakim menyampaikan kepada penggugat dan tergugat prosedur mediasi yang wajib mereka jalankan. Setelah menjelaskan prosedur mediasi, Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memilih mediator dalam daftar mediator yang terpampang di ruang tunggu kantor pengadilan. Para pihak boleh memilih mediator sendiri dengan syarat mediator tersebut telah memiliki sertifikat mediator. Bila dalam waktu 2 (dua) hari para pihak tidak dapat menentukan mediator, Majelis Hakim akan menunjuk hakim pengadilan di luar Hakim Pemeriksa Perkara yang bersertifikat. Namun jika tidak ada hakim yang bersertifikat, salah satu anggota Hakim Pemeriksa Perkara yang ditunjuk oleh Ketua Majelis wajib menjalankan fungsi mediator.
35
Hakim Pemeriksa Perkara memberikan waktu selama 40 (empat puluh) hari kerja kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi. Jika diperlukan waktu mediasi dapat diperpanjang untuk waktu 14 (empat belas) hari kerja (Pasal 13 Ayat [3] dan [4]). 2. Pembentukan Forum. Dalam waktu 5 (lima) hari setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati atau setelah para pihak gagal memilih mediator, para pihak dapat menyerahkan resume perkara33 kepada mediator yang ditunjuk oleh Majelis Hakim. Dalam forum dilakukan pertemuan bersama untuk berdialog. Mediator dapat meminta agar pertemuan dihadiri langsung oleh pihak yang bersengketa dan tidak diwakili oleh kuasa hukum. Di forum tersebut, mediator menampung aspirasi, membimbing serta menciptakan hubungan dan kepercayaan para pihak. 3. Pendalaman Masalah. Cara mediator mendalami permasalahan adalah dengan cara kaukus34, mengolah data dan mengembangkan informasi, melakukan eksplorasi kepentingan para pihak, memberikan penilaian terhadap kepentingan33
Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap pihak yang memuat duduk perkara dan atau usulan penyelesaian sengketa. Lihat pasal 1 angka 10 PERMA Nomor 1 Tahun 2008. 34
Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya. Lihat Pasal 1 angka 4 PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Kaukus dilakukan agar para pihak dapat memberikan informasi kepada mediator lebih luas dan rinci yang mungkin tidak disampaikan disaat bertemu dengan pihak lawan.
36
kepentingan yang telah diinventarisir, dan akhirnya menggiring para pihak pada proses tawar menawar penyelesaian masalah. 4. Penyelesaian Akhir dan Penentuan Hasil Kesepakatan. Pada tahap penyelesaian akhir, para pihak akan menyampaikan kehendaknya berdasarkan kepentingan mereka dalam bentuk butir-butir kesepakatan. Mediator akan menampung kehendak para pihak dalam catatan dan menuangkannya ke dalam dokumen kesepakatan. Dalam Pasal 23 Ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan syarat-syarat
yang harus
dipenuhi dalam kesepakatan perdamaian adalah sebagai berikut: a. sesuai kehendak para pihak; b. tidak bertentangan dengan hukum; c. tidak merugikan pihak ketiga; d. dapat dieksekusi; dan e. dengan iktikad baik. Bila terdapat kesepakatan yang melanggar syarat-syarat tersebut diatas, mediator wajib mengingatkan para pihak. Namun bila mereka bersikeras, mediator berwenang untuk menyatakan bahwa proses mediasinya gagal dan melaporkan kepada Hakim Pemeriksa Perkara. Jika tercapai kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Dokumen kesepakatan damai
37
akan dibawa kehadapan Hakim Pemeriksa Perkara untuk dapat dikukuhkan menjadi akta perdamaian. 5. Kesepakatan di Luar Pengadilan. Dalam Pasal 23 Ayat (1) PERMA disebutkan bahwa para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan. Maksud dari pengajuan gugatan ini adalah agar sengketa para pihak masuk dalam kewenangan pengadilan melalui pendaftaran pada register perkara di Kepaniteraan Perdata. Ketua Pengadilan selanjutnya dapat menunjuk Majelis Hakim yang akan mengukuhkan perdamaian tersebut dalam persidangan yang terbuka untuk umum (kecuali perkara yang bersifat tertutup untuk umum seperti perceraian). 6. Keterlibatan Ahli dalam Proses Mediasi. Pasal 16 Ayat (1) PERMA Nomor 1 tahun 2008 menyebutkan bahwa atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak. Biaya untuk mendatangkan seorang ahli ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Namun PERMA tidak menjelaskan siapa yang
38
dapat dikategorikan sebagai ahli, sehingga penentuan siapa yang akan dijadikan ahli dalam proses mediasi sesuai dengan rekomendasi mediator dan kesepakatan para pihak. 7. Berakhirnya Mediasi. Proses mediasi dinyatakan berakhir dengan 2 (dua) bentuk. Pertama, mediasi berhasil dengan menghasilkan butir-butir kesepakatan di antara para pihak, proses perdamaian tersebut akan ditindaklanjuti dengan pengukuhan kesepakatan damai menjadi akta perdamaian yang mengandung kekuatan seperti layaknya Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, proses mediasi menemukan jalan buntu dan berakhir dengan kegagalan. Proses mediasi di pengadilan yang gagal akan dilanjutkan di sidang pengadilan. 8. Mediasi Pada Tahap Upaya Hukum. Para pihak atas dasar kesepakatan bersama, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. Demikian tahapan-tahapan mediasi yang telah diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Secara singkat tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat secara sistematis dalam tabel sebagai berikut:
39
Tabel 2 URUTAN PROSES MEDIASI -
Pendaftaran Gugatan di Kepaniteraan Perdata Negeri/Agama
-
Pembayaran Panjar Biaya Perkara dan Penandatanganan Surat Kuasa untuk Membayar (SKUM)
-
Penunjukan Majelis Hakim Pemeriksa Perkara oleh Ketua Pengadilan Negeri/Agama
-
Majelis Hakim Pemeriksa Perkara menentukan hari sidang dengan penetapan
-
Juru Sita Pengadilan melakukan pemanggilan kepada para pihak (Penggugat, Tergugat, dan Turut Tergugat)
-
Para Pihak hadir
-
Para Pihak tidak hadir
-
Penyampaian proses mediasi oleh Ketua majelis Hakim
-
Dilakukan pemanggilan ulang
-
Putusan Verstek/
-
Putusan Gugur
-
Pemilihan Mediator
-
Penundaan sidang
-
Mediator mengadakan pertemuan awal
-
Perkenalan dan penyampaian informasi tentang prosedur mediasi
-
Menyusun jadwal pertemuan
40
-
Penyampaian dan pertukaran resume
-
Melakukan dialog tentang kemungkinan beberapa penawaran
-
Negoisasi
-
Meminta keterangan ahli
-
Perumusan butir-butir kesepakatan
-
Penjelasan-penjelasan
-
Analisis dan koreksi
-
Penandatanganan dokumen kesepakatan damai
-
Penyampaian Dokumen Kesepakatan Damai kehadapan Majelis hakim Pemeriksa Perkara
-
Pengukuhan menjadi Akta Perdamaian
Eksekusi
-
Kaukus
-
Penyampaian usulan/penawaran lain
Proses mediasi gagal
Proses persidangan dilanjutkan
-
Kesepakatan perdamaian tidak dikukuhkan menjadi akta perdamaian
-
Perkara dicabut
41
F. Mediasi Dalam Islam Istilah mediasi dalam Islam dikenal dengan al-Sulh. Secara bahasa artinya qath al-niza‟ yakni menyelesaikan pertengkaran. Pengertian dari al-Sulh sendiri adalah:35
ِعح َ َضعَ نِرَ ْفعِ انًَُُاز ِ ُعمْذٌ و َ Akad yang mengakhiri persengketaan antara dua pihak. Sedangkan Hanabilah memberikan definisi al-Sulh sebagai berikut:36
ٍٍَِْيُعَالَذَجٌ ٌَرَىَّصَمُ تِهَا إِنىَ انِإّصْالَحِ تٍٍََْ انًُخْ َر ِهف Kesepakatan yang dilakukan untuk perdamaian antara dua pihak yang bersengketa.
Praktik al-Sulh sudah dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW. dengan berbagai bentuk. Untuk mendamaikan suami istri yang sedang bertengkar, antara kaum muslim dengan kaum kafir, dan antara satu pihak dengan pihak lain yang sedang berselisih. Al-Sulh menjadi metode untuk mendamaikan dengan kerelaan masing-masing pihak yang berselisih tanpa dilakukan proses peradilan ke hadapan hakim. Tujuan utamanya adalah agar pihak-pihak yang berselisih dapat menemukan kepuasan atas jalan keluar akan konflik yang terjadi. Karena asasnya adalah kerelaan semua pihak.
35
Muhammad Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 177. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 (Kairo: Dar al-Fath, 1990), h. 201 dan Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Juz 6 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 168. 36
Ibnu Qudamah, al-Mughni Juz 5, cet.I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), h. 3.
42
Dalam perkara perceraian, al-Quran menjelaskan tentang al-Sulh dalam surat al-Nisa ayat 128 sebagai berikut:
صهِحَا ْ ٌُ ٌَْعهٍَْ ِهًَا أ َ َوَإٌِِ ايْرَأَجٌ خَا َفدْ يٍِْ تَ ْعهِهَا َُشُىزًا أَوْ إِعْرَاضًا َفهَا جَُُاح ٌَِشحَ وَإٌِْ ذُحْسُُِىا وَذَ َرمُىا َفإ ُ ص ْهحُ خٍَْرٌ وَأُحْضِ َرخِ ا ْنأَ َْفُسُ ان ُ ّصهْحًا وَان ُ تٍََُْ ُهًَا .انَههَ كَاٌَ ِتًَا ذَ ْع ًَهُىٌَ خَثٍِرًا Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengusahakan perdamaian yang sebenarbenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini diturunkan berkaitan dengan kisah Saudah binti Zam‟ah, isteri Rasulullah SAW disaat ia mencapai usia lanjut, Rasulullah SAW hendak menceraikannya. Lalu Saudah memberikan jatah harinya kepada Aisyah sebagai tawaran asalkan ia tidak diceraikan. Rasulullah SAW menerima hal tersebut dan mengurungkan niatnya untuk menceraikannya.37 Tafsir ayat ini juga ada dalam kitab Shahih al-Bukhari. Dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan wanita yang takut akan nusyuz atau sikap acuh tak acuh dari suaminya adalah wanita yang suaminya tidak lagi ada keinginan terhadapnya, yaitu hendak menceraikannya dan ingin menikah dengan wanita lain. Lalu si wanita (isterinya) berkata kepada suaminya: “Pertahankanlah diriku dan jangan engkau ceraikan. Silakan engkau menikah lagi dengan wanita lain,
37
Abu al-Fida Isma‟il bin „Umar bin Katsir al-Qurasy al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al„Azhim, Juz 2, cet.II, (Riyad: Dar Thayibah, 1999), h. 426.
43
engkau terbebas dari nafkah dan kebutuhan untukku.” Maka firman Allah dalam ayat tersebut: Maka tidak mengapa bagi keduanya mengusahakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).38 Dari sebab turunnya ayat ini, penulis berpendapat bahwa Saudah saat itu melakukan upaya perdamaian ketika akan terjadi perceraian. Ia berupaya mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan merelakan jatah harinya diberikan kepada Aisyah, isteri Rasulullah SAW yang paling muda. Dalam hal ini, memang tidak ada pihak ketiga sebagai mediator. Namun apa yang dilakukan Saudah adalah bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang kemudian ditegaskan dalam syari‟at Islam dengan turunnya surat al-Nisa ayat 128 tersebut. Demikian cara Saudah mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan cara memberikan jatah harinya untuk Aisyah. Pemberian jatah tersebut disebutkan pula dalam hadis riwayat Abu Dawud sebagai berikut:39
ٍ عًْرِو تٍِْ انسَرْحِ أَخْثَرَََا اتٍُْ َو ْهةٍ عٍَْ ٌُىَُسَ عٍَِ اتٍِْ شِهَا ب َ ٍُْحًَذُ ت ْ َحَ َذثََُا أ :ْسهَ َى لَا َند َ َعهَ ٍْهِ و َ ُّصهَى اهلل َ ِشحَ زَوْجَ انَُثِى َ ِأٌََ عُرْوَجَ تٍَْ انسُتٍَْرِ حَذَ َثهُ أٌََ عَائ ٍَُسفَرًا أَلْرَعَ تٍٍََْ َِسَا ِئهِ َفأٌََرُه َ َسهَىَ إِرَا أَرَاد َ َعهَ ٍْهِ و َ ُّصهَى اهلل َ ِكَاٌَ رَسُىلُ انَهه ٌََخَرَجَ سَ ْهًُهَا خَرَجَ تِهَا يَ َعهُ وَكَاٌَ ٌَمْسِىُ نِكُمِ ايْرَأَجٍ يُِْهٍَُ ٌَ ْىيَهَا َونَ ٍْهَرَهَا غٍَْرَ أ .َشح َ ِسَىْدَجَ تِ ُْدَ َزيْ َعحَ َوهَ َثدْ ٌَ ْىيَهَا نِعَائ Berkata Ahmad bin „Amr bin al-Sarh, berkata Ibnu Wahb dari Yunus dari Ibnu Syihab: Bahwasanya „Urwah bin Zubeir berkata kepadanya bahwa Aisyah berkata: Rasulullah SAW bila hendak melakukan perjalanan melakukan undian 38
Muhammad bin „Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari. Juz 3, cet.I, (Kairo: Dar al-Hadis, 2000), h. 647. Hadis No. 5206. 39
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Sijistani, Sunan Abu Dawud. Juz 2, (Beirut: Dar alKutub al-„Arabi, t.t.), h. 209. Hadis No. 2140.
44
diantara isteri-isterinya. Siapa yang namanya keluar dalam undian akan ikut bersamanya. Dan Rasulullah SAW membagi hari bagi tiap-tiap isterinya kecuali Saudah bin Zam‟ah memberikan jatah harinya untuk Aisyah.
Bentuk perdamaian antara suami isteri yang sedang berselisih terdapat dalam al-Quran surat al-Nisa ayat 35. Ayat ini lebih dekat dengan pengertian dan konsep mediasi yang ada dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
شمَاقَ تٍَُِْ ِهًَا فَاتْعَثُىا حَ َكًًا يٍِْ َأ ْه ِه ِه وَحَ َكًًا يٍِْ َأ ْههِهَا إٌِْ ٌُرٌِذَا ِ ْخفْرُى ِ ٌِْوَإ .عهًًٍِا خَثٍِرًا َ ٌَّصهَاحًا ٌُىَ ِفكِ انَههُ تٍََُْ ُهًَا إٌَِ انَههَ كَا ْ ِإ Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ayat ini menjelaskan bahwa jika ada syiqaq/persengketaan antara suami isteri, maka Hakim mengutus 2 (dua) orang hakam/juru damai. Kedua hakam tersebut bertugas untuk mempelajari sebab-sebab persengketaan dan mencari jalan keluar terbaik bagi mereka, apakah baik bagi mereka perdamaian atau pun mengakhiri perkawinan mereka. Syarat-syarat hakam adalah: 1. Berakal. 2. Baligh. 3. Adil. 4. Muslim.
