PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Abber Hasibuan
Abstrak
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam dengan rangkaian diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan mempelai laki-laki atau waliya, serta disaksikan oleh minimal 2 orang saksi. Putusnya perkawinan selain cerai mati, juga hanya dapat dibuktikan dengan akta cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik perceraian berbentuk ikrar talak, khulu‟ atau putusan taklik talak. Jadi peraturan perkawinan menurut tuntunan Islam merupakan tuntutan yang wajib dipedomani sehingga tujuan perkawinan tidak lain hanya untuk memenuhi tuntutan agam dan petunjuk naluri dengan tujuan untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan memenuhi panggilan agama memelihari diri dari kejahatan dan kerusakan, membangun rumah tangga atas dasar cinta dan kasih sayang.
Kata kunci: akibat putusnya perkawinan
1
A. PENDAHULUAN Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga sejahtera artinya menciptakan ketenangan lahir batin disebabkan terpenuhinya kebutuhan hidup lahir dan batin, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga. Manusia diciptkan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan Allah SWT untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq Penciptanya dengan segala aktivitas hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi manusia antara lain adalah kebutuhan biologisnya termasuk aktivitas hidup, agar manusia menuruti tujuan kejadiannya, Allah SWT mengatur hidup manusia dengan aturan perkawinan. Jadi aturan perkawinan menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan perkawinan hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama.
Sehingga kalau diringkas ada dua tujuan orang
melangsungkan perkawinan ialah memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama.
Mengenai naluri manusia seperti tersebut pada Surat Ali Imran: dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).1 (QS.3:14) Dari ayat di atas jelas bahwa manusia mempunyai kecenderungan cinta kepada wanita, cinta terhadap anak keturunan dan cinta terhadap harta kekayaan. Dan dalam pada itu manusia mempunyai fitrah mengenal Tuhan sebagaimana tersebut pada Surat Ar-Rum ayat 30:
1
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjmahnya, (Jakarta: CV.Nala Dana, 2007), h. 64
2
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.2 (QS. 30:30) Melihat tujuan di atas dan memperhatikan uraian Imam Al-Ghazali dalam ‘Ihya-nya tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima, yaitu: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan. 2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya. 3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. 4. Memenuhi kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak dan kewajiban. 5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.3 Awal hidup berumah tangga, biasanya dipandang sebagai pintu kebahagiaan. Segala macam harapan kebahagiaan ditumpahkan pada lembaga keluarga. Akan tetapi setelah periode impian indah terkampaui, orang harus menghadapi realitas kehidupan. Sunnah kehidupan ternyata adalah problem, problem sepanjang masa. Tidak ada seorangpun yang hidupnya terbebas dari problem. Ukuran keberhasilan hidup justru terletak pada kemampuan seseorang mengatasi problem. Sebaik-baiknya mukmin adalah orang yang selalu diuji tetapi lulus terus, khiyar al-mu’minin muttafanun wa tawwabun. Problem itu sendiri merupakan ujian hidup dari Tuhan, siapa di antara mereka berpikir positif, sehingga dari problem tersebut justru lahir kebaikan, liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala. Karena itu sering kita dengar ungkapan bahwa mengarungi kehidupan tak ubahnya mengarungi samudera, terkadang lautan tenang dan angin semilir, tetapi terkadang tanpa diduga datang ombak besak. Bagi orang yang paham sunnatullah laut, maka ia bisa berhitung kapan musim ombak besar dan kapan musim tenang. Tetapi kehidupan juga sering diungkapkan sebagai tersandung di jalan rata, terpeleset oleh kerikil kehidupan dan 2 3
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjmahnya, (Jakarta: CV.Nala Dana, 2007), h. 574 Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 24
3
lain sebagainya. Tiap ruma tangga memiliki problem spesifik, tetapi problem yang sering berkembang menjadi batu sandungan hampir sama karakteristiknya, yaitu: (a) persepsi terhadap rezeki, (b) egoisme, (c) perkembangan psikologi pasangan.4 Persoalan saluran rezeki bisa menjadi problem ketika orang memandang bahwa rezeki itu hanya rezekinya, bukan rezeki keluarga. Suami yang sukses kemudian menjadi GR, memandang rendah isterinya yang cuma di rumah. Ketika saluran rezeki pindah lewat isterinya, sang isteri kemudian menjadi GR, memandang sebelah mata kepada suaminya. Inilah yang kemudian sering menjadi kerikil tajam, meskipun rezeki melimpah, padahal sebenarnya rezeki itu adalah rezeki bersama. Dalam rumah tangga sifat egois dan tinggi harga diri sering mengubah keadaan yang normal menjadi tidak normal. Apa yang sebenarnya proporsional, dipersepsikan menjadi terbalik, misalnya dengan tidak menghargai, menyakiti dan lain sebagainya. Sehingga apa yang mestinya seiring sejalan, berubah menjadi seolah-olah ada yang bersikap mengerjain. Dan adapun yang merasa seolah-olah menjadi korban. Adakalanya suami atau isteri yang merasa selalu disakiti, padahal tidak ada yang menyakitinya. Merasa seolah-olah tidak dihargai, padahal harga seseorang telah melekat pada dirinya. Masalah-masalah tersebut di atas bilaman tidak disikapi dengan baik, maka akan berujung pada berakhirnya perkawinan atau putusnya perkawinan. Ada beberapa hal yang menyebabkan putusnya perkawinan yaitu kematian, perceraian dan putusan Pengadilan. Dengan terputusnya ikatan perkawinan maka akan membawa kepada akibat hukum seperti masalah hadhanah, ‘iddah, nafkah, harta dan lain sebagainya. Maka dalam jurnal ini penulis mencoba membahas masalah-masalah tersebut di atas dalam bagian pembahasan di bawah ini:
B. PEMBAHASAN 1. Putusnya Perkawinan Pada prinsipnya tujuan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Pasal 1 menegaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
4
Said Husen Al-Munawar, dkk., Agenda Generasi Muda Intelektual, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 73
4
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5 Untuk menjelaskan poin 4 huruf a menyatakan, suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadianya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.6
Karena itu Undang-undang ini juga menganut asas atau
prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian itu harus ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan sidang pengadilan. Dalam Islam perceraian pada prinsipnya dilarang, ini dapat dilihat pada isyarat Rasulullah SAW, bahwa talak atau perceraian perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah.
)أبغض الحالل الى اهلل الطالق (رواه ابو داود وابن ماجو و الحاكم Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian). (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Ibnu Umar).7
Karena itu, isyarat tersebut menunjukkan bahwa talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir, sebagai pintu darurat yang oleh ditempuh manakala bahtera
rumah
tangga
tidak
dapat
dipertahankan
lagi
keutuhan
dan
kesinambungannya. Sifatnya sebagai alternatif terakhir, Islam menunjukkan agar sebelum terjadi perceraian, ditempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak.8 Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutuskan perkawinan yaitu: a. Terjadinya nusyuz dari pihak isteri. b. Terjadinya nusyuz dari pihak suami. c. Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan isteri, yang ada dalam Al-Qur‟an disebut dengan syiqaq. d. Terjadinya salah satu pihak melakukan zina atau fahisya yang menimbulkan saling tuduh-menuduh antara keduanya. Untuk kemungkinan huruf a, b, dan c alternatif penyelesaiannya bertujuan untuk membendung agar perkawinan tidak terputus, kecuali usaha yang dilakukan gagal, sedangkan kemungkinan huruf d yaitu li’an karena salah satu melakukan 5
Inpres No. 1Tahun 1991, Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum Pusat Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004), h. 117 6 Inpres No. 1Tahun 1991, Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum Pusat Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004), h. 232 7 Jalal al-Din al-Sayuti, al-Jami’ al-Shaghir, Juz I, (Bandung: Al-Ma‟arif: tt.), h. 5 8 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1998), h. 268
5
fakhisyah – terlebih lagi terbukti melakukan zina, maka penyelesaiannya jelas akan memutuskan tali perkawinan.9 Masalah putusnya perkawinan serta akibatnya. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengaturnya dalam Bab VIII Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Tata cara perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 14 sampai dengan pasal 36 dan hal-hal teknis lainnya dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975.10 Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena: a. Kematian; b. Perceraian; c. Atas putusan pengadilan. Pasal 39: (1) perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak dapat hidupp rukun sebagai suami isteri. (3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Pasal 40: (1) Gugatan perceraian diajukan kepala pengadilan. (2) Tata cara pengajuan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal inni diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.11 Dalam Kompilasi diatur lebih rinci mulai sebab-sebab perceraian, tata cara dan akibat hukumnya dalam Bab XVI Pasal 113 sampai dengan Pasal 162. Pasal 113 Kompilasi sama dengan Pasal 38 Undang-undang Perkawinan Pasal 114: “putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.” Pasal 115 KHI menegaskan bunyi Pasal 39 Ayat (1) sesuai dengan konsern KHI yaitu untuk orang Islam: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah 9
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1998), h. 269-270 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1998), h. 274 11 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Dirjen Peradilan Agama, 2004), h. 125 10
6
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”12 Mengenai alasan-alasan terjadinya perceraian dijelaskan dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 Kompilasi:13 a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yangsukar disembuhkan; b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. salah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. Suami menlanggar taklik talak; h. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Selanjutnya kompilasi menjelaskan beberapa istilah yang berkaitan dengan putusan perkawinan dan akibat hukumnya, termasuk di dalamnya teknis pelaksanaanya agar tindakan perceraian itu dilakukan secara benar. Pasal 117: Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131. Pasal 118: Talak Raj`i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa „iddah. Ketentuan tersebut berdasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah 12
Inpres No. 1Tahun 1991, Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum Pusat Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004), h. 189 13 Inpres No. 1Tahun 1991, Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatur Hukum Pusat Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004), h. 189
7
ayat 228. wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 2:228) Pasal 119 1. Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam „iddah. 2. Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah : a. talak yang terjadi qabla al dukhul; b. talak dengan tebusan atahu khulu’; c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama (Fasakh). Dijelaskan dalam firman Allah dalam Surat Al-Ahzab (33): 49 yang artinya sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka '„iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ahdan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (QS. 33: 49)14 Masalah khulu‟ dijelaskan dalam hadits Nabi riwayat Ibn Abbas yang artinya sebagai berikut: Sesungguhnya isteri Sabit bin Qais datang menghadap Nabi SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, Sabit bin Qais, aku tidak mencela akhlak dan agamanya, akan tetapi aku tidak suka kufur dalam Islam.” Maka Rasulullah 14
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Nala Dana, 2007), h. 600
8
SAW bersabda: “Akankah kamu kembalikan kebun (pemberiannya)?” Ia menjawab: “Ya”. Rasulullah bersabda (kepada Sabit): “Terimalah kebun (kembalian)nya dan ceraikan satu kali.” (HR. Bukhari)15 Ayat tersebut menunjukkan bahwa wanita yang diceraikan sebelum digauli tidak menjalankan masa „„iddah (masa menunggu), karena itu ia tidak dapat dirujuk, dan termasuk kategori cerai ba‟in shughra. Sementara hadits di atas menunjukkan bahwa khulu‟ adalah perceraian dengan tebusan atau dalam bahasa perundang-undangan disebut dengan gugatan ceraai dengan tebusan (‘iwadh). Pasal 120 Talak Ba`in Kubraa adalah talak y6ang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa „iddahnya. Imam Muslim dalan Shahih Muslim mengemukan tujuh jalur hadits yang berkaitan dengan masalah ini. Salah satu di antaranya riwayat dari Aisyah RA yang menyatakan yang artinya: Seorang laki-laki mencerai isterinya tiga kali kemudian kawin dengan lakilaki lain dan menceraikannya sebelum ia menggaulinya. Maka bekas suaminya yang pertama menghendaki menikahinya. Ia menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW dan Beliau menjawab: “Jangan, sehingga suami kedua mencicipi madunya (menggaulinya) seperti yang dirasakan oleh suaminya yang pertama.” (HR. Muslim)16 Pasal 121 Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isterinya yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Pasal 122 Talak bid`i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. Pasal 123 menjelaskan hitungan masa tunggu bagi talak raj‟i seperti juga 15 16
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 6 Jilid 3, (Beirut: Dar al-Fikr), h. 181 Al-Muslim, Shahih Muslim, Juz 2, Jilid I, (Jakarta: Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, tt.), h. 56
9
dimaksud pada Pasal 18 UU Perkawinan: “Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.” Pasal ini dalam kenyataanya memerlukan pemahaman dan ketelitian yang memadai, terutama apabila misalnya seorang suami menjatuhkan di luar sidang. Maksud undangundang memang agar setiap perceraian dilakukan di depan sidang. Karena dengan demikian, bukti-bukti otentik dapat diselenggarakan dan dapat menjamin kepastian hukum. Pasal 124 KHI menyebutkan: “Khulu hharus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan Pasal 116.” (lihat juga Pasal 19 UU Perkawinan) Pasal 125 menjelaskan tentang li‟an dan akibat hukumnya, lian menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya. Li‟an terjadi karena suami menuduh isteri berzina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkatan tersebut (Ps. 126). Mengenai tata li‟an diatur dalam paragraf 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Pasal 87 1. Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohonan atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohonan atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah. 2. Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahan dengan cara yang sama. Ketentuan ini dirinci dalam Pasal 127 Kompilasi yang mengacu kepada Surat Al-Rum Ayat 24 seperti dikemuakan dalam Bab VIII tentang asal usul anak. Pasal 88 UU Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan: (1) Apabila sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 Ayat 1 dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara li‟an. (2) Apabila sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 Ayat 1 dilakukan oleh isteri, maka penyelesaianya dilakukan dengan hukum acara yang berlaku. 10
2. Akibat Putusnya Perkawinan Perkawinan dalam Islam adalah ibadah dan mitsaqan ghalizhan (perjanjian suci). Oleh sebab itu apabila perkawinan putus atau terjadinya perceraian, tidak begitu saja urusannya, akan tetapi ada akibat-akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai. Malahan akibat hukum perkawinan yang terputus tersebut, bukan saja akibat perceraian umum karena kematian salah satu pihak, juga memiliki konsekuensi hukum tersendiri. Dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bawah perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian, c.atas keputusan Pengadilan. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 41 UU Perkawinan: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a.
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,Pengadilan memberi keputusannya:
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isterinya. Ketentuan Pasal 41 UU Perkawinan tersebut memang relatif bersifat global dan
kompilasi merincinya dapat empat, akibat perceraian talak, cerai gugat, akibat khulu‟, akibat li‟an dan yang terakhir yang tidak mendapatkan penekanan khusus, adalah akibat kematian suami. 1. Akibat Talak a) Akibat Talak Raj‟i Talak raj‟i tidak melarang mantan suami untuk berkumpul dengan mantan isterinya, sebab akad perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak (pemilikan) serta tidak mempengaruhi hubunganya yang halal (kecuali persetubuhan) Sekalipun tidak mengakibatkan perpisahan, talak ini tidak menimbulkan akibat-akibat hukum yang lain, selama masih dalam masa iddah isterinya. Segala akibat hukum talak baru berjalan sehabis masa iddah dan jika tidak ada rujuk. Apabila masa iddah telah habis maka tidak boleh rujuk. Artinya, perempuan itu telah tertalak ba’in. Jika dia telah menggauli isterinya berarti ia 11
telah rujuk.17 Isteri yang menjalani iddah raj‟iyah, jika ia taat atau baik terhadap suaminya, maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian dan uang belanja dari mantan suaminya. Tetapi jika ia durhaka, maka tidak berhak mendapatkan apa-apa. Rasulullah SAW bersabda:
)انما النفقة الوسكنى للمرأة ادا كان الجو جها عليها الرجعة (رواه احمج والنسائ “Perempuan yang berhak mendapat menafkah dan tempat (rumah) dari mantan suaminya adalah apabila mantan suaminya berhak merujuknya kembali.” (HR. Ahmad dan Nasa‟i) Sabdanya pula:
)انما النفة والسكنى لمن تملك الرجعة (رواه الدارقطى والنائ “Nafkah dan tempat tinggal bagi wanita yang memiliki (kesempatan) dirujuk,” (HR. Daruquthni dan Nasa‟i) Bila salah seorang meninggal dalam iddah, maka yang lain menjadi ahli warisnya dan mantan suaminya tetap wajib memberi nafkah kepadanya selama masa iddah itu. Rujuk adalah salah satu hak bagi laki-laki dalam masa iddah. Oleh karena itu, ia tidak berhak membatalkannya sekalipun suami, misalnya ia berkata “tidak ada rujuk bagi.” Namun sebenarnya ia tetap mempunyai hukum rujuk sebab dalam firman Allah disebutkan:
... .... .... dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu... (QS. Al-Baqarah [2]: 228) Karena rujuk merupakan hak suami, maka untuk merujuknya suami tidak perlu saksi, kerelaan mantan isteri serta wali. Namun menghadirkan saksi dalam rujuk hukumnya sunnat, karena dikhawatirkan apabila apabila kelak isteri menyangkal rujuknya suami. Rujuk boleh dengan ucapan, seperti: “Saya rujuk kamu”, dan dengan perbuatan misalnya: menyetubuhi, merangsangnya, mencium dan sentuhansentuhan birahi. Imam Syafi‟i berpendapat rujuk hanya diperbolehkan dengan 17
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 266
12
ucapan secara terang, jelas dan dimengerti. Rujuk tidak boleh dengan persetubuhan, ciuman dan rangsangan-rangsangaan nafsu birahi. Menurut Imam Syafi‟i, talak itu memutuhkan hubungan perkawinan. Ibnu
Hazm
berkata:
“Dengan
menyetubuhannya
tidak
berarti
merujuknya sebelum kata rujuk itu diucapkan dan menghadirkan saksi serta mantan isteri diberi tahu terlebih dahulu sebelum masa iddahnya habis.”18 Menurut Ibnu Hazm, jika ia merujuk tanpa saksi bukan disebut rujuk sebab Allah SWT berfirman: Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. (QS. At-Thalaq [65]: 2) Di sini , Allah SWT tidak membedakan antara rujuk talak dengan menghadirkan saksi. Karena itu, tidak boleh memisahkan satu dari lainnya, seperti menalak tanpa dua orang saksi laki-laki yang adil atau rujuk tanpa dua orang saksi laki-laki yang adil sebagai saksi-saksi. Perbuatan yang seperti ini melanggar hukum Allah. Nabi Muhammad SAW bersabda:
عن عمر ان ابن دصين انو سئل عن الرجل يطلق امرأتو ثم يقع بها ولم يشهد على طاقها وال طلقت لغير سنة اشهد على طالقها وال على رجعتها وال تعد (رواه ابو داود:على رجعها فقال )وابن ماجو Dari Imran bin Husain, sesungguhnya ia pernah ditanya tentang orang yang menalak isterinya kemudian disenggamainya, padahal tidak ada saksi ketika menalaknya dan merujuknya. Maka jawabannya, “Engkau menalak tidak menurut Sunnah Rasulullah dan merujuk tidak menurut Sunnah hadirkanlah, saksi untuk menalak dan merujuknya dan jangan engkau ulangi perbuatan.” (HR, Abu Daud, Ibnu Majah, Baihaqi dan Thabrani)
18
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 267
13
b) Akibat Talak Ba‟in Shugra Talak ba‟in shughra ialah memutuskan hubungan perkawinan antara suami dan isteri setelah kata talak diucapkan. Karena ikatan perkawinan itu telah putus, maka isterinya kemballi menjadi orang lain bagi suaminya. Oleh sebab itu, ia tidak boleh bersenang-senang dengan perempuan tersebut, apalagi sampai menyetubuhinya. Apabila ia baru menalaknya satu kali, maka ia masih memiliki sisa talak dua kali setelah rujuk dan jika sudah dua kali talak, maka ia hanya berhak atasa satu kali talak setelah rujuk. c) Akibat Talak Ba‟in Kubra Hukum talak ba‟in kubra sama dengan talak ba‟in shugra, yaitu memutuskan hubungan perkawinan antara suami dan isteri. Tetapi talak ba‟in kubro tidak menghalalkan bekas suami merujuknya kembali bekas isetri, kecuali setelah dia menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya (telah bersenggama), tanpa niat nikah tahlil. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 230: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]: 230) Perempuan yang menjalani iddah talak ba‟in, jika ia tidak hamil, hanya berhak memperoleh tempat tinggal (rumah), lain tidak. Tetapi, jika ia hamil maka ia juga berhak mendapatkan nafkah. Dalam Al-Qur‟an ditegaskan: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal 14
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS. Thalaq [65]: 6) Perempuan yang menjalankan iddah wafat (karena ditinggal mati suaminya), ia tidak berhak sama sekali untuk mendapatkan nafkah (dan tempat tinggal) dari mantan suaminya karena ia dan anak yang dikandungnya adalah pewaris yang berhak mendapatkan harta pusaka dari almarhum suaminya itu. Rasulullah SAW bersabda:
)ليس ال حامل المتوقى عنهأ زوجها نفقة (رواه الدار قطنى Perempuan hamil yang ditinggal nantis suaminya tidak boleh memperoleh nafkah.” (HR. Daruquthni) Perempuan yanh ditalak suaminya sebelum dikumpuli (qabli al-dukhuli) tidak memiliki iddah, tetapi tetap memperoleh mut’ah atau pemberian. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Ahzab Ayat 49:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (QS. Al-Ahzab [33]: 49) Selanjutnya, baik mantan suami atau mantan isteri harus memperhatikan kesejahteraan anak. Jika anak itu masih dalam kandungan, maka ibunya harus menjaga baik-baik, demikian juga ketika anak itu masih menyusu kepada ibunya sampai anak itu bisa berdiri sendiri. Adapun tanggung jawab nafkah tetap menjadi kewajiban ayahnya. Dalam Al-Qur‟an Allah berfirman:
15
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS. Al-Thalaq [65]: 6) Menurut ketentuan Pasal 149 Kompilasi dinyatakan sebagai berikut: Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a.
memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b.
memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam „iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c.
melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun
Ketentuan tersebut dirujuk dari firman Allah dalam Surat Al-Baqarah (2): 236:
Tidak ada dosa atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat 16
kebajikan. (QS.2: 236)19 Bagi isteri yang ditalak raj‟i suami berhak merujuknya selama dalam masa „iddah (masa tunggu). Ketentuan tentang masa „iddah akan dijelaskan dalam Bab XIV Pasal 150 Kompilasi Hukum Islam. Bekas suami berhak melakukan rujuk kepada bekas isterinya yang masih dalam masa „iddah. Pasal 149 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul; b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam „iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; d.
memeberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun Pasal 151 menyatakan, “Bekas isteri selama dalam „iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.” Karena pada hakikatnya isteri selama dalam masa „iddah masih dalam ikatan perkawinan dengan suaminya. Firman Allah dalam Surat Al-Thalaq Ayat 1 “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) „iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu „iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang” (QS. 65:1)20 Terhadap wanita yang dalam pinangan oran lain saja dilarang untuk meminangnya apalagi terhadap wanita yang masih berada dalam masa tunggu. Suamilah yang paling berhak untuk merujuknya. Nabi SAW menegaskan:
ِ ِ ِ ِ ِ ِ .ب َّ ب ُ ب قَ ْب لَوُ اَ ْو يَأْذَ َن لَوُ اْلَ َخاط ُ الر ُج ُل َعلَى خطْبَة اَخ ْيو َحتَّى يَ ْت ُر َك اْل َخاط ُ ُالَ يَ ْخط Janganlah seorang dari kamu meminang (wanita) yang dipinang 19 20
Departmen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 48 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 816
17
saudaranya sehingga peminang sebelumnya meninggalkannya atau telah mengizinkannya. (Muttafaqun alaih)21 2. Akibat Perceraian Akitbat putusnya perkawinan karena perceraian menurut KHI Pasal 156: a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah; 3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahatau ibunya; c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohanianak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula; d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d); f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.22 Dasar hukum yang diambil atas penetapan Pasal tersebut adalah hadits riwayat dari Abdullah bin Amr yang artinya: Seorang perempuan berkata (kepala Rasulullah SAW), “Wahai Rasulullah, anakku ini, aku yang mengandungnya, air susuku 21
As-Shan‟any, Al-Subul Al-Salam, Juz 3, (Kairo: Dar Ihya al-Turats al-Araby, 1950), h. 113 Inpres No. 1 Tahun 1991, Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatus Hukum Pusat Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004), h. 197-199 22
18
diminumnya dan di bilikku tempat kimpulnya bersamaku ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkannya dariku.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Kamu lebih berhak memiliharanya selama kamu tidak menikah.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Hakim menshahihkannya)23
Hadits tersebut menentukan syarat hak hadhanah bagi ibu si anak berlaku sepanjang ibunya tidak menikah lagi. Apabila ibunya menikah lagi, maka hak hadhanah pindah ke ayahnya. Sementara Pasal 156 menyaratkannya apabila belum meninggal. Pertanyaan adalah bagaimana kalau ayahnya juga kawin lagi? Jika demikian alternatif Pasal 156 sebagai pengganti. Menurut Abdurrahman bin Umar Ba‟alawi ibu yang telah menikah lagi tidak memiliki hak hadhanah terhadap anaknya, meskipun suaminya yang baru tersebut memiliki hubungan kerabat dengan anaknya. Mengenai pilihan anak antara ikut ibu atau ayahnnya jika telah mumayyiz, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah yang artinya: “Wahai Rasulullah SAW suamiku menghendaki pergi bersama anakku, sementara ia telah memberi manfaat kepadaku dan mengambil air minum dariku sumur Abi Indha. Maka datanglah suaminya. Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Wahai anak kecil ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan keduanya mana yang kamu kehendaki. Maka anak itu memegang tangan ibunya. Maka perempuan itu pergi
dengan
ibunya.
(HR.
Ahmad,
Imam
Empat
dan
Tirmizi
menshahihkannya)24 Apabila kedua orang tua tidak melaksanakan tanggung jawab itu, kekuasaan dialihkan kepada yang lain yang masih ada hubungan kerabat. Didasarkan kepada hadits riwayat Al-Barra‟ bin Azib yang mengemukannya, yang artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW memenutuskan perkara hadhanah anak perempuan Hamzah kepada bibi (saudara perempuan ibunya) dan Beliau bersabda: “Saudara perempuan itu (khalah) ada (menempati kedudukan ibunya).” (HR. Bukhari)25 23
Al-Shan‟any, Al-Subul Al-Salam, Juz 3, (Kairo: Dar Ihya al-Turats al-Araby, 1950), h. 245 Al-Shan‟any, Al-Subul Al-Salam, Juz 3, (Kairo: Dar Ihya al-Turats al-Araby, 1950), h. 290 25 Al-Shan‟any, Al-Subul Al-Salam, Juz 3, (Kairo: Dar Ihya al-Turats al-Araby, 1950), h. 291 24
19
3. Perceraian Akibat Fasakh Pisahknya suami isteri akibat fasakh berbeda dengan yang disebabkan talak. Sebab, talak ada talak ba’in dan ada talak raj’i. Talak raj‟i tidak mengakhiri ikatan suami isteri dengan seketika. Sedangkan talak ba‟in mengakhirinya seketika itu juga. Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka akan mengakhiri akad nikah seketika itu juga. Selain itu, pisahnya suami isteri akibat talak dapat mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami mentalak dengan talak raj‟i kemudian kembali pada masa iddah maka perbuatan itu dihitung sebagai satu talak, yang berarti ia masih memiliki dua kali untuk mentalak. Sedangkan pisahnya suami isteri karena fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar baligh, kemudian suami isteri itu menikah dengan akad yang baru, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak.26 Mengenai masa pelaksanaan fasakh terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Syafi‟‟i berkata: “Harus menunggu selama tiga hari.” Sedangkan Imam Malik mengatakan: “Harus menunggu satu bulan.” Dan Imam Hambali mengatakan: “Harus menunggu satu tahun.” Semua itu maksudnya adalah selama masa waktu tersebut, laki-laki boleh mengambil keputusan akan bercerai atau memberikan nafkah bila isteri tidak rela lagi. Kalau isteri mau menunggu dan ia rela dengan tidak ada belanja dari suaminya, maka tidak perlu ada fasakh itu adalah haknya. Bunyi lafazh fasakh itu misalnya “Aku fasakh nikahmu dari suamimu yang bernama.......bin.......pada hari ini.” Kalau fasakh itu dilakukan oleh isteri sendiri dengan mengangkat perkaranya di depan hakim, maka isteri itu berkata: “Aku fasakh nikahku dari suamiku yang bernama.......bin......pada hari ini.” Setelah fasakh itu dilakukan, maka perceraian itu dinamakan talak ba‟in. Kalau hendak kembali kepadanya, maka harus degan nikah dengan akad baru, sedangkan iddahnya sebagai iddah talak biasa. Pasal 161 menjelaskan bahwa “Perceraian dengan jalan khulu‟ mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk”. Menurut Ibn Rusyd khulu‟ itu khusus bagi
26
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 273
20
pemberian isteri untuk semua yang telah diberikan suami kepadanya.27 Jadi akibat hukum khulu‟ sama dengan akkibat hukum talak tiga. Menurut mayoritas ulama termasuk Imam yang empat, apabila suami telah mengkhulu‟ isterinya, maka isteri itu bebas dan semua urusan terserah kepadanya dan tidak boleh lagi suami rujuk kepadanya, karena pihak isteri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari perkawinan.28 4. Akibat Li‟an Pelaksanaan hukum li‟an sangat memberatkan dan menekan perassan, baik bagi suami maupun bagi isteri yang sedang dalam perkara li‟an. Bahkan dapat mempengaruhi jiwa masing-masing terutama setelah mereka berada dalam ketengangan berpikir. Hal ini tidak lain adalah: a. Karena bilangan sumpah talak. b. Karena dilaksanakan di tempat yang paling mulia, yaitu masjid. Kalau di Mekkah dilaksanakan di antara Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Di Madinah dilakanakan di Mimbar Rasulullah SAW dan di negeri yang lain di dalam masjid di dekat mimbar. c. Karena dilaksanakan pada waktu yang paling penting yaitu waktu setelah shalat Ashar. d. Karena sumpah itu dilakukan di hadapan jama‟ah (manusia banyak), sekurang-kurangnya empat orang. Di samping itu, pengaruh lain akibat li‟an adalah terjadinya perceraian antara suami isteri. Bagi suami, isterinya menjadi haram baginya selama-lamanya. Ia tidak boleh rujuk ataupun menikah dengan akad yang baru. Jika isteri melahirkan anak, maka anak itu dihukumi bukan termasuk keturunan suaminya.
للمتال عنين حسا بكما عالى اهلل احدكما:عن ابن عمر رضي اهلل عنهما ان رسول اهلل قال )كدب ال سبيل لك عليها (رواه البخاري ومسلم Dari Ibnu Umar RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda kepada dua orang (suami isteri) yang saling tuduh, “Perhitungan kalian berdua terserah kepada Allah. Salah seorang di antara kamu mesti ada yang dusta. Tidak ada jalan lagi bagi engkau untuk kembali kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
27 28
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz 2, (Semarang: Usaha Keluarga, tt.), h. 66 Al-Shan‟any, Al-Subul Al-Salam, Juz 3, (Kairo: Dar Ihya al-Turats al-Araby, 1950), h. 291
21
Dalam hadits lain, Nabi SAW juga bersabda:
وقض رسول اهلل صلى اهلل عليو,عن ابن عباس رضي اهلل عنهما انو قال فى حديث المتالعنين ) ان قوت من اجل انهما يتفرقا من عير طالق وال متوقى (رواه ابو داود.وسلم Dari Ibnu Abbas RA bahwa ia telah berkata dalam hadits dua orang yang saling tuduh (suami isteri) dan Rasulullah memutuskan bahwa tidak ada tempat kediaman yang hak baginya (isteri) yang wajid atasnya (suaminya) dan tidak pula makanan yang wajib diberikan suami karena keduanya telah bercerai bukan karena talak dan bukan pula karena suaminya meninggal. (HR. Abu Daud) Pasal 162 KHI menjelaskan “Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.29 Sesungguhnya Nabi menyaksikan li‟an antara seorang laki-laki dan isterinya, maka laki-laki itu menafikan (tidak mengakui) anak isterinya itu, maka beliau memisahkan keduanya dan beliau menghubungkan nasabnya kepada perempuan (ibunya). (HR. Bukhari)30 Karena terputusnya hubungan nasab anak tersebut dengan Bapaknya, maka hubungan pewarisanyapun hanya dapat terjalin dengan ibu dan keluarga ibunya saja. 5. Akibat ditinggal mati suami Apabila si suami meninggal, maka si isteri selain menjalankan masa „iddah ia berhak mewarisi harta peninggal suami dan sekaligus berkewajiban memelihari anak-anaknya. Selain itu KHI menginstriduksir pembagian harta bersama, harta peninggal suami itu dibagi menurut ketentuan pembagian warisan seperti dalam Pasal 157 KHI menyatakan harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 96. Pasal 96 1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. 2. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang 29
Inpres No. 1 Tahun 1991, Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatus Hukum Pusat Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004), h. 198 30 Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz 6 Jilid3, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981), h.181
22
hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.31 Persoalannya adalah berapa lama seorang isteri harus menunggu apabila suaminya dalam keadaan mafqud atau hilang tidak diketahui berita hidup atau matinya. Untuk menentukan kepastian hidup dan mati si suami tersebut ada dua pertimbangan hukum. 1) Berdasarkan bukti-bukti otentik yang dapat diterima secara syar‟i dan rasional sebagaimana kaidah:
الثات بالبينة كالثابت بالمعاينة “Yang tetap berdasarkan bukti, seperti yang tetap berdasarkan kenyataan.”32 Hal ini bisa ditempuh melalui misalnya kesaksian 2 (dua) orang yang adil bahwa di suami tersebut telah meninggal. Berdasarkan kesaksian tersebut maka si hakim dapat memutuskan tentang kematian suami tersebut. 2) Berdasarkan waktu lamanya suami itu meninggalkan si isteri. Ada beberapa pendapat: a) Putusan Umar bin Al-Khattab ketika menghadapi kasus seorang isteri yang ditinggal pergi suaminya dan tidak jelas kabar berita. Yang artinya: Bila seorang perempuan yang ditinggal pergi suaminya, tidak mengetahui dimana suaminya, maka ia menunggu empat tahun, kemudian menjalani masa „iddah 4 bulan 10 hari setelah itu ia menjadi halal. (HR. Bukhari dan Syafi‟i)33 4 (empat) tahun adalah hamil terpanjang, dan 4 (bulan) dan 10 (sepuluh) hari sebagai masa tunggu isteri yang ditinggal mati suami.34 b) Imam Hanafi dan Abu Yusuf, Al-Syafi‟i dan Ibnu Al-Hasan AlSyaibani berpendapat bahwa
hakim dapat memutuskan kematian
suami tersebut bila orang yang sebaya dengannya telah meninggal dunia jadi ambil rata-rata maksimal orang hidup di lingkungan. c) Ditetapkan berdasarkan pada maksimal usia orang antara 70 sampai
31
Inpres No. 1 Tahun 1991, Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatus Hukum Pusat Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004), h. 185 32 Fatchurrahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1981), h. 507 33 Muhammad Rawas Qal‟ah, Mausuah Fiqh Umar bin Al-Khattab, (Beirut: Dar Al-Nafais, 1989), h. 787 34 Muhammad Rawas Qal‟ah, Mausuah Fiqh Umar bin Al-Khattab, h. 787
23
dengan 90 tahun. Al-Majsun menetapkan 90 tahun dan Ibn Al-Hakim memilih 70 Tahun. d) Ahmad bin Hambal menggunakan pertimbanan tempat tujuan dari kepergian si suami tersebut. Misalnya ia berangkat berperang, maka apabila telah diusahakan melacak beritanya tidak dijumpai, hakim memutuskan kematiannya. Semua pertimbangan di atas bersifat spekulatif oleh karena itu keberanian hakim dalam menentukan keputusan menjadi sangat dominan, tentunya saja ditempuh usaha-usaha yang memadai.35
C. KESIMPULAN Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan makalah ini antara lain: 1. Perkawinan menurut Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaq ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah. 2. Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 3. Setiap rumah tangga memiliki problem spesifik, tetapi problem yang sering berkembang menjadi batu sandungan hampir sama karakteristiknya yaitu persepsi tentang rezeki, egoisme dan perkembangan psikologi pasangan. 4. Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi dalam rumah tangga yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutus ikatan perkawinan yaitu terjadinya nusyuz dari pihak isteri/suami, terjadi pertengkaran dan perselisihan yang berkepanjang, terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina dan fahisyah yang menimbulkan saling tuduh-menuduh antara keduanya. 5. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 38 bahwa perkawinan itu dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan agama. 6. Dalam Kompilasi Hukum Islam sebab terjadi perceraian adalah: a. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadatm penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa
35
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1998), h. 294
24
alasan yang sah. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun lebih. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat penyakit atau cacat badan sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami isteri. f. Suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali. g. Peralihan agama atau murtad yang berakibat terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. 7. Dalam Islam pada prinsipnya perceraian itu dilarang sebagaimana hadits Nabi yaitu suatu perbuatan halal yang dibenci Allah adalah talak dan perceraian merupakan alternatif atau solusi terakhir. 8. Putusnya ikatan perkawinan memiliki konsekuensi hukum baik akibat perceraian maupun kematian yaitu masalah pemberian nafkah, pemeriliharan anak, waris (harta) dan tidak boleh nikah lagi dengan mantan isteri atau suami disebabkan li‟an.
25
DAFTAR PUSTAKA Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Nala Dana, 2007) Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006) Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1998) Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 6 Jilid 3, (Beirut: Dar al-Fikr) Al-Muslim, Shahih Muslim, Juz 2, Jilid I, (Jakarta: Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, tt.) Al-Shan‟any, Al-Subul Al-Salam, Juz 3, (Kairo: Dar Ihya al-Turats al-Araby, 1950) Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Dirjen Peradilan Agama, 2004) Fatchurrahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1981) Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz 2, (Semarang: Usaha Keluarga, tt.) Inpres No. 1 Tahun 1991, Tentang Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Proyek Peningkatan Pelayanan Aparatus Hukum Pusat Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004), Jalal al-Din al-Sayuti, al-Jami’ al-Shaghir, Juz I, (Bandung: Al-Ma‟arif: tt.) Muhammad Rawas Qal‟ah, Mausuah Fiqh Umar bin Al-Khattab, (Beirut: Dar Al-Nafais, 1989) Said Husen Al-Munawar, dkk., Agenda Generasi Muda Intelektual, (Jakarta: Penamadani, 2004)
26