BAB II
A.
TINJAUAN UMUM TENTANG TALAK A. Pengertian talak Perceraian apapun penyebabnya akan selalu membawa resiko yang cukup berat, terutama resiko yang tidak terwujud benda akan dirasakan oleh semua pihak. Resiko ini tidak saja di rasakan oleh suami dan isteri yang bercerai akan tetapi anak-anak akan merasakan akibat yang timbul dari perceraian. Salah satu akibat yang akan deterima oleh anak adalah mereka akan merasakan kehilangan salah satu tumpuan kasih sayang dari orang tua mereka. Hal ini disebabkan perceraian dapat mengakibatkan berpisahnya orang tua mereka dalam kehidupan berkeluarga. Oleh sebab itu baik di dalam Hukum Islam maupun di dalam
undang – undang
No. 1
tahun
1974
tentang
perkawinan mempersempit adanya perceraian, sehingga perceraian merupakan jalan darurat yang dapat di tempuh apabila perkawinan memang benar-benar sudah tidak dapat di selamatkan lagi. Perceraian ( cerai ) dalam hukum Islam disebut dengan istilah talak, yang berasal dari bahasa arab اﻟﻄﻼقartinya melepaskan ﻓﺮﻗﺔ. Talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan, baik
16
17 ikatan lahir maupun ikatan batin, sedangkan talak menurut syara` adalah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan dengan lafadz talak”. 11 Menurut asalnya talak itu hukumnya makruh yang berarti suatu perbuatan yang boleh di lakukan, akan tetapi apabila tidak dilakukan perbuatan itu mendapat pahala. Hal ini di dasarkan pada hadist riwayat dari Ibnu Umar :
ﺍﺑﻐﺾ ﺍﳊﻼﻝ ﺍﻟىﺎﷲ ﺍﻟﻄﻼﻕ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻌﻢ:ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ
()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ
Artinya : “Perbuatan halal yang paling di benci Allah, adalah talak” 12 Talak itu di benci bila tidak ada suatu alasan yang benar, sekalipun Nabi Muhammad Saw menamakan talak sebagai perbuatan
halal,
karena
ia
merusakkan
perkawinan
yang
mengandung kebaikan-kebaikan yang di anjurkan oleh agama. Walaupun tidak di perbolehkan dalam hukum Islam akan tetapi perbuatan tersebut merupakan jalan darurat terakhir yang dapat di tempuh dalam suatu perkawinan yang sudah tidak ada kecocokan. Ada pengertian talak secara istilah adalah sebagai berikut : 1. Menurut Sayid Saliq :
ﺎﺀ ﺍﻟﻌﻼﻗﺔﻭﻓىﺎﻟﺸﺮﻉ ﺣﻞ ﺭﺍﺑﻄﺔ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻭﺍ 11 12
Syekh Ibrahim al Bajuri, Al Ikria`, Thoha Putra, Juz I, Semarang, halaman 148. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Attahiriyah, Cetakan ke-32, Jakarta, halaman 401.
18 Artinya : “Talak menurut syara” adalah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”. 13
2. Menurut Abdur Rahman Al-Jazuri :
ﻭﻣﻌﲎ ﺇﺯﺍﻟﺔ.ﺑﺄﻧﻪ ﺇﺯﺍﻟﺔ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺍﻭﻧﻘﺼﺎﻥ ﺣﻠﻪ ﺑﻠﻐﻆ ﳐﺼﻮﺹ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﲝﻴﺚ ﻻﲢﻞ ﻟﻪ ﺍﻟﺰﻭﺟﺔ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ Artinya: “Pengertian talak secara istilah menghilangkan ikatan perkawinan dengan ucapan tertentu. Adapun pengertian “Izalatun Nikah“ pudarnya akad perkawinan dimana sesudah itu suami tidak halal lagi mencampuri isterinya.” 14 Dari pengertian diatas, dapatlah
di pahami bahwa talak
mempunyai arti, putusnya ikatan perkawinan atau dengan kata lain perceraian antara suami isteri baik itu timbulnya dari pihak suami ataupun dari pihak isteri bahkan kesepakatan antara keduanya. Sejalan dengan prinsip perkawinan dalam Islam yang mempunyai tujuan bahwa perkawinan adalah untuk selamanya sehingga perceraian merupakan jalan yang boleh di tempuh oleh suami isteri apabila sudah tidak ada kecocokan lagi diantara mereka. Tetapi hal ini harus terlebih dahulu diusahakan perdamaian dan juga pasangan suami isteri yang akan bercerai harus mengemukakan alasan mengapa mereka memilih jalan perceraian. 13
SyekhDabiq, Fiqhus Sunnah, Juz II, Darul Kitab Al-Arabi, Cet. II, 1973, halaman 24. Abdur Al Rahman Al-Jaziri, Fiqh` ala Madzhabil Arba`ah IV, Ilmiyah, Bairut, 1997, halaman 249. 14
19 Islam sebagai suatu agama yang tidak menyukai adanya suatu pemaksaan baik dalam hal beragama maupun dalam hal perkawinan. Sehingga apabila pasangan suami isteri sudah tidak bisa bersatu untuk mencapai tujuan cita-cita perkawinannya maka dengan keadilan Allah di buka suatu jalan keluar yaitu dengan perceraian, meskipun perceraian merupakan hal yang paling dibenci Allah, namun perceraian ini merupakan hal yang lebih baik di bandingkan apabila perkawinan yang sudah tidak ada kecocokan itu di lanjutkan dengan keterpaksaan sehingga mungkin akan dapat lebih mendatangkan kesengsaraan bagi mereka. Di dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tidak terdapat definisi yang jelas mengenai perceraian, hanya saja disebutkan secara umum, bahwa putusnya perkawinan itu dapat terjadi karena beberapa sebab yaitu : a. Kematian Dalam hal seorang suami atau isteri atau keduanya meninggal dunia sehingga dengan sendirinya perkawinan mereka putus karena kematian atau putusnya perkawinan yang terjadi secara alami. b. Perceraian c. Atas putusan sidang. 15
15
H. Abdurrahman, SH, MH, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Banjarmasin, 1992, halaman 76.
20 Pasal 39 undang – undang No.1 tahun 1974 menyebutkan bahwa perceraian hanya dapat di lakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan para pihak. “16
B.
Dasar Hukum Talak Dalam Agama Islam, perceraian walaupun sangat dibenci Allah
akan
tetapi
hukumnya
di
perbolehkan.
Dasar
pembolehannya terdapat dalam firman Allah Qs. Al-Falak :
ﺗﻘﹸﻮﺍﺍﺪ ﹶﺓ ﻭ ﻮﺍ ﺍﹾﻟ ِﻌﺣﺼ ﻭﹶﺃ ﻦ ﺪِﺗ ِﻬ ِﻟ ِﻌﻫﻦ ﺎ َﺀ ﹶﻓ ﹶﻄﱢﻠﻘﹸﻮﻨﺴ ﺍﻟﻢﻲ ِﺇﺫﹶﺍ ﹶﻃﻠﱠ ﹾﻘﺘ ﻨِﺒﺎ ﺍﻟﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ (1:ﻢ )ﺍﻟﻄﻼﻕ ﺑ ﹸﻜﺭ ﻪ ﺍﻟﻠﱠ Artinya : Wahai Nabi, apabila kamu hendak menceraikan isteriisterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat ( menghadapi ) iddahnya ( yang wajar ) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertaqwalah kepada Allah Tuhannmu. “(Qs. Al – Falak : 1 ” 17 Selain itu adalah firman Allah QS. Al-Baqarah : 227
(227:ﻢ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﻋﻠِﻴ ﻊ ﺳﻤِﻴ ﻪ ﻕ ﹶﻓِﺈﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﻮﺍ ﺍﻟﻄﱠﻼﺰﻣ ﻋ ﻭِﺇ ﹾﻥ Artinya : “ Dan jika mereka telah berazam ( bertetap hati ) untuk talak maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi maha mengetahui. “18
16
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Bahan Penyuluhan Hukum, 1999/2000, halaman 102. 17 Depag RI, Al-Qur`an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur`an, 1971, halaman 945. 18 Ibid, halaman 55.
21 Hukum perkawinan Indonesia yang berlandaskan pada undangundang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undangundang No. 1 tahun 1974 tentang undang No. 7 tahun 1989
perkawinan,
undang -
tentang Peradilan Agama, dan
Inpres No. 1 / 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, pada dasarnya menjadikan perceraian sebagai jalan keluar bagi penyelesaian konflik dalam rumah tangga walaupun pada prinsipnya mempersulit terjadinya perceraian. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam bab VII tentang
putusnya
perkawinan
serta
akibatnya,
pasal
28
menyatakan : “ Perkawinan dapat putus karena : a. kematian, b. perceraian, dan c. atas keputusan pengadilan. “19. UU. No. 7 tahun 1989 tentang PA dalam bab XVI tentang putusnya perkawinan pasal 113 menegaskan : “ Perkawinan dapat putus karena : kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan. “20 Pasal 39 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawianan menyatakan : “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. “21
19
UU. No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1993, halaman 16. 20 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, Jakarta: Depag RI, 2000, halaman 156. 21 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Op. Cit, halaman 17.
22 Peraturan Pemerintah RI No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawianan dalam bab V tentang tata cara perceraian pasal 18 menyatakan: “Perceraian itu terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.“22 Undang – Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam bagian kedua tentang pemeriksaan sengketa perkawinan pasal 65 menyatakan : “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. “23 Inpres No. 1 / 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam bab XVI tentang putusnya perkawinan pasal 115 menegaskan : “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.“ 24
C.
Macam – macam talak Di dalam hukum Islam maupun undang – undang nomor 1 tahun 1974 terdapat berbagai bentuk perceraian berdasarkan tata cara dan alasan pengajuannya. Undang-undang membedakan
22
PP. No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU. No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1993, halaman 41. 23 UU. No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Jakarta: Depag RI, 2000, halaman 70. 24 Inpres No. 1 / 1991 tentang KHI, Jakarta: Depag RI, 2000, halaman 158.
23 antara perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum islam dalam perceraian memang menghendaki demikian. Sehingga proses perceraian atas kehendak suami berbeda dengan proses perceraian atas kehendak isteri. Dari ketentuan-ketentuan mengenai perceraian di dalam undang-undang perkawinan pasal 39 sampai dengan pasal 14 dan tentang tata cara perceraian dalam peraturan pelaksanaan pasal 14 sampai dengan pasal 36 menutut K. Wantjik Saleh, SH dalam bukunya Perkawinan Indonesia, dapat ditarik kesimpulannya ada 2 macam perceraian, yaitu : a. Cerai talak Istilah cerai talak disebut dalam penjelasan pasal 14 peraturan pelaksanaan. Dan tentang percertaian ini di atur dalam pasal 14 sampai dengan pasal 18 peraturan pelaksanaan yang merupakan penegasan dari pasal 39 undang-undang perkawinan. Cerai talak ini hanya khusus untuk yang beragama Islam seperti yang dirumuskan oleh pasal 14 peraturan pelaksanaan sebagai berikut “ Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada pengadilan ditempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya di sertai dengan alasan –
24 alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. “25 Perlu juga di tegaskan bahwa yang diajukan oleh suami tersebut bukanlah suatu surat permohonan akan tetapi merupakan surat pemberitahuan yang memberitahukan ia akan menceraikan isterinya dan untuk itu ia meminta kepada pengadilan agar mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu. Dan jika terjadi perceraian di muka pengadilan itu, maka ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian ( jadi bukan surat penetapan atau surat putusan ) b. Cerai gugat. Sedangkan yang di maksud dengan cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan. Menurut K. Wantjik Saleh, SH. Suatu perceraian yang di dahulukan oleh suatu gugatan dari salah satu pihak kepada pengadilan dinamakan cerai gugat. Dalam undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya tidak menamakan hal ini cerai gugat, tetapi hanya menyatakan bahwa perceraian itu dengan suatu gugatan.
25
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalian Indonesia, Jakarta, 1996, halaman 38.
25 Peraturan pelaksanaan dalam penjelasan pasal 20 menegaskan sebagai berikut “ gugatan perceraian di maksud dapat dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain Agama Islam. “26 Gugat perceraian di ajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap,gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat. Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan dan tentang bagaimana tata
cara
gugatan
perceraian
diatur
dalam
peraturan
pelaksanaan dari pasal 20 sampai dengan pasal 36. “27 Suatu perceraian dianggap terjadi dalam cerai gugat bagi yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan
yang
tidak
beragama
islam
sejak
saat
pendaftarannya pada daftar pencatatan Kantor Pencatatan oleh pegawai pencatat. 26
Ibid, halaman 410. Drs. H. Mukti Arto, SH, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1979, halaman 224. 27
26 Dengan berlakunya undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama terhitung mulai tanggal 29 Desember 1989 maka tata cara perceraian yang diatur dalam PP. No. 9 tahun 1975 pasal 14 sampai dengan pasal 18 dan ketentuan tentang gugatan cerai pasal 20 sampai dengan pasal 36 hanya berlaku
bagi
orang - orang yang melakukan
perkawinan tidak menurut Agama Islam sepanjang telah diatur dalam undang-undang No. 7 tahun 1989.
A. Alasan – alasan Talak Atas dasar Firman Allah SWT dan sabda Nabi Muhammad SAW tersebut dapat disimpulkan bahwa talak atau perceraian antara suami isteri diperbolehkan dalam ketentuan hukum Islam. Namun demikian perceraian tersebut meskipun diperbolehkan oleh hukum Islam, dianjurkan untuk dihindari dan bahkan diberi kesempatan bagi keduanya untuk ruju` atau kembali sebagai pasangan suami isteri. Alasan-alasan perceraian menurut Hukum Islam antara lain meliputi : a. Karena suami miskin b. Karena salah satu pihak gila c. Karena suami melakukan penganiayaan berat terhadap isterinya
27 d. Karena pelanggaran terhadap taklik talak e. Karena cacat dan ketidakpuasan seksual. 28 Sesuai ketentuan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pada Pasal 113 ditetapkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian atau keputusan Pengadilan. Sedangkan dalam Pasal 114 diatur bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Dalam Pasal 116 juga diatur mengenai alasan-alasan terjadinya perceraian yang meliputi a. Salah
: satu
pihak
pemadat, penjudi,
berbuat zina atau menjadi pemabuk, dan
lain sebagainya
yang
sukar
disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain
28
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1984, halaman 150.
28 f. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami. g. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga h. Suami melanggar taklik talak i. Peralihan agama
atau
murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Sedangkan didalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu pada Pasal 38 diatur mengenai
putusnya
perkawinan dapat disebabkan karena kematian, perceraian, atau atas putusan pengadilan. Lebih lanjut dalam Pasal 39 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian tersebut harus ada cukup alasan, bahwa antara kedua belah pihak tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri. “29
29
Hilma Handikusuma, SH. Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1983, halaman
171.
29 Adapun alasan – alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan tersebut, lebih lanjut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang meliputi : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sifatnya sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut - turut alasan
yang
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya c. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau isteri f. Antara suami dan isteri secara terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga. “30 Mengenai alasan salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit tersebut bagi Pegawai Negeri Sipil tidak dapat
30
Prof. H. Kilman Hadi Kusuma, SH. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Mandar, Bandung, 190, halaman 171.
30 diterapkan
sebagai alasan
perceraian. Hal ini sesiao
dengan penjelasan Pasal 7 ayat ( 2 ) Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yaitu : “ Namun demikian, seorang Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian karena alasan isteri tertimpa musibah tersebut tidaklah memberikan keteladanan yang baik, meskipun ketentuan peraturan perundang-undangan memungkinkannya. Oleh karena itu izin untuk bercerai dengan alasan tersebut tidak diberikan. “