45
Tidak disyaratkan hakam berasal dari pihak keluarga suami maupun isteri. Perintah dalam ayat 35 diatas bersifat anjuran.40 Bisa jadi hakam diluar pihak keluarga lebih mampu memahami persoalan dan mencari jalan keluar terbaik bagi persengketaan yang terjadi diantara suami isteri tersebut. Penulis berpendapat bahwa perintah mendamaikan dalam ayat ini tidak jauh berbeda dengan konsep dan praktik mediasi. Dimana hakim mengutus hakam yang memenuhi syarat-syarat seperti layaknya seorang mediator profesional. Seorang hakam juga berhak memberikan kesimpulan apakah perkawinan antara suami isteri layak dipertahankan atau bahkan lebih baik bubar. Tidak berbeda dengan tugas mediator yang melaporkan hasil mediasi dengan dua pilihan, berhasil atau gagal. Konsep Islam dalam menghadapi persengketaan antara suami isteri adalah menjaga keutuhan rumah tangga. Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, tidak mungkin dilewati tanpa adanya perbedaan sikap dan pendapat yang berakumulasi pada sebuah konflik. Oleh karena itu, Islam selalu memerintahkan kepada pemeluknya agar selalu berusaha menghindari konflik. Namun bila terjadi, perdamaian adalah jalan utama yang harus diambil selama tidak melanggar syariat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Ibnu Hibban sebagai berikut:41
40
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Juz 2 …, h. 185. 41 Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Busti, Shahih Ibnu Hibban bi Tartibi Ibnu Bilban. Juz 11, cet.II, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), h. 488. Hadis No. 5091.
46
ِ ًْ حَذَثََُا عَثْذُ اهللِ تٍُْ عَثْذِ انرَح:َسًَرْلَُْذ لَال ٍ َ ِسًْسَارِ ت َ حًَذُ تٍُْ انفَ ْرحِ ان َ ُأَخْثَرَََا ي ٍسهَ ًٍَْاٌُ تٍُْ ِتهَال ُ حَذَثََُا:َحًَذِ انّطَاطَرِي لَال َ ُ حَذَثََُا يَرْوَاٌُ تٍُْ ي:َانذَا ِريًِ لَال ِ لَالَ رَسُىْلُ اهلل:َحَ َذثًَُِ كَثٍِْرُ تٍُْ زٌَْذٍ عٍَِ ان َىنٍِْذِ تٍُْ رَتَاحٍ عٍَْ أَتًِ هُرٌَْرَجَ لَال ّْصهْحًا أَحَمَ حَرَايًا أَو ُ س ِهًٍٍَِْ ِإنَا ْ ًُص ْهحُ جَائِسٌ تٍٍََْ ان ُ ان:َسهَى َ عهَ ٍْهِ َو َ ُّصهَى اهلل َ .حهَانًا َ َحَرَو Berkata Muhammad bin al-Fath al-Samsar di Samarkand berkata Abdullah bin Abd al-Rahman al-Darimi berkata Marwan bin Muhammad alThathari berkata Sulaiman bin Bilal berkata Katsir bin Zaid dari al-Walid bin Rabah dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Perdamaian itu baik antara kaum muslimin, kecuali perdamaian untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Penulis berkesimpulan bahwa perdamaian dalam sengketa yang berkaitan dengan hubungan keperdataan dalam Islam termasuk perkara perceraian adalah boleh, bahkan dianjurkan. Maka mediasi dalam perkara perceraian tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan keutuhan rumah tangga. Bahkan menjadikan upaya perdamaian sebagai alternatif penyelesaian sengketa suami isteri agar terhindar dari perceraian dengan tetap mengutamakan kemaslahatan dalam kehidupan rumah tangga.
BAB III TEORI EFEKTIVITAS
A. Pengertian Efektivitas
47
Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa Inggris effective, dalam Kamus John M. Echols dan Hassan Shadily artinya adalah berhasil dan ditaati.42 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif artinya “dapat membawa hasil, berhasil guna” tentang usaha atau tindakan. Dapat berarti “sudah berlaku” tentang undang-undang atau peraturan.43 Sedangkan dalam Black‟s Law Dictionary, effective adalah bentuk adjective yang bila disandingkan dengan kata statue, order, contract, dst berarti in operation at given time. Bisa juga berarti performing within the range of normal and expected standards atau juga productive; achieving a result.44 Adapun secara terminologi para pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang yang diambil. Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Nurul Hakim berbicara mengenai derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa: “Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda
42
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet.XXIII, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h.207. 43
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia…, h. 284.
44
Bryan A. Garner. Ed, Black‟s Law Dictionary …, h. 554.
48
bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”.45
B. Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat Dalam kehidupan masyarakat akan selalu terdapat hubungan atau interaksi sosial. Dalam hubungan tersebut, ada suatu aturan yang ditaati oleh masyarakat agar tercapai ketertiban, keserasian, dan ketentraman hidup. Aturanaturan yang berlaku bertugas mengatur hubungan dalam struktur masyarakat yang kompleks. Di dalam berbagai hal, hukum memiliki pengaruh yang langsung maupun tidak langsung terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan. Artinya hukum memiliki peran dalam perubahan sosial dalam masyarakat. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, menurut Soerjono Soekanto dinamakan social engineering atau social planning.46 Dalam teori-teori hukum tentang berlakunya hukum sebagai kaidah biasanya dibedakan menjadi tiga macam hal. Hal berlakunya kaidah hukum biasanya disebut “gelding” (bahasa Belanda) “geltung” (bahasa Jerman). Tentang 45
Nurul Hakim, Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Hubungannya Dengan Lembaga Peradilan. Artikel diakses pada tanggal 10 Mei 2011 dari http://badilag.net/data/ARTIKEL/efektifitas.pdf 46
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, cet.V, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h.122.
49
hal berlakunya kaidah hukum Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa agar kaidah hukum atau sebuah peraturan berfungsi bahkan hidup dalam tatanan kehidupan masyarakat, maka kaidah hukum/peraturan tersebut harus memenuhi tiga unsur sebagai berikut: 47 1. Hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya, atau bila terbentuk menurut cara yang telah ditentukan/ditetapkan, atau apabila menunjukan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya. 2. Hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa (teori kekuasaan), atau diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). 3. Hukum tersebut berlaku secara filosofis; artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif tertinggi. Kalau ditelaah secara lebih mendalam, maka agar supaya berfungsi, maka suatu kaidah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut di atas. Mengapa demikian? Adapun sebabnya adalah antara lain: 1. Bila hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah mati (dode regel). 2. Kalau hanya berlaku secara sosiologis (dalam arti teori kekuasaan), maka kaidah tersebut menjadi aturan pemaksa (dwangmaatregel). 47
Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, cet.V, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989), h.56-57.
50
3. Apabila hanya berlaku secara filosofis, maka mungkin hukum tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum). Dari penjelasan di atas, kelihatan sedikit betapa rumitnya masalah, oleh karena biasanya seseorang hanya melihatnya dari satu sudut saja. Sebab, agar hukum atau peraturan (tertulis) benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan pada paling sedikit 4 (empat) faktor: 1. Hukum atau peraturan itu sendiri; 2. Petugas yang menegakkannya; 3. Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan hukum; dan 4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut. Satjipto Rahardjo menyatakan dengan tegas bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat tidak serta merta dan terjadi begitu saja. Hukum bukanlah hasil karya pabrik, yang begitu keluar langsung dapat bekerja, melainkan memerlukan beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan (hukum) tersebut dijalankan atau bekerja. Sekurang-kurangnya langkah yang harus dipenuhi untuk mengupayakan hukum atau aturan/ketentuan dapat bekerja dan berfungsi (secara efektif) adalah:48 1. Adanya pejabat/aparat penegak hukum sebagaimana ditentukan dalam peraturan hukum tersebut;
48
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2000), h.70.
51
2. Adanya orang (individu/masyarakat) yang melakukan perbuatan hukum, baik yang mematuhi atau melanggar hukum; 3. Orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan; 4. Orang-orang tersebut sebagai subjek maupun objek hukum bersedia untuk berbuat sesuai hukum. Dalam hal ini, Satjipto Rahardjo melihat bahwa dalam penegakan hukum dilihat sebagai proses yang melibatkan manusia di dalamnya. Maka dalam pengamatan terhadap kenyataan penegakan hukum, faktor manusia sangat terlibat dalam usaha menegakkan hukum tersebut. Penegakan hukum dilakukan oleh institusi yang berwenang untuk itu, seperti jaksa, polisi, dan pejabat pemerintahan. Sejak hukum itu mengandung perintah dan pemaksaan, maka sejak semula hukum membutuhkan bantuan untuk mewujudkan perintah tersebut.49
49
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, cet.II, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), h.192.
52
C. Teori Efektivitas Hukum Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum adalah bagaimana terjadinya sebuah keselarasan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah hukum dapat mengejawantah dalam jiwa masyarakat sehingga tercipta kedamaian, ketentraman, dan ketertiban. Wayne La Favre sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto menilai bahwa penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan diskresi50 yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.51 Gangguan terhadap penegakan hukum dapat saja terjadi. Hal ini terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku dalam masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata pelaksanaan undang-undang, walaupun dalam kenyataan di Indonesia cenderung demikian. Maka dapat terjadi gangguan kedamaian dalam pergaulan hidup bila pelaksanaan aturan dalam undang-undang ternyata malah menyulitkan masyarakat. Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor. 50
Diskresi berasal dari bahasa Inggris discreation yang berarti kewenangan berupa kebebasan bertindak pejabat negara, atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri, demi pelayanan publik yang bertanggung jawab. Lihat B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia …, h.56. 51
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h.7.
53
Faktor-faktor ini mempunyai arti netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:52 1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang). Maksud faktor hukumnya dalam poin pertama ini menurut Soerjono Soekanto dengan undang-undang dalam arti materil adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Masalah-masalah umumnya disini adalah, antara lain: 1. Apakah peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu cukup sistematis? 2. Apakah peraturan-peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu cukup sinkron; artinya: a. apakah secara hierarkis tidak ada pertentangan-pertentangan? b. apakah secara horizontal tidak ada pertentangan? 3. Apakah secara kuantitatif atau kualitatif peraturan bidang kehidupan tertentu sudah cukup atau belum? 4. Apakah penerbitan peraturan tersebut adalah sesuai dengan persyaratan yuridis? Hal tersebut di atas merupakan matra-matra untuk mengetahui apakah sebuah peraturan efektif atau tidak.
52
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum …, h.8.
54
2. Faktor penegak hukum. Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum. Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan penegak hukum penulis batasi pada kalangan yang secara langsung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law inforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Maka mereka ini adalah para pegawai hukum pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama Depok, baik pada strata atas, menengah, dan bawah diantaranya para hakim, panitera, jurusita, dan pegawai non-justisial lainnya. Adapun standarisasi efektivitas sebuah penegak hukum adalah: 1. Sampai seberapa jauh petugas terikat oleh peraturan yang ada? 2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan “kebijaksanaan”? 3. Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat umum? 4. Sampai seberapa jauh derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya? Hal tersebut di atas merupakan matra-matra untuk mengetahui apakah penegak hukum yang ada efektif atau tidak.
55
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan tercapai tujuannya. Adapun standarisasi efektivitas fasilitas penegakan hukum adalah: 1. Apakah sarana prasarana yang ada layak pakai? 2. Apakah yang ada dipelihara terus agar setiap saat berfungsi? 3. Apakah yang kurang perlu dilengkapi? 4. Apakah yang rusak perlu diperbaiki? 5. Apakah yang telah mundur ditingkatkan? Hal tersebut di atas merupakan matra-matra untuk mengetahui apakah fasilitas yang ada efektif atau tidak. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kepatuhan hukum masyarakat sangat dipengaruhi oleh ketiga faktor sebelumnya, yaitu hukum, penegak hukum, dan sarana atau fasilitas. Masyarakat kebanyakan biasanya tidak peduli dengan aturan hukum yang diberlakukan, namun mereka hanya ingin mendapatkan keadilan dan kepastian hukum terhadap perkara yang sedang mereka hadapi.
56
Begitu pula dalam hal proses mediasi, kedua belah pihak yang bersengketa akan memiliki harapan kepada penegak hukum yakni mediator agar sengketa di antara mereka dapat selesai dengan baik. Sehingga peran mediator sangat penting dalam perjalanan proses mediasi di antara kedua belah pihak. Kemampuan mediator tentang nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku di suatu masyarakat sangat penting untuk diketahui, agar mediator dapat mencari solusi atas sengketa dan bukan malah menambah keruh suasana akibat ketidaktahuannya akan nilai dan kaidah yang hidup di masyarakat. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat
sengaja
dibedakan,
karena
di
dalam
pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau material. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan),
maka
hukum
mencakup
struktur,
substansi,
dan
kebudayaan. Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang umpamanya mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajibannya, dan seterusnya.
Substansi
mencakup
isi
norma-norma
hukum
beserta
perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum
57
pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaaan ekstrim yang harus diserasikan. Hal itulah yang akan menjadi pokok pembicaraan di dalam bagian mengenai faktor kebudayaan ini. Dalam hal mediasi di pengadilan agama yang kita ketahui para pencari keadilan disana adalah umat Islam, nilai-nilai Islam menjadi sarat akan pedoman karena telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat muslim. Demikianlah 5 (lima) faktor keberhasilan mediasi yang dijadikan penulis sebagai alat ukur penelitian ini. Adapun teori efektifitas ini bersifat netral. Ia akan dikatakan efektif bila berhasil dijalankan dan dikatakan tidak efektif bila tidak dijalankan. Oleh karena itu, digunakan istilah positif bagi keefektifan dan negatif bagi ketidakefektifan. Demikian teori efektivitas hukum hasil pemikiran Soerjono Soekanto. Demi kemudahan pembaca, penulis menyajikan teori tersebut dalam sebuah tabel sebagai berikut:
58
Tabel 3 Teori Efektivitas Hukum
Kebudayaan
Masyarakat
Sarana atau Fasilitas
Penegak Hukum
Hukum (Undang-Undang)
Penegakan Hukum
Positif
Negatif
Efektif
Tidak Efektif
59
BAB IV ANALISA EFEKTIVITAS MEDIASI
A. Profil Pengadilan Agama Depok Pengadilan Agama Depok Kelas I B beralamat di Jalan Boulevard Sektor Anggrek Komplek Perkantoran Kota Kembang Grand Depok City Depok dan beroperasi pada alamat tersebut setelah diresmikannya gedung Pengadilan Agama Depok bersamaan dengan diresmikannya gedung Pengadilan Tinggi Agama Bandung pada tanggal 20 Februari tahun 2007 oleh Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, M.CL., di Jalan Soekarno Hatta 714 Bandung. Pengadilan Agama Depok dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002 yang peresmian operasionalnya dilakukan oleh Wali Kota Depok di Gedung Balai Kota Depok pada tanggal 25 Juni 2003 dan mulai menjalankan fungsi peradilan sejak tanggal 01 Juli 2003 di Jalan Bahagia Raya No. 11 Depok dengan menyewa rumah penduduk sebagai gedung operasionalnya. Daerah hukum Pengadilan Agama Depok adalah meliputi Pemerintahan Kota Depok sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 Pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa “Daerah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi wilayah Pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat”.
