EFEKTIFITAS MEDIASI DALAM MENEKAN ANGKA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA DEPOK
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: LUKMANUL HAKIM NIM: 106044101415
KONSENTRASI
PERADILAN
AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H./2010 M.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb Segala puji dan Syukur bagi Allah swt atas berkat rahmat, nikmat, hidayah serta ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam dihaturkan pada Nabiyullah Muhammad saw, beserta keluarga dan sahabatnya yang setia mengorbankan jiwa dan raga demi tegaknya syari’at Islam, yang pengaruh dan manfaatnya dapat kita rasakan sampai saat ini. Tanpa penulis lupakan bahwa keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah atas berkat bimbingan, bantuan, dorongan, dan saran-saran dari berbagai pihak. Tanpa partisipasi mereka, upaya penulis dalam menyelesaikan studi di Universitas Islam
Negeri Syarif
Hidayatulah Jakarta
terutama
dalam
menyelesaikan skripsi ini tentu akan terasa lebih sulit terwujud. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dalam kesempatan ini penulis mengucapakan banyak-banyak terima kasih yang kepada yang terhormat Bapak: 1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM, Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. 3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA, Selaku Ketua Program Studi Ahwal AlSyakhshiyah dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH, Selaku Sekretaris Program
i
Studi Ahwal Al-Syakhshiyah yang telah banyak membatu penulis selama penulis studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Pembimbing Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA., yang begitu peduli dan senantiasa meluangkan waktu serta telah banyak memberikan berbagai saran, nasehat, semangat dan bimbingan kepada penulis serta memberikan sumbangan besar dengan kejernihan pemikiran keagamaannya dalam penyusunan skripsi ini. 5. Seluruh staf pengajar Bapak dan Ibu dosen di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mentransfer sebagian ilmu pengetahuannya kepada penulis sebagai landasan dasar dalam penyusunan skripsi ini. 6. Segenap pengelola perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data yang penulis butuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Para Hakim dan Para Pegawai di Pengadilan Agama Depok sebagai nara sumber yang telah meluangkan waktu dan memberi informasi kepada penulis seputar permasalahan yang penulis angkat. 8. Teristimewa ucapan terima kasih penulis yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda Moh. Idris dan Ibunda Siti Rodiah tercinta yang telah memberikan banyak bantuan terutama dari segi keuangan dan dukungan, terima kasih juga atas do’a dan pengorbanan kalian yang tak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas
ii
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan baik, terutama motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. “hanya Allah yang Mampu membalas jasa kalian, semoga kalian berada dalam rahmat Allah swt.” Amin 9. Kakak-kakak dan adik-adikku tercinta yang juga ikut andil memberikan motivasi kepada penulis, sehingga penulis lebih semangat lagi dalam menyelesaikan skripsi ini. 10. Hamba Allah yang telah banyak mewarnai kehidupan penulis, terima kasih banyak atas motivasi dan dukungannya sehingga penulis bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 11. Teman-teman seperjuanganku keluarga besar mahasiswa Peradilan Agama B Angkatan 2006 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, terima kasih banyak teman-teman atas bantuan dan inspirasinya. Kalian banyak membantu penulis selama penulis studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga persaudaraan kita tidak akan pernah terputus. 12. Teman-teman seperjuanganku keluarga besar alumni Pon-Pes Darul Salam Parung-Bogor Angkatan 2000 yang tidak mungkin juga penulis sebutkan satu persatu, terima kasih banyak teman-teman atas segala-galanya. Kalian banyak membantu penulis dalam kehidupan ini, terutama dalam menyelesaikan studi dan menyelesaikan skripsi ini. Semoga persaudaraan kita tidak akan pernah terputus. 13. Seluruh pihak/instansi terkait, yang tidak penulis sebutkan yang ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini.
iii
Semoga segala kebaikan dan sumbangsih kalian semua dicatat oleh Allah SWT sebagai amal untuk bekal di akhirat nanti. Amin Ya Rabbal Alamin. Wassalamu’alaikum Wr Wb
Jakarta, 30 Juni 2010
Lukmanul Hakim
iv
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN
i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
ii
KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
5
D. Metode penelitian
6
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
8
F. Sistematika Penulisan
10
PROSEDUR MEDIASI A. Pengertian Mediasi
12
B. Sejarah Singkat dan Legalitas Mediasi
14
C. Prosedur Mediasi di Pengadilan
21
D. Tahap Pelaksanaan Mediasi
28
MEDIASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Hukum Mediasi
32
B. Konsep Perdamaian (as-shulhu) Dalam Penyelesaian Perselisihan Suami Istri
34
C. Konsep Perdamaian (as-shulhu) Dalam Sistem Perjanjian Hukum Islam
BAB IV
IMPLEMENTASI
44
MEDIASI
DALAM
PENYELESAIAN
PERCERAIAN A. Profil Pengadilan Agama Depok
50
B. Praktek Mediasi di Pengadilan Agama Depok
55
C. Faktor-faktor Yang Menghambat Mediasi
57
D. Analisa Penulis
58
v
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan
65
B. Saran-saran
65
DAFTAR PUSTAKA
66
LAMPIRAN A. Surat Keterangan Penelitian B. Surat Pernyataan wawancara Hakim C. Wawancara pribadi D. Rekap Mediasi Bulan Mei 2010 E. Rekap Mediasi Bulan Juni 2010 F. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Depok G. Laporan Keadaan Perkara Diterima dan Diputus Bulan Mei 2010 H. Laporan Keadaan Perkara Yang Diputus Pada Pengadilan Agama Depok Bulan Mei 2010
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut hukum Islam pernikahan merupakan suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga yang bahagia. Pernikahan dalam islam tidaklah hanya semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah. Maka, amat tepat jika kompilasi menegaskan sebagai akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan nilai ibadah. Perkawinan merupakan salah satu ketentuan dari berbagai macam ketentuan Allah SWT. Dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. perkawinan bersifat umum, menyeluruh berlaku tanpa terkecuali baik bagi manusia, hewan, dan tumbuhtumbuhan. Sedangkan arti perkawinan itu sendiri adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu asas perkawinan yang disyariatkan ialah perkawinan untuk selamalamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan saling mencintai. Karena itu islam mengharamkan perkawianan yang tujuannya untuk sementara, dalam waktu yang tertentu sekedar untuk melepas hawa nafsu saja, seperti nikah mut’ah, nikah muhallil, dan sebagainya. Pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan pernikahan, dapat mengurangi maksiat
1
penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Oleh karena itu, bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementara pembekalan untuk memasuki pernikahan belum siap, dianjurkan berpuasa. Dengan berpuasa diharapkan dapat membentengi diri dari perbuatan keji, yaitu perzinahan. Melakukan perkawinan bukan pula semata-mata untuk kesenangan lahiriah melainkan juga membentuk suatu lembaga yang denganya kaum pria dan wanita dapat memelihara diri dari kesesatan dan perbuatan yang tidak senonoh, melahirkan dan merawat anak untuk melanjutkan keturunan manusia serta memenuhi kebutuhan seksual yang wajar dan diperlukan untuk menciptakan kenyamanan dan kebahagiaan. Corak dan perkembangan Peradilan Islam sejalan dengan struktur, pola budaya, dan perkembangan masyarakat Islam di Negara-negara yang bersangkutan. Demikian halnya di Indonesia, peradilan mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan umat Islam, komunitas terbesar dalam dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini didasarkan atas aspek variasi dari berbagai unsure Peradilan Islam. Tetapi di balik itu, terdapat persamaan yang esensial yakni teralokasinya hukum Islam untuk ditegakkan dalam proses penerimaan sampai penyelesaian perkara di pengadilan. Khususnya di kalangan umat Islam terutama dalam bidang Ahwalus Syakhsiyyah. 1 Salah satu cara penyelesaian perkara perselisihan atau persengketaan dalam perkawinan adalah proses mediasi sebagai upaya perdamaian antara pihak yang berselisih agar mendapat kesepakatan bersama tanpa ada pihak yang merasa 1
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, PT. RemajaRosdakarya, Bandung, 1997, hlm. 97.
2
“terkalahkan” (win-win solution). Keuntungan ini tidak hanya diperoleh para pihak yang menyelesaikan sengketa melalui mediasi saja, namun juga bagi dunia peradilan yakni dapat mengatasi masalah penumpukan perkara yang ada guna meningkatkan mutu putusan. Hal ini bertujuan agar manusia selalu menghadapi permasalahan dengan kepala dingin dan bukan dengan kekerasan sehingga akan terciptanya ketentraman dalam kehidupan manusia, khususnya permasalahanyang terjadi dalam rumah tangga 2. Pemerintah menyediakan lembaga khusus menyelesaikan permasalahan dalam rumah tangga, yakni dengan konseling BP4 dan Pengadilan Agama sebagai alternatif terakhir. Namun sayangnya, tidak seperti Negara-negara yang sukses menerapkan mediasi di pengadilan, seperti Hongkong 3, USA, Thailand, Jepang, Singapura, dll. Upaya yang dikehendaki Perma di Indonesia tidak efektif. Hal ini disebabkan oleh kurangnya fasilitas dan distribusi yang sangat minim. Seorang advokat yang juga aktif di pusat Mediasi Nasional, David Tobing menyatakan bahwa faktor penyebab ketidakefektifan mediasi di Indonesia juga disebabkan oleh minimnya tenaga mediator yang disediakan oleh Mahkamah Agung hingga berpengruh pada ketidakefektifan pelaksanaan mediasi, khususnya di dunia peradilan. Hal ini tidak hanya terjadi di Pengadilan Negeri saja, tetapi juga di Pengadilan Agama. Keberhasilan mediasi dalam menekan perkara yang masuk hanya 2
(Q.S.An-Nissa (4):35) : “Artinya : “Dan jika kamu khwatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allahmemberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. 3
Peter d’Ambrumenil, Mediation And Arbitration, (London: Cavendish Publishing,)1988),
hal.86
3
mencapai 10%. Fakta ini ketinggalan jauh dengan peradilan keluarga (family court) yang berada di California dan Sidney yang telah berhasil menyelesaikan perkara melalui mediasi hingga 80%. Padahal mediasi itu sendiri sangat sejalan dengan budaya masyarakat Indonesia yang selalu menyelsaikan masalah dengan bermusyawarah. Pengadilan Agama Depok adalah tercatat sebagai salah satu pengadilan yang menerima kasus terbanyak dibanding kota lainya. Untuk itu penyusun merasa perlu mengkaji dan meneliti sejauhmana upaya mediasi di pengadilan agama Depok, bagaimana pula efektifiasnya dalam menekan angka perceraian, bagaimana mekanisme hakim dalam mendamaikan pasangan yang ingin bercerai dipengadilan agama. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, penyusun merasa perlu meneliti dan membahasnya dalam suatu karya ilmiah yang dituangkan dalam skripsi yang berjudul “EFEKTIFITAS MEDIASI DALAM MENEKAN ANGKA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA DEPOK”. B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1.
Pembatasan Masalah Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya membatasi masalah yang berkisar
pada Mediasi di Pengadilan Agama Depok dalam menerapkan PERMA NO.1 TAHUN 2008 pada putusannya. Pengadilan Agama depok sebagai salah satu pelaksana mediasi yang merupakan alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution) dan pelaksana kekuasaan kehakiman tingkat pertama yang
4
mewajibkan para pihak yang berperkara agar terlebih dahulu menempuh jalur mediasi sebelum melanjutkan proses pemeriksaan perkara.4 2. Rumusan Masalah Masalah dalam skripsi ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut: “Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 yakni adalah untuk memperkecil angka perceraian, akan tetapi kenyataannya di lapangan dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung tersebut angka perceraian tidak menurun sebagaimana yang diinginkan. Hal ini yang ingin penulis telusuri dalam penulisan skripsi ini”. Dari rumusan di atas penulis merinci dalam bentuk beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah mediasi berpengaruh signifikan terhadap angka perceraian di Pengadilan Agama Depok? 2. Apakah Peradilan Agama Depok telah melaksanakan mediasi sesuai dengan prosedur Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008? 3. Faktor apa saja yang menyebabkan Peraturan Mahkamah Agung No.01 Tahun 2008 tidak berjalan efektif? C. Tujuan dan Manfaat Tujuan utama yang ingin dicapai dalam pelaksanaan penelitian adalah diharapkan dapat digunakan sebagai barometer oleh hakim khususnya hakim Pengadilan Agama Depok dalam menegakan keadilan. Adapun tujuan ilmiah adalah: 4
Bab I Pasal (2) ayat (1) Perma No.2 tahun 2003, dinyatakan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Dan pada bab V Pasal 16 dinyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, selain di pergunakan dalam lingkungan peradilan umum dapat juga diterapkan untuk lingkungan badan peradilan lainnya.
5
1.
Mengembangkan dan menguji kebenaran ilmu pengetahuan tentang konsep perdamaian di muka persidangan yang diperoleh selama kuliah.
2.
Untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan mediasi Pengadilan Agama Depok dengan prosedur Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008
3.
Mengetahui berhasil atau tidaknya peran mediasi dalam menekan angka perceraian
4.
Mengetahui faktor apa saja yang mendukung dan menghambat pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Depok. Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1.
Penelitian ini selain bermanfaat sebagai sumbangan informasi terhadap
perbendaharaan ilmu pengetahuan, juga diharafkan bermanfaat untuk memberikan informasi kepada masyarakat bahwasanya penyelesaian sengketa tidak harus ditempuh lewat jalur litigasi (Pengadilan) semata tetapi melalui mediasi dengan tujuan perdamain. 2.
Agar dapat dijadikan bahan kajian bagi mahasiswa akademisi dalam
mengembangkan teori-teori mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa. D. Metode penelitian Dalam pengumpulan bahan/data penyusunan skripsi ini agar mengandung suatu kebenaran yang objektif, penyusunan menggunakan metode ilmiah sebagai berikut: 1.
Jenis penelitian dan pendekatanya.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berlokasi pada kantor Pengadilan Agama
Depok. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-
6
undangan (statute approach) yang mana dikaji dalam interpresentasi menurut kata-kata yang tertuang didalam undang-undang tersebut. Undang-undang yang dimaksud disini adalah peraturan mengenai mediasi yaitu Peraturan Mahkamah Agung No.2 tahun 2003, Surat Edaran Mahkamah Agung No.1 tahun 2002,dan Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2008 serta Undang-undang lainnya yang terkait dengan upaya damai di dalam maupun diluar persidangan. 2.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari data primer
dan data sekunder, yakni : a.
Data Primer
Data primer adalah data-data yang didapat langsung dari lapangan yakni berupa laporan buku tahunan Pengadilan Agama Depok, surat putusan hakim, maupun informasi-informasi yang di dapat dari hasil wawancara penyusun dengan penelitian yang dituju. b.
Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang didapat secara langsung dari bahan-bahan pustaka. Data sekunder dapat di kelompokan pada tiga bahan hukum yakin; 1.
Bahan Hukum Primer Dalam penelitian hukum, bahan hukum primer adalah yang bersifat autoritatif
yang bersifat otoritas. Sebagai suber hukum primer diantaranya adalah Undangundang Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peraturan Mahakamah Agung No.1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan selain perundang-undangan yang terkait
7
dengan subjek yang akan di bahas, bahan hukum primer lainya adalah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan penguat bahwa upaya perdamaian adalah wajib dilakukan. 2.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum
primer, yakni berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, artikelartikel, jurnal-jurnal hukum,dll. 3.
Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum
primer dan sekunder. Bahan hukum primer dapat berupa kamus-kamus, ensiklopedia, dsb. Sumber bahan hukum tertier sementara adalah berupa kamus politik dan kamus bahasa Indonesia, dan kamus bahasa Arab. E. Kajian Tinjauan Terdahulu Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang akan diteliti oleh penulis. Akan tetapi, setelah penulis membaca beberapa skripsi tersebut ada perbedaan pembahasan yang cukup signifikan, sehingga dalam penulisan skripsi ini nantinya tidak ada timbul kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan penulis kemukakan 3 buah skripsi yang pernah ditulis oleh mereka, diantaranya sebagai berikut : NO
JADWAL
DAN FOKUS
PERSAMAAN
PERBEDAAN
●Mengangkat
●Tidak ada kajian
PENULIS 1.
“Orang Yang berhak Hanya
8
Menjadi Dalam
Hakim membahas Perselisihan tentang
siapa damai
Suami Istri Menurut saja Hukum Islam” tahun berhak 2002
oleh
juru tentang data
masalah
perceraian ●Tidak membahas
yang untuk
teori mediasi ●Judul yang penulis
Syarif diajukan
Rahman Hakim. Di menjadi bawah bimbingan Ibu damai Hj. Halimah Ismail
juru
angkat membahas
dalam
tentang mediasi
perselisihan
berdasrkan Perma
suami istri
No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
2.
“kedudukan
●peran
Hakim Membahas
juru ●tidak
membahas
dan Hakamain Dalam bagaimana
damai
dalam teori mediasi
Perkara Syiqaq Di seharusnya
proses
●tidak
Penagdilan
Jakarta hakim
dan perdamaian
Timur” tahun 2004 hakamain oleh
Sofi hanya
dalam
faktor
menganalisa penghambat
mediasi. ●Judul yang penulis
Rahmawat,di bawah masalah
angkat menganalisa
bimbingan
faktor-faktor
Ibu
Halimah Ismail
Hj. percekcokan suami istri
penghambat mediasi
9
3.
“
Upaya
●pembahasan
Hakim Upaya
Dalam Mendamaikan mendamaikan Perceraian
(cerai perselisihan
Gugat di Pengadilan suami
membahas
proses tentang teori mediasi pendamaian
istri
Agama Bogor), tahun (khusus kasus2004. Oleh Ahmad kasus
●tidak
cerai
●tidak
menganalisa
faktor
penghambat
mediasi ●Judul yang penulis
fauzan. Pembimbing gugat)
angkat
Bapak
prosedur
H.
Odjo
Kusnara N.
dan
membahas mediasi
faktor-faktor
penghambat mediasi
Karena dapat ditarik kesimpulan tentang perbedaan pembahasan skripsi ini dengan skripsi-skripsi diatas yakni, selain dari lokasi penelitiannya itu sendiri, penulis juga mencoba mengkaji secara mendalam mengenai sejarah legalisasi mediasi di Indonesia di Pengadilan Agama Depok, dan meneliti kefektifan mediasi – sebagaimana seharusnya – dalam menekan angka perceraian, serta faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan mediasi. F. Sistematika penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut: Bab pertama berisikan latar belakang masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Tujuan dan Kegunaan serta Sistematika Penulisan. Bab kedua berisikan pengertian mediasi, sejarah singkat dan legalitas mediasi, dan prosedur mediasi di pengadilan.
10
Bab ketiga berisikan mediasi dalam perspektif hukum islam, bab ini mengulas konsep perdamaian (as-shulhu) dalam penyelesaian perselisihan suami istri serta konsep perdamaian (as-shulhu) dalam perjanjian hukum Islam. Bab keempat berisikan tentang profil Pengadilan Agama Depok, faktor-faktor yang menghambat perkembangan mediasi, serta analisa penulis tentang hasil penelitian skripsi ini. Bab kelima, penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
11
BAB II PROSEDUR MEDIASI A. Pengertian Mediasi Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak.5 Dalam kamus besar Indonesia mediasi diartikan sebagai suatu proses pengikut sertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Sedang kata mediator itu sendiri adalah berarti penengah, perantara (penghubung atau penengah). 6 Mediasi dalam bahasa Inggris di sebut “mediation”, yang berarti penyelesaian sengketa dengan menengahi permasalahan untuk di damaikan, dan mediator adalah orang yang jadi penengah. Mediasi dalam literature hukum Islam bisa disamakan dengan konsep “Tahkim”. Kata Tahkim berasal dari bahasa Arab yang artinya ialah menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu, yang secara etimologis berarti menjadikan seseorang atau pihak ketiga atau yang disebut “Hakam” sebagai penengah suatu sengketa. Tahkim digunakan sebagai istilah bagi orang atau kelompok yang ditunjuk untuk mendamaikan sengketa yang terjadi diantara kedua belah pihak tahkim 5
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2009, h. 1-2. 6
Jhon Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, cet. XXV Pustaka Utama, 2003), h.
377
12
dimaksud sebagai upaya untuk menyelesaikan sengketa dimana para pihak yang terlibat dalam sengketa diberi kebebasan untuk memilih seorang Hakam (mediator) sebagai penengah atau orang yang dianggap netral yang mampu mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.7 Banyak pihak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan pihak ketiga. peranan pihak ketiga tersebut adalah dengan mengedintifikasi masalah-masalah yang disengketakan dan mengembangkan sebuah proposal. Proposal tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Dalam Perma No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, pengertian mediasi disebutkan pada pasal 1 butir 7, yaitu: “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.”8 Disini disebutkan kata mediator, yang harus mencari “berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa” yang di terima para pihak, sedang pengertian mediator disebutkan dalam pasal 1 butir 6, yaitu: mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian”. Dalam praktik, sebagai bagian dati proses mediasi, mediator berbicara secara rahasia dengan masing-masing pihak di sini mediator perlu membangun kepercayaan para pihak yang bersengketa lebih dahulu. Banyak cara yang dapat dilakukan mediator 7
Siti Juwairiyah, “Potret Mediasi Dalam Islam”, artikel di akses pada 26 juli 2010 dari http://badilag.net/2009/02/ Potret-mediasi-dalam-islam.html. 8
Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 Tentang pelaksanaa Mediasi di Pengadilan pada Pasal 1 ayat (7).
13
untuk menanamkan kepercayaan, misalnya dengan memperkenalkan diri dan melakukan penelusuran kesamaan dengan para pihak. Kesamaan tersebut mungkin dari segi hubungan kekeluargaan, pendidikan, agama, propesi, hobi, dan apasaja yang dirasa dapat memperdekat jarak dengan para pihak yang bersangkutan. Cara praktik itu tampaknya kemudian dituangkan dalam Perma No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pasal 15 ayat (3): Apabila di anggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.” Pengertian kaukus di sebutkan dalam pasal 1 ayat 4: “…pertemuan antara mediator dengan dengan salah satu pihak tanpa dihadiri pihak lainnya.” Pembicaraan atau diskusi-diskusi tersebut dilakukan tanpa adanya prasangka. Berdasarkan uraian di atas, mediasi merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka secara pribadi dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Pihak netral tersebut tugas pertamanya adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lainnya sehubungan dengan masalah-masalah yang disengketakan, dan selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari keseluruhan situasi. B. Sejarah Singkat dan Legalitas Mediasi Penyelesaian konflik (sengketa) telah di praktikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu. Masyarakat Indonesia merasakan penyelesaian sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang, dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan (komunikasi) dalam masyarakat.
14
Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip kebebasan yang menguntungkan kedua belah pihak. Para pihak dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara tokoh masyarakat. Penyelesaian yang dapat memuaskan para pihak (walaupun tidak 100%) dapat ditempuh melalui mekanisme musyawarah dan mufakat. Musyawarah mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa. Musyawarah mufakat sebagai nilai filosofi bangsa dijelmakan dalam dasar Negara, yaitu Pancasila. Dalam sila keempat Pancasila disebutkan, kerakyatan yang yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Nilai tertinggi ini, kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UUD 1945 dalam sejumlah peraturan perundangundangan dibawahnya. 9 Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia prinsip musayawarah mufakat yang berujung damai juga di gunakan di lingkungan peradilan, terutama dalam penyelesaian sengketa perdata. Hal ini terlihat dari sejumlah peraturan perundangundangan sejak masa Kolonial Belanda sampai sekarang masih memuat asas musyawarah damai sebagai salah satu asas peradilan di Indonesia bahkan akhir-akhir ini muncul dorongan kuat dari berbagai pihak untuk memperteguh prinsip damai melalui mediasi dan arbitrase dalam penyelesaian sengketa.10 Dorongan-dorongan ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan antara lain; penyelesaian sengketa melalui pengadilan memerlukan waktu yang cukup lama, melahirkan pihak menag kalah, 9
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta: kencana, 2009, hal284 10
Stephen B. Green, Arbitration: A viable Alternative for Solving Commercial Dispute in Indonesia, dalam Timothy Lindsey (ed.), hal 291.
15
cenderung mempersulit hubungan para pihak pasca lahirnya putusan hakim, dan para pihak tidak leluasa mengupayaka opsi penyelesaian sengketa mereka. Berikut akan dikemukakan sejumlah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar yuridis bagi penerapan mediasi dipengadilan maupun diluar pengadilan. Mediasi dengan landasan musyawarah menuju kesepakatan damai, mendapat pengaturan tersendiri dalam sejumlah produk hukum Hindia-Belanda maupun dalam produk hukum setelah Indonesia merdeka sampai hari ini. a.
Masa Kolonial Belanda
Pada masa kolonial Belanda pengaturan penyelesaian sengketa melalui upaya damai lebih banyak ditujukan pada proses damai dilingkungan peradilan, sedangkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, kolonial Belanda cenderung memberikan kesempatan pada hukum adat. Belanda meyakini bahwa hokum adat mampu menyelesaikan sengketa kaum pribumi secara damai, tanpa memerlukan intervensi pihak kolonial Belanda. Hukum adat adalah hukum yang hidup (living law) dan keberadaannya menyatu dengan masyarakat pribumi. Masyarakat Indonesia (pribumi) tidak dapat dilepaskan dari kehidupan adat mereka termasuk dalam penyelesaian kasus hukum. 11 Pada masa kolonial Belanda lembaga pengadilan diberikan kesempatan untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Kewenangan mendamaikan kasus-kasus keluarga dan perdata pada umumnya seperti perjanjian, jual beli, sewa menyewa, dan berbagai aktivitas bisnis lainnya.12
11
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta: kencana, 2009, hlm, 286. 12
R. Tresna, Komentar HIR, (Jakarta: Pradnya Paramita,1979), hlm.298
16
Dalam pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941:44), atau pasal 154 R.Bg (Rechts reglement Buitingwesten, Staatsblad, 1927: 227), atau Pasal 31 Rv (Reglement op de Rechtsvonrdering, Staatsblad 1874: 52), disebutkan bahwa hakim atau majlis hakim akan mengusahakan perdamaian sebelum perkara mereka diputuskan. Secara lebiih lengkap ketentuan pasal ini adalah: (1) Jika pada hari yang ditentukan, kedua pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka; (2) Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat surat akta tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menempati perjanjian yang perbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai keputusan biasa; (3) Keputusan yang demikian itu tidak dapat diijinkan banding; dan (4) Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.13 Ketentuan dalam Pasal 30 HIR/154 R.Bg/31 Rv menggambarkan bahwa penyelesaian sengketa melalui damai merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa sengketa di pengadilan. Upaya damai menjadi kewajiban hakim, dan ia tidak boleh memutuskan perkara sebelum upaya mediasi dilakukan terlebih dahulu. Bila kedua belah pihak bersetuju menempuh jalur damai, maka hakim harus segera melakukan mediasi terhadap kedua belah pihak, sehingga mereka sendiri menemukan bentuk-bentuk kesepakatan yang dapat menyelesaikan sengketa mereka. Kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam sebuah akta perdamaian, sehingga memudahkan para pihak melaksanakan isi kesepakatan itu. Akta damai memiliki kekuatan hukum sama 13
Reno Soeharjo, Reglement Indonesia yang Dibaharui s. 1941 No. 44 HIR, (Bogor: Politeia,1955), hlm.43
17
dengan vonnis hakim, sehingga ia dapat dipaksakan kepada para pihak jika salah satu dari mereka enggan melaksanakan isi kesepakatan tersebut. Para pihak tidak dibenarkan melakukan banding terhadap akta perdamaian yang dibuat dari hasil mediasi. Dalam sejarah hukum, penyelesaian sengketa melalui proses damai dikenal dengan “dading”. 14 Menurut ketentuan HIR penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat dilakukan bila memenuhi persyaratan; 1.
Para pihak ketika membuat perjanjian menyebutkan bahwa bila terjadi
perselisihan di kemudian hari, maka penyelesaian diserahkan kepada arbitrase (compromisioir beding); 2.
Para pihak bersepakat ketika terjadi perselisihan untuk menyerahkan
perkaranya kepada wasit (arbiter), dan tidak mengajukan perkara tersebut kepada hakim pengadilan. 15 b. Masa Kemerdekaan Sampai Sekarang Dalam pasal 24 UUD 1945 ditegaskan bahwa kekuatan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal 24 mengisyaratkan bahwa penyelesaian sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat dilakukan melalui jalur pengadilan (litigasi). Badan peradilan adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang mewujudkan hukum dan
14
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta: kencana, 2009, hlm. 288. 15
R. Tresna, Komentar HIR, (Jakarta: Pradnya Paramita,1979), hlm.297.
18
keadilan. Meskipun demikian, sistem hukum Indonesia juga membuka peluang menyelesaikan sengketa di luar jalur pengadilan (nonlitigasi). Penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan mengalami kendala dalam praktik peradilan, karena banyaknya perkara yang masuk, terbatasnya tenaga hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/kota. Penumpukan perkara tidak hanya terjadi pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Hal ini disebabkan sistem hukum Indonesia memberikan peluang setiap perkara dapat dimintakan upaya hukumnya, baik upaya hukum banding, kasasi dan bahkan peninjauan kembali. Akibat tersendatnya perwujudan asas ini telah mengakibatkan pencari keadilan kesulitan mengakses (acces to justice) guna mendapatkan hak-hak secara cepat. Keadaan ini tentu tidak dapat dibiarkan, karena berdampak buruk pada penegakan hukum di Indonesia. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa membawa perubahan penting bagi pola penyelesaian sengketa (perkara) dalam kehidupan masyarakat Indonesia. ketentuan mediasi baru di temukan dalam pasal ini yaitu tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, yang juga di atur oleh Peraturan Agung No. 02 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di pengadilan. Masyarakat cenderung berpikir bahwa ketika terjadi konflik atau sengketa, maka yang terbayangkan adalah pengadilan. Pandangan ini tidak salah, karena pengadilan memang memberi otoritas oleh Negara untuk menyelesaikan sengketa. Namun, ketika berhadapan dengan pengadilan, para pihak yang bersengketa menghadapi persoalan waktu, biaya dan mungkin persoalan mereka diketahui publik.
19
Dalam kontek ini, masyarakat berada dalam kondisi ambivalen. Pada satu sisi, masyarakat ingin perkaranya selesai, namun pada sisi lain mereka tidak bersedia berhadapan dengan pengadilan. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa membawa angin baru bagi para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa diluar pengadilan. Prinsip win-win solution dan penyelesaian secara cepat telah menjadi pilihan dan memberikan dorongan kepada para pihak bersengketa agar menunjukan itikad baik, karena tanpa itikad baik apa pun yang diputuskan diluar pengadilan tidak dapat dilaksanakan. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan
menganut
prinsip
sama-sama
menguntungkan,
berbeda
dengan
penyelesaian sengketa di pengadilan di mana prinsip yang dianut adalah menang atau kalah. Peraturan Mahkamah Agung RI NO. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Penyempurnaan tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena dalam Perma No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ditemukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif penerapannya di pengadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat, mempermurah, dan mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih besar kepada pencari keadilan. Kehadiran Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dimaksudkan untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaika para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata. Dalam Perma
20
No. 1 Tahun 2008 mendapat kedudukan penting, karena proses mediasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan. Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (pasal 2 ayat (3) Perma). Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan. C. Dasar Hukum Mediasi dalam Litigasi Yang menjadi dasar hukum diberlakunya mediasi dalam proses litigasi: 1.
Pancasila. Dasar hukum dari mediasi yang merupakan salah satu sistem ADR di
Indonesia adalah dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila, dimana dalam filosofinya tersiratkan bahwa penyelesaian sengketa adalah musyawarah mufakat, hal tersebut juga dalam Undang-undang Dasar 1945. Hukum tertulis lainnya yang mengatur tentang mediasi adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 3 ayat 2 menyatakan “ Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan beradasarkan Pancasila”. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) menyatakan: ketentuan ini tidak menutup kemungkinan untuk menyelesaikan perkara dilakukan diluar pengadilan Negara melalui perdamaian atau Arbitrase. 16 Kini telah jelas diakui secara hukum tentang adanya suatu lembaga alternatif di dalam pengadilan yang dapat membantu para pihak yang bersengketa untuk 16
Susanti Adi Nugroho, Naskah Akademis: MEDIASI (Jakarta: Peslitbang Hukum Dan Peradilan MA-RI, 2007), h.36.
21
menyelesaikan sengketanya. Karena selama ini yang dikenal dan diatur
dengan
peraturan perundang-undangan adalah Arbitrase saja. Yang tertuang dalam Undangundang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 2.
Pasal 130 HIR/154 Rbg Sebenarnya sejak semula Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg mengenal dan
menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai. Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi: Jika pada hari sidang yang di tentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka. 17 Selanjutnya ayat (2) menyatakan: Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat suatu surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menanti perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum acara yang berlaku baik pasal 130 Heirzein
Indonesis
Reglement
(HIR)
maupun
pasal
154
Rechtsreglement
Buitengewesten (Rbg), mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat di intensifkan dengan cara mengintegrasikan proses ini. 3.
Pasal 82 UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Pasal 82 berbunyi:
17
R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan (Bogor: Politea, 1985), h.88.
22
(1)
Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
(2)
Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak ada yang mengahadap secara pribadi dapat diwakilkan oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
(3)
Apabila kedua belah pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka pengugat pada sidang perdamaian tersebut menghadap secara pribadi.
(4)
Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Karena perceraian adalah suatu perbuatan yang dibenci Allah, walaupun perbuatan itu halal. Maka, peraturan ini menetapkan bahwa seorang hakim dalam menangani kasus (pasal ini menyebutkan gugat cerai) berkewajiban untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Usaha mendamaikan (mediasi tidak hanya dilakukan pada peradilan tingkat pertama saja tapi juga pada tingkat banding maupun tingkat kasasi. Oleh karena itu, hakim berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan pihak yang berperkara. 4.
Penjelasan pasal 31 ayat (2) PP No,9 Tahun 1975 Pasal 31 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975 berbunyi: (2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan. Dimana penjelasan pasal tersebut adalah: “Usaha untuk mendamaikan suami-istri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak terbatas pada siding pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang
23
perkara itu belum diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah pihak dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu. 18 5.
PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Sebagaimana dalam Pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2008 yang menyatakan
bahwa semua perkara yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Maka, pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, sebelum pembacaan gugatan dari penggugat. Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk lebih dahulu menempuh mediasi yang dibarengi dengan penundaan pemeriksaan perkara. 6.
Al Qur’an: Al Nisa’ (4) ayat: 128 “ wal shulhu khair” Dalam hukum Islam secara terminologis perdamaian disebut dengan istilah
Islah yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan. Dan menurut Syara’ adalah suatu akad dengan untuk maksud mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa.19 Dasar hukum dalam Al-qur’an, termaktub dalam surat An-Nisa’ ayat 128:
(١٢٨ )ﻟﻠﻨﺴﺎء Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang 18
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Depag RI, 2001), h. 178. 19
As Sayyid Sabiq, fiqh As Sunnah, juz III (Beirut: Dar AL Fikr, 1977, h.305.
24
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. An-Nisa : 128) Makna “wal shulhu khair” yakni “dan perdamaian itu lebih baik”. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata: “yaitu memeberikan pilihan”. Maksudnya apabila suami memberikan pilihan kepada istri antara bertahan atau bercerai, itu lebih baik daripada si suami terus menerus mengutamakan istri yang lain dari pada dirinya.20 Dzahir ayat ini bahwa perdamaian di antara keduanya dengan cara istri merelakan sebagian haknya bagi suami dan suami menerima hal tersebut, lebih baik daripada terjadi perceraian secara total. Sebagaimana mana yang di lakukan Nabi Muhammad SAW, beliau tetap mempertahankan Saudah binti Zam’ah dengan memberikan memberikan malam gilirannya
kepada
‘Aisyah
RA.
Beliau
tidak
menceraikannya
dan
tetap[
menjadikannya sebagai istri. 21 Beliau melakukan itu agar diteladani oleh umatnya, bahwasanya hal tersebut disyariatkan dan di bolehkan. Hal itu lebih utama pada hak Nabi Muhammad SAW. Kesepakatan itu lebih dicintai oleh Allah daripada perceraian. Firman Allah “wal shulhu khair” dan perdamaian itu lebih baik’, bahkan perceraian sangat dibenci oleh Allah SWT.22 Ayat ini berkaitan dengan perdamaian masalah perkawinan. 20
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2,cet.2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir,2008). H.683 21
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2,cet.2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir,2008). H.684 22
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2,cet.2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir,2008). H.470
25
Selain ayat tersebut, ada ayat lain yang secara langsung menganjurkan agar diadakan perdamaian yakni surat Al-Hujurat ayat 9:
(٩ : )اﻟﺤﺠﺮاث Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. Al-Hujurat: 9) Allah berfirman seraya memerintahkan untuk mendamaikan dua kubu kaum mukmin yang saling bertikai. Mereka tetap disebut sebagai orang-orang beriman meski saling menyerang satu sama lain. 23 Bila Al-Qur’an membolehkan perdamaian dalam masalah-masalah seperti diatas, maka perdamaian dalam masalah keperdataan yang menyangkut dengan harta bendapun dibolehkan pula. Bahkan bila di telaah dengan seksama kajian sulh dalam kitab-kitab fiqh klasik, objek kajiannya tertuju pada bidang perjanjian atau perikatan yang menyangkut harta benda. 7.
Al Sunnah Dalam penelesaian sengketa, langkah pertama yang Rasulullah tempuh adalah
jalan damai. Seperti sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Dari Abu Hurairah berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ Perdamaian antara orang-orang
23
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2,cet.2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir,2008). H.470.
26
muslim itu dibolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkanyang haram dan mengharamkan yang halal’ (HR. Abu Daud)24 Tirmidzi menambahkan: Artinya: dan orang-orang islam itu menurut perjanjian mereka, kecuali perjanjianyang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (Tirmidzi berkata, hadits ini Hasan Shohih). 25 Perdamaian yang dikandung oleh Sabda ini bersifat umum, baik mengenai hubungan istri, transaksi maupun politik. Selama tidak melanggar hak-hak Allah dan Rasul-Nya, perdamaian hukumnya boleh. 26 8.
Doktrin Umar ibn Khattab Umar dalam suatu peristiwa pernah berkata: “Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara
melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian diantara mereka”. 27 D. Tahap Pelaksanaan Mediasi Sama halnya dengan penyelesaian konflik yang lain mediasi juga mempunyai beberapa tahapan yang harus dilalui agar dapat menempuh tujuan yang di tuju dapat tercapai. Secara global tahapan mediasi bisa dibagi kedalam 3 (tiga) tahap, yaitu: 1.
Tahap persiapan
24
Abu Daud, Kitab sunan Abu Daud (Beirut: karoban Hazm, 1974), h.553. dapat juga di lihat Li ‘Ala Addin Samarqandi, Tuhfah al-fuqaha Juz 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h.249. 25
Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nailul al-Authar Juz5 (Kairo: Al-Babi alHolbi, t.th), h.378. 26
“Sulh”, dalam Abdul Azis Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi HUkum Islam, jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), h.1653. 27
Sayyid Sabiq, Terjemahan Fiqh Sunnah, jilid 13 (Bandung: Al-Ma’arif, 2000), h.212.
27
Dalam sebuah proses mediasi dibutuhkan bagi seorang mediator untuk terlebih dahulu mendalami terhadap apa yang menjadi pokok sengketa para pihak yang dibicarakan dalam mediasi tersebut. Dan tahap ini juga biasanya mengkonsultasikan dengan para pihak tentang tempat dan waktu mediasi, identitas pihak yang akan hadir, durasi waktu dan sebagainya. 2.
Tahapan Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan yang pertama dilakukan adalah pembentukan forum yaitu dimana sebelum dimulai antara mediator dan para pihak menciptakan atau membentuk forum. Setelah forum terbentuk diadakan rapat bersama dan mediator mengeluarkan pernyataan pendahuluan.28 Yang harus dilakukan mediator pada tahap ini adalah: a.
Melakukan perkenalan diri dan dilanjutkan perkenalan para pihak.
b.
Menjelaskan kedudukan peran dan wewenangnya sbagai mediator.
c.
Menjelaskan
aturan
dasr
tentang
proses
aturan
kerahasiaan
(confidentiality) dan ketentuan rapat. d.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan para pihak.
e.
Bila pihak sepakat untuk melanjutkan mediator harus meminta komitmen para pihak untuk mengikuti semua aturan yang berlaku. 29
Setelah itu tahap kedua dilanjutkan dengan pengumpulan dan pembagian imformasi, dimana mediator memberikan kesempatan kepada pihak untuk berbicara 28
Yasardin. Mediasi di Pengadilan Agama. Upaya Pelaksaan SEMA no. 1 Tahun 2002. Mimbar Hukum. No. 63, h. 21. 29
Ahmad Syarhuddin. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008, h. 4.
28
tentan fakta dan posisi menurut versinya masing-masing. Mediator sebagai pendengar yang aktif dan dapat mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dan harus juga menerapkan aturan keputusan dan sebaliknya mengontrol interaksi para pihak. Dalam tahap ini mediator harus memperhatikan semua informasi yang disampaikan masingmasing pihak, karena masing-masing informasi tentulah merupakan kepentingankepentingan yang selalu dipertahankan oleh masing-masing pihak agar pihak lain menyetujuinya. 30 Dalam menyampaikan para pihak juga mempunyai gaya yang berbeda-beda, hal-hal seperti itulah yang harus diperhatikan oleh mediator. Setelah pengumpulan dan pembagian data maka langkah ketiga dilanjutkan negosiasi pemecah masalah. Yaitu diskusi dan tanggapan terhadap informasi yang disampaikan oleh masing-masing pihak. Para pihak mengadakan tawar-menawar (negosiasi diantara mereka). Terdapat 12 faktor yang menyebabkan proses mediasi menjadi efektif, yaitu: 1)
Para pihak memiliki sejarah pernah bekerja sama dan berhasil menyelesaikan beberapa masalah mengenai beberapa hal.
2)
Para pihak yangbersengketa (terlibat dalam proses mediasi) tidak memiliki sejarah panjang saling menggugat di pengadilan sebelum melakukan proses mediasi.
3)
Jumlah piahk yang terlibat dalam sengketa tidak meluas sampai pada pihak yang berada diluar masalah.
30
Ahmad Syarhuddin. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008, h. 5
29
4)
Pihak-pihak yang terlibat sengketa telah sepakat untuk membatasi permasalahan yang akan di bahas.
5)
Para pihak mempunyai keinginan besar untuk menyelesaikan masalah mereka.
6)
Para pihak telah mempunyai atau akan mempunyai hubungan lebih lanjut dimasa yang akan datang.
7)
Tingkat kemarahan dari para pihak masih dalam batas normal.
8)
Para pihak bersedia menerima bantuan pihak ketiga.
9)
Terdapat alasan-alasan yang kuat untuk menyelsaikan sengketa.
10)
Para pihak tidak memiliki persoalan psikologis yang benar-benar menggangu hubungan mereka.
11)
Terdapat sumber daya untuk tercapainya sebuah kompromi.
12)
Para pihak memiliki kemauan untuk saling menghargai31.
Alokasi yang terbear dalam mediasi biasanya terjadi pada tahap negosiasi, karena dalam negosiasi ini membicarakan masala krusial yang diperselisihkan32. Pada tahap ini terbuka kemungkinan terjadi perdebatan bahkan dapat terjadi keributan antara para pihak yang bersengketa. Seorang mediator harus bisa menjalin kerja sama dengan para pihak secara bersama-sama dan terpisah untuk mengidentifikasikan isu-
31
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung: PT Aditya bakti, 2003), h.102-103. 32
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, h. 104.
30
isu, memberikan pengarahan para pihak dari posisi masing-masing
menjadi
kepentingan bersama33. Yang bisa dilakukan mediator pada tahap ini, ialah: 1)
Membantu para pihak menaksir, menilai dan memprioritaskan kepentingan masing-masing.
2)
Memperluas atau mempersempit sengketa bilaman perlu.
3)
Membuat agenda negosiasi.
4)
Memberikan penyelesaian alternatif.
3.
Tahap Pengambilan Keputusan
Pada tahap ini para pihak saling berkerja sama denga bentuan mediator untuk mengevaluasi pilihan, mendapatkan trade off dan menawarkan paket, memperkecil perdebatan-perdebatan dan mencari basis yang adil bagi alokasi bersama. Dalam tahap penentuan keputusan mediator dapat juga menekan para pihak, mencarikan rumusanrumusan untuk menghindari rasa malu, membantu para pihak dalam menghadapi para pemberi kuasa (kalau dikuasakan) 34.
33
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, h. 105.
34
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, h. 106.
31
BAB III MEDIASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Dasar Hukum Mediasi Dasar hukum mediasi terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw. Prinsipprinsip untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara damai termaktub dalam beberapa ayat al-Qur’an, diantaranya:
( :)اﻟﻨﺴﺎء Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakamdari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. An-Nisa Ayat 35)
(٩-١٠:)اﻟﺤﺠﺮاث Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al-Hujurat: 9-10)
32
٨٢ :)اﻟﻨﺴﺎء Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( Q.S. An-Nisa: 128) B. Konsep Peradamaian (As-Sulhu) Dalam Penyelesaian Perselisihan Suami Isteri As-Sulhu berasal dari kata Sholuha, yang berarti perdamaian. 35 Wahbah Zuhaily mengartikan secara bahasa berarti memutus pertikaian atau persengketaan.36 Sedangkan secara syara’, as-Sulhu adalah akad yang bertujuan untuk mengakhiri persengketaan yang terjadi antara dua belah pihak yang berselisih. 37 Sedangkan musholih berarti juru damai atau pendamai. 38 Rukun-rukun as-sulhu adalah adanya orang atau pihak yang berakad untuk melakukan perdamaian disebut mushalih, adanya objek yang disengketakan disebut mushalih ‘anhu. Adanya tindakan yang dilakukan salah satu pihak untuk memutuskan
35
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), hal 1186. Lihat juga Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,1997). Hal.788. 36
Wahbah zuhaily, al-Fiqh al-islami wa aadilatuhu, (Syiria: Dar-alfikr, 1985), juz V, Cet.II.
37
Wahbah zuhaily, al-Fiqh al-islami wa aadilatuhu, (Syiria: Dar-alfikr, 1985), juz V, Cet.II.
h.293
h.293 38
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), hal 1186
33
perselisihan dengan jalan damai yang disebut dengan Masalih ‘alaihi atau Badalush sulh, dan adanya ijab dan qabul dari kedua pihak yang melakukan perdamaian. Adapun syarat-syarat Mashalih bih atau barang-barang yang disengketakan adalah berbentuk harta yang dapat dinilai, dapat diserah terimkan dan bermanfaat, dan barang haruslah diketahui secara jelas agar memperkecil kemungkinan timbulnya perselisihan kembali. Selain itu barang yang disengketakan tidak terdapat hak orang lain didalamnya. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa tidak sah untuk bentuk kesepakatan, jika terdapat hak orang lain dalam benda/harta yang disengketakan. 39 Mushalih ‘anhu tidak sah jika terkait dengan hak Allah seperti perbuatan zina, mencuri atau minum khamar kemudian berdamai dengan orang yang menangkapnya atau berdamai dengan memberikan sejumlah uang kepada hakim agar melepasnya, dan lain-lain. karena syarat utama dari sulhu adalah bukan menghalalkan yang haram dan bukan mengharamkan yang halal. 40 Syarat ini di dukung dengan sabda Rasulullah SAW : Artinya: dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Perdamaian itu boleh (diadakan/dilakukan)
diantara
sesama
muslim,
kecuali
perdamaian
yang
mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” (Hadis Riwayat Ibnu HIbban). 41
39
Tenngku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjauan Antar Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizky Putra,2001), h.55. 40
Tenngku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Hukum-hukum Fiqh Islam: Tinjauan Antar Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizky Putra,2001), h.56. 41
Seperti yang dikutip oleh Wahbah Zuhaily bahwa menurut At-Tirmidzi hadist ini derajatnya adalah shahih. Lihat Wahbah Zuhaily, al-fiqh al-Islam wa adilatuhu, juz yang ke V, Syira. Dar-al-fikr. Cet.II. 1985.h.294.
34
Sedangkan Sayyid sabiq 42 dan Wahbah Zuhaily43 mengkatagorikan tiga jenis perdamaian, yakni; 1.
Perdamaian ikrar, yakni perdamaian yang terjadi jika pihak tergugat
membenarkan gugatan penggugat dan kemudian mereka berdamai. 2.
Perdamaian
ingkar,
yakni
gugatan
yang
diajukan
penggugat
kepengadilan dengan alasan tergugat telah ingkar terhadap suatu perjanjian yag dulu telah mereka sepakati. Apabila mereka berdamai maka disebut perdamaian ingkar 3.
Perdamaina sukut yakni jika seorang menggugat orang lain tentang
suatu hal, kemudian ia hanya berdiam diri tanpa membenarkan maupun menyangkal. Apabila kedua belah pihak berdamai maka telah terjadi perdamaian sukut. Perdamaian sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Dalam Firman Allah dikatakan bahwa;
(١٠-٩ : )اﻟﺤﺠﺮات Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya 42
Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1987), juz 13, H. 213. Wahbah Zuhaily, al-fiqh al-Islam wa adilatuhu, (Syiria: Dar-al-Fikr, 1985) Juz yang ke V, Cet.II, h. 295-297 43
35
bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al-Hujurat: 9-10) Berdasarkan ayat diatas , kata اﺻﻼحdisebutkan sebanyak dua kali. Menurut Quraish Shihab ayat kedua dikaitkan dengan kata ( ﺑﺎﻟﻌﺪلdengan adil). Menurut beliau, upaya islah pertama banyak kemungkinan menyinggung perasaan yang mengganggu jalannya proses perdamaian. Untuk itu perlu mengupayakan perdamaian lagidengan hati-hati hingga lahirlah keadilan bagi kedua belah pihak.44 Kata ا ﺻﻠﺤﻮاberasal dari kata , اﺻﻼحyang asalanya adalah ﺻﻠﺢyang berarti mufakat.45 Lawan kata اﺻﻼحadalah ﻓﺴﺪyang berarti rusak. Sedangkan اﺻﻼحadalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sehingga manfaatnya lebih banyak lagi. Menurut Quraish Shihab, dalam konteks hubungan sosial, nilai-nilai tersebut tercermin dalam keharmonisan hubungan antara manusia, dan jika hubungan ini terganggu maka terjadilah kerusakan atau paling tidak berkurang manfaat tersebut. Hal ini menuntut adanya اﺻﻼحyakni perbaikan agar keharmonisan hingga menjadi pulih kembali. Dengan demikian terpenuhilah nilai-nilai manfaat dalam hubungan tersebut hingga lahirlah manfaat dan kemaslahatan bagi keduanya. 46 Terdapat dua kunci pada ayat ini, yakni kata (ﻋﺪلAl-‘adl) dan kata ( ﻗﺴﻂAlQisth). Kata ( ﻋﺪلAl-‘Adl) itu, bermakna lurus atau tidak condong kearah manapun. Jika dikaitkan dengan salah satu Asma Allah, kata ( ﻋﺪلAl-a‘dl) bermakna bahwa Dia tidak condong kepada nafsu atau keinginan-keinginan yang dapat membuat dia 44
Quraish Shihab, Tafsir Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,2002), Volume 13, h.245-246.
45
Munawwir A.W., Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya:Pustaka Progresif,1997),Cet,XIII h.788 46
Quraish Shihab, Tafsir Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,2002), Volume 13, h.245-246.
36
condong kearah lain yang mempengaruhi penetapan-penetapan-Nya. 47 Adil dapat juga dikatakan menepatkan sesuatu pada tempatnya.48 Sebab kata ( ﻗﺴﻂAl-Qisth), banyak disamakan artinya dengan Al-adl. 49 Namun sebenarnya terdapat perbedaan antara keduanya. Mengenai hal ini Quraish Shihab berpendapat bahwa kata ( ﻗﺴﻂAl-Qist) dan kata ‘( ﻋﺪلAdl) memiliki perbedaan. Kata ﻗﺴﻂberarti keadilan yang diterapkan di atas dua pihak atau lebih atau keadilan yang menjadikan mereka semua senang. Sedangkan ﻋﺪلadalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan salah satu pihak.50 Dengan demikian konsep win-win solution dapat merupakan salah satu bentuk dari kata ﻗﺴﻂIni berarti konsep yang ditawarkan proses mediasi lebih disukai Allah, karena banyak manfaat bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Lebih lanjut Quraish Shihab menambahkan, bahwa Allah lebih menyukai jika ditegakkannya keadilan walaupun hal tersebut mengakibatkan kerenggangan hubungan diantara kedua belah pihak yang berselisih, tetapi ia lebih menyukai lagi jika keadilan tersebut dirasakan oleh kedua belah pihak sehingga perselisihan tidak akan menjadi berlarut-larut.51 Dalam hal penyelesaian perselisihan rumah tangga, Al-
47
Munawwir A.W., Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya:Pustaka Progresif,1997),Cet,XIII h.904 48
Ibnu Mandzur, Lisan al- ‘Arab, (Beirut:Darul As-Shodir,2000), Juz ke 10, h.60.
49
Munawwir A.W., Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya:Pustaka Progresif,1997),Cet,XIII h.1118 50
51
Quraish Shihab. Tafsir Misbah. Volume 13, h.246. Quraish Shihab. Tafsir Misbah. Volume 13, h.246.
37
Quran telah mengatur beberapa metode dalam penyelesaian konflik yang terjadi di antara kedua pasangan (suami-istri). 1.
Musyawarah
Musyawarah merupakan salah satu pokok ajaran yang sangat penting dalam islam. Dalam peribahasa orang Arab dikatakan: “Orang beristikharah tidak akan gagal, orang yang bermusyawarah tidak akan menyesal”. Maka dari itu, al-Qur’an sangat mengapresiasi musyawarah sebagai jalan untuk mencapai kesepakatan atau kemaslahatan. Musyawarah yang dimaksud adalah musyawarah yang dilakukan oleh kedua pasangan suami istri secara langsung. Terdapat tiga ayat yang berbicara dan menyebutkan dalam al-Qur’an, yaitu:
:)اﻟﺒﻘﺮة ( Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. AlBaqarah (2) ayat 233) 38
(١٥٩ : )اﻟﻌﻤﺮان Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S. Ali “imran (3) ayat 159)
(٣٨ : )اﻟﺴﺆار Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. (Q.S. As-Syura’ (42) ayat 38)
Ketiga ayat diatas mengindikasikan bahwa dengan cara musayawarah, baik itu kesepakatan ataupun kemaslahatan, dapat tercapai. Musyawarah memang bukan hanya di peruntukan bagi yang sedang bertikai tetapi juga dalam satu kelompok yang menghendaki
adanya
kemaslahatan
bagi
mereka.
Dalam
hal
ini,
penulis
mengkhususkan musyawarah dalam kaitannya dengan pertikaian diantara suami istri. Memang sebaiknya segala persoalan dalam rumah tangga, baik itu hal yang sepele sifatnya ataupun besar, diselesaikan lewat musyawara. Hal ini akan membuat suami atau istri dihargai haknya. Di dalam musyawarah ada penghargaan atas pendapat-pendapat pasangan yang juga memiliki hak untuk menentukan arah ataupun
39
hal yang ingin di capai. Misalnya saja pada ayat yang pertama di atas, ayat tersebut mengisyaratkan bahwa dalam hal sekecil apapun Menentukan arah ataupun hal yang ingin dicapai. Misalnya saja pada ayat yang pertama diatas, ayat tersebut mengisyaratkan bahwa dalam hal sekecil apapun dianjurkan untuk melakukan musyawarah terutama dalam menyelesaikan konflik rumah tangga. Dalam permusyarawaratan ini, kedua belah pihak dapat mengeksplor lebih jauh keinginan mereka sehingga keduanya dapat meraih kesepakatan bersama (win-win solution). 2.
Hakamain
Pada ayat diatas penyelesaiannya yang dianjurkan adalah penyelesaian dengan jalan bermusyawarah yang dilakukan oleh kedua belah pihak secara langsung. Namun jika masih menemukan jalan buntu, dapat ditempuh dengan mengutus pihak ketiga yang disebut hakamain, yakni hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak istri. Adapun hakam yang di maksud disyaratkan haruslah mengetahui permasalahan yang mereka hadapi. Seperti dalam Firman Allah SWT;
( ٣٥: )اﻟﻠﻨﺴﺎء Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (An-Nisa’: 33) Pada ayat sebelumnya (An-Nisa ayat 34), dijelaskan bahwa terdapat tiga langkah penyelesaian dalam perselisihan rumah tangga yang disebabkan oleh pembangkang (nusyuz) yang dilakukan oleh istri, yakni: pertama, memberi nasihat 40
atau pendapat yang bisa membuat istri menyadari dan menginsyafi kesalahankesalahan yang dilakukannya. Jika tidak dihiraukan oleh istri, maka untuk tidak tidur dalam satu ranjang. Apabila istri tidak berubah juga maka dianjurkan untuk memukul istri akan tetapi tidak mukanya. Ayat ini diartikan secara literal oleh para ulama, and dijadikan dasar hukum/hujjah untuk menggunakan kekerasan terhadap perempuan jika tidak mematuhi suaminya. Padahal Rasulullah sendiri tidak pernah memukul istri-istrinya. Lebih spesipik Fatima Mernisi menjelaskan bahwa, para mufassir banyak yang menjelaskan bahwa nusyuz adalah suatu bentuk penolakan untuk mematuhi suami dalam masalah hubungan badan, termasuk Al-Thabari. Dimana dijelaskan bahwa nusyuz itu adalah istri yang memperlakukan suaminya dengan kesombongan, menolak untuk berhubungan ditempat tidur yang dianggap telah melakukan penolakan yang nyata untuk melakukan kepatuhan yang diinginkan oleh suami. 52 Pada ayat selanjutnya dikemukakan terdapat strategi lain dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga. Apalagi jika keduanya telah pisah rumah dan tidak memungkinkan untuk berkomunikasi lagi karena diselimuti amarah. Srategi tersebut adalah mengutus dua hakam untuk menengahi keduanya, yakni satu hakam dari pihak suami dan satu hakam dari pihak isteri untuk bermusyawarah. Upaya ini diharapkan agar dapat sebagai penyambung pesan atau tuntutan dari kedua belah pihak yang bertikai dan mencapai kata sepakat.53
52
Fatima Mernisi, Menengok Kontroversi Peran Kaum Wanita Dalam Politik (Surabaya, Dunia Ilmu Offset),1997), h. 217.
41
Sejalan dengan teori ini, terdapat suatu peristiwa menurut riwayat Imam AsSyafi’I dalam kitab Al-Umm dan al-Baihaqi di dalam As-Sunan dan beberapa riwayat lain (Ubaidah Al-Sulaimani)54 diceritakan bahwa suatu hari datanglah seorang lakilaki dan seorang perempuan kepada Ali bin Abi Thalib r.a. mereka mengadukan perselisihan /syiqaq yang terjadi dalam rumah tangga mereka. Kemudian Ali memerintahkan agar mengutus dua orang hakam yakni dari pihak suami dan dari pihak suami dan dari pihak isteri. Kemudian Ali berkata pada dua orang hakam tersebut tentang tugasnya agar menyelidiki tentang duduknya perkaranya. Namun Ali menambahkan bahwa jika menurut hakam tersebut keduanya tidak dapat diceraikan maka hakam tersebut diperintahkan untuk menceraikannya. Ibnu Abbas juga sepakat ayat ini diperuntukan bagi mereka (suami-isteri) yang telah rusak hubungan rumah tangganya. 55 Menurut Ali dan Ibnu Abbas, kewenangan yang dimiliki seorang hakam adalah memiliki hak penuh dalam menyatukan kembali hubungan suami isteri dan bahkan menceraikannya. Berbeda dengan Hasan Bishri yang berpendapat bahwa kewenangan hakam hanya sebatas pada hak untuk menyatukan kembali dan tidak menceraikan. Upaya ini banyak diterapkan Negara-negara muslim lain dalam hukum beracara di pengadilan. Itu sebabnya metode mediasi secara utuh dikalangan Negara muslim belum dikenal. C. Konsep Perdamaian (As-Sulhu) Dalam Sistem Perjanjian Hukum Islam 53
Fatima Mernisi, Menengok Kontroversi Peran Kaum Wanita Dalam Politik (Surabaya, Dunia Ilmu Offset),1997), h. 217. 54
Lihat Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz V-VI (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983)h. 54
55
Lihat Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz V-VI (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983) h. 54.
42
Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang ada di dalam persetujuan tersebut.56 Kesepakatan atau persetujuan yang diraih oleh para pihak yang berperkara adalah merupakan tanda bahwa mediasi telah berhasil. Kesepakatan itu timbul karena para pihak bersengketa telah melakukan al’aqdu (akad) dan al’ahdu (janji). Kata ﻋﻘﺪadalah mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga tidak menjadi baginya dan tidak berpisah dengannya. 57 Abdoerraoef menjelaskan bahwa terdapat tiga tahap yang terjadi dalam suatu perikatan (al-‘aqdu), yakni:58 ● Al-ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada kaitannya dengan orang lain yang sifatnya mengikat mengikat kedua belah pihak. ● persetujuan, yakni pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. ● Apabila janji tersebut dilaksanakan oleh para pihak, maka terjadilah yang dinamakan ‘aqdu (perikatan). Proses perikatan ini tidak jauh berbeda dengan konsep perikatan milik Subekti, yakni satu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana
56
Departemen Penddidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke-3, h.778. 57
Quraish Shihab, Tafsir Misbah: Peran, Kesan dan KeserasianAl-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati,2002), Volume 3, Cet ,IX, h.7. 58
Munawwir A.W., Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya:Pustaka Progresif,1997),Cet,XIII h.953
43
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk mematuhi tuntutan itu. Dari pejanjian ini, maka terciptalah hubungan hukum diantara keduanya. 59 Hasil akhir dari proses mediasi adalah kesepakatan atau perjanjian yang tertuang dalam bentuk akta perdamaian. Konsep kesepaktan yang dibuat oleh kedua belah pihak yang harus memenuhi asas-asas dalam hukum Islam. Syamsul Anwar mengelompokan 8 (delapan) asas perjanjian dalam Islam ke dalam 8 kelompok60, yakni; 1. Asas Ibahah (Mabda’ al-Ibahah) 2. Setiap perjanjian atau perikatan adalah dibolehkan, sampai adanya suatu aturan yang mengharamkannya. Asas ini adalah asas umum hukum mu’amalah dalam Islam. Rasulullah bersabda; “Perjanjian diantara orangorang muslim itu boleh, kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”. Dari Abu Daud, at-Tirmizi, Ibnu Majah, al-Hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari ‘Amir bin Auf. 1. Asas kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyyah at-Ta’aqud) Para pihak bebas melakukan transaksi apapun, bebas menentukan objek dari transaksi, bebas menentukan dengan siapapun. Asas kebebasan berkontrak di dalam hukum Islam dibatasi oleh ketentuan syari’at Islam. Dalam membuat perjanjian, tidak dibolehkan ada paksaan, kekhilapan dan penipuan. Adapun kebebasan dalam berakad
59
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1992), Cet.14, h.1.
60
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT.Rajawali Pres, 2007), h.83.
44
dalam hukum Islam didasarkan pada Firman Allah, yakni: “wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad (perjanjian-perjajian).” (Q.S. Al-Ma’idah (5):1)61 1.
Asas konsensualisme (Mabda’ ar-Radha’iyyah)
Asas ini menghendaki terciptanya suatu perjanjian yang dicukupkan dengan hanya kata sepakat antara kedua belah pihak tanpa harus dipenuhinya formalitasformalitas tertentu. Misalnya terjadi pada transaksi tukar-menukar barang. Pada transaksi jenis ini para pihak cukup menggunakan kata sepakat saja. Dalil dari asas ini adalah sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan kata sepakat”.62 2.
Asas Janji itu Mengikat
Dari kesepakatan akan melahirkan janji. Janji tersebut punya kekuatan untuk mengikat dalam hubungan hukum yang sudah terjalin dari adnya kesepakatan. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang memerintahkan manusia agar memenuhi janji, diantaranya ”…dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan dimintakan pertanggung jawabannya”. (Q.S. Al-Isra’ (17):34). Dalam ayat ini jelas dikatakan bahwa Allah memerintahkan umat manusia untuk memenuhi janji terhadap siapapun orang yang kita janjikan. Karena janji yang kamu janjikan akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah kelak di hari kemudian.63 3.
Asas
keseimbangan
(Mabda’
at-Tawaazun
fi
al-Mu’awahah)
Dalam perjanjian atau perikatan, kedua belah pihak menanggung resiko dan
61
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT.Rajawali Pres, 2007), h.83
62
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t), Hadis no.2185, Juz II, h.737.
63
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT.Rajawali Pres, 2007), h.83
45
keuntungan yang adil, hingga masiing-masing pihak tidak aka nada yang merasa dirugikan.64 4.
Asas Kemaslahatan (Tidak Memberatkan)
Asas kemaslahatan yang dimaksud disini adalah akad yang dibuat oleh para pihak memiliki tujuan untuk kemasalahatandan tidak menimbulkan kesulitan bagi salah satu pihak untuk memenuhi isi dari kesepakatan tersebut.65 5.
Asas Amanah
Perjanjian yang dibuat dan disepakati kedua belah adalah bentk dari amanah yang harus dilaksanakan. Kedua belah pihak harus beritikad baik untuk memenuhi isis perjanjian dan terbuka dalam informasi apapun terkait dengan kesepakatan yang di buat.66 6.
Asas keadilan
Tujuan akhir yang hendak diwujudkan oleh hukum adalah keadilan. Dalam Alqur’an dikatakan bahwa, “Berlaku adilah, karena itu lebih dekat kepada takwa”. (Q.S. al-Ma’idah (5): 3). Sedangkan asas hukum perikatan menjadi 6 asas 67, yakni; AsasIllahiyyah, asas kebebasan (al-Hurriyah), Asas kerelaan (al-Ridha), Asas kejujuran dan kebenaran (al-Shidq), dan Asas Tertulis (al-Kitabah).
64
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT.Rajawali Pres, 2007), h.83.
65
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT.Rajawali Pres, 2007), h.83.
66
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: PT.Rajawali Pres, 2007), h.83.
67
Faturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syari’ah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman, (Jakarta: Citra aditya Bakti: 2001), Cet.1, h. 249-251. Lihat juga Gemala Dewi, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Kencana, 2006), h. 30
46
Pada asas ini di jelaskan bahwa setiap upaya perdamaian haruslah memenuhi unsur Ilahiyyah, kebebasan (asal tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal), unsur kerelaan dari kedua belah pihak, unsur kebenaran dan kejujuran dari keduanya dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Dalam mediasi, asas tertulis dalam sebuah kesepakatan dituangkan dalam bentuk akta perdamaian yang dibuat di depan Notaris atau bawah tangan dan dapat pula dikukuhkan dalam bentuk putusan perdamaian oleh hakim yang memaksa perkaranya.
47
BAB IV IMPLEMENTASI MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERCERAIAN A. Profil Pengadilan Agama Depok 1.
Dasar Pembentukan
Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan kota Depok yang berawal dari satu wilayah Kecamatan Depok berkembang menjadi kota Adminstratif sebgai bagian dari
Kabupaten
Bogor
kemudian
menjadi
Kota
Depok,
dibentuk
pula
PengadilanAgama Depok berlaqndaskan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002. Pengadilan Agama Depok diresmikan pada tanggal 25 juni 2003 oleh Walikota Depok di Balai Kota Depok dan mulai menjalankan fungsinya sejak tanggal 1 Juli 2003. Selain itu yang menjadi dasar pertimbangan perlunya dibentuk Pengadilan Agama Depok adalah antara lain: a.
Depok telah menjadi sebuah Pemerintahan Kota, yang berdiri sendiri
lepas Pemkab. Bogor yang perlu dibentuk/adanya sebuah Pengadilan Agama sesuai Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. b.
Perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh PA Cibinong, 55%nya
berasal dari penduduk yang berdomisili di Depok, sesuai hasil studi kelayakan. c.
Untuk melaksanakan asas cepat dalam penyelesaian perkara, karena
Pemerintah Kota Depok harus menempuh jarak yang jauh ke PA Cibinong. d.
Jumlah
penduduk
yang
beragama
Islam
di
Depok
telah
mencapai…(…%) dari jumlah penduduk Kota Depok. 68 2.
68
Yurisdiksi
Selayang Pandang Pengadilan Agama Depok, 2005.
48
Wilayah hukum (yurisdiksi) Pengadilan Agama Depok semula tunduk dan menjadi kewenangan relatif Pengadilan Agama Cibinong. Namun setelah berdiri sendiri berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Pengadilan Agama Depok dan diresmikan operasionalnya oleh Bapak Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelengaraan Haji Departemen Agama Republik Indonesia pada tanggal 25 Juni 2003 M, bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Awal 1424 H, maka wilayah Pemerintah Kota Depok juga merupakan wilayah hukum di Pengadilan Agama Depok69. Selama tiga tahun beroperasi, Pengadilan Agama Depok berkantor di Jl. Bahagia Raya No. 11 dengan mengontrak rumah penduduk, kemudian pada tangal 20 Februari 2007, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Bagir Manan, meresmikan kantor Pengadilan Agama Depok yang baru di Bandung bersamaan dengan peresmian kantor Pengadilan Agama Bandung. Kantor Pengadilan Agama Depok yang baru tersebut, berdiri di atas tanah hibah Pemrintah Kota Depok seluas 1.417 m2 dengan luas bangunan 600 m2 yang beralamat di Jl. Boulevard Sektor Anggrek Grand Depok City (d.h. Kota Kembang), Depok, dan sejak tanggal 1 Maret 2007 seluruh aktivitas pelayanan dipindahkan dari kantor Pengadila Agama yang lama ke kantor Pengadilan Agama yang baru tersebut.70 Berdasarkan Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia, nomor 039/SEK/SK/IX/2008, tentang Peningkatan Kelas Pada 19 (Sembilan belas)
69
Jejen Nursalim,” Sejarah Pengadilan Agama Depok”. Artikel diakses pada 2 Agustus 2010 dari http://padepok.pta-bandung.net. 70
Jejen Nursalim,” Sejarah Pengadilan Agama Depok”. Artikel diakses pada 2 Agustus 2010 dari http://padepok.pta-bandung.net.
49
Pengadilan Agama Kelas II Menjadi Kelas IB, tertanggal 17 September 2008, Pengadilan Agama Depok yang semula kelas II kemudian menjadi Kelas IB. a.
Letak Geografis dan luas wilayah Pengadilan Agama Depok
Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6o 19’ 00”- 6o 28’ 00” Lintang Selatan dan 106o 43’ 00” – 106o 55’ 30” Bujur Timur. Secara geografis, Kota Depok berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan wilayah Jabotabek.71
Bentang alam Kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50 – 140 meter diatas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Kota Depok sebagai wilayah termuda di Jawa Barat, mempunyai luas wilayah sekitar sekitar 200,29 km2. 72
Kondisi geografinya dialiri sungai-sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Cisadane serta 13 sub Satuan Wilayah Aliran Sungai. Disamping itu pula terdapat pula 25 situ. Data luas pada Tahun 2005 sebesar 169,68 Ha, dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar.
Kondisi tofografinya berupa dataran rendah bergelombang dengan kemiringan lereng yang landai menyebabkan banjir di beberapa wilayah, terutama kawasan
71
Selayang Pandang Pengadilan Agama Depok,2005, h.4
72
Selayang Pandang Pengadilan Agama Depok, 2005. h,5
50
cekungan antara beberapa sungai yang mengalir dari selatan menuju utara: Kali Angke, Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan dan Kali Cikeas. 73
b.
Kompetensi Absolut dan Relatif Pengadilan Agama Depok
Kompetensi absolut yaitu kekuasaan Pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama Depok. Adapun kompetensi absolut Pengadilan Agama mengacu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 49, yaitu: 1)
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tiingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a)
Perkawinan
b)
Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c)
Wakaf dan shadaqah
2)
Bidang perkawinan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf (a) ialah halhal yang diatur dalam dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku.
3)
Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf (a) ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penetuan mengenai harta peniggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peniggalan tersebut.
4)
73
Bidang Ekonomi Syari’ah
Selayang Pandang Pengadilan Agama Depok, 2005.h.5
51
Sedangkan yang dimaksud dengan kompetensi relatif yaitu kekuasaan Pengadilan Agama Depok dalam mengadili berdasarkan wilayah atau daerah yurisdiksinya. Adapun kompetensi relatif Pengadilan Agama Depok adalah seluruh wilayah yang secara administratif di naungi oleh Kotamadya Depok,
Kompetensi relatif ini memiliki arti sangat penting sehubungan dengan pengadilan manakah seseorang akan mengajukan perkara dan sehubungan hak eksepsi tergugat. 3.
Struktur Organisasi Pengadilan
Struktur organisasi Pengadila Agama Depok adalah Sebagai berikut: 1.
Pimpinan:
Ketua
: Dra. Nia Nurhamidah R, M.H.
Wakil Ketua
: Drs. H. Toha Mansyur, S.H.,M.H.
Panitera sekretaris
: Drs. H. Asop Ridwan, M.H
2.
Tenaga Fungsional:
Para Hakim yaitu: 1.
Drs. Azid Izuddin. M.H.
2.
Dra. Taslimah. M.H
3.
Drs. Sarnoto. M.H.
4.
Dra. Sulkha Harmiyanti. S.H.
5.
Drs. Agus Abdullah. M.H.
6.
Dra. Hj.Siti Nadirah
7.
Drs. H.A. Baidowi. M.H
52
8.
Dra. Nurmiwati
3.
Kepaniteraan/Kesekretariatan:
a.
Panitia Sektretaris dibantu oleh:
Wakil Panitera
: Endang Ridwan, S.ag.
Panitera Muda Pemohon
: Mumu, S.H., M.H.
Panitera Muda Gugatan
: M. Ali Apriddy, S.H.
Panitera Muda Hukum
: Drs. E. Arifudin
Serta beberapa orang Panitera Pengganti dan Jurusita Pengganti, sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989.74 b.
Sekretaris dibantu oleh:
Wakil Sekretaris
: H. Supjadin, S.ag.
Kepala Urusan Kepegawaian : Indra Ari Setiawan, S.H. Kepala Urusan Keuangan
: Siti Aisah, S.H.
Kepala Urusan Umum
: Mataris, S.H.
B. Praktek Mediasi Di Pengadilan Agama Depok Dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, telah terjadi perubahan fundamental dalam praktek peradilan di Indonesia. pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga berjkewajiban mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan yang selama ini berkesan sebagai lembaga penegakan
74
Siddiki, Drs., Mediasi Di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, www.badilag.net, 2009, h.2
53
hukum dan keadilan, tetapi sekarang pengadilan juga menampakan diri sebagai lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihak-pihak yang bertikai. 75 Pemberlakuan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan diharapkan menjadi tonggak awal keefektifan mediasi, bukan hanya dalam tataran teoritis melaikan juga praktis, karena Perma tersebut adalah hasil penyempurnaan dari pembacaan pengalaman dari Perma sebelumnya, yakni Perma No 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang dianggap kurang begitu efektif dalam penyelesaian perkara di pengadilan. Secara prinsipnya, hukum mediasi tercantum dalam pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 01 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti prosedur mediasi menurut Perma ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atu pasal 154 Rbg. Yang mmengakibat kan putusan batal demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk ke Pengadilan tingkat pertama tidak mungkin melewatkan acara mediasi. Karena apabila hal ini terjadi resikonya akan fatal.76 Pemberlakuan Perma mediasi yang terbilang masih baru ini juga di praktikan di Pengadilan Agam Depok sebagai salah satu institusi yang memperaktikan mediasi, karenanya Pengadilan Agama Depok butuh waktu penyesuaian untuk bisa memaksimalkan tingkat keefektifan Perma No 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 77
75
Siddiki, Drs., Mediasi Di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, www.badilag.net, 2009, h.2 76
Siddiki, Drs., Mediasi Di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, www.badilag.net, 2009, h.2 77
Sarnoto, Drs., MH., Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, tgl 7 Agustus 2010
54
Dalam pemberlakuannya Perma tersebut, Pengadilan Agama Depok yang berasakan sederhana, cepat dan biaya ringan mengambil langkah/pola fleksibel, yakni setelah hakim menentukan mediator yang di tunjuk, maka para pihak dipanggil untuk menghadap mediator pada hari itu juga, menentukan waktu mediasi secara bersama dan hakimpun langsung menunda persidangan. Selain memudahkan para pihak yang berperkara, hal tersebut juga dimaksudkan agar meringankan biaya dan penghematan waktu. Meskipun demikian, Pengadilan Agama Depok tetap perpedoman pada Perma no. 1 tahun 2008. C. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Proses Mediasi di Pengadilan Agama Depok Hampir segala hal yang berkenaan dengan mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa alternative atau ADR (alternative Dispute Resolution) telah diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagai revisi dari Perma sebelumnya. Hanya saja dalam prakteknya di pengadilan Agama Depok, kefektifan yang maksimal dari peraturan tersebut belumlah dapat dirasakan nyata bila dilihat dari tingkat keberhasilannya dalam mendamaikan pasangan suami istri yang ingin bercerai tidak mencapai angka di atas 10% (setidaknya pada kurun waktu 2007-2008). Memang ada beberapa kendala teknis, dalam mengaplikasikan Perma 2008, diantaranya: 1.
Fasilitas
Ruangan mediasi yang kurang memadai, menjadi kendala utama dalam ketidakefektifan acara mediasi. Tentunya dengan ruangan yang nyaman akan tercipta suasana yang mendukung. Drs. Sarnoto, M.H. seorang hakim mediator di Pengadilan
55
Agama Depok mempunyai impian Pengadilan Agama Depok memiliki ruang mediasi yang nyaman, bahkan kalau bisa di lengkapi tape yang akan mengiringi acara mediasi dengan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an atau nasyid agar sejuk.78 2.
Durasi waktu mediasi, yakni 40 hari yang bisa di tambah 14 hari.
Kurang adanya inisiatif dari pegadilan Agama Depok untuk memaksimalkan waktu dari proses mediasi. Karena dengan pemaksimalan waktu maka akan semakin menumpuk jumlah perkara yang tersisa dan akan memakan biaya yang lebih banyak. 3.
Biaya.
Dalam pasal 10 ayat 1 Perma No.1 tahun 2008 tentang prosdur Mediasi di Pengadilan mengenai Honorarium Mediator disebutkan bahwa Penggunaan jasa Mediator sendiri tidak dipungut biaya, justru bisa menjadi kendala dan penyebab kurang pedulinya hakim hakim mediator, sehinga ia kurang memaksimalkan upaya perdamaian. 4.
Kurang keseragaman format acara mediator
Tidak adanya keseragaman dalam format acara kadang menjadi tidak berimbang antara perkara yang satu dengan yang lainnya, bahkan kadang para pihak yang berperkara tidak dipanggil/diundang untuk acara mediasi. 5.
Hakim yang bersertifikat mediator.
Kurangnya jumlah hakim yang bersertifikat sedikit banyak mempengaruhi hasil dari keberhasilan mediasi, Karena bila seorang hakim telah memiliki sertifikat tersebut, maka ia dianggap layak serta menguasai trik dan strategi dalam proses
78
Sarnoto, Drs., MH., Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, tgl 7 Agustus 2010.
56
perdamaian. Dalam hal ini Pengadilan Agama Depok baru memiliki dua hakim yang bersertifikat mediator. D. Analisa Penulis Secara umum, pihak yang bersengketa menggunakan jalur mediasi sebagai penyelesaian sengketa dapat menemukan beberapakeuntungan, diantaranya: 1.
Proses cepat
Persengketaan yang banyak ditangani oleh pusat –pusat mediasi public dapat dituntaskan dengan pemeriksaan yang hanya berlangsungdua hingga tingga minggu dan rata-rata waktu yang digunakan setiap pemeriksaan atau setiap kali pertemuan hanya berkisar satu sampai satu setengah jam saja. Hal ini sangat berbeda jauh dengan jangka waktu yang digunakan dalam proses arbitrase dan proses litigasi. 2.
Bersifat rahasia.
Segala sesuatu yang diucapkan selama pemeriksaan mediasi bersifat sangat rahasia. Hal ini dikarenakan dalam proses mediasi pemeriksaannya tidak dihadiri oleh publik. Hal tersebut sangat berbeda dengan pemeriksaan lewat proses litigasi. Untuk perkara-perkara yang pemeriksaannya atau persidangannya terbuka untuk umum dapat dihadiri oleh public atau diliputi oleh pers sehingga sebelumpengambilan keputusan dan dapat bermunculan berbagai opini public yang ada gilirannya dapat berpengaruh pada sikap para pihak yang bersengketa dalam menyikapi putusan majlis hakim. 3.
Murah.
Sebagian besar pusat-pusat mediasi publik menyediakan pelayanan biaya sangat murah dan juga tidak perlu membayar biaya pengacara karena dalam proses mediasi kehadiran seorang pengacara kurang dibutuhkan.
57
4.
Adil.
Solusi bagi suatu persengketaan dapat diserasikan dengan kebutuhankebutuhan atau keinginan-keinginan para pihak yang bersengketa dan oleh sebab itu pulalah keputusan yang diambil atau dihasilkan dapat memenuhi rasa keadilan para pihak. 5.
Pemberdayaan individu.
Orang yang mengalokasikan sendiri masalah sering kali merasa mempunyai lebih banyak kuasa dari pada mereka yang melakukan advokasi melalui wakil seperti pengacara. Keuntungan-keuntungan tersebut tentu saja dapat terjadi jika mediasi dilaksanakan sesuai dengan prosedur aturan yang ada, bukan seperti yang acap kali terjadi yang berakibat pada ketidak maksimalan bahkan kegagalan proses perdamaian itu sendiri. Pengadilan
Agama
Depok
sendiri
sebagai
sebuah
institusi
yang
mengaplikasikan mediasi tersebut, meskipun secara prinsip mengacu pada Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, acap kali kurang memaksimalkan waktu pelaksanaan mediasi sehingga berakibat juga pada kurang maksimalnya hasil pencapaian dan kesuksesan dalam upaya perdamaian. Menilai kekurang efektifan hasil mediasi ( setidaknya tahun 2009-2010) dan melihat faktor-faktor yang selama ini kerap menghambat keberhasilan mediasi, penyusun berasumsi bahwa perlu penegasan terhadap masalah penguasaan materi dan strategi dalam mediasi, dengan mengikuti pendidikan bagi para mediator (khususnya hakim), serta dengan benar-benar memaksimalkan waktu mediasi, karena substansi
58
mediasi adalah proses yang harus dijalani secara sungguh-sungguh untuk mencapai perdamaian. Barangkali untuk langkah kedapan ada beberapa hal masukan dari penulis untuk menjadikan mediasi sebagai sarana upaya perdamaian yang lebih berdaya guna dan berhasil-guna. Juga untuk menigkatkan profesionalisme mediator sebagai komponen penting dalam mediasi. Pertama, menurut Pasal 7 ayat (1) Perma Nomor 01 Tahun 2008, pada hari siding yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibakan para pihak untuk menempuh mediasi. Dari ketentuan ini bahwa proses mediasi merupakan kewajiban pihak-pihak yang berperkara yang mana kalau tahapan mediasi ini tidak dilalui oleh pihak-pihak, maka majelis hakim juga wajib untuk menolak/tidak menerima gugatannya. Apabila majelis hakim terus memperoses perkara tersebut maka putusannya batal demi hukum. Persoalannya jika pada sidang hanya dihadiri oleh penggugat tetapi tidak dihadiri oleh tergugat, maka terhadap perkara tersebut tidak wajib melalui proses mediasi. Padahal menurut Pasal 4 Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, menyatakan bahwa semua sengketa perdata yang ajukan kepengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Menurut Pasal 4 ini semestinya semua perkara tanpa terkecuali harus melalui proses mediasi, apakah dihadiri oleh kedua belah pihak, atau hanya dihadiri oleh satu pihak saja. Jalan keluar dari persoalan ini menurut penulis, seharusnya bukan hakim pemeriksa perkara mediator yang menunjuk mediator. Tetapi sejak perkara telah terdaftar di Pengadilan, maka Ketua Pengadilan yang harus menunjuk mediator guna memediasi pihak-pihak yang berperkara supaya
59
berdamai. Apabila pihak-pihak belum melakukan proses mediasi secara formal sesuai dengan penetapan Ketua Pengadilan, maka Ketua Pengadilan belum boleh menetapkan Majlis Hakim untuk memeriksa perkaranya. Dengan ini mediasi akan lebih berdaya guna karena sejak awal mediator secara proaktif akan menghubungi pihak-pihak yang berperkara supaya berdamai. Resikonya biaya memang akan membengkak. Tetapi biaya ini murni untuk proses mediasi. Masyarakat akan mendapatkan pelajaran bahwa setiap mengajukan perkara ke pengadilan, perkaranya baru akan diperiksa majelis hakim apabila sudah melalui proses mediasi secara formal. Secara proses alamiyah nantinya masyarakat akan menjadi mandiri dengan mencari solusi sendiri secar damai terhadap perkara yang dihadapinya. Setelah mediator bekerja dan member laporan secara tertulis bahwa pihak-pihak yang berperkara tidak bisa didamaikan, maka baru Ketua Pengadilan membuat penetapan tentang penunjukan majlis hakim pemeriksa perkara. Apabila berhasil damai, perdamaian itu bisa dengan penetapan Ketua Pengadilan, bisa juga cukup dengan tanda tangan mediator dan pihak-pihak yang berperkara. Dengan demikian majelis hakim pemeriksa perkara tidak akan direpotkan dengan proses mediasi, jadi murni sendirinya sudah melalui proses mediasi. Apabila tidak, maka majelis hakim tersebut berwenang untuk menolak/tidak menerima gugatannya. Gagasan penulis tentang proses mediasi tidak akan menunggu asas peradilan yang harus dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Bahkan justru memperkuat asas tersebut karena membantu pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan perkaranya sendiri.
60
Kedua, mengenai biaya. Dalam pasal 10 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan disebutkan bahwa penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya. Dalam ayat (2)nya disebutkan bahwa uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh pihak atau berdasarkan kesepakata para pihak. Ketentuan ini kurang adil. Menurut penulis semestinya semua mediator mendapatkan uang jasa. Kalau non hakim uang jasanya dari para pihak-pihak, maka kalau unsure hakim uang jasanya ditanggung oleh Negara. Pasal 25 ayat (1) Perma Nomor 01 Tahu 2008 M.A. menyediakan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator, tetapi ketentuan ini tidak bergigi karena Perma sebagaimana yang dimaksudkan oleh ayat (2) nya sampai sekarang belum ada. Menurut penulis semestinya semua hakim atau orang yang menjalankan fungsi mediator mendapatkan uang jasa dari Negara berdasarkan Perma yang sudah ada, begitu juga dengan mediator bukan hakim, ia dapat mengambil haknya, jika ia berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, dan ini,merupakan suatu tantangan bagi para mediator untuk bisa memaksimalkan mungkin menjalankan tugas sebagai juru damai dengan baik. Dengan ketentuan yang ada sekarang, maka bisa jadi hakim atau siapapun yang menjadi mediator akan bekerja secara asal-asalan atau hanya sekedar untuk memenuhi standar legalitas formal bahkan ajang bisnis (bagi mediator non hakim). Kalau cara kerja seperti ini terus berlanjut, maka mediasi sebagai alternative penyelesaian perkara di pengadilan hanyabakan berwujud sebagai hayalan belaka. Tapi seandainya uang jasa bagi mediator hakim benar terwujud, jangan sampai para hakim menjadi salah niat. Drs. Sarnoto, M.H mengatakan bahwasanya ketentuan ini sudah adil, mediasi adalah bagian dari tugas dan pekerjaan kami sebagai hakim,
61
kami hanya berniat membantu para pihak yang berpekara untuk menemukan jalan keluar, titik temu dan kesepakatan.79 Tapi menurut saya alangkah lebih baiknya seandainya Negara memberikan uang jasa dan sejenisnya kepada mediator hakim, demi kesejahteraan hakim juga demi terselenggaranya mediasi yang baik. Ketiga, perlunya pendidikan mediator bagi para hakim. Mengingat jumlah hakim yang bersertifikat mediator sekarang jumlahnya masih sangat sedikit, padahal dalam perdamaian sengketa (khususnya perceraian) perlu keahlian khusus, yang mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu jiwa, psikologi, dan memahami tentang berbagai watak karakter. Sejatinya, mediasi bukan hanya sekedar untuk memenuhi syarat legalitas formal, tetapi merupakan upaya sungguh-sungguh yang harus dilakukan oleh pihakpihak terkait untuk mencapai perdamaian. Mediasi adalah merupakan upaya pihakpihak yang berperkara untuk berdamai demi kepentingan pihak-pihak itu sendiri.
79
Sarnoto, Drs., MH., Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Wawancara Pribadi, Depok, tgl 7 Agustus 2010.
62
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis mengkaji dan memaparkan pembahasan skripsi ini, maka dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan: 1.
Pengadilan Agama Depok secara prinsipnya telah menlaksanakan mediasi
sesuai dengan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, menjadikan Perma tersebut sebgai acuan dalam mengaplikasikan Mediasi. 2.
Tingkat kefektifan mediasi di Pengadilan Agama Depok masih kurang
maksimal, mengingat prosentase keberhasilan pada tahun 2009 tidak mencapai lebih dari 10%. 3.
Faktor-faktor yang menjadi penghambat keberhasilan mediasi di Pengadilan
Agama Depok diantaranya adalah kurang pemaksimalan waktu, biaya, tidak adanya keseragaman dalam acara mediasi serta kurangnya hakim mediator bersertifikat yang bisa berakibat pada mutu dan kualitas proses perdamaian itu sendiri. B. Saran-saran Diakhir penulisan skipsi ini, penulis mengajukan saran-saran, baik yang berkaitan langsung maupun tidak berkaitan langsung dengan pokok pembahasan dalam skripsi ini, sebagai sumbang saran yang sekiranya bermanfaat bagi segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengadilan Agama Depok, masyarakat pencari keadilan dan umat Islam pada umumnya. 1. Kepada pemerintah, sesuai dengan konsideran PERMA huruf (d), penulis berharap proses mediasi tidak hanya sekedar PERMA namun dibuat peraturan-peraturan 63
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya agar kekuatan hukumnya lebih kuat. 2. Kepada para hakim yang menangani perkara perdata supaya berusaha semaksimal mungkinuntuk memberikan pencerahan perdamaian kepada para pihak. Karena mediasi merupakan produk Islami dalam rangka penyelesaian sengketa di pengadilan. Oleh sebab itu, mediasi melalui mediator harus dilaksanakan secara optimal sebagai bagian dari sebuah proses ijthad demi mendapatkan keputusan yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi kedua belah pihak. 3. Kepada para pihak yang berperkara di pengadilan agar mematuhi aturan yang telah di tetapkan, sehingga tidak menghambat prosedur peradilan. Karena selain bermanfaat untuk masa sekarang mediasi juga bermanfaat untuk kehidupan para pihak di masa mendatang. Karena penyelesaian sengketa melalui mediasi mengutamakan prinsipprinsip musyawarah untuk mencapai mufakat yang selaras dengan budaya bangsa Indonesia, maka sudah selayaknya mediasi diterapkan secara meksimal dalam proses penyelesaian sengketa dipengadilan. 4. Bagi peneliti selanjutnya yang hendak membahas tema yang sama, kami menyarankan agar dapat membahas mengenai mediasi dalam masalah waris untuk lebih melengkapi dan menyempurnakan data mengenai mediasi seperti pembahsan skripsi ini.
64
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Karim dan Terjemahannya, Departemen Agama RI. Abbas, Syahrizal, Prof. Dr., Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Abdurahman. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressindo, 1997. Al Albani, Muhammad Nashiruddin. Ringkasan Shohih Muslim Buku I. Cet. I. Jakarta: Pustaka Azzam, 2003. Al kahlani, Sayyid Al Imam Muhammad bid Ismail dan As San’ani, Subulus As Salam, Bandung: Maktabah Dahlan, tth, Jilid 3 Anshori, Abdul Ghofur. Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (sejarah, kedudukan dan kewenangan). cet. I. Yogyakarta: UII Press, 2007. Bakri, A Rahman dan Ahmad Sukarja SH. Hukum Peerkawinan Menurut Undangundang Perkawinan dan Hukum Perdata BW. Jakarta: Hidakarya Ag Mg, 1981. Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. Ke.-6, 2003. Budiardjo, Ali dkk. Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta Cyber Cunsult, 2000. Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan. Daud Ali, Muhammad. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Cet. Ke-2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Effendi, M Zein, Satria. Analisis Yurisprudensi Tentang Pembatalan Nikah (Mimbar Hukum). Jakarta: PT Intermasa, 1997. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtisar Baru Van Hoeve, 1997. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Harahap, M. Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelasaian Sengketa. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997. Hasan Ayub, Syaikh. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004. 65
Manan, Abdul, H, DR., S.H., S.ip., M. Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di Linkungan Peradila Agama. Jakarta: Al-Hikmah, 2000. Manaf, Abdul. Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama. Bandung: Mandar Maju, 2008. Mubarok, Dr Jaih. Peradilan Agama di Indonesia. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004. Muhammad, Abd Kodir. Hukum Acara Perdata Indonesia. Cet VIII, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Jilid 3. Penerjemah Nor Hasanuddin, dkk. Jakarta: Pena Pundi Askara, 2006. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Cet. Ke-3. Bandung: Alfabeta, 2007. Soeroso, R., Praktek Hukum Acara Perdata. Cet ke-5, Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2004 Tri Wahyudi, Abdullah. Peradilan Agama di Indonesia. Yogykarta: Pusaka Pelajar, 2004. Yanggo, Chuzaimah Tahido dan Anshari, Hafiz. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke2, 2006
66