BAB II PENGERTIAN UMUM TENTANG TALAK DAN ILA’ A. Pengertian Talak Kata talak dalam bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa arab ()ﻃﻠﻖ yang berarti melepas ikatan.1 Dan ada beberapa definisi tentang talak secara bahasa, yaitu sebagai berikut: 1. Kata “Talak” dalam bahasa arab berasal dari kata “Thalaqa Ya Thalaqu Thalaaqan” yang bermakna “Melepas atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat itu bersifat konkrit”.2 2. Di dalam al-Qur'an surat Ath-Talak ayat: 2 yang berbunyi:
(٢ : )اﻟﻄﻼق... اوﻓﺎ رﻗﻮ هﻦ ﺑﻤﻌﺮوف... Artinya: “Atau lepaskanlah mereka dengan baik-baik”. (Ath-Talak: 2).3 3. Menurut As-Sayid Sabiq, yaitu: 4
ﺣﻞ رﺑﻄﺔ اﻟﺰواج واﻧﻬﺎ ء اﻟﻌﻼﻗﺔ اﻟﺰوﺟﻴﺔ
Artinya: “Talak adalah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.”
4. Menurut Abu Zakaria al-Anshari: 1
DR. Mustofa DII Bul Bigha, Fiqih Syafi’i (Terjemah Attahdziib), Oleh: NY. Adlchiyah Sunarto, M. Multazam, Bandung, CV. Bintang Belajar, t.th., hlm. 388 2 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqih, Jilid II, Jakarta¸Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1984, hlm. 226 3 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, Terjemahan: Yayasan penyelenggara penterjemah al-Qur’an, Semarang, CV. Alwaah, 1989, hlm. 945 4 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, op. cit., hlm. 226
12
5
ﺣﻞ ﻋﻘﺪ اﻟﻨﻜﺎح ﺑﻠﻔﻆ اﻟﻄﻼق وﻧﺤﻮﻩ
Artinya: “Talak adalah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya”. Adapun pengertian talak menurut istilah sebagai berikut: a. Menurut istilah agama talak berarti: melepas ikatan perkawinan (nikah).6 b. Menurut al-Jaziri talak adalah: 7
اﻟﻄﻼق ازا ﻟﺔ اﻟﻨﻜﺎح او ﻧﻘﺼﺎن ﺣﻠﻪ ﺑﻠﻔﻆ ﻡﺤﺼﻮص
Artinya: “Talak adalah menghilangkan ikatan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan mempergunakan kata-kata tertentu itu. c. Pengertian talak menurut istilah yang lain adalah: 8
وهﻮ ﻟﻐﺔ ﺣﻞ اﻟﻘﻴﺪ وﺷﺮ ﻋﺎ ﺣﻞ ﻋﻘﺪ اﻟﻨﻜﺎح ﺑﺎﻟﻠﻔﻆ اﻻﺗﻰ
Artinya: “Ath-Talak menurut istilah bahasa artinya: “melepaskan ikatan, sedangkan menurut istilah syara’ artinya: “melepaskan ikatan nikah dengan lafadz yang akan disebut kemudian”. Sedangkan menurut KHI dalam pasal 117 talak adalah ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.9 B. Dasar Hukum Thalak Dasar hukum talak itu terdapat dalam al-Qur'an yaitu firman Allah Swt yang berbunyi: 5
Ibid DR. Mustofa DII Bul Bigha, loc. cit, hlm. 388 7 Drs. Murni Djamal, MA, op. cit, 226 8 Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maribari al-Fanni, Fathul Mu’in, Jilid II, Terjemah: KH. Moch. Anwar, Bandung, Sinar Baru al-Gensindo, 1994, hlm. 1374 9 Bahan Penyuluhan Hukum, Lihat Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Departemen Agama RI Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,1999, hlm. 156 6
13
واﻟﻤﻄﻠﻘﺎت ﻱﺘﺮﺑﺼﻦ ﺑﺎﻧﻔﺴﻬﻦ ﺛﻠﺜﺔ ﻗﺮوء وﻻ ﻱﺤﻞ ﻟﻬﻦ ان ﻱﻜﺘﻤﻦ ﻡﺎﺧﻠﻖ اﷲ ﻓﻰ ارﺣﺎﻡﻬﻦ ان آﻦ ﻱﺆﻡﻦ ﺑﺎﷲ واﻟﻴﻮم اﻻﺧﺮ وﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦ اﺣﻖ ﺑﺮد هﻦ ﻓﻰ ذﻟﻚ ان ارادوا اﺹﻼﺣﺎ وﻟﻬﻦ ﻡﺜﻞ اﻟﺬي ﻋﻠﻴﻬﻦ اﻟﻄﻼق ﻡﺮﺗﺎن.ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف وﻟﻠﺮﺟﺎل ﻋﻠﻴﻬﻦ درﺟﺔ واﷲ ﻋﺰﻱﺰ ﺣﻜﻴﻢ ﻓﺎﻡﺴﺎك ﺑﻤﻌﺮوف او ﺗﺴﺮﻱﺢ ﺑﺎﺣﺴﺎن وﻻ ﻱﺤﻞ ﻟﻜﻢ ان ﺗﺎﺧﺪوا ﻡﻤﺎ اﺗﻴﺘﻤﻮ هﻦ ﺷﻴﺌﺎ اﻻ ان ﻱﺨﺎﻓﺎ اﻻ ﻱﻘﻴﻤﺎ ﺣﺪوداﷲ ﻓﺎن ﺧﻔﺘﻢ اﻻ ﻱﻘﻴﻤﺎ ﺣﺪوداﷲ ﻓﻼ ﺟﻨﺎح ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﻓﻴﻤﺎ اﻓﺘﺪت ﺑﻪ ﺗﻠﻚ ﺣﺪوداﷲ ﻓﻼ ﺗﻌﺘﺪوهﺎ (٢٢٨ -٢٢٩ : وﻡﻦ ﻱﺘﻌﺪ ﺣﺪوداﷲ ﻓﺎوﻟﺌﻚ هﻢ اﻟﻈﺎﻟﻤﻮن )اﻟﺒﻘﺮة Artinya: “Wanita-wanita yang di talak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan oleh Allah Swt dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah Swt dan hari akhir. Dan suami-suami yang berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki istilah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurt cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Swt Maha Perkasa dan Bijakasana. Talak (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah Swt. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tak dapat menjalankan hukum-hukum Allah Swt, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah Swt, maka jaganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah Swt, maka mereka itulah orang yang zalim”. (Q.S. Al-Baqarah: 228-229).10 Adapun dasar hukum talak adalah sebagai berikut: 1. Di dalam Kitab Fathul Mu’in diterangkan tentang hukum talak, yaitu: 11
آﻄﻼ ق ﻡﻮل ﻟﻢ ﻱﺮد اﻟﻮطء: وهﻮ اﻡﺎ واﺟﺐ
Maksudnya: “Talak itu ada kalanya wajib, seperti talak yang dilakukan oleh orang yang bersumpah ila’ (tidak akan menggauli 10
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, Terjemahan: Yayasan penyelenggara penterjemah al-Qur’an, Semarang, CV. Alwaah, 1989, hlm. 55 11 Zainuddin bin Abdul Aziz al-Maribari al-Fanni, loc. cit, hlm. 1349
14
istrinya), sedangkan dia memang tidak menginginkan untuk menyetubuhinya. 2. Hukum talak menjadi sunah, hal ini juga dijelaskan dalam Kitab Fathul Mu’in seperti dibawah ini:
, آﺎن ﻱﻌﺠﺰ ﻋﻦ اﻟﻘﻴﺎم ﺑﺤﻘﻮﻗﻬﺎ وﻟﻮ ﻟﻌﺪم اﻟﻤﻴﻞ اﻟﻴﻬﺎ: اوﻡﻨﺪوب اى: او ﺗﻜﻮن ﻏﻴﺮ ﻋﻔﻴﻔﺔ ﻡﺎﻟﻢ ﻱﺨﺶ اﻟﻔﺠﻮر ﺑﻬﺎ او ﺱﻴﺌﻪ اﻟﺨﻠﻖ - ﻓﻴﻤﺎ اﺱﺘﻈﻬﺮﻩ ﺱﻴﺨﻨﺎ- ﺑﺤﻴﺚ ﻻ ﻱﺼﺒﺮ ﻋﻠﻰ ﻋﺸﺮﺗﻬﺎ ﻋﺎدة 12 واﻻ ﻓﻤﺘﻰ ﺗﻮﺟﺪ اﻡﺮاة ﻏﻴﺮ ﺱﻴﺌﺔ اﻟﺨﻠﻖ Maksudnya: “Atau sunat, umpamanya seorang suami tidak mampu menunaikan hak-hak istri karena memang dia tidak mencintainya atau istri tidak menjaga kehormatannya selagi tidak dikhawatirkan si suami akan ikut terbawa kepada kedurhakaan istrinya, (jika dikhawatirkan si suami akan ikut terbawa kepada kebejatan akhlaq istrinya, maka hukum menceraikannya bukan sunat lagi melainkan wajib). Atau si istri berakhlaq buruk, dengan kata lain si suami tidak dapat tahan hidup bersama dengan wanita seperti itu. Demikianlah analisis yang dikemukakan oleh guru kami, jika tidak demikian maksudnya, bilakah ada wanita yang tidak buruk akhlaqnya”. 3. Hukum thalak menjadi haram, hal ini juga dijelaskan dalam Kitab Fathul Mu’in, yaitu:
او ﺣﺮام – آﺎﻟﺒﺪﻋﺘﻰ – وهﻮ اﻟﻄﻼ ق ﻡﺪﺧﻞ ﺑﻬﺎ ﻓﻰ ﻧﺤﻮ ﺣﻴﺾ وآﻄﻼ ق ﻡﻦ ﻟﻢ,ﺑﻼ ﻋﻮض ﻡﻨﻬﺎ اوﻓﻰ ﻇﻬﺮ ﺟﺎﻡﻌﻬﺎ ﻓﻴﻪ وآﻄﻼ ق اﻟﻤﺮﻱﺾ ﺑﻘﺼﺪ اﻟﺤﺮﻡﺎن,ﻱﺴﺘﻮف دورهﺎ ﻡﻦ اﻟﻘﺴﻢ 13 ﻡﻦ اﻻرث Artinya: “Atau talak haram, seperti talak bid’ah, yaitu menjatuhkan talak kepada istri yang telah digauli, tepat dimasa haidnya, tanpa tebusan dari pihak istri (khulu’) atau diwaktu suci, sedangkan dia telah menggaulinya. Contoh lain dari talak bid’ah adalah menjatuhkan talak kepada istri yang belum memenuhi bagian 12
Ibid
13
Ibid, hlm. 1350
15
gilirannya, juga seperti menjatuhkan talak disaat si suami sedang sakit keras, dengan maksud agar si istri terhalang dari mewaris hartanya”. Adapun wanita yang di talak, menurut kesepakatan para ulama mazhab, di syaratkan harus seorang istri, sementara itu, Imamiyah memberi syarat khusus bagi sahnya talak terhadap wanita yang telah dicampuri, serta bukan wanita yang telah mengalami menopouse dan tidak pula sedang hamil, hendaknya di dalam keadaan suci (tidak haid) dan tidak pernah di campuri pada masa sucinya itu (antara dua haid). Kalau wanita tersebut di talak dalam keadaan haid, nifas, atau pernah dicampuri pada masa sucinya, maka talaknya tidak sah.14 C. Macam-Macam Talak Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi tiga macam, yaitu sebagai berikut:15 1. Talak sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunah. Talak dikatakan sunni jika memenuhi empat syarat, yaitu: a. Istri yang di talak sudah pernah dikumpuli, jika talak dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah dikumpuli, maka tidak termasuk talak sunni. b. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah di talak, yaitu dalam keadaan suci dari haid. Menurut ulama Syafi’iyah, perhitungan iddah bagi wanita yang haid adalah tiga kali suci, bukan tiga kali haid.
14
Muhammad Jawal Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta, PT Lentera Basritama, 1999, hlm. 441 15 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqih, loc. Cit., hlm. 227
16
Talak terhadap istri yang telah lepas haid (menopouse) atau belum pernah haid, atau sedang hamil, atau talak karena suami meminta tebusan yakni dalam hal khulu’ atau ketika istri dalam haid, semuanya tidak termasuk talak sunni. c. Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik permulaan suci, dipertengahan maupun diakhir suci kendati beberapa saat lalu datang haid. d. Suami tidak pernah mengumpuli istri selama masa suci yang mana talak itu dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah dikumpuli, maka tidak termasuk talak sunni. 2. Talak Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunah, tidak memenuhi syarat-syarat sunni. Adapun yang termasuk talak Bid’i adalah sebagai berikut: a. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid (menstruasi), baik dipermulaan haid maupun dipertengahannya dan juga ketika istri sedang nifas. b. Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci, tetapi pernah dikumpuli oleh suamiya dalam suci dimaksud. 3. Talak Lasunni Wala Bid’i, yaitu talak yang tidak termasuk dalam kategori talak sunni dan tidak pula termasuk dalam kategori Talak Bid’i, yaitu: a. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah dikumpuli.
17
b. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau istri yang telah lepas haid. c. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil. Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:16 1. Talak sharih, yaitu talak yang menggunakan dengan kata-kata yang jelas dan tegas dan dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lain. Dan apabila suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan talak sharih, maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya, sepanjang ucapannya itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri. 2. Talak kinayah, yaitu talak yang mempergunakan kata-kata sindiran atau samar-samar. Seperti suami berkata kepada istrinya: a. Engkau sekarang telah jauh dariku. b. Selesaikan sendiri segala urusanmu. c. Janganlah engkau mendekati aku lagi. d. Keluarlah dari rumah ini sekarang juga. e. Pergilah dari tempat ini sekarang juga.
16
Ibid., hlm. 228
18
Ditinjau dari segi ada atau tidaknya kemungkinan bebas suami merujuk kembali bekas istri, maka talak itu dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut: 1. Talak Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya yang telah pernah dikumpuli, bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya. 2. Talak Ba’in, yaitu talak yang tidak memberikan merujuk bagi bekas suami terhadap bekas istrinya, untuk mengembalikan istri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami maka harus melalui akad nikah baru lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya. Adapun Talak Ba’in itu ada dua macam, yaitu sebagai berikut: a. Talak ba’in sughro adalah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas istri, tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istri, artinya bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri baik dalam masa iddahnya maupun sesudah berakhir masa iddahnya. b. Talak bain kubra ialah talak bain yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas istri untuk kawin kembali dengan bekas istrinya kecuali setelah bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami kedua itu serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalani masa iddahnya.
19
Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya, talak ada beberapa macam, yaitu sebagai berikut :17 1. Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan lisan dihadapan istrinya dan istri mendengar secara langsung ucapan suaminya itu. 2. Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara tertulis lalu disampaikan kepada istrinya, kemudian istri membacanya dan memahami isi dan maksudnya 3. Talak dengan syarat, yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat oleh suami yang tuna wicara kepada istrinya,sehingga istrinya tersebut paham akan maksud suaminya 4. Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada istrinya melalui perantara orang lain sebagai utusan untuk menyampaikan maksud suami itu kepada istrinya yang tidak berada dihadapan suami, bahwa suami mentalak istrinya. Jadi dalam talak kali ini suami tidak mengatakan kata talak tersebut tidak secara langsung. D. Pengertian Ila’ Kata ila’ berasal dari bahasa arab dari kata: al-‘Aliyatu yang berarti sumpah.18 Al-Jaziri memberi keterangan bahwa kata ila’ secara bahasa lebih umum dari pengertian secara syara’ dimana syara’ mengkhususkan hanya
17
Op. cit, hlm. 232 Achmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progessif, Edisi Kedua, 1997, hlm. 37 18
20
terhadap soal wata’ dari suami kepada istrinya. Dengan demikian sumpah tidak makan, minum atau yang lainnya tidak termasuk sumpah ila’.19 Adapun pengertian ila’ menurut istilah adalah sumpah kepada istrinya untuk tidak mengkumpulinya selama empat bulan atau selama-lamanya. Dan menurut istilah fiqih, ila’ adalah menolak, tidak mau bersenggama dengan istri dengan bersumpah. Ada juga yang menyebutkan pengertian ila’ menurut istilah adalah sumpah yang diucapkan suami kepada istrinya, yaitu sumpah untuk tidak menyetubuhi istrinya dalam waktu tertentu. E. Dasar Hukum Ila’ Sebenarnya sumpah ila’ sudah ada sejak zaman Jahiliyah, yang pada masa itu sumpah ila’ merupakan tradisi seorang suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dengan tujuan agar istrinya merasa terkatung-katung seperti seorang perempuan yang tidak mempunyai suami dan merasa tersiksa dengan keadaan demikian tersebut dengan tidak membatasi waktu dalam bersumpah untuk tidak menggauli istrinya tersebut.20 Kemudian seiring dengan perubahan dan kemajuan yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, terjadi pula perubahan pada ketentuan sumpah ila’ yang oleh risalahnya yang berupa wahyu diberi batasan tenggang waktu empat bulan, hal ini yang demikian tersebut agar hak-hak seorang istri dapat terlindungi.
19
Abdul Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz IV, Bairut: Libanon, Daar al-kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 413 20 Ibid
21
Adapun dasar hukum ila’ itu terdapat dalam al-Qur'an, yaitu firman Allah Swt yang berbunyi:
ﻟﻠﺬﻱﻦ ﻱﺆﻟﻮن ﻡﻦ ﻧﺴﺎﺉﻬﻢ ﺗﺮﺑﺺ ارﺑﻌﺔ اﺷﻬﺮ ﻓﺎن ﻓﺎءوا ﻓﺎن اﷲ -٢٢٨ : وان ﻋﺰﻡﻮ اﻟﻄﻼق ﻓﺎن اﷲ ﺱﻤﻴﻊ ﻋﻠﻴﻢ )اﻟﺒﻘﺮﻩ,ﻏﻔﻮر رﺣﻴﻢ (٢٢٦ Artinya: “Bagi para suami yang mengila’ istrinya, maka menunggu selama empat bulan, bila dia kembali maka sesungguhnya Allah Swt Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Bila dia ingin mentalakya, maka sesungguhnya Allah Swt Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”. (al-Baqarah: 226-227).21 Adapun dasar hukum ila’ yang bersumber dari hadits adalah:
اذا اﻟﻰ اﻟﺮﺟﻞ ﻡﻦ اﻡﺮاﺗﻪ ﻟﻢ ﻱﻘﻊ:ﻋﻦ ﻋﻠﻰ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ اﻧﻪ ﻱﻘﻮل ﻓﺎﻡﺎ ان ﻱﻄﻠﻖ: ﺣﺘﻰ ﻱﻮﻗﻒ,ﻋﻠﻴﻪ ﻃﻼ ق وان ﻡﻀﺖ اﻻرﺑﻌﺔ اﻻﺷﻬﺮ 22 (واﻡﺎ ان ﻱﻘﺊ )رواﻩ ﻡﺎﻟﻚ Artinya: “Dari Ali ra. Ia berkata: apabila seorang lelaki ila’ (bersumpah) dengan istrinya maka tidak terjadi talak, meskipun telah lewat empat bulan, hingga dia dihentikan: maka ada halnya dia mentalak (istrinya) dan ada halnya dia mencabut sumpahnya”. (HR. Malik). Dan hadits yang lain adalah riwayat ‘Aisyah, yaitu:
اﻟﻰ رﺱﻮل اﷲ ﺹﻠﻰ اﷲ:ﻋﻦ ﻋﺎﺉﺸﻪ رﺿﻲ اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ وﺟﻌﻞ ﻟﻠﻴﺤﻴﻦ, ﻓﺠﻌﻞ اﻟﺤﻼ ل ﺣﺮاﻡﺎ,ﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠﻢ ﻡﻦ ﺱﺎﺉﻪ وﺣﺮم 23 (آﻔﺎرة )رواﻩ اﻟﺘﺮﻡﺬى Artinya: “Aisyah ra. Menceritakan, bahwa Rasulullah Saw pernah mengila’ sebagian istri beliau dan mengharamkannya, sehingga apa yang selama ini halal berubah menjadi haram, dan beliau menentukan sumpah ada dendanya”. Adapun hukum ila’ menurut para ulama adalah sebagai berikut: 21
Departemen Agama RI, loc. cit., hlm. 55 DR. Mustofa DII Bul Bigha, loc. cit, hlm. 400 23 Muhammad bin Isma’il, Bulughul Maram, Jilid II, Terjemahan: KH. Kahar Masyhur, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1992, hlm. 107 22
22
Bila seorang bersumpah tidak akan mendekati istrinya, tetapi dalam masa empat bulan dia menyentuh istrinya itu, maka hentikanlah masa ila’nya dan dia wajib membayar kafarat yamin (denda melanggar sumpah), tetapi kalau sampai habis masa empat bulan itu dia tidak bersenggama dengan istrinya itu, maka jumhur ulama berpendapat bahwa istri berhak meminta kepada suaminya akan menyenggamanya atau mentalaknya, bila suami enggan kedua-duanya, maka manurut: 1. Imam Malik, berpendapat bahwa hakimlah yang menjatuhkan talak lakilaki itu, karena menjaga agar perempuan itu tidak melarat. 2. Imam Syafi’i, dan Ahli Zahir, berpendapat bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan talak itu, tetapi dia berhak menekan laki-laki tersebut seperti memenjarakannya, sehingga dia sendiri yang mentalak istrinya itu. 3. Menurut Ahnaf, berpendapat bila masa empat bulan telah habis dan suami tidak menyenggama istrinya itu, maka istrinya itu telah dikenakan talak bain dengan talak lewat masa tersebut. Dan suami tidak mempunyai hak untuk rujuk lagi, karena salah dalam menggunakan haknya dengan enggannya bersenggama tanpa uzur itu. Dengan demikian, maka hilanglah haknya terhadap keluarganya dan dia termasuk penganiaya istrinya itu. 4. Imam Malik, berpendapat dengan sendirinya suami dikenakan hukum ila’, bila maksudnya dengan mengila’ itu hendak merusakkan istrinya,
23
walaupun dia tidak bersumpah untuk itu, karena menimbulkan kemelaratan, maka dianggap dia telah bersumpah.24 F. Sekilas tentang ila’ Seperti telah dijelaskan diatas bahwasanya ila’ menurut pengertian bahasa arab adalah menolak sesuatu dengan bersumpah atau mengelak dengan sumpah. Adapun menurut istilah fiqih adalah menolak tidak mau bersenggama dengan istri dengan bersumpah. Sumpah itu dapat dalam bersumpah dengan nama Allah Swt, atau berpuasa, atau bersedekah, atau mengerjakan ibadah haji, atau mentalaknya. Pada masa Jahiliyah ada suami yang bersumpah tidak akan menyentuh istrinya selama satu atau dua tahun atau lebih dengan maksud merusaknya, sehingga istrinya itu bagaikan orang yang digantung. Dan sumpah itu merupakan kebiasaan kaum Jahiliyah. Tentu saja sumpah semacam ini merupakan penghinaan dan permusuhan yang nyata serta bertindak zalim terhadap hak-hak istri. Pada zaman Jahiliyah ila’ bisa terjadi meskipun istri tidak berbuat suatu kesalahan. Namun Islam datang mencabut akar-akar adat kebiasaan ini, dan membuat batasan tegas lagi diperbolehkannya ila’ yang kalau melanggar, sitri bisa menuntut untuk bercerai dari suami. Batas waktu ila’ hanya berlaku empat bulan. Kalau suami menggauli istri dalam masa ini, berarti dia telah
24
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Juz 7 Alih Bahasa, Mahyuddin Syaf, Bandung, PT. AlMa’arif, 1990, hlm 156-157
24
melanggar sumpahnya dan oleh karenanya dia wajib membayat kafarat.25 Dan disebutkan dalam al-Qur'an:
ﻟﻠﺬﻱﻦ ﻱﺆﻟﻮن ﻡﻦ ﻧﺴﺎﺉﻬﻢ ﺗﺮﺑﺺ ارﺑﻌﺔ اﺷﻬﺮ ﻓﺎن ﻓﺎءوا ﻓﺎن اﷲ -٢٢٧ : وان ﻋﺰﻡﻮ اﻟﻄﻼق ﻓﺎن اﷲ ﺱﻤﻴﻊ ﻋﻠﻴﻢ )اﻟﺒﻘﺮﻩ,ﻏﻔﻮر رﺣﻴﻢ (٢٢٦ Artinya: “Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemusdian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Swt Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber’azam (bertetap hari untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Swt Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (al-Baqarah 226-227)26 Anas menyebutkan bahwa: Rasulullah Saw mengila’ salah seorang istrinya satu bulan, kakinya yang mulia telah beranjak, maka berdiri ditempat minum yang telah beranjak, maka berdiri disediakan untuknya selama 29 hari kemudian turun (melepaskan), sahabat bertanya: Ya Rasulullah Saw engkau ila’ sebulan? Nabi menjawab “satu bulan 29 hari”. (HR. Bukhari) Ada dua pendapat tentang Sumpah ila’ itu apakah harus dengan nama Allah Swt?, yaitu sebagai berikut: 1. Tidak harus dengan nama Allah Swt. 2. Harus dengan nama Allah Swt. Adapun pendapat yang pertama itu lebih kuat. Maka apabila seorang berkata kepada istrinya: a. Apabila aku bersenggama denganmu (istri) aku harus berpuasa/shalat. b. Apabila aku mengkumpulimu kamu tercerai. 25
Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, CV. AsySyifa’, Semarang, 1938, hlm.332 26 Departemen Agama RI, loc. cit., hlm. 55
25
Adapun kata-kata suami tersebut diatas itu merupakan ila’.27 Dan hikmah diberlakukan masa empat bulan itu sebagai berikut: 1) Dalam masa empat bulan memungkinkan jiwa untuk mengembalikan diri dari menggauli istri, begitu pula sang istri, dia tidak mampu lagi untuk bertahan lebih dari masa itu dalam menggauli istri 2) Dalam masa itu ada kesepakatan untuk menjaga kehormatan diri. Lebih dari masa itu mungkin saja keduanya tidak lagi mampu menjaga kehormatannya. Dan diriwayatkan dari ibnu Abbas ra. Berkata: ila’nya orang Jahiliyah itu lamanya setahun, dua tahun bahkan lebih, maka Allah Swt memberikan batasan waktu selama empat bulan. Barangsiapa yang ila’nya kurang dari empat bulan, maka itu bukan ila’.
27
Moh. Rifa’I, Terjemah Khulashah Kifayatul Ahyar, Semarang, CV. Toha Putra , 1978, hlm. 325
26