60
Pengadilan Agama Depok yang daerah hukumnya meliputi Wilayah Pemerintahan Kota Depok yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 64 Kelurahan dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dengan beban kerja rata-rata tiap bulan 162 perkara. Dalam melaksanakan tugasnya Pengadilan Agama Depok didukung dengan kekuatan pegawai sebanyak 38 orang dan secara formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Depok harus dipertanggung jawabkan dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung selaku atasan. Pengadilan Agama Depok sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari‟ah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan UndangUndang. Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana Pengadilan Agama Depok sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang dijabarkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu: Visi “Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib dan damai di bawah lindungan Allah SWT” dan Misi : “Menerima, memeriksa,
61
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari‟ah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan”. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Depok meliputi Wilayah Kota Depok. Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6o 19‟ 00” – 6o 28‟ 00” Lintang Selatan dan 106o 43‟ 00” – 106o 55‟ 30” Bujur Timur. Kota Depok berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan wilayah Jabodetabek. Bentang alam Kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50 – 140 meter diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Kota Depok sebagai wilayah termuda di Jawa Barat, mempunyai luas wilayah sekitar 200,29 km2. Kondisi geografisnya dialiri oleh sungai-sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Cisadane serta 13 sub Satuan Wilayah Aliran Sungai. Disamping itu terdapat pula 25 situ. Data luas situ pada tahun 2005 sebesar 169,68 Ha, dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar. Kondisi topografi berupa dataran rendah bergelombang dengan kemiringan lereng yang landai menyebabkan masalah banjir di beberapa wilayah, terutama kawasan cekungan antara beberapa sungai yang mengalir dari selatan menuju utara: Kali Angke, Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan dan Kali Cikeas.
62
Adapun struktur organisasi Pengadilan Agama Depok dalam tabel adalah sebagai berikut:* Tabel 4 KETUA Drs. Nia Nurhamidah R., M.H.
HAKIM
WAKIL KETUA
HAKIM
Drs. Agus Abdullah, M.H.
Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H.
Drs. Azid Izuddin, M.H.
Dra. Hj. Siti Nadirah
Dra. Taslimah, M.H.
Drs. H. A. Baidhowi, M.H.
Drs. Sarnoto, M.H.
Dra. Nurmiwati Dra. Hj. Fauziah, M.H.
Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H.
PANITERA SEKRETARIS
Drs. Andi Akram, S.H., M.H.
Drs. H. Asop Ridwan, M.H.
Asep Nursobah, S.Ag.
Hj. Suciati, S.H.
Drs. Bambang Hermanto, M.H.
Dra. Rogayah
Dra. Suifita Netty, S.H.
Umar Faruq, S.Ag., M.HI. E. Kurniawati Imron, S.Ag.
WAKIL PANITERA
WAKIL SEKRETARIS
Endang Ridwan, S.Ag.
Ita Sasmita, S.H.
PANITERA MUDA
PANITERA MUDA
PANITERA MUDA
KAUR
KAUR
KAUR
GUGATAN
PERMOHONAN
HUKUM
KEUANGAN
KEPEGAWAIAN
UMUM
M. Ali Afriddy, S.H.
Mumu, SH., M.H.
Drs. E. Arifuddin
Siti Aisah, S.H.
Indra Ari Setiawan, S.H.
Mataris, S.H.
JURUSITA PENGGANTI
PANITERA PENGGANTI Hj. Inti Khobijati
JURUSITA
Bahrun Kustiawan
Defrialdi, S.H.
Pepen, S.Ag.
Wiji Piningit
M. Thamrin, S.Ag.
Samsudin, S.Ag.
Novia Husein
Totih R. Amanah, S.H.
Hj. Siti Nurhayati, S.H.
Arifin, S.Ag., M.Ag.
Yulianti Widyaningsih, S.H.
*Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
63
B. Analisa Efektivitas Mediasi 1.
Tinjauan Yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Salah satu kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan pengawasan tidak langsung ialah membuat peraturan. Kekuasaan dan kewenangan itu ditegaskan pada angka 2 huruf c Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yang berbunyi:53 Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. Mengenai kategori PERMA ditinjau dari segi ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, termasuk salah satu jenis ketentuan peraturan perundang-undangan. Tentang hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:54 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi sebagai berikut: Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: 53
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. 54
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, cet.II. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.165-167.
64
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Demikian
hierarki
peraturan
perundang-undangan
an
sich
berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akan tetapi, apa yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut tidak bersifat final dan limitatif karena terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut. Selanjutnya Pasal 7 ayat (4), berbunyi sebagai berikut:55 Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, berbunyi sebagai berikut:
55
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
65
Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang.
Bertitik tolak dari Pasal 7 ayat (4) dan penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut, dengan tegas dinyatakan bahwa PERMA termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan. Bila dilihat konsideran PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dapat diketahui bahwa salah satu dasar diaturnya mediasi dalam PERMA adalah Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR) Staatsblad 1941 Nomor 44 dan Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg) Staatsblad 1927 Nomor 227. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:56 Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya akan menperdamaikan mereka itu. Selanjutnya ayat (2) mengatakan: Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu pada waktu bersidang, diperbuat sebuah akte, dengan nama kedua belah pihak diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang diperbuat itu; maka surat (akte) itu akan berkekuatan dan akan dilakukan sebagai putusan hakim yang biasa.
56
R. Tresna, Komentar HIR …, h. 110.
66
Yahya Harahap menjelaskan bahwa ketentuan peraturan perundangundangan tidak selamanya mampu memberi penyelesaian hukum yang timbul sebagai akibat perubahan sosial yang cepat (rapidly social change). Berikut penjelasannya:57 Pertama, peraturan perundang-undangan langsung konservatif. Sesaat setelah peraturan perundang-undangan diundangkan maka: ketentuan peraturan perundang-undangan itu langsung menjadi huruf atau kalimat mati, sedang pada sisi lain kebutuhan permasalahan sosial ekonomi kehidupan masyarakat berkembang terus tanpa henti, sehingga peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak sesuai lagi sebagai hukum yang hidup (living law) yang mampu menjembatani antara rumusan peraturan perundang-undangan dengan perubahan sosial ekonomi yang terjadi; Oleh karena itu, dalam menghadapi persoalan demikian, apabila kekuasaan penafsiran dianggap kurang efektif membina keseragaman opini hukum (unified legal opinion) dan keseragaman kerangka hukum (unified legal frame work) di antara putusan pengadilan, lebih tepat MA mengeluarkan peraturan.
57
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, …, h.167-169.
67
Kedua, tidak ada undang-undang yang sempurna. Kapan pun dan dimanapun tidak pernah manusia mampu membuat dan mencipta peraturan perundang-undangan yang sempurna. Ketiga, yang berwenang menentukan kebenaran dan keadilan adalah kekuasaan kehakiman melalui peradilan. Sesuai dengan kedudukan yang diberikan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kepada kekuasaan kehakiman untuk menyenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the law and justice), maka berdasarkan konstitusi yang berwenang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan (to enforce truth and justice) yang terkandung dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah pengadilan melalui hakim. Oleh karena itu, sejak peraturan perundang-undangan diundangkan dan dinyatakan berlaku, yang berwenang menentukan benar tidaknya dan adil tidaknya peraturan perundang-undangan dalam penerapan, langsung berpindah ke pundak kekuasaan
kehakiman/badan
peradilan.
Sedang
pembuat
peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan berada di belakang sebagai penonton. Sehubungan dengan itu, apabila ternyata peraturan perundangundangan itu mengandung berbagai kekosongan maupun telah tertinggal dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, dianggap tepat apabila MA mengeluarkan peraturan yang bersifat komplementer (complementary). PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi para pihak
68
yang berperkara di pengadilan, karena bila tidak melaksanakan mediasi, maka putusan pengadilan menjadi batal demi hukum.58 Setiap pemeriksaan perkara perdata di pengadilan harus diupayakan perdamaian
dan
mediasi
sendiri
merupakan
kepanjangan
upaya
perdamaian.59 Mediasi akan menjembatani para pihak dalam menyelesaikan masalah yang buntu agar mencapai/memperoleh solusi terbaik bagi mereka.60 Berdasarkan teori efektivitas hukum yang penulis gunakan sebagai alat ukur penelitian ini, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan ada daya paksa bagi masyarakat. Oleh karenanya, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut: a. PERMA tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. b. Jenis peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut tidaklah bersifat final dan limitatif,
58
Wawancara dengan Sarnoto dan Fauziah, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011 dan Sulfita Netti, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 59
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 60
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
69
karena terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (4) dan Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut. c. Landasan yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008 adalah peraturan perundang-undangan, sehingga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. PERMA merupakan pelengkap peraturan perundang-undangan yang telah ada. Sehingga bertujuan mengisi kekosongan hukum. d. Mahkamah
Agung
memiliki
kewenangan
membuat
peraturan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Oleh karena itu, penerbitan PERMA tidak bertenangan dengan hukum dan aturan perundang-undangan. 2.
Kualifikasi Mediator Mediator memiliki peran yang sangat penting akan keberhasilan mediasi. Oleh karena itu, mereka harus memiliki kemampuan yang baik agar proses mediasi dapat berjalan lancar dan sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
70
Pasal 9 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mengatur tentang daftar mediator sebagai berikut: (1) Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua Pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator dan disertai dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman para mediator.
Ketua Pengadilan yang menentukan daftar mediator. Dalam daftar tersebut tertulis latar belakang pendidikan masing-masing mediator, namun penulis mendapatkan daftar mediator di Pengadilan Agama Depok tidak tercantum pengalaman yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008. (2) Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki sertifikat dalam daftar mediator. (3) Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator. Hakim di Pengadilan Agama Depok yang telah memiliki sertifikat mediator hanya ada 2 (dua) orang, sehingga semua hakim disana ditempatkan dalam daftar mediator. (4) Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar ,mediator pada pengadilan yang bersangkutan. (5) Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator.
71
Jumlah hakim yang telah memiliki sertifikat mediator sangat sedikit namun kebutuhan akan mediator sangat mendesak, maka semua hakim ditetapkan menjadi mediator. Ketua Pengadilan yang menempatkan namanama hakim dalam daftar mediator. (6) Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar mediator. Daftar mediator setiap tahun dievaluasi dan diperbaharui oleh Ketua Pengadilan. Dalam buku laporan pemberdayaan lembaga perdamaian dapat diketahui jumlah mediasi yang berhasil dan gagal. Begitu pula, daftar mediator dapat berubah tiap tahun akibat mutasi hakim. Berikut daftar mediator di Pengadilan Agama Depok:
72
Tabel 5 DAFTAR MEDIATOR PADA PENGADILAN AGAMA DEPOK NAMA/NIP NO PENDIDIKAN TEMPAT TANGGAL LAHIR Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. S 1 IAIN Bandung 1 19630623.198903.1.004 S 2 UNTAG Jakarta Kadipaten, 23 Juni 1963 Dra. Hj. Fauziah, M.H. S 1 IAIN Sunan Ampel Surabaya 2 19671108.199303.2.001 S 2 UNTAG Jakarta Surabaya, 8 November 1967 Drs. Azid Izuddin, M.H. S 1 IAIN Jakarta 3 19620713.1993.1.003 S 2 UNTAG Jakarta Bogor, 13 Juli 1962 Dra. Taslimah, M.H. S 1 IAIN Jakarta 4 19680314.199303.2.005 S 2 UNTAG Jakarta Jakarta, 14 Maret 1968 Drs. Sarnoto, M.H. S 1 Univ Muhammadiyah Surakarta 5 19671225.199403.1.005 S 2 UMI Makassar Kulon Progo, 25 Desember 1967 Dra. Sulfita Netty, S.H. S 1 IAIN Imam Bonjol Padang 6 19580803.199403.2.001 S 2 UNIHAZ Simabur Tanah Datar, 3 Agustus 1958 Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. S 1 IAIN Jakarta 7 19680915.199403.2.004 S 1 Univ Muhammadiyah Sumatera Jakarta, 15 September 1968 Drs. Agus Abdullah, M.H. S 1 IAIN Jakarta 8 19690803.199403.1.003 S 2 UNTAG Jakarta Sukapura, 3 Agustus 1969 Dra. Hj. Siti Nadirah S 1 IAIN Makassar 9 19661119.199303.2.002 Ujung Pandang, 19 November 1966 Drs. H. A. Baidhowi, M.H. S 1 IAIN Jakarta 10 19560912.198511.1.001 S 2 UNTAG Jakarta Jakarta, 12 September 1956 Dra. Nurmiwati S 1 IAIN Yogyakarta 11 19671225.199303.2.002 Bone, 25 Desember 1967 Hj. Suciati, S.H. S 1 Universitas Jakarta 12 19570714.198003.2.005 Dra. Rogayah S 1 IAIN Bandung 13 19600924.199103.2.001 Drs. Bambang Hermanto, M.H. S 1 IAIN Jakarta 14 19590919.198903.1.001 S 2 Universitas Islam Jakarta Umar Faruq, S.Ag., M.HI. S 1 IAIN Yogyakarta 15 19700101.199703.1.007 S 2 UII Yogyakarta E. Kurniawati Imron, S.Ag. S 1 STAI Cirebon 16 19560726.198003.2.001 *Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
73
Dari 16 (enam belas) hakim yang ditetapkan sebagai mediator, hanya ada 2 (dua) orang yang telah memiliki sertifikat mediator, yakni Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H.dan Drs. Sarnoto, M.H. Para hakim mediator yang tidak memiliki sertifikat mediator dikarenakan belum mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI pada tahun 2009 yang lalu. Pelatihan mediator sangat terbatas jumlahnya, karena diselengarakan Mahkamah Agung RI secara nasional, sehingga pesertanya sangat terbatas.61 Idealnya Mahkamah Agung RI perlu memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama, agar: a) Para hakim mediator bisa bekerja maksimal sewaktu melakukan mediasi.62 Bila telah mendapatkan pelatihan, mereka telah memiliki kemampuan sesuai dengan fungsi dan peran mediator. b) Mediasi berjalan efektif.63 Mediator yang terlatih akan mampu mengorganisir proses mediasi dengan baik. c) Menambah keterampilan hakim dalam melakukan mediasi.64 Mereka akan memiliki teknik-teknik yang terprogram.65 Tugas mediator berbeda 61
Wawancara dengan Fauziah, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011 dan dengan E. Kurniati, Sulkha Herawati, Bambang Hermanto, dan Sulfita Netti, kesemuanya Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 62
Wawancara dengan Sulfita Netti, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 63
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
74
dengan hakim saat di persidangan. Bila di persidangan hakim sangat menjaga wibawa pengadilan, sedangkan saat menjadi mediator ia harus lebih luwes dan komunikatif, karena berfungsi sebagai penengah konflik antara para pihak. d) Lebih siap saat ditunjuk menjadi mediator.66 Kenyataannya seluruh hakim ditetapkan oleh Ketua Pengadilan menjadi mediator, dikarenakan jumlah hakim yang bersertifikat masih sangat sedikit. Dalam skripsi ini, penulis meneliti perolehan mediator selama bertugas menangani perkara dalam lembaga perdamaian tahun 2009 dan 2010 sebagai berikut:
64
Wawancara dengan Sarnoto dan Fauziah, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011. 65
Wawancara dengan E. Kurniati, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 66
Wawancara dengan Sulkha Herawati, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
75
Tabel 6 MEDIASI YANG DITANGANI NO
NAMA MEDIATOR
TAHUN 2009
PORSENTASE
TAHUN 2010
PORSENTASE
BERHASIL
GAGAL
BERHASIL
BERHASIL
GAGAL
BERHASIL
1
Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H.
0
0
0%
0
0
0%
2
Dra. Hj. Fauziah, M.H.
0
0
0%
0
10
0%
3
Drs. Azid Izuddin, M.H.
0
2
0%
0
3
0%
4
Dra. Taslimah, M.H.
2
5
28,5%
0
3
0%
5
Drs. Sarnoto, M.H.
8
49
14%
9
39
18,7%
6
Dra. Sulfita Netty, S.H.
0
0
0%
0
3
0%
7
Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H.
3
18
14,2%
0
16
0%
8
Drs. Agus Abdullah, M.H.
4
31
11,4%
1
28
3,4%
9
Dra. Hj. Siti Nadirah
3
43
6,5%
1
20
4,7%
10
Drs. H. A. Baidhowi, M.H.
10
35
22,2%
1
9
10%
11
Dra. Nurmiwati
1
15
6,2%
1
6
14,2%
12
Hj. Suciati, S.H.
0
0
0%
0
8
0%
13
Dra. Rogayah
0
0
0%
0
0
0%
14
Drs. Bambang Hermanto, M.H.
0
0
0%
0
2
0%
15
Umar Faruq, S.Ag., M.HI.
0
0
0%
0
9
0%
16
E. Kurniawati Imron, S.Ag.
0
0
0%
0
17
0%
Dari tabel 6 diatas, ada hal-hal yang perlu dikaji. Pertama, diketahui bahwa hakim yang memiliki sertifikat mediator hanya ada 2 (dua) orang yakni Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. dan Drs. Sarnoto, M.H., namun yang melaksankan fungsi mediator hanya Drs. Sarnoto, M.H. Sangat disayangkan hakim yang telah bersertifikat tidak melaksanakan fungsi mediator padahal telah ditetapkan oleh ketua pengadilan. Ini bertolak belakang dengan tujuan MA yang menyelenggarakan pelatihan mediator agar para hakim yang melaksanakan fungsi mediator memiliki SDM yang berkualitas.
76
Kedua, tidak ada pemerataan tugas sebagai mediator. Ada hakim yang telah ditetapkan sebagai mediator, namun tidak pernah melaksanakan fungsi tersebut. Ada pula hakim mediator yang menangani mediasi lebih banyak dari yang lainnya. Padahal selain yan telah bersertifikat, kemampuan mereka adalah sama. Ketiga, tahun 2009 diketahui angka porsentase keberhasilan mediator sangat kecil. Tidak ada yang mencapai 50%, bahkan 30% pun tidak. Begitu pula tahun 2010, angkanya menurun. Tidak ada yang mencapai 25%. Bahkan banyak yang tidak berhasil sama sekali selama menjalankan fungsi mediator. Keempat, ada angka kenaikan porsentase keberhasilan pada Drs. Sarnoto, M.H., sebagai satu-satunya hakim bersertifikat yang menjalankan fungsi mediator. Pada tahun 2009, porsentase mencapai 14% kemudian meningkat di tahun 2010 sebesar 18,7%. Kenaikan tersebut dapat dipengaruhi oleh kemampuannya setelah mengikuti pelatihan mediator di tahun 2009. Dalam tabel pula dapat diketahui bahwa angka mediasi yang dilakukan terbanyak diantara hakim lainnya. Namun angka keberhasilannya masih sangat kecil, belum mencapai 50%. Sehingga bila dibandingkan dengan mediator lain perbedaan tidak terlalu jauh. Penulis memberikan kesimpulan bahwasanya ada beberapa hal yang harus diperbaiki dalam hal kualifikasi mediator sebagai berikut:
77
a. Sumber Daya mediator harus diperbaiki dengan cara memberikan pelatihan kepada mereka. Mediasi adalah salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) yang berbeda dengan litigasi, sehingga para hakim yang ditetapkan menjadi mediator wajib mendapatkan pelatihan yang baik. Dalam hal ini Mahkamah Agung RI yang harus mengambil inisiatif agar pelatihan mediator dapat segera diberikan lebih banyak lagi. b. Pengadilan Agama Depok harus menyediakan mediator bersertifikat dari luar pengadilan. Hal ini karena jumlah hakim yang ditetapkan menjadi mediator yang bersertifikat hanya ada 2 (dua) orang. c. Pemberian insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. Sampai saat ini Mahkamah Agung RI belum menerbitkan PERMA tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang menjalankan fungsi mediator, padahal sudah diamanatkan dalam Pasal 25 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2008.67 d. Hakim yang melaksanakan fungsi mediator dan telah bersertifikat cenderung memiliki tingkat keberhasilan yang lebih bila dibandingkan dengan hakim yang melaksanakan fungsi mediator tidak memiliki sertifikat. Namun, angka keberhasilan tersebut tidak terlalu jauh. Hakim
67
Pasal tersebut berbunyi: (2) Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang.berhasil menjalankan fungsi mediator.
78
yang telah bersertifikat pun angka keberhasilannya sangat kecil, tidak mencapai 50%. e. Pelatihan mediator bagi para hakim yang menjalankan fungsi mediator bukan satu-satunya jalan keberhasilan mediasi di pengadilan. Hakim yang telah bersertifikat pun belum mampu menggapai angka keberhasilan mediasi yang cukup tinggi. Namun bukan berarti MA tidak perlu memberikan pelatihan, tetapi pelatihan harus tetap diberikan kepada semua hakim
yang menjalankan
fungsi
mediator dan
memberikan pengawasan dan evaluasi secara teratur akan kinerja mereka. 3.
Fasilitas dan Sarana Ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok hanya ada 1 (satu) ruang yang didalamnya dibagi menjadi 3 (tiga) bagian tanpa diberi sekat atau pembatas. Tiap bagian disediakan 1 (buah) meja dan 3 (tiga) buah kursi. Dalam ruang tersebut dapat dilakukan 3 (tiga) proses mediasi sekaligus. Fasilitas ruang mediasi masih kurang ideal bagi proses mediasi. Faktor-faktor yang menyebabkan tidak idealnya ruang mediasi adalah: a. Ruangan yang sempit sehingga membuat tidak nyaman para pihak dan mediator sendiri.
79
b. Tidak adanya sekat pembatas di antara 3 (tiga) meja sehingga bila dilangsungkan proses mediasi secara bersamaan membuat para pihak tidak nyaman karena proses tidak lagi tertutup.68 c. Ruang yang tersedia hanya 1 (satu), tidak sebanding dengan jumlah orang yang akan melakukan mediasi. Para pihak seringkali terlihat mengantri.69 d. Tidak tersedianya ruang untuk kaukus.70 Padahal proses kaukus adalah sebagai alternatif yang dapat diupayakan oleh mediator untuk proses perdamaian para pihak. e. Fasilitas pendukung yang kurang seperti proyektor dan ketersediaan air minum.71 Namun walaupun demikian, ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok menggunakan Air Conditioner (AC) yang menjadikan ruangan tersebut terasa sejuk. Pengadilan Agama Depok terus berbenah diri untuk memperbaiki dan menambah fasilitas dan sarana ruang mediasi. Selain itu, perawatan 68
Wawancara dengan Fauziah pada tanggal 10 Mei 2011, Sulfita Netti pada tanggal 11 Mei 2011, Umar Faruq dan Nurmiwati pada tanggal 13 Mei 2011. Semuanya adalah Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat. 69
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 70
Wawancara dengan Sarnoto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011. 71
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
80
terhadap fasilitas dan sarana tetap dilakukan dengan baik dengan melakukan evaluasi setiap bulannya. Demi kemudahan para pihak yang akan mengikuti proses mediasi, di pintu ruang mediasi terpampang jadual mediator. Dalam jadual tercantum nama-nama mediator disertai latar belakang pendidikan dan hari para mediator bertugas. Setiap hari ada 3 (tiga) orang mediator yang bertugas. Semuanya
berasal
dari
hakim.
Pengadilan
Agama
Depok
belum
menyediakan mediator dari luar pengadilan, karena masih dianggap belum dibutuhkan. Berikut jadual mediator yang ada di Pengadilan Agama Depok: Tabel 7 JADUAL MEDIATOR PADA PENGADILAN AGAMA DEPOK NAMA/NIP NO HARI PENDIDIKAN TEMPAT TANGGAL LAHIR Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. S 1 IAIN Bandung 1 19630623.198903.1.004 S 2 UNTAG Jakarta Kadipaten, 23 Juni 1963 S 1 IAIN Sunan Ampel Dra. Hj. Fauziah, M.H. Surabaya 2 SENIN 19671108.199303.2.001 S 2 UNTAG Jakarta Surabaya, 8 November 1967 Drs. Azid Izuddin, M.H. S 1 IAIN Jakarta 3 19620713.1993.1.003 S 2 UNTAG Jakarta Bogor, 13 Juli 1962 Dra. Taslimah, M.H. S 1 IAIN Jakarta 4 SELASA 19680314.199303.2.005 S 2 UNTAG Jakarta Jakarta, 14 Maret 1968
81
Drs. Sarnoto, M.H. 19671225.199403.1.005 Kulon Progo, 25 Desember 1967 Dra. Suifita Netty, S.H. 19580803.199403.2.001
5
6
S 1 UM Surakarta S 2 UMI Makassar S 1 IAIN Imam Bonjol S 2 UNIHAZ
Simabur Tanah Datar, 3 Agustus 1958
7
8 RABU 9
10
11 12
KAMIS
13 14 15 16
JUM'AT
Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. 19680915.199403.2.004 Jakarta, 15 September 1968 Drs. Agus Abdullah, M.H. 19690803.199403.1.003 Sukapura, 3 Agustus 1969 Dra. Hj. Siti Nadirah 19661119.199303.2.002 Ujung Pandang, 19 November 1966 Drs. H. A. Baidhowi, M.H. 19560912.198511.1.001 Jakarta, 12 September 1956 Dra. Nurmiwati 19671225.199303.2.002 Bone, 25 Desember 1967 Hj. Suciati, S.H. 19570714.198003.2.005 Dra. Rogayah 19600924.199103.2.001 Drs. Bambang Hermanto, M.H. 19590919.198903.1.001 Umar Faruq, S.Ag., M.HI. 19700101.199703.1.007 E. Kurniawati Imron, S.Ag. 19560726.198003.2.001
S 1 IAIN Jakarta S 1 UM Sumatera S 1 IAIN Jakarta S 2 UNTAG Jakarta S 1 IAIN Makassar
S 1 IAIN Jakarta S 2 UNTAG Jakarta S 1 IAIN Yogyakarta
S 1 Universitas Jakarta S 1 IAIN Bandung S 1 IAIN Jakarta S 2 UIJ S 1 IAIN Yogyakarta S 2 UII Yogyakarta S 1 STAI Cirebon
*Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
82
4.
Kepatuhan Masyarakat Bila kita lihat laporan pemberdayaan lembaga perdamaian di tahun 2009, dapat diketahui bahwa tingkat keberhasilan mediasi adalah 14,1 %. Kemudian pada tahun 2010 tingkat keberhasilannya adalah 6,9 %. Porsentase keberhasilannya tahun 2010 menurun 7,2 %. (Lihat Bab Tingkat Keberhasilan Mediasi) Penulis melakukan klasifikasi lebih mendetail, dari sejumlah angka mediasi yang akan dapat diketahui angka cerai talak dan cerai gugat. Berikut data yang penulis sajikan. Tabel 8 LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2009 KETERANGAN
JENIS PERKARA NO
BULAN
BERHASIL
GAGAL
CERAI
CERAI
CERAI
CERAI
CERAI
CERAI
TALAK
GUGAT
TALAK
GUGAT
TALAK
GUGAT
JUMLAH PERKARA
1
Januari
22
18
5
10
17
8
40
2
Februari
8
9
1
3
7
6
17
3
Maret
12
18
0
0
12
18
30
4
April
7
10
2
1
5
9
17
5
Mei
10
16
1
3
9
13
26
6
Juni
16
24
0
4
16
20
40
7
Juli
4
6
0
1
4
5
10
8
Agustus
11
9
1
0
10
9
20
9
September
4
3
0
0
4
3
7
10
Oktober
8
9
0
2
8
7
17
11
November
11
13
1
1
10
12
24
Desember TOTAL
13
8
1
1
12
7
21
126
143
12
26
114
117
269
12
83
Dalam tabel 10 diketahui perkara cerai gugat (53,1%) lebih banyak daripada perkara cerai talak (46,8%). Bahkan rata-rata tiap bulan angka cerai gugat lebih tinggi dibandingkan dengan cerai talak sepanjang tahun 2009. Angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai talak di tahun 2009 adalah 9,5%. Sedangkan angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai gugat adalah 18,1%. Kemudian angka kegagalan mediasi pada perkara cerai talak adalah 90,4%. Lalu angka kegagalan mediasi pada perkara cerai gugat adalah 81,8%. Berdasarkan angka-angka tersebut, penulis berkesimpulan bahwa angka cerai gugat lebih tinggi daripada cerai talak. Bila dibandingkan dengan angka perceraian secara nasional pun demikian. Namun yang menarik adalah keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok lebih banyak terjadi pada perkara cerai gugat. Perbandingan porsentasenya pun cukup jauh. Selanjutnya, mari kita bandingkan dengan data di tahun 2010 sebagai berikut:
84
Tabel 9 LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2010 JENIS PERKARA NO
BULAN
KETERANGAN BERHASIL
CERAI
CERAI
CERAI
CERAI
CERAI
CERAI
TALAK
GUGAT
TALAK
GUGAT
TALAK
GUGAT
7 6 8 1 2 6 2 5 8 0 16 14 75
9 12 8 6 1 5 9 6 8 0 9 26 99
8 9 1 2 8 14 2 Februari 3 8 8 0 Maret 4 1 6 0 April 5 2 2 0 Mei 6 6 6 0 Juni 7 3 9 1 Juli 8 5 7 0 Agustus 9 10 9 2 September 10 Oktober* 0 0 0 11 November 16 10 0 12 Desember 14 26 0 TOTAL 81 106 6 *Data hilang, tidak tercantum dalam laporan tahunan. 1
GAGAL
Januari
0 2 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 7
JUMLAH PERKARA
17 22 16 7 4 12 12 12 19 0 26 40 187
Dalam tabel 11 diketahui perkara cerai gugat (56,6%) lebih banyak daripada perkara cerai gugat (43,3%). Bahkan rata-rata tiap bulan angka cerai gugat lebih tinggi dibandingkan dengan cerai talak sepanjang tahun 2010. Angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai talak di tahun 2010 adalah 7,4%. Sedangkan angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai gugat adalah 6,6%%. Kemudian angka kegagalan mediasi pada perkara cerai talak adalah 92,5%. Lalu angka kegagalan mediasi pada perkara cerai gugat adalah 93,3%.
85
Dibandingkan dengan data tahun 2009 pada tabel 8, diketahui bahwa angka cerai gugat masih lebih banyak daripada cerai talak. Namun angka keberhasilan menunjukkan perbedaan. Porsentase keberhasilan mediasi dalam perkara cerai talak lebih tinggi sedikit daripada angka keberhasilan perkara cerai gugat. Ini berbeda dengan tahun 2009. Sehingga penulis berkesimpula bahwa di tahun 2010 angka keberhasilan mediasi perkara cerai talak lebih tinggi. Oleh karena itu, angka keberhasilan sifatnya fluktuatif. Dapat berubah setiap tahunnya. Setelah mengetahui angka-angka keberhasilan mediasi, penulis memberikan catatan mengenai perilaku dan sikap para pihak selama menjalani proses mediasi yang mempengaruhi kepatuhan mereka dalam menjalani proses mediasi sebagai berikut: a. Seringkali salah satu pihak atau keduanya merasa paling benar.72 Mediator kesulitan mendalami masalah karena sikap mereka yang tidak kooperatif selama proses mediasi. Sikap egois sering muncul pada diri para pihak. b. Sebelum para pihak memasuki pemeriksaan perkara di persidangan, sering kali mereka sudah bersepakat untuk memutuskan ikatan
72
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
86
perkawinan.73 Sehingga saat dilakukan mediasi, sangat sulit bahkan gagal untuk didamaikan. c. Komunikasi para pihak sudah lama terputus.74 Konflik yang telah berlarut-larut menyebabkan kedua belah pihak sudah tidak ada iktikad untuk damai. d. Para pihak ada juga yang kooperatif, namun sikap tersebut mereka lakukan agar proses mediasi cepat selesai hingga dapat dilanjutkan ke proses persidangan selanjutnya. Mereka mengikuti mediasi hanya sebagai formalitas semata. 5.
Kebudayaan Berkaitan dengan kebudayaan masyarakat dalam skripsi ini yang dimaksud adalah budaya masyarakat muslim yang berperkara di pengadilan agama. Alasan ini sangat tepat karena disebutkan dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UndangUndang Nomor 03 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 sebagai berikut: 1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
73
Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 74
Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
87
Dalam pasal di atas, dapat diketahui bahwa hanya orang-orang yang beragama Islam yang dapat menyelesaikan perkaranya di pengadilan agama. Sehingga perkara perceraian yang masuk dipastikan para pihaknya adalah muslim. Penulis melihat kecenderungan angka perceraian di Pengadilan Agama semakin meningkat tiap tahunnya. Berikut perbandingan angka perceraian, baik cerai talak maupun cerai gugat dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir: Diagram 1 ANGKA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA 4 (EMPAT) TAHUN TERAKHIR75 160
149.24
140
126.065
120 100
111.145 94.245
80 60
63.943
67.124
74.131
Cerai Talak Cerai Gugat
54.645
40 20 0 2006
75
2007
2008
2009
Sumber: E-book Profil Peradilan Agama Tahun 2007 diakses dari http://www.badilag.net/data/PROFIL/ebook-profil-PA07en.pdf, Tahun 2008 diakses dari http://badilag.mahkamahagung.go.id/data/ditbinadpa/TABEL%20DATA%20PERSENTASE%20PER KARA%20CT%20CG%20PERK%20LAIN%20YG%20DIPUTUS%20TAHUN%202008.pdf , Tahun 2009 diakses dari http://www.badilag.net/data/ditbinadpa/peradilan%20agama%20V%20indonesia%202009.pdf, dan Tahun 2010 diakses dari http://www.badilag.net/data/PROFIL/peradilan%20agama%20V%20indonesia%202010.pdf.
88
Bila kita perhatikan diagram di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa angka perceraian mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan yang terjadi pun cukup tinggi per tahunnya. Pada tahun 2006 terjadi 54.645 (32,50%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 94.245 (56,20%) perkawinan yang putus akibat cerai gugat. Untuk tahun 2007 terjadi 63.943 (31,845%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 111.145 (55,352%) perkawinan yang putus akibat cerai gugat . Pada tahun 2008 terjadi 67.124 (28,31%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 126.065 (53,16%) perkawinan yang putus akibat cerai gugat. Selanjutnya pada tahun 2009 terjadi 74.131 (28,76%) perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 149.240 (57,89%) perkawinan yang putus akibat cerai gugat. Melalui diagram diatas, penulis melihat bahwa angka perceraian yang terjadi tiap tahunnya selalu meningkat. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya perceraian pada Peradilan Agama di tingkat pertama. Pertama, moral. Persoalan moral pun memberikan andil untuk memantik krisis keharmonisan rumah tangga. Modusnya mengambil tiga bentuk, suami melakukan poligami tidak sesuai aturan (poligami tidak sehat), krisis akhlak (perilaku salah satu pihak yang rusak/amoral) dan cemburu yang berlebihan. Kedua, meninggalkan kewajiban. Ini disebabkan salah satu pihak tidak bertanggungjawab akan kewajibannya selama menjalani ikatan perkawinan, seperti nafkah baik lahir maupun batin. Ketiga, kawin dibawah umur. Biasanya terjadi pada pihak istri yang sejarah perkawinannya dipaksa oleh
89
kedua
orang
tuanya
yang
kemudian
hari
banyak
menimbulkan
ketidakharmonisan diantara pasangan suami istri. Keempat, dihukum. Salah satu pihak dijatuhi hukum pidana oleh pengadilan. Kelima, cacat biologis. Salah satu pihak memiliki cacat fisik yang tidak dapat disembuhkan, sehingga menyebabkan tidak dapat melaksanakan kewajiban. Keenam, terus menerus berselisih. Perselisihan dalam perkawinan yang berujung pada peristiswa perceraian ini dapat disebabkan oleh ketidak harmonisan pribadi, gangguan pihak ketiga, dan faktor politis. Ketujuh, dan lain-lain. Berikut faktor-faktor penyebab perceraian perbandingan tahun 2006, 2007, 2008, dan 2009.
Diagram 2
90
Tabel 10 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
PENYEBAB CERAI Moral Meninggalkan Kewajiban Kawin dibawah Umur Menyakiti Jasmani dan Rohani Dihukum Cacat Biologis Terus Menerus Berselisih Lain-lain JUMLAH
JUMLAH 9.457 74.042 387 1.110 213 609 63.068 4 148.890
% DARI JUMLAH TOTAL 6,35% 49,72% 0,25% 0,74% 0,14% 0,41% 42,41% 0,02% 100%
Diagram 3
Faktor-faktor Penyebab Perceraian Tahun 2007 0%
6.39%
Moral Meninggalkan Kewajiban
41.71%
Kawin dibawah Umur 49.13%
Menyakiti Jasmani dan Rohani Dihukum Cacat Biologis Terus Menerus Berselisih
1.02%
Lain-lain
0.22% 1.16%
0.32%
Tabel 11 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
PENYEBAB CERAI Moral Meninggalkan Kewajiban Kawin dibawah Umur Menyakiti Jasmani dan Rohani Dihukum Cacat Biologis Terus Menerus Berselisih Lain-lain JUMLAH
JUMLAH 10.090 77.528 513 1.845 356 1.621 65.818 0 157.771
% DARI JUMLAH TOTAL 6,39% 49,13% 0,32% 1,16% 0,22% 1,02% 41,71% 0% 100%
91
Diagram 4
Tabel 12 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
PENYEBAB CERAI Moral Meninggalkan Kewajiban Kawin dibawah Umur Menyakiti Jasmani dan Rohani Dihukum Cacat Biologis Terus Menerus Berselisih Lain-lain JUMLAH
JUMLAH 12.469 95.296 408 1.942 300 1.080 76.482 60 188.037
% DARI JUMLAH TOTAL 6,63% 50,68% 0,22% 1,03% 0,16% 0,57% 40,67% 0,03% 100%
92
Tabel 13 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
PENYEBAB CERAI Moral Meninggalkan Kewajiban Kawin dibawah Umur Menyakiti Jasmani dan Rohani Dihukum Cacat Biologis Terus Menerus Berselisih Lain-lain JUMLAH
JUMLAH 15.966 106.501 384 2.552 459 865 88.753 806 216.286
% DARI JUMLAH TOTAL 7,38% 49,24% 0,18% 1,18% 0,21% 0,40% 41,04% 0,37%
100%
Kenaikan angka putusnya perkawinan tiap tahunnya dapat terjadi akibat perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat. Menurut William J. Goode,76 perubahan ini merupakan interaksi dari beberapa faktor. Mungkin yang terpenting adalah berkurangnya ketidaksetujuan akan perceraian itu 76
William J. Goode, Sosiologi Keluarga, cet.VII. Penerjemah Lailahanoum Hasyim. (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 190.
93
sendiri. Boleh dikatakan bahwa setengah abad yang lalu, hampir setiap yang bercerai kehilangan kehormatannya dalam lingkungan sosialnya, itu pun kalau tidak dikucilkan sama sekali. Kedua, penggantian yang tersedia bagi mereka yang bercerai juga telah berubah. Karena banyak orang bercerai, banyak kemungkinan untuk memperoleh pasangan yang baru. Antara 85-90 persen dari mereka yang bercerai antara umur 20-40 banyak kemungkinan kawin lagi. Lagi pula karena sekarang orang jarang tinggal di tanah pertanian, tenaga yang waktu itu ada dalam diri suami atau istri dapat dibeli dari tenaga ahli. Hal ini merupakan keuntungan bagi seorang wanita yang diceraikan untuk dapat menunjang diri sendiri, meskipun penghasilannya itu tidak akan sama besarnya denganm seorang laki-laki. Dengan demikian, tekanan sosial dari teman-teman dan sanak agar tetap dalam pernikahan mulai melemah, lain daripada waktu setengah abad yang lalu. Gejala meningkatnya angka perceraian pada Peradilan Agama dari tahun ke tahun, menurut penulis dapat dipengaruhi oleh hal-hal berikut: a. Tingginya angka kelahiran di Indonesia secara tidak langsung meningkatkan angka perkawinan laki-laki dan perempuan. Semakin banyak penduduk, berarti semakin banyak orang yang butuh untuk memenuhi kebutuhannya seperti kebutuhan biologis yakni dengan perkawinan selain memiliki tujuan yang lain seperti ketenangan batin dan sebagainya.
94
b. Persepsi masyarakat muslim tentang perceraian. Islam mengajarkan bahwa talak adalah perbuatan halal walaupun dibenci. Namun tidak ada ulama yang mengharamkan perceraian. Apalagi bila perceraian adalah sebagai
jalan
keluar
dari
konflik
rumah
tangga
yang
akan
membahayakan salah satu pihak atau keduanya. c. Tekanan sosial bagi pelaku perceraian yang semakin mengendur. Pada masa lalu ada kesan stereotip bagi laki-laki dan/atau wanita yang memutuskan ikatan perkawinan dengan pasangannya. Namun saat ini kesan itu sudah berkurang, bahkan cenderung hilang di lingkungan masyarakat perkotaan. d. Semakin meningkatnya kualitas pendidikan masyarakat terutama perempuan. Maka istri yang berpendidikan tinggi jika diceraikan oleh suaminya tidak lagi khawatir akan nafkah dirinya dan anak-anaknya. Dengan bekal pendidikan yang dimiliknya, seorang wanita dapat mencari pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhannya. Maka dapat kita lihat pada tahun 2006-2009, angka cerai gugat lebih tinggi dari pada angka cerai talak.
C. Tingkat Keberhasilan Mediasi Untuk mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok, penulis menggunakan Laporan Pemberdayaan Lembaga Perdamaian Pengadilan Agama Depok Tahun 2009 dan 2010. Data laporan tersebut
95
merupakan laporan bulanan yang kemudian dirangkum dalam laporan tahunan di Pengadilan Agama. Didalamnya dapat diketahui perkara yang masuk ke lembaga perdamaian setiap bulan dan dilaporkan hasil mediasi yang berhasil maupun yang tidak berhasil. Sehingga dengan laporan ini, dapat diketahui dengan mudah jumlah perkara yang dimediasi dan hasilnya. Laporan pemberdayaan lembaga perdamaian di Pengadilan Agama Depok mulai dibukukan mulai tahun 2009, walaupun PERMA lahir tahun 2008. Hal tersebut dikarenakan prosedur mediasi yang baru membutuhkan waktu dalam hal implementasi di lapangan. Dan sesuatu yang wajar, bahwasanya aturan yang baru disahkan tidak dapat langsung dilaksanakan dalam waktu singkat, karena membutuhkan proses yang cukup lama. Berikut penulis rangkum laporan pemberdayaan lembaga perdamaian, kemudian dihitung prosentase keberhasilan mediasi tiap tahunnya.
96
Tabel 14 LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2009* KETERANGAN NO BULAN JUMLAH PERKARA TIDAK BERHASIL BERHASIL 1 Januari 40 15 25 2 Februari 17 4 13 3 Maret 30 0 30 4 April 17 3 14 5 Mei 26 4 22 6 Juni 40 4 36 7 Juli 10 1 9 8 Agustus 20 1 19 9 September 7 0 7 10 Oktober 17 2 15 11 November 24 2 22 12 Desember 21 2 19 TOTAL 269 38 231 *Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
Untuk mengetahui prosentase perkara perceraian yang berhasil di mediasi dalam 1 (satu) tahun dapat menggunakan rumusan sebagai berikut:77
Jumlah perkara yang dicabut Jumlah perkara yang diputus
X 100 %
Berdasarkan rumusan diatas dapat diketahui prosentase perkara perceraian yang berhasil di mediasi pada tahun 2009 sebagai berikut: 38 269
X 100 % = 14,1 % 77
Ali Muhtarom, Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian. Artikel diakses pada tanggal 10 April 2011 di http://badilag.net/data/ARTIKEL/tolakukur/efektifitas/mediasi.pdf
97
Maka dapat diketahui bahwa perkara perceraian yang berhasil dimediasi pada Pengadilan Agama Depok selama tahun 2009 adalah sebesar 14,1 % dari semua perkara perceraian yang diputus.
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tabel 15 LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2010 KETERANGAN BULAN JUMLAH PERKARA TIDAK BERHASIL BERHASIL 17 1 16 Januari 22 4 18 Februari 16 0 16 Maret 7 0 7 April 4 1 3 Mei 12 1 11 Juni 12 1 11 Juli 12 1 11 Agustus 19 3 16 September 0 0 0 Oktober* 26 1 25 November 40 0 40 Desember TOTAL 187 13 174
*Data hilang, tidak tercantum dalam laporan tahunan. *Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
Prosentase perkara perceraian yang berhasil di mediasi pada tahun 2009 sebagai berikut: 13 187
X 100 % = 6,9 %
98
Maka dapat diketahui bahwa perkara perceraian yang berhasil dimediasi pada Pengadilan Agama Depok selama tahun 2010 adalah sebesar 6,9 % dari semua perkara perceraian yang diputus.
D. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Mediasi Keberhasilan atau kegagalan mediasi sangat dipengaruhi faktor-faktor pendukung dan penghambat selama proses mediasi. Berikut faktor-faktor pendukung keberhasilan mediasi: a. Kemampuan Mediator. Mediator yang pandai mengelola konflik dan berkomunikasi sehingga dapat mengupayakan adanya titik temu antara para pihak akan mudah mendorong terjadinya perdamaian. Oleh karena itu, kemampuan seorang mediator berpengaruh akan keberhasilan mediasi. Dibutuhkan pula kejelian mediator untuk mengungkap apakah permasalahan diantara para pihak dan kebijaksanaan mediator dalam memberikan solusi, sehingga para pihak berhasil menyelesaikan masalahnya dengan damai dan baik.78 b. Faktor Sosiologis dan Psikologis. Kondisi sosial para pihak menentukan akan keberhasilan mediasi. Misalnya, seorang wanita yang menggugat cerai suaminya akan berfikir akan
78
Wawancara dengan Sufita Netti, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
99
nafkah dirinya dan anak-anaknya. Bagi wanita yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki penghasilan namun khawatir kekurangan akan berfikir ulang untuk menggugat cerai suaminya. Namun, wanita yang sudah memiliki pekerjaan tetap dan bahkan penghasilan yang cukup, kecenderungan untuk berpisah dengan suaminya lebih kuat. Kondisi psikologis para pihak dapat mempengaruhi keberhasilan mediasi. Seseorang yang ingin berpisah dengan pasangannya pasti telah merasa ketidaknyaman bahkan penderitaan fisik maupun psikis yang berlangsung lama. Semakin besar tekanan yang ada pada diri seseorang, berarti semakin besar pula keinginannya untuk berpisah dengan pasangannya. Faktor intern dari para pihak terutama faktor kejiwaan dapat mendukung keberhasilan mediasi.79 c. Moral dan Kerohanian. Prilaku para pihak yang baik dapat memudahkan mediator untuk mengupayakan perdamaian. Namun, prilaku yang buruk dapat menjadikan salah satu pihak tidak mau kembali rukun karena bila kembali dalam ikatan perkawinan
akan memperburuk kehidupannya.
Begitu pula tingkat
kerohanian seseorang berpengaruh pada keberhasilan mediasi. 80
79
Disampaikan oleh Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat saat wawancara pada tanggal 11 Mei 2011. 80
Ketiga faktor tersebut disampaikan saat wawancara dengan E. Kurniawati dan Sulkha Herwiyanti, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011.
100
d. Iktikad Baik Para Pihak. Saat proses mediasi berlangsung, mediator berperan sebagai penengah yang berusaha mendamaikan para pihak. Namun sebaik apapun usaha yang dilakukan mediator dalam mendamaikan tidak akan berhasil bila tidak didukung oleh iktikad baik para pihak untuk dirukunkan serta kesadaran masing-masing pihak akan kekurangannya sehingga dapat saling memaafkan dan memulai hidup rukun kembali. Terutama iktikad baik pihak Pemohon/Penggugat untuk berdamai dan menerima Termohon/Tergugat untuk hidup bersama.81 Sedangkan faktor-faktor penghambat keberhasilan mediasi adalah sebagai berikut: a. Keinginan Kuat Para Pihak Untuk Bercerai. Seringkali terjadi saat mediasi salah satu pihak bahkan keduanya sudah sangat kuat keinginannya untuk bercerai. Kedatangan mereka ke Pengadilan Agama biasanya terjadi akibat tidak berhasilnya upaya perdamaian yang dilakukan oleh pihak keluarga. Sehingga hal ini yang sering menyulitkan mediator untuk mengupayakan perdamaian.82
81
Wawancara dengan Fauziah dan Sarnoto, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011. 82
Wawancara dengan Fauziah dan Sarnoto, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011.
101
b. Sudah Terjadi Konflik yang Berkepanjangan. Konflik yang terjadi diantara para pihak sudah terjadi berlarut-larut, saat mediasi para pihak tidak dapat diredam emosinya, sehingga para pihak tidak dapat menerima lagi masukan-masukan dari mediator dan merasa benar sendiri. Bahkan, sering terjadi pihak Pemohon/Penggugat sudah tidak bisa memaafkan pihak Termohon/Tergugat sehingga sulit untuk rukun lagi.83 c. Faktor Psikologi atau Kejiwaan. Kekecewaan yang sangat dalam terhadap pasangan hidupnya seringkali memunculkan rasa putus harapan seseorang akan ikatan perkawinannya. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mengakhiri perkawinannya.84
83
Wawancara dengan E. Kurniawati dan Sulkha Herwiyanti, Hakim Mediator di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 84
Disampaikan oleh Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat saat wawancara pada tanggal 11 Mei 2011.
102
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa efektivitas mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Depok, penulis menyimpulkan bahwa mediasi belum efektif. Adapun faktor-faktor penyebabnya adalah sebagai berikut: 1. Tingkat kepatuhan masyarakat yang menjalani proses mediasi sangat rendah. Faktor ini yang menjadi penyebab utama belum efektifnya mediasi di Pengadilan Agama Depok. 2. Budaya masyarakat yang beranggapan bahwa perceraian bukanlah sebuah aib bagi pribadi maupun keluarga. Begitu pula kemajuan tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat turut mempengaruhi persepsi bahwa perceraian bukanlah masalah dalam menjalani kehidupan. 3. Fasilitas dan sarana mediasi di Pengadilan Agama Depok masih kurang memadai baik dari segi ruang mediasi maupun fasilitas penunjang didalamnya. 4. Kualitas hakim yang ditunjuk sebagai mediator belum merata. Hanya ada 2 (orang) yang telah mengikuti pelatihan mediasi yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI.
103
B. Saran Di bagian akhir ini, penulis memberikan saran-saran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkai sebagai berikut: 1. Kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama yang membawahi Kantor Urusan Agama (selanjutnya disebut KUA) dan Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Pernikahan (selanjutnya disebut BP4), agar memberikan pelatihan dan pembinaan kepada calon pasangan yang ingin kawin. Hal ini dilakukan agar mereka memiliki pengetahuan yang cukup serta kesiapan mental baik, sehingga terhindar dari perceraian yang disebabkan ketidaksiapan mereka menjalani kehidupan rumah tangga. Hal ini sebagai tindakan preventif terhadap perceraian. 2. Kepada Mahkamah Agung, agar segera mengeluarkan PERMA tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang menjalankan fungsi mediator yang telah diamanatkan dalam Pasal 25 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan; menyelenggarakan pelatihan mediasi kepada hakim yang ditetapkan sebagai mediator yang belum mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh MA pada tahun 2009; dan membangun ruang mediasi dan fasilitas lainnya yang baik demi menunjang pelaksanaan mediasi di pengadilan agama. 3. Kepada Pengadilan Agama, agar menjalankan proses mediasi dengan sebaikbaiknya sesuai dengan aturan yang ada serta mengoptimalkan kinerja mediator dari hakim yang telah ditetapkan; hendaknya disiapkan mediator
104
bersertifkat dari luar pengadilan untuk memenuhi kebutuhan mediator terlatih yang jumlahnya masih sangat sedikit di pengadilan agama; dan melakukan evaluasi kinerja mediator secara rutinn. 4. Kepada para hakim yang ditetapkan menjadi mediator, agar melaksanakan tugas dengan baik sesuai dengan pelatihan mediasi yang telah diberikan MA dan bagi yang belum mendapatkan pelatihan supaya belajar secara mandiri sehingga mampu bersaing secara kualitas dengan yang telah mendapatkan pelatihan. 5. Kepada para akademisi hukum, agar memberikan pembelajaran tentang mediasi secara komprehensif disertai dengan praktikum teknis bermediasi. Hal demikian sangat membantu para mahasiswa yang akan terjun di dunia hukum dan peradilan.
105
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal. Mediasi: Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009. Ali, Achmad. Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan. Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2004, Cet. Ke-1. Al-Bukhari, Muhammad bin „Ismail. Shahih al-Bukhari. Juz 3. Kairo: Dar al-Hadis, 2000, Cet. Ke-1. Al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats. Sunan Abu Dawud. Juz 2. Beirut: Dar al-Kutub al-„Arabi, t.t. Al-Syarbini, Muhammad Khatib. Mughni al-Muhtaj Juz 2. Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Budiardjo, Ali. dkk. Law Reform in Indonesia: Diagnostic Assessment of Legal Development in Indonesia: Result of a Research Study Undertaken for The World Bank, vol. I. Jakarta: Cyber Consult. Dewi, Gemala (ed.). Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006, Cet. Ke-2. Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiono. Metode Penelitian Hukum. Surakarta: UMS Press, 2004. Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, Cet. Ke-23. Fauzan, M. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari‟ah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, Cet. Ke-1.
106
Garner, Bryan A. (ed.). Black‟s Law Dictionary, 8th ed. USA: West, 2004. Goode, William J. Sosiologi Keluarga. Penerjemah Lailahanoum Hasyim. Jakarta: Bumi Aksara, 2007, Cet. Ke-7. Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet. Ke-7. ----------------------------. Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet. Ke2. Head, John W. Pengantar Umum Hukum Ekonomi. Jakarta: Proyek ELIPS, 1997. Hejazziey, Djawahir (ed.). Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007, Cet. Ke-1. Ibnu Hibban, Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Busti. Shahih Ibnu Hibban bi Tartibi Ibnu Bilban. Juz 11. Beirut: Muassasah alRisalah, 1993, Cet. Ke-2. Ibnu Katsir, Abu al-Fida Isma‟il bin „Umar bin Katsir al-Qurasy al-Dimasyqi. Tafsir al-Quran al-„Azhim, Juz 2. Riyad: Dar Thayibah, 1999, Cet. Ke-2. Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 2007, Cet. Ke-3. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Buku Tanya dan Jawab Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di
107
Pengadilan. Mahkamah Agung RI, Japan International Cooperation Agency (JICA), dan Indonesia Institute for Conflict Transformation (IICT), 2008. Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008. Marbun, B.N. Kamus Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 2006, Cet. Ke-1. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Musthofa Sy. Kepaniteraan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, Cet. Ke-1. Nasution, Bahder Johan. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju, 2008, Cet. Ke-1. Pengadilan Agama Depok. Laporan Pemberdayaan Lembaga Perdamaian Tahun 2009 dan 2010. Qudamah, Ibnu. al-Mughni Juz 5. Beirut: Dar al-Fikr, 1984, Cet. Ke-1. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Adytia Bakti, 2000. -----------------------. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, Cet. Ke-2. Romy H, Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah Juz 3. Kairo: Dar al-Fath, 1990. Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
108
--------------------------. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989, Cet. Ke-5. --------------------------. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: RajaGrafindo, 2001. -------------------------. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1984. --------------------------. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, Cet. Ke-5. Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, Cet. Ke-1. Sutiyoso, Bambang. Aktualita Hukum dalam Era Reformasi: Paparan Aktual Berbagai Permasalahan Hukum dan Solusinya Selama Proses Reformasi di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet. Ke-2. Tresna, R. Komentar HIR. Jakarta: Pradnya Paramita, 2005, Cet. Ke-18. Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung: PT. Citra Adytia Bakti, 2003. D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi: Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Bandung: Alfabeta, 2010, Cet. Ke1. Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh Juz 6. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
109
Peraturan Perundang-undangan: Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. -------------------------. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Situs Internet: Fajar, Asep Rahmat. Potret Dunia Peradilan Indonesia: Refleksi dan Proyeksi. Jakarta: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH-UI, t.t. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari http://www.pemantauperadilan.com/opini/57POTRET%20DUNIA%20PERADILAN%20INDONESIA.pdf ----------------------- . Wajah Lembaga Peradilan Indonesia: Kenyataan dan Harapan. Jakarta: Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FH-UI, t.t. Di akses pada tanggal
06
November
2010
dari
http://www.pemantauperadilan.com/opini/29.WAJAH%20LEMBAGA%20P ERADILAN%20INDONESIA.pdf Hakim, Nurul. Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Hubungannya Dengan Lembaga Peradilan. Artikel diakses pada
tanggal
10
Mei
http://badilag.net/data/ARTIKEL/efektifitas.pdf
2011
dari
110
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Profil Peradilan Agama Tahun 2007, 2008, 2009,
dan
2010.
Data
diakses
dari
http://www.badilag.net/data/PROFIL/ebook-profil-PA07en.pdf, http://badilag.mahkamahagung.go.id/data/ditbinadpa/TABEL%20DATA%20 PERSENTASE%20PERKARA%20CT%20CG%20PERK%20LAIN%20YG %20DIPUTUS%20TAHUN%202008.pdf, http://www.badilag.net/data/ditbinadpa/peradilan%20agama%20V%20indone sia%202009.pdf,
dan
http://www.badilag.net/data/PROFIL/peradilan%20agama%20V%20indonesi a%202010.pdf pada tanggal 05 Mei 2011. Muhtarom, Ali. Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian. Artikel
diakses
pada
tanggal
10
April
2011
di
http://badilag.net/data/ARTIKEL/tolakukur/efektifitas/mediasi.pdf Runtung. Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat FH-Universitas Sumatera Utara. Medan: USU, 2006. Di akses pada
tanggal
06
November
2010
dari
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2006/ppgb_2006_runtung.pdf Siddiki. Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan. Artikel. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari http://www.badilag.net/artikel/mediasi.pdf
111
Sunarmi. Membangun Sistem Peradilan di Indonesia. Artikel. Medan: e-USU Repository, 2004. Di akses pada tanggal 06 November 2010 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1576/1/perdata-sunarmi3.pdf Tampubolon, Muhammad Buchary Kurniata. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Pengadilan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan Negeri: Tesis Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Semarang: UNDIP, 2008. Di akses pada tanggal 06 November 2010
dari
http://eprints.undip.ac.id/18261/1/Muhammad_Buchary_Kurniata_Tampubol on.pdf
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia Hari/Tanggal 1.
2. 3.
4.
: E. Kurniati S.Ag. : 19560726.198003.2.001 : Hakim : 55 tahun : Rabu, 11 Mei 2011
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? Ya, sejak November 2010. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama Depok. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? Tidak/belum. b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Tidak, karena serifikasi mediator diberikan hanya kepada yang mengikuti pelatihan bertaraf nasional yang pesertanya sangat terbatas. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? Perlu, karena lebih baik apabila mediator mempunyai teknik-teknik yang terprogram. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, sebab ada dampak yang disampaikan kepada para pihak sebelum berperkara bahwa mediasi akan menjembatani para pihak dalam menyelesaikan masalah yang buntu. b. Bila tidak, apa alasannya? 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? -
7.
8.
b. Bila tidak perlu, apa alasannya? Tidak, karena dalam beberapa hal akan memperpanjang rantai penyelesaian perkara dan menjadi sangat mengikat. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sudah dilakukan sosialisai baik secara khusus dalam bentuk pelatihan,maupun dalam setiap pertemuan di setiap tingkat. (MA, PTA, dan PA). Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena masing masing pihak mempunyai kepentingan yang sama yaitu sama-sama merasa lebih memperlancar proses ber”acara”di persidangan. b. Bila tidak, apa alasannya? -
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? Mediasi berarti mempertemukan kedua pihak yang bermasalah melalui juru bicara agar tercapai perdamaian atau minimal ada titik temu dalam tujuan yang akan dicapai atau meminimalisis perbedaan-perbedaan antar dua pihak yang bermasalah. 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? Sangat diperlukan, sebab mendamaikan para pihak di persidangan waktunya sangat terbatas, tetapi dengan mediasi bisa lebih leluasa dan bisa dilakukan secara parsial. 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Ya, maksimal 40 hari. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? Melanjutkan persidangan. 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? Ya ada, masing-masing pribadi lebih terbuka menyampaikan permasalahannya. b. Bila tidak, kenapa? 14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi? -Faktor teknik mediator.
15.
16.
-Faktor sosiologis dan psikologis. -Faktor moral dan kerohanian. Kesemua hal tersebut sangat berpengaruh kepada para pihak. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? -Para pihak tidak bisa diredam emosinya, sehingga para pihak tidak dapat menerima lagi masukan-masukan dari mediator dan merasa benar sendiri. -Pihak penggugat/pemohon sudah tidak bisa memaafkan pihak tergugat/ sehingga sulit untuk rukun lagi. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena mempertemukan perbedaan-perbedaan pendapat dalam perkara perceraian juga memang digunakan dan cocok dengan melalui mediasi . b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Belum. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Tidak. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Tidak disediakan anggaran untuk itu. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? Cukup baik, tapi tidak ideal. b. Bila belum cukup baik, apa alasannya? Ruang yang tersedia hanya satu, tidak sebanding dengan jumlah orang yang akan melakukan mediasi. 19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya? b. Bila tidak, kenapa tidak ada? -Tidak, karena diperlukan biaya untuk membayarnya. D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? Sebagian besar merasa puas. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? -Masing masing pihak merasa di posisi yang benar. -Merasa telah tercapai kata sepakat untuk mengakhiri perkawinan dengan perceraian. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Belum pernah. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Sepanjang tidak ada relevansinya maka belum diperlukan. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena saling membutuhkan pencerahan dan kemudahan dalam berproses perkara. b. Bila tidak, apa alasannya? -
Pihak yang diwawancarai
(E. Kurniati S.Ag.)
Pewawancara
(Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia Hari/Tanggal 1.
2. 3.
4.
: Dra. Hj. Fauziah, M.H. : 19671108.199303.2.001 : Hakim : 44 tahun : Selasa, 10 Mei 2011
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? Sejak bertugas di Pengadilan Agama Depok tahun 2010. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Karena belum mendapat pelatihan mediator. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? Perlu, karena akan menambah keterampilan Hakim dalam melakukan mediasi. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena bila tidak dilaksanakan dapat menjadikan Putusan Pengadilan Batal Demi Hukum. b. Bila tidak, apa alasannya? 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? b. Bila tidak perlu, apa alasannya? Tidak, karena perkembangan hukum itu sangat cepat.
7.
8.
Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sudah, dengan mengikutsertakan salah satu/beberapa hakim dalam pelatihan mediator dan menerbitkan PERMA untuk dibagikan kepada Para Hakim. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, setiap perkara yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara harus diperintahkan untuk dilakukan mediasi terlebih dahulu sebelum pemeriksaan pokok perkara. b. Bila tidak, apa alasannya? -
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? -Mediasi adalah satu upaya perdamaian di luar pengadilan guna mencari titik temu dalam masalah yang disengketakan. -Fungsi mediator sebagai jembatan atau penengah dalam mencari solusi. 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? -Sangat diperlukan. -Ya. -Karena ketika mediasi, kita bisa berbicara lebih rileks dan terbuka, sehingga perdamaian itu lebih mudah diwujudkan. 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Pada umumnya dalam ruangan tertutup tersendiri dan hanya 1 (satu) hari, bila keadaan tertentu bisa lebih. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? Dalam PERMA ada tahapan Kaukus (pertemuan sepihak), dimana mediator dalam menggali keinginan/hal-hal yang mendalam mendengar secara terpisah dan masing-masing pihak diberi kesempatan yang sama. 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? Ya ada pengaruhnya, setidak-tidaknya dapat meredakan emosi para pihak. b. Bila tidak, kenapa? -
14.
15.
16.
Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi? -Faktor utama adalah iktikad baik dari para pihak sendiri untuk dapat dirukunkan. -Kesadaran akan masing-masing kekurangannya sehingga dapat saling memaafkan dan memulai hidup rukun kembali. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? -Karena keadaan rumah tangga sudah sangat komplek dan kedua belah pihak sudah ingin mengakhiri pernikahannya. -Salah satu pihak sangat kuat keinginannya untuk bercerai. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Cocok, karena mediasi merupakan bagian dari upaya perdamaian. b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Belum. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Tidak ada insentif bagi hakim. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Sudah menjadi tugas dan kewajiban sebagai hakim mediator. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? b. Bila belum cukup baik, apa alasannya? Karena ruang mediasi baru ada satu dan didalamnya difungsikan 2 (dua) meja sebagai tempat pelayanan mediasi, sehingga kurang eksklusif. 19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya? b. Bila tidak, kenapa tidak ada? Tidak ada, karena mediator dari hakim yang ada sudah dianggap cukup. D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? Ada yang menerima dengan senang hati dan ada pula yang menganggap tidak perlu karena sudah sangat keras untuk bercerai. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? Salah satu pihak atau keduanya sudah sama-sama kuat kehendaknya untuk bercerai. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Tidak pernah. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Karena masih belum diperlukan untuk mengundang ahli. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? b. Bila tidak, apa alasannya? Karena tidak semua pihak siap untuk dilakukan mediasi, mereka menginginkan perkara cepat selesai dan sangat kuat keinginan untuk bercerai. Pihak yang diwawancarai
Pewawancara
(Dra. Hj. Fauziah, M.H.)
(Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia 1.
2. 3.
4.
: Dra. Nurmiwati : 19671225.199303.2.002 : Hakim : 44 tahun
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? April 2009. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Belum mengikuti pelatihan mediator. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? Perlu untuk meningkatkan SDM Peradilan. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? b. Bila tidak, apa alasannya? Tidak, karena upaya mediasi hak bagi para pihak pengadilan tidak dapat memaksa. 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
7.
8.
Sudah ada UU tentang ADR dan UU No 30 Tahun 1999. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sudah dengan pelatihan. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? Efektif, namun masih perlu ditingkatkan SDM mediator. b. Bila tidak, apa alasannya? -
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? Mediasi adalah mencari titik temu yang diinginkan oleh kedua pihak dengan difasilitasi oleh mediator. 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? -Perlu mediasi, -Untuk efektivitas dan efisiensi persidangan. 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Prinsipnya tertutup, namun para pihak dapat meminta yang lain sesuai kesepakatan. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? b. Bila tidak, kenapa? Belum perlu. 14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi? -Iktikad baik dari kedua pihak. -Persoalan yang tidak terlalu ruwet. -Persuasif yang baik.
15.
16.
Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? -Persoalan terlalu rumit. -Persuasif kurang. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Perlu, karena boleh jadi gugatan yang diajukan oleh pihak hanya karena emosi atau soek terapi, dengan mediasi pihak dapat diingatkan/tersadar kembali. b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Belum. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Belum. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Sudah menjadi tugas hakim yang diamanatkan oleh PERMA No 1 Tahun 2008. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? b. Bila belum cukup baik, apa alasannya? Belum, satu ruang dipakai oleh 2 (dua) mediator. 19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim? a. Bila ya, berapa jumlahnya?
b. Bila tidak, kenapa tidak ada? Tidak, karena itu bukan tugas PA, D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? Untuk perkara perceraian lebih banyak yang ingin tidak perlu mediasi. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? -Persoalan yang sudah ruwet -Tersinggung harga dirinya. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Tidak. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Belum diperlukan. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena proses mediasi sifatnya wajib, bila tidak dilalui dapat mengakibatkan putusan batal demi hukum. b. Bila tidak, apa alasannya? -
Yang Diwawancarai
(Dra. Nurmiwati)
Depok, 13 Mei 2011 Yang Mewawancarai
(Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia Hari/Tanggal 1.
2. 3.
4.
: Drs. Sarnoto, M.H. : 19671225.199403.1.005 : Hakim : 44 tahun : Selasa, 10 Mei 2011
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? Sejak tahun 2006. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? Ya punya, dari MA RI tahun 2009. b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? Perlu, karena dengan pelatihan mediasi akan menambah keterampilan hakim dalam melaksanakan mediasi. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena bila pihak pencari keadilan tidak mau melaksanakan mediasi, maka putusan pengadilan menjadi batal demi hukum. b. Bila tidak, apa alasannya? 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
7.
8.
Tidak perlu, karena perkembangan hukum itu sangat cepat dan problem hukum selalu datang duluan baru itu solusi hukumnya. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sudah, dengan memanggil/mengikutsertakan salah satu/beberapa hakim secara bertahap untuk mengikuti pelatihan dan dengan menerbitkan PERMA tersebut untuk dibagikan kepada para hakim. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, setiap perkara yang pada awal prinsipnya dua-duanya (kedua belah pihak) hadir; Majelis Hakim selalu mewajibkan dilakukan mediasi terlebih dahulu sebelum pemeriksaan pokok perkara dilanjutan. b. Bila tidak, apa alasannya? -
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? Mediasi adalah upaya untuk mencari titik temu atau kesamaan pandangan antara pihak yang berperkara dalam menyelesaikan perkaranya. Mediator hanya berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan penengah (wasit). 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? Mediator diberi kebebasan oleh Majelis Hakim untuk menentukan proses mediasi sesuai PERMA. 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Mediasi selalu harus tertutup; pada umumnya pihak berperkara hanya 1 (satu) kali melaksanakan mediasi. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? Dalam PERMA ada tahap KAUKUS (pertemuan sepihak), mediator mencoba menggali keinginan pihak secara tertulis dan masing-masing pihak diberi kesempatan yang sama. 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? Ya, ada pengaruhnya yaitu setidak-tidaknya dapat mengendalikan emosi para pihak. b. Bila tidak, kenapa?
14.
15.
16.
Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi? Faktor utama adalah tekad/iktikad para pihak sendiri untuk kembali rukun, terutama pihak Pemohon/Penggugat yang masih bisa menerima Termohon/Tergugat untuk kembali bersama. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? -Kedua belah pihak sudah sama-sama menghendaki perceraian. -Salah satu pihak sangat kuat keinginannya untuk bercerai. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Cocok, karena mediasi adalah salah satu dari upaya perdamaian yang kemudian diformulasikan sebagai bagian hukum acara perdata. b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Belum. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Tidak ada insentif bagi hakim yang berhasil dalam mediasi. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Dalam PERMA telah ditegaskan bahwa mediasi yang dilakukan di pengadilan dan oleh mediator hakim tidak dipungut biaya. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? b. Bila belum cukup baik, apa alasannya? Ruang mediasi baru 1 (satu) dan didalamnya ada 3 (tiga) meja yang berfungsi semua sebagai pelayanan mediasi dan tidak tersedia ruang kaukus.
19.
Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim? a. Bila ya, berapa jumlahnya? b. Bila tidak, kenapa tidak ada? Tidak ada, karena mediator dari hakim masih dianggap cukup dan sanggup untuk melayani pihak-pihak.
D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? Ada yang dengan kooperatif dan senang sekali untuk melakukan mediasi dan ada pula yang menolak untuk mediasi. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? Salah satu pihak atau kedua-duanya sudah sama-sama menghendaki perceraian. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Tidak pernah. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Sampai saat ini belum atau tidak perlu untuk mengundang ahli. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? b. Bila tidak, apa alasannya? Tidak semua pihak siap untuk melakukan mediasi, karena tidak semua pihak memahami tentang maksud dan tujuan mediasi.
Pihak yang diwawancarai
(Drs. Sarnoto, M.H.)
Pewawancara
(Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia Hari/Tanggal 1.
2. 3.
4.
: Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. : 19680915.199403.2.004 : Hakim : 43 tahun : Rabu, 11 Mei 2011
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? Ya. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama Depok. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Tidak, karena belum mengikuti pelatihan mediator. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? Perlu, karena hakim sering diminta para pihak untuk menjadi mediator dalam perkaranya. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena mediasi akan menjembatani para pihak dalam meyelesaikan masalahnya sehingga mencapai/memperoleh solusi terbaik bagi mereka. b. Bila tidak, apa alasannya? 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
7.
8.
Tidak perlu, karena dalam bentuk PERMA saja saat ini sudah cukup/memadai dan mengikat. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sudah dengan menjadi salah seorang hakim Pengadilan Agama Depok untuk mengikuti pelatihan mediator. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? b. Bila tidak, apa alasannya? Ya, karena dengan mediasi terhadap para pihak membuat proses beracara di lingkungan kerja dan mudah (memperlancar proses beracara).
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? Mediasi adalah mempertemukan dua pihak yang bermasalah melalui juru bicara/juru runding agar tercapai perdamaian atau minimal ada titik temu dalam tujuan yang akan dicapai atau meminimalisir perbedaan-perbedaan antara dua pihak yang bermasalah. 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? Sangat diperlukan, sebab mendamaikan para pihak di persidangan sangat terbatas waktunya. Dengan mediasi bisa lebih leluasa dan bisa dilakukan secara parsial (kaukus). 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Ya, maksimal 40 (empat puluh) hari. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? Melanjutkan persidangan untuk menyelesaikan perkara lagi. 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? Ya, dapat karena masing-masing pribadi lebih leluasa dan terbuka menyampaikan keluhannya. b. Bila tidak, kenapa? 14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
15.
16.
-Teknis menyampaikan mediator. -Faktor sosiologi dan psikologis. -Faktor rohani. -Faktor moral. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? -Bila para pihak tidak dapat diredam emosinya. -Sebagian para pihak tidak dapat menerima lagi masukan-masukan dari mediator dan merasa benar sendiri. -Bila pihak Penggugat/Pemohon sudah tidak bisa memaafkan pihak Tergugat/Termohon. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena mempertemukan perbedaan-perbedaan terdapat dalam perkara perceraian juga diperlukan dan cocok dengan melalui mediasi. b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Belum. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Tidak. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Tidak disediakan anggaran untuk itu. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? Cukup baik tapi tidak ideal. b. Bila belum cukup baik, apa alasannya?
19.
Ruang yang tersedia hanya satu tidak sesuai dengan jumlah orang yang akan melakukan mediasi. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim? a. Bila ya, berapa jumlahnya? b. Bila tidak, kenapa tidak ada? Tidak, karena diperlukan biaya untuk membayarnya.
D. Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? Sebagian besar merasa puas. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? -Masing-masing pihak merasa di posisi yang benar. -Merasa telah tercapai kata sepakat untuk mengakhiri perkawinan dengan perceraian. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Belum pernah. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Sepanjang tidak ada relevansinya maka belum diperlukan. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena saling membutuhkan, diantaranya untuk pemecahan dan kemudahan dalam berproses perkara. b. Bila tidak, apa alasannya? -
Pihak yang diwawancarai
(Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H.)
Pewawancara
(Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia Hari/Tanggal 1.
2. 3.
4.
: Umar Faruq, S.Ag., M.H.I. : 19700101.199703.1.007 : Hakim : 41 tahun : Jum’at, 13 Mei 2011
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? Ya, sejak Januari 2011. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Belum mengikuti pelatihan mediator. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? -Perlu untuk peningkatan SDM Peradilan. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? b. Bila tidak, apa alasannya? Tidak, karena upaya mediasi hak bagi para pihak, Pengadilan tidak dapat memaksa. 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
7.
8.
Sudah ada UU tentang ADR dan UU No 30 Tahun 1999. Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sudah dengan pelatihan-pelatihan. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? Efektif, namun masih perlu ditingkatkan SDM mediator. b. Bila tidak, apa alasannya? -
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? Mediasi berarti mencari titik temu yang diinginkan oleh kedua pihak dengan difasilitasi oleh mediator. 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? -Perlu mediasi. -Untuk efektivitas dan efisiensi persidangan. 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Prinsipnya tertutup, namun para pihak dapat meminta yang lain sesuai kesepakatan. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? b. Bila tidak, kenapa? Belum perlu. 14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi? -Iktikad baik dari kedua pihak. -Persoalan yang tidak terlalu ruwet -Persuasif yang baik. 15. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi?
16.
-Persoalan sudah rumit -Persuasif sudah kurang. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Perlu, karena boleh jadi gugatan yang diajukan oleh pihak hanya karena emosi atau shock terapy, dengan mediasi pihak dapat diingatkan/tersadar. b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Belum. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Belum. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Sudah menjadi tugas hakim yang diamanatkan oleh PERMA No 1 Tahun 2008. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? b. Bila belum cukup baik, apa alasannya? -Belum. -Satu ruang dipakai oleh 2(dua) orang mediator. 19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim? a. Bila ya, berapa jumlahnya? b. Bila tidak, kenapa tidak ada?
Tidak, karena itu bukan tugas Pengadilan Agama. D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? Untuk perkara perceraian lebih banyak yang ingin tidak perlu mediasi. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? -Persoalan yang sudah ruwet. -Tersinggung harga dirinya. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Tidak. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Belum diperlukan. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena proses mediasi sifatnya wajib, bila tidak dapat mengakibatkan putusan batal demi hukum. b. Bila tidak, apa alasannya? -
Pihak yang diwawancarai
(Umar Faruq, S.Ag., M.H.I.)
Pewawancara
(Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia Hari/Tanggal 1.
2. 3.
4.
: Drs. H. Bambang Hermanto, M.H. : 19590919.198903.1.001 : Hakim : 50 tahun : Rabu, 11 Mei 2011
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? Ya, sejak tahun 2010. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? Belum bersertifikat. b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Belum ikut pelatihan sertifikat mediator. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? Ya, sangat perlu. Supaya lebih efektif. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena setiap pemeriksaan harus diupayakan perdamaia dan mediasi sendiri merupakan kepanjangan upaya perdamaian. b. Bila tidak, apa alasannya? 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? Ya perlu supaya ada keseragaman beracara. b. Bila tidak perlu, apa alasannya?
7.
8.
Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sudah melalui pembinaan rutin oleh Ketua Pengadilan Agama. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? b. Bila tidak, apa alasannya? Belum efektif, alasannya sebagian besar mediator belum bersertifikat.
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dibantu oleh mediator. Mediator berfungsi sebagai penengah bagi pihak pihak berperkara. 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? Ya proses mediasi diperlukan, ya memang majelis hakim berkewajiban mendamaikan dalam persidangan, sedangkan mediator di luar persidangan dan dari integrasi ada kesan untuk ada alternatif penyelesaian di luar sidang dan menghindari penumpukan. 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Ya proses mediasi dilakukan secara tertutup dan biasanya berlangsung 1-2 minggu. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? Jika sudah diupayakan tetapi menemui jalan buntu, ya sudah tinggal dibuatkan laporan gagal memperoleh kesepakatan. 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? Sebetulnya perlu dilakukan kaukus. Dan saya yakin ada pengaruhnya. b. Bila tidak, kenapa? 14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
15.
16.
Faktor intern dari para pihak terutama faktor kejiwaan. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? Faktor psikologi kejiwaan yang terlalu kecewa, sehingga sering berputus harapan. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, alasannya merukunkan kembali rumah tangga yang sudah pecah, sungguh sulit tetapi mulia. b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Masih kurang memadai dan dibutuhkan sarana penunjang seperti proyektor. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Mediator hakim yang berhasil disediakan insentif sesuai dengan pasal 25 PERMA Tahun 2008. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Pasal 10 ayat (1) PERMA No 1 Tahun 2008 disebutkan penggunaan jasa mediator tidak dipungut biaya. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? Ya cukup memadai, yaitu ada ruang tersendiri dan ber-AC. b. Bila belum cukup baik, apa alasannya? Satu ruang 3 mediator, sarana air minum, dan proyektor. 19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim? a. Bila ya, berapa jumlahnya?
b. Bila tidak, kenapa tidak ada? Tidak, sebab belum ada mediator diluar hakim yang bersertifikat mendaftarkan diri. D. Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? 70-80% memberikan respon positif. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? -Komunikasi yang sudah terputus. -Ada pihak ke tiga. -Pendidikan. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Belum pernah, namun para pihak sendiri yang menyatakan sudah pernah menghadap seorang ahli. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Para pihak sendiri merasa tidak perlu. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, hampir semua siap mengikuti mediasi setelah upaya perdamaian. b. Bila tidak, apa alasannya? Sudah terlalu parah keadaan rumah tangganya.
Pihak yang diwawancarai
(Drs. H. Bambang Heryanto, S.H.)
Pewawancara
(Hidayatulloh)
HASIL WAWANCARA Nama Lengkap NIP Jabatan Usia Hari/Tanggal 1.
2. 3.
4.
: Dra. Sulfita Nefti, S.H. : 19580803.199403.2.001 : Hakim : 53 tahun : Rabu, 11 Mei 2011
Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Depok? Sejak kapan? Ya, sejak bulan Januari 2011. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator? Ketua Pengadilan Agama Depok. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator? a. Bila ya, lembaga apa yang memberikan pelatihan mediator kepada Bapak/Ibu? Pada tahun berapa? Tidak belum. b. Bila tidak, mengapa Bapak/Ibu belum memiliki sertifikat mediator? Karena belum mengikuti pelatihan atau sertifikasi mediator. Menurut Bapak/Ibu, apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama? a. Bila ya, apa alasannnya? Ya, agar hakim pengadilan agama bisa maksimal sewaktu melakukan mediasi. b. Bila tidak, apa alasannya? -
A. Tentang PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 5. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan? a. Bila ya, apa alasannya? b. Bila tidak, apa alasannya? Tidak, karena mediasi hanyalah salah satu cara dalam upaya mendamaikan pihak yang berperkara, hasilnya terserah kepada mereka. 6. Apakah perlu PERMA tersebut ditingkatkan menjadi sebuah Undang-Undang? a. Bila perlu, apa alasannya? b. Bila tidak perlu, apa alasannya? Tidak perlu, karena PERMA saja sudah memiliki kekuatan mengikat bagi para hakim, karena bila tidak dilaksanakan, putusan menjadi batal karena hukum.
7.
8.
Apakah Mahkamah Agung telah melakukan sosialisasi kepada para hakim mediator di Pengadilan Agama Depok tentang prosedur mediasi di pengadilan? Bagaimana bentuk sosialisasinya? Sepengetahuan saya belum, karena saya belum lama bertugas di Pengadilan Agama Depok. Menurut Bapak/Ibu, apakah PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah berjalan efektif? a. Bila ya, apa alasannya? Ya, karena sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya. b. Bila tidak, apa alasannya? -
B. Tentang Mediasi dan Pelaksanaannya 9. Menurut Bapak/Ibu, apa yang dimaksud dengan mediasi? Dan apa fungsi mediator? Mediasi adalah upaya damai yang dilakukan diluar persidangan, dimana mediator berfungsi sebagai penengah dan juru bicara atau juru runding dianatara pihak yang bersengketa. 10. Apakah proses mediasi diperlukan? Bukankah Majelis Hakim selalu berupaya mendamaikan para pihak dalam persidangan? Mengapa? Proses mediasi diperlukan untuk mengoptimalkan upaya damai sesuai tuntutan PERMA Nomor 1 Tahun 2008. 11. Apakah proses mediasi selalu dilakukan tertutup? Berapa hari biasanya proses mediasi berlangsung? Tidak, semuanya tergantung kesepakatan antara para pihak dengan mediator. 12. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan bila usaha mendamaikan diantara kedua belah pihak menemui jalan buntu? Bila usaha mendamaikan oleh mediator menemui jalan buntu, tindakan yang harus dilakukan oleh mediator adalah menyerahkan kembali penyelesaian kepada majelis hakim dengan laporan “mediasi gagal”. 13. Dalam Pasal 15 ayat (3) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut? a. Bila ya, apakah dapat berpengaruh terhadap para pihak? Pernah, dan dapat berpengaruh terhadap para pihak sekurang kurangnya meredakan emosi mereka, sehingga masalah mereka dapat diselesaikan dengan baik. b. Bila tidak, kenapa? 14. Bila mediasi berhasil, faktor-faktor apa yang mendukung keberhasilan mediasi?
15.
16.
Kejelian mediator untuk menguruskan pokok permasalahan dianatara para pihak dan kebijaksanaan mediator dalam memberikan solusi, sehingga para pihak berhasil menyelesaikan masalahnya dengan damai dan baik. Bila mediasi gagal, faktor-faktor apa yang menyebabkan kegagalan mediasi? Emosi dan ego para pihak demi gengsi dan harga diri, tidak ada yang mau mengalah. Yang ada hanya saling menyalahkan. Mediasi sebagai salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sudah lazim digunakan dalam perkara ekonomi dan bisnis. Menurut Bapak/Ibu, apakah mediasi cocok digunakan dalam perkara perceraian? a. Bila ya, apa alasannya? Ya cocok, karena perkara perceraian adalah sengketa antara suami istri terhadap rumah tangga mereka. b. Bila tidak, apa alasannya? -
C. Tentang Sarana Penunjang Mediasi dan Insentif Hakim Mediator 17. Dalam Pasal 25 ayat (1) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. a. Apakah sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah baik dan memadai? Lumayan baik dan memadai. b. Apakah hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator mendapatkan insentif? Tidak, karena mediasinya gratis. c. Bila diberikan insentif, apakah sudah sesuai dengan pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan? d. Bila tidak diberikan insentif, apa alasannya? Mediasinya gratis, tentu mediatornya tidak diberi insentif. 18. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal? a. Bila ya, fasilitas penunjang apa saja yang ada di ruang mediasi di pengadilan Agama Depok? Bisa dianggap baik dan cukup karena sudah ada 3 (tiga) meja dengan kursikursinya. b. Bila belum cukup baik, apa alasannya? Belum cukup baik sebagai tempat mediasi yang ideal karena ruangan yang sempit dan tidak ada sekat pembatas antara meja yang ada sehingga tidak nyaman bagi para pihak dan juga mediator. 19. Apakah Pengadilan Agama Depok menyediakan mediator di luar hakim?
a. Bila ya, berapa jumlahnya? b. Bila tidak, kenapa tidak ada? Tidak, karena hakim banyak dan juga untuk membantu dan meringankan beban para pihak dengan memberikan pelayanan yang prima. D. Tentang Pihak-pihak Yang Berperkara 20. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana respon para pihak selama menjalani proses mediasi? Cukup baik. 21. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan para pihak tidak dapat didamaikan dalam proses mediasi? Jawaban yang sama atas pertanyaan nomor 15. 22. Dalam Pasal 16 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dengan persetujuan para pihak. a. Selama menjadi hakim mediator di Pengadilan Agama Depok, apakah Bapak/Ibu pernah mengundang seorang atau lebih ahli bidang perkawinan dalam perkara perceraian? Belum pernah. b. Bila ya, apakah keterlibatan ahli mempengaruhi keberhasilan mediasi? c. Bila tidak pernah mengundang ahli, kenapa? Dirasa tidak perlu. 23. Menurut Bapak/Ibu, apakah masyarakat yang berperkara di pengadilan agama sudah siap dengan proses mediasi yang dilakukan saat ini? a. Bila ya, apa alasannya? Ya dianggap sudah siap, karena PERMA mewajibkan majelis hakim dalam persidangan memerintahkan para pihak untuk menempuh proses mediasi, tidak terkecuali sekalipun para pihak tidak siap atau keberatan. b. Bila tidak, apa alasannya? -
Pihak yang diwawancarai
Pewawancara
(Dra. Sulfita Nefti, S.H.)
(Hidayatulloh)