REVITALISASI PEMALI DALAM TRADISI LISAN ORANG BANJAR* Oleh Hatmiati
[email protected]
Abstrak: Revitalisasi pemali dalam tradisi lisan orang Banjar merupakan upaya untuk melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai budaya lokal. Revitalisasi tradisi lisan ini difokuskan pada nilai-nilai yang dipakai oleh orang Banjar, upaya revitalisasi yang dapat dilakukan, dan makna revitalisasi dalam pemertahanan budaya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan tradisi lisan dan didukung oleh teori budaya. Data pemali yang ditemukan kemudian diinterpretasi sesuai dengan rancangan teori yang sudah ditentukan. Temuan nilai-nilai pembentuk karakter berhubungan dengan ketuhanan, sesama manusia, dan lingkungan. Upaya yang dilakukan dalam merevi-talisasi tradisi lisan pemali orang Banjar ini mengacu kepada tindakantindakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah, dan pegiat pelestarian kebudayaan. Sedangkan, temuan pada makna revitalisasi pemali dalam tradisi lisan orang Banjar meliputi makna identitas, edukasi, inovasi, dan pelestarian budaya dalam kaitannya dengan ketahanan budaya. Kata kunci: revitalisasi, pemali, tradisi lisan, orang Banjar
PENDAHULUAN Orang Banjar atau dikenal pula dengan Suku Banjar merupakan suku mayoritas yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan. Selain orang Banjar, Kalimantan Selatan juga dihuni oleh Suku Dayak yang tersebar di hunjuran Gunung Meratus, Suku Jawa yang sudah sejak lama merantau di wilayah Kalimantan Selatan dan sudah menyatu pula dengan Suku Banjar, Suku Bugis yang banyak tersebar di wilayah Kotabaru, dan suku-suku lainnya yang berada di Kalimantan Selatan sebagai pendatang. Budaya yang berkembang dan dimiliki oleh Suku Banjar banyak dipengaruhi budaya suku-suku lainnya yang hidup berdampingan di Kalimantan Selatan. Hal ini terjadi karena suku-suku yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan saling berinteraksi dan menjalin komunikasi sebagai sebuah komunitas di wilayah yang sama sehingga budaya yang mereka miliki menjadi saling mempengaruhi. Hatmiati (2016:53) menjelaskan bahwa budaya Disampaikan dalam Seminar Nasional “Budaya Lokal dalam Sastra” dalam rangka Pelantikan Pengurus Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Periode 2016-2020, pada 2 Juni 2016 di Aula Rektorat Lt. 1, ULM, Banjarmasin. *
berkaitan dengan kegiatan masyarakat sehari-hari yang membentuk perilaku, tetapi tidak tertanam secara permanen, budaya dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Tradisi lisan sebagai bagian dari budaya orang Banjar juga mewarnai kehidupan masyarakat sehari-hari. Tradisi ini dipakai selama beberapa generasi secara turun-temurun, sebagaimana pendapat Murgiyanto (2003:2) yang menyata-kan bahwa tradisi berasal dari bahasa Latin traditium, berarti segala sesuatu yang diwariskan dari masa lalu. Tradisi lisan menjadi bagian dari kearifan lokal sebuah tradisi yang dilakukan secara lisan, baik sudah mengenal aksara maupun belum mengenal aksara. Tradisi ini mempunyai nilai-nilai kearifan lokal yang meng-konstruksi pola hidup dan pola pikir masyarakat pemiliknya. Dalam konteks seperti itu tradisi lisan orang Banjar juga menjadi cerminan dari masyarakat Banjar yang memiliki nilai-nilai moral dan etika. Salah satu tradisi lisan yang masih hidup dan berkembang di masyarakat adalah pemali, sebuah bentuk larangan atau pantangan terhadap sesuatu yang dianggap tabu untuk dilakukan. Revitalisasi tradisi lisan dalam pemali orang Banjar artinya melakukan pelestarian nilai-nilai kearifan lokal yang sesuai dengan pendidikan karakter untuk masyarakat. Nilainilai kearifan lokal yang merujuk pada karakter yang sesuai dengan orang Banjar saat ini mulai tergeser karena hadirnya budaya-budaya modern yang merasuk dalam kehidupan sehari-hari. Giddens (2003:67) ber-pendapat bahwa globalisasi membawa prinsip budaya modernitas sehingga me-munculkan segudang permasalahan sosial dan mengancam peradaban manusia. Melalui ideologi kultural konsumerisme, globalisasi telah banyak menimbulkan konflik, kesenjangan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru. Kondisi ini berdampak pada punahnya tradisi lisan yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat. Sejalan dengan itu, Nasution (2005:485) juga berpendapat bahwa tidak sedikit adat dan pola-pola tradisi masyarakat disebabkan hantaman palu pembangunan yang dilancarkan dengan semangat kapitalisme yang tanpa moral, ekologi, hutan dan tanah adat digusur demi pembangunan. Bertolak dari paparan tersebut, penelitian ini berusaha untuk mewujudkan pentingnya revitalisasi tradisi lisan orang Banjar sebagai usaha awal menemukan mata rantai tradisi yang mulai tergerus dominasi modernisasi. Nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi sasaran dalam penelitian ini merujuk nilai pembentuk karakter yang sesuai dengan orang Banjar. Oleh karena itu, masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah revitalisasi pemali dalam tradisi lisan orang Banjar yang dirumuskan secara khusus sebagai berikut. 1. Apa saja nilai-nilai pembentuk karakter yang terdapat pada pemali orang Banjar? 2. Bagaimanakah upaya yang dilakukan dalam rangka revitalisasi pemali dalam tradisi lisan orang Banjar? Hatmiati | 2
3.
Makna revitalisasi pemali dalam tradisi lisan orang Banjar?
LANDASAN TEORI Tradisi Lisan Tradisi lisan yang dimiliki oleh setiap suku yang ada di Indonesia merupakan realitas nilai budaya alternatif dalam kehidupan global yang berada dalam dua sistem budaya, yakni sistem budaya nasional dan sistem budaya lokal. Nilai budaya nasional berlaku secara umum untuk seluruh bangsa, sekaligus berada di luar ikatan budaya lokal manapun. Nilai-nilai kearifan lokal tertentu akan bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang sebenarnya diwariskan dari nilai-nilai budaya lokal. Tradisi lisan, sebagaimana dinyatakan Finnegan (1992:7) merupakan tradisi yang memiliki beberapa cara, 1) lisan atau 2) tidak tertulis (belum tentu hal yang sama), kadangkadang juga atau sebaliknya 3) milik 'orang' atau 'rakyat', biasanya dengan konotasi nonterdidik, non-elite, dan/atau 4) fundamental dan dihargai, sering diduga ditularkan dari generasi ke generasi, mungkin oleh masyarakat atau 'rakyat' daripada aksi individu sadar. Pendapat Finnegan ini menegaskan bahwa sebuah tradisi disebut lisan kalau tradisi itu tersebar melalui tuturan bukan melalui tulisan. Tradisi ini diwariskan secara turun-temurun tanpa disadari karena proses alamiah dari generasi ke generasi berikutnya. Sebuah tradisi akan bertahan dan dipakai oleh masyarakat pemiliknya selama mereka merefleksikan tradisi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Rubin (1995: 9-10) berpendapat bahwa: Oral traditions depend on human memory for their preservation. If a tradition is to survive, it must be stored in one person's memory and be passed to another person who is also capable of storing and retelling it. All this must occur over many generations. That is, the transmission of oral traditions must yield results very different from those obtained by the standard rumor procedure in psychology, or the traditions would have changed radically or died out. Oral traditions must, therefore, have developed forms of organization (i.e., rules, redundancies, constraints) and strategies to decrease the changes that human memory imposes on the more casual transmission of verbal material. Sejalan dengan hal tersebut, Pudentia (2007:27) menggambarkan bahwa tradisi lisan adalah wacana yang diucapkan atau disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan dan yang beraksara, yang disampaikan secara lisan. Akan tetapi, penyampaian tradisi lisan
Hatmiati | 3
ini tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gabungan antara kata-kata dan perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata tersebut. Pemali Orang Banjar Pemali yang digunakan orang Banjar merupakan bagian dari nilai-nilai kearifan lokal yang masih ada sampai sekarang. Menurut Hapip (2008:132), pemali berarti tabu atau pantangan, misalnya; pamali mambanam acan basanjaan (tabu membakar terasi pada senja hari). Orang hamil, anak gadis yang sedang haid, orang yang sedang berpergian, orang yang sedang bekerja di hutan atau tempat tertentu, memiliki sejumlah pemali yang pantang untuk dilanggar. Sudarni (2012:28) berpendapat bahwa pemali masih ada dan melekat dalam masyarakat Banjar dan masih digunakan sebagai pembentuk nilai-nilai dalam perilaku. Ganie (2014:23) juga menyatakan bahwa pemali Banjar adalah ungkapan tradisional berbahasa Banjar yang berisi paparan tentang siapa saja yang tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan tertentu pada waktu-waktu tertentu di tempat-tempat tertentu dan akibat-akibat tertentu yang melekat sebagai hukuman yang diancamkan kepada siapa saja yang berani melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang tidak boleh dilakukan itu. Orang Banjar dalam pergaulan sehari-hari sering menggunakan pemali untuk melarang seseorang dalam melakukan sesuatu yang dianggap menimbul-kan kesialan/menjadi bahaya bagi orang yang bersangkutan. Dengan anggapan demikian, maka pemali menjadi aturan lisan yang tidak bisa dipahami hanya dari bentuk bahasanya saja, tetapi harus pula disikapi sebagai bentuk keyakinan dari kebudayaan orang Banjar. Berdasarkan tulisan yang dipublikasikan oleh Mulkan (2007) yang berjudul Pamali, Tradisi Budaya Lisan Leluhur Sunda. Kata pemali dikenal oleh leluhur masyarakat Sunda sebagai bentuk larangan. Kata pemali digunakan oleh masyarakat Sunda untuk mengatakan segala sesuatu yang bersifat tabu, jangan sekali-kali kita menanyakan mengapa ia bisa disebut pemali. Pemali adalah sebuah larangan untuk melakukan atau mengucapkan sesuatu yang berakibat buruk bagi diri dan lingkungannya. Jika dilanggar, biasanya berhubungan dengan rizki, jodoh, keturunan dan keselamatan. Dalam konteks bahasa Indonesia, Kridalaksana (2008:140) mengartikan larangan sebagai makna ujaran yang bersifat melarang; diungkapkan dengan pelbagai bentuk, antara lain dengan bentuk imperatif negatif jangan atau dengan frase ingkar tidak dibenarkan. Larangan ini sangat erat kaitannya dengan aspek kehidupan manusia yang berlaku dalam masyarakat, seperti kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan, adat istiadat, norma/hukum, yang didapatkan secara tradisi turun-temurun dari nenek moyangnya. Dalam kepercayaan masyarakat juga dikenal istilah tabu. Tabu pada dasarnya adalah larangan atau yang dilarang. Selain itu, ada juga istilah pantang (pantangan) yang juga berarti larangan sebagaimana halnya tabu. Kedua istilah itu pada dasarnya memiliki Hatmiati | 4
perbedaan. Tabu, pelanggarannya menyebabkan pelanggar terkena tulah, sedangkan pada larangan atau pantangan pelanggar hanya terkena sanksi fisik atau sanksi sosial. Frazer (1955:405) membagi tabu menjadi beberapa jenis, yaitu (1) tabu tindakan, (2) tabu orang, (3) tabu benda/hal, dan (4) tabu kata-kata. Di samping itu, juga digolongkan tabu kata-kata menjadi (1) tabu nama orang tua, (2) tabu nama kerabat, (3) tabu nama orang yang meninggal, (4) tabu nama orang dan binatang, (5) tabu nama Tuhan, dan (6) tabu kata-kata tertentu. Berdasarkan berbagai pengertian yang berhubungan dengan pemali, la-rangan, tabu, dan pantangan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemali merupakan bentuk larangan yang paling halus dan sopan dalam bahasa Banjar terhadap sesuatu hal yang tidak boleh dilakukan karena bertentangn dengan kebiasaan atau adat di masyarakat setempat, tetapi tidak ada sanksi hukum yang sifatnya mengi-kat baik hukum agama maupun negara. Revitalisasi pemali dalam tradisi lisan orang Banjar menjadi alternatif untuk memberdayakan nilai-nilai kearifan lokal dalam memfilter budaya-budaya modern yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat Banjar. Sibarani (2004:30) berpendapat bahwa upaya revitalisasi kebudayaan adalah proses atau usaha untuk memvitalkan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau usaha untuk membuah kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Proses revitalisasi ini akan mempertahankan nilai-nilai budaya lokal orang Banjar yang khas dengan melakukan penyesuaian untuk menjawab perubahan zaman yang tidak bisa dihindari.
METODE PENELITIAN Penelitian revitalisasi pemali dalam tradisi lisan orang Banjar ini menggunakan bentuk pendekatan kualitatif-interpretatif dengan dukungan teori tradisi lisan dan budaya. Moleong (2014:4-13) menyintesiskan pemikiran Bogdan dan Biklen menyatakan bahwa pendekatan kualitatif memiliki ciri alamiah dan mementingkan proses dalam penelitiannya. Berdasarkan fokus penelitian, penggunaan teori tradisi lisan ini bertolak dari pendapat Danandjaya (1998:57) yang menyatakan bahwa penelitian yang berhubungan dengan folklor dapat diteliti secara holistik, dalam arti pada waktu menganalisis dapat dikaitkan dengan latar belakang dan konteks kebudayaan folklor bersangkutan. Berkaitan dengan teori budaya dimaksudkan untuk menjelaskan nilai-nilai budaya yang berhubungan dengan kearifan lokal orang Banjar yang menjadi objek revitalisasi dalam penelitian ini. Secara umum, lokasi penelitian revitalisasi pemali dalam tradisi lisan orang Banjar ini dilakukan di wilayah Kalimantan Selatan. Meskipun pada dasarnya orang Banjar menyebar di pulau Kalimantan, akan tetapi Kalimantan Selatan yang selama ini menjadi tempat tinggal mayoritas orang Banjar. Data penelitian ini adalah tuturan dan tindakan pemali dan konteks pemali yang bersumber dari peristiwa pemali yang terdiri dari (1) penutur, (2) mitra tutur, dan (3) Hatmiati | 5
konteks pemali. Pengecekan keabsahan data dilakukan dengan menelaah pemali yang telah terkumpul melalui pengamatan, perekaman, catatan lapangan, dan dokumentasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai-Nilai Pembentuk Karakter dalam Pemali Orang Banjar Nilai-nilai pembentuk karakter yang ditemukan dalam penelitian ini merujuk pada pendapat Asmani yang menyatakan bahwa nilai karakter itu berhubungan dengan perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan (2011-36-41). Dari kelima nilai karakter yang dikemukakan Asmani tersebut yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai yang paling sering ditemukan dalam pemali orang Banjar yaitu berhubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan. Nilai-nilai tersebut dijabarkan berikut ini.
Nilai Karakter yang Berhubungan dengan Ketuhanan dalam Pemali Orang Banjar Pemali sebagai tata nilai dalam tradisi lisan orang Banjar mengandung nilai-nilai yang berhubungan dengan keyakinan atau kepercayaan terhadap ketuhanan. Durkheim dalam Daud (1997:6) mendalilkan bahwa religi harus ada kenyataannya dalam masyarakat dan fenomena religius terdiri dari sistem kepercayaan dan sistem upacara (beliefs and rituals). Hal tersebut dapat dilihat pada pemali berikut ini. Pamali guring imbah sambahyang subuh kaina mawaris kamiskinan. Pantang tidur setelah shalat subuh karena bisa mengakibatkan kemiskinan. (Adik peneliti sering sekali tidur setelah shalat subuh, hal ini membuat ibu peneliti selalu menegur adik. Ancaman yang disampaikan membuat adik menuruti perintah ibu). Pamali guring imbah sambahnyang ashar kaina mawaris panyakit gila. Pantang tidur setelah shalat ashar karena bisa mengakibatkan penyakit gila. (Setelah waktu shalat ashar, seseorang masih berbaring untuk tidur). Pemali di atas mengandung nilai-nilai ketuhanan yang diyakini orang Banjar. Orang Banjar yang menganut agama Islam akan memulai aktivitasnya pada waktu subuh karena mereka setelah shalat subuh mereka mulai melaksanakan aktivitas harian, seperti menurih (menyadap karet), ke huma untuk berladang, dan lain sebagainya. Tidur setelah shalat ashar Hatmiati | 6
juga tidak dianjurkan dalam keyakinan orang Banjar karena hal ini akan berimbas pada kebiasaan yang kurang baik. Daud (1997:550) menyatakan bahwa kepercayaan religi yang dianut di kalangan Masyarakat Banjar dapat dibedakan menurut asal-usulnya, yaitu kepercayaan Islam dan kepercayaan asal kebudayaan lokal. Pada data pemali di atas terungkap makna bahwa pemali tersebut berhubungan dengan nilai-nilai ketuhanan. Orang Banjar terkenal sangat religius, oleh karena itu ketika agama Islam masuk, maka pemali-pemali yang selama ini berasal dari kepercayaan masyarakat tradisional mulai diarahkan ke hal-hal yang berhubungan dengan nilai agama. Rokeach (1968:454) berpendapat bahwa semua kepercayaan selalu mendahului tindakan. Keyakinan orang Banjar terhadap pe-mali pada zaman dahulu membuat anak-anak, remaja, dan orang tua memiliki sikap dan perilaku tutur yang santun dan baik. Hal ini sesuai dengan keinginan para tutuha/tetuha Banjar yang terkonstruksi dalam pemali orang Banjar. Nilai Karakter yang Berhubungan dengan Sesama Manusia dalam Pemali Orang Banjar Orang Banjar dikenal memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap orang lain, baik dalam bergaul maupun dalam hidup bertetangga, hal ini tercermin dalam pemali berikut ini. Pamali bacacatuk paku ari malam kaina mahiau kamularatan. Pantang memukul-mukul paku di malam hari karena mengakibatkan kesialan. (konteks pemali ini terjadi ketika seseorang pada malam hari akan memasang sesuatu di dinding yang memerlukan paku, orang Banjar menyakini bahwa pekerjaan itu seharusnya dilakukan siang hari saja) Memukul-mukul paku pada malam hari dalam keyakinan orang Banjar pantang untuk dilakukan karena akang ketenangan orang yang sedang tidur atau beristirahat. Nilai yang terkandung dalam pemali ini mengajarkan bahwa kepedulian kepada sesama harus lebih diutamakan daripada kepentingan diri sendiri. Pamali manumpang piring urang balum ampihan makan kaina bisa diambil urang bini/laki. Pantang menumpang piring orang belum selesai makan karena bisa menga-kibatkan suami/istri diambil orang. (Pada saat makan bersama, semua orang harus menunggu seluruhnya selesai baru dibereskan peralatan makan) Pemali di atas juga menunjukkan sikap menghargai kepada orang lain. Hal ini tercermin dari perilaku dan tindakan yang tersirat dari ungkapan pemali tersebut. Pada saat Hatmiati | 7
makan bersama, meskipun salah satu dari mereka sudah selesai makan, maka pantang untuk membereskan peralatan makan kalau orang lain belum selesai juga, harus ditunggu seluruhnya selesai baru peralatan makan dibersihkan. Keraf (2010:14-16) berpendapat bahwa pada umumnya sebuah sistem nilai yang dipelihara sebagai sebuah kebiasaan hidup yang baik, diturunkan melalui agama dan kebudayaan yang dianggap sebagai sumber utama norma dan nilai moral.
Nilai Karakter yang Berhubungan dengan Lingkungan dalam Pemali Orang Banjar Pemali yang dikenal dan diyakini oleh orang Banjar juga banyak berhubungan dengan alam dan lingkungan. Beberapa pemali yang dipakai sebagai sebuah aturan lisan dalam memperlakukan alam dan lingkungan dapat dibaca berikut ini. Pemali maulah rumah sabukuan ulin kaina bisa panasan. Pantang membuat rumah dari kayu ulin/kayu besi seluruhnya (tiang, dinding, lantai, dan lain-lain kecuali atap) karena yang tinggal di rumah itu tidak betah. (konteks ini terjadi karena pada zaman dahulu kayu ulin masih mudah ditemukan dan bagi orang Banjar membangun rumah dari ulin selain untuk kekuatan juga menjadi kebanggaan). Nilai yang terdapat dalam pemali di atas menggambarkan bahwa orang Banjar pada zaman dahulu sudah mengatur sedemikian rupa agar hutan Kalimantan tetap terjaga. Kearifan lokal yang tergambar dalam pemali tersebut mengajarkan agar alam dan lingkungan diperlakukan secara arif dan bijaksana agar tetap lestari. Hal tersebut terkait dengan sikap hidup dan pola-pola tindakan dalam pelestarian lingkungan yang dilihat dari pengetahuan orang Banjar dalam memanfaatkan lingkungan.. Saat ini kondisi hutan Kalimantan sedang “luka parah” di berbagai tempat “terkoyak” akibat pertambangan batubara dan migas, penebangan hutan illegal, pembakaran hutan, bahkan pembebasan lahan demi perluasan pemukiman penduduk. Kondisi seperti itu juga diperparah dengan minimnya perhatian pemerintah dan instansi terkait dan perusahaan yang melakukan kegiaatan di Kalimantan. Kondisi ini berimbas pada keadaan lingkungan dan alam Kalimantan, kalau pada musim kemarau, cuaca menjadi sangat panas, kabut asap yang menyebabkan berbagai penyakit, sedangkan kalau musim hujan, banjir terjadi di mana-mana. Masyarakat tradisional Banjar juga dikenal memiliki kepedulian yang sangat tinggi dalam melestarikan lingkungan pertanian. Hal ini tergambar dalam tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat Banjar, misalnya pada kegiatan menanam dan memanen padi. Dalam masyarakat Banjar dikenal dengan istilah baririan/baarian (kegiatan gotong royong pada kegiatan menanam dan memanen padi yang dilakukan oleh masyarakat). Sikap ini Hatmiati | 8
juga tergambar dalam pemali sebagai bentuk larangan terhadap sesuatu yang diyakini bertentangan dengan dengan adat istiadat setempat. Pemali yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan pertanian juga dapat dilihat pada contoh berikut. Pemali bakalayangan musim mangatam kaina bisa hilang sumangat banih. Pantang main layang-layang musim panen padi karena bisa mengakibatkan padi rusak/hampa. (Pada musim panen, biasanya cuaca sangat cerah, anak-anak sangat senang bermain layang-layang dan salah satu tempat yang biasanya menjadi lokasi bermain adalah persawahan). Pemali yang diyakini orang Banjar juga mengajarkan bahwa menghargai hasil pertanian juga merupakan keharusan bagi orang Banjar. Hal ini tergambar dalam pemali berikut ini. Pemali mambuang sisa nasi ari sanja atawa ari malam kaina ada masalah lawan kuluarga/kaluarga Pantang membuang sisa nasi karena bisa menyebabkan masalah dalam keluarga. Orang Banjar memiliki keyakinan/kepercayaan bahwa membuang sisa nasi pantang/tabu dilakukan. Apabila pemali ini tidak diindahkan, maka akan terjadi masalah dalam keluarga. Sudarni (2012:64) juga menulis pemali yang berkaitan dengan pantangnya membuang sisa nasi ini. Menurut Sudarni, kepercayaan ini masih dipegang sangat kuat oleh masyarakat Banjar di pedesaan terutama masyarakat petani. Membuang nasi sisa pada malam hari itu sangat dilarang karena itu suatu perbuatan yang mubazir. Sebaiknya nasi itu disimpan dulu, keesokan harinya baru diberikan kepada ternak ayam atau itik atau didiamkan dahulu setelah basi baru dibuang. Orang Banjar memiliki keyakinan bahwa nasi itu memiliki atma/jiwa. Oleh karena itu, kalau dia dibuang atau disia-siakan dia akan sedih dan menangis. Orang yang menyia-nyiakan nasi nantinya akan jatuh miskin tak mampu lagi membeli beras hingga kelaparan. Pemali merefleksikan suatu budaya baru sebagai bentuk pengingkaran dari budaya sebelumnya. Budaya baru yang terdapat dalam pemali memilki nilai yang bermanfaat dalam kehidupan setiap orang. Dalam pemali, orang bisa melihat ba-gaimana mereka memandang dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Upaya Revitalisasi Pemali dalam Tradisi Lisan Orang Banjar Upaya revitalisasi pemali dalam tradisi lisan orang Banjar ini mengacu kepada tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah, dan pegiat pelestarian kebudayaan. Upaya revitalisasi ini dimaksudkan agar nilai-nilai yang masih Hatmiati | 9
sesuai dengan kondisi dan keadaan saat ini masih dapat dilestarikan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Upaya Masyarakat Berdasarkan temuan penelitian ini, sebagian besar generasi muda yang tidak mengetahui lagi apa saja pemali yang ada dalam masyarakat Banjar dan apa maksud dibalik pantangan yang ada dalam pemali. Selain itu, mereka beranggapan bahwa pemali itu hanya mitos atau takhyul belaka tidak mengandung nilai apapun. Misalnya, pamali bajalan sanja kaina kana pilanggur, pemali ini sudah dianggap tidak memiliki makna lagi, mereka juga tidak paham apa yang dimaksud dengan pilanggur. Saat ini bukan hal yang tabu lagi bagi generasi muda untuk keluar senja hari, meskipun di mesjid dan mushalla, azan sudah dikumandangkan. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan masyarakat untuk mempopulerkan kembali aturan-aturan lisan yang masih relevan dalam pembentukan karakter generasi muda ke arah yang lebih baik. Masyarakat sebagai bagian dari orang tua juga dapat melakukan pena-naman nilainilai dalam keluarga. Hal ini dilakukan dengan (a) menyampaikan pantangan-pantangan dalam pemali disertai alasan-alasan yang bisa diterima oleh akal pikiran sehingga mereka (orang yang menjadi objek pemali) memahami mengapa ada pantangan tersebut dan apa kegunaannya, (b) sebagai pendidikan karakter dengan menyampaikan pemali yang berhubungan dengan agama, ling-kungan, dan budaya yang mengandung kesederhanaan, perilaku dan tuturan yang santun, dan toleransi, serta sikap tolong menolong, dan (c) bagi anggota keluarga yang sudah dewasa dapat pula diperkenalkan pemali yang berhubungan dengan usia mereka, baik perempuan maupun laki-laki. Penanaman karakter melalui pemali ini sebenarnya dapat memperkaya pengetahuan mereka tentang budaya dan kebiasaankebiasaan baik yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penanaman nilai-nilai ini diharapkan mampu memfilter budaya-budaya asing yang tidak sesuai dengan kehidupan orang Banjar. Upaya Pemerintah Pemerintah dapat melakukan revitalisasi pemali melalui instansi terkait yang berada di bawah kewenangannya, misalnya melaui dinas pendidikan, dinas kebudayaan, dinas pariwisata, dan instansi terkait lainnya. Dalam dunia pendi-dikan formal di sekolah, pemali dapat digunakan sebagai pembelajaran dalam muatan lokal yang berhubungan dengan budaya orang Banjar. Pemali juga dapat disisipkan dalam pembelajaran Bahasa Banjar di sekolah dan di perguruan tinggi. Pemali yang digunakan disesuaikan dengan jenjang pendidikan yang sedang berlangsung. Dengan proses demikian, maka pemali dapat menjadi salah satu alternatif untuk membentuk kepribadian yang lebih baik sebagai individu dan makhluk sosial. Dinas kebudayaan dan pariwisata juga dapat membudayakan kembali Hatmiati | 10
pantangan-pantangan dalam pemali yang relevan dengan kondisi lingkungan, sosial budaya, dan masyarakat Banjar. Kegiatan yang dilakukan oleh dinas kebudayaan dan pariwisata dapat berupa pementasan atau pagelaran yang memasukan kearifan lokal yang berhubungan dengan pemali. Pegiat Pelestarian Kebudayaan Pemali sebagai bentuk kearifan lokal budaya masyarakat Banjar memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang layak untuk dilestarikan. Para pegiat kebudayaan dapat melakukan upaya revitalisasi pemali dalam tradisi lisan dengan melakukan berbagai upaya, seperti (a) memperkenalkan dan memasukan unsur pemali yang masih relevan pada karya sastra, tulisan-tulisan ilmiah yang dipublikasikan melalui media cetak dan media internet, (b) media massa dapat menyisipkan istilah-istilah pemali-pemali secara ajeg, dan (c) merancang sebuah tempat budaya yang sarat dengan kearifan lokal yang diyakini oleh orang Banjar. Selain itu, kearifan lokal yang berkaitan dengan lingkungan hidup dapat menjadi alternative dalam menjaga lingkungan.
Makna Revitalisasi Pemali dalam Tradisi Lisan Orang Banjar Makna revitalisasi pemali dalam tradisi lisan ini merujuk pada pendapat Sari (2011:160) tentang makna identitas, edukasi, inovasi, dan pelestarian budaya dalam kaitannya dengan ketahanan budaya. Berikut ini akan dipaparkan makna revitalisasi pemali dalam tradisi lisan orang Banjar. Makna Identitas Setiap suku memiliki identitas budaya yang khas dan berbeda dengan suku lainnya. Budaya menjadi identitas yang dengan kondisi sosial budaya masyarakat di mana mereka berada. Budaya ini sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal yang membentuk karakter yang halus budi perkerti, ramah, santun, dan saling menghargai. Akan tetapi, budaya yang sarat dengan nilai-nilai budaya lokal ini mulai tergerus oleh serbuan budaya asing yang merasuki berbagai sendi kehidupan. Hadirnya budaya asing yang tidak sesuai dengan kearifan budaya lokal ini telah melemahkan bahkan menghilangkan ciri-ciri identitas suatu masyarakat. Oleh karena itu, revitalisasi pemali dalam tradisi lisan orang Banjar ini bermakna untuk mengembalikan identitas orang Banjar yang sesuai dengan budaya dan sikap hidup orang Banjar. Kokohnya nilai-nilai budaya yang berbasis kearifan lokal ini akan mampu menjadi filter terhadap serbuan budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya orang Banjar. Makna Edukasi Hatmiati | 11
Revitalisasi tradisi lisan juga memiliki makna edukasi bagi orang Banjar. Hal ini terjadi karena orang Banjar yang selama ini tidak memahami bagaimana pemali dalam tradisi lisan diharapkan memiliki pemahaman dari sudut pandang yang berbeda tentang pemali. Proses edukasi pemali dalam tradisi lisan orang Banjar ini berfungsi untuk penanaman nilai dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi lisan pemali. Hal ini juga akan memberikan pemahaman yang berbeda kepada generasi muda yang selama ini menganggap pemali hanya sebuah mitos dan cara untuk menakutnakuti mereka dengan sebuah larangan. Makna edukasi dalam revitalisasi tradisi lisan ini memberikan peran yang luas bagi generasi muda untuk turut melestarikan budaya lokal meskipun terjadi perkembangan-perkembangan budaya yang sangat pesat. Makna Inovasi Inovasi dalam tradisi lisan diperlukan agar nilai-nilai yang berkaitan dengan kearifan lokal masih dapat dipertahankan dan tetap dipakai oleh generasi muda sampai kapanpun. Dalam pemali tradisi lisan orang Banjar ini proses inovasi telah berlaku sejak lama. Hal ini dapat dilihat dari penyesuaian-penyesuaian pemali dengan aturan-aturan yang terdapat dalam agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat Banjar. Inovasi dalam pemali ini membuat pantangan-pantangan yang ada dalam pemali masih dikenal dan dipakai oleh orang Banjar sampai sekarang. Selain itu, temuan-temuan ilmiah yang membuktikan bahwa pantangan-pantangan yang ada dalam pemali ternyata bukan hanya sebuah larangan biasa tetapi mengandung makna yang berguna dalam kehidupan. Makna Pelestarian Budaya Revitalisasi tradisi lisan merupakan upaya yang bermakna bagi pelestarian budaya yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Upaya ini memang harus dilakukan untuk mencegah punahnya budaya lokal yang ada dalam masyarakat. Akan tetapi dalam upaya revitalisasi suatu budaya tidak cukup hanya sekedar diwacanakan saja akan tetapi diperlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Nilai-nilai yang menjadi ciri khas suatu budaya yang mengandung nilai-nilai etika harus pula diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, upaya revitalisasi tradisi lisan pemali orang Banjar ini tidak dilakukan hanya sementara, tetapi dalam waktu yang berkesinambungan agar nilai-nilai yang ada di dalamnya tetap terjaga. Orang Banjar harus percaya diri dengan budaya tradisi lisan yang dimiliki, jangan sampai upaya pelestarian tradisi lisan ini terhambat karena budaya local dianggap kuno dan terkebelakang. SIMPULAN Berdasarkan temuan nilai-nilai pembentuk karakter yang ada dalam pemali orang Banjar dapat disimpulkan bahwa pemali sarat dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan Hatmiati | 12
ketuhanan, sesama manusia, dan lingkungan. Nilai-nilai ini selama beberapa generasi mewarnai kehidupan orang Banjar dan membentuk sikap dan perilaku yang sejalan dengan kearifan lokal yang mereka miliki. Akan tetapi, sebuah budaya modern telah membuat budaya orang Banjar ini mulai tergerus dan terpinggirkan sehingga diperlukan usaha agar nilai-nilai yang sesuai dengan budaya dan kehidupan orang Banjar ini tetap terjaga. Upaya yang dilakukan dalam rangka revitalisasi pemali dalam tradisi lisan orang Banjar ini mengacu kepada tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat, pemerintah, dan pegiat pelestarian kebudayaan. Sedangkan, temuan pada makna revitalisasi pemali dalam tradisi lisan orang Banjar meliputi makna identitas, edukasi, inovasi, dan pelestarian budaya dalam kaitannya dengan ketahanan budaya. SARAN Pemali sebagai bagian dari tradisi lisan orang Banjar memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang harus dilestarikan. Oleh karena itu, langkah revitalisasi tradisi lisan pemali menjadi alternatif untuk pelestarian nilai-nilai tradisi yang tepat untuk kondisi kekinian. Nilai-nilai tradisi ini juga dapat dijadikan sarana pendidikan karakter dalam keluarga, masyarakat, dan di lembaga pendidikan. Penanaman nilai-nilai karakter melalui pemali ini penting dilakukan untuk membendung budaya-budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh orang Banjar. Revitalisasi tradisi lisan ini harus dilakukan secepatnya dengan melibatkan orang tua, masyarakat, dan instansi terkait agar ada upaya yang sejalan dan berkesinambungan. DAFTAR RUJUKAN Asmani, JM. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah.Yogyakarta: Diva Press. Danandjaja, J. 1998 Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-Bahan Tradisi Lisan. Pudentia MPSS (Ed), Metodologi Kajian Tradisi Lisan (hlm 53-66). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan. Daud, Alfani. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar, Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Effendi, R, dkk. 1994. Ungkapan dan Peribahasa Banjar. Jakarta: Proyek Penelitian bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Kalimantan Selatan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Finnegan, R. 1992. Oral traditions and the verbal arts A guide to research practices. London and New York: Routledge. Frazer, S.J.G. 1955. The Golden Bough: A Study in Magic and Relegion. London: Macmillan. Ganie, Tajuddin Noor. 2014. Menguak Mitos Pemali Banjar. Banjarmasin: Rumah Pustaka Folklor Banjar. Hatmiati | 13
Giddens, Anthony. 2003. Masyarakat Post-Tradisional. Penerjemah: Ali Noer Zaman. Yogyakarta: IRCiSoD. Hapip, AD. 2008. Kamus Bahasa Banjar-Indonesia. Banjarmasin: PT Grafika Wangi Kalimantan. Hatmiati. 2016. Pemali dalam Tradisi Lisan Masyarakat Banjar (disertasi tidak diterbitkan. PPS: Universitas Negeri Malang. Keraf, S. A. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kridalaksana, H. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Moleong, L.J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulkan, D. 2007. Pemali, Tradisi Budaya Lisan Leluhur Sunda. (online). (www.fikom.unpad.ac.id),diunduh 1 Mei 2013. Murgiyanto, Sal, dkk. 2003. Mencermati Seni Pertunjukan (Perspektif Kebudayaan. Surakarta: STSI. Nasution H. Pandapotan, 2005. Adat Budaya Mandailing: dalam Tantangan Zaman. Medan: Forkala. Pudentia, 2007. Hakikat Kelisanan dalam Tradisi Lisan Melayu Mak Yong. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Rokeach, Milton. 1968. Attitudes the Nature of Attitudes. Dalam David L. Shils (Ed), International Encyclopedia of the Social Sciences (hlm 449-458). New York: The Macmillan Company and The Free Press. Rubin, D.C. 1995. Memory in Oral Traditions : The Cognitive Psychology of Epic,Ballads, and Counting-Out Rhymes. New York: Oxford University Press, Inc. Sari, Darwan. 2011. Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada Era Globalisasi (tesis tidak diterbitkan). PPS: Universitas Udayana Sibarani, R. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik atau Linguitik Antropologi. Medan: Penerbit Poda Sudarni. 2012. Pelangi Kalimantan Selatan. Amuntai: Hemat Publishing.
Hatmiati | 14