BAB IV ANALISIS ALASAN-ALASAN DISPENASI NIKAH DI PENGAIDLAN AGAMA KAJEN DAN PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA KAJEN DALAM MEMUTUSKAN PERKARA DISPENSASI NIKAH
A. Alasan-Alasan Dispenasi Nikah di Pengaidlan Agama Kajen a) Menjalin Cinta (Pacaran) Sudah Sangat Akrab dan Sulit Dipisahkan Menjalin Cinta, Sudah Sangat Akrab dan Sulit Dipisahkan (Pacaran) merupakan proses perkenalan antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Pada kenyataannya penerapan proses tersebut masih sangat jauh dari tujuan yang sebenarnya. Seseorang yang belum cukup umur dan masih jauh dari kesiapan memenuhi persyaratan menuju pernikahan telah dengan nyata membiasakan tradisi yang semestinya tidak mereka lakukan. Pacaran hanyalah sebuah kebiasaan masyarakat sejak dahulu sampai sekarang sehingga membudaya dengan sendirinya, hal ini biasanya disebabkan oleh lingkungan keluarga yang membiarkan serta masyarakat, media massa dan acara-acara televisi yang sekarang ini hanya menampilkan kehidupan romantis (pacaran) para pemuda dan jauh dari makna keagamaan, dan juga internet.
67
68
Undang-undang tidak mengatur tentang hal ini karena pemerintah hanya mengatur hal-hal umum yang menjadi ranah publik, kepentingan umum dan ketertiban umum. Hukum Islam lebih menganjurkan pernikahan agar segera dilaksanakan bila usia sudah menginjak aqil baligh. Rasulullah SAW bersabda,
ِ ُّ فمِإنَّو أم مغ، م ِن استطماع ِمْن ُكم الْباءةم فم ْليت زَّوج،اب ،ص ِر ُ ُ َيممْع مشمر الشَّبم ِ م ْ م م ُ م م مم م ض ل ْلبم م . فمِإنَّوُ لموُ ِو م اءٌء، ِْ الص َّ ِ مومم ْن مْ م ْ تم ِط ْ فم معلمْي ِو،ص ُن لِْل م ْرِج موأم ْ م
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang sudah mampu untuk berjima’ (karena sudah mampu untuk memberikan nafkah) maka hendaknya ia menikah; karena sesungguhnya menikah merupakan sarana paling ideal untuk menundukkan pandangan dan menjaga farji (dari hal-hal yang diharamkan). Dan barang siapa di antara kalian yang belum mampu, maka hendaklah berpuasa karena berpuasa dapat menghindarkan seseorang dari bahaya sahwat.”1 Di lihat dari sisi agama, hukum Islam tidak membenarkan adanya pacaran, walaupun tidak secara detil melarangnya. Qur’an Surat 17 Al-isra’ ayat 32:
dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
1
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah..... hlm. 206.
69
Dari ayat tersebut Islam jelas melarang perbuatan zina serta mendekatinya, pacaran adalah sesuatu perbuatan yang mendekati zina. Diantaranya unsur-unsur yang mendekati zina : 1. Saling memandang/ manatap (lawan jenis); 2. Bersentuhan (berpegangan tangan, berpelukan, berciuman); 3. Berdua-duaan dengan selain mahramnya. Survey yang dipublikasikan oleh Komisi Perlindungan Anak tahun 2012 di 17 kota besar di Indonesia dengan jumlah responden 4700 remaja berada pada jenjang SMP hingga SMA terungkap bahwa 62,7% remaja SMP/ SMA mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks pranikah.2 Hal ini menjelaskan bahwa berpacaran adalah kegiatan yang memiliki banyak aspek negative dan dilarang oleh agama (Islam). Islam ingin meningkatkan derajat manusia, salah satunya dengan jalan pernikahan. Hukum Islam memiliki aturan bagi manusia yang ingin mengenali atau menjajaki hubungan dengan lawan jenis. Perkenalan sebelum melangsungkan pernikahan dalam hukum Islam disebut dengan istilah Ta’aruf (berkenalan). Q.S. Al-Hujarat (49) :13 :
2
Dwiky Noer, 62% Remaja SMP dan SMA tidak Perawan “Cukupkah Sekedar Prihatin dari Kita?” https://m.kompasmania.com/dwi_noer/62-remaja-smp-sma-tidakperawan-cukupkah-sekedar-ucapan-prihatin-dari-kita_552a0feaf17e61af52d623dc di akses tanggal 26 Februari 2016.
70
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Ta’aruf berasal dari kata ta’akhrafa-ya’krifu-ta’aruf, yaitu mengenal, saling mengenali, hendak mengatahui atau melakukan pendekatan hubungan. Konsep ta’aruf adalah suatu pendekatan yang dilakukan manusia untuk saling mengenal antara dua insan yang dibingkai dengan akhlak yang benar, di dalamnya ada aturan yang melindungi kedua pihak dari pelanggaran berperilaku atau maksiat.3 Dalam ayat tersebut terdapat batasan yang jelas dalam proses perkenalannya, yaitu ketakwaan seseorang dan pengawasan Allah swt. sehingga tidak boleh melampaui batas. Abu al-Ghifari (kutipan H.M Amin Syukur dan Fatimah Usman), Pacaran Yang Islami: Adakah?, memberikan tips menarik tentang cara mengenali (ta’aruf) calon pasangan hidup yang tidak melanggar syariat. Dalam artian masih dalam batasan ketakwaan terhadap Allah swt, antara lain memperhatikan isi rumahnya ketika bertamu, mengamati lingkungan pergaulannya, mengenali latar belakang pendidikannya, menelusuri bacaannya, mengorek keterangan dari saudaranya atau teman-temannya dan berdiskusi saat silaturahmi.4
3
Journal pikir, https://safwankita.wordpress.com/2010/05/14konsep-taarufpembentukan-keluarga-dalam-tinjauan-psikologi-islam/ di akses tanggal 21 Februari 2016. 4 HM. Amin Syukur dan Fathimah Usman, Mempertautkan Dua Hati “Kiat Sukses Membina Kelaurga Sakinah” (Semarang: LEMBAKOTA, 2009), hlm. 21-22.
71
Rasulullah saw, juga menganjurkan agar orang yang ingin melamar seorang gadis supaya melihat terlebih dahulu gadis yang ingin dipinangnya dengan jalan taaruf. Akan tetapi bukan berarti berpacaran, mata sebagai pengantarnya dan hati sebagai duta perasaannya. Karena itu, haruslah saling melihat sebelum terjadinya perkawinan.5 Rasulullah saw. bersabda :
ِ ب ام م ُد ُك ُم اْ ْملرأمةم مواممر ماد ام ْن متم مزَّو م مها فم ْليم ْنظُْر م ْع م ُض مما م ْدعُ ْه اذما مخطم م اِ مَل مزموا ِ مها
“Apabila salah seorang di antara kamu meminang seseorang wanita dan hendak mengawininya, maka hendaklah ia melihat sebagian dari apa yang bisa mendorongnya untuk mengawininya”6
Dalam al Qur’an dijelaskan mengenai ta’aruf (perkenalan) dan hadits Rasulullah saw mendukungnya dengan menganjurkan untuk melihat calon pasangan hidupnya. Berpacaran pada hakikatnya sama, yang membedakan adalah perilakunya yang dekat dengan perbuatan maksiat dan perbuatan zina. Menurut hemat penulis, keputusan hakim untuk mengabulkan permohonan dispensasi nikah adalah benar, dalam unsur pacaran terdapat banyak hal yang mengadung maksiat dibandingkan maslahat yang didapatkan. Meskipun dalam hal ini menyalahi aturan undangundang yang ada karena usia calon suami-istri belum mencukupi akan
5
Melihat yang dimaksud bukan hanya terbatas pada calon suami, tetapi juga calon istri, karena kelanggengan perkawinan dan keharminisannya tidak hanya ditentukan oleh peranan suami, tetpai juga oleh peranan iistri. M. Quraish Shihab, Menjawab 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2010) cet III. hlm. 85. 6 Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer (Jakarta: Gema Insani Press, 1988) Cet. IV jilid 1, hlm. 577.
72
tetapi hukum Islam tidak melarangnya. Pernikahan adalah jalan yang terbaik untuk menjauhkan diri dari perbuatan zina. Sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang di ambil oleh Majelis Hakim dalam memutuskan perkara dispensasi nikah dengan alasan tersebut. Kaidah Fiqhiyah
ِ درء الْ م ِ اس ِد ُم م َّد ٌء معلم م ْل ِ ِصال ب الْ م م مْ ُ م
“Menolak kerusakan diutamakan daripada daripada menarik kemaslahatan”. Akan tetapi, hal ini membuat seakan undang-undang hanya sebuah tulisan yang tidak ada artinya, karena undang-undang jelas melarang pernikahan di bawah umur namun permohonan dengan alasan seperti ini selalu dikabulkan dari pada ditolak oleh Majelis hakim karena tidak ada penjelasan dalam undang-undang mengenai alasan yang bisa diterima dalam mengajukan dispensasi nikah. Sebenarnya hakim bisa mempertimbangakan untuk menolak dipsensasi nikah atau menemukan hukum baru dalam perkara nomor 0010/Pdt.P/2014/PA.Kjn yang beralasan sudah sangat akrab dan sulit dipisahkan. Usia mempelai wanita 15 tahun 5 bulan, sedangkan si laki-laki sudah memenuhi usia 21 tahun. Artinya hanya kurang 7 bulan menurut usia boleh menikah dalam UUP (16 tahun bagi wanita) dan Majelis hakim bisa meminta kepada pemohon dan calon mertua anak pemohon untuk menjaga anak-anaknya agar tidak terjerumus kedalam kemaksiatan. Namun, pada kasus ini Majelis Hakim lebih berpendapat bahwa pernikahan ini tidak boleh ditunda, karena Majelis
73
Hakim beranggapan bahwa calon mempelai wanita sudah dewasa secara fisik, serta telah cakap menjadi ibu rumah tangga. Kemudian dalam perkara nomor 0011/Pdt.P/2013/PA.Kjn, seharusnya pernikahan ini bisa menunggu antara 6 sampai 12 bulan lagi karena usia calon mempelai laki-laki 18 tahun lebih7 dan perempuan 15 tahun 7 bulan, hal ini juga bisa bermanfaat bagi kedua calon mempelai untuk mempersiapkan lebih dalam secara lahir bathinnya untuk melangsungkan pernikahan untuk merealisasikan/ mengimplementasikan Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
b) Sudah Melakukan Hubungan Seksual dan atau Sudah Hamil Hubungan seksual atau persetubuhan adalah tindakan senggama yang dilakukan oleh manusia atau pertemuan antara alat kelamin pria dan wanita. Hubungan seks merupakan salah satu tujuan dalam pernikahan karena manusia dibekali oleh nafsu biologis yang harus dituruti supaya tidak terjerumus kedalam perzinaan. Secara arti kata nikah berarti bergabung, hubungan kelamin dan juga berarti akad. Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam Al-Qur’an memang mengadung dua arti tersebut. Kata nikah yang terdapat dalam surat al-Baqarah (2) ayat 230:
7
Hanya dikatakan lebih di dalam putusan, tidak dijelaskan secara detail.
74
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Nikah atau kawin Mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk hadis Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah merasakan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.8 Kebutuhan akan seks merupakan fitrah manusia yang harus disalurkan, tentunya dengan jalan yang benar yaitu pernikahan. Hubungan seks atau persetubuhan atau senggama atau hubungan kelamin halal dilakukan oleh suami istri sebaliknya haram bila dilakukan sebelum menikah al Qur’an sangat jelas melarangnya dalam surat al-Isra’ ayat 32 “dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. Perzinaan merupakan dosa besar yang hukumannya juga dijelaskan dalam al-Qur’an Surat An-Nur (24) ayat 2 :
8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indinesia... hlm. 35-36.
75
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa rasulullah saw. Bersabda
ِ َّ .ُاا اْ ْلُ ْ ُد ممْن ِك ُ ِ َِّم ْ لمو ْ الز
“seorang laki-laki pezina yang dihukum dera tidak akan menikah kecuali dengan perempuan yang sepertinya (pezina)” Dalil di atas menjelaskan betapa buruknya perbuatan zina sehinga Hukum Islam melarangnya, mendekati saja haram apalagi melakukan perbuatannya. Hukuman bagi pezina adalah dicambuk 100 kali bagi yang sudah menikah dan 100 cambukan bagi yang belum menikah kemudian diasingkan selama 1 tahun, bahkan diharapkan tanpa berbelas kasihan dalam menghukum pezina serta pelaksanaan hukuman disaksikan oleh masyarakat agar tidak ada yang melakukan hal yang sama di kemudian hari. Di Indonesia hukuman bagi pezina tidak diberlakukan atau dalam arti lain tidak ada undang-undang yang mengatur hukuman bagi pelaku zina selama tidak ada yang merasa dirugikan atau dilakukan
76
dengan atas dasar sukarela (suka sama suka) bukan dilakukan dalam konteks kejahatan susila (Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam BAB XIV Kejahatan Kesusilaan, Pasal 284-2899).
