20
BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Perkawinan menurut Hukum Islam Melalui Nash-nash yang tertuang dalam Al-Qur’an maupun al-Hadits, Allah telah memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan hidupnya. Salah satu yang menjadi pembahasan dalam nash, dan dianggap sebagai hal yang sangat penting, adalah mengenai perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia, bahkan menjadi kebutuhan dasar (basic demand) bagi setiap manusia normal. Tanpa perkawinan kehidupan seseorang akan menjadi tidak sempurna dan lebih dari itu, menyalahi fitrahnya. Sebab Allah SWT telah menciptakan makhluknya secara berpasang-pasangan, saling mencurahkan kasih sayang, saling membantu, saling memberi dan menerima. Dengan demikian akan tecipta suasana damai dan bahagia antara mereka, sehingga dalam konteks inilah perkawinan menjadi media sekaligus sebagai faktor yang signifikan dalam membangun nilai-nilai insaniyah.
20
21
Perkawinan atau pernikahan menurut bahasa mempunyai dua arti yaitu arti sebenarnya (hakekat) dan arti kiasan 22 Arti yang sebenarnya dari pada nikah atau kawin yaitu (
) yakni menjadi satu atau (
ﺍﻟـﻀﻢ
) yakni berkumpul.
ﺍﻹﲨـﺎﻉ
sedang arti kiasannya yaitu akad yang mengandung pembolehan (hal yang membolehkan) watha` (setubuh/jima) dengan lafazd (
) nikah atau (
ﺇﻧﻜـﺎﺡ
)
ﺗـﺰﻭﻳﺞ
kawin.23 Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata kawin yang artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.24 Perkawinan disebut juga dengan pernikahan, berasal dari kata nikah yang artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wata').25 Menurut ulama' Syafi'iyah perkawinan atau pernikahan adalah akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafazd na-ka-ha atau za-wa-ja. (al-Mahalliy, 206). Menggunakan lafazd na-ka-ha atau za-wa-ja mengandung maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.26
22
Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
2001), h. 1 23
Abi Bakar Utsman Ad-Dhimyathi, Hasyiyah I`anah At-Thalibin `ala Halii Al-Alfazh Fathu Al-Mu`in, (Beirut : Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2005), jilid III, h. 432-433 24 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1994), Cet. III, Edisi kedua, h. 456 25 Muhammad Bin Ismail Al-Kahlany, Subulus Salam, (Bandung: Dahlan), jilid III, h. 109 26 Prof. DR. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 37-38
22
Sedangkan perkawinan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ialah akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizdhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.27 Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizdhan merupakan penjelasan dari ungkapan "ikatan lahir batin" yang terdapat dalam rumusan UU yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Sedangkan ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan "berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam UU.28 Adapun pekawinan menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia, menjelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.29 Ikatan lahir batin merupakan tanggung jawab berlanjut, bukan hanya sekedar hubungan perdata antara sesama manusia sewaktu hidup di dunia tetapi akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Untuk mempertanggung jawabkan perkawinan dihadap Allah, demikian pula pembinaan keluarga dan 27
Himpunan Undang-undang Republik Indonesia tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Citra Media Wacana, 2008), Cet. I, h. 430 28 Prof. DR. Amir Syarifuddin, Op.cit, h. 40 29 Himpunan Undang-undang Republik Indonesia tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,, Op.cit, h. 8
23
keturunan harus berdasarkan ketentuan agama masing-masing keluarga wajib menegakkan hukum agama.30 Dari istilah tadi dapat kita ambil benang merahnya bahwa hakikat dari pada perkawinan yaitu suatu Akad (ikatan, perjanjian) yang kuat (lahir batin) yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya diharamkan, untuk membentuk keluarga yang bahagia (sakinah, mawaddah, dan rahmah) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dari pernikahan itu sendiri. Maka dengan itu terbentuklah keluarga karena keluarga adalah satusatunya perkumpulan berdasarkan hubungan darah atau hubungan perkawinan yang diakui islam.31 Allah SWT, berfirman dalam Surah An-Nisa’: 1
$pk÷]ÏB t,n=yzur ;oy‰Ïnºur <§øÿ¯R `ÏiB /ä3s)n=s{ “Ï%©!$# ãNä3-/u‘ (#qà)®?$# â¨$¨Z9$# $pkš‰r'¯»tƒ ¾ÏmÎ/ tbqä9uä!$|¡s? “Ï%©!$# ©!$# (#qà)¨?$#ur 4 [ä!$|¡ÎSur #ZŽ•ÏWx. Zw%y`Í‘ $uKåk÷]ÏB £]t/ur $ygy_÷ry— $Y6ŠÏ%u‘ öNä3ø‹n=tæ tb%x. ©!$# ¨bÎ) 4 tP%tnö‘F{$#ur
30
Umar Said, Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Cempaka, 1996), h. 57-59 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM, 1995), h. 76 31
24
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan
kamu
dari
seorang diri,
dan dari
padanya
Allah
menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan
yang
banyak.
(mempergunakan)
dan
nama-Nya
bertakwalah
kamu
saling
kepada
meminta
Allah satu
yang
sama
dengan
lain,
dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan 32
Mengawasi kamu.
B. Syarat dan Rukun Perkawinan Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah33 bagian dari hakikat perkawinan itu sendiri, seprti laki-laki, perempuan,wali dan akad nikah.34 Sedangkan yang dimaksud syarat adalah sesuatu yang mesti ada di dalam suatu perkawinan, tetapi tidak termasuk dari hakikat suatu perkawinan, misalnya syarat wali itu laki-laki, baligh, berakal dan sebagainya.35 a. Rukun-rukun perkawinan:
32
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur'an, Op.cit, h. 114 Prof. DR. Amir Syarifuddin, Op.cit, h. 59 34 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: tp, 1981), h. 15 35 Zakiyah Derajat, Perkawinan yang Bertanggung Jawab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 33
15
25
1. Calon Suami 2. Calon Istri 3. Wali Nikah 4. Dua Orang Saksi 5. Ijab dan Qabul. 36 b. Syarat-syarat perkawinan Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua: 1. Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadinya istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang yang haram dinikahi, baik karena haram dinikahi untuk sementara maupun selama-lamanya. 2. Akad nikahnya dihadiri para saksi.37 Secara rinci, masing-masing rukun di atas akan di jelaskan syaratsyaratnya sebagai berikut: 1. Syarat- syarat kedua mempelai a. Syarat-syarat pengantin pria Syari'at Islam menentuka beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama', yaitu: 1. Calon suami beragama islam
36
Abdurrahman al- Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Mazahibil Aba’ah, juz IV (Bairut: Darul Fikr, 1969),
37
Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Cet. IV, Jilid 2, h. 48
h. 12
26
2. Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul-betul laki-laki 3. Orangnya diketahui dan tertentu 4. Calon mempelai laki-laki itu jelas hal kawin dengan calon istri 5. Calon mempelai laki-laki tahu/ kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya 6. Calon suami rela (tidak di paksa) untuk melakukan perkawinan itu 7. Tidak sedang melakukan ihram 8. Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri 9. Tidak sedang mempunyai istri empat.38 b. Syarat-syarat calon pengantin perempuan: 1. Beragama Islam atau ahli Kitab 2. Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci) 3. Wanita itu tentu orangnya 4. Halal bagi calon suami 5. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan masih dalam iddah 6. Tidak dipaksa/ikhtiyar 7. Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.39 2. Syarat-syarat Ijab Kabul Ijab dan Kabul dilakukan di dalam satu majlis, dan tidak boleh ada jarak
38
Zakiah Derajad (et al), Ilmu Fiqh, (yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 2, h. 38-
39
Ibid, h. 41
39
27
yang lama antara ijab dan kabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad dan masing-masing ijab dan kabul dapat di dengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi. Adapun lafazd yang digunakan untuk akad nikah menurut asy-Syafi'I dan Hambali adalah lafazd nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat di dalam kitabullah dan sunnah.40 3. Syarat-syarat Wali Menurut Syaikh Abu Syujak, yang terutama menjadi wali adalah ayah, kakek, saudara laki-laki sekandung, anak laki-lakinya saudara sekandung, anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah, paman, anak laki-laki paman. 41 Wali hendaklah seorang laki-laki, Islam, baligh, berakal, merdeka, dan adil.42 4. Syarat-syarat Saksi a. Berakal, bukan orang gila b. Baligh, bukan anak-anak c. Merdeka, bukan budak d. Islam e. Kedua orang saksi itu mendengar.43 Adapun Syarat-syarat yang fasid (rusak) dalam perkawinan, yaitu:
40
DR. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A., Op. cit, h. 57-58 Imam Taqiyuddn Abu Bakar bin Muhammad AlHusaini, Kifayatul Ahyar, (Sarifuddin Anwar dan Mishbah Musthafa), (Surabaya: Bina Iman, t.t), h. 109 42 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1990), h. 357 43 Slamet Abidin dan H.Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. I, h. 64 41
28
1. Syarat yang fasid yang dapat membatalkan akad, diantaranya: a. Nikah Syighar, seseorang yang menikahkan anak perempuannya atau saudara perempuannya ataupun perempuan lain yang ada hak kewaliannya atas perempuan tersebut. Dengan syarat orang menikahkannya dengan anak perempuannya, saudara perempuannya atau perempuan lainnya. b. Nikah Muhallil, menikahi perempuan yang telah di talak tiga dengan syarat setelah menggaulinya kemudian mentalaknya, agar suami pertama halal menikahi kembali. Atau menikahi dengan tujuan penghalalan suami pertama atau ke duanya (orang yang menikahi perempuan tersebut) telah bersepakat dengan suami pertama sebelum menikah. c. Nikah Mut'ah,44 disebut juga zawaj muaqqat (kawin sementara) dan zawaj
munqathi
(kawin
kontrak),
yaitu
seorang
laki-laki
menyelenggarakan akad nikah dengan perempuan untuk jangka sehari atau sepekan atau sebulan batasan-batasan waktu lainnya yang telah diketahui.45 ِﺔ ِﻠﻴﻷﻫ َ ﺮِ ﹾﺍﺤﻤ ﻛﻞِ ﺍﹾﻟ ﺃﹶ ﹾﻋﻦ ﻭ ِﺎﺀﻌﺔِ ﺍﻟﻨِّﺴ ﺘ ﻣ ﻋﻦ ﻬﻰ ) ﻧﱠﻠﻢﻭﺳ ِﻴﻪ ﹶﻠﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋﻮﻝﹶ ﺍﷲِ ﺻ ﺳ ﺭ ﺃﹶﻥﱠﻨﻪ ﻋ ﻭ
44
Syakh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil, Terj: Achmad Munir Badjeber, M.Ag., Futuhal Arifin, Lc., dkk, (Jakarta: Darus Sunnah, 2007), Cet. 1, h. 999 45 Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Ensiklopedi Fiqih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah As-Shahih, Terj: Ma’ruf Abdul Jalil (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006), Cet. 1, h. 579
29
( ﺍﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺴﺒﻌﺔ ﺇﻻ ﺃﺑﺎ ﺩﺍﻭﺩﺮﻴﺒ ﺧ ﻮﻡ ﻳ
Artinya: Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menikahi perempuan dengan mut'ah dan memakan keledai negeri
pada
waktu
perang
khaibar.
Riwayat
Imam
Tujuh
kecuali
Abu
46
Dawud.
2. Syarat yang fasid tetapi tidak membatalkan akad nikah: a. Bila suami pada saat akad nikah mensyaratkan pengguguran beberapa hak isteri, seperti isteri tidak menerima mahar, atau istri tidak mendapatkan nafkah. Perkawinannya tetap sah, syaratsyaratnya batal. b. Bila suami mensyaratkan istrinya seorang muslimah tetapi ternyata seorang ahli kitab, atau mensyaratkan perawan tetapi ternyata janda. Maka nikahnya sah dan baginya hak fasakh jika ia mau. c. Bila suami menikahi perempuan yang dianggap merdeka tetapi ternyata perempuan tersebut budak, maka baginya khiyar (pilihan) bila sang istri orang yang halal dinikahi.47
C. Tujuan diSyari'atkannya Nikah Tujuan Nikah pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan melaksanakannya, karena lebih bersifat subyektif. Namun demikian 46
Dani Hidayat, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkaam versi 2.0, (Tasikmalaya: Pustaka Al-Hidayah, 2008), Hadis No. 1025 47 Syakh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Op.cit, h. 1000
30
ada tujuan umum disyari'atkannya perkawinan yaitu seperti halnya yang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan perkawinan yaitu untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat.48 Disamping tujuan umum dari disyari'atkannya perkawinan, masih terdapat tujuan-tujuan lain yang dapat dikemukakan secara rinci sebagai berikut: 1. Kawin merupakan jalan terbaik untuk memiliki anak, memperbanyak keturunan, sambil menjaga nasab yang dengannya bisa saling mengenal, bekerja sama, berlemah lembut dan saling tolong-menolong. 2. Kawin merupakan jalan terbaik untuk menyalurkan kebutuhan biologis, menyalurkan syahwat dengan tanpa resiko terkena penyakit. 3. Kawin bisa dimanfaatkan untuk membangun keluarga solihah yang menjadi panutan bagi masyarakat, suami akan berjuang dalam bekerja, memberi nafkah dan menjaga keluarga, sementara istri mendidik anak, mengurus rumah
dan
mengatur
penghasilan.
Dengan
demikian
masyarakat akan menjadi benar keadaannya. 4. Kawin akan memenuhi sifat kebapaan serta keibuan yang tumbuh dengan sendirinya ketika memiliki keturunan.
48
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahaim al Mughiroh bin Bazdizbah al Bukhori al Ju'fi, Shohih Bukhori VI, (tp, tt) h. 23
31
5. Perkawinan
merupakan
suasana
solihah
yang
menjurus kepada
pembangunan serta ikatan kekeluargaan, memelihara kehormatan dan menjaganya dari segala keharaman,49 nikah juga untuk menjaga dan memelihara
perempuan
yang
bersifat
lemah
itu
dari
pada
kebinasaan. Sebab seorang perempuan, apabila ia sudah kawin maka nafkahnya (belanjanya) jadi wajib atas tanggungan suaminya.50 Sehingga dapat menimbulkan suatu kelembutan, kasih sayang serta kecintaan diantara sumi istri. Adapun di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3, tujuan dari pada disyari'atkannya perkawinan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dan di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri perlu membina saling pengertian dan bantu-membantu serta mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan bersama spiritual dan materiil dalam waktu yang tak terbatas. Pasal ini sejalan dengan firman Allah:
Ÿ@yèy_ur $ygøŠs9Î) (#þqãZä3ó¡tFÏj9 %[`ºurø—r& öNä3Å¡àÿRr& ô`ÏiB /ä3s9 t,n=y{ ÷br& ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ô`ÏBur
49
Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan fiqih islam 6, Terj: Team Indonesia islamhouse.com: Nikah dan Permasalahan yang terkait,(Indonesia: Islamhouse.com, 2009), h. 5-6 50 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, t.t), Cet. XVII, h. 356
32
tbrã•©3xÿtGtƒ 5Qöqs)Ïj9 ;M»tƒUy y7Ï9ºsŒ ’Îû ¨bÎ) 4 ºpyJômu‘ur Nà6uZ÷•t/ Zo¨Šuq¨B
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari
jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. 51
(Q.S. Ar-Rum: 21).
Dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan rasa kasih sayang akan terbentuk sebuah rumah tangga yang sakinah, bahagia dan kekal. Hadis Nabi: ﻮﻝﹸ ﺍﹶﻟ ﱠﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢﺭﺳ ﺎﻮﺩٍ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﹶﻟﻨﺴﻌ ﺑﻦِ ﻣ ِﺒﺪِ ﺍﹶﻟ ﱠﻠﻪ ﻋ ﻋﻦ
ﺼﻦ ﺣ ﹶﺃ ﻭ, ِﺮﺒﺼ ﻟِ ﹾﻠﻏﺾ ﹶﺃ ﹶﻧﻪِ ﹶﻓﺈ, ﻭﺝ ﺰ ﻴﺘﺎﺀَﺓﹶ ﻓﹶ ﹾﻠ ﺍﹶﹾﻟﺒﻜﻢ ﻨ ﹸ ﻣ ِ ﻄﹶﺎﻉﺳﺘ ﻣﻦِ ﺍ ! ِﺎﺏﺸﺒ ﺍﹶﻟﺮﺸﻣﻌ ﺎ) ﻳ
ِﻴﻪ ﹶﻠ ﻋﻔﻖ ﺘ ﹶﻣ ( ٌﺎﺀﻭﺟ ِ ﹶﻟﻪﻧﻪِﻮﻡِ ; ﹶﻓﺈ ﺼ ﻴﻪِ ﺑِﺎﻟ ﹶﻠ ﹶﻓﻌﻄِﻊﺴﺘ ﻳ ﹶﻟﻢﻣﻦ ﻭ , ِﺮﺝ ﻟِ ﹾﻠﻔﹶ
Artinya:
“Abdullah
Shallallaahu
'alaihi
Ibnu wa
Mas'ud
Sallam
Radliyallaahu
bersabda
pada
'anhu
kami:
berkata:
"Wahai
Rasulullah
generasi
muda,
barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat
menundukkan pandangan
dan memelihara
kemaluan. Barangsiapa belum 52
mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu”. Muttafaq Alaihi.
D. Larangan Perkawinan Larangan perkawinan atau Mahram berarti yang terlarang, sesuatu yang
51 52
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur'an, Op.cit, h. 644 Dani Hidayat, Op.cit, Hadis No. 993
33
terlarang maksudnya ialah perempuan yang terlarang untuk dikawini.53 Ada bermacam-macam larangan menikah (kawin), antara lain: 1. Larangan perkawinan karena berlainan agama 2. Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau dekat 3. Larangan perkawinan karena hubungan susuan 4. Larangan perkawinan karena hubungan semenda 5. Larangan perkawinan poliandri 6. Larangan perkawinan terhadap wanita yang di li'an 7. Larangan perkawinan (menikahi) wanita/pria pezina 8. Larangan perkawinan dari bekas suami terhadap wanita (bekas istri yang di talak tiga) 9. Larangan kawin bagi pria yang telah beristri empat.54 Allah telah menjelaskan di dalam firmannya, wanita-wanita yang haram untuk dinikahi, yaitu surat An-Nisa’ayat 23:
öNä3çG»n=»yzur öNä3çG»£Jtãur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3è?$oYt/ur öNä3çG»yg¨Bé& öNà6ø‹n=tã ôMtBÌh•ãm Nà6è?ºuqyzr&ur öNä3oY÷è|Êö‘r& ûÓÉL»©9$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ÏM÷zW{$# ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur `ÏiB Nà2Í‘qàfãm ’Îû ÓÉL»©9$# ãNà6ç6Í´¯»t/u‘ur öNä3ͬ!$|¡ÎS àM»yg¨Bé&ur Ïpyè»|ʧ•9$# šÆÏiB
53
Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 103 Mohd. Idris Ramulyo, S.H., M.H., Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undangundang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. I, h. 35 54
34
yy$oYã_ Ÿxsù ÆÎgÎ/ OçFù=yzyŠ (#qçRqä3s? öN©9 bÎ*sù £`ÎgÎ/ OçFù=yzyŠ ÓÉL»©9$# ãNä3ͬ!$|¡ÎpS šú÷üt/ (#qãèyJôfs? br&ur öNà6Î7»n=ô¹r& ô`ÏB tûïÉ‹©9$# ãNà6ͬ!$oYö/r& ã@Í´¯»n=ymur öNà6ø‹n=tæ $VJŠÏm§‘ #Y‘qàÿxî tb%x. ©!$# žcÎ) 3 y#n=y™ ô‰s% $tB žwÎ) Èû÷ütG÷zW{$# Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang
perempuan;
Saudara-saudara
ibumu
yang
perempuan;
anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa
kamu
kandungmu
mengawininya;
(menantu);
dan
(dan
diharamkan
menghimpunkan
bagimu) (dalam
isteri-isteri perkawinan)
anak dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; 55
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Secara garis besar larangan perkawinan dengan seorang perempuan yang telah disepakati ada dua macam yaitu: 1. Larangan selamanya (mahram muabbad)
Adalah perempuan yang tidak boleh dikawini sepanjang masa atau tidak boleh dikawini untuk selama-lamanya. 2. Larangan sementara (mahram ghairu muabbad)
Adalah perempuan yang tidak boleh dikawini sementara waktu, bila
55
Yayasan penyelenggara penterjemah/pentafsir Al-Qur'an, Op. cit, h. 120
35
keadaan berubah haram sementaranya hilang menjadi halal.56 1.
Larangan perkawinan untuk selamanya (mahram muabbad), terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu: a. Haram dinikahi karena faktor keturunan (nasab), yaitu: 1. Ibu dan seterusnya ke atas 2. Anak perempuan dan seterusnya ke bawah 3. Saudara perempuan 4. Bibi (dari ayah) 5. Bibi (dari ibu) 6. Puteri dari saudara laki-laki 7. Puteri dari saudara perempuan Ketentuan perempuan yang haram dinikahi karena faktor nasab, semua kerabat seorang pria yang mempunyai hubungan nasab, haram baginya untuk menikahinya, kecuali sepupunya (baik puteri paman atau bibi dari jalur ayah atau ibu).57 Sebaliknya seorang perempuan tidak boleh kawin untuk selama-lamanya karena faktor keturunan atau nasab dengan laki-laki tersebut dibawah ini: 1. Ayah, ayahnya ayah dan ayahnya ibu dan seterusnya keatas
56
M. Thalib, Liku-liku Perkawinan, (Yogyakarta: PD Hidayat, 1986), h. 65 Syakh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil, Terj: Achmad Munir Badjeber, M.Ag., Futuhal Arifin, Lc., dkk, (Jakarta: Darus Sunnah, 2007), Cet. 1, h. 996-997 57
36
2. Anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki atau anak perempuan, dan seterusnya ke bawah. 3. Saudara-saudara laki-laki kandung, seayah atau seibu 4. Saudara-saudara laki-laki ayah, kandung, seayah atau seibu dengan ayah; saudara laki-laki kakek, kandung atau seayah atau seibu dengan kakek, dan seterusnya ke atas. 5. Saudara-saudara laki-laki ibu, kandung, seayah atau seibu dengan ibu; saudara laki-laki nenek, kandung, seayah atau seibu dengan nenek dan seterusnya ke atas. 6. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung, seayah atau seibu; cucu lakilaki dari saudara laki-laki kandung, seayah atau seibu dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah. 7. Anak laki-laki dari saudara perempuan, kandung, seayah atau seibu; cucu laki-laki dari saudara perempuan kandung, seayah atau seibu dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.58 b. Haram dinikahi karena faktor Mushaharah (perkawinan), yaitu: 1. Ibu
isteri
(ibu
mertua),
dan
tidak
dipersyaratkan
tahrim
(pengharaman) ini suami harus dukhul “bercampur” lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan puterinya, maka sang ibu menjadi haram atas menantu tersebut.
58
Prof. DR. Amir Syarifuddin, Op.cit, h. 111-112
37
2. Anak perempuan dari istri yang sudah didukhul (dikumpuli), oleh karena itu, manakala akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum sempat (mengumpulinya), maka anak perempuan termaksud halal bagi mantan suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
ãNà6ͬ!$oYö/r& ã@Í´¯»n=ymur öNà6ø‹n=tæ yy$oYã_ Ÿxsù ÆÎgÎ/ OçFù=yzyŠ (#qçRqä3s? öN©9 bÎ*sù Tetapi jika kalian belum bercampur dengan istri kalian itu (dan sudah kalian
ceraikan),
maka
tidak
berdosa kalian
menikahinya.
(QS.
an-
Nisa’: 23).
3. Istri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawin hanya sekedar dilangsungkannya akad nikah. 4. Istri bapak (ibu tiri) diharamkan atas anak menikahi istrinya bapak dengan sebab hanya sekedar terjadinya akad nikah dengannya. 59 c. Haram dinikahi karena faktor susuan, yaitu: 1. Ibu yang menyusui. Karena, ia menjadi ibu bagi anak yang disusuinya 2. Ibu dari ibu yang menyusui (nenek). Karena, ia telah menjadi neneknya. 3. Ibu dari suami wanita yang menyusui. Karena, ia juga menjadi neneknya.
59
Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Op.cit, h. 570
38
4. Saudara perempuan ibu yang menyusui. Karena, ia menjadi bibi bagi yang disusui. 5. Saudara perempuan dari suami ibu yang menyusui. Karena, ia juga menjadi bibi bagi yang disusui dari pihak bapak 6.
Cucu perempuan dari ibu yang menyusui. Karena, mereka adalah kemenakan bagi anak yang disusui tersebut.
7. Saudara perempuan dari bapak dan ibu. Saudara perempuan dari bapak dan ibu yang menyusui. Yaitu wanita yang dususui, baik berbarengan dengan anak yang disusuinya maupun sebelum atau sesudahnya. Begitu pula dengan saudara perempuan dari bapak susuan, yaitu wanita yang disusui oleh istri bapak. Juga saudara perempuan dari ibu susuan, yaitu wanita yang disusui oleh ibu dengan air susu yang keluar dari suami lain.60 2. Larangan sementara (mahram ghairu muabbad) Wanita-wanita yang haram dinikahi tidak untuk selamanya (bersifat sementara), adalah sebagai berikut: 1.
Dua
perempuan
bersaudara haram dikawini oleh seorang laki-laki dalam waktu yang bersamaan; maksudnya mereka haram dimadu dalam waktu yang bersamaan.
60
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Terj: M. Abdul Gaffar E.M, (Jakarta timur: Pustaka Al-Kautsar, 2008), Cet. 1, h. 414-415
39
Apabila mengawini mereka berganti-ganti, seperti seorang laki-laki mengawini seorang wanita, kemudian wanita tersebut meninggal atau di cerai, maka laki-laki itu tidak haram mengawini adik atau kakak perempuan dari wanita yang telah meninggal dunia tersebut. Keharaman mengumpulkan dua wanita dalam satu perkawinan, ini juga diberlakukan terhadap dua orang yang mempunyai hubungan keluarga bibi dan kemenakan. Larangan ini dinyatakan dalam sebuah hadist Nabi riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah: ﺎﺎﻟﹶﺘِﻬﺧﺮﹶﺃﺓِ ﻭ ﳌ ﹾﺍ ﹶﻦﻴﺑﺎﻭﺘِﻬﻋﻤ ﻭ ِﺮﹶﺃﺓ ﳌ ﹾﺍ ﹶﻦﻴ ﺑﻤﻊ ﺠ ﻳ ﻰ ﺍﹶﻥﹾﻬ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧِﺒﻲﺍﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨ
"Sesungguhnya
Rasulullah SAW melarang mengumpulkan (sebagai
istri) antara seorang wanita dengan 'ammah atau khalan (bibinya)."
2.
Wanita
yang
terikat
perkawinan dengan laki-laki lain, haram dinikahi oleh seorang laki-laki. 3.
Wanita dalam iddah, baik iddah cerai maupun iddah
ditinggal
berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 228 4.
yang
sedang mati
dan 234
Wanita yang ditalak tiga, haram kawin lagi dengan bekas suaminya kecuali kalau sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa iddahnya.
40
5.
Wanita melakukan ihram, baik ihram umrah maupun
yang
sedang
ihram haji, tidak boleh
dikawini. Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Usman bin Affan:
( )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﻔﺎﻥﻄﹸﺐﺨﻻﹶﻳ ﻭﻜِﺢﻨﻻﹶﻳ ﻭﻡﺮ ﺍﹾﳌﹶﺤﻜِﺢﻨﻟﹶﻴ
"Orang
yang
sedang
ihram
tidak
boleh
menikah,
tidak
boleh
menikahkan, dan tidak boleh pula meminang".
6.
Wanita musyrik, haram dinikah. Yang dimaksud wanita musrik ialah yang menyembah selain Allah.61
61
DR. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A., Op.cit, h. 112-114