PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: SITI NURJANAH NIM: 1110044100044
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh:
SITI NURJANAH NIM: 1110044100044
Di Bawah Bimbingan:
W"
Hotnidah Nasution. S.Ae.. MA. NIP: 197106301997032002
KONS ENTRA SIPERADILANAGAMA PROGRAM STT]DI HUKT]M KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM TJNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 rV2015
1l
M
SURAT PERI\YATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
l.
Skripsi ini merupakan hasil karya asii saya yang di ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata
I di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
ini telah saya cantumkan
di Universitas Islam Negeri
Of$
Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jeplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku
di
Universitas Islam Negeri Jakarta
(UIN)
Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 02Marct2015
Siti Nurjanah
lll
PENGESAHAI\ PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "Peran Hakim Mediasi Dalam Perkara Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)" telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Konsentrasi Hukum Keluarga Universitas
Negeri Syarif Hidayatullah Jakartapada tanggal 19 Maret2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah.
J
akarta, 1 9 Maret 20 I 5
NIP. 19691
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1.
Kctua Prodi
Kamarusdiana. S.Ag.. MH. NIP. 1 972 0 22 4199 803t0 03
2,
Sekretaris Prodi
Sri Hidayati" S.Ag.. M.As NIP" 1 971 0215t997 032002
3"
Pembimbing
4.
Penguji
5.
Penguji
I
II
Hotnidah Nasution" S..Ag.. MA. NIP. 19710 6301997 032002
Dr" I{i" dzizah. MA. l{IP. 19630409198902200
X
Abdurrauf" Lc." MA" * NIP. 19731215200s01 1002
xv
:................ )
ABSTRAK
Siti Nurjanah, NIM 1110044100044, dengan judul PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014), Konsentrasi Akhwal Syakhsiyah, Program Studi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; proses dan penerapan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, tingkat keberhasilan mediasi, faktor penghambat dalam mediasi, dan juga untuk mengetahui apakah hakim yang ditunjuk sebagai mediator telah menjalankan upaya mediasi tersebut dengan optimal. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan cara mengumpulkan data-data baik secara langsung turun kelapangan tentang objek yang diteliti. Sumber data yang didapat yaitu, data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui penelitian lapangan melalui wawancara, data sekunder adalah data yang diperoleh melalui buku-buku, dan dokumen-dokumen resmi. Dan teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi dan interview. Kesimpulan penelitian ini adalah pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah dilakukan sesuai dengan PERMA No. 1 Tahun 2008. Namun, tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat masih belum menunjukan hasil yang maksimal dalam menekan angka perceraian. Sedangkan kendala dalam pelaksanaan mediasi adalah: a) terbatasnya waktu yang digunakan mediator dalam melaksanakan mediasi, b) terbatasnya kepiawaian atau keterampilan hakim dan mediator dalam melaksanakan mediasi, c) kurangnya respon dari para pihak yang melakukan mediasi untuk terciptanya perdamaian diantara mereka, sehingga mediasi sangat sulit untuk dilakukan.
Kata Kunci: Peran Hakim, Mediasi, Perceraian Pembimbing: Hotnidah Nasution. S. Ag., MA. Daftar Pustaka: Tahun 1954 s.d 2014
v
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya, shalawat seiring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan Tuhan Khatamul anbiya’i wal mursalin Muhammad SAW. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang di temui. Banyak hal yang tidak dapat di hadirkan oleh penulis di dalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Tanpa penulis lupakan banyak yang terlibat dalam menyelesaikan
studi
penulis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak, Bapak dan Ibu: 1. Bapak Dr.Phil. JM. Muslimin, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag, M.H. dan ibu Sri Hidayati, M.Ag. Ketua dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga. 3. Ibu Hotnidah Nasution, S.Ag., MA. Sebagai dosen pembimbing yang begitu peduli dan senantiasa meluangkan waktu serta telah banyak memberikan berbagai saran, nasehat, semangat dan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
vi
4. Seluruh staf pengajar bapak dan ibu dosen lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mentransfer sebagian ilmu pengetahuannya kepada penulis sebagai landasan dasar dalam penyusunan skripsi ini. 5. Segenap pengelola perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data yang penulis butuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk bapak Ruslan, SH., MH. serta bapak dan ibu hakim mediator sebagai narasumber yang telah meluangkan waktu dan memberikan informasi kepada penulis seputar permasalahan yang penulis angkat. 7. Teristimewa ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda Warto dan Ibunda Surati tercinta yang telah memberikan banyak bantuan terutama dari segi keuangan dan dukungan, terima kasih juga atas do’a dan pengorbanan ayah dan ibu yang tak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu hingga ananda dapat menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan baik, terutama motivasi untuk meyelesaikan skripsi ini. Tiada kata yang pantas selain ucapan do’a dan terima kasih, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan. 8. Kakak-kakakku Waryanti dan Ahmad Nurcholik serta keponakanku tercinta Queenta Afkaha Syakur dan Syifa Kainati Syakur yang juga ikut memberikan motivasi serta doa yang tiada hentinya kepada penulis, yang tidak pernah lelah vii
memberikan semangat dan selalu meluangkan waktunya untuk menemani hingga terselesai nya skripsi ini. 9. Teman-teman seperjuangan ku keluarga besar mahasiswa Peradilan Agama angkatan 2010 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu khususnya Sahabat baikku Nurkhofifah Syarif dan Siti Rachmah. Dan juga teruntuk sahabat terbaikku, Ryzkiana Riedho, Nurfitriana, Arwinda, Windri Wulandari, Tri Prisca Amiyudo. Dan teman-teman semasa kecilku Selly Muliani dan Fauzah Hasan, terima kasih banyak atas bantuan doa dan semangat serta inspirasinya, kalian banyak membantu penulis selama penulis studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 10. Seluruh pihak/instansi terkait yang tidak penulis sebutkan yang ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini Semoga segala kebaikan dan sumbangsih kalian semua di catat oleh Allah SWT sebagai amal untuk bekal di akhirat nanti, Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Jakarta, 02 Maret 2015
Siti Nurjanah
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iii LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ................................................................ iv ABSTRAK ................................................................................................................. v KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................................... 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 9 D. Metode Penelitian ............................................................................... 10 E. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 13 F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 14
BAB II
UPAYA MEWUJUDKAN MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN A. Perceraian ........................................................................................... 16 B. Mediasi ............................................................................................... 27 C. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian ......................................... 34 D. Mediasi Dalam Hukum Islam ............................................................. 41 E. Mediator ............................................................................................. 43
ix
BAB III PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT A. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Pusat ........................................... 59 B. Fasilitas Pengadilan Agama Jakarta Pusat.......................................... 61 C. Bagan Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ............ 63 D. Visi Misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ........................................ 65 E. Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ........................................ 65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ....................................................................................... 73 B. Tingkat Keberhasilan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ........................................................ 82 C. Faktor-faktor Penghambat Keberhasilan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat .................................. 87
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................... 90 B. Saran .................................................................................................. 92
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 94 LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam bahasa arab berarti nikah atau zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Al-Nikah mempunyai arti al-wath‟i, al-dhommu, aljam‟u atau ibarat „an al-wath wa al aqd yang berarti bersetubuh, hubungan badan, berkumpul, jima’ dan akad. Secara terminologis perkawinan (nikah) yaitu akad yang membolehkan terjadinya istimta’ (persetubuhan dengan seorang wanita, selama seorang wanita tersebut bukan dengan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sebab susuan. 1 Menurut sebagian ulama Hanafiah “nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau title bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata”. Oleh mazhab Syafi’iah, nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwiji; atau turunan
1
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), Cet. 1, h. 4
1
2
(makna) dari keduanya”. Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan nikah tangan “akad (yang dilakukan dengan menggunakan) kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan (bersenang).2 Ulama muta’ akhirin mendefinisikan nikah sebagai berikut3 : “Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolongmenolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing.” Perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan. 1. Perkawinan dilihat dari segi hukum. Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian. Oleh Al-Qur’an surat An-Nisa: 21, dengan istilah “perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaaqaan ghaliizhaan”. 2. Segi sosial dari suatu perkawinan Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum, ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin. 3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting, dalam Agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara 2
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 45 3
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2011), Cet. 1, h. 4
3
perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.4 UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia merumuskannya dengan: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5 Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut: Pasal 2 Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3 Perkawina bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tujuan dari perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya 4
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2011), Cet. 1, h. 4 5
Undang-Undang Perkawinan, di Himpun oleh Redaksi Sinar Grafika, Jakarta 2000, h. 1
4
keperluan hidup lahir dan batinya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga. Adapun tujuan dari perkawinan tersebut adalah: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan. 2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya. 3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. 4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. 5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.6 Adapun asas-asas dan prinsip-prinsip yang dianut oleh UU perkawinan adalah sebagaimana yang terdapat pada penjelasan Umum UU perkawinan itu sendiri, sebagai berikut: 1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. 2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana 6
dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agamanya
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), Cet.1, h.10 dan 22
dan
5
kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu telah harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. 4. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alas an-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan siding pengadilan. 5. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.7 Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya dua suami-istri penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak dirawat bias menjadi pudar, bahkan bisa hilang berganti dengan kebencian. Kalau kebencian sudah datang, dan suamiistri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali kasih sayangnya, akan berakibat negatif bagi anak keturunannya. Oleh karena itu, upaya memulihkan kembali kasih sayang merupakan suatu hal yang perlu 7
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2011), Cet. 1, h. 7
6
dilakukan. Memang benar kasih sayang itu bisa beralih menjadi kebencian. Akan tetapi perlu diingat bahwa kebencian itu kemudian bisa pula kembali menjadi kasih sayang. 8 Perkawinan merupakan konsep hukum (legal conceptal) di mana perbuatan tersebut menimbulkan sejumlah hak dan kewajiban antara para pihak yang membuat perjanjian yaitu suami-istri. Akad perkawinan merupakan sumber yang menyebabkan lahirnya hak dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban suami istri berlangsung selama mereka terikat dengan akad, dan putusnya perkawinan menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban suami istri dalam suatu rumah tangga. Perkawinan juga bertujuan membentuk keluarga yang bahagia, mawadah dan rahmah sebagai wujud ibadah kepada Allah. Allah menyatakan: “Diantara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya, diciptakan kepadamu pasangan dari dirimu agar kamu cenderung kepadanya, dan kami jadikan diantara kamu mawadah wa rahmah …” (QS. Ar-Rum: 21). Perkawinan juga akan melahirkan keturunan yang merupakan pelanjut generasi manusia di muka bumi. Perkawinan menjadi kebutuhan naluriah manusia, karena manusia cenderung untuk hidup berpasangpasangan yang melahirkan keturunan yang sah, sehingga kedudukan manusia sebagai makhluk mulia dan bermartabat akan tetap terjaga.9
8
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), Cet. 3, h. 96 9
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Prenada Media, 2011), Cet. 2, h. 176
7
Islam mengharapkan perkawinan yang akadnya bernilai sakral dapat dipertahankan untuk selamanya oleh suami istri. Namun, Islam juga memahami realitas kehidupan suami istri dalam rumah tangga yang kadang-kadang mengalami persengketaan dan percekcokan yang berkepanjangan. Perselisihan antara suami istri yang memuncak dapat membuat rumah tangga tidak harmonis, sehingga akan mendatangkan kemudaratan. Oleh karena itu, Islam membuka jalan berupa perceraian. Perceraian merupakan jalan terakhir yang dapat ditempuh suami istri, bila rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian dalam Islam memiliki proses panjang. Persengketaan suami istri tidak serta-merta menjadi alasan yang memutuskan hubungan perkawinan, tetapi mengandung proses mediasi dan rekonsiliasi, agar rumah tangga mereka dapat dipertahankan.10 Terkadang juga dalam menjalankan bahtera rumah tangga itu tidak selalu mulus, pasti ada kesalahfahaman, kekhilafan, dan pertentangan. Percekcokan dalam menangani permasalahan keluarga ini ada pasangan yang dapat mengatasinya. Terkadang percekcokan itu perlu ada di tengah dinamika keluarga sebagai bumbu keharmonisan dan variasi rumah tangga, tentunya dalam porsi yang tidak terlalu banyak.11 Pada setiap perkawinan tentunya diharapkan adanya keharmonisan dalam berumah tangga dan menjadikan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah, 10
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
181 11
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet. 1, h. 172
8
namun adakalanya perkawinan ini tidak mencapai kebahagiaan. Maka demi kebaikan bersama terbukalah pintu perceraian. Dalam menyelesaikan perkara perceraian di pengadilan agama di awali dengan mediasi. Mediasi adalah merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Mediasi dari sisi kebahasaan lebih menekankan pada pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk menyelesaikan perselisihan. Pihak ketiga ini disebut mediator. Mediator berada pada posisi di tengah dan netral antara para pihak yang bersengketa, dan mengupayakan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang bersengketa.12 Peran hakim Pengadilan Agama dalam proses persidangan pertama dan utama, tujuannya adalah untuk mendamaikan para pihak yang berperkara, karena mendamaikan itulah sebagai prioritas utama. Termasuk dalam hal ini perkara perceraian pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, disebutkan “selama pekara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan”. Karena itu penulis berkeinginan meneliti mediasi dalam perkara perceraian dalam bentuk skripsi dengan judul “PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)”
12
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. 2, h. 3
9
B. Batasan dan Perumusan Masalah 1. Batasan Masalah Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi masalahnya pada masalah peranan Mediator dalam memediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang di batasi dari tahun 2012-2014 2. Perumusan Masalah Dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan para pihak adalah bersifat imperatif, karena itu upaya mendamaikan haruslah dilaksanakan dengan baik oleh hakim secara optimal. Namun pada prakteknya mediasi dalam perkara perceraian dilakukan hanya sekedar formalitas. Karena itu pertanyaan penelitiannya adalah : 1. Bagaimana proses pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ? 2. Bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam perkara perceraian ? 3. Faktor apa yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam perkara perceraian ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
10
2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam perkara perceraian. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan mediasi perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para Hakim dan praktisi hukum dalam melakukan mediasi pada perkara perceraian di Pengadilan Agama. 2. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah wawasan, pengalaman, dan pengetahuan tentang materi kajian yang akan dibahas pada permasalahan tersebut. 3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya. D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah Penelitian ini adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuruidis sosiologis adalah: suatu penelitian didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang dilapangan.13 Dalam penelitian ini yang akan dicari perihal pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama dengan 13
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normartif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), h. 26
11
berpedoman pada aturan hukum yang berlaku, sehingga dapat diperoleh kejelasannya di persidangan pengadilan. 2. Jenis Penelitian Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat maka dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang atau perilaku orang. Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini ialah secara spesifik lebih bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang objek yang diteliti, dalam hal ini untuk menggambarkan peraturan mediasi berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008. 3. Sumber Data Jenis data dalam penulisan skripsi ini terdiri dari data primer dan data sekunder, dengan teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi dan interview. a. Data primer Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama yaitu, yang diperoleh melalui penelitian lapangan melalui wawancara langsung terhadap pihakpihak yang berkaitan dengan penelitian terutama hakim mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
12
b. Data sekunder Data sekunder, antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi, bukubuku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, makalah umum dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul peneliti.14 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut: a. Metode Dokumentasi Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variable berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, notulen, agenda, dan sebagainya. b. Metode Interview Metode Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Dalam penulisan skripsi ini penulis akan melakukan wawancara dengan pakar hukum, seperti hakim dan pengamat hukum lainnya. 5. Teknik Penulisan Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
14
Soerjono Sukanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-press, 1986), Cet. 2, h. 12
13
E. Penelitian Terdahulu Pada kenyataannya kehidupan berkeluarga tidaklah selalu harmonis seperti yang diinginkan. Bahwa memelihara untuk hidup bersama suami istri bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Dari beberapa penelitian yang penulis teliti terdapat beberapa penelitian dari tulisan yang relefan. Di antaranya sebagai berikut : 1. Nur Hidayat, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, judul skripsi Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama (Studi Implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi). Skripsi tahun 2012, dari perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini menguraikan tentang mediasi faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat mediasi dan faktor-faktor yang mendukung proses mediasi tersebut. 2. Siti Umu Kulsum, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, judul skripsi Efektifitas Mediasi Dalam Perceraian Perspektif PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi (Studi Pasca Pemberlakuan Perma No. 1 Tahun 2008 di Pengadilan Agama Jakarta Timur). Skripsi tahun 2011, dari perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini membahas sejarah lahirnya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dan mediasi; pengertian, dasar hukum,
14
prinsip-prinsip dan prosedurnya mulai tahap pramediasi, proses, hingga putusannya. Perbedaan skripsi ini Penulis lebih menjelaskan tentang proses pelaksanaan mediasi, tingkat keberhasilan mediasi, dan faktor-faktor yang penghambat mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub bab yang saling berkaitan merupakan suatu bahasan dari masalah yang diteliti. Maka masing-masing dengan sistematikanya sebagai berikut: Bab pertama pendahuluan, bab ini akan menjelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua bab ini menjelaskan tentang perceraian, pengertian mediasi, proses mediasi dalam perkara perceraian, mediasi dalam hukum Islam, dan mediator. Bab ketiga yang terdiri dari dari sejarah singkat berdirinya Pengadilan Agama Jakarta Pusat sampai lokasinya, fasilitas Pengadilan Agama Jakarta Pusat bagan struktur organisasi Pengadilan Aagama Jakarta Pusat, visi misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat, dan yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
15
Bab keempat hasil penelitian dan pembahasan, bab ini akan menjelaskan tentang proses mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, dan faktor-faktor penghambat dalam keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian. Bab kelima penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
BAB II UPAYA MEWUJUDKAN MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN
A. Perceraian 1. Pengertian Perceraian Menurut bahasa Arab perceraian berasal dari kata talaq atau itlaq yang artinya lepas dari ikatan, berpisah menceraikan, pembebesan.1 Perceraian menurut kamus bahasa Indonesia disebut “cerai” yang artinya pisah, perpisahan antara suami dan istreri.2 Menurut Al-Jaziry “talak” ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu. Sedangkan menurut Abu Zakaria AlAnshari “talak” ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.3 Secara garis besar, talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami untuk memutuskan atau menghentikan berlangsungnya suatu perkawinan. Talak merupakan hak cerai suami terhadap istrinya, talak dapat dilakukan apabila suami maupun istri merasa sudah tidak dapat lagi dipertahankan perkawinannya tersebut. 1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 861 2
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2008), edisi ke-4, h. 261 3
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 192
16
17
Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Dari definisi talak diatas, dijelaskan bahwa talak merupakan sebuah institut yang digunakan untuk melepas sebuah ikatan perkawinan.4
Dasar Hukum Perceraian Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi sunnah Allah dan sunnah Rasul tersebut dan menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warahmah. Meskipun demikian, bila hubungan pernikahan itu tidak dapat lagi dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan kemudaratan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan demikian.pada dasarnya perceraian atau talak itu adalah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam istilah Ushul Fiqh disebut makruh. Hukum makruh ini dapat dilihat dari adanya usaha pencegahanterjadinya perceraian atau talak itu dengan berbagai pebahapan.5
4
Amiur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 207 5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 199
18
Dalam ajaran Islam, talak bagaikan pintu darurat yang merupakan jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak ditemukan jalan lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, pada dasarnya, ajaran Islam tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut. Karena itu, Allah Swt memandang talak yang terjadi antara suami-istri sebagai perbuatan halal yang sangat dimurkai-Nya. Hadits Ibnu Umar menyatakan, Rasulullah Saw bersabda:
“Talak merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci Allah Swt.”(HR. Abu Daud dan Hakim). Untuk menjaga agar pintu darurat itu benar-benar hanya dipergunakan pada situasi gawat darurat dalam kehidupan suami istri, maka Al-Qur‟an menetapkan, wewenang talak hanya berada pada tangan suami, yang pada umumnya, tidak seemosional seorang istri dalam berbuat dan menentukan sikap. Dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 231:
“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula).” (QS. Al-Baqarah: 231
19
“Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”. (QS. At-Talaq: 2) Berdasarkan sumber hukumnya, maka hukum talak ada empat: a. Wajib, atau mesti dilakukan, yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar kafarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakannya itu memudaratkan istrinya.6 b. Sunnat, apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya (nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya. c. Haram, dalam dua keadaan: pertama; menjatuhkan talak sewaktu si istri dalam keadaan haid, kedua; menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.7 d. Mubah, atau boleh dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan manfaatnya juga ada kelihatannya.8
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 201
7
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954), h. 380
8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 201
20
Di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan.9 2. Rukun dan Syarat Perceraian Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak ada empat, sebagai berikut: a. Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah. Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak diisyaratkan: 1) Berakal. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk ke dalamnya sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, atau sakit ingatan karena syaraf otaknya. 2) Baligh. Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah menyatakan bahwa talak oleh anak yang sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang dari 10 tahun asalkan ia telah mengenal arti talak dan mengetahui akibatnya, talaknya dipandang jatuh. 9
Lihat, Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama 2001, h. 16
21
3) Atas kemauan sendiri. Yang dimaksud atas kemauan sendiri disini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain.10 b. Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain. Untuk sahnya talak, bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut: 1) Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalin masa iddah talak raj‟i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Karenanya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi, di pandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal talak bai‟in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap bekas istrinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak ba‟in itu bekas istri tidak lagi berada dalam perlindungan kekuasaan bekas suami. 2) Kedudukan istri yang talak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah. Jika ia menjadi istri dengan akad nikah yang batil, seperti akad nikah terhadap wanita dalam masa iddahnya, atau akad nikah dengan perempuan saudara istrinya (memadu antara dua perempuan bersaudara), atau akad nikah dengan anak tirinya padahal suami 10
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 201
22
pernah menggauli ibu dan anak tirinya itu dan anak tiri itu berada dalam pemeliharaannya, maka talak yang demikian tidak dipandang ada. c. Sighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain. Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap istrinya menunjukan kemarahannya, semisal suami memarahi istri, memukulnya, mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan barangbarangnya, tanpa disertai pernyataan talak, maka demikian itu bukan talak. Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan anganangan, tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak. Pembicaraan suami tentang talak tetapi tidak ditunjukan terhadap istrinya juga tidak dipandang sebagai talak.11 d. Qashdu (Sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak
jatuh talak, seperti suami memberikan sebuah salak
kepada istrinya, semestinya ia mengatakan kepada istrinya itu kata-kata: 11
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 201
23
“Ini sebuah salak untukmu”, tetapi keliru ucapan, berbunyi: “Ini sebuah talak untukmu”, maka talak tidak dipandang jatuh.12 3. Alasan-Alasan Perceraian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai wujud kodifikasi hukum Islam, telah mengklasifikkasikan penyebab atau alasan terjadinya perceraian. Di dalam pasal 38 UU Perkawinan disebutkan yakni perceraian terjadi dengan sebab: a. Kematian salah satu pihak, b. Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat, c. Keputusan Pengadilan.13 Kemudian dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil dalam mendamaikan kedua belah pihak.14 Ketentuan ini dijelaskan kembali di dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dengan menyebutkan bahwasannya alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah: 12
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 201
13
14
H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 74
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 248
24
a. Salah satu pihak berbuat zina, atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.15 4. Akibat-Akibat Perceraian Perkawinan dalam hukum Islam adalah ibadah atau perjanjian suci antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, apabila perkawinan putus atau terjadi perceraian, tidak begitu saja selesai urusannya. Akan tetapi ada akibat-akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai. Terlebih akibat hukum perkawinan yang terputus tersebut, bukan saja karena perceraian namun karena kematian salah satu pihak, juga memiliki kosekuensi hukum tersendiri.
15
75
H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 74-
25
Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai dan perceraian yang diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat dari perceraian itu sendiri. Dalam hal ini baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur hal tersebut pada pasal-pasal berikut ini, yaitu : a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusan. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlakukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bekas istri.16 b. Kompilasi Hukum Islam (KHI)17 Pasal 149 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib : a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istri baik berupa uang atau benda kecuali bekas istri tersebut Qobla al-Dukhul. b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyyuz dan dalam keadaan tidak hamil. c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila Qobla al-Dukhul. 16
Amiur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 219 17
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, 1996, h. 149
26
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun Pasal 150 Bekas suami berhak melakukan ruju‟ kepada bekas istrinya yang masih dalam masa iddah. Pasal 151 Bekas istri selama dalam masa iddah wajib menjaga dirinya tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Pasal 152 Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyyuz. Pasal 156 a. Anak yang belum Mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh: 1) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu; 2) Ayah; 3) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah; 4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah; b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun). e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
27
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anakanak yang tidak turut padanya.18 Dalam Al-Qur‟an tidak ada yang menyuruh atau melarang eksistensi perceraian, sedangkan untuk perkawinan ditemukan beberapa ayat yang menyuruh melakukannya. Suatu kejadian pastilah terdapat hikmah yang akan didapatkan, begitu juga pada permasalahan perceraian aka ada hikmah yang akan kita dapatkan baik bagi sang suami atau istri. Talak pada dasarnya sesuatu perbuatan yang halal tetapi hal yang paling di benci oleh Allah SWT, hikmah dibolehkannya talak itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan akan menimbulkan mudharat bagi kedua belah pihak baik itu sang suami atau istri bahkan juga kepada anak itu sendiri.19
B. Mediasi 1. Pengertian Mediasi Mediasi merupakan kosakata atau istilah yang berasal dari kosakata Inggris, yaitu mediation. Para penulis sarjana Indonesia kemudian lebih suka mengindonesiakan menjadi “mediasi” seperti halnya istilah-istilah lainnya,
109-200
18
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, h. 74-75
19
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
28
yaitu negotiation menjadi “negosiasi”, arbitration menjadi arbitrase, dan litigation menjadi litigasi”. Orang awam yang tidak menggeluti ranah penyelesaian sengketa tidak jarang salah sebut atau menyamakan antara mediasi dan “meditasi” yang berasal dari kosakata Inggris meditation yang berarti bersemedi. Sudah pasti keduanya amat berbeda karena mediasi berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa bernuansa sosial dan legal, sedangkan meditasi berkaitan dengan cara pencarian ketenangan batin atau bernuansa spiritual.20 Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti ditengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaian sengketa antara para pihak. „berada ditengah‟ juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa.21 Dalam Collins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa mediasi adalah kegiatan yang menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement).22
20
Takdir Rahmadi, Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Cet-2, h. 12 21
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 1-2 22
1-2
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
29
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihakpihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.23 Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya. Mediator berada pada posisi di tengah dan netral antara para pihak yang bersengketa, dan mengupayakan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang bersengketa. Penjelasan kebahasaan ini masih sangat umum sifatnya dan belum menggambarkan secara konkret esensi dan kegiatan mediasi secara menyeluruh. Oleh karenanya, perlu di kemukakan pengertian mediasi secara terminologi yang diungkapankan para ahli resolusi konflik.24
23
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
24
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
3 2-3
30
Mediasi sebagaimana dicantumkan pada pasal 1851 Bab ke Delapan Belas Tentang Perdamaian KUHPerdata adalah, suatu perjanjian dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.25 2. Prinsip-Prinsip Mediasi Prinsip dasar (basic principles) adalah landasan filosofis dari diselenggarakannya kegiatan mediasi. Prinsip atau filosofi ini merupakan kerangka kerja yang harus diketahui oleh mediator, sehingga dalam menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang melatarbelakangi lahirnya institusi mediasi. David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang lima prinsip dasar mediasi, yaitu26 : Prinsip pertama, mediasi adalah kerahasiaan atau confidentiality. Kerahasiaan yang dimaksudkan disini adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik dan pers oleh masingmasing pihak. Demikian juga sang mediator harus menjaga kerahasiaan
25
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradyana Paramitha, 2004), h. 468 26
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 28
31
mediasi tersebut.27 Pada pasal 6 PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mediasi dalam asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain.28 Prinsip kedua, mediasi ini bersifat volunteer atau sukarela. Masingmasing pihak yang terkait datang ke mediasi atas keinginan dan kemauan mereka sendiri secara sukarela tidak ada paksaan dan tekanan dari pihakpihak lain atau pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang yang akan mau berkerja sama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka, bila mereka dating ke tempat perundingan atas pilihan mereka sendiri. Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini di dasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegoisasikan masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan. Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, peran seorang mediator hanya menfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi milik para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses berjalan atau tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang mediator tidak bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau
27
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
28
PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
29
32
benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah pihak. Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasannya solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai standar legal, tetapi dapat di hasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena itu, hasil mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah pihak. Dari uraian di atas bahwa mediasi memiliki karakteristik yang merupakan ciri pokok yang membedakan dengan penyelesaian sengketa yang lain. Karakteristik tersebut dirumuskan dalam setiap proses mediasi terdapat metode, dimana para pihak dan perwakilannya, yang di bantu pihak ketiga sebagai mediator berusaha melakukan diskusi dan perundingan untuk mendapatkan keputusan yang dapat disetujui oleh para pihak.29 3. Tujuan dan Manfaat Mediasi Tujuan dilakukan mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral. Mediasi dapat mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenagkan atau pihak yang dikalahkan (win-win solution). Dalam mediasi para pihak yang bersengketa proaktif dan memiliki kewenangan penuh dalam
29
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 28
33
pengambilan keputusan.30 Mediator tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam menjaga proses mediasi guna mewujudkan kesepakatan damai mereka. Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan manfaatnya, karena para pihak telah mencapai kesepakatan yang mengakhiri persengketaan mereka secara adil dan saling menguntungkan. Bahkan dalam mediasi yang gagal pun, dimana para pihak belum mencapai kesepakatan, sebenarnya juga telah dirasakan manfaatnya. Kesediaan para pihak bertemu dalam suatu proses mediasi, paling tidak telah mampu mengklarifikasikan akar persengketaan dan mempersempit perselisihan diantara mereka.31 Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga. Mediasi dapat memberikan sejumlah keuntungan antara lain: a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara tepat dan relatif murah. b. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka. c. Mediasi memberikan kesepakatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan permasalahan mereka. 30
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
31
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
24
25
34
d. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya. e. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa. f. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang terjadi antara para pihak.32
C. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian Proses mediasi dibagi kedalam tiga tahap, yaitu tahap pramediasi, tahap pelaksanaan mediasi, dan tahap akhir implementasi hasil mediasi. Ketiga tahap ini merupakan jalan yang akan ditempuh oleh mediator dan para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka. 1. Tahap Pramediasi Tahap pramediasi adalah tahap awal di mana mediator menyusun sejumlah langkah dan persiapan sebelum mediasi benar-benar dimulai. Tahap pramediasi merupakan amat penting, karena akan menentukan berjalan tidaknya proses mediasi selanjutnya. Pada tahap ini mediator melakukan beberapa langkah antara lain; membangun kepercayaan diri, menghubungi para pihak, menggali dan memberikan informasi awal mediasi, fokus pada masa depan, mengoordinasikan pihak bertikai, mewaspadai perbedaan budaya, menentukan siapa yang hadir, menentukan tujuan pertemuan, 32
24-26
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
35
kesepakatan waktu dan tempat, dan menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak untuk bertemu dan membicarakan perselisihan mereka.33 Dalam membangun kepercayaan diri seorang mediasi tidak boleh terlalu berambisi, seolah-olah ia mampu menyelesaikan semua hal dalam waktu singkat, tanpa mempertimbangkan kendala yang akan dihadapi ketika ia menghubungi para pihak yang bersengketa, Seorang mediator harus menyadari bahwa dirinya belum tentu diterima oleh kedua belah pihak, sebagai mediator yang memediasi sengketa mereka. Kesadaran ini penting agar tidak menimbulkan kekecewaan bila mediasi mengalami kegagalan. Mediator harus menggali sejumlah informasi awal tentang persoalan utama yang menjadi sumber sengketa. Informasi yang diinginkan mediator bersifat menyeluruh, sehingga memudahkan bagi dirinya untuk menyusun strategi dan memosisikan persoalan tersebut dalam kerangka penyelesaian konflik melalui jalur mediasi. Mediator harus menginformasikan sejelas mungkin tentang mediasi, langkah-langkah kerja dalam mediasi, manfaat mediasi, dan menjelaskan situasi-situasi yang dialami para pihak.34 Tahap-tahap perdamaian yang dilakukan oleh Pengadilan dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan: pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri oleh kedua 33
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
34
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
36
39
36
belah pihak yang berperkara, hakim mewajibkan para pihak agar terlebuh dahulu menempuh mediasi, dan pada hari itu juga atau paling lama 2 hari kerja berikutnya para pihak dan atau kuasa hukum mereka wajib berunding untuk memilih mediator dengan alternatif pilihan sebagaimana Pasal 8 Perma ini lalu menyampaikan mediator pilihan kepada Ketua Majelis. Dan jika hal ini juga tidak dapat disepakati oleh para pihak, maka Ketua Majelis yang akan menunjuk mediator dari daftar mediator dengan suatu penetapan.35 Dalam tahap pramediasi ini, langkah selanjutnya yang di tempuh mediator adalah memformulasikan sejumlah pertanyaan yang secara tidak langsung mengajak para pihak untuk memikirkan masa depan mereka, dan tidak larut memikirkan faktor-faktor yang menyebabkan mereka terseret dalam konflik atau persengketaan. Mediator harus mampu mengarahkan mereka untuk mengambil sikap, untuk sama-sama menuju masa depan yang lebih baik dan damai. Dalam tahap terakhir pramediasi, mediator harus mampu menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak sebelum proses mediasi dimulai. Para pihak bersedia mengambil mediasi sebagai jalan penyelesaian konflik, karena mereka berharap keadaan akan berubah kepada situasi yang lebih baik. Namun, kadang-kadang mereka datang ke pertemuan mediasi menunjukan sikap yang sama sekali tidak mencerminkan bahwa mereka menaruh harapan
35
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) h. 72
37
besar pada proses mediasi. Seringkali para pihak cemas, curiga kepada pihak lain, khawatir keprihatinan mereka tidak didengarkan, serta tidak memiliki penjelasan mengenai mediasi dan apa yang bias diharapkan dari seorang mediator. Untuk menghindari hal tersebut, seorang mediator harus bmenciptakan rasa aman. Ronald S. Kraybill mengemukakan empat langkah yang dapat ditempuh oleh mediator untuk menciptakan rasa aman,36 yaitu: a. Berusahalah tiba ditempat yang sudah disepakati sebelum kedatangan para pihak-pihak yang bertikai b. Aturlah tempat agar terasa nyaman dan mendukung interaksi c. Buatlah rencana pengaturan ruang dan, d. Ciptakan rasa aman melalui pengendalian situasi dalam memimpin pertemuan, sehingga tidak menimbulkan keraguan para pihak siapa yang bertanggung jawab pada pertemuan tersebut. 2. Tahap Pelaksanaan Mediasi Pada tahap pelaksanaan mediasi ini dimana para pihak yang bersengketa satu sama lain dipertemukan untuk dilakukan mediasi. Tahap mediasi dalam Pasal 13 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang proses mediasi di Pengadilan, disebutkan: Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, para pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. Selanjutnya mediator menentukan jadwal pertemuan, dimana para pihak dapat
36
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 43
38
didampingi kuasa hukumnya. Proses mediasi pada dasarnya bersifat rahasia dan berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator (Pasal 13 ayat 3) dan dapat diperpanjang paling lama 14 hari kerja sejak berakhirnya masa 40 hari tersebut dengan syarat bahwa kesepakatan akan tercapai.37 Tahap pelaksanaan mediasi merupakan tahap dimana pihak-pihak yang bertikai sudah berhadapan satu sama lain dan memulai proses mediasi. Ada beberapa langkah dalam tahap ini yaitu sambutan pendahuluan mediator, presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan menjernihkan permasalahan, berdiskusi dan negoisasi masalah yang disepakati, menciptakan opsi-opsi, menentukan butir kesepakatan dan merumuskan keputusan, mencatat dan menuturkan kembali keputusan, dan penutup mediasi.38 Perdamaian dalam sengketa perceraian mempunyai nilai keluhuran tersendiri. Dengan dicapainya perdamaian antara suami istri dalam sengketa perceraian, bukan keutuhan rumah tangga saja yang dapat diselamatkan tetapi juga kelanjutan pemeliharaan anak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Agar fungsi mendamaikan dalam perkara perceraian ini dapat dilakukan oleh hakim secara efektif dan optimal, maka sedapat mungkin hakim menemukan hal-hal yang melatarbelakangi dari persengketaan yang terjadi.39 37
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) h. 73 38
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 44 39
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000) h. 164
39
Dalam
hal
sengketa
perceraian
karena
alasan
percekcokan
pertengkaran secara terus menerus, peranan hakim sangat diharapkan untuk mencari faktor-faktor penyebab dari perselisihan dan pertengkaran itu. Apabila hal ini telah diketahui oleh hakim, maka dengan mudah para hakim tersebut mengajak dan mengarahkan para pihak yang berselisih itu untuk berdamai dan rukun kembali.40 Dengan dicapai perdamaian antara suami istri dalam sengketa perceraian, bukan hanya keutuhan perkawinan saja yang dapat diselamatkan. Sekaligus dapat diselamatkan kelanjutan pemeliharaan dan pembinaan anakanak secara normal. Kerukunan antara kedua belah pihak dapat berlanjut. Harta bersama dalam perkawinan dapat lestari menopang kehidupan rumah tangga. Suami-istri dapat terhindar dari gangguan pergaulan sosial kemasyarakatan. Mental dan pertumbuhan kejiwaan anak-anak terhindar dari perasaan terasing dan rendah diri dalam pergaulan hidup. Upaya mendamaikan dalam sengketa perceraian, merupakan kegiatan terpuji dan lebih diutamakan dibanding dengan upaya mendamaikan persengketaan di bidang yang lain.41 Khusus dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan para pihak adalah bersifat imperatif. Usaha mendamaikan para pihak adalah beban yang diwajibkan oleh hukum kepada para hakim dalam setiap memeriksa,
40
41
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 164
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Sarana Bakti Semesta, 1989) h. 49
40
mengadili dan memutuskan perkara perceraian. Oleh karena itu, upaya mendamaikan dalam perkara perceraian atas dasar perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus haruslah dilakukan oleh para hakim secara optimal.42 Tindakan hakim dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa adalah untuk menghentikan persengketaan dan mengupayakan agar perceraian tidak terjadi. Apabila berhasil dilaksanakan oleh hakim yang menyidangkan perkara tersebut, maka gugatan perceraian yang diajukan ke Pengadilan oleh para pihak itu, dengan sendirinya harus dicabut. Terhadap ketentuan ini tidak dibuat akta perdamaian karena tidaklah mungkin dibuat suatu ketentuan yang melarang satu pihak meninggalkan tempat tinggal bersama, melarang salah satu pihak melakukan penganiayaan dan sebagainya. Apabila perjanjian itu disepakati oleh para pihak dilanggar oleh salah satu pihak, maka akta perdamaian itu tidak dapat dieksekusi, karena akibat dari perbuatan itu tidak mengakibatkan putusan perkawinan maka salah satu pihak mengajukan gugatan baru.43 3. Tahap Akhir Implementasi Hasil Mediasi Tahap ini merupakan tahap di mana para pihak hanyalah menjalankan hasilhasil kesepakatan, yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu
42
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000) h. 164 43
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 103
41
perjanjian tertulis. Para pihak menjalankan hasil kesepakatan berdasarkan komitmen yang telah mereka tunjukan selama proses mediasi.44
D. Mediasi Dalam Hukum Islam Dalam hukum Islam mediasi lebih dikenal juga istilah islah dan hakam.45 Ishlah atau Sulhu menurut bahasa adalah perbaikan.46 Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Karena dengan perdamaian akan terhindar dari kehancuran tali silaturahmi dan permusuhan di antara para pihak yang bersengketa dapat diakhiri. Dasar hukum perdamaian dapat dilihat dalam QS. AnNisa ayat 35 yang berbunyi:
Artinya : Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.Hakam ialah juru pendamai. (QS. An-Nisa: 35). Dalam
ajaran
Islam
istilah
Ishlah
adalah
memutuskan
suatu
persengketaan, sedangkan menurut istilah Ishlah adalah suatu akad dengan 44
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011) h. 53 45
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2011), h. 119. 46
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 789
42
maksud mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang. Yang maksud disini adalah mengakhiri suatu persengketaan dengan perdamaian karena Allah mencintai
perdamaian.
Dengan
demikian,
pertentangan
itu
apabila
berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, untuk itu maka Ishlah mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah pertentangan.47 Kewajiban hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang berperkara adalah sejalan dengan tuntutan ajaran Islam. Ajaran Islam memerintahkan agar menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi diantara manusia sebaiknya diselesaikan dengan jalan perdamaian (islah).48 Peran dalam mendamaikan para pihak-pihak yang bersengketa itu lebih utama dari fungsi hakim yang menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara yang diadilinya. Usaha mendamaikan pihak-pihak yang berperkara itu merupakan perioritas utama dan dipandang adil dalam mengakhiri suatu sengketa, sebab mendamaikan itu dapat berakhir dengan tidak terdapat siapa yang kalah dan siapa yang menang, tetap terwujudnya kekeluargaan dan kerukunan.49 Tentang hal yang berhubungan dengan perceraian dikemukakan dalam Pasal 65 dan 82 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 39 Undang47
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara Di Pengadilan Agama, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Ekonomi, 2010), Cet-1, h. 31 48
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000) h. 151 49
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 151
43
undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam Pasal-Pasal ini dikemukakan bahwa hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha hakim mendamaikan para pihak-pihak yang berperkara itu dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Dalam upaya mendamaikan itu hakim wajib menghadirkan pihak keluarga atau tetangga dekat pihak-pihak yang berperkara untuk didengar keterangannya dan meminta bantuan mereka agar pihak-pihak yang berperkara rukun kembali.50 E. Mediator 1. Peran dan Fungsi Mediator Mediator memiliki peran menentukan dalam suatu proses mediasi. Gagal tidaknya mediasi juga sangat ditentukan oleh peran yang ditampilkan mediator. Ia berperan aktif dalam menjembatani sejumlah pertemuan antara para pihak. Desain pertemuan, memimpin dan mengendalikan pertemuan, menjaga keseimbangan proses mediasi dan menuntut para pihak mencapai suatu kesepakatan merupakan peran utama yang harus dimainkan oleh mediator. 51 Mediator sebagai pihak ketiga yang netral melayani kepentingan para pihak yang bersengketa. Mediator harus membangun interaksi dan
50
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 151 51
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 77
44
komunikasi yang positif. Tindakan seperti ini amat penting dilakukan mediator dalam rangka mempertahankan proses mediasi. Komunikasi dan interaksi dapat dilakukan mediator secara terbuka dan dihadiri bersama oleh para pihak. Dalam memimpin pertemuan yang dihadiri kedua belah pihak, mediator berperan mendampingi, mengarahkan dan membantu para pihak untuk membuka komunikasi positif dua arah, karena lewat komunikasi yang terbangun akan memudahkan proses mediasi selanjutnya. Pada peran ini mediator harus menggunakan bahasa-bahasa yang santun, lembut dan tidak menyinggung para pihak, sehingga para pihak terkesan rileks dalam berkomunikasi satu sama lain. 52 Menurut Fuller, mediator memiliki beberapa fungsi yaitu, katalisator, pendidik, penerjemah, narasumber, penyandang berita jelek, agen realitas. Fungsi sebagai katalisator diperlihatkan dengan kemampuan mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi dialog atau komunikasi diantara para pihak dan bukan sebaliknya, yakni menyebar terjadinya salah pengertian dan polarisasi di antara para pihak. Mediator berperan sebagai penerjemah, mediator juga juga harus berusaha dalam menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya melalui bahasa, atau ungkapan yang enak di dengar oleh pihak lainnya, tetapi tanpa mengurangi maksud dan sasaran yang hendak dicapai.53
52
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
78 53
Takdir Rahmadi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2011), h. 15
45
Dalam praktik sering ditemukan sejumlah peran mediator yang muncul ketika proses mediasi berjalan. Peran tersebut, antara lain: a. Menumbuhkan dan mempertahankan kepercayaan diri antara para pihak; b. Menerangkan proses dan memndidik para pihak dalam hal komunikasi dan menguatkan suasana yang baik; c. Membantu para pihak untuk menghadapi situasi atau kenyataan; d. Mengajar para pihak dalam proses keterampilan tawar-menawar; dan e. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting, dan menciptakan pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem.54 Dengan adanya kewajiban untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa yang berada di pengadilan tingkat pertama, maka peran hakim sebagai mediator sangat menentukan. Hakim mediator tidak saja harus menguasai norma-norma yang tertulis dalam PERMA tentang mediasi. Hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif, namun dalam tugas mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, selama ini hakim bersifat pasif. Tanggung jawab hakim yang tadinya hanya sekedar memutuskan perkara, namun dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung tentang Mediasi tersebut, kini berkembang menjadi mediator yang mendamaikan pihak-pihak yang berperkara sebagai penengah.55
54
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 79 55
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara Di Pengadilan Agama, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Ekonomi, 2010), Cet-1, h. 41
46
Dalam rangka mewujudkan proses sederhana, cepat dan murah sesuai dengan asas Hukum Acara Perdata, pasal 130 HIR menyebutkan apabila pada hari sidang yang ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim berkewajiban untuk mendamaikan mereka. Pasal 130 HIR yang mengatur upaya perdamaian masih dapat diintensifkan. Caranya dengan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur perkara. Dalam pasal 2 Ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mewajibkan hakim sebagai mediator dan para pihak mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi.Peran hakim dalam pemeriksaan di Pengadilan tidak hanya harus menguasai normanorma yang tertulis dalam PERMA, tetapi jiwa PERMA itu sendiri.Hakim pemeriksa harus bertanggung jawab menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam PERMA, tidak hanya sekedar memenuhi syarat formal.56 Tugas hakim yang menjalankan fungsi sebagai mediator berdasarkan PERMA, sebagai berikut: mediator wajib mempersiapkan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati. Kemudian, mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi. Selanjutnya, apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus dan mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri, menggali, kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. Tujuan tersebut menjelaskan tugas-tugas 56
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara Di Pengadilan Agama, h. 41
47
mediator sehingga proses mediasi yang dipimpinnya dapat berjalan dengan baik. Selain itu, dapat mendorong para pihak yang bersengketa untuk mencoba menyelesaikan sengketa dengan damai sehingga tercapai suatu kesepakatan bersama.57 Peran mediator ini hanya mungkin diwujudkan bila ia mempunyai sejumlah keahlian (skill). Keahlian ini diperoleh melalui sejumlah pendidikan, pelatihan (training) dan sejumlah pengalaman dalam menyelesaikan konflik atau sengketa. Mediator sebagai pihak yang netral dapat menampilkan peran sesuai dengan kapasitasnya. Mediator dapat menjalankan perannya mulai dari peran terlemah sampai peran terkuat. Berikut akan dikemukakan sejumlah peran mediator yang dikategorikan dalam peran lemah dan peran kuat. Peran-peran ini menunjukan tinggi rendahnya kapasitas dan keahlian (skill) yang dimiliki oleh seorang mediator.58 Mediator menampilkan peran yang lemah, bila dalam proses mediasi ia hanya melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Menyelenggarakan pertemuan; b. Memimpin diskusi rapat; c. Memelihara atau menjaga aturan agar proses perundingan berlangsung secara baik; 57
58
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara Di Pengadilan Agama, h. 41
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 80
48
d. Mengendalikan emosi para pihak; dan e. Mendorong
pihak/perundingan
yang
kurang
mampu
atau
segan
mengemukakan pandangannya.59 Sedangkan mediator menampilkan peran kuat, ketika dalam proses mediasi ia mampu melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Mempersiapkan dan membuat notulensi pertemuan; b. Merumuskan titik temu atau kesepakatan dari para pihak; c. Membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukanlah sebuah pertarungan
untuk
dimenangkan,
tetapi
sengketa
tersebut
harus
diselesaikan; d. Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah; e. Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah; f. Membujuk para pihak untuk menerima usulan tertentu dalam rangka penyelesaian sengketa.60 g. Mediator harus mampu berperan untuk menghargai apa saja yang dikemukakan kedua belah pihak, dan mediator juga harus menjadi pendengar yang baik dan mampu mengontrol kesan buruk sangka, mampu
59
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
81 60
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 81
49
berbicara netral.61 Peran-peran diatas harus diketahui secara baik oleh seorang yang akan menjadi mediator dalam dalam penyelesaian sengketa. Mediator harus berupaya melakukan yang terbaik agar proses mediasi berjalan maksimal, sehingga para pihak merasa puas dengan keputusan yang mereka buat atas atas bantuan mediator.62 2. Keterampilan dan Bahasa Mediator a. Keterampilan Mediator Keterampilan
seorang
mediator
sangatlah
diperlukan
demi
keberhasilan mediasi yang dilakukannya. Mediator dalam menjalankan mediasi harus memiliki keterampilan, yaitu keterampilan mendengarkan, keterampilan membangun, keterampilan membangun rasa memiliki bersama, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan meredam ketegangan, dan keterampilan merumuskan kesepakatan.63 1) Keterampilan mendengarkan Keterampilan mendengarkan amat penting bagi mediator dari keterampilan mendengarkan inilah akan muncul kepercayaan dari para pihak bahwa mediator benar-benar memahami dan mendalami 61
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara di Pengadilan, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Ekonomi, 2010), Cet-1, h. 46 62
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 82 63
91
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
50
persoalan mereka.mediator akan diterima para phak sebagai juru damai, karena ia mampu menunjukan keseriusan dan kemampuannya memahami para pihak. Diterimanya mediator oleh para pihak, akan memudahkan membangun kekuasaan sebagai mediator. Kekuasaan ini bukan untuk mendominasi dan menekan para pihak akan tetapi menerima tawaran solusi, tetapi menciptakan ruang yang aman dalam membangun komunikasi konstruktif. Keterampilan atau keahlian mendengar dibagi kedalam tiga bagian yaitu keahlian menghadiri (attending skills), keahlian mengikuti (following skills), dan keahlian merefleksi (reflecting skills). Keterampilan menghadiri berkaitan erat dengan keberadaan mediator dengan para pihak, baik secara fisik maupun psikologis. Keterampilan
mengikuti
berkaitan
dengan
kemampuan
mediator memahami para pihak, yang tercermin dengan pemberian isyarat, tidak memotong pembicaraan, memberikan dorongan, membuat catatan, mengajukan pertanyaan dan sedikit menahan diri dalam memberikan saran. Sedangkan keahlian merefleksi berkaitan erat dengan kemampuan mediator memberikan tanggapan kepada pembicara, dan mengulang kembali dengan bahasa lain.64 2) Keterampilan Membangun Rasa Memiliki Bersama
64
91
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
51
Keterampilan membangun rasa memiliki bersama dimulai dengan sikap empati yang ditunjukan mediator terhadap persoalan yang dihadapi para pihak. Mediator terhadap persoalan yang dihadapi para pihak.Mediator harus mengetahui, mengidentifikasi, dan memahami perasaan yang dialami oleh pihak yang bersengketa. Mediator menumbuhkan rasa memiliki bersama dengan para pihak, guna merumuskan berbagai solusi atas berbagai persoalan mereka. Membangun rasa memiliki bersama dapat dilakukan mediator dengan
menjernihkan
berbagai
persoalan,
mengidentifikasi
keprihatinan bersama, dan menitik beratkan pada kepentingan kedua belah pihak. 3) Keterampilan Memecahkan Masalah Keterampilan yang paling esensial dalam proses mediasi adalah keterampilan memecahkan masalah. Karena inti dari mediasi adalah menyelesaikan persengketaan yang terjadi antara para pihak. Dalam memecahkan masalah mediator melakukan beberapa langkah penting berupa; mengajak para pihak untuk fokus pada hal-hal positif, fokus pada persamaan kepentingan dan kebutuhan, fokus pada penyelesaian masalah untuk masa depan, memperlunak tuntutan, ancaman dan penawaran terakhir, dan mengubah suatu permintaan atau posisi absolute menjadi suatu bentuk penyelesaian. 4) Keterampilan Meredam Ketegangan
52
Dalam menjalankan proses mediasi mediator harus memahami bahwa kemarahan merupakan hal alamiah yang tidak dapat disembunyikan oleh para pihak, apalagi ketika keduanya berhadapan satu sama lain. Menghadapi kondisi ini mediator harus mampu meredam ketegangan, sehingga proses mediasi dapat berjalan kembali sebagaimana mestinya. Mediator dapat mengambil sejumlah tindakan yang merupakan keterampilan dalam mengelola dan meredam kemarahan dari kedua belah pihak yang bersengketa. Mediator harus memposisikan diri sebagai
penengah
dan
tempat
para
pihak
menumpahkan
kemarahannya. Mediator harus mencegah pengungkapan kemarahan tidak secara langsung ditunjukan kepada masing-masing pihak, tetapi mereka harus menyatakan kemarahannya dihadapan mediator.65 Jadi, pengungkapan kemarahan para pihak harus ditanggapi positif
dan
tenang
oleh
seorang
mediator,
karena
melalui
pengungkapan kemarahan akan dapat ditemukan esensi atau penyebab utama terjadi sengketa diantara para pihak. 5) Keterampilan Merumuskan Kesepakatan Ketika para pihak sudah mencapai kedepakatan dalam mediasi, maka tugas mediator adalah harus merumuskan kesepakatan tersebut dalam bentuk tertulis. Dan mediator mengajak para pihak secara
65
99-100
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
53
bersama-sama memberi tanggapan, apakah kesepakatan tersebut sudah sesuai dengan pembicaraan yang telah berlangsung, apakah sudah mencakup hal yang esensial ataukah mereka bersedia untuk melaksanakannya. Bila para pihak telah memahami rumusan kesepakatan dengan baik dan mereka akan melaksanakannya, maka kedua belah pihak dapat membubuhkan tandatangannya. Dengan penandatanganan kesepakatan tersebut, maka secara formal proses mediasi sudah selesai.66 b. Bahasa Mediator Dalam
menciptakan
jalannya
mediasi
dengan
baik
perlu
diperhatikan juga bahasa yang baik dari mediator. Mediator harus memiliki keterampilan menggunakan bahasa yang baik dan sederhana dalam memediasi kedua belah pihak. Bahasa yang baik adalah bahasa mediator yang mampu membawa para pihak nyaman berkomunikasi dengan mediator, sehingga para pihak merasakan kehadiran mediator cukup penting di tengah-tengah mereka. Ketidaktepatan bahasa yang digunakan mediator dapat mengancam gagalnya mediasi. Bahasa-bahasa yang santun, lembut dan memelas pada taraf tertentu sangat dibutuhkan, demi memperlancar kegiatan mediasi. Kemampuan mediator memilih kata, kalimat, dan istilah-istilah yang
66
94
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
54
lazim dipakai para pihak yang bersengketa akan mempermudah mediator membawa para pihak membuat kesepakatan-kesepakatan. Kemampuan
menyusun
kalimat-kalimat
netral
memerlukan
pemikiran serius dan latihan yang terus-menerus, sehingga mediator peka dan cepat tanggap untuk melakukan penyesuaian kalimat tersebut. Oleh karena itu, training dan praktik simulasi akan sangat membantu mediator dalam
mempertajam
kemampuannya
dalam
berkomunikasi
dan
menetralkan pernyataan-pernyataan dari para pihak.67 c. Kewenangan dan Tugas Mediator Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang mediator, mediator juga mempunyai sejumlah kewenangan dan tugas-tugas dalam mediasi. Mediator diberikan kewenangan oleh para pihak melakukan tindakan dalam rangka memastikan bahwa mediasi sudah berjalan sebagai mestinya. Mediator juga dibekali dengan sejumlah tugas yang harus dilaksanakan mulai dari awal sampai akhir proses mediasi. Kewenangan mediator terdiri atas: 1) Mengontrol proses dan menegaskan aturan dasar. Mediator berwenang mengontrol proses mediasi sejak awal sampai akhir. Mediator juga mengawasi sejumlah kegiatan tersebut melalui penegakan aturan mediasi yang telah disepakati. Dan mediator
67
109
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
55
memiliki kewenangan untuk mengajak para pihak kepada kesepakatan awal, jika salah satu pihak melanggar kesepakatan sebelumnya. Misalnya, pada tahap pertemuan pertama disepakati bahwa para pihak tidak akan melakukan interupsi (menyela), ketika salah satu pihak melakukan interupsi/menyela, maka mediator berwenang menegaskan aturan tersebut. 2) Mempertahankan struktur dan momentum dalam negoisasi Mediator berwenang menjaga dan mempertahankan struktur dan momentum dalam negoisasi. Esensi mediasi terletak pada negoisasi, di mana para pihak diberikan kesempatan melakukan pembicaraan dan tawar-menawar kepentingan, dan pilihan-pilihan yang mungkin dicapai. Dalam hal ini mediator menjaga dan mempertahankan struktur negosiasi yang dibangun tersebut.68 3) Mengakhiri proses bilamana mediasi tidak produktif lagi Dalam proses mediasi sering ditemukan para pihak sangat sulit berdiskusi secara terbuka. Mereka mempertahankan prinsip secara ketat dan kaku, terutama pada saat negosiasi. Ketika mediator melihat para pihak tidak mungkin lagi diajak kompromi dalam negosiasi, maka mediator berwenang menghentikan proses mediasi. Mediator dapat menghentikan proses mediasi untuk sementara waktu atau penghentian
68
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 83
56
untuk selamanya (mediasi gagal). Ada dua pertimbangan penghentian mediasi yang dilakukan oleh mediator. Pertama, ia menghentikan proses mediasi untuk sementara waktu, guna memberikan kesempatan kepada para pihak memikirkan kembali tawar-menawar kepentingan dalam menyelesaikan perkara. Kedua, mediator menghentikan proses mediasi dengan pertimbangan hampir dapat dipastikan tidak ada celah yang mungkin dimasuki untuk diajak negosiasi dari kedua belah pihak.69 Adapun yang menjadi tugas seorang mediator adalah: 1) Melakukan diagnosis konflik Tugas pertama yang dilakukan mediator adalah mendiagnosis konflik atau
sengketa.
pramediasi,
Mediator
yang
persengketaan,
dapat
bertujuan
latar
mendiagnosis
untuk
belakang
sengketa
mengetahui
penyebabnya
dan
sejak
bentuk-bentuk akibat
dari
persengketaan bagi para pihak. Atas dasar diagnosis sengketa, mediator dapat menyusun langkah negosiasi, mencari alternatif solusi, mempersiapkan pilihan yang mungkin ditawarkan kepada kedua belah pihak dalam penyelesaian sengketa. 2) Mengidentifikasikan masalah serta kepentingan-kepentingan kritis para pihak Mediator juga mengarahkan para pihak untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka dalam persengketaan tersebut. 69
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 86
57
Dalam prakteknya, para pihak menyampaikan secara sistematis dan runtut pokok sengketa dan kepentingan masing-masing. Oleh karena itu
mediator bertugas mengidentifikasi dan menyusun secara
sistematis pokok persengketaan dan kepentingan masing-masing pihak. Identifikasi dan sistematika ini sangat penting untuk menjadi pedoman para pihak dalam proses mediasi. Sistematika ini juga akan memudahkan mediator dalam menyusun sejumlah agenda. 3) Menyusun agenda Dalam agenda mediasi memuat sejumlah hal antara lain: waktu mediasi, durasi waktu tiap pertemuan, tempat mediasi, para pihak yang hadir,
mediator,
metode
negosiasi,
persoalan
pokok
yang
dipersengketakan dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh kedua belah pihak. 4) Memperlancar dan mengendalikan komunikasi Mediator bertugas membantu para pihak untuk memudahkan komunikasi mereka, karena dalam prakteknya banyak ditemukan para pihak malu dan segan untuk mengungkap persoalan dan kepentingan mereka. Sebaliknya, banyak juga para pihak yang terlalu berani menyampaikan pokok sengketa dan tuntutannya, sehingga kadangkadang menyinggung pihak lain. Dan ini tentunya akan menghambat proses mediasi, dan disinilah mediator harus mampu mengendalikan komunikasi para pihak.
58
5) Mediator harus menyusun dan merangkaikan kembali tuntutan (positional claim) para pihak, menjadi kepentingan sesungguhnya dari para pihak. 6) Mediator bertugas mengubah pandangan egosentris masing-masing pihak menjadi pandangan yang mewakili semua pihak. 7) Mediator bertugas menyusun proposisi mengenai permasalahan para pihak dalam bahasa dan kalimat yang tidak mnonjolunsur emosional dan ia juga dapat menyusun sejunlah pertanyaan yang dapat meyakinkan para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka secara adil dan terbuka.70 Mengenai tugas-tugas mediator ini dalam PERMA No.1 Tahun 2008 dalam pasal 15 yang dirangkum dalam 4 pasal yaitu: 1) Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati. 2) Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi. 3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. 4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.71
70
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h.
71
PERMA No. 1 Tahun 2008, Pasal 15 Tugas-Tugas Mediator
86
BAB III PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
A. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bermula dari surat ketetapan Komisaris Jendral Hindia Belanda tanggal 12 Maret 1828 Nomor 17, khusus untuk Batavia dibentuk satu majlis distrik yang berwenang menyelesaikan semua sengketa
keagamaan, soal perkawinan dan
warisan. Memang sangat mungkin Pengadilan Agama sudah ada jauh sebelum itu, namun pengakuan pertama secara resmi oleh pemerintah kolonial Belanda adalah pada tahun 1828 tersebut. Majlis distrik ini dipimpin oleh Komandan distrik sebagai Ketua dibantu oleh para Penghulu dan Kepala Wilayah sebagai anggota. Majlis distrik ini pulalah yang menandai awalnya berdirinya pengadilan agama Jakarta sebagai badan peradilan yang terkait dan berada dalam sistem pemerintahan dan ketata-negaraan secara formal dengan yuridiksi meliputi seluruh wilayah Batavia, meestercornelis (Jatinegara), Bekasi dan Cikarang.1 Letak kantor Pengadilan Agama Jakarta, sejak awal didirikan, sampai saat ini belum ada informasi yang pasti dan jelas bahwa sampai tahun 1942 dalam dokumen tersebut yang tersimpan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Nama Pengadilan Agama Jakarta menggunakan nama Raad Agama Meester Cornelis. Dari dokumen ini pula dapat diperoleh informasi bahwa yuridiksi Raad Agama Meester Cornelis meliputi kota Praja Meester Cornelis yang mewilayahi 1
http://pa-jakartapusat.go.id, diakses pada tanggal 03 Februari 2015
59
60
kawedanan Meester Cornelis sendiri, kewadenan Kebayoran, Kewadenan Bekasi dan Kewadenan Cikarang serta seluruh wilayah Kota Praja Batavia.2 Pada tanggal 17 Januari 1967 dengan Keputusan Menteri Agama No. 4 Tahun 1967 tertanggal 17 Januari 1967, bernama Pengadilan Agama Istimewa Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya yang daerah hukumnya meliputi wilayah Kekuasaan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya dan sebagai sekaligus Pengadilan Agama Jakarta Pusat, berkedudukan di Jalan K.H. Mas Mansur, Gg. H. Awaludin II/2 Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pada awalnya, dahulu, Pengadilan Agama Jakarta Pusat bernama Majlis Distrik sebagaimana nama awal pada saat didirikan oleh Kolonial Belanda pada tahun 1828 yang kemudian bernama Priesterraad atau Penghoeloegerecht atau Raad Agama berdasarkan stb 1882 no. 152. Selanjutnya Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang merupakan penerus dan pelanjut bagi Pengadilan Agama Jakarta sebagaimana tersebut dalam Keputusan Menteri Agama RI No. 4 Tahun 1967, maka sejak tanggal 17 Januari 1967 Pengadilan Agama Jakarta Pusat bernama Pengadilan Agama Istimewa Daerah KhususIbu Kota Jakarta Raya sebagai Pengadilan induk yang memiliki empat kantor cabang Pengadilan. Oleh karena Majelis Distrik didirikan berdasarkan ketetapan komisaris Jendral Hindia Belanda No. 17 tanggal 12 Maret 1828, maka selayaknya tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari kelahiran Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 2
http://pa-jakartapusat.go.id, diakses pada tanggal 03 Februari 2015
61
Adapun para tokoh yang pernah memimpin Pengadilan Agama Jakarta sebelum kemerdekaan sampai saat ini yang dapat diketahui adalah Presiden Raad Agama periode 1920 sampaidengan 1946, yakni: 1. K.H. Abdul Aziz. dan, 2. H.H. Abdul Mutholib. Hakim-hakim anggota terdiri dari K.H. Muhammad Enceng, K.H. Muhammad, K. H. Abdul Halimdan K.H. Abdullah. Ketua Presiden (Ketua) Raad Agama dan Para hakim Agama tersebut saat ini belum diketahui identitas lengkap dan riwayat hidupnya. Oleh karena itu kepada siapa saja yang mengetahui, diharap dapat menyampaikan kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk diabadikan dalam tulisan ini.3
B. Fasilitas Pengadilan Agama Jakarta Pusat 1. Website www.pa-jakartapusat.go.id, merupakan Website Resmi Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang berisi informasi umum tentang layanan Pengadilan Agama Jakarta Pusat terhadap para masyarakat pencari keadilan. Disini para pihak yang berperkara dapat mendapatkan info perkara yang telah didaftarkan berupa informasi jadwal sidang, infomasi perkara, akte cerai dsb. 2. Ruangan Kantor Pengadilan Agama Jakarta Pusat terdiridari 2 (dua) Lantai : 3
http://pa-jakartapusat.go.id, diakses pada tanggal 03 Februari 2015
62
Lantait.I
terdapat
3
(tiga)
Ruang
Sidang,
Ruang
Tunggu,
Meja
Informasi/Pengaduan, Ruang Pendaftaran, Ruang Kasir dan Pengembalian Sisa Panjar, Ruang Posbakum, Ruang Mediasi, Meja Resepsionis, Ruang Sekretariat, Ruang Wakil Sekretaris, Ruang Bendahara, Ruang Kepaniteraan, Ruang Wakil Panitera. Lt. II terdapat Ruang Ketua, Ruang Wakil Ketua, Ruang Panitera, Ruang Sekretaris, Ruang Hakim, Ruang Panitera Pengganti, Ruang Jurusita, Ruang Rapat, Ruang Serbaguna, Ruang Server dan Pantry. 3. Counter Bank Syariah Mandiri Untuk mempermudah para pencari keadilan untuk membayar biaya perkara, maka Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengadakan kerjasama dengan Bank Syariah Mandiri Cabang Hasanuddin Jakarta. 4. Posbakum (Pos Bantuan Hukum) Posbakum Pengadilan adalah layanan yang dibentuk oleh dan ada pada setiap pengadilan tingkat pertama untuk memberikan layanan hukum berupa informasi, konsultasi, pencatatan dan pelaporan layanan hukum bagi masyarakat yang kurang mampu dalam register yang dilakukan oleh petugas Pengadilan. Pada setiap pengadilan berisi segala informasi dan data yang berhubungan dengan permintaan dan pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu.4
4
www.google.com, pn-pariaman.go.id, diakses pada tanggal 10 Februari 2015
63
5. Meja Informasi. Meja informasi yang sejatinya merupakan unit layanan informasi bagi masyarakat. adapun fungsi meja informasi sebagai komunikator, yakni orang yang memberikan informasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Pengadilan dan pencari keadilan. Dikaitkan dengan keberadaan meja informasi di Pengadilan, petugas meja informasi akan memberikan penjelasan kepada calon pencari keadilan kelengkapan berkas gugatan atau permohonan, meneruskan berkas yang telah disiapkan oleh pencari keadilan, dan membantu masyarakat yang membutuhkan informasi-informasi dari Pengadilan. Dan kegunaan meja informasi juga dapat menginformasikan secara jelas kepada masyarakat tentang penyampaian keluhan atau pengaduan serta bagaimana keluhan tersebut akan ditangani oleh Pengadilan.5
C. Bagan Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Pusat Bagan struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Pusat sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 19966
5
www.pa-batusangkar.go.id, diakses pada tanggal 10 Februari 2015
6
http://pa-jakartapusat.go.id, diakses pada tanggal 03 Februari 2015
64
Ketua Dra. Hj.Rokhanah, SH., MH. Hakim Dra. Hj. Rosmida M. Noor, SH. Dra. Hj. Saniyah KH. Dra. Hj. Nurroh Sunah, SH. Dra. Istiana, MH. Dra. Hj. Taslimah, MH Hj. Suciati, SH. Drs. H. Azid Izuudin, MH. Drs. H. Ahmad Manshur Noor Drs. Sarnoto, MH. Drs. H. Munadi, MH.
Wakil Ketua Drs. H.M. Turchan Badri, SH., MH.
Panitera/Sekertaris Drs. H. Ujang, SH., MH.
Wakil Panitera Hj. Ghaizar Fau’ah, SH., MH.
Wakil Sekertaris Suhendra, S.Sos., MM.
Panitera Muda Gugatan Nova Asrul Lutfi, SH.
Kepala Urusan Kepegawaian Jusriah Rieuwpasa, SHI.
Penitera Muda Permohonan Bangbang SP, SH., SPI., MH.
Kepala Urusan Keuangan Titi Khotimah, SH. Nurwilis, SH.
Penitera Muda Hukum Ruslan, SH., MH.
Kepala Urusan Umum Haryanti, SH. Oebaydillah, S.Ag. Hiram Sulistio, S. S.Kom. Adi Praswara Ary, SH., MH.
Panitera Pengganti Dra. Mulyahefni Muhamad Fahat, SH. Ikbal Basry, SH. Zaelani Azis, SH., MH. Endang Bahtiar, SH., MH. Susilowati, SH., MH. Runie Handayani, SH., MH. Susilowati, SH., MH. Runie Handayani, SH., MH. M. Yasin, SH. Tratna Dewy SAT, SH., MH. Moh. Dudi Wahyudi K, SH., MH. Amrullah, SH.
Juru Sita Wadinah
Jurusita Pengganti Sri Mahanum Budi Sukirno Magdalena Hutagaol Muhammad Iqbal Yunus, SHI., MH. Elik Korniawati, SH. MH. Fita Alfiany ARP. S.Kom Budy Setyo Rini, SH. Nurhidayah Megawati, SH. Achmad Fadli, A.Md. Nyayu Asha DellaSati. A.Md. Muhammad Muchram Ruslani
65
D. Visi dan Misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat Visi Pengadilan Agama Jakarta Pusat : “Mewujudkan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Yang Agung” Misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat: 1. Mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, biaya ringan dan transparasi. 2. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Aparatur Peradilan dalam rangka peningkatan pelayanan pada masyarakat. 3. Melaksanakan pengawasan dan pembinaan yang efektif dan efisien. 4. Melaksanakan tertib administrasi dan manajemen peradilan yang efektif dan efisien. 5. Mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana peradilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.7
E. Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Pusat 1. Kewenangan Relatif Pengadilan Agama Jakarta pusat Pengadilan Agama Jakarta Pusat memiliki wilayah yuridiksi relatif yang meliputi 8 kecamatan dan 44 kelurahan antara lain : a. Kecamatan Gambir 1) Kelurahan Gambir 2) Kelurahan Kebon Kelapa 3) Kelurahan Petojo Selatan 7
http://pa-jakartapusat.go.id, diakses pada tanggal 03 Februari 2015
66
4) Kelurahan Duri Pulo 5) Kelurahan Cideng 6) Kelurahan Petojo Utara b. Kecamatan Tanah Abang 1) Kelurahan Bendungan Hilir 2) Kelurahan Karet Tengsin 3) Kelurahan Kebon Melati 4) Kelurahan Kebon Kacang 5) Kelurahan Kampung Bali 6) Kelurahan Petamburan c. Kecamatan Menteng 1) Kelurahan Menteng 2) Kelurahan Pegangsaan 3) Kelurahan Cikini 4) Kelurahan Kebon Sirih 5) Kelurahan Gondangdia d. Kecamatan Senen 1) Kelurahan Senen 2) Kelurahan Kwitang 3) Kelurahan Kenari 4) Kelurahan Paseban 5) Kelurahan Kramat
67
6) Kelurahan Bungur e. Kecamatan Cempaka Putih 1) Kelurahan Cempaka Putih Timur 2) Kelurahan Cempaka Putih Barat 3) Kelurahan Rawasari f. Kecamatan Johar Baru 1) Kelurahan Galur 2) Kelurahan Tanah Tinggi 3) Kelurahan Kampung Rawa 4) Kelurahan Johar Baru g. Kecamatan Kemayoran 1) Kelurahan Gunung Sahari Selatan 2) Kelurahan Kemayoran 3) Kelurahan Kebon Kosong 4) Kelurahan Harapan Mulya 5) Kelurahan Cempaka Baru 6) Kelurahan Utan Panjang 7) Kelurahan Sumur Batu 8) Kelurahan Serdang h. Kecamatan Sawah Besar 1) Kelurahan Pasar Baru 2) Kelurahan Gunung Sahari Utara
68
3) Kelurahan Mangga Dua Selatan 4) Kelurahan Karang Anyar 5) Kelurahan Kartini8 2. Yuridiksi (Kewenangan) Absolut Pengadilan Agama Jakarta Pusat Yuridiksi absolut yakni kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam pemberdaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan lainnya.9 Yuridiksi absolut Pengadilan Agama sesuai dengan Pasal 49 UndangUndang No. 7 Tahun 1989 yang diamandemenkan dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 disebutkan: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh dan, ekonomi syariah”.10 Perkara yang paling banyak ditangani oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat adalah perkara perceraian, hal ini dapat dilihat dari laporan rekapitulasi perkara yang di tangani oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada tahun 2012- 2014 yakni :
8
http://pa-jakartapusat.go.id, diakses pada tanggal 03 Februari 2015
9
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), h.
139 10
www.google.com, digilib.uinsby.ac.id, diakses pada tanggal 26 Februari 2015
69
Tabel 3.1 Laporan rekapitulasi perkara yang di tangani oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada tahun 2012- 2014 No
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total
Jumlah Perkara 2012 2013 91 Perkara 99 Perkara 105 Perkara 118 Perkara 231 Perkara 106 Perkara 88 Perkara 113 Perkara 111 Perkara 140 Perkara 114 Perkara 99 Perkara 110 Perkara 272 Perkara 88 Perkara 65 Perkara 75 Perkara 93 Perkara 115 Perkara 218 Perkara 118 Perkara 112 Perkara 837 Perkara 878 Perkara 2120 Perkara 2313 Perkara
2014 115 Perkara 97 Perkara 127 Perkara 111 Perkara 117 Perkara 151 Perkara 104 Perkara 100 Perkara 115 Perkara 138 Perkara 121 Perkara 453 Perkara 1749 Perkara
Grafik 3.1 Laporan rekapitulasi perkara yang di tangani oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada tahun 2012- 2014 Jumlah Perkara Tiap Tahun
2012 2013 2014
70
Dari tabel diatas bahwa perkara perceraian yang paling banyak ditangani oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat tahun 2012-2014. Dan dapat di rinci sesuai dengan jenis perkara, yaitu : Tabel 3.2 Jenis perkara ditangani oleh Pengadian Agama Jakarta Pusat Tahun 2012 No
Jenis Perkara
Jumlah Perkara
1
Perceraian
1124 Perkara
2
Isbat Nikah
943 Perkara
3
Kewarisan
14 Perkara
4
Dispensasi Kawin
8 Perkara
5
Penguasaan Anak
7 Perkara
6
Harta Bersama
5 Perkara
7
Izin Poligami
5 Perkara
8
Wali Adhal
4 Perkara
9
Pembatalan Perkawinan
1 Perkara
10
Nafkah Oleh Ibu
1 Perkara
11
Hibah
1 Perkara
12
Perwalian
7 Perkara 2120 Perkara
Tahun 2013 No
Jenis Perkara
Jumlah Perkara
1
Izin Poligami
4 Perkara
2
Pembatalan Perkawinan
5 Perkara
3
Perceraian
1176 Perkara
71
4
Harta Bersama
2 Perkara
5
Penguasaan Anak
8 Perkara
6
Perwalian
9 Perkara
7
Isbat Nikah
1088 Perkara
8
Dispensasi Kawin
4 Perkara
9
Wali Adhal
4 Perkara
10
Kewarisan
8 Perkara
11
Penetapan Ahli Waris
44 Perkara
12
Pengangkatan anak
1 Perkara
Total
2313
No
Tahun 2014 Jenis Perkara
Jumlah Perkara
1
Izin Poligami
4 Perkara
2
Pembatalan Perkawinan
1 Perkara
3
Perceraian
1309 Perkara
4
Harta Bersama
6 Perkara
5
Penguasaan Anak
6 Perkara
6
Perwalian
13 Perkara
7
Asal Usul Anak
1 Perkara
8
Isbat Nikah
347 Perkara
9
Dispensasi Kawin
7 Perkara
10
Wali Adhal
4 Perkara
11
Kewarisan
10 Perkara
12
Hibah
1 Perkara
13
Penetapan Ahli Waris
39 Perkara
14
Pengangkatan Anak
1 Perkara
Total
1749
72
Grafik 3.2 perkara perceraian Pengadian Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014 Chart Title
Tampak pada grafik di atas, Dapat disimpulkan, bahwa dari semua perkara yang paling banyak ditangani oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat setiap tahunnya adalah perkara perceraian.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Mediasi dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Mediasi di Pengadilan Agama adalah suatu proses usaha perdamaian antara suami dan istri yang telah mengajukan gugatan cerai, dimana mediasi ini dijembatani oleh seorang Hakim yang ditunjuk di Pengadilan Agama. 1 Pada praktiknya, proses mediasi ini dilakukan jika salah satu pasangan nikah ada yang tidak setuju untuk cerai. Jadi, jika yang mengajukan gugatan cerai si istri, tapi si suami menyatakan ia tidak mau bercerai pada saat sidang pertama, maka dilaksanakanlah acara mediasi tersebut. Dalam proses pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, pada sidang pertama, majelis hakim akan melengkapi berkas-berkas yang diperlukan dalam persidangan seperti, kelengkapan surat gugatan, surat kuasa, surat panggilan para pihak, dan sebagainya. Selanjutnya hakim akan menjelaskan bahwa sesuai prosedur dimana sebelum dijalankannya proses cerai maka para pihak diwajibkan mengadakan mediasi. Kemudian Hakim bertanya apakah para pihak mempunyai mediator ? jika tidak maka hakim akan menentukan seorang mediator untuk memimpin mediasi para pihak. Majelis hakim selanjutnya menentukan hakim lain untuk menjadi mediator dalam pelaksanaan mediasi
1
www.google.com, Mediasi, diakses pada tanggal Selasa, 27 January 2015
73
74
tersebut, mediasi dilakukan di ruang khusus di Pengadilan Agama. Mediator menjelaskan kepada para pihak peran seorang mediator dalam mediasi tersebut. Mediator membacakan identitas dari para pihak seperti nama, alamat, perkerjaan usia dsb. Lalu mediator meminta para pihak untuk masing masing menjelaskan apa permasalahan mereka sampai mereka datang ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Setelah dari masing-masing para pihak memberikan keterangan tentang permasalahan mereka kemudian mediator memberikan nasehat kepada para pihak yang ingin bercerai untuk mengurungkan niatnya. Dan juga menjelaskan bahwa sesungguhnya perceraian itu sangatlah di benci oleh Allah SWT. Umumya mediasi dilakukan maksimal 2 kali. Dan bila dalam mediasi tersebut tidak tercapai perdamaian/rujuk, maka barulah proses perceraian dapat dilaksanakan.2 Merujuk pada Pasal 7 Perma No. 1 Tahun 2008 tahap pra mediasi yaitu : 1. Pada hari sidang pertama yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara, dan Hakim mewajibkan para pihak agar lebih dulu menmpuh mediasi. 2. Hakim melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. 3. Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. 4. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam PERMA ini kepada para pihak yang bersengketa.
2
Hasil observasi penulis di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, pada tanggal 12 Januari 2015
75
Untuk tahap-tahap proses mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 yaitu : 1. Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, Hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator, termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan Hakim. 2. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 Ayat (5) dan (6). 3. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati. 4. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. 5. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.3 Untuk perkara perceraian, apabila dalam usaha mendamaikan para pihak yang bersengketa berhasil, gugatan harus dicabut. Namun, bila para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam masa 40 hari sejak para pihak memilih mediator, maka mediator wajib menyampaikan dan menyatakan secara tertulis bahwa mediasi telah gagal, dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada Hakim. 3
PERMA No. 1 Tahun 2008, Tentang Prosedur Mediasi
76
Dalam menjalankan proses mediasi, mediator diberikan kebebasan untuk menciptakan sejumlah peluang yang memungkinkan para pihak menemukan kesepakatan yang dapat diakhiri sengketa mereka. Mediator harus sungguhsungguh mendorong para pihak untuk memikirkan sejumlah kemungkinan yang dapat dibicarakan guna mengakhiri persengketaan. Jika dalam proses mediasi terjadi perundingan yang menegangkan, mediator dapat menghentikan mediasi untuk beberapa saat, guna meredam suasana agak lebih kandusif. Bahkan Pasal 9 ayat (1) PERMA memberikan kesempatan bagi mediator untuk melakukan kaukus. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya. Keputusan kaukus berada di tangan mediator, dan sebaiknya kaukus ini juga harus mendapat persetujuan dari para pihak.4 Proses mediasi di Pengadilan Agama mampu diterapkan untuk mencapai target dan tujuan secara maksimal. Kalau selama ini upaya mendamaikan pihakpihak dilakukan secara formalitas oleh hakim yang memeriksa perkara, tetapi sekarang majelis hakim wajib menundanya untuk memberi kesempatan kepada mediator mendamaikan pihak-pihak yang berperkara.Untuk perkara perceraian mediasi ini sebenarnya hanya sekedar formalitas saja, namun mediasi di Pengadilan Agama harus tetap dilakukan, karena apabila tidak dilakukan mediasi terlebih dahulu maka akan batal demi hukum.5
4
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 323 5
Hasil Wawancara Pribadi Dengan Bapak Sarnoto, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, pada Tanggal Senin, 12 Januari 2015
77
Di pengadilan Agama Jakarta Pusat mediasi biasanya dilakukan hanya memakan waktu 10-15 menit saja mediasi sudah selesai dilaksanakan.6 Untuk waktu yang singkat dalam memediasi para pihak yang bersengketa ini sudah tentu upaya perdamaian yang dilakukan tidak akan mendatangkan hasil yang maksimal dan bermanfaat kepada kedua belah pihak yang bersengketa.7 Sehubungan dengan hal ini, para hakim harus terpanggil hati nuraninya secara optimal untuk mengusahakan perdamaian, tidak hanya terjebak pada usaha mencari fakta kualitas perselisihan itu sendiri sedangkan ia tidak mengetahui faktor apa yang melatarbelakangi pertengkaran itu. Apalagi kalau para Hakim dalam mengusahakan perdamaian itu dilakukan hanya sepintas saja.8 Mengupayakan damai merupakan tugas yang melekat pada seorang hakim maupun mediator. Hakim melakukan upaya damai secara terus menerus dalam setiap proses pemeriksaan perkara yang ia tangani. Hakim mediator ditunjuk oleh Majelis Hakim atau oleh para pihak yang meminta untuk memediasikan perkara mereka. Hakim harus bersedia menjadi mediator, bila ia diminta para pihak untuk menyelesaikan perkara mereka melalui jalur mediasi. Mediasi di Pengadilan Agama juga tidak bisa terlepas dari peran mediator dalam mengupayakan perdamaian, untuk peran yang dimaksud di dalam PERMA 6
Hasil Wawancara Pribadi Dengan Bapak Sarnoto, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, pada Tanggal Senin, 12 Januari 2015 7
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 164 8
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h. 103
78
ini adalah mediator yang menjalankan tugasnya di Pengadilan, mediator yang bertugas dipengadilan dapat saja berasal dari hakim Pengadilan atau mediator dari luar Pengadilan, namun harus memiliki sertifikat sebagai mediator. Mediator yang berasal dari hakim adalah para hakim yang memiliki keterampilan yang diperoleh dengan melelui sejumlah training atau pelatihan, sedangkan mediator Non-Hakim adalah mereka yang memiliki keterampilan mediasi dan juga telah memiliki sertifikat dari Mahkamah Agung.9 Peran mediasi ini dalam perkara perceraian sangat penting dan bermanfaat untuk tercapainya perdamaian, dan untuk peran mediator ini juga diharapkan dapat membantu para pencari keadilan dalam menentukan sikap dan keinginannya dalam penyelesaian perkara.10 Mediasi ini sangat bermanfaat bagi para pihak yang bersengketa untuk mencapai perdamaian.11 Peran mediator juga dalam persidangan sangat penting apabila mediasi gagal maka akan dilanjutkan, dan apabila mediasi berhasil maka akan diputus berdasarkan kesepakatan.12 Dalam menampilkan perannya secara maksimal, sangat perlu mediator harus terlebih dahulu menjelaskan proses mediasi dan peranan mediator. 9
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 317 10
Hasil Wawancara Pribadi dengan Rosmida M, Noor, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pada Tanggal 01 Oktober 2014 11
Hasil Wawancara Pribadi dengan Isti’anah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pada Tanggal 01 Oktober 2014 12
Hasil Wawancara Pribadi dengan Azid Izuddin, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada tanggal 01 Oktober 2014
79
Meskipun salah satu atau kedua belah pihak cara kerja mediasi dan peranan mediator, akan sangat bermanfaat apabila mediator menjelaskan semuanya di hadapan kedua belah pihak dalam sebuah pertemuan. Penjelasan itu terutama berkaitan dengan identitas dan pengalaman mediator, sifat netral mediator, proses mediasi, mekanisme pelaksanaannya, kerahasiaannya dan hasil-hasil dari mediasi. Bila para pihak sudah memahami dengan sempurna mekanisme kerja mediasi, maka mediator akan lebih mudah menampilkan perannya secara lebih kuat dan sempurna.13 Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Pusat banyak yang berperan sebagai hakim mediator
yang belum mempunyai sertifikat dikarenakan belum ada
kesempatan, dan hanya mengikuti seminar pelatihan-pelatihan saja untuk menjadi mediator.14 Dan untuk mempermudah para pihak yang bersengketa dapat memilih hakim mediator, di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dipasang nama-nama hakim mediator di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, yaitu:
13
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 82 14
Hasil Wawancara Pribadi dengan Rosmida M, Noor, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pada Tanggal 01 Oktober 2014
80
Tabel 4.1 Daftar Mediator Hakim dan Non-Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.15 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Nama Dra. Hj. Rosmida M. Noor, SH., MH. Dra. Hj. Saniyah KH. Dra. Nurroh Sunah, SH. Dra. Isti’anah, MH. Drs. Azid Izuddin, MH. Dra. Hj. Taslimah, MH. Drs. Sarnoto, MH. Drs. H. ahmad Manshur Noor Drs. H. Imbalo, SH., MH. Hj. Suciati, SH. Drs. H. Zulkifli Rahman, SH., MH. Dra. Hj. Zubaidah Muchtar, MSi. Drs. H. M. Noor Dra. Hj. Sti Khodijah Jamal, MSi.
NIP 195009111976012001 195109161982032001 195608301978032001 196401011991032014 196207131993031003 196803141993032005 196712251994031005 195612161986031001 196012311991031024 195707141980032005 Mediator Non-Hakim Mediator Non-Hakim Mediator Non-Hakim Mediator Non-Hakim
No Sertifikat Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 42/8-P/BP4/XII/2010 15/IICT/TFP/2010 32/8-P/BP4/I/2011 52/I/BP4/I/2011
Dari nama-nama hakim mediator di atas, terdapat 14 hakim mediator, 10 diantaranya sebagai hakim mediator, dan 4 diantaranya mediator Non-Hakim yang berada di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Dan diantara 10 hakim mediator hanya ada 2 hakim saja yang sudah memiliki sertifikat mediator, dan ada 8 hakim mediator belum memiliki sertifikat dan mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Karena, belum ada kesempatan dan adanya pelatihan dari Mahkamah Agung yang belum merata.16 Diantara mediator Non-Hakim yang bersertifikat dan telah melakukan pelatihan mediator, namun pada kenyataannya keberhasilan dalam memediasi 15
16
Daftar Mediator, Sumber data diperoleh dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Hasil Wawancara Pribadi dengan Rosmida M, Noor, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pada Tanggal 01 Oktober 2014
81
tidak terkait dengan adanya sertifikat, tetapi berdasarkan kepada kemampuan seseorang dalam mengupayakan perdamaian. Maka dari itulah seorang mediator memerlukan proses yang panjang untuk menjadi negosiator. Negosiator juga memerlukan sejumlah keahlian atau skill yang akan membantu para pihak dalam benar-benar menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Skill tersebut dapat berupa kemampuan komunikasi, kemampuan mengajak para pihak ke meja perundingan, dan berbagai kemampuan lainnya.17 Dalam melakukan upaya perdamaian diantara kedua belah pihak yang bersengketa yaitu, dengan cara memberikan penjelasan keharusan adanya perdamaian. Khususnya bagi hakim mediator dapat melakukan tindakan untuk memaksimalkan hasil mediasi, diantaranya: 1. Mendalami dan menggali masalah atau persoalan yang dialami oleh kedua belah pihakyang bersengketa. 2. Mencari cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah mereka agar tercapainya perdamaian diantara mereka. 3. Diperlukan melibatkan keluarga dekat para pihak agar dapat membantu proses mediasi.18 Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang mediasi sebagai upaya mempercepat, mempermurah, dan mempermudah 17
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 10 18
Hasil Wawancara Pribadi dengan Rosmida M, Noor, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pada Tanggal 01 Oktober 2014
82
penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih besar kepada pencari keadilan. Mediasi merupakan instrument efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di Pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa.
B. Tingkat Keberhasilan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Penggunaan mediasi sebagai salah satu cara dalam penyelesaian sengketa dengan damai (win-win solution)19 ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor dengan adanya mediasi ini diharapkan dapat mengurangi menumpuknya perkara, dan memaksimalkan fungsi lembaga peradilan.20 Sehingga dengan cara mediasi kepentingan dan keinginan para pihak dapat
terkompromikan
dengan
kesepakatan-kesepakatan
yang
dapat
menguntungkan kedua belah pihak. Dalam masalah perceraian tidak mungkin harus menggunakan sistem penyelesaian sengketa diluar pengadilan, para pihak tetap harus mengikuti tahapan proses berperkara di persidangan pengadilan. Dalam perkara perceraian, mediasi ditemukan sebagai forum untuk mempertimbangkan kemungkinankemungkinan terjadinya ishlah diantara suami istri sehingga diharapkan diperoleh 19
Hasil Wawancara Pribadi dengan Isti’anah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pada Tanggal 01 Oktober 2014 20
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 311
83
suatu perubahan sikap diantara mereka dan perceraian sebagai alternatif penyelesaian masalah rumah tangga dapat diurungkan. Walaupun demikian dalam sengketa perceraian, kewajiban mendamaikan para pihak bersifat imperatif, dan Majelis Hakim harus memberi kesempatan para pihak untuk melakukan upaya damai di luar persidangan.21 Dalam hal perkara perceraian, maka apabila terjadi perdamaian tidak perlu dibuat akta perdamaian yang dikuatkan dengan putusan perdamaian, karena tidak mungkin dibuat suatu perjanjian/ketentuan yang melarang seseorang melakukan perbuatan tertentu, seperti melarang salah satu pihak meninggalkan tempat tinggal bersama, memerintahkan supaya tetap mencintai dan menyayangi, tetap setia, dan lain sebagainya. Karena hal-hal tersebut apabila diperjanjikan dalam suatu akta perdamaian dan kemudian dilanggar oleh salah satu pihak, maka akta perdamaian tersebut tidak dapat dieksekusi, selain itu akibat dari perbuatan itu dan tidak berbuatnya, tidak akan mengakibatkan terputusnya perkawinan, kecuali salah satu pihak mengajukan gugatan baru untuk perceraiannya.22 Keberhasilan mediasi diukur dari jumlah perkara perceraian yang dicabut. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:
21
Ali Muhtarom, Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian, diakses pada tanggal Rabu, 10 Desember 2014, www.badilag.net 22
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 165
84
Jenis Perkara Non Perceraian
Produk Mediasi Akta perdamaian
Perceraian
Kesepakatan rukun
Putusan/Penetapan
Ukuran Keberhasilan
Mentaati isi perdamaian
Jumlah perkara yang keluar akta perdamaian
Pencabutan
Jumlah perkara dicabut
yang
Dari indikasi tersebut untuk mengetahui prosentase perkara perceraian yang berhasil dimediasi dalam satu tahun menggunakan rumusan sebagai berikut23: X 100% Misalnya jumlah data yang diperoleh dari perkara perceraian yang diputus di Pengadilan Agama Jakarta Pusat selama tahun 2012 adalah 1124 perkara dan jumlah perkara perceraian yang berhasil dicabut adalah 90 perkara.24 Maka prosentasenya adalah: X 100 % = 8 % Maka dapat diketahui bahwa perkara perceraian yang berhasil dimediasi pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat selama tahun 2012 adalah sebesar 8 % dari semua perkara perceraian yang diputus. Pada tahun 2013 perkara perceraian yang dicabut adalah 104, dan perkara perceraian yang diputus adalah 1176. Maka 23
Ali Muhtarom, Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian, diakses pada tanggal Rabu, 10 Desember 2014, www.badilag.net 24
Sumber Data Diperoleh dari Situs Resmi Pengadilan Agama Jakarta Pusat, www.pajakartapusat.go.id Diakses Pada Tanggal 18 Februari 2015
85
prosentasenya sebesar 8 %. Dan pada tahun 2014 untuk perkara perceraian yang dicabut adalah 92, dan perkara perceraian yang diputus adalah 1309. Maka prosentasenya pada tahun 2014 sebesar 7 %.25 Dari perhitungan diatas dapat dilihat bahwa hasil mediasi pada tahun 20122014 di Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengalami penurunan. Hal ini menunjukan bahwa masih kurangnya penerapan mediasi yang bertujuan untuk menekan angka perceraian sebagaimana yang disebutkan didalam PERMA No. 1 Tahun 2008. Dalam hal ini hakim mediator memegang peranan penting dalam mendamaikan para pihak yang sedang berperkara. Keberadaan mediasi di pengadilan sangatlah diperlukan, karena: 1. Dapat mengurangi masalah penumpukan perkara. 2.
Merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses seluas mungkin kepada kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan, dan
3. Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses litigasi. Berperkara di peradilan bukanlah bertujuan untuk menentukan kalah dan menang, sebuah kewajiban bagi seorang hakim di pengadilan untuk mengupayakan seoptimal mungkin proses perdamaian bagi pihak-pihak yang 25
Sumber Data Diperoleh dari Laporan Perkara Yang Diputus Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2013-2014 Oleh Panitera Muda Hukum Bapak Ruslan
86
berperkara. Pada awalnya proses perdamaian dipengadilan dilakukan secara khusus pada persidangan pertama, dan hasil yang diperolehpun tidak maksimal.26 Pada umumnya sikap dan perilaku hakim dalam menerapkan pasal 130 HIR banyak bersifat formalitas semata, inilah yang mengakibatkan tingkat keberhasilan perdamaian di pengadilan sangatlah rendah. Kemandulan peradilan dalam menghasilkan penyelesaian melalui perdamaian bukan karena pihak advokad atau kuasa hukum, tetapi melekat pada diri hakim yang lebih mengedepankan sikap formalitas dari pada panggilan dedikasi dan seruan moral sesuai dengan ungkapan yang mengatakan, keadilan yang hakiki diperoleh pihak yang bersengketa melalui perdamaian.27 Memperhatikan kondisi tersebut Mahkamah Agung yang menaungi seluruh peradilan di Indonesia terpanggil untuk memberdayakan para hakim untuk menyelesaikan perkara dengan perdamaian yang digariskan pasal 130 HIR, melalui mekanisme integrasi mediasi dalam sistem peradilan. Penerbit Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di pengadilan didorong oleh keberhasilan Negara-negara lain dalam menerapkan aturan tersebut, seperti: Jepang, Amerika Serikat, Australia,Singapore, dan lain-lain28.
26
Rio Satria, Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, www.badilag.net, diakses pada tanggal 25 Desember 2014 27
Rio Satria, Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, www.badilag.net, diakses pada tanggal 25 Desember 2014 28
Rio Satria, Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, www.badilag.net, diakses pada tanggal 25 Desember 2014
87
Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat bisa dikatakan belum berhasil guna dengan target yang ingin dicapai yaitu menekan jumlah perkara yang dilitigasikan. Kemudian dari sisi ekonomis, mediasi ini justru dianggap tidak ekonomis dan dianggap menambah biaya yang harus dikeluarkan para pihak berperkara, karena bagi mereka ini hanyalah suatu syarat saja yang harus dilewati. Karena kebanyakan dari mereka yang datang ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat mereka datang sudah dengan tekad yang bulat untuk bercerai, sehingga sulit untuk di mediasi. Khususnya dalam masalah perceraian ini sangat sulit untuk dimediasi dikarenakan menyangkut masalah perasaan. Akan tetapi dilihat dari keberhasilan mediasi dari 3 tahun terakhir belakangan ini, yaitu tahun 2012, 2013, dan 2014, keberhasilan mediasi mengalami penurunan, diharapkan bagi hakim mediasi dan mediator agar dapat memperbaiki penurunan dalam mediasi tersebut, dan juga kinerja para hakim serta mediator supaya lebih dioptimalkan dalam melaksanakan mediasi. sehingga target dari Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008 dapat tercapai, yaitu mengendalikan perkara yang dilitigasi. Dengan begitu PERMA mengenai mediasi tersebut dapat dikatakan efektif di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. C. Faktor-Faktor Penghambat dan Pendukung Keberhasilan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Dari banyaknya perkara yang masuk di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, di dominasi oleh perkara perceraian, dilihat dari kurun waktu selama 3 tahun
88
terakhir, yaitu pada tahun 2012, 2013, dan 2014, faktor penyebab tingginya angka perceraian dari tahun ke tahun karena faktor ekonomi, tidak ada tanggung jawab, dan tidak ada keharmonisan dalam berumah tangga. Adapun faktor-faktor keberhasilan dalam memediasi atau melakukan upaya perdamaian pada perkara perceraian khususnya, diantaranya adalah: 1. Faktor-Faktor keberhasilan dalam mediasi : a. Adanya itikad baik dari para pihak dan adanya sikap yang kooperatif dari para pihak yang mau berdamai. b. Adanya bantuan dari pihak keluarga dekat yang bisa mengarahkan agar terciptanya perdamaian. c. Adanya tempat situasi yang nyaman untuk para pihak yang sedang dimediasi agar para pihak bisa lebih relax dan tidak tegang. d. Tentunya
hakim
mediator
dengan
kemampuan,
keahlian
dan
kepiawaiannya dalam menyelesaikan masalah dan hakim mediator bisa dengan sabar memberikan nasehatdan waktu yang cukup untuk para pihak dalam menguraikan masalahnya. 2. Sedangkan faktor-faktor yang menjadi penghambat sehingga mediasi menjadi tidak berhasil atau gagal adalah: a. Tidak ada itikad baik dari para pihak yang mau berdamai. Karena kebanyakan dari mereka yang datang ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah dengan tekad yang bulat yaitu mereka ingin bercerai sehingga ini sangat sulit untuk dimediasi.
89
b. Para pihak yang tidak bisa meredam amarah atau emosinya. c. Salah satu pihak yang sudah tidak bisa memaafkan pihak lain. Kendala atau hambatan yang dihadapi dalam memediasi perkara perceraian para pihak yang bersengketa adalah salah satu pihak sudah tidak bisa memaafkan pihak lain dikarenakan adanya WIL (wanita idaman lain) atau PIL (Pria Idaman Lain). Sehingga perkara perceraian sangat sulit untuk dimediasi. d. Tidak ada yang mau bernegosiasi dan tetap pada ego dan prinsip masingmasing yaitu mereka tetap ingin bercerai.29
29
Hasil Wawancara Pribadi dengan Rosmida M, Noor, Azid Izzudin dan, Isti’anah Hakim Mediator Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pada Tanggal 01 Oktober 2014
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Menurut penelitian yang penulis lakukan, berdasarkan hasil analisa proses mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat kesimpulannya sebagai berikut : 1. Pelaksanaan dalam proses mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam mengupayakan perdamaian antara para pihak sudah sesuai dengan apa yang diatur pada PERMA No. 1 Tahun 2008, dan HIR. Dan pada PERMA Pasal 7 ayat 1 tentang Kewajiban Hakim Pemeriksaan Perkara dan Kuasa Hukum adalah pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Para pihak yang berperkara tidak boleh menolak pelaksanaan mediasi tersebut. Apabila para pihak tersebut menolak mengikuti mediasi maka proses persidangan batal demi hukum dan tidak dapat dilanjutkan. Pada sidang pertama, majelis hakim wajib memberitahukan kepada para pihak untuk menempuh jalur mediasi. Disini hakim menjelaskan bagaimana proses mediasi. Setelah para pihak mau untuk dimediasi oleh hakim menyarankan nama mediator atas persetujuan kedua pihak yang berperkara. Setelah itu di luar sidang para pihak yang berperkara mengadakan pertemuan dengan mediator dan menentukan waktu pelaksanaan mediasi.
90
91
Mediasi berjalan selama 40 hari. Apabila berhasil gugatan akan dicabut dan apabila gagal maka persidangan akan dilanjutkan. Dengan adanya PERMA ini para hakim beranggapan bahwa pelaksanaan mediasi lebih terarah dan teratur, sehingga para hakim merasa setelah dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi sangat membantu para hakim dalam melakukan tugasnya dan para hakim juga dapat diberikan pemahaman lebih tentang mediasi. 2. Tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, jika dilihat dari penerapan mediasinya sudah efektif dan sesuai dengan PERMA No. 1 Tahun 2008. Namun untuk hasil dari mediasi yang berhasil dilakukan oleh hakim mediator masih belum menunjukan hasil yang maksimal khususnya pada perkara perceraian. Untuk para Hakim yang ditunjuk sebagai hakim mediator dalam melakukan proses mediasi telah dilakukan secara optimal. Meskipun belum adanya perubahan yang signifikan. Mengenai upaya mediator dalam perkara perceraian demi memaksimalkan hasil mediasi dengan berbagai cara, diantaranya : Melibatkan pihak keluarga dekat seperti anak, ibu dan lain-lain untuk memudahkan mediasi, mencoba menjadi pendengar yang baik dan berusaha bersifat netral artinya tidak memihak pada siapa pun, dan berusaha mencari jalan keluar yang tepat untuk para pihak agar tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. 3. Faktor-faktor yang menjadi menghambat dalam mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat diantaranya, tidak ada itikad baik dari para pihak yang mau
92
berdamai, para pihak yang tidak bisa meredam amarah atau emosinya, salah satu pihak yang sudah tidak bisa memaafkan pihak lain, misalnya adanya WIL (Wanita Idaman Lain) atau PIL (Pria Idaman Lain) sehingga ini sangat sulit dimediasi dan tidak ada yang mau bernegosiasi dan tetap pada ego dan prinsip masing-masing dan dari para pihak yang sudah bertekad untuk bercerai. Adapun faktor-faktor keberhasilan dalam mediasi yaitu adanya itikad baik dari para pihak itu sendiri yang mau berdamai, adanya bantuan dari pihak keluarga dekat yang bisa mengarahkan terciptanya perdamaian, adanya tempat yang nyaman untuk para pihak yang dimediasi, dan tentunya kemampuan, keahlian dan kepiawaian hakim mediator dalam menyelesaikan masalah bisa dengan sabar dalam menghadapi para pihak yang berperkara untuk tercapainya perdamaian. B. Saran Diakhir penulisan skripsi ini, penulis ingin mengajukan saran-saran, yaitu: 1. Pengadilan Agama Jakarta Pusat agar dapat mengevaluasi pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian sengketa khususnya dalam perkara perceraian, sehingga untuk kedepannya hasil mediasi dalam perkara perceraian dapat ditingkatkan, dan bisa mengurangi atau menekan angka perceraian. 2. Kepada Mahkamah Agung agar dapat memperluas dan meningkatkan pelatihan mediasi, dan mewajibkan para hakim untuk mengikuti pelatihan mediasi. Karena pada umumnya kebanyakan dari hakim di Pengadilan Agama Jakarta Pusat masih belum memiliki sertifikat mediator.
93
3. Untuk para pihak yang berperkara disarankan dapat mematuhi dan mengikuti aturan-aturan Pengadilan yang telah ditentukan, sehingga tidak menghambat dalam proses mediasi. 4. Kurangnya
sosialisasi
dari
Pemerintah
kepada
masyarakat
tentang
pengetahuan pernikahan dan perceraian, sehingga kasus perceraian semakin meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional. Jakarta: Prenada Media, 2011. AF, Hasanuddin. Perkawinan Dalam Perspektif Al-Qur’an Nikah, Talak, Cerai Rujuk. Jakarta: Nusantara Damai Press, 2011. Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Amriani, Nuraningsih. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011. Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam. 1996. Effendi M. Zein, Satria. Problematika Hukum Keluarga Kontempore. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010. Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakaha. Bogor: Kencana, 2003. Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000. Mardani. Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011. Muhtarom, Ali. Mencari Tolak Ukur Efektifitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian. diakses pada tanggal Rabu, 10 Desember 2014. www.badilag.net Munawwir, Warson Ahmad. Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Nurudin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesi., (Jakarta: Prenada Media, 2004. PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Rahmadi, Takdir. Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyah, 1954.
94
95
Salamah Yarotul Yayah. Mediasi Dalam Proses Beracara Di Pengadilan Agama. Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Ekonomi, 2010. Satria, Rio. Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan. www.badilag.net diakses pada tanggal 25 Desember 2014. Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normartif Suatu TinjauanSingkat. Jakarta: Raja Grafindo, 2001. Sopyan, Yayan. Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional. Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradyana Paramitha, 2004. Sukanto, Soerjono Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-press, 1986. Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2008. Wawancara Pribadi dengan Azid Izuddin, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Jakarta, 01 Oktober 2014. Wawancara Pribadi Dengan Bapak Sarnoto. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Jakarta, 12 Januari 2015. Wawancara Pribadi dengan Isti’anah, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Jakarta 01 Oktober 2014. Wawancara Pribadi dengan Rosmida M, Noor. Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Jakarta, 01 Oktober 2014. Website Resmi Pengadilan Agama Jakarta Pusat http://pa-jakartapusat.go.id, diakses pada tanggal 03 Februari 2015. www.google.com pn-pariaman.go.id diakses pada tanggal 10 Februari 2015. www.google.com Mediasi, diakses pada tanggal Selasa, 27 January 2015.
96
www.google.com Somya, Putra. Pelaksanaan Mediasi Dalam Perkara Perceraian Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama. di akses pada tanggal 16 Februari 2015. www.pa-batusangkar.go.id diakses pada tanggal 10 Februari 2015.
^ /-1 (-dAJ
KEMENT'ERIAN AGAMA
ffi
I
",Tlli$ ?itr"Ti#r"IH",1T.'",Hil
bltl I I
FAKULTAS syAr(rAH DAN HUKUM
---=\--"Jln. lr. H. Juanda
No.95 CiputatJakartal'4l2,
Nomor
'.
Lampiran
Perihal
Un,01lF .4tPp .01
Te b. $2-21)747 11537,7401925 Fax. t62-21174g1821 WejUsliJ:wirw.ui"iit.i..iO i-matf ,
[email protected],
tndonesia
_--*------
.jt5 6o1t2014
2
Jrliar:ta,
Juli 2014
:-
:
Mohon Kesediaan Meniadi Pembimbinq Skripsi
XepaOu Vang Terhormat,
Hotnidah Nasution, MA. (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
Di-
JAKARTA Assalamu' alaiku
m
W r. Wb.
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengharapkan kesediaan Saudara untuk menjadr pembimbing skripsi mahasiswa
Nama
:SITINURJANAH
NIM
'.1110044100044
:
ProdiiKonsentrasi :PeradilanAgama Judul Skripsi
'.
Peran Hakim MeCiasi Dalam Mewujudkan Perdamaian Di pengadilan Agama iakafta Se/aian (Studi Pada Pengadilan Agama Jakarla Selatan )
Beoerapa hal yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut
:
1. Topikbahasandanoutlinebiladianggapperludapatdilakukanperubahandanpenyempurnaan. 2. Tehnik penulisan agar merujuk kepada buku "Pedoman Karya llmiah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta" Demikian atas kesediaan saudara kami ucapkan terima kasih Wassalamu' alarkttm W. W.
An, Del
19500306 197603 1001,
Tembusa n : Kasubag Akademik &kemahasiswaan Fakultas Syariah dan Hukum Sekretaris Program Studi Ahwal al Syakhshiyah Arsip
1. 2, 3.
r
KEMENTERIAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM Telp. (62-21 ) 747 11537 ,7401925 Fax. (62-21) 7491821 Website : www.uinjkt.ac.id E-mail : syar_hukuin@yahoo,com
Jln. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412, lndonesia
Nomor Lampiran Hal
: Un.01/F4lKM.00.02/ deg/ Z0t+
:
]akarta, 15 September 2014
Permohonan Data/Wawancara Kepada Yth, Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat
di
Tempat As s alamu' alaikum
Wr.W
.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menerangkan bahwa: Nama
Siti Nurjanah
Nomor Pokok Tempat/Tanggal Lahir
11100441,000M
Semester
]urusan/Konsentrasi Alamat
Telp
Tuking Gedong, 17 Maret1993 IX (Sembilan) Peradilan Agama/ Akhwalu Asyakhsiyyah Jl. Kemang Utara G, RT 09 RW 01 No. 41 Kelurahan Bangka, Kecamatan Mampang Prapatan Jakarta Selatan 12730 083890807900
adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang menyusun skripsi dengan judul: "PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA IAKARTA PUSAT"
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/Ibu dapat menerima yang bersangkutan untuk wawancara serta memperoleh data guna penulisan skripsi dimaksud. Atas kerjasama dan banfuannya, kami ucapkan terima kasih. Wassalam,
Akademik
M.Ag
r
Tembusan : 1.. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN jakarta
PENGADILAT{ AGAMA JAKARTA PUSAT Jl. KH. Mas Mansyur/ Jl. H. Awaluddtnr72 Tanah Abang Telp. 02 i -3 1927910 Fax. 02 tr -3 r61 1 l g v/ebsite: www"pa-jakartapusat.go.id
JAKARTA PUSAT
SURAT KETERANGAT{ Nomor : W9.A1t. tf 3gvipB.00/}.12AI4
Wakil Panitera Pengadilan Agama Jakarta Pusat berdasarkan Surat dari wakil Dekan universitas trslarn Negeri tanggal 16 September 2014 Nornor : un.01/F.41KM.00.02 /669912014, dengan ini menerangkan bahwa mahasiswa yang tersebut di bawah
ini:
Nama
: Siti Nudanah
NPM/ NRK
:1110044100044
Judul Skripsi
Peran Hakim Mediasi dalam perkara perceraian
Agama Jaku'ta Pusat (Survei
di
di
pengadilan
pengadilan Agama Jakarta
Pusat).
Telah melakukan wawancara, penelitian atau permintaan data untuk memenuhi tugas sebagai syarat memperoleh gelar sarjana. pada tanggal 30 Oktober 2014 di Pengadilan Agama Jakartapusat serta telah menerima data/bahan-bahan yang diperlukan.
Demikian sulat keterangan ini dibuat untuk dapatdipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 30 Oktober 2014.
Wkl. Pa
97
HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM MEDIATOR DALAM MELAKUKAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
Nama : Dra. Hj. Rosmida M. Noor, SH., MH. NIP : 195009111976012001 Jabatan : Hakim Mediator Usia : 64 Tahun Hari/Tanggal : Rabu, 01 Oktober 2014 1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ? sejak kapan ? Ya, sejak bulan Januari 2011. 2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator ? Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator ? Belum, karena belum ada kesempatan, hanya ikut seminar dan pelatihan saja. 4. Menurut Bapak/Ibu apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di Pengadilan Agama ? jika ya apa alasannya ? Sangat perlu, agar hakim mediator lebih memiliki pengetahuan yang cukup luas karena hakim mediator akan berhadapan kepada masyarakat banyak yang membutuhkan nasehat. 5. Menurut Bapak/Ibu apa yang dimaksud mediasi dan apa tujuan dari mediasi ? Mediasi adalah penyelesaian sengketa. Dan tujuannya adalah mencapai kesepakatan bersama. 6. Apa yang menjadi acuan dalam pelaksanaan mediasi ? Yang menjadi acuan adalah PERMA No. 1 Tahun 2008. 7. Bagaimana tanggapan Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengenai dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 2008 ? Bagus, karena sangat membantu hakim mediator dalam melakukan tugasnya dalam memediasi. 8. Bagaimana pelaksanaan mediasi setelah adanya PERMA No. 1 Tahun 2008 ? Pelaksanaan mediasi setelah adanya PERMA ini tentu lebih baik, karena sudah terarah dan hakim mediator sudah tau akan tugasnya sebagai hakim mediator. 9. Bagaimana peran mediasi dalam perkara perceraian ? Peran mediasi ini sangat bermanfaat untuk tercapainya perdamaian, dan peran mediator juga dapat membantu para pencari keadilan dalam menentukan sikap dan keinginannya dalam penyelesaian perkara.
98
10. Apakah proses mediasi dilakukan tertutup ? Berapa lama biasanya proses mediasi berlangsung ? Ya, tergantumg keadaan dan kasus yang dihadapi bila para pihak perlu menambah waktu maka dilakukan mediasi berulang-ulang untuk meyakinkan mereka. 11. Tindakan apa saja yang biasanya Bapak/Ibu lakukan dalam usaha mendamaikan, jika antara kedua belah pihak menemui jalan buntu ? Apabila menemui jalan buntu kadang-kadang dilakukan kaukus, di nasehati secara sepihak, diberikan kesempatan untuk berfikir dengan jernih dan juga keluarga dekat dari para bihak dapat membantu. 12. Dalam pasal 15 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan disebutkan bahwa dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan sepihak, apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut ? a. Jika ya, apakah ada pengaruhnya terhadap para pihak ? Ya pernah, bila dianggap perlu, pengaruh nya ada para pihak lebih terbuka dalam menyampaikan masalahnya. 13. Menurut Bapak/Ibu faktor apa saja yang mendukung dalam proses mediasi ? Faktor yang mendukung adalah mereka punya itikad baik, dan ada bantuan dari pihak keluarga dekat dalam mediasi tersebut. 14. Menurut Bapak/Ibu Faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam memediasi sehingga tercapainya perdamaian ? -
Pertama, para pihak tidak punya itikad baik. Kedua, dari hakim mediator sendiri tidak adil dalam memberikan waktu kepada para pihak dan mereka merasa dilecehkan, dan apa yang diinginkan para pihak tidak dapat diterima oleh hakim mediator.
15. Bila proses mediasi berhasil apa saja yang mendukung keberhasilan tersebut ? -
Pertama, para pihak punya itikad baik. Kedua, hakim mediator dengan sabar memberikan nasehatnya dan waktu yang cukup kepada para pihak. Ketiga dan ada bantuan dari pihak keluarga dekat yang bisa mengarahkan sehingga terciptanya perdamaian.
16. Bila proses mediasi gagal, apa yang menyebabkan kegagalan tersebut ? Dari para pihak memang sudah tidak ada itikad baik dari pertama untuk berdamai, dan juga faktor keluarga yang tidak mendukung, dan ego dari masing-
99
masing para pihak. 17. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal ? a. Bila ya, fasilitas apa saja yang ada di ruang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ? b. Bila belum cukup baik, apa alasannya ? Dianggap baik tetapi belum ideal, karena belum ada ruangan khusus untuk memediasi dan belum ada peralatan yang lengkap.
Pihak Yang Diwawancarai
Jakarta, 01 Oktober 2014 Pewawancara
(Dra. Hj. Rosmida M. Noor, SH., MH.)
(Siti Nurjanah)
100
HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM MEDIATOR DALAM MELAKUKAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
Nama : Drs. H. Aziz Izuddin, MH. NIP : 196207131993031003 Jabatan : Hakim Mediator Usia : 52 Hari/Tanggal : Rabu, 01 Oktober 2014 1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ? sejak kapan ? Iya, sejak bulan Januari 2014. 2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator ? Yang menunjuk saya sebagai hakim mediator adalah Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat mediator ? Tidak punya. 4. Menurut Bapak/Ibu apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di Pengadilan Agama ? jika ya apa alasannya ? Perlu, alasannya, sebab ini menentukan berhasil tidaknya mediasi orang yang berperkara. 5. Menurut Bapak/Ibu apa yang dimaksud mediasi dan apa tujuan dari mediasi ? Mediasi adalah mendamaikan para pihak. Dan tujuannya adalah agar mereka dapat menyelesaikan masalahnya dengan melalui kesepakatan bersama. 6. Apa yang menjadi acuan dalam pelaksanaan mediasi ? Yang menjadi acuan adalah PERMA No. 1 Tahun 2008. 7. Bagaimana tanggapan Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengenai dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 2008 ? Dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 2008 ini ya harus dilaksanakan. 8. Bagaimana pelaksanaan mediasi setelah adanya PERMA No. 1 Tahun 2008 ? Pelaksanaan mediasi setelah adanya PERMA lebih teratur dan terarah, sehingga
101
dengan adanya PERMA No. 1 Tahun 2008 ini jadi para hakim diberikan pemahaman lebih tentang mediasi. 9. Bagaimana peran mediasi dalam perkara perceraian ? Sangat penting, terutama unuk terciptanya perdamaian. Dan peran mediator juga dalam persidangan sangat penting apabila mediasi gagal maka akan dilanjutkan, dan apabila mediasi berhasil maka akan diputus berdasarkan kesepakatan, mediasi/perkara dicabut apabila tidak jadi cerai. 10. Apakah proses mediasi dilakukan tertutup ? Berapa lama biasanya proses mediasi berlangsung ? Ya, waktunya paling lama 40 hari, tapi boleh ditambah 15 hari. 11. Tindakan apa saja yang biasanya Bapak/Ibu lakukan dalam usaha mendamaikan, jika antara kedua belah pihak menemui jalan buntu ? Kalau sudah menemui jalan buntu, maka akan dibuatkan laporan bahwa mediasi gagal. 12. Dalam pasal 15 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan disebutkan bahwa dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan sepihak, apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut ? a. Jika ya, apakah ada pengaruhnya terhadap para pihak ? Pernah, adanya keterbukaan dari para pihak. 13. Menurut Bapak/Ibu faktor apa saja yang mendukung dalam proses mediasi ? Faktor yang mendukung dari dalam adalah para pihak sendiri ada keterbukaan perkara secara damai, yang mendukung dari luar adalah dari segi kenyamanan para pihak tersebut. 14. Menurut Bapak/Ibu Faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam memediasi sehingga tercapainya perdamaian ? Yang menjadi penghambat ya dari para pihak sendiri, karena pihak sendiri tidak mau berdamai. 15. Bila proses mediasi berhasil apa saja yang mendukung keberhasilan tersebut ? - Adanya sikap kooperatif dari para pihak yang mau berdamai dan mengerti arti perdamaian. - Adanya itikad baik dari para pihak.
102
16. Bila proses mediasi gagal, apa yang menyebabkan kegagalan tersebut ? Dari para pihak yang tidak bisa meredam emosinya sehingga pihak penggugat tidak bisa memaafkan lagi, dan hanya dengan bercerailah semua bisa tersalurkan. 17. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempat mediasi yang ideal ? a. Bila ya, fasilitas apa saja yang ada di ruang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ? b. Bila belum cukup baik, apa alasannya ? Sudah cukup baik, ada meja yang dibuat agar para pihak dalam menyampaikan masalahnya dengan hakim mediator lebih santai dan tenang, serta ada lukisan dan gambar sebuah keluarga yang harmonis, untuk mengispirasi para pihak yang bersengketa.
Pihak yang diwawancarai
Jakarta, 01 Oktober 2014 Pewawancara
(Drs. H. Aziz Izuddin, MH.)
(Siti Nurjanah)
103
HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM MEDIATOR DALAM MELAKUKAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
Nama : Drs. Isti’anah, MH. NIP : 196401011991032014 Jabatan : Hakim Mediator Usia : 49 Hari/Tanggal : Rabu, 01 Oktober 2014 1. Apakah Bapak/Ibubertuga ssebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ? sejak kapan ? Ya, sejak bulan Januari 2014. 2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator ? Yang menetapkan saya sebagai hakim mediator adalah Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 3. Apakah Bapak/Ibu memiliki sertifikat tmediator ? Ya, punya. 4. Menurut Bapak/Ibu apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di Pengadilan Agama ? jika ya apa alasannya ? Perlu, karena supaya para hakim mediator lebih professional dalam melakukan mediasi. 5. Menurut Bapak/Ibu apa yang dimaksud mediasi dan apa tujuan dari mediasi ? Mediasi adalah mencari penyelesaian sengketa yang terbaik dari permasalahan kedua belah pihak. Dan tujuannya adalah untuk mencapai win-win solution, atau mengakhiri permasalahan/persengketaan secara damai. 6. Apa yang menjadi acuan dalam pelaksanaan mediasi ? Yang menjadiacuanadalah PERMA No.1 Tahun 2008. 7. Bagaimana tanggapan Pengadilan Agama Jakarta Pusa tmengenai dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun2008 ? Menurut saya, peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang mediasi ini sudah cukup bagus dan modern, dan karena PERMA ini sudah dikeluarkan
104
maka harus dilaksanakan dengan baik. 8. Bagaimana pelaksanaan mediasi setelah adanya PERMA No. 1 Tahun2008 ? Untuk pelaksanaanya semua perkara yang mengandung sengketa wajib di mediasi. 9. Bagaimanaperanmediasidalamperkaraperceraian ? Sangat bermanfaat, terutama untuk tercapainya perdamaian. 10. Apakah proses mediasi dilakukan tertutup ? Berapa lama biasanya proses mediasi berlangsung ? Ya, untuk perceraian mediasi dilakukan secara tertutup, dan maksimal 40 hari dilangsungkannya mediasitersebut. 11. Tindakan apa saja yang biasanya Bapak/Ibu lakukan dalam usaha mendamaikan, jika antara kedua belah pihak menemui jalan buntu ? Apabila kita menemui jalan buntu dalam mendamaikan para pihak, kita melakukan kaukus. 12. Dalam pasal 15 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan disebutkan bahwa dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan sepihak, apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut ? Jika ya, apakah ada pengaruhnya terhadap para pihak ? Ya, pernah. Pengaruhnya terhadap para pihak, para pihak tersebut lebih terbuka dan jelas dalam mengutarakan masalahnya. 13. Menurut Bapak/Ibu factor apa saja yang mendukung dalam proses mediasi ? Yang mendukung proses mediasi adalah kejujuran dan itikad baik dari para pihak. 14. Menurut Bapak/Ibu Faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam memediasi sehingga tercapainya perdamaian ? Yang menjadi penghambat dalam memediasi adalah kurangnya rasa kooperatif dari para pihak sendiri, dan diantara para pihak permasalahan/persengketaan mereka sudah sangat memuncak. 15. Bila proses mediasi berhasil apa saja yang mendukung keberhasilan tersebut ? Proses yang mendukung keberhasilanya itu tadi, sikap dari para pihak yang mau berdamai.
105
16. Bila proses mediasi gagal, apa yang menyebabkan kegagalan tersebut ? Tidak ada yang mau bernegoisasi dari para pihak, dan tetap pada prinsipnya masing-masing. 17. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempa tmediasi yang ideal ? a. Bila ya, fasilitas apa saja yang ada di ruang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ? b. Bila belum cukup baik, apa alasannya ? Ya sudah cukup baik, ada meja yang berbentuk bulat, sehingga tidak terkesan sangat serius antara para pihak dan hakim mediator, ada juga lukisan atau gambar yang menunjang terciptanya keharmonisan rumah tangga.
Pihak yang diwawancarai
Jakarta, 01 Oktober 2014 Pewawancara
(Drs. Isti’anah, MH.)
(Siti Nurjanah)
106
HASIL WAWANCARA DENGAN HAKIM MEDIATOR DALAM MELAKUKAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
Nama : Dr. Sarnoto, MH. NIP : 196712251994031005 Jabatan : Hakim Mediator Usia : 47 Tahun Hari/Tanggal : Senin, 12 Januari 2015 1. Apakah Bapak/Ibu bertugas sebagai hakim mediator di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ? sejak kapan ? Ya, sejak tahun 2011 2. Siapa yang menunjuk/menetapkan Bapak/Ibu sebagai hakim mediator ? Yang menunjuk saya sebagai hakim mediator adalah Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 3. ApakahBapak/Ibumemilikisertifikatmediator ? Ya, sejak tahun 2009 saya sudah punya sertifikat. 4. Menurut Bapak/Ibu apakah perlu Mahkamah Agung memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di Pengadilan Agama ? jika ya apa alasannya ? Sangat perlu, alasannya dengan adanya pelatihan tersebut agar mediator punya kemampuan yang baik dalam memediasi, dan agar bias lebih kooperatif dalam mediasi. 5. Menurut Bapak/Ibu apa yang dimaksud mediasi dan apa tujuan dar imediasi ? Mediasi adalah mencari titik temu dari permasalahan yang dihadapi para pihak yang bersengketa, dan tujuannya adalah supaya memperoleh hasil yang sesuai dengan keinginan para pihak. 6. Apa yang menjadi acuan dalam pelaksanaan mediasi ? Yang menjadi acuan adalah PERMA No.1 Tahun 2008 dan norma-norma hukum islam yang terkait dengan bagaimana mendamaikan suatu perkara. 7. Bagaimana tanggapan Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengenai dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun2008 ? PERMA sudah di keluarkan oleh Mahkamah Agung ya harus atau wajib
107
dilaksanakan dan tidak boleh dilanggar. 8. Bagaimana pelaksanaan mediasi setelah adanya PERMA No. 1 Tahun2008 ? Untuk pelaksanaanya sudah sesuai dengan tahapan mediasi itu sendiri, untuk waktu mediasi perkara perceraian yang dilakukan itu relatif sesuai dengan kehendak para pihak, biasanya 10-15 menit sudah selesai mediasi. 9. Bagaimana peran mediasi dalam perkara perceraian ? Sangat bermanfaat, terutama untuk tercapainya perdamaian tersebut. 10. Apakah proses mediasi dilakukan tertutup ? Berapa lama biasanya proses mediasi berlangsung ? Ya, untuk perceraian mediasi dilakukan secara tertutup, dan proses mediasi itu berlangsung ya itu tadi 10 sampai 15 menit biasanya sudah selesai paling lama 1 jam. 11. Tindakan apa saja yang biasanya Bapak/Ibu lakukan dalam usaha mendamaikan, jika antara kedua belah pihak menemui jalan buntu ? Apabila kita menemui jalan buntu kaukus akan dilakukan oleh para pihak. 12. Dalam pasal 15 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedu rmediasi di pengadilan disebutkan bahwa dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan sepihak, apakah Bapak/Ibu pernah melakukan hal tersebut ? Jika ya, apakah ada pengaruhnya terhadap para pihak ? Ya pernah, dan pengaruhnya terhadap para pihak adalah para pihak itu sendiri bisa menjelaskan semua masalah yang dihadapi secara terbuka. 13. Menurut Bapak/Ibu faktor apa saja yang mendukung dalam proses mediasi ? Yang mendukung proses mediasi adalah itikad baik dan adanya sikap kooperatif dari para pihak dalam memediasi. 14. Menurut Bapak/Ibu Faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam memediasi sehingga tercapainya perdamaian ? Yang menjadi penghambat dalam memediasi adalah ego masing-masing dari para pihak. 15. Bila proses mediasi berhasil apa saja yang mendukung keberhasilan tersebut ? Proses yang mendukung keberhasilan mediasi adalah: 1. Itikad baik dari para pihak.
108
2. Adanya kesadaran dari mereka bahwa penting adanya perdamaian. 3. Keterampilan dari mediator juga dapat mempengaruhi dalam melakukan mediasi. 16. Bila proses mediasi gagal, apa yang menyebabkan kegagalan tersebut ? Sudah tidak ada titik temu untuk berdamai. 17. Apakah ruang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah Bapak/Ibu anggap baik dan cukup sebagai tempa mediasi yang ideal ? a. Bilaya, fasilitas apa saja yang ada di ruang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ? b. Bila belum cukup baik, apa alasannya ? Kalau ideal belum, namun untuk standar minimal sudah terpenuhi.
Jakarta, 12 Januari 2015
G
o, tr)
g
Y
ct
q
\'I
o
t
j
Y (! a
(\l
1r)
(0
ao
(0
t\
ro
g,
r0 g)
-,
F
ro
@
@
t
@ co
(')
N
I
@
(r)
Iepll
$ N F o na
N (\l o t- G} o o N N N
o)
N
ro F'
t\ g,
N
N
(o
eOrlal IEqrd uen66ueg
m
(\t
o
6
@
N
@
@
(')
if
(t)
o
sllllod
t
l6ololq leoe3
0
unlnq!o
s
LU
o tr
ll.'
T:
o-6 mf
c0< ulb
:3t AF 1d UJ
z s d UJ
U
IJJ
t!
o. * 4tt) X =to v <=
ft rH J-
-x.
?5 e v or < fi2 tJ- o-.;
t!
u
A
E 3H
c E
6 ttJ
F
o
C)
o
F
X
lr
f
v.
0-
s .'j E2 (=
gEI Y
ee
o
vF L
F
N
o N
6 N
N
!urouoIS
N
G'
at
co
t- N N
(o N
co
tt
ESXed Ul/v\ey
a
t
!t
6
N
rt
GI
6
(0
N
o
N
\t
(.,
tat
o N
N
co
F
N
ro
at
r) N
(\a
ol
q
o c E
nJnqur9c
O
=
=9 .6
lf,
i
;
O-
o)
IBp|I
v
6 *E <- f 6 z i-< 6q) 9! < +<
o No €
6
e^ ef 6un66uEl EpB
< E =0. Sc
-z
o
.rnurn qel^eqrp u!A ey
l/.J
zuJ x.
a
o
!uEqou ueuBfolay
o
I F
leluohl ueuelaloy
.= .v, (!
E
o
N
r0
t
o
{elqIe slsuy leqos Iepll lurE6llod
=F
tr
NV'tn8
N
tr d f F J f u uJ x,
o
ul -, tr E
o
5 N
j
o :1 ,* Ci{'z'
=
-.,(sr./
|
= EiuPT .lJ\A-\lJ
N
gt
a o.
llJ
z:)
J f
(l)
F
= t
6
t t
tu
ul lrJ J o x, tlJ t0 o f o E E F F = o uFJ o IJJ ul o D F o.n
o a GO
o-
IU
U' o)
V
o o
IU o o o
N
L-
"\:9, g'bih CJ
z
a e
q)
(D
co
N
ulPl - u!E-l
uPsluouJeqal epP
(.o
gEF
p
.,1f ;'f
iu;
ii{:6 A-L,2
G U)
o
(g
L
L1
0)
Y
0)
Y
d
6 E
a
@
F
F ro
o) F.
N
tt
ao
(t
F.
<0
t-
o r+
N
N (r,
@
o
m
-) utel - u!s-l
N
uEs!uouueqal EpE IEpII o
rt c)
c\|
()
F.
o{
@
()
o)
eOrlal leqld uen66uEg
t lrl o tr t: lu ^<. -a c0f,
ulnlnq!0
(r)
N
@
t
@
ro
{
@
fi XR o_ 1E
tr
t.
. e 4vJ y= <E =lo F t'1 til A(/)
rH ' 4 oa JP RT lild
tL o.-i
UJ
o
tiJ
o-
tt b tf
lr,
0)
F
=
tlJl o
o
o
o
o
u o
6un66uEl BPE XePll € tlN
N
Ct
ot
N
1..
(.t
o $ .') o
N
o
@
N
GO
(r'
(t
@
@
co
llt
N
v
N
rt (\a
;
F
o
t!
E
v
B/Y\e[
I
TL
(=
urn qE/v\Eqlp ul/v\Ey
o
zul Y
v
ruEqou ueu,lefalay
Jn
lu
F
l L
leluol/\l ueulelalax
o (!
-)
o U)
N
z .v6 o
o u
F
(!
!urouolf
N
EsIed ul/$ey
o
o
@
ao
(0
g)
o)
_
< 5 =0. {o fi <E r! L
JEK ? €€ O
7 O
=E
o
nJnqula3
c)
IelqIE slslry
(o
v o
= leq06 IBpll lulE6llod
.6 =E =F
E
Nv'1 ns
N
&
:'tr z o t
5
F J ut x.
I
(\l
e, o-
LIJ
=
s t
ul
D
t{)
(l,
E -)
-J
u.l
g.
t
lrJ gl t uJ J d) f E l!o t0 E F IJJ F U) rJ o uJ l= o F .n F (L F I
o
t D
o
F
@
ul
U' o)
v o N (E.
z x.
q
C.)
o rt
r6ototq lEceO
UJb
Y
la,
s!lllod
z
>
N
ro
6 c{ N
Y o lrJ o z o N o
ra
cD
o (\I
d J
L
I
o)
a
\<
E (, ar,
HVAI,UVAS ll'IONOYI
(t
=o FJ 3 OD-z-
;(f
c.r
6FR oEe z>w
s3g 4=ft
*6? fi
3
='< #de PS-
5fr.L
F U)
:) oaE F=
cro-
{*s -o(E
s=i
(96i <E'E zv>= {'cO-
i3o I-I (JJ
(960. zct=
o z
oo
H=8
.s b. :- N .:i E-:o -l
[L
f-
-
4
th L
o
+.-J-
q E
I
{
a
o c{ L
o ic E Q)
o
o
.o
rl
z
o? z,
:)s,
3
F3
fC-!i fL;-
rl
oF-;i
o* v ZJUJ
it }}-
f=g
S=E 3eH
U
=(9, fi<;
:<3 <=z do< ?6Jfrd
F u) )€ o-(6
EoS*c =rn+.
g:* 1c-A(E
<6
(,filj -O)f
ZU1
{'cI
=
d f;E <>aE
r9ftOz.d.tr
H-b
e o.
ileM'dpqrsf
rdnu