BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sastra merupakan buah pikiran manusia yang tertuang menjadi sebuah karya yang berwujud kata-kata. Kata-kata tersebut tersusun indah dengan tujuan sebagai sarana pengekspresian segala sesuatu yang ada di dalam kehidupan manusia. Damono (1984:1) mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, sedangkan kehidupan merupakan kenyataan sosial yang mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dan perorangan, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin yang kemudian menjadi bahan sastra. Menurut Kamil (2012:1), dalam bahasa Arab, sastra disebut adab dengan bentuk jamak atau pluralnya adalah ada>b. Terdapat pergerseran makna dalam penyerapan kata adab dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:5), kata adab berarti kesopanan; kehalusan dan kebaikan budi pekerti; akhlak. Dunia Kesusastraan Arab mengalami perkembangan dari masa ke masa mulai dari masa Jahiliyah hingga masa modern. Pengertian kata adab pun mengalami perubahan makna. Pada masa Jahiliyah (Pra-Islam) atau sekitar tahun 571 M, di samping berarti sopan santun, kata adab juga berarti ajakan makan. Bagi bangsa Arab, ajakan makan ini merupakan representasi dari sikap baik yang telah menjadi tradisi moyang bangsa Arab. Adapun pada masa awal Islam, kata
1
2
adab memiliki arti pendidikan atau pengajaran bahasa dan akhlak. Pada masa Umayyah (661-750 M) kata adab berarti pengajaran puisi, orasi, dan sejarah Arab. Pada masa awal Abbasiyyah (750-945 M) kata adab mengalami perluasan arti, tidak hanya sebagai pengajaran puisi, orasi, dan sejarah Arab, kata adab berarti pengajaran bicara dan nasihat. Kata adab baru memiliki pengertian sastra seperti yang dikenal saat ini pada abad ketiga Hijriyah (sekitar abad ke-10 atau 11 M), yaitu bahasa memiliki estetika dalam bentuk dan isinya (Kamil, 2012:3-5). Sastra pada umumnya berbentuk tulisan yang disampaikan dengan media bahasa yang komunikatif dengan hasil yang disebut karya sastra. Dalam kesusatraan Arab, karya sastra Arab terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu puisi (as-syi‘ru), prosa (an-nas\ru), dan naskah drama (al-masrah{iyyah) (Kamil, 2012:7). Salah satu bentuk prosa (an-nas\ru) adalah novel. Pradopo (2013:113) mengungkapkan bahwa karya sastra merupakan hasil cipta dari seorang pengarang sehingga karya sastra tidak bisa terlepas dari masyarakat dan budayanya. Oleh karena itu, untuk memberi makna terhadap karya sastra perlu adanya perhatian terhadap latar sosial budaya. Senada dengan Pradopo, Jabrohim (2014:215) juga mengungkapkan bahwa seorang pengarang senantiasa hidup dalam ruang dan waktu tertentu. Maksud dari ruang dan waktu tersebut adalah masyarakat atau suatu kondisi sosial, tempat berinteraksi berbagai pranata nilai. Di dalam ruang dan waktu tersebut terdapat berbagai macam permasalahan yang dihadapi. Dalam konteks ini, sastra bukanlah sesuatu yang otonom, yang bisa berdiri sendiri, melainkan memiliki ikatan yang sangat erat dengan situasi dan kondisi yang ada di dalam masyarakat.
3
Seperti penjelasan di atas, karya sastra berisi gambaran berbagai macam kondisi masyarakat. Adapun pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan disebut sosiologi sastra (Jabrohim, 2014:217). Dengan melakukan penelitian terhadap suatu karya sastra ditinjau dari sisi sosiologisnya, dapat diketahui bahwa tidak hanya tentang bagaimana hubungan sastra dengan kondisi sosial masyarakat saja. Akan tetapi, tentang bagaimana pengarang mencitrakan
konflik-konflik
yang
terjadi
di
dalam
masyarakat
dan
merepresentasikannya ke dalam sebuah karya sastra. Menurut Barakat (2012:282), di dunia Arab, karya sastra memiliki tempat tersendiri dalam realitas dan bukan hanya sebuah refleksi ataupun produk dari realitas. Akan tetapi, karya sastra memiliki kemampuan untuk menjadi agen pengubah kesadaran masyarakat. Nurgiyantoro (2010:5) mengatakan bahwa sebagai salah satu bentuk dari karya sastra, novel sebagai salah satu genre sastra menawarkan dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui unsur intrinsiknya yang bersifat imajinatif. Culler (dalam Ratna, 2012:335) juga menyampaikan bahwa lukisan melalui kata-kata tertentu akan menghasilkan dunia tertentu atau words dalam world. Dunia di sini adalah dunia sosial yang dihuni oleh
para
individu
dengan
karakteristik
yang
berbeda-beda
sehingga
masyarakatlah yang berperan sebagai pengondisi cerita, bukan sebaliknya. Menurut Ratna (2012:335), novel dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial, dengan beberapa alasan bahwa novel menampilkan unsurunsur cerita yang paling lengkap, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan,
4
bahasa yang digunakan cenderung sederhana, yaitu bahasa yang digunakan seharihari. Pertumbuhan novel-novel Arab memiliki keterkaitan dengan transformasi sosial dan politik (Barakat, 0212:282). Transformasi sosial dan politik yang terjadi dalam masyarakat Arab sedikit banyak mempengaruhi penceritaan suatu karya sastra yanglahir dan berkembang di tanah tersebut. Salah satu contoh penceritaan yang berkaitan dengan transformasi sosial adalah penceritaan karya sastra yang berkaitan dengan konsep agama dan keberagamaan masyarakatnya di mana agama merupakan bagian dari aspek sosial. Dalam KBBI (1989:456), kata "konsep" memiliki arti rancangan, ide, atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret. Sudarminta (2002:87) juga mengungkapkan bahwa konsep merupakan representasi yang bersifat abstrak dan umum di dalam pikiran yang merujuk pada kenyataan. Konsep membantu dalam pemahaman, pengenalan, dan penyebutan objek. Adapun kata "agama" dalam KBBI (1989:9) memliki arti kepercayaan kepada Tuhan. Houtart (dalam Sudarman, 1987:16) memandang bahwa agama berperan sebagai sistem yang mengatur makna atau nilai-nilai dalam kehidupan manusia yang digunakan sebagai titik referensi bagi seluruh realitas. Di dalam masyarakat, agama merupakan salah satu lembaga masyarakat yang memiliki peran sebagai pengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan antarmanusia dalam bermasyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa agama merupakan pedoman hidup manusia.
5
Agama dan keberagamaan merupakan dua kata yang berbeda makna. Kata beragama yang berasal dari kata dasar agama yang memiliki arti memeluk agama. Adapun kata beragama kemudian diberi imbuhan ke-dan–an sehingga menjadi keberagamaan. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mendapat imbuhan kedan-an mengandung makna, antara lain, sifat atau keadaan, seperti kebekuan (keadaan membeku), kebesaran (keadaan membesar), kerajinan, kepekaan, kejujuran dan lain-lain. Keberagamaan berarti keadaan atau sifat orang-orang yang beragama, yang meliputi keadaan dan sifat atau corak pemahaman, semangat dan tingkat kepatuhannya untuk melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari setelah orang-orang tersebut menjadi penganut suatu agama tertentu (Sindo, tt:6). Konsep agama memiliki dua makna, yaitu makna statis dan makna dinamis. Makna statis diorientasikan untuk menunjuk agama sebagai sistem sosial secara formal seperti agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Adapun makna dinamis terkait dengan sifat atau semangat keagamaan atau dengan kata lain religuisitas atau keberagamaan (Sudarman, 2008:51). Dengan demikian, konsep agama dan keberagamaan di sini bermaksud sebagai sebuah pandangan yang berkaitan dengan kepercayaan kepada Tuhan. Pandangan tersebut tidak hanya tertuang di dalam pemikiran seorang umat beragama melainkan diwujudkan dalam berbagai aktivitas sebagai bentuk ketaatan umat kepada ajaran agama yang telah ia yakini. Dalam penelitian ini, istilah konsep agama dan keberagamaan digunakan secara bersama-sama dan merujuk pada pengertian statis dan dinamis yang telah disampaikan di atas.
6
Di dunia Arab, lahir banyak sastrawan yang menyajikan cerita-cerita (karya sastra) yang memiliki keterkaitan dengan konsep agama tersebut. Salah satunya adalah ‘Abdul-Maqs}u>d Muh{ammad, seorang sastrawan berkebangsaan Mesir. Di negaranya, ia termasuk salah satu penulis yang sangat produktif. Banyak karya sastra yang telah ia hasilkan baik dalam bentuk novel, cerpen, naskah drama, buku cerita anak. Beberapa penghargaan ia peroleh dari penulisan skenario sinetron yang disiarkan di radio dan televisi. Adapun Bi>lsa>n merupakan karyanya yang berbentuk novel yang dirilis pada 18 Agustus 2014. Bi>lsa>n menceritakan kisah hidup seorang insinyur wanita pemeluk S{a>bi’i
bernama Bi>lsa>n yang menikah dengan seorang insinyur muslim Mesir bernama H{a>tim. Pada awalnya, ayah Bi>lsa>n tidak merestui pernikahan tersebut dengan alasan bahwa kaum S{>abi’i hanya menikah dengan sesama kepercayaan mereka. Atas bujukan paman Bi>lsa>n, H{aidar, akhirnya pernikahan tersebut dapat terlaksana. Setelah pernikahan, Bi>lsa>n mengikuti H{a>tim tinggal dan menetap di Kairo, Mesir dan mengganti kewarganegaraannya menjadi warga negara Mesir. Dari pernikahan berbeda kepercayaan tersebut, mereka dikaruniai dua orang anak, Amjad dan Rawa>n. Selang beberapa tahun, sebuah tragedi kecelakaan merenggut nyawa H{a>tim. Setelah kematian H{a>tim, pendidikan kedua anak H{a>tim dan Bi>lsa>n berada di bawah perhatian Bi>lsa>n termasuk dalam hal pendidikan agama mereka yang mengikuti agama ayah mereka. Sebagai pemeluk S{>abi’i. Bi>lsa>n juga mempelajari agama Islam dari almarhum suaminya dan beberapa agama dari teman-temannya. Berdasarkan lingkungan tempat ia tinggal dan tanggung jawabnya untuk
7
mengajarkan agama Islam kepada kedua anaknya mendorong Bi>lsa>n untuk melaksanakan aktivitas-ativitas keagamaan yang diperintahkan dalam agama Islam meskipun secara formal ia bukanlah seorang muslim. Ia tidak buru-buru menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang muslim karena ia takut hubungannya dengan keluarganya yang merupakan penganut S{>abi’i di Irak akan terputus. Kondisi invasi di Irak oleh Amerika Serikat sejak tahun 2003 menghambat adanya komunikasi antara Bi>lsa>n dengan keluarganya di Irak terutama kakaknya, Adnan. Secara tidak langsung, adanya kesulitan komunikasi tersebut justru memudahkan Bi>lsa>n untuk memilih agama yang sesuai dengan hati nuraninya, yaitu Islam. Sebagai sebuah karya sastra, novel Bi>lsa>n mencerminkan gambarangambaran kondisi masyarakat Mesir yang berkaitan dengan konsep agama dan keberagamaan yang ditunjukkan oleh para tokoh sehingga novel ini layak untuk diteliti dengan menggunakan analisis sosiologi sastra.
1.2 Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah tentang konsep agama dan keberagamaan di dalam novel
Bi>lsa>n karya ‘Abdul-Maqs}u>d Muh{ammad.
8
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi konsep agama dan keberagamaan di dalam novel Bi>lsa>n karya ‘Abdul-Maqs}u>d Muh{ammad
1.4 Tinjauan Pustaka Sejauh pengamatan penulis, baik melalui perpustakaan online maupun perpustakaan yang berada di beberapa universitas, belum pernah ada penelitian terhadap novel Bi>lsa>n karya ‘Abdul-Maqs}u>d Muh{ammad, baik dari segi sastra maupun bahasa oleh mahasiswa Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada dan beberapa universitas yang lain seperti Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Melihat waktu penerbitan, yaitu pada bulan Juni 2014, novel Bi>lsa>n ini termasuk ke dalam jajaran novel baru. Begitu pula dengan sang penulis novel, penulis belum menemukan adanya karya ilmiah yang membahas mengenai karyakarya yang ditulis oleh ‘Abdul-Maqs}u>d Muh{ammad. Oleh karena itu, novel tersebut layak untuk digunakan sebagai objek material penelitian dengan analisis sosiologi sastra. Terkait dengan analisis sosiologi sastra pada penelitian ini, beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan terhadap bentuk karya sastra yang sama (novel) dengan menggunakan analisis yang sama. Di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Prawijaya (2007) dalam skripsinya yang berjudul „Novel Az{-
Zillul-Aswad karya Naji>b Kaila>ni>: Analisis Sosiologi Sastra‟. Kisah tersebut
9
menceritakan tentang masa kepemimpinan Kaisar Iyasu di Ethiopia. Dalam masa kepemimpinannya ia menanamkan kehidupan yang damai dengan kebebasan beragama. Akan tetapi, masa kepemimpinannya tidak berjalan lama karena adanya usaha kudeta dari orang-orang yang tidak sepaham. Tampak juga adanya kepentingan barat untuk kekuasaan dan perebutan pengaruh Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Penulis menggambarkan kondisi masyarakat Ethiopia yang sebenarnya dan mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakatnya sehingga terdapat koherensi antara cerita dan novel. Penelitian lain yang senada juga dilakukan oleh Salavia (2015) dalam skripsinya yang berjudul „Perubahan Sosial di Mesir Sejak 1880-an hingga 1981 dalam Novel Al-Ba>qiyu minaz-Zama>ni Sa>‘atun Karya Naji>b Mahfu>z{: Analisis Sosiologi Sastra‟. Kesimpulan dari penelitian tersebut bahwa terdapat tiga perubahan pandangan masyarakat dalam tiga generasi dalam suatu keluarga. Ketiga pandangan tersebut adalah pandangan tentang pendidikan, pekerjaan, dan pernikahan. Dalam aspek pendidikan, pandangan berawal bahwa pendidikan hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Pandangan tersebut bergeser lebih luas bahwa pendidikan diperbolehkan untuk siapa saja, termasuk perempuan. Dalam aspek pandangan mengenai pekerjaan, kini ruang lingkup wanita sudah tidak dibatasi sehingga bukanlah sebuah hal yang tabu jika seorang perempuan bekerja. Yang ketiga, pandangan tentang pernikahan. Sebenarnya perjodohan merupakan budaya yang ada dari masa ke masa. Dalam novel tersebut diceritakan adanya perubahan pandangan dalam hal pengambilan keputusan oleh tokoh anak. Jika pada zaman
10
dahulu perjodohan harus diterima dan tidak dapat ditentang oleh sang anak, lain halnya saat ini. Semua keputusan tentang perjodohan ada di tangan anak. Ketiga pandangan dalam novel tersebut ada di dalam dunia nyata sehingga terdapat koherensi antara novel dengan kondisi yang ada di masyarakat. Penelitian dengan menggunakan analisis sosiologi sastra terhadap novel juga telah dilakukan oleh Farida (2013), mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dengan judul ‘Ar-Riwa>yah ‘Ima>ratu Ya’qu>byan’ li ‘Ala>’ alAswa>ni>: Dira>sah Tah{li>liyyah Ijtima>’iyyah Adabiyyah’. Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa terdapat kekacauan di Negara Mesir karena adanya pemerintahan yang kacau. Ketidakadilan pemimpin semakin memperburuk keadaan sehingga memunculkan adanya revolusi dari rakyat. Kondisi di dalam novel tersebut menggambarakan kondisi Mesir yang sesungguhnya dalam kurun waktu dari tahun 1981 hingga 2011 sehingga terdapat koherensi antara novel dengan kondisi di dunia nyata. Hal yang membedakan antara penelitian ini dengan beberapa penelitan dengan menggunakan analisis sosiologi sastra sebelumnya adalah dari sisi objek formal yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu konsep agama dan keberagamaan masyarakat Mesir dalam novel Bi>lsa>n. Selain itu, belum adanya penelitian dengan objek formal, material, dan teori yang sama menjadikan penelitian terhadap novel Bi>lsa>n karya
‘Abdul-Maqs}u>d Muh{ammad layak dilakukan untuk menambah
pengetahuan dalam dunia kesusastraan Arab.
11
1.5 Landasan Teori Teori adalah seperangkat hipotesis yang digunakan untuk menjelaskan data bahasa, baik bersifat lahiriah seperti bunyi bahasa maupun yang bersifat batiniah seperti makna (Kridalaksana, 2008:213). Teori yang digunakan dalam penelitian terhadap novel berjudul Bi>lsa>n karya ‘Abdul-Maqs}u>d Muh{ammad ini adalah dengan menggunakan analisis sosiologi sastra. Kata sosiologi pertama kali dicetuskan oleh seorang filsuf Perancis bernama Auguste Comte. Kata sosiologi berasal dari bahasa Latin yang terdiri atas dua suku kata, yaitu socius dan logos. Socius memiliki arti bersama-sama, bersatu, kawan, dan teman, sedangkan logos memiliki arti ilmu. Jadi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan antaranggota masyarakat di dalam lingkungannya (Ratna, 2003:1). Sosiologi merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial (Swingewood, 1972:11). Secara umum, sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat karena masyarakat adalah objek utama kajian ilmu tersebut. Menurut Damono (1984:6), sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah lembaga, dan proses sosial. Sosiologi mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial yang ada dengan berbagai macam permasalahan yang terdapat di dalamnya, akan diketahui gambaran-gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri
12
dengan lingkungan, dan juga tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing. Dalam pembahasan mengenai hubungan sastra dan sosiologi, dapat dilihat bahwa di dalam karya sastra terdapat fakta-fakta sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Fakta-fakta tersebut diceritakan kembali ke dalam bentuk karya sastra. Ilmu sosiologi digunakan untuk membantu menjelaskan fakta-fakta yang terjadi di dalam karya sastra. Sastra dan Sosiologi merupakan dua ilmu yang saling mendukung satu sama lain karena menjadikan masyarakat sebagai objek utama penelitian. Akan tetapi, pada hakikatnya kedua ilmu ini memiliki perbedaan. Damono (1984:7) mengungkapkan bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan sastra menyusup menembus ke permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Beberapa penulis menyebutkan bahwa sosiologi sastra merupakan pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Pada dasarnya, istilah sosiologi sastra tidak berbeda pengertian dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis atau penekatan sosiokultural terhadap sastra (Damono, 1984:2). Senada dengan Damono, Rokhmansyah mengungkapkan bahwa sosiologi sastra dianggap sebagai perkembangan teori mimetik atau cerminan, yang diungkapkan oleh Plato, yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial dalam masyarakat (Rokhmansyah, 2014:151).
Sosiologi sastra dapat diartikan sebagai pengkajian karya sastra
dengan melihat aspek-aspek sosial yang ada di dalam masyarakat.
13
Dalam konteks sosiologi sastra, terdapat dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cerminan proses sosial ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra. Di sini, sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Dalam hal ini, teks sastra tidak dianggap sebagai hal utama. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam penelitian sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian digunakan untuk memahami lebih dalam tentang gejala sosial di luar sastra (Damono, 1984:2). Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian terhadap Bi>lsa>n mengacu kepada pendekatan yang kedua, yaitu penelaahan dilakukan terhadap teks novel kemudian digunakan untuk memahami kondisi nyata yang terjadi di dalam masyarakat. Swingewood (1972) memandang bahwa ada dua corak penelitian sosiologi dengan menggunakan data sastra (sosiologi sastra). Yang pertama, penelitian bermula dari lingkungan sosial dengan melihat fakta-fakta sosial yang menghasilkan karya sastra pada masyarakat tertentu (Sociology of Literature). Corak yang kedua, penelitian dengan menghubungkan karya sastra dengan genre dan masyarakat tertentu (Literary of Sociology). Ratna (2012:332-333) mengungkapkan bahwa penelitian karya sastra perlu memperhatikan beberapa pertimbangan kaitannya dengan masyarakat, “Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa karya sastra memiliki kaitan yang erat dengan masyarakat sehingga perlu diteliti dalam kaitannya denga masyaraka, sebagai berikut.
14
(1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat. (2) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspekaspek kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. (3) Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melakukan kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan. (4) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. (5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.”
Dalam perspektif sosiologis, Barakat (2012:282) menyatakan bahwa karya sastra (khususnya novel) dapat dianalisis menurut empat fenomena, yaitu (1) sebagai eksplorasi ranah alternatif perilaku manusia, (2) sebagai produk atau manifestasi sosial, (3) sebagai ekspresi subliminal dan katartis, dan (4) sebagai sistem komunikasi yang mempengaruhi kesadaran manusia. Dalam hal ini, Bi>lsa>n menggambarkan realitas sosial yang terjadi di Irak dan Mesir. Berbagai aspek sosial seperti aspek agama, ekonomi, politik, dan sosial-budaya tergambar secara nyata dalam cerita. Penggambaran tersebut terkait dengan analisis perspektif sosiologis yang kedua, yaitu sebagai produk manifestasi sosial atau sebagai perwujudan kondisi sosial yang ada di kedua negara tersebut.
1.6 Metode Penelitian Metode adalah cara-cara atau strategi untuk memahami realitas, langkahlangkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah sehingga mudah untuk dipecahkan dan dipahami (Ratna, 2012:34). Metode yang digunakan dalam penelitian
15
terhadap novel berjudul Bi>lsa>n karya ‘Abdul-Maqs}u>d Muh{ammad adalah metode dialektika. Metode dialektika yaitu pemahaman bolak-balik antara struktur sosial dengan teks yang akan diteliti (Goldmann dalam Faruk, 2003:20). Metode tersebut membantu dalam menemukan aspek-aspek sosial yang ada di dalam novel.
Prinsip-prinsip metode
dialektika
hampir
sama
dengan
metode
hermeneutika, terutama pada gerak spiral dalam mengeksplorasi makna (Ratna, 2012:52). Ratna (2012:339), mengemukakan bahwa terdapat tiga model analisis yang dapat digunakan. Ketiga model analisis tersebut adalah sebagai berikut. “… (1) Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi. (2) Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika. (3) Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan dengan disiplin tertentu. Model penelitian seperti ini yang pada umumnya menghasilkan penelitian karya sastra sastra sebagai gejala kedua.”
Dari ketiga model analisis di atas, penelitian terhadap novel ini lebih cenderung kepada pertimbangan analisis yang pertama, menganalisis masalah yang ada di dalam novel Bi>lsa>n dan menghubungkannya ke dalam realita yang ada. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Menentukan objek material penelitian, yaitu novel berjudul
Bi>lsa>n karya ‘Abdul-Maqs}u>d Muh{ammad. (2) Menentukan objek formal penelitian yaitu tentang masalah pokok yang terdapat dalam
novel, dalam
penelitian ini adalah kondisi keagamaan dan politik Mesir dan Irak. (3)
16
Menentukan teori yang digunakan sebagai dasar penelitian. Teori tersebut mengacu pada objek formal. Adapun teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra. (4)
Data-data yang berupa kalimat yang telah diperoleh dari novel
kemudian dianalisis dengan menggunakan teori yang telah ditetapkan. Penelitian ini mencermati peristiwa, dialog, dan pemikiran para tokoh yang terdapat dalam novel yang berkaitan dengan konsep agama dan keberagamaan, (5) Mengambil kesimpulan atas analisis yang diperoleh, dan (6) Menyajikannya dalam format laporan penelitian.
1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada penelitian ini terbagi menjadi empat bab, yaitu: Bab I adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan, dan pedoman translaterasi Arab-Latin. Bab II meliputi sinopsis novel
Bi>lsa>n, biografi ‘Abdul-Maqs}u>d Muh{ammad, dan Mesir dalam realita. Bab III merupakan analisis konsep agama dan keberagamaan dalam novel Bi>lsa>n dengan menggunankan teori sosiologi sastra. Bab IV berisi kesimpulan dari analisis terhadap novel yang telah dilakukan
1.8 Pedoman Transliterasi Arab-Latin Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penelitian terhadap novel Bi>lsa>n karya ‘Abdul-Maqs}u>d Muh{ammad ini menggunakan pedoman transliterasi ArabLatin berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
17
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 22 Januari 1988 No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987. 1. Konsonan Konsonan bahasa Arab dilambangkan dengan huruf hijaiyah atau disebut dengan huruf Arab. Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
أ ب ت ث ج ح خ د ذ ز ش ض ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و
alif bā‟ tā‟ sā‟ Jīm ḥā‟ khā‟ dāl zāl rā‟ zā‟ sīn syīn sād dād tā‟ zā‟ „ain gain Fā qāf kaf lām mīm nŭn wawu
B T Ś J ḥ Kh D Ż R Z S Sy ṣ ḍ ṭ ẓ „ G F Q K L M N W
tidak dilambangkan s dengan titik di atasnya h dengan titik di bawahnya z dengan titik di atasnya s dengan titik di bawahnya d dengan titik di bawahnya t dengan titik di bawahnya z dengan titik di bawahnya koma terbalik -
ي ال
hā‟ lam alif
H -
ء
hamzah
`
ي
yā‟
Y
apostrof, tetapi lambang ini tidak digunakan untuk hamzah di bawah kata -
18
2. Vokal Vokal Pendek
Vokal Panjang
Diftong
ﹷ…ا:ā ﹻ…ي:ī ﹹ…و:ū
ﹷ … ي: ai ﹷ … و: au
… ﹷ: a ... ﹻ: i ... ﹹ: u 3. Tā Marbūṭah
Transliterasi untuk tā Marbūṭah ada dua, yaitu: a. Tā Marbūṭah hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah, atau dammah, transliterasinya adalah /t/. b. Tā Marbūtah mati atau mendapat sukūn, transliterasinya adalah /h/. Kalau pada kata yang terakhir dengan Tā Marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta kedua kata itu terpisah, maka Tā Marbūṭah itu ditransliterasikan dengan /h/. Contoh:
المىىزة ّ
المديىة:
al-Madīnah
al-Munawwarah
atau
al-Madīnatul-
Munawwarah. 4. Syaddah Tanda Syaddah dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut. ّ : nazzala Contoh: وصل 5. Kata Sandang Transliterasi kata sandang dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah. a.
kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya, yaitu huruf /I/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut.
19
ّ ال: asy-syamsu Contoh: شمط b.
kata sandang yang diikuti huruf qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan
bunyinya, yaitu /I/ ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Contoh: القمس
: al-qamaru
6. Hamzah Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof jika terletak ditengah dan akhir kata. Bila terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab berupa alif. ّ : inna, ويأخر: ya`khużu, قسأ: qara`a Contoh: إن 7. Penulisan Kata Pada dasarnya setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka transliterasinya dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya. ّ Contoh: الساشقيه ّ وإن هللا لهى خيس
: Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn atau
innallāha lahuwa khairur-rāziqīn 8. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Contoh: و ما دمحم إالّ زظىل
: Wa mā Muḥammadun illā rasūl