Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.31 (No.2) 12 2014: 39-44 Halaman | 39
Produksi Biosurfaktan oleh Pseudomonas aeruginosadengan Substrat Limbah Biodiesel Terozonasi untuk Peningkatan Perolehan Minyak Bumi
Production of Biosurfactant from Pseudomonas aeruginosa using Ozonized Biodiesel Waste as Substrate for Enhanced Oil Recovery Misri Gozana, Izzah Nur Fatimaha, Cut Nandab , dan Abdul Harisb aRiset
Grup Rekayasa Bioproses, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia, ph +62 21 7863516
bPusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” Jl Ciledug Raya, Cipulir-Kebayoran Lama, Jakarta 12230, Indonesia
[email protected]
Riwayat Naskah: Diterima 08, 2014 Direvisi 10, 2014 Disetujui 11, 2014
ABSTRAK: Biosurfaktan bekerja menurunkan tegangan antarmuka sehingga dapat diaplikasikan dalam peningkatan perolehan minyak bumi. Biosurfaktan dapat diproduksi dari Pseudomonas aeruginosa dengan substrat limbah biodiesel. Sayangnya, limbah ini masih memiliki kandungan senyawa yang kompleks, oleh karena itu perlu dilakukan penyederhanaan senyawa. Metode yang digunakan adalah metode ozonasi. Waktu optimum ozonasi substrat adalah 30 menit. Pemilihan waktu ini berdasar pada uji pendahuluan biosurfaktan yaitu uji oil spreading, indeks emulsifikasi dan Total Plate Count. Hasil yang diperoleh dari produksi biosurfaktan dengan substrat yang diozonasi selama 30 menit dapat menurunkan tegangan antarmuka 99,1% dan tegangan permukaan 27,7%. Meskipun terjadi penurunan kedua tegangan secara signifikan, namun nilai kedua jenis tegangan tersebut masih perlu diturunkan lagi agar memenuhi kriteria biosurfaktan yang dapat digunakan untuk peningkatan perolehan minyak bumi. Kata kunci: biosurfaktan, limbah biodiesel, ozon, Pseudomonas aeruginosa
ABSTRACT: Biosurfactants work by reducing the interfacial tension, so it can be applied in enhanced oil recovery (EOR). Biosurfactants can be produced from Pseudomonas aeruginosa with biodiesel waste as substrate. Unfortunately, this waste still has complex component compounds. Ozonation was used in this research to simplify the compounds. The optimum time for substrate ozonation was 30 minutes, which was selected based on the preeliminary screening of biosurfactant using oil spreading, emulsification index and Total Plate Count. Results obtained from the production of biosurfactants with ozonized substrate for 30 minutes had reduced interfacial tension of 99.1% and a surface tension of 27.7%. Although significant reduction of both tensions were achieved, the value of tensions should be further reduced in order to meet the criteria of biosurfactants for enhanced oil recovery application. Keywords: biosurfactant, biodiesel waste, ozone, Pseudomonas aeruginosa
1. Pendahuluan Hingga saat ini minyak bumi masih merupakan sumber energi utama di Indonesia dan kebutuhannya terus meningkat. Cadangan minyak bumi sebagian besar negara produsen cenderung terus menurun. Oleh karena itu, perlu adanya upaya peningkatan perolehan minyak bumi atau yang sering dikenal dengan Enhanced Oil Recovery (EOR). Teknologi ini dilakukan dengan menginjeksikan suatu material ke dalam reservoir sehingga dapat meningkatkan perolehan minyak sebesar 40-45%
(Sen, 2008). Dewasa ini perkembangan teknologi EOR mengarah kepada bioteknologi yang lebih ramah lingkungan atau yang sering disebut dengan teknologi Microbial Enhanced Oil Recovery (MEOR) (Bordoloi & Konwar, 2008). Injeksi bioproduk merupakan teknik yang paling efektif dalam Microbial Enhanced Oil Recovery (MEOR), salah satu contoh injeksi bioproduk adalah biosurfaktan. Biosurfaktan ini bekerja menurunkan tegangan antar muka antara minyak bumi dengan air serta dapat memobilisasi minyak yang terjebak pada bebatuan dengan meningkatkan jumlah kapiler (Saharanet al., 2011).
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2014, All rights reserved
Citation:Gozan, M., Fatimah, N.I., Nanda, C. & Haris, A.(2014)Produksi Biosurfaktan oleh Pseudomonas aeruginosa dengan Substrat Limbah Biodiesel Terozonasi untuk Peningkatan Perolehan Minyak Bumi. Warta IHP, 31(2),39-44
Halaman | 40
Produksi biosurfaktan tidak akan terjadi tanpa bantuan sekresi mikroorganisme. Pseudomonas aeruginosa digunakan dalam penelitian ini. P. aeruginosa dapat menghasilkan aktivitas biosurfaktan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Bacillus subtilis (Usharani, 2009). Biosurfaktan yang dihasilkan dari Pseudomonas aeruginosa berjenis rhamnolipid (Henkel et al., 2012). Rhamnolipid memiliki efek sangat cepat dalam mengurangi tegangan permukaan dan tegangan antar muka antara air dan minyak bumi. Selain itu, rhamnolipid juga bersifat biodegradable dan memiliki toksisitas rendah sehingga sangat optimal jika diaplikasikan dalam MEOR (Wang et al., 2007). Meskipun memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan surfaktan kimia, biosurfaktan belum banyak digunakan karena mahalnya substrat serta kurang efisiennya proses produksi. Tetapi, masalah tersebut dapat diminimalisasi dengan penggunaan substrat yang banyak tersedia di alam sehingga dapat menekan biaya dalam proses produksinya (De Sousa et al., 2011). Dalam hal ini, limbah produksi biodiesel berbasis kelapa sawit dapat menjadi salah satu solusi dalam pemilihan substrat. Limbah biodiesel telah dianggap sebagai bahan baku untuk industri fermentasi terbarukan di masa depan karena merupakan salah satu substrat yang menjanjikan dalam biokonversi untuk mendapatkan senyawa dengan nilai yang lebih tinggi melalui fermentasi mikroba. Limbah ini merupakan salah satu bagian dari lipid yang sangat berlimpah di alam dan banyak digunakan sebagai sumber karbon oleh mikroorganisme (Henkel et al., 2012). Limbah biodiesel dapat menjadi salah satu alternatif dalam produksi biosurfaktan karena produksi biodiesel di Indonesia terus meningkat sepanjang tahun. Peningkatan itu terlihat dalam blueprint pengelolaan energi nasional 2005-2025 yang memprediksikan kebutuhan biodiesel mencapai 720.000 kiloliter (tahun 2010) akan ditingkatkan menjadi 1,5 juta kiloliter (tahun 2015) dan 4,7 juta kiloliter (tahun 2025) (PP Nomor 5 Tahun 2006). Limbah biodiesel terdiri dari campuran metanol, sabun, gliserin, metil ester yang terlarut, dan air limbah bekas pencucian (Isalmi et al., 2008), sehingga memiliki kandungan senyawa yang kompleks. Untuk meningkatkan efisiensi proses metabolisme Pseudomonas aeruginosa dalam menghasilkan biosurfaktan, maka perlu dilakukan penyederhanaan struktur. Salah satu metode yang umum dalam penyederhanaan struktur dapat dilakukan dengan proses oksidasi (Erden et al., 2010). Di antara proses oksidasi, treatment menggunakan ozon menarik karena tidak meninggalkan residu oksidan, dan tidak terjadi
peningkatan konsentrasi garam (Carballaa et al., 2007). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui waktu optimum dalam proses ozonasi untuk meningkatkan aktivitas biosurfaktan. Keberhasilan dari penelitian ini ditunjukkan dengan perubahan karakteristik sampel yaitu perubahan komposisi senyawa organik yang terdapat dalam limbah biodiesel sebelum dan sesudah diozonasi, yang akan dianalisis dengan mengunakan metode Gas Chromatography - Mass Spectrometry (GC-MS). Selain itu, parameter keberhasilan lainnya dapat dilihat dari menurunnya nilai tegangan permukaan dan tegangan antar muka yang signifikan ketika diaplikasikan ke dalam sampel crude oil. 2. Bahan dan Metode 2.1. Bahan 2.1.1. Mikroorganisme dan sumber karbon Isolat yang digunakan adalah isolat tunggal Pseudomonas aeruginosa dengan strain ATCC 27853 (Lotfabad et al., 2010). Limbah biodiesel yang digunakan berasal dari produk samping pabrik biodiesel di propinsi Banten. 2.1.2. Preparasi Terdapat dua tahap preparasi yang pertama adalah preparasi mikroorganisme. Setiap bakteri yang akan digunakan harus dilakukan aktivasi terlebih dahulu dengan tujuan mendapatkan bakteri yang aktif. Hal ini dikarenakan sebelumnya bakteri tersebut berada dalam keadaan tidak aktif (inactive) dalam media agar miring di lemari pendingin. Penyegaran isolat bakteri dilakukan pada media 100 ml Nutrient Broth (NB) steril. Kultur inkubasi ke dalam shaker incubator selama 48 jam pada suhu ruang dengan kecepatan 150 rpm. Selanjutnya dilakukan kultivasi, dengan menggabungkan 5-10% (v/v) kultur yang telah diaktivasi ke dalam campuran 50 mL NB dan 50 mL Mineral Salt Medium (MSM) dengan kandungan (15 g/L NaNO3; 1,1 g/L KCl; 1,1 g/L NaCl; 0,00028 g/L FeSO4.7H2O; 3,4 g/L KH2PO4; 20 g/L glukosa; 4,4 g/L K2HPO4; 0,5 g/L MgSO4.7H2O; 0,5 g/L yeast extract; 5 ml/L trace element; 1 L akuades) pada erlenmeyer 250 mL selanjutnya di inkubasi pada shaker inkubator dengan suhu 300C selama 48 jam dan kecepatan 150 rpm. Tahapan kedua adalah preparasi limbah biodiesel. Preparasi ini diawali dengan memanaskan limbah biodiesel hingga mencair. Selanjutnya dilakukan pengukuran pH dan dinetralkan dengan H2SO4 (El-Sheshtawy & Doheim, 2014).
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2014, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.31 (No.2) 12 2014: 39-44 Halaman | 41
2.1.3. Ozonasi Sampel limbah biodiesel diozonasi dengan cara menginjeksikan ozon kedalam reactor dengan variasi waktu ozonasi 0-90 menit dengan interval 5 menit dari 0-50 menit, selanjutnya selama 60, dan 90 menit.
Total Plate Count : Mengambil 1 ml sampel diencerkan pada 9 ml akuades dan divorteks. Mengulangi langkah tersebut hingga diperoleh larutan sampai dengan rasio pengenceran yang diinginkan. Menanam 0,1 ml dari larutan pengenceran tersebut ke dalam cawan petri, inkubasi pada suhu 34-36oC selama 24 – 48 jam.
2.1.4. Adaptasi
2.1.6. Produksi biosurfaktan
Adaptasi bakteri dilakukan melalui dua tahapan. Tahap pertama (adaptasi I), dilakukan dengan mengambil10% (v/v) kultur induk dan dibiakan menggunakan MSM dan 1% (v/v) ozonasi limbah biodiesel. Kondisi operasi pada adaptasi I sama dengan kondisi operasi kultivasi. Adaptasi II hampir sama dengan adaptasi I hanya saja sumber karbon yang digunakan meningkat menjadi 3% (v/v) dan kultur yang digunakan adalah kultur dari adaptasi I. Pada adaptasi II ini dilakukan uji pendahuluan biosurfaktan untuk mengetahui waktu optimum dalam ozonasi limbah biodiesel.
Produksi dilakukan dengan sistem batch dalam fermentor kapasitas 1L dengan volume kerja 650 ml selama 12 hari. Produksi biosurfaktan dilakukan dengan menggabungkan medium MSM 650 ml, inokulasi bakteri 10% (v/v) yang telah diadaptasi dan 3% sumber karbon (v/v). Kultur sampel diambil tiap 24, digunakan untuk uji tegangan permukaan, tegangan antarmuka dan Total Plate Count.
2.1.5. Uji pendahuluan biosurfaktan Blood Agar Lysis : Uji ini dilakukan dengan menyelupkan kertas cakram yang sudah steril ke dalam kaldu fermentasi. Cakram yang sudah tercelup seluruhnya diletakkan pada agar darah dan diinkubasi selama 48 jam. Jika bakteri tersebut merupakan bakteri penghasil surfaktan maka akan terbentuk β-hemolitik yang menunjukkan adanya lisis dan akan terlihat zona bening sekitar koloni (hemolisis). Oil Spreading Test : Uji deteksi bakteri penghasil biosurfaktan dilakukan dengan metode oil spreading test (Techaoei et al., 2007). Petri berdiameter 15 cm diisi dengan 50 mL akuades kemudian ditambah 20 µL minyak diatas permukaan akuades sehingga membentuk lapisan tipis minyak kemudian dimasukkan secara perlahan ke tengah-tengah lapisan minyak tersebut 10 µL kultur adaptasi III bebas bakteri (supernatan) dari masing-masing sumber karbon dengan waktu ozonasi yang berbeda. Zona bening terbentuk bila pada supernatan yang dimasukkan mengandung biosurfaktan. Zona bening yang terukur kemudian dihitung nilai ODA (Oil Displacement Area). Indeks Emulsifikasi : Indeks emulsifikasi diukur dengan menambahkan 2 ml crude oil ke dalam 2 ml kultur bebas sel (supernatan). Larutan kemudian dihomegenasi selama 2 menit dan diinkubasi selama 24 jam. Setelah 24 jam, diamati secara visual lapisan emulsi yang terbentuk. Reaksi emulsifikasi ditandai dengan adanya suatu layer emulsifikasi antara crude oil dan media yang berisi biosurfaktan.
2.2. Alat Beberapa alat utama yang digunakan antara lain sebagai berikut : erlenmayer 250ml dan 1000 ml, mikropipet 1 ml, batang drygalsky, botol schoot, botol semprot, bulb, cawan petri, tabung reaksi, autoclave, hot platestirrer, shaker incubator, ozonator, sentrifugal, test tube screw, incubator, dan potensiometer kruss. 2.3. Metode 2.3.1. Metode GC-MS Analisis ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan komposisi dari komponen yang terdapat dalam sampel. Pada penelitian ini, analisis GC-MS dilakukan sebanyak dua kali, yakni sampel limbah biodiesel awal dan sampel limbah biodiesel setelah ozonasi. 2.3.2. Metode Total Plate Count (TPC) Metode TPC menggunakan anggapan bahwa setiap sel akan hidup berkembang menjadi satu koloni. Jumlah koloni yang muncul menjadi indeks bagi jumlah oganisme yang terkandung di dalam sampel. 2.3.3. Metode uji Fourier Transform Infra Red (FTIR) Teknik spektroskopi FTIR berpotensi sebagai metode analisis cepat karena analisis dapat dilakukan secara langsung. Uji FTIR ini dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi biosurfaktan yang dihasilkan. Dalam hal ini, sampel biosurfaktan bebas sel (supernatan) di teteskan satu persatu ke
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2014, All rights reserved
Citation:Gozan, M., Fatimah, N.I., Nanda, C. & Haris, A.(2014)Produksi Biosurfaktan oleh Pseudomonas aeruginosa dengan Substrat Limbah Biodiesel Terozonasi untuk Peningkatan Perolehan Minyak Bumi. Warta IHP, 31(2),39-44
Halaman | 42
dalam pelat dan dipasang pada alat untuk dilewatkan sinar infra merah. 2.3.4. Uji tegangan permukaan dan tegangan antarmuka Pengukuran tegangan permukaan dan tegangan antarmuka dilakukan menggunakan alat Processor Tensiometer (Kruss) yang dilengkapi dengan ring plate.
bening terbentuk karena supernatan yang diinjeksikan pada lapisan minyak mentah teremulsi membentuk misel-misel dan menyebar ke permukaan lapisan minyak. Misel terbentuk karena pada bagian hidrofobik dan hidrofilik yang terdapat di dalam supernatan menyatu, menyebabkan terjadinya tekanan antara bagian hidrofobik dan hidrofilik sehingga tegangan permukaanya turun (Techaoei et al., 2011).
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Pseudomonas aeruginosa dalam limbah biodiesel Hasil dari adaptasi I dan II menunjukkan bahwa Pseudomonas aeruginosa dapat beradaptasi baik pada sumber karbon limbah biodiesel. Pseudomonas aeruginosa sangat mudah beradaptasi Mikroorganisme ini terbukti berpotensi dapat menghasilkan biosurfaktan. Hal ini terlihat dari terbentuknya zona bening pada agar darah (Gambar 1). Zona bening yang terbentuk menghasilkan pola hemolisis beta, yaitu dimana bakteri mampu menghemolisis seluruh sel darah merah yang ada pada media sehingga warna disekeliling koloni menjadi bening. Bakteri yang mengalami beta hemolisis merupakan bakteri yang paling berpotensi menghasilkan biosurfaktan, karena biosurfaktan berfungsi sebagai zat haemolisin. Haemolisin memiliki fungsi sebagai antibodi terhadap antigen membran eritrosit yang membuatnya mengalami hemolisis (Ibrahim et al., 2013).
Gambar 1. Uji hemolisis β oleh Pseudomonas aeruginosa pada agar darah
3.2. Penentuan waktu ozonasi terbaik Waktu ozonasi terbaik ditentukan dari uji menggunakan metode spreading oil, metode indeks emulsifikasi dan TPC. Spreading oil dijadikan sebagai metode utama dalam pemilihan waktu ozonasi. Hasil penelitian kami (Gambar 2) selaras dengan (Li et al., 2014) menunjukkan bahwa metode ozonasi berkorelasi terhadap penurunan tegangan antarmuka antara air dan minyak. Hasil uji dari Gambar 2 menunjukkan bahwa pada waktu ozonasi selama 30 menit menempati kedudukan maksimal yaitu sebesar 33,9 cm2. Zona
Gambar 2. Oil displacement area pada variasi waktu ozonasi substrat
Uji indeks emulsifikasi merupakan proses percampuran antara dua buah fase cair yang tidak dapat bercampur dengan bantuan agen emulsifikasi (surfaktan), sehingga dapat dijadikan salah satu standar dalam menguji kemampuan surfaktan (Bicca et al., 1999). Sifat surfaktan yang paling baik didapatkan pada kondisi dengan harga indeks emulsi paling besar yang berarti mempunyai kestabilan emulsi yang besar. Hasil uji indeks emulsifikasi dapat dilihat dari Gambar 3. Hasil uji ini mendukung dan berkorelasi positif dengan hasil pada spreading oil dimana 30 menit merupakan waktu terbaik ozonasi sumber karbon karena menghasilkan indeks emulsifikasi yang besar.
Gambar 3. Indeks emulsifikasi (E24) pada variasi waktu ozonasi substrat
Penghitungan koloni dilakukan pada fase stasioner. Pada fase stasioner sel bakteri akan berjumlah paling banyak jika dibanding pada fase lag, fase log, maupun fase kematian dan produksi biosurfaktan biasanya mencapai nilai maksimal pada fase stasioner, hal ini mengindikasikan bahwa biosurfaktan merupakan senyawa metabolit sekunder (Terziyskiet al., 2014). Dari Gambar 4, menunjukan bahwa seluruh isolat dapat tumbuh baik dan mampu menggunakan limbah biodiesel dengan variasi waktu ozon tertentu sebagai sumber karbon untuk proses metabolisme.
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2014, All rights reserved
Warta IHP/Journal of Agro-based Industry Vol.31 (No.2) 12 2014: 39-44 Halaman | 43
Gambar 4. Kepadatan koloni pada variasi waktu ozonasi substrat
Pada waktu ozonasi 30 menit jumlah koloni bakteri mencapai maksimum jika dibanding dengan variasi waktu lainnya. Banyaknya koloni bakteri ini terjadi karena produksi biosurfaktannya tinggi. Mikroba penghasil biosurfaktan meningkatkan metabolismenya karena adanya biosurfaktan pada permukaan sel yang akan membantu proses transport nutrisi melalui membran selnya, dimana dari keseluruhan proses ini akan meningkatkan laju pertumbuhannya (Warsito, 2009). Sumber karbon terbaik adalah pada ozonasi 30 menit. Hal ini disebabkan pada waktu ozonasi 30 menit yang digunakan memiliki struktur yang lebih sederhana sehingga lebih mudah digunakan untuk metabolisme bakteri. Untuk mengetahui dan membuktikan karakteristik perbedaan sumber karbon terhadap waktu ozonasi maka dilakukan analisis dengan menggunakan GC-MS. Pada penelitian ini hanya diambil 2 sampel untuk analisis GCMS, yakni limbah biodiesel tanpa ozonasi dan limbah biodiesel dengan ozonasi selama 30 menit. Dari waktu retensi dan % area yang dihasilkan spektrum GCMS tersebut, maka dapat diketahui kandungan senyawa yang terdapat pada limbah biodiesel. Kandungan senyawa tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan senyawa pada sampel limbah biodiesel Tanpa Ozonasi Ozonasi 30 menit Senyawa % konsentrasi % konsentrasi Methyl myristate Methyl palmitate Methyl oleate Methyl stearate Glycerol Cyclotrisiloxane hexamethyl Benzene,1,4 trimethylsilyl Benzene,1,3- trimethylsilyl
0,83 35,69 37,1 4,32 12,08 2,53 2,62 0,77
0 45,84 48,53 5,63 0 0 0 0
Dari Tabel 1 terlihat bahwa antara sumber karbon tanpa ozonasi dan sumber karbon yang diozonasi selama 30 menit memiliki % konsentrasi yang berbeda. Konsentrasi senyawa parafin rantai panjang seperti metil palmitat, oleat dan stearat mengalami kenaikan % konsentrasi. Hal itu disebakan jumlah ozon dan hidroksil radikal yang terbentuk masih belum mencapai jumlah yang cukup untuk bereaksi secara efektif dengan senyawa rantai panjang dimana memiliki konsentrasi yang dominan.
Banyaknya senyawa yang terkandung di dalam limbah biodiesel menyebabkan terlalu banyak senyawa yang dapat diserang oleh ozon dan radikal hidroksil, sementara ozon memiliki kecenderungan untuk menyerang senyawa aromatik dibandingkan dengan senyawa parafin (rantai lurus). Oleh karena itu, sebagian besar oksidator akan habis terlebih dahulu untuk mengoksidasi senyawa aromatik sebelum sempat mengoksidasi senyawa parafin, terutama yang memiliki rantai karbon yang panjang (Gottschalk et al., 2000). Senyawa aromatik sangat kaya akan elektron (Fessenden & Fessenden, 1982), hal inilah yang menyebabkan senyawa aromatik lebih reaktif dan mudah diserang ozon. 3.3. Produksi biosurfaktan Pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa pada sumber karbon limbah biodiesel yang diozonasi memiliki masa adaptasi yang singkat hal tersebut terlihat dari fase permulaan (lag phase) yang memerlukan waktu kurang dari 24 jam. Pada fase ini bakteri mengalami fase penyesuaian yang merupakan fase pengaturan suatu aktivitas dalam lingkungan baru untuk penambahan metabolit, oleh karena itu baik tegangan antarmuka dan tegangan permukaan yang dihasilkan masih tinggi. Pada medium tanpa inokulum tegangan antarmuka dan tegangan permukaan yang dihasilkan justru lebih rendah yaitu 11,57 mN/m dan 30,37 mN/m. Selanjutnya, diikuti fase logaritmik yang ditandai dengan lonjakan populasi hingga jam ke-48. Selama fase logaritmik, metabolisme sel paling aktif dengan jumlah konstan sampai nutrien yang mudah dicerna habis atau terjadinya penimbunan hasil metabolisme menyebabkan terhambatnya pertumbuhan. Biosurfaktan sudah mulai terbentuk yang ditandai oleh menurunnya nilai tegangan antarmuka dan tegangan permukaan. Pada jam ke48, nilai tegangan antarmuka turun menjadi 7,91 mN/m, untuk tegangan permukaan 30,24 mN/m. Pada fase stasioner yang terjadi dari jam ke-48 hingga jam ke-144, pada jam ke-144 memiliki pertumbuhan yang paling tinggi. Tegangan antarmuka dan tegangan permukaan yang dihasilkan pada fase ini menurun secara signifikan. (Terziyskiet al., 2014) menyatakan bahwa biosurfaktan memang suatu senyawa hasil dari metabolit sekunder yang diproduksi atau ekskresi secara di luar sel. Biosurfaktan sengaja disekresikan ke dalam medium untuk meningkatkan ketersediaan substrat yang hidrofobik. Dengan adanya biosurfaktan, substrat yang berupa cairan akan teremulsi menjadi misel, dan menyebarkannya ke permukaan sel bakteri dan substrat yang padat dipecah oleh biosurfaktan, sehingga lebih mudah masuk ke dalam sel. Nilai tegangan antarmuka yang dihasilkan pada fase ini sebesar 0,46 mN/m dan nilai tegangan permukaan
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2014, All rights reserved
Citation:Gozan, M., Fatimah, N.I., Nanda, C. & Haris, A.(2014)Produksi Biosurfaktan oleh Pseudomonas aeruginosa dengan Substrat Limbah Biodiesel Terozonasi untuk Peningkatan Perolehan Minyak Bumi. Warta IHP, 31(2),39-44
Halaman | 44
yang dihasilkan adalah 23,24 mN/m. Selanjutnya memasuki fase kematian, pada fase ini kecepatan kematian sel meningkat sedangkan kecepatan pembelahannya nol, sehingga jumlah kepadatan koloni menurun. Fase kematian terjadi mulai jam ke-144 hingga jam ke-288. Pada fase kematian, tegangan antarmuka dan tegangan permukaan tidak mengalami penurunan yang signifikan. Konsentrasi biosurfaktan yang disekresikan pada fase kematian sudah mencapai maksimal karena lebih banyak mikroba yang mati daripada sel hidup. Pada fase ini nilai tegangan permukaan terendah adalah 22,86 mN/m dengan total penurunan sebesar 25,22%. Untuk tegangan antarmuka 0,12 mN/m dengan penurunan sebesar 99,83%. Jenis biosurfaktan yang dihasilkan diuji menggunakan FTIR, hasil spektra dapat dilihat pada Gambar 5. Biosufaktan yang terbentuk diperkirakan terdiri dari gugus OH (3418,03 cm-1) pada bagian hidofilik dan ester (1653,6 cm-1) pada bagian hidrofobik.
Gambar 5. Spektra IR biosurfaktan yang dihasilkan
4. Kesimpulan Waktu optimum ozonasi limbah biodiesel adalah 30 menit. Proses ozonasi dapat menyederhanakan senyawa limbah biodiesel, tetapi proses ozonasi belum berpengaruh terhadap senyawa oleofin dan parafin rantai panjang hal ini karena kecenderungan ozon menyerang senyawa sikloalkana dan aromatik. Nilai tegangan permukaan (SFT) terendah adalah 22,86 mN/m dengan penurunan sebesar 27,71 % dan untuk tegangan antarmuka (IFT) terendah adalah 0,12 mN/m dengan penurunan sebesar 99,09 %. Ucapan terima kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Miftahul Jannah serta rekan-rekan peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS yang telah membantu dalam pengumpulan data dan diskusi yang memperkaya wawasan. Daftar Pustaka Bicca, F. C., Fleck, L. C., & Ayub, M. A. Z. (1999). Production of biosurfactant by hydrocarbon degrading Rhodococcus ruber
and Rhodococcus erythropolis. Revista de Microbiologia, 30(3), 231–236. doi:10.1590/S0001-37141999000300008 Bordoloi, N. K., & Konwar, B. K. (2008). Microbial surfactantenhanced mineral oil recovery under laboratory conditions. Colloids and Surfaces. B, Biointerfaces, 63(1), 73–82. doi:10.1016/j.colsurfb.2007.11.006 Carballa, M., Manterola, G., Larrea, L., Ternes, T., Omil, F., & Lema, J. M. (2007). Influence of ozone pre-treatment on sludge anaerobic digestion: removal of pharmaceutical and personal care products. Chemosphere, 67(7), 1444–52. doi:10.1016/j.chemosphere.2006.10.004 De Sousa, J. R., da Costa Correia, J. A., de Almeida, J. G. L., Rodrigues, S., Pessoa, O. D. L., Melo, V. M. M., & Gonçalves, L. R. B. (2011). Evaluation of a co-product of biodiesel production as carbon source in the production of biosurfactant by P. aeruginosa MSIC02. Process Biochemistry, 46(9), 1831–1839. doi:10.1016/j.procbio.2011.06.016 El-Sheshtawy, H. S., & Doheim, M. M. (2014). Selection of Pseudomonas aeruginosa for biosurfactant production and studies of its antimicrobial activity. Egyptian Journal of Petroleum, 23(1), 1–6. doi:10.1016/j.ejpe.2014.02.001 Erden, G., Demir, O., & Filibeli, A. (2010). Disintegration of biological sludge: Effect of ozone oxidation and ultrasonic treatment on aerobic digestibility. Bioresource Technology, 101(21), 8093–8. doi:10.1016/j.biortech.2010.06.019 Fessenden, R.J., & Fessenden, J.S., (1982). Kimia Organik Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga Gottschalk, G., &Libra, J., Saupe, A. (2000). Ozonation of Water and Waste Water. Germany: Wiley VCH. Henkel, M., ssMüllera, M.M., Küglera, J.H., Lovagliob, R.B., Contierob, J., Syldatka, C. dan Hausmannc, R. (2012) Rhamnolipids as biosurfactants from renewable resources: Concepts for next-generation rhamnolipid production, Process Biochemistry, 13: 2012 Ibrahim, M. L., Ijah, U. J. J., Manga, S. B., Bilbis, L. S., & Umar, S. (2013). Production and partial characterization of biosurfactant produced by crude oil degrading bacteria. International Biodeterioration & Biodegradation, 81, 28–34. doi:10.1016/j.ibiod.2012.11.012 Isalmi, A., Siti, N. & Fira, L. (2008). Pemurnian gliserol dari hasil samping pembuatan biodiesel menggunakan bahan baku minyak goreng bekas, pp. 155-160. Li, B., Somasundaran, P., & Patra, P. (2014). Role of selfassembled surfactant structure on the spreading of oil on flat solid surfaces. Advances in Colloid and Interface Science, 210, 72–7. doi:10.1016/j.cis.2014.04.004 Lotfabad, T. B., Abassi, H., Ahmadkhaniha, R., Roostaazad, R., Masoomi, F., Zahiri, H. S., & Noghabi, K. A. (2010). Structural characterization of a rhamnolipid-type biosurfactant produced by Pseudomonas aeruginosa MR01: Enhancement of di-rhamnolipid proportion using gamma irradiation. Colloids and Surfaces B: Biointerfaces, 81(2), 397–405. doi:10.1016/j.colsurfb.2010.06.026 Saharan, B., Sahu, R. & Sharma, D. (2011). A review on biosurfactants: fermentation, current developments and perspectives.Genetic Engineering and Biotechnology Journal, 1(29), 1-13 Sen, R. (2008.) Biotechnology in petroleum recovery: The microbial EOR,Progress in Energy and Combustion Science, 34, 714–724. Techaoei, S., Leelapornpisid, P. & Santiarwarn, D. (2007). Preliminary screening of biosurfactant producing microorganisms isolated from spring and garages in northern thailand, KMITL ScienceTechology Journal, 7, 38-43. Techaoei, S., Lumyong, Prathumpai, Santiarwarn, D., & Leelapornpisid, P. (2011). Screening characterization and stability of biosurfactant produced by Pseudomonas aeruginosa SCMU106 isolated from soil in northern thailand.Asian Journal of Biological Sciences,4(4),340-35 Terziyski, I., Alexandrova, L., Stoineva, I., Christova, N., Todorov, R., & Cohen, R. (2014). Foam and wetting films from rhamnolipids produced by Pseudomonas aeruginosa BN10. Colloids and Surfaces A: Physicochemical and Engineering Aspects, 460, 299–305. doi:10.1016/j.colsurfa.2013.12.075
© WIHP – ISSN: 0215-1243, 2014, All rights reserved