BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN
2.1 Perkawinan 2.1.1 Pengertian perkawinan. Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam kehidupan manusia. Dikatakan sakral karena perkawinan yang akan dilakukan mempunyai kekuatan atau hubungan yang sangat erat dengan agama berikut aspek kerohaniaannya, hal ini disebabkan karena suatu perkawinan bukan hanya hubungan jasmaniahnya saja tetapi hubungan bathiniah mempunyai peran yang sangat penting dalam perkawinan.15 Menurut Pasal 1 UU Perkawinan Tahun 1974, perkawinan ialah “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam rumusan pasal tersebut, dapat dirinci dalam beberapa unsur, diantaranya :
15
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-azas Perkawinan di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, h. 7.
19
20
a) Adanya ikatan lahir batin Perkawinan
dapat
dikatakan
sebagai
suatu
persetujuan
yang
dapat
menimbulkan ikatan, dalam bentuk lahiriah maupun batiniah antara seorang pria dan wanita, bahkan ikatan batin ini merupakan daripada ikatan lahir. b) Antara seorang pria dan wanita Unsur
pria
dan
wanita
menunjukkan
secara
biologis
orang
akan
melangsungkan perkawinan haruslah berbeda jenis kelamin. Hal ini sangat penting karena perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang menghendaki adanya keturunan. c) Sebagai suami-isteri Pria dan wanita yang sudah terikat dalam suatu perkawinan, secara yuridis statusnya berubah. Pria berubah statusnya sebagai suami dan wanita berubah statusnya sebagai istri. d) Adanya tujuan tujuan dalam perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Seorang pria dan seorang wanita yang telah mempunyai ikatan lahir batin dengan melangsungkan perkawinan haruslah menuju pada suatu perkawinan yang kekal, bukan untuk masa tertentu. e) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Unsur berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, memberikan arti bahwa perkawinan itu mempunyai hubungan yang erat dengan agama berikut segala aspek kerohaniannya, disini dapat dilihat bahwa peranan agama adalah sangat penting. Masalah perkawinan
21
bukanlah semata-mata masalah keperdataan saja, melainkan juga masalah agama, sehingga di dalam perkawinan tersebut harus diperhatikan unsur-unsur agama. Perkawinan adalah suatu proses yang sudah melembaga, yang mana laki-laki dan perempuan memulai dan memelihara hubungan timbal balik yang merupakan dasar bagi suatu keluarga. Hal ini akan menimbulkan hak dan kewajiban baik di antara laki-laki dan perempuan maupun dengan anak-anak yang kemudian dilahirkan.16
2.1.2 Asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan. Dalam UU Perkawinan Tahun 1974 diamanatkan sejumlah asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan dimana hal ini mengejawantahkan spirit dari perkawinan itu sendiri. Secara eksplisit dinyatakan dalam Penjelasan umum butir 4 UU Perkawinan Tahun 1974, diantaranya : a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami-isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masingmasing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material. b. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
16
I Ketut Atardi, 1987, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya dilengkapi Yurisprudensi, Cet. II, Setia Kawan, Denpasar, h. 169.
22
menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. d. Undang-Undang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus siap jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini
23
menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita. e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (Pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam. f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami-isteri.
2.1.3 Syarat sahnya perkawinan. Pada dasarnya, tidak
semua pasangan calon suami-isteri
dapat
melangsungkan perkawinan, hanya pasangan yang sudah memenuhi persyaratan untuk melangsungkan perkawinan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan saja yang dapat melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU Perkawinan Tahun 1974. Di dalam ketentuan tersebut ditentukan dua syarat untuk melangsungkan perkawinan, yaitu syarat intern dan syarat ekstern. Syarat intern adalah syarat-syarat yang menyangkut
24
pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Adapun syarat-syarat tersebut akan diuraikan secara garis besar sebagai berikut : a. Persetujuan kedua belah pihak; b. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun; c. Pria berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16 (enam belas) tahun. Pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari Pengadilan atau Camat atau Bupati; d. Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin; dan e. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawiannya karena perceraian, masa iddahnya 90 (sembilan puluh) hari dan karena kematian 130 (seratus tiga puluh) hari.17 Sedangkan mengenai syarat-syarat ekstern suatu perkawinan pada dasarnya adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan, yang meliputi : a. Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah Talak dan Rujuk; b. Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang memuat: 1) Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon. Di samping itu, disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu; dan 2) Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan.18
17
Salim HS, 2009, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cetakan Keenam, Sinar Grafika, Jakarta, h. 62. 18
Ibid.
25
2.2 Perjanjian perkawinan 2.2.1 Pengertian perjanjian perkawinan. Menurut R. Subekti, “perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang”.19 Menurut Libertus Jehani, “perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suamiistri yang memuat tentang status kepemilikan harta dalam perkawinan mereka”.20 Menurut Soetojo Prawirohamidjojo, “perjanjian perkawinan adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri, sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka”.21 Merujuk pada uraian diatas, dapat diketahui bahwa suatu perjanjian perkawinan adalah perjanjian tertulis yang dibuat antara suami dan isteri baik sebelum ataupun pada saat perkawinan mereka dilangsungkan dimana perjanjian jenis ini secara khusus mengatur mengenai status hukum harta benda bersama dalam perkawinan namun pengaturan demikian tidaklah bersifat rigid karena dasar hukum perjanjian jenis ini yakni UU Perkawinan Tahun 1974 memberikan keleluasaan para pihak untuk memperjanjikan apa saja kecuali taklik talak. Perlu diketahui pula bahwa perjanjian perkawinan dapat pula mengikat pihak ketiga
19
R. Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, h. 9.
20
Libertus Jehani, 2012, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Pedoman Bagi (Calon) Suami Isteri, Cetakan Pertama, Rana Pustaka, Jakarta, h. 8. 21
Soetojo Prawirohamidjojo, 1986, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, h. 57.
26
selain tentunya para pihak setelah perjanjian perkawinan yang bersangkutan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Ketentuan terhadap perjanjian perkawinan secara eksplisit diatur dalam Pasal 29 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Perkawinan Tahun 1974 sebagiamana yang telah disebutkan dalam sub bab latar belakang masalah di awal. Dalam ketentuan tersebut, secara garis besar mengatur tentang saat pembuatan, keabsahan, keberlakuan, dan perubahan suatu perjanjian perkawinan. Pada dasarnya, ruang lingkup substansi yang dapat diatur dalam suatu perjanjian perkawinan begitu luas. Hal ini tercermin dalam ketentuan penjelasan Pasal 29 UU Perkawinan Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan perjanjian dalam Pasal ini tidak termasuk taklik talak”. Meskipun demikian, perjanjian perkawinan umumnya diterapkan hanya untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perihal harta bersama dalam perkawinan.
2.2.2 Tujuan perjanjian perkawinan. UU Perkawinan Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maupun peraturan perunang-undangan terkait dengan perkawinan lainnuya, secara substansial tidak mengatur secara jelas mengenai tujuan perjanjian perkawinan. Berangkat dari hal ini, doktrin sebagai salah satu sumber hukum formil di Indonesia dapatlah digunakan sebagai acuan untuk memperjelas tujuan perjanjian perkawinan itu sendiri. Menurut Anna Zubari, dibuatnya perjanjian perkawinan memilik beberapa tujuan utama, yaitu :
27
a. Melindungi kepentingan salah satu pihak, misalnya apabila suami melakukan poligami, maka akan ada pengaturan untuk menjamin kehidupan semua isterinya dan harta bersama masing-masing perkawinan terpisah. Dengan perjanjian ini dapat memastikan harta bersama akan terlindungi tidak tercampur selam berlangsungnya perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat dipastikan bahwa pemisahan harta peninggalan para pihak, baik untuk perkawinan yang pertama, kedua, ketiga bahkan untuk perkawinan yang keempat. Masing-masing isteri akan tenang dan kehidupannya akan terjamin, akan jauh dari pertikaian dan perselisihan antar ahli waris; b. Membebaskan salah satu pihak dari kewajiban ikut membayar utang pihak lainnya. Harta bersama tidak hanya mencakup pengertian harta bergerak dan tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada. Berdasarkan ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan Tahun 1974 jo. Pasal 121 KUHPerdata, harta bersama juga meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masing suami-isteri, baik sebelum perkawinan, bahkan selama perkawinan. Bila salah satu pihak memiliki beban utang yang tinggi, maka pihak lainnya ikut berkewajiban melunasinya. Kemudian apabila dalam perkawinan tersebut, salah satu pihak memiliki beban utang yang signifikan, dan tidak mau bertanggung jawab atas hutangnya, maka perjanjian ini dapat membantu memastikan bahwa hal ini tidak terjadi; c. Menjamin kepentingan usaha. Apabila memiliki usaha bisnis yang dijalankan (baik badan usaha maupun badan hukum), suami-isteri berhak menikmati keuntungan dari usaha bisnis yang dapat dianggap sebagai harta bersama
28
perkawinan bila terjadi perceraian. Kekayaan atas usaha bisninya harus dibagi, termasuk soal keuntungan harta atau bertambahnya harta kekayaan berdua yang timbul dari hasil harta kekayaannya masing-masing. Dengan perjanjian ini akan fleksibel mengatur bila terjadi perceraian atau perkawinan berakhir; d. Menjamin berlangsungnya harta peninggalan keluarga. Disini dimaksudkan bahwa eksistensi perjanjian perkawinan dapat memastikan tidak ada harta bawaan dan oleh masing-masing harta benda yang diperoleh suami-isteri sebagai hadiah atau warisan berpindah dan menjamin harta perolehan dari warisan atau hadiah keluarga tetap dalam kekuasaan pemiliknya; e. Menjamin kondisi finansial para pihak setelah perkawinan putus atau berakhir. Sangat bermanfaat bagi pihak wanita yang tidak bekerja, dan saat vonis pengadilan menolak tuntutan nafkah dan biaya pendidikan anak yang diajukannya yang memegang hak pengasuhan anak dan lebih memilih menetapkan jumlah biaya hidup dan biaya pendidikan anak berdasarkan pertimbangan putusan hakim, dalam perjanjian perkawinan bisa membicarakan soal ini dengan baik. Misalnya, dengan jalan pengajuan perjanjian perkawinan dan meminta ke hakim untuk memerintahkan mantan suami menjalankan kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian ini.22
2.2.3 Bentuk-bentuk perjanjian perkawinan.
22
Aditya Herlambang Putra, 2014, “Ada 5 Tujuan Perjanjian Perkawinan”, URL : http://tempo.co.id., diakses pada tanggal 24 November 2015.
29
Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan Tahun 1974 menyatakan bahwa “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Dalam rumusan pasal tersebut telah digariskan bahwa perjanjian perkawinan haruslah berbentuk perjanjian tertulis. Secara teoritis, perjanjian tertulis dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam yakni akta dibawah tangan dan akta autentik. Akta dibawah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Sedangakan akta autentik merupakan akta yang dibuat oleh/dihadapan notaris. Akta yang dibuat oleh notaris itu merupakan akta perjabat.23 Dengan demikian dapat diketahui bahwa perjanjian perkawinan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan Tahun 1974 yang mengharuskan untuk dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis haruslah berjenis akta dibawah tangan atau akta autentik. Pilihan atas jenis-jenis akta tersebut dikembalikan kepada para pihak yang bersangkutan dimana mereka dibebaskan memilih salah satu jenis daripada akta-akta tersebut.
2.3 Pegawai pencatat perkawinan Penjelasan mengenai pegawai pencatat perkawinan dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada pasal 1 huruf (d) menyatakan
23
Salim, 2006, “Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak”, Sinar Grafika, Jakarta, h. 29.
30
Pegawai Pencatat Perkawinan adalah Pegawai Pencatat Perkawinan dan Perceraian. Keterangan lebih lanjut menganai Pegawai Pencatat Perkawinan terdapat pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) peraturan pemerintah ini yang berbunyi: (1)Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaiman dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk. (2)Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaiaman dimakasud
dalam
berbagai
perundang-undang
mengenai
pencatatan
perkawinan. Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut Agama Islam. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatattan Nikah, Talak dan Rujuk. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk belum dinyatakan dengan jelas siapakah yang dimaksud dengan pegawai pencatat nikah. Kejelasan mengenai Pegawai Pencatat Nikah yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
31
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama. Jadi yang dimakasud dengan Pegawai Pencatat Perkawinan pada Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama. Sedangkan bagi orang-orang yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya selain Agama Islam, berlaku ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peratutan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mensyaratkan pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil. Dalam proses pencatatan perkawinan tersebut pegawai pencatat perkawinan mensahkan perjanjian perkawinan. Kewenangan
pegawai
pencatat
perkawinan
bagi
mereka
yang
melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, secara spesifik diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah. Dalam regulasi ini, Pegawai Pencatat Perkawinan sebagimana dimaksud diatas secara gramatikal disebut sebagai Pegawai Pencatat Nikah. Kewenangan Pegawai Pencatat Nikah secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (3) diantaranya: a. Melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan.
32
b. Menandatangani akta nikah, akta rujuk, buku nikah (kutipan akta nikah) dan/atau kutipan akta rujuk. Ketentuan yang berkaitan dengan uraian diatas, secara umum diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (yang selanjutnya disingkat UU Administrasi Kependudukan). Sedangkan kewenangan Pegawai Pencatat Perkawinan bagi mereka yang bukan beragama Islam dirumuskan dalam Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 11 dan angka 17 Undang-Undang Admisnistrasi Kependudukan, disebutkan bahwa Instansi Pelaksanaan Administrasi Kependudukan c.q. Pegawai Pencatat Sipil (Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil) berwenang untuk : a. Memperoleh keterangan dan data yang benar tentang peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dilaporkan penduduk (dalam hal perkawinan); b. Memperoleh data mengenai peristiwa penting yang dialami penduduk (yang berkenaan dengan perkawinan) atas dasar putusan atau penetapan pengadilan; c. Memberikan keterangan atau laporan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting (yang berkaitan dengan perkawinan) untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan, pembuktian kepada lembaga peradilan; dan d. Mengelola data dan mendayagunakan informasi hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil untuk kepentingan pembangunan.