BAB IV DASAR PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA KENDAL DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA KENDAL NOMOR 0006/Pdt.P/2013/PA.Kdl DAN DAMPAK TERHADAP HAK-HAK ANAK PENOLAKAN PENETAPAN PERUBAHAN UMUR PADA AKTA NIKAH
A. Analisis terhadap dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Kendal dalam penolakan penetapan perubahan umur pada akta nikah pada Penetapan Pengadilan Agama Kendal Nomor 0006/Pdt.P/2013/PA.Kdl Hakim merupakan pelaksana undang-undang yang memiliki peranan yang amat besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Profesionalitas hakim hakim dituntut
untuk
bekerja
secara
maksimal
seseuai
fungsi
dan
kewenangannya. Untuk melaksanakan suatu fungsi, pada semua lini dalam setiap bidang pada dasarnya terdapat beberapa unsur pokok, yaitu : Tugas, yang merupakan kewajiban dan kewenangan. Aparat, orang yang melaksanakan tugas tersebut. Lembaga, yang merupakan tempat atau wadah yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana bagi aparat yang akan melaksanakan tugasnya. Bagi
seorang
penegak
hukum,
mendapatkan
tugas
merupakan
mendapatkan kepercayaan untuk dapat mengemban tugas dengan baik dan harus dikerjakan dengan sebaiknya. Untuk mengerjakan tugas tersebut akan terkandung sebuah tanggung jawab dalam melaksanakan dan mengerjakan tugas tersebut.
61
62
Hakim berasal dari kata حاكم- حكم – يحكم: sama artinya dengan qadhi yang berasal dari kata قاض- قضي – يقضيartinya memutus. Sedangkan menurut bahasa adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya. Adapun pengertian menurut Syar'a Hakim yaitu orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan-perselsihan dalam bidang hukum perdata oleh karena penguasa sendiri tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah mengangkat qadhi untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana ia telah melimpahkan wewenang ini pada sahabatnya. Hakim sendiri adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili.1 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan
1
Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993). hlm. 29 dalam http://sirkulasiku.blogspot.com/2013/05/pengertian-syarat-dan-fungsi-hakim.html, diakses 2 September 2015.
63
dapat menyelesaikan permasalahan yang telah diembannya meneurut undangundang yang berlaku. Hakim merupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia “identik” dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman seringkali diidentikkan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakkan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan
guna
menegakkan
hukum
dan
keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Negara
64
Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim ialah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi. Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor
48 Tahun 2009. Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak
harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan Undang-Undang Nomor
48
Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.
65
Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.2 Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang
2
Rizky Argama, Tanggung Jawab Profesi Hakim Sebagai Aktor Utama Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, website, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hlm. 1 diakses 2 September 2015.
66
berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.3 Pembuktian diperlukan hakim dalam pemeriksaan suatu perkara, hasil dari pembuktian itu akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak. Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian
memberi
penilaian
terhadap
peristiwa
tersebut
dan
menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor
3
14 Tahun 1970 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Suhardi, Hakim Pengadilan Agama Kendal, wawancara tanggal 20 Agustus 2015
67
Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan unruk bercermin pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Hakim dalam menyelesaikan suatu perkara, harus berdasarkan pada dalildalil dan Undang-Undang yang berlaku serta harus memberikan alasan yang baik bagi para pihak. Mengenai hal ini disebutkan dalam Pasal 184 HIR, Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa : 1. Segala putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan serta dasar-dasar putusan, 2. Menurut pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili, 3. Setiap putusan atau penetapan yang ditandatangani oleh Hakim Ketua, Hakim anggota yang memutus dan perangkat yang ikut serta didalam persidangan dan 4. Berita acara tentang
68
pemeriksaan sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua dan Panitera yang ikut serta di dalam persidangan Dasar putusan hakim dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan yaitu alasan-alasan hakim sebagai bentuk tanggung jawab kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil keputusan seperti itu, sehingga oleh karena itu mempunyai nilai obyektif. Alasan dan dasar dari pada putusan harus dimuat dalam pertimbangan putusan. Berkaitan dengan pertimbangan hukum, menggambarkan tentang bagaimana hakim menganalisa fakta atau kejadian, kaitanya hakim menilai tentang fakta-fakta yang telah diajukan, Hakim mempertimbangkan secara keseluruhan dan detail setiap isi pokok perkara, serta memuat dasar hukum yang dipergunakan oleh hakim dalam menilai, menyimpulkan dan memutus perkara, baik tertulis maupun tidak tertulis. Pertimbangan hakim dan putusan tidak dapat dipisahkan. Putusan akan dianggap cacat apabila tidak memuat pertimbanganpertimbangan yang cukup dan matang. Pertimbangan hakim terdiri dari alasan memutus yang diawali dengan kata “menimbang” dan dasar memutus diawali dengan kata “mengingat”. Pada alasan memutus maka apa yang dipaparkan dalam bagian duduk perkaranya terdahulu, yaitu keterangan para pihak beserta dalil-dalilnya, alat bukti yang diajukannya harus ditimbang secara menyeluruh tidak boleh ada yang kurang, diterima atau ditolak. Pertimbangan terakhir adalah pihak yang mana yang akan dinyatakan sebagai pihak yang akan
69
dibebankan untuk memikul biaya perkara karena kalah jika terdapat dua pihak berpekara atau perkara contensiosa dan dapat atau tidak dikabulkannya pemohon dalam hal perkara voluntair yang putusannya berbentuk penetapan. Berdasarkan analisis terhadap Penetapan Pengadilan Agama Kendal Nomor 0006/Pdt.P/2013/Pa.Kdl maka dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan penolakan penetapan perubahan biodata pada akta nikah telah diuraikan secara tegas dalam bagian “pertimbangan hukum”.
Adapun
pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Pengadilan Agama Kendal dapat dianalisis sebagai berikut: Hakim dalam mempertimbangkan putusannya harus berdasarkan pada apa yang diinginkan pencari keadilan. Bahwa dalam permohonannya pada pokoknya Pemohon meminta agar pengadilan merubah atau meralat identitas pemohon, dalam Buku Nikahnya tanggal lahir pemohon tertulis 24 Januari 1988, menjadi tanggal 24 Januari 1990. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan administrasi dalam rangka mengurus pembuatan Akta Kelahiran anak pemohon. Berdasarkan hal tersebut
maka dapat dikatakan
bahwa apa yang dimohonkan pemohon merupakan salah satu dasar hakim dalam pertimbangan dalam memberikan putusannya. Artinya hakim harus memutus atas apa yang dimohonkan pencari keadilan, hakim tidak boleh memutus diluar dari pokok perkara. Pada perkara tersebut ada dua hal pokok yang harus diputuskan hakim yaitu mengabulkan permohonan pemohonan baik
70
sebagian atau sleuruhnya atau menolak permohonan pemohon baik sebagian atau seluruhnya. Selanjutnya hakim dalam memberikan putusannya harus berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang merupakan salah satu untuk menghasilkan putusan yang baik dan adil. Pada tahap ini peraturan perundangundangan yang dipergunakan hakim yaitu Peraturan Menteri Agama RI Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah. Hal tersebut mengingat pada pokok perkara yang dimohonan penetapan mengenai pencatatan nikah. Hakim pada pertimbangannya menyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) Peraturan Menteri Agama RI Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, dinyatakan bahwa perubahan yang menyangkut biodata
suami, istri ataupun wali harus didasarkan kepada keputusan
pengadilan, dalam hal ini adalah Pengadilan Agama setempat sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah. Selanjutnya untuk mendapatkan keyakinan tentang perkara yang harus diputuskan maka dilakukan pembuktian-pembuktian. Pada pemeriksaan di persidangan
sebagaimana
tertera
dalam
amar
putusan
hakim
mempertimbangkan bahwa pada posita angka 1), Pemohon mendalilkan bahwa pemohon telah menikah dengan istri pemohon menurut agama Islam pada tanggal 29 April 2008, umur saat menikah 18 tahun sebagaimana tersebut dalam Buku Kutipan Akta Nikah Nomor 70/37/IV/2008. Sesuai dengan
71
ketentuan pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 26 ayat (1) Peraturan Menteri Agama RI Nomor 11 Tahun 2007 menentukan bahwa Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang mencatat peristiwa nikah dalam akta nikah, termasuk di dalamnya juga apabila terjadi kekeliruan data-data dalam periswtiwa pernikahan yang berwenang membetulkan atau meralat adalah Pegawai Pencatat Nikah setelah ada keputusan pengadilan. Ketentuan tersebut
menunjukkan wewenangan
Pegawai Pencatat Nikah dalam membetulkan atau meralat kekeliruan yang ada pada akta nikah. Selanjutnya dalam persidangan terungkap fakta hukum bahwa oleh karena berdasarkan posita angka 1) dan dihubungkan dengan posita angka 4 bahwa saat menikah Pemohon berusia 18 tahun (lahir 24 Januari 1990) dan ada kesalahan tulis sehingga yang tertulis di Kutipan Akta Nikah Pemohon lahir 24 Januari 1988, dan sesuai keterangan Pemohon di persidangan bahwa Pemohon saat akad nikah melakukan penggantian tahun kelahiran karena calon istri pemohon terlanjur hamil akibat hubungan badan sebelum pernikahan, maka Majelis Hakim berpendapat penulisan tahun kelahiran pada Kutipan Akta Nikah pemohon tersebut bukan kesalahan tulis, namun secara nyata ada kesengajaan pemohon untuk melakukan penyimpangan dari ketentuan pasal perkawinan hanya diizinkan jika pria berumur 19 (sambilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Fakta hukum tersebut menunjukkan adanya kesengajaan mengenai kekeliruan tulis tentang data lahir pemohon.
72
Jika ada penyimpangan dari pasal 7 ayat (9) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut di atas yaitu seorang pria yang akan menikah namun umurnya belum memenuhi syarat yaitu kurang dari 19 tahun, tidak diperbolehkan untuk menempuh jalan pintas yang melanggar hukum dengan mengganti tahun kelahiran dari yang senyatanya namun ada solusi yaitu dengan mengajukan permohonan dispensasi Kawin ke Pengadilan Agama terlebih dahulu sebagaimana ketentuan Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagaimana posita angka 1), posita angka 4) dan keterangan pemohon di persidangan maka Majelis Hakim menilai bahwa saat akan melangsungkan pernikahan meskipun pemohon usianya kurang dari 19 tahun namun tidak mengajukan permohonan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama terlebih dahulu melainkan menempuh jalan pintas dengan melakukan penggantian tahun kelahiran seharusnya tanggal 24 Januari 1990 ditulis tanggal 24 Januari 1988 oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat bahwa Pemohon sengja melakukan penyimpangan dari pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, maka pasal 1 angka 5 jo Pasal 34 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 tidak dapat diterapkan dalam perkara ini. Dengan demikian dapat diketaahui bahwa pernikahan pemohon dengan isterinya terdapat penyimpangan prosedur nikah berkaitan dengan batas usia nikah, yaitu tidak dilaluinya tahap permohonan dispensasi nikah bagi calon mempelai yang belum cukup umur untuk menikah.
73
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut
di
atas,
oleh
karenanya permohonan pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard). Berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 serta Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Penggugat dibebani untuk membayar biaya perkara ini. Uraian tersebut merupakan hasil dari pertimbangan hakim atas permohonan pemohon. Berdasarkan analisa terhadap Penetapan Pengadilan Agama Kendal Nomor
0006/Pdt.P/2013/Pa.Kdl
dapat
diketahui
bahwa
hakim
dalam
memberikan dasar pertimbangannya telah memenuhi syarat formil yaitu Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri atas dua bagian yaitu pertimbangan tentang duduk perkara dan pertimbangan tentang hukumnya. Hal ini sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 184 HIR/195 RBG/23 yang menentukan bahwa setiap putusan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas, alasan dan dasar putusan, pasalpasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan. Demikian pula dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari
74
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Berdasarkan analisa tersebut di atas menurut penulis bahwa putusan hakim sudah tepat dengan menolak permohonan pemohon. Hal ini disebabkan adanya penyimpangan dalam proses pernikahan yang dilaksanakan oleh pemohon, yaitu kesengajaan dalam menulis tanggal lahir pemohon. Seharusnya pemohon belum bisa melangsungkan pernikahan tanpa adanya dispensasi perkawinan karena batas usia perkawinan pemohon yang belum memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan.
B. Dampak
hukum
Penetapan
Pengadilan
Agama
Kendal
Nomor
0006/Pdt.P/2013/PA.Kdl tentang Administrasi kependuduk anak akibat ditolaknya perubahan umur pada Penetapan Pengadilan Agama Kendal terhadap pembuatan akta kelahiran. Berdasarkan
Penetapan
Pengadilan
Agama
Kendal
Nomor
0006/Pdt.P/2013/PA.Kdl menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak dapat diterima. Artinya perubahan tahun lahir pemohon sebagaimana tertulis dalam Kutipan Akta Nikah Nomor 70/37/IV/2008, tanggal 29 April 2008, semula tertulis 24 Januari 1988 yang benar adalah 24 Januari 1990 dan permohonan untuk memerintahkan kepada pemohon untuk mencatatkan perubahan nama tersebut kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngampel Kabupaten Kendal sebagaimana permohonan pemohon tidak dapat dilaksanakan.
75
Adapun alasan pemohon mengajukan permohonan penetapan perubahan umur pada akta nikah yaitu akibat dari kesalahan tulis pada akta nikah tersebut pemohon dalam mengurus Akta Kelahiran Anak mengalami hambatan sehingga pemohon sangat membutuhkan penetapan dari Pengadilan Agama Kelas 1 A Kendal guna dijadikan sebagai alasan hukum untuk mengurus Akta Kelahiran Anak. Akibat dari adanya penetapan hakim tersebut mengakibatkan pengurusan Akta Kelahiran anak pemohon menjadi terhambat. Artinya pembuatan Akta Kelahiran anak menjadi tertunda. Hal ini dapat mengakibatkan hak-hak anak dapat terabaikan, seperti hak waris dan hak nafkah dari orang tuanya. Akta nikah merupakan salah satu syarat pengurusan Akta Kelahiran sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 25 Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil yaitu: 1. Surat Kelahiran dari dokter / bidan/penolong kelahiran ; 2. Nama dan Identitas saksi kelahiran; 3. Kartu Keluarga (KK) orang tua; 4. KTP orang tua; 5. Kutipan Akta Nikah / akta perkawinan orang tua; Akibat dari terhambatnya pengurusan Akta Kelahiran anak pemohon karena
adanya
Penetapan
Pengadilan
Agama
Kendal
Nomor
0006/Pdt.P/2013/PA.Kdl maka akan membawa dampak hukum bagi anak.
76
Dampak hukum tersebut khususnya yang menyangkut hak-hak anak. Hal ini tentunya kurang sejalan dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. Akta Kelahiran adalah sebuah akta yang wujudnya berupa selembar kertas yang dikeluarkan Negara berisi informasi mengenai identitas anak yang dilahirkan, yaitu nama, tanggal lahir, nama orang tua serta tanda tangan pejabat yang berwenang. Terdapat kesalahan persepsi yang memandang pencatatan kelahiran hanya sebagai bagian dari pekerjaan teknis administratif. Padahal, seharusnya pencatatan kelahiran merupakan manifestasi dari hak asasi manusia. Para birokrat pemerintahan memandang urusan KTP dan Akta Kelahiran hanyalah urusan teknis administrasi kependudukan. Cara pandang yang mensubordinasikan masalah pencatatan kelahiran menjadi sekadar urusan administrasi kependudukan inilah yang merupakan masalah. Pencatatan kelahiran adalah hak anak yang paling dasar yang seharusnya diberikan negara. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk diakui sebagai manusia di mana pun di depan hukum. Hal itu juga dipertegas dalam Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik. Dalam perspektif HAM, sebuah nama bersifat universal, terlepas dengan latar belakang politik, agama, dari orangtua mereka. Dalam perspektif seperti itu, pencatatan kelahiran merupakan kewajiban negara untuk mencatat kelahiran anak-anak di Indonesia. Eksistensi legal seseorang sebenarnya baru diakui setelah kelahirannya dicatatkan. Selain nama, kewarganegaraan merupakan status legal imbuhan yang menempatkan
77
seseorang sebagai subyek hukum dari satu yurisdiksi. Tanpa kewarganegaraan, seseorang tak mempunyai privilege-privilege tertentu dari negara, termasuk untuk mendapatkan KTP. Konstruksi seperti di atas, Akta Kelahiran seharusnya ditempatkan sebagai sebuah dokumen yang amat penting. Akta kelahiran merupakan dokumen autentik yang paling dasar, yang harus diberikan negara kepada anak-anak Indonesia yang baru dilahirkan. Namun dalam praktik, pencatatan kelahiran tidak dikaitkan dengan status legal seseorang. Pencatatan kelahiran juga tak dikaitkan dengan hak-hak khusus, privilege yang disediakan oleh negara. Fungsi utama dari Akta Kelahiran antara lain. 1.
Menunjukkan hubungan hukum antara si anak dengan orang tuanya secara hukum. Di dalam Akta Kelahiran tersebut disebutkan siapa bapak dan ibu dari si anak.
2.
Merupakan bukti awal kewarganegaraan dan identitas diri pertama yang dimiliki sang anak. Akta kelahiran membuktikan bahwa si anak lahir di Indonesia dan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Adapun kegunaan Akta Kelahiran:
1. Syarat untuk sekolah bagi si anak kelak. 2. Membauat identitas lain, seperti Kartu Kelurga atau Kartu Tanda Penduduk. 3. Mencari pekerjaan 4. Menikah, dan lain-lain.
78
Berikut ini hak-hak anak yang berkaitan dengan Akta Kelahiran berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan yaitu. 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Berdasarkan hak anak yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mewajibkan pemerintah untuk memberikan Akta Kelahiran bagi anak, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.” Dengan demikian Negara memberikan hak – hak anak yang berkaitan dengan Akta Kelahiran. Kemudian pada Pasal 28B UUD 1945 dalam Bab XA yang mengakui Hak Asasi Manusia, yang mengukuhkan pandangan bangsa bahwasanya hak anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Hal ini mempunyai arti yang cuku strategis
terhadap hak-hak anak.
Ketentuan tersebut mengukuhkan bahwa pada diri setiap anak melekat harkat, martabat dan hak - haknya sebagai manusia seutuhnya. Hak anak tidak boleh ada satupun yang diabaikan apalagi dengan sengaja membatasi dan atau mengecualikan hak anak. Negara tidak boleh mengabaikan satupun anak yang hak-haknya tidak dilindungi. Lebih lanjut UUD 1945 mengatur secara spesifik mengenai hak anak pada Pasal 28B ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
79
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak-hak anak juga tidak luput dari pengaturan dalam Pasal 28 D ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan demikian setiap anak mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum sebagaimana dengan orang dewasa. Hak akan Akta Kelahiran juga dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 28H ayat (2) yaitu bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Kaitannya dengan Akta Kelahiran setiap anak berhak mendapatkan kemudahan dalam mendapatkannya termasuk perlakuan-perlakuan khusus dalam hal tersebut, misalnya anak dari keluarga tidak mampu harus mendapat perhatian agar hak-haknya dapat terpenuhi. Menurut Pasal Pasal 28 I ayat (1) hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Kaitannya dengan hak mendapatkan Akta Kelahiran, bahwa setiap anak berhak mendapatkan kemerdekaan penuh dalam mendapatkan Akta Kelahiran sebagai identitas dirinya.
80
Selanjutnya Pasal 28 I ayat (2) mangatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu.
Pada
ketentuan
tersebut
dikaitkan
dengan
hak
mendapatkan Akta Kelahiran bahwa setiap anak berhak atas Akta Kelahiran tanpa diskriminatif untuk itu pemerintah harus mengupayakan pemenuhan hak anak tersebut sebaik-baiknya. 2. Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(HAM) Pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
disebutkan bahwa setiap orang diakui sebagai
manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Memperoleh Akta Kelahiran juga merupakan bentuk pengakuan terhadap kedudukan anak sebagai manusia yang bermartabat dalam negara Republik Indonesia.
81
Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Hal ini disebutkan dalam Pasal 52. Pada Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa tetiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraannya”. Hak pertama anak setelah dilahirkan adalah identitas yang meliputi nama, orangtua (silsilah keturunan) dan kewarganegaraan yang dituangkan dalam bentuk Akta Kelahiran. Hak ini akan menentukan pengakuan, pemenuhan dan perlindungan anak yang lainnya, seperti hak keperdataan (waris, dan nafkah), akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hak atas Akta Kelahiran dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) 3. Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Pada Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
82
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4). Selanjutnya dalam Pasal 5 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada anak adalah suatu identitas anak. Identitas dapat berupa Akta Kelahiran yang berguna untuk memperjelas status dan nasab pada anak. Selain itu Akta Kelahiran juga bisa digunakan sebagai identitas bagi anak dalam keperluan administrasi. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa : 1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya. 2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam Akta Kelahiran. 3) Pembuatan Akta Kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran. 4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan Akta Kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya dan dilengkapi berita acara pemeriksaan polisi.
83
Selanjutnya
Pasal 28 menyebutkan bahwa pembuatan Akta
Kelahiran dilakukan oleh instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang administrasi kependudukan. Pencatatan kelahiran diselenggarakan
serendah-rendahnya
pada
tingkat
kelurahan/desa.
Pembuatan Akta Kelahiran harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Pembuatan Akta Kelahiran tidak dikenai biaya. 4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil Dan Politik Pada Pasal 24 menyebutkan bahwa setiap anak, tanpa diskriminasi yang berkenaan dengan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, asalusul kebangsaan atau sosial, harta benda atau kelahiran, berhak atas upayaupaya perlindungan sebagaimana yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak di bawah umur, oleh keluarga, masyarakat dan Negara. Setiap anak harus didaftarkan segera setelah lahir dan harus mempunyai nama. Setiap anak berhak memperoleh kewarganegaraan. 5. Konvensi PBB Tentang Hak Anak (United Nation’s Convention On The Rights Of The Child) Pada Pasal 7 menyebutkan bahwa anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya, dan sejak kelahirannya berhak untuk memperoleh sebuah nama, untuk memperoleh kewarganegaraan, dan, sebisa mungkin,
84
untuk mengetahui orang tuanya dan dibesarkan oleh orang tuanya. Negaranegara Pihak harus menjamin penerapan hak-hak ini, sesuai dengan hukum nasional dan kewajiban mereka menurut instrumen internasional yang relevan dalam bidang ini, khususnya apabila anak menjadi tanpa kewarganegaraan. Negara Pihak berjanji untuk menghormati hak anak untuk mempertahankan identitasnya, termasuk kewarganegaraan, nama dan hubungan kekeluargaannya sebagaimana diakui oleh hukum tanpa campur tangan yang tidak sah. Hal ini diamanatkan dalam Pasal 18. 6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2006 Akta Kelahiran merupakan hak setiap penduduk, termasuk anak hal ini disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan
bahwa setiap Penduduk
mempunyai hak untuk memperoleh: a. Dokumen Kependudukan; b. Pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; c. Perlindungan atas Data Pribadi; d. Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen; e. Informasi mengenai data hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil atas dirinya dan/atau keluarganya; dan
85
f. Ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil serta penyalahgunaan Data Pribadi oleh Instansi. Pelaksana. Pembuatan Akta Kelahiran diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang menyebutkan: (1) Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60 (enam
puluh) hari sejak
kelahiran. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. Pasal 27 menjelaskan kewajiban seorang kepala keluarga untuk melaporkan kelahiran anaknya di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil paling lambat 60 hari sejak kelahiran. Hal ini menunjukkan bahwa orang
tua
mempunyai
kewajiban
memenuhi
hak-hak
ank
untuk
mendapatkan Akta Kelahiran. Hal ini mengingat Akta Kelahiran sangat penting bagi masa depan anak. Kaitannya hubungan antara orang tua anak, Akta Kelahiran akan berhubungan dengan hak-hak keperdataan anak, khususnya hak waris dan hak nafkah.
86
Akta kelahiran merupakan dokumen legal untuk menunjukkan hubungan keperdataan seseorang dengan orang-orang yang lain, oleh karenanya Akta Kelahiran wajib dimiliki olah penduduk dalam kaitannya dengan hak keperdataan tersebut. Adapun hak keperdataan tersebut antara lain hak waris terhadap orang tuanya dan hak nafkah. Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak mengatakan bahwa “Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak sebagaimana telah diuraikan di atas. Dari sisi kehidupan bangsa, setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Pada sisi yang lebih jauh Akta Kelahiran merupakan data kependudukan sebagai sarana menjalani hidup dan kehidupan bagi anak di masa mendatang. Hal ini berarti Akta Kelahiran turut menentukan masa depan anak.
87
Dari kajian kedua undang-undang dan pasal demi pasal dalam perundang-undangan, khususnya pasal – pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ternyata tidak ada satu pasal pun dalam Undang-Undang tersebut mengatur secara tegas tentang kedudukan dan fungsi anak sebagai ahli waris. Namun Pasal 42 dan Pasal 55 dapatlah dikatakan menjadi pasal penentu bagi pasangan suami istri untuk menelusuri keabsahan asal usul anak dengan membuktikan melalui Akta Kelahiran yang autentik. Satu-satunya rumusan yang menyebut secara tegas bahwa anak sebagai penerima harta warisan orang tuanya adalah bahwa anak akan menjadi pewaris dari harta dan kekayaan yang ditinggalkan orang tuanya kelak. Jika dikaitkan dengan penjelasan Pasal 42 dan 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dapatlah dikatakan, seorang anak hanya akan memiliki haknya sebagai penerima harta warisan orang tuanya jika asal usul anak tersebut memiliki hubungan darah dengan orang tuanya dan dapat dibuktikan dengan Akta Kelahiran yang disahkan oleh instansi berwenang. Kedudukan anak menjadi hal pokok untuk menentukan apakah seorang anak memperoleh Akta Kelahiran yang autentik atau tidak. Anak yang sah dan memiliki hubungan darah dan memiliki hubungan perdata dengan orang kedua orang tuanya, akan sangat mudah baginya memperoleh haknya sebagai ahli waris. Selain itu, anak harus memenuhi syarat-syarat lain seperti ; beragama Islam, memiliki hubungan darah, tidak terhalang
88
karena hukum menjadi ahli waris, termasuk pula di dalamnya harus memiliki identitas, pengakuan atau kesaksian. Salah satu syarat yang dimaksud adalah keharusan anak sebagai ahli waris memiliki Akta Kelahiran yang disahkan oleh Instansi Catatan Sipil. Menurut hukum waris, kelahiran anak dipandang sebagai hadirnya ahli waris yang akan diperkirakan akan memperoleh pewarisan. Namun demikian, tidak seluruh ahli waris secara otomatis menjadi ahli waris kecuali mereka memenuhi syarat-syarat seperti memiliki Akta Kelahiran yang dipandang sebagai kesaksian dari instansi berwenang dalam hal ini cacatan sipil dalam peristiwa kelahiran. Kesaksian yang dimaksud telah dianggap autentik sehingga memiliki kekuatan hukum bagi penggunanya. Selain itu, kegunaan Akta Kelahiran, terutama ditinjau dari segi hukum adalah sebagai bukti yang sangat penting akan kedudukan sebagai anak syah dan anak tidak syah dari keturunan seseorang. Jika suami merasa ragu, anak dikandung istri bukan berasal dari benihnya, maka UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membuka kesempatan kepada suami untuk menyangkal anak dalam kandungan istrinya dengan merumuskan Pasal 44 yang mengatakan sebagai berikut : 1. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.
89
2. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. Adapun pembuktian asal usul anak, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat dalam Pasal 55, yaitu: 1. Asal-usul seseorang anak hanya dapat dibuktikan dengan Akta Kelahiran yang autentik, yang di keluarkan oleh pejabat yang berwenang. 2. Bila Akta Kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tdak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah di adakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. 3. Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan
mengeluarkan
Akta
Kelahiran
bagi
anak
yang
bersangkutan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disebutkan bahwa terdapat hubungan positif pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang kedudukan anak, diantaranya Pasal 55 yang mengatur tentang pembuktian asal usul anak. Pasal -pasal yang memberi penjelasan pasal tersebut diantaranya. Pasal 42 tentang keabsahan anak, Pasal 43 yang mengatur anak di luar nikah, Pasal 44 yang mengatur anak hasil perzinahan dan Pasal 45 yang mengatur kewajiban orang tua terhadap anak. Pasal - pasal tersebut dapatlah dikatakan pasal
90
yang mengatur kedudukan Akta Kelahiran sebagai penentu ahli waris. Oleh karena itu, maka dapat disimpulkan bahwa, anak yang sah, jika memiliki Akta Kelahiran yang autentik, maka ia memiliki hak sebagai ahli waris. Tetapi, anak di luar nikah, tidak secara otomatis mendapatkan haknya sebagai ahli waris, meski pun anak tersebut memiliki Akta Kelahiran yang sah menurut hukum. Namun sejak direvisinya Pasal 43 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 oleh Mahkamah Konstitusi, kedudukan anak di luar nikah menjadi sama dengan anak dalam perkawinan yang sah, dimana mereka pun dapat memilii haknya sebagai ahli waris jika dapat dibuktikan dengan Akta Kelahiran yang autentik. Akibat hukum lain dari seorang anak yang tidak memilki Akta Kelahiran adalah : tidak diakui oleh negara tentang keberadaannya,tidak menjamin adanya kepastian hukum dari pada Akta Kelahiran, tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti dikemudian hari. Berdasarkan uraian di atas, maka keberadaan Akta Kelahiran menjadi sangat krusial sebagai penentu ahli waris. Tidak adanya Akta Kelahiran menyebabkan anak tidak mendapatkan kepastian hukum karena negara tidak mengakui keberadaannya. Demikian pula mengenai hak nafkah anak, hampir sama dengan hak warisnya, Akta Kelahiran merupakan bukti autentk kedudukan anak terhadap orang tuanya. Kedudukan anak tersebut melahirkan kewajiban orang tua terhadap anak. Salah satu kewajiban tersebut yaitu kewajiban member nafkah kepada anak.
91
Untuk memastikan kewajiban orang tua tersebut
dipenuhi maka
diperlukan bukti autentik tentang kedudukan anak terhadap orang tua. Bukti otentik tersebut yaitu Akta Kelahiran yang menunjukkan data-data anak dan asal-usul anak. Seperti halnya hak waris anak orang tua dapat menyangkal asal-usul anak sebagaimana telah diuraikan di atas maka Akta Kelahiran merupakan bukti status dan kedudukan anak sehingga hak-hak anak mempunyai kekuatan hukum. Kewajiban nafkah orang tua terutama menjadi beban seorang ayah bagi anak dan suami bagi isterinya. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam. Pasal itu mengatur bahwa sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung: a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri. b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. c. Biaya pendidikan bagi anak. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa seorang suami yang juga ayah dari anak yang dikandung isterinya mempunyai kewajiban memberikan nafkah bagi isteri dan anaknya. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa seorang ayah dapat menyangkal mengenai asal usul anak sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
92
Untuk memberikan bukti autentik tentang asal-usul anak, maka diperlukan Akta Kelahiran. Adanya Akta Kelahiran tersebut seorang ayah tidak dapat melalaikan kewajibannya memberikan nafkah bagi anak. Itulah mengapa Akta Kelahiran sangat penting bagi kehidupan anak.