BAB II DASAR PEMIKIRAN 2.1
LGBT dan Queer Theory Judith Butler Judith Butler merupakan filsuf post-strukturalis Amerika yang memberi
banyak sumbangan pemikiran di bidang politik, ekonomi, dan kesetaraan gender. Butler merupakan professor di departemen Rhetoric and Comparative Literatur di University of Callifornia, yang mulai mempelajari filsafat di tahun 1980. Buku pertamanya membahas tentang pengaruh filsafat Hegel pada filsafat Perancis di abad 20. Pemikiran Butler terlihat banyak menekankan pada persoalan identitas. Selain Hegel, Judith Butler juga banyak dipengaruhi oleh Michael Faucault, Simone De Beauvoir, Jaquest Derrida, Sigmund Freud, dan jaquest Lacan. Terutama teori melankolia heteroseksualitasnya yang menjadi dasar bagi queer theory, Butler banyak dipengaruhi oleh Melancholia Sigmun Freud. Sedangkan bukunya yang terkenal, Gender Trouble, menjadi dasar teori queer di masa kini. 1
2.1.1. Subject as subject-in-process Mengambil dari tesis Simone De Beauvoir: ‘One not born, but rather become, a woman’, Judith Butler menekankan bahwa subyek selalu subject-inprocess. Butler menilai pandangan feminis sebelumnya terfokus pada penyetaraan antara laki-laki dan perempuan, dimana hal ini mengasumsikan adanya suatu pre1
THE UNNATURAL SEXUAL ORIENTATION. Diakses melalui www.academia.edu pada tanggal 10 Oktober 2014 pukul 15:44 WIB
9
10
existing subject. Asumsi ini menurunkan pandangan bahwa seorang perempuan harus mampu menyadari bahwa identitasnya merupakan konstruksi dari masyarakat, dan kesadaran ini membuat perempuan kembali pada subyek aslinya, setelah berhasil melepaskan diri dari konstruksi sosial dimana ia berada. Menurut Butler tidak demikian. Bagi Butler, subyek selalu dalam proses yang dibentuk oleh tindakan permormative. Subyek dalam pikiran Butler adalah sebagai actor yang memainkan perannya (perform their identity) di atas panggung. Sedangkan identitas itu sendiri merupakan suatu rangkaian proses yang tidak akan pernah berakhir. Bagi Butler, suatu identitas tidak memiliki asal, dan tidak juga memiliki akhir. Identitas subyek dilihat dari setiap tindakan performatifnya, namun tidak dapat dikatakan bahwa tindakan ini mengikuti pendahulunya, atau selalu ada pelaku di setiap tindakan, tidak seperti itu. Melainkan, menurut Butler, tindakan ini membentuk pelaku. Karena suatu identitas tidak memiliki awal ataupun akhir, maka bagi Butler suatu gender tidak dapat didasarkan pada entitas biologis seseorang. Satu-satunya dasar bagi identitas, gender, dan seksualitas adalah tindakan. Karena tindakan selalu berubah, maka identitas selalu berubah. Subyek tidak pernah menjadi identitas yang final, melainkan selalu in-process. 2 2.1.2 Sexual, gender, and desire Karena tidak ada pre-existing subject, hal ini berarti bahwa Butler menolak metafisika substansi sebagai pembentuk identitas dan gender. Seperti dalam pandangan Simone De Beauvoir, bahwa gender didasarkan pada seks, dimana seks berhubungan dengan realitas biologis, dan gender yang merupakan ralitas 2
Ibid
11
psikologis diturunkan dari sana. Dalam pembentukan identitas, para pemikir feminis sebelumnya selalu mengasumsikan seks sebagai ‘the fact’ dan gender sebagai ‘the factic’, atau yang diada-adakan. Bagi Butler, identitas individu merupakan konstruksi dari budaya dan diskursus. Butler menolak pandangan seks sebagai the fact dan gender sebagai the factic, dan menyebutkan bahwa baik seks maupun gender adalah konstruksi sosial. Dalam pandangan Judith Butler, identitas selalu berkaitan dengan proses penandaan, Proses penandaan ini telah diatur oleh suatu hukum yang berlaku universal. Ketika dikatakan subyek merupakan hasil konstruksi, berarti bahwa subyek adalah hasil dari aturan-aturan ini. Dengan kata lain, subyek tidak sekedar dibatasi oleh diskursus maupun budaya sosial, melainkan dibentuk oleh budaya. Aturan yang tertanam dan tersebar melalui proses repetisi ini telah tersedia, dan kerjanya langsung membatasi dan membentuk identitas seseorang. Aturan ini telah otomatis terbentuk dalam acuan hierarki gender dan mewajibkan suatu gaya hidup heteroseksualitas. “The rules that govern intelligible identity, i.e., that enable and restrict the intelligible assertion of an ‘I’ rules that are partially structured along matrice of gender hierarchy and compulsory heterosexuality, operate through repetition” Aturan yang telah tersedia ini menghendaki suatu heteroseksualitas dalam masyarakat. Gender semata tidak bisa melanggengkang aturan ini karena tidak akan cukup membuat suatu fenomena kealamiahan dan kewajiban-dengansenang-hati untuk seseorang bertingkah laku sesuai dengan gender yang dikonstruksikan kepadanya. Untuk membuat kewajiban ini terkesan alamiah,
12
maka gender selalu dikaitkan dengan seks. Hal ini membentuk suatu pemahaman tentang kewajiban untuk bertindak ‘sebagaimana mestinya’ seperti yang telah ditentukan oleh aturan ideal tersebut, yaitu bahwa male harus bertindak secara mankulin sedangkan female harus bertindak secara feminine. Dengan asumsi bahwa gender diturunkan dari seks, dan seks sebagai faktisitas sementara gender adalah ‘yang dibentuk’, seseorang tentu tidak mampu mengingkari identitas seksnya. Menurut Butler, ini tidak benar. Baik seks maupun gender, keduanya adalah
hasil
konstruksi,
ilusi
atas
substansi,
yang
digunakan
untuk
melanggengkan kewajiban alamiah untuk kehidupan heteroseksual ini. 3 2.1.3 Melancholic Hetersexuality Untuk menjelaskan tentang melancholic heterosexuality ini, perlu pula memahami konsep melancholia Sigmund Freud. Dalam buku The Ego and The Id, Freud membedakan dua konsep dasar, yaitu mourning dan melancholia. Mourning adalah suatu reaksi individu atas suatu kehilangan, dimana obyek yang hilang ini benar-benar nyata (misalnya kehilangan seseorang yang dicintai). Sedangkan Melancholia, adalah reaksi atas kehilangan, dimana obyek dari kehilangan ini tidak nyata, dalam artian subyek yang merasa kehilangan tidak benar-benar tahu apa yang telah hilang dari dirinya. Situasi melancholia ini menimbulkan depresi bagi subyek. Menurut Freud, subyek tidak akan membiarkan kehilangan ini berlalu dan melupakannya, namun secara tidak sadar subyek berusaha mengembalikan
apa
yang
hilang
tersebut
pada
lapisan
ego
dengan
mengidentifikasikannya dengan sesuatu yang diluar dirinya (introjections). 3
Ibid
13
Subyek mengambil seseorang atau sesuatu dari luar dirinya yang sesuai dengan identification yang telah ditetapkan dalam egonya, tentang sesuatu yang hilang tersebut. Bagi Freud, adalah wajar ketika seorang anak berhasrat kepada orang tuanya. Ketika seorang anak berhasrat kepada Ibunya, namun tidak mungkin memiliki Ibunya secara seksual karena hal itu dianggap tabu (walau anak itu tidak menyadari hasrat terhadap Ibunya), si anak akan menarik figure Ibu dan menciptakan suatu identifikasi dalam pikirannnya tentang sosok Ibu, dan mencari representasinya diluar dirinya. 4 Butler sedikit memodivikasi pandangan Freud tentang kecenderungan hasrat seseorang pada orang lain yang berlawanan jenis (disposition). Bagi Butler, kecenderungan seseorang untuk tertarik pada the opposite sex (anak laki-laki kepada Ibunya, dan anak perempuan kepada Ayahnya) bukanlah penyebab dari proses identification tersebut, melainkan justru efek dari proses identification itu. Dari sini Butler ingin mengutarakan bahwa hasrat tidak pernah datang sebagai yang pertama. Hasrat datang setelah infant dikonstruksi oleh sesuatu yang berada diluar dirinya. Menurut Butler, secara alamiah bayi memiliki hasrat pada yang sejenis dengannya. Bayi memiliki dua bakat oedipal complex yang dapat berarti positif (pada the same sex) dan negatif (pada the opposite sex). Selain itu bayi juga memilik kecenderungan untuk insest, yaitu menjadikan orang tuanya sebagai obyek seksual. Dari sini, karena bayi hidup dalam culture heteroseksualitas, maka munculah larangan-larangan yang didasarkan pada aturan dasar. Dan sebelum
4
Ibid
14
bayi menyadari ketabuan atas insest (menghasrati orang tuanya), bayi telah terlebih dahulu menyadari ketabuan dari homoseksualitas.
“The taboo against incest and, implicitly, against homosexuality is a repressive injunction which presumes an original desire localized in the notion of “dispositions,” which suffers a repression of an originally homosexual libidinal directionality and produces the displaced phenomenon of heterosexual desire.” Ketabuan ini merupakan poin pijkan Butler dalam menentukan identitas gender seseorang. Menurutnya, identitas seseorang bukanlah berdasarkan seks sebagai duatu pembawaan lahir, melainkan lebih sebagai respon atas laranganlarangan seperti larangan insest dan larangan homoseksualitas. “Gender identity appears primarily to be the internalization of a prohibiton that proves to be formative of identity.” Dengan demikian, bagi Butler, gender identity terbentu pada tahap awal, dimana bayi menyadari larangan pada homoseksualitas. Bayi kehilangan hasrat pada the same sex karena pengaruh dari luar mengkonstruksi pikiran bayi bahwa homoseksual adalah tabu. Dengan demikian, jika melankolia adalah reaksi atas kehilangan baik yang real maupun yang imajinatif, dan jika identitas heteroseksual terbentuk di level hilangnya the same-sexed object of desire, itu berarti identitas heteroseksual adalah suatu peristiwa melancholia. Dengan kata lain, setiap individu memiliki gen homoseksual, dan perubahan menjadi heteroseksual ini adalah suatu respon atas larangan homoseksual, dimana hasrat
15
atas the same sex menjadi obyek yang hilang, yang menjadi fenomena melancholia.
Sesungguhnya
bagi
Butler,
setiap
orientasi
seksual
baik
heteroseksual maupun homoseksual adalah suatu melankolia. Namun karena sanksi yang diberikan tidak sama, melankolia heterseksual dan homo seksual ini berbeda. 2.1.4 Queer Theory dan LGBT Kosa kata ‘Queer’ dapat berarti sebagai sesuatu yang buruk, menyimpang, dan tidak benar. Namun belakangan istilah queer mendapat makna baru yaitu sebagai pandangan yang mendasari dukungan atas kaum LBGT. Queer theory merupakan pandangan bahwa tidak ada orientasi seksual yang sifatnya natural, dengan demikian tidak ada pula orientasi seksual yang menyimpang. Queer theory merupakan teori identitas tanpa seksualitas.5 Queer theory Judith Butler berangkat dari ide bahwa identitas merupakan sebagai suaty free-floating, berkaitan dengan tindak performatif individu dan tidak berkaitan dengan suatu esensi (jika ada) dalam diri individu tersebut. Karena inilah hingga saat ini kaum LGBT (lesbian, Gay, Biseks, dan Transgender) dianggap sebagai penyimpangan sosial. Anggapan ini berujung pada perlakuan tidak menyenangkan yang meliputi fenomena homophobia, diskriminasi, dan perampasan hak-hak warga negara bagi kaum LGBT.6
5 6
Ibid Ibid
16
Pada awalnya Queer theory hanya memusatkan pada perjuangan untuk perlindungan terhadap kaum lesbian dan gay. Namun kini queer theory telah merambah kepada permormance, yaitu kekacauan cara berpakaian atau penampilan seseorang dalam rangka mengaburkan norma-norma gender dalam upaya pemberitahuan bahwa gender dan seks bukanlah sesuatu yang final dan alamiah. Dalam pikiran Butler, upaya ini disebut parodi. Seperti yang disebutkan diatas, seorang individu adalah actor dalam kehidupan. Untuk mewujudkan kesetaraan gender bagi LGBT yang pertama kali dilakukan adalah menghapus gagasan dasar dari aturan male-masculine dan female-feminine. Dalam pikiran Judith Butler hal ini dapat dilakukan dengan menerima aturan tersebut namun merepresentasikannya secara menyimpang. Inilah yang disebut parodi. Dalam paradigma heteroseksualitas, gender hadir terlebih dahulu, dan menentukan tindakan-tindakan manusia. Bagaimana seseorang berbicara, berjalan, berpikir, dan bagaimana seseorang mencintai, telah diatur sejak awal oleh gender. Namun dalam paradigma queer theory yang sejalan dengan pemikiran Judith Butler, gender atau identitas seksual hadir belakangan setelah individu melakukan tindakan performative. Inti dari pemikiran Butler adalah tidak adanya kondisi alamiah bagi manusia selain penampakan tubuhnya. Seks, gender, maupun orientasi seksual adalah konstruksi sosial. Hal ini dapat dicontohkan melalui fenomena trans-seksual. Seorang yang telah melakukan transeksual, yang diasumsikan telah ‘merubah’ kondisi alamiahnya. Misalnya seorang pria yang merasa beridentitas feminine, mengubah jenis seksnya menjadi tubuh perempuan. Pertanyaannya adalah, setelah
17
seks sebagai fakta biologis tersebut diubah menjadi yang sebaliknya, bukankah perubahan ini menentukan keabsahan dari individu tersebut untuk bertindak sesuai dengan ketentuan the fixed rules atas seks, gender, dan orientasi seksual. Kesimpulan yang dapat diambil dari sini adalah baik seks, gender, maupun orientasi seksual adalah sesuatu yang sifatnya cair, Tidak alamiah, dan berubahubah, (serta dikonstruksi oleh kondisi sosial). Maka jika ditinjau dari pemikiran Judith Butler, LGBT bukanlah suatu penyimpangan sosial, melainkan suatu variasi dalam identitas manusia yang didasarkan pada tindakan performatif.
2.2
Film Film merupakan media komunikasi massa. Komunikasi massa adalah
pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Bitner, 1980). Batasan komunikasi massa ini lebih menitikberatkan pada komponen-komponen dari komunikasi massa yang mencakup pesan-pesan, dan media massa (seperti koran, majalah, TV, radio, dan film), serta khalayak.7 Fungsi media massa adalah menyiarkan informasi (to inform), mendidik (educate), dan menghibur (entertainment).8 Media massa juga semakin banyak melakukan transformasi sosial. Media penyiaran, surat kabar, film, novel-novel, dan bentuk komunikasi lain menciptakan kerangka berpikir yang sama bagi semua
7
Riswandi. 2009. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu, hal 103 Onong Uchjana Effendy. Dinamika Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. 2004. Hal 54
8
18
warga masyarakat. Media massa meneruskan pengetahuan serta nilai-nilai dari generasi terdahulu.9 Media massa secara teoritis memiliki fungsi sebagai saluran informasi, saluran pendidikan dan saluran hiburan, namun kenyataannya media massa memberi efek lain
di luar fungsinya itu. Efek media massa tidak saja
memengaruhi perilaku, bahkan pada tataran yang lebih jauh efek media massa dapat memengaruhi sistem-sistem sosial maupun sistem budaya masyarakat. Sebuah pesan yang isinya lemah dan dengan lemah pula disampaikan kepada jutaan orang, bisa menimbulkan pengaruh yang kurang efektif sama sekali dibandingkan dengan perasaan yang disampaikan dengan baik kepada komunikan yang jumlahnya kecil.10 Media massa itu sendiri adalah perangkat yang digunakan dalam proses komunikasi massa, namun secara umum, media massa terdiri dari media massa cetak, yaitu surat kabar dan majalah sedangkan dari media elektronik, yaitu radio, televisi serta media online (internet),dan salah satu media massa yang berkembang hingga sekarang adalah film. 11 Istilah film awalnya dimaksudkan untuk menyebut media penyimpan gambar atau biasa disebut Celluloid, yaitu lembaran plastik yang dilapisi oleh Emulsi (lapisan kimiawi peka cahaya). Bertitik tolak dari situ, maka film dalam arti tayangan audio-visual dipahami sebagai potongan-potongan gambar bergerak. 9
Alex Sobur. Analisa Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analis is Framing. PT.Remaja Rosdakarya. Bandung. 2002. Hal 31 10 Onong Uchjana Effendy. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003. Hal 80 11 Nurudin. Pengantar Komunikasi Massa. PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta. 2007. Hal. 33
19
Kecepatan perputaran potongan-potongan gambar itu dalam satu detik adalah 24 gambar (24-25 frame per second/fps).12 Joseph V. Mascelli dalam bukunya 5c’s of Cinematography mengatakan, “ a motion picture is made up of many shots. Each shot requires placing the camera in the best positon for viewing players, setting and action at that particular moment in the narrative”13. Sederhananya adalah sebuah karya film terdiri dari integrasi jalinan cerita. Jalinan cerita terbentuk dari menyatunya peristiwa dari adegan / scene yang dibentuk oleh pengambilan gambar.
Pada perkembangannya di abad 20, film banyak dinikmati sebagai sebuah karya seni yang diputar di galeri-galeri, dan pasti memiliki pesan yang mendalam sehingga tidak semua orang bisa menikmatinya. Don DeLillo dalam Peter Lee Wright mengatakan dalam artikelnya, “film is more than the twentieth-century art. It’s another part of the twentieth-century on mind. It’s the world seen from inside. We’ve come to a certain point in the history of film. If a thing can be filmed, the filmed is implied in the thing itself. This is where we are. The twentieth is on film . . . you have to ask yourself if there’s anything about us more important than the fact that we’re constantly on film, constantly watching ourselves”14. Menurut DeLillo seni pertunjukan sinema abad 20 telah berubah dan dokumenter juga dianggap menjadi sebuah karya seni film. Film dokumenter kemudian mulai
12
Panca Javandalasta. 2011. Lima Hari Mahir Bikin Film. Surabaya: PT. Java Pustaka Group, hal
1 13
Joseph V. Mascelli The Five C’s of Cinematography. Los Angeles : Silman – James Press, hal 11 14 Peter Lee Wright. The Documentary Handbok. New York: Routledge, hal 1
20
diberikan definisi dan dibuat standarisasi yang menjadi acuan para documentarian membuat karya seni film dokumenter.
2.3
Film Dokumenter Film terbagi menjadi dua kategori yaitu fiksi dan non fiksi. Film fiksi
merupakan film yang menampilkan ide cerita karangan atau cerita yang tidak terjadi di kehidupan nyata sementara film non fiksi merupakan film yang ceritanya berdasarkan kejadian nyata dan benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Kita dapat melihat contoh dari film non fiksi salah satunya adalah film dokumenter.15 Ada empat kriteria yang menerangkan bahwa dokumenter adalah film nonfiksi. 16 1. Pertama: setiap adegan dalam film dokumenter merupakan rekaman kejadian sebenarnya, tanpa interpretasi imanjinatif seperti halnya dalam film fiksi. Bila dalam film fiksi latar belakang (setting) adegan dirancang, pada dokumenter latarbelakang harus spontan otentik dengan situasi dan kondisi asli (apa adanya) 2. Kedua: yang dituturkan dalam film dokumenter berdasarkan peristiwa nyata (realita), sedangkan pada film fiksi isi cerita berdasarkan karangan
15
Fajar Nugroho. 2007. Cara Pinter Bikin Film Dokumenter. Yogyakarta: Penerbit Indonesia Cerdas 16 Gerzon R. Ayawayla. Dokumenter Dari Ide sampai Produksi. Jakarta: FFTV-IKJ PRESS. Hal 22 - 23
21
(imajinatif). Bila film dokumenter memiliki interpretasi kreatif, maka dalam film fiksi yang dimiliki adalah interpretasi imajinatif. 3. Ketiga: sebagai sebuah film non fiksi, sutradara melakukan observasi pada suatu peristiwa nyata, lalu melakukan perekamanan gambar sesuai apa adanya dan 4. Keempat: apabila struktur cerita pada film fiksi mengacu pada alur cerita atau plot, dalam dokumenter konsentrasinya lebih pada isi dan pemaparan. Sejak awal ditemukannya sinema, para pembuat film di Amerika dan Perancis telah mencoba mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka dengan alat hasil temuan mereka. Seperti Lumiere Bersaudara, mereka merekam peristiwa sehari-hari yang terjadi di sekitar mereka, seperti para buruh yang meninggalkan pabrik, kereta api yang masuk stasiun, buruh bangunan yang bekerja, dan lain sebagainya. Bentuknya masih sangat sederhana (hanya satu shot) dan durasinya pun hanya beberapa detik saja. Film-film ini lebih sering diistilahkan “actuality films”. Beberapa dekade kemudian sejalan dengan penyempurnaan teknologi kamera berkembang menjadi film dokumentasi perjalanan atau ekspedisi, seperti South (1919) yang mengisahkan kegagalan sebuah ekspedisi ke Antartika.17 Tonggak awal munculnya film dokumenter secara resmi yang banyak diakui oleh sejarawan adalah film Nanook of the North (1922) karya Robert Flaherty. Filmnya menggambarkan kehidupan seorang Eskimo bernama Nanook
17
Asal Usul Sejarah Film Dokumenter. Diakses melalui www.didunia.net pada tanggal 03 Oktober 2013 pukul 19:00 WIB
22
di wilayah Kutub Utara. Flaherty menghabiskan waktu hingga enam belas bulan lamanya untuk merekam aktifitas keseharian Nanook beserta istri dan putranya, seperti berburu, makan, tidur, dan sebagainya. Sukses komersil Nanook membawa Flaherty melakukan ekspedisi ke wilayah Samoa untuk memproduksi film dokumenter sejenis berjudul Moana (1926). Walau tidak sesukses Nanook namun melalui film inilah pertama kalinya dikenal istilah “documentary”, melalui ulasan John Grierson di surat kabar New York Sun. Oleh karena peran pentingnya bagi awal perkembangan film dokumenter, para sejarawan sering kali menobatkan Flaherty sebagai “Bapak Film Dokumenter”.18 Sukses Nanook juga menginspirasi sineas-produser Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack untuk memproduksi film dokumenter penting, Grass: A Nation’s Battle for Life (1925) yang menggambarkan sekelompok suku lokal yang tengah bermigrasi di wilayah Persia. Kemudian berlanjut dengan Chang: A Drama of the Wilderness (1927) sebuah film dokumenter perjalanan yang mengambil lokasi di pedalaman hutan Siam (Thailand). Eksotisme film-film tersebut kelak sangat mempengaruhi produksi film (fiksi) fenomenal produksi Cooper, yaitu King Kong (1933). Di Eropa, beberapa sineas dokumenter berpengaruh juga bermunculan. Di Uni Soviet, Dziga Vertov memunculkan teori “kino eye”. Ia berpendapat bahwa kamera dengan semua tekniknya memiliki nilai lebih dibandingkan mata manusia. Ia mempraktekkan teorinya melalui serangkaian seri cuplikan berita pendek, Kino Pravda (1922), serta The Man with Movie Camera (1929) yang menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota
18
Ibid
23
besar di Soviet. Sineas-sineas Eropa lainnya yang berpengaruh adalah Walter Ruttman dengan filmnya, Berlin – Symphony of a Big City (1927) lalu Alberto Cavalcanti dengan filmnya Rien Que les Heures. 19 Film dokumenter tak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu. Intinya, film dokumenter tetap berpijak pada hal-hal senyata mungkin. 20 Pada era setelah pasca Perang Dunia Kedua, perkembangan film dokumenter mengalami perubahan yang cukup signifikan. Film dokumenter makin jarang diputar di teater-teater dan pihak studio pun mulai menghentikan produksinya. Semakin populernya televisi menjadikan pasar baru bagi film dokumenter. Para sineas dokumenter senior, seperti Flaherty, Vertov, serta Grierson sudah tidak lagi produktif seperti pada masanya dulu. Sineas-sineas baru mulai bermunculan dan didukung oleh kondisi dunia yang kini aman dan damai makin memudahkan film-film mereka dikenal dunia internasional. Satu tendensi yang terlihat adalah film-film dokumenter makin personal dan dengan teknologi kamera yang semakin canggih membantu mereka melakukan berbagai inovasi teknik. Tema dokumenter pun makin meluas dan lebih khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan even penting, etnografi, seni dan budaya, dan lain sebagainya.21 Dokumenter mengarah pada suatu daya tarik dan suatu kesetiaan atas aktualitas. Hal ini sangat berkebalikan dengan program hiburan yang lebih 19 20
Ibid Panca Javandalasta. 2011. Lima Hari Mahir Bikin Film. Surabaya: PT. Java Pustaka Group, hal
2 21
Asal Usul Sejarah Film Dokumenter. Diakses melalui www.didunia.net pada tanggal 03 Oktober 2013 pukul 19:00 WIB
24
menyajikan mimpi. Program dokumenter adalah program yang menyajikan suatu kenyataan berdasarkan pada fakta objektif yang memiliki nilai esensial dan eksistensial, artinya menyangkut kehidupan, lingkungan hidup dan situasi nyata.22 Grierson mendefinisikan film dokumenter sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality)”.23 Realita dalam film dokumenter harus selalu memiliki konteks, karena konteks merupakan makna dari suatu peristiwa. Disamping itu konteks juga merupakan pokok utama dalam sebuah penuturan.24 Film dokumenter adalah sebuah film yang menyajikan fakta sebagai cerita. Dalam istilah perfilman pandangan tentang dokumenter atau film yang berdasarkan fakta kejadian disebut Cinéma Vérité. Teori Kino Pravda (film kebenaran) dan Kino Eye (mata film), dari Vertov berkembang ke seluruh dunia. Pada tahun 1950-an, para dokumentaris Prancis mengikutinya dan kemudian mereka menamakan pendekatan dan gaya itu sebagai Cinema Verite (film kebenaran). 25 Sebagai teori dan konsep pendekatan film dokumenter, Cinema Verite dianggap dapat menengahkan realita visual sederhana dan apa adanya, yang diyakini dan menjaga spontanitas aksi dan karakter lokasi otentik sesuai realita. Para dokumenteris Cinema Verite menolak penggunaan perangkat pelengkap kamera seperti tracking rails, dollies, tripods, cranes, dan semacamnya. Peralatan 22
Fred Wibowo.1997. Dasar-dasar Produksi Program Televisi. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, hal: 96 23 Fajar Nugroho. 2007. Cara Pinter Bikin Film Dokumenter. Yogyakarta: Penerbit Indonesia Cerdas, hal 34 24 Gerzon R. Ayawaila. 2008. Dokumenter dari ide sampai produksi. Jakarta: FFTV-IKJ Press, hal: 84 25 Ibid, hal: 15
25
tersebut mereka anggap sebagai faktor penghambat bagi realisasi spontanitas adegan atau peristiwa saat perekaman gambar.26 Stephen Mamber dalam Peter Lee Wright mengatakan, “cinéma vérité can be described as a method of filming employinghand-held camera and live, synchronous sound. This is a base description, however, forcinéma vérité should imply a way of looking at the world as much as a means of recording. . . The essential element of cinéma vérité . . . is the use of real people in undirected situations” .27 yang berarti bahwa cinéma vérité dapat digambarkan sebagai metode film dokumentasi dengan menggunakan kamera genggam serta secara langsung dengan suara yang sinkron. Ini adalah deskripsi dasar, bagaimanapun, cinéma vérité harus berarti cara memandang dunia sebanyak kita merekam. Unsur penting dari cinéma vérité adalah penggunaan orang-orang nyata dalam situasi yang tidak diarahkan. Penulis sebagai sutradara film dokumenter This Is My Life menggunakan peralatan yang sederhana, hanya kamera DSLR Canon sebagai alat perekam gambar. Jika dibandingkan dengan video camcorder, kamera DSLR terasa lebih memungkinkan digunakan oleh pemula, pelajar, atau yang hobi merekam video dengan dana terbatas, karena harganya relatif lebih murah.28 Proses perekaman gambar diambil secara spontanitas untuk memperlihatkan kebenaran apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-sehari. Oleh karena itulah kamera harus selalu dipersiapkan dengan matang, baik dari memory, baterai dan lensa, karena kita
26
Ibid Peter Lee Wright. The Documentary Handbook. New York: Routledge, hal: 94 28 Ensandi J Santoso. 2013. Bikin Video Dengan Kamera DSLR. Jakarta: mediakita, hal: 1 27
26
tidak pernah tau moment apa yang akan terjadi di depan dan harus siap untuk mengambil gambarnya.
2.4
Teori Film Dokumenter Teori mengenai jenis dan tipe film dokumenter bagi sebagian
dokumentarian akan membahas mengenai genre. Ketika pembahasan menyentuh persoalan genre, maka kecenderungannya lebih dekat dengan permasalahan atau tema yang diangkat, sehingga lebih merujuk pada penceritaannya. Sedangkan tipe film lebih cenderung mengelompokkan dari pendekatan wujud yang terlihat secara kasat mata serta dapat dirasakan dampaknya oleh penonton, sehingga lebih dekat dengan gaya film seperti unsur mise en scene, sinematografi, editing dan suara. Antony Q. Artis seorang dokumentarian kontemporer era tahun 2000 mengatakan bahwa yang membedakan jenis-jenis dokumenter adalah dengan pendekatan (approach) yang dibawakan oleh film dokumenter itu sendiri. “The one thing that seperates documentaries from each other, especially those dealing with the same subject matter, is approach. Approach is just general term that refers to how you choose to tell your story on screen. What tone, storytelling techniques, and elements will you use?”29 Bill Nichols, salah satu tokoh dokumentarian yang memberikan pengaruh besar terhadap layar film dokumenter di Amerika mengklasifikasikan tipe–tipe film dokumenter, dikarenakan ada beberapa hal yang mirip atau sama dalam beberapa film dokumenter. Namun sebelum masuk ke dalam tipe–tipe film 29
Anthony Q. Artis, The Shut Up and Shoot: Documentary Guide, Focal Press, Oxford, 2008 hal 12
27
dokumenter, Warren Buckland memberi catatan pada asumsi banyak orang tentang dokumenter yaitu :30 a. Tipe Expository Tipe ini yang paling klasik dibandingkan yang lain karena banyak digunakan untuk film dokumenter yang ditayangkan oleh televisi pada masa sekarang. Pada tahun 1930-an, tokoh besar dokumenter, John Grierson menawarkan sebuah betuk yang sangat berbeda dari dokumenter sebelumnya yang dianggap terlalu puitik. Tawaran tersebut adalah paparan yang berupa penjelasan (explanation) yang bersamaan dengan gambar–gambar di film.
Menurutnya,
dengan menggunakan paparan yang menjelaskan maka pembuat film dokumenter bisa ‘naik kelas’ dari yang semula mengangkat tema–tema propaganda sosial ke tema–tema masalah sosial di dunia. Perbedaan yang tajam dengan film dokumenter yang dianggap puitik seperti yang dibuat oleh Joris Ivens (The Bridge dan Rain) ataupun Dziga Vertov (A Man With A Movie Camera) adalah pada penggunaan aspek visual dan cara berceritanya. Dasar pemikiran dari perbedaan itu adalah penekanannya pada isi film yang cenderung retorik ataupun tujuannya yaitu penyebaran informasi secara persuasif. Sedangkan Bill Nichols memaparkan bahwa expository memasukkan narasi (voice over commentary) dengan ‘paksaan’ yang dikombinasikan dengan serangkaian gambar yang bertujuan agar lebih deksriptif dan informatif. Narasi sendiri diarahkan langsung kepada penonton dengan menawarkan serangkaian 30
Tipe-Tipe (Mode) Dokumenter. Diakses melalui www.filmpelajar.com pada tanggal 20 Juli 2014
28
fakta dan argumentasi yang ilustrasinya bisa didapatkan dari shot–shot yang menjadi insert-nya. Selain itu ada beberapa hal yang bisa menjadi kekuatan narasi yaitu : Narasi dapat menyampaikan informasi abstrak yang tidak mungkin digambarkan oleh shot–shot yang disuguhkan dan narasi dapat memperjelas peristiwa atau action tokoh yang terekam kamera dan kurang dipahami oleh penonton. Narasi adalah inovasi yang nyata pada film dokumenter yang memiliki kecenderungan untuk memaparkan sesuatu dengan lebih gamblang. Pada awal kemunculannya seperti sesuatu yang ada di mana-mana (omnipresent), mahatahu (omniscient) dan berupa suara objektif yang menjelaskan ilustrasi gambarnya. Narasi menjaga bobot penceritaan dan argumentasi dari kandungan retoris sebuah. Pada masa itu dokumenter puitik berkembang pesat di kalangan filmmaker sebab mampu menjadi tafsir subjektif dan estetik pada sebuah subjek visual. Tentu saja hal tersebut seperti memberi kemerdekaan bagi para filmmaker pada waktu itu. Pada masa sekarang, sayangnya banyak pembuat dokumenter yang justru terjebak pada unsur pembicaraannya (speech) saja. Akhirnya banyak bermunculan film-film dokumenter dengan wawancara atau narasi pada ‘sekujur tubuh’ filmnya dan ilustrasi berupa shot–shotnya sekedar menjadi pemanis belaka. Tidak jarang karena kekurangan ilustrasi shot akhirnya penonton terpaksa melihat subjek– subjek yang sedang berbicara atau dikenal dengan istilah talking head. Hal ini dikarenakan banyak dari filmmaker kurang memahami subjek filmnya atau terkadang data riset yang didapat masih di permukaan permasalahan saja.
29
Film dokumenter dengan tipe expository ini sangat banyak kalau harus disebutkan satu per satu. Tapi setidaknya pada masa John Grierson saja ada beberapa film dokumenter dengan tipe ini yang diproduksi antara lain Drifters (1929) karya John Grierson; Coalface (1935) karya Alberto Calvacanti; Night Mail (1936) karya Harry Watt dan Basil Wright; North Sea (1938) karya Harry Watt; Song of Ceylon (1939) karya Basil Wright; dan Spare Time (1939) karya Humprey Jennings. Sedangkan di Indonesia juga sudah sangat banyak diproduksi film–film dengan tipe seperti ini misalnya Bye Bye Buyat (2005) karya Kang E, Trimbil lan Bratil (2006) karya Tomy Widiyatno Taslim, Mothers Tears (2004) karya Toni Trimarsanto; Gerakan Mahasiswa / Student Movement (2002) karya Tino Saroenggaloe dan sebagainya. Bahkan sudah banyak film dokumenter yang diproduksi
televisi
yang
mengadopsi
tipe
ini
karena
dianggap
lebih
memungkinkan untuk diproduksi. Selain pengemasan datanya dianggap lebih mudah dibandingkan tipe lain, juga waktu produksinya lebih bisa diukur. Beberapa film dokumenter televisi itu adalah Metro Files yang banyak mengulas tentang peristiwa bersejarah di Indonesia. b. Tipe Observational Film dokumenter observational merupakan film yang filmmaker-nya menolak untuk mengintervensi objek dan peristiwanya. Mereka berusaha untuk netral dan tidak memberi menghakimi subjek atau peristiwanya. Tipe ini juga menolak menggunakan narasi (voice-of-god), komentar dari luar ruang cerita, wawancara, bahkan menolak penggunaan tulisan panjang yang menjelaskan adegan (intertitles) seperti yang digunakan Robert Flaherty dalam film Nanook of
30
the North. Penekanannya untuk memaparkan potongan kehidupan manusia sceara akurat atau mempertunjukkan gambaran kehidupan manusia secara langsung. Cara ini dipergunakan sebagai observasi sederhana untuk mereka bentangan peristiwa yang ada di depan filmmaker-nya. Dengan bahasa sederhana, filmmaker tidak ikut campur terhadap subjek atau peristiwa yang ada di depannya dan ia hanya merekam dengan kameranya dan alat perekam suaranya. Hal inilah yang membuat tipe observational dikenal dengan Direct Cinema yang akhirnya menjadi sebuah gaya dalam film dokumenter. Secara teknis bila didalami saat merekam subjeknya, filmmaker-nya lebih banyak menggunakan teknik long take karena kamera menangkap gambar secara kontinyu dan tanpa terpenggal. Suaranya pun akan diperlakukan sama dengan apa yang dilakukan oleh kameranya. Dalam editingnya pun long take shot sering dibiarkan dan terkadang hanya menggunakan beberapa pemotongan saja. Seperti yang dilakukan oleh Frederick Wiseman saat membuat film High School yang mengangkat keseharian di sebuah sekolah di Philadelphia tahun 1968. David Bordwell dan Kristin Thompson menyebutkan bahwa ketika membuat High School, Frederick Wiseman memperlihatkan interaksi dan konflik antara guru dan murid yang kebanyakan alasannya karena pemberian sanksi oleh guru–guru di sekolah. Gambaran pendidikan yang ‘kejam’ dalam film ini seperti merepresentasikan sistem pendidikan di Amerika Serikat. Walaupun Frederick Wiseman tidak bermaksud menjadikan film ini sebagai film politik, namun banyak politikus dan pengamat politik menganggap
31
bahwa film High School ini bemuatan pemikiran sosialisme. Selain itu ada Donn Alan Pannbaker yang mengikuti perjalanan Bob Dylan ke Inggris dalam rangka konser musiknya di sana Pannebaker mengemasnya menjadi film Don’t Look Back (1967). Begitu pula yang dilakukan oleh Robert Drew ketika membuat Primary (1960) dengan mengikuti safari politik / kampanye dari John F. Kennedy and Hubert Humphrey.
c. Tipe Interactive Bila ditilik dari sejarahnya, tipe interactive pernah menjadi bagian dari film A Man With A Movie Camera karya Dziga Vertov, di mana dia memasukkan adiknya, Mikhail Kaufman (sinematografer) dan isterinya, Elizaveta Svilova (editor) ke dalam frame film tersebut sehingga penonton bisa melihat kehadiran mereka. Tipe dokumenter interactive menjadi kebalikan dari dokumenter observational, di mana pada observational, filmmaker tidak pernah atau tidak boleh tampak di dalam filmnya. Sedangkan tipe interactive, filmmaker-nya menampakkan diri secara menyolok di layar dan sering melibatkan diri pada peristiwa serta berinteraksi dengan subjeknya. Aspek utama dari dokumenter interactive adalah wawancara, terutama dengan subjek–subjeknya sehingga bisa didapatkan komentar–komentar dan respon langsung dari narasumbernya (subjek film). Dengan deimikian subjek dalam film tersebut bisa menyampaikan pendapat dan pandangan mereka terhadap permasalahan yang diangkat oleh filmmaker-nya.
32
Ketika di meja editing, pendapat–pendapat tersebut bisa disuguhkan secara berselang–seling sehingga menghasilkan pendapat yang saling mendukung satu sama lain atau sebaliknya, saling bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, di sini jelas bahwa wawancara dibuat bertujuan sebagai argumentasi filmmaker terhadap permasalahan yang diangkat dan tidak ada usaha untuk menjadi netral terhadap permasalahan tersebut. Tidak mudah bagi Michael Moore ketika membuat film Roger and Me (1989) untuk menyampaikan kepada penonton masalah ironi, kelucuan hingga kemarahan yang terkandung dalam film itu. Cerita yang diangkat adalah tentang kemeroston kehidupan kota Flint di Michigan di mana kota tersebut sudah sangat bergantung pada kehadiran General Motor di wilayah tersebut. Perusahaan itu bisa mengangkat perekonomian kota sedemikian rupa. Sampai ada keputusan dari Roger Smith sebagai kepala General motor, untuk memindahkan pabriknya ke Mexico karena buruh di sana bisa dibayar lebih murah sehingga bisa menekan biaya produksinya. Kemudian kota Flint berubah menjadi kota termiskin di Amerika Serikat dan terpuruk drastis secara ekonomi. Dalam film tersebut Michael Moore mewawancara Roger Smith serta mengajaknya untuk melihat lagi kota Flint setelah penutupan pabrik Genereal Motor. Editing-nya dibuat berselang–seling antara wawancara dengan Roger Smith dengan wawancara dengan masyarakat setempat. Film Super Size Me karya Morgan Spurlock mengangkat tentang dampak dari makanan ‘sampah’ (junk food) di Amerika Serikat. Salah satu perusahaan makanan cepat saji yang dijadikan eksperimen adalah Restoran McDonald. Awalnya di ceritakan Morgan Spurlock mengunjungi ahli kesehatan seperti dokter
33
serta ahli gizi untuk memeriksakan kondisi tubuhnya, kemudian selama satu bulan penuh dia mengkonsumsi produk McDonald untuk makan pagi, makan siang hingga makan malam. Selama proses tersebut Morgan Spurlock merasakan perubahan pada tubuhnya, bahkan isterinya merasa bahwa daya tahan seksual dari suaminya menurun drastis. Benar saja ketika eksperimen selesai, para dokter dan ahli kesehatan yang dulu memeriksanya, mengeluarkan hasil test kesehatannya dan menunjukkan hasil yang sangat mencengangkan. Mulai dari kadar kolesterol dan gula yang tinggi di tubuhnya sampai beberapa hasil yang nilainya negatif. Walaupun film–film dari tipe interactive ini memiliki muatan sosial yang kental, namun banyak pengamat yang mengkritisi karena dianggap banyak manipulasi terhadap peristiwa dan subjek serta sering terjadi kesalahan dalam penggambarannya.
Karena aspek intervensi dan manipulasi ini, kemudian
mengingatkan banyak pihak pada gerakan sinema di Perancis, Cinema Verite dengan tokohnya yang ternama, Jean Rouch dan Edgar Morin (film Chronique d’un Ete – 1961). Pada akhirnya gaya pembuatan dari Cinema Verite ini menjadi gaya yang sangat dominan di dalam pembuatan film dokumenter saat ini. d. Tipe Reflexive Filmmaker dalam dokumenter reflexive sudah melangkah satu tahap lebih maju dibandingkan tipe interactive. Tujuannya untuk membuka ‘kebenaran’ lebih lebar kepada penontonnya. Tipe ini lebih memfokuskan pada bagaimana film itu dibuat artinya penonton dibuat menjadi sadar akan adanya unsur–unsur film dan proses pembuatan film tersebut, justru hal inilah yang menjadi titik perhatiannya.
34
Sebagai contoh adalah film A Man With A Movie Camera (1929) karya Dziga Vertov, selain memasukkan Mikhail Kaufman (sinematografer) yang sedang menggunakan kamera juga memperlihatkan bagaimana potongan– potongan gambar yang dia ambil kemudian dikonstruksi di meja editing. Bahkan dia juga menggunakan beberapa kemampuan teknik film seperti freeze frame, shot yang out of focus, superimpose (double-exposure technique), fast motion, slow motion, reverse motion dan lain sebagainya. Unsur – unsur teknis tersebut mengingatkan kepada penonton bahwa apa yang dilihatnya ada hasil dari sebuah konstruksi yang menggunakan media film.
Tujuan Vertov adalah untuk
menyuguhkan realitas kehidupan keseharian (bangun tidur, melahirkan, pergi kerja hingga aktivitas di tempat hiburan) menggunakan teknik yang radikal sehingga penontonnya sadar bahwa hal itu adalah sebuah pertunjukkan bernama film. Sebagai tambahan, teori Vertov tentang penggambaran dalam film terbagi menjadi dua. Pertama, prinsip film truth (kino-pravda) yang membicarakan tentang bagaimana proses perekaman kehidupan keseharian sebagaimana adanya. Kedua, prinsip film eye (kino-glaz) yaitu prosedur bagaimana film dikonstruksi dengan menggunakan kemampuan teknis film seperti yang telah dijelaskan di atas. Vertov menganalogikan setiap shot dari filmnya itu seperti sebuah batu bata. Ketika seorang filmmaker membuat film, ibaratnya dia akan menata semua batu bata yang dia punya untuk dijadikan bangunan sesuai dengan keinginannya, bisa rumah biasa, vila, gedung bertingkat dan sebagainya. Prinsip terakhir ini oleh
35
kolega Vertov yang bernama Vsevolod I. Pudovkin disebut dengan Constructive Editing. e. Tipe Performative Tipe film dokumenter ini berciri paradoksal, di mana pada satu sisi tipe ini justru mengalihkan perhatian penonton dari ‘dunia’ yang tercipta dalam film. Sedangkan sisi yang lain justru menarik perhatian penonton pada aspek ekspresi dari film itu sendiri. Tujuannya untuk merepresentasikan ‘dunia’ dalam film secara tidak langsung. Juga menciptakan suasana (mood) dan nuansa ‘tradisi’ dalam film yang cukup kental yaitu tradisi penciptaan subjek atau peristiwa dalam film fiksi. Aspek penciptaan tersebut bertujuan untuk menggambarkan subjek atau peristiwanya secara lebih subjektif, lebih ekspresif, lebih stylistik, lebih mendalam serta lebih kuat menampilkan penggambarannya. Subjek dan peristiwa tersebut dibuat secara baik dan terasa lebih hidup sehingga penonton dapat merasakan pengalaman dari peristiwa yang dibuat itu. Subjek dan peristiwa dibuat jauh lebih lengkap supaya penonton dapat merasakan perubahan dan variasinya. Pendapat lain adalah seperti yang dipaparkan oleh Stella Bruzzi yang mngatakan bahwa tipe performative memberi ruang yang lebih luas bagi kebebasan berkreasi dalam bentuk abstraksi visual, naratif dan sebagainya. Menanggapi konsep dari Bill Nichols yang mengatakan bahwa tipe performative merupakan lawan langsung dari tipe observational, maka ia mengatakan bahwa tipe performative “menghadapkan masalah estetik dengan persoalan penerimaan penonton terhadap kebenaran yang disajikan. Juga hakekat dari dokumenter yang
36
dihadapkan dengan masalah authorship. Sekali lagi posisi mereka berlawanan langsung dengan para penganut Direct Cinema yang selalu melihat diri mereka sebagai penngejar kebenaran.” (Bruzzi 2000) Contoh dari tipe ini adalah film The Thin Blue Line (1988) karya Errol Morris yang menceritakan pembunuhan terhadap seorang polisi patroli dari Kepolisian Dallas yang bernama Robert Wood pada tahun 1976. Tersangka pelakunya seorang gembel bernama Randall Adams sementara saksi yang memberatkannya, bernama David Harris merupakan tersangka pembunuhan yang didakwa dengan hukuman mati. Siapa yang menembak Robert Wood dan bagaimana peristiwa itu terjadi, menjadi pertanyaan yang berkepanjangan. Peristiwa film ini direkonstruksi berdasarkan kesaksian para saksi yang mengaku melihat kejadian itu. Namun kesaksian tersebut banyak yang meragukan dan sering tidak konsisten dan hal tersebut yang kemudian dikonstruksi oleh Errol Morris.
Uniknya sang sutradara menggambarkan fakta–fakta dari setiap
kesaksian baru dan berlainan apalagi yang sifatnya tidak konsisten dengan cara merekonstruksi. Jadi film The Thin Blue Line tidak hendak memaparkan sebuah kenyataan, namun ingin berbicara tentang ingatan (memory), kebohongan dan ketidakkonsistenan dari kesaksian–kesaksian peristiwa. Film lain sebagai contoh dari tipe film ini adalah Tongues Untied (1990) karya Marlon Riggs yang bercerita tentang pengalamannya sebagai seorang penari homoseksual keturunan African–American yang tinggal di kota New York.
37
Lima tipe dokumenter di atas merupakan klasifikasi dari Warren Buckland yang mengutip klasifikasi dari Bill Nichols, namun pada tulisan – tulisan di dunia maya serta beberapa pembahasan, maka muncul satu tipe film dokumenter lagi yang justru paling awal dibuat yaitu tipe poetic. Ada beberapa tokoh yang bisa disebutkan seperti Joris Ivens yang sempat membuat The Bridge dan Rain serta Walter Ruttman yang membuat Berlin City Symphony. Sedangkan sekitar tahun 1950-an muncul Bert Haanstra dengan karyanya seperti Panta Rhei.
f. Tipe Poetic Pembuat film dokumenter awal di Eropa bisa dikatakan didukung oleh teori montage Soviet dan prinsip photogenie dari gerakan sinema Impressionisme Perancis. Dengan dua teori di atas, maka Bill Nichols nantinya akan menyebut dengan istilah tipe poetic. Pionir film dokumenter, Dziga Vertov pernah menggambarkan pendekatan dari tipe ini “Kami: Variant of a Manifesto” saat memproklamirkan kinochestvo31 (kualitas dari menjadi sinematik), “adalah seni mengorganisasi gerakan yang penting dari subjek–subjek film dalam ruangnya sebagai keseluruhan ritme artistik, di dalam keselarasan dengan unsur–unsur materialnya serta ritme internal dari tiap subjek.” (Michelson, O’Brien dan Vertov 1984). Seperti yang dikatakan oleh Bill Nichols, bahwa film dokumenter tipe poetic cenderung memiliki interpretasi subjektif pada subjek–subjeknya. 31
A. Michelson, K. O’Brien, & D. Vertov. Kino-Eye: The Writings of Dziga Vertov. University of California Press, California, 1984 hal 83
38
Pendekatan dari tipe ini mengabaikan kandungan penceritaan tradisional yang cenderung menggunakan karakter tunggal (individual characters) dan peristiwa yang harus dikembangkan. Editing dalam dokumenter poetic sangat nyata bahwa kesinambungan (continuity) tidak memiliki dampak apapun sebab dalam editingnya lebih mengeksplorasi asosiasi dan pola yang melibatkan ritme dalam waktu (temporal rhythms) dan jukstaposisi ruang (spatial juxtapositions). Joris Ivens dalam film Rain / Regen (1929) merupakan salah satu yang menggunakan tipe poetic ini. Secara konsisten menyambung shot–shot yang tidak berhubungan untuk menggambarkan hujan yang mengguyur kota Amsterdam. Tipe poetic mengilustrasikan kesan subjektif tanpa kandungan argumentasi apapun. Hal ini sering dianggap sebafau sebagai salah satu gerakan garda depan (avant-garde). Beberapa film yang kemudian dibuat dan masuk dalam tipe film ini adalah film trilogi dari Godfrey Reggio yaitu Koyannisqatsi (1982), Powaqqatsi (1988) dan Naqoyqatsi (2001); film – film karya Bert Haanstra yang lain seperti Mirror of Holland (1951), Glass (1958) dan Zoo (1961); serta film Baraka (1992) karya Ron Fricke yang tidak lain adalah sinematografer Geodfrey Reggio dalam beberapa filmnya.
2.5
Teknik Penyutradaraan Kinerja director atau sutradara dalam film dokumenter sangat berbeda
dengan film fiksi. Dimana sutradara dalam film fiksi melaksanakan alur cerita yang telah dibuat, sedangkan sutradara film dokumenter mengikuti alur yang
39
terjadi dengan realita yang ada. Sutradara film dokumenter harus dapat mempresentasikan realita berupa perekaman gambar apa adanya. Justru karena apa adanya, setiap adegan sifatnya alamiah atau spontan. Karena itulah saat mengawali kerja, sutradara dokumenter sudah harus memiliki ide dan konsep yang
jelas
mengenai
apa
yang
akan
disampaikan
dan
bagaimana
menyampaikannya secara logis dan mampu memberi emosi dramatik.32 Dian Herdiany mengatakan dalam Fajar Nugroho, “Dokumenter itu melihat sesuatu di sekitar kita, sesuatu yang tak terlihat atau memang tidak mau dilihat”.33 Pembuat berperan sebagai sutradara, dimana merupakan jabatan yang paling penting. Sutradara memiliki tugas sebagai memikul tanggung jawab atas semua yang menyangkut produksi film dokumenter, baik secara sinematografis maupun artistik. Sutradara juga harus memiliki jiwa kepemimpinan (leadership) sehingga dapat memadukan kerja dari semua kru yang terlibat dalam produksi film dokumenter. Selain itu sutradara juga harus mampu memahami keinginan penonton dengan mampu mentransformasikan gagasannya dalam produksi film dokumenter sehingga film dokumenter dapat dipahami maksudnya oleh penonton. Acapkali dalam produksi film dokumenter sutradara merangkap sebagai director of photograpy.34 Film Lipsync in My Life ini berkonsentrasi pada cerita kehidupan subjek. Sutradara menempatkan posisinya sebagai observator, dimana sutradara berpartisipasi dalam kegiatan sehari-harinya. Karakter dalam film akan menjadi 32
Gerzon R. Ayawaila. 2008. Dokumenter dari ide sampai produksi. Jakarta: FFTV-IKJ Press, hal: 87 33 Fajar Nugroho. 2007. Cara Pinter Bikin Film Dokumenter. Yogyakarta: Penerbit Indonesia Cerdas, hal 47 34 Fajar Junaedi. 2011. Membuat Film Dokumenter. Yogyakarta. Lingkar media. Hlm. 44
40
narasumber utama dalam mendapatkan informasi seputar cerita tentang hidupnya. Sedangkan gambar-gambar yang berisi kegiatan-kegiatan show, kegiatan seharihari di rumah, dan kegiatan pergaulan karakter dengan lipsinger lainnya akan menjadi faktor utama yang menunjang keterikatan cerita dan memberikan penuturan visual dalam film. Dalam film dokumenter, riset menjadi faktor yang sangat penting. Riset adalah upaya mengumpulkan fakta dan data tentang apa yang diinginkan dalam film nantinya.35 Sutradara film Lipsync in My Life melakukan riset selama 4 bulan, karena
dalam membuat
dituntut untuk memberikan informasi yang
matang dan mendalam. Riset dilakukan dengan mencari informasi kajian pustaka di perpustakaan, internet, mendatangi moonlight diskotik untuk melihat show lipsinger, serta sharing informasi dari beberapa teman yang gay. Untuk memberi sentuhan estetika pada film, ada empat topik utama yang menjadi konsentrasi sutradara, yakni: pendekatan, gaya, bentuk, dan struktur. Ini merupakan teori dasar yang dijadikan bahan ramuan sutradara dalam menggarap film dengan baik. Bagaimana rincian empat topik utama tersebut. Dibawah ini rinciannya:36 a. Pendekatan Ada dua hal yang menjadi titik tolak pendekatan dalam dokumeter, yaitu apakah penuturannya diketengahkan secara esai atau naratif. 35
Tonny Trimarsanto. 2011. Catatan Proses Membuat Film Dokumenter Renita, Renita. Klaten: Rumah Dokumenter. Hal 20 36 Gerzon R. Ayawaila. 2008. Dokumenter dari ide sampai produksi. Jakarta: FFTV-IKJ Press, hal: 88
41
Keduanya memiliki ciri khas yang spesifik dan menuntut daya kretatif tinggi sutradara. Pendