BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Skizofrenia 2.1.1 Definisi Skizofrenia secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu schizo yang berarti „terpotong‟ atau „terpecah‟ dan phrēn yang berarti pikiran, sehingga skizofrenia berarti pikiran yang terpecah (Veague, 2007). Arti dari katakata tersebut menjelaskan tentang karakteristik utama dari gangguan skizofrenia, yaitu pemisahan antara pikiran, emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya. Definisi skizofrenia yang lebih mengacu kepada gejala kelainannya adalah gangguan psikis yang ditandai oleh penyimpangan realitas, penarikan diri dari interaksi sosial, juga disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognisi (Wiramihardja, 2007). Dalam Diagnostic and Stastistical Manual of Mental Disorder, 4th edition (DSM-IV), skizofrenia didefinisikan sebagai sekelompok ciri dari gejala positif dan negatif, ketidakmampuan dalam fungsi sosial, pekerjaan ataupun hubungan antar pribadi, dan menunjukkan terus gejala-gejala ini selama paling tidak enam bulan. Referensi lain juga menyebutkan bahwa skizofrenia merupakan suatu gangguan yang mencakup gejala kelainan kekacauan pada isi pikiran, bentuk pikiran, persepsi, afeksi, perasaan terhadap diri sendiri, motivasi, perilaku, dan fungsi interpersonal (Halgin & Whitboume, 2014). Berdasarkan definisi-definisi yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah salah 8
9
satu jenis kelainan mental yang mengacaukan hampir seluruh fungsi manusia yang mencakup fungsi berpikir, persepsi, emosi, motivasi, perilaku, dan sosial. 2.1.2 Etiologi Skizofrenia disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab skizofrenia telah diselidiki dan menghasilkan beraneka ragam pandangan. Sebagian besar ilmuwan meyakini bahwa skizofrenia adalah penyakit biologis yang disebabkan oleh faktor – faktor genetik, ketidakseimbangan kimiawi di otak, atau abnormalitas dalam lingkungan prenatal. Berbagai peristiwa stress dalam hidup dapat memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia pada mereka yang telah memiliki predisposisi pada penyakit ini. Penyebab munculnya skizofrenia terbagi menjadi berbagai pendekatan seperti pendekatan biologis, teori psikogenik, dan pendekatan gabungan atau stree-vulnerability model. a. Pendekatan biologis Pada pendekatan biologis menyangkut faktor genetik, struktur otak, dan proses biokimia sebagai penyebab skizofrenia (Halgin, 1997). 1. Teori genetik Teori ini menekankan pada ekspresi gen yang bisa menyebabkan gangguan mental. Hasil dari beberapa penelitian menunjukan bahwa faktor genetik sangat berperan dalam perkembangan skizofrenia, dimana ditemukan hasil bahwa skizofrenia cenderung menurun dalam keluarga. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan National Institute of Mental
10
Health (NIMH) pada keluarga penderita skizofrenia yang menyatakan bahwa skizofrenia muncul pada 10% populasi yang memiliki keluarga dengan riwayat skizofrenia seperti orang tua dan saudara kandung. Berdasarkan American Journal of Medical Genetic, menyatakan bahwa apabila kedua orang tuanya mengidap skizofrenia, maka kemungkinan anaknya mengalami skizofrenia adalah sebesar 40%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin dekat hubungan biologis dengan individu yang sakit, maka semakin besar juga kemungkinan seseorang menderita skizofrenia (Semiun, 2006). Beberapa tahun terakhir telah diteliti mengenai gen yang spesifik berkontribusi terhadap timbulnya skizofrenia. Gen-gen tersebut di antaranya adalah Disrupted in Schizophrenia
(DISC),
G-Protein
Signalling-4
(RGS4),
Prolyne
Dehidrogenase (PRODH), dan Neuregulin-1 (NRG-1) (Harrison & Owen, 2003). Dengan adanya kelainan gen-gen tersebut maka akan berpengaruh terhadap sintesis protein, misalnya akan menyebabkan disfungsi protein yang membentuk kompleks reseptor NMDA. Tentu saja hal ini akan menyebabkan hipofungsi reseptor NMDA yang pada akhirnya akan menyebabkan timbulnya gejala-gejala psikosis (Harrison & Owen, 2003). Hasil penelitian lain menunjukkan proporsi yang tinggi dari orang-orang skizofrenia mengalami masalah dengan suatu gen khusus pada kromosom 5 (Semiun, 2006). Hal ini menjadi logis karena gen ini mempengaruhi dopamin dan reseptor dopamin yang berperanan penting dalam timbulnya simptom skizofrenia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa lebih dari satu gen dapat menyebabkan gangguan skizofrenia. Pengaruh genetik tidak sesederhana itu,
11
lingkungan individu merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap proses perkembangan skizofrenia. Ada kemungkinan jika individu-individu yang hubungannya lebih erat memiliki lingkungan yang sama. Dengan begitu, tidak bisa disimpulkan dengan pasti mengenai satu dasar genetik pada skizofrenia. Selain itu juga, faktor-faktor genetik tidak dapat menjelaskan semua kasus skizofrenia. Dapat dikatakan jika gen-gen tersebut hanya meningkatkan
kerentanan
seseorang
untuk
menjadi
seorang
dengan
skizofrenia. 2. Teori neurostruktural Berdasarkan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dan A computed tomography (CT) scan otak pada orang-orang dengan skizofrenia menunjukkan ada tiga tipe abnormalitas struktural, yaitu pembesaran pada ventrikel otak, atrofi kortikal, dan asimetri serebral yang terbalik (reversed cerebral asimetry) (Semiun, 2006). a) Pembesaran pada ventrikel otak Ventrikel adalah rongga atau saluran otak tempat cairan serebrospinal mengalir, diperkirakan pada pasien skizofrenia terjadinya pembesaran pada daerah ini hingga 20 hingga 50%. Kerusakan pada ventrikel berhubungan dengan skizofrenia kronis dan simptom negatif (Semiun, 2006). Struktur otak yang tidak normal seperti pembesaran ventrikel otak diyakini menyebabkan tiga sampai empat orang yang mengalaminya menderita skizofrenia (Nevid,
12
2012). Pembesaran ventrikel otak ini menyebabkan otak kehilangan sel–sel otak, sehingga otak akan mengecil ukurannya dibandingkan otak yang normal. b) Atrofi kortikal Pendapat lain menyatakan bahwa skizofrenia dapat terjadi pada seseorang yang kehilangan jaringan otak yang bersifat degeneratif atau progresif, kegagalan otak untuk berkembang normal, dan juga karena infeksi virus pada otak ketika masa kandungan (Nevid, 2012). Atrofi juga menyebabkan kerusakan suci yang menutupi selaput otak atau pembesaran celah antara bagian-bagian otak.
Sebanyak 20 hingga 35% orang dengan skizofrenia
mengalami kelainan ini (Semiun, 2006). c) Asimetri serebral yang terbalik (reversed cerebral asimetry) Pada orang normal, sisi kiri otak lebih besar daripada sisi kanan, tetapi kondisi yang terbalik terjadi pada orang-orang dengan skizofrenia. Padahal otak kiri bertanggung jawab dalam kemampuan bahasa, sedangkan otak kanan bertanggung jawab dalam kemampuan spasial. Hal ini menyebabkan perbedaan
dalam
memahami
masalah-masalah
kognitif
pada
pasien
skizofrenia. 3. Teori biokimia Pada teori biokimia, dikenal hipotesis dopamin dan serotonin-glutamat. Overaktivitas
reseptor
dopamin
saraf
pada
jalur
mesolimbik
bisa
menyebabkan timbulnya gejala positif, sedangkan penurunan aktivitas
13
dopamin neuron pada jalur mesokortek di dalam kortek prefrontalis bisa menyebabkan gejala negatif. Pada teori glutamat disebutkan bahwa, penurunan kadar glutamat akan menyebabkan penurunan regulasi reseptor Nmethyl-D-aspartate (NMDA) dan menyebabkan gejala-gejala psikotik serta defisit kognitif (Harrison & Owen, 2003). Banyak literatur yang menyatakan hubungan peningkatan aktivitas dari neurotransmiter dopamin dengan skizofrenia. Tingginya konsentrasi dopamin yang ditemukan di daerah korteks pada lobus frontalis berperan dalam mengintegrasikan fungsi manusia (Semiun, 2006). Konsentrasi dopamin yang tinggi menyebabkan aktivitas neurologis yang tinggi dalam otak, sehingga memunculkan simptom-simptom skizofrenia. Tingginya aktivitas dopamin menyebabkan rangsangan yang tinggi rangsangan
tersebut
mengganggu
pada daerah khusus pada otak, fungsi
kognitif
yang
kemudian
mengakibatkan halusinasi dan delusi. Penjelasan ini yang mengemukakan hubungan antara faktor biokimiawi dan faktor kognitif. Ada tiga faktor yang mungkin menjadi penyebab tingginya aktivitas dopamin (Semiun, 2006). 1. Konsentrasi dopamin yang tinggi 2.
Sensitivitas yang tinggi dari reseptor dopamine
3.
Jumlah reseptor dopamin yang terdapat pada sinapsis
14
Pada orang dengan skizofrenia ditemukan memiliki jumlah reseptor dopamin yang lebih banyak daripada orang normal. Penurunan drastis jumlah reseptor dopamin pada laki-laki terjadi pada usia antara 30-50 tahun, sedangkan pada perempuan penurunan jumlah reseptor terjadi perlahanperlahan. Teori ini dapat menjadi penjelasan mengenai perbedaan onset yang terjadi pada laki-laki dan perempuan (Semiun, 2006). b. Teori psikogenik Teori psikogenik, yaitu skizofrenia sebagai suatu gangguan fungsional dan penyebab utama adalah konflik, stress psikologik dan hubungan antar manusia yang mengecewakan. c. Stress-Vulnerability Model Pendekatan ini meyakini bahwa orang – orang tertentu yang memiliki kerentanan genetis terhadap skizofrenia akan memunculkan gejala skizofrenia jika mereka hidup dalam lingkungan yang penuh dengan stres (Semiun, 2006). Peristiwa dalam hidup dapat memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia pada mereka yang telah memiliki predisposisi pada penyakit ini. 2.1.3 Gejala Positif Skizofrenia Gejala positif merupakan gajala yang mencolok, mudah dikenal, mengganggu keluarga dan masyarakat serta merupakan salah satu motivasi keluarga untuk membawa klien berobat (Hawari, 2003). Gejala-gajala positif yang tiperlihatkan pada klien skizorenia yaitu :
15
a. Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinan itu tidak rasional, namun klien tetap meyakini kebenarannya. b. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa rangsangan (stimulus). Misalnya klien mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan ditelingannya padahal tidak ada sumber dari suara atau bisikan itu. c. Kekacauan alam pikiran, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya bicara kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya. d. Gaduh, gelisah tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan. e. Merasa dirinya orang besar, merasa serba mampu, serba hebat, dan sejenisnya. f. Pikiran penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya. g. Menyimpan rasa permusuhan. 2.1.4 Gejala Negatif Skizofrenia Gejala negatif skizofrenia merupakan gajala yang tersamar dan tidak mengganggu keluarga ataupun masyarakat, oleh karenannya pihak keluarga seringkali terlambat membawa klien berobat (Hawari, 2003). Gejala-gejala nergatif yang diperlihatkan pada klien skizofrenia yaitu :
16
a. Alam perasaan (affect) “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukan ekspresi. b. Menarik diri atau mengasingkan siri (withdrawn) tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming). c. Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam. d. Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial. e. Pola pikir stereotip 2.1.5 Jenis Skizofrenia Adapun jenis-jenis dari skizofrenia adalah (Videbeck, 2011) : a. Skizofrenia Paranoid Jenis skizofrenia dimana penderitanya mengalami bayangan dan khayalan tentang penganiayaan dan kontrol dari orang lain dan juga kesombongan yang berdasarkan kepercayaan bahwa penderitanya itu lebih mampu dan lebih hebat dari orang lain. b. Skizofrenia Tak Teratur Jenis skizofrenia yang sifatnya ditandai terutama oleh gangguan dan kelainan di pikiran. Seseorang yang menderita skizofrenia sering menunjukkan tanda tanda emosi dan ekspresi yang tidak sesuai untuk keadaan nya. Halusinasi dan khayalan adalah gejala gejala yang sering dialami untuk orang yang mederita skizofrenia jenis ini.
17
c. Skizofrenia Katatonia Jenis skizofrenia yang ditandai dengan berbagai gangguan motorik, termasuk kegembiraan ekstrim dan pingsan. Orang yang menderita bentuk skizofrenia ini akan menampilkan gejala negatif: postur katatonik dan fleksibilitas seperti lilin yang bisa di pertahankan dalam kurun waktu yang panjang. Skizofrenia Tanpa Kriteria / Golongan yang jelas Jenis skizofrenia dimana penderita penyakitnya memiliki delusi, halusinasi dan perilaku tidak teratur tetapi tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia paranoid, tidak teratur, atau katatonik. d. Skizofrenia Residual Skizofrenia residual akan di diagnosis ketika setidaknya epsiode dari salah satu dari empat jenis skizofrenia yang lainnya telah terjadi. Tetapi skizofrenia ini tidak mempunyai satu pun gejala positif yang menonjol. 2.1.6 Kriteria Diagnostik Skizofrenia Adapun kriteria diagnostik skizofrenia meliputi (Maramis, 2009): a. Gangguan pada isi pikiran Delusi atau kepercayaan salah yang mendalam merupakan gangguan pikiran yang paling umum dihubungkan dengan skizofrenia. Delusi ini mencakup delusi rujukan, penyiksaan, kebesaran, cinta, kesalahan diri, kontrol, nihil atau doss dan pengkhianatan. Delusi lain berkenan dengan kepercayaan irasional mengenai suatu proses berpikir, seperti percaya bahwa
18
pikiran bisa disiarkan, dimasuki yang lain atau hilang dari alam pikirannya karena paksaan dari orang lain atau objek dari luar. Delusi somatik meliputi kepercayaan yang salah dan aneh tentang kerja tubuh, misalnya pasien skizofrenia menganggap bahwa otaknya sudah dimakan rayap. b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi Proses berpikir dari pasien skizofrenia dapat menjadi tidak terorganisasi dan tidak berfungsi, kemampuan berpikir mereka menjadi kehilangan logika, cara mereka mengekspresikan dalam pikiran dan bahasa dapat menjadi tidak dapat dimengerti, akan sangat membingungkan jika kita berkomunikasi dengan penderita, gangguan pikiran. Contoh umum gangguan berpikir adalah inkoheren, kehilangan asosiasi, neologisms, blocking dan pemakaian kata-kata yang salah. c. Gangguan persepsi halusinasi Halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia yang merupakan kesalahan dalam persepsi yang melibatkan kelima alat indera kita walaupun halusinasi tidak begitu terikat pada stimulus yang di luar tetapi kelihatan begitu nyata bagi pasien skizofrenia. Halusinasi tidak berada dalam kontrol individu, tetapi tejadi begitu spontan walaupun individu mencoba untuk menghalanginya.
19
d. Gangguan afeksi (perasaan) Pasien skizofrenia selalu mengekspresikan emosinya secara, abnormal dibandingkan dengan orang lain. secara umum, perasaan itu konsisten dengan emosi tetapi reaksi ditampilkan tidak sesuai dengan perasaannya. e. Gangguan psikomotor Pasien skizofrenia kadang akan terlihat aneh dan cara yang berantakan, memakai pakaian aneh atau membuat mimik yang aneh atau pasien skizofrenia akan memperlihatkan gangguan katatonik stupor (suatu keadaan di mana pasien tidak lagi merespon stimulus dari luar, mungkin tidak mengetahui bahwa ada orang di sekitarnya), katatonik rigid (mempertahankan suatu posisi tubuh atau tidak mengadakan gerakan) dan katatonik gerakan (selalu mengulang suatu gerakan tubuh) menonjol adalah afek yang menumpul, hilangnya dorongan kehendak dan bertambahnya kemunduran sosial. 2.1.5 Penatalaksanaan 2.1.5.1 Psikofarmakologi Pengobatan medis utama untuk skizofrenia adalah Psychopharmacology. Di masa lalu, terapi yang digunakan adalah terapi electroconvulsive, terapi kejut insulin, dan psychosurgery, tapi karena terciptanya chlorpromazine (Thorazine) pada tahun 1952, terapi lainnya telah tidak digunakan lagi. Obat antipsikotik, juga
20
dikenal sebagai neuroleptik, diresepkan untuk keberhasilan dalam mengurangi gejala psikotik (Videbeck, 2011). Semakin tua, atau konvensional, obat antipsikotik merupakan antagonis dopamin. Yang lebih baru, atau atipikal, obat antipsikotik ada dua yaitu dopamin dan serotonin antagonis. Para antipsikotik konvensional menargetkan tanda-tanda positif skizofrenia, seperti delusi, halusinasi, pikiran terganggu, dan gejala psikotik lainnya, tetapi tidak memiliki efek pada tanda-tanda negatif. Para antipsikotik atipikal tidak hanya mengurangi gejala positif tetapi juga, mengurangi tanda-tanda negatif kurangnya kemauan dan motivasi, penarikan sosial, dan anhedonia (Videbeck, 2011). 2.1.5.2 Pengobatan Psikososial Selain pengobatan farmakologis, banyak mode lain dari pengobatan untuk membantu orang dengan skizofrenia. Terapi individu atau kelompok, terapi keluarga, pendidikan keluarga, dan pelatihan keterampilan sosial dapat dilembagakan untuk klien baik rawat inap dan pengaturan masyarakat. Sesi terapi individu dan kelompok, memberikan klien kesempatan untuk kontak sosial dan berhubungan dengan orang lain. Kelompok yang fokus pada topik yang menjadi perhatian seperti manajemen obat-obatan, penggunaan masyarakat untuk mendukung klien, dan kekhawatiran keluarga juga telah bermanfaat bagi klien dengan skizofrenia (Pfammatter, Junghan, & Brenner, 2006).
21
Klien dengan skizofrenia dapat meningkatkan kompetensi sosial mereka dengan pelatihan keterampilan sosial, yang diterjemahkan ke dalam fungsi yang lebih efektif di masyarakat. Pelatihan keterampilan sosial dasar melibatkan perilaku sosial yang kompleks menjadi langkah-langkah sederhana, berlatih melalui role-playing, dan menerapkan konsep-konsep pengaturan dalam masyarakat atau dunia nyata. Pelatihan adaptasi kognitif digunakan untuk mendukung lingkungan yang dirancang untuk meningkatkan fungsi adaptif dalam pengaturan rumah. Individual disesuaikan mendukung lingkungan seperti tandatanda, kalender, perlengkapan kebersihan, dan wadah pil isyarat klien untuk melakukan tugas-tugas yang terkait (Velligan, et al., 2006). Sebuah
terapi
baru,
cognitive
enhancement
therapy
(CET),
menggabungkan pelatihan kognitif berbasis komputer dengan sesi kelompok yang memungkinkan klien untuk berlatih dan mengembangkan keterampilan sosial. Pendekatan ini dirancang untuk memulihkan atau memperbaiki defisit sosial dan neurokognitif klien, seperti perhatian, memori, dan pengolahan informasi. Latihan pengalaman membantu klien untuk mengambil perspektif orang lain, daripada fokus sepenuhnya pada diri. Hasil positif dari CET meliputi peningkatan stamina mental, aktif bukan pasif pengolahan informasi, dan negosiasi spontan dan tepat tantangan sosial tanpa latihan (Hogarty, Hogarty, Greenwald, Keshavan, & Eack, 2011) Pendidikan keluarga dan terapi yang dikenal untuk mengurangi dampak negatif dari skizofrenia dan mengurangi tingkat kekambuhan (Penn, Waldheter, Perkins, Mueser, & Lieberman, 2005). Meskipun masuknya keluarga merupakan
22
faktor yang meningkatkan hasil bagi klien, keterlibatan keluarga sering diabaikan oleh para profesional perawatan kesehatan. Keluarga sering memiliki waktu yang sulit menghadapi kompleksitas dan konsekuensi dari penyakit klien. Hal ini menciptakan stres di antara anggota keluarga yang tidak menguntungkan bagi anggota klien atau keluarga. Pendidikan keluarga membantu untuk membuat anggota keluarga bagian dari tim pengobatan. 2.2 Pengertian Halusinasi 2.2.1 Definisi Halusinasi Halusinasi adalah pencerapan (persepsi) tanpa adanya rangsang apa pun pada pancaindra seseorang,yang terjadi pada kesadaran sadar/bangun dasarnya munkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik (Maramis, 1990). Oleh karena itu secara singkat halusinasi adalah persepsi atau pengalaman palsu. Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi; halusinasi merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, penciuman, perabaan atau penghidungan. Klien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (Keliat, 2010). 2.2.2 Jenis Halusinasi Menurt Stuart (2007), halusinasi dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu : a. Halusinasi pendengaran : karakteristiknya ditandai dengan mendengar suara terutama suara-suara orang biasanya klien mendengar suara orang
23
yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu. b. Halusinasi penglihatan : karakteristiknya yaitu dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun atau panorama yang luas dan kompleks, penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan. c. Halusinasi penghidu : karakteristiknya ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikan seperti : darah, urine atau feses. Kadangkadang terhirup bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia. d. Halusinasi peraba : karakteristiknya ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain. e. Halusinasi pengecap : karakteristiknya ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan. f. Halusinasi sinestetik : karakteristiknya ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine (Prabowo, 2014). 2.2.3 Fase Halusinasi Fase halusinasi menurut (Dermawan & Rusdi, 2013) sebagai berikut :
24
a. Tahap I (comforting): Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang, secara umum halusinasi merupakan suatu kesenangan dengan karakteristik klien mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan, mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas, pikiran dan pengalaman masih dalam kontrol kesadaran Perilaku klien yang mencirikan dari tahap I (comforting) yaitu tersenyum atau tertawa sendiri, menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, respon verbal yang lambat, diam dan berkonsentrasi. b. Tahap II (Condeming): Menyalahkan, tingkat
kecemasan
berat, secara umum halusinasi
menyebabkan rasa antipasti dengan karakteristik pengalaman sensori menakutkan, merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut, mulai merasa kehilangan kontrol, menarik diri dari orang lain. Perilaku klien yang mencirikan dari tahap II yaitu dengan terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah, perhatian dengan lingkungan berkurang, konsentrasi terhadap pengalaman sensorinya, kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas (Dermawan & Rusdi, 2013). c. Tahap III (Controlling): Mengontrol, tingkat kecemasan berat, pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak lagi dengan karakteristik klien menyerah dan menerima pengalaman
25
sensorinya (halusinasi), isi halusinasi menjadi atraktif, dan kesepian bila pengalaman sensori berakhir. Perilaku klien pada tahap III ini adalah perintah halusinasi ditaati, sulit berhubungan dengan orang lain, perhatian terhadap lingkungan berkurang, hanya beberapa detik, tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tampak tremor dan berkeringat. d. Tahap IV (Conquering): Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi, klien tampak panik. Karakteristiknya yaitu suara atau ide yang datang mengancam apabila tidak diikuti. Perilaku klien pada tahap IV adalah perilaku panic, resiko tinggi mencederai, agitasi atau kataton, tidak mampu berespon terhadap lingkungan (Prabowo, 2014). 2.2.4 Rentang Respon Persepsi mengacu pada identifikasi dan interpretasi awal dari suatu stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera. Respon neurobiologis sepanjang rentang sehat sakit berkisar dari adatif pikiran logis, persepsi akurat, emosi konsistenm dan perilaku sesuai sampai dengan respon maladatif yang meliputi delusi, halusinasi, dan isolasi sosial. Rentang respon dapat digambarkan sebagai berikut (Stuart & Sundeen, 1998) :
26
Rentang Respon Neurobiologis Respon Adatif
Pikiran logis Persepsi akurat Emosi konsisten Perilaku sesuai Hubungan sosial ketidakteraturan
Respon Maladatif
Pikiran kadang menyimpang Ilusi Reaksi emosional berlebihan Perilaku aneh/tidak biasa Menarik diri
Kelainan pikiran Halusinasi disorganisasi Emosi Isolasi sosial
Gambar 1 Rentang Respon Neurobiologis
2.2.5 Penatalaksanaan Halusinasi Penatalaksanaan pasien dengan halusinasi adalah dengan pemberian obatobatan dan tindakan lain, yaitu : a. Terapi kejang listrik/Electro Compulsive Therapy (ECT). b. Terapi aktivitas kelompok (TAK). c. Psikofarmakologis Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala halusinasi yang merupakan gejala psikosis pada klien skizofrenia adalah obat-obatan antipsikosis. Terapi aktivitas kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Yosep, 2007)
27
2.3 Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok 2.3.1 Definisi Terapi Aktivitas Kelompok aktivitas kelompok merupakan suatu terapi yang dilakukan sekelompok klien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist (Yosep, 2009). Terapi akitivitas kelompok adalah suatu upaya untuk memfasilitasi psikoterapis untuk memantau dan meningkatkan hubungan antar anggota (Depkes RI, 1997). Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan oleh perawat kepada sekelompok pasien dengan masalah keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagai terapi dan kelompok digunakan sebagai targen asuhan (Keliat,2005). Dapat disimpulakan terapi aktivitas kelompok adalah suatu terapi yang dilakukan oleh sekelompak pasien dengan masalah keperawatan yang sama sehingga dapat meningkatkan hubungan antar anggota dan dipimpin oleh perawat atau terapis dengan melakukan aktivitas ditujukan untuk terapai, dan kelompok digunakan untuk target asuhan. 2.3.2 Jenis Terapi Aktivitas Kelompok Terapi aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas stimulasi realita, dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Dari jenis TAK diatas yang dipilih oleh peneliti adalah TAK stimulasi persepsi.
28
2.3.2.1 Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi kemampuan mengontrol halusinasi adalah TAK yang diberikan dengan memberikan stimulus pada pasien halusinasi sehingga pasien bisa mengontrol halusinasinya (Purwaningsih dan Karlina, 2010). Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang pernah dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dengan proses ini, diharapkan respons klien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan menjadi adaptif. Aktivitas berupa stimulus dan persepsi. Stimulus yang disediakan: baca artikel/majalah/buku/puisi, menonton acara TV (ini merupakan stimulus yang
disediakan); stimulus dari tiga puluh dua
pengalaman masa lalu yang menghasilkan proses persepsi klien yang maladaptif atau distruktif, misalnya kemarahan, kebencian, putus hubungan, pandangan negatif pada orang lain, dan halusinasi. Kemudian dilatih persepsi klien terhadap stimulus. Menurut Keliat (2005) TAK : Stimulasi Persepsi ada 5 sesi yakni sesi 1: mengenal halusinasi, sesi 2 : mengontrol halusinasi dengan menghardik, sesi 3 :mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, sesi 4 : Mencegah halusinasi dengan cara bercakap-cakap, sesi 5 : Mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat. Tujuan dari terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif atau persepsi adalah meningkatkan kemampuan orientasi realita, meningkatkan kemampuan
29
memusatkan
perhatian,
meningkatkan
kemampuan
intelektual,
dan
mengemukakan pendapat dan menerima pendapat orang lain. 2.3.3 Komponen Terapi Aktivitas Kelompok Menurut Stuart & Laraia (2005) komponen kelompok terdiri dari delapan aspek, yaitu sebagai berikut. 2.3.3.1 Struktur Kelompok Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan, dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama. 2.3.3.2 Besar Kelompok Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jumlah anggota kelompok kecil menurut Stuart dan Laraia (2005) adalah 7-10 orang, menurut Rawlins, Williams, dan Beck (1993) adalah 5-10 orang, sedangkan menurut Yosep (2007) jumlah anggota kelompok yang ideal dengan verbalisasi biasanya 7-8 orang. Sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi.
30
2.3.3.3 Lamanya Sesi Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi (Stuart & Laraia, 2005). Biasanya dimulai dengan pemanasan berupa orientasi, kemudian tahap kerja, dan finishing berupa terminasi. Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali/ dua kali per minggu; atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan. 2.3.3.4 Komunikasi Salah
satu
tugas
pemimpin
kelompok
yang
terpenting
adalah
mengobservasi dan menganalisis pola komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan umpan balik untuk memberi kesadaran pada anggota kelompok terhadap dinamika yang terjadi. Pemimpin kelompok dapat mengkaji hambatan dalam kelompok, konflik interpersonal, tingkat kompetisi, dan seberapa jauh anggota kelompok mengerti serta melaksanakan kegiatan yang dilaksanakan. Elemen penting observasi komunikasi verbal dan nonverbal (Stuart & Laraia, 2005) a. Komunikasi setiap anggota kelompok b.
Rancangan tempat dan duduk (setting)
c. Tema umum yang diekspresikan
31
d. Frekuensi komunikasi dan orang yang dituju selama komunikasi e.
Kemampuan anggota kelompok sebagai pandangan terhadap kelompok
f. Proses penyelesaian masalah terjadi 2.3.3.5 Peran Kelompok Pemimpin perlu mengobservasi peran yang terjadi dalam kelompok. Ada tiga peran dan fungsi kelompok yang ditampilkan anggota kelompok dalam kerja kelompok, yaitu (Stuart & Laraia, 2005) maintenance roles, task roles, dan individual role. Maintenance roles, yaitu peran serta aktif dalam proses kelompok dan fungsi kelompok.
Task roles, yaitu fokus pada penyelesaian tugas.
Individual roles adalah self-centered dan distraksi pada kelompok. 2.3.3.6 Kekuatan Kelompok Kekuatan
(power) adalah kemampuan anggota kelompok
dalam
memengaruhi berjalannya kegiatan kelompok. Untuk menetapkan kekuatan anggota kelompok yang bervariasi diperlukan kajian siapa yang paling banyak mendengar, dan siapa yang membuat keputusan dalam kelompok. 2.3.3.7 Norma Kelompok Norma adalah standar perilaku yang ada dalam kelompok. Pengharapan terhadap perilaku kelompok pada masa yang akan datang berdasarkan pengalaman masa lalu dan saat ini. Pemahaman tentang norma kelompok berguna untuk mengetahui pengaruhnya terhadap komunikasi dan interaksi dalam kelompok.
32
Kesesuaian perilaku anggota kelompok dengan norma kelompok, penting dalam menerima anggota kelompok. Anggota kelompok yang tidak mengikuti norma dianggap pemberontak dan ditolak anggota kelompok lain. 2.3.3.8 Kekohesifan Kekohesifan
adalah kekuatan anggota kelompok bekerja sama dalam
mencapai tujuan. Hal ini memengaruhi anggota kelompok untuk tetap betah dalam kelompok. Apa yang membuat anggota kelompok tertarik dan puas terhadap kelompok, perlu diidentifikasi agar kehidupan kelompok dapat dipertahankan. Pemimpin kelompok (terapis) perlu melakukan upaya agar kekohesifan kelompok dapat terwujud, seperti mendorong anggota kelompok bicara satu sama lain, diskusi dengan kata-kata "kita", menyampaikan kesamaan anggota kelompok, membantu anggota kelompok untuk mendengarkan ketika yang lain bicara. Kekohesifan perlu diukur melalui seberapa sering antar anggota memberi pujian dan mengungkapkan kekaguman satu sama lain. 2.3.4 Prinsip Terapi Aktivitas Kelompok Prinsip memilih klien untuk Terapi aktivitas kelompok Menurut Keliat (2005) adalah sebagai berikut : a. Gejala sama Misalnya terapi aktivitas kelompok khusus untuk pasien depresi, khusus untuk pasien halusinasi, dan lain sebagainya. Setiap
terapi
aktivitas kelompok memiliki tujuan spesifik bagi anggotanya, bisa untuk
33
sosialisasi, kerjasama, maupun mengungkapkan isi halusinasi. Setiap tujuan spesifik tersebut akan dapat dicapai apabila klien memiliki masalah atau gejala yang sama, sehingga mereka dapat bekerja sama atau berbagi dalam proses terapi. b. Kategori sama dalam artian klien memiliki nilai skor hampir sama dari hasil kategorisasi. Klien yang dapat diikutkan dalam terapi aktivitas kelompok adalah klien akut skor rendah sampai klien tahap promotion. Bila dalam satu terapi klien memiliki skor yang hampir sama maka tujuan terapi akan lebih mudah tercapai. c. Jenis kelamin Pengalamn terapi aktivitas kelompok yang dilakukan pada klien dengan gejala sama, biasanya laki-laki akan lebih mendominasi daripada perempuan. Maka lebih baik dibedakan. d. Kelompok umur hampir sama Tingkat perkembangan yang sama akan memudahkan interaksi antar klien. e. Jumlah efektif adalah 7-10 orang per-kelompok terapi Jika terlalu banyak peserta, maka tujuan terapi akan sulit tercapai karena akan terlalu ramai dan kurang perhatian terapis pada klien. Bila
34
terlalu sedikitpun trapi akan terasa
sepi interaksi dan tujuannya sulit
tercapai. 2.3.6 Peran Perawat Dalam Terapi Aktivitas Kelompok Peran perawat jiwa professional dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok pada penderita skizofrenia adalah a. Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi Sebelum melaksanakan terapi aktivitas kelompok, perawat harus terlebih dahulu, membuat proposal. Proposal tersebut akan dijadikan panduan dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok, komponen yang dapat disusun
meliputi : deskripsi, karakteristik
klien, masalah
keperawatan, tujuan dan landasan teori, persiapan alat, jumlah perawat, waktu pelaksanaan, kondisi ruangan serta uraian tugas terapis. b. Tugas sebagai leader dan coleader Meliputi tugas menganalisa dan mengobservasi komunikasi yang terjadi dalam kelompok, membantu anggota kelompok untuk menyadari dinamisnya
kelompok,
menjadi
motivator,
membantu
kelompok
menetapkan tujuan dan membuat peraturan serta mengarahkan dan memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok. c. Tugas sebagai fasilitator,
35
Sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok sebagai anggota kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada anggota kelompok lain agar dapat mengikuti jalannya kegiatan. d. Tugas sebagai observer Tugas seorang observer meliputi : mencatat serta mengamati respon penderita,mengamati jalannya proses terapi aktivitas dan menangani peserta/anggota kelompok yang drop out. e. Tugas dalam mengatasi masalah yang timbul saat pelaksanaan terapi. Masalah yang mungkin timbul adalah kemungkinan timbulnya sub kelompok, kurangnya keterbukaan resistensi baik individu atau kelompok dan adanya anggota kelompok yang drop out. Cara mengatasi masalah tersebut tergantung pada jenis kelompok terapis, kontrak dan kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas tersebut. f. Program antisipasi masalah Merupakan
intervensi
keperawatan
yang
dilakukan
untuk
mengantisipasi keadaan yang bersifat darurat (emergensi dalam terapi) yang dapat mempengaruhi proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok. (Purwaningsih dan Karlina, 2010).
36
2.4
TAK Stimulasi Persepsi Pada Pasien Halusinasi Aktivitas TAK Stimulasi Persepsi Halusinasi dilakukan lima sesi yang
melatih kemampuan klien dalam mengontrol halusinasinya. Kelima sesi tersebut akan peneliti paparkan dalam pedoman pelaksanaan TAK Stimulasi Persepsi Halusinasi sebagai berikut : a. Sesi 1 mengenal halusinasi 1) Tujuan a) Klien dapat mengenal halusinasi. b) Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi c) Klien mengenal situasi terjadinya halusinasi d) Klien mengenal perasaannya pada saat terjadi halusinasi. 2) Setting a) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran. b) Ruangan nyaman dan tenang. 3) Alat a) Spidol b) Papan tulis/whiteboard/flipchart 4) Metode a) Diskusi dan tanya jawab b) Bermain peran/simulasi 5) Langkah kegiatan a) Persiapan
37
(1) Memilih klien sesuai dengan indikasi, yaitu klien dengan perubahan sensori persepsi : halusinasi (2) Membuat kontrak dengan klien (3) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan b) Orientasi (1) Salam terapeutik. (a) Salam dari terapis kepada klien (b) Perkenalkan nama dan panggilan terapis (pakai papan nama) (c) Menanyakan nama dan panggilan semua klien (beri papan nama). (2) Evaluasi/validasi : Menanyakan perasaan klien saat ini (3) Kontrak (a) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal suara-suara yang didengar. (b) Terapis menjelaskan aturan main berikut : I. Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok harus meminta ijin kepada terapis. II. Lama kegiatan 45 menit. III. Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai. c) Tahap kerja (1) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan, yaitu mengenal suara-suara yang didengar (halusinasi) tentang
38
isinya, waktu terjadinya, situasi terjadinya, dan perasaan klien pada saat terjadi. (2) Terapis meminta klien menceritakan isi halusinasi, kapan terjadinya, situasi yang membuat terjadi, dan perasaan klien pada saat terjadi halusinasi. Mulai dari klien yang sebelah kanan, secara berurutan sampai semua klien mendapat giliran. Hasilnya ditulis di whiteboard. (3) Beri pujian pada klien yang melakukan dengan baik. (4) Simpulkan isi, waktu terjadi, situasi terjadi, dan perasaan klien dari halusinasi yang dialami. d) Tahap terminasi (1) Evaluasi (a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK (b) Terapis memberi pujian atas keberhasilan kelompok. (2) Tindak lanjut Terapis meminta klien untuk melaporkan isi, waktu, situasi, dan perasaannya jika terjadi halusinasi. (3) Kontrak yang akan datang (a) Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu cara mengontrol halusinasi. (b) Menyepakati waktu dan tempat 6) Evaluasi dan dokumentasi a) Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan
39
TAK. Untuk TAK Stimulasi Persepsi : Halusinasi sesi 1, kemampuan yang diharapkan adalah mengenal isi halusinasi, waktu terjadinya halusinasi, situasi terjadinya halusinasi, dan perasaan saat terjadi halusinasi. Formulir evaluasi tersedia pada lampiran berikutnya. b) Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien ketika melakukan TAK pada catatan proses keperawatan setiap klien. Contoh : klien mengikuti TAK stimulasi persepsi : halusinasi Sesi 1. Klien mampu menyebutkan isi halusinasi (menyuruh memukul), waktu (pukul 9 malam), situasi (jika sedang sendiri), perasaan (kesal dan geram). Anjurkan klien mengidentifikasi halusinasi yang timbul dan menyampaikan kepada perawat. b. Sesi 2 mengontrol halusinasi dengan menghardik. 1) Tujuan a) Klien dapat menjelaskan cara yang selama ini dilakukan untuk mengatasi halusinasi. b) Klien dapat memahami cara menghardik halusinasi. c) Klien dapat memperagakan cara menghardik halusinasi. 2) Setting a) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran. b) Ruangan nyaman dan tenang. 3) Alat a) Spidol dan papan tulis/whiteboard/flipchart b) Jadwal kegiatan klien
40
4) Metoda a) Diskusi dan tanya jawab. b) Bermain peran/simulasi. 5) Langkah kegiatan a) Persiapan (1) Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok yang telah mengikuti TAK stimulasi persepsi: halusinasi sesi 1. (2) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. b) Orientasi (1) Salam terpaeutik (a) Salam dari terapis kepada klien. (b) Klien dan terapis memakai papan nama. (2) Evaluasi/validasi. (a) Terapis menanyakan perasaan klien saat ini. (b) Terapis menanyakan pengalaman halusinasi yang terjadi : isi, waktu, situasi, dan perasaan. (3) Kontrak. (a) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu dengan latihan satu cara mengontrol halusinasi. (b) Menjelaskan aturan main berikut : I. Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok harus meminta ijin kepada terapis. II. Lama kegiatan 45 menit.
41
III. Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai. c) Tahap kerja : (1) Terapis meminta klien menceritakan apa yang dilakukan pada saat mengalami halusinasi, dan bagaimana hasilnya. Ulangi sampai semua klien mendapat giliran. (2) Berikan pujian setiap klien selesai bercerita. (3) Terapis menjelaskan cara mengatasi halusinasi dengan menghardik halusinasi saat halusinasi muncul. (4) Terapis memperagakan cara menghardik halusinasi, yaitu : “Pergi, jangan ganggu saya”, “Saya mau bercakap-cakap dengan…”. (5) Terapis meminta masing-masing klien memperagakan cara menghardik halusinasi dimulai dari klien di sebelah kiri terapis berurutan searah jarum jam sampai semua peserta mendapatkan giliran. (6) Terapis memberikan pujian dan mengajak semua klien bertepuk tangan saat setiap klien selesai memperagakan menghardik halusinasi. d) Tahap terminasi (1) Evaluasi. (a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK. (b) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
42
(2) Rencana tindak lanjut. (a) Terapis menganjurkan setiap anggota kelompok untuk menerapkan cara yang telah dipelajari jika halusinasi muncul. (b) Memasukkan kegiatan menghardik pada jadwal kegiatan harian klien. (3) Kontrak yang akan datang. (a) Terapis membuat kesepakatan dengan klien untuk TAK yang berikutnya, yaitu belajar cara mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan. (b) Terapis membuat kesepakatan waktu dan tempat TAK berikutnya. 6) Evaluasi dan dokumentasi a) Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi : halusinasi sesi 2, dievaluasi kemampuan klien mengatasi halusinasi dengan menghardik menggunakan formulir evaluasi. b)
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien ketika melaksanakan TAK pada catatan proses keperawatan setiap klien. Misalnya, klien mengikuti TAK stimulasi persepsi : halusinasi Sesi 2. Klien mampu memperagakan
cara
menghardik
halusinasi.
Anjurkan
klien
43
menggunakannya jika halusinasi muncul, khusus pada malam hari (buat jadwal). c. Sesi 3 mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan. 1) Tujuan a) Klien dapat memahami pentingnya melakukan kegiatan untuk mencegah munculnya halusinasi. b) Klien dapat menyusun jadwal kegiatan untuk mencegah terjadinya halusinasi. 2) Setting a) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran. b) Ruangan nyaman dan tenang. 3) Alat a) Buku catatan dan pulpen. b) Jadwal kegiatan harian klien. c) Spidol dan papan tulis/whiteboard/flipchart 4) Metode a) Diskusi dan tanya jawab. b) Bermain peran/simulasi dan latihan. 5) Langkah kegiatan a) Persiapan (1) Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok yang telah mengikuti TAK stimulasi persepsi : halusinasi sesi 2. (2) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.
44
b) Orientasi (1) Salam terapeutik (a) Salam dari terapis kepada klien. (b) Peserta dan terapis memakai papan nama. (2) Evaluasi/validasi. (a) Terapis menanyakan perasaan klien saat ini. (b) Terapis menanyakan cara mengontrol halusinasi yang sudah dipelajari. (c) Terapis
menanyakan
pengalaman
klien
menerapkan
cara
menghardik halusinasi. (3) Kontrak: (a) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mencegah terjadinya halusinasi dengan melakukan kegiatan. (b) Menjelaskan aturan main berikut : I. Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok harus meminta ijin kepada terapis. II. Lama kegiatan 45 menit. III. Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai. c) Tahap kerja (1) Terapis menjelaskan cara kedua, yaitu melakukan kegiatan sehari-hari. Jelaskan bahwa dengan melakukan kegiatan yang teratur akan mencegah munculnya halusinasi.
45
(2) Terapis meminta setiap klien menyampaikan kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari, dan ditulis di whiteboard. (3) Terapis membagikan formulir jadwal kegiatan harian. Terapis menulis formulir yang sama di whiteboard. (4) Terapis membimbing satu per satu klien untuk membuat jadwal kegiatan harian, dari bangun pagi sampai tidur malam. Klien
menggunakan
formulir,
terapis
menggunakan
whiteboard. (5) Terapis melatih klien memperagakan kegiatan yang telah disusun. (6) Berikan pujian dengan tepuk tangan bersama kepada klien yang sudah selesai membuat jadwal dan memperagakan kegiatan. d) Tahap terminasi (1) Evaluasi. (a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah selesai menyusun jadwal kegiatan dan memperagakannya. (b) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok. (2) Rencana tindak lanjut. Terapis menganjurkan klien melaksanakan dua cara mengontrol halusinasi, yaitu menghardik dan melakukan kegiatan.
46
(3) Kontrak yang akan datang. (a) Terapis
membuat
kesepakatan
dengan
klien
untuk
TAK
berikutnya, yaitu belajar cara mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap. (b) Terapis membuat kesepakatan waktu dan tempat. 6) Evaluasi dan dokumentasi a) Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi halusinasi sesi 3 dievaluasi kemampuan klien mencegah timbulnya halusinasi dengan melakukan kegiatan harian, dengan menggunakan formulir evaluasi. b) Dokumentasikan kemampuan yang klien miliki ketika TAK pada catatan proses keperawatan setiap klien. Contoh : klien mengikuti TAK stimulasi persepsi : halusinasi sesi 3. Klien mampu memperagakan kegiatan harian dan menyusun jadwal. Anjurkan klien melakukan kegiatan untuk mencegah halusinasi. d. Sesi 4 mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap. 1) Tujuan a) Klien memahami pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah munculnya halusinasi. b) Klien dapat bercakap-cakap dengan orang lain untuk mencegah munculnya halusinasi.
47
2) Setting a) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran. b) Ruangan nyaman dan tenang. 3) Alat a) Jadwal kegiatan harian klien dan pulpen. b) Fliphchart/Whiteboard dan spidol. 4) Metoda a) Diskusi dan tanya jawab b) Bermain peran/simulasi 5) Langkah kegiatan a) Persiapan (1)
Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok yang telah mengikuti TAK stimulasi persepsi : halusinasi sesi 3.
(2) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan. b) Orientasi (1) Salam terpaeutik: (a) Salam dari terapis kepada klien. (b) Peserta dan terapis memakai papan nama. (2) Evaluasi/validasi (a) Menanyakan perasaan klien saat ini. (b) Menanyakan pengalaman klien setelah menerapkan dua cara yang telah dipelajari (menghardik, menyibukkan diri dengan kegiatan terarah) untuk mencegah halusinasi.
48
(3) Kontrak (a) Terapis menjelaskan tujuan, yaitu mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap. (b) Terapis menjelaskan aturan main berikut : I. Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok harus meminta ijin kepada terapis. II. Lama kegiatan 45 menit. III. Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal samapai selesai. c) Tahap kerja (1) Terapis menjelaskan pentingnya bercakap-cakap dengan orang lain untuk mengontrol dan mencegah halusinasi. (2) Terapis meminta setiap klien menyebutkan orang yang biasa dan bisa diajak bercakap-cakap. (3) Terapis meminta setiap klien menyebutkan pokok pembicaraan yang biasa dan bisa dilakukan. (4) Terapis memperagakan cara bercakap-cakap jika halusinasi muncul, “Suster, ada suara di telinga, saya mau ngobrol saja dengan suster” atau “Suster, saya mau ngobrol tentang kapan saya boleh pulang”. (5) Terapis meminta klien untuk memperagakan percakapan dengan orang di sebelahnya. (6) Berikan pujian atas keberhasilan klien. (7) Ulangi kegiatan no. 5 dan 6 sampai semua klien mendapat giliran.
49
d) Tahap terminasi (1) Evaluasi (a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK. (b) Terapis menanyakan TAK mengontrol halusinasi yang sudah dilatih. (c) Memberi pujian atas keberhasilan kelompok. (2) Rencana tindak lanjut Menganjurkan klien menggunakan tiga cara mengontrol halusinasi, yaitu menghardik, melakukan kegiatan harian, dan bercakap-cakap. (3) Kontrak yang akan datang (a) Terapis membuat kesepakatan dengan klien untuk TAK berikutnya, yaitu belajar cara mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat. (b) Terapis menyepakati waktu dan tempat 6) Evaluasi dan dokumentasi a) Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Untuk TAK Stimulasi persepsi halusinasi sesi 4, dievaluasi kemampuan mencegah halusinasi dengan bercakap-cakap, yaitu dengan menggunakan formulir evaluasi. b) Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien ketika melakukan TAK pada catatan proses keperawatan setiap klien. Contoh : klien mengikuti TAK stimulasi persepsi : halusinasi sesi 4. Klien belum mampu secara
50
lancar bercakap-cakap dengan orang lain. Anjurkan klien bercakap-cakap dengan perawat dan klien lain di ruang rawat. e. Sesi 5 mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat. 1) Tujuan a) Klien memahami pentingnya patuh minum obat. b) Klien memahami akibat tidak patuh minum obat. c) Klien dapat menyebutkan lima benar cara minum obat. 2) Setting a) Klien dan terapis duduk bersama dalam lingkaran b) Ruangan nyaman dan tenang 3) Alat a) Jadwal kegiatan harian klien b) Flipchart/whiteboard dan spidol. c) Beberapa contoh obat. 4) Metoda a) Diskusi dan tanya jawab b) Melengkapi jadwal harian. 5) Langkah kegiatan a) Persiapan (1) Mengingatkan kontrak dengan anggota kelompok yang telah mengikuti TAK stimulasi persepsi : halusinasi sesi 4. (2) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
51
b) Orientasi (1) Salam terpaeutik (a) Salam dari terapis kepada klien. (b) Peserta dan terapis memakai papan nama (2) Evaluasi/validasi (a) Menanyakan perasaan klien saat ini (b) Terapis menanyakan pengalaman klien mengontrol halusinasi setelah menggunakan tiga cara yang telah dipelajari (menghardik, menyibukkan diri dengan kegiatan dan bercakap-cakap). (3) Kontrak (a) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan dengan anggota kelompok, yaitu mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat. (b) Menjelaskan aturan main berikut : I. Jika klien akan meninggalkan kelompok harus meminta ijin kepada terapis. II. Lama kegiatan 45 menit. III. Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai. c) Tahap kerja (1) Terapis menjelaskan untungnya patuh minum obat, yaitu mencegah kambuh, karena obat member perasaan tenang, dan memperlambat kambuh. (2) Terapis menjelaskan kerugian tidak patuh minum obat, yaitu penyebab kambuh.
52
(3) Terapis meminta setiap klien menyampaikan obat yang dimakan dan waktu memakannya. Buat daftar di whiteboard. (4) Menjelaskan lima benar minum obat, yaitu benar obat, benar waktu minum obat, benar orang yang minum obat, benar cara minum obat, benar dosis obat. (5) Minta klien menyebutkan lima benar cara minum obat, secara bergiliran. (6) Berikan pujian pada klien yang benar. (7) Mendiskusikan perasaan klien sebelum minum obat (catat di whiteboard). (8) Mendiskusikan perasaan klien setelah teratur minum obat (catat di whiteboard). (9) Menjelaskan keuntungan patuh minum obat, yaitu salah satu cara mencegah halusinasi/kambuh. (10) Menjelaskan akibat/kerugian tidak patuh minum obat, yaitu kejadian halusinasi/kambuh. (11) Minta klien menyebutkan kembali keuntungan patuh minum obat dan kerugian tidak patuh minum obat. (12) Memberi pujian setiap kali klien benar. d) Tahap terminasi (1) Evaluasi (a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
53
(b) Terapis menanyakan jumlah cara mengontrol halusinasi yang sudah dipelajari. (c) Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok. (2) Rencana tindak lanjut Menganjurkan klien menggunakan empat cara mengontrol halusinasi, yaitu menghardik, melakukan kegiatan, bercakap-cakap, dan patuh minum obat. (3) Kontrak yang akan datang (a) Terapis mengakhiri sesi TAK stimulasi persepsi untuk mengontrol halusinasi. (b) Buat kesepakatan baru untuk TAK yang lain sesuai dengan indikasi klien. 6) Evaluasi dan dokumentasi (a) Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi persepsi : halusinasi sesi 5, kemampuan klien yang diharapkan adalah menyebutkan lima benar cara minum obat, keuntungan minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat. Formulir evaluasi terdapat pada lampiran berikutnya. (b) Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien ketika melakukan TAK pada catatan proses keperawatan setiap klien. Contoh : klien mengikuti TAK stimulasi persepsi : halusinasi Sesi 5. Klien mampu menyebutkan lima benar
54
cara minum obat, manfaat minum obat, dan akibat tidak patuh minum obat (kambuh). Anjurkan klien minum obat dengan cara yang benar