STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Farida Dwi Irianingrum NIM : E. 1104134
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
Disusun oleh : FARIDA DWI IRIANINGRUM NIM : E 1104134
Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
PRANOTO, S.H., M.H. NIP. 131 842 685
ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Disusun oleh : FARIDA DWI IRIANINGRUM NIM : E. 1104134
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada : Hari Tanggal
: ……………………………… : ……………………………… TIM PENGUJI
1. Moch. Najib I, S.H., M.H. Ketua
: ................................................................
2. Hernawan Hadi, S.H., M.Hum. : ................................................................ Sekretaris 3. Pranoto, S.H.,M.H. Anggota
: ................................................................
MENGETAHUI Dekan,
MOH. JAMIN, S.H., M.Hum. NIP. 131 570 154
iii
ABSTRAK
Farida Dwi Irianingrum, 2008. Studi Tentang Perjanjian Perkawinan Dan Akibat Hukumnya. Fakultas Hukum UNS. Di dalam suatu perkawinan, masalah harta perkawinan dan kepentingan yang akan timbul sering kurang mendapat perhatian oleh sepasang suami isteri. Sebab mereka dalam melaksanakan perkawinan adalah untuk selama-lamanya. Tetapi bila ternyata perkawinan tidak berjalan sesuai dengan keinginan dan kemudian bercerai, mereka baru mempersoalkan masing-masing haknya, terutama mengenai pembagian harta perkawinan. Permasalahan ini akan berbeda apabila suami isteri pada saat sebelum melangsungkan perkawinan membuat perjanjian perkawinan terlebih dahulu. Sehingga segala kepentingan dan aset dari suami isteri dapat terlindungi. Isi perjanjian perkawinan bebas dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif terhadap asas-asas hukum. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder, dimana data sekunder dilihat dari sudut kekuatan mengikatnya digolongkan ke dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, maka untuk memperoleh data adalah dengan studi pustaka. Tekhnik analisis data yang digunakan adalah metode penafsiran. Pengaturan perjanjian perkawinan, dapat dilihat antara lain di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab V pasal 29 ayat 1 sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Bab VII pasal 139 sampai dengan pasal 154, Kompilasi Hukum Islam Bab VII pasal 45 sampai dengan pasal 52. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di dalamnya telah disebutkan bahwa perjanjian perkawinan juga diatur di dalam Undang-undang ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun pengaturannya tidak lengkap seperti di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasar ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sehingga isi dari perjanjian perkawinan dapat menjadi Undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Pihak yang dimaksud di sini adalah suami isteri. Apabila kedua belah pihak tidak mengatur mengenai ketentuannya, maka yang dipakai adalah ketentuan dalam KUHPerdata. Perjanjian perkawinan ini dipakai oleh Hakim sebagai pegangan dalam memutus perkara mengenai harta dalam perkawinan, sesuai dengan tujuan awal dibuatnya perjanjian perkawinan, yaitu melindungi aset dan kepentingan, maka diharapkan semua kepentingan tersebut dapat terlindungi dengan perjanjian perkawinan ini. Kata kunci : perkawinan, suami isteri, perjanjian perkawinan, melindungi aset dan kepentingan.
iv
MOTTO
Dan rendahkanlah dirimu dengan penuh kasih sayang terhadap kedua orang tuamu. Dan doakanlah (untuk mereka) : ” Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah memelihara aku dengan sayangnya pada waktu aku masih kecil”. (QS. Al Isra’ : 24) Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah : ” Allah lebih mengetahui apa yang kamu lakukan”. (QS. Al-Hajj : 68) Dan janganlah engkau membuat Tuhan selain Allah, agar engkau tak duduk tercela dan terhina (ditinggalkan dari pertolongan Allah). (QS. Al-Isra’ : 22) Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu, jika kamu benar-benar orang yang shaleh. Maka sesungguhnya Dia Tuhan Yang Mahapengampun terhadap orang-orang yang bertobat. (QS. Al-Isra’ : 25) Yang pertama belum tentu yang terbaik, Tetapi yang terbaik biasanya yang terakhir. (John Mayer) Teman mengerti ketika kamu berkata, ”Aku lupa!”. Menunggu dengan setia ketika kamu berkata, ”Tunggu sebentar!”. Tetap tinggal meski kamu berkata, ”Tinggalkan aku sendiri!”. (NN)
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat serta karunia dan Hidayah-Nya kepada Penulis, sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”Studi tentang Perjanjian Perkawinan dan Akibat Hukumnya”. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk melengkapi salah satu persyaratan untuk menempuh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa, tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak tidaklah mungkin skripsi ini dapat tersusun. Sehingga pada kesempatan ini pula perkenankanlah Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi ijin dan kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Pranoto, S.H M.H. selaku Pembimbing penulisan skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini. 3. Bapak Muhammad Adnan, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik Penulis yang telah membimbing Penulis selama studi di Fakultas Hukum UNS. 4. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh karyawan Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya kepada Penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat Penulis amalkan dalam kehidupan masa depan Penulis. 5. Ayah dan Ibu tersayang yang telah memberikan segalanya kepada Penulis, mendukung dan mendoakan. 6. Kakak ku Si B dan adik ku Mega yang telah membantuku. 7. Saudara-saudara ku yang telah membantu doa dan dukungan. vi
8. Sahabatku Mbak Mitha, Mbak Kingkin, Mbak Ristha, Mbak Ari, yang selalu mendukungku....”Bahagianyaaa punya kalian...!!!”. 9. Pak Jendral, terimakasih untuk doa, dukungan dan semangatnya. Terimakasih untuk segalanya...”Matur suwun, buat semua cerita, tawa dan tangis. Semoga kata indah selalu ada buat kita!!”. 10. Icha ”Margendul”...”Terimakasih, karena selalu menemani aku keliling kampus dan cari data”. 11. Semua penduduk Gopala Valentara FH UNS, teman-teman Diksar XXI...”Terimakasih
untuk
semua
bantuan
dan
kisahnya..Hallo
geng??GOVA!!!!!”. 12. Teman-teman di Fakultas Hukum, mbak-mbak, abang-abang, Pakdhe Gustav, teman-teman di kost Kunti, teman-teman satu kelas yang selama aku kuliah selalu membantuku...”Terimakasih! VIVA JUSTICIA...kami bangga ada di sini”. 13. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan bantuan pikiran maupun tenaga, sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih banyak kekurangannya, oleh sebab itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan. Demikianlah mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Surakarta,
Maret 2008
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .....................................................
iii
ABSTRAK ......................................................................................................
iv
MOTTO ..........................................................................................................
v
KATA PENGANTAR....................................................................................
vi
DAFTAR ISI................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Rumusan Masalah .......................................................................
4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
4
D. Manfaat Penelitian ......................................................................
5
E. Metode Penelitian .......................................................................
6
F. Sistematika Penulisan Hukum .................................................... 11 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1........................................................................................ Tinja uan Umum Tentang Perkawinan........................................... 13 a. ................................................................................. Penge rtian Perkawinan ............................................................. 13 b. ................................................................................. Syara t-syarat Perkawinan Yang Sah ........................................ 14
viii
c. ................................................................................. Tujua n Perkawinan................................................................... 16 d. ................................................................................. Laran gan Perkawinan ............................................................... 20 2........................................................................................ Penge rtian Perjanjian Perkawinan .................................................. 21 B. Kerangka Pemikiran.................................................................... 23 BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata... 25 1. Terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam Kerangka Hukum Nasional ........................................ 25 2. Kedudukan Hukum Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dalam Kerangka Hukum Nasional.................. 27 B. Sejarah Pembentukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ............................................................ 30 C. Perjanjian Perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan................................................. 39 1........................................................................................ Perja njian Perkawinan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ........................... 39 2........................................................................................ Perja njian Perkawinan dalam Burgerlijk Wetboek (BW) ............. 46 D. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan dan Ketentuan Hukum yang Dipakai Bila Terjadi Perceraian ............................ 62 1........................................................................................ Berak hirnya Perkawinan................................................................. 62 2........................................................................................ Tinja uan Umum Tentang Perceraian............................................. 63 3........................................................................................ Akiba t Hukum Perjanjian Perkawinan dan Ketentuan
ix
Hukum yang Digunakan bila Terjadi Perceraian.................. 66 BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 79 B. Saran............................................................................................ 80 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran.
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Permohonan ijin pra penelitian. Lampiran 2 : Akta perjanjian perkawinan.
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah : Perkawinan adalah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan baik lahir bathin sebagai suami isteri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Persoalan perkawinan adalah persoalan manusia yang banyak seginya, mencakup seluruh segi kehidupan manusia yang mudah menimbulkan emosi dan perselisihan. Oleh karena itu sangat penting adanya kepastian hukum bahwa telah terjadi suatu aqad (perjanjian) perkawinan. Dalam hal perkawinan diperlukan suatu kepastian hukum agar mudah diadakan alat-alat buktinya. Mewujudkan keluarga yang harmonis, sejahtera, bahagia dan kekal untuk selama-lamanya dalam suatu pertalian lahir dan bathin antara dua pribadi, maka pada dasarnya setiap perkawinan diperlukan harta yang menjadi dasar materiil bagi kehidupan keluarga. Di dalam suatu perkawinan, masalah harta perkawinan sering kurang mendapat perhatian oleh sepasang suami isteri. Sebab mereka dalam melaksanakan perkawinan adalah untuk selamalamanya. Mereka berfikir bahwa perkawinannya akan langgeng dan tidak akan ada masalah serta kehidupan dan hubungan antara suami isteri selalu berjalan dengan mesra. Sehingga mereka tidak mempersoalkan hak yang satu terhadap hak yang lain. Pembatasan mengenai apa yang menjadi milik suami, apa yang menjadi milik isteri dan apa yang menjadi milik mereka bersama belum menarik perhatian mereka. Tetapi bila ternyata perkawinan tidak berjalan sesuai dengan keinginan dan kemudian bercerai, mereka baru mempersoalkan masing-masing haknya, terutama mengenai pembagian harta perkawinan. Permasalahan ini akan berbeda apabila suami isteri pada saat sebelum melangsungkan perkawinan membuat perjanjian perkawinan terlebih dahulu.
xiii
Sehingga akan lebih jelas mengenai pembagian-pembagiannya, mengurangi permasalahan yang biasanya timbul pada saat perceraian. Seperti contoh, artis perempuan yang lebih sukses daripada suaminya atau angka partisipasi kerja perempuan yang juga semakin meningkat, perbaikan taraf hidup, tingkat pendidikan yang juga lebih baik, dan lain sebagainya, sehingga fenomena ini dapat mendorong dalam pembuatan perjanjian perkawinan. Di negara Indonesia perjanjian perkawinan ini belum termasuk umum di kalangan masyarakat, karena perjanjian perkawinan menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya. Tak heran jika masyarakat sempat heboh ketika artis Desy Ratnasari membuat perjanjian perkawinan sebelum ia melangsungkan perkawinan. Seandainya artis Made Hughes membuat perjanjian perkawinan sebelum ia melangsungkan perkawinan, maka hartanya tidak bisa diputuskan untuk dibagi dua dan tidak akan terjadi ributribut mengenai pembagian harta perkawinan. Mengenai
harta
perkawinan,
banyak
Undang-Undang
yang
mengaturnya. Antara lain peraturan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, peraturan menurut Hukum Burgerlijk Wetboek (B.W.) dan peraturan menurut Hukum Islam. Hukum Islam menganggap kekayaan suami dan kekayaan isteri masingmasing terpisah satu dengan yang lain. Barang-barang milik masing-masing pada waktu perkawinan dimulai, tetap menjadi milik masing-masing. Karena pada dasarnya tidak ada percampuran harta Hukum Burgerlijk Wetboek (B.W.) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebaliknya menganggap bahwa apabila suami dan isteri pada waktu akan melakukan perkawinan tidak mengadakan perjanjian apa-apa diantara mereka, maka akibat dari perkawinan itu adalah percampuran kekayaan suami dan isteri menjadi satu kekayaan.
xiv
Perjanjian perkawinan dalam sistem Burgerlijk Wetboek (B.W.) tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa, tetapi berlaku bagi golongan Tionghoa. Dimana semua kekayaan dari masing-masing suami dan isteri, baik yang dibawa pada permulaan perkawinan maupun yang mereka peroleh selama perkawinan berlangsung, dicampur menjadi satu kekayaan selaku milik bersama dari suami dan isteri. Calon suami dan calon isteri diberi kesempatan untuk saling berjanji sebelumnya, bahwa tidak akan ada campur kekayaan secara bulat, melainkan akan ada campur kekayaan secara terbatas atau akan tidak ada sama sekali suatu campur kekayaan. Perjanjian perkawinan dapat melindungi hak dari anak-anak dari perkawinan pertama bilamana suami atau isteri yang sudah bercerai, baik cerai mati atau cerai hidup akan menikah lagi, misalnya duda yang mempunyai anak dari perkawinan sebelumnya akan menikah untuk kedua kalinya dengan seorang perempuan yang tidak kaya dan kebetulan duda tersebut adalah seorang yang kaya raya, dan dia juga tidak membuat perjanjian kawin mengenai pemisahan harta, maka anak-anak dari perkawinan pertama akan dirugikan. Apabila kelak perkawinan tersebut tidak berhasil, maka isteri memperoleh separo dari milik bersama suami isteri yang sebenarnya hanya terdiri atas harta kekayaan si suami, yaitu bapak dari anak-anak tersebut, kecuali apabila berlaku sebaliknya, yang akan dinikahi adalah yang mempunyai harta kekayaan yang paling banyak. Anak-anak dari perkawinan pertama tersebut tidak dirugikan. Isi perjanjian kawin bebas dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat karena sebab (causa) palsu dan terlarang. Tidak dibuat janji-janji yang menyimpang dari hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai kepala perkawinan, hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouder-lijke macht), hak-hak yang ditentukan Undang-undang bagi mempelai yang hidup terlama (langstlevende echtgenoot) dan tidak dibuat perjanjian yang
xv
mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan orang-orang yang menurunkannya. Berdasarkan hal tersebut di atas, Penulis ingin memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat mengenai perjanjian perkawinan. Sehingga Penulis mengadakan penelitian dengan judul : ”STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA” B. Rumusan Masalah : Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, serta untuk mencapai sasaran penelitian secara tepat, maka Penulis merumuskan beberapa pokok perumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? 2. Apa akibat hukum perjanjian perkawinan dan ketentuan hukum manakah yang mengatur bila terjadi perceraian? C. Tujuan Penelitian : Suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh Penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui apakah perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. b. Untuk mengetahui apa akibat hukum perjanjian perkawinan dan ketentuan hukum manakah yang mengatur apabila terjadi perceraian. 2. Tujuan Subyektif
xvi
a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun karya ilmiah untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman Penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek lapangan hukum yang sangat berarti bagi Penulis. c. Untuk memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum. D. Manfaat Penelitian : Penelitian akan menjadi bernilai apabila ia dapat memberikan manfaat. Adapun kegunaan atau manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Untuk mengembangkan pengetahuan yang diperoleh selama di bangku perkuliahan dan membandingkan dengan kenyataan yang ada di lapangan. b. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah wacana atau referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu hukum. 2. Manfaat Praktis a. Sebagai praktek dari teori penelitian dalam bidang hukum dan juga sebagai praktek dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode penelitian ilmiah. b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang ingin membuat perjanjian perkawinan sebelum mereka melangsungkan perkawinan.
xvii
c. Sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum UNS. E. Metode Penelitian : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif terhadap asas-asas hukum yang berlaku. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. 2. Jenis Data Penelitian Jenis data yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder yaitu dengan mengambil studi kepustakaan, dokumen, hasil penelitian terdahulu, peraturan perundangan yang berlaku dan terkait dengan masalah yang diteliti. 3. Sumber Data Penelitian Penelitian hukum ini, menggunakan data sekunder yang dari sudut kekuatan mengikatnya digolongkan kedalam (menurut Gregory Churchill : 1978 dalam bukunya Soerjono Soekanto, 2006 : 51) : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari (untuk Indonesia) : 1) Norma atau kaedah dasar, yakni Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. 2) Peraturan Dasar. a) Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945. b) Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 3) Peraturan perundang-undangan : a) Undang-undang dan peraturan yang setaraf.
xviii
b) Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf. c) Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf. d) Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf. e) Peraturan-peraturan Daerah. 4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti misalnya, Hukum Adat. 5) Yurisprudensi. 6) Traktat. 7) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti misalnya, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (yang merupakan terjemahan yang secara yuridis formil bersifat tidak resmi dari Wetboek van Strafrecht). b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder ; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya. Penyusun dalam melakukan penelitian ini akan menggunakan : a. Bahan hukum primer berupa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Surat Edaran Mahkamah Agung mengenai Petunjuk-petunjuk Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam. b. Bahan hukum sekunder berupa hasil-hasil penelitian dan hasil-hasil karya dari kalangan hukum. c. Bahan hukum tertier berupa kamus hukum.
xix
4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sekunder. Untuk memperoleh data sekunder adalah dengan penelitian atau kepustakaan atau library research guna memperoleh bahan-bahan hukum atau bahan penulisan lainnya yang dapat dijadikan landasan teori, yang antara lain meliputi : peraturan perundangundangan, kebijaksanaan dan publikasi yang dibuat oleh pemerintah, buku-buku literatur, dan bahan lainnya yang tentunya berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti dan dapat menunjang dalam penulisan skripsi ini. 5. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 2000 : 103). Penyusun dalam melakukan penelitian menggunakan metode penafsiran. Metode penafsiran ini digunakan dalam hal peraturan perundang-undangannya belum jelas. Terdapat beberapa macam metode penafsiran antara lain : a. Penafsiran Gramatikal Antara bahasa dengan hukum terdapat hubungan yang erat sekali. Bahasa merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat Undangundang untuk menyatakan kehendaknya. Karena itu, pembuat Undangundang yang ingin menyatakan kehendaknya secara jelas harus memilih kata-kata yang tepat. Kata-kata itu harus singkat, jelas dan tidak bisa ditafsirkan secara berlainan. Adakalanya pembuat Undangundang tidak mampu memakai kata-kata yang tepat. Dalam hal ini hakim wajib mencari arti kata yang dimaksud yang lazim dipakai
xx
dalam percakapan sehari-hari, dan hakim dapat menggunakan kamus bahasa atau meminta penjelasan dari ahli bahasa (Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000 : 9). b. Penafsiran Sistematis atau Logis Peraturan hukum atau undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem hukum. Arti pentingnya suatu peraturan hukum terletak di dalam sistem hukum. Di luar sistem hukum, lepas dari hubungannya dengan peraturan-peraturan hukum yang lain, suatu peraturan hukum tidak mempunyai arti. Menafsirkan
peraturan
perundang-undangan
dengan
menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum disebut penafsiran sistematik. Menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan atau sistem hukum. c. Interpretasi Historis Interpretasi historis adalah penafsiran makna Undang-undang menurut
terjadinya
dengan
jalan
meneliti
sejarah
terjadinya.
Interpretasi historis meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya dan penafsiran menurut sejarah terjadinya Undang-undang. d. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis Penafsiran jenis ini dilakukan dengan lebih memperhatikan tujuan dari pembentuk undang-undang daripada bunyi kata-kata saja. Interpretasi teleologis atau sosiologis terjadi bila makna undangundang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. e. Interpretasi Komparatif
xxi
Interpretasi komparatif adalah suatu bentuk penafsiran dengan memperbandingkan, karena dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan Undang-undang. f. Interpretasi Antisipatif atau Futuristis Penafsiran ini mempunyai peranan untuk mencari pemecahan dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan Undang-undang. g. Interpretasi Restriktif Metode ini mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa. Di sini untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang ruang lingkup Undang-undang itu dibatasi. h. Interpretasi Ekstensif Merupakan metode penafsiran dengan memberikan penafsiran yang melampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal. i. Argumentum Per Analogiam (Analogi) Memakai penafsiran analogi, peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam Undang-undang diperlakukan yang sama. Peraturan umum yang tidak tertulis dalam Undang-undang itu diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam Undang-undang tersebut, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur dalam Undang-undang. j. Argumentum a Contrario (a contrario) Ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh Undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh Undang-undang. Pada a contrario titik berat diletakkan pada ketidaksamaan peristiwanya. k. Penyempitan hukum (Rechtsverfijning)
xxii
Kadang-kadang
peraturan
perundang-undangan
itu
ruang
lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu. Dalam penyempitan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpanganpenyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat umum. Peraturan yang bersifat umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau kontruksi dengan memberi ciri-ciri. l. Metode Eksposisi Metode eksposisi tidak lain adalah metode konstruksi hukum. Metode eksposisi atau konstruksi hukum adalah metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengerian, bukan untuk menjelaskan barang Penulis di dalam skripsi ini, hanya menggunakan beberapa metode saja dalam penafsirannya. Namun di dalam penemuan hukum, metodemetode di atas dapat digunakan baik sendiri-sendiri atau digunakan bersama-sama. Sehingga penemuan hukum tidak terlepas dari metode penafsiran di atas. F. Sistematika Penulisan Hukum : Agar skripsi ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa yang hendak dituju dan dimaksud dengan judul skripsi, maka dalam sub bab ini Penulis akan membuat sistematika sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini Penulis akan mengemukakan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA
xxiii
Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori Penulis akan menguraikan tinjauan umum tentang perkawinan, dan pengertian mengenai perjanjian perkawinan. Sedangkan dalam kerangka pemikiran Penulis akan menampilkan bagan kerangka pemikiran beserta keterangan dari bagan tersebut. BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini memuat sejarah pembentukan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sejarah pembentukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan memuat hasil penelitian, yaitu apakah perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan apa akibat hukum perjanjian perkawinan dan ketentuan hukum manakah yang mengatur apabila terjadi perceraian.
BAB IV
: PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xxiv
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori. 1. Tinjauan Umum tentang Perkawinan. a.
Pengertian Perkawinan. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara itu berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 2 Buku I tentang Hukum Perkawinan, yang dimaksud perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon
gholiidhan
untuk
menaati
perintah
Allah
dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan
pengertian
perkawinan
menurut
Wirjono
Prodjodikoro adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut (Wirjono Prodjodikoro, 1981 : 7). Menurut Scholten, perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Asis Safioedin, 1982 : 31). Perkawinan menurut Ahmad Azhar di dalam istilah agama disebut ”nikah” ialah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan
xxv
dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah (Soemiyati, 1986 : 8). b.
Syarat-Syarat Perkawinan Yang Sah. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat dua syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu syarat intern dan syarat ekstern. Syarat intern, yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat intern itu meliputi (Salim H.S, 2002 : 62) : 1) Persetujuan kedua belah pihak. 2) Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun. 3) Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari Pengadilan atau Camat atau Bupati. 4) Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin. 5) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian, masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari. Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitasformalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat ekstern itu meliputi (Salim H.S, 2002 : 62) : 1) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk. 2) Pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang memuat :
xxvi
a) Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon. Disamping itu, disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu. b) Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan. Syarat untuk melangsungkan perkawinan dalam KUHPerdata dibagi dua macam, yaitu syarat materiil dan syarat formal. Syarat materiil, yaitu syarat yang menyangkut pribadi para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-undang. Syarat-syarat ini diatur di dalam Pasal 27 sampai dengan pasal 49 B.W. serta terbagi lagi dalam syarat-syarat : 1) Syarat materiil mutlak Syarat tersebut harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan tanpa memandang dengan siapa ia akan melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat ini berlaku umum, jika salah satu dari syarat ini tidak dipenuhi, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Dalam hal yang demikian dapat dikatakan, bahwa ada rintangan perkawinan yang mutlak. Syaratsyarat
tersebut
ada
lima
macam,
yaitu
(R.
Soetojo
Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 19) : a) Kedua belah pihak masing-masing harus tidak terikat dengan suatu perkawinan lain (Pasal 27 B.W.). b) Kesepakatan yang bebas dari kedua belah pihak (Pasal 28 B.W.). c) Masing-masing pihak harus mencapai umur minimum yang ditentukan oleh undang-undang. Bagi laki-laki minimal berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun.
xxvii
d) Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat dari 300 hari terhitung sejak bubarnya perkawinan yang terakhir. e) Harus ada izin dari pihak ketiga, baik dari orang tuanya atau walinya bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah kawin. 2) Syarat materiil relatif Syarat materiil relatif, adalah ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu ada tiga macam, yaitu : a)
Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan,
b)
Larangan kawin karena zina,
c)
Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun.
Syarat formal, yaitu syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas-formalitas yang harus dipenuhi sebelum proses perkawinan. Syarat-syarat ini hanya berlaku bagi golongan Eropa, dan tidak berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa. Syarat ini dibagi dalam dua tahapan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan adalah : 1) Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman maksud kawin (Pasal 50 sampai dengan pasal 51 KUHPerdata). 2) Syarat-syarat
yang
harus
dipenuhi
bersamaan
dengan
dilangsungkannya perkawinan (Salim H.S, 2002 : 63-64). c.
Tujuan Perkawinan. Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan xxviii
dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh syari’ah (Soemiyati, 1986 : 12). Rumusan tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai berikut : 1) Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan. 2) Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih. 3) Memperoleh keturunan yang sah. Dari rumusan di atas, filosof Islam Imam Ghazali (dalam buku karangan Soemiyati, 1986 : 12) membagi tujuan dan faedah perkawinan kepada lima hal, seperti berikut : 1) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia. Memperoleh keturunan yang sah adalah merupakan tujuan yang pokok dari perkawinan itu sendiri. Memperoleh anak dalam perkawinan bagi penghidupan manusia mengandung dua segi kepentingan, yaitu : kepentingan untuk diri pribadi dan kepentingan yang bersifat umum (universil). Kepentingan yang bersifat pribadi yaitu setiap orang yang melaksanakan perkawinan tentu mempunyai keinginan untuk memperoleh keturunan atau anak. Bisa dirasakan bagaimana perasaan
suami
isteri
yang
hidup
berumah-tangga
tanpa
mempunyai anak, tentu kehidupannya akan terasa sepi dan hampa. Biarpun keadaan rumah-tangga mereka serba berkecukupan, harta cukup, kedudukan tinggi dan lain-lain serba cukup, tetapi kalau tidak mempunyai keturunan, kebahagiaan rumah-tangga belum sempurna. Biasanya suami isteri demikian itu akan selalu berusaha xxix
dengan segala kemampuan yang ada untuk berobat kepada dokterdokter dan minta tolong kepada orang-orang yang dianggap mampu untuk menolong mereka dalam usahanya memperoleh keturunan. Disamping itu menurut tuntutan agama Islam, yang disebutkan dalam salah satu Hadist : ”bahwa apabila orang yang meninggal dunia hanya tiga perkara saja yang masih bisa memberi pertolongan kepadanya, yaitu : pertama sedekah yang telah dikeluarkannya, kedua ilmunya yang masih memberikan manfaat bagi orang banyak dan ketiga anak yang saleh (baik) yang memohonkan doa untuknya”. Selain itu, anak-anak itulah nanti yang diharapkan dapat membantu orangtua pada hari tuanya kelak. Kita dapat menarik kesimpulan dari uraian di atas bahwa anak itu merupakan penolong baik dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat kelak bagi diri orang tuanya yang bersangkutan. Aspek yang umum atau universil yang berhubungan dengan keturunan atau anak ialah karena anak-anak itulah yang menjadi penyambung
keturunan
seseorang
dan
yang
akan
selalu
berkembang untuk meramaikan dan memakmurkan dunia ini. Hanya dengan perkawinanlah penyambung keturunan dengan cara yang sah dan teratur dapat terlaksana. 2) Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan. Tuhan menciptakan manusia dalam jenis kelamin yang berbeda-beda, yaitu jenis laki-laki dan jenis perempuan. Sudah menjadi kodrat bahwa antara kedua jenis itu saling mengandung daya tarik. Dilihat dari sudut biologis daya tarik itu ialah kebirahian atau seksuil. Sifat kebirahian yang biasanya didapati pada diri manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah merupakan tabiat kemanusiaan (menschelijke natuur), dengan perkawinan pemenuhan tuntutan tabiat kemanusiaan dapat disalurkan secara sah (Soemiyati, 1986 : 15). xxx
3) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan. Salah satu faktor yang menyebabkan manusia mudah terjerumus kedalam kejahatan dan kerusakan ialah pengaruh hawa nafsu dan seksuil. Dengan tidak adanya saluran yang sah untuk memenuhi kebutuhan seksuilnya, biasanya manusia baik laki-laki maupun wanita akan mencari jalan yang tidak halal (Soemiyati, 1986 : 15). 4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang. Ikatan perkawinan kalau kita bandingkan dengan ikatanikatan yang lain yang biasanya dilaksanakan dalam hidup bermasyarakat, merupakan ikatan yang paling teguh dan paling kuat. Mengapa hal itu bisa terjadi, sedangkan kita semua mengetahui bahwa pada umumnya antara laki-laki dan wanita sebelum melaksanakan perkawinan pada umumnya tidak ada ikatan apapun. Satu-satunya alat untuk memperkokoh ikatan perkawinan itu adalah rasa cinta dan kasih sayang antara laki-laki dan wanita secara timbal balik. Di atas dasar cinta dan kasih sayang inilah kedua belah pihak yang melakukan ikatan perkawinan itu berusaha membentuk rumah tangga yang bahagia. Dari rumah tangga tadi kemudian lahir anak-anak, kemudian bertambah luas menjadi rumpun keluarga demikian seterusnya sehingga tersusun masyarakat besar (Soemiyati,1986 : 16). 5) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung-jawab. Sebelum melakukan perkawinan pada umumnya para pemuda maupun pemudi tidak memikirkan soal penghidupan. Karena segala keperluan masih ditanggung oleh orang tua. Tetapi setelah
xxxi
berumah tangga mereka mulai menyadari akan tanggung jawab di dalam mengemudikan rumah tangga. Suami sebagai kepala keluarga mulai memikirkan bagaimana cara mencari rezeki yang halal untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, sebaliknya isteri juga berusaha memikirkan cara bagaimana mengatur kehidupan dalam rumah tangga (Soemiyati, 1986 : 17). d.
Larangan Perkawinan. Larangan untuk melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ada delapan larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan, yaitu : 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau bapak tiri. 4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi atau paman susuan. 5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seseorang suami beristeri lebih dari seorang. 6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. 7) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain. 8) Antara suami isteri yang telah cerai, kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai untuk kedua kalinya, mereka tidak boleh
xxxii
melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Salim H.S, 2002 : 65). KUHPerdata juga mengatur tentang larangan perkawinan antara calon pasangan suami isteri. Larangan untuk kawin diatur di dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 33 KUHPerdata. Ada tiga larangan untuk melangsungkan perkawinan, yaitu : 1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan. 2) Larangan kawin karena zina. 3) Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun. 2. Pengertian Perjanjian Perkawinan. Perjanjian perkawinan umumnya oleh masyarakat sering disebut dengan perjanjian pra nikah (Prenuptial Agreement). Tetapi pengertian dari masing-masing perjanjian tersebut menurut Penulis sebenarnya berbeda. Perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang diadakan oleh kedua calon mempelai sebelum perkawinan berlangsung. Tetapi dalam bahasa hukum atau Undang-undang, yang sering digunakan adalah perjanjian kawin, bukan perjanjian pra nikah. Selanjutnya dalam skripsi ini Penulis menggunakan sebutan perjanjian perkawinan untuk menjaga konsistensi dalam penulisan dan untuk menyesuaikan dengan judul skripsi. Perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 29 ayat 1 adalah perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua pihak atas persetujuan bersama pada waktu atau pada saat perkawinan berlangsung yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan mengenai kedudukan harta dalam perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. xxxiii
Sementara itu perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum Perkawinan pasal 47 adalah perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau pada saat perkawinan berlangsung yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. Perjanjian perkawinan (huwelijks atau huwelijkse voorwaarden) adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang calon suami isteri sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk mengatur akibat-akibat perkawinan
yang
menyangkut
harta
kekayaan
(R.
Soetojo
Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 74). Sementara itu pengertian perjanjian perkawinan dalam buku karangan Salim H.S. adalah perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan suami-isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka (Salim H.S, 2002 : 72). Perjanjian perkawinan menurut Soetojo Prawirohamidjojo ialah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan
terhadap
harta
kekayaan
mereka
(R.
Soetojo
Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 57). Perjanjian
perkawinan
ini
sifatnya
lebih
bercorak
hukum
kekeluargaan (familierechtelijk), sehingga tidak semua ketentuan hukum perjanjian yang termaktub dalam Buku III B.W. berlaku, misalnya suatu aksi (gugat) berdasarkan suatu kekhilafan tidak dapat dilakukan (error/dwaling) (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 74). Pada umumnya perjanjian perkawinan ini dibuat : 1) Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak daripada pihak yang lain.
xxxiv
2) Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst) yang cukup besar. 3) Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata salah satu jatuh failliet, yang lain tidak tersangkut. 4) Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung-jawab sendiri-sendiri (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 58). B. Kerangka Pemikiran.
Calon suami/suami
Perkawinan
Calon isteri/isteri
Aset dan kepentingan
Perjanjian perkawinan
Akibat
Melindungi aset dan kepentingan
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran.
Keterangan gambar 1 : Pihak-pihak yang dimaksud di dalam skripsi ini adalah calon suami dan calon isteri. Dimana calon suami dan calon isteri tersebut yang akan melakukan perkawinan sudah pasti mempunyai aset dan kepentingan yang harus dilindungi dari tindakan yang dapat merugikan yang mungkin akan terjadi. Cara untuk menjaga keamanan aset dan kepentingan tersebut, maka dibuatlah
xxxv
perjanjian perkawinan. Sehingga akibat dari perjanjian perkawinan ini adalah melindungi aset dan kepentingan dari suami dan isteri setelah menikah, karena isi perjanjian perkawinan yang dibuat sesuai dengan peraturan yang berlaku dan sah dapat mengikat suami dan isteri seperti Undang-undang, maka pembuatan perjanjian perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak dan tanpa paksaan.
xxxvi
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sejarah Terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 1. Terbentuknya
Kitab
Undang-undang
Hukum
Perdata
dalam
Kerangka Hukum Nasional. Terbentuknya KUHPerdata melalui proses yang sangat panjang dengan memakan waktu lama dan melalui alur yang rumit. B.W. dari KUHPerdata Belanda dan KUHPerdata Belanda dari Code Civil Perancis dan sebutan terakhir ini adalah Hukum Romawi. Pada waktu Julius Caesar berkuasa di Eropa Barat, Hukum Romawi telah berlaku di Perancis berdampingan dengan Hukum Perancis Kuno yang berasal dari Hukum Germania. Pada saat wilayah Perancis terbelah menjadi dua yaitu Perancis bagian utara dan selatan maka hukum pun terbagi menjadi dua. Bagian utara adalah daerah hukum yang tidak tertulis, yaitu berlaku hukum kebiasaan Perancis Kuno yang berasal dari Hukum Germania sebelum resepsi Hukum Romawi, sedangkan daerah selatan menjadi daerah hukum tertulis berlaku Hukum Romawi yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis. Corpus Iuris Civilis pada zaman itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna, yang terdiri dari empat bagian, yaitu : a. Institutiones, memuat pengertian lembaga Hukum Romawi, kumpulan Undang-undang. b. Pandecta, memuat himpunan pendapat ahli Hukum Romawi. c. Codex, memuat himpunan Undang-undang yang dibukukan atas perintah Kaisar Romawi. d. Novelles, memuat himpunan penjelasan maupun komentar terhadap Codex atau kumpulan undang-undang yang dikeluarkan sesudah Codex selesai.
xxxvii
Hukum yang berlaku di Perancis selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad lamanya dalam keadaan tidak ada kesatuan hukum. Kodifikasi Hukum Perdata Perancis baru selesai dibentuk pada tahun 1804 dengan nama Code Civil des Francais dan mulai berlaku sejak tanggal 21 Maret 1804. Pada tanggal 7 Maret sampai 1 Oktober 1838 Code Civil des Francais ini berlaku sebagai Kitab Undang-undang Belanda, oleh karena pada waktu itu Negeri Belanda menjadi jajahan dari Perancis. Setelah negeri Belanda terbebas dari penjajahan Perancis sekitar tahun 1813, maka dibentuk suatu panitia kodifikasi Hukum Perdata berdasarkan Undang-undang Dasar (Grondwet). Kepanitiaan itu diketuai oleh Mr. J. Kemper. Hasil kerja kepanitiaan tersebut ditolak oleh ahli hukum bangsa Belgia karena acuannya berbeda, yakni ahli hukum Nederland Selatan (Belgia) menghendaki agar rancangan hukum itu disusun menurut Code Civil Perancis. Sedangkan tim Mr. J. Kemper menyusun berdasarkan Hukum Belanda Kuno dan diberi nama “Ontwerp Kemper” (Rencana kemper). Dalam pembahasan di parlemen Rencana Kemper ini mendapat serangan dari kalangan Perwakilan Rakyat yang berasal dari Nederland Selatan (Belgia) yang bermuara ditolaknya Rencana Kemper tersebut. Hal ini terjadi pada tahun 1822 dan Mr. Joan Melchoir Kemper meninggal pada tahun 1824. Setelah Mr. Joan Melchoir Kemper meninggal, kepanitiaan diketuai oleh Nicolai dengan metode kerja dan pendekatan kerja dari bawah yaitu dengan bertanya kepada kehendak mayoritas wakil rakyat. Kerja ini berhasil baik dan selesai pada tahun 1826 dengan isi lebih berkiblat ke Code Civil Perancis tidak seperti rencana Mr. J.M. Kemper. Hasil Nicolai tersebut ditolak oleh kalangan Nederland Utara, kemudian direvisi yang tidak berarti. Dan dengan adanya Koninklijk Besluit tanggal 10 April 1838 (Staatblaad 1838 Nomor 21) KUHPerdata Belanda dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Oktober 1838. Untuk Hindia Belanda (Indonesia) berdasarkan asas konkordansi diberlakukan pula bagi golongan Eropa di
xxxviii
Indonesia. Dibentuklah komisi dengan tugas menyusun itu dengan diketuai oleh Mr. Cj. Scholten Van Out Haarlem berdasar Firman Raja tanggal 15 Agustus 1839 Nomor 102. Dalam kepanitiaan itu dilengkapi dengan dua anggota yaitu : Mr. I. Schneim dan Mr. I.F.H. Van Nos. Adapun peraturan yang telah dihasilkan adalah sebagai berikut : a. Algemene Bepalingen Van Wetgeving Voor Nederlandsch Indie (Ketentuan Umum Perundang-undangan di Indonesia). b. Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata). c. Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-undang Hukum Dagang). d. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der justitie (RO=Peraturan Susunan Pengadilan dan Pengurusan Justisi). e. Enige Bepalingen Betreffende Misdrijven began Tergelegenheid van Faillissement en bij Kennelijk over Mogen, Mitsgaders bij Surseance van Betaling (Beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan dalam keadaan pailit dan dalam keadaan nyata tidak mampu membayar). Berdasar Firman Raja Belanda tertanggal 16 Mei 1846 Nomor 1 dengan Staatsblaad 1847 Nomor 23 kelima peraturan tersebut dinyatakan berlaku di Hindia Belanda (Indonesia). Dari uraian tersebut dapat diketengahkan bahwa secara material KUHPerdata (B.W.) itu berasal dari Code Civil Perancis (Hukum Perancis) dan Code Iuris Civilis (Hukum Romawi) (H.A. Dardiri Hasyim, 2004 : 11). 2. Kedudukan Hukum Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W.) dalam Kerangka Hukum Nasional. Hindia Belanda (Kepulauan Indonesia) selama lebih kurang 350 tahun berada di cengkeraman penjajah Belanda. Selama itu pula hukum yang berlaku di sini adalah meneladani hukum yang berlaku di negeri Belanda. Keadaan seperti itu berlangsung terus hingga saat Belanda menyerah kepada bala tentara Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Sejak saat itu hingga 17 Agustus 1945 di daerah bekas jajahan yang bernama Hindia Belanda itu, berlakulah tatanan hukum dari pemerintah bala tentara
xxxix
Jepang. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah bala tentara Jepang tidak begitu banyak, hal ini dapat dimengerti, mengingat Jepang hanya berkuasa di Indonesia, untuk waktu kurang lebih tiga setengah tahun saja. Walaupun demikian dengan suatu peraturan peralihan, pemerintah bala tentara Jepang mengeluarkan Undang-undang Nomor 1/2602, 7 Maret 1942, tentang tata cara menjalankan pemerintahan. Sesudah
Jepang
menyerah
kepada
Sekutu
dan
Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, maka berlakulah tatanan hukum negara RI. Tata hukum negara Republik Indonesia saat itu pun sebagian besar masih merupakan peninggalan peraturan Hindia Belanda. Berlakunya tatanan seperti itu adalah berdasarkan pada : a. Pasal II Aturan Peralihan dari UUD 1945, yang menentukan bahwa : “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”. b. Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi oleh Peraturan Pemerintah RI Nomor 2 tanggal 10 Oktober 1945 yang menentukan bahwa : “Segala badan negara dan peraturan yang sampai berdirinya negara Republik Indonesia, pada 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar tersebut”. Dengan demikian maka pada saat kita merdeka, di negara kita tidak pernah terdapat kekosongan hukum, karena dengan bijak telah dipatok dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sendiri. Meskipun negara RI telah memproklamirkan kemerdekaannya, tetapi Belanda dengan bantuan tentara Sekutu masih ingin kembali menguasai bekas jajahannya di Indonesia. Karena itu terjadilah perang untuk mempertahankan kemerdekaan negara RI yang baru lahir itu. Selama empat tahun lebih Belanda berusaha untuk menduduki wilayah Indonesia, sampai akhirnya mereka mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Sejak saat itu kembalilah semua wilayah
xl
yang telah mereka duduki kepada kekuasaan pemerintah RI, kecuali Irian Barat. Berdasarkan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag,
maka
berdirilah
negara
Republik
Indonesia
Serikat
beranggotakan semua negara bagian, yang sebelumnya telah dibentuk oleh pemerintah Belanda selama pendudukan mereka. Negara RI yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 pun, merupakan anggota dari negara serikat tersebut. Ini berarti bahwa tatanan hukum yang berlaku sejak 17 Agustus 1945 hanya berlaku bagi wilayah negara RI yang merupakan bagian dari RIS saja, dan tidak berlaku untuk semua wilayah RIS. Untuk wilayah RIS berlakulah tatanan hukum negara RIS sejak 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950. Peraturan dari zaman RIS ini tidak begitu banyak, sebagian terbesar masih merupakan peraturanperaturan yang ada sebelum masa RIS. c. Berdasarkan Pasal 192 Konstitusi RIS 1949 mengatakan bahwa “Peraturan-peraturan, Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini”. Sebelum zaman RIS tersebut, kita mengenal zaman RI Proklamasi. Dengan demikian maka peraturan sebelumnya adalah peraturan dari zaman RI 1945, sedangkan peraturan pada zaman RI 1945 tersebut pada umumnya adalah peraturan dari zaman Hindia Belanda yang berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 diberlakukan bagi negara Republik Indonesia. Pada 17 Agustus 1950 negara RIS dinyatakan
bubar, dan
kembalilah negara RI sebagai negara kesatuan yang wilayahnya sama
xli
dengan wilayah negara RI proklamasi, minus Irian Barat. Irian Barat yang pada saat lahirnya negara kesatuan RI ini, masih tetap di bawah kekuasaan pemerintah Belanda. Dengan demikian, maka sejak saat itu berlakulah tatanan hukum negara RI kesatuan. Sebelum negara RI kesatuan berdiri, telah ada tatanan hukum dari pemerintah RIS. d. Berdasarkan Pasal 142 UUDS 1950, mengatakan bahwa “Peraturanperaturan, Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik Indonesia sendiri. Selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, diubah oleh Undangundang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-undang Dasar ini”. UUDS 1950 yang memberlakukan tata hukum sebelum ini, berlaku dari tanggal 17 Agustus 1950 hingga 5 juli 1959. e. Dengan dekrit Presiden RI 5 Juli 1959, negara RI dinyatakan kembali ke UUD 1945, dengan demikian maka Aturan Peralihan yang terdapat di dalamnya, memperlakukan kembali tata hukum yang pernah ada di masa-masa sebelumnya hingga sekarang. Dengan demikian kedudukan hukum berlakunya KUHPerdata (B.W.) yang berlaku sampai saat ini adalah Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,yang menyatakan : “Semua peraturan yang ada hingga saat Indonesia merdeka masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”. Pasal II Aturan Perlihan tersebut, memberikan landasan berlakunya KUHPerdata (B.W.) di Indonesia (H.A. Dardiri Hasyim, 2004 : 14). B. Sejarah Pembentukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sepanjang sejarah Indonesia, wacana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selalu melibatkan 3 pihak atau kepentingan, yaitu kepentingan agama, negara dan perempuan. Perbincangan seputar perkawinan cenderung dianggap sebagai wilayah privat. Pengaturan perkawinan tidak
xlii
dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara negara sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya. Undang-undang Perkawinan dibentuk karena kebutuhan masyarakat yang sejak zaman kerajaan Islam telah memiliki Peradilan Agama. Dalam peradilan dikenal 2 kekuasaan, yaitu : 1. Kekuasaan absolut, yaitu kekuasaan yang menyangkut materi hukum. 2. Kekuasaan relatif, yaitu kekuasaan yang menyangkut wilayah hukum. Mengenai sejarah pembentukan Undang-undang Perkawinan ini, pada awalnya para penjajah tidak ikut campur terhadap urusan Peradilan Agama. Tetapi pada tahun 1820, Belanda mulai turut campur terhadap urusan Peradilan Agama dengan mengeluarkan instruksi kepada Bupati-bupati dengan
mengatakan
bahwa
perselisihan
mengenai
pembagian
waris
dikalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada alim ulama Islam. Kemudian pada tahun 1823 dengan resolusi Gubernur Jenderal tanggal 3 Juni 1823 Nomor 12 diresmikan Pengadilan Agama kota Palembang yang dikepalai oleh seorang penghulu dan banding dapat dimintakan kepada Sultan. Kewenangan Peradilan Agama secara tegas dinyatakan dalam Staatsblaad Nomor 58 (http://ikadabandung.wordpress.com). Tahun 1882 merupakan tahun bersejarah bagi Peradilan Agama. Pada tahun 1882 dikeluarkan Staatsblaad 1882 Nomor 152 tentang pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Namun Staatsblaad 1882 Nomor 152 ini tidak mengubah wewenang absolut Pengadilan Agama. Namun pada tahun 1931 dibentuk Staatsblaad 1931 Nomor 53 tentang 3 pokok ketentuan bagi Peradilan Agama yaitu (http://ikadabandung.wordpress.com) : 1. Pengadilan Agama, Raad Agama, atau Priesterraad diubah menjadi Penghulu Gerecht yang dipimpin oleh seorang penghulu sebagai hakim, didampingi oleh 2 orang penasehat dan seorang panitera (griffier),
xliii
2. Pengadilan Agama hanya memeriksa perkara-perkara yang bersangkutan dengan nikah, talak, rujuk, hadhanat, dan wakaf, 3. Diadakan Mahkamah Islam Tinggi (MIT) sebagai Peradilan Banding atas putusan-putusan Pengadilan Agama. Namun ketentuan ini tidak pernah berjalan. Sehingga pada tahun 1937 dibentuklah Staatsblaad 1937 Nomor 610. Dimana dalam Pasal 2 ayat 1 ditetapkan bahwa Pengadilan Agama hanya berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perselisihan hukum suami isteri yang beragama Islam tentang nikah, talak dan rujuk. Setelah merdeka, pemerintah RI telah membentuk sejumlah peraturan tentang Pengadilan Agama. Antara lain pembentukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Akan tetapi, dari segi kebutuhan pengadilan yang memerlukan hukum formil dan hukum materiil, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk belum dapat dikatakan sebagai hukum formil maupun materiil. Karena Undang-undang tersebut lebih menekankan pada pentingnya pencatatan perkawinan. Kekosongan hukum materiil Pengadilan Agama disiasati oleh ulama dengan menjadikan kitab-kitab kuning sebagai hukum materiilnya. Pada tahun 1953, Departemen Agama menetapkan 13 kitab fikih yang dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama (http://ikadabandung.wordpress.com). Menjadikan kitab kuning sebagai hukum materiil Pengadilan Agama bukanlah pekerjaan mudah. Salah satu karakter fikih adalah keragaman pendapat sehingga melahirkan aliran-aliran. Oleh karena itu, kerumitan yang dihadapi hakim adalah memilih pendapat-pendapat para fuqaha sehingga memberikan peluang kepada hakim untuk memberikan putusan yang berbeda terhadap kasus yang sama. Pengadilan yang melahirkan keragaman putusan karena perbedaan hukum materiil dapat dikatakan sebagai pengadilan yang keputusannya tidak memiliki kepastian hukum. Oleh karena itu, pembentukan hukum materiil bagi Pengadilan Agama merupakan keniscayaan sejarah; ia sangat dibutuhkan masyarakat Islam agar para hakim memiliki pegangan yang
xliv
seragam, meskipun kemungkinan perbedaan masih tetap ada karena perbedaan cara tafsir terhadap Undang-undang. Usaha pembentukan Undang-undang Perkawinan di Indonesia dimulai sejak tahun 1950. Pada waktu itu, Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan tanggal 1 Oktober 1950 Nomor b/2/4299 tentang pembentukan Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk bagi umat Islam yang diketuai oleh Mr. Mohammad Hassan yang memiliki dua tugas, yaitu : 1. Melakukan pembahasan mengenai berbagai peraturan perkawinan yang telah ada. 2. Menyusun rancangan Undang-undang perkawinan yang sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman. Pada tanggal 1 Desember 1952 oleh Panitia tersebut disampaikan Rancangan Undang-undang Perkawinan (Peraturan Umum) serta Daftar Pertanyaan Umum mengenai Undang-undang tersebut kepada boleh dikatakan semua organisasi-organisasi yang berpusat maupun lokal dengan permintaan, supaya masing-masing memberikan pendapat atau pandangan tentang soalsoal tersebut terakhir pada tanggal 1 Februari 1953. Selain daripada berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, Rancangan Undang-undang telah mencoba untuk memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan dasar-dasar perkawinan (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 16). Panitia tersebut dalam rapatnya bulan Mei 1953, memutuskan untuk (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 17) : 1. Menyusun Rancangan Undang-undang Pokok yang pendek saja dan berlaku untuk umum tanpa menyinggung masalah agama. 2. Menyusun
Rancangan
Undang-undang
Organik
yang
mengatur
perkawinan menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Katolik, dan Protestan.
xlv
3. Menyusun Rancangan Undang-undang untuk golongan yang tidak termasuk
dalam
salah
satu
golongan
agama
itu
(R.
Soetojo
Prawirohamidjojo, 1986 : 13 ) Kemudian pada bulan April 1954 panitia menyampaikan Rancangan Undang-undang Perkawinan umat Islam kepada Menteri Agama Republik Indonesia. Tahun 1957 Menteri Agama menyampaikan Rancangan Undangundang tersebut dalam sidang kabinet, akan tetapi sampai sekian lama tidak ada penyelesaiannya. Akhirnya pada tahun 1958 beberapa anggota DPR wanita di bawah pimpinan Ny. Sumari mengajukan usul inisiatif Rancangan Undang-undang Perkawinan yang pada pokoknya berisikan peraturan perkawinan umum untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa membedakan agama dan
suku
bangsa
(R. Soetojo
Prawirohamidjojo, Soebijono
Tjitrowinoto, 1986 : 17). Adanya usul inisiatif Rancangan Undang-undang ini, Pemerintah mengadakan
reaksi
dengan
mengajukan
Rancangan
Undang-undang
Perkawinan Umat Islam di DPR, sedangkan Rancangan Undang-undang ini pun tidak pernah dapat diselesaikan oleh DPR. Di dalam hubungan ini, suatu lembaga semi pemerintah yang tidak kalah pentingnya ialah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang dibentuk dengan keputusan Presiden tanggal 6 Mei 1961, secara mendalam dan beralasan mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan baru. Pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional sebagai badan perencana telah mengeluarkan keputusan yang menyangkut Hukum Keluarga. Pada tahun 1963 diadakan Seminar Hukum Nasional di Jakarta yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bersama-sama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia. Pada tahun 1966, Menteri Kehakiman menugaskan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional untuk menyusun RUU perkawinan yang bersifat nasional. Pada tanggal 22 Mei 1967, pemerintah menyampaikan RUU perkawinan khusus untuk umat Islam kepada DPR. Dan pada tanggal 7 September 1968,
xlvi
pemerintah mengajukan RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan kepada DPR. Akan tetapi, dua RUU ini pun tidak lolos menjadi Undangundang. Sementara itu santer terdengar suara yang mendesak pemerintah untuk segera membentuk suatu Undang-undang Perkawinan. Ada beberapa organisasi yang menyuarakan hal itu antara lain dari Ikatan Sarjana Wanita Indonesia dan Badan Musyawarah Organisasi-organisasi Islam Wanita Indonesia. Dengan adanya hal ini, nyatalah adanya keinginan dan hasrat yang besar dari masyarakat, khususnya kaum wanita untuk memiliki Undangundang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara di seluruh wilayah Indonesia. Pada tanggal 31 Juli 1973 dengan surat Nomor 02/PU/VII/1973, Presiden menyampaikan Rancangan Undang-undang tentang perkawinan kepada DPR dan menarik kembali dua Rancangan Undang-undang yang sudah diajukan sebelumnya, maka (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 19) : 1. Pada tanggal 13 Agustus 1973 dalam rapat pimpinan DPR RI telah diputuskan
untuk
membahas
Rancangan
Undang-undang
tentang
Perkawinan. 2. Pada tanggal 30 Agustus 1973, dalam sidang Pleno DPR RI, Menteri Kehakiman atas nama Pemerintah menyampaikan keterangan pemerintah mengenai Rancangan Undang-undang tersebut yang dilanjutkan dengan pembahasan umum. Dalam pembahasan umum, Rancangan Undangundang mendapat kritik yang tajam, baik dari pihak politisi maupun dari ulama pada umumnya yang berafiliasi dengan berbagai ormas Islam yang ada. Pasal-pasal yang diperdebatkan oleh para anggota DPR dan para pemuka agama adalah pencatatan sebagai syarat sah perkawinan. Pencatatan perkawinan telah diundangkan oleh pemerintah dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946. Akan tetapi, dalam
xlvii
Undang-undang tersebut tidak terdapat ketentuan mengenai syarat-syarat pernikahan. Secara implisit, dapat dipahami bahwa perkawinan tanpa dicatat oleh PPN adalah sah. Akan tetapi, laki-laki yang melakukan perkawinan tanpa dicatat oleh PPN akan dikenai sanksi berupa denda. Dalam Rancangan Undang-undang Perkawinan dinyatakan secara eksplisit bahwa salah satu syarat sah nikah adalah pencatatan oleh petugas pencatat nikah. Seperti dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2. Namun Pasal 2 ayat 1 Rancangan Undangundang Perkawinan mendapat sorotan dari para pihak, antara lain dari Partai Persatuan Pembangunan yang menyatakan bahwa pencatatan sebagai syarat sah perkawinan dianggap mengabaikan syarat-syarat perkawinan yang telah dijelaskan oleh ulama dalam berbagai kitab fikih. Dengan kata lain, pemerintah dianggap telah menjadikan pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan yang pokok. Sedangkan syarat sah yang ditentukan oleh ulama dalam kitab-kitab fikih dianggap sebagai syarat pelengkap. RUU perkawinan yang diajukan oleh Pemerintah kepada DPR dinilai tidak sejalan dengan perkawinan menurut Alquran dan Sunah. Oleh karena itu, ia mendapat tanggapan dan sorotan yang tajam dari berbagai kalangan. Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengirim surat nomor A-6/174/73 Tentang Rancangan Undang-undang Perkawinan tanggal 30 Juli 1973 (29 Jumadil Akhir 1393 H.) yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa Rancangan Undang-undang Perkawinan bertentangan secara diametral dengan ajaran-ajaran Islam. Surat tersebut dilampiri dengan pasal-pasal RUU Perkawinan yang dianggap oleh Muhammadiyah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tujuh ketentuan RUU yang dipandang tidak sesuai dengan ajaran Islam adalah (http://ikadabandung.wordpress.com) : a) Pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan, b) Tidak ada pembatasan jumlah isteri dalam poligami (poligini), c) Batas usia perkawinan (21 tahun bagi pria dan 18 tahun bagi wanita),
xlviii
d) Tidak memasukkan susuan (radha’at) sebagai penghalang perkawinan, e) Perbedaan agama tidak menjadi penghalang perkawinan, f) Waktu tunggu bagi isteri yang dicerai suaminya, dan g) Dua kali cerai menjadi penghalang perkawinan. 3. Pada tanggal 17 dan 18 September 1973, DPR RI memberikan pandangan umumnya atas Rancangan Undang-undang tersebut. 4. Pada tanggal 27 September 1973, Menteri Agama atas nama pemerintah memberikan jawaban atas pandangan umum para anggota DPR RI tersebut. 5. Pada tanggal 8 Oktober 1973, Komisi III dan IX DPR RI mengadakan rapat gabungan untuk membicarakan prosedur teknis pembahasan Rancangan Undang-undang. 6. Pada tanggal 9 Oktober 1973, pimpinan DPR RI mengadakaan lobbying dengan pimpinan fraksi-fraksi. 7. Pada tanggal 10 Oktober 1973, Komisi III dan IX mengadakan rapat gabungan juga membicarakan tentang prosedur teknis pembahasan Rancangan Undang-undang. 8. Pada tanggal 15 Oktober 1973, pimpinan kedua komisi tersebut di atas, melakukan inventarisasi persoalan-persoalan dari rancangan Undangundang tersebut dengan koordinator wakil-wakil ketua Domo Pranoto dan Sumiskun. 9. Pada tanggal 6 Desember 1973, setelah melalui proses pembicaraan tingkat ke-1 dan 2 sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI, maka dibentuklah sebuah Panitia Kerja dari gabungan Komisi III dan IX, yang terdiri atas 10 orang anggota tetap dan disamping itu ditunjuk sejumlah 15 orang anggota pengganti yang bertugas menggantikan anggota-anggota tetap bilamana ada yang berhalangan hadir. 10. Pada tanggal 22 Desember 1973, DPR RI dalam rapat pleno terbuka dan sebagai pembicaraan tingkat ke-IV telah menerima Rancangan Undangundang tersebut di atas untuk disahkan sebagai Undang-undang.
xlix
Dalam Laporan Panitia Kerja RUU Perkawinan pada tanggal 22 Desember 1973 disampaikan bahwa Panitia Kerja telah berhasil menyepakati dua pasal, yaitu pasal 1 dan 2. Rumusan pasal 1 yang disepakati oleh panitia adalah : “perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan rumusan pasal 2 yang disepakati oleh Panitia Kerja adalah : “(1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukumnya masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pembahasan Rancangan Undang-undang Perkawinan di DPR terus berjalan sehingga menghasilkan Rancangan Undang-undang Perkawinan tahap II, yaitu Rancangan Undang-undang Perkawinan hasil pembicaraan di DPR. Di dalam Rancangan Undang-undang Perkawinan tahap II pun masih terdapat pasal-pasal yang dalam pandangan ulama tidak sejalan dengan ajaran Islam. Rancangan
Undang-undang
Perkawinan
yang
diajukan
oleh
Pemerintah RI kepada DPR pada tahun 1973, merupakan kelanjutan dari peraturan perundangan mengenai perkawinan yang berlaku sebelumnya. Peraturan perundangan mengenai perkawinan yang berlaku ketika RUU Perkawinan
diajukan
adalah
sebagai
berikut
(http://ikadabandung.wordpress.com) : a) Hukum agama Islam yang telah diterima (diresipir) dalam Hukum Adat untuk orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam. b) Hukum Adat bagi orang-orang Indonesia asli lainnya. c) Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (Staatsblaad 1933 Nomor 74) untuk orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen. d) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dengan sedikit perubahan) untuk orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina.
l
e) Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka. f) Hukum adat (mereka) untuk orang-orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara Keturunan Timur Asing lainnya. Secara simplistik, hukum perkawinan yang berlaku bagi masyarakat Indonesia ketika itu ada tiga, yaitu : a) Fikih (hukum) perkawinan yang terdapat dalam berbagai kitab fikih. b) Kitab undang-undang Hukum Perdata. c) Hukum adat. Oleh karena itu, dalam pandangan umat Islam isi RUU Perkawinan banyak menyimpang sehingga melahirkan perdebatan. 11. Pada tanggal 2 Januari 1974 dengan Lembaran Negara 1974 Nomor 1 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019 akhirnya diundangkan Undangundang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Setelah mengalami proses lebih kurang 15 bulan sejak diundangkannya Undang-undang tentang perkawinan itu, telah dapat diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan Undangundang Perkawinan tersebut. C. Perjanjian Perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 1. Perjanjian Perkawinan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. a. Wewenang membuat Perjanjian Perkawinan. Perjanjian perkawinan dalam prakteknya memang kurang diminati oleh calon suami dan calon isteri, karena perjanjian ini dianggap terlalu matrealistis dan tidak sesuai dengan adat ketimuran kita. Selain itu perjanjian perkawinan belum merupakan lembaga hukum yang populer di Indonesia, namun demi untuk menampung kebutuhan sebagian anggota masyarakat dan perkembangan hukum
li
dikemudian hari, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan ketentuan mengenai hal tersebut di dalamnya. Mengenai hal pengaturan perjanjian perkawinan, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengaturnya di dalam Pasal 29 yang terdiri dari 4 ayat. Isi dari Pasal 29 ayat 1, yaitu : “ Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Menurut analisa Penulis berdasar metode penafsiran gramatikal di dalam isi Pasal 29 ayat 1 tersebut di atas tidak secara tegas mengatakan bahwa perjanjian yang dimaksud itu adalah perjanjian perkawinan. Di dalam pasal tersebut hanya disebutkan bahwa kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, tetapi karena Pasal 29 ditempatkan di dalam Bab V tentang perjanjian perkawinan, maka disimpulkan bahwa perjanjian tertulis yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan adalah perjanjian perkawinan. Perjanjian yang dimaksud dalam Pasal ini tidak termasuk taklik-talak. Selain itu analisa lain dari Penulis di dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, juga menyatakan bahwa “.... kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan
perjanjian
tertulis....”,
karena
yang
akan
melangsungkan perkawinan adalah calon suami-isteri, maka yang dimaksud kedua belah pihak dalam ketentuan Pasal 29 ayat 1 tersebut adalah kedua calon suami-isteri yang akan menikah tersebut. b. Bentuk Perjanjian Perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mensyaratkan atau mengatur secara rinci bentuk hukum tertentu untuk sahnya suatu perjanjian perkawinan seperti dalam B.W.. Satu-satunya syarat yang disebutkan adalah bahwa perjanjian tersebut harus tertulis lii
dan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Atas dasar itu, para pihak dapat meletakkan perjanjian perkawinan mereka, baik dalam akta di bawah tangan maupun dalam bentuk autentik. Apabila suatu perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan, maka hal tersebut berarti bahwa para pihak dapat membuatnya sendiri. Asalkan kemudian perjanjian tersebut disahkan kepada Pegawai Pencatat Nikah (J. Satrio, 1991 : 223). Apakah Pegawai Pencatat Nikah dapat menolak perjanjian perkawinan yang diberikan kepadanya oleh calon suami-isteri? Apabila hal itu dapat dilakukan, akan timbul pertanyaan yang kedua mengenai dasar atau alasan apa yang digunakan sebagai pegangan untuk bertindak demikian? Penulis menganalisa dengan menggunakan metode penafsiran teleologis atau sosiologis bahwa dalam ketentuan Pasal 29 ayat 2, yaitu “perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batasbatas hukum, agama dan kesusilaan”. Mungkin kita berfikir akan kemungkinan terjadi isi perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan, Undang-undang atau ketertiban umum, karena semua perjanjian termasuk pula perjanjian perkawinan akan batal demi hukum kalau isinya mengandung ketentuan-ketentuan yang demikian. Itupun secara berlebihan ditegaskan lagi dalam Pasal 31 ayat 2. Mengenai hal ini perlu adanya penjelasan lebih lanjut, agar terdapat kepastian hukum, terutama bagi mereka yang tunduk pada Hukum Adat, karena Hukum Adat tidak mengenal lembaga perjanjian perkawinan. Lain halnya bagi mereka yang tunduk pada B.W., ketentuan umum mengenai perjanjian perkawinan seperti yang ada pada Pasal 139 dan selanjutnya dapat dipakai sebagai peraturan pelaksanaan. c. Pembuatan dan Perubahan Perjanjian Perkawinan. Mengenai saat pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
liii
menetapkan saat tersebut dalam Pasal 29 ayat 1 dan ayat 4. Di dalam Pasal 29 ayat 1 menyebutkan bahwa saat pembuatan perjanjian perkawinan
adalah
pada
waktu
atau
sebelum
perkawinan
dilangsungkan. Mengenai perubahan terhadap perjanjian perkawinan, Pasal 29 ayat 4 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 mengatakan : “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga”. Pasal 29 ayat 4 dapat disimpulkan, bahwa pada asasnya perjanjian perkawinan tersebut bersifat tetap sepanjang perkawinan. Atas asas tersebut dimungkinkan adanya penyimpangan, tetapi dengan dibatasi dengan syarat-syarat : 1) Atas persetujuan dari kedua belah pihak. Kata persetujuan menegaskan bahwa perubahan perjanjian kawin tidak boleh terjadi karena paksaan. Harus ada keikhlasan dari kedua belah pihak. Mengingat perubahan atas suatu perjanjian perkawinan seperti untuk setiap perjanjian yang lain harus dilakukan pula dengan membuat suatu perjanjian yang baru, sedang salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya sepakat yang bebas. Yang lebih penting adalah syarat “kedua belah pihak”. Maksud dari kedua belah pihak disini adalah suami dan isteri. Selain itu dalam perubahan perjanjian perkawinan, orang tua dan bekas wali tidak perlu turut campur lagi, mengingat orang-orang yang dalam status menikah termasuk juga yang pernah menikah adalah orang-orang yang cakap untuk bertindak dalam hukum. 2) Tidak merugikan pihak ketiga Mengapa disebutkan secara jelas mengenai pihak ketiga? Karena memang pihak ketiga seperti kreditur khususnya adalah orang yang berkepentingan dengan keadaan harta perkawinan suatu
liv
keluarga.
Jaminan
atas
piutang-piutangnya
sedikit
banyak
bergantung dari keadaan dan bentuk harta perkawinan debiturnya. Sehingga dalam hal ini pihak ketiga sangat berkepentingan. Apabila pembentuk Undang-undang tidak mencantumkan syarat yang kedua seperti tersebut di atas, dikhawatirkan kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh suami dan isteri, yang sengaja dilakukan untuk menghindarkan diri dari tanggungjawab mereka atas hutang mereka terhadap pihak ketiga. Apabila
suami-isteri
tersebut
melakukan
perubahan
perjanjian perkawinan yang merugikan pihak ketiga, maka perubahan tersebut dapat dibatalkan kalau ada tuntutan dari pihak ketiga
tersebut
dan
hanya
terhadap
pihak
ketiga
yang
kepentingannya dirugikan saja. Sedangkan untuk selebihnya perjanjian perkawinan yang baru tersebut tetap berlaku penuh. Syarat kedua ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan. Selanjutnya kita perhatikan ketentuan, bahwa perjanjian perkawinan hanya boleh dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan pada Pasal 29 ayat 1. Apakah hal itu berarti bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat sepanjang perkawinan? Telah dikatakan, selama perkawinan berlangsung, suami dan isteri dapat merubah perjanjian perkawinan mereka asal dipenuhi syaratsyarat tersebut di atas. Undang-undang tidak menetapkan seberapa besar perubahan tersebut dapat diadakan, karena Undang-undang sendiri tidak memberikan pembatasan, maka para pihak dapat mengadakan
perubahan
yang
seluas-luasnya,
dari
mulai
memisahkan sama sekali harta perkawinan mereka sampai adanya percampuran harta secara bulat antara mereka, yang berarti tidak adanya harta pribadi dalam perkawinan tersebut. Apabila suami dan isteri dapat merubah bentuk harta perkawinan mereka sedemikian luasnya, dengan hanya pembatasan atas persetujuan
lv
bersama dan tidak boleh merugikan pihak ketiga, maka apa salahnya kalau suami isteri yang pada saat atau sebelum perkawinan belum membuat perjanjian perkawinan sekarang mereka membuatnya, asal atas persetujuan bersama dan tidak merugikan pihak ketiga? Apabila dari Pasal 29 ayat 1 ditafsirkan, bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat sepanjang perkawinan, maka larangan yang demikian adalah sungguh tidak logis. Apa dasarnya? Lain halnya dengan sistem yang dianut dalam B.W., yang dengan konsekuen berpegang pada prinsip, bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan berlangsung dan sepanjang perkawinan tanpa perkecualian tidak dapat diubah. Hal demikian baru logis adanya ketentuan, bahwa sesudah dilangsungkan perkawinan orang tidak boleh lagi membuat perjanjian perkawinan (J. Satrio, 1991 : 225). Lain halnya dengan KUHPerdata, karena KUHPerdata dalam Pasal 149 dengan konsisten menyebutkan bahwa setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara apapun. d. Saat Berlakunya Perjanjian Perkawinan. Perjanjian
perkawinan
mulai
berlaku
sejak
perkawinan
dilangsungkan. Seperti dalam Pasal 29 ayat 3 yang berbunyi: “Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan”. Tidak adanya ketentuan lain mengenai saat berlakunya perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan, harus diartikan bahwa Undang-undang tersebut tidak menghendaki dipilihnya saat lain daripada yang telah ditetapkan oleh Undang-undang tersebut. Perjanjian perkawinan ini berlaku baik bagi suami-isteri yang bersangkutan maupun terhadap pihak ketiga (J. Satrio, 1991 : 229). Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mensyaratkan mengenai syarat pengumuman terlebih dahulu. Sehingga di sini darimana pihak ketiga tahu bahwa debiturnya memakai
lvi
perjanjian perkawinan? Lain halnya dalam KUHPerdata, dalam Pasal 152 disebutkan bahwa “....tidak akan berlaku bagi pihak ketiga sebelum hari pendaftaran ketentuan-ketentuan itu dalam daftar umum, yang harus diselenggarakan di Kepaniteraan pada Pengadilan Negeri....”. Sehingga pihak ketiga akan tahu bahwa debiturnya menggunakan perjanjian perkawinan. Diaturnya perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 29, maka sebenarnya perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Namun perincian pengaturannya tidak lengkap seperti dalam B.W., karena di dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur mengenai siapa saja yang berwenang membuat perjanjian perkawinan, bentuk-bentuk perjanjian perkawinan yang diperkenankan oleh Undang-undang Perkawinan, pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan dan saat berlakunya perjanjian perkawinan. Sehingga terkadang membuat keragu-raguan dan kecemasan bagi para calon pembuat perjanjian perkawinan, apakah dengan membuat perjanjian perkawinan merupakan pilihan yang tepat bagi mereka, karena perjanjian perkawinan berdampak sangat luas terhadap pengaturan harta perkawinan mereka dan bagi pihak ketiga apabila mereka terlibat. Berdasar Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berisi : “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1993 Nomor 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S. 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
lvii
Maka pengaturan di dalam B.W. dan peraturan-peraturan lainnya tidak berlaku lagi atau tidak dipakai lagi sepanjang Undang-undang Perkawinan ini sudah mengaturnya. Namun terdapat beberapa hal yang tidak diatur secara mendetail di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga B.W. masih dapat digunakan sebagai pegangan untuk pelaksanaannya. 2. Perjanjian Perkawinan dalam Burgerlijk Wetboek (B.W.) a. Bentuk Perjanjian Perkawinan. Menurut ketentuan pasal 147 B.W., perjanjian perkawinan harus dibuat : 1) Dengan akte notaris Hal ini dilakukan, kecuali untuk keabsahan perjanjian perkawinan, juga : a) Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup; b) Untuk adanya kepastian hukum. c) Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah. d) Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan atas ketentuan
(setelah
dilangsungkannya
perkawinan, maka dengan cara apapun
juga, perjanjian
perkawinan
pasal
itu
149
tidak
B.W.
dapat
diubah)
(R.
Soetojo
Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 59). Namun di dalam pasal 29 ayat 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan tersebut dapat dirubah asalkan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga dan kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubahnya.
lviii
2) Pada saat sebelum perkawinan dilangsungkan. Syarat ini diadakan dengan maksud agar setelah perkawinan dilangsungkan dapat diketahui dengan pasti, mengenai perjanjian perkawinan berikut isi perjanjian perkawinan itu. Perjanjian perkawinan berlaku sepanjang perkawinan berlangsung dan tidak dapat diubah. Jadi selama perkawinan berlangsung hanya berlaku satu macam hukum harta perkawinan, kecuali bila terjadi pisah harta kekayaan atau pisah meja dan tempat tidur (scheiding van tafel en bed). Prinsip tentang berlakunya satu macam hukum harta perkawinan dipegang oleh pembuat undang-undang. Hal ini dapat dilihat dari (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 77) : a) Pasal 197 B.W. yang menyatakan, bahwa bilamana pisah harta kekayaan ditiadakan, maka keadaan sebelum ”pisah” pulih kembali, seolah-olah keadaan itu tidak pernah terjadi. Istilah ”kebersamaan”
(gemeenschap)
dalam
pasal
197
B.W.
maksudnya, adalah tiap-tiap kebersamaan, baik kebersamaan harta kekayaan secara bulat, maupun kebersamaan harta kekayaan terbatas. Apabila tidak dibuat perjanjian perkawinan, maka akan terjadi lagi kebersamaan harta kekayaan secara bulat, dan apabila
dibuat
perjanjian
perkawinan,
maka
perjanjian
perkawinan itu berlaku kembali. b) Pasal 248 B.W. yang berisikan ketentuan apabila terjadi perdamaian (verzoening) antara suami istri setelah pisah meja dan tempat tidur, maka keadaan hukum ”pisah” pulih kembali, dalam arti, seolah-olah tidak pernah terjadi perpisahan apapun. Di dalam pasal 197 B.W. digunakan istilah ”kebersamaan”
lix
(gemeenschap) yang artinya ialah : tiap-tiap kebersamaan, baik kebersamaan harta kekayaan secara bulat maupun kebersamaan harta kekayaan terbatas. Apabila tidak dibuat perjanjian perkawinan, maka akan terjadi lagi kebersamaan harta kekayaan secara bulat, dan bila mana
dibuat
perjanjian
perkawinan
maka
perjanjian
perkawinan itu berlaku lagi. c) Pasal 232a B.W. (S. 1923-31 jo. S. 1928-546) : prinsip tersebut diatas juga berlaku bila terjadi ”kawin ulang” (reparatie huwelijk, pasal 33 B.W.), setelah perkawinan bubar karena perceraian. Selama
perkawinan
belum
dilangsungkan,
perjanjian
perkawinan itu masih dapat diubah. Menurut ketentuan pasal 148 ayat 1 B.W. perubahannya harus dilakukan dengan akte notaris. Perubahan tersebut dianggap sah jika disepakati oleh mereka yang dahulu menjadi ”pihak” (partij). Pasal 148 ayat 2 B.W. menyebutkan : tidak hanya mereka saja yang memberikan izin kesepakatan, akan tetapi juga mereka yang memberikan hadiah pada calon suami isteri (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 77). Apabila ”bantuan” itu tidak diperoleh, maka perjanjian perkawinannya tidak dapat diubah. Pada umumnya, perjanjian perkawinan yang telah dibuat dapat ditiadakan. Suami isteri dapat kawin tanpa perjanjian perkawinan dengan status kebersamaan harta perkawinan secara bulat (algehele gemeenschap van goederen). Pihak-pihak yang harus memberikan ”bantuan” yang diperlukan oleh calon suami isteri adalah mereka yang harus
lx
memberikan izin untuk kawin. Tetapi, mereka dapat mempersulit calon suami isteri itu dengan jalan menarik kembali izin kawinnya. Apabila mereka yang memberikan hadiah (schenking) menolak
memberikan
bantuan
utuk
mengubah
perjanjian
perkawinan, maka dengan melepaskan schenking tersebut, calon suami isteri masih dapat kawin dengan membuat perjanjian perkawinan yang lain atau kawin dengan kebersamaan harta perkawinan secara bulat (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 78). b. Isi Perjanjian Perkawinan. Asas-asas yang ditentukan dalam B.W. menyatakan, bahwa calon suami isteri bebas untuk menentukan isi perjanjian perkawinan yang mereka kehendaki. Pasal 139 B.W. menentukan bahwa dalam perjanjian perkawinan, kedua calon suami isteri dapat menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam kebersamaan harta kekayaan, dengan syarat penyimpangan-penyimpangan itu tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (openbare orde). Ketentuan yang demikian juga terdapat dalam pasal 23 A.B. yang berlaku umum bagi setiap perjanjian, dengan demikian ketentuan pasal 139 B.W. tersebut diatas tidak diperlukan lagi karena dianggap terlalu berlebihan Asas kebebasan kedua belah pihak dalam menentukan isi perjanjian perkawinan dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 85) : 1) Perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan pasal 23 A.B. tersebut diatas dan pasal 1335 B.W. yang menentukan, bahwa perjanjian yang dibuat karena sebab (causa) palsu dan terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum. Hal tersebut sama dengan larangan untuk kawin dengan lebih dari seorang istri atau larangan
lxi
untuk minta cerai. Meskipun kedua hal tersebut tidak secara tegas diatur dalam B.W., namun tidak diperkenankan dimuat dalam perjanjian perkawinan. 2) Tidak dibuat janji-janji yang menyimpang dari : a) Hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai kepala perkawinan (Pasal 140 ayat 1 KUHPerdata), misalnya hak suami untuk menentukan tempat kediaman atau untuk mengurus kebersamaan harta (Pasal 124 B.W.). b) Hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouder-lijke macht), misalnya hak untuk mengurus harta kekayaan anakanak
dan
mengambil
keputusan-keputusan
mengenai
pendidikan atau mengasuh anak-anak (isi kekuasaan orang tua ditentukan dalam Pasal 298 dan seterusnya). c) Hak-hak yang ditentukan undang-undang bagi mempelai yang hidup terlama (langstlevende echtgenoot) misalnya, untuk menjadi wali dan berwenang untuk menunjuk seorang wali dengan testament ( 2) a), b), c) diatur dalam pasal 140 B.W.). 3) Tidak dibuat perjanjian yang mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan orang-orang yang menurunkannya. Hal ini (Pasal 141 B.W.) dirasakan berlebihan (overbodig), oleh karena Pasal 1063 B.W. telah mengatur pula larangan untuk melepaskan hak mewaris dari orang yang masih hidup. Disamping itu, masih ada ketentuan lain yaitu Pasal 1334 ayat 2 B.W. yang melarang untuk melepaskan warisan yang belum terbuka (jatuh meluang atau sama dengan de nog niet opengevallen erfenis), meskipun dengan kesepakatan orang yang bersangkutan sendiri. 4) Tidak dibuat perjanjian bahwa salah satu pihak akan memikul hutang yang lebih besar, dari bagiannya dalam activa.
lxii
Beberapa sarjana hukum berpendapat, bahwa dalam hal ini, passiva harus dibagi menurut imbangan activa. Pitlo berpendapat bahwa perjanjian itu harus dianggap tidak ada, sebab hal tersebut bertentangan dengan undang-undang. Demikian berlakulah ketentuan-ketentuan tentang kebersamaan harta perkawinan, artinya suami isteri masing-masing akan menanggung separo bagian. 5) Calon suami isteri tidak boleh membuat perjanjian (beding) dengan kata-kata umum (in algemene bewoordingen) bahwa hukum harta perkawinan mereka akan diatur oleh Undang-undang negara asing, atau oleh adat kebiasaaan, undang-undang, kitab undang-undang atau peraturan-peraturan setempat yang berlaku di Indonesia. Ketentuan ini diadakan untuk kepastian hukum. Jadi, yang diperbolehkan adalah jika isi Undang-undang negara asing atau hukum adat kebiasaan itu dirumuskan sedetail atau sejelasjelasnya. c. Harta Benda Dalam Perkawinan. Harta benda dalam perkawinan yang dapat ditentukan lain oleh para pihak dalam perjanjian perkawinan menurut Penulis sedikit terdapat perbedaan antara Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat menentukan lain mengenai harta bawaan. Seperti terdapat dalam pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi ”Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.
lxiii
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat menentukan lain mengenai harta bersama selama perkawinan. Seperti terdapat dalam Pasal 139 KUHPerdata. Harta bawaan dan harta bersama menurut Kompilasi Hukum Islam memang sejak awal terpisah atau tidak ada percampuran harta. Namun harta bawaan dapat ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Sehingga dalam KUHPerdata, harta bawaan dan harta bersama semuanya dianggap menjadi satu yaitu harta perkawinan. Jadi tidak ada pembedaan jenis harta. Tetapi jenis harta dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dibedakan menjadi harta bawaan dan harta bersama. d. Pertimbangan-pertimbangan Diadakan Perjanjian Perkawinan. Pertimbangannya adalah : 1) Dalam perkawinan dengan persatuan secara bulat. Agar isteri terlindungi dari kemungkinan-kemungkinan tindakan-tindakan beheer suami yang tidak baik. Tanpa adanya pembatasan yang diperjanjikan isteri dalam perjanjian perkawinan, suami mempunyai wewenang penuh atas harta persatuan, untuk menghindarkan
kemungkinan
adanya
tindakan-tindakan
beschikking atas barang-barang tak bergerak dan surat-surat berharga tertentu milik isteri, yang dianggap oleh isteri bisa merugikan
dirinya,
dapatlah
isteri
memperjanjikan
dalam
perjanjian perkawinan, bahwa tanpa persetujuannya, suami tak diperkenankan memindahtangankan ataupun membebani barangbarang tak bergerak si isteri serta surat-surat pendaftaran dalam buku besar tentang piutang umum, surat berharga lainnya dan piutang atas nama isteri. Jadi disini yang diperjanjikan adalah pembatasan atas wewenang beheer suami.
lxiv
2) Dalam perkawinan dengan harta terpisah : a) Agar barang-barang tertentu atau semua barang-barang yang dibawa suami atau isteri dalam perkawinan, tidak masuk dalam persatuan harta perkawinan. b) Agar harta pribadi tersebut terlepas dari beheer suami, dan isteri mengurus sendiri harta tersebut (J. Satrio, 1991 : 148). e. Tujuan Perjanjian Perkawinan. Perjanjian perkawinan itu dibuat dengan tujuan (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 74) : 1) ”Membatasi” atau ”meniadakan sama sekali” kebersamaan harta kekayaan menurut Undang-undang. 2) Pemberian-pemberian hadiah (schenking) dari suami kepada isteri atau sebaliknya, atau pemberian hadiah timbal balik antara suami dan isteri (Pasal 168 B.W.). 3) ”Membatasi
kekuasaan
suami”
terhadap
barang-barang
kebersamaan yang ditentukan oleh Pasal 124 ayat 2 B.W., sehingga ”tanpa bantuan” isterinya, sang suami tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat memutus (beschikken). Hal yang sama berlaku juga terhadap benda-benda bergerak maupun tak bergerak yang dibawa isteri (aanbrengst) atau terhadap bendabenda
yang
diperolehnya
sepanjang
perkawinan
yang
beratasnamakan isteri (Pasal 140 ayat 3 B.W.). 4) Sebagai testamen dari suami untuk isteri atau sebaliknya, atau testamen timbal balik (Pasal 169 B.W.). 5) Pemberian hadiah (schenking) oleh ”pihak ketiga” kepada suami dan atau isteri (Pasal 176 B.W.). 6) Sebagai testamen dari ”pihak ketiga” kepada suami dan atau isteri (Pasal 178 B.W.).
lxv
Baik testamen maupun schenking yang dimaksud oleh point 4) hingga 6) mungkin saja terjadi, jika kebersamaan harta kekayaan dibatasi atau ditiadakan. Dilain pihak, dalam point 5) dan 6) seperti yang telah disebutkan, perjanjian kawin tersebut tidak hanya mengikat suami dan isteri saja, akan tetapi juga mengikat pihak ketiga yang menjadi pihak (partij) dalam perjanjian tersebut dan ikut serta menandatangani aktenya. Selain penjelasan-penjelasan di atas, menurut ketentuan Pasal 140 ayat 2 B.W., seorang isteri masih dapat mengadakan pengurusan atau pemeliharaan (beheer) atas harta kekayaan pribadinya. f. Kebersamaan Harta Kekayaan Terbatas yang Diatur oleh UndangUndang. Sampai sekarang, sebagian besar perkawinan dilangsungkan tanpa perjanjian perkawinan, sehingga terjadi kebersamaan harta secara bulat (algehele gemeenschap van goederen). Akan tetapi, suami isteri mempunyai kebebasan untuk membatasi kebersamaan harta tersebut menurut kehendak mereka, dengan catatan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, suami isteri dapat mengadakan beranekaragam kebersamaan harta terbatas. Perlu diketahui bahwa kebersamaan harta terbatas yang beraneka ragam itu tidak semuanya diatur oleh Undang-undang. Undang-undang hanya mengatur kebersamaan terbatas, yaitu : kebersamaan untung dan rugi (gemeenschap van winst en verlies) dan kebersamaan hasil dan pendapatan (gemeenschap van vruchten en inkomsten) (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 89). 1) Perjanjian perkawinan dengan kebersamaan untung dan rugi. a) Tinjauan umum. (1) Perjanjian perkawinan dengan kebersamaan untung dan rugi terjadi bila calon suami isteri menyatakan dengan tegas
lxvi
bahwa mereka menghendaki bentuk perjanjian perkawinan itu dalam akte perjanjian perkawinan (Pasal 155 B.W.). (2) Calon
suami
isteri
meniadakan
kebersamaan
harta
kekayaan (Pasal 144 B.W.). Dasar pemikiran (grondgedachte) untuk mengambil bentuk perjanjian perkawinan dengan kebersamaan untung dan rugi, adalah : (1) Suami isteri masing-masing tetap memiliki sendiri-sendiri harta kekayaan yang dimiliki pada saat perkawinan dilangsungkan dan apa yang diperolehnya sepanjang perkawinan yang sifatnya cuma-cuma (om niet). (2) Semua barang yang diperoleh selama perkawinan mereka menjadi milik bersama (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 90). Perjanjian
perkawinan
dengan
persatuan
atau
kebersamaan keuntungan dan kerugian terjadi bilamana bakal suami isteri menyatakan dengan tegas-tegas bahwa mereka menghendaki bentuk perjanjian perkawinan itu dalam akta perjanjian perkawinannya, atau karena mereka dalam akta perjanjian perkawinan itu menyatakan bahwa di dalamnya tidak diadakan kebersamaan harta perkawinan sehingga dalam hal ini dengan sendirinya ada kebersamaan keuntungan dan kerugian. Apabila dalam akta perjanjian perkawinan itu juga dikatakan bahwa tidak ada kebersamaan keuntungan dan kerugian dan dari akta perjanjian perkawinan itu tidak dapat kita simpulkan lain maka dianggap telah terjadi perjanjian perkawinan tanpa ada kebersamaan sama sekali. Pasal 155 B.W. lebih kurang menyatakan bahwa jika oleh calon suami isteri hanya dijanjikan bahwa akan ada
lxvii
kebersamaan keuntungan dan kerugian maka hal ini berarti bahwa tidak akan ada kebersamaan seluruh harta perkawinan. Pada pemutusan kebersamaan itu kemudian suami isteri akan membagi untung rugi itu selama perkawinan. Ketentuan tersebut dapat disimpulkan, bahwa (J. Satrio, 1991 : 175) : (1) Antara suami isteri tidak ada persatuan bulat harta perkawinan. (2) Antara mereka masih ada persatuan harta yang terbatas, yaitu persatuan untung dan rugi saja. (3) Keuntungan dan kerugian menjadi hak dan tanggungan suami isteri bersama-sama. (4) Harta yang dibawa ke dalam perkawinan atau yang sudah dipunyai pada saat pernikahan oleh suami isteri tetap menjadi hak masing-masing yang suami atau isteri membawanya atau memilikinya. (5) Karena jarang ada orang yang menikah dengan tidak membawa apa-apa ke dalam perkawinan, maka dalam perkawinan tersebut akan terbentuklah lebih dari satu kelompok harta, yaitu : (a) Harta persatuan yang terbatas, yang berupa persatuan untung dan rugi. (b) Harta pribadi suami. (c) Harta pribadi isteri. Akan tetapi Pasal 165 B.W. mengatakan bahwa barangbarang bergerak yang dibawa oleh suami maupun isteri harus dicatat dalam perjanjian perkawinan atau dalam daftar yang ditandatangani oleh suami, isteri dan notaris serta dilampirkan dalam perjanjian perkawinan yang bersangkutan. Benda-benda tetap (tidak bergerak) tidak disebut, karena benda-benda seperti
lxviii
itu umumnya tercatat atas nama pemiliknya. Sehingga dalam perkawinan dengan persatuan untung dan rugi dan juga pada persatuan hasil (pendapatan) tidak selalu ada 3 kelompok harta dalam keluarga tersebut, mungkin hanya ada 2 saja. b) Lahirnya Persatuan untung dan rugi Pasal 144 B.W. lebih kurang menyatakan bahwa jika tidak diadakan kebersamaan harta perkawinan maka hal ini bukanlah berarti tidak diadakan kebersamaan keuntungan dan kerugian, kecuali jika hal itu dengan tegas-tegas dinyatakan demikian (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Asis Safioedin, 1982 : 107). Hal itu berarti bahwa, kalau suami isteri dalam perjanjian perkawinan hanya memperjanjikan, bahwa antara mereka tidak ada persatuan harta, maka di dalam harta perkawinan mereka otomatis ada persatuan untung dan rugi, dengan demikian adanya persatuan untung dan rugi dapat terjadi, karena (J. Satrio, 1991 : 176) : (1) Para pihak secara tegas memperjanjikan dalam perjanjian perkawinan mereka, atau (2) Para pihak hanya memperjanjikan bahwa antara mereka tidak akan ada persatuan harta. c) Akibat hukum persatuan untung dan rugi. Semua keuntungan yang diperoleh dan semua kerugian yang diderita sepanjang perkawinan menjadi bagian dan beban suami isteri menurut perbandingan yang sama besarnya (J. Satrio, 1991 : 176). Namun kepada para pihak diberi kemungkinan untuk menentukan lain (Pasal 156 B.W.). Dengan demikian dalam persatuan untung dan rugi ada persatuan yang terbatas, yaitu bahwa hanya untung dan rugi merupakan untung dan rugi suami dan isteri. Di dalam perkawinan seperti ini umumnya ada lxix
harta pribadi suami dan/atau isteri, dengan demikian dalam keluarga tersebut ada kemungkinan terbentuknya dua atau tiga kelompok harta, yaitu harta pribadi suami, harta pribadi isteri dan harta persatuan untung dan rugi (J. Satrio, 1991 : 177). d) Keuntungan. Pitlo berpendapat bahwa pengertian untung dan rugi (winst en verlies) dapat digunakan dalam dua arti, yaitu : (1) Sebagai saldo (sisa) yang ada pada akhir perkawinan mereka. (2) Sebagai
keuntungan
(winst)
berupa
semua
activa.
Sedangkan kerugian (verlies) adalah semua passiva atas kebersamaan
harta
perkawinan
itu.
(R.
Soetojo
Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 90) Pasal 157 menyatakan, bahwa yang dianggap sebagai keuntungan adalah semua pertambahan nilai harta suami isteri sepanjang perkawinan, yang muncul sebagai hasil dan pendapatan dari : (1)
Barang-barang milik suami dan isteri.
(2)
Kerja dan usaha suami dan isteri.
(3)
Penanaman sisa pendapatan yang tak dibelanjakan. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa
penanaman kembali harta pribadi tetap menjadi harta pribadi. Hasil yang keluar daripadanya merupakan harta bersama. Jadi pokoknya merupakan harta pribadi, tetapi hasilnya masuk persatuan. e) Kerugian. Menurut Pasal 157 B.W. yang dimaksud dengan kerugian adalah tiap berkurangnya harta kekayaan disebabkan karena pengeluaran yang melampaui pendapatan.
lxx
Rumusan tersebut menurut Pitlo hanya cocok untuk ”kerugian” dalam arti saldo, yaitu hutang-hutang yang pada saat berakhirnya persatuan (terbatas) masih belum dilunasi. Asas pokoknya adalah semua hutang yang dibuat untuk kepentingan
suami
isteri
bersama-sama
masuk
dalam
persatuan. Berpegang pada asas tersebut, maka yang merupakan passiva harta pribadi suami atau isteri adalah : (1) Hutang-hutang yang sudah dipunyai pada waktu dan karenanya dibawa ke dalam perkawinan oleh suami isteri. (2) Hutang-hutang pribadi. (3) Tagihan isteri atas kelalaian-kelalaian suami dalam melaksanakan beheer atas harta pribadi isteri (J. Satrio, 1991 : 182). 2) Perjanjian perkawinan dengan kebersamaan hasil dan pendapatan (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 95). Bahwa pada umumnya orang berpendapat kebersamaan tersebut dalam banyak hal sama dengan kebersamaan untung dan rugi. Perbedaannya, apabila kebersamaan tersebut menunjukkan kerugian (saldo negatif) maka suami yang mengurus kebersamaan itu, dengan kata lain, suami yang harus memikul seluruh kerugian. Apabila
kebersamaan
itu
menimbulkan
keuntungan,
maka
keuntungan ini dibagi antara suami isteri. Jadi bagi isteri yang tidak mengurus kebersamaan hanya ada kemungkinan untuk mendapat sebagian dari keuntungan, dan tidak ada kemungkinan untuk diwajibkan turut memikul sebagian dari kerugian. Hutang-hutang bersama termasuk dalam kebersamaan, untuk hutang-hutang, pihak isteri tidak bertanggung jawab, dan itu harus dibayar oleh kebersamaan. Apabila harta bersama tidak cukup untuk membayar hutang-hutang tersebut, maka sisanya harus dibayar oleh suami.
lxxi
Hutang-hutang si isteri sendiri, bukan termasuk dalam hutang kebersamaan sehingga dengan demikian harus dibayar oleh isteri. g. Peniadaan Terhadap Setiap Kebersamaan Harta Kekayaan. Setiap kebersamaan harta kekayaan pada umumnya ditiadakan. Untuk meniadakan setiap kebersamaan, maka dalam akte perjanjian perkawinan harus ditentukan dengan tegas bahwa kebersamaan harta dan kebersamaan untung dan rugi ditiadakan (Pasal 144 B.W.). Sudah merupakan kebiasaan dalam praktek notaris, bahwa dalam akte tersebut kebersamaan hasil dan pendapatan juga ditiadakan karena sesungguhnya hak tersebut tidak perlu sifatnya (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 96). Setiap peniadaan kebersamaan hanya ada dua kemungkinan dalam harta kekayaan, yaitu harta kekayaan milik pribadi suami dan milik pribadi isteri. Tidak ada kemungkinan adanya harta kekayaan ketiga yang termasuk dalam suatu kebersamaan harta kekayaan terbatas (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 96). h. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan. Perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata maupun Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami isteri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-undang, karena pada kedua peraturan tersebut pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu, menjadi harta bersama.
Sehingga
perjanjian
perkawinan
ini
dibuat
untuk
mengadakan penyimpangan terhadap persatuan harta kekayaan tersebut. Ada berbagai macam alasan orang memperjanjikan terpisahnya harta atau harta tertentu dan/atau pengelolaan atas harta tertentu di dalam perjanjian kawin. Dimana dalam perkawinan dengan persatuan
lxxii
harta secara bulat atau dengan harta terpisah, pasti ada akibat yang terjadi. Adapun alasan dan akibat yang mungkin timbul dari perjanjian perkawinan ini, antara lain : 1) Dalam perkawinan dengan persatuan secara bulat. Dimana mempunyai
akibat
istri
terlindungi
dari
kemungkinan-
kemungkinan tindakan semena-mena suami atas harta tak bergerak dan harta bergerak tertentu lainnya, yang dibawa isteri ke dalam perkawinan. Tanpa adanya pembatasan yang diperjanjikan isteri dalam perjanjian perkawinan, suami mempunyai wewenang penuh atas harta persatuan. Termasuk semua harta yang dibawa isteri ke dalam persatuan tersebut. 2) Dalam perkawinan dengan harta terpisah, adanya perjanjian merupakan perlindungan bagi isteri terhadap kemungkinan dipertanggung-jawabkannya harta tersebut terhadap utang-utang yang dibuat oleh suami atau sebaliknya. Akibat hukum lain dari dibuatnya perjanjian perkawinan sudah pasti adalah pisahnya harta yang didapat pada saat sebelum perkawinan berlangsung maupun selama perkawinan berlangsung sesuai dengan apa yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan. Apabila salah satu pihak tidak menjalankan isi dari perjanjian perkawinan, maka hal itu dapat dijadikan alasan dalam penggugatan cerai. Perjanjian perkawinan juga dapat mengikat kepada pihak ketiga selama pihak ketiga juga terlibat dalam pembuatan perjanjian perkawinan tersebut. D. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan dan Ketentuan Hukum yang Dipakai bila Terjadi Perceraian. 1. Berakhirnya Perkawinan.
lxxiii
Sesuai dengan tujuan diadakannya perkawinan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka segala hal yang dapat menjadi pemicu berakhirnya perkawinan sebaiknya dihindari. Di sini Penulis akan memberikan gambaran mengenai sebab putusnya suatu perkawinan. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 38, perkawinan dapat putus karena 3 hal, yaitu : a. Kematian b. Perceraian, dan c. Atas keputusan Pengadilan Sedangkan dalam ketentuan Pasal 199 B.W., suatu perkawinan dapat putus oleh sebab : a. Kematian. b. Ketidakhadiran di tempat oleh salah satu pihak selama 10 tahun dan diikuti dengan perkawinan baru oleh suami atau isteri sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 199 jo pasal 493-495 B.W.. c. Keputusan hakim sesudah pisah meja dan tempat tidur yang didaftarkan dalam daftar Catatan Sipil (Pasal 199 jo Pasal 200-206b B.W.). d. Perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga Bab 10 (Pasal 207-232a B.W.). Penulis akan menguraikan sedikit penjelasan dari salah satu penyebab putusnya perkawinan dari bermacam-macam penyebab putusnya perkawinan tersebut di atas, yaitu perceraian. 2. Tinjauan Umum tentang Perceraian. a. Pengertian Perceraian. Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu (Subekti, 1995 : 42). Pendapat lain mengenai perceraian adalah salah satu cara pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu, melalui
lxxiv
keputusan hakim yang didaftarkannya pada Catatan Sipil (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 135). Sementara itu perceraian dalam istilah Figh disebut ”talak” atau ”furqah”. Adapun arti daripada talak ialah membuka ikatan membatalkan perjanjian. Sedangkan ”Furqah” artinya bercerai, yaitu lawan dari berkumpul (Soemiyati, 1986 : 103). Kemudian kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu istilah, yang berarti : perceraian antara suami isteri. Perkataan talak dalam istilah Figh mempunyai dua arti, yaitu arti yang umum dan arti yang khusus. Talak menurut arti yang umum ialah segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh Hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri (Soemiyati, 1986 : 103). Talak dalam artinya yang khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami (Soemiyati, 1986 : 104). b. Alasan-alasan Perceraian. Dalam Pasal 209 B.W., disebutkan beberapa alasan dari perceraian, yaitu : 1) Zina. 2) Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk. 3) Dikenakan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat lagi, setelah dilangsungkan perkawinan. 4) Pencideraan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah seorang dari suami isteri itu terhadap yang lainnya sedemikian rupa,
sehingga
membahayakan
keselamatan
jiwa,
atau
mendatangkan luka-luka yang berbahaya. Sedangkan alasan perceraian dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
lxxv
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 19, adalah : 1) Salah satu pihak zina, pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit untuk disembuhkan. 2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturutturut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4) Salah
satu
pihak
melakukan
penganiayaan
berat
yang
membahayakan pihak yang lain. 5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri. 6) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. c. Gugurnya Hak untuk Menuntut Perceraian. Hak untuk menuntut perceraian menjadi gugur, apabila (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan , 2000 : 145) : 1) Terjadi perdamaian (verzoening atau rujuk) antara suami dengan isteri. Perdamaian guna menggugurkan hak untuk menuntut perceraian dapat terjadi, baik sebelum maupun sesudah gugat diajukan (Pasal 216 B.W.). 2) Dasar tuntutan perceraian adalah Pasal 209 sub 2 B.W., dan pihak yang meninggalkan rumah bersama tanpa alasan yang sah telah beralih ke rumah tersebut (Pasal 218 B.W.). 3) Suami atau isteri yang telah dipidana oleh hakim pidana karena berzinah atau telah dijatuhi pidana selama 5 tahun atau lebih berat, dan pihak yang lain tidak mengajukan gugat cerai dalam waktu 6 bulan setelah keputusan tersebut mempunyai kekuatan yang tetap.
lxxvi
4) Alasan-alasan yang dapat digunakan untuk menuntut gugat cerai telah diajukan sebagai alasan untuk gugat pisah meja dan tempat tidur (Pasal 235 B.W.), 5) Salah satu pihak meninggal dunia sebelum putusan cerai dijatuhkan. d. Akibat-akibat Perceraian. Akibat perceraian dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah : 1) Bapak dan ibu tetap berkewajiban untuk mendidik dan memelihara anak dan apabila ada perselisihan mengenai penguasaan maka Pengadilan yang memberi keputusan. 2) Bapak bertanggung-jawab dalam pembiayaan atas pemeliharaan dan mendidik anak. Apabila bapak dalam kenyataannya tidak mampu melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu juga ikut memikul biaya tersebut. 3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban kepada bekas isteri. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dicantumkan suatu asas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, dengan pengertian bahwa untuk itu perlu dipersukar terjadinya perceraian. 3. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan dan Ketentuan Hukum yang Digunakan bila Terjadi Perceraian. Mengenai banyaknya pengaturan akan hukum perkawinan ini, sebenarnya bangsa Indonesia telah lama mempunyai cita-cita untuk memiliki satu peraturan tentang perkawinan yang bersifat nasional, dalam arti berlaku untuk seluruh golongan masyarakat bangsa Indonesia dan berlaku untuk seluruh wilayah negara Indonesia. Cita-cita tersebut disebut dengan cita-cita akan unifikasi peraturan perkawinan dan cita-cita tersebut telah diwujudkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
lxxvii
Perkawinan (beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya), yang telah mendapat pengesahan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974, dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974, karena itu orang seringkali menyebutnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 atau Undang-undang Perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang terdiri atas 14 Bab yang meliputi 67 pasal ini, mengatur hal-hal sebagai berikut (K. Wantjik Saleh, 1976 : 4) : a. Dasar perkawinan (Bab I : Pasal 1 sampai dengan pasal 5). b. Syarat-syarat perkawinan (Bab II : Pasal 6 sampai dengan pasal 12). c. Pencegahan perkawinan (Bab III : Pasal 13 sampai dengan pasal 21). d. Batalnya perkawinan (Bab IV : Pasal 22 sampai dengan pasal 28). e. Perjanjian perkawinan (Bab V : Pasal 29). f. Hak dan kewajiban suami isteri (Bab VI : Pasal 30 sampai dengan pasal 34). g. Harta benda dalam perkawinan (Bab VII : Pasal 35 sampai dengan pasal 37). h. Putusnya perkawinan serta akibatnya (Bab VIII : Pasal 38 sampai dengan pasal 41). i. Kedudukan anak (Bab IX : Pasal 42 sampai dengan pasal 44). j. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak (Bab X : Pasal 45 sampai dengan pasal 54). k. Perwalian (Bab XI : Pasal 50 sampai dengan pasal 54). l. Pembuktian asal usul anak (Bab XII : Bagian Pertama ; Pasal 55). m. Perkawinan di luar Indonesia (Bab XII : Bagian Kedua ; Pasal 56). n. Perkawinan campuran (Bab XII : Bagian Ketiga ; Pasal 57 sampai dengan pasal 62). o. Pengadilan (Bab XII : Bagian Keempat ; Pasal 63). p. Ketentuan peralihan (Bab XIII : Pasal 64 sampai dengan pasal 65). q. Ketentuan penutup (Bab XIV : Pasal 66 sampai dengan pasal 67).
lxxviii
Kita dapat katakan, bahwa Undang-undang Perkawinan (Undangundang Nomor 1 Tahun 1974) berisi ketentuan-ketentuan tentang hukum keluarga. Hubungan yang muncul dari hubungan kekeluargaan meliputi antara lain (J. Satrio, 1991 : 4) : a. Perkawinan, dalam mana termasuk hubungan hukum kekayaan antara suami isteri b. Hubungan orang tua dan anak c. Hubungan wali dan anak yang dibawah perwaliannya d. Hubungan curator dan curandus Sehingga hukum keluarga meliputi perkawinan dengan semua segiseginya, akibat yang timbul dari adanya perkawinan (peristiwa-peristiwa hukum yang hanya mungkin timbul karena adanya perkawinan) dan bahkan seringkali mengatur hubungan antara orang dengan anak luar kawinnya, yang tidak dapat dikatakan merupakan akibat suatu perkawinan, karena memang antara si bapak dengan si ibu yang melahirkan anak tersebut tidak ada ikatan perkawinan. Walaupun demikian kiranya tidak ada tempat yang lebih tepat untuk mengatur hal tersebut selain dalam hukum keluarga dan sampai kini tidak ada yang menyatakan keberatannya (J. Satrio, 1991 : 4). Perkawinan mempunyai akibat hukum tidak hanya terhadap diri pribadi mereka-mereka yang melangsungkan perkawinan. Hak dan kewajiban yang mengikat pribadi suami-isteri tetapi lebih dari itu mempunyai akibat hukum pula terhadap harta suami isteri tersebut. Hubungan hukum kekeluargaan dan hubungan hukum kekayaan terjalin sedemikian eratnya sehingga keduanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Hubungan hukum kekeluargaan menentukan hubungan hukum kekayaannya dan hukum harta perkawinan tidak lain merupakan hukum kekayaan keluarga (J. Satrio, 1991 : 4). Mengenai cara pengaturan dan asas-asas hukum perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka akan nampak pada kita bahwa Undang-undang tersebut hanya mengatur hal-hal
lxxix
yang pokok saja, mengenai asas-asas saja, sedang penjabarannya lebih lanjut didasarkan atas ketentuan lain atau akan dituangkan dalam peraturan pelaksanaannya yang akan dibuat kemudian (tersendiri). Kesimpulan yang demikian didasarkan atas adanya kata-kata “....menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya....”, “....menurut perundang-undangan yang berlaku....”, “....diatur menurut hukumnya masing-masing” atau “....diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri”. Selain mempunyai cara-cara pengaturan seperti tersebut di atas, Undang-undang Perkawinan ini juga didasarkan atas asas-asas tertentu yang perlu mendapat perhatian kita untuk dapat memahaminya lebih lanjut. Berdasar ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1993 Nomor 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S. 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Ketentuan
tersebut
menghapus
semua ketentuan
yang mengenai
perkawinan, sepanjang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain yang sudah disebutkan di dalam isi pasal tersebut, Pasal 66 juga menghapus peraturan-peraturan lain yang meliputi semua ketentuan yang ada di luar peraturan-peraturan yang telah disebutkan di atas, termasuk di dalamnya ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis atau Hukum Adat. Dari isi pasal tersebut, untuk ketentuan-ketentuan yang perlu pengaturan lebih lanjut sebelum ada peraturan pelaksanaannya belum dapat dilaksanakan. Hal ini diperkuat dengan isi Pasal 67, yang mengatakan bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
lxxx
diundangkan, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kemudian Pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tertanggal 1 April 1975 dengan judul Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang memuat Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Tetapi sayang sekali, karena di dalamnya hanya memuat peraturan pelaksanaan sebagian dari Undang-undang Perkawinan saja. Sehingga ada bagian-bagian yang belum siap peraturan pelaksanaannya. Jika ada pengadilan-pengadilan yang memperoleh perkara mengenai permasalahan yang belum ada peraturan pelaksanaannya, maka timbul keragu-raguan pada Pengadilan-pengadilan yang sesudah tanggal tersebut menerima perkara. Karena akan menggunakan ketentuan hukum yang mana sebagai patokan atau pegangan. Adanya permasalahan ini, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Nomor M.A./Pemb./0807/75 dengan judul Petunjuk-petunjuk M.A. mengenai Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan P.P. Nomor 9 tahun 1975 untuk memberikan pedoman kepada Badan Peradilan yang ada di bawahnya untuk mengatasi keragu-raguan dalam menangani kasus-kasus yang belum ada peraturan pelaksanaannya. Walaupun Surat M.A. bukan merupakan ketentuan umum, tetapi mengingat peraturan tersebut ditujukan kepada Pengadilan dan Pengadilan Tinggi, masyarakat akan berusaha untuk menyesuaikan tindakan dan keputusannya dengan surat tersebut. Mengingat M.A. adalah sebagai penjaga gawang yang terakhir. Mengenai pengertian “belum dapat diberlakukan secara efektif” adalah berarti belum bisa diterapkan dalam kasus yang muncul dalam praktek karena belum ada peraturan pelaksanaannya. M.A. sendiri telah mengemukakan pendiriannya seperti itu, seperti yang nampak pada keputusannya tanggal 15 Februari 1977 Nomor 726K/Sip/1976, dalam mana dipertimbangkan, bahwa “sekalipun Undang-undang Nomor 1
lxxxi
Tahun
1974
tentang
Perkawinan
telah
berlaku,
tetapi
untuk
pelaksanaannya masih memerlukan peraturan pelaksanaannya dan karena hingga kini peraturan pelaksanaannya yang mengatur sebagai pengganti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam B.W. belum ada, maka bagi penggugat dan tergugat yang adalah WNI keturunan Cina masih berlaku ketentuan-ketentuan
mengenai
perkawinan
yang
tercantum
dalam
KUHPerdata (B.W.). Ada berbagai pemikiran, apakah surat M.A. tersebut benar harus ditafsirkan demikian yang dengan kata lain berarti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk sementara sepanjang mengenai bagian yang belum ada peratuan pelaksanaannya paling tidak untuk mereka-mereka yang tunduk pada B.W. boleh kita abaikan atau dengan perkataan lain kita anggap seakan-akan tidak ada. Apakah penafsiran seperti itu sudah betul atau belum? Penulis mencoba menghubungkan kata-kata “….belum dapat diperlakukan secara efektif….” dengan anak kalimat selanjutnya “....dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan lama”. Analisis Penulis dari kalimat ini adalah bahwa penyebab Undang-undang perkawinan belum dapat dilaksanakan secara efektif adalah karena belum adanya peraturan pelaksanaan. Namun peraturan pokoknya sudah ada, hanya peraturan pelaksanaannya saja yang belum. Kemudian kata-kata “….dengan sendirinya....”, bisa diartikan peraturan pelaksanaannya masih menggunakan ketentuan lama. Sehingga pokoknya atau asasnya kita pakai ketentuan Undang-undang Perkawinan sedangkan pelaksanaannya masih menggunakan ketentuan lama. Akan tetapi bahwa seluruh ketentuan-ketentuan hukum tersusun di dalam suatu sistem, di dalam mana tidak boleh ada pertentangan antara ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain. Konsekuensinya adalah bahwa kalau kita mau menggunakan ketentuan lama sebagai peraturan pelaksanaan
Undang-undang
Perkawinan,
didasarkan atas asas-asas yang sama.
lxxxii
maka
keduanya
harus
Mengenai ketentuan perjanjian perkawinan, dimana isi perjanjian perkawinan berdampak sangat luas terhadap harta perkawinan, maka kita harus berhati-hati mengenai pengaturannya. Apabila kita akan menerapkan ketentuan hukum dalam Undang-undang Perkawinan sebagai pokok terhadap mereka yang tunduk pada B.W. dan menggunakan ketentuan B.W. sebagai peraturan pelaksanaannya, kita harus mengetahui terlebih dahulu apakah antara keduanya tidak ada perbedaan dalam asasnya. Akan tetapi, antara B.W. dan Undang-undang Perkawinan terdapat perbedaan asas yang cukup besar. Sehingga tidak begitu saja ketentuan B.W. dipakai terutama bagi orang-orang yang tunduk pada B.W. Sehingga kata-kata “….masih diperlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan yang lama” berarti benar-benar belum dapat dilaksanakan dan bagi mereka masih berlaku ketentuan lama atau B.W. dengan konsekuensinya untuk sementara ketentuan dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagi mereka boleh kita abaikan. Kita akan meninjau Undang-undang Pekawinan dengan Hukum Adat. Permasalahan disini tetap sama, yaitu peraturan pokoknya sudah ada dan peraturan pelaksanaannya belum ada. Tetapi permasalahan akan lain kalau peraturan pelaksanaan yang akan dipinjam adalah dari Hukum Adat, karena menurut pendapat para pakar hukum perdata, hukum harta perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan mendasarkan pada asas Hukum Adat. Sehingga mengenai pengaturan perjanjian perkawinan juga didasarkan pada Hukum Adat, karena isi perjanjian perkawinan adalah mengenai harta dalam perkawinan. Hal ini tidak berarti yang berlaku adalah Hukum Adat. Tetapi hukum harta perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan mengambil prinsip yang sama dengan Hukum Adat, karena asasnya sama, maka kita tidak heran kalau mereka berpendapat bahwa hukum harta perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan sudah dapat dilaksanakan tanpa menunggu peraturan pelaksanaannya.
lxxxiii
Mahkamah
Agung
sendiri
dalam
salah
satu
keputusannya
mempertimbangkan, bahwa “.... terutama setelah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku sebagai hukum positif, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga....”. Di sini dapat disimpulkan bahwa M.A. sendiri pernah berpendapat bahwa Undang-undang Perkawinan sudah berlaku tanpa menunggu peraturan pelaksanaannya lebih lanjut. Tinjauan lain adalah terhadap Keputusan Pengadilan sesudah tahun 1975 yang mengadili perkara mengenai harta perkawinan. Bahwa perkara yang mana pihaknya tunduk kepada Hukum Adat, banyak keputusan yang mendasarkan pada Hukum Adat. Hal ini nampak pada masih digunakannya istilah harta gono-gini, harta suarang atau serikat dan harta asal. Memang antara hukum harta perkawinan menurut Hukum Adat dan menurut Undang-undang Perkawinan ada persamaan asas yang cukup besar. Tetapi bukan berarti bahwa hukum harta perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan adalah Hukum Adat, yang benar adalah mendasarkan pada asas Hukum Adat. Apalagi berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Perkawinan semua ketentuan hukum lama mengenai halhal yang sudah ada pengaturannya di dalam Undang-undang Perkawinan tidak berlaku lagi, tentunya termasuk juga istilah-istilah Hukum Adat, yang sudah ada istilahnya tersendiri dalam Undang-undang Perkawinan, dengan cara berfikir seperti itu, maka Hukum Adat selanjutnya hanya dipakai sebagai peraturan pelaksanaannya saja dan ketentuan Undangundang Perkawinan tetap sebagai pokok. Kenyataan bahwa Pengadilan tanpa penjelasan apa-apa masih menggunakan istilah-istilah adat, memberikan petunjuk kepada kita bahwa pengadilan masih berpendapat bahwa bagi mereka yang tunduk pada Hukum Adat masih berlaku Hukum Adat. Namun bagi mereka yang tunduk pada B.W., Undang-undang Perkawinan belum dapat dilaksanakan. Jadi Surat M.A. ditafsirkan khususnya untuk hukum harta perkawinan masih berlaku ketentuan-ketentuan lama.
lxxxiv
Pendapat dan pikiran seperti tersebut berlangsung bertahun-tahun, sampai M.A. memberikan suatu keputusan yang mengejutkan, yaitu Keputusan Nomor 2690K/Pdt/1985 yang menetapkan, bahwa untuk penjualan harta besama harus ada persetujuan dari suami atau isterinya, dan persetujuan di sini diartikan sebagai persetujuan secara tegas. Sekalipun keputusan tersebut bukan merupakan ketentuan umum dan belum tentu M.A. dalam kasus-kasus berikutnya yang sejenis akan memberikan keputusan yang sama. Namun mengapa keputusan tersebut mengejutkan?
Sebelum
itu
M.A.
dalam
Keputusannya
Nomor
263K/Sip/1976 tertanggal 13 November 1978 sudah mengatakan bahwa penjualan harta bersama harus dengan persetujuan isteri atau paling tidak istri ikut hadir pada waktu jual beli diadakan. Mengapa pada waktu itu tidak ada reaksi apa-apa, seakan-akan bukan kejutan? Karena dalam keputusan tersebut para pihaknya adalah orang-orang yang tunduk pada Hukum Adat dan antara Hukum Adat dan Undang-undang Perkawinan ada persamaan dalam asasnya. Orang tidak merasakan perubahan dalam pelaksanaan hukum harta perkawinan dalam keputusan tersebut. Tetapi masalahnya menjadi lain kalau para pihaknya dalam peristiwa tersebut adalah orang-orang yang tunduk pada B.W.. Keputusan tersebut diatas pengaruhnya akan besar sekali terhadap mereka, karena mereka dalam tindakan hukumnya selama ini mendasarkan kepada ketentuan yang selama ini mereka anggap masih tetap berlaku yaitu ketentuan B.W. khususnya Pasal 124. Atas dasar apa yang dikemukakan di atas, maka Keputusan M.A. tersebut yang mengatakan bahwa “Yurisprudensi M.A. Nomor 681K/Sip/1975 dan berdasarkan Pasal 36 ayat 1 Undang-undang Perkawinan sudah menentukan bahwa untuk penjualan harta bersama harus ada persetujuan isteri atau suami”, bila dibenarkan bagi merekamereka yang tunduk pada Hukum Adat, tetapi adalah tidak tepat bagi mereka yang tunduk pada B.W. Mengingat perjanjian perkawinan berisi mengenai harta dalam perkawinan, dan berdasar Surat Edaran M.A. mengenai Petunjuk-petunjuk
lxxxv
Mahkamah Agung mengenai Pelaksanaan Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam point 4 yaitu, “Harta benda dalam perkawinan, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak serta perwalian, ternyata tidak diatur dalam P.P. tersebut karenanya belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan lama”. Sekalipun Surat Mahkamah Agung bukan merupakan ketentuan umum, tetapi mengingat peraturan tersebut ditujukan kepada Pengadilan dan Pengadilan tinggi, yang tidak lain adalah badan yang akan menampung masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan secara damai antara pihak, dengan Mahkamah Agung sebagai penjaga gawang yang terakhir, maka dapat diharapkan bahwa anggota masyarakat akan berusaha untuk menyesuaikan tindakan dan keputusannya dengan Surat tersebut. Perbedaan pendapat dalam menemukan kepastian hukum itu adalah hal yang biasa, namun di sini bahwa persetujuan-persetujuan antara pihakpihak yang berkepentingan, yang kemudian menjadi “perjanjian” disebut juga sebagai sumber hukum formil. Activa membuat perjanjian oleh pihakpihak itu dinamakan : perbuatan hukum. Selanjutnya hasil dari activa itu ialah terciptanya ketentuan-ketentuan yang merupakan isi dari perjanjian tersebut, dan merupakan ketentuan yang mengikat para pihak yang membuatnya secara syah. Syahnya suatu perjanjian yang dibuat oeh para pihak yang berkepentingan, memang harus dipenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan atau ditetapkan dalam peraturan hukum atau Undang-undang
(J.D.
Sihombing
Purwoatmodjo,
C.
Gunarti
Purwoatmodjo, Rachmadi, 1999 : 131). Di Indonesia, berlaku ketentuan dari Pasal 1320 B.W., yaitu bahwa untuk syahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat, yaitu : a. Sepakat (persesuaian kehendak) mereka yang mengikatkan diri. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan atau perjanjian. c. Mengenai hal tertentu.
lxxxvi
d. Oleh suatu sebab yang halal. Dalam sistem Buku III B.W., bahwa Buku III B.W. terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian umum memuat peraturanperaturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Bagian khususnya memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan yang sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual beli, sewa-menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian (schenking) dan lain sebagainya (Subekti, 1995 : 127). Buku III B.W. ini menganut asas kebebasan dalam membuat perjanjian yang dapat disimpulkan dari Pasal 1338 B.W., yang berisi : “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-undang berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam isi Pasal 1338 tersebut, maka Penulis dapat menyimpulkan bahwa semua persetujuan ataupun perjanjian yang dibuat dapat berlaku sebagai Undang-undang dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya. Buku III B.W. memberikan kebebasan seseorang membuat suatu perjanjian. Asalkan perjanjian tersebut tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan yang diatur di dalam Buku III B.W.. Tetapi pada umumnya juga diperbolehkan mengesampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam Buku III B.W. itu. Dengan kata lain peraturan-peraturan yang disediakan dalam Buku III B.W. ini dipakai untuk para pihak yang berkontrak tidak menentukan atau tidak membuat peraturan sendiri. Dengan kata lain peraturan-peraturan dalam Buku III B.W., pada umumnya hanya merupakan hukum pelengkap saja. Hukum pelengkap, yaitu hukum yang mempunyai sifat fakultatif artinya mengikat mutlak atau tidak wajib dipenuhi, dan dapat dikesampingkan jika di dalam hubungan konkrit (perjanjian) para pihak membuat peraturan sendiri. Maka hukum pelengkap adalah bersifat tidak
lxxxvii
memaksa dan bersifat melengkapi. Sering disebutkan sebagai hukum yang mengatur, tetapi hal ini sebenarnya tidak tepat, karena setiap hukum adalah bersifat mengatur (J.D. Sihombing Purwoatmodjo, C. Gunarti Purwoatmodjo, Rachmadi, 1999 : 138). Sehingga disini Penulis dapat menyimpulkan berdasar metode penafsiran sistematis bahwa karena di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara rinci mengenai perjanjian perkawinan, maka berdasar Pasal 66 Undang-undang tersebut bahwa ketentuan lama dapat dipakai sebagai peraturan pelaksanaan bisa digunakan. Sebatas Undang-undang Perkawinan belum mengatur saja. Namun di dalam Buku III B.W. pasal 1338 menyatakan bahwa persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-undang dapat berlaku sebagai Undangundang bagi yang membuatnya, karena perjanjian antara pihak-pihak juga merupakan sumber hukum formil. Sehingga di dalam perjanjian perkawinan, ketentuan hukum yang dipakai sebagai pegangan dalam Hakim memutus persoalan apabila kedua belah pihak dalam hal ini suamiisteri bercerai adalah isi perjanjian perkawinan tersebut. Mengenai tujuan awal dibuatnya perjanjian perkawinan, antara lain adalah : a.
Membatasi atau meniadakan sama sekali kebersamaan harta kekayaan menurut undang-undang.
b.
Mengenai pemberian-pemberian hadiah (schenking) dari suami kepada isteri atau sebaliknya, atau pemberian hadiah timbal balik antara suami dan isteri (Pasal 168 B.W.).
c.
Membatasi kekuasaan suami terhadap barang-barang kebersamaan yang ditentukan oleh Pasal 124 ayat 2 B.W., sehingga tanpa bantuan isterinya, suami tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat memutus (beschikken). Hal yang sama berlaku juga terhadap benda-benda bergerak maupun tak bergerak yang dibawa isteri
lxxxviii
(aanbrengst) atau terhadap benda-benda yang diperolehnya sepanjang perkawinan yang beratasnamakan isteri (Pasal 140 ayat 3 B.W.). d.
Sebagai testamen dari suami untuk isteri atau sebaliknya, atau testamen timbal balik (Pasal 169 B.W.).
e.
Pemberian hadiah (schenking) oleh pihak ketiga kepada suami dan atau isteri (Pasal 176 B.W.).
f.
Sebagai testamen dari pihak ketiga kepada suami dan atau isteri (Pasal 178 B.W.).
g. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak daripada pihak yang lain. h. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst) yang cukup besar. i. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata salah satu jatuh failliet, yang lain tidak tersangkut. j. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung-jawab sendiri-sendiri. Sehingga karena perjanjian perkawinan dipakai oleh Hakim sebagai pegangan dalam memutus perkara mengenai harta dalam perkawinan, diharapkan sesuai dengan tujuan dipakainya perjanjian perkawinan, maka aset dan kepentingan para pihak dalam hal ini adalah suami dan isteri dapat terlindungi.
lxxxix
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan. Penulis memberikan beberapa kesimpulan dari skripsi ini, antara lain : 1. Bahwa perjanjian perkawinan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diperkenankan. Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan tersebut terdapat di dalam Pasal 29. Namun mengenai pengaturannya tidak selengkap seperti di dalam B.W.. Pasal 29 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur mengenai saat berlakunya perjanjian perkawinan, siapa yang berwenang dalam pembuatan perjanjian perkawinan, bentuk perjanjian perkawinan dan mengenai pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan. Berdasar ketentuan dalam Pasal 66, maka pengaturan dalam B.W. masih dapat dipakai lagi. Sejauh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengaturnya. 2. Ketentuan hukum yang dipakai sebagai pegangan apabila suami isteri bercerai dimana perkawinan mereka menggunakan perjanjian perkawinan adalah isi dari perjanjian perkawinan itu sendiri. Sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka
yang
membuatnya. Sehingga isi dari perjanjian perkawinan dapat menjadi Undang-undang bagi pihak yang membuatnya, pihak yang dimaksud di sini adalah suami isteri. Apabila kedua belah pihak tidak mengatur ketentuannya, maka yang dipakai adalah ketentuan dalam KUHPerdata. Dan karena perjanjian perkawinan dipakai oleh Hakim sebagai pegangan dalam memutus perkara mengenai harta dalam perkawinan, diharapkan sesuai dengan tujuan dipakainya perjanjian perkawinan, maka aset dan kepentingan suami isteri tersebut dapat terlindungi.
xc
B. Saran. Penulis memberikan saran, yaitu : karena Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan hasil dari keinginan dan citacita masyarakat Indonesia untuk mempunyai Undang-undang Perkawinan secara nasional dan berlaku bagi seluruh wilayah negara Indonesia, seharusnya mengenai pengaturannya bisa lebih diperinci seperti pengaturan yang terdapat di dalam B.W.. Sehingga kepastian dalam pemakaian ketentuan hukum bisa dipegang dan tujuan utama pembuatan perjanjian perkawinan untuk melindungi kepentingan dan aset para pihak dapat tercapai.
xci
DAFTAR PUSTAKA
A. Ridwan Halim. 1986. Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab. Jakarta : Ghalia Indonesia Akar-akar
RUU
Perkawinan
Tahun
1973
di
Indonesia.
http://ikadabandung.wordpress.com. (23 Februari 2008 pukul 15.13). Ali Afandi. 1997. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta : PT Rineka Cipta. Citra Umbara. 2007. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung. Dardiri Hasyim H.A.. 2004. Amandemen KUH Perdata Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional. Surakarta : Sebelas Maret University Press. I.S. Adiwimarta. 1992. H.F.A. Vollmar Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I. Jakarta : CV Rajawali. Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja. 2004. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Komar Andasasmita. 1983. Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia. Bandung : Alumni. Lexy J. Moleong. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Salim H.S. 2002. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (B.W.). Jakarta : Sinar Grafika. Satrio, J. 1991. Hukum Harta Perkawinan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Sihombing Purwoatmodjo J.D, Gunarti Purwoatmodjo, Rachmadi. 1999. Pengantar Ilmu Hukum. Surakarta : Departemen Pendidikan Dan kebudayaan Republik Indonesia Universitas Sebelas Maret. Simorangkir J.C.T, Rudy T. Erwin, Prasetyo J.T.. 2002. Kamus Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. Soedharyo Soimin. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : Sinar Grafika.
xcii
Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan). Yogyakarta : Liberty. Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. --------------------.2003. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Soetojo Prawirohamidjojo, R., Asis Safioedin. 1982. Hukum Orang Dan Keluarga. Bandung : Alumni. Soetojo Prawirohamidjojo
R, Marthalena Pohan. 2000. Hukum Orang Dan
Keluarga (Personen En Familie-Recht). Surabaya : Airlangga University Press. Soetojo Prawirohamidjojo, R., Soebijono Tjitrowinoto. 1986. Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia. Surabaya : Airlangga University Press. Subekti. 1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta : PT. Intermasa Sudikno Mertokusumo, Pitlo. 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bakti Surat Edaran Mahkamah Agung Mengenai Petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. http://www.gtzggpas.or.id. (25 Februari 2008 pukul 10.20). Wantjik Saleh, K. 1976. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia Wirjono Prodjodikoro, R. 1981. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta : Sumur Bandung. Yudha Bhakti Ardhiwisastra. 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung : Alumni.
xciii