BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAJI
A. Pengertian Dan Dasar Hukumnya. Secara etimologi kata haji adalah berasal dari bahasa Arab, yaitu “hajja-yahajju-hajjan” yang berarti berziarah, mengunjungi, menyengaja1. Namun dalam penggunaannya para ulama telah sepakat bahwa kata haji digunakan dalam pengertian untuk mengunjungi Ka’bah buat menyelesaikan manasik haji2 . Sedangkan pengertian haji menurut istilah syara’ dikalangan ulama terdapat beberapa pendapat yang pada intinya sama. Diantaranya; menurut Sayyid Sabiq:
!"
# $ % & #
Artnya: “Menyengaja (mengunjungi) Makkah untuk menunaikan ibadah thawaf, sa’I, wukuf di Arafah dan seluruh rangkaian ibadah (haji) dalam rangka memenuhi perintah Allah dan mengharapkan ridhoNya”3. Sedangkan menurur wahbah al- zuhaily menyatakan:
'
( ) *+
,* .
/
0 1
% '
1
( 23
Ahmad warson munawir, Kamus Indonesia–Arab, Yogyakarta: Pustaka Progresif, Cet. Ke- 14, 1997, hlm. 237. 2 M. Hasbi ash Shiddieqy, Pedoman Haji, Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet. Ke-3, 1999, hlm. 2. 3 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Beirut: Daar al-Fikr, 1983, hlm. 527.
12 Artinya: “Menyengaja (mengunjungi) Ka’bah untuk mengerjakan perbuatan tertentu atau mengunjungi tempat tertentu pada waktu tertentu dengan perbuatan-perbuatan tertentu”4. Hasbi ash siddieqy menyatakan dalam bukunya bahwa haji menurut bahasa adalah menuju kesuatu tempat berulang kali atau menuju pada suatu tempat yang dimuliakan. Sedangkan menurut syara’ adalah mengunjungi Baitullah dengan sifat yang tertentu di waktu yang tertentu dan disertai perbuatan tertentu pula5. Dari beberapa pengertian haji diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud haji adalah suatu kegiatan mengunjungi Makkah yang dilakukan pada waktu tetentu untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan khusus berupa thawaf, sa’I, wukuf di Arafah dan seluruh rangkaian ibadah haji dalam rangka memenuhi perintah Allah dan mengharapkan ridho-Nya. Setiap ibadah dalam Islam pelaksanaannya haruslah berdasarkan nash hukum yang tegas baik dari al-Qur’an maupun al-Sunnah. Begitu pula dengan ibadah haji yang diperintahkan dengan dalil-dalil sebagai berikut: 1. Nash Al-Qur’an IGHF+
1E D4 56 7 879 6 8 :8 7 ;88 # 9
)87 7 <9 6 8 9= >7 ?7 @ A B8 C 87A C 7 8
Artinya: ”Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (Q.S. Ali Imran: 97).6
>8J M 2N O9 )78 )6 ! 7 P 9 -Q78 8 "J 2N OB8 C 884 %8 R7 ,8 SN ! P 9 -J 8 >8 0977 @ A 79 +J K8 L 8 IUHF>0 D Q T6 78 4
tth, hlm. 8.
5 6
hlm. 92.
Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, Juz III, Damaskus: Daar Al-Fikr, M. Hasby Ash-Shiddieqy, loc. cit. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Asy Syifa, 1993,
13 Artinya: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datangnya dari segenap penjuru”. (QS. Al-Hajj: 27).7 IWGXF V D
7A C 7889N98A >8 09 =7 ! L 8 8
Artinya: ”Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah”. (QS. Al-Baqarah: 196)8 2. Hadits Rasulullah
6 C $ BC / $ 1 , 1 F1 0 + $% b ,D
%+
Y $ Z,
Y_ F\ ] BC ^5 %
+a , ^/ >0
O`
# - 5
^
) ) F[C $1 , Ic,(
Artinya: “Dari ibn Umar r’a berkata: Rosulullah SAW bersabda:”Islam didirikan atas lima (dasar), bersaksi tidak ada yang patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan Shalat, menyalurkan zakat, mengerjakan haji, dan berpuasa di bulan ramadhan”. (H.R. Bukhari Muslim).9 3. Ijma’ Ulama Para ulama telah sepakat mengenai kewajibannya, tidak diragukan lagi dan dianggap kafir orang yang mengingkarinya karena haji merupakan salah satu rukun Islam. Mereka juga sepakat bahwa kewajiban haji hanya sekali seumur hidup bagi orang yang telah memiliki kemampuan. Kecuali jika seorang nadzar pergi haji, maka ia wajib memenuhi nadzarnya itu. Jika ada orang
7
Ibid, hlm.515. Ibid, hlm.47. 9 Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz I, Beirut: Daar Al Kutub Al Ilmiyah, t.th, hlm. 18. 8
14 yang mengerjakan haji lebih dari satu kali maka hal itu dianggap sebagai ibadah sunnah.10 Berdasarkan hadits Rasulullah:
[C
6 C $ BC / 2 F1 d ?
1P \ ? ) ; % +L F@ e
) )
2O B >0 $ 1 ,-F1V I
b ,D
; ! Y *)
?
Artinya: “Dari Ibn Abbas al-Iqna bin Habis bertanya kepada Nabi SAW. dan berkata: “Wahai Rasulullah apakah mengerjakan haji itu setiap tahun atau hanya sekali saja?” Rasulullah S.A.W. bersabda:”cukup sekali saja. Barang siapa menambahkannya maka itu ibadah suka rela saja”. (H.R. Imam Abu Dawud)11. Adapun mengenai permulaan di wajibkannya haji dalam Islam ada beberapa pendapat ulama. Menurut jumhur ulama, haji telah diwajibkan oleh Allah sejak tahun ke-6 hijriyah12. Karena pada waktu itu bertepatan dengan firman Allah: IWGXF V D
7A C 7889N98A >8 09 =7 ! L 8 8
Artinya: ”Dan sesungguhnya haji dan umrah karena Allah”. (Q.S. alBaqarah: 196 ).13 Pendapat lain menyatakan bahwa haji baru diwajibkan pada tahun ke9 atau ke-10 hijriyah dan pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Qoyyim. Rasulullah sendiri baru melaksanakan ibadah haji pada tahun ke-10 Hijriyah
10 11
3.
12
Sayid Sabiq, op.cit. hlm. 529. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz II, Beirut:Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1996, hlm.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu Fiqh, Jakarta: Depag, 1983, Cet. Ke-2, hlm. 329. 13 Departemen agama RI, loc. cit.
15 yang dikenal dengan haji wada’ atau haji perpisahan karena tidak lama setelah itu beliau wafat.14 Haji wajib segera ditunaikan baik segera atau ditangguhkan.15 Menurut madzhab Syafi’I, Tsauri, Auzai dan Muhammad bin Hassan, kewajiban haji boleh ditangguhkan. Artinya boleh dilakukan sembarang waktu selagi hidup dan yang berkewajiban tidaklah berdosa menangguhkannya asal ditunaikan sebelum meninggal. Alasannya, Rasulullah menangguhkan pelaksanaan haji sampai tahun ke-10 Hijriyah, padahal mulai diwajibkannya mulai tahun ke-6 Hijriyah. Seandainya harus dilakukan segera tentulah Nabi tidak akan menangguhkannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hambal dan sebagian pengikut Syafi’i dan Abu Yusuf berpendapat bahwa haji itu wajib ditunaikan segera, berdasarkan hadits Nabi:
>0
, ) F[C
6 C $ BC / $ 1 , 1 F1 @ I
b ,D
) ) 2f # 6 C
Artinya: “Dari Ibn Abbas berkata: Rasulullah SAW. Bersabda:” Barang siapa yang hendak melaksanakan haji, maka segeralah”. (HR. Imam Abu Dawud).16 B. Syarat dan Rukun dari Wajib Haji 1. Syarat-Syarat Haji Sah dan tidaknya perbuatan hukum sangat ditentukan oleh adanya syarat. Akan tetapi keberadaan syarat tidak mesti adanya sesuatu hukum.
14
Ash Shiddieqy, op.cit, hlm. 9. Sayyid Sabiq, op.cit, hlm 530. 16 Abu Dawud, op. cit, hlm. 5. 15
16 Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang dikategorikan wajib melaksanakan ibadah haji, ketidak lengkapan syarat menghapus kewajiban berhaji.tetap dibenarkan dan sah hukumnya. Adapun syarat-syarat bagi orang yang akan melaksanakan ibadah haji dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu syarat yang berlaku secara umum bagi laki-laki dan perempuan, dan syarat khusus yang berlaku hanya bagi perempuan.17 Syarat-syarat yang berlaku umum bagi laki-laki dan perempuan adalah: a. Islam Tidak wajib atas orang kafir dan tidak sah hukumnya jika melaksanakannya, karena haji adalah kegiatan ibadah secara islam. Oleh karena itu jika ada orang kafir yang melaksanakan haji kemudian ia masuk islam maka ia wajib mengulangi jika ia mampu.18 b. Baligh Artinya sampai umur 15 tahun, atau baligh dengan tandatanda lain, tidak wajib haji atas kanak-kanak.19 Seandainya ada anak yang belum baligh mengerjakan haji dengan memenuhi syarat-syarat, rukun, dan wajib haji, maka dianggap sah, namun hajinya tidak menggugurkan kewajiban hajinya kalau sudah dewasa kelak jika ia mampu. c. Berakal 17
Wahbah al-Zuhaili, op. cit, hlm. 19. Ibid, hlm. 20. 19 Sualaiman Rasjid, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah, Cet ke-17, 1954, hlm 241. 18
17 Yaitu mempunyai akal yang sehat, tidak gila atau bodoh. d. Merdeka Maksudnya bukan budak atau hamba sahaya yang terikat dengan kewajiban kepada tuannya dan dibawah kekuasaannya, karena ibadah haji disamping membutuhkan waktu yang cukup lama juga membutuhkan biaya. Sedang seorang budak disibukkan dengan hakhak tuannya dan tentunya ia tidak mempunyai uang. Jika ia diajak oleh tuannya melaksanakan haji, maka setelah merdeka ia diwajibkan mengulang jika mampu.20 e. Kemampuan Kemampuan merupakan persyaratan yang sangat penting, karena dalam al-Qur’an telah ditegaskan bahwa haji dibebaskan kepada orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Dalam ilmu Fiqh, kajian tentang kemampuan atau istitho’ah sangat menentukan sejauh mana seseorang diberi kewajiban bertindak hukum. Meskipun para Fuqoha berbeda pendapat dalam menentukan batasan dan bentuk istitho’ah, akan tetapi secara umum yang dimaksud istitho’ah paling tidak meliputi dua hal yaitu bekal dan aman dalam perbelanjaan. Berdasarkan hadits Rasulullah:
F1 >0 B 26
$ 1 ,-F26 F1 IBV Y6 b ,D
20
hlm. 974.
C ?
) ) ` 26
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Internesa, Cet ke-1, 1997,
18 Artinya: “Dari ibn Umar: ”dikatakan wahai Rasululloh! Apakah yang dimaksud dengan (mampu mengdakan) perjalanan haji itu? Rasululloh berkata: (mampu mengadakan) perjalanan itu adalah mempunyai bekal dan aman dalam perjalanan” (H.R. Baihaqi).21 Sementara Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah menjelaskan bahwa istitho’ah meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) Sehat badannya. Bagi orang yang lemah fisiknya karena usianya sudah lanjut atau sakit yang sulit disembuhkan, sedang ia mempunyai biaya maka hajinya dikerjakan oleh orang lain, dengan syarat orang tersebut telah berhaji untuk dirinya sendiri yaitu haji fardhu. 2) Aman dalam pejalanan, baik untuk dirinya maupun hartanya. 3) Mempunyai ongkos serta bekal perjalan yang cukup untuk pergi ke Mekkah dan kembalinya. Termasuk dalam hal ini tersedia pula jaminan nafkah bagi keluarga yang ditinggalkan. Biaya haji haruslah berasal dari harta yang halal dan tidak boleh diperoleh dengan cara-cara yang tidak dibenarkan, seperti berhutang, menggadaikan
atau
menjual
barang-barang
pokok
atau
mengorbankan kebutuhan lain yang lebih penting. 4) Tersedianya kendaraan untuk pergi dan pulang haji yaitu bagi mereka yang bertempat tinggal jauh dari Makkah. Bagi orang yang dekat sedangkan ia kuat berjalan kaki maka ia wajib. 5) Tidak ada halangan untuk pergi.22 21 22
Al-Baihaqi, al-Sunan al-Qubra, Beirut: Daar al-kutub al-Ilmiyah, 1994, hlm. 535. Sayid Sabiq, op. cit, hlm. 531.
19 Selain kemampuan diatas, ibadah haji juga membutuhkan kemampuan pengetahuan tentang seluk beluk pelaksanaannya. Hal ini berkaitan proses pencapaian tujuan ibadah haji yang berdasarkan ilmu, tidak sahnya taqlid buta. Kesiapan atau kemampuan mental dan rohani juga tidak kalah penting karena ia akan banyak mempengaruhi nilai ibadah dan perilaku pasca haji. Sedangkan syarat khusus yang hanya berlaku bagi perempuan adalah: a) Harus pergi bersama suami atau mahramnya atau bersam rombongan perempuan yang dapat dipercayainya.23 Hal ini disyaratkan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang negatif, fitnah dan kesulitan-kesulitan yang memungkinkan membawa bahaya bagi yang bersangkutan. b) Tidak sedang dalam masa iddah yang sebab talak atau mati.24 2. Rukun Haji Rukun haji adalah ketentuan-ketentuan yang harus ada dalam pelaksanaan haji, yang apabila ditinggalkan menyebabkan tidak sah hajinya dan tidak dapat diganti dengan membayar dam atau denda.25 Mengenai rukun haji terdapat perbedaan pendapat diantaranya: a. Menurut golongan madzhab Hanafiyyah, rukun haji hanya ada dua, yaitu: 23
Wukuf di Arafah
Al-Syafi’i, al-Uum, Juz II, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1968, hlm. 184. Wahbah al-Zuhaili, op. cit, hlm. 35–36. 25 Moh Rifa’i, Mutiara Fiqh, Jilid I, Semarang, CV. Wicaksana, 1998, hlm. 613. 24
20 -
Thawaf ziarah (thawaf ifadah)
b. Menurut jumhur ulama Malikiyyah dan Hanabillah bahwa rukun haji itu ada empat, yaitu: -
Ihram (niat ihram)
-
Wukuf di Arafah
-
Thawaf Ziarah (thawaf ifaddah)
-
Sa’i antara Shafa dan Marwa.26
c. Menurut golongan madzhab Syafi’iyah rukun haji itu ada enam, yaitu: -
Ihram
-
Wukuf di Arafah
-
Tahallul (bercukur yang dilakukan sesudah berlalu separuh malam hari raya nahr)
-
Thawaf Ziarah (thawaf ifadah)
-
Sa’I antara Shafa dan Marwa
-
Berurutan yaitu melakukan ihram atas segala yang lainnya, mendahulukan wukuf atas thawaf ifadah.27 Adapun rukun-rukun haji tersebut adalah:
a. Ihram Ihram adalah meniatkan salah satu dari dua ibadah haji dan umrah atau meniatkan keduanya sekaligus.28 Ketentuan ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: 26
Abdurrahman al-Jairi, Al Fiqh ‘ala Madzhab al Arba’ah, juz I, Beirut, Ihya’ alturathul Arabi, Cet III, tth, hlm. 638. 27 Ibid. 28 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, Jilid 2, Jakarta: Rajawali Press, Cet. Ke-I, 1988, hlm. 69.
21
$ 1 ,< ch
2
F1
$
", g ( )
i 6 1 % hF[C
)
6 C $ BC / Ic,( b ,D
Artinya: “Dari Umar bin Khattab r.a berkata: saya mendengar Rasululloh SAW. Bersabda:” sesungguhnya tiap-tiap amal itu tergantung pada niatnya. Dan tiap-tiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang diniatkannya”. (HR. Imam Bukhari).29 b. Wukuf di Arafah Para Fuqaha sepakat wukuf diArafah merupakan rukun yang paling pokok dalam haji.30 Berdasarkan hadits nabi yang berbunyi:
6 C $ BC / $ 1 , i Y_ F1
-) ) ?
)
6 C $ BC / $ 1 , 1V >0 ) b P @ hb! P [C C 6) f3 ; C j2
C 6S, L) I
>0 [C
b ,D
f?[! Vk R
Artinya: “Dari Abdurrahman bin Ya’mur berkata: “saya menyaksikan Rasulullah SAW. Maka manusia menghampirinya, maka mereka bertanya kepadanya tentang haji, maka Rasulullah SAW. Bersabda: “haji itu wukuf di Arafah, barang siapa mencapai malam di Arafah sebelum terbitnya fajar dari keseluruhan malam itu, sempurnakanlah hajinya” (H.R. al Nasa’i)31 Adapun
waktunya,
jumhur
ulama
berpendapat
mulai
tergelincinya matahari tanggal 9 Dzulhijjah sampai terbit Fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Pada saat wukuf para jama’ah dianjurkan untuk menjaga kesulitan, menghadap ka’bah serta memperbanyak istighfar,
29
Al-Bukhari, op.cit, 1974, hlm. 3. Wahbah Zuhaili, op.cit, hlm. 174. 31 Al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, Juz III, Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th, hlm. 256. 30
22 dzikir dan do’a disertai rasa takwa dan perhatian penuh terhadap ibadah yang sedang dilakukan. c. Thawaf Thawaf artinya mengelilingi, maksudnya mengelilingi ka’bah sebanyak 7 kali putaran. Ketentuan thawaf ini disebutkan dalam firman Allah: IUGF>0 D
T6 7 # 7 897 <9 6 8 97 N AA8 6 9 8
Artinya: “Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu ( Baitullah ) “. (Qs al-Hajj: 29 )32 Thawaf yang harus dilakukan dalam ibadah haji ada tiga macam yaitu thawaf qudum (thawaf ketika sampai ditanah suci), thawaf ifadzah (thawaf yang termasuk rukun haji) dan thawaf wada (thawaf terakhir ketika akan meninggalkan tanah suci).33 d. Sa’i Sa’i adalah berjalan cepat atau berlarillari kecil diantara bukit shafa dan marwa, sebanyak 7 kali. Melakukan sa’i dimulai dari bukit shafa dan diakhiri di bukit marwah. Waktunya ialah sesudah selesai melakukan thawaf, baik thawaf ifadzah maupun thawaf qudum.34 Tentang sa’I ini Allah berfirman:
58888 # 9 78 L8 <9 6 8 9A >8 ?9 )887A C 7788 _9 )7889898 8 3 A A +7 : [6 m C 7 8m7 O8 _8A CA +7 n 849 6 ]8 8 ;A88 !9 )88 87 Y78AA8 -9 +8 L79 6 C 8 88 o8 R N 32
Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 256 Ibn Rusd, Bidayah al-Mujtahid, Indonesia: Maktabah Daar al-Ihya al-kutub alArabiyah, t. th, hlm. 250 34 Nasarudin Razaq, Dienul Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif, Cet. Ke-7, 1984, hlm. 214 33
23 Artinya: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah, Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’I antara keduanya, dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka sesungguhnya Allah maha mensyukuri kebaikan lagi maha mengetahui.” (Qs Al-Baqarah: 158)35 e. Bercukur atau memotong rambut Memotong rambut itu dengan mencukur atau cukup dengan menggunting. Dan apabila telah telah mengerjakan memotong rambut, berarti tahallul, artinya selesai perbuatan ihram haji itu. Kemudian diperbolehkan berpakaian sebagaimana biasa.36 f. Tertib Tertib yaitu berurutan antara semua rukun haji yang pentingpenting, yaitu mendahulukan ihram haji atas semua amalan lain, mendahulukan wukuf dari pada thawaf ifadzah dan tahallul, mundahulukan thawaf dari pada sa’i. 3. Wajib haji Wajib haji adalah ketentuan yang harus dikerjakan dalam ibadah haji, tetapi sahnya haji tidak tergantung atasnya, karena boleh diganti dengan membayar dam.37 Di dalam wajib haji ini juga terdapat perbedaan pendapat diantaranya: a. Menurut ulama Syafi’iyah, wajib haji terdiri dari: 35
Ihram dari miqat
Departemen Agama RI, op.cit, hlm. 39 Ustadz Dja’far Amir, Ilmu fiqih, Jakarta: Ramadani, t.th., hlm. 138 37 Husein Bahreisj, Tuntutan Islam, Surabaya: al-Ikhlas, t,th., hlm. 126 36
24 -
Bermalam di Muzdalifah
-
Bermalam di Mina
-
Melempar jumrah ula, jumrah wustha, jumrah aqabah
-
Meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diharamkan ketika ihram
-
Thawaf wada’38
b. Menurut Hanafiyyah, wajib haji terdiri dari: -
Sa’i antara shafa dan marwah
-
Mabit di Muzdalifah walaupun sebentar sebelum fajar di hari nahr (10 Dzulhijjah)
-
Melempar jumrah aqabah
-
Tahallul (bercukur atau memendekkan / memotong rambut)
-
Thawaf wada
c. Menurut Hanabillah (golongan Hambaliyyah), wajib haji terdiri dari: -
Ihram di Miqat
-
Wukuf di Arafah sampai terbenamnya matahari apabila wukufnya dimulai sejak siang hari
-
Mabit di Muzdalifah
-
Mabit (bermalam) di Mina
-
Melempar jumrah dengan tertib
-
Tahallul (bercukur atau memotong rambut)
-
Thawaf wada’
38
1994, hlm.4
A. Nasir Yusuf, Problematika Manasik Haji, Bandung: Penerbit Pustaka, Cet. Ke-2
25 d. Menurut malikiyyah, wajib haji terdiri dari: -
Ihram di Miqat
-
Thawaf qudum
-
Mabit di Muzdalifah
-
Melempar jumrah Aqabah di hari nahr (10 Dzulhijjah)
-
Tahallul (bercukur / memotong rambut)
-
Bermalam di Mina pada hari tasyriq39 Adapun wajib haji terdiri dari:
a. Ihram dan Kedudukannya Ihram adalah salah satu rukun haji, sedangkan ihram dari miqat merupakan salah satu wajib haji. Imam syafi’i ra berpendapat bahwa seseorang yang melewati makani dan tidak berihram, maka terkena dam (denda), sedangkan apabila ia kembali ke tempat miqat dan berihram dari tempat (miqat makani) maka tidak terkena dam. Sedangkan Imam Malik ra, Ibnu Mubarok, dan sebagian imam pengikut Syafi’i berpendapat bahwa seseorang yang berhaji di kala melewati tempat-tempat miqat dan tidak berihram, baik ia kembali ketempat miqat maupun tidak kembali ketempat miqat maka tetap terkena dam.
39
Abdurrahman, Aljairi, op. cit, juz 1, hlm. 664-669
26 Sedangkan atha’ Al Hasan dan An Nakha’I berpendapat bahwa bagi seseorang yang meninggalkan ihram miqay maka tidak terkena dam.40 Adapun
tempat-tempat
makani
sebagaimana
ketentuan
Rasululloh SAW. adalah sebagai berikut: 1. Dzul Khulaifah, bagi orang yang menuju ke Mekkah dari Madinah. Dzul Khulaifah adalah suatu kata tempat lebih kurang 204 km disebelah utara Makkah. 2. Juhfah, bagi orang yang menuju Makkah dari barat laut kota Makkah tempat bagi para penduduk Syam (Syria), kurang lebih 180 km dari Makkah. 3. Rabigh, sekarang telah menjadi tempat miqat bagi penduduk Mesir dan Syiria, jarak antara Rabigh dari Makkah kurangf lebihnya 204 km. 4. Qarnul Manazil, tempat miqat dari penduduk Najk, yaitu sebuah bukit yang terletak disebelah selatan Makkah yang jaraknya dari Makkah 94 km. 5. Yalamlam, yaitu tempat miqat bagi penduduk Yaman, yaitu sebuah bukit yang terletak disebelah selatan yang jaraknya dari Makkah 54 km.
40
Ibn Rusd, op. cit., hlm. 324-325.
27 6. Dzuhu’irqan, tempat miqat bagi penduduk Irak, sebuah tempat disebelah utara Makkah, jaraknya 94 km. dari Makkah.41 b. Tahallul (mencukur dan memotong kuku) Menurut
bahasa
“tahallul”
brarti”
menjadi
boleh”/
“diperbolehkan”, sedangkan menurut ulama’ fiqih (fuqaha’) “tahallul” ialah diperbolehkannya seorang dari larangan-larangan ihram/haji dengan
mencukur
atau
memotong
rambut
kepala,
setelah
melaksanakan thawaf dan sa’i (disebut tahallul tsani / kubra).42 Jumhur ulama, termasuk kecuali syafi’iyah berpendapat bahwa tahallul (mencukur atau memotong kuku) itu merupakan wajib haji, sedangkan golongan syafi’iyah menganggap sebagai salah satu rukun haji.43 Berdasarkan firman Allah swt:
88 _9 +7 :8 ^88 0987 f989A )N C ]98 N # 8J T8 097e= N8N8 9 ,NA C8 p88 / 98 V 8 N8 C 98 !9 [888 [7 C 888 + N8 (8 !%8 )7J 8 V N89 [N8 N eN ,8 )6 V 7 C J 0N8 8 )6 7 7ENA C IUHFq# 3D
4784 09 # 887 K7 8 + N9 )78 288 f8
Artinya: “sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada rasulnya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, atas kehendak Allah dalam keadaan aman, dengan mengan mencukur rambut kepala dan memotongnya, sedangkan kamu tidak merasa sakit).” (Q.S. Al Fath: 27).44
41
Sayyid Sabiq, op cit, Juz I, hlm. 549. Drs. A. Nashir yusuf, op.cit, hlm. 90. 43 Sayid sabiq, op. cit, juz 1, hlm. 629 44 Prof. Mahmud yunus, Terjemahan Al-Qur’an Al Karim, Bandung, Pt Al Ma’arif, cet V11, 1988, hlm. 18 42
28 Sedangkan mengenai kadar batas ukuran mencukur atau memotong rambut kepala kalangan ulama’ terjadi perbedaan pendapat yaitu: 1. Imam Syafi’I berpendapat bahwa seseorang bertahallul (mencukur atau memotong rambut kepala) adalah cukup dengan memotong 3 helai rambut kepala. 2. Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang yang berrtahallul (mencukur atau memotong rambut kepala adalah wajib mencukur semua rambut yang ada di kepala. 3. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa seseorang yang bertahallul (memotong / mencukur rambut kepala) adalah diwajibkan untuk mencukur sedikitnya seperempat (1/4) dari rambut yang ada dikepalanya. 4. Sedangkan Abu Yusuf berpendapat bahwa bagi orang yang bertahallul diwajibkan sedikitnya mencukur separuh rambut yang ada dikepala, sedangkan apabila ia berambut jarang (sedikit) cukup apabila ia memotong sedikit (satu ujung jari) dari rambut dikepalanya.45 Selanjutnya para ulama’ sepakat bahwa seorang wanita harus diwajibkan untuk memotong dan bukan mencukur rambutnya. Berdasarkan hadits dari ibnu Abbas ra:
45
Muhammad Athiyah Khumais, Fiqh Al-Nisa’ Fi Al Hajj, (terj): Daud Ma’mun, Fiqh Wanita Tentang Haji, Cet. II, 1988, hlm. 145-147.
29
h TC 0
BC \6[C I
6 C $ BC / $ 1 ,1 b ,D
6V #
BC
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda bagi para wanita tidak perlu bercukur, mereka wajib memotong atau memendekkan rambut kepala.” (H.R Abu Daud).46 c. Mabit di Muzdalifah (Masy’ril Haram) Jumhur ulama’sepakat bahwa mabit di Muzdalifah bukanlah merupakan rukun haji tetapi hanya wajib haji. Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa keberhasilan mabit di Muzddalifah itu apabila seseorang tidak keluar malam hari nahr, dan apabila seseorang disana (di Muzdalifah) sampai terbit fajar, maka apabila seseorang meniggalkan muzdalifah sampai terbit fajar, maka apabila seseorang meninggalkan Muzdalifah sebelum fajar terbit maka dikenakan dam. Imam malik berpendapat bahwa mabit di Muzdalifah itu ialah seseorang berada di Muzddalifah di waktu malam hari setelah ia wukuf di Arafah Walaupun dengan dalam perjalanan (lewat). Dari ulama’ telah sepakat bahwa seseorang yang tidak berada di Muzdalifah sampai sebelum fajar atau seseorang melaksanakan mabitnya setelah fajar maka mabitnya tidak sah.47 d. Mabit di Mina
hlm
46
Al Imam Abu Daud, Sunan Abi Daud, Juz II, Dar ihya’al sunan al Nabawiyah, t.th,
47
Muhammad Sagar, Tasyirul Hajj, Kairo, Mesir, Dar-al misr, cet VIII, t.th, hlm. 123
30 Menurut
imam
madzhab
Syafi’iyah,
Malikiyah,
dan
Hanabilah bahwa bermalam di Mina pada hari-hari tasyriq itu huumnya wajib berdasarkan riwayat dari A’isyah ra:
6 C $ BC / $ 1 ,Z Y s
<
Y $ ", r
)
B B kR,[t Yu BC / )6 ?^- ] ) [C I
b ,D
T-r# ^-B 6
Artinya: “A’isyah berkata: “Rosulullah SAW telah melaksanakan thawaf diakhir hari (nahr) dikala sesudah shalat dhuhur kemudian beliau kembali ke Mina untuk bermalam di harihari tasyrik”. (H.R. Abu Dawud).48 Sedangkan menurut golongan madzhab Hanafiyah bahwa bermalam di Mina pada hari-hari tasyrik itu hukumnya sunnah berdasarkan riwayat dari ibnu Abbas:
48 49
Al-Imam Abu dawud, op. cit, juz II, hlm. Sayyid Sabiq, op. cit, juz I, hlm 622
31 Adapun waktu pelontaran dimulai sejak tengah malam ‘Idul Adha sampai dengan terbenamnya matahari pada hari ‘id itu juga, yang disebut pula hari nahr (hari penyembelihan kurban). Alasannya adalah sebuah hadits diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir tentang cara haji Rasulullah SAW, dimana dinyatakan:
B!B# ? 2O k
f BC w (!B# B -x i6 ?k
p ( y ?2&
.
x fr
?2OxY
TB# ?BC OxY
C [t f ?
Artinya: “Kemudian Nabi menempuh jalan yang menuju ke Jumrah terbesar, sehingga beliau sampai ke Jumrah itu yang ada disini pohon lalu beliau melontarnya dengan tujuh butir-butir kecil-kecil, sambil bertakbir ketika melontar tiap-tiap butir baru itu (besarnya) seperti pelanting.50 Sesudah itu selama hari-hari tasyriq, yakni tiga hari sesudah idul adha, setiap hari wajib melontar batu pula kepada masing-masing jumrah pertama, yaitu yang terdekat dengan masjid Khaif, lalu jumrah tengah, lalu jumrah ‘Aqabah, secara berurutan. Adapun tempet-tempat jumrah itu sudah dimaklumi orang. Dan waktu pelontarannya dimulai sejak tergelincirnya matahari dari tengah langit sampai dengan terbenamnya disore hari. Akan tetapi, apabila tidak sampai melontar pada saat itu, maka pelontaran boleh dilakukan sesudah terbenamnya matahari. Dan boleh pula menangguhkannya sampai hari kedua, tanpa membayar fidyah. f. Sa’i 50
Muthafa al-Khin dan Musthafa al-Bagha, Fih Syafi’i Sistematis II, Terj, Anshori Umar Sitanggal, Semarang, CV. Asy Syifa, cet. Ke II, 1987, hlm. 168.
32 Sa’i adalah berlari-lari kecil (berjalan) dari bukit shafa dan Marwa dengan niat ibadah sebanyak tujuh kali putaran Golongan Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabillah di dalam suatu riwayat mengatakan bahwa sa’I merupakan sesuatu diantara rukun-rukun haji, sehingga apabila seseorang yang menunaikan ibadahh haji, sehingga apabila seseorang batal dan tidak bsa diimbangi dengan menyembelih hewan (dam) Abu Hanifah, Al Sa’by dan Al-Hasan berppendapat bahwa sa’i itu bukan merupakan salah satu rukun haji ttapi merupakan salah satu dari wajib haji, sehingga apabila seseorang yang menunaikan ibadah haji tidak melakukan sa’I maka hajinyatetap sah dan tidak batal, tetapi ia harus menyembelih hewan (dam)51 g. Thawaf Thawaf ialah berjalan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali yang dimulai dari sujud hajar Aswad dengan cara tertentu dengan niat tertentu.52 Adapun mengenai macam-macam thawaf sebagai berikut: 1. Thawaf qudum, ialah thawaf yang dilakukan oleh seseorang dikala datang pertama kali di kota Makkah untuk melaksanakan ibadah haji (secara ifrad maupun tamattu’) 2. Thawaf ziarah (Ifadah), ialah thawaf yang dilakukan sebagai rukun haji dan dikerjakan setelah melaksanakan jumrah aqabah di Mina. 51 52
Sayyid Sabiq, op. cit, juz I, hlm. 602-603. Abdul Aziz Dahlan, op. cit, hlm. 461.
33 3. Thawaf
Wada’
ialah
thawaf
yang
dilaksanakan
setelah
melaksanakan seluryh amalan-amalan ibadah haji dan akan segera meninggalkan kota Makkah untuk kembali ke negaranya. 4. Thawaf Tamattu’ ialah thawaf sunnah yang dilakukan sewaktuwaktu, misalnya seorang baru atau setiap kali memasuki masjidil haram.53 Hukum-hukum Thawaf dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat antara lain: 1. Thawaf qudum Imam Malik, al Ufrah, dan Abu Tsaur, serta sebagian pengikut Imam Syafi’i berpendapat bahwa thawaf Qudum adalah merupakan kewajiban bagi setiap orang yang memasuki kota Makkah. Berdasarkan firman Allah: 54
IUGF>0 D 7 T6 # 7 897 <9 6 8 97
N AA8 6 9 8
Artinya: “Dan hendaklah kamu sekalian berthawaf di Bait al ‘Atiq (Baitullah)”. (QS. Al-Hajj: 29)55 2. Thawaf Ifadah Para ulama sepakat bahwa thawaf ifadzah merupakan rukun haji (rangkaian ibadah haji) yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang melaksanakan ibadah haji dan apabila meninggalkannya maka hajinya tidak sah.
53
Drs. A. Nasir Yusuf, op. cit., hlm. 49 M. Fuad Al Baqi, op. cit., hlm.437 55 Prof Dr. Mahfud Yusuf, op. cit., hlm. 437 54
34 Mengenai waktu thawaf ifadzah dikalangan ulama terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat), antara lain: a. Golongan Hanafiyyah: Waktu thawaf Ifadzah dimulai dari Fajar hari nahr (10 Dzulhijjah) sampai akhir sesudah seseorang melakukan Wukuf di Arafah. b. Golongan Malikiyah: Waktu thawaf Ifadzah dimulai sejak hari nahr (10 Dzulhijjah) sampai akhir bulan dzulhijjah sehingga apabila seseorang meninggalkan (mengakhirkan) dari waktu tersebut maka terkena dam. c. Golongan Syafi’iyah: Waktu thawaf Ifadzah dimulai sejak setelah pertengahan kedua malam hari nahr (10 Dzulhijjah) dan berakhir sampai jamaah haji, mengerjakan (kapan saja) selama hidupnya, sedangkan waktu afdzal untuk mengerjakannya ialah pada hari nahr (10 Dzulhijjah)56 3. Thawaf Wada Menurut Imam Hanafi, Syafi’I dan Ahmad bin Hambal bahwa Thawaf Wada’ itu hukumnya wajib. Berdasarkan hadits dari Ibn Abbas r.a.:
] + -B# ? ? ).z% 1 [C
6 C $ BC / I[C b ,D
+
<6 bY
Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW. Bersabda: Janganlah seseorang berangkat (meninggalkan kota Makkah)
56
Abdurrahman al-Jaziri, op. cit., Juz I, hlm. 652-653.
35 sebelum ia melakukan pertemuan terakhir dengan Baitullah”. (HR. Muslim)57 Menurut imam Malik dan Ibnu Mundzir, thawaf wada’ itu hukumnya sunnah. Jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang yang meniggalkan thawaf wada’ tanpa berhalangan (udzur) maka dikenakan dam.58
57 58
Al Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Semarang, Toha Putra, t.th. hlm. 562. Sayyid Sabiq, op. cit., juz I, hlm. 635.