BAB II KERANGKA/DASAR PEMIKIRAN
2.1 Film Film adalah salah satu media tutur audio visual untuk menyampaikan komunikasi secara fiksi atau non fiksi. 6
Joseph V. Mascelli dalam bukunya 5c‟s of Cinematography mengatakan, “a motion picture is made up of many shots. Each shot requires placing the camera in the best positon for viewing players, setting and action at that particular moment in the narrative. Sederhananya adalah sebuah karya film terdiri dari integrasi jalinan cerita.
Jalinan cerita terbentuk dari menyatunya peristiwa dari adegan/scene yang dibentuk oleh pengambilan gambar. Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini.7 Lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisi dan film video setiap minggunya. Film amerika di produksi di Hollywood. Film yang dibuat disini membanjiri pasar global dan memengaruhi sikap, perilaku dan harapan orangorang dibelahan dunia.
6
Joseph V. Mascelli, The Five C‟s of Cinematography,Silman James Press, Los Angeles, hal 11 Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, dan Dra. Siti Karlinah, M.Si., Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2009, hal 143
7
14 http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
2.1.2 Film Sebagai Media Komunikasi Massa Film lebih dahulu menjadi media hiburan dibanding radio siaran dan televisi. Menonton film bioskop ini menjadi aktivitas populer bagi orang Amerika pada tahun 1920-an sampai 1950-an. Industri film adalah industri bisnis. 8Predikat ini telah menggeser anggapan orang yang masih meyakini bahwa film merupakan karya seni yang idealis, yang diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna. Meskipun pada kenyataannya adalah bentuk karya seni, industri film adalah industri yang menguntungkan, dan terkadang menjadi mesin uang bagi pembuatnya, sehingga terkadang keuar dari kaidah artistik film itu sendiri. Film atau motion picture ditemukan dari hasil pengembangan prinsipprinsip fotografi dan proyektor. Film pertama yang diperkenalkan kepada publik di Amerika Serikat adalah The life of an American Fireman dan film the Great Train Robbery yang dibuat oleh Edwin S. Porter pada tahun 1903. Tetapi dalam film The Great Train Robbery yang masa putarnya hanya 11 menit dianggap sebagai film cerita pertama, dan menjadi peletak dasar teknik editing yang baik. 9
2.1.3 Fungsi Film Seperti halnya siaran pada televisi, tujuan khalayak menonton sebuah tayangan adalah untuk memenuhi hasrat tentang hiburan yang membuat kepuasan secara psikologis. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif dan edukatif, bahkan persuasif.10 Hal ini membuat fungsi film semakin berkembang dari hanya sekedar hiburan menjadi forum diskusi yang sangat penting demi menggambarkan sebuah aspek tertentu dalam bentuk audio visual. Sejalan dengan 8
Ibid hal 143 Ibid hal 144 10 Ibid hal 145 9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
misi perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain sebagai media hiburan, film nasional dapat digunakan sebagai media pendidikan. Film nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building. Fungsi edukasi dapat berjalan dengan baik apabila film nasional memproduksi film-film sejarah yang objektif, atau film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang.11
2.1.4 Karakteristik Film dalam Media Komunikasi Massa Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis a. layar yang luas/lebar film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media film adalah layarnya yang berukuran luas. Saat ini ada layar televisi yang berukuran jumbo, yang bisa digunakan pada saat-saat khusus dan biasanya di ruangan terbuka, seperti dalam pertunjukkan musik dan sejenisnya. Layar film yang luas telah memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film. b. Pengambilan Gambar Dalam sebuah film pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop merupakan bagian pokok dalam tercapainya pesan melalui audio visual, maka pengambilan gambar memungkinkan dari jarak jauh atau 11
Ibid hal 145
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
extreme long shot, dan panoramic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Shot tersebut dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana sesungguhnya, sehingga film menjadi lebih menarik. c. Konsentrasi Penuh Dari pengalaman kita masing-masing, disaat kita menonton film di bioskop, bila tempat duduk sudah penuh atau waktu main sudah ditutup, lampu dimatikan, tampak didepan kita layar luas dengan gambar-gambar cerita film tersebut. Semua mata tertuju pada layar dan perasaan kita tertuju pada alur cerita dimana hal itu mempengaruhi emosi bagi khalayak yang menontonnya. d. Identifikasi Psikologis Kita semua dapat merasakan bahwa suasana di gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan. Karena penghayatan kita yang amat mendalam, seringkali secara tidak sadar kita menyamakan (mengidentifikasikan) pribadi kita dengan salah satu pemeran dalam film itu, sehingga seolah-olah kita lah yang sedang berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologis.12
12
Ibid hal 145-148
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
2.2 Ilmu Komunikasi dalam Film Dokumenter 2.2.1 Pandangan Ahli Mengenai Definisi Film Dokumenter Film terbagi menjadi dua kategori yaitu fiksi dan non fiksi. Film fiksi merupakan film yang menampilkan ide cerita karangan atau cerita yang tidak terjadi di kehidupan nyata sementara film non fiksi merupakan film yang ceritanya berdasarkan kejadian nyata dan benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Kita dapat melihat contoh dari film non fiksi salah satunya adalah film dokumenter. Grierson mendefinisikan film dokumenter sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality)13”. Realita dalam film dokumenter harus selalu memiliki konteks dan makna dari suatu peristiwa. Disamping itu konteks juga merupakan pokok utama dalam sebuah penuturan14. Film dokumenter adalah sebuah film yang menyajikan fakta sebagai cerita. Dalam istilah perfilman pandangan tentang dokumenter atau film yang berdasarkan fakta kejadian disebut Cinéma Vérité. Pandangan ini awalnya dikemukakann oleh Dziga Vertov di Rusia. Teori yang memiliki sebutan lain yakni Kino Pravda (film kebenaran, Kino Eye (mata film), dari Vertov berkembang ke seluruh dunia. Pada tahun 1950-an, para dokumentaris Prancis mengikutinya dan kemudian mereka menamakan pendekatan dan gaya itu sebagai Cinema Verite. Sebagai teori dan pengembangan pendekatan film dokumenter, Cinema Verite dianggap dapat
13
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 214 14 Gerzon R. Ayawaila, Dokumenter dari Ide sampai Produksi, FFTV-IKJ Press, Jakarta, 2008, hal 94
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
menengahkan realita visual sederhana dan apa adanya, yang diyakini dan menjaga spontanitas aksi dan karakter lokasi otentik sesuai realita. Pendapat kontemporer yang banyak diamini oleh dokumenterian dunia disampaikan oleh pengajar di University of Albany yang mengatakan bahwa dokumenter adalah produk dari ekspresi dan kehendak bebas sang pembuat film. Dalam bukunya yang berjudul Documentary Storytelling ia mengatakan. ”Documentaries bring viewers into new worlds and experiences through presentation of factual information about real people, places, and events, generally -but not always- portrayed through the use of actual images and artifacts .“15 Para dokumentaris Cinema Verite menolak penggunaan perangkat pelengkap kamera seperti tracking rails, dollies, tripods, cranes, dan semacamnya. Peralatan tersebut mereka anggap sebagai faktor penghambat bagi realisasi spontanitas adegan atau peristiwa saat perekaman gambar16. Stephen Mamber dalam Peter Lee Wright mengatakan : ”cinéma vérité can be described as a method of filming employing hand-held camera and live, synchronous sound. This is a base description, however, for cinéma vérité should imply a way of looking at the world as much as a means of recording. . . The essential element of cinéma vérité . . . is the use of real people in undirected situations17”. Hal ini memang menjadi sudut pandang dasar pembuatan film dokumenter diseluruh dunia, seberapa nyata kejadian, waktu dan karakter tanpa dipengaruhi unsur-unsur manipulatif seperti peng-adeganan dalam film itu sendiri. Bruno Forestier, seorang pemeran film dokumenter Perancis arahan Jean-Luc Godard‟s yang berjudul “Le Petit Soldat” (1963), sempat mengkritik Cinéma Vérité dalam dokumenter. Dalam Peter Lee Wright ia mengatakan, 15
Sheila Curran Bernard, Documentary Storytelling:Creative Nonfiction on Screen, Focal Press, Oxford, hal 56 16 Ibid, hal 16 17 Peter Lee Wright, The Documentary Handbook, Routledge, New York, hal 94
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
“The single most persistent argument about documentary is how truthful it is, or should aspire to be18”. Menurut Bruno, pengadeganan masih diperlukan dalam pembuatan film dokumenter tanpa menghilangkan
unsur
Cinema Verite
dalam
bentuk
subjektivitas. Ada pendapat lain yang disampaikan Edgar Morin seorang kritikus film di paris dalam Peter Lee Wright yang tulisannya dimuat dalam Pompidou Centre mengenai Cinema Verite: There are two ways to conceive of the cinema of the Real: the first is to pretend that you can present reality to be seen; the second is to pose the problem of reality. In the same way, there were two ways to conceive cinéma vérité. The first was to pretend that you brought truth. The second was to pose the problem of truth19. Maksudnya adalah ada dua cara untuk menyusun sebuah film menjadi nyata, pertama adalah berpura-pura anda dapat menyampaikan kenyataan, dan yang kedua adalah membuat konflik pada kenyataan. Sedangkan ada dua cara untuk mendapatkan Cinema Verite dalam film dokumenter, pertama adalah berpura-pura anda membawa kebenaran dalam film. Kedua adalah membentuk masalah pada kebenaran yang anda angkat. Kita dapat memilih bagian manapun yang paling cocok dengan film dokumenter kita. Micheal Rabiger dalam Directing The Documentary20 memberikan pendapatnya tentang dokumenter setelah menganalisa karya-karya dokumentarian besar seperti Grierson, Vertov, Flaherty, Eisenstein dan Pudovkin. “True documentary reflects the richness and ambiguity of life, and goes beyond the guise of objective observation to include impressions, perceptions, and feelings”. 18
Ibid, hal 92 Ibid., hal 93 20 Micheal Rabiger, Directing the Documentary, Focal Press, Oxford, 2004, hal 7 19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
Pendapat Rabiger ini mewakili jawaban mengenai pengembangan konsep kontemporer Cinema Verite dalam film dokumenter yang dahulu didominasi pengertian klasik. Di Amerika, konsep Cinema Verite berkembang satu dekade kemudian yaitu tahun 1960 dengan nama yang berbeda yaitu Direct Cinema. Konsep Direct Cinema sebenarnya tidak berbeda dengan Cinema Verite, hanya saja Direct Cinema sering dipakai dalam program-program televisi untuk dijadikan strategi komersial. Memanfaatkan metode Cinema Verite dalam program televisi terbukti sangat sukses. Seperti yang terjadi pada seri televisi ”The Family” yang sukses merekam kehidupan keluarga Wilkins di Inggris era 70an. Paul Watson sebagai Filmmaker melakukan observasi kepada keluarga Wilkin selama 12 minggu untuk meriset apakah ada cerita realitas dramatik yang mampu menarik penonton, Paul Watson akhirnya mengemas seri The Family dengan nuansa film pada dokumenter yang biasanya kaku. Seri ini kemudian laku keras dan membawa angin segar pada industri dokumenter televisi. Lain halnya dengan Cinema Verita dan Direct Ciinema, Free Cinema merupakan bentuk lain dari dokumenter. Tidak semua Free Cinema masuk dalam kategori film dokumenter. Free Cinema lebih sebagai pendekatan gaya yang merupakan gabungan antara dokumenter dan film fiksi21. Tiga karya Free Cinema yang diunggulkan adalah “O Dreamland” (1953, Lindsay Anderson), “Nice Time” (1957, Alain Tanner dan Claude Goretta) dan Together (Mazetti dan Horn). 21
Gerzon R. Ayawaila, Dokumenter dari Ide sampai Produksi, FFTV-IKJ Press, Jakarta, 2008, hal 19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
2.2.2 Film Dokumenter dalam Media Massa Penggunaan media massa merupakan sebuah strategi yang cukup efektif dalam menyampaikan pesan dan tujuan dari film dokumenter. Dengan daya jangkau yang luas, media massa dapat menjadi penyampai pesan yang efektif. Sehingga dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap, serta perilaku masyarakat itu sendiri. Melalui media massa, komunikasi massa dapat dilakukan dengan berbagai tujuan komunikasi dan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media massa untuk membuat produksi massal dan untuk menjangkau khalayak dalam jumlah besar. Makna massa sendiri, mengacu pada kolektifitas tanpa bentuk, yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu sama lain. Melalui media massa dapat tercipta identitas bersama dengan kemampuan dapat tercipta keharmonisan. Arti penting media massa dalam merekatkan warga kedalam wadah kebangsaan tampak jelas dalam setiap revolusi di seluruh dunia. Negara besar seperti Amerika, mengapa dapat bertahan sampai sekarang, karena mereka mempunyai nilai-nilai bersama yang bermula dari komunikasi massa dan disebarkan melalui media massa. Media elektronik, seperti televisi lebih cepat untuk menyajikan informasi daripada media cetak. Pemilihan televisi sebagai media pemutaran karya dokumenter bukannya tanpa dasar, seorang kritikus sosial Michael Novak mengatakan: “Televisi adalah pembentuk geografi jiwa. Televisi membangun struktur ekspektasi jiwa secara bertahap. Itu persis seperti sekolah yang memberi pelajaran
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
secara bertahap, bertahun-tahun lamanya. Televisi mengajari pikiran yang belum matang dan mengajari mereka cara berpikir”22. Berarti televisilah yang mengajarkan nilai-nilai, norma-norma sosial, dan pengalaman kepada pemirsa, jika pemirsa dianggap pasif. Televisi berfungsi menanamkan ideologi. Usaha untuk menganalisis akibat-akibat penanaman ideologi tersebut dinamakan cultivation analysis. Pada kenyataannya teori-teori yang ada tidak dapat seratus persen diterapkan karena komunikasi massa dan media massa terlalu kompleks, namun gagasan terhadap komunitas ada benarnya. Khalayak akhir-akhir ini dipandang sebagai anggota komunitas yang diperlakukan tidak sama yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kecil mereka. Ketika agenda media mempengaruhi agenda masyarakat disebut persuasi23. Meskipun begitu, massa atau khalayak tidak serta-merta dipengaruhi secara pasif. Pesan-pesan dan program TV tidak ditentukan secara pasif, tetapi dihasilkan secara aktif oleh audien. Ini berarti audien sebenarnya melakukan sesuatu dengan apa yang mereka lihat, dengar, dan baca24. Dalam level ini televisi tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menawarkan isi (content) yang bermanfaat pada tayangan yang disajikan kepada pemirsa. Informasi yang bernilai guna, bermanfaat, dan menciptakan suatu ketertarikan bersama agar menjadikan mereka terhubung. Ketertarikan pada acara yang sama dalam kelompok olahraga, cerita misteri, dan kartun yang disiarkan televisi. Fungsi komunikasi massa telah masuk disini, yaitu fungsi penghubung (lingkage): kelompok-kelompok yang terpisah 22
Mondry, Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hal 225
23
Littlejohn, Stepehen W, dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi: Theories of Human Communication, Salemba Humanika, Jakarta, 2009, hal 417 24
Ibid, hal 419
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
secara geografis (tetapi dekat secara psikologis) menjadi terhubung25. Mekanisme produksi terdiri dari beberapa tahapan, pertama Pra roduksi, Dalam tahap ini semua hal yang berhubungan dengan kebutuhan perlengkapan dan pematangan konsep dilakukan, membutuhkan waktu minimal dua bulan. Kedua produksi, pada saat produksi merupakan pelaksanaan dari semua yang telah dipersiapkan pada tahap praproduksi. Pelaksanaan produksi membutuhkan waktu satu bulan. Ketiga, paska produksi, umumnya sebelum memasuki tahap editing. Proses penyuntingan terbagi menjadi dua off-line dan on-line.
2.2.3 Konsep Penata Fotografi Pembuatan sebuah film baik fiksi atau non fiksi sangat penting dalam menentukan sebuah pengarah kaidah fotografis supaya gambar yang dihasilkan bisa dinikmati, kaitan dalam proses produksi skripsi aplikatif yang bertajuk sebuah tayangan dokumenter, disini akan dipaparkan sebuah konsep secara umum mengenai apa saja peran penyuntingan gambar saat pra sampai produksi. Penyuntingan gambar biasa disebut dengan istilah Director of Photography yang tugasnya ialah bertanggung jawab dalam menciptakan dan menentukan kebijakan untuk membentuk sebuah imaji film, yang membentuk sebuah pandangan sinematik (cinematik look) dari kaidah fotografi dari pembuatan film. Selain itu Director of Photography menjadi supervisi personil kamera lainnya dan pendukungnya dengan saling mengkoordinasi peran, yang juga bekerja sangat dekat dengan sutradara pada saat produksi. Dengan pengetahuannya mengenai 25
Heru Puji Winarso. Sosiologi Komunikasi Massa, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005, hal 35
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
pencahayaan, lensa, kamera, dan imaji digital. Seorang sinematografer pada pembuatan dokumenter menciptakan kesan dan rasa yang tepat, serta menciptakan gaya dan suasana untuk membangkitkan emosi penonton.
Dalam pekerjaan
penata fotografi terlibat pada praproduksi hingga produksi banyak hal sinematik yang ditentukan oleh seorang pengarah fotografi. Dalam proses pra produksi penata fotografi membuat sebuah rencana yang sudah disepakati bersama sutradara membentuk konsep estetis, teknis dan realistis fotografis, hal tersebut terdiri dari : 1. Menganalisa shooting script dokumenter dan membahasanya bersama sutradara dan personil kamera agar mencapai kesesuaian penafsira untuk mewujudkan gagasan penulis skenario dan sutradara dalam bentuk nyata dengan menciptakan konsep look dan mood yang disepkati bersama untuk membentuk penceritaan yang sesuai. 2. Bersama sutradara Director of Photography yang sudah meriset lokasi pengambilan
gambar
melakukan
penentuan
dimana
blocking
dilapangan,
proses
produksi
pengambilan gambar akan dilakukan. 3. Berkoordinasi
dengan
sutradara
dokumenter dilakukan pengecekan gambar setiap selesai shooting sesuai hasil hunting. Kemudia merencanakan letak kamera dan pencahayaan di lokasi dengan membuat floorplan khususnya ketika wawancara 4. Membentuk,
memilih/menentukan
teamwork
memenuhi persyaratan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang
dianggap
26
5. Menjabarkan konsep visual dalam pencapaian suasana serta rasa (mencakup warna, pencahayaan, karakter visual, komposisi yang juga menghasilkan gerak) dengan memahami terlebih dahulu referensi foto/gambar yang selanjutnya mendiskusikan dengan camera person. 6. Menentukan kebutuhan dan menjamin semua peralatan dengan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan desain visual, kemudian mengkoordinasikan tugas dilapangan ketika produksi. Merencanakan dan menentukan kebutuhan sarana peralatan dan bahan baku yang diperlukan dalam menjalankan tugasnya. 7. Melakukan pengujian alat terlebih dahulu agar sesuai dengan 8. kebutuhan saat produksi sehingga mengurangi kesalahan saat produksi. Pernyataan diatas merupakan perencanaan penata fotografi ketika pra-produksi menentukan sebuah gambar yang akan direalisasikan dalam proses produksi. Dengan demikian perencanaan sangat penting bagian Director of Photography agar mendapatkan gambar yang sesuai kaidah fotografi dengan melakukan rencana sedetail mungkin dari mulai teknis, rencana gambar, peralatan, kondisi lapangan dan menentukan kebijakan lapangan. Maka dari itu ketika proses produksi DOP harus melakukan beberapa hal yang menunjang kebutuhan produksi supaya tidak terjadi kesalahan yang signifikan karena semua merupakan tanggung jawab DOP. Beberapa hal yang harus dilakukan penata fotografi saat produksi 1. mempelajari shooting script dan breakdown gambar dimana penata fotografi mengembangkan checklist gambar setiap hari karena kondisi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
lapangan yang suatu saat bisa berubah tidak sesuai rencana dan merencanakan berapa rencana untuk hari berikutnya. Dalam pengambilan gambar harus memperhatikan masalah lingkungan dan pencahayaan. 2. Memberikan pengarahan tegas fdan tepat pada personil kamera sesuai rencana desain visual. 3. Mengembangkan teknis kreatif saat produksi dan menjaga kesinambungan atmosfer narasumber. 4. Saat subyek narasumber sedang dilakukan pemahaman oleh sutradara, maka penata fotografi menentukan komposisi dan angle sesuai blocking yang diinginkan sutradara. 5. Siap menghadapi perubahan situasi diluar rencana yang dibuat (perubahan cuaca, atau lingkungan subyek yang berubah karena perubahan konflik). Memeriksa laporan kamera.
2.3 Teori Kajian Pengambilan Gambar Dokumenter 2.3.1 Andre Bazin dalam teori Long Take Akan ada pembahasan dalam dua bagian yang akan menyelidiki film Orson Welles‟The Trial‟ (1963) sebagai model untuk menjelaskan teori “Long Take” menurut Brian Henderson, berdasarkan pendapat terhadap sudut kritis Brian Henderson, Ia akan menggunakan skema klasifikasi sebagai dasar untuk pemahaman yang lebih menyeluruh tentang teori "gap" atau “long take” yang ada antara dua pilar dalam film, yaitu, teori eksklusif Sergei Eisenstein dan Andre Bazin. Ini akan menunjukkan bahwa teori-teori yang kurang dipopulerkan dalam
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
dunia perfilman, tetapi mereka berdua belum memberikan banyak pengaruh pada praktisi pembuat film yang dimana Eisenstein dengan teori montage dan Bazin dengan Teori Realitas dalam film. Poin pada penjelasan ini akan mengarah pada atau pendekatan untuk pengembangan teori “Long Take of the Moving Camera”; dan dengan demikian, ini menjadi pertanda adanya gambaran film di masa depan dimana film menjadi suatu proses yang sistematis dimana film menjadi pemisah antara realitas dan mentalitas, diantara kesempurnaan awal dan konsep murni, dan antara teori Bazin dan Eisenstein. Bahkan Henderson mengakui jenis tertentu merupakan mundurnya perkembangan dalam teori evolusi film, kondisi yang dimana ada kemungkinan hubungan pada proses film itu sendiri, sehingga dijelaskan secara lebih konkrit yang dimaksud “montage” dan “long take theory” : Kedua pendapat teori “montage” Eisenstein dan “long take theory” dari Bazin tidak hanya mengabaikan gaya yang sudah ada, (expressive editing + miseen-scène), mereka menyangkal keberadaannya, keduanya lebih memilih yang baik atau untuk perkembangan mentalitas yang masing-masing melihat sesuatu yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, gabungan gaya “long take” dan teknik memotong gambar (cutting) jatuh tepat pada dua sekolah yang berbeda antara Bazin dan Eisenstein, bahwa dalam konsep ini mereka menggabungkan unsurunsur yang berbeda yang disukai masing-masing, tetapi mereka dianggap jatuh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
pada pemikiran mereka masing-masing dimana teori ini berbeda sama sekali diantara keduanya sehingga dianggap tidak saling mengenal. “This is a prime instance of serious omission in the classical film theories, indeed of an entire category of film expression missing from them. This limitation is compounded in importance by the expressive impact that editing has upon the long-take sequence."26 Yang menjelaskan bahwa adanya kesalahan pemahaman pada teori film klasik, dimana sesungguhnya dalam seluruh kategori film memang adanya sesuatu yang hilang dalam ekspresi film klasik yang hilang dari penemunya. Hal ini diperparah dengan pentingnya dampak ekspresif bahwa editing itu memiliki rujukan terhadap the long take sequence. Kemudian teori Bazin dan Eisenstein bisa dijelaskan secara sederhana mengenai “the long take theory” yaitu Reality is taken to art (eisenstein) art is taken to reality (Bazin) bahwa Eisenstein cenderung berpendapat bahwa segala bentuk realitas menjadi sebuah karya seni yang bisa dikenal sebagai seni film dokumenter, sementara Bazin lebih memfokuskan bahwa sebuah karya seni diambil dari kejadian nyata. Hal ini memastikan fakta bahwa Eisenstein mewakili realitas (yaitu realitas dimanipulasi sebagai seni tetap dan murni). Sedangkan Bazin menganggap bahwa dia menyajikan sebuah realitas (yakni seni itu selalu berubah dan tidak pernah realistis), dengan kata lain seni dibawa ke realitas. Pada dasarnya hal itu mengara kepada konsep Orson Welles yang merupakan salah satu pengguna konsep “long take” dan “expressive editing directors” pada era film modern. Dimana merupakan seorang pembuat film yang sukses dalam mengubah 26
Brian Henderson, “The Long Take.” A Critique of Film Theory, New York: E. P. Dutton, 1980, pp. 53 - 54
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
pandangan antara gaya film modern dan klasik. Sebelum kita melanjutkan mengenai “long take directors” (terutama Welles dan filmnya), perlu untuk menganalisis teori-teori yang relevan mengenai “long take theories” yang sudah ditempatkan pada kerangka sinematik dalam sejarah saat ini. Menurut Lutz Bacher dalam Thesisnya MA [berjudul The Mobile Miseen-scène (1976)], ada dua pendekatan dasar untuk konsep “long take camera movement”. Pertama, masalah dapat dilihat dari perspektif “decoupage of spatio temporal” dari seluruh urutan atau adegan. Kedua, dapat dipahami dari point of view gaya fauthorial dimana merupakan estetika pergerakan kamera (camera movement) yang menjadi elemen ekspresif dalam mise-en-scene. Kemudian menurut Andre Bazin memecah “long take theories” sebagai berikut, “There are only two long-take theories -Andre Bazin‟s, which is shared in essence by Jean Renoir and Roberto Rossellini, and Jean Mitry‟s, which is really an anti-long-take theory since it denies that it is essentially different.”27 Jadi bisa dimaksudkan bahwa mereka mendasari sesuatu yang berbeda mengenai “long take theories” sehingga dapat disimpulkan bahwa, “the long take theory” didasarkan pada kemampuan sebuah film atau kapasitas dalam membuat film untuk memunculkan konsep ontologi untuk mengurangi gap dalam spation temporal yang berasal dari ontologi objek atau hubungan antar objek, proses fotografi dan konsep dalam tempo sebuah objek. Analisis pandangan Bazin tentang realisme sinematik dengan cara penjelasan sebagai berikut:
27
Lutz Bacher, The mobile mise-en-scene: A critical analysis of the theory and practice of longtake camera movement in the narrative film, Master‟s Thesis, Arno Press, Wayne State University, Detroit, New York, 1978, pp. 190.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
Menurutnya (Bazin) “estetika memiliki hukum” long take hanya diperlukan untuk membuat sebuah adegan bersifat “seakan-akan nyata” menurutnya estetika diperlukan untuk membuat sesuatu (seni) terlihat seakanakan benar atau nyata. Its use at any other time is only a question of style and he indicates no stylistic preference here … Bazin justified the use of the long take by the criterion of "bringing an added measure of realism to the screen … It is, in fact, his main criterion for judging the realism of shooting styles."28 Pada metode klasik long take kegunaannya hanya sebagai sebuah gaya namun long take menurut bazin adalah memberikan tambahan unsur realitas pada layar sebuah film. Berbeda pendapat dengan Andre Bazin, Menurut Bacher Lutz ada sebuah teori yang yang mengesampingkan pendapat Bazin secara terang-terangan. Pendapat ini disampaikan oleh Jean Mitry. Mitry‟s long take formulation is an “anti-theory” which has not been popularized as much as Bazin‟s cinematic realism; but even so, Mitry‟s concept of synthesis (long take + montage) brings battle to Bazin‟s “ontological theory,” calling into question the meaning of cinematic reality. Formula long take menurut Mitry merupakan “anti theory” yang tidak se populer teori realisme cinematic Bazin, tetapi konsep sintesis long take Mitry dapat memberikan perdebatan kepada teori ontologi Bazin yang mempertanyakan pengertian unsur realitas pada sinema.
28
Ibid, 192
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
Menurut Mitry, long take is not an aesthetic condition but a mode of free-minded expression, long take bukanlah sebuah kondisi estetis melainkan sebuah kebebasan ekspresi si pembuat film.
2.3.2 Konsep Penuturan Dokumenter Film terbagi menjadi dua kategori yaitu fiksi dan non fiksi. Film fiksi merupakan film yang menampilkan ide cerita karangan atau cerita yang tidak terjadi di kehidupan nyata sementara film non fiksi merupakan film yang ceritanya berdasarkan kejadian nyata dan benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Kita dapat melihat contoh dari film non fiksi salah satunya adalah film dokumenter. Film dokumenter adalah sebuah film yang menyajikan fakta sebagai cerita. Dalam istilah perfilman pandangan tentang dokumenter atau film yang berdasarkan fakta kejadian disebut Cinéma Vérité. Eve Light Honthaner dalam bukunya “Film Documentary Handbook” mengatakan, ”cinéma vérité can be described as a method of filming employing hand-held camera and live, synchronous sound. This is a base description, however, for cinéma vérité should imply a way of looking at the world as much as a means of recording. . . The essential element of cinéma vérité . . . is the use of real people in undirected Situations”.29 Hal ini memang menjadi sudut pandang dasar pembuatan film dokumenter diseluruh dunia, seberapa nyata kejadian, waktu dan karakter tanpa dipengaruhi unsur-unsur manipulatif seperti peng-adeganan dalam film itu sendiri. Bruno Forestier, seorang pemeran film dokumenter Perancis arahan Jean-Luc Godard‟s yang berjudul “Le Petit Soldat” (1963), sempat mengkritik cinéma vérité dalam dokumenter. ia mengatakan, “The single most persistent argument about 29
Peter lee Wright, The Documentary Handbook,Routledge,2010, hal 94
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
documentary is how truthful it is, or should aspire to be”. Menurut Bruno, pengadeganan masih diperlukan dalam pembuatan film dokumenter tanpa menghilangkan unsur cinema verita dalam bentuk subjektivitas. Ada pendapat lain yang disampaikan Edgar Morin seorang kritikus film di paris dalam tulisannya di Pompidou Centre mengenai cinema verite: There are two ways to conceive of the cinema of the Real: the first is to pretend that you can present reality to be seen; the second is to pose the problem of reality. In the same way, there were two ways to conceive cinéma vérité. The first was to pretend that you brought truth. The second was to pose the problem of truth30. Maksudnya adalah ada dua cara untuk menyusun sebuah film menjadi nyata, pertama adalah berpura-pura kamu dapat menyampaikan kenyataan, dan yang kedua adalah membuat konflik pada kenyataan. Sedangkan ada dua cara untuk mendapatkan cinema verite dalam film dokumenter, pertama adalah berpura-pura kamu membawa kebenaran dalam film-mu. Kedua adalah membentuk masalah pada kebenaran yang kamu angkat. Kita dapat memilih bagian manapun yang paling cocok dengan film dokumenter kita
2.4 Lima Kajian Sinematografi Dalam jobdesk Director of Photography istilah paling terkenal dalam konsep pengambilan gambar untuk membentuk makna yang tepat sebelum dilakukan secara teknis pengambilan gambar terkenal dengan istilah The Five C‟s of Cinematography dalam buku karya Joseph V. Mascelli yaitu: 1) Camera Angles 2) Continuity 30
Ibid, Hal 95
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
3) Cutting 4) Close Ups 5) Composition.31 Dimana dalam setiap unsur tersebut memiliki penjelasan yang tentunya sangat kompleks namun bisa disederhanakan sebagai berikut. Camera angle
merupakan konsep pengambilan gambar beradasarkan
sudut pandang dari kamera kepada objek dan subjek tertentu, seorang dokumentaris yang berjobdesk DOP harus banyak membaca, banyak mengamati lingkungan, banyak berkomunikasi dengan berbagai lapisan masyarakat, dan banyak berdiskusi dengan lingkungan sosial dan budaya setempat, Sehingga camera angles sangat penting dan mempengaruhi cerita seperti yang tertulis di buku John V. Mascelli camera angles dibagi dua perspektif 1)Subjective Camera Angles yaitu “The subjective camera films from a personal view point. The audiences participates in the screen action as a personal experiences.”32 Bahwa sudut pandang kamera berada pada subjek atau pemeran dalam film yang cenderung bergerak karena penampil diletakkan dalam gambar yang bertujuan supaya pandangan menjadi terhubung anatra mata dengan mata pada subjek lainnya. Camera angles dalam subjective angles dibagi melalui metode dasar yaitu: 1) Point of View , of simply p.o.v camera angles record the scene from a particular player‟s view point. The point of view is an objective angle, but since it falls between the objective and subjective angle, it should be placed in a separate category and given special consideration33.
31
Joseph V. Mascelli, Five C‟s of Cinematography, Silman-James Press, Los Angles, Hal 2 Joseph V. Mascelli , Five C‟s of Cinematography, Silman James Press, Los Angeles, Hal 14 33 Ibid, Hal 22 32
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
Sederhananya ialah gambar merekam pandangan pemain tertentu yang berada diantara pandangan subject dan object. 2) Subject Size is the image size, the size of the subject in relation to the over all frame, determine of the shot photographed. The size of the image on the film is determined by the distance of the camera from the subject.34 Maksudnya adalah ukuran gambar dan ukuran subjek berhubungan dari semua keseluruhan frame berdasarkan tipe shot. Dari pengertian subjektif angle maka dibagi berdasarkan tipe shot yaitu - Extreme Long Shot(ELS)35 tipe pengambilan diambil dari daerah yang luas dan jarak yang jauh, - Long Shot (LS36) tipe gambar yang mengambil keseluruhan area adegan seperti tempat, orang, dan objek dalam scene, - Medium Shot (MS or MD)37 diartikan tipe gambar yang didefinisikan sebagai shot jarak menengah karena diambil diantara jauh dan dekat dari wajah hingga lutut, - Typical Two Shot38 adalah gambar yang sama dengan tipe medium shot namun perbedaanya ialah objek pada gambar ada dua pemain, - Close Up (CU) adalah secara umum tipe shot ini pengambilannya ada pada area wajah hingga bahu , namun banyak istilah dari ide Close Up itu sendiri seperti head and shoulder close up, head close up includes, dan a choker close up namun semua itu tergantung dari ide kameramen dan sutradara masing-masing dalam pembuatan film. Close up dibagi berdasarkan fungsinya menjadi:
34
Ibid, hal 24 Ibid, Hal 25 36 Ibid , Hal 26 37 Ibid, Hal 27 38 Ibid Hal 30 35
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
1) Insert berfungsi untuk memperjelas dan mempertegas benda apa pada suatu adegan seperti close up surat, telepon, handphone, jam tangan , koran dan lainlain. 2) Descriptive Shots berfungsi mendeskripsikan dan membagi tipe shot berdasarkan script yang dibuat.39 Kemudian camera angles ada yang disebut Objective Angles yang menurut Josseph V. Mascelli adalah “the objective camera films from sideline viewpoint, the audience views the event through the eyes of an unseen observer”.40 Sederhananya ialah bahwa kamera mengambil sudut pandang objek dari smping atau depan yang seolah-oleh objek tidak melihat kamera atau kadang objective angle ini merupakan sudut pandang dari penonton. Setelah tertulis bagian dari camera angle yaitu Subjective Angles, Objective Angles, dan Point of View. Kemudian angle sendiri terbagi atas camera height, yaitu jarak tinggi kamera beradasarkan objek dan subjek yang diambil sehingga sudut pandang tepat , level angle yaitu tinggi rendahnya sudut pandang kamera yang diambil yang terbagi menjadi empat adalah a) low angle jarak sudut pandang kamera terletak lebih rendah dari objek atau dari pandangan subjek b) high angle sudut pandang kamera lebih tinggi dari objek dan pandangan subjek c) eye level sudut pandang kamera sejajar dengan objek atau lurus dengan garis mata 39 40
Ibid, Hal 32 Ibid, Hal 13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
d) angle plus angle sudut pandang kamera yang mengambil angle tinggi namun digambar itu terlihat rendah secara sederhana didalm gambar terdapat dua angle low angle dan high angle contoh mengambil gambar gedung dengan helikopter namun sudut kamera ke arah bawah (low angle).41 Kemudian yang kedua bagian dari Five c‟s Cinematography ialah Continuity atau kesinambungan gambar. “continuity a professional sound motion picture should present a continuous , smooth, logocal flow of visual images, supplemented by sound , depicting the filmes event in coherent manner.”42 Yang dapat diartikan secara umum ialah dalam pengambilan teknik atau konsep cinematography setiap adegan harus memiliki kesinambungan gambar dari scene satu ke scene yang lain sehingga memiliki keselarasan dan bisa diterima logika seperti waktu, tempat, lighting , pemain , sudut kamera dan lain-lain. Yang
ketiga
adalah
Cutting
merupakan
bagian
dari
analisis
cinematography juga karena peran DOP juga sebagai penyunting gambar pada tahap produksi karena menurut buku The Five C‟s of Cinematography adalah: “ film editing may be compared with cutting, polishing and mounting diamond. This chapter is not intended for films editors, it is aimed at the non theathrical cameraman filming, the film editors strives to impart visual variety to the pictur by skillful shot selection, arrangement, and timming .He recreates, rather than reproduces.”43 Diartikan bahwa unsur pemotongan tidak hanya dibagian paska produksi tapi juga dalam produksi seorang kameramen harus bisa menseleksi gambar sehingga untuk editor nanti pada tahap pra produksi mengetahui keselarasan unsur sinematography antar shot satu dan yang lain sehingga mendapat timing yang pas. 41
Ibid , hal 35-44 Ibid, Hal 67 43 Ibid , Hal 147 42
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
Bagian berikutnya adalah Close-Ups mengapa closeup menjadi bagian penting bahkan besar dalam ilmu cinematography menurut Josseph dalam bukunya “The close up is a device unique to motion pictures. Only motion pictures allow large scale portrayal of a portion of the action. Close ups should be considered from both visual and editorial standpoints.”44 Karena close up bagian unik yang dijelaskan menurut josseph karena di pengambilan gambar akan berpengaruh pada perasaan orang yang menonton film itu dan untuk mempertegas kejadian atau ekspressi pemain secara lebih detail include close up akan berdampak pada rasa sebuah film melalui ekspresi entah itu horror, lucu, tegang, sadis, atau, marah dari gambar Close Up itu muncul untuk meyakinkan penonton. Composition
adalah
bagian
terakhir
dari
rangkaian
penting
sinematography menurut Jossep V. Mascelli karena melalui komposisi gambar jadi memiliki nilai fotografis dan enak untuk dipandang atau lebih memiliki seni seperti berikut: “good composition is arrangement of pictorial elements to form a unified, harmonious whole. A cameramen composes whenever he positions a player, a piece of furniture, or a prop, place and movement of players within the setting should the planned to produce favorable audiences reactions.”45
44 45
Ibid, Hal 173 Ibid Hal 197
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
2.4.1 Konsep Dokumenter Dalam perdebatan argumen tentang bagaimana dokumenter menjadi film non fiksi yang diakui sebagai tayangan yang memiliki kegunaan sebagai film dengan kejadian yang nyata, argumen inipun memiliki konsep bulat apa yang disebut dokumenter itu. Lempar pendapat pun menjadi kuat sehingga diambil kata kunci bahwa dokumenter adalah bagaimana tentang kejujuran, atau pencapaian. Seperti yang dikatakan Bruno Forestier “cinema is truth twenty-four times a second.”46 Kebenaran dokumenter pun terbentuk ideologi yang berbeda dari setiap ahli yang pernah membuat film dokumenter dari negara yang berbeda pula, karena perhatian dan pemahaman tentang kebenaran jelas merupakan relativitas budaya yang bergeser dari waktu ke waktu. Meninjau bagaimana evolusi dari dokumenter ialah penting untuk meninjau sebuah konteks tertentu sehingga ideologi terbagi dengan jelas dalam beberapa tingkatan dengan banyak bentuk fleksibel. Konsep dokumenter yang dimaksud ialah terbagi dalam beberapa substansi:
1. Cinema Verite menurut Dziga Vertov atau biasa dipanggil kinopravda merupakan pencipta inovasi terkenal di Rusia, yang menjelaskan There are two ways to conceive of the cinema of the real: the first is to pretend that you can present reality to be seen; the second is to pose the problem of reality. In the same way, there were two ways conceive cinema verite. The first was to pretend that you brought truth. The second was to pose the problem of truth.47 46
Wright Peter Lee, The Documentary Handbook, Routledge, New York, 2010
47
Wright Peter Lee, The Documentary Handbook, Routledge, New York, 2010 Hal 93
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
Yang dapat diambil garis besar bahwa ada dua cara dalam memahami dan membayangkan sebuah film dengan tayangan nyata, yaitu yang pertama adalah dengan berpura-pura bahwa seorang pembuat dokumenter bisa menyajikan sebuah realitas, yang kedua adalah untuk menimbulkan masalah yang ada dalam dokumenter itu sendiri. Dan juga dengan cara yang sama ada yang bisa dipahami mengenai cinema verite. Yang pertama adalah bahwa seorang dokumentaris benar-benar menyajikan dan membawa kebenaran. Yang kedua adalah untuk menimbulkan masalah kebenaran.
2. Direct Cinema meskipun cinema verite adalah istilah populer pada abad kedua puluh dalam dokumenter amerika, namun istilah yang benar adalah Direct Cinema, yang dipelopori oleh Robert Drew dan Richard Leacock. Mereka memiliki ideologi,mereka berkomitmen bisa menghasilkan sesuatu yang murni dari tayangan nyata yang difilmkan seperti dokumenter. Karena realitanya film tidak akan membawa jejak si pembuatnya. Karena hal ini merupakan apa yang dikatakan Robert Drew yang ditulis dalam sebuah artikel „Narration can be a killer‟, arguing that voiceover was what you do when you fail, and elsewhere claiming that “the filmmaker‟s personality is in no way directly involved in directing the action. But, as we have seen, just because a director does not tell people what to do and say, it does not mean their presence has not influence on the outcome, nor that the resulting film will not construct a particular perspective on its subject.48
48
Ibid hal 95
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41
Dapat disimpulkan bahwa apa yang tidak tersampaikan dalam gambar bisa menggunakan voiceover atau dubbing dalam menyampaikan cerita. Namun yang lain beranggapan bahwa seorang pembuat film sama sekali tidak terlibat secara langsung dalam mengarahkan sebuah adegan. Tapi hanya karena seorang sutradara tidak berbicara kepada orang-orang apa yang dilakukan dan berkata, bukan berarti kehadiran sutradara tidak berpengaruh, atau bahkan mengganggap tidak berpengaruh pada perspektif film dokumenter itu sendiri. Bahwa Direct Cinema merupakan bagian pembuatan dokumenter yang dimana segala sesuatu bisa diatur berdasarkan perspektif sutradara tidak hanya menampilkan kisah nyata tapi juga menceritakan apa kenyataan yang terjadi.
3. Free cinema, merupakan gerakan awal di inggris pada tahun 1950an, yang ditemukan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda dalam merekam kisah nyata. Subjek yang umumnya melihat dari sudut kehidupan keseharian. banyak dari mereka yang sadar tentang sesuatu yang penting dalam seni, dari sana banyak yang menjadi tokoh kunci pembuat film terkemuka di Inggris pada generasi mereka. Yaitu tokoh yang memulai ideologi ini salah satunya adalah Lindsay Anderson, dia memulai karir karena kritik terhadap film yang dibuat yang berjudul O Dreamland pada tahun 1953. Dan tokoh lainnya adalah Karel Reisz dan Tony Richardson membuat film tentang club musik jazz , Momma Don‟t
Allow
(1956),
dan
Lorenza
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Mazetti‟s dengan
judul
42
Together(1953). Yang tersebut diatas merupakan beberapa program dokumenter yang sukses dalam menerapkan ideologi Free Cinema selama tiga tahun, karena merupakan hal baru dalam pertelevisian yang memuaskan, dapat disimpulkan bahwa free cinema menurut mereka adalah : The films were „free‟ in the sense that they were made outside the framework of the film industry, and that their statements were entirely personal. they had in common not only the conditions of their production (shoestring budget, unpaid crew) and the equipment they employed (usually hand-held 16 mm Bolex cameras). But also a style and attitude and an experimental approuch to sound.49 Free cinema ini adalah membuat film dengan cara produksi yang sama dan gaya yang sama namun dalam aliran ini film yang dibuat kontennya adalah merupakan film-film yang bebas mereka dibuat diluar dari ketentuan industri yang sifatnya lebih eksperimental baik dalam pengambilan gambar atau penyajian cerita. 4. Observational Documentary, dalam sejarah konsep ini memiliki perjalanan panjang terbentuknya, sebagai penemu konsep, Inggris justru para pembuat filmnya lebih beralih ke drama, karena untuk mengambil perhatian penonton yang lebih tertarik pada drama, dokumenter layar lebar jatuh ke dalam periode panjang penurunan, sehingga meninggalkan bentuk yang justru dikembangkan oleh televisi. Dan TV itu adalah yang dikenal dengan nama BBC Channel, banyak bentuk penyampaian oleh jurnalis dari BBC, mungkin sebutan Observational Documentary tidak akan diakui perbedaan resmi oleh
49
Ibid hal 97
http://digilib.mercubuana.ac.id/
43
Nichole antara puitis, ekspositoris, observasional, partisipatif, dan model refleksif. Contoh pertama kali film dokumenter observational adalah membuat terobosan dengan judul Paul Watson‟s The Family (1974) yang menghabiskan waktu selama 12 minggu untuk mambaca dan mengamati keluarga Watson, mengenai cobaan dari keluarga tersebut dalam kesehariaannya dengan mengambil percakapan tanpa menyaring komentar tertentu dan tidak ada konteks wawancara tertentu hanya mengalir berdasarkan apa yang dilakukan oleh subjek. Jadi bahwa observational documentary disimpulkan menurut pendapat Graef “was always hard to sustain and many television series of the 1980‟s, thought they followed the general approach and projected themselves as „fly on the wall‟, also used interview and occasionally voiceover to provide a continuity of information throughput and to provide an additional means of obtaining coherence and structure50.” Observational documentary adalah bagaimana mengemas tayangan dengan menyajikan tayangan langsung dari sebuah subjek yang melakukan sesuatu yang tidak biasa agar menampilkan kisah nyata dengan segala percakapan yang secara langsung terucap tanpa ada memotong pembicaraan nara sumber, sehingga terjadi drama nyata kehidupan yang terdokumentasikan, namun terkadang ada penggunaan wawancara-wawancara nara sumber pilihan yang percakapannya menjadi voiceover dari hasil video yang didokumentasikan agar kontinuitas informasi tetap berjalan dengan adanya sulih-sulih suara
50
Ibid Hal 99
http://digilib.mercubuana.ac.id/
44
narasumber lain, sehingga observational documentary ini menjadi koheren dan terstruktur. Dari apa yang akan dibuat menjadi tayangan dokumenter film yang berjudul “Pesisir Harapan” akan menerapkan konsep observational pada proses pembuatannya.
Kemudian dalam pembuatan sebuah program atau film dokumenter dilihat dari sisi konsep yang sudah terbagi sedemikian rupa dari para ahli yang berbeda yang sudah disebutkan , terdiri dari Cinema Verite, Direct Cinema, Free Cinema, dan Observational Documentary. Dimana konsep itu ada karena adanya pola penerapan dalam menggali sebuah fakta yang akan ditayangkan atau direkam menjadi paduan cerita nyata , dengan cara yang berbeda dan argumentasi berbeda dari setiap hari, yang memiliki informasi yang tersampaikan jelas dengan cerita nyata. Namun pada akhirnya bisa ditarik garis besar dari tayangan dokumenter adalah bahwa merupakan karya non fiksi yang menyajikan sebuah cerita dengan memberitahu isi informasi pada setiap film melalui berbagai fakta yang ada sehingga terbentuk cerita yang berstruktur.
2.4.2 Gaya Penuturan Dokumenter Sajian konsep dokumenter akan mengarah pada cara gaya bertutur dari filmmaker dokumenter yang akan membuatnya, dimana gaya bertutur merupakan gaya dari si pembuatnya itu sendiri yang mengekspresikan karya sesuai gaya dan bentuk bertutur. Sejalan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
45
dengan perkembangan zaman, film dokumenter memiliki bentuk dan gaya bertutur memiliki kriteria dan pendekatan spesifik. Dalam perkembangan berikutnya bukan tidak mungkin bahwa akan ada penambahan bentuk penuturab atau gaya bertutur secara kreatif. Seperti yang di jelaskan Gierzon R. Ayawalia dalam bukunya, ada beberapa contoh yang berdasar gaya dan bentuk bertutur itu, antara lain: laporan perjalanan, sejarah, potret atau biografi, perbandingan, kontradiksi, ilmu pengetahuan, nostalgia, rekonstruksi, investigasi, association
of
picture
story,
buku
harian,
dan
dokudrama.
Penjelasannya: -
Laporan perjalanan. Penuturan model laporan perjalanan menjadi ide awal seseorang untuk membuat film non fiksi. Awalnya, mereka hanya mendokumentasikan pengalaman yang didapat selama melakukan perjalanan jauh.51 Pada umumnya perjalanan ekspedisi dibuat dokumentasinya sebagai contoh, ekspedisi penelitian ke Alaska dan Siberia yang pertama kali dibuat oleh Cherry Kearton, di Indonesia pun ada ekspedisi perjalanan yang menjadi tayangan dokumenter di stasiun swasta Metro TV yang berjudul „Ring Of Fire‟. Adegan spontan yang
terjadi
dalam
dokumentasi
perjalanan
yang
dibuat
dokumenter dalam bentuk petualangan dan ekspedisi menjadi daya tarik cara bertutur film jenis ini. Biasa disebut dengan istilah road
51
Gerzon R Ayawaila, Dokumenter dari ide sampai produksi, FFTV-IKJ Press, 2009, hal 38
http://digilib.mercubuana.ac.id/
46
movies yang diperkenalkan oleh Hopper (filmnya: Easy Rider, 1969) dan Robert Kramers (Route One USA,1989)52.
-
Sejarah. Awalnya, produksi film sejarah dimaksudkan untuk propaganda. Diawali karena Perang Dunia I pada sekitar tahun 1914 hingga 1918, kemudian dilanjutkan Perang Dunia II tahun 1935 hingga 1950-an.53 Karena pada saat itu film dokumenter dengan gaya bertutur saat ini lebih difungsikan sebagai kebutuhan propaganda. Dengan kata lain dokumenter dengan pola bertutur seperti ini, fakta sejarah dipresentasikan melalui interpretasi imajinatif untuk tujuan politik tertentu. Yang umumnya dokumenter sejarah akan memiliki durasi yang cenderung panjang bisa mencapai 4 jam bahkan lebih, jika pada tayangan dokumenter televisi bahakan mencapai 5-10 jam yang dibagi menjadi beberapa episode. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menilik dokumenter sejarah, yaitu: periode (waktu peristiwa sejarah), tempat (lokasi peristiwa sejarah), dan pelaku sejarah.54
-
Potret/biografi. Isi film jenis ini merupakan representasi kisah pengalaman hidup seorang tokoh terkenal ataupun anggota masyarakat biasa yang riwayat hidupnya dianggap hebat, menarik,
52
Ibid hal 39 Ibid hal 40 54 Ibid hal 41 53
http://digilib.mercubuana.ac.id/
47
atau menyedihkan. Bentuk potret umumnya berkaitan dengan aspek human interest, sementara isi tuturan bisa merupaa\kan kritik,penghormatan, atau simpati.55
-
Perbandingan. Dokumenter ini dapat dikemas ke dalam bentuk dan tema yang bervariasi, selain dapat pula digabungkan dengan bentuk
penuturan
perbandingan.
lainnya,
Dalam
untuk
bentuk
mengetengahkan perbandingan
sebuah
umumnya
diketengahkanperbedaan suatu situasi atau kondisi, dari suatu objek/subjek dengan yang lainnya.
-
Kontradiksi. Dari sisi bentuk maupun isi, tipe kontradiksi memiliki kemiripan dengan tipe perbandingan; hanya saja tipe kontradiksi lebih kritis dan radikal dalam mengupas permasalahan. Oleh karena itu, tipe ini lebih banyak menggunakan informasi wawancara untuk mendapatkan informasi mengenai opini publik. Misalnya kontradiksi mengenai masyarakat kaya dan miskin, demokratis dan ototriter, modern dan tradisional, dan sebagainya.
-
Ilmu Pengetahuan. Cukup jelas bahwa bentuk dokumenter ini berisi mengenai penyampaian informasi sebuah teori, sistem, berdasarkan ilmu tertentu. Dengan adanya teknologi komputer
55
Ibid hal 42
http://digilib.mercubuana.ac.id/
48
untuk animasi, hal ini banyak membantu memperjelas informasi justru ketika gambar visual tak mampu memberikan detil informasi. Misalnya, informasi statistik atau gambaran mengenai sistem kerja komponen sebuah produk elektronik.
-
Nostalgia. Adalah gaya penuturan dokumenter dimana kisah yang kerap diangkat dalam dokumenter nostalgia ialah kilas-balik dan napak tilas para veteran perang Amerika
yang kembali
mengunjungi Vietnam atau Kamboja. Atau dokumenter mengenai orang Belanda yang dulu pernah tinggal di Indonesia, kini mengunjungi tempat mereka pernah dilahirkan dan dibesarkan.
-
Rekonstruksi. Pada umumnya dokumenter bentuk ini dapat ditemui pada dokumenter investigasi dan sejarah, termasuk pula pada film etnografi dan antropologi visual. Dalam tipe ini, pecahan-pecahan atau bagian-bagian peristiwa masa lampau maupun masa kini disusun atau direkonstruksi berdasarkan fakta sejarah.
-
Investigasi. Istilah ini muncul pertama kali dari Nellie Bly ketika dia menjadi reporter di suratkabar Pittsburgh Dispatch, tahun 1890. Ketika itu, Bly sedang menyelidiki kasus buruh anak yang dipekerjakan dalam kondisi yang memprihatinkan. Bentuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
49
penuturan investigasi terkadang melakukan adegan rekonstruksi untuk mengungkap suatu peristiwa yang terjadi pada masa lalu.
-
Association picture story. Disebut juga sebagai film eksperimen atau film seni. Sejumlah pengamat film menganggap bentuk ini merupakan film seni atau eksperimen. Gabungan gambar, musik, dan suara atmosfer (noise) secara artistik menjadi unsur utama.
-
Buku harian. Dokumenter jenis ini disebut juga diary film. Dari namanya, buku harian, jelas bahwa bentuk penuturannya sama seperti catatan pengalamn hidup sehari-hari dalam buku harian pribadi. Hal ini sebenarnya sama saja dengan mendokumentasikan video keluarga dengan cara sederhana tentang kegiatan keluarga atau acara internal lainnya.
-
Dokudrama. Ini merupakan gaya penuturan dan bentuk yang memiliki motivasi komersia. Karena itu subjek yang berperan disini adalah artis film. Di sebuah tahap pembuatan produksi film baik fiksi ataupun non fiksi memiliki ketentua teknik estetika pengambilan gambar yang harus diterapkan sesuai konsep dan kaidah yang sudah ada, di tayangan dokumenter sendiri penerapan sinematografi sedikit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
50
berbeda dengan teknik yang ada dalam drama oleh karena itu penjelasan
konsep
sinematografi
yang
akan
dibuat
akan
mempermudah dalam tahap produksi. Lalu dalam memulai produksi tentu seorang yang bertanggung jawab harus memahami tugas seorang senimatografer atau Director Of Photography, menjelaskan tahapan dasar membuat produksi film, deskripsi kerja dalam tim produksi, khususnya perekam gambar mencakup: menyusun tim produksi, dan menentukan shoot yang diinginkan sutradara dan mengeksplor apa yang menjadi keinginan sutradara agar shoot lebih memiliki makna dalam penuturannya. Yang prinsipnya kerja sinematografer bisa dijelaskan seperti ini: menjelaskan tentang pengoperasian kamera dengan baik serta cara pemeliharannya, proses perekaman yang dapat menghasilkan gambar dan suara dengan baik, dan mengasah inisiatif untuk menyesuaikan diri dengan keterbatasan alat. Materi mencakup: dasar-dasar sinematografi, pengenalan teknologi kamera, teknik pengambilan gambar, tata cahaya, dan penataan kamera saat produksi.56 Oleh karena sinematografi dalam pembuatan dokumenter setiap gambar
yang
direkam
komprehensif untuk bisa
harus
memiliki
makna
jelas
dan
melukiskan informasi yang akan
diberikan ke audience, dan karena film „bagaikan menulis dengan 56
Panca Javandalasta, Lima Hari Mahir Bikin Film, Mumtaz Media, Jakarta, 2011, hal 4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
51
gambar‟ maka seorang Direct Of Photography adalah memahami estetika melalui gambar yang diinginkan sutradara. Sehingga hal matangnya konsep kamera menjadi ujung tombak dari medium pikiran sutradara. Ada dua konsep penerapan sinematografi didokumenter yaitu: -
Visualisasi (visualization), proses menerjemahkan gagasan dan kata-kata ke dalam bentuk gambar-gambar statis.
-
Mengungkapkan gambar bergerak (picturization), proses bertutur dengan gambar bergerak, yaitu menggerakan gambar dengan memberikan penekanan pada gambar agar dapat menuturkan artiarti tertentu.57 Karena bentuk dokumenter yang akan dibuat dalam judul “The Savior” merupakan konsep penuturannya berbentuk Comparison maka teknik dalam kaidah estetika pengambilan gambar akan memiliki kebebasan dalam menentukan angle dan komposisi dalam arti tidak terbatas dalam pengambilan gambar secara observational saja. Akan tetapi lebih menuturkan gambar secara bebas dan terperinci ketika wawancara narasumber agar mendapat gambar dengan informasi yang kontradiksi. Alu berdasarkan kaidah estetika maka gambar akan lebih dibuat dengan model statis ketika wawancara dan dengan metode observational dalam perekaman gambar. Namun juga tidak membatasi penambahan gambar beauty
57
Fajar Nugroho, Cara Pinter Bikin Film Dokumenter, GalangPress, Yogyakarta, 2007, hal 114
http://digilib.mercubuana.ac.id/
52
shoot. Pengaruh estetika dokumenter sangat dibutuhkan tidak hanya tentang gambar yang indah tapi juga tentang gambar yang melukiskan informasi secara detail, jelas dan koheren.
2.5 Unsur Sinematik Keberadaan film merupakan karya seni yang bertajuk audio visual yang dimana harapannya
film
ini memberi pengaruh pada penonton
yang
menyaksikannya, adapula pengaruh yang dibuat didalam film tidak terlepas dari unsur-unsur sinematik dalam pembuatan film, secara keberadaan film dibagi menjadi 2, yaitu film naratif dan film non naratif. Film naratif merupakan film yang mempunyai alur cerita atau sekarang populer dengan sebutan film fiksi. Sedangkan film non naratif justru sebaliknya, tidak mempunyai alur cerita. Film non-naratif dibagi menjadi 2 film dokumenter dan film eksperimental (abstrak). Pembagian keduanya memang tidak mutlak, beberapa ahli mempunyai pembagian yang berbeda, namun secara substansi tidak berbeda jauh. Pada perkembangan hingga saat ini muncul hibridasi-hibridasi sinematik dari para pembuat film baik fiksi ataupun non fiksi. Maka dari pembahasan diatas hibridasi-hibridasi yang terjadi dalam film dokumenter saat ini adalah tentang memasukan kaidah estetis dalam film dokumenter sehingga dokumenter lebih enak untuk ditonton, karena unsur sinematik menjadi bagian untuk mengolah dan membungkus konten yang sudah dibuat melalui cerita. Dalam komponen unsur sinematik penerapan tidak hanya dilakukan dalam film fiksi pada era ini tetapi film non fiksi juga membuat ruang untuk meletakkan unsur sinematik dalam pembuatannya. Di perancis unsur
http://digilib.mercubuana.ac.id/
53
sinematik yang mempengaruhi sinematografi terkenal dengan teori mise en scene dan mise en shot. Oleh karena itu maka keduanya akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Mise en scene Mise en scene adalah istilah bahasa perancis yang artinya adalah meletakkan dalam scene. Mise en scene merupakan segala sesuatu yang kita lihat didalam tayangan film, semua apa yang terlihat dalam layar merupakan bagian dari mise en scene. Mulai dari setting tempat, pencahayaan, kostum, make-up, pencahayaan, dan ekpressi figur dan gerakan. Of all techniques, mise-en-scene is the one the viewers notice most. After seeing a film, we may not recall the cutting or the camera movements, the dissolves off the screen sound.58 Jadi dalam semua teknik film yang dibuat, mise-en-scene adalah sesuatu yang paling dilihat penonton pertama kali, bahwa mise-en-scene bukan berupa penggambaran cutting kamera, pergerakan kamera, transisi atau efek suara. Tetapi mise-en-scene mengenai penggambaran sebuah pesan dalam suatu adegan yang dilihat dari sisi pencahayaan, make up, kostum, dan lain-lain. Penonton merasakan film karena unsur sinematik tersebut dimana hal-hal yang membuat film menjadi memiliki rasa baik menjadi dramatis, bahagia, suram, menyenangkan, seram dan sebagainya. Hal tersebut merupakan usaha sinematik selain dari unsur sinematografi, karena hal ini menjadi faktor nomer satu dalam pembuatan film yang biasanya digunakan dalam pembuatan film fiksi, namun di dokumenter juga
58
David Bordweel, Kristin Thompson, Film Art an Introduction. McGraw Hill Higher Education, New York. 2008, hal 112
http://digilib.mercubuana.ac.id/
54
bisa diterapkan dengan membuat gambar-gambar dramatis namun diambil dengan unsur realita didalamnya. In the original French, mise en scène (pronounced meez-ahn-sen) means “putting into the scene,” and it was first applied to the practice of directing plays. Film scholars, extending the term to fi lm direction, use the term to signify the director‟s control over what appears in the film frame59. Pengucapan asli dari perancis, mise en scene (meez-ahn-sen) yang berarti “putting into the scene” atau meletakan sesuatu pada sebuah pengadeganan (scene) dan hal ini pertama kali dilakukan pada praktek mengarahkan drama pada teater. Pakar film, menambah istilah bagi para pembuat film, untuk menandai bahwa ada perbedaan dari seorang director film untuk mengkontrol semua yang akan ada dalam frame film. Mise-en-scene meliputi fungsi sebuah scene dalam film. Apakah hal itu untuk menjelaskan sesuatu, ataukah untuk kesan dramatik, semua tergantung dari kebutuhan film itu sendiri. Penyusunan-penyusunan dalam mise-en-scene juga sangat penting untuk menimbulkan perasaan dalam film seperti harapan tokoh dalam scene itu, permasalahannya dan lain-lain. Selain itu fungsi mise-en-scene adalah untuk mengambangkan keingintahuan penonton tentang sebuah scene atau bahkan film itu sendiri. Pembuat film dapat menggunakan mise-en-scene untuk mencapai realisme, memberikan pengaturan seotentik mungkin untuk mendapatkan subjek tampil sealamiah mungkin. Namun, sepanjang sejarah film mise-en-scene hanya digunakan untuk kepentingan fantasi saja, tetapi sudah sering digunakan untuk tujuan ini.
59
Ibid hal hal 112
http://digilib.mercubuana.ac.id/
55
Komponen-komponen pada sebuah Mise-en-scene Mise-en-scene menawarkan pembuat film empat pilihan bidang umum dan kontrol : setting, kostum dan make up, pencahayaan dan pementasan ( yang mencakup akting dan pergerakan kamera). Setting Sejak awal munculnya perfilman, kritikus film dan penonton memiliki pemahaman untuk memiliki peran aktif dalam menilai film dibandingkan dengan teater. Andre Bazin menulis : The human being is all-important in the theatre. The drama on the screen can exist without actors. A banging door, a leaf inthe wind, waves beating on the shore can heighten the dramatic effect. Some film masterpieces use man only as an accessory, like an extra, or in counterpoint to nature, which is the true leading character.60 Bahwa menurut Andre Bazin, manusia adalah yang paling penting pada sebuah pementasan teater. Drama pada layar bisa ada tanpa aktor. Sebuah benturan pintu, hembusan angin di daun, gelombang yang mengikis pantai bisa menjadi efek dramatis pada film yang dimana itu tanpa perlu menggunakan aktor, tetapi menggunakan suasana untuk menambahkan rasa pada gambar untuk mengikat pesan didalamnya. Beberapa karya film yang menggunakan aktor hanya sebagai aksesoris saja, seperti figuran, atau untuk pendamping dengan alam, yang merupakan leading character pada film. Jadi setting atau lokasi merupakan hal utama dalam produksi film baik dokumenter atau fiksi agar selaras dengan cerita dan menjadi tepat dalam membangun realitas. 60
Ibid Hal 115
http://digilib.mercubuana.ac.id/
56
Costumes and Make up Jika merencanakan sebuah pembuatan film. Anda akan lebih fokus dan memperhatikan sisi pemilihan aktor saat anda membayar sebuah lokasi untuk shooting. Seperti pengaturan lokasi, kostum dapat memiliki hal spesifik yang bervariasi dan memiliki fungsi tertentu dalam seluruh proses pembuatan film. Pemilihan kostum dapat memengaruhi motif karakter, memberikan kesan eksklusif, yang mencirikan seorang karakter secara individual. Ketika seorang filmmaker ingin menekankan figur seseorang atau karakter, setting dapat menetralkan latar belakang, sedangkan kostum menjadi kunci utama untuk mempertegas dan menonjolkan karakter dari figur tersebut. Harrison Ford mengakui pemilihan kostum dalam film dapat mempengaruhi karakter dan memiliki kekuatan untuk menciptakan figur. “The costume is a very important thing. It speaks before you do. You know what you‟re looking at. You get a reference and it gives context about the other characters and their relationships.”61 Dalam konteks mise en scene, pemilihan kostum dapat menjadi pembeda antara satu karakter dan karakter lain dan menciptakan hubungan antara masingmasing karakter. Kita dapat membedakan karakter mana yang merupakan tokoh protagonis dan antagonis dari kostumnya. Dengan set yang sesuai, sebuah karakter akan terlihat lebih tegas dan menonjol. Sebuah karakter tidak bisa terpisah oleh make-up. Make up dapat mempertegas gimmick dan ekspresi karakter. Treatment khusus pada make-up juga akan membuat sebuah karakter mendapat kesan ekstra, lebih muda, lebih tua, 61
Ibid Hal 120
http://digilib.mercubuana.ac.id/
57
lebih berperawakan keras, atau lembut, dan lebih bersinar ataupun gelap. Perkembangan teknologi juga membuat make-up karakter semakin variatif dan unik. Lighting Memanipulasi cahaya adalah kemampuan yang harus dimiliki filmmaker untuk menciptakan interpretasi dalam mise en scene. Ada empat hal yang bisa di explore oleh filmmaker dalam memanipulasi cahaya, yaitu kualitas, arah, sumber, dan warna. Kualitas cahaya mengacu pada penggunaan hard light dan soft light. Hard light bisa menciptakan bayangan yang cukup untuk membuat karakter pada objek, dan sudut-sudut bayangan yang tajam sedangkan soft light digunakan untuk membuat ambience dan difusi yang terkesan alamiah. Arah cahaya mengacu pada posisi penempatan sumber cahaya dan arah kemana cahaya tersebut menunjuk. posisi sumber cahaya menetukan apakah obje tersebut akan diberi cahaya penuh hingga tak ada bayangan, hanya sebagian sisi objek saja atau justru menciptakan bayangan penuh/ siluet. Konsep pengarahan cahaya atau yang dikenal secara umum sebagai three point lighting juga bisa memanipulasi cahaya agar tokoh lebih berkarakter dengan menggunakan key light, fill light dan back light. Sumber cahaya mengacu pada darimana cahaya tersebut berasal. Setiap sumber cahaya memiliki tingkat intensitasnya sendiri dan memiliki fungsinya untuk menciptakan karakter yang dibutuhkan. Beberapa lampu memiliki tingkat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
58
intensitas cahaya yang membuatnya memiliki fungsi sendiri jika digunakan secara terpisah maupun bersama-sama Warna cahaya yang digunakan dalam film umumnya terbagi atas dua yaitu daylight dan yellow light. Warna lain dengan menggunakan filter dapar dikombinasikan demi tujuan tertentu walaupun tidak terkesan realistik. Staging Staging dalam hal ini lebih mengarah kepada performance dan kemampuan aktor atau aktris mencerna screen direction yang diberikan oleh sutradara. Kemampuan akting seorang pemain akan sangat menentukan sebuah pesan tersampaikan dengan baik dengan kemampuan interpretasi penonton. Aktor sangat memberikan kontribusi besar pada aspek-aspek visual yang ingin ditawarkan kedalam film. Akting yang baik dapat memberikan pertanyaan kepada penonton apakah para aktor tersebut benar-benar akting sehingga realisme dapat tercipta dan penonton tidak lagi meragukan apakah aktor benar-benar akting atau tidak. Indikasi keberhasilan akting seorang aktor atau aktris adalah dengan hanyutnya emosi penonton pada adegan yang dibawakan. Tetapi kita harus memahami acting style yang ingin dicapai oleh film. Persoalan realisme pada akting mengacu pada tujuan masing-masing film. Tidak semua film menginginkan realisme dalam akting yang dibawakan oleh aktor dan aktrisnya. Selama interpretasi penonton berhasil memaknai film sesuai yang diinginkan filmmaker, maka realisme berakting tidak menjadi persoalan, mise en scene tetap berlaku pada semua konsep film.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
59
2. Mise-en-shot Pengunaan unsur sinematik dalam hal pengambilan gambar disebut mise-en-shot, dapat dijelaskan bahwa mise-en-shot adalah tentang sebuah peristiwa yang difilmkan, mise-en scene yang difilmkan. Jadi secara harfiah berarti “memasukkan kedalam gambar” atau mudahnya shooting dalam film. Mise-en-shot terdiri dari posisi kamera, camera movement, shot scale, shot panjang, durasi dalam pengambilan gambar, dan editing. Mise en shot adalah mengenai teknik untuk menimbulkan kesan estetis dan bermakna pada sebuah gambar, yang bentuknya bisa dibagi dalam beberapa teknis kamera. Pertama adalah camera movement yang terdiri dari pan, tilt, tracking, crane, zoom, pedestal, crab, dan arc secara rinci sebagai berikut : Pan atau panning Pan adalah gerakan kamera secara horizontal (mendatar) dari kiri ke kanan atau sebaliknya, jenisnya yaitu
pan right (kamera bergerak
memutar kekanan), pan left (kamera bergerak memutar kekiri). Tilt atau tilting Tilting adalah gerakan kamera secara vertikal, mendongak dari bawah ke atas atau sebaliknya. Terdiri dari tilt up: mendongak ke atas, tilt down: menunduk ke bawah. Gerakn kamera seperti ini digunakan untuk mengikuti gerakan objek, untuk menciptakan gerakan dramatis, dan mempertajam situasi. Dolly atau track
http://digilib.mercubuana.ac.id/
60
Dolly atau track adalah gerakan di atas tripod atau dolly mendekati atau menjauhi subyek, yaitu dolly in (mendekati subyek), dolly out (menjauhi subyek). Pedestal Pedestal adalah gerakan kamera di atas pedestal yang bisa dinaik turunkan. Sekarang ini digunakan Porta-Jib. Pergerakannya terdiri dari pedestal up (kamera dinaikan), pedestal down (kamera diturunkan) dengan menggunakan teknik pedestal up/down kita bisa menghasilkan perubahan perspektif visual dari adegan.
Crab Gerakan kamera secara lateral atau menyamping, berjalan sejajar dengan subyek yang sedang berjalan. Jenisnya adalah crab left dan crab right. Crane Crane adalah gerakan kamera diatas katrol naik dan turun Arc Arc adalah gerakan kamera memutar mengitari obyek dari kiri ke kanan atau sebaliknya. Zoom Zooming adalah gerakan lensa zoom mendekati atau menjauhi obyek secara optik, dengan mengubah panjan focal lensa dari sudut pandang lebar atau sebaliknya. Nama populer zooming yaitu, zoom in
http://digilib.mercubuana.ac.id/
61
(mendekatkan obyek dari long shot ke close up), zoom out (menjauhkan obyek dari close up ke long shot. Kemudian dalam mise en shot ada pengkarakteran gambar agar menjadi gambar yang estetis dalam frame video yang tentunya menjadi pengaturan sendiri saat produksi. Secara umum bagiannya adalah sebagai berikut depth of field, foreground, middle ground, dan background. Depth of field Depth of field atau DOF atau mudahnya bisa dijelaskan “bagian dari foto yang kelihatan tajam”. lensa hanya bisa fokus di satu jarak tertentu, dan pada titik fokus ini gambar akan kelihatan paling tajam. Sedikit maju atau sedikit mundur dari titik ini maka gambar akan mulai blur secara gradual. Namun, karena kemampuan mata kita terbatas, perubahan ketajaman yang sedikit demi sedikit ini belum tentu tertangkap mata. Nah, area yang bagi mata masih bisa dianggap tajam inilah yang disebut Depth of Field.62 Depth of field bergantung pada tiga faktor: jarak obyek, panjang lensa, dan besar kecil bukaan lensa (aperture). Jadi kalau jarak sama, dan lensa yang dipakai sama, maka untuk mengubah depth of field kita harus mengatur besar-kecil aperture. Foreground, middle ground dan background Ketiga jenis ini pada intinya sama yaitu tentang menambah nilai seni dan makna pada sebuah video pada awalnya diterapkan pada fotografi namun seiring perkembangan zaman jenis ground ini menjadi lebnih
62
Diakses pada 18 Juli 2014 http://mitektek.net/2009/07/apa-itu-depth-of-field/
http://digilib.mercubuana.ac.id/
62
menarik pada sebuah video. Istilah foreground merujuk pada sebuah objek yang berada di depan objek utama. Teknik ini biasa digunakan oleh para fotografer yang membidik sebuah objek landscape seperti pemandangan gunung atau sawah.63 Karna objek-objek tersebut sudah terlalu umum maka ditambahlah komposisi foto berupa objek yang berada di depan objek utama supaya foto yang dihasilkan menjadi lebih menarik dan memiliki nilai seni. Sedangkan
middleground
dan
background
digunakan
untuk
menambah kedalaman dimensi dan perspektif gambar landscape yang umumnya digunakan difilm dengan menggunakan aperture (bukaan kecil) agar mendapat semua fokus secara tajam pada semua gambar untuk meningkatkan cerita dalam sebuah adegan.
2.6 Konsep Sinematografi Kaidah-kaidah dalam sebuah teknis pengambilan gambar dan konsep sinematografi dalam produksi film apapun baik fiksi ataupun non fiksi, secara umum memiliki kajian dan faktor yang sama yang membedakan hanyalah kreatifitas dari pembuat film atau tayangan itu sendiri, untuk membuat hasil pengambilan gambar lebih menarik maka Director of Photography harus mengeluarkan kemampuannya pada saat produksi agar mendapatkan gambar yang estetis dan faktual dalam pembuatan
63
Diakses pada 18 Juli 2014 http://ininyata.com/blog/pengertian-foreground/
http://digilib.mercubuana.ac.id/
63
dokumenter. Berikut ini adalah beberapa faktor estetika teknik pengambilan gambar, yaitu :
1. Faktor Estetika Banyak faktor estetika yang harus dipertimbangkan dalam memilih angle kamera yang tepat. Semua elemen komposisi: pemain (narasumber), properti, tempat, peralatan, dan sebagainya, harus mempelajari kemana pergerakan subjek atau narasumber dan gambaran umum dalam adegan dipikiran seorang sinematografer. Objek harus diatur untuk memfasilitasi tempat yang cocok dan memiliki unsur fotografis. Untuk mendapatkan estetika dan efek yang diinginkan. Beberapa benda yang tidak dingginkan dalam estetika bisa disingkirkan atau bahkan jika perlu benda untuk memperkuat informasi bisa ditambahkan. Dalam film fiksi justru menampilkan beberapa masalah estetika., karena untuk dibuat dan didesain untuk keperluan persyaratan dalam suatu adegan. Tetapi berbeda jika itu estetika dokumenter, “Documentary films, shot on actual locations, often require much improvising to stage the action, particularly in interiors of real structure. Compromises in choosing camera angles may have to be made.”64 Pemahaman estetika di film dokumenter tentu berbeda yaitu kebutuhan untuk analisis estetika dilakukan sesuai dengan informasi yang diinginkan baik setting lokasi, atau barang tertentu
64
Joseph V. Mascelli, The Five C‟s Sinematografi, Silman-James Press, Los Angeles, hal 59
http://digilib.mercubuana.ac.id/
64
ada di lokasi yang sebenarnya, dan juga merupakan barang fakta dari lokasi pengambilan gambar cenderung fakta dan nyata tidak dibuat-buat, sehingga sering membutuhkan banyak improvisasi untuk tahap pengadeganan, tetapi estetika ini sangatlah penting demi penjelasan informasi, khususnya untuk estetika dengan struktur yang nyata tidak dibuat seperti fiksi tapi dibuktikan dan dijelaskan karena fakta dan aktual. Oleh karena itu penentuan estetika agar sesuai dengan sutradara harus adanya kompromi dalam memilih sudut pandang kamera yang harus dibuat. Some documentary films require compromise mising camera angles because of uncontrollable factors.65 Dapat
diartikan bahwa dalam
beberapa
film
dokumenter
memerlukan kompromis yang memang harus dipahami dalam gagalnya pengambilan angle kamera yang tidak tepat atau komposisi yang kurang baik karena adanya faktor tak terkendali dari situasi yang ada dilokasi. Tahap produksi merupakan tahap paling penting dalam penerapan treatment dokumenter, treatment ini dipakai untuk pegangan pengambilan gambar dan mempersiapkan semua pekerjaan camera person pengambilan gambar (shooting) dengan berpegang pada treatment. Produksi gambar mulai dapat dibuat.66
65 66
Ibid hal 58 Fred Wibowo, Dasar-Dasar Produksi Program Televisi, Grasindo, Jakarta, 1997, hal 99
http://digilib.mercubuana.ac.id/
65
2. Komposisi Sinematografi Film Dokumenter Bagian dalam pembuatan dalam sebuah film baik fiksi ataupun non fiksi selalu ada komposisi dalam merekam sebuah adegan atau kejadian, dalam hal ini komposisi merupakan komponen penting dalam terbentuknya sebuah estetika. Meskipun pengertian estetika dalam film fiksi berbeda dengan dokumenter begitu pula perbedaan pemahaman komposisi antara fiksi dan non fiksi. Hal ini bisa dijelaskan secara sederhana, dalam dunia sinematografi, komposisi penting karena menentukan peletakan objek dalam bingkai gambar yang dibuat agar tampak berestetika (indah) atau dalam dokumenter aktual atau nyata, supaya menarik perhatian yang melihatnya. Karena yang dibuat videografi faktor gerak sangat penting. Ketika dalam adegan dokumenter yang terus merekam agar mendapat kejadian yang diinginkan sesuai treatment supaya mendapat sisi realitas dan dokumentasi yang menarik. Maka komposisi di tayangan dokumenter harus fokus pada sebuah kejadian tidak sepenuhnya bergantung pada indahya komposisi tetapi bagaimana menterjemahkan sebuah peristiwa menjadi komposisi kamera. Aturan pengambilan gambar dokumenter yang sering dipakai adalah:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
66
-
Rule of third Aturan komposisi yang dilihat berdasarkan garis kamera, gaya tata letak komposisi yang digunakan oleh hampir semua pembuat film di dunia. Teori estetika seperti ini berasal dari yunani dengan kuil Parthenon yang terkenal, dan sering disebut rule of third atau pembagian tiga bidang komposisi antara subjek dan objek. Berikut contoh gambar yang menggunakan konsep Rule of Third : Nomor 1.
-
Perspektif Keindahan dalam sinematografi juga dipengaruhi oleh faktor lain sehingga estetika bisa lebih hidup dalam perekaman peristiwa tayangan dokumenter. Perspektif berkaitan dengan camera set up
http://digilib.mercubuana.ac.id/
67
dan camera angle. Pemahaman perspektif akan menghasilkan gambar lebih dinamis, berdimensi, dan memiliki kedalaman ruang (depth). Karena jika tak memperhitungkan perspektif dalam sudurt pengambilan gambar, maka gambar akan terasa datar dan hanya terlihat sisi panjang dan lebarnya frame. Nomor 2.
-
Mengatur Gerak/Blocking Gerak dalam film sering juga disebut dengan istilah blocking. Hal inilah yang menentukan kontinuitas gambar dengan mengetahui kemana arah subjek yang bergerak khususnya pada pengambilan gambar pada sebuah peristiwa di film didokumenter. Tata gerak (blocking) juga sangat memengaruhi videografi. Selain pemain, gerak juga bisa dilakukan oleh kamera (camera movement), atau perpaduan antara gerak pemain dan gerak kamera. Sebagai catatan, semua gerak kamera harus memiliki alasan yang kuat. Waktu dan arah kamera harus ditentukan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
68
-
Mengomposisi garis Pengambilan gambar dan angle, seorang videografer sebaiknya memperhitungkan komposisi elemen garis, karena garis akan menunjukkan dinamika komposisi gambar. Garis tidak hanya lurus tetapi juga melingkar.67 Nomor 3.
Dalam proses shooting atau produksi film dokumenter pertama kali yang perlu dipahami adalah memahami bagaimana story telling yang akan dibuat sehingga memahami keinginan sutradara selain itu kita bisa menerka kapasitas kemampuan pengambilan gambar berdasarkan jumlah kru yang ada. Shooting dengan cerita yang sudah ditanam didalam pikiran maka sudah dipersiapkan bagaimana mengambil semua visual yag dibutuhkan untuk
67
Ensadi J Santoso, Bikin Video Dengan Kamera DSLR, Media Kita, Jakarta, 2013, hal 52-57
http://digilib.mercubuana.ac.id/
69
menceritakan kisah sesuai dengan yang kamu pikir akan ceritakan, dan menjadi kejutan bagi mereka yang suka membuat sebuah film dokumenter yang baik bahkan lebih baik. “Who shoots, how, and with what, depends on a host of variables.”68 Bahwa dalam pengambilan gambar tayangan dokumenter harus memulai dari siapa yang akan di shoot, bagaimana melakukannya, dan dengan apa sehingga kita bisa mendapatkan sebuah gambar karena tergantung pada beberapa variabel bisa ingkungan sekitar dan lainlain. Variabelnya terdiri dari :
a. Crew Size Proses perekrutan tim dalam pembuatan dokumenter harus memiliki kapasitas dan kerjasama yang bagus supaya memperkcil kesalahan-kesalahan dalam proses pembuatannya. “The actual configuration of a documentary crew can vary widely. at the other end of spectrum are two and even one person crews. In general, working alone is not ideal, although there may be situations in which a project or scenes of a project can benefit.”69 Jadi dalam proses aktualisasi sebuah film dokumenter konfigurasi subjek bisa sangat bervariasi. Dalam bentuk yang lain ada dua bahkan satu orang kru dalam mengerjakan sebuah film dokumenter. Tetapi pada umumnya bekerja sendiri tidak ideal meskipun mungkin dalam situasi tertentu dapat memberi 68
Sheila Curran Bernard, Documentary Story Telling: Creative Nonfiction on Screen, Focal Press, Oxford, 2011, hal 173 69 Ibid hal 174
http://digilib.mercubuana.ac.id/
70
keuntungan. Karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi saat proses shooting dokumenter, dilihat dari treatment proses produksi
seorang
dokumentaris
lebih
mengarah
pada
aktualisasi dibanding komposisi. Maka jumlah kru dokumenter lebih sedikit karena harus banyak mengambil gambar yang tak diduga sebelumnya.
b. Shooting dengan cerita yang ada di pikiran (shooting with the story in mind) Jika ingin pergi ke lapangan untuk melakukan proses produksi dengan analisa pikiran yang jelas dalam cerita film, mendapatkan kualitas yang maksimal, dampak dari apa yang didapat, kamu akan lebih baik jika mengenali dan mengambil keuntungan dari momen-momen itu yang mungkin tidak dapat diantisipasi sebelumnya.
c. Berpikir secara visual (thinking visually) Apa yang gambar shoot dan bagaimana proses mengambilnya membutuhkan lebih dari sekedar mendokumentasikan sebuah kegiatan, tetapi lebih kepada memberikan kontribusi cerita tertentu. Steve Ascher dalam Bernard berkata,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
71
“think about what the scene is supposed to say, as much as you can, both before it during it”70 Berpikirlah tentang bagaimana sebuah adegan itu seharusnya berkata, sebanyak yang bisa direkam sebelum dan selama adegan film itu berlangsung. d. Interviews (wawancara) Sebelum shooting, melihat film yang mengandung wawancara dan memutuskan apa yang dipilih atau tidak dalam proses pendekatan narasumber dan apa yang akan dilakukan dalam film itu sendiri. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan mempengaruhi bagaimana melakukan wawancara dan shoot interview. “Go into interview knowing the handful of specific story points the interview needs to cover, and then include other material that would to be nice to have or questions that are essentially fishing you‟renot sure what you‟re going to get, but the answer could be interesting.”71 Lakukan interview dengan mengetahui secara penuh dan spesifik mengenai poin-pin cerita yang ingin diketahui lewat wawancara, tambahkan beberapa materi untuk ditanya kepada narasumber untuk menjadi kaitan ke cerita berikutnya, pastikan telah memilih narasumber yang tepat secara matang-matang, dan akan mengetahui penempatan terbaik pada setiap karakter.
70 71
Ibid hal 176 Ibid hal 183
http://digilib.mercubuana.ac.id/
72
Karena tidak mungkin bertanya kepada setiap orang dengan banyak pertanyaan yang sama.
3. Filming Time/Timelapse Dalam beberapa tahun belakangan ini timelapse populer dikalangan
pembuat
karya
audio-visual.
tehnik-tehnik
pembuatan video yang mulai dipakai para sineas dan para pekerja kreatif di dunia digital baik film, televisi dan web series. TimeLapse sendiri berasal dari kata time yang berarti waktu, dan lapse yang berarti jarak. Tujuan dari timelapse pada awalnya adalah untuk kebutuhan penelitian, dimana gerakan yang sangat lambat direkam dan ditampilkan dalam laju yang dipercepat untuk diamati gerakannya (hal yang berkebalikan dengan slow motion video). Untuk gerakan yang amat sangat lambat, timelapse bisa dibuat periodik dalam hitungan menit (bukan detik), misal untuk mempelajari pertumbuhan tanaman / bunga, peneliti memotret setiap 30 menit selama berhari-hari. Di dunia foto dan videografi, timelapse merupakan pengembangan
dari
bidang
fotografi
yang
menjadikan
sekumpulan foto yang diambil dalam periode tertentu menjadi sebuah klip video pendek72. Lama pemotretan umumnya berdurasi lama, bisa hingga berjam-jam, sedangkan interval 72
http://www.id-photographer.com/?idp=article&page=view.html&idArtikel=35/mengenaltimelapse-photography diakses pada 14 Januari 2014
http://digilib.mercubuana.ac.id/
73
pengambilan foto bisa dibuat berkala setiap beberapa detik hingga menit, tergantung kebutuhan. Kemudian semua foto yang didapat digabungkan hingga menjadi sebuah video. Timelapse perlu juga mengenal patokan frame rate video yang digunakan. Format video yang kami gunakan untuk film The Saviors yaitu 1920x1080 dengan frame rate 30 Frame Per Second (FPS). Dengan frame rate 30 fps, kita membutuhkan 30 foto untuk memperoleh 1 detik video. Disini editor memilih Frame rate paling tinggi (30 fps) di spesifikasi kamera yg dipakai shooting video karena dianggap punya gerakan yang mulus dan tidak terkesan patah-patah jika dibandingkan 24 fps. Obyek yang kita ambil adalah obyek yang punya gerakan sangat lambat, seperti gerakan awan, matahari, bulan, bintang dan sebagainya. Meski begitu timelapse boleh juga dipakai untuk merekam gerakan yang lebih cepat seperti manusia yang berjalan, meski nanti hasilnya gerakan manusia itu akan tampak sangat cepat. Di dalam film dokumenter The Saviors ini, sunset jadi salah satu pilihan tepat untuk mengambil timelapse karena lokasi yang berada di pantai menghadap ke barat. Sepuluh detik timelapse dirasa cukup untuk sebuah transisi adegan, jadi kita butuh 300 karena frame rate yang digunakan
30fps.
Periode
pengambilan
gambar
untuk
mengambil sunset dimulai pukul 17.00 – 18.30 atau selama 90
http://digilib.mercubuana.ac.id/
74
menit atau 5400 detik. Jadi, interval yang digunakan untuk setiap pengambilan gambar adalah 5400 / 300 adalah 18 detik. Teknik timelapse bisa dilakukan dengan 2 cara, pertama dengan merekam video sepanjang yang dibutuhkan lalu laju video dipercepat saat editing. Kedua dengan menggunakan Shutter release timer remote control untuk mengambil foto di setiap waktu interval yang ditentukan lalu foto digabungkan saat editing hingga menjadi sebuah gambar bergerak. Tapi disini kami menggunakan Shutter release untuk menghemat baterai dan penyimpanan data. Untuk teknis dan prosedur pemotretan timelapse The Saviors sebenarnya cukup standar seperti memakai mode manual (termasuk manual ISO dan WB), memakai tripod dan karena kamera akan terus hidup selama periode pemotretan, pastikan baterai mampu bertahan (bisa dengan battery grip) dan memakai slider manual. Kini timelapse menjadi lebih mudah karena sudah didukung oleh peralatan fotografi modern dan banyak contoh yang menginspirasi para sineas untuk membuat konsep serupa. Tentu saja tantangan yang lebih sulit adalah menemukan ide apa yang mau difoto, berapa lama durasinya dan barulah memikirkan teknis fotografinya. 4. Sejarah Animasi Foto (One Stop Motion)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
75
Pada tahun 1950 muncul sebuah gagasan yang menarik dan unik pada One Stop Motion. Bright Hub melihat sebuah pertumbuhan budaya populer dan kepentingan komersial kerena berhubungan dengan teknik motion ini. Pertumbuhan Teknik One Stop Motion, pada tahun 1950 merupakan tahap transformasi yang digembar-gemborkan periode perubahan one stop animation. Gerak henti (stop motion) tidak hanya hanya diterima oleh khalayak yang sangat luas, tapi juga diterima dalam budaya populer. Untuk para pelaku animasi terapan ini, proses pembuatan Stop Motion merupakan alternatif yang nyaman untuk proses menggambar cara tradisional dengan tangan. Pada waktu tersebut merupakan awal stop motion menjadi bisnis
komersial.
Tidak
hanya
itu
hal
tersebut
juga
menjadilebih sering digunakan dalam film, tetapi stop motion juga bisa dilihat di televisi dan iklan. Semua ini digunakan dalam acara film terkenal pada saat itu “Gumby”, yang memicu gaya stop motion menjadi semakin menjadi budaya populer. Art Clokey terkenal karena menciptakan animasi dari tanah liat bernama "Gumby". Karakter Gumby, diciptakan dalam proyek film muridnya 1955 saat menghadiri USC (University of Southern California). Dia bernada filmnya ke Sam Engel dari 20th Century Fox, dan sisanya adalah sejarah. Clokey juga
http://digilib.mercubuana.ac.id/
76
dibedakan untuk membuat iklan animasi tanah liat untuk Budweiser dan Coca Cola. Dr John Ott, adalah pelopor time lapse photography dalam sinematografi, serta banyak teknik fotografi modern lainnya, dan mulai bereksperimen sebagai hobi. Dia mulai shooting pada tanaman pada tahun 1930 dan mengembangkan sistem yang inovatif gerakan kamera elektrik (yang pertama dari jenisnya) untuk merekam tanaman dan bagaimana mereka tumbuh dan berinteraksi, semua di dalam rumah kaca. Karya Ott yang lain dari time lapse photography dan sinematografi telah digunakan sepanjang tahun 1950-an, dalam kedua film, televisi dan dokumenter. Ray Harryhausen, dianggap sebagai salah satu seniman stop motion animasi terbesar yang legendaris, mulai dengan membuat B-film di tahun 50-an. Buatan Stop motionnya dalam film animasi secara signifikan digunakan banyak efek khusus, yang benar-benar model skala. Efek khusus yang ia ciptakan lebih maju kedepan dari pada perkembangan pada saat itu. Pada tahun 1953, "The Beast from 20.000 Fathoms ", Film solo pertama karya Harryhausen, menjadi sensasi besar. Dengan film ini, ia menggunakan efek yang tidak pernah dilakukan sebelumnya dimana tidak ada porsi dalam frame, membelah latar belakang dari latar depan. Berkat upaya ini,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
77
setelah kedua bagian dari shooting masuk ke frame, tampak seolah-olah model stop motion berinteraksi dengan manusia yang hidup. Harryhausen melanjutkan karirnya untuk bekerja pada banyak film terkenal lainnya, termasuk "Jason dan Argonauts" pada tahun 1963. Animator stop motion lainnya yang telah berperan dan berkontribusi untuk stop motion sejak beberapa dekade terakhir, meliputi: Jim Danforth („Clash of The Titans‟ (1981)); David Allen („Batteries Not Included „(1987)); Will Vinton (trademarked „claymation‟), Henry Selick (The Nightmare Before Christmas (1993) Coraline (2009)) and many others. Seiring waktu, stop motion animasi terus berkembang, dengan
mempertimbangkan
kemajuan
teknologi,
seperti
teknologi digital dan komputer ditingkatkan dan perkembangan perangkat lunak. Dengan teknologi saat ini, bahkan seorang amatir mampu menciptakan dunia virtual dengan stop motion animasi.73
73
Diakses pada 18 Juli 2014 dari:http://www.brighthub.com/multimedia/video/articles/66954.aspx
http://digilib.mercubuana.ac.id/