1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masyarakat Buton dalam kehidupannya terikat kuat oleh tradisi lisan. Tradisi lisan tersebut berupa tuturan yang memberi ciri khas terhadap individu atau kelompok penuturnya. Salah satu bentuk tradisi lisan yang memberi ciri khas terhadap penuturnya adalah sastra lisan. Sastra lisan masyarakat Buton yang ditemukan di antaranya cerita, kisah, nasihat, petuah, hukum adat, ungkapan, peribahasa yang tumbuh dan berkembang secara lisan yang disampaikan dari orang tua ke anak, dari nenek ke cucu, paman ke kemenakan, dan hubungan sosial di lingkungannya. Sehubungan dengan pengungkapan kisah atau cerita lisan ini, Junus (1993:2) berpendapat bahwa cerita ialah perjalanan peristiwa yang dialami seseorang, ada yang memulakan dan mengakhiri dan ada yang menyebabkan terjadinya. Salah satu sastra lisan masyarakat Buton adalah cerita Wandiudiu. Cerita Wandiudiu merupakan salah satu sastra lisan masyarakat Buton, yang
disampaikan
melalui
cerita
yang
selalu
menyajikan
kisah-kisah
pembelajaran tentang kehidupan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wellek dan Warren (1993:109) bahwa sastra menyajikan “kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar merupakan kenyataan sosial. Wandiudiu diceritakan dengan bahasa daerah Buton yang penuh kiasan dan sarat dengan sindiran yang mengatakan kebenaran berupa petuah atau nasihat. Dalam cerita Wandiudiu, juga diungkap mengenai pendidikan baik
2 langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan sikap, tingkah laku, pola pikir, dan moral masyarakat. Persoalan pendidikan moral atau budi pekerti (dalam ajaran Islam lebih dikenal sebagai akhlak) sampai saat ini masih menjadi fokus pembicaraan yang menarik untuk dikaji.
Dalam kehidupan berbangsa di negara kita ini masih
dihadapkan pada berbagai permasalahan moral, begitu pula dengan masyarakat Buton. Masyarakat Buton mengalami masalah dengan moral. Hal ini dapat dilihat dari masih tingginya kasus tindakan kekerasan, yang terjadi diantara para pelajar, antarmahasiswa, antarmasyarakat, dalam keluarga, dilakukan oleh preman, bahkan oleh oknum penguasa.
maupun yang
Tindak kriminalitas
lainnya pun terjadi, seperti perampokan , disertai pemerkosaan dan pembunuhan, serta dekadensi moral, etika, sopan santun yang dilakukan oleh para pelajar. Dekadensi moral para pelajar dapat dilihat dengan meningkatnya ketidakjujuran pelajar, seperti, menyontek, suka membolos, suka mengambil barang milik orang lain. Di samping itu, berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan figur yang seharusnya dihormati. Fakta lain adalah adanya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri, seperti perilaku seks bebas, penyalahgunaan narkoba, dan perilaku bunuh diri. Di samping itu, sikap saling menghormati dan rasa kasih sayang di antara manusia semakin
luntur dan
semakin meningkatnya sifat kejam dan bengis terhadap sesama. Hal lainnya adalah korupsi, kolusi dan nepotisme serta berbagai persoalan lainnya yang mengarah pada terjadinya dekadensi moral bangsa semakin banyak terjadi.
3 Trend meningkatnya kekerasan dan kriminalitas tidak hanya pada aspek kuantitasnya, tetapi juga pada aspek kualitasnya. Hal ini terlihat dari jumlah angka kriminalitas dan peristiwa kekerasan yang semakin bertambah intensitasnya dari tahun ke tahun dengan berbagai modus operandi yang semakin kompleks dan canggih. Tidak hanya itu saja, subjek dan objek kekerasan juga semakin ekstensif, tidak hanya terbatas pada orang dewasa, tetapi juga mengorbankan anak-anak. Media massa memberitakan peristiwa-peristiwa pembunuhan, perkosaan, pelecehan seksual, pemukulan terhadap teman sejawat, bahkan tindakan bunuh diri menjadi fenomena yang cukup mengkhawatirkan bagi dunia anak-anak. Realitas di atas menyentak kesadaran bersama sebagai bangsa Indonesia yang memiliki kekayaan nilai, baik yang bersifat tradisional, maupun religius. Hal itu sebenarnya mampu dijadikan pedoman secara struktural dan kultural yang dapat mencegah munculnya perilaku-perilaku menyimpang tersebut. Namun, realitas yang terjadi justru sebaliknya, yaitu nilai-nilai moralitas yang ada ternyata belum memiliki efektivitas yang maksimal dan mampu mencegah timbulnya tindakan-tindakan menyimpang yang kini justru telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara das sein (realitas) dengan das sollen (idealitas). Berbagai argumentasi muncul terkait dengan adanya gap yang tajam antara idealitas dengan realitas. Misalnya, sistem pendidikan yang belum efektif menginternalisasikan nilai-nilai dalam kesadaran anak didik, pendidikan dalam keluarga yang kurang maksimal, sistem dakwah yang belum menyentuh kesadaran masyarakat, media yang tidak memihak kepentingan masyarakat, dan
4 sebagainya. Beberapa alasan tersebut perlu dikaji secara lebih mendalam sehingga diketahui faktor-faktor yang memberikan kontribusi munculnya peristiwa kekerasan dalam masyarakat dan keluarga. Semua pihak berharap pembangunan nasional dapat menciptakan jati diri bangsa yang disiplin, jujur, beretos kerja tinggi, dan berakhlak mulia, tetapi kenyataannya belum dapat diwujudkan bahkan cenderung menurun. Orang mulai menyadari pentingnya moral dan karakter bangsa yang berbudi pekerti luhur. Namun, dalam kurikulum pendidikan nasional, pendidikan budi pekerti secara spesifik belum menjadi mata pelajaran tunggal yang mandiri, tetapi secara eksplisif merupakan bagian integral dari pendidikan agama dan kewarganegaraan dan inklusif pada mata pelajaran sastra Indonesia.
Tabel 1.1 Alokasi Waktu Pendidikan Agama dan Kewarganegaraa pada KTSP di Sekolah-Sekolah di Sulawesi Tenggara Jenis Mata Pelajaran
Alokasi Waktu (Jam Pelajaran/JP) SD/MI SMP/MTs SMA/SMK/MA Pendikan Agama 3 JP 2 JP 2 JP Pendidikan Kewarganegaraan 2 JP 2 JP 2 JP Sumber: Pengolahan Data Lapangan Tujuan pendidikan nasional yang terkandung dalam Undang-undang No. 20, Tahun 2003 Pasal 3 adalah sebagai berikut: “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” Sehubungan dengan itu melalui pendidikan budi pekerti yang terintegrasi dalam pendidikan agama, sastra Indonesia dan kewarganegaraan, pendidik dapat
5 berkreasi menggunakan bahan ajar dari nilai-nilai luhur berupa kearifan lokal yang terdapat dalam cerita rakyat (folklore) baik lisan maupun tulisan. Namun demikian harapan dan cita-cita dari undang-undang ini belum tercapai. Ada tiga asumsi yang menyebabkan gagalnya pendidikan moral/budi pekerti ke dalam sikap dan perilaku siswa. Pertama, adanya anggapan bahwa persoalan pendidikan moral adalah persoalan klasik yang penanganannya adalah tanggung jawab guru saja. Kedua, rendahnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam mengembangkan dan mengintegrasikan aspek-aspek moral/budi pekerti ke dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan. Ketiga, proses pembelajaran mata pelajaran yang berorientasi pada akhlak dan moralitas serta pendidikan agama cenderung bersifat transfer of knowledge dan kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari. Akhir-akhir ini banyak pihak mulai mengintensifkan tentang perlunya pendidikan moral, watak atau budi pekerti diajarkan di sekolah-sekolah. Kurikulum pada saat ini menempatkan pendidikan budi pekerti sebagai pendidikan yang terintegrasi dengan mata pelajaran lain dalam pembelajaran. Namun, sebagaimana
dinyatakan dalam asumsi kegagalan pendidikan budi
pekerti terdahulu bahwa pengintegrasian suatu muatan pembelajaran ternyata bukan pekerjaan mudah bagi sebagian guru. Oleh karena itu, diperlukan strategi tertentu agar pembelajaran pendidikan budi pekerti berjalan secara efektif. Cerita Wandiudiu yang telah melekat pada masyarakat Buton diasumsikan sampai dapat digunakan sebagai bagian dari sarana pembelajaran pendidikan budi pekerti, sekaligus sebagai solusi dari banyaknya tindakan kekerasan yang masih
6 terus berkembang. Dalam cerita Wandiudiu terungkap budi pekerti diajarkan dan diterapkan, akibat dari tidak adanya budi pekerti yang baik, kasih sayang, dan hal lainnya. Secara ringkas cerita Wandiudiu menceritakan tentang seorang perempuan malang yang rela menerima siksa dari lelaki pilihannya sendiri. Kasih sayang yang besar pada anak-anaknya menyebabkan ia rela diperlakukan kasar oleh lelaki yang seharusnya mengasihinya. Wandiudiu tidak tega melihat anaknya menjadi sasaran perlakuan kasar dari suaminya. Wandiudiu selalu melindungi anak-anaknya dalam rengkuh dekap pelukannya dari pukulan dan tendangan yang tidak lain adalah ayah mereka. Wandiudiu perempuan sabar bernasib tragis yang diikat takdir dalam kemiskinan yang memiriskan hati, dalam derita berbungkus cinta yang perih dari lelaki pembual. Sejatinya, persoalan pendidikan tidak hanya dapat diselesaikan dengan mengedepankan pembelajaran yang didapat oleh anak didik di sekolah, tetapi seharusnya bisa diselesaikan oleh keluarga dan masyarakat dengan mengambil pelajaran berupa amanat cerita Wandiudiu. Dalam hal ini Widja (2012:10) menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pendidikan dari segi budaya hakikatnya sama saja dengan menempatkan posisi pendidikan sebagai bagian dari jaringan praktik kehidupan sosial budaya yang kompleks dari satu masyarakat. Hal ini berarti bahwa proses pendidikan tidak hanya harus dibatasi pada praktikpraktik pembelajaran di sekolah, tetapi merupakan konstruksi dari budaya setempat. Berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti akan mengungkapkan praktik pemaknaan terhadap cerita Wandiudiu. Hasil pemaknaan cerita tersebut
7 dapat menjadi sarana pendidikan dan
pembelajaran budi pekerti. Hal ini
dimaksudkan agar siswa yang akan terjun ke masyarakat memiliki moral yang baik.
1.2 Rumusan Masalah Masalah yang dibahas di dalam penelitian terhadap cerita Wandiudiu ini adalah sebagai berikut. 1) Bagaimanakah bentuk wacana otoritarian ayah pada anak yang dijabarkan dalam cerita Wandiudiu. 2) Bagaimanakah fungsi
wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita
Wandiudiu bagi masyarakat Buton? 3) Apakah makna wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita Wandiudiu dalam masyarakat Buton?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, dan memahami, dan mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan makna wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita Wandiudiu pada masyarakat Buton Sulawesi Tenggara. Selain itu penelitian ini mendalami kaitan berbagai latar belakang sosial dan budaya yang telah tumbuh dalam kehidupan sehari-hari di Buton dengan teks dan wacana otoritarian ayah terhadap anak.
8 1.3.2 Tujuan Khusus Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui bentuk wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita Wandiudiu pada masyarakat Buton 2) Untuk mengetahui fungsi wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita Wandiudiu pada masyarakat Buton. 3) Untuk menginterpretasi makna wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita Wandiudiu pada masyarakat Buton.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dibedakan atas dua, yakni manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat tersebut diuraikan sebagai berikut. 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat lokal Buton. Selain itu, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pengembangan wawasan keilmuan karya sastra, khususnya dalam pengkajian wacana sastra yang ada di Nusantara yang kini mulai terlupakan oleh masyarakat. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut. 1) Pemerintah, khususnya pemerintah daerah dapat menentukan dan menetapkan kebijakan yang tepat dalam upaya pelestarian budaya-budaya lokal yang
9 dimiliki masyarakat yang memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Buton pada khususnya. 2) Pihak-pihak yang peduli dengan pelestarian budaya-budaya lokal terutama yang berkaitan dengan cerita Wandiudiu oleh masyarakat yang semakin punah. 3) Penelitian khusus tentang kebudayaan masyarakat Buton atau yang mengkaji kearifan lokal secara umum. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, menambah pengetahuan, pemahaman dan kesadaran tentang arti penting menggali dan memaknai cerita Wandiudiu sebagai bagian dari masa lalu.
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Kajian tentang tradisi lisan yang berasal dari Buton belum banyak dilakukan. Berikut dijelaskan beberapa pengkajian sastra lisan yang pernah terdata, di antaranya sastra lisan yang berasal dari daerah Ciacia, Buton dengan judul penelitian “Maula Sebuah Tradisi Lisan Masyarakat Ciacia Kabupaten Buton (Telaah Bentuk, Isi, dan Fungsi) oleh Rahmawati Masiri. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Masiri adalah dalam penggunaan objek material yang sama berupa cerita rakyat. Perbedaannya dalam hal objek formalnya dengan sudut pandang yang berbeda dalam melihat cerita rakyat. Metode yang digunakan oleh Masiri adalah metode deskriptif dengan alat analisis teori strukturalis fungsional. Dalam penelitian ini Masiri mengungkapkan bahwa bentuk Maula, yaitu tradisi lisan yang berbentuk puisi lama yang terdiri atas dua larik dalam sebait, memiliki sepuluh sampai limabelas suku kata di tiaptiap barisnya serta memiliki konsep persajakan: sajak awal, sajak tengah, dan sajak akhir. Selain itu bersifat anonim, yaitu penyampaian dan penyebarannya dari mulut ke mulut. Berdasarkan isi, Maula memiliki beberapa tema, yakni nasihat, agama, curahan hati, dan percintaan. Fungsi yang terkandung dalam Maula, yaitu sebagai sarana pendidikan bagi
anak-anak, sebagai hiburan, dan pelestarian
budaya. Penelitian Maula ini menjadi inspirasi dalam mencari bentuk, fungsi, dan makna dalam cerita Wandiudiu.
11 Halida Nuria (2014) dalam tesis berjudul ”Kekerasan Orang Tua terhadap Anak dalam Cerita Rakyat Tolire Jaha dari Ternate” memiliki objek formal yang sama dengan penelitian ini. Objek material yang digunakan oleh Halida adalah cerita rakyat Ternate yang mengandung pesan kekerasan orang tua terhadap anak. Persamaan lainnya adalah tesis ini menggunakan teori semiotik dalam menganalisis makna wacana dan tesis ini menambahkan teori psikologi sosial dan teori persepsi untuk menganalisis bentuk dan fungsi wacana. Penelitian Halida membahas bentuk-bentuk kekerasan orang tua terhadap anak dalam cerita rakyat Tolore Gam Jaha di Ternate Maluku Utara, resepsi masyarakat Kota Ternate Maluku Utara mengenai fenomena kekerasan orang tua terhadap anak dalam cerita Tolore Gam Jaha dan dampak serta makna kekerasan orang tua terhadap anak dalam cerita Tolore Gam Jaha. Hasil penelitian Halida menjelaskan bahwa ada dua bentuk kekerasan orang tua terhadap anak dalam cerita Tolore Gam Jaha yaitu: (1) kekerasan seksual terhadap anak; dan (2) kekerasan simbolik. Masyarakat melihat adanya larangan berzina, larangan inses, dan larangan mengonsumsi narkoba dan minuman keras dalam cerita Tolore Gam Jaha. Cerita ini memberikan dampak positif sekaligus negatif dalam mengonstruksi perilaku dan praktik-praktik kehidupan masyarakat. Makna cerita Tolore
Gam Jaha, antara lain makna religius, makna edukatif, dan makna
pelestarian. Thesis Halida memberikan wawasan tentang dampak sebuah teks (cerita rakyat) dalam proses konstruksi sosial.
12 Tesis Halfian Wa Ode (2011)
berjudul “Analisis Struktur dan Nilai
Budaya dalam Cerita Rakyat Masyarakat Wakorumba Selatan di Sulawesi Tenggara serta Model Pelestariannya”. Objek material penelitian ini sama-sama berupa cerita rakyat di Sulawesi Tenggara, tetapi berbeda dalam objek formalnya. Penelitian Halfian menjelaskan struktur cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan, nilai-nilai budaya masyarakat Wakorumba Selatan dalam cerita-cerita rakyat tersebut, dan
model pelestarian cerita rakyat masyarakat Wakorumba
Selatan. Teori yang digunakan untuk menganalisis data berkaitan dengan ilmu sastra, pendekatan struktural, nilai budaya, dan cerita rakyat. Penelitian Halfian juga menggunakan metode deskriptif analitik kualitatif. Cerita-cerita rakyat masyarakat Wakorumba Selatan mengandung nilai-nilai budaya yang menyangkut hubungan manusia sebagai diri pribadi (berlaku tenang dan tidak terburu-buru, menambah pengetahuan hidup, dan membina disiplin pribadi), hubungan manusia dengan sesama manusia (tolong-menolong dalam kebaikan, bersikap dermawan, bersikap adil terhadap sesama, bijaksana, pemaaf, musyawarah, dan tenggang rasa), hubungan manusia dengan alamnya (memanfaatkan alam), serta hubungan manusia dengan Tuhannya (arajak dan doa), selain itu, model pelestarian cerita rakyat ini dapat dilakukakan dengan menjadikan cerita rakyat ini sebagai bahan ajar bagi siswa-siswa di sekolah, membuat buku kumpulan cerita rakyat dan lomba bercerita. Penelitian Halfian bermanfaat dalam memberikan pendekatan terhadap nilai-nilai budaya yang diungkap dalam cerita rakyat.
13 Penelitian Ni Nyoman Pastiarini tahun 2011 berjudul ”Wacana Cerita dalam Ekranisasi Novel Botchan ” menggunakan objek material novel. Dengan objek formal yang berbeda penelitian terhadap novel karya Natsumi Soseki ini difokuskan pada pengertian ekranisasi dan makna kata Botchan. Salah satu kesamaan dengan penelitian ini, yakni sama-sama melihat wacana dan mencari makna yang ada di dalam wacana tersebut. Penelitian ini memperkaya penulis dalam upaya menganalisis wacana dan sekaligus memperluas pengetahuan dalam menggali makna pada sebuah teks. Penelitian M. Kristatato berjudul ”Pemanfaatan Cerita Rakyat sebagai Penanaman Etika untuk Membentuk Pendidikan Karakter Bangsa” bertujuan menjelaskan bagaimana cerita rakyat dapat menanamkan etika untuk membentuk karakter seseorang yang mengarah pada hal-hal positif. Objek material penelitian Kristatato berupa cerita rakyat secara umum. Hasil penelitian Kristatato menunjukkan bahwa pemanfaatan cerita rakyat yang ada sangat efektif, baik untuk mengajarkan etika maupun moral yang baik. Melalui para tokoh yang ada dalam cerita dapat disampaikan sikap, perilaku, maupun tutur kata tokoh yang mencerminkan etika maupun moral. Dalam cerita tersebut tercermin adanya nilainilai luhur, antara lain kejujuran, kerja sama, kerja keras, tanggung jawab, religi. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan karakter.
14 2.2 Konsep 2.2.1 Wacana Otoritarian Ayah pada Anak Menurut Kartomihardjo (dalam Sunaryo, 1997:17), analisis wacana tidak terlepas dari pemakaian kaidah cabang ilmu bahasa, di antaranya semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi. Analisis wacana berupaya menganalisis unit bahasa
yang
berupa
wacana
dengan
memperhatikan
berbagai
unsur
kewacanaannya. Terdapat tiga pokok bahasan di dalam wacana, yaitu: (1) medan (field) yang merujuk pada hal-hal yang sedang terjadi, apa sesungguhnya yang sedang disibukkan oleh pelibat di dalamnya bahasa ikut serta sebagai unsur pokok tertentu; (2) pelibat (tenor), menunjuk pada orang-orang yang mengambil bagian pada sifat pelibat, kedudukan dan peran mereka, jenis-jenis hubungan peranan apa yang terdapat di antara pelibat, termasuk hubungan tetap dan sementara, cakapan atau rangkaian hubungan secara kelompok; dan (3) sarana (mode) menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa dalam situasi itu, organisasi simbolik teks, kedudukan dan fungsi dalam konteks, termasuk salurannya (dituturkan atau dituliskan atau semacam gabungan keduanya), dan juga mode retoriknya. Wacana otoritarian ayah pada anak dalam penelitian ini adalah diskursus yang menjelaskan motivasi atau perilaku orang tua terutama ayah yang menjalankan pola-pola kehidupan keluarga patriarki yang ditandai oleh adanya dikotomi posisi yang dilihat dari relasi kekuasaan atau mekanisme dominasi dan subordinasi. Seorang ayah yang otoriter adalah penguasa dalam sebuah rumah tangga. Dengan status sebagai pemimpin, sang ayah berhak melakukan apa saja yang dianggapnya sebagai cermin kekuasaan. Ayah yang otoriter berkuasa
15 sendiri, membuat keputusan sepihak berdasarkan kekuasaaa yang dimilikinya, dan bertindak sewenang-wenang. Kekuasaan membuat ayah mendikte, memerintah, mengkritik, dan menghakimi anak bahkan melakukan kekerasan dengan dalih pendidikan dan pendisiplinan. Dalam perspektif sosiologi menurut Kartasapoetra (1992:166), anak diartikan sebagai makhluk yang senantiasa berinteraksi dalam lingkungan masyarakat bangsa dan negara. Dalam hal ini anak diposisikan sebagai kelompok sosial yang mempunyai status sosial yang lebih rendah. Karena itu anak adalah objek kekuasaan sang ayah yang harus tunduk dan dengan rela menerima apapun sebagai keputusan sang ayah sebagai pemimpin. Dalam konteks budaya patriachi yang hegemonik otoritarian sang ayah mendapatkan tempat dan didukung oleh nilai-nilai dan pranata sosial.
2.2.2 Cerita Wandiudiu Cerita rakyat (folklore) merupakan bagian dari tradisi lisan dan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang jumlahnya beratus-ratus di seluruh Indonesia. Sementara tradisi lisan memiliki keterkaitan dengan sastra tulisan yang fungsinya dalam sastra sebagai performing art. Selanjutnya, cerita rakyat dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (1) verbal folklore (folklor lisan), (2) partly verbal (folklor setengah lisan), dan (3) non verbal folklore (folklor bukan lisan). Folklor lisan itu mencakup hal-hal sebagai berikut. 1) ungkapan tradisional (pembahasa, pepatah, wasita adi); 2) nyanyian rakyat; 3) bahasa rakyat (dialek, julukan, sindiran, titel, wadonan, bahasa rahasia, dan lain-lain);
16 4) teka-teki, dan 5) cerita rakyat (dongeng, dongeng suci atau mitos, legenda, sage, cerita jenaka, cerita cabul, dan lain-lain) Ciri cerita rakyat (folklore) sebagaimana diungkapkan Danandjaja (1984:23) yaitu folklore Nusantara diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat, atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) yang mempunyai ciri sebagai berikut. 1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (dengan contoh yang disertai dengan gerak isyarat dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya. 2) Folklore bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau dalam bentuk standar. Folklore ini disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi). 3) Folklore ada (exist) dalam beberapa versi, bahkan varian yang berbeda. Hal ini tidak melalui cetakan atau rekaman, sehingga akibat proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation), folklor dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian, perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan. 4) Folklore bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah diketahui orang lain.
17 5) Folklore biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat, misalnya, selalu menggunakan kata-kata klise seperti bulan empat belas hari untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis dan seperti ular berbelit-belit untuk menggambarkan kemarahan seseorang. Ungkapanungkapan tradisional, ulangan-ulangan dan kalimat-kalimat atau kata-kata pembukaan dan penutup yang baku, seperti kata sahibul hikayat… dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya, atau menurut empunya cerita… demikian konon. Dongeng Jawa banyak dimulai dengan kalimat Anunjung sawijining dina (pada suatu hari), dan ditutup dengan kalimat A lan B urip rukun bebarengan kayo mimi la mintuna (A dan B hidup rukun bagaikan mimi jantan dan mimi betina). 6) Folklore mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. 7) Folklore bersifat prologis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklore lisan dan sebagian tulisan. 8) Folklore menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan oleh penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya. 9) Folklore pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga sering kali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti mengingat
18 bahwa banyak folklor yang mempunyai proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya (Danandjaja, 1997:3). Untuk memperjelas apa yang dikemukakan tersebut, Danandjaja membentuk folklor lisan ke dalam kelompok besar, seperti di bawah ini. 1. Bahasa rakyat (folk speech), seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan. 2. Ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan pomeo 3. Pertanyaan tradisional, seperti teka-teki. 4. Puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair. 5. Cerita pusaka rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng. 6. Nyanyian rakyat. Selanjutnya, Dorson (1972:2) memperjelas pernyataan Danandjaja dengan menyebutkan bahwa folklore dan folklife terdiri atas empat kelompok dan salah satu sektornya adalah oral literature yang sering juga disebut verbal art atau expressive literature.”One large subdivision is folksong or folk poetry, with its own family of related species. Traditional tales and songs correspond to the written productions of novelists and poets, but they circulate by word of mouth and without known authorship.” Cerita Wandiudiu diambil dari cerita masyarakat tentang sosok ibu rumah tangga yang meninggalkan rumah dan keluarganya kemudian berubah menjadi seekor ikan, yaitu yang dikenal oleh masyarakat Buton dengan sebutan Putri Duyung (Wandiudiu). Berdasarkan cerita ini, dibuatlah sebuah lagu dan sampai saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat Buton. Sebagai sastra lisan, cerita
19 Wandiudiu diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan, tetapi sudah ada pula teks-teks di dalam kumpulan bentuk kumpulan cerita rakyat Buton.
2.2.3 Masyarakat Buton Seperti kebanyakan masyarakat di Sulawesi Tenggara, masyarakat Buton juga merupakan masyarakat pelaut atau lebih dikenal dengan orang Buton atau suku Buton. Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton. Secara umum, orang Buton adalah masyarakat yang mendiami wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Daerah itu kini telah menjadi beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara, di antaranya Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, dan Kabupaten Muna. Namun, kini masyarakat Muna lebih senang menyebut diri mereka sebagai orang Muna dibandingkan dengan orang Buton. Selain merupakan masyarakat pelaut, masyarakat Buton sejak zaman dahulu sudah mengenal pertanian. Komoditas yang ditanam, antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Sektor perdagangan sudah menggunakan alat tukar uang bernama kampua. Orang Buton terkenal pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah Kesultanan Buton, di antaranya Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di dunia. Istana Malige merupakan rumah adat tradisional Buton yang
20 berdiri kokoh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun. (Anwar, 2003, 60—90).
2.3 Landasan Teori Landasan teori adalah landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntunan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam penelitian. Sebagai landasan teori penelitian ini, yaitu teori wacana kekuasaan dan pengetahuan, kekuasaan simbolik, hermeneutika, dan semiotik.
2.3.1 Teori Wacana Kekuasaan dan Pengetahuan Teori wacana kekuasaan dan pengetahuan adalah teori yang digagas oleh Michael Foucault. Menurut Faoucault (1981:93), kekuasaan terlaksana melalui wacana dan wacana selalu berakar pada kekuasaaan. Kekusaaan bukanlah sebuah institusi atau struktur melainkan sebuah strategi yang kompleks (wacana) dalam konteks tertentu di masayarakat: "Power is not institution and not structure; neither is it a certain strength we are endow with; it is the name that one attributes to a complex strategical situation inparticular society.” Dalam hal ini kekuasaan memproduksi pengetahuan, dan kekuasaan mensyaratkan konstitusi korelatif di bidang pengetahuan, begitu juga pengetahuan mensyaratkan relasi kekuasaan. "What makes power hold good, what makes it accepted, is simply the fact that it doesn't only weigh on us as a force that says no, but that it traverses and produces things, it induces pleasure, forms knowledge, produces discourse. It needs to be considered as a productive network which runs through the whole social body, much more than as a negative instance whose function is repression"(Foucault, 1979:119)
21
Kekuasaan dan pengetahuan memiliki hubungan timbal balik, artinya kekuasaaan menemukan bentuknya dalam pengetahuan dan terus menerus menghasilkan pengetahuan. Wacana Foucault lebih memperhatikan bagaimana bahasa digunakan dan bagaimana penggunaan bahasa selalu diartikulasikan dengan praktik sosial budaya. Penggunaan bahasa dan praktik budaya secara umum dilihat sebagai sesuatu yang bersifat dialogis, dalam dialog dan konflik potensial dengan penggunaan bahasa lain tersebut. Dalam pengertian ini maka wacana tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Wacana adalah alat institusi untuk mendapatkan kekuasaannya melalui proses definisi dan eksklusi. Artinya, wacana tertentu atau formasi diskursif menentukan apa yang mungkin dikatakan pada topik tertentu. Formasi diskursif terdiri atas peraturan yang tidak tertulis yang berusaha mengatur apa yang dapat ditulis, dipikirkan dan dilakukan. Teori wacana kekuasaan dan pengetahuan dalam penelitian ini dipakai untuk menganalisis bentuk-bentuk wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita Wandiudiu.
2.3.2 Teori Kekuasaan Simbolik Kekerasan atau dalam bahasa Inggris disebut violence (Latin : violentus), berasal dari kata vī atau vīs berarti kekuasaan atau berkuasa dalam prinsip dasar dalam hukum publik dan privat Romawi. Kekerasan merupakan ekspresi baik yang dilakukan secara fisik maupun secara verbal yang mencerminkan tindakan agresi dan penyerangan kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh
perorangan
atau
sekelompok
orang
umumnya
berkaitan
dengan
22 kewenangannya. Apabila diterjemahkan secara bebas, dapat diartikan bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukkan dalam rumusan kekerasan ini. Teori kekuasaan simbolik atau symbolic power digagas oleh ilmuwan Perancis bernama Pierre Bourdieu. Kekuasaan simbolik menurut Bourdieu (1991: 170) adalah “the power to make people see and believe certain visions of the world rather than others” atau kekuasaan yang mampu membuat orang lain melihat dan memercayai sebuah cara pandang tertentu terhadap realitas dunia. Kalau Foucault melihat kekuasaan ada di mana-mana (ubiquitous) dan berada di luar struktur dan aktor sosial (agency), Bourdieu menganggap kekuasaan diciptakan secara budaya dan simbolik. Bourdieu berargumen bahwa perbedaan dan ketegangan dalam masyarakat terjadi karena perbedaan tantangan dan konteks yang mereka hadapi. Bahasa bukanlah medium yang netral, melainkan sarat dengan pertarungan dan ketegangan. Di dalam bahasa kekuasaan diartikulasikan. Bahasa merupakan representasi dari hubungan-hubungan politis. Menurut Bourdieu, bahasa adalah medium kekuasaan simbolik (Fasri, 2014:142). Di dalam bahasa tersembunyi dominasi simbolik dan struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Dalam hal pendidikan, Bourdieu menganggap bahwa pendidikan merupakan suatu proses penciptaan ulang dominasi sosial yang telah ada sebelumnya. Pendidikan pada hakikatnya diskriminatif dan melanggengkan kesenjangan sosial dan ketidakadilan. Terkait dengan pendidikan moral, Bourdieu berpendapat, bahwa yang terpenting bukanlah apa yang ternyatakan (eksplisit)
23 baik dalam ajaran maupun aturan moral, melainkan apa yang tidak ternyatakan (implisti) yang hanya dapat dilihat dalam perilaku sehari-hari. Pengajaran moral yang terbaik menurutnya adalah melalui karya sastra (www.rumahfilsafat.com, diakses 10 Januari 2015). Teori kekuasaan simbolik Bourdieu dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk dan fungsi wacana otoritarian ayah dalam cerita Wandiudiu.
2.3.3 Teori Hermeneutik Menurut Ricoeur (dalam Endraswara, 2011:42) hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang ada di balik struktur. Pemahaman makna tidak hanya pada simbol, tetapi memandang sastra sebagai teks. Di dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Jadi, haruslah menukik ke arah teks dan konteks sehingga ditemukan makna utuh. Penafsiran teks sastra setidaknya akan mengikuti salah satu atau lebih dari enam rambu-rambu penafsiran berikut ini. 1) Penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat, bahwa teks sendiri sudah jelas. 2) Penafsiran yang berusaha menyusun kembali arti historik. 3) Penafsiran hermeneutik baru yang terutama diwakili oleh Gadamer berusaha memadukan masa silam dan masa kini. 4) Penafsiran yang bertolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra. 5) Penafsiran yang berpangkal pada problematik tertentu, misalnya dari aspek politik, psikologis, moral, dan sebagainya.
24 6) Tafsiran yang tak langsung berusaha agar memadai sebuah teks diartikan, tetapi hanya ingin menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum dalam teks sehingga pembaca dapat menafsirkannya. Secara garis besar, jika karya sastra telah jelas kapan ditulis dan tanpa mengalami transformasi, maka akan digunakan penafsiran melalui empat langkah utama. Keempat langkah yang dimaksud adalah:(1) menentukan arti langsung yang primer; (2) bila perlu menjelaskan arti-arti implisit; (3) menentukan tema; dan (4) memperjelas arti-arti simbolik dalam teks. Teori hermeneutik ini digunakan dalam proses penafsiran tanda-tanda pada teks cerita Wandiudiu. Caranya dengan melihat arti berdasarkan pendapat teks, pandangan masa silam dan masa kini berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat Buton. Problematika yang ditemukan di dalam teks. Selain itu teori ini digunakan dalam membantu teori inti untuk membedah seluruh masalah di antara bentuk, fungsi, dan makna.
2.3.4 Teori Semiotik Menurut Pierce (dalam Zoest, 1992:1) teori semiotik merupakan ilmu tentang tanda. Tanda-tanda yang dimaksud Pierce ini memungkinkan manusia untuk berpikir, berhubungan dengan manusia lain, dan memberikan makna tentang apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Tanda adalah sesuatu mewakili sesuatu dapat berupa gagasan, pikiran, perasaan (Denim, 2008). Salah satu sistem tanda yang mempunyai konvensi sendiri adalah sistem tanda dalam karya sastra. Menurut Pradopo (2009:120), karya sastra merupakan struktur yang bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya sastra merupakan sistem tanda yang
25 mempunyai makna yang menggunakan medium bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas (netral) seperti bunyi pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Warna cat sebelum digunakan dalam lukisan masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa; sedangkan kata-kata (bahasa) sebelum digunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (bahasa) atau ditentukan oleh konvensi masyarakat. Lambang-lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh konvensi masyarakat. Bahasa itu merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan atau ditentukan oleh konvensi (perjanjian) masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut semiotik.
Begitu juga ilmu yang
mempelajari sistem tanda- tanda itu disebut semiotik atau semiologi. Pertama kali yang penting dalam lapangan semiotik, lapangan sistem tanda adalah pengertian tanda. Ada dua prinsip dalam pengertian tanda, yaitu: penanda dan petanda. Penanda yang menandai yang merupakan bentuk tanda, sedangkan petanda atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Di dalam hubungan penanda dan petanda ada tiga jenis tanda pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda hubungan antara penanda dan petanda bersifat persamaan bentuk alamiah, misalnya potret orang menandai orang yang dipotret (berarti orang yang dipotret), gambar kuda itu menandai kuda yang nyata (Budiman, 2006:51--55).
26 Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat. Misalnya, asap itu menandai api, suara itu menandai orang atau sesuatu yang mengeluarkan suara. Simbol adalah tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer atau semaumaunya, hubungannya berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Sebuah sistem tanda yang utama yang menggunakan lambang adalah bahasa. Arti simbol ditentukan oleh masyarakat. Misalnya kata “ibu” berarti “orang yang melahirkan kita” itu terjadinya
atas konvensi
atau perjanjian masyarakat
bahasa
Indonesia(Budiman, 2006:56--60). Teori semiotik adalah teori inti yang digunakan dalam menganalisis makna wacana kekuasaan orang tua dalam cerita Wandiudiu. Dianalisis tanda-tanda dalam teks cerita sehingga dapat diperoleh arti dan makna cerita Wandiudiu.
27 2.4 Model Penelitian
Masyarakat Buton
Cerita Wandiudiu
Teori Wacana, Kekuasaan Simbolik,
Bentuk
Wacana Otoritarian Ayah pada Anak dalam Cerita Wandiudiu
Fungsi
Teori Hermeneutik, Semeotika
Makna
Hasil Temuan Keterangan: : Hubungan Pengaruh Langsung Masyarakat Buton memiliki salah satu sastra lisan, yaitu dalam bentuk cerita Wandiudiu. Cerita ini merupakan cerita yang sering diperdengarkan, baik oleh orang tua di rumah maupun dalam pendidikan budi pekerti di sekolah. Pesanpesan yang disampaikan dalam cerita ini sebenarnya bertujuan membentuk watak anak-anak yang sesuai dengan perilaku yang dikehendaki dalam cerita ini. Konstruksi cerita ini terlihat dalam perilaku sosial masyarakat, yaitu masyarakat menghendaki anak-anak patuh dan tunduk terhadap orang tua.
Dengan
menggunakan teori wacana kekuasaan dan ilmu pengetahuan, kekuasaan
28 simbolik, hermeneutika dan semiotik penelitian ini ingin menemukan wacana kekuasaan orang tua pada anak dalam cerita tersebut, yaitu dengan cara mengungkapkan bentuk, fungsi, dan makna teks cerita Wandiudiu.
29 BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan objektif teoretis. Teori-teori yang digunakan sebagai acuan untuk menganalisis bentukbentuk wacana kekuasaan, mengurai fungsi dan makna wacana kekuasaan yang terdapat dalam teks cerita Wandiudiu terhadap aspek akhlak dan perilaku yang terangkum dalam pendidikan budi pekerti.
3.2 Lokasi Penelitian Untuk menggali cerita Wandiudiu yang berkembang di tengah masyarakat, maka dipilih lokasi penelitian Kecamatan Lakudo, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Daerah ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena sebagian besar warganya adalah nelayan di pesisir pantai Katembe dimana cerita Wandiudiu sangat akrab dalam kehidupan masyarakat karena memiliki latar belakang sosial budaya yang sama . Hal ini dilakukan sebagai bagian dari menguak informasi mengenai cerita Wandiudiu. Cerita Wandiudiu disampaikan melalui lisan dari generasi ke generasi. Walaupun kebenaran cerita tersebut belum dapat dibuktikan secara empiris, namun banyak nilai yang terkandung dalam isi cerita Wandiudiu. Oleh karena itu, kajian fenomena masyarakat yang mengembangkan cerita tersebut dan kajian teksnya justru semakin memungkinkan untuk memberikan informasi mengenai
30 nilai-nilai lokal atau kearifan lokal (local genious) yang terkandung dalam isi cerita tersebut.
3.3 Jenis dan Sumber Data 3.3.1 Jenis data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif analitik, yaitu lebih menekankan prosedural dan proses. Di pihak lain induktif mengutamakan makna dan menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber data. Penelitian kualitatif menggunakan
data yang dinyatakan dalam
bentuk kata-kata, kalimat, narasi, uraian, dan berbagai bentuk pemahaman lainnya. Data tersebut menurut Sukmadinata (2006:94) mengungkapkan bentuk konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jarak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial yang diinterpretasikan oleh setiap individu. Dalam hal ini Danim (2002:35) menambahkan bahwa peneliti kualitatif harus percaya bahwa kebenaran bersifat dinamis dan hanya ditemukan melalui penelahaan terhadap orang-orang dalam interaksinya dengan konteks sosial mereka. 3.3.2 Sumber Data Menurut Arikunto (2002: 96), data merupakan hasil pencatatan peneliti, baik berupa fakta ataupun angka untuk menyusun sebuah informasi. Data penelitian ini diambil dari salah satu bentuk karya tradisi lisan berjudul Wandiudiu. Data yang akan diteliti adalah berkenaan dengan wacana kekuasaan orang tua terhadap anak. Data tersebut diperoleh baik melalui observasi maupun wawancara mendalam. Informan penelitian adalah tukang cerita, tokoh adat,
31 tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah, dan masyarakat yang pernah mendengar dan tahu tentang cerita Wandiudiu. Sumber data penelitian ini adalah cerita Wandiudiu yang sudah dituliskan dalam berbagai versi yang berbeda yang diceritakan oleh penutur. Selain itu, data dilengkapai dengan berbagai sumber informasi ilmiah yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Adapun sumber yang dimaksud seperti buku, artikel, jurnal akademis, majalah, surat khabar, dan sumber referensi lainnya.
3.4 Instrumen Penelitian Terkait dengan instrumen penelitian, digunakan beberapa sarana teknis penelitian sebagai instrumen, yakni peneliti, teks pedoman wawancara, dan kartukartu data. Kartu-kartu data digunakan untuk pencatatan, kategorisasi, dan klarifikasi data, sedangkan teks pedoman wawancara digunakan sebagai pengarah peneliti dalam melakukan wawancara mendalam. Di samping itu, dilengkapi oleh tape recorder, kamera, pensil, atau pulpen. Jawaban informan dicatat dan direkam.
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif secara umum dikelompokkan ke dalam dua jenis cara, yaitu teknik yang bersifat interaktif dan non-interaktif (Sutopo, 2006:9),. Metode interaktif meliputi interview dan observasi berperanserta, sedangkan metode noninteraktif meliputi observasi takberperanserta, tehnik kuesioner, mencatat dokumen, dan partisipasi tidak berperan.
32 Ada dua teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yakni observasi dan wawancara. Kedua teknik tersebut diuraikan sebagai berikut.
3.5.1 Teknik Observasi (Observation) Observasi, yaitu suatu teknik pengumpulan data melalui pengamatan secara langsung terhadap objek penelitian.
Secara umum, observasi berarti
pengamatan, penglihatan. Secara khusus observasi adalah mengamati, mendengar dalam rangka memahami, mencari jawaban, mencari bukti terhadap fenomena sosial keagamaan (perilaku, kejadian-kejadian, keadaan, benda, dan simbolsimbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa memengaruhi fenomena yang diobservasi, dengan mencatat, merekam, memotret fenomena tersebut guna penemuan data analisis (Suprayogo dan Tobroni, 2001:167). Teknik pengumpulan data melalui observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala pada objek penelitian. Unsur-unsur yang tampak itu disebut dengan data atau informasi yang harus diamati dan dicatat secara benar dan lengkap. Teknik tersebut digunakan untuk melihat dan mengamati secara langsung keadaan di lapangan agar diperoleh gambaran yang lebih luas tentang permasalahan yang diteliti. Observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data. Pengumpul data mengamati secara visual gejala yang diamati dan
menginterpretasikan
hasilnya dalam bentuk catatan yang validitas datanya sangat tergantung pada kemampuan observer (Widoyoko, 2012:46). Dengan pengamatan langsung dimungkinkan diperoleh data verbal dan nonverbal. Teknik observasi bertujuan
33 agar peneliti mengetahui secara langsung bagaimana cerita Wandiudiu yang berkembang di masyarakat, baik melalui lisan maupun tulisan (berupa teks). Menurut Adler dan Adler (2009: 523), semua penelitian dunia sosial pada dasarnya menggunakan teknik observasi. Faktor terpenting dalam observasi adalah observer (pengamat) dan orang yang diamati yang kemudian juga berfungsi sebagai pemberi informasi, yaitu informan. Teknik observasi tidak melakukan intervensi dan tidak mengganggu objektivitas penelitian. Sebagai teknik dasar semua proses penelitian, observasi mensyaratkan pencatatan dan perekaman sistematis semua data (Daymon dan Holloway, 2008:321--322). Teknik observasi ini dipakai dalam rangka mengobservasi (mengamati) langsung cerita rakyat Wandiudiu dan pemanfaatan cerita ini dalam kehidupan masyarakat Madongka pada khususnya dan masyarakat Kabupaten Buton pada umumnya.
3.5.2 Teknik Wawancara Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu (Mulyana, 2002: 180). Proses wawancara dilakukan dengan cara bertatap muka secara langsung dengan informan dan dilanjutkan dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara mendalam berdasarkan pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan proses tanya jawab. Peneliti melakukannya dengan cara merekam jawaban atas pertanyaan yang diberikan. Peneliti menggunakan pertanyaan kepada narasumber dengan pedoman wawancara dan mendengarkan jawaban yang diberikan. Teknik ini digunakan
34 untuk memperoleh data berupa keterangan dari masyarakat secara langsung terutama dari informan yang berasal dari masyarakat Madongka Buton yang memiliki cerita Wandiudiu ini.
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode deskripsi kualitatif. Teknik menganalisis data adalah dengan menelaah data yang ditemukan di lapangan dilanjutkan dengan menelaah informasi pendukung. Setelah itu membuat perbandingan dan ilustrasi, membuat konsep dan kriteria, serta abstraksinya. Langkah berikutnya, yaitu untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan penelitian ini, maka terlebih dahulu akan dilakukan seleksi data. Artinya dari hasil data tersebut diklasifikasi dan diinterpretasi dengan mencari hubungan antardata untuk mengungkapkan unsur-unsur yang saling terkait sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi. Analisis data, yaitu proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam satu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Dengan demikian, dapat membedakan dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan di antara dimensidimensi uraiannya. Dalam hal analisis data kualitatif, Bogdan dan Biklen (1992:153) menyatakan bahwa “ Data analysis is the process of systematically searching and arranging the interview transcripts, field note, and other materials that you accumulate to increase your own understanding of them and to enable you to present what you have discovered to other”. Artinya, analisis adalah proses
35 mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami. Selain itu temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Proses analisis, yaitu: (1) analisis diawali dari asumsi bahwa penelitian selalu bermula dari pertanyaan yang berkaitan dengan gejala yang muncul sebagai akibat hubungan antara karya sastra dan lingkungan sosialnya; (2) peneliti memanfaatkan konsep pemahaman (verstehen) terhadap karya sastra secara mendalam dengan mengungkapkan dan menguraikan gejala sosial; (3) data yang dianalisis bisa berasal dari berbagai hal yang menyangkut hubungan-hubungan antara karya sastra dan sistem sosial; dan (4) nilai-nilai dan tingkah laku, riwayat hidup pengarang, proses penerbitan, pembaca sasaran, dan berbagai isu sosial lain bisa saja dianalisis lebih mendalam. Analisis data cerita Wandiudiu dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut. 1) Teks ditranskripsikan ke dalam bahasa Indonesia 2) Teks dianalisis untuk mencari bentuk dari pendidikan dengan melihat struktur teks 3) Menemukan tanda dalam bahasa yang menunjukkan nilai yang terdapat di dalam struktur cerita 4) Menemukan tanda dalam bahasa yang merupakan simbol untuk mencari makna simbol yang menunjukkan kekerasan
36 3.7
Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Metode dan teknik yang digunakan dalam penyajian hasil analisis data
adalah dengan deskripsi. Teknik deskripsi dilakukan dengan mendeskripsikan melalui bahasa Indonesia yang akan digunakan dalam menguraikan hasil data yang ditemukan khususnya dalam menemukan bentuk, fungsi, dan makna. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan hubungan antarkategori, flowchart, dan sejenisnya. Dalam hal ini Miles and Huberman (1994:10--12) menyatakan “The most frequent form of display data for qualitative research data in past has been narrative text.” Artinya, yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks.