Edisi Oktober-Desember 2015
Penguatan Kelembagaan Ekonomi Lokal
KPPOD
Membangun Indonesia dari Daerah
Kebijakan Produk Unggulan Daerah Tiga T iga P Peristiwa eristiwa P Penting enting O Otonomi tonomi D Daerah aerah 22015 015
2
Editorial
Membangun Daerah Daftar Isi Artikel ....................................... 4 Review Regulasi ...................... 11 Dari Daerah............................. 15 Opini ........................................ 19 Laporan Kegiatan ................... 23 Seputar Otonomi .................... 25 Agenda KPPOD...................... 28
Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Robert Na Endi Jaweng Pemimpin Redaksi: M. Iqbal Damanik Redaktur Pelaksana: Boedi Rheza Staff Redaksi: Martoni Ariadirja Tities Eka Agustine M. Yudha Prawira Nur Azizah Febryanti H. Nurcahyadi Suparman Aisyah Nurrul Jannah Distribusi: Regina Retno Budiastuti Eka Sukmana Agus Salim Layout: Winantyo
Alamat Redaksi: Gd. Permata Kuningan Lt.10 Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur, Setiabudi Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53 Fax : +62 21 8378 0643 www.kppod.org http://perda.kppod.org http://pustaka.kppod.org
K
inerja perekonomian di suatu daerah pada masa otonomi ditentukan, antara lain, oleh daya dukung instrumen kebijakan dan tata kelola pemerintahan yang mempengaruhi pasar dan kegiatan usaha masyarakat. Pemda memiliki kewenangan luas dalam mempengaruhi kemajuan ekonomi. Intervensi pemerintah tersebut bisa memberikan dampak suportif dan distortif yang semua itu tercermin dalam kondisi perekonomian daerah. Tentu banyak pilihan yang bisa diupayakan pemda dalam membangun perekonomiannya. Salah satunya adalah ide pembangunan daerah berbasis potensi unggulan atau kekhasan daerah. Ide ini dalam perspektif ilmu ekonomi disebut dengan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL). PEL mengacu pada proses kepemerintahan lokal atau organisasi berbasis masyarakat yang berusaha menggerakkan dan memelihara aktivitas usaha. Tujuan utama PEL adalah merangsang ekonomi lokal pada sektor tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, gagasan PEL masih belum optimal diadopsi oleh pemda dalam mengembangkan ekonomi daerahnya. KPPODBrief edisi ini secara khusus membahas pengembangan ekonomi lokal berbasis produk unggulan. Pada rubrik artikel, teori besar PEL diterjemahkan pemda Kabupaten Gresik dan Kabupaten Sikka ke tataran implementasi di lapangan. Dalam kasus kedua daerah tersebut, PEL digunakan sebagai alat mengembangkan ekonomi melalui skema kemitraan dengan kelembagaan yang kuat. Selain skema kemitraan, PEL juga berintikan pengembangan Produk Unggulan Daerah (PUD). Pemerintah Pusat terus untuk mendorong PUD menjadi inti dari PEL, dengan terbitnya Permendagri No.9 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengembangan Produk Unggulan (PUD). Pada rubrik review regulasi Permendagri ini dibahas detail keunggulan serta kelemahannya. Meski masih terdapat kelemahan, Permendagri ini memberikan landasan hukum bagi Pemda untuk membangun ekonomi berbasis produk unggulan. Dengan adanya regulasi ini Pemda memiliki kompas dalam mengembangkan produk unggulan. Spirit otonomi daerah pun diterjemahkan dengan baik, disini dimana permendagri ini memberikan pedoman mengenai pentingnya peningkatan partisipasi, kemudahan berusaha, dan kualitas masyarakat lokal. Persoalan PEL dan Produk unggulan ternyata tak hanya melulu tentang daerah, jika dilihat pada sudut pandang internasioanal PEL menjadi penting dalam meningkatkan daya saing di era kerjasama internasioanal. Pada rubrik opini diangkat keterkaitan PEL dan PUD ini dalam konteks internasioanal. Dalam situasi ekonomi internasional yang terbuka dengan adanya MEA dan trade agreement lainnya pengembangan produk unggulan menjadi peluang daya saing indonesia di pasar internasional. Apabila sudah dapat bersaing pada taraf internasional, produk unggulan tentunya dapat dijadikan tools untuk dapat meningkatkan daya saing global dan menunjukkan bahwa Indonesia dapat bersaing dan mampu memperoleh keuntungan dalam kerjasama ekonomi internasional. Dengan semangat membenahi dan harapan perekonomian yang harus terus membaik, KPPODBrief ini kami hadirkan di hadapan sidang pembaca. Semoga kejayaan Indonesia terus tumbuh dengan semangat “Membangun Indonesia dari Daerah, dan Membangun Daerah Berbasis Potensi Unggulan Lokal”. (ID)
3
Artikel
Penguatan Kelembagaan Pengembangan Ekonomi Lokal
M
embangun dari daerah sudah selayaknya menjadi jalan utama meningkatkan perekonomian dan pembangunan nasional. Pembangunan daerah ditujukan agar daerah memiliki daya saing dan dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional. Agar daerah dapat berdaya saing, pembangunan daerah sudah seharusnya berbasis pada potensi daerah yang memiliki kekhasan daerah. Selain itu, perlu juga ada strategi dalam Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)
Blakely (1994) menyatakan bahwa PEL mengacu pada proses di mana pemerintah lokal atau organisasi berbasis masyarakat berusaha menggerakkan dan memelihara aktivitas bisnis dan/atau kesempatan kerja. Tujuan utama PEL adalah merangsang kesempatan kerja lokal pada sektor tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA). PEL berorientasi pada proses, yakni pengembangan institusi yang baru, industri alternatif, memperbaiki kapasitas tenaga kerja, identifikasi pasar baru, transfer pengetahuan (knowledge) dan memelihara perusahaan dan usaha yang baru. Dari definisi di atas, terdapat setidaknya dua poin penting dalam PEL, yaitu: tujuan yang utama PEL terkait penggunaan sumber daya (baik SDM maupun SDA) serta proses pelaksanaan PEL (khususnya dalam bentuk kemitraan yang melibatkan stakeholder). Kemitraan dalam PEL perlu diwujudkan agar pemanfaatan sumber daya, baik SDM maupun SDA menjadi optimal. Kemitraan menjadi penting dan mendasar dalam rangka memanfaatkan potensi sumberdaya suatu daerah, mengingat pemerintah sendiri memiliki keterbatasan (terutama dana) sehingga memerlukan kontribusi sektor swasta dan masyarakat dalam pembangunan. Sekaligus, kemitraan dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengurangi dominasi sektor tertentu dalam proses perencanaan kebijakan terpadu. Selain skema kemitraan, PEL juga berintikan pengembangan Produk Unggulan Daerah (PUD). Pemerintah sendiri berupaya agar PUD dapat menjadi sendi dari
4
Boedi Rheza Peneliti KPPOD
Azizah Febryanti Peneliti KPPOD
Artikel
PEL. Untuk mendorong PUD menjadi inti dari PEL, pemerintah melakukan beberapa upaya. Salah satu upaya pemerintah tersebut tercermin dari terbitnya Permendagri No. 9 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengembangan Produk Unggulan (PUD). Dalam Permendagri tersebut, terdapat beberapa kriteria tentang komoditas yang dapat ditetapkan sebagai produk unggulan yaitu: 1) Penyerapan tenaga kerja produk unggulan daerah diproduksi dengan memanfaatkan tenaga kerja terampil di daerah produksi sehingga memberi dampak pada penciptaan lapangan kerja dan pendapatan bagi masyarakat setempat. 2) Sumbangan terhadap perekonomian merupakan produk yang memiliki nilai ekonomis memberikan manfaat bagi konsumen, memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang, memberi efek berganda ekonomi dan sekaligus memberikan keuntungan ekonomi bagi seluruh stakeholder dan daerah yang memproduksi produk unggulan tersebut. 3) Sektor basis ekonomi daerah merupakan produk unggulan daerah yang masuk dalam kategori kelompok sektor basis dalam PDRB dan memberikan kontribusi terbesar bagi ekonomi daerah. 4) Dapat diperbaharui memberi makna bahwa produk unggulan daerah bukan barang tambang dan memanfaatkan bahan baku yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Barang tambang tidak dapat dimasukkan sebagai produk unggulan daerah meskipun saat itu memberi kontribusi ekonomi yang besar bagi daerah. 5) Unsur sosial budaya dalam menciptakan, memproduksi dan mengembangkan produk unggulan daerah adalah menggunakan talenta dan kelembagaan masyarakat yang dibangun dan dikembangkan atas dasar kearifan lokal yang bersumber pada ciri khas dan warisan budaya turun temurun serta kondisi sosial budaya setempat. 6) Ketersediaan pasar adalah kemampuan produk unggulan daerah untuk terserap pada pasar lokal, regional dan nasional serta berpotensi untuk memasuki pasar global. 7) Bahan baku terjamin ketersediaannya dengan perolehan harga yang kompetitif, terjamin kesinambungannya serta ramah lingkungan. Modal adalah ketersediaan dan kecukupan dana bagi kelancaran usaha untuk kebutuhan investasi dan modal kerja. 8) Sarana dan prasarana produksi adalah kemudahan bagi pengusaha PUD untuk memperoleh sarana dan prasarana produksi pada tingkat harga yang kompetitif dan mudah diperoleh. 9) Teknologi yang relevan, tepat guna dan terdapat
unsur yang tidak mudah ditiru. 10) Manajemen usaha merupakan kemampuan mengelola usaha secara profesional dengan memanfaatkan talenta dan kelembagaan masyarakat. 11) Harga merupakan kemampuan memberi nilai tambah dan mendatangkan laba usaha. Konsep lainnya yang diusung dalam pengembangan PUD adalah One Vilage One Product (OVOP) atau Satu Desa Satu Produk. Desain konsep ini mensyaratkan satu daerah/desa harus memiliki satu produk unggulan yang memiliki keunikan/ciri khas, memiliki nilai tambah serta potensial untuk dapat dikembangkan. Tentunya sumber daya untuk memproduksi produk tersebut harus berasal dari desa itu sendiri. Konsep OVOP diharapkan mampu meningkatkan kinerja, ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah khususnya masyarakat pedesaan. Konsep OVOP ini pertama kali diperkenalkan di prefecture oita pada tahun 1979, dan saat ini sudah banyak direplikasi di banyak Negara dan terbukti meningkatkan perekonomian masyarakat di perdesaan dan mengurangi kemiskinan. Di Indonesia, konsep OVOP sudah dicetuskan oleh Pemerintah Indonesia melalui terbitnya Permenperin No. 78 tahun 2007. Di Indonesia, Prinsip OVOP menekankan pada dimensi dalam penguasaan sumber daya ekonomi, proses produksi dan konsumsi. Konsep ini berusaha menghadirkan komunitas mandiri yang mampu menciptakan produk unggulan tanpa bantuan pembiayaan dari pemerintah. Produk yang dipilih untuk dikembangkan melalui konsep OVOP harus memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini: 1) Produk unggulan yang dikembangkan adalah produk unggulan daerah atau produk kompetensi inti daerah; 2) Memiliki keunikan khas budaya dan keaslian lokal; 3) Bermutu dan berpenampilan baik; 4) Berpotensi pasar domestik dan internasional; 5) Diproduksi secara kontinyu dan konsisten. Dengan Satu Desa Satu Produk, diharapkan akan muncul beragam produk unggulan dari setiap desa berdasarkan karakteristik khasnya. Munculnya beragam produk tidak hanya akan membuat desa menjadi mandiri namun juga akan membuat daerah memiliki beragam produk yang dapat diandalkan untuk menjadi penyokong perekonomian. Berangkat dari paparan di atas mengenai Pengembangan Ekonomi Lokal berbasis produk
5
Artikel
unggulan, tulisan ini mengangkat dua contoh PEL yaitu melalui pengembangan produk unggulan daerah di Kab. Gresik dan penguatan kemitraan antar stakeholder didalam satu kelembagaan di Kab. Sikka.
Pengembangan Ekonomi Lokal berbasis Produk Unggulan Daerah Kabupaten Gresik sejauh ini hanya dikenal sebagai kota industri. Oleh karena itu dalam rangka mengikuti arah pengembangan ekonomi di era desentralisasi, pemerintah Kab. Gresik sejak tahun 2010 berupaya mengembangkan potensi lokal yang ada sebagai salah satu strategi Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL). Kab. Gresik secara jelas dan tegas mendorong PEL sebagai salah satu misi di dalam RPJMD 2010-2015, yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat secara merata melalui PEL. Keberadaan PEL diharapkan mampu meningkatkan kemandirian daerah dan partisipasi masyarakat dalam mengembangkan produk lokal. Dalam rangka mewujudkan PEL, Pemkab Gresik telah menyusun setidaknya empat strategi pembangunan daerah di antaranya: (1) Meningkatkan pembangunan kualitas dan kuantitas infrastrukur dalam rangka menunjang pertumbuhan perekonomian, (2) Meningkatkan kerjasama dan daya saing pembangunan berbagai sektor yang berbasis pembangunan berkelanjutan, (3) Memantapkan kualitas pengelolaan pertanian, perikanan, dan kelautan, serta (4) Menyusun program inovasi daerah guna mengoptimalkan potensi wisata dan produk unggulan kabupaten yang berorientasi pada keunggulan lokal. Program-program dan kegiatan yang dilakukan oleh Pemkab Gresik juga bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang nantinya berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Program ini dituangkan di dalam program kerja masing-masing SKPD, terutama program yang tertuang di Dinas Koperasi, Perindustrian, Perdagangan dan UKM sebagai leading sector program PEL. Salah satu potensi unggulan Kab. Gresik adalah industri kreatif dalam hal pengolahan makanan (Kuliner). Industri ini memiliki peran sangat penting dalam struktur PDRB Kab. Gresik. Saat ini, terdapat 5.479 unit industri kreatif di sektor kuliner, dengan nilai investasi sebesar Rp 18.437.003.000,- dan menyerap tenaga kerja sebanyak 47.416 orang. Secara umum pengembangan industri kreatif di Kab. Gresik selama ini dilakukan dengan berbagai strategi, diantaranya: (1) Melaksanakan pembinaan, pengawasan kepada koperasi; (2) Meningkatkan fungsi koordinasi; (3)
6
Meningkatkan dukungan sarana dan prasarana; dan (4) Mengembangkan SDM aparatur. Pengembangan industri kreatif berbasis kuliner ini telah menghasilkan beberapa produk makanan/jajanan khas Gresik seperti otak–otak Bandeng, Pudas, Ayas dan lainnya. Hal ini merupakan output dari rantai nilai proses pembentukan nilai industri kreatif. Rantai Nilai dalam industri kreatif merupakan proses penciptaan nilai yang umumnya terjadi di industri kreatif. Rantai nilai industri kreatif adalah suatu proses penting dalam pelaksanaan PEL berbasis industri kreatif karena proses dalam rantai nilai tersebut merupakan proses awal hingga akhir dalam pembentukan output berupa produk makanan/jajanan khas Gresik. Rantai nilai dalam pengembangan industri kreatif terdiri dari, kreasi/ originalitas, produksi, distribusi, dan komersialisasi (Kementrian Perdagangan, 2009). Melalui rantai nilai tersebut, dapat dipetakan permasalahan-permasalahan pengembangan produk unggulan daerah yang nantinya dapat dipecahkan melalui kebijakan Pemerintah. Gambar 1. Rantai Nilai Industri Kreatif di Kab. Gresik Kreasi/ Originalitas: Ide berasal dari masyarakat
Produksi: Teknologi, Permodalan
Output: Industri Kreatif Kuliner
Distribusi: Proses distribusi konvensional
Komersialisasi: Kesempatan akses pemasaran kpd produsen
1. Kreasi atau Originalitas Aspek kreasi atau originalitas yang diartikan sebagai penciptaan daya kreasi merupakan faktor suplai/input dalam industri kreatif dengan melibatkan segala hal yang berhubungan dengan cara-cara mendapatkan input, menyimpannya dan mengolahnya. Sehingga daya kreatifitas, keterampilan dan bakat, orisinalitas ide suplai/input yang paling penting. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya kreasi adalah, edukasi, inovasi, ekspresi, kepercayaan diri, pengalaman dan proyek, proteksi dan agen talenta. Mengacu pada
Artikel
definisi tersebut dapat dipahami dan dianalisis bahwa sejauh ini aspek kreasi atau originalitas dalam pembuatan makanan/jajanan khas Gresik muncul atas dasar ide kreatif masyarakat, contohnya sebagian masyarakat di Kelurahan Kroman. Masyarakat Kelurahan Kroman mampu melihat potensi daerah yang dapat dikembangkan sebagai produk lokal dan dapat menghasilkan pendapatan. Selain itu, Masyarakat Kroman juga mampu melihat peluang pasar dari produk lokal seperti otak-otak bandeng dan pudak, ayas serta jubung. Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa makanan/jajanan khas Gresik tersebut merupakan produk hasil kreasi atau original masyarakat Kab. Gresik khususnya Kelurahan Kroman. Namun hingga saat ini jika dikaitkan dengan penjelasan dari Kemendag tentang faktor-faktor yang mempengaruhi aspek kreasi atau originalitas dalam industri kreatif diantaranya yaitu proses edukasi, inovasi, ekspresi, kepercayaan diri, pengalaman dan proyek, proteksi dan agen talenta, dapat difahami bahwa sejauh ini yang memberikan pengaruh terhadap pembentukan nilai kreasi dan originalitas adalah proses inovasi dan pengalaman proyek. Meski demikian, masih terdapat beberapa nilai yang belum mampu diterapkan secara optimal oleh pelaku usaha dan Pemkab Gresik dalam mengembangkan dan menerapkan PEL pada sektor kuliner di Kelurahan Kroman, diantaranya yaitu edukasi dan protecting. Hal ini membuktikan: bahwa selama ini faktor yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan makanan/jajanan khas Gresik adalah proses inovasi dan pengalaman proyek. Sejauh ini edukasi tambahan bagi para pelaku usaha atau para pegawai hanya datang dari pemerintah dalam bentuk pelatihan, namun dalam memberikan pelatihan pemerintah tidak seimbang antara pelaku usaha yang masih kecil dengan yang sudah berkembang, seperti masyarakat yang memiliki usaha pudak, ayas, dan jubung, kurang mendapatkan perhatian sehingga produk pudak, ayas, dan jubung kurang mampu berkembang secara optimal jika dibandingkan dengan produk otak-otak bandeng. Keberadaan pelatihan atau edukasi dari pemerintah menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan kapasitas para pelaku usaha dan pegawai agar mampu menumbuhkan nilai-nilai kreasi dalam menciptakan sebuah produk untuk mendukung proses inovasi yang sudah dilakukan secara optimal. Kemudian untuk proteksi terhadap produk sejauh ini juga perlu mendapatkan perhatian dikarenakan belum diterapkan secara optimal, contohnya dalam hal merek. Sehingga perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kabupaten Gresik untuk memberikan pemahaman
dan menyadarkan para pelaku usaha untuk melakukan upaya proteksi terhadap produk yang diciptakan.
2. Produksi Proses pembuatan makanan/jajanan khas Gresik para pelaku usaha sebagian besar masih menggunakan peralatan atau teknologi yang bersifat tradisional, walaupun ada juga yang sudah mengikuti perkembangan zaman untuk proses pembuatan makanan/jajanan khas Gresik. Dalam proses produksi hingga output dan pemasaran makanan/jajanan khas Gresik berupa pudak, ayas, dan jubung serta otak-otak bandeng di Kelurahan Kroman sejauh ini memanfaatkan jaringan kekeluargaan dan dibantu oleh warga sekitar. Langkah ini terjadi dikarenakan proses produksi makanan/jajanan khas Gresik bersifat turun temurun dan biasa dilakukan oleh seluruh keluarga besar dalam rangka mengenalkan produk yang telah dihasilkan kepada konsumen. Perhatian pemerintah terhadap pengelola industri makanan/jajanan pudak, ayas, dan jubung belum optimal khususnya untuk menyadarkan masyarakat terhadap pentingnya keseimbangan untuk penggunaan teknologi tradisional dan modern dalam rangka meningkatkan hasil produksi. Penggunaan teknologi dalam aspek produksi makanan/jajanan khas Gresik di Kelurahan Kroman tidak akan mampu digunakan secara optimal jika tidak terdapat jaringan untuk menjalankan teknologi hingga memasarkan produk yang dihasilkan, karena pemerintah memiliki keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga perlu adanya kerjasama antar stakeholder. Skema pembiayaan dalam pengembangan usaha jajanan khas Gresik sebagian besar berasal dari modal sendiri atau kekeluargaan dan hanya beberapa pelaku usaha yang memanfaatkan pinjaman modal dari Bank maupun CSR dari pihak swasta. Hal ini terjadi dikarenakan para pelaku usaha sudah merasa puas dengan modal yang ada dan tidak memahami proses peminjaman modal usaha sehingga tidak mau memanfaatkan skema pembiayaan untuk pengembangan usaha yang berasal dari pemerintah berupa KUR, UMKM, perusahaan maupun perbankkan berupa dana dari program Corporate Social Responsibility (CSR) serta kredit lunak.
3. Distribusi Distribusi hasil produk industri kreatif didefinisikan sebagai segala kegiatan dalam penyimpanan dan pendistribusian produk (Kementerian Perdagangan, 2009). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa para pengelola industri makanan/jajanan khas Gresik sejauh ini telah melakukan proses distribusi
7
Artikel
barang dengan menggunakan cara konvensional hingga modern. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memanjakan konsumen dan mengenalkan hasil produk makanan/jajanan khas Gresik kepada masyarakat luas. Adanya permasalahan dalam proses distribusi produk makanan/jajanan khas Gresik perlu menjadi perhatian baik dari pemerintah maupun pengelola industri itu sendiri untuk selalu membuka diri dan mengakses informasi kepada sesama pengelola industri dalam rangka mencari solusi-solusi yang tepat untuk meminimalisir permasalahan dalam proses distribusi serta agar produk makanan/jajanan khas Gresik tidak dimonopoli oleh salah satu rumah produksi saja sehingga terjadi persaingan yang sehat pada industri kreatif di Kabupaten Gresik.
4. Komersialisasi Rantai nilai dalam membentuk industri kreatif juga dipengaruhi oleh aspek komersialisasi. Komersialisasi menurut Kemendag (2009) diartikan segala aktifitas yang berfungsi memberi pengetahuan kepada pembeli tentang produk dan layanan yang disediakan, dan juga mempengaruhi konsumen untuk membelinya. Proses komersialisasi yang terjadi di Kelurahan Kroman sejauh ini sudah dilakukan, namun belum optimal dan masih banyak yang menggunakan cara-cara tradisional sehingga sulit untuk berkembang secara pesat dan mengenalkan produk jajanan khas Gresik kepada masyarakat luas sebagai salah satu industri kreatif yang dikembangankan melalui PEL di Kab. Gresik. Selain itu juga adanya ketimpangan perhatian dan pemerataan dari Pemkab Gresik dalam hal komersialisasi makanan/jajanan khas Gresik. Sejauh ini pemerintah cenderung memfasilitasi dan memberikan pelatihan bagi pengelola industri yang sudah berkembang besar dibandingkan pelaku usaha yang masih sedang berkembang. Oleh karena itu dalam rangka mencapai tujuan PEL berbasis industri kreatif di Kab. Gresik maka Pemkab Gresik perlu memberikan kesempatan yang sama bagi para pengelola industri makanan/jajanan khas Gresik dalam mengikuti kegiatankegiatan yang bertujuan untuk komersialisasi produk. Sejauh ini penerapan PEL berbasis industri kreatif sektor kuliner yaitu makanan/jajanan khas Gresik di Kelurahan Kroman, Kab. Gresik telah menjalankan empat rantai nilai yang terdiri dari kreasi, produksi, distribusi dan komersialisasi. Namun demikian, tetap perlu dicatat bahwa penerapannya belum optimal. Blakely dalam Supriyadi (2007, h.103-123) menjelaskan bahwa keberhasilan pengembangan ekonomi lokal dapat dilihat dari beberapa indikator, yaitu: a) Perluasan kesempatan bagi masyarakat kecil dalam kesempatan kerja dan usaha
8
b) Perluasan bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan c) Keberdayaan lembaga usaha mikro dan kecil dalam proses produksi dan pemasaran d) Keberdayaan kelembagaan jaringan kerja kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat lokal. Dilihat dari beberapa indikator tersebut, jika dilihat dari aspek keberdayaan lembaga usaha mikro dan kecil dalam proses produksi dan pemasaran serta keberdayaan kelembagaan jaringan kerja kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat lokal sejauh ini sudah terjadi sejak sebelum diterapkannnya PEL di Kab. Gresik. Namun demikian, peran terbesar dalam kemitraan PEL masih dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, hanya sebagian kecil saja pelaku usaha yang telah mampu menjalin kemitraan dengan sektor swasta. Gambar 2. Kemitraan dalam pengembangan Produk Unggulan Daerah di Kab. Gresik
Pemerintah Kabupaten Gresik Produk Unggulan Daerah
Pihak Swasta (Pelaku Pemasaran, Permodalan, CSR)
Masyarakat Pelaku Usaha Industri Kreatif Dalam rangka meningkatkan keberhasilan dalam pengembangan ekonomi lokal (PEL) berbasis industri kreatif di sektor kuliner makanan/jajanan khas Gresik, maka diperlukan beberapa tindakan untuk lebih mendorong pengembangan Produk Unggulan Daerah (PUD) yang berdampak pada peningkatanan pendapatan masyarakat, diantaranya yaitu: a) Optimalisasi peran Pemkab Gresik untuk memfasilitasi penerapan PEL di Kab. Gresik. Optimalisasi peran pemerintah dapat dilakukan dengan memberikan perhatian berupa informasi secara konseptual maupun praktis tentang permodalan dan pelatihan kepada pelaku usaha yang
Artikel
masih berskala kecil sehingga dapat meminimalisir terjadinya monopoli oleh satu pihak saja. b) Diperlukan adanya lembaga yang terlatih untuk mengelola SDM yang sudah maju, dan memerlukan lingkungan yang kondusif karena Pengembangan ekonomi lokal erat kaitannya dengan pemberdayaan sumberdaya manusianya, lembaganya dan lingkungan sekitarnya. Lembaga tersebut diantaranya dengan membuat paguyuban pengusaha makanan/jajanan khas Gresik dan Koperasi dimana dengan adanya lembaga ini bisa memfasilitasi aspirasi masyarakat dan sebagai wadah pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat sehingga tercipta keadilan dalam pengembangan industri masyarakat. Selain pengembangan Produk Unggulan Daerah, seperti yang dilakukan oleh Pemkab. Gresik, PEL juga dapat dilakukan melalui strategi penguatan kelembagaan berbasis kemitraan. Strategi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengefisiensikan alokasi Sumber daya maupun pembagian peran aktor yang terlibat dalam PEL. Contoh berikut ini menggambarkan bagaimana proses penguatan kelembagaan berbasis kemitraan antar aktor untuk PEL.
Penguatan Kelembagaan Berbasis Kemitraan untuk Pengembangan Ekonomi Lokal Sikka, NTT merupakan daerah sentra produksi kakao di Pulau Flores. Hingga tahun 2003, rata-rata produksi kakao di Sikka mencapai 14.333,2 ton/tahun dengan nilai nominal sebesar Rp.372.663.200.000,-. Namun mulai tahun 2004 produksi kakao terus menurun hingga 54% atau hanya sebesar 7.739,93 ton. Pada tahun 2012 dari total luas lahan sebesar 22.257 Ha, total produksi hanya sebesar 7.151 ton. Meski sumbangan terhadap produksi kakao di NTT adalah yang terbesar dibandingkan daerah lainnya, namun rata-rata produktivitas tanaman kakao di Sikka hanya sebesar 321 kg/ha/tahun jauh dibawah rata-rata nasional yang mencapai 900 kg/ha/tahun. Meski demikian, dari sisi luas lahan dan produksi kakao, Kabupaten Sikka masih tercatat sebagai sumber pasokan utama produksi kakao di Propinsi NTT. Dari total produksi kakao NTT sebesar 12.978 ton (2012), Kabupaten Sikka menyumbang sekitar 55%. Sementara dari total luas lahan perkebunan kakao di NTT yang memiliki luas areal 46.245 ha, 48,1% diantaranya berada dalam wilayah Kab. Sikka. Meski sumbangan terhadap produksi kakao di NTT adalah yang terbesar dibandingkan daerah lainnya, namun rata-rata produktivitas tanaman kakao di Sikka hanya sebesar 321 kg/ha/tahun jauh dibawah rata-rata nasional yang mencapai 900 kg/ha/tahun. Penurunan produksi kakao
tersebut setara dengan kehilangan PDRB Rp.201,2 Milyar per tahun. Kehilangan PDRB sebesar itu mengakibatkan penurunan aktivitas multiplier effect roda perekonomian di Sikka berupa penurunan konsumsi barang dan jasa, produksi menurun, serapan tenaga kerja dan bahan baku menurun, serta distribusi pendapatan masyarakat di sentra kakao terpuruk. Pengaruh penurunan produktivitas kakao di Sikka sangat besar karena kontribusi komoditi ini terhadap PDRB Sikka mencapai 8,46% (bersama dengan komoditi perkebunan lainnya). Identifikasi awal beberapa penyebab terjadinya penurunan produktivitas tanaman kakao antara lain adalah faktor umur kakao sudah tua, sebagian besar sudah lebih dari 30-45 tahun. Selain itu terjadi ledakan organisme pengganggu tanaman (OPT dan pola tanam yang tidak mengikuti cara bercocok tanam yang baik (Good Agricultural Practicess-GAP). Pemda selama ini mencanangkan bisnis pertanian kakao sebagai salah satu motor penggerak ekonomi daerah. Namun demikian, sejauh ini masih belum nampak program konkrit yang signifikan dalam pengembangan pertanian kakao. Koordinasi antar instansi terkait dalam pengembangan kakao juga dirasakan belum optimal sehingga pelaksanaan program yang minim tersebut juga kurang berjalan efektif dalam implementasinya. Usaha kakao dibiarkan tumbuh sendiri tanpa dukungan yang signifikan dari pemda. Akibatnya perkembangan usaha kakao kurang optimal dan cenderung terus mengalami penurunan. Untuk itu harus ada kebijakan dan program kegiatan yang konkrit untuk mendorong pertumbuhan usaha kakao di Sikka. Permasalahan Koordinasi ini kemudian coba dipecahkan melalui pendirian sebuah lembaga koordinasi yaitu Dewan Kerjasama Ekonomi Daerah (DKED). DKED merupakan suatu lembaga yang dibentuk Pemda Kab. Sikka (SK Bupati Kabupaten Sikka, No.245/HK/2012 tentang Pembentukan Dewan Kerjasama Ekonomi Daerah (DKED) Kab. Sikka) serta DKED adalah lembaga yang mengkoordinasikan berbagai lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah terutama yang berada di Kab. Sikka, untuk mempercepat pembangunan di bidang-bidang ekonomi, sosial budaya, kesehatan dan pendidikan. Struktur organisasi dalam DKED dapat di lihat pada gambar 3 dibawah. DKED mempunyai lingkup tugas yang sangat luas. Selain pengembangan kakao dalam bidang ekonomi, DKED juga mempunyai mandat untuk komoditi dan usaha lainnya, seperti kain ikat tenun, mente, kesehatan, kebudayaan dan sebagainya. Namun, untuk saat ini, fokus dalam DKED untuk melaksanakan mandat itu
9
Artikel
Gambar 3. Struktur Organisasi dalam DKED PELINDUNG BUPATI SIKKA KOORDINATOR UMUM BAPPEDA
KOORD. BIDANG-1 EKONOMI
Perdagangan Koperasi Sektor Kelapa Sektor Kakao
KOORD. BIDANG-2 SOSIAL BUDAYA
KOORD. BIDANG-3 KESEHATAN
Penyandang Cacat
KOORD. BIDANG-4 PENDIDIKAN
?
DKED dapat bekerjasama dengan berbagai lembaga setempat maupun dari luar daerah/internasional lain yang dianggap relevan. Dalam fokus pengembangan di sektor ekonomi, struktur organisasi dalam DKED terdiri bidang organisasi dan pemberdayaan, bidang pertanian dan perkebunan, bidang pemasaran, bidang perikanan, serta bidang peternakan. Lebih jelas struktur organisasi dalam sektor ekonomi dapat di lihat pada gambar 4. DKED tidak hanya beranggotakan SKPD terkait, namun juga melibatkan stakeholder lain di luar Pemda seperti LSM, Petani/Kelompok Tani, Pelaku usaha swasta seperti Pabrikan dan bahkan gereja. Pola Kelembagaan DKED seperti ini sudah menerapkan konsep-konsep kemitraan dalam PEL. Partisipasi aktif para stakeholder juga akan terjamin dan seluruh permasalahan maupun strategi PEL
?
dapat dibicarakan, termasuk alokasi sumber daya.
Catatan Akhir PEL tidak dapat dipungkiri menjadi arah pembangunan daerah saat ini. PEL seharusnya berintikan potensi unggulan daerah yang memiliki karakteristik khas dan unik, termasuk di dalamnya kearifan lokal. Dua contoh pengembangan ekonomi lokal di Gresik dan Sikka dengan mengedepankan kemitraan dan penguatan kelembagaan dapat dilakukan di banyak daerah lain di Indonesia. Dengan begitu, diharapkan PEL dapat terjadi dan setiap daerah memiliki daya saing maupun kemandirian ke depannya.
Gambar 4. Struktur Organisasi dalam Sektor Ekonomi PENASEHAT BUPATI SIKKA KOORDINATOR A S I S T E N - II BENDAHARA
SEKRETARIS
BAPPEDA
BAPPEDA KOORD. BIDANG-1 EKONOMI
10
Bidang Organisasi dan Pemberdayaan
Bidang Pertanian dan Perkebunan
Bidang Pemasaran
Bidang Perikanan
Bidang Peternakan
Ketua: Dinas Koperasi dan UKM
Ketua: Dinas Pertanian dan Perkebunan
Ketua: Perindag Wakil Ketua: Swisscontact
Ketua: Dinas Perikanan
Ketua: Dinas Peternakan
Review Regulasi
Kebijakan Pusat Perihal Produk Unggulan Daerah: Analisis Isi Permendagri No. 9 Tahun 2014
I
mplementasi desentralisasi/otonomi di negeri ini sudah memasuki dekade kedua. Namun, secara umum, pembangunan ekonomi belum mampu memperbaiki kualitas hidup dan mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat daerah. Fakta miris ini terjadi, antara lain, lantaran pola pengembangan ekonomi (lokal) sejauh ini belum memperhatikan potensi potensi ekonomi khas daerah. Di era otonomi, daerah justru kehilangan fokus, belum sungguh menjadikan potensi lokal dan produk unggulan mereka sebagai basis membangun ekonomi setempat.
Bertolak dari masalah demikian, Pemerintah menerbitkan kebijakan sebagai wujud dukungan bagi pembangunan daerah berbasis potensi lokal yang ada. Instrumen kebijakan dimaksud adalah Permendagri No. 9 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengembangan Ekonomi Daerah. Permendagri ini memberikan arah dan panduan pengembangan ekonomi daerah melalui pengembangan produk unggulan daerah (PUD). Harapannya, pengembangan ekonomi daerah dapat berhasil dan berdaya guna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Ringkasan Isi
H.N. Suparman Peneliti KPPOD
Secara yuridis, regulasi ini dibuat dengan mengacu kepada beberapa peraturan perundang-undangan: UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan, PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, Permendagri No. 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, serta beberapa peraturan lainnya. Sebagaimana termaktub dalam konsideran, tujuan regulasi ini bertolak dari sejumlah urgensi berikut: “(1) Potensi ekonomi daerah perlu dikembangkan secara optimal menjadi produk unggulan daerah yang berdaya saing dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah; dan (2) “Untuk
M. Yudha Prawira Peneliti KPPOD
11
Review Regulasi
menjamin tercapainya sasaran pengembangan produk unggulan daerah perlu didukung peningkatan kapasitas kelembagaan daerah yang mandiri dan tangguh serta menuangkan pengembangan produk unggulan daerah dalam dokumen perencanaan daerah.” Perihal definisi, produk unggulan daerah dalam regulasi ini dimaknai sebagai “produk, baik berupa barang maupun jasa, yang dihasilkan oleh koperasi, usaha skala kecil dan menengah yang potensial untuk dikembangkan dengan memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki oleh daerah baik sumber daya alam, sumber daya manusia dan budaya lokal, serta mendatangkan pendapatan bagi masyarakat maupun pemerintah yang diharapkan menjadi kekuatan ekonomi bagi daerah dan masyarakat setempat sebagai produk yang potensial memiliki daya saing, daya jual, dan daya dorong menuju dan mampu memasuki pasar global.” Dengan demikian melalui peraturan menteri tersebut istilah potensi unggulan daerah yang secara eksplisit dijelaskan pada UU No. 32 Tahun 2004 diperjelas pengertian nomenklaturnya menjadi Produk Unggulan Daerah (PUD) sebagaimana pengertian di atas. Sebagaimana keterkaitannya dengan UU No. 32 Tahun 2004 maka yang berwenang dalam penetapan PUD adalah Gubernur (Pemprov) dan Bupati/Walikota (Pemkab/Pemkot). Kewenangan ini ditegaskan di dalam Permendagri di dalam beberapa pasal bahwa dalam tahapan perencanaan, tahapan pelaksanaan dan pengendalian serta evaluasi merupakan kewenangan Gubernur dan Bupati/Walikota. Dibutuhkan kerja sama yang baik antara kedua Pemda ini agar dapat mengembangkan PUD yang dimaksud. Kewenangan Pemda pada tiap fase pengembangan PUD dapat dilihat lewat visualisasi berikut ini.
sudah terbagi secara proporsional dan sesuai dengan kewenangannya masing-masing dalam rangka pengembangan PUD di daerah.
Analisis isi Kebijakan A. Aspek Acuan Yuridis Secara legal yuridis, Permendagri ini memang tidak berdasar perintah delegatif dari peraturan perundangundangan lebih tinggi untuk membuat peraturan menteri tentang pengembangan produk unggulan daerah. Namun, Permendagri ini dibuat atas inisiatif Mendagri, merujuk semangat yang dibangun penyusun UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 dijelaskan: “Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.” Kemudian dalam pasal 14 ayat (2) diatur: “Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.”
Bahkan, meskipun UU No. 32 Tahun 2004 sudah dicabut dan berlaku UU No. 23 Tahun 2014, semangat terkait pengembangan Produk/potensi Unggulan Daerah ini tidak surut. Di dalam penjelasan UU baru ditegaskan: “Untuk menciptakan sinergi dalam pengembangan potensi unggulan antara organisasi Perangkat Daerah dengan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian di pusat, diperlukan adanya pemetaan dari kementerian/ lembaga pemerintah nonkementerian di pusat untuk Berdasarkan gambar ini dapat dilihat bahwa terdapat mengetahui Daerah-Daerah yang mempunyai potensi pembagian kewenangan yang melibatkan Gubernur unggulan atau prioritas sesuai dengan bidang tugas dan Bupati/Walikota dan Mendagri. Dengan demikian, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dapat dilihat bahwa pembagian kewenangan ini yang kewenangannya didesentralisasikan ke Daerah.” Menimbang klausul dua UU tersebut maka Permendagri No. 9 Tahun Gambar 1. Tahapan Kewenangan Pengembangan Produk Unggulan Daerah 2014 patut diapresiasi sebagai pedoman dalam mengembangkan produk unggulan daerah di era ekonomi global. B. Aspek Substansi Secara substansial, regulasi ini patut diapresiasi. Pertama, regulasi ini menunjukkan ikhtiar pemerintah (pusat) untuk mengembangkan ekonomi daerah melalui produk
12
Review Regulasi
unggulan khas daerah. Optimalisasi produk unggulan ini akan menjadi basis pembangunan ekonomi daerah. Ini searah dengan logika pasar yang menekankan “brand” untuk meningkatkan daya tawar produk. Tentu produk unggulan diharapkan menjadi brand yang bisa menderek-naik pendapatan daerah. Kedua, regulasi ini menjadi kompas bagi daerah dalam mengembangkan produk unggulan. Pasal demi pasal dalam regulasi ini membantu pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan terkait produk unggulan yang sesuai dengan kekhasan daerah. Ketiga, dalam konteks otonomi daerah, regulasi ini memperjelas dan memperkuat fondasi kemandirian pemda dalam menentukan arah pembangunan ekonominya sendiri. Kemandirian ini memberikan ruang yang luas bagi Pemda untuk mengelola potensi ekonomi daerah. Sentralisasi kebijakan Orde Baru memberikan pelajaran yang berharga, khususnya dalam pengelolaan potensi ekonomi daerah. Peran daerah diabaikan. Berbagai kebijakan yang disusun lebih bermuatan kepentingan pusat dan justru berdampak negatif bagi iklim ekonomi di daerah. Persoalannya, regulasi ini hanya sebatas ramburambu bagi Pemda dalam mengembangkan PUD. Regulasi ini belum memberikan pedoman bagaimana Pemda meningkatkan kapasitas kelembagaan dan kebijakannya. Padahal titik utama kebermasalahan pengembangan produk unggulan di daerah terletak pada kapasitas kelembagaan dan kebijakan. Penelitian KPPOD di Kabupaten Ende dan Kabupaten Sikka, NTT, menunjukkan bahwa pengembangan produk unggulan tersendat-sendat karena tidak didukung kapasitas kelembagaan dan kebijakan daerah yang berkualitas. Selain itu, perlu dicatat, di dalam Permendagri No. 9 Tahun 2014 ini terdapat kewenangan Pemprov dan Pemkot/Pemkab pada tahapan pengembangan PUD. Kewenangan kedua pemda tersebut memiliki peluang kebermasalahan yang cukup krusial. Kasus pengembangan PUD Kakao di Donggala misalnya, Donggala diberikan Pemprov Sulawesi Tengah kewenangan terkait tugas pembantuan atas program kakao berkelanjutan tetapi tidak termasuk dalam hal pendanaan programnya. Hal ini menimbulkan tidak maksimalnya pelaksanaan program karena Pemkab Donggala sangat tergantung dengan pendanaan dari Pemprov Sulteng terkait program. Maka dari itu, seharusnya Pemprov Sulteng dan Pemkab Donggala seharusnya memiliki kerjasama dan koordinasi yang
baik dalam pengembangan PUD. Jika Pemprov atau Pemkab tidak memiliki koordinasi yang baik maka pengembangan PUD tidak akan berhasil di daerah. Permasalahan lain adalah penyebutan usaha kecil dan menengah masyarakat daerah. Pada ketentuan pasal 11 huruf c disebutkan bahwa “Peningkatan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e dilaksanakan melalui: penyusunan regulasi dan pemberian insentif untuk mendorong perkembangan usaha kecil dan menengah serta usaha PUD yang dikembangkan masyarakat lokal.” Ketentuan tersebut hanya menyebutkan usaha kecil dan menengah dan tidak menyebutkan usaha mikro. Padahal di beberapa daerah terdapat usaha-usaha mikro yang termasuk ke dalam PUD di daerah. Dengan demikian, dengan tidak adanya penyebutan usaha mikro tentu akan menghambat partisipasi masyarakat yang memiliki usaha mikro di daerah. C. Aspek Sosial Regulasi merupakan salah satu peranti yang mengarahkan proses pembangunan kepada perubahan sosial yang ingin dicapai yaitu, peningkatan taraf hidup masyarakat. Namun, tercapainya tujuan pembangunan, tidak hanya tergantung pada “patuh atau tidaknya” Pemda pada regulasi, tetapi turut ditentukan faktor sosial budaya masyarakat. Pembangunan sebagai sebuah perubahan sosial yang terencana mesti merangkum aspek tersembunyi yang ada pada diri masyarakat seperti persepsi, gaya hidup, motivasi dan budaya. Aspek-aspek ini sangat mempengaruhi pemahaman masyarakat dalam menanggapi kebijakan pembangunan. Dalam konteks pemahaman demikian, Permendagri No. 9 Tahun 2014 ini cukup memperhatikan aspek sosial ini. Mulai dari pengertian produk unggulan daerah, regulasi ini sudah merangkul kontekstualitas setiap daerah. Artinya, regulasi ini memberikan kebebasan kepada Pemda untuk menentukan sendiri PUD yang sesuai dengan konteks daerah, bukan secara top down ditentukan oleh pemerintah pusat. Selain itu, pengembangan produk unggulan tidak dimonopoli oleh Pemda melainkan melibatkan masyarakat (Pasal 5 ayat [2]). Pelibatan masyarakat penting mengingat ciri khas/aspek sosial-budaya suatu masyarakat dapat memberikan dampak tersendiri terhadap pembangunan ekonomi. Aspek ini dapat berfungsi sebagai pembangkit/pendorong proses pembangunan tetapi dapat juga menjadi penghambat. Aspek sosial budaya ini mendapat perhatian pada sisi peningkatan kualitas daya tarik PUD. Pada pasal 7 ayat
13
Review Regulasi
(2) tertulis, “Dalam melakukan peningkatan kualitas daya tarik PUD, memperhatikan prinsip: (a) nilai budaya; (b) nilai sosial; (c) kelestarian lingkungan hidup; dan (d) keberlanjutan sumber daya yang dimiliki oleh daerah.” Pasal ini, selain menggarisbawahi urgensitas nilai sosial budaya, tetapi juga menjaga konsistensi antara PUD dan nilai sosial budaya yang menjadi unsur determinan PUD. Artinya, sebuah produk disebut unggulan daerah karena sesuai dengan nilai sosial budaya masyarakat setempat. Upaya pengembangan PUD pun tidak bisa berjarak dari atau mengesampingkan nilai sosial budaya daerah. Selain itu, regulasi ini menempatkan Pemda sebagai agen penentu perubahan sosial di daerah. Hal ini tergambar jelas dalam pasal demi pasal yang memerankan Pemda sebagai aktor protagonis dalam pengembangan PUD. Ini tentu selaras dengan semangat otonomi daerah yang memberi panggung seluas-luasnya untuk Pemda untuk berkreasi dalam pembangunan ekonomi.
Catatan Akhir Permendagri No. 9 Tahun 2014 ini patut diapresiasi. Pertama, regulasi ini memberi landasan hukum bagi Pemda untuk membangun ekonomi melalui produk
unggulan yang sesuai dengan kekhasan daerah. Kedua, regulasi ini menjadi kompas bagi Pemda dalam mengembangkan produk unggulan. Ketiga, spirit otonomi daerah diterjemahkan dengan baik dalam regulasi ini. Hal ini tampak dalam ketentuan isinya yang memberikan pedoman mengenai pentingnya peningkatan partisipasi, kemudahan berusaha, dan kualitas masyarakat lokal. Namun, regulasi ini masih mengandung sejumlah permasalahan terkait perlunya harmonisasi kewenangan yang baik. Masalah lain, untuk hanya menyebut sebagian point, terkait tidak disebutkannya usaha mikro dan kurangnya ketentuan yang mengatur kapasitas kelembagaan dan kebijakan Pemda. Sebenarnya, permasalahan ini sangat tergantung kepada komitmen politik Pemda, terutama kepala daerah. Karena itu, komitmen politik kepala daerah menjadi kunci dalam penataan kapasitas kelembagaan dan kebijakan daerah yang berkualitas. Dalam bangunan kelembagaan daerah yang kuat, progam pengembangan produk unggulan daerah dapat berujung pada tercapainya ultimate goal otonomi: kesejahteraan masyarakat!
VISI & MISI KPPOD VISI KPPOD ikut mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Indonesia.
MISI KPPOD menganalisa, menilai dan memberikan masukan bagi kebijakan dan praktik Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bagi pembangunan ekonomi nasional.
14
Dari Daerah
Penggerek Asa Petani Kakao
H
Hasil pohon kakao tak lagi nikmat seperti coklat dari buahnya. Kini kakao menyisakan kecemasan, menimbulkan tanda tanya tentang masa depan dan keberlangsungan. Aroma kakao kini hanya kemilau kejayaan masa lalu, meninggalkan petani tanpa asa pada semesta.
Desa Bambarini, yang terletak di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, pernah berjaya dengan tanaman kakaonya. Penduduk desa ini punya cerita khas tentang masa keemasan kakao pada pertengahan 1990an hingga awal 2000an. Masa yang, antara lain, ditandai banyaknya truk hilir mudik mengangkut hasil kebun kakao. Pendapatan petani yang tinggi juga memungkinkan mereka membeli motor atau mobil secara tunai. Bahkan tiap rumah tangga petani memiliki sepeda motor. Padahal jika dilihat ke belakang, tahun 1997 merupakan masa krisis ekonomi yang menerpa hampir seluruh masyarakat Indonesia. Namun, pada tahun itu tak sedikitpun fondasi perekonomian petani kakao goncang. Hal ini tidak lain disebabkan hasil perkebunan kakao yang bernilai export. Kini kejayaan itu tinggal kenangan. Daya upaya perbaikaan melalui program Gernas Kakao digelorakan. Namun, program pengembangan kakao yang diinisiasi Pemerintah Provinsi hingga Kab. Donggala ini tak bisa menyelesaikan permasalahan kakao. Produksi kakao semakin hari semakin menurun. Tahun 2013 produksi kakao hanya sekitar 20.754 ton, menurun sebanyak 14.372 ton dibandingkan tahun 2010 yang jumlah produksinya 35.126 ton. Menurunnya produksi ini juga tak lepas dari permasalahan budidaya kakao.
M. Iqbal Damanik Peneliti KPPOD
Meluasnya serangan penyakit Vascular Streak Dieback (VSD), Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) atau Cocoa Pod Borer (CPB) menjadi keluhan petani dalam membudidayakan kakao. Di sisi lain, menurunnya kesuburan tanah akibat kurangnya penggunaan pupuk, atau penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, pemeliharaan kebun yang amat minim dan lebih sering terlantar (terutama pemangkasan dan pemupukan), dan berkurangnya jumlah pohon kakao/Ha adalah penyebab lain menurunnya produktivitas kakao. Penggunaan bibit kakao yang ditanam terbukti rentan terhadap penyakit dan hama, meski sebagian bibit yang mereka gunakan sudah termasuk kategori unggul.
15
Dari Daerah
Penurunan produktivitas dan mutu tidak hanya berdampak pada pendapatan petani, tetapi juga meningkatnya luas ahli fungsi lahan kakao ke sawit dan tanaman lain seperti nilam dan kopi. Petani kakao tak hanya beralih ke tanaman alternatif namun juga kepada pekerjaan lainnya, seperti menjadi buruh tani di kebun sawit atau bekerja sebagai nelayan. Beralihnya jenis pekerjaan dan mata pencaharian tersebut diperkuat semakin mendalamnya rasa cemas terhadap masa depan tanaman kakao yang tidak mampu mereka atasi sendiri. Tanaman kakao menjadi dilema bagi petani di Desa Bambarini, antara masih berharap dan terancam. Kecemasan dan keputusasaan semakin banyak dirasakan oleh petani kakao. Sebutlah contoh Haji Yasin, petani berusia 55 Tahun. Pria berperawakan jangkung ini sudah menebang semua pohon kakao di kebunnya. “Saya sudah tebang itu semua coklat (kakao), bibit sawit sudah saya siapkan. Coklat ini sudah tidak bisa lagi diharapkan. Program-program pemerintah sudah datang kemari tapi ya tetap aja begini”, demikian ia bersaksi ketika kami temui Juli 2015 lalu. Hasil panen untuk 2-3 hektar kakao yang dulunya mencapai 1-2 kuintal/Ha kini turun hanya total 2050kg/Ha. Harga jual juga menurun drastis, karena petani tidak bisa menyanggupi standar biji kakao yang baik (100-110 bj/kg). Ironisnya petani pemilik tanah akhirnya beralih profesi sebagai buruh tani. Bahkan beberapa petani perempuan secara berkelompok menjadi buruh panen di sawah-sawah di luar desa mereka. Sebagian kelompok sampai ke Sulawesi Barat, dengan pembagian jika mereka memanen 7 sak gabah
16
mereka akan mendapat bagian 1 sak padi yang akan dibagi sekitar 12 sampai 17 orang. Bagi petani seperti Haji Yasin yang memiliki modal, permasalahan kakao saat ini mungkin tak begitu mengganggu perekonomian rumah tangganya. Namun bagi petani yang hanya memiliki rata-rata luas kebun 2-3 hektare ini akan mengubah kondisi sosial ekonomi. Haji Yasin bahkan menawarkan bibit sawit yang ia miliki untuk ditanam di tanah petani dengan sistem “bagi” hasil. Tidak hanya itu, Haji Yasin bahkan bisa memberikan pinjaman keuangan bagi para petani kakao yang menanam pohon sawit. Namun, dampak dari sistem ini pada akhirnya hanya akan membuat petani menjadi buruh di tanah milik mereka sendiri. Cerita Haji Yasin dan sebagian petani lain nampaknya berbeda dengan Pak Sule, petani bermodal kecil yang tetap setia dan percaya kakaonya memiliki masa depan yang cemerlang. Walaupun kebunnya sudah diporak-porandakan hama, Pak Sule memiliki segurat asa semangat. Sampai saat ini Pak Sule masih rajin mengunjungi kebunnya, tekun melakukan perawatan secara intens. Rutin memangkas dahan, membuang buah yang sudah busuk, memelihara kebersihan. Cara ini memang tidak serta merta meningkatkan produksi kakao namun paling tidak mengurangi kerugian. “Saya belum pernah tahu sawit ini berhasil di sini, jadi kakao masih lebih yakin saya untuk menanamnya. Nanti saat panen raya, lumayan hasilnya”, ujar pak Sule. Pak Sule ternyata tidak sendiri, beberapa petani bergabung membentuk kelompok tani. Hal ini
Dari Daerah
memudahkan mereka untuk saling bertukar informasi dan melakukan pemeliharaan secara serentak. Pak Sule menjelaskan “jika satu kebun dipelihara, kebun sebelah tidak, ya sama saja hamanya ke sebelah juga”. Artinya, hanya dengan pemeliharaan serentak dan kolektif yang akan mencegah atau memperlambat penyebaran virus dan hama. Dengan berkelompok juga akan memudahkan petani untuk mengakses pupuk bersubsidi. Hasil penelitian rantai nilai usaha kakao yang dilakukan KPPOD di Kab. Donggala juga menunjukkan bahwa salah satu titik paling lemah dalam rantai produksi kakao terletak pada budidaya. Kurangnya pengetahuan petani dalam melakukan perawatan dan ketidakmampuan mengantisipasi sejak dini serangan hama dan virus menjadi penyebab utama menurunnya produktifitas kakao. Petani tidak begitu gusar mengenai harga, karena permintaan tetap tinggi oleh para pengumpul hingga exportir. Jika petani menyanggupi standar kualitas dan permintaan volume produksi kakao, maka petani akan memiliki nilai tawar dalam menentukan harga kakao.
Pesan bagi Semua Pihak Cerita dari Desa Bambarini, juga mungkin di Desa-desa lain di Kab. Donggala, tentu tidak hanya terjadi dalam lingkup kecil berskala desa. Dari penelitian KPPOD di empat daerah sentra penghasil kakao (Sikka dan Majene, 2013 maupun Donggala dan Ende, 2015) menunjukkan permasalahan yang hampir serupa. Hama PBK dan VSD benar-benar menggerus harapan petani terhadap masa depan kakao. Pada sisi lain jika kita lihat, baik Desa Bambarini maupun desa penghasil kakao lainnya
seperti di NTT, Sulsel, Sulteng, dll terdapat beragam intervensi program dari berbagai aktor: Lembaga keuangan international, pemerintah/pemda, universitas, korporasi multinasional hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM). Semuanya bertekad dalam ikhtiar meningkatkan produktivitas kakao. Namun intervensi ini nampaknya menjadikan petani sebagai objek kajian atau objek proyek semata. Masih tak terlihat implikasi semua inisiatif itu terhadap peningkatan kesejahteran petani. Petani hanya akan tetap menjadi petani yang mencangkul dikebunnya, dengan atau tanpa harapan akan suatu perubahan berarti. Ada petani yang sudah putus asa, ada petani yang masih menggenggam asa. Lalu, siapa yang harus menjaga asa para petani jika keinginan mensejahterakan petani dan meningkatkan produktivitas kakao adalah keinginan kita semua? Masih bisakah kita berharap pada Negara? Tentu, harapan ini harus dijaga oleh Pemerintah mulai dari Jakarta hingga satuan birokrasi terkecil (street level bureaucracy) di tingkat desa. Pemerintah memiliki kewenangan, maka intervensi terbaik tentunya harus datang dari inisiatif pemerintah. Jika dilihat dari gambaran yang lebih besar, komoditas kakao merupakan salah satu penyeimbang pendapatan terbesar yang dapat dicapai oleh Indonesia setelah sawit dan karet. Luas kebun kakao mencapai 914.051 ha dimana 87,4% dikelola oleh petani kecil, 6,9% dikuasai oleh BUMN dan 6,6% oleh swasta. Data ini menunjukkan bahwa perkebunan kakao memberikan kesempatan kerja, mata pencarian yang dapat diandalkan dan
17
Dari Daerah
sebagai sumber pendapatan bagi 900.000 petani kecil yang hidup di belahan timur Indonesia. Pemerintah dengan kewenangan dan instrumen fiskalnya bisa melakukan intervensi untuk keberlanjutan kakao melaui kebijakan pro petani dan kelembagaan yang membantu petani untuk tumbuh atau bekerja produktif. Dalam hal kebijakan, pertama, pemda harus memprioritaskan pada pembangunan infrastruktur yang mengakses berbagai sentra produksi (pembangunan jalan tani) dan pembangunan jembatan, irigasi, dll. Kedua, pemda menyediakan penyuluh lapangan yang sesuai dengan kebutuhan petani. Mendistribusikan penyuluh tidak sekedar berdasar ratio jumlah desa dengan penyuluh namun sesuai dengan tingkat permintaan dan karakteristik kebutuhan petani. Penyuluh dengan pengetahuan perkebunan kakao harus ditempatkan di wilayah perkebunan kakao. Ketiga, dengan anggaran yang dimiliki, pemda harus menempatkan pertanian dan perkebunan sebagai prioritas dalam APBD setelah
18
pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Sementara perihal kelembagaan, Pemda harus serius membentuk lembaga kerjasama yang mempertemukan stakeholder di setiap rantai nilai usaha kakao. Mulai dari lembaga keuangan, penyedia saprodi hingga pengusaha sebagai pembeli. Dengan adanya lembaga kerjasama yang dimotori oleh pemda, masing-masing stakeholder bisa berkoordinasi dan saling memahami tiap hambatan dan jika terjadi intervensi, sehingga program jadi lebih tepat sasaran. Dengan strategi-fokus dari pemda dan disertai komitmen kuat bagi pengembangan produk unggulan (baca: kakao) maka kisah pahitnya rasa coklat dan getirnya hidup petani sedikit terobati. Kini mereka, para petani kakao di Desa Bambarini dan desa-desa lain di seantero pelosok negeri, menggantungkan harapan pada Negara yang dianggap punya kuasa sekaligus tanggung jawab untuk mengangkat mereka dari keterpurukan.
Opini
Tantangan TPP dan Penguatan Daya Saing Ekonomi Berbasis Produk Unggulan Daerah
I
ndonesia merupakan negara dengan sistem ekonomi terbuka, dan dengan 250 juta penduduk Indonesia memiliki potensi ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Indonesia berniat untuk bergabung dengan Trans Pacific Partnership, dengan menentukan produk unggulan apa yang bisa dipromosikan untuk bersaing dalam integrasi ekonomi regional tersebut. (Presiden Joko Widodo 27 Oktober 2015 dalam kunjungan di Gedung Putih, Washington DC, AS).
Pesan dari pernyataan presiden tersebut sangat jelas, yaitu meningkatkan kerjasama di bidang perdagangan barang dan jasa dengan negara-negara anggota yang diharapkan dapat menumbuhkan ekonomi. Saat ini terdapat 3 mega trading block yang dominan menguasai pasar perdagangan di seluruh dunia: TTIP (Transatlantic Trade and Investment Partnership), RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), dan TPP (Trans Pacific Partnership). Pada TPP inilah Presiden Jokowi melihat peluang untuk bersaing dalam perdagangan internasional. Apabila dilihat trend pertumbuhan ekonomi dunia, tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia jelas muncul dari kemajuan perekonomian yang diproyeksikan oleh International Monetary Fund (IMF) di tahun 2015, dimana dalam kurun waktu satu tahun, negara-negara yang masuk ke dalam klasifikasi emerging and developing economies akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan dimana secara umum dari 4% menjadi 4.5%, dengan India diperkirakan akan tumbuh sebesar 7.5% dari 7.3%, dan Brazil akan tumbuh dari -3% menjadi -1%. Hal ini menurut opini saya akan menjadi tantangan eksternal bagi Indonesia untuk juga dapat bersaing dalam hal pertumbuhan ekonomi.
Martoni Ariadirja Peneliti KPPOD
Ditinjau dari negara tetangga Indonesia, bentuk respon negara-negara ASEAN atas kehadiran TPP tampak terpecah menjadi dua. Pertama, adalah berminat dan ingin bergabung dalam TPP (Malaysia, Singapura, Vietnam dan Brunei) dan yang tidak berminat/bergabung bersama TPP. Kecenderungannya, Negara-negara yang ASEAN yang bergabung TPP menunjukan kinerja perekonomian yang meningkat, melebihi pertumbuhan Indonesia. TPP itu sendiri lebih dari sekedar pakta perdagangan, juga merupakan bentuk kemitraan antar negara yang saling mendukung kemajuan ekonomi
19
Opini
Gambar 1. Proyeksi pertumbuhan: pasar negara berkembang
Sumber: World Economic Outlook, IMF, 2015
negara-negara anggotanya. Isu-isu yang berkembang, TPP dianggap sebagai respon Amerika Serikat atas kebangkitan ekonomi di Asia Timur, terutama di Cina dan India, juga dari lambannya kemajuan hubungan multilateral di WTO. Pemerintah Indonesia, melalui Kemenko Perekonomian sebagaimana disampaikan pada forum diskusi publik yang diselenggarakan oleh CSIS (Center for Strategic and International Studies) di Jakarta pada 11 November 2015, menilai bahwa TPP baik bagi Indonesia karena dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, mendukung penciptaan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas dan daya saing, meningkatkan standar hidup, mengurangi kemiskinan, mempromosikan transparansi dan tata kelola pemerintahan yang baik, dan perlindungan terhadap lingkungan. Oleh sebab itu, Indonesia sendiri harus berbenah diri dari dalam, baik dari segi tata kelola pemerintahan dan faktor-faktor penarik investasi agar tidak kalah bersaing dengan negara-negara lain di TPP.
Melihat trend pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cenderung menunjukkan fluktuasi di atas, seiring dengan adanya perubahan struktural menurut klasifikasi CSIS (Orde Lama, Orde Baru dan pasca krisis Asia), Indonesia nampak membutuhkan momentum yang tepat untuk dapat menggiatkan lagi roda perekonomiannya dan TPP merupakan salah satu peluang yang ada dapat dimanfaatkan untuk mencapai hal tersebut.
Menurut pandangan pengusaha Anton J. Supit (DPN APINDO), Indonesia sendiri sudah beberapa kali tertinggal dari negara-negara yang tadinya di bawah, seperti Malaysia, dan Vietnam yang sekarang sudah lebih maju sedikit banyak disebabkan atas kesiapan mereka berbenah memasuki TPP. Bahkan Myanmar di bawah Aung Saan Su Kyi apabila memasuki TPP bukan tidak mungkin akan jadi lebih baik dari Indonesia. Pemerintah diharapkan untuk jangan terlalu banyak mempersulit pengusaha dalam berinvestasi di Indonesia. Contoh kasus, Marks & Spencer mengancam akan memindahkan pabrik mereka ke Vietnam karena investasi disana lebih menarik dan lebih mudah.
TPP pada awalnya bukan inisiatif dari Amerika Serikat, tapi AS mengambil alih di tengah jalan karena melihat potensi ekonomi dan arus barang dan jasa negaranegara anggotanya. Sebaiknya jangan terlalu dini untuk menganggap bahwa niat Presiden Jokowi bergabung ke dalam TPP akan langsung terealisasi, karena prosesnya sendiri tidak mudah dan cepat. Paling cepat Indonesia bisa bergabung ke dalam TPP adalah 2 tahun dari sekarang, dimana masih harus menanti Gambar 2. Trend Pertumbuhan PDB Indonesia persetujuan dari negara-negara anggota yang tergabung dalam kerjasama TPP tersebut.
Sumber: World Economic Outlook, IMF, 2015
20
Selain mempersiapkan wacana bergabung dengan TPP, ada isu yang lebih krusial dan urgent, yaitu Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan dimulai awal tahun 2016. Apabila Indonesia sukses dalam kancah tersebut, akan lebih mudah bagi Indonesia untuk bergabung dengan TPP. Momentum MEA inilah yang harus bisa dimanfaatkan dengan baik oleh Indonesia sebagai ajang pembuktian kepada pelaku ekonomi dunia, melalui upaya peningkatan daya saing.
Opini
Produk Unggulan Daerah sebagai Komponen Pembentuk Daya Saing Indonesia dalam TPP Sudah seharusnya pemerintah mampu membaca peluang kedepan saat Indonesia bisa terlibat dalam TPP. Bonus demografi merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki Indonesia yang mana usia produktif sedang dan akan tumbuh secara pesat. Hal ini sebagaimana yang sudah di proyeksikan oleh Bappenas (2010).
maupun internasional. Awalnya, inisiasi gerakan ini oleh Gubernur Prefuktur Oita di timur laut Pulau Kyush-Morihiko Hiramatsu. Gerakan ini diinisiasi oleh masyarakat dan didukung oleh gubernur Oita sehingga besifat bottom up. Dengan besarnya semangat maju masyarakat Oita, maka daerah tersebut telah berhasil keluar dari predikat daerah miskin di Jepang.
Bercermin pada kesuksesan program OVOP di Oita Jepang, Thailand mengembangkan program yang sama, dengan nama Gambar 3. Bonus Demografi Indonesia di Masa Depan yang berbeda. Thailand mulai memperkenalkan One Tambon One Product (OTOP) pada 2001 di bawah Pemerintahan Thaksin. Negara ini mencontohkan bahwa OTOP di Thailand berbeda dengan Jepang karena pada kedua negara tersebut program ini diinisiasi oleh pemerintah pusat (top-down).
Sumber: Bappenas, 2015
Gambar di atas menunjukkan adanya potensi yang besar bagi Indonesia dalam meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan selama potensi tersebut bisa dikelola dengan baik. Apabila hal tersebut tidak dapat dikelola dengan baik maka sebaliknya yang akan terjadi adalah justru “bencana demografi”. Pemerintah dalam hal ini harus melihat peluang dan tantangan ini dengan membuka ruang kreatif dan mendorong daya saing dari penduduk usia produktif yang berada di daerah. Strategi pembangunan ekonomi daerah dalam mengelola sumber-sumber potensial yang ada, merupakan salah satu upaya untuk mengurangi pengangguran dan juga pengentasan kemiskinan. Pengembangan produk unggulan daerah juga menjadi salah satu strategi yang menjadi bagian dari kebijakan resmi pemerintah yang berlandaskan Permendagri No. 9 Tahun 2014. Meningkatnya produktivitas dari produk unggulan tentu akan berdampak pada perbaikan iklim usaha dan daya saing suatu daerah. Kisah sukses konsep pemberdayaan ekonomi lokal yang berbeda muncul dari Jepang dan telah menyebar ke negara lain. Gerakan ini dilakukan untuk mencari atau menciptakan produk ciri khas daerah, dan pada gilirannya menjadi produk kebanggaan daerah. Setelah memperoleh jenis produk, dilanjutkan dengan peningkatan isi dan mutu. Peningkatan value added diharapkan dapat memenuhi standar pasaran nasional
Berbeda dengan Jepang dan Thailand, semangat OVOP di Indonesia, dimaknai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Satu dari empat regulasi yang difokuskan pada instruksi tersebut adalah peningkatan peluang pasar produk UMKM. Peningkatan peluang pasar produk UMKM tersebut dilakukan dengan tiga cara, yaitu (1) pengembangan institusi promosi produk UMKM; (2) peningkatan efektifitas pengembangan cluster, sentra Industri Kecil Menengah (IKM) melalui pendekatan OVOP; (3) pengembangan akses pasar produk UMKM melalui hotel. Dengan adanya Inpres ini, masingmasing kementerian yang terkait menyusun program pengembangan produk unggulan versi masing masing kementerian. Berdasarkan klasifikasi penerapan OVOP pada gambar tabel 4, terlihat bahwa karakteristik berbeda pada Jepang dan Thailand dimana Jepang lebih bersifat bottom up yang memperlihatkan partisipasi masyarakat yang lebih aktif sedangkan Thailand cenderung lebih top down dan diinisiasi oleh pemerintah. Indonesia sendiri menerapkan sistem top down melalui Inpres No. 6 Tahun 2007.
Catatan Akhir Pengembangan potensi unggulan memerlukan beberapa strategi. Hal penting yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi keunggulan dari satu
21
Opini
Gambar 4. Karakteristik Penerapan OVOP di Jepang, Thailand dan Indonesia VARIABEL
JAPAN
THAILAND
INDONESIA
Sistem Pelaksanaan
Bottom Up
Top Down
Top Down
Inisiasi
Masyarakat
Pemerintah
Pemerintah
Political Will
Gubernur Oita secara konsisten mendukung gerakan OVOP, salah satunya mempromosikan produk unggulan Oita di setiap kesempatan di tingkat nasional dan internasional
Berdasarkan Keputusan Perdana Menteri secara konsistensi, pemerintah menjalankan OTOP sejak Tahun 2000 hingga saat ini sesuai yang telah direncanakan
Berupa instruksi presiden No. 6 Tahun 2007 tentang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan UMKM
Leadership
Strong Leadership, terbukti Kementerian Dalam Negeri beliau terpilih kembali men- secara terpadu menangani semua kegiatan OTOP jadi Gubernur Oita karena keberhasilannya dalam gerakan OVOP
Masing-masing kementerian melaksanakan program OVOP berdasarkan tupoksinya sebagai tindak lanjut Inpres No.6 Tahun 2007
Sumber: Komite Ekonomi Nasional (2012)
daerah ataupun potensi unggulan apa yang ada di daerah. Dengan identifikasi yang tepat, daerah diharapkan dapat fokus kepada potensi yang menjadi unggulannya, tidak lagi berfokus kepada banyak potensi. Kebijakan pengembangan potensi yang terfokus ini diharapkan akan memunculkan produkproduk unggulan di setiap daerah. Menurut opini saya, TPP sebagai salah satu wahana untuk meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia harus di dukung strategi yang maksimal dan memadai, terutama dengan perbaikan tata kelola dan pengembangan produk unggulan.
22
Perbaikan tata kelola dan juga pengembangan produk unggulan memerlukan adanya keseimbangan antara kepemimpinan (leadership) yang kuat dan juga political will berupa komitmen yang dapat mendorong perbaikan tersebut untuk dapat mempromosikan produk unggulan di tiap daerah pada taraf nasional hingga ke taraf internasional. Apabila sudah dapat bersaing pada taraf internasional, produk unggulan OVOP tentunya dapat dijadikan tools untuk dapat meningkatkan daya saing global dan menunjukkan bahwa Indonesia dapat bersaing dalam TPP dan mampu memperoleh keuntungan dalam kerjasama ekonomi tersebut.
Laporan Kegiatan
Pelatihan Regulatory Impact Analysis (RIA)
S
istem desentralisasi dan otonomi daerah (Otda) telah membuka struktur kesempatan baru dan memperluas ruang kewenangan pemda propinsi dan kabupaten/kota dalam mengatur daerahnya masing-masing. Tak heran, sejak otda digulirkan, ragam kebijakan dan perda diterbitkan pemda di seluruh Indonesia. Harapannya, kewenangan yang demikian luas akan berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan, layanan publik, daya saing daerah. Namun, sejauh pemantauan KPPOD, secara umum asa itu belum menemui kenyataan, masih terasa jauh panggang dari api. Pasalnya, aneka kebijakan dan perda disusun dan diterbitkan tanpa analisis yang mendalam sehingga tidak berdampak signifikan bagi kemajuan daerah.
KPPOD sebagai lembaga pemantau yang menganalisis, menilai dan memberikan masukan bagi perbaikan kebijakan pusat dan daerah, memandang perlu upaya peningkatan kapasitas penelitinya melalui lokalatih atau pelatihan-pelatihan, khususnya di bidang perencanaan dan evaluasi kebijakan. Untuk itu, KPPOD menyelenggarakan lokalatih bertajuk “Pelatihan Regulatory Impact Analysis (RIA)”, bertempat di Wisma PGI Teuku Umar, Cikini, Jakarta Pusat, pada 22-23 Oktober 2015. Lokalatih dua hari ini bertujuan untuk menguatkan kapasitas peneliti KPPOD dalam menganalisis dampak regulasi yang mendukung kegiatan-kegiatan berbasis advokasi kebijakan. Secara spesifik, lokalatih ini memberikan pemahaman terkait proses analisis dampak regulasi yang kelak dapat digunakan KPPOD dalam advokasi kebijakan.
Nur Azizah Febryanti Peneliti KPPOD
Selain peneliti KPPOD, turut hadir dalam lokalatih ini adalah perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Asian Development Bank (ADB). Selutuh rangkaian pelatihan difasilitasi Bapak Agus Ediawan yang secara menarik dan sistematis “mengarahkan” proses belajar dan saling-belajar di antara para peserta guna memahami metode RIA. Mengawali lokalatih di hari pertama, Bapak Agus Ediawan selaku fasilitator, menjelaskan arti penting analisis dampak peraturan perundang-undangan bagi perbaikan iklim usaha. “Selama ini di Indonesia, dalam mengamati peraturan, kita hanya melihat aspek legal formal saja. Padahal, kita tidak boleh melupakan bahwa setiap aturan memiliki dampak yang hanya dipahami oleh pelaku yang memahami
23
Laporan Kegiatan
permasalahan tersebut,” kata Bapak Agus Ediawan. Menurutnya, pakar hukum tidak bisa menjadi pelaku dominan dalam menganalisis dan membuat peraturan. Dalam sesi tersebut, fasilitator juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan metode RIA. Menurutnya, Regulatory Impact Assessment (Analisis Dampak Peraturan) diartikan sebagai teknik menganalisis sebuah regulasi yang sudah ada atau baru, dengan menyajikan berbagai opsi informasi berbasis data empiris kepada para pengambil keputusan tentang dampak, baik dari sisi biaya maupun manfaat dari sebuah regulasi (instrument for quality improvement). Kegiatan pada hari pertama dilanjutkan dengan materi perumusan masalah dan tujuan, serta materi perumusan alternatif tindakan atau opsi. Fasilitator menjelaskan mengenai cara untuk menganalisis dan identifikasi masalah yang cukup kompleks, mengenalkan metode dalam perumusan masalah dan perumusan tujuan, membekali peserta dengan kemampuan untuk mengembangkan alternatif tindakan (opsi) untuk mencapai tujuan serta mendorong peserta untuk mengutamakan alternatif yang lebih fleksibel. Lokalatih hari pertama ditutup dengan sesi tanya jawab dan konsultasi studi yang sedang dilakukan oleh KPPOD. Peserta banyak berdiskusi mengenai bagaimana menggabungkan metode RIA dengan metode Regulatory Mapping (Reg-Map) dalam satu kajian. Pada hari kedua, lokalatih dimulai dengan mereview
24
kembali materi pada hari pertama. Kemudian dilanjutkan dengan materi analisis manfaat dan biaya, strategi implementasi, dan materi terakhir adalah konsultasi stakeholder. Dalam materi analisis manfaat dan biaya, fasilitator mengenalkan kepada peserta manfaat dan biaya baik secara kualitatif dan kuantitatif, pendekatan identifikasi dan pengukuran manfaat dan biaya serta mengenalkan konsep-konsep penting dalam menganalisis manfaat dan biaya. Dalam materi strategi implementasi, fasilitator menjelaskan mengenai tahapan dalam strategi implementasi yang meliputi mekanisme sosialisasi, sanksi dan insentif, serta monitoring. Sebagai penutup lokalatih, Bapak Agus Ediawan membagikan kisi-kisi bagaimana membangun konsultasi publik yang efektif dan efisien, menjelaskan secara singkat bagaimana membuat laporan RIA (RIA Statement-RIAS) serta membuka forum untuk konsultasi dan tanya jawab. Kegiatan ini menambah wawasan dan mengasah skill seluruh staf peneliti KPPOD. Sebab dinamika kegiatan tak sebatas mengenalkan teori semata, tetapi peserta diajak untuk bersimulasi langsung dalam membuat dan menganalis kebijakan dengan menggunakan metode RIA. Selain itu, peneliti juga memanfaatkan forum dan kesempatan ini untuk melakukan konsultasi dengan Bapak Agus Ediawan tentang proses studi yang sudah dilakukan oleh KPPOD, terutama studi terkait streamlining business license.
Seputar Otonomi
Tiga Peristiwa Penting Otonomi Daerah 2015
T
ahun 2015 ini merupakan masa efektif tahun pertama pemerintahan Jokowi dan JK. Keduanya memang terpilih dan dilantik pada tahun 2014, namun mengingat duet pemimpin baru tersebut datang menjelang penghujung tahun, tentu tak banyak kebijakan otonomi yang bisa mereka terbitkan pada tahun 2014. Sejak 2015 baru terbuka kesempatan untuk mengintrodusir kebijakan baru atau merevisi kebijakan yang diwariskan rezim sebelumnya. Hal ini bisa kita lihat pada sejumlah isu/peristiwa penting di bawah, terutama dalam aspek desentralisasi fiskal yang menjadi catatan pembuka dalam rubrik ini.
Awal 2015: Transfer ke Daerah Meningkat Dalam konteks itu, kita melihat perubahan kebijakan penting yang pertama-tama mereka lakukan adalah soal besaran transfer fiskal ke daerah. Politik anggaran di era pemerintahan baru ini menampakkan aksentuasi kuat pada sisi desentralisasi fiskal. Hampir semua indikator penting bergerak mengarah dan berpihak (afirmasi fiskal) ke daerah/desa. Pada awal 2015, besaran dana transfer ke Daerah/Desa dalam APBN 2015 (warisan Pemerintahan Yudhoyono) dinaikan cukup signifikan dalam profil anggaran hasil perubahannya sebagaimana tertuang dalam APBN-P 2015. Catatan penting yang perlu diingatkan adalah: politik anggaran yang berfokus pada aspek desentralisasi fiskal di atas belum diimbangi dengana perbaikan pada problem rumit soal manajemen keuangan yang belum banyak disentuh. Jika pada sisi desentralisasi kita berbicara seberapa besar uang mengalir dari Jakarta ke daerah, sisi manajemen fiskal adalah perihal tata kelola uang tersebut ketika sudah berada di tangan pemda.
Robert Endi Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD
Kita tahu, tata kelola anggaran sepanjang era otonomi terbilang parah. Sejak fase penyusunan sudah terlihat rendahnya disiplin: banyak pemda (terutama kabupaten) menetapkan APBD jauh melampaui tenggat. Saat anggaran berjalan, masalah lebih substansial mewabah di banyak tempat: proporsi belanja memberat (heavy) ke pos aparatur, daya serap tak optimal dan SILPA membengkak di perbankan, serta maladministrasi laporan keuangan yang ditandai opini bermasalah dari BPK. Selain
25
Seputar Otonomi
Gambar 1. Transfer Daerah dalam APBN-P 2015
dinas, atau rapat di hotel menjadi modus lazim. Tak heran, sebagaimana ditunjukan studi KPPOD (2015), kontribusi fiskal bagi pertumbuhan ekonomi di daerah lebih didorong belanja aparatur ketimbang belanja modal. Artinya, ekonomi didorong konsumsi pemda yang menggerakan sektor perdagangan ketimbang kegiatan produktif yang dihasilkan investasi (government spending). Uang terpakai habis dan ekonomi tumbuh, namun tak banyak berdampak kepada penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan.
Sepanjang 2015: Pilkada Serentak 269 Daerah Tahun 2015 ini juga ditandai sebagai tahun pertama penyelenggaraan pilkada serentak, sebagai titik awal menuju fase puncak pilkada serentak nasional yang diperkirakan bisa dilakukan pada 2027 nanti. Kalender otonomi pada tahun 2015 hampir sepenuhnya diisi rangkaian agenda persiapan dan pelaksanaan pilkada, baik pada tataran nasional maupun secara lokal di 269 daerah (propinsi, kabupaten dan kota). itu menyembul pula varian turunan lain seperti penyimpangan dana hibah dan bansos yang marak jelang pilkada (Kompas, 11/11/2015). Lemahnya mutu tata kelola dan salah urus anggaran tersebut membuat inefisiensi dan korupsi tetap tinggi. Kalau pun anggaran terserap optimal, kualitas belanja kerap dikorbankan. Jor-joran di akhir tahun, perjalanan
Catatan penting yang perlu diingatkan dalam isu ini: hasrat menyelenggarakan eksperimen besar belum sepenuhnya didukung oleh kesiapan pada tingkat kebijakan, intrumentasi kebijakan hingga persiapan operasional yang memadai. Silih berganti masalah datang sepanjang kurun 2015. Bahkan pada aspek kesiapan/kecukupan anggaran, hingga hari-H hendak dijejak, masih saja ada daerah pada awal Desember ini Gambar 2. Jadwal Tahapan Pemilihan Pilkada Serentak 2015 yang belum menyediakan anggaran bagi aparat pengawas (Bawaslu dan Panwaslu): Propinsi Bengkulu, Kabupaten Pulau Taliabu (Maluku Utara), Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Sulut) maupun sejumlah daerah lain yang baru sebatas komitmen untuk menyalurkan dana bagi aparat penyelenggara (KPUD). Masalah krusial ini menggenapi rangkaian masalah lain yang sudah terselesaikan atau hanya terselesaikan secara parsial terkait daftar pemilih tetap, keabsahan pasangan calon, dll yang sedikit-banyak tentu menggangu kualitas proses dan kualitas hasil dari perhetalan demokrasi nan akbar di tingkat
26
Seputar Otonomi
Gambar 3. Isi Pokok Sejumlah Paket Kebijakan Ekonomi
PAKET I
PAKET II
■ Mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokrasi, penegakan hukum dan kepastian usaha. ■ Mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan, sumbatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian proyek strategis nasional. ■ Meningkatkan investasi di sektor properti.
■ Kemudahan layanan investasi 3 jam. ■ Pengurusan tax allowance dan tax holiday lebih cepat. ■ Meningkatkan investasi di sektor properti. ■ Insentif fasilitas di kawasan pusat logistik berikat. ■ Insentif pengurangan pajak bunga deposito. ■ Perampingan izin sektor kehutanan.
PAKET IV ■ Kebijakan pengupahan yang adil, sederhana dan terproyeksi. ■ Kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang lebih murah dan luas.
lokal tersebut. Namun, demi daulat rakyat pemilih dan pembangunan demokrasi lokal, aneka masalah tersebut harus terus dibenah dan pada sisi lain tak boleh menjadi justifikasi digantinya sistem pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan yang dipercayakan kepada para wakil di DPRD sebagaimana pernah diniatkan kalangan elite nasional pada ujung September 2014 lalu.
Akhir 2015: Paket Kebijakan Ekonomi Peristiwa penting yang datang menjelang penghujung 2015 adalah terbitnya sejumlah paket kebijakan ekonomi pemerintah. Deregulasi dan debirokratisasi--termasuk dan mungkin terutama di daerah-- merupakan instrumen utama pelaksanaan kebijakan yang pada saat rubrik ini ditulis sudah terhitung berjumlah 7 paket, seperti terlihat pada Gambar 3. Catatan penting yang perlu diingatkan terkait terbitnya sejumlah paket ini adalah efektifitas implementasi! Dalam konteks itu, ranah uji coba yang yang tampaknya
PAKET III ■ Penurunan harga BBM, listrik dan gas. ■ Perluasan penerima KUR. ■ Penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal.
PAKET V ■ Insentif pajak dalam revaluasi asset perusahaan. ■ Penghapusan pajak berganda untuk dana investasi real estate, properti dan infrastruktur. ■ Deregulasi di bidang perbankan syariah.
memberikan tantangan krusial bukan saja perihal sinkronisasi lintas sektor/bidang di Pusat tetapi juga rantai koordinasi dan aliran informasi Pusat-Daerah. sejauh ini, upaya pemerintah membuka potensi sumbatan dan memobilisasi dukungan daerah hanya sebatas sosialisasi secara terbatas di sejumlah daerah dan terbitnya Instruksi Mendagri No.500/5940/ SJ tentang Percepatan Pelaksanaan Paket Kebijakan Ekonomi di Daerah. Kedua langkah tersebut tentu penting namun jelas jauh dari cukup. Ya, tidak cukup untuk dapat memastikan transfer pengetahun dalam kerangka membangun persepsi dan komitmen bersama. Ya, tidak cukup untuk mempersiapkan terbangunnya kapasitas implementasi. Ya, tidak cukup pula untuk mendorong gerakan nasional yang sinergis antar pusat dan daerah guna memulai upaya deregulasi dan debirokratisasi perizinan usaha di semua titik seantero Nusantara. Sesudah paket-paket tersebut lahir, fase implementasinya jelas butuh suatu gerakan besar, langkah besar, dan keseriusan semua pihak!
27
Agenda KPPOD
Kegiatan KPPOD Terkini
1. Workshop “Regulatory Impact Analysis (RIA)” Pada tanggal 22-23 Oktober 2015 KPPOD menyelenggarakan kegiatan workshop/ lokalatih. Acara yang bertajuk “Regulatory Impact Analysis (RIA)” ini bertempat di Wisma PGI Teuku Umar, Cikini, Jakarta Pusat. Kegiatan yang bertujuan umum berbagi ilmu dan pengalaman ini dihadiri seluruh staf peneliti KPPOD, hadir pula perwakilan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Asian Development Bank (ADB). Seluruh rangkaian lokalatih selama 2 hari ini difasilitasi oleh Bapak Agus Ediawan. Beliau menyampaikan pelatihan dengan semangat berbagi ilmu kepada peneliti KPPOD terutama mengenalkan metode RIA, sharing pengalaman beliau dalam implementasi RIA dan konsultasi penggunaan RIA dalam studi yang dilakukan oleh KPPOD.
2. FGD “Penyederhanaan Perizinan Usaha di Daerah” KPPOD bekerjasama dengan FCO-British Embassy melakukan Focus Group Discussion (FGD) sebagai bagian dari konsultasi stakeholder dengan kerangka studi “Penyederhanaan Perizinan”. Acara ini diselenggarakan pada tanggal 24 November 2015, yang bertempat di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan. Acara FGD ini dihadiri oleh Kementerian/Lembaga terkait seperti Kemenko Perekonomian, BKPM, Kemendagri, BAPPENAS
28
Winantyo IT & Dokumentasi KPPOD
Agenda KPPOD
dan 6 Pemerintah Daerah dari lokasi studi KPPOD yakni Kota surabaya, Kota Medan, Kota Makassar, Kota Kediri, Kabupaten Barru, dan Kabupaten Jeneponto.
3. Diskusi Terbatas “Tata Kelola Ekonomi Daerah” KPPOD pada tanggal 27 November 2015 mengadakan diskusi terbatas, dengan topik “Tata Kelola Ekonomi Daerah”. Diskusi ini berlangsung di Hotel Royal Kuningan Jakarta. Adapun pembicara perwakilan dari KPPOD yakni Martoni Ariadirja, sedangkan pembicara lainnya adalah Bapak Riyanto (Dosen FE UI), Bapak Abdul Malik Gismar (Kemitraan) dan Bapak Sumaidi (Bappenas). Selain itu, KPPOD juga mengundang pengusaha dan
lembaga penelitian lainnya. Diskusi ini bertujuan untuk memaparkan rencana penelitian KPPOD yakni Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED)” dan mendapatkan masukan dari pembicara dan peserta dalam rencana penelitian tersebut.
29
Publikasi KPPOD
T K E D (Tata Kelola Ekonomi Daerah) 2011 ini bertujuan memberikan gambaran mengenai kualitas TKED di 245 kabupaten/kota di 19 provinsi di Indonesia. Studi ini diharapkan dapat menjadi basis bagi pemerintah daerah kab./ kota untuk memprioritaskan reformasi dan perbaikan kinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerahnya. Selain itu, studi ini juga diharapkan dapat menciptakan iklim kompetisi antar kab./kota yang sehat. Bagi pemerintah provinsi hasil kajian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alat pemantauan kinerja kab./kota. Bagi pelaku usaha, hasil studi ini diharapkan memberikan informasi mengenai kualitas tata kelola ekonomi di masing-masing kabupaten/kota yang dapat membantu mereka melakukan putusan inventasi dan pengembangan usaha.
Doing Business di Indonesia 2012 merupakan laporan khusus kedua yang mengukur kinerja di daerah dari seri Doing Business di Indonesia. Tahun 2010, analisa telah dilakukan atas indikator-indikator kuantitatif yang terkait dengan peraturan-peraturan usaha di 14 kota: Balikpapan, Banda Aceh, Bandung, Denpasar, Jakarta, Makassar, Manado, Palangka Raya, Palembang, Pekanbaru, Semarang, Surabaya, Surakarta, dan Yogyakarta. Tahun 2012, Doing Business di Indonesia mencatat perbaikan di 14 kota yang telah diukur sebelumnya dan memperluas cakupan analisa ke 6 kota lainnya seperti: Batam, Gorontalo, Jambi, Mataram, Medan, dan Pontianak. Kriteria seleksi mencakup tingkat urbanisasi, populasi, kegiatan ekonomi, keragaman politis dan geografis, dan faktor lain.
Jalan Panjang Reformasi Perizinan Usaha. Dalam rangka menciptakan iklim usaha yang baik, pemerintah mengumumkan Paket Kebijakan Kemudahan Berusaha. Paket tersebut berisi delapan bidang sasaran yang terdiri atas 17 rencana aksi atau langkah perbaikan iklim berusaha yang menyasar kepada sejumlah sumbatan selama ini menjadi sumber kesulitan baik ketika memulai usaha (starting a business) maupun operasional (pengembangan usaha) saat mengurus peralihan properti, akses kredit, dll. Studi di lakukan di sejumlah daerah-pilihan (selected regions),yakni Kota Medan (Sumatera Utara), Kota Surabaya (Jawa Timur), Kota Balikpapan (Kalimantan Timur), Kota Makassar (Sulawesi Selatan), dengan Jakarta sebagai tolok ukur pembanding (benchmark).
Optimalisasi Fiskal bagi Pertumbuhan Ekonomi Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Meski bervariasi bobot perannya di tiap daerah menurut tingkat perkembangan ekonomi dan kemajuan masing-masing, secara umum APBD menjadi sumber bagi pembiayaan layanan publik dan stimulans bergeraknya ekonomi. Dalam situasi ekonomi yang lesu dan mengalami perlambatan, APBD menjadi modalitas sektor publik untuk berkontribusi bagi pemulihan ekonomi secara berkelanjutan.
30
Menerima Sumbangan Tulisan KPPOD menerima sumbangan tulisan dalam bentuk kategori, Opini, Artikel, Esai maupun Feature. Tulisan yang dikirim merupakan hasil karya sendiri dan dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis, dan tidak merendahkan pihak tertentu. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan secukupnya. Syarat dan ketentuan tulisan adalah sebagai berikut: Tulisan sesuai dengan tema-tema KPPOD, seperti Desentralisasi Ekonomi, Pelayanan Publik di Daerah, Iklim Investasi, dan Profil Daerah (Rubrik dari Daerah). Menggunakan bahasa yang mudah dipahami, baik dan benar. Untuk kategori Feature (dari Daerah), panjang tulisan maksimal 10000 karakter tanpa spasi. Untuk kategori Esai, Opini, Artikel, panjang tulisan maksimal 5500-6000 karakter tanpa spasi (disertai dengan foto kejadian). Menyertakan identitas penulis secara singkat dan jelas disertai dengan foto, dan menyertakan nomor telepon yang dapat dihubungi. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis. Tulisan yang dikirim akan diedit seperlunya tanpa merubah substansi. Tulisan dikirim ke redaksi KPPOD Brief, email:
[email protected] dan cc ke:
[email protected]
31
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Regional Autonomy Watch Gd. Permata Kuningan Lt. 10 Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12980 Telp: (+62 21) 8378 0642/53, Fax: (+62 21) 8378 0643 http://www.kppod.org, http://perda.kppod.org, http://pustaka.kppod.org