9
Pasal 284 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak; c. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; d. seorang wanita tidak kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga. (3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75. (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. (5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap. Pasal 285 Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pasal 286 Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal 287 (1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294. Pasal 288 (1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seormig wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus didugunya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pasal 289 Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
77
Sangat disayangkan negara yang masyoritas muslim ini tidak memberlakukan hukuman bagi para pezina. Padahal jelas dalam hukum Islam melarangnya. Hal ini dapat menimbulkan kegiatan seks bebas semakin meluas dan tidak terkendali selama pelaku zina berdalih melakukan zina dengan dasar suka sama suka. Akibatnya banyak perempuan yang hamil diluar nikah yang kemudian menikah bila pihak laki-laki bertanggung jawab, sebagian ada yang melakukan aborsi dan terpaksa harus dinikahkan karena belum cukup umur menurut UUP. Sementara itu, untuk menjaga kepentingan anak dalam pertalian nasab dengan ayah biologisnya, Islam juga mengatur dalam al-Qur’an Surat an-Nur (24) ayat 3:
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin. Sejalan dengan ayat di atas, KHI juga tidak melarang pernikahan dalam keadaan hamil, Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam: 1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. 2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. 3) Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
78
Dapat dipahami dalam pasal 53 ayat 1 KHI menjelaskan kata “dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya”, hal ini di upayakan untuk melindungi kepentingan hukum anak (janin) dan terpelihara pertalian nasabnya juga dikatakan dalam al-Qur’an : Lakilaki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina..., Surat an-Nur ayat 3. Kata “dapat dikawinkan” juga bisa berarti KHI tidak menekan harus dikawinkan dengan pria yang menghamilinya sebagai wujud kerelaan
hati
kedua
pelaku
perzinaan
untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya atau tidak. Namun jika si pria atau salah satu pihak dari pria atau wanita menolak, Undangundang dan KHI tidak melarangnya apabila si wanita menikah dengan selain pria yang menghamilinya. Hukum Islam telah memberi jalan kepada si wanita hamil untuk menikah dengan pria lain agar tercipta kemaslahatan dari aspek sosiologis dan psikologis. Hal ini sejalan pendapat Imam Abu Hanifah dan Syafi’i, akad nikah boleh dilaksanakan tanpa menunggu selesainya iddah, bahkan Imam Syafi’i memperbolehkan dilaksanakannya akad nikah walaupaun perempuan tersebut dinikahi dalam keadaan hamil karena hamil dalam kondisi ini tidak memiliki hukum sama sekali (bukan sesuatu yang harus di hormati). 10
10
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah .... hlm. 332.
79
Dari 9 data yang penulis teliti, terdapat 5 perkara dispensasi nikah yang sudah hamil atau sudah melakukan hubungan badan empat diantaranya beralasan sudah berpacaran, sangat akrab dan sulit dipisahkan. Hal ini sangat beralasan dalam kategori (penyimpangan, UUP Pasal 7 ayat 2) bagi pemohon untuk mengajukan dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama, sebaliknya tidak cukup alasan bagi Majelis Hakim untuk menolaknya. Terbukti dengan tidak ditemukannya putusan yang ditolak di tiga tahun tersebut. Hakim hanya berusaha menasehati Pemohon agar menunda pernikahan sampai cukup umur, tidak ada nasehat agar tidak mengulangi
perbuatan
tersebut
dan
diminta
untuk
bertobat.
Seharusnya hakim juga mempertimbagkan hal-hal lain, seperti memberi efek jera terhadap pelaku dan calon pelaku perzinaan lainnya, jika memang hakim menilai bahwa hal ini patut ditolak maka sebaiknya tetapkanlah penolakan. Selanjutnya, Majelis Hakim sebaiknya bisa menjelaskan kepada Pemohon agar nanti tetap menikahkan anaknya dengan orang yang menghamilinya secara sah menurut administratif Negara Indonesia (terdaftar di Kantor Urusan Agama) setelah usia para calon mempelai cukup umur. Bisa juga dianjurkan untuk menikah secara sirri jika Pemohon masih mengkhawatirkan kedua anaknya terjerumus kedalam kemaksiatan atau kemadhorotan yang lebih besar di kemudian hari.
80
Apabila
di
kemudian
hari
dikhawatirkan
pula
tentang
kepentingan pengurusan akta kelahiran dapat disiasati dengan menunda mengajukan akta kelahiran setelah menikah di Kantor Urusan Agama. Jika hal ini tidak mungkin bisa mengatasi kekhawatiran (tidak logis) ada anak yang lahir satu atau dua bulan setelah kedua orang tuanya menikah, hal ini harus di terima atau disikapi dengan baik oleh Pihak yang bersangkutan atau resiko bagi pelaku perzinaan sebagai bentuk mewujudkan efek jera bagi para pelakunya, dan juga bagi masyarakat sekitarnya agar tidak melakukan hal yang sama.11 Sehingga hukum dalam al-Qur’an bisa terlaksana, seperti yang terkandung dalam Q.S An-Nur 24 ayat 2 : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
B. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Kajen dalam Memutuskan Perkara Permohonan Dispensasi Nikah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” ini sesungguhnya menujukkan bahwa tujuan mulia peradilan adalah menegakkan keadilan dan bukan menegakkan undang-undang itu sendiri, oleh karena itu hakim tidak sekedar berperan menjadi corong undang-undang, karena kebenaran dan keadilan tidak identik dengan rumusan peraturan perundang11
Kusnoto, Dilema Dispensasi Kawin Pada Kawin Hamil (Sebuah Tinjauan Dari Dampak Sosial Putusan/Penetapan), www.badilag.net/artikel/publikasi/artikel/ di akses tanggal 21 Februari 2016.
81
undangan.12 Pasal 7 ayat 2 UUP menjadi salah satu contoh bahwa Hakim harus melakukan penafsiran hukum atau penemuan hukum dalam memutuskan mana yang boleh dan mana yang harus di tolak permohonannya. Karena dalam UUP tidak dicantumkan atau dijelaskan alasan seperti apa yang boleh dan atau yang harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama, sehingga hal ini memungkinkan hakim perlu melakukan bahkan harus berijtihad dalam upaya memutuskan perkara tersebut. Dari sembilan (9) perkara yang penulis teliti tidak ada permohonan yang ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Kajen, akan tetapi terdapat 1 (satu) perkara yang dicabut oleh pemohon sendiri. Namun sangat disayangkan penulis tidak dapat mengkaji perkara ini lebih dalam, dikarenakan tidak adanya ketarangan lebih lanjut di dalam putusan No. 0010/Pdt.P/2012/PA.Kjn. serta tidak adanya keterangan mengenai apa yang dinasehatkan oleh Hakim kepada pemohon sehingga pemohon memutuskan untuk mencabut dan tidak meneruskan perkara tersebut. Selanjutnya dari 9 (sembilan) perkara tersebut terdapat 8 (delapan) perkara yang semuanya dikabulkan oleh Majelis Hakim, 4 (empat) perkara diantaranya beralasan sudah berpacaran dan yang 4 (empat) perkara lainya beralasan sudah hamil. Hal-hal yang diperhatikan oleh hakim dalam memutuskan perkara ini dikabulkan atau di tolak adalah sebagai berikut : 1. Bukti-bukti secara formil dan materiil sudah memenuhi syarat atau belum. 12
Unung Sulistio Hadi, Eksistensi Hakim dalam Penegak www.badilag.net/artikel/publikasi/artikel/ diakses tanggal 21 Februari 2016.
Hukum,
82
Bukti-bukti tersebut adalah sebagai berikut : 1) Fotokopi KTP atas nama Pemohon nomor xxx tanggal xx Nopember xxxx , telah bermaterai cukup, setelah dicocokkan dengan aslinya dan cocok, lalu Ketua Majelis memberi tanda pada surat tersebut dengan tanda P.1; 2) Fotokopi Kartu Keluarga atas nama Pemohon nomor xxxx tanggal xx Nopember xxx, telah bermaterai cukup, setelah dicocokkan dengan aslinya dan cocok, lalu Ketua Majelis memberi tanda pada surat tersebut dengan tanda P.2; 3) Fotokopi Kutipan Akta Nikah atas nama Pemohon Nomor xxx/xx/xxx/xxxx, yang dikeluarkan oleh KUA xx, Kecamatan xx Kabupaten Pekalongan tanggal xx Maret xxxx, kemudian surat
bukti
tersebut
dicocokkan dengan
aslinya serta
bermaterai cukup, lalu Ketua Majelis memberi tanda pada surat tersebut dengan tanda P.3; 4) Fotokopi Kutipan Surat Kelahiran Nomor
xx Des xx atas
nama anak Pemohon yang bernama AAAAA
yang
dikeluarkan oleh Kepala Desa xx Kecamatan xx, Kabupaten Pekalongan, kemudian surat bukti tersebut dicocokkan dengan aslinya serta bermaterai cukup, lalu Ketua Majelis memberi tanda pada surat tersebut dengan tanda P.4;5) Asli Surat Pemberitahuan adanya halangan kekurangan persyaratan nomor xxxxx/xxxx/xx/xxxx tanggal xx Februari
83
xxxx, yang dikeluarkan oleh Kantor urusan Agama Kecamatan xx Kabupaten Pekalongan, alat bukti tersebut
selanjutnya
diberi tanda P.5; 6) Asli Surat Penolakan pernikahan yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan xxx Kabupaten Pekalongan, nomor xxxxx/xxxx/xx/xxxx tanggal xx Februari xxxx , lalu Ketua Majelis memberi tanda pada surat tersebut dengan tanda P.6; Dari 9 (sembilan) perkara tidak ada yang kurang (semuanya memenuhi persyaratan) tentang bukti-bukti yang dijelaskan di atas. 2. Dalam usia Majelis Hakim lebih menitik beratkan kepada kesiapan secara lahir bathin para calon suami istri dengan bertumpu pada hukum Islam yang membolehkan pernikahan dalam usia yang sudah di anggap baligh (Hanafi : 12 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan)13. dari segi perkerjaan, semua perkara yang penulis teliti memiliki pekerjaan yang di anggap cukup untuk hidup berumah tangga14 oleh
13
Lihat BAB I, hlm. 4-5. Usia terendah dalam 9 (sembilan) perkara yang penulis teliti, laki-laki 17 (tujuh belas) tahun dan perempuan 14 (empat belas) tahun. Dilihat dari pandangan Imam Hanafi, semua perkara sudah memenuhi kriteria baligh. Dalam usia tersebut biasanya anak laki-laki sudah mimpi basah (mimpi keluar mani) dan perempuan sudah haid (menstruasi). Bahkan dibeberapa perkara yang penulis teliti, calon mempelai yang berumur 14 belas tahun ini sudah dalam keadaan hamil. Sehingga perlu adanya ketetapan dispensasi nikah untuk kemaslahatan kedua belah pihak. 14 Penghasilan/ pendapatan para calon mempelai rata-rata berkisar Rp.1.000.000,-/ bulan. Menurut penulis penghasilan sebesar ini masih terlalu minim untuk melangsungkan hidup berumah tangga, apalagi rata-rata pekerjaan yang dimiliki calon mempelai adalah buruh. Sehingga orangtua calon mempelai harus tetap membantu calon mempelai untuk melangsungkan hidup berumah tangga, karena dalam kondisi sekarang ini yang serba mahal, sekolah mahal, sembako juga mahal, menurut penulis penghasilan sebesar ini belum cukup untuk memenuhi kebutuhan berumah tangga, apalagi jika sudah memiliki anak dalam kehidupannnya.
84
Majelis Hakim Kajen dan juga ushul fiqh yang di anggap sejalan dengan masalah tersebut. 3. Majelis Hakim di dalam persidangan akan meneliti apakah Pemohon adalah seseorang yang berhak mangajukan permohonan tersebut ataukah tidak. Dalam hal ini Majelis Hakim menafsirkan hukum dengan menggunakan metode subsumptif.15 Berdasarkan UUP Pasal 7 ayat 2 menyatakan : Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Dijelaskan pula dalam pasal 6 ayat (3,4) siapa yang berhak mengajukan permohonan tersebut.16 Metode ini hanya menerapkan silogisme, yaitu : berpikir logis dengan mengambil kesimpulan dan hal-hal yang bersifat umum (premis mayor) dan hal-hal yang bersifat khusus (premis minor /peristiwanya). Contoh : Premis mayor
Premis minor
Kesimpulan
: UUP pasal ayat 1 : …. dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. : Pemohon dispensasi nikah di Pengadilan Agama Kajen adalah orang tua calon mempelai pihak laki-laki dan perempuan. : Pemohon berhak meminta dispensasi bagi calon mempelai
4. Dalam hal pemohon mengajukan dispensasi nikah dengan beralasan bahwa anaknya sudah berpacaran, hal ini adalah tindakan yang tidak
15 16
Lihat BAB III, hlm. 59. Lihat BAB I, hlm. 5-6.
85
diatur oleh undang-undnag, maka Majelis Hakim Pengadilan Agama Kajen mengambil kaidah fiqih17 dalam memutuskan perkara ini :
ِ درء الْ م ِ اس ِد ُم م َّد ٌء معلم م ْل ِ ِصال ب الْ م م مْ ُ م
“Menolak kerusakan diutamakan daripada daripada menarik kemaslahatan”. Dari pembahasan sebelumnya mengenai pacaran, sangat jelas bahwa pacaran dilarang oleh agama. Sebab, pacaran lebih dekat dengan
kerusakan yang nantinya bisa menimbulkan hal-hal yang mendekatkan diri kepada perzinaan. Sehingga jika permohonan ini ditolak maka memungkinkan tidak bisa diambil kemaslahatannya. Kaidah tersebut tentu sudah sesuai dengan alasan yang diajukan oleh Pemohon, akan tetapi terdapat 2 putusan Majelis Hakim yang tidak menggunakan kaidah tersebut meskipun perkara yang diputus dengan alasan yang sama, yakni nomor perkara 0010/Pdt.P/2014/PA.Kjn, Majelis hakim menggunakan hadis Rasulullah saw. yang berbunyi :
ؤ خر ن الصالة اذا اتت و اجلنا زة اذا ا ضرت والبكر اذا
ثال ث
و دت ك ؤا Artinya: Tiga hal tidak boleh ditunda-tunda : shalat bila telah tiba waktunya, jenazah bila telah siap dan gadis bila telah mendapatkan calon jodohnya yang sekufu;
Menurut penulis, hadits tersebut kurang tepat digunakan dalam memutuskan perkara dengan alasan ini, hadist tersebut menjelaskan
17
Dalam kasus ini, Majelis Hakim menggunakan Hukum Islam saja, tidak menggunakan metode penafsiran hukum, karena tidak ada aturan yang mengatur perkara ini bukan tidak jelas atau samar-samar peraturannya.
86
mengenai kesetaraan ( كفوا: kufu) dalam mencari pasangan, bukan tujuan untuk menolak kerusakan yang mungkin akan timbul di kemudian hari. Putusan kedua yang menurut penulis kurang tepat atau mungkin kurangnya ketelitian dalam menulis putusan tersebut, yakni nomor perkara 0011/Pdt.P/2013/PA.Kjn. Dalam putusannya, Majelis Hakim menggunakan kaidah yang biasa dipakai dalam memutuskan perkara dispensasi nikah dengan alasan yang sudah hamil atau dalam yang sudah darurat, kaidah tersebut berbunyi :
تصرف ا ما عل الرعية من ط املصلحة Pemerintah mengurus rakyatnya sesuai dengan kemaslahatan Karena belum dalam keadaan hamil, seharusnya Majelis Hakim memutuskan untuk mencegah (dalam arti bisa ditolak jika memang tidak memenuhi syarat atau dikabulkan demi untuk mencegah perzinaan dikemudian hari). 5. Sedangkan, jika pemohon beralasan bahwa anaknya sudah hamil, Majelis Hakim menggunakan kaidah fiqh yang di ambil sebagai dalil adalah :
تصرف ا ما عل الرعية من ط املصلحة Pemerintah mengurus rakyatnya sesuai dengan kemaslahatan
87
Dan juga mengabil hukum dari KHI Pasal 53 ayat 1 sampai 318 dengan menggunakan penafsiran otentik (penafsiran formal)19. Kata “dapat” pada pasal ini, bisa diartikan boleh atau tidak boleh dan juga berhak atau tidak berhak untuk menikah. Perkawinan tersebut boleh dilangsungkan
walaupun
dalam
keadaan
hamil
serta
dapat
dilangsungkan meskipun usia belum memenuhi menurut UUP karena dalam Hukum Islam usia tersebut tidak ada larangan untuk menikah dan atau boleh memikah. Menurut Penulis dalil tersebut sudah sesuai, dengan maksud agar calon suami istri yang sudah melakukan perzinaan (hamil) bisa melangsungkan pernikahan yang terhalang oleh usia yang belum cukup menurut UUP, sehingga tercipta kemaslahatan dari aspek sosiologis serta psikologisnya. Namun dari 4 perkara yang beralasan sudah hamil, terdapat 1 putusan yang kurang sesuai (kurang tepat menurut penulis), yaitu nomor perkara : 0026/Pdt.P/2013/PA.Kjn, dalam putusannya Majelis Hakim menggunakan dalil kaidah fiqhiyah yang berbunyi :
ِ درء الْ م ِ اس ِد ُم م َّد ٌء معلم م ْل ِ ِصال ب الْ م م مْ ُ م “Menolak
kerusakan
diutamakan
daripada
menarik
kemaslahatan”. 18
KHI Pasal 53 1. Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. 2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. 3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. 19 Lihat BAB III, hlm. 59.
88
Dalil tersebut sudah penulis jelaskan di halaman sebelumnya, lebih tepat digunakan kepada pemohon yang beralasan anaknya sudah berpacaran atau sudah sangat erat dan sulit dipisahkan, dan juga kaidah tersebut adalah kaidah yang biasa (yang sudah umum) digunakan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara dispensasi nikah yang beralasan sudah berpacaran karena kaidah tersebut untuk mencegah kerusakan yang mungkin akan terjadi bukan yang sudah terjadi. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Arisetyawan selaku Panitera Muda Hukum : Biasanya Majelis Hakim dalam memutuskan perkara dispensasi nikah dengan alasan anak pemohon sudah sangat akrab dan berpacaran selama sekian tahun, maka Majelis Hakim memutuskan dengan kaidah fiqh :“Menolak kerusakan diutamakan daripada menarik kemaslahatan”. Sedangkan bila pemohon mengajukan permohonan dengan alasan anaknya sudah hamil sekian bulan, majelis hakim menetapkan putusan dengan berdasarkan kaidah fiqh: “Pemerintah mengurus rakyatnya sesuai dengan kemaslahatan”. 6. Alat bukti saksi sebagai penguat dalil-dalil pemohon; Sebagaimana perkara-perkara yang lain, dispensasi nikah juga perlu adanya menghadirkan saksi dalam upaya menguatkan dalil-dalil pemohon
dan
menguatkan
Majelis
hakim
utuk
mengabulkan
permohonan tersebut atau sebaliknya. Sebelum saksi dimintai keterangan Majelis Hakim meminta para saksi bersumpah untuk memberikan keterengan yang sebenar-benarnya. 7. Keduanya masih bujang, seagama, serta tidak ada hubungan nasab, perkawinan maupun sesusuan atau yang menghalangi pernikahan.
89
Sebagaimana yang diatur dalam UUP dalam hal ini tidak perlu adanya penafsiran hukum, karena sudah diatur dengan jelas dalam UUP maupun KHI: Pasal 8 UUP Perkawinan dilarang antara dua orang yang: a) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c) berhubungan semenda, yaitu mertua,anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; d) berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; e) berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarangkawin. Dalam KHI juga melarang melangsungkan pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita yang disebabkan karena pasal 39 sampai 44: Pasal 39 “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan: a. Karena pertalian nasab: 1) Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya. 2) Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu. 3) Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. b. Karena pertalian kerabat semenda: 1) Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya. 2) Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya. 3) Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istri, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al dukhul. 4) Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya. c. Karena pertalian sesusuan:
90
1) Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas. 2) Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah. 3) Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah. 4) Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas. 5) Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.” Pasal 40 “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita karena keadaan tertentu: a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain. b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.” Pasal 41 a. Seorang pria memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istri: 1) Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya. 2) Wanita dengan bibinya atau kemenakannya. b. Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istri telahditalak raj’i tetapi masih dalam masa iddah. Pasal 42 “Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang keempatempatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam masa iddah raj’i atau pun salah seorang di antara mereka masih terikat perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.” Pasal 43 a. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria: 1) Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali. 2) Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an. b. Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya. Pasal 44 “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
91
Dan juga mengambil dalil dari al-Qur’an Surat An-Nur [24] ayat 32 sebagai dalil
dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian20 diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
20
Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.