PENERAPAN PASAL 18 AYAT (1) HURUF H UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERKAIT DENGAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN: ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013
Findya Irzi Azizah, Heri Tjandrasari 1. 2.
Faculty Of Law, Universitas Indonesia Depok, 16424, Indonesia Faculty Of Law, Universitas Indonesia Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: : :
Findya Irzi Azizah Hukum Ekonomi dan Bisnis Penerapan Pasal 18 ayat (1) huruf h UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen: Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 476/K/Pdt.SusBPSK/2013
Pencantuman klausula baku telah diatur di dalam Pasal 18 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berkaitan erat dengan perjanjian pembiayaan konsumen dan jaminan fidusia karena di dalamnya terdapat larangan pencantuman klausula baku tentang pemberian surat kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran. Penulis melakukan analisis terhadap putusan Mahkamah Agung No. 476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013 yang berkaitan dengan penerapan Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan melihat kepada fakta hukum dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Dengan penelitian ini, penulis mencoba mengupas bagaimana pengaturan Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terkait Perjanjian Pembiayaan Konsumen serta penegakan hukum yang terjadi di dalam putusan Mahkamah Agung tersebut agar pengaturan mengenai persinggungan aturan ini dapat diimplementasi secara selaras pada prakteknya. Penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan metode penelitian kualitatif serta data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, yakni peraturan perundang-undangan serta bahan pustaka hukum. Kata Kunci
: Hukum Perlindungan Konsumen, Konsumen, Perusahaan Pembiayaan, Perjanjian Pembiayaan Konsumen, Jaminan Fidusia
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
PRACTICE OF ARTICLE 18 (1) LETTER H LAW NO. 8 YEAR 1999 ON CONSUMER PROTECTION TO CONSUMER FINANCE AGREEMENT : INDONESIA’S SUPREME COURT’S DECISION ANALYSIS No. 476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013 Name Study Program Title
: : :
Findya Irzi Azizah Economic and Business Law Practice of Article 18 (1) letter h Law No. 8 Year 1999 on Consumer Protection To Consumer Finance Agreement : Indonesia’s Supreme Court’s decision analysis No. 476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013.
Inclusion standard clause has been regulated in article 18 of the Law No. 8 Year 1999 on Consumer Protection. Article 18 (1) letter h Law No. 8 Year 1999 on Consumer Protection has a big correlation with consumer finance agreement and fiduciary security because there is restriction of inclusion standard clause on letter authority provision from consumer to enterpreneur for the imposition of dependent rights, fiduciary rights or guarantee rights on the goods that consumer buy by deferred payment. Article 18 (1) letter h Law No. 8 Year 1999 on Consumer Protection has related with provision about agreement in Indonesia’s Civil Code and Law No. 42 Year 1999 on Fiduciary Security. The writer analyze Verdict No. 476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013 that has related with inclusion Article 18 (1) letter h Law No. 8 Year 1999 on Consumer Protection by seeing law facts and another related regulations. By this, the writer is trying to open clearly how harmonization article 18 (1) letter h Law No. 8 Year 1999 on Consumer Protection with Consumer Finance Agreement and how law enforcement in this Indonesia’s Supreme Court desicion. So that, in practice the regulation about this intersection can be implemented harmoniously. The writer uses normative-yuridis with qualitative method and the type of data is primary and secondary data which is law and law books. Key words
: Consumer Protection Law, Consumer, Finance Company, Consumer Finance Agreement, Fiduciary Security
Pendahuluan 1.1
Latar Belakang Perlindungan konsumen merupakan hal yang cukup baru dalam perundangundangan di Indonesia walaupun sebenarnya dengungan mengenai perlindungan
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
konsumen telah lama terdengar di negara ini.1 Dengan banyaknya arus transaksi barang dan jasa, maka hal yang harus kita sadari adalah kita sebagai konsumen dijadikan sebagai objek aktivitas bisnis yang mendatangkan laba bagi para pelaku usaha. Selain itu, kedudukan antara pelaku usaha dalam hal ini produsen dan distributor serta konsumen menjadi tidak seimbang karena pelaku usaha yang menggerakkan roda perekonomian dengan barang dan jasa sementara konsumen hanya berperan dengan membeli barang dan jasa tersebut untuk kehidupannya seharihari. Maka dari itu, mulai timbul kasus barang dan jasa yang tidak sesuai dengan standar kesehatan, keamanan dan keselamatan konsumen. Hal ini dikarenakan semua informasi mengenai proses produksi, pengemasan sampai distribusi barang dipegang oleh pelaku usaha sehingga informasi mengenai barang dan jasa dikuasai oleh pelaku usaha. Keadaan yang demikian ikut mendorong melahirkan sebuah terobosan hukum mengenai perlindungan konsumen yang akhirnya lahir Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999. Walaupun sudah ada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bukan berarti memahami kepentingan konsumen secara menyeluruh adalah hal yang mudah namun dengan adanya legal standing mengenai Perlindungan Konsumen diharapkan ada batas-batas, norma-norma, etika maupun kesadaran universal dari umat manusia untuk melihat aspek kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara komprehensif. Selain itu, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan kewajiban-kewajibannya yang dimiliki pelaku usaha maupun konsumen sebagaimana tercantum dalam konsiderans Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan
kesadaran,
pengetahuan,
kepedulian,
kemampuan
dan
kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab.2 Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya banyaknya diversifikasi barang dan jasa akan berbanding lurus dengan tingkat konsumsi dari masyarakat. Untuk menjawab kebutuhan konsumen akan barang konsumsi yang harganya tinggi, 1
Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 1 2
Ibid., hlm. 2
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
maka berkembanglah suatu pranata hukum, yakni perjanjian pembiayaan konsumen yang dibuat oleh perusahaan pembiayaan. Konsumen dapat melakukan pembayaran secara angsuran atas barang yang ia inginkan. Dengan demikian, kemudahan akses dan murahnya harga untuk mendapatkan barang konsumsi yang diinginkan tercapai. Dengan kondisi yang demikian, perusahaan pembiayaan menjamur di mana-mana, mulai dari pembiayaan barang konsumsi biasa sampai alat yang dapat digunakan untuk menunjang suatu usaha. Oleh karena itu, perjanjian pembiayaan ini sekarang sudah menjadi kebutuhan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa memiliki uang dalam jumlah besar karena masyarakat dapat mendapatkan kebutuhan hidupnya dengan melakukan cicilan kepada perusahaan pembiayaan. Perjanjian pembiayaan konsumen ternyata masuk juga ke dalam ruang lingkup Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Akibat tingginya kebutuhan masyarakat atas pembiayaan, maka tinggi pula kasus yang berkaitan dengan pembiayaan. Berdasarkan data YLKI pada 2011-2013, kasus yang dilaporkan oleh konsumen berkaitan dengan pembiayaan naik dan menduduki peringkat ke delapan kasus terbanyak yang dilaporkan kepada YLKI pada tahun 2013. Pada tahun 2011, kasus yang dilaporkan sebanyak 22 kasus, 35 kasus pada tahun 2012 dan 41 kasus pada 2013.3 Kasus yang banyak terjadi adalah pencantuman klausula baku dalam dokumen dan/atau perjanjian yang melibatkan pelaku usaha dan konsumen. Pada umumnya, pelaku usaha berlindung di balik Standard Contract atau Perjanjian Baku yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, baik itu Konsumen maupun Pelaku Usaha ataupun melalui berbagai informasi semu yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen.4 Konsumen tidak hanya dihadapkan dengan kualitas barang yang tidak baik namun juga dihadapkan dengan ketidakmengertian mereka akan informasi yang diterima dari pelaku usaha karena terbatasnya informasi yang diberikan serta bargaining position atau posisi tawar yang tidak seimbang. Semua kesulitan konsumen tersebut tercermin dari adanya perjanjian baku maupun dalam bentuk klausula baku yang sudah siap untuk ditandatangani dengan tidak adanya proses negosiasi ataupun tawar-menawar oleh konsumen.5 Contohnya adalah pencantuman syarat tertentu dalam suatu dokumen transaksi yang kemudian dikenal dengan 3
Statistik Pengaduan YLKI tahun 2013
4
Gunawan Widjaja, OpCit., hlm. 1
5
Ibid., hlm. 3
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
klausula baku seperti yang terdapat pada bon, kuitansi pembelian barang, struk belanja, tanda terima laundry, tiket angkutan umum, tanda terima penyerahan barang, surat pemesanan kendaraan bermotor, kuitansi pembayaran uang muka untuk pembelian properti dan perjanjian lainnya dalam hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen. Melihat akan hal itu, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen sudah mengakomodir hal tersebut dengan mengatur mengenai ketentuan pencantuman klausula baku dalam setiap perjanjian dan dokumen yang melibatkan pelaku usaha dan konsumen. Pencantuman klausula baku sebenarnya mengakomodir kegiatan perekonomian yang praktis di mana pelaku usaha telah menentukan terlebih dahulu klausula yang akan dicantumkan di dalam setiap dokumen dan/atau perjanjian. Ketentuan mengenai klausula baku diatur dalam Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) UndangUndang tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu diperkuat oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 01/2011 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan juga mengutip Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen untuk melakukan pengaturan terhadap lembaga pembiayaan. Dalam Undang-Undang dan Peraturan OJK tersebut dijelaskan mengenai ketentuan pencantuman klausula baku apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan demikian, menurut Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha diperbolehkan untuk dicantumkan dalam setiap perjanjian dan/atau dokumen sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 18 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen bertujuan memberikan batasan kepada pelaku usaha mengenai pencantuman klausula baku yang tidak boleh dilakukan. Dengan demikian, kedudukan Konsumen dengan Pelaku Usaha dalam berbagai kasus pencantuman klausula baku yang berkaitan dengan perjanjian pembiayaan konsumen menarik untuk dikaji secara ilmiah. Namun, penulis lebih memilih mengkaji mengenai pencantuman klausula baku yang berkaitan dengan perjanjian pembiayaan konsumen dari sudut pandang kasus pencantuman klausula baku yang telah diputus oleh Mahkamah Agung, yakni Putusan Mahkamah Agung No. 476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013 yang melibatkan PT. Bima Multi Finance selakuu pelaku usaha atau perusahaan pembiayaan dan Merry Silaban selaku konsumen.
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
Menariknya yang menjadi lingkup klausula baku yang dipermasalahkan di dalam putusan tersebut, yakni larangan pencantuman klausula baku sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, hal lain yang menarik bagi penulis, dalam putusan Mahkamah Agung ini dimenangkan oleh pelaku usaha sedangkan biasanya gugatan mengenai pencantuman klausula baku dimenangkan oleh konsumen. Dengan demikian, penulis akan membahas mengenai keberlakuan Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dalam perjanjian pembiayaan konsumen yang bersinggungan dengan asas kebebasan berkontrak dan aspek hukum perjanjian lainnya yang terkait.
1.2
Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan diteliti dan akan dianalisis dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan Pasal 18 ayat (1) huruf h berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terkait dengan Perjanjian Pembiayaan Konsumen? 2. Bagaimanakah penegakan hukum dari pelanggaran Pasal 18 ayat (1) huruf h berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam putusan Mahkamah Agung No. 476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013? 3. Apakah penerapan hukum pada Putusan Mahkamah Agung No. 476/K/Pdt.SusBPSK/2013 sudah tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan?
1.3
Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Dengan menelaah latar belakang dan pokok permasalahan di atas, dapat dikemukakan bahwa tujuan umum dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman serta gambaran mengenai permasalahan mengenai
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
mengetahui bagaimana penerapan dari pencantuman klausula baku dalam hukum perlindungan konsumen dan implikasi dan implementasi dari Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dalam putusan Mahkamah Agung No. 476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013. 1.3.2
Tujuan Khusus Tujuan khusus disusunnya penelitian ini adalah untuk memberikan jawaban mengenai : 1. Pengaturan Pasal 18 ayat (1) huruf h berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terkait dengan Perjanjian Pembiayaan Konsumen 2. Penegakan hukum dari pelanggaran Pasal 18 ayat (1) huruf h berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 3. Analisis penerapan Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Putusan Mahkamah Agung No. 476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013.
Tinjauan Teoritis Dalam penulisan ini, Penulis akan memaparkan mengenai teori-teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini. Menurut A.Z. Nasution, hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaedah-kaedah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk dan (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum Konsumen ini diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan perundang-undangan yang memuat mengenai kepentingan konsumen lainnya selain Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Dari pengantar di atas, bahwa berbagai hubungan hukum dan/atau masalah yang terjadi dalam interaksi antara subjek hukum pelaku usaha dan subjek hukum konsumen diatur dan dikuasai oleh hukum positif Indonesia. Dengan demikian, segala asas dan/atau kaidah hukum positif Indonesia masih berlaku pada hubungan-hubungan hukum dan masalah-
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
masalah yang berkaitan dengan konsumen sekalipun telah disahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.6 Hubungan hukum antara hukum positif Indonesia dan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen telah diatur di dalam aturan peralihan pada Pasal 64 UndangUndang tentang Perlindungan Konsumen bahwa “segala ketentuan peraturan perundangundangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini.7 Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.8 Dengan adanya definisi yang tegas dikemukakan oleh Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tersebut diharapkan dapat menjadi penghalang pelaku usaha untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap kepentingan konsumen. Namun bukan berarti Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menghilangkan kepentingan pelaku usaha, Undang-Undang tentang
Perlindungan
Konsumen
justru
menumbuhkembangkan
sikap
jujur
dan
bertanggungjawab dari pelaku usaha dalam menjalan usahanya sehingga dapat meningkatkan kualitas barang dan/atau jasanya untuk menjamin kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen serta mendorong iklim berusaha yang sehat dan melahirkan perusahaan tangguh dalam menghadapi persaingan melalui pelayanan dan penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen sebagai definisi yuridis formal, Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.9 Dengan demikian, batasan mengenai konsumen yang digunakan di dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen-akhir. Sementara itu, pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer dan sebagainya.10 Pelaku usaha juga tidak hanya produsen pabrikan yang menghasilkan barang dan/atau jasa yang tunduk kepada 6
Ibid., hlm. 35-36 Ibid., hlm. 37 8 Indonesia, Op Cit., Ps. 1 angka 1 9 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU. No. 8 Tahun 1999 LN. No. 42 Tahun 1999, TLN. No. 3821, Ps. 1 angka (2) 10 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op Cit., hlm. 8 7
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, melainkan rekanan-rekanan, agen-agen, distributor serta jaringan-jaringan yang melaksanakan fungsi pendistribusian dan pemasaran barang dan/atau jasa kepada masyarakat luas selaku pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa.11 Setelah mengetahui pengertian dasar dari perlindungan konsumen, definisi dari konsumen dan pelaku usaha, maka kita harus mengetahui tindakan apa saja yang tergolong kepada perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, kegiatan yang dilarang bagi pelaku usaha pada hakikatnya adalah yang terdapat di dalam Pasal 8-18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada fokus penelitian ini, yakni Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ada baiknya kita mengetahui definisi dari klausula baku sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kemudian, kaitannya antara Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan perjanjian pembiayaan konsumen adalah karena di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Pada prinsipnya pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen dan/atau perjanjian tidaklah dilarang. Hal yang dilarang adalah klausula baku yang memberatkan atau merugikan konsumen sebagaimana yang diatur dalam Undnag-Undang tentang Perlindungan Konsumen, yakni klausula eksonerasi. Menurut penjelasan Pasal 18 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, larangan pencantuman klausula baku di dalam perjanjian standar dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Oleh sebab itu, dengan adanya pengaturan mengenai klausula baku dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, asas kebebasan berkontrak dalam mengadakan perjanjian tidak lagi dapat dilihat secara mutlak. Oleh karena itu, asas kebebasan berkontrak hanya dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
11
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op Cit., hlm. 5
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
kesusilaan dan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.12 Dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, apabila barang yang dibeli secara angsuran belum dilunasi sesuai dengan tenggang waktu yang diperjanjian, maka kreditur mempunyai hak untuk menggadaikan, menjaminkan barang tersebut berdasarkan surat kuasa yang diberikan perusahaan pembiayaan yang berkedudukan sebagai kreditur. Dengan demikian, dengan adanya ketentuan Pasal 18 ini diharapkan kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha dapat seimbang untuk melakukan hubungan hukum.
Metode Penelitian Metode yang akan dipergunakan dalam Penelitian ini adalah metode pendekatan monodisipliner. Metode monodisipliner ini dalam pelaksanaannya hanya mengacu kepada satu sudut ilmu pengetahuan saja, yakni ilmu hukum.13 Selain itu, penulisan ini juga dilaksanakan dengan pendekatan hukum normatif yang mana penelitian ini adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip hukum maupun doktrin hukum guna menjawab permasalahan hukum yang sedang dihadapi.14 Penelitian hukum normatif atau normative yuridis adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang akan menunjang penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran konsep hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau mengonsepsikan hukum sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.15 Pada penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai sumber data untuk alat pengumpulan data berupa studi pustaka, selain itu juga akan dipergunakan wawancara dengan beberapa narasumber sehingga penelitian juga menggunakan metode kualitatif. Berdasarkan sudut sifatnya, penelitiaan ini termasuk ke dalam penelitian yang deskriptif karena dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai pengaturan mengenai Pasal 18 12
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Pedoman Klausula Baku Di Bidang Perbankan, (Jakarta: Deprindag, 2001), hlm. 4 13 Komaruddin, Metode Penulisan Skripsi dan Tesis, (Bandung: Angkasa, 1974), hlm. 28-29. 14 Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 35 15 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 163
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang terkait dengan Perjanjian Pembiayaan Konsumen. Pembahasan Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merupakan salah satu ketentuan pencantuman klausula baku yang mana berdasarkan dengan penjelasan dari Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, klausula baku adalah larangan yang dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Klausula baku merupakan aturan yang tidak sepenuhnya dilarang. Dengan demikian, sebenarnya Pelaku usaha masih dapat mencantumkan ketentuan klausula baku selain daripada yang terdapat di dalam Pasal 18 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Sengketa yang melibatkan Merry Silaban sebagai konsumen dan PT. Bima Multi Finance sebagai Pelaku usaha tergolong ke dalam sengketa konsumen. Sengketa konsumen tidak memiliki definisi yang ajeg dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. Namun, kita dapat menemukan definisi mengenai sengketa konsumen dari Ketentuan Umum dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yakni pada Pasal 1 ayat (8) disebutkan bahwa Sengketa Konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau jasa yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Selain itu, kita juga dapat menemukan definisi yang dikemukakan oleh ahli hukum perlindungan konsumen, A.Z. Nasution, bahwa sengketa konsumen adalah sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa konsumen tertentu.16 Berdasarkan hasil penelitian penulis dengan membaca berbagai literatur dan melakukan wawancara, sengketa konsumen tidak harus menekankan adanya kerugian tetapi ketika pihak yang bersengketa adalah pelaku usaha dan konsumen berdasarkan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen maka termasuk ke dalam sengketa konsumen. Permasalahan yang diangkat dari sengketa konsumen ini adalah ketika Merry Silaban selaku konsumen tidak puas atas harga jual dari eksekusi truk sebagai pelunasan hutangnya. 16
A.Z. Nasution, Op Cit., hlm. 229
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
Sementara itu, eksekusi yang dilakukan oleh PT. Bima Multi Finance telah sesuai dengan ketentuan eksekusi jaminan fidusia sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Eksekusi truk tersebut didasarkan dengan adanya Sertifikat Fidusia
yang
terdaftar
atas
truk
B
9433
WV
dengan
nomor
sertifikat
W8-
0031451.AH.05.01.TH.2011/STD tertanggal 18 Mei 2011. Sertifikat Fidusia tersebut telah sah secara hukum dibuat di hadapan notaris Nenden Anne Andriyani, S.H. dengan adanya irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Maka sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, eksekusi fidusia langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui Pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.17 Menurut Penulis, eksekusi jaminan truk B 9433 WV juga telah sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan dapat dilakukan dengan cara18 : a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya dan pelaksanaan titel eksekutorialnya telah sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan. Sementara itu, penjualan truk yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan dari PT. Bima Multi Finance karena Merry Silaban telah menyerahkan truk B 9433 WV secara sukarela untuk melunasi hutang-hutangnya atas tunggakan angsuran truk B 9433 WV sebesar Rp. 246.179.052,00 telah dilakukan melalui pelelangan umum dan dari hasil penjualan pelelangan umum, truk B 9433 WV hanya berhasil dijual dengan harga Rp. 215.000.000,00 sesuai dengan perkiraan harga yang diberikan oleh Penilai PT. Bima Multi Finance atas truk B 9433 WV setelah penyusutan. Oleh karena itu, eksekusi truk B 9433 WV telah sesuai dengan ketentuan eksekusi jaminan fidusia sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 17
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata : Hak-hak Yang Memberi Jaminan, cet. 2, (Jakarta: Ind-Hill-Co, 2005), hlm. 84 18
Ibid., hlm. 85
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dengan demikian, eksekusi truk yang menjadi objek jaminan fidusia telah memenuhi persyaratan sehingga Merry Silaban selaku konsumen tidaklah menjadi pihak yang dirugikan atas eksekusi yang dilakukan oleh PT. Bima Multi Finance. Ditambah lagi dengan fakta bahwa selama Merry Silaban tidak melunasi angsuran yang menjadi kewajibannya, Merry Silaban tetap menggunakan truk B 9433 WV untuk kepentingan usahanya dan tetap memiliki hak pinjam-pakai atas truk tersebut. Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013, unsur “dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian” pada Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak terbukti. Aspek-aspek pada Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen harus melihat kepada aspek perikatan pada buku III KUHPerdata, yang utama adalah ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Aspek perikatan lain yang berkaitan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen adalah Pasal 1321, 1337, 1338 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 1340. Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013, semua aspek perikatan tersebut telah dijalankan oleh kedua belah pihak. Bahkan dalam hal ini, Merry Silaban selaku konsumen tidak beritikad baik dengan tidak melaksanakan kewajibannya dalam melunasi tunggakannya atas kredit yang diajukan. Selain itu unsur “memberi kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha mengenai hak jaminan” juga tidak terbukti. Berdasarkan Pasal 1792 KUHPerdata, kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberi kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan, sedangkan penyerahan dalam jaminan Fidusia adalah penyerahan benda oleh debitur (konsumen) kepada kreditur (perusahaan pembiayaan) karena benda yang dijaminankan fidusia berada dalam kekuasaan debitur sehingga penyerahan barangnya dengan melanjutkan kekuasaan atas barang yang bersangkutan di mana barang tetap dikuasai debitur walaupun hak miliknya telah berpindah kepada kreditur.19 Kesimpulan
19
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standar) dalam BPHN, Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Binacipta, 1986), hlm. 57
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
Setelah menjabarkan teori yang berkaitan dengan penelitian ini dan menganalisis mengenai putusan Mahkamah Agung nomor 476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013 pada bab sebelumnya, selanjutnya penulis akan memberikan kesimpulan yang menjadi benang merah dari penelitian ini. Berikut ini adalah kesimpulan dari pokok permasalahan penelitian penulis : 1. Pengaturan pada Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen adalah klausula baku yang berkaitan erat dengan perjanjian pembiayaan konsumen di mana klausula baku tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Hal ini dikarenakan keberlakuannya juga mengacu kepada ketentuan yang ada pada buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dasar-dasar hukum dari perjanjian pembiayaan yang juga berlaku pada perjanjian pada umumnya, yakni asas Kebebasan Berkontrak dan pacta sunt servanda di mana suatu perjanjian harus memenuhi syarat sah perjanjian yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Selain itu, ketentuan tentang perjanjian lainnya seperti Pasal 1313, 1321, 1337, 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata juga ikut berperan dalam menentukan apakah klausula baku tersebut terbukti dilanggar. Aspek hukum perjanjian lainnya yang juga berkaitan dengan perjanjian pembiayaan konsumen adalah perjanjian pinjam pakai habis dan perjanjian jual beli bersyarat. Hal ini juga diamini oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana terdapat di dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) di mana pengaturan mengenai klausula baku tersebut harus berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Selain itu, Pasal 4 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen juga harus diakomodir di dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen bahwa konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, terbuka dan jujur. Dengan demikian, pengaturan mengenai Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dapat saja terdapat di dalam perjanjian pembiayaan konsumen sepanjang pencantuman klausula baku tersebut telah disepakati oleh para pihak berdasarkan pada prinsip kebebasan berkontrak dan ketentuan mengenai perjanjian dalam Buku III KUHPerdata sehingga konsumen dan pelaku usaha memiliki hak yang sama dalam menentukan arah perjanjian pembiayaan konsumen yang menguntungkan dan memudahkan kedua belah pihak. 2. Penegakan hukum dari pelanggaran Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen sudah dijelaskan pada Pasal 62 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen di mana terdapat pada bagian kedua tentang Sanksi Pidana. Di dalam Pasal 62 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
yang melanggar ketentuan Pasal 18 akan dikenakan sanksi berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000 (dua miliar rupiah). Penegakan hukum perlindungan konsumen yang dilakukan oleh organorgan perlindungan konsumen yang diamanatkan oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen pada penegakan hukum dalam putusan Mahkamah Agung No. 476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013 masih kurang di mana Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen masih terlalu berpatokan kepada kepentingan konsumen tanpa melihat fakta-fakta yang terjadi padahal Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak hanya berupaya untuk melindungi kepentingan konsumen namun juga mengusahakan berkembangnya usaha pelaku usaha yang berbasis kepada peningkatan kualitas usahanya sebagaimana yang penulis analisis dalam putusan Mahkamah Agung No. 476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013. 3. Analisis penerapan Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan
Konsumen
dalam
Putusan
Mahkamah
Agung
No.
476/K/Pdt.Sus-BPSK/2013 termasuk ke dalam sengketa konsumen karena penulis mendasarkan analisisnya pada doktrin A.Z. Nasution dan wawancara penulis dengan narasumber-narasumber yang berasal dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) sehingga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tetap berwenang untuk mengadili sengketa ini. Dalam menganalisis penerapan Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, penulis menguraikan unsur-unsurnya. Dalam Pasal 18 ayat (1) huruf h Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen terdapat 5 (lima) unsur, yakni Unsur Pelaku Usaha, dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian, apabila menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha serta untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Dari kelima unsur ini, unsur dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian tidak terpenuhi. Dengan demikian, sanksi administratif yang terdapat dalam Pasal 62 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak dapat diterapkan dalam kasus ini.
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
Saran Setelah menjabarkan pokok permasalahan, menjelaskan teori yang relevan, melakukan analisa dan memberikan kesimpulan, penulis akan memberikan saran yang penulis rasa perlu ditambahkan dalam penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen, yakni sebagai berikut : 1. Pelaku usaha harus melakukan analisis yang cermat dan tepat kepada calon konsumen sehingga pelaku usaha mengetahui itikad baik dari konsumen dalam melaksanakan perjanjian pembiayaan konsumen. Oleh sebab itu, sebelum memberi persetujuan kepada calon konsumen atas pengajuan kredit yang diajukan, PT. Bima Multi Finance seyogyanya melakukan analisis 5C (Character, Collateral, Capicity, Capital, dan Condition Of Economy) guna menghindari timbulnya masalah dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen. Misalnya dengan melakukan survey dan investigasi lebih lanjut mengenai pengajuan kredit dari konsumen dan melakukan penyesuaian antara data yang diberikan oleh konsumen terkait dengan proses pengajuan pembiayaan dengan hasil investigasi di lapangan. 2. Konsumen harus menyadari betul bahwa kewajibannya untuk melakukan pembayaran dengan tepat waktu serta tidak melakukan tindakan-tindakan yang dilarang dalam perjanjian pembiayaan konsumen sehingga pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen dapat berjalan dengan lancar serta tidak merugikan pihak perusahaan pembiayaan konsumen karena perusahaan pembiayaan seringkali dirugikan dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen. Daftar Referensi Peraturan Perundang-undangan : Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ps. 1313 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen. No. 8 Tahun 1999 LN. No. 42 Tahun 1999. TLN. No. 3821. Indonesia, Undang-Undang Tentang Jaminan Fidusia. No. 42 Tahun 1999. LN No. 168 Tahun 1999. TLN No. 3889
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014
Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan cq. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan
Buku : Amiruddin dan Zainal Asikin. (2004). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada Frieda Husni Hasbullah. (2005). Hukum Kebendaan Perdata : Hak-hak Yang Memberi Jaminan. cet. 2. Jakarta: Ind-Hill-Co Gunawan Widjaja. (2003). Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Komaruddin. (1974). Metode Penulisan Skripsi dan Tesis. Bandung: Angkasa Mariam Darus Badrulzaman. (1986). Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standar) dalam BPHN, Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Binacipta Peter Mahmud. (2005). Penelitian Hukum. (Jakarta: Prenada Media Statistik Pengaduan YLKI tahun 2013
Penerapan Pasal..., Findya Irzi Azizah, FH UI, 2014