BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu gejala kebudayaan yang perlu diperhatikan, baik dalam masyarakat modern maupun di dalam masyarakat tradisional adalah tradisi lisan (Boyer, 1990: 1; Tuloli, 1991: 1). Tradisi lisan mempunyai banyak ragam dan tiap-tiap ragam tradisi lisan mempunyai variasi yang sangat banyak pula. Jika dilihat dari aspek pementasannya, maka tradisi lisan memperlihatkan berbagai peristiwa budaya, dan kompleksitas yang menjelaskan tentang budaya dari masyarakat pendukungnya. Melalui pementasan tradisi lisan, dapat diketahui berbagai peristiwa yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Ruth Finnegan mengatakan bahwa pementasan tradisi lisan memuat berbagai peristiwa yang terjadi dalam suatu kebudayaan dan berhubungan dengan kebudayaan masyarakat pendukungnya (Finnegan, 1978: 3). Jika ditinjau dari segi isinya, tradisi lisan memperlihatkan keteraturan-keteraturan yang berlaku pada setiap ragam tradisi lisan, sehingga memudahkan para pemilik untuk mempelajari tradisi lisan tersebut. Nani Tuloli (1991: 2) mengatakan bahwa membicarakan tradisi lisan tidak akan sempurna kalau hanya membicarakan mengenai isinya, dengan mengabaikan pencerita, konteks penceritaan, pendengar atau penontonnya. Finnegan mengatakan bahwa untuk dapat menghargai sepenuhnya tradisi lisan, tidak cukup kalau hanya berdasarkan hasil analisis melalui interpretasi kata-kata, nada, struktur stilistik, dan isinya. Karena dengan deskripsi etnografis mengenai penggubah atau pelantun, variasi yang terjadi akibat audiens dan saat penceritaan, reaksi audiens, sumbangan
1
alat-alat musiknya, dan konteks sosial tempat penceritaan atau pementasan itu akan menjadi ruang untuk mempelajari tradisi lisan di masa depan (Finnegan, 1978: 7). Ia juga mengatakan bahwa pembicaraan mengenai tradisi lisan tidak terlepas dari aspek ekonomi, hubungan kekuasaan, sistem nilai dan struktur keluarga dalam suatu masyarakat (Finnegan, 1992: 122). Indonesia memiliki kekayaan tradisi lisan yang tersebar di berbagai daerah di Nusantara (Danandjaja, 1994: 9-12). Tradisi lisan sebagai kekayaan budaya bangsa merupakan salah satu bentuk ekspresi kebudayaan daerah yang berharga, sebab tidak hanya menyimpan nilai-nilai budaya dari masyarakat tradisional, tetapi juga dapat menjadi akar budaya dari suatu masyarakat baru. Mursal Esten (1999: 105) mengatakan bahwa sastra lisan dapat menjadi sumber bagi suatu penciptaan budaya baru di dalam masyarakat modern. Moradewun Adejunmobi (2011: 3) mengatakan bahwa tradisi lisan menjadi sumber inspirasi bagi penciptaan musik dan film yang diproduksi di Afrika dan India. Berangkat dari pemikiran di atas, maka tradisi lisan diharapkan dapat menyumbangkan kontribusi dalam perkembangan industri kreatif di tengah masyarakat Indonesia dewasa ini. Keberadaan tradisi lisan mengalami perubahan sesuai dengan dinamika masyarakat pemiliknya (Tuloli, 1991: 2). Tingginya dinamika masyarakat Indonesia dewasa ini, yang dipicu oleh perkembangan transportasi, telekomunikasi dan pariwisata telah berdampak pada banyaknya tradisi lisan yang hilang dan belum sempat didokumentasikan. Kehadiran berbagai media telekomunikasi dalam kehidupan modern, yang menyerbu masyarakat di setiap kebudayaan, telah menyebabkan adanya kemungkinan akan semakin mempercepat lenyapnya tradisi lisan dalam suatu kebudayaan yang ada. Padahal, hilangnya tradisi lisan tersebut 2
sekaligus hilang atau lenyapnya berbagai ingatan kolektif tentang kehidupan masyarakat pendukungnya, baik yang terdokumentasikan di dalam pementasan tradisi lisan maupun yang tersimpan di dalam isinya. Fenomena tradisi lisan di Nusantara dewasa ini telah terdesak oleh perkembangan yang ada dalam masyarakat modern. Teeuw (1984: 330) mengatakan bahwa banyak contoh bentuk tradisi lisan atau sastra lisan yang masih dihafalkan dan dipertahankan terus tanpa banyak perubahan, tetapi ada pula tradisi lisan yang telah berubah karena disebabkan oleh adanya dinamika intrinsik maupun pengaruh aspek lain di luar dirinya. Nani Tuloli (1991: 2) mengatakan bahwa, perubahan tersebut dapat saja dipengaruhi oleh adanya perkembangan masyarakat di berbagai segi kehidupan, seperti, ekonomi, pendidikan, politik, dan kepercayaan. Selanjutnya Finnegan (1987: 77-78) mengatakan bahwa keberadaan tradisi lisan perlu dipertimbangkan dari hal-hal yang menyangkut geografi, sejarah, kepercayaan dan agama, serta semua aspek kebudayaan lainnya. Masyarakat Wakatobi merupakan salah satu etnis di Nusantara yang mempunyai berbagai ingatan kolektif yang memuat jati diri masyarakatnya. Dalam ingatan kolektif itulah nilai-nilai budaya masyarakat Wakatobi disimpan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu ingatan kolektif masyarakat Wakatobi yang mengandung nilai-nilai budaya tersebut adalah nyanyian rakyat yang disebut kabhanti atau bhanti-bhanti (Udu, 2010: 18). Sebagai tradisi lisan, tradisi bhanti-bhanti juga tidak terlepas dari gejala perubahan dunia yang disebabkan oleh adanya kemajuan di bidang telekomunikasi, transportasi dan pariwisata. Kemajuan yang dimoroti oleh tiga bidang itu telah menjadikan dunia berada pada ruang dan waktu yang sudah saling menyatu dan tentunya akan 3
mempengaruhi keberadaan tradisi bhanti-bhanti dalam masyarakat Wakatobi yang merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dunia. Secara etimologi kata “kabhanti” berasal dari bahasa Wolio yang merupakan kata jadian dari kata “bhanti” yang berarti sindiran, dan mendapatkan awalan (ka-) yang berfungsi untuk mengubah kata kerja menjadi kata benda (Niampe, 1998: 5). Sehingga kata “kabhanti” merupakan kata jadian yang bermakna sebuah sindiran. Dalam bahasa Wakatobi, kata “kabhanti”, tidak dikenal, mereka hanya mengenal kata “bhanti” yang berarti sindiran, hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang sering diucapkan dalam percakapan sehari-hari masyarakat Wakatobi, misalnya /kolalo di amai iso, nobhanti kami/ “kami lewat pada mereka itu, mereka menyindir kami”. Mengacu pada konteks kalimat di atas, maka bhanti berarti ungkapan yang mengandung sindiran. Selanjutnya La Ode Kamaluddin1 , mengatakan bahwa kata “bhanti” merupakan nyanyian yang dilantunkan dan tidak ditujukan untuk seseorang, tetapi hanya sebagai luapan perasaan. Di sisi yang lain, La Ode Kamaluddin juga mengatakan bahwa kata “bhanti-bhanti” merupakan nyanyian yang dilantunkan untuk menyindir orang atau pendengar dengan menggunakan bahasa yang tidak langsung (Wawancara, tanggal 2 Februari 2011). La Ode Taalami (2008: 59) mengatakan bahwa kata bhanti dalam bahasa Wakatobi berarti dua pengertian, pertama bhanti berarti “sindiran halus”, dan kedua, bhanti sebagai salah satu jenis lagu yang berisi ungkapan perasaan (cinta kasih, sedih, kegembiraan, dan kerinduan), juga nasihat. Dengan demikian, kata ‘bhanti’
1
La Ode Kamaluddin merupakan salah seorang yang mendapatkan penghargaan dari Menteri Kebudayaan dan pariwisata tahun 2010 sebagai maestro kabhanti atas jasanya menghidupkan dan melestarikan tradisi kabhanti dalam masyarakat Wakatobi.
4
dalam bahasa Wakatobi berarti: (1) sindiran halus (menggunakan kata metaphor), (2) nyanyian rakyat. Sebagai nyanyian rakyat, bhanti-bhanti merupakan salah satu bentuk kesenian berupa nyanyian rakyat (folksong) masyarakat Wakatobi – Buton yang mengandung segala apa yang dipikirkan dan dirasakan yang berhubungan dengan dirinya, lingkungannya maupun tuhannya yang kadangkala disampaikan melalui bahasa metaphor 2 atau tidak langsung sehingga mampu mengungkapkan berbagai persoalan hidup masyarakatnya. Bhanti-bhanti sebagai nyanyian rakyat juga dilantunkan dengan nada dan irama yang indah, sehingga dapat menghibur dan menjadi ruang pembelajaran budaya bagi masyarakat pendukungnya. Hal yang sama dikemukakan oleh La Ode Nsaha (1987/1988: 235) bahwa kabhanti merupakan nyanyian rakyat yang disampaikan dalam bahasa halus sehingga menyentuh sampai di hati. Tradisi bhanti-bhanti Wakatobi dipentaskan dalam beberapa konteks, misalnya pada saat pesta, nazar, dan tempat minum-minuman keras atau di paradhaka’a. Berbagai konteks pementasan tersebut, akan menampilkan tradisi bhanti-bhanti yang berbeda, karena setiap pementasan adalah baru (Bdk, Lord, 1981: 30). Dalam berbagai konteks itulah, tradisi bhanti-bhanti mampu merefleksikan berbagai kebudayaan, sistem sosial, budaya, politik, serta berbagai nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat Wakatobi. Dalam pementasannya, tradisi bhanti-bhanti Wakatobi menggunakan beberapa alat musik berupa gendang (ganda), gitar (hitara), gambus (gambusu),
2
Dalam tulisannya tentang Metafor dalam Kabhanti Pengantar Tidur (2006), Hamuruddin Udu mengatakan bahwa pada dasarnya kabhanti merupakan nyanyian rakyat yang menggunakan bahasabahasa metaphor atau bahasa tidak langsung yang berbeda dengan bahasa sehari-hari.
5
biola (piola), serta botol (botolo) atau gelas (tonde) yang dipukul dengan sendok atau benda keras lainnya. Namun tidak semua pementasan bhanti-bhanti menggunakan semua alat di atas dalam satu pementasan, tetapi bisa saja hanya menggunakan salah satu dari gambus, gitar atau biola. Alat-alat itu digunakan secara bergantian, sesuai dengan respon penonton. Apabila penonton menginginkan joget, maka pelantun tradisi bhanti-bhanti akan menyajikan irama dangdut. Tetapi apabila penonton menginginkan tarian balumba, maka pementasan bhanti-bhanti akan menyajikan irama gambus. Selanjutnya apabila penonton menginginkan badendang, maka bhanti-bhanti akan menyajikan irama bandengan dengan alat musik biola. Tradisi lisan bhanti-bhanti biasa dimainkan oleh tiga orang, yaitu pemukul gendang, pemukul botol, dan pemain gitar, biola serta gambus. Namun, tidak semua pementasan dimainkan oleh banyak orang, tetapi terkadang ada juga pementasan yang hanya diiringi oleh gambus dan botol. Banyaknya jumlah pemain tradisi bhantibhanti ditentukan oleh konteks pementasan. Apabila penanggap atau yang mengundang menginginkan peralatan yang kompleks, maka jumlah pemainpun akan lebih kompleks, tetapi jika konteks pementasannya hanya hiburan seperti nazar, maka bisa saja hanya satu pemain yang mementaskan tradisi bhanti-bhanti. Lama pementasan tradisi bhanti-bhanti juga sangat bervariatif, dan tergantung dari konteks yang ada. Kalau dilakukan di malam hari, maka pementasan dapat dilakukan hingga lewat tengah malam, dan bahkan ada yang semalam suntuk. Tetapi jika dilakukan dalam suatu nazar, maka lama pementasan tergantung dari pemesannya. Selanjutnya, jika dilakukan pada konteks minum-minuman keras, maka lama pementasan tergantung dari lama tidaknya mereka selesai minum.
6
La Ode Kamaluddin biasanya mementaskan tradisi bhanti-bhanti selama berjam-jam dalam suatu acara pesta. La Mbongo mementaskan tradisi bhanti-bhanti hingga semalam suntuk saat menghibur orang yang memasak di suatu pesta. Bahkan La Huudu, pernah pentas selama dua hari dua malam dan ia hanya istrahat waktu makan, karena begitu antusiasnya menonton. Sambutan penonton yang begitu maksimal membuat sang pelantun berkata bahwa “Andaikan Tuhan memberi saya kesempatan untuk melihat, maka setelah itu saya sudah rela untuk kembali ke pangkuannya”. Dalam pementasan tradisi bhanti-bhanti, komposisi skematik dipengaruhi oleh konteks sosial di saat pelantunan. Albert B. Lord (1981: 13), mengatakan bahwa komposisi dalam tradisi lisan disusun bersamaan dengan proses pementasannya. Dengan demikian, jika pementasan bhanti-bhanti di wilayah petani akan mempengaruhi pelantun untuk dan mendorongnya untuk merefleksikan kehidupan masyarakat petani. Hal ini disampaikan oleh La Ode Kamaluddin bahwa “Untuk menarik minat penonton, kita harus menyanyikan apa yang dekat dengan kehidupan mereka” 3 . Dengan demikian, pementasan dan komposisi skematik bhanti-bhanti akan berubah berdasarkan konteks pelantunan yang dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya kondisi psikologi pelantun, reaksi penonton, penonton, serta kondisi sosial, budaya, politik, pemerintahan, yang ada di sekitar pementasan. Saat ini, masyarakat Wakatobi mengalami perubahan sebagai akibat dari adanya perubahan ekonomi, pendidikan dan pengaruh kemajuan teknologi, terutama dalam bidang telekomunikasi, transportasi dan pariwisata. Sampai dengan era tahun 1960-an, hampir setiap pesta dalam masyarakat Wakatobi masih menggunakan 3
Wawancara dengan La Ode Kamaluddin, 8 September 2009
7
tradisi bhanti-bhanti sebagai hiburannya, namun saat ini telah tergantikan oleh musik-musik dangdut yang dimainkan oleh organ tunggal. Bagi generasi muda, mereka lebih memilih untuk joget dengan iringan organ tunggal, dibandingkan menonton atau menyaksikan pementasan tradisi bhanti-bhanti. Anak-anak muda Wakatobi lebih memilih joget, dance atau triping dibandingkan mereka memainkan badendang atau balumpa. Di samping itu, kebanyakan anak-anak Wakatobi sudah tidak dapat memainkan badendang dan balumpa. Perkembangan dan perubahan sikap generasi muda masyarakat Wakatobi di atas akan berdampak pada keberadaan dan keberlangsungan tradisi bhanti-bhanti dalam masyarakat Wakatobi. Pada hal, hilangnya berbagai bentuk pementasan tradisi bhanti-bhanti akan berdampak pada hilangnya peristiwa budaya dan berbagai pemikiran, ide dan gagasan yang tersimpan dalam tradisi lisan bhanti-bhanti itu sendiri. Berangkat dari fenomena yang telah disebutkan di atas, maka penelitian mengenai tradisi bhanti-bhanti Wakatobi perlu dilakukan, mengingat pementasan tradisi bhanti-bhanti merupakan peristiwa budaya yang memuat berbagai ingatan kolektif masyarakat pendukungnya. Selain itu, tradisi bhanti-bhanti juga menyimpan berbagai ide dan gagasan yang tersimpan di dalam teks-teksnya. Di sisi yang lain, tradisi bhanti-bhanti memiliki keteraturan-keteraturan atau sistem-sistem baku, memiliki pola-pola repetisi dan paralelisme yang tetap, sehingga masalah penelitian berikutnya adalah belum adanya penjelasan mengenai sistem formula tradisi bhanti-bhanti Wakatobi. Pada hal analisis ilmiah mengenai sistem formula tradisi lisan bhanti-bhanti Wakatobi dapat memberikan kemudahan bagi para pelantun dalam proses komposisi tradisi bhanti-bhanti tanpa harus menghafal 8
atau menyusun komosisi terlebih dahulu sebelum melakukan pementasan. Melalui analisis sistem formula tradisi bhanti-bhanti diharapkan dapat mendukung penyusunan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti Wakatobi, sehingga tradisi bhanti-bhanti dapat dipelajari dan dihidupkan kembali di masa depan. Selanjutnya, masalah dalam penelitian ini adalah belum adanya penjelasan ilmiah mengenai komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi. Melalui penjelasan ini, seorang pelantun atau pendengar bhanti-bhanti dapat menyusun atau mengkomposisi bhanti-bhanti dengan mudah. Melalui hasil analisis ini, diharapkan dapat membantu orang-orang yang akan mempelajari dan menghidupkan tradisi bhanti-bhanti dalam menyusun atau mengkomposisi dan mementaskan tradisi bhanti-bhanti sesuai dengan konteks dan situasi yang ada di masa yang akan datang. Berdasarkan beberapa masalah penelitian di atas, maka sejauh ini belum ada penelitian yang menggunakan konsep kelisanan Albert Bates Lord terhadap tradisi bhanti-bhanti. Oleh karena itu, penelitian mengenai tradisi bhanti-bhanti dengan menggunakan konsep kelisanan Albert Bates Lord yang meliputi, (1) bentuk-bentuk pementasan, (1) formula dan (3) komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi perlu dilakukan. Karena penelitian tentang kabhanti atau bhanti-bhanti selama ini masih berhubungan dengan struktur, isi dan makna kabhanti. Belum satupun yang menjelaskan tentang pementasan, formula dan komposisi skematik bhanti-bhanti. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan berbagai bentuk-bentuk pementasan, formula dan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi.
9
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka tradisi lisan merupakan salah salah satu
fenomena
kebudayaan
yang
menyimpan
berbagai
ingatan
kolektif
masyarakatnya. Di sisi yang lain, adanya perkembangan dinamika internal dan eksternal dalam masyarakat Wakatobi telah mempengaruhi perkembangan tradisi bhanti-bhanti dan masyarakat pendukungnya. Pada hal, hilang tradisi lisan bhantibhanti tersebut sekaligus hilangnya berbagai unsur-unsur pementasan bhanti-bhanti yang meliputi: (1) situasi dan tempat (2) pelantun, (3) media (sarana dan prasarana yang digunakan yang meliputi: nada, kostum dan ekspresi), (4) alat yang digunakan, (5) Pendengan (audiens) dan Partisipan (6) variasi yang terjadi sebagai respon penonton. Jika ditinjau dari segi bentuk, teks-teks tradisi lisan bhanti-bhanti memperlihatkan keteraturan-keteraturan yang berlaku sebagaimana pada setiap ragam tradisi lisan. Teks-teks bhanti-bhanti dibangun oleh sistem repetisi, paralelisme yang membentuk bhanti-bhanti. Di sisi yang lain, pementasan bhantibhanti juga disusun berdasarkan komposisi skematik yang ada dalam setiap pementasan
bhanti-bhanti
yang
tentunya
memberikan
kontribusi
dalam
kelangsungan kehidupan tradisi bhanti-bhanti. Dengan demikian, hilang atau lenyapnya tradisi lisan bhanti-bhanti dalam masyarakat Wakatobi, berarti juga hilang dan lenyapnya berbagai sistem formula, komposisi skematik yang digunakan untuk mengungkapkan ide, pemikiran, impian, kenangan, tanggapan tentang berbagai peristiwa yang sudah terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi di dalam masyarakat Wakatobi dalam setiap pementasan bhanti-bhanti.
10
Berangkat dari masalah penelitian di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah
bentuk
pementasan
tradisi
bhanti-bhanti
masyarakat
Wakatobi? 2. Bagaimanakah formula yang terdapat dalam tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi? 3. Bagaimanakah komposisi skematik yang digunakan dalam tradisi bhantibhanti masyarakat Wakatobi? 4. Bagaimanakah keterkaitan antara konteks pementasan, formula dan komposisi skematik dalam tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: Pertama, secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menyelamatkan dan mengembangkan tradisi lisan bhanti-bhanti dalam masyarakat Wakatobi. Hal ini disebabkan karena tradisi lisan kabhanti merupakan ingatan kolektif masyarakat pendukungnya yang sekaligus kekayaan budaya bangsa yang tidak ternilai harganya. Kedua, tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Untuk menjelaskan unsur-unsur yang membentuk pementasan tradisi bhantibhanti yang ada dalam masyarakat Wakatobi. 2. Untuk menjelaskan formula bhanti-bhanti yang ada dalam masyarakat Wakatobi.
11
3. Untuk menjelaskan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti yang ada dalam masyarakat Wakatobi. 4. Untuk menjelaskan keterkaitan konteks sosial yang mendukung pementasan bhanti-bhanti dengan, formula dan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dibagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan panfaat praktis. 1. Secara teoritis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut. a. dapat menambah khazanah sumber infomasi mengenai kajian-kajian tradisi lisan, dan menambah pengetahuan khususnya masyarakat Wakatobi tentang tradisi bhanti-bhanti. b. Sebagai sumber informasi mengenai bentuk-bentuk pementasan, sistem formula, dan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti, terutama bagi masyarakat Wakatobi dan Indonesia pada umumnya. c. Untuk menjelaskan keterkaitannya konteks pementasan tradisi bhantibhanti dengan bentuk-bentuk pementasan, formula dan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat: a. memberikan kontribusi dalam pengembangan dan pelestarian budaya daerah, khususnya tradisi bhanti-bhanti di dalam masyarakat Wakatobi dan Buton pada umumnya. Mengingat tradisi bhanti-bhanti sebagai salah satu potensi kesenian daerah atau sastra daerah yang tak ternilai harganya
12
dalam menciptakan identitas masyarakat pendukungnya maupun sebagai sumber inspirasi bagi penciptan seni di dalam masyarakat Wakatobi; b. sebagai acuan ilmiah dalam pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan pembangunan kebudayaan dalam masyarakat Wakatobi dan Indonesia pada umumnya; dan c. sebagai motivasi untuk peneliti-peneliti berikutnya, untuk mengadakan penelitian yang berkaitan dengan tradisi lisan bhanti-bhanti yang tentunya belum dijangkau dalam penelitian ini.
1.5 Tinjauan Pustaka Pembicaraan mengengai tradisi lisan telah banyak melibatkan ahli dan berbagai sudut pandang yang digunakannya. Penggunaan paradigma oleh para ahli tersebut tidak terlepas dari perkembangan paradigma yang ada pada bidang ilmuilmu yang lainnya. Berikut ini akan diuraikan penggunaan paradigm yang pernah digunakan dalam penelitian tradisi lisan. Jika melihat berbagai perkembangan paradigma yang pernah digunakan dalam penelitian tradisi lisan, maka kehadiran paradigma difusi dalam dunia antropologi telah mendorong para ahli untuk melakukan pemetaan tradisi lisan melalui paradigma difusi kebudayaan (diffusion theory)4. Menurut Danandjaja (2003: 72-101) beberapa tokoh yang pernah melakukan penelitian dengan menggunakan pemikiran ini adalah Joel Chandler Harris (1884-1908), Richard M. Dorson (19161981), William R. Bascom (1912-1982), Stith Thomson (1885-1976), Jan Harold
4
Thomas Heylland Eriksen tentang Antropologi Sosial dan Budaya: Sebuah Pengatar (2009: 22) mengatakan bahwa difusionisme merupakan doktrin tentang difusi historis yang menyangkut ciri dan sifat budaya.
13
Brunvand (1998), Archer Taylor (1980-1973), Ralp Steele Boggs (1901-1994), Wyland D. Hand (1907-1989), Paul G. Brewster (1898-?). Para ahli di atas, tertarik pada keunikan sejarah5 kebudayaan Amerika, untuk itu mereka menelusuri keunikan itu melalui persebaran dongeng-dongeng masyarakat Amerika yang dianggapnya berasal dari Afrika. Mereka menelusuri persebaran dongeng-dongeng itu ketika diceritakan dalam versi Amerika. Di samping itu, mereka juga melakukan klasifikasi, interprestasi, dan perbandingan mengenai suatu cerita sehingga mereka dapat melakukan pemetaan terhadap masyarakat Amerika berdasarkan cerita rakyat mereka. Untuk itu, mereka melakukan banyak hal mengenai folklore Amerika, seperti melakukan perbandingan untuk memperoleh gambaran mengenai bentuk, tempat, dan jalan peredaran folklore, serta berbagai bentuk gaya presentasinya. Mereka juga mefokuskan perhatian mereka terhadap pandangan masyarakat yang diwakili oleh folkolere tersebut. Selanjutnya, para ahli folkolore tersebut kemudian menghasilkan publikasi-publikasi ilmiah berupa koleksi dongeng-dongeng berupa fable yang terkenal sampai sekarang yang mereka klaim sebagai ciri-ciri dan sifat dari masyarakat Amerika. Di Afrika dan Asia, penelitian tradisi lisan dari prespektif ini antara lain dilakukan oleh Jan Vansinna (1985), Christopher Heywood (2004), dan Amin Sweney (1980). Dalam penelitiannya mengenai sejarah masyarakat Afrika, Jan Vansinna menggunakan tradisi lisan sebagai salah satu sumber dalam penulisan sejarah masyarakat. Jan Vansinna kemudian mengelompokkan masyarakat Afrika berdasarkan ciri-ciri dan sifat yang ada dalam tradisi lisan mereka. Di samping
5
Jacobs, Melville. 1966. “A Look Ahead in Oral Literature Research” (The Journal of American Folklore), Vol. 79, No. 313 (Jul. - Sep., 1966), pp. 413-427.
14
penelitian yang dilakukan Jan Vansinna tersebut, penelitian serupa juga dilakukan oleh Christopher Heywood (2004) untuk melihat sejarah pergerakan masyarakat Afrika Selatan melalui ingatan kolektif mereka. Heywood menelusuri pergerakan masyarakat Afrika Selatan tersebut baik dalam satra lisan maupun dalam berbagai tulisan mereka dalam beberapa periode perjalanan kemerdekaan di negara itu. Dengan menggunakan paradigma ini, Heywood memetakkan ciri-ciri dan sifat gerakan masyarakat di Afrika berdasarkan penelusuran sejarah melalui berbagai tulisan termasuk berdasarkan sumber yang berasal dari tradisi lisan mereka. Dalam upayanya untuk memahami kebudayaan China, Martin Jacques (2011) menelusuri berbagai folklore China guna memahami cara berpikir masyarakat China dewasa ini. Ia juga mencoba memahami kebudayaan China dari cerita rakyat mengenai asal usul masyarakat China yang berasal dari wilayah Sungai Kuning. Di Indonesia, penelusuran sejarah masyarakat melalui tradisi lisan juga pernah dilakukan oleh Mattulada (1990). Ia melakukan kajian mengenai cerita Sawerigading sebagai salah satu sumber dalam penulisan sejarah masyarakat Sulawesi Selatan khususnya etnis Bugis. Ia mengatakan bahwa cerita Sawerigading memuat sejarah masyarakatnya. Hal ini sebagaimana diperkuat oleh Danandjaja (1990), bahwa cerita Sawerigading merupakan sumber sejarah etnis Bugis di Sulawesi Selatan dan memiliki fungsi sosial yang tinggi. Karena melalui cerita Sawerigading, kita dapat memahami nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Bugis tersebut. Penggunaan paradigma histori dalam melihat tradisi lisan, telah melahirkan ketimpangan karena dianggap banyak mengabaikan aspek struktur tradisi lisan, baik yang menyangkut struktur permukaan maupun struktur dalam dari tradisi lisan. 15
Sehubungan dengan itu, Ahimsa-Putra (2006: 66) mengatakan bahwa berbagai aktivitas sosial dan hasilnya seperti dongeng, merupakan perangkat tanda dan simbol yang menyampaikan pesan-pesan yang tentunya memiliki pola atau struktur tersendiri. Dengan demikian, penggunaan tinjauan sejarah dalam tradisi lisan tidak cukup kuat untuk melihat struktur yang ada di dalam suatu tradisi lisan atau maupun struktur sosial masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut. Sehingga diperlukan suatu paradigma yang mampu menganalisis tradisi lisan, guna melihat isi dongeng maupun konteks masyarakat pemiliknya. Akibat dari ketidakpuasan dari paradigma historis tersebut, lahirlah tokohtokoh yang menggunakan paradigma struktural dalam kajian tradisi lisan. Beberapa tokoh yang mengembangkan paradigma strukturalisme dalam tradisi lisan adalah Alan Dundes (1934-?), Claude Levi-Strauss (1958), Parry dan Lord (1976). Tokohtokoh di atas, memiliki pengaruh yang luar biasa dalam penelitian tradisi lisan. Ketertarikan Dundes untuk melakukan kajian mengenai tradisi lisan, dipengaruhi oleh pemikiran Vladimir Propp yang mengatakan bahwa dongeng-dongeng yang dimiliki oleh masyarakat Amerika-Indian tidaklah acak dan tidak hadir begitu saja, tetapi memiliki struktur yang dapat diuraikan menjadi bagian-bagian, misalnya motif, dan dongeng dapat diibaratkan seperti sebuah kotak yang dapat diisi berbagai motif. Kemudian Dundes melakukan analisis motif terhadap kajian tradisi lisan dimana ia mencoba menggunakan paradigma struktural yang dilengkapi dengan analisis fungsional untuk membadingkan tradisi lisan di satu daerah dengan tradisi lisan di daerah lainnya. Ia menganalisis motif dan fungsi yang dalam setiap tradisi lisan dari
16
masing-masing daerah (1965) 6 . Selanjutnya, Murti Bunanta (1998) juga telah melakukan penelitian dengan membandingkan motif cerita Bawang Merah dan Bawang Putih yang ada dalam buku-buku bacaan anak-anak di Indonesia. Di samping itu, ia juga manganalisis fungsi cerita tersebut dalam penulisan cerita anak di Indonesia. Ini merupakan upaya untuk keluar dari analisis yang selama difokuskan pada aspek struktur atau histori dari tradisi lisan. Albert
B.
Lord
(1981)
menggunakan
paradigma
struktural
yang
dikombinasikan dengan paradigma antropologis dalam melihat nyanyian rakyat masyarakat Yogoslavia. Dalam penelitiannya mengenai nyanyian rakyat masyarakat Yogoslavia, Lord mengkaji aspek formula dan formulaic, performansi, komposisi skematik, dan transmisi yang terjadi dalam nyanyian rakyat tersebut. Dampak dari pemikiran Lord ini kemudian mempengaruhi ahli-ahli berikutnya seperti Walter J. Ong (1982) 7 , Ruth Finnegan (1977, 1978, 1992); serta penelitian Amin Sweeney (1987) 8 ; Helen Gregory (2008) 9 . Tokoh-tokoh tersebut kemudian menerapkan paradigma yang digunakan Lord dalam berbagai tradisi lisan yang ada diberbagai belahan dunia. Selain beberapa penelitian di atas, konsep Lord juga dikembangkan dibeberapa belahan dunia lainnya seperti, di Finlandia, Turki dan Mongolia10, China,
6
The Study of Folklore (1965), merupakan kumpulan tulisan dari beberapa ahli yang berhubungan dengan folklore. Dari tulisan tersebut, Dundes membahas mengenai perbandingan motif-motif yang ada dalam tradisi lisan yang ada di daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. 7 Buku Orality and Literacy the Technologizing of the Word (1982: 2-3) karya Walter J. Ong mempertanyakan adanya jarak teks dan konteks penceritaan yang selama ini dalam penelitian tradisi lisan. 8 A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World, merupakan pernah mengkaji kelisanan di dunia Melayu. 9 Gregory, Helen.2008. “(Re) presenting Ourselves: Art, Identity, and Status in U.K. Poetry Slam” (Oral Tradition). Vol. 23, Nomor 2 (2008): 201-217 10 Enhong, Yang. 1998. “A Comparative Study of the Singing Styles of Mongolian and Tibetan Geser/Gesar Artists” (Oral Tradition), Vol.13 No. 2 (1998): 422-434. Dalam tulisan tersebut,
17
Rusia dan bangsa Yugoslavia yang lain. Temuan mereka hampir sama dengan beberapa temuan di atas, sehingga teori Lord dapat dianggap memiliki kemampuan untuk diterapkan dalam berbagai tradisi lisan dan kebudayaan yang ada. Di Indonesia, temuan Lord itu kemudian mendorong beberapa peneliti seperti James Fox (1986), Nani Tuloli (1992), Suripan Sadi Hutomo (1993), dan Wigati (2008). Fox melihat tradisi lisan Bini di Rote, Nani Tuloli melihat cerita rakyat Tanggomo di Sulawesi Tengah, dan Wigati melihat Helaiheli dan Ehabla di masyarakat Sentani Papua. Selanjutnya Hutomo melakukan penelitian dengan teori yang sama untuk melihat cerita Kentrung dalam masyarakat Tuban. Dengan menggunakan paradigma yang sama mereka menemukan bahwa terdapat gejala paralelisme dalam tradisi lisan yang mereka teliti. Mereka juga menganalisis aspek formula, komposisi skematik dan pementasan dari setiap tradisi tersebut. Dari hasil penelitian mereka terlihat adanya ciri-ciri tradisi lisan, yaitu: (1) komposisi bersifat oral; (2) mengandalkan pementasan (performance); (3) bersifat epic. Selain paradigma struktural yang dikombinasikan dengan antropologi yang dilakukan oleh Lord di atas, beberapa penelitian yang mefokuskan kajiannya pada tradisi lisan adalah Heddy Shri Ahimsa-Putra (2006). Ahimsa-Putra mengkaji beberapa mitos di Indonesia dengan menggunakan pendekatan strukturalisme. Dalam kajian itu, ia sangat dipengaruhi oleh pemikiran strukturalisme Levi-Strauss.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mitos memiliki dua struktur yaitu struktur luar dan struktur dalam. Dengan menggunakan paradigma strukturalisme Levi-Strauss,
Enhong kemudian membuat perbandingan beberapa motif yang ada di daratan China. Dalam perbandingan itu, ditemukan bahwa terdapat penggunaan formula dan formulaic yang dimunculkan dengan adanya repetisi dalam tradisi lisan Mongol dan Tibet.
18
Ahimsa-Putra (2006: 446) menyimpulkan bahwa menganalisis mitos sebagai salah satu gejala sosial dapat juga digunakan untuk menganalisis gejala sosial budaya yang ada di dalam suatu masyarakat. Walaupun di sisi yang lain, Ahimsa-Putra masih menyarankan untuk pengujian teori struktural Levi-Strauss dalam gejala kebudayaan yang lainnya. Penggunaan teori strukturalisme Levi-Strauss juga dilakukan oleh Ery Iswari (2010) dalam mengkaji representasi bentuk-bentuk jender dalam budaya Makassar berdasarkan teks folklore. Ia menganalisis pengunaan simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan relasi gender dalam cerita rakyat Makassar serta sejarah perempuan Makassar di masa lalu. Ia juga mengatakan bahwa pada tataran struktur dalam, relasi-relasi gender tersebut disederhanakan menjadi oposisi biner (2010: 167). Di samping itu, penelitian ini juga menunjukan bahwa terdapat ketertataan dan keterulangan sejumlah symbol seperti tanah, bulan/bintang, laut, ayam, rumah, dan perahu dalam mitos masyarakat Makassar. Andreas Yobe (2006) melakukan penelitian mengenai struktur cerita rakyat masyarakat suku Mee Papua dengan menggunakan analisis struktur naratif yang dikembangkan oleh Vladimir Propp. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memahami nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita rakyat suku Mee Papua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur cerita rakyat masyarakat Mee Papua, tidak memiliki fungsi sebagaimana dalam 31 fungsi yang dikemukakan oleh Vladimir Propp. Dalam tulisannya mengenai Cerita Rakyat Masyarakat Wakorumba di Kabupaten Buton Utara (2011), Wa Ode Alfian menggunakan paradigma struktural untuk menganalisis alur, tema dan amanat, tokoh dan penokohan, serta latar cerita yang ada dalam cerita rakyat masyarakat Wakorumba tersebut. Ia juga 19
menganalisis mengenai nilai-nilai budaya yang ada dalam cerita rakyat masyarakat Wakorumba. Dalam penelitian tersebut, Alfian juga mengatakan bahwa cerita rakyat masyarakat Wakorumba memiliki nilai budaya yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan pribadi, hubungan manusia tuhanNya. Di samping itu, Alfian juga membicarakan model pelestariannya, dan salah satu rekomendasinya adalah bahwa untuk melestarikan cerita rakyat seharusnya dapat dijadikan sebagai bahan ajar di sekolah, pembuatan buku cerita, dan pengadaan lomba bercerita dalam masyarakatnya. Selain beberapa paradigma di atas, penelitian tradisi lisan juga dilakukan dengan menggunakan paradigma struktural fungsional. Beberapa orang yang menggunakan paradigma ini adalah H.S.P. Saputra (2007) dan M. Zainuddin (2010). Dalam tulisannya mengenai Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya UsingBanyuwangi, Saputra menguraikan tentang aspek formula dan formulaic, kompsisi skematik, serta performansi yang digunakan dalam mantra masyarakat Using. Hasil analisisnya mengenai struktur mantra itu, tidak terlepas dari aspek formula yang tetap. Dari aspek fungsi, Saputra mengatakan bahwa pada prinsipnya mantra dalam masyarakat Using-Banyuwangi memiliki fungsi negatif dan fungsi positif. Masyarakat Using-Banyumas memiliki dua jenis mantra, yaitu putih dan hitam. Ia menambahkan bahwa mantra Sabuk Mangir (SM) berguna untuk kasih sayang, yang didasari oleh ketulusan hati dan memiliki dampak positif. Selanjutnya, mantra Jaran Goyang (JG) tergolong mantra merah yang digunakan hal negatif yang dilatari oleh dendam. Di samping penggunaan paradigma strukturalisme di atas, Alan Lomax (1915)
kemudian
menggunakan
paradigma
etnomusikologi
untuk
melihat 20
perkembangan musik di dalam tradisi lisan. Ia mengumpulkan nyanyian rakyat bersama ayahnya sehingga ia menemukan Huddie Ledbetter (leadbelly). Sebagai pengumpul berbagai bahan, lalu ia merekamnya ke dalam dentingan dari pianis jazz yang sangat kreatif. Ia mengumpulkan berbagai bahan folklore dan kemudian melakukan penelitian mendalam mengenai emosi, sosial, sejarah, dan konteks. Selanjutnya, Lomax juga melihat gaya-gaya dari setiap data nyanyian itu, dan kemudian menguhubungkanya dengan aspek antropologinya (Danandjaja, 2003: 100-101). Penelitian tradisi lisan juga, banyak dilakukan dengan paradigma sosiologi sebagaimana dilakukan oleh Richard Bauman, (1975)11. Ia mefokuskan penelitiannya pada konteks penceritaan tradisi lisan sebagai model komunikasi sosial dalam masyarakat. Ini dilakukan karena adanya perubahan paradigma dari fokus pada aspek teks (strukutur) dan mengabaikan masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut ke hal yang ada di luar teks yang memungkinkan untuk mengakomodasi keberadaan masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut. Pemikiran ini kemudian mempengaruhi beberapa penelitian berikutnya seperti penelitian Albert B. Lord (1981)12, Bauman (1992), (Ruth Finnegan (197713; 1989)14, Elizabet C. Fine (1994)15, yang kemudian
11
Di dalam jurnal Verbal Art as Performance yang diterbitkan dalam jurnal American Anthropologist, New Series, Vol. 77, No. 2 (Jun., 1975), pp. 290-311, Richard Bauman telah membicarakan tentang performansi dalam seni verbal. Ia mengatakan bahwa performansi merupakan satu hal yang tidak dapat diabaikan dalam kajian tradisi lisan. 12 Dalam bukunya The Singer of Tales Alber Bates Lord menggunakan dua paradigma, untuk memenuhi tuntutan metodologis yaitu strukturalisme untuk kebutuhan analisi struktur yang meliputi, formula dan formulaic, komposisi skematik dari nyanyian rakyat masyarakat Yogoslavia. Kemudian untuk menangkap aspek performansi sebagai bagian terpenting dalam konteks pementasannya, Lord menggunakan pendekatan antropologi. 13 Ruth Finnegan dalam bukunya Oral Poetry: Its Nature, Significance and Sosial Context menjelaskan tentang berbagai aspek yang membentuk puisi lisan dalam masyarakat. Mulai dari konsep, metode, komposisi, gaya dan perfromansi, proses transmisi, pendengar, konteks dan fungsi puisi lisan, serta Ruth juga menulis tentang puisi lisan dan masyarakat penedukugnya.
21
mefokuskan penelitian mereka pada performansi sebagai salah satu model komuniksi sosial dalam masyarakat tradisional. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pascal Boyer (1990) yang melihat tradisi lisan sebagai objek kajian antropologi yang penting untuk diungkap dalam memahami sebuah kebudayaan, sistem sosial, psikologi, maupun aspek struktur suatu masyarakat. Kehadiran teori-teori feminis dewasa ini telah mendorong beberapa peneliti untuk melakukan penelitian tradisi lisan dari prespektif ini. Beberapa hasil penelitian yang menggunakan paradigma ini adalah Muslimat (2005), Udu (2010). Dalam kajiannya
mengenai
Wanita
Dalam
Cerita
Rakyat
Makassar,
Muslimat
menggunakan pendekatan kritik sastra feminis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fenomena kehidupan masyarakat yang didominasi oleh kekuasaan pria dan prasangka gender memunculkan berbagai bentuk ketidakadilan dan penindasan terhadap wanita. Ia juga mengatakan bahwa tradisi lisan memberikan solusi dalam memecahkan masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupan modern yang dapat dikembangkan melalui pencitraan wanita yang ada dalam cerita rakyat. Melalui pencitraan perempuan dalam cerita rakyat, perempuan dapat mencapai kebebasan dan kesetaraan sebagaimana terdapat dalam cerita rakyat Sitti Naharirah. Selanjutnya, penelitian Sumiman Udu tentang Perempuan dalam Kabhanti dengan menggunakan pendekatan sosiofeminis. Melalui pendekatan ini, ditemukan bahwa tradisi yang mengintari kehidupan perempuan, tidak terlepas dari rekayasa dan 14
Ruth Finnegan, dalam bukunya Oral Traditions and The Verbal Art: a Guide to Research Practices (1992) menyajikan beberapa metode penelitian tradisi lisan, mulai dari teori dan perspektif yang digunakan sampai pada cara menganalisis fungsi dan struktur teks tradisi lisan. 15 Dalam buku The Foklore Text Elizabeth C. Fine menuliskan tentang persoalan-persoalan dalam penelitian tradisi lisan, metode, pendekatan baik dalam hubungannya dengan teks maupun yang berhubungan dengan aspek performansinya. Dalam buku tersebut, Fine mengatakan bahwa ada tiga fokus yang perlu diperhatikan dalam kajian performansi sastra lisan, yaitu (1) sebagai model estetika dan gaya komunikasi, 2) berhubungan dengan peristiwa tertentu, 3) budaya khusus dan varibel dari studi lintas-budaya (Fine, 1984: 58).
22
konstruksi sosial budaya. Ia juga menyimpulkan bahwa perempuan di dalam tradisi kabhanti masyarakat Wakatobi dicitrakan sebagai (1) perempuan yang lemah dan kuat dari segi fisiknya, (2) dari segi psikis, perempuan dicitrakan sebagai perempuan yang bebas dan terbelenggu, dan (3) aspek sosialnya, perempuan dicitrakan sebagai ibu, pengasuh anak, sebagai tuan rumah. Ia juga menemukan bahwa perempuan sesungguhnya adalah pribadi yang terbuka, menginginkan dialog, mampu bekerja dan menginginkan perubahan, perempuan juga mengimpikan pendidikan sebagai ruang untuk mengubah kehidupannya. Di samping beberapa paradigma di atas, paradigma hermeneutic juga pernah digunakan untuk kajian-kajian tradisi lisan. Beberapa orang yang telah menggunakan paradigma ini dalam kajian tradisi lisan adalah Sri Yaningsih dan kawan-kawan (1985) melakukan kajian mengenai ungkapan tradisional masyarakat Sasak dan Mbojo. Dengan melakukan pengumpulan puluhan ungkapan tradisional dari kedua masyarakat
tersebut,
Yaningsih
kemudian
melakukan
interprestasi
dengan
menggunakan pendekatan hermeneutik, dengan mencoba melakukan penelusuran mengenai makna teks-teks tersebut sesuai dengan sejarah yang membentuknya di dalam masyarakat Sasak dan Mbojo. Dari hasil analisis itu dijelaskan bahwa ungkapan tradisional itu merupakan salah satu cara pengungkapan cara berpikir dari masyarakat pendukungnya. Dalam penelitiannya mengenai Cerita Rakyat Banjar, M Zainuddin menggunakan pendekatan sosiologis. Melalui penggunaan pendekatan ini, ia menemukan bahwa dalam cerita rakyat “Sarawin”, manusia memiliki hubungan dengan tuhan melalui kepercayaan, ketaatan, doa, bersyukur, tobat, berserah diri, dan melalui kesabaran. Dalam hubungannya dengan masyarakat, manusia memiliki 23
beberapa bentuk hubungan yaitu gotong royong, musyawarah, kebijaksaan, persatuan, pepatuhan adat, bertanggung jawab, keramahan, suka menolong, saling memaafkan, menghargai, perasaan malu, dan menepati janji, sedangkan dalam hubungannya dengan diri sendiri, manusia harus memiliki kerja keras, menuntut ilmu, kecerdikan, dan pemberani. Beberapa hasil penelitian mengenai tradisi kabhanti atau bhanti-bhanti dapat digolongkan berdasarkan paradigma yang digunakannnya sebagai berikut. Pertama, penelitian kabhanti yang menggunakan pendekatan filologi pernah dilakukan oleh La Niampe (1998) 16 dan Ali Rusdin (2002) 17 . Keduanya menganalisis kabhanti dari pendekatan filologi yang menekankan pada suntingan teks, dengan berusaha untuk menemukan naskah arketip atau naskah yang mendekati naskah yang asli. Analisis dilakukan dengan metode stema disertai dengan aparat kritik. Peneliti khabanti dalam naskah juga dilakukan oleh Sumiman Udu (2009) 18 yang mengaji tentang konsep seks masyarakat Buton dalam naskah Kabhanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dhempa karya Sultan La Kobu. Penelitian dengan menggunakan paradigma semiotik etnografi ini, menemukan bahwa pemaknaan khabanti dari sudut pandang masyarakat pemilik khabanti memperlihatkan tata cara seks yang penting bagi penciptaan generasi Buton yang berkualitas di masa depan. Kedua, penelitian tradisi lisan kabhanti dengan menggunakan pendekatan struktural yaitu Sulfiah (2002), La Hamudin (2000), La Sudu (2010), Ramawati 16
Dalam kajiannya mengenai naskah kabhanti Bulamalino, La Niampe melakukan kajian suntingan teks dari aspek filologi. Ia menemukan beberapa versi dalam naskah Bulamalino karya Sultan Muhamad Idrus Kaimuddin. 17 Dalam kajiannya mengenai Naskah kabhanti “Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa” Ali Rusdin melakukan analisis filologi dengan mefokuskan kajiannya pada suntingan teks naskah tersebut. 18 Dalam kajiannya mengenai Konsep Seks Masyarakat Buton, Sumiman Udu menjelaskan bahwa masyarakat Buton memiliki cara pembacaan yang berbeda tentang naskah tersebut. Kalau di dalam naskah menjelaskan tetantang tata cara menanam, maka bagi masyarakat Buton, menanam yang dimaksud adalah tata cara pelaksanaan hubungan seks.
24
Masiri (2009), Karimuddin (2010), La Niampe, ddk (2010). Beberapa peneliti mengenai kabhanti di atas, menekankan kajian mereka pada struktur, bentuk dan makna kabhanti dalam masyarakat Mawasangka, Cia-Cia, Muna dan Wakatobi. Mereka menganalisis kabhanti dari segi struktur baris, bait, rima, serta makna dan fungsi kabhanti dalam masyarakat. Paradigma fungsional pernah dilakukan oleh Udu (2008, 2010) yang melihat fungsi kabhanti sebagai media pembelajaran. Dalam tulisan itu dikatakan bahwa kabhanti merupakan salah satu media pembelajaran sastra yang efektif pada anak usia dini khususnya di dalam masyarakat Wakatobi. Hasil penelitian itu menunjukan bahwa salah satu fungsi kabhanti dalam masyarakat Wakatobi adalah sebagai ruang ingatan kolektif masyarakat Wakatobi terhadap kearifan lokal mereka terhadap lingkungan, sistem sosial dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Wakatobi. Penelitian yang menjelaskan tentang teks, konteks dan fungsi kabhanti dilakukan oleh Asrif (2015). Dalam penelitian tersebut, Asrif mefokuskan penelitiannya pada aspek teks, dimana ia melihat pada aspek penciptaan teks, mulai dari aspek waktu, formula, tema dan gaya bahasa yang digunakan dalam teks kabhanti. Pada kajiannya mengenai formula, Asrif menyajikan tiga jenis formula yaitu (1) formula dalam, (2) formula luar, dan (3) formula pendahulu. Sedangkan dalam analisisnya mengenai tema, Asrif hanya melihat pada aspek tema yang diangkat dalam karya-karya sastra lainnya. Selanjutnya, Asrif juga melihat aspek konteks, dalam bagian ini ia menemukan dua konteks budaya yang mendukung kabhanti yaitu budaya maritim dan budaya agraris. Penelitian ini juga melihat, fungsi kabhanti dalam masyarakat Buton yaitu (1) hiburan, (2) edukasi, (3) silaturahmi, (4) ekonomi. 25
Selanjutnya penelitian mengenai kabhanti juga pernah dilakukan dengan menggunakan prespektif linguistik. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Hamiruddin Udu (2006). Dalam penelitian tersebut, ia melihat tentang pebanding dan pembading unsur makna dan maknanya, serta pandangan budaya masyarakat yang terbaca dalam kabhanti pengantar tidur. Dari tulisan ini ditemukan bahwa pembanding metafora dalam kabhanti selalu menggunakan nama benda-benda atau hal lain yang akrab dengan kehidupan anak. Pola pasangan metafora dengan metafora, metafora dengan nonmetafora, pasangan nonmetafora dengan metafora. Penggunaan paradigma postrukturalisme dalam penelitian mengenai kabhanti juga dilakukan oleh Sumiman Udu (2009). Dalam analisis tersebut, ditemukan bahwa dalam teks kabhanti terdapat perbedaan cara berpikir tentang jodoh antara perempuan dari kalangan ‘ode 19 ’, dan perempuan yang berasal dari kalangan maradhika 20 . Perempuan dari kalangan maradhika cenderung memiliki kebebasan untuk memilih jodohnya. Sedangkan perempuan dari golongan kaomu dan walaka yang sering kali menggunakan gelar ‘ode’ menyerahkan masalah jodohnya pada adat atau keluarga. Berangkat dari beberapa penggunaan paradigma dalam penelitian tradisi lisan di atas, maka penelitian mengenai tradisi kabhanti pernah dilakukan oleh Asrif, Udu (2013), namun penelitian-penelitian tersebut belum mampu mengungkap berbagai bentuk pementasan, formula, dan komposisi skematik yang ada dalam tradisi lisan
19
ode dalam masyarakat Buton memiliki pemahaman yang ganda, dalam masyarakat tradisional Buton sebagian memahami ode sebagai darah biru, sedangkan dalam undang-undang martabat tujuh Buton versi Muhammad Idrus Kaimuddin sultan Buton ke 29, ode bukanlan darah biru, melainkan gelar yang diberikan kepada masyarakat Buton atas jasa-jasa mereka pada kesultanan Buton. 20 Maradhika atau merdeka merupakan salah satu strata sosial dalam sistem sosial masyarakat Buton. Dalam strata ini, kalangan maradika merupakan kelompok masyarakat yang memiliki kebebasan, namun dibatasi dalam hal menduduki jabatan di zaman kesultanan.
26
bhanti-bhanti, khususnya tradisi bhanti-bhanti Wakatobi. Dengan demikian, penelitian mengenai berbagai bentuk-bentuk pementasan, formula, dan komposisi skematik tradisi lisan bhanti-bhanti perlu dilakukan. Karena hasil penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan berbagai bentuk pementasan, sistem formula, dan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi. 1.6 Kerangka Teori Kajian ini akan dilakukan dalam rangka memahami aspek tradisi lisan bhantibhanti dalam masyarakat Wakatobi. Teori dan konsep dasar yang digunakan dalam kajian ini dibatasi pada teori dan konsep yang relevan dengan objek kajian. Finnegan (1992) mengatakan bahwa untuk dapat menghargai sepenuhnya tradisi lisan, tidak cukup kalau hanya berdasarkan hasil analisis melalui interprestasi kata-kata, nada, struktur stilistik, dan isinya, tetapi penelitian tradisi lisan harus diarahkan pada konteks pementasannya. Karena dengan deskripsi etnografis mengenai konteks pementasan seperti penggubah atau pelantun, variasi yang terjadi akibat audiens, reaksi audiens, sumbangan alat-alat musiknya, dan konteks sosial tempat penceritaan atau pelantunan itu akan menjadi ruang untuk mempelajari tradisi lisan di masa depan (Finnegan, 1978: 7). Di samping itu, Ruth Finnegan (1992: 122) juga mengatakan bahwa pembicaraan mengenai tradisi lisan tidak terlepas dari aspek ekonomi, hubungan kekuasaan, sistem nilai dan struktur keluarga dalam suatu masyarakat. Hal itu didasari oleh adanya pertimbangan bahwa kajian ini tidak hanya terfokus pada teks atau lor saja, tetapi juga pada folk, sebagaimana model penelitian folklor modern yang cenderung memanfaatkan ilmu interdisipliner (Danandjaja, 1984: 5-6).
27
Dengan demikian, konsep teoritis yang dijadikan referensi dalam penelitian ini merupakan konsep tradisi lisan yang tidak hanya terfokus pada teks, tetapi juga pada masyarakatnya. Untuk itu, beberapa teori dan konsep yang akan diuraikan dalam penelitian ini meliputi: konsep tradisi lisan, konsep pementasan, konsep formula, konsep komposisi skematik, dan konteks sosial tradisi lisan. Penggunaan teori-teori tersebut dilakukan guna mendukung pemecahan dan pembahasan masalah penelitian. Selanjutnya, teori dan konsep tersebut akan diuraikan sebagai berikut. 1.6.1 Tradisi Lisan Menurut Jan Vansina (2014: 1) istilah tradisi lisan mengacu pada sebuah proses dan kepada hasil dari proses tersebut. Hasilnya adalah pesan-pesan lisan yang berdasarkan pada pesan-pesan lisan terdahulu, yang berusia paling tidak satu generasi. Prosesnya berupa penyampaian pesan dari mulut ke mulut selama beberapa waktu sampai pesan tersebut menghilang. Oleh karena itu, setiap tradisi lisan adalah versi pada satu masa, sebuah elemen dalam proses pengembangan lisan yang dimulai dari komunikasi awal. Sifat dari setiap versi akan berbeda tergantung pada posisinya di dalam proses secara keseluruhan. Untuk menjelaskan mengenai tradisi lisan sebagai proses, Zaimar (2008: 321) menerjemahkan konsep Ruth Finnegan (1992: 16-17) tentang istilah oral poetry yang dipadankan dengan istilah tradisi lisan. Zaimar menekankan bahwa karya dapat disebut tradisi lisan dengan melihat ketiga aspek, yaitu komposisi skematik, cara penyampaian, dan pertunjukannya. Dari segi isi pesan, Mursal Esten (1999: 21) mengatakan bahwa tradisi adalah kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya yang
28
bersangkutan. Nilai-nilai budaya suatu masyarakat akan membentuk seperangkat aturan atau tata bertindak dan bertingkah laku, baik dalam kaitannya dengan tindakan atau interaksinya dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat duniawi maupun dalam tindakan pengabdiannya sebagai hamba, makhluk ciptaan Tuhan yang bersifat keagamaan atau yang gaib. Seperangkat aturan itu akan membentuk sebuah tradisi. Dalam tradisi akan diatur bagaimana manusia berhubungan dengan manusia yang lain atau sekelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain, bagaimana manusia bertindak terhadap lingkungannya dan bagaimana perilaku manusia terhadap alam yang lain. Menurut Soebadio (1983) aturan (tradisi) itu kemudian berkembang menjadi suatu sistem, memiliki pola dan norma yang sekaligus juga mengatur penggunaan sanksi dan ancaman terhadap pelanggaran dan penyimpangan. Selanjutnya, dalam upaya untuk menjelaskan mengenai tradisi lisan, maka Fingrugen dalam Elia dan Imran T. Abdullah (2004) mengatakan bahwa: “Tradisi lisan merupakan proses dan produk kultural yang tidak tertulis, misalnya mitos, silsilah, tradisi keluarga, imaji-imaji yang terungkap dalam komunitas tertentu tentang sejarahnya, bentuk-bentuk pengetahuan, dan narasi lisan. Tradisi lisan terdiri atas sejumlah kebiasaan yang sudah terbangun dalam komunitas tertentu, rangkaian kepercayaan (belief), ataupun rutinitas yang dilakukan berulang-ulang yang memperlihatkan bentuk kontinuitas dari masa lalu yang ditransmisikan tidak melalui bentuk tulisan tetapi melalui kata atau kalimat yang diucapkan lewat mulut.” Joseph (1990: 54) mengatakan bahwa “tradisi lisan” dapat didefinisikan sebagai kesaksian yang disampaikan secara verbal dari satu generasi ke generasi berikutnya”. Hoed (1998: 186) mengatakan bahwa tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan dan mencakup hal-hal yang dikemukakan oleh Roger Tol dan Pudentia (1995: 2), yakni “…oral traditions do not only certain folktales, myths and legends (….), but 29
store complete indigenous cognate sistem, to name a few histories, legal practices, adat law, medication”. Dorson (1972) mengatakan bahwa “….folklore is important not only because it brings entertainment but also because it sheds light on people’s worldview, personality traits as well as their values and main concerns in life” (Folklor bukan hanya sekedar hiburan, tetapi juga mengandung pengetahuan tentang cara pandang masyarakat (tertentu), kepribadian maupun nilai dan persoalan utama dalam kehidupan mereka. Djuweng (1998: 170) menambahkan bahwa “dalam kerangka besar, tradisi lisan terdapat filsafat, sejarah, nilai moral, etika, religi, hukum adat, struktur dan organisasi sosial, sastra dan estetika.” Sebagai sistem pengetahuan yang diwariskan secara lisan dan disimpan dalam bentuk ingatan kolektif, tradisi lisan bhanti-bhanti merupakan suatu proses dan atau hasil dari proses tersebut yang memungkinkan untuk mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Hal ini sebagaimana disinyalir Vansina (1985: 161) yang mengatakan bahwa ingatan tersebut tetap mengalami perubahan dari waktu ke waktu, bahkan ketika ingatan itu tidak aktif maka sebuah tradisi bisa saja menghilang. Menghilangnya atau berubahnya sebuah tradisi biasanya disebabkan karena adanya data baru yang masuk ke dalam memori sehingga kemudian otak mereorganisasi ulang penyimpanan data dalam ingatan. Data baru akan hadir dalam bentuk ingatan kolektif yang berkaitan dengan tradisi baru dan ingatan akan tradisi lisan yang sifatnya ingatan kolektif lebih dinamis dari pada ingatan yang bersifat individual. Sebagai sebuah proses, tradisi lisan bhanti-bhanti merupakan proses komposisi, penyusunan dan pementasan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagai tujuan dari proses tersebut, maka tradisi lisan bhantibhanti merupakan serangkaian pesan-pesan dalam bentuk lisan yang telah diturunkan 30
dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan telah berlangsung selama beberapa generasi. Beberapa pendapat para ahli yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi lisan merupakan proses dan produk budaya yang tidak tertulis yang ditransmisikan secara lisan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Sebagai sebuah proses, tradisi lisan melibatkan pelantun, penonton, konteks yang mendukung pementasan tradisi lisan tersebut. Sedangkan sebagai sebuah produk tradisi lisan memuat pesan yang meliputi sistem pengetahuan, filsafat, sejarah, nilai moral, etika, religi, hukum adat, struktur dan organisasi sosial, sastra dan estetika yang bentuknya tetap mengalami kemungkinan untuk berubah dari waktu ke waktu. Sebagai proses dan produk sosial, maka tradisi lisan akan melahirkan versi-versi yang tentunya sangat dipengaruhi oleh konteks pementasan dari tradisi lisan tersebut. 1.6.2 Pementasan Dalam upaya untuk menjelaskan tentang kata pementasan, Jan Vansina (2014: 52) mengatakan bahwa pementasan dalam tradisi lisan adalah pengisahan kisah. Dalam pementasan lisan, seorang pendongeng dan atau pelantun (dalam nyanyian) akan duduk dan dikelilingi oleh pendengar untuk mengisahkan sebuah kisah. Dalam pementasan tradisi lisan (nyanyian) seorang pelantun akan duduk untuk memainkan gitar, gambus dan biolanya untuk mengiringi syair-syairnya yang disusun dan dikomposisi pada waktu bersamaan. Sementara penonton duduk di sampingnya untuk mendengarkan pementasan atau pengisahan tersebut. Dalam pementasan ini, penonton terkadang terlibat aktif, sehingga dapat mempengaruhi komposisi skematik dari tradisi lisan.
31
Tunner dan Schechner dalam Sal Murgiyanto (2008: 16) menekankan pementasan sebagai sebuah “proses” atau “bagaimana” pementasan mewujud di dalam ruang, waktu, konteks sosial dan budaya masyarakat pendukungnya. Ini menunjukan bahwa pementasan merupakan proses penyajian tradisi lisan dalam konteks tertentu yang meliputi: (1) penonton, (2) konteks sosial dari masyarakat pendukungnya, (3) berbagai sarana yang mendukung terwujudnya sebuah pementasan tradisi lisan tersebut. Ruth Finnegan (1992: 91-92) mengatakan bahwa pementasan adalah suatu peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik 21 . Pementasan memiliki model tindakan dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami 22 oleh pendengar. Tindakan komunikasi diperagakan, diperkenalkan dengan objek luar, dan dibangun dari lingkungan kontekstualnya. Pementasan budaya merupakan konteks pertunjukan yang menonjolkan suasana komunitas, yang berkaitan dengan ruang dan waktu yang mendukung pementasan tersebut23. Ditinjau dari unsur-unsur yang membangun sebuah pementasan, Finnegan (1992: 91-111) mengatakan bahwa dalam pementasan tradisi lisan melibatkan: (1) situasi dan tempat pementasan, (2) unsur performer atau pelantun (orang yang melakukan pertunjukan), (3) audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), (4) media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun 21
Elizsbeth C. Fine (1984) yang menyebutkan tentang pementasan dalam tradisi lisan sebagai proses komunikasi sosial yang berbeda dengan pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari. 22 Dalam tulisannya Toward an Understanding of Storytelling Events Robert A. Georges (1969: 317) mengatakan bahwa (1) Setiap acara penceritaan tradisi lisan atau mendongeng adalah acara komunikatif; (2) Setiap acara penceritaan tradisi lisan adalah pengalaman sosial; (3) Setiap acara bercerita memiliki keunikan. 23 Imran Teuku Abdullah, “Sastra Lisan”, materi penyerapan Ilmu kesusastraan dan Penyerapannya, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1999).
32
material seperti nada, ekspresi, dan kostum), (5) variasi pementasan sebagai akibat dari reaksi audiens, dan (6) bahan atau alat (yang meliputi seluruh alat yang digunakan dalam pementasan tradisi lisan. Menurut Finnegan (1992: 116-117) konteks sosial yang perlu diperhatikan dalam kajian mengenai pementasan tradisi lisan, hampir sama dengan fokus kajian yang terjadi pada kajian-kajian ilmu sosial lainnya. Finnegan (1992: 117-121) mengatakan bahwa komposisi skematik merupakan cara atau proses penciptaan sastra lisan atau cara sastra lisan disusun dan dihidupkan dalam proses pementasannya. Konsep komposisi dalam pementasan tradisi lisan tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang proses penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu atau kolektif, keterkaitannya dengan pementasan, dengan teks pasti dan teks bebas. Beberapa komponen yang berperan dalam pementasan tradisi lisan adalah penyaji (performer), audience, situasi dan pengorganisasian penyajian yang didukung oleh media seperti musik, tempat dan waktu penyajian (Bauman, 1994: 3). Karl Reich (1992: 93) mengatakan bahwa ada beberapa aspek penting yang berhubungan dengan pementasan yaitu waktu dan tempat penyajian. Ia mengatakan bahwa dalam pementasan diperlukan waktu untuk penceritaan, suasana hati penonton yang berbeda dengan kondisi atau persitiwa sehari-hari. Untuk memahami suasana hati penonton ini, maka perlu diperhatikan adalah mengenai kondisi ekomoni, budaya, politik, keamanan, sistem religi, adat istiadat dari suatu masyarakat yang mendukung pementasan tersebut. Dalam tradisi lisan masyarakat Mongol, pelaksanaan pementasan dalam tradisi lisan Geser, didahului oleh ritual seperti menawarkan dupa, pencahayaan 33
lampu, membuat sejaji, yang bertujuan untuk mendapatkan perlindungan dari kekuatan jahat, namun saat ini ritual seperti itu telah jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mongol (Enhong, 1998: 422). Dalam pementasan bhanti-bhanti, sesajian ini tidak ditemukan, namun La Ode Kamaluddin mengakui bahwa ia seringkali membacakan mantra (bongka randa) 24 sebelum melantunkan bhanti-bhanti. Menurut Lord (1981: 13-29), bagi penyair lisan, pembuatan komposisi dilakukaan saat ia melakukan pementasan sehingga komposisi dan pementasan merupakan dua hal yang dilakukaan pada saat bersamaan. Lord mengatakan bahwa tidak ada komposisi, tetapi ada di dalam pementasan (1981: 13). Selanjutnya, ia menjelaskan ada tiga tahap dalam proses komposisi, yaitu (a) peletakan pondasi dengan cara mendengarkan atau melakukan penyerapan, (b) penerapan atau aplikasi, dan (c) pelantunan di hadapan pendengar. Menurut Lord, proses komposisi tersebut dilanjutkan dengan proses mengakumulasi, mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang telah ada. Para penyair lisan dalam melantunkan puisi lisan (lagu) tidak akan sama persis, meskipun bersumber dari puisi lisan yang sama. Hal ini disebabkan karena penyair lisan hanya menghafal formulanya saja, sehingga dalam pementasan terdapat perubahan, penambahan atau kesalahan. Hal semacam ini dapat memberi penegasan tentang proses yang terjadi dalam proses transmisi atau pewarisan dalam tradisi lisan. Finnegan (1992: 91-111) juga menguraikan lebih luas bahwa ada sejumlah gagasan dan teori yang overlapping yang berkaitan dengan karya seni dan ekspresi Bhongka randa berasal dari bahasa Wakatobi yang terdiri dari dua kata yaitu “bhongka” yang berarti bongkar, dan kata randa yang berarti dada (hati). Sehingga mantra bhongka randa merupakan jenis mantra yang biasa dibacakan oleh seseorang agar suaranya atau penampilannya di dengarkan oleh pendengar sehingga hatinya tertarik atas apa yang diucapkan atau dilakukan. 24
34
lisan. Pendekatan pada pementasan tradisi lisan cenderung dapat dijadikan sebagai ide sentral untuk mengkaji berbagai kegiatan masyarakat pemiliknya yang berkaitan dengan budaya lisan tersebut. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Bauman (1994: 3) bahwa pementasan tradisi lisan dapat dipandang sebagai satu “lahan” lain, di samping teks sebagai salah satu unit deskripsi dan analisis yang fundamental dalam mendukung kerangka kerja empiris bagi pemahaman terhadap sastra lisan. Sebagai sebuah pendekatan, etnografi menaruh perhatian pada tingkah laku yang aktual pada saat penyajian lisan yang bersifat artistik dalam kehidupan masyarakat tertentu. Dalam buku Oral Traditions and Verbal Arts (1992), Finnegan memperkaya tiga aspek di atas dengan membagi aspek audience menjadi empat kelompok, yaitu (1) primary audience, yaitu orang yang berkepentingan dengan pelaksanaan tradisi lisan, (2) secondary audience, yaitu orang yang tidak hanya hadir untuk sekedar menikmati penyajian, tetapi juga merekam dan mengambil gambar dokumentasi, (3) integral audience, yaitu orang yang memang wajib untuk datang karena penyajian adalah satu bagian tertentu yang sudah melekat dalam diri dan kesehariannya, dan (4) accidental audience, yaitu orang (kelompok) yang mendapat informasi dari pemberitaan lisan ataupun media massa (Finnegan, 1992: 98-100). Di samping itu, Finnegan juga memberikan sejumlah panduan yang dapat diaplikasikan dalam menganalisis dan membandingkan teks tradisi lisan bhanti-bhanti dengan memperhatikan aspek gaya, struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan melalui penerjemahan, pendeskripsian, dan presentasi. Lebih lanjut, Richard Bauman and Pamela Ritch (1994: 225) membagi empat sifat pementasan dalam tradisi lisan yaitu (1) pementasan merupakan perilaku estetika yang unik, yang berbeda dengan tindakan di dalam kehidupan sehari-hari; 35
(2) pementasan yang bersifat refleksi terhadap budaya, sosial masyarakat, bentukbentuk komunikatif tentang komunikasi, dimana makna dan nilai-nilai yang disampaikan dalam bentuk simbolik dan ditempatkan pada layar sebelumnya oleh penonton; (3) pementasan yang performatif dan yang efektif untuk mencapai tujuan komunikasi sosial; (4) Setiap pementasan tradisi lisan adalah baru, sehingga pementasan merupakan sumber inspirasi dalam seni, makna, nilai, efikasi sosial, dan dinamika tradisi serta menjadi ruang kreativitas baru. Dengan demikian, konsep pementasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses pelantunan atau pengisahan yang dilakukan oleh seorang pelantun di hadapan penontonnya, dimana penonton juga ikut perpartisipasi dalam proses pementasan tersebut. Untuk lebih jelasnya Ruth Finnegan (1992: 91-111) kemudian menjelaskan beberapa unsur yang harus diperhatikan dalam suatu pementasan yaitu: (1) situasi dan tempat pementasan. Analisis mengenai situasi dan tempat pementasan akan diarahkan untuk dapat mengungkapkan berbagai hal yang mendukung pementasan bhanti-bhanti seperti kondisi sosial, budaya, politik, ekonomi yang ada dalam masyarakat pendukungnya. Konteks sosial itu tentunya berhubungan dengan penonton (audiens), pelantun (performer), maupun yang berhubungan dengan partisipans yang terlibat dalam pementasan bhanti-bhanti. Pascal Boyer (1990: 1-2) mengatakan bahwa penelitian antropologis harus mencakup ide-ide masyarakat, organisasi tempat tradisi lisan itu dipentaskan, dan juga berhubungan dengan keterlibatan emosi masyarakat dalam suatu pementasan tradisi lisan. (2) unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan). Menurut Finnegan performer atau pelantun adalah orang yang melakukan pementasan. Dalam konteks, bhanti-bhanti performer atau pelantun adalah orang yang melantunkan teks-teks bhanti-bhanti 36
yang meliputi penyanyi, pemukul gendang, dan pemukul botol, pemetik gambus, gitar dan pemain biola; (3) variasi sebagai reaksi dari penonton. Dalam konteks pementasan tradisi lisan sering kali terjadi tanggapan penonton, dan memungkinkan terjadinya variasi pementasan sebagai akibat reaksi dari penonton tersebut. Ini merupakan salah satu fokus kajian, mengingat pentingnya reaksi penonton dalam tradisi lisan yang tentunya akan mempengaruhi suatu komposisi skematik dan bentuk pementasan; (4) penonton dan partisan (pendengar dan orang-orang yang terlibat pertunjukan), yang dimaksud di sini adalah pendengar dan orang-orang yang terlibat dalam proses pementasan bhanti-bhanti, misalnya yang menyajikan air minum, teh, minuman keras, orang yang joget atau bandendang; (5) media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material; (6) bahan atau alat (yang meliputi seluruh alat yang digunakan dalam pementasan tradisi lisan bhanti-bhanti Wakatobi. 1.6.3 Formula Pembicaraan mengenai formula dalam tradisi lisan pertama kali dipopulerkan oleh Parry dan Lord, sehingga dikenal sebagai teori formula Parry-Lord. Menurut Lord (1981: 30), Karl Reichl (1992: 172) formula adalah kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu ide hakiki (pokok). Formula bisa berbentuk frasa, klausa dan baris. Ada baris atau setengah baris yang dapat dimasukan pada baris yang formulaik karena tersusun menurut sistem atau pola yang formula (Tuloli, 1991: 143-144). Pada baris-baris seperti ini sekurang-kurangnya ada satu baris yang sama (Lord, 1981: 47). Untuk lebih menjelaskan mengenai konsep formula tersebut, Tuloli merujuk pada konsep Niles yang lebih menekankan sistem formulaik sebagai kelompok baris yang
37
mengikuti pola-pola dasar ritme dan sintaksis yang sama, dan mempunyai sekurangkurangnya satu unsur semantik pokok yang bersamaan. Frey menambahkan bahwa formula adalah hasil dari satu sistem formulaik (Foley, 1981: 398). Hutomo (1993: 14) mengatakan bahwa ‘kelompok kata’ yang dimaksudkan oleh Lord cukup banyak dimiliki oleh pelantun nyanyian masyarakat Yugoslavia. Jadi, di dalam mendeskripsikan peristiwa yang diulang, merupakan bagian yang harus ada di dalam epos, dipergunakanlah kelompok-kelompok kata tertentu yang siap pakai (stock and trade) sedemikian rupa caranya sehingga dapat melahirkan cerita dengan lancar. Sementara itu, ekspresi formulaik adalah larik atau paro larik yang disusun atas dasar pola formula. Ong, (1989: 35) mengatakan bahwa penggunaan ekspresi formulaik dapat membantu terbentuknya wacana ritmis sehingga menjadi salah satu alat bantu untuk mengingat kembali dengan mudah, cepat dan tepat serta menjadi ungkapan tetap yang dapat bertahan hidup secara lisan. Yoseph Yapi Taum (2011: 101) mengatakan bahwa formula dan ungkapan formulaik merupakan unsur-unsur yang siap pakai (stock in trade), dalam arti setiap tukang cerita itu bertutur, unsur-unsur itu pasti dipergunakan. Sehubungan dengan aspek formula tersebut, Teeuw (1988: 4), mengatakan bahwa beberapa tradisi lisan, seperti pantun Sunda dan puisi kentrung Jawa, dari segi formula dan formulaik memiliki kemiripan dengan puisi yang diteliti oleh Lord; di samping formula yang kuat, juga adanya persediaan streotip yang dapat dirakit menjadi pantun (Kartini, 1984) atau kentrung (Hutomo, 1993) sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya beberapa kajian tradisi lisan yang menggunakan teori
38
formula Lord adalah Sijobang 25 , Bini 26 dan Tanggomo 27 , serta Sabuk Mangir dan Jaran Goyang 28 . Dalam membahas Pidato Kenegaraan 1988, Teeuw 29 juga menggunakan teori formula. Dari beberapa kajian tersebut, tidak semua konsep teori dasar formula Lord sepenuhnya dapat diterapkan, sehingga penyesuain-penyesuaian atau “adaptasi” dengan konteks tradisi masing-masing dilakukan seusai dengan objek di lapangan. Misalnya, pada kasus tanggomo, walaupun Nani Tuloli secara umum menerapkan teori formula Lord dalam kajiannya, tetapi dalam kesimpulannya dapat dilihat bahwa seraca khusus ada perbedaan. Perbedaan tersebut, terjadi karena dalam tanggomo tidak ditemukan sistem formulaik yang didukung oleh matra yang tetap pada suku kata atau kata tertentu. Hal senada juga diungkapkan oleh Hutomo dalam penelitian kentrung di Tuban. Menurut Hutomo, teori formula Lord tidak dapat diterapkan sepenuhnya pada tradisi lisan kentrung, sehingga dalam aplikasinya ia menyebut konsep ini dengan istilah “semacam formula”. Sweeney (1987: 68) mengatakan bahwa tidak semua kesimpulan Lord yang berlaku di Yugoslavia dapat diterapkan sepenuhnya di dalam komposisi tradisi Melayu. Penelitian Hutomo maupun Tuloli di atas, berbeda dengan formula Lord karena keduanya memiliki teks berupa cerita rakyat, yang tentunya sudah pasti berbeda dengan formula Lord yang meneliti nyanyian rakyat masyarakat Yugoslavia.
25
Nigel Philips. 1981. Sijobang: Sung Narative Poetry of West Sumatra. Cambridge: Cambridge University Press. 26 James J. Fox. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti (Seri ILDEP). Jakarta: Jambatan. 27 Tuloli, Nani. 1991. Tanggomo: Salah Satu Ragam Lisan Gorontalo. Jakarta: Balai Pustaka. 28 Saputra, Heru, S.P..2007. Sabuk Mangir dan Jaran Goyang Masyarakat Suku Using Banyuwangi.Yogyakarta: PT. LKis Pelangi Aksara. 29 Teeuw, A. 1988.Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
39
Teori formula yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori formula Lord, mengingat tradisi lisan bhanti-bhanti merupakan nyanyian rakyat yang memiliki karakteristik yang hampir sama seperti formula yang dikemukakan oleh Lord pada nyanyian masyarakat Yugoslavia. Namun penyesuaian akan tetap dilakukan sesuai dengan karakteristik tradisi lisan bhanti-bhanti yang ada dalam masyarakat Wakatobi. Penyesuaian-penyesuaian teori Lord ini, dapat saja terjadi seperti yang pernah dilakukan oleh Tuloli terhadap tanggomo yang berorientasi ke arah sistem formulaik sebagaimana yang dikemukakan Niles 30 ketika meneliti sastra lisan Beowulf. Formulaik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sekelompok larik atau paro larik yang disusun atas dasar formula dan mengikuti pola-pola dasar ritme (irama) dan sintaksis yang sama dan mempunyai sekurang-kurangnya satu unsur semantik utama yang sama. Selain itu, konsep formula dalam kajian ini juga akan berorientasi ke arah formula dan ekspresi formulaik. Dalam analisisnya mengenai “Lagu si Hitam Manis” dan data elektronik “Joger si Hitam Manis”, Amin Sweeney menyebutkan bahwa formula adalah larik dan paro larik yang digunakan lebih dari sekali dalam bentuk yang sama, sedangkan ekspresi formulaik adalah ungkapan yang dibentuk pola irama dan sintaksis yang sama serta mengandung sekurang-kurangnya, satu kata yang sama, dalam bentuk perulangan maupun sinonim. 1.6.4 Komposisi Skematik Pementasan tradisi bhanti-bhanti tidak terlepas dari apa yang disebut oleh Finnegan dengan komposisi skematik (schematic composition). Finnegan (1992: 110-114) mengatakan bahwa komposisi skematik merupakan cara atau proses
30
Nani Tuloli, Tonggomo Salah: …, hlm. 338.
40
penciptaan sastra lisan atau cara sastra lisan disusun dan dihidupkan dalam sebuah pementasan tradisi. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang proses penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu atau kolektif, keterkaitannya dengan pementasan, dengan teks pasti dan teks bebas. Ruth Finnegan (1992: 117-120) mengatakan bahwa komposisi dalam tradisi lisan adalah proses penyusunan tradisi lisan yang disusun berdasarkan formula skemata, gaya, dan alur cerita atau karakter tertentu. Dalam hubungannya dengan pementasan, komposisi memiliki hubungan dengan partisipasi penonton atau sangat longgar, sehingga komposisi dalam tradisi lisan selalu dipengaruhi oleh partisipasi penonton dalam suatu pementasan. Di sisi yang lain, komposisi dalam pementasan tradisi lisan, tidak terlepas dari persoalan memori dan ideologi yang dimiliki oleh seorang pelantun. Sehingga latar belakang pelantun atau pementasan, mempengaruhi komposisi skematik suatu pementasan tradisi lisan. Selanjutnya Ruth Finnegan (1992: 113-114) juga mengatakan bahwa komposisi skematik dalam tradisi lisan berhubungan dengan tradisi dan proses penciptaan individu, dimana terdapat variasi pada masing-masing kebudayaan. Variasi-variasi itu dapat saja terjadi dan berhubungan dengan gaya, isi, musik, plot, ideologi, dan model performansi. Di samping itu, komposisi skematik juga memiliki keterkaitan dengan faktor individu atau kolektif seperti proses belajar, proses memorisasi. Faktor kolektif yang dimaksud dalam konsep Finnegan di atas, berkaitan dengan proses komposisi mengikuti pola-pola yang sudah menjadi milik masyarakat, atau melakukan kreativitas. Dalam bukunya The Singer of Tales (1981), Albert Bates Lord tidak memberi deskripsi eksplisit mengenai konsep komposisi, pementasan, dan transmisi; tetapi 41
justru Finnegan 31 ,dengan berpijak pada paparan Lord yang menjelaskan tentang komposisi. Menurut Ruth Finnengan (1992:117-121) komposisi dimaksudkan sebagai suatu cara atau proses penciptaan sastra lisan atau cara sastra lisan disusun atau dihidupkan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu dan kolektif, performansi, memorisasi, dan keterkaitannya dengan teks-pasti dan teks-bebas. Saputra (2002: 32) mengatakan bahwa komposisi adalah proses penciptaan sastra lisan yang terkait dengan konteks model karya yang bersangkutan, baik menyangkut proses dimulainya penciptaan maupun pada saat terjadinya pementasan. Mengacu pada konsep komposisi yang ditemukan oleh Lord tersebut, Nagy (1996) menegaskan bahwa selama ini telah terjadi kesalahpahaman peneliti sastra lisan yang menganggap bahwa konsep yang ditemukan oleh Parry dan Lord adalah teori sastra lisan. Menurutnya, sastra ataupun puisi adalah satu “fakta” yang diketahui dari hasil kerja lapangan. Dari hasil analisis tersebut, Nagy (1996: 3-10) mengatakan bahwa tanpa pementasan, tradisi lisan tidak akan tersaji dalam bentuk lisan. Tanpa pementasan, gagasan utama tradisi lisan akan kehilangan keutuhan (unity and organization) dan integritasnya. Dalam bukunya Oral Poetry: Its Nature, Significance and Sosial Contexs (1977), Ruht Finnegan mengungkapkan bahwa terdapat tiga aspek penting yang harus diperhatikan dalam mengkaji pementasan tradisi lisan yaitu (1) composition, suatu proses bentuk-bentuk lisan dikomposisi (digubah) dengan mempertimbangkan relasi antara tradisi dan kreasi individual yang mampu mengembangkannya ke dalam beberapa dimensi yang berbeda, budaya, dan gendre yang beragam seperti gaya 31
Ruth Finnengan, Oral Tradition and the Verbal Art. London: Champan and Hall, 1992.
42
(bahasa), isi, musik, plot, ideologi ataupun ciri khas penyajian itu sendiri, (2) transmission, yaitu proses regenerasi ataupun proses penyeleksian terhadap individual tertentu yang akan mewarisi dan melanjutkan tradisi lisan tersebut, dan (3) audience, yaitu unsur khalayak atau penikmati yang menentukan sukses tidaknya sebuah pementasan. Dalam masyarakat lisan, gambaran di atas dianggap cukup kritis bagi pengawetan dan transmisi pengetahuan. Dalam budaya lisan, potongan skematis berlangsung dalam lempengan yang lebih besar dan bentuknya mungkin lebih formulaic dan stereotype untuk mefasilitasi memorisasi. Jadi penulis atau pencerita (dalam tradisi lisan) merupakan produk masyarakat yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai serta dengan medium dan teknik artistik mereka sendiri (Sweeney, 1987: 17-18). Dalam buku Authors and Audience in Traditional Malay Literature (1980: 41-53), Sweeney menggabungkan konsep 31 fungsi Vladimir Propp dengan formula Lord yang diaplikasikannya pada tradisi penceritaan wayang kulit Cerita Maharaja Rana dan Cerita Panji. Dalam dua cerita ini, Sweeney melihat bagaimana motif dan fungsi bekerja sama secara formulaik yang pada akhirnya membentuk komposisi skematik melalui dua cara penceritaan yaitu lisan dan tulisan. Dari hasil penelitian ini, Sweeney menarik kesimpulan bahwa struktur sebuah pertunjukan lisan cenderung longgar, larik-larik yang tidak direncanakan, dan pencerita tidak lagi menyadari sekuens cerita dalam larik-lariknya, sedangkan komposisi skematik dalam bentuk tulis tetap menggunakan pola-pola tradisi skematik yang ada dalam penyajian lisan yang disebutnya sebagai komposisi lisan dalam tulisan. Dengan demikian, konsep komposisi skematik yang akan dijadikan acuan dalam kajian ini adalah konsep skematik Sweeney. Konsep skematik sebagai 43
perluasan dari kajian formula dapat menentukan bagaimana bentuk pola teks bhantibhanti beserta unsur-unsur pembentuknya yang didasarkan pada sekuen tema (theme sequences) seperti repertisi formula dan bahasa yang digunakan dalam bhanti-bhanti yang meliputi diksi, bahasa figuratif, dan dialek, nada serta konteks pementasan tradisi bhanti-bhanti. Oleh karean itu, komposisi skematik dalam penelitian ini adalah cara penyusunan tradisi lisan bhanti-bhanti yang disusun berdasarkaan perluasan formula, dengan menentukan bagaimana bentuk pola teks bhanti-bhanti beserta unsur-unsur pembentuknya yang didasarkan pada sekuen tema (theme sequences) seperti repertisi formula dan bahasa yang digunakan dalam bhanti-bhanti yang meliputi diksi, bahasa figuratif, dan dialek, nada serta konteks pementasan tradisi bhanti-bhanti. 1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Penentuan Lokasi dan Informan Penelitian Mengingat luasnya penggunaan atau persebaran bhanti-bhanti dalam masyarakat Buton, maka perlu ditentukan lokasi pengumpulan data dalam penelitian ini. Di samping itu, penentuan informan juga perlu dilakukan guna memudahkan pengumpulan data di lapangan. Untuk itu ada beberapa alasan yang diberikan untuk penentuan lokasi dan informan penelitian ini, yaitu sebagai berikut. 1. Penentuan Lokasi Penelitian Mengingat luasnya daerah persebaran bhanti-bhanti dalam yang melingkupi hampir seluruh daerah di Sulawesi Tenggara dan sebagian Kepulauan Maluku dimana orang Buton merantau, maka perlu adanya penentuan lokasi penelitian. Dengan demikian, lokasi penelitian ini adalah dua kecamatan yaitu kecamatan 44
Wangi-Wangi dan Wangi-Wangi Selatan yang ada di pulau Wangi-Wangi mengingat dua kecamatan ini merupakan wilayah ibu kota kabupaten Wakatobi yang dihuni oleh masyarakat dari kecamatan Kaledupa dan Keledupa Selatan di pulau Kaledupa, kecamatan Tomia dan Tomia Timur di pulau Tomia, serta kecamatan Binongko dan kecamatan Togo Binongko di pulau Binongko. Di samping itu, para pelantun bhantibhanti yang berasal dari pulau Wangi-Wangi, terutama La Ode Kamaluddin banyak di panggil ke beberapa pulau lainnya, sehingga pelantun lain yang ada di Wakatobi banyak dipengaruhi oleh La Ode Kamaluddin, karena di samping kemahirannya memainkan gambus, La Ode Kamaluddin juga menguasai hampir seluruh dialek yang ada di Wakatobi. Dengan demikian, alasan penentuan dua kecamatan di atas didasarkan pada pertimbangan keberadaan pelantun, budaya, letak geografis yang diharapkan dapat merepresentasikan tradisi lisan bhanti-bhanti yang ada di kabupaten Wakatobi mengingat dua kecamatan tersebut merupakan tempat berkumpulnya masyarakat Wakatobi yang berasal dari beberapa pulau yaitu Kaledupa, Tomia dan Binongko. Pengambilan
data
penelitian
dari
dua
kecamatan
ini
diharapkan
dapat
merepresentasikan bentuk-bentuk pementasan bhanti-bhanti serta berbagai dinamika sosial masyarakat Wakatobi yang mendukung pementasan tersebut. 2. Penentuan Informan Informan yang ada dalam penelitian ini adalah pelaku atau pelantun dari tradisi lisan bhanti-bhanti. Di samping itu, informan juga adalah audiens dan partisipan dalam pementasan tradisi lisan bhanti-bhanti. Informan itu, diharapkan dapat ditemui dari masing-masing pulau guna mendapatkan gambaran pementasan
45
bhanti-bhanti yang representatif dalam masyarakat Wakatobi. Adapun kriteria orang yang akan dijadikan informan yang ada dalam penelitian ini adalah: a. Fasih berbahasa Wakatobi b. Mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan pengalamannya melalui tradisi lisan bhanti-bhanti. c. Pendengar dan partisipan bhanti-bhanti yang ada dalam suatu pementasan bhanti-bhanti. d. Penduduk asli masyarakat Wangi-Wangi kecamatan Wangi-Wangi Selatan yang memahami tentang masalah kehidupan sosial budaya masyarakat Wakatobi. e. Tokoh-tokoh masyarakat yang memahami kebudayaan masyarakat Wakatobi dan Buton pada umumnya. 3.
Pemilihan Pementasan Di samping pemilihan lokasi dan informan penelitian, maka perlu juga
dilakukan pembatasan bentuk-bentuk pementasan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu: pementasan bhanti-bhanti dalam konteks pesta atau hajatan, nazar, minumminuman keras (kede pali), dan acara syukuran, karena konteks-konteks ini yang memiliki banyak waktu untuk pementasan bhanti-bhanti. Di samping itu, pada konteks ini para pelantun berada pada konteks naturalnya, sehingga akan terlihat pemetansan bhanti-bhanti dalam konteks yang sebenarnya. Karena melalui kontekskonteks tersebut di atas, akan terlihat kealamiahan pementasan bhanti-bhanti dalam masyarakat Wakatobi.
46
1.7.2 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk penelitian pustaka dan lapangan. Data pustaka dikumpulkan terutama dalam melakukan kajian pustaka, sehingga ditemukan teori yang relevan dalam melakukan penelitian lapangan. Di samping itu, penelitian pustaka akan dilakukan untuk mendapatkan berbagai informasi yang berhubungan dengan tradisi lisan bhanti-bhanti. Dengan demikian, teknik yang digunakan dalam penelitian pustaka ini adalah mengunakan teknik baca, catat. Sedangkan data-data dari lapangan, dikumpulkan dengan melakukan pengamatan, observasi, wawancara, perekaman audio dan pengambilan gambar dalam bentuk film guna mendapatkan berbagai bentuk perfomansi tradidi lisan bhanti-bhanti di lapangan. Selain itu, diperlukan juga keterlibatan langsung peneliti ke dalam konteks performansi bhanti-bhanti, dan dalam kehidupan masyarakat Wakatobi. Untuk melakukan itu diperlukan pendekatan etnografi guna mendekati konteks pementasan tradisi lisan bhanti-bhanti dalam konteksnya yang natural. Dimana pengamatan keterlibat perlu dilakukan guna mendapatkan bagaimana masyarakat Wakatobi (tokoh-tokoh) pelantun bhanti-bhanti dalam konteksnya yang alamiah. Di samping itu, untuk mendapatkan data sosial yang berhubungan dengan tradisi lisan bhanti-bhanti, peneliti melakukan pengamatan dan diskusi mendalam dengan tokoh adat, tokoh agama, tokoh pendidik dan beberapa informan lainnya yang mengetahui budaya dan adat istiadat masyarakat Wakatobi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis, yakni pengamatan dan wawancara yang dilakukan secara holistik. Teknik pengumpulan data dengan pengamatan dilakukan dengan cara mengamati suatu fenomena secara
47
lebih mendalam (Danandjaja, 1994: 10). Maka langkah-langkah pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan. 1. melakukan perjanjian dengan informan, kapan ia akan melantunkan tradisi lisan bhanti-bhanti. 2. mendatangi informan untuk melakukan perekaman dalam konteks aslinya; 3. melakukan perekaman dan pencatatan 4. setelah dilakukan perekaman dilanjutkan dengan cerita mengenai latar belakang kehidupan penyanyi bhanti-bhanti. Untuk mendapatkan data sosial masyarakat Wakatobi dikumpulkan dengan cara pengamatan dan wawancara yang dilakukan dengan mendatangi untuk mengamati dan mewawancarai tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap mengetahui budaya dan adat istiadat masyarakat Wakatobi khususnya yang berhubungan dengan perkembangan tradisi lisan bhanti-bhanti. Mengingat penelitian ini adalah penelitian lapangan, maka keterlibatan peneliti dalam pengamatan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus memanfaatkan peralatan elektronik dan alat tulis, misalnya video-recorder, tape recorder, fulpen dan buku catatan. Penggunaan alat-alat ini diharapkan dapat membantu dalam pengumpulan data di lapangan, sehingga terkumpul data-data lapangan yang cukup. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa fenomena yang dihadapi dapat diamati berulang kali dan bahkan dapat diamati oleh peneliti berikutnya. Moleong (2002: 130) juga menambahkan bahwa penggunaan alat elektronik juga harus diikuti dengan pencatatan secara manual.
48
1.7.3
Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data penelitian ini dibutuhkan langkah-langkah yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, data dalam penelitian ini akan diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Transkripsi data penelitian dari alat recorder maupun vidioe recorder ke dalam bentuk tulisan. Proses transkripsi ini dilakukan setelah selesai perekaman sehingga apa yang ada dalam rekaman masih dapat diingat konteksnya dengan jelas. Data-data yang berupa hasil wawancara akan dipisahkan dengan teks-teks bhanti-bhanti sehingga memudahkan analisis. 2. Selanjutnya, setelah data di transkripsi, data penelitian ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Untuk itu, dilakukan dengan dua model penerjemahan, yaitu (1) terjemahan secara leksikal dan (2) terjemahan bebas. Terjemahan secara leksikal untuk memberikan terjemahan kata berkata berdasarkan konteks kalimat dalam bahasa Wakatobi, setelah itu akan dilakukan terjemahan bebas guna mendapatkan makna yang sesuai dengan konteks kalimat dalam bahasa Indonesia. Karena yang menjadi objek kajian dari penelitian ini adalah tradisi lisan bhanti-bhanti Wakatobi yang berbahasa Wakatobi atau lebih dikenal dengan bahasa Kepuluan Tukang Besi, maka diperlukan terjemahan dari bahasa Wakatobi ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, teknik terjemahan perlu dijelaskan dengan baik, sehingga dapat pahami oleh pembaca dari luar Wakatobi. Namun, upaya terjemahan tersebut tidak dapat dilakukan begitu saja, hal ini disebabkan karena data penelitian ini dikumpulkan dari para informan langsung melalui perekaman di lapangan, sebelum ditranskripsikan ke dalam bahasa tulis. 49
Dengan melihat hal tersebut di atas, menunjukan bahwa sebenarnya telah terjadi transformasi wacana, yaitu telah terjadi tranformasi wacana dari wacana lisan ke wacana tulisan. Sehubungan dengan itu, ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam melihat perubahan dari wacana lisan ke tulisan yaitu: (1) dalam wacana lisan, terdapat dialog antara penutur/pelantun dan pendengar, tetapi dalam wacana tulisan tialog itu tidak terjadi; (2) dalam wacana lisan, terdapat intensi penutur /pelantun dengan pendengarnya mempunyai sasan yang jelas, sedangkan dalam tulisan hubungan intens itu tidak jelas; (3) dalam wacana lisan terjadi tumpang tindih antara sasaran penutur/pelantun dengan makna ujaran, misalnya, untuk menegaskan makna penutur/pelantun menggunakan bantuan gerakan dan mimik, tetapi dalam bahasa lisan tidak (Kleden Probonegoro, 1978: 116-117 dalam Wigaty, 2008: 26-27). Dengan mempertimbangkan pemikiran yang dikemukakan di atas, maka terjemahan teks tradisi lisan bhanti-bhanti Wakatobi harus dilakukan dengan hati-hati agar pembaca dapat memahami apa yang makna dari teks yang disampaikan oleh penutur/pelantun. Di samping itu, hal yang paling mendasar untuk dipertimbangkan adalah adanya perbedaan struktur bahasa Wakatobi dengan bahasa Indonesia, dimana dalam bahasa lisan, teks tradisi lisan bhanti-bhanti Wakatobi disampaikan dalam bahasa Wakatobi, yang tentunya berbeda dengan bahasa Indonesia sehingga akan menyulitkan pembaca yang tidak memahami bahasa Wakatobi. Larson (1984: 6) kemudian mengatakan bahwa untuk memperoleh terjemahan yang baik, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu (1) bentuk-bentuk bahasa sasaran yang wajar; (2) dikomunikasikan sebanyak mungkin, sebagaimana dimaksud oleh penutur dalam bahasa sumber tersebut kepada penutur bahasa sasaran; (3) harus 50
mempertahankan dinamika teks bahasa sumber, yaitu kesan yang diperoleh penutur asli bahasa sumber atau respon yang diberikanya harus sama dengan kesan dan respon penutur bahasa sasaran ketika membaca atau mendengar teks terjemahan (Wigaty, 2008: 27). Maka dalam konteks terjemahan bhanti-bhanti mengingat adanya kata-kata yang mengandung bahasa-bahasa magis, metafor, dan atau bahasa yang mengandung pemahaman kultural, maka perlu diberikan catatan kaki sebagai penjelasan dari setiap kata-kata tersebut. Di sisi yang lain, karena teks tradisi lisan bhanti-bhanti Wakatobi tidak bisa dihindarkan dari konteks situasi kebudayaan dan kondisi sosial yang ada, maka terjemahan dalam penelitian ini juga perlu memperhatikan konteks situasi kebudayaan yang mendasarinya, karena konteks ini tentunya akan membantu pembaca dalam memahami seluruh teks yang ada dalam sumber aslinya. Sehubungan dengan itu, Hewson dan Martin (1991: 155-183) mempertimbangkan aspek sosial budaya di samping parameter linguistik dalam terjemahan teks. Untuk itu, Hewson dan Martin mengemukakan bahwa dalam terjemahan sebenarnya telah terjadi pemindahan budaya dari teks sumber ke dalam teks target. Maka untuk dapat melakukan terjemahan yang akurat, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: (1) produksi teks sumber dan pilihan teks sumber (2) teks sumber; (3) produksi homologi interlinguistik; (4) generation; (5) parameter intralinguistik dalam teks sumber; (6) parameter interlinguistik dalam teks target; (7) penyamaan budaya;(8) penyaringan melalui sensibilitas, motif dan kompotensi penerjemah; (9) parameter sosial budaya; (10) penyeleksian melalui lingkungan penerjemah yang sudah ada; (11) pemroduksian teks target.
51
Berdasarkan beberapa pemikiran mengenai terjemahan yang telah disebutkan di atas, maka terjemahan teks dalam penelitian ini akan dilakukan dengan tiga cara yaitu: (1) teks asli akan disajikan pada bagian kanan, dan untuk mempertimbangkan aspek linguistik dalam bahasa sumber, maka setiap barisnya diikuti dengan terjemahan sesuai dengan kata per kata dalam bahasa sumbernya; (2) terjemahan bebas yang tersimpan di sebelah kiri. Dalam terjemahan ini adalah terjemahan sesuai dengan struktur bahasa target yaitu bahasa Indonesia dengan tetap memperhatikan aspek konteks sosial budaya yang mendukung setiap teks tersebut, sehingga pembaca dapat merespon teks terjemahan seperti pendengar merespon teks dalam bahasa sumber. Ejaan yang digunakan dalam penelitian adalah sistem Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Sedangkan bunyi-bunyi yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia akan menggunakan format penulisan tersendiri. Beberapa bunyi-bunyi yang tidak terdapat dalam konsonan bahasa Indonesia adalah sebagai berikut. Dh
= dh misalnya dalam kata ‘dhambata’ artinya jembatan
bh
=
bh misalnya dalam kata ‘bhangu’ artinya bangun
Karena bahasa-bahasa di Buton termasuk bahasa Wakatobi menggunakan bahasa nasal, maka terdapat beberapa fonem yang penggunaannya dalam kalimat harus dinasalkan, misalnya ns, nt, ngk, mb, mp (Donohue, 1995: 22). Contoh-contoh klausa atau frase yang mengalami penasalan tersebut, misalnya: ‘tejandi paka nteiguru’, kumatemo dhinsaranako, ‘noala ngkaramano, wa mbaja nasinsara umo’, ‘topga’a tompadha bhija’. Keberadaan penasalan ini tidak diterjemahkan pada proses transkripsi teks kabhanti penasalan tersebut tidak mempengaruhi makna kata itu. 52
Untuk memudahkan proses penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, maka dibutuhkan beberapa singkatan. Daftar singkatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Art.
: artikel
3Sr
: pemarkah subjek untuk benda atau orang ketiga tunggal realis
3Sir
: pemarkah subjek untuk benda atau orang ketiga tunggal irealis
3Pr
: pemarkah subjek untuk benda atau orang ketiga plural realis
3Pir
: pemarkah subjek untuk benda atau orang ketiga plural irealis
3pREs : pemarkah subjek untuk orang ketiga plural realis ekslusif 2Sr
: pemarkah subjek untuk orang kedua tunggal realis
2Sir
: pemarkah subjek untuk orang kedua tunggal irealis
2Pr
: pemarkah subjek untuk orang kedua plural realis
2Pir
: pemarkah subjek untuk orang kedua plural irealis
2pREs : pemarkah subjek untuk orang kedua plural realis ekslusif 1Sr
: pemarkah subjek untuk orang pertama tunggal realis
1Sir
: pemarkah subjek untuk orang pertama tunggal irealis
1Pr
: pemarkah subjek untuk orang pertama plural realis
1Pir
: pemarkah subjek untuk orang pertama plural irealis
1pREks: pemarkah subjek untuk orang pertama plural realis ekslusif 3spos : pemarkah posesif untuk orang ketiga tunggal 3ppos : pemarkah posesif untuk orang ketiga plural 2spos : pemarkah posesif untuk orang kedua tunggal 2ppos : pemarkah posesif untuk orang kedua plural 1spos : pemarkah posesif untuk orang pertama tunggal 53
1ppos : pemarkah posesif untuk orang pertama plural 3So
: pemarkah objek untuk orang ketiga tunggal
3Po
: pemarkah objek untuk orang ketiga plural
2So
: pemarkah objek untuk orang kedua tunggal
2Po
: pemarkah objek untuk orang kedua plural
1So
: pemarkah objek untuk orang pertama tunggal
1Po
: pemarkah objek untuk orang pertama plural
3sOd : pemarkah objek datif untuk orang ketiga tunggal Pasf
: pasif
PG
: penanda gender, wa untuk perempuan dan la untuk laki-laki
KD
: kata depan
KT
: kata tambah
PK
: penyanyi kabhanti
EMPH : emphasis (penekanan) REF
: referential demonstrative
PJ
: penanda bentuk jamak
Pe.
: penyeling, yakni nada penyeling yang selalu berada di depan tiap-tiap baris kabhanti. Pe. berfungsi sebagai nada awal untuk penghalusan dan pelembutan suara sehingga nyanyian dapat mengantar suasana hati anak yang akan ditidurkan damai dan tenang. Selain itu, nada penyeling ini juga digunakan penyanyi kabhanti untuk menemukan diksi syair kabhanti yang telah ada dalam ingatannya.
T.
: teks
54
3. Setelah itu, data dalam penelitian ini kemudian diklasifikasikan berdasarkan kebutuhan analisis penelitian. Untuk menjelaskan mengenai tradisi lisan bhanti-bhanti yang meliputi pementasan, sistem formula, dan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti, maka akan menggunakan paradigma etnografis guna menjelaskan berbagai bentuk pementasan tradisi bhanti-bhanti serta berbagai hal yang mendukung pementasan tersebut, termasuk mengenai sistem formula dan komposisi skematik yang mendukung para pelantun dalam pementasan tradisi lisan tersebut. Berdasarkan penentuan lokasi penelitian yang telah disebutkan di atas, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berbagai bentuk performansi tradisi lisan bhanti-bhanti yang dikumpulkan dari lokasi penelitian tersebut. Analisis data penelitian ini akan dilakukan dengan cara menjelaskan berbagai bentuk pementasan bhanti-bhanti yang meliputi performer, audiens, partisipan dengan menyajikan beberapa pandangan etik dan emik guna mendeskripsikan pandangan masyarakat Wakatobi tentang tradisi lisan bhanti-bhanti. Di samping itu, analisis akan dilanjutkan dengan menganalisis berbagai konteks pementasan, apa pengaruhnya pada bentuk pementasan, sistem formula dan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti Wakatobi. Selanjutnya penyajian data secara etik dilakukan untuk memberikan penjelasan akademis mengenai berbagai fenomena yang ada dalam tradisi lisan bhanti-bhanti tersebut. Data mengenai formula dalam tradisi bhanti-bhanti akan dianalisis dalam rangka mendukung pada pelantun bhanti-bhanti dalam melakukan pementasan bhanti-bhanti, karena dengan adanya penjelasan mengenai formula dan kompsisi skematik, maka upaya untuk menghidupkan kembali tradisi bhanti-bhanti Wakatobi 55
akan semakin mudah. Karena masyarakat Wakatobi akan mempelajari bentuk-bentuk pementasan tradisi bhanti-bhanti, formula dan komposisi skematik yang mendukung pementasan tersebut. Dengan demikian, analisis kelisanan tradisi lisan kabhanti akan meliputi analisis pementasan, formula bhanti-bhanti, komposisi skematik dan analisis mengenai keterkaitan antara konteks, formula dan komposisi skematik. Di samping itu, analisis mengenai adanya keterkaitannya antara pementasan, formula dan komposisi skematik tradisi bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi. Analisis ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan etnografi guna memahami berbagai faktor yang mendukung pementasan bhanti-bhanti yang tentunya akan menjelaskan berbagai hal seperti aspek memory, pendidikan, politik, budaya, sosial, sanksi, imbalan sampai ideologi yang melatari masyarakat pendukung tradisi lisan bhantibhanti tersebut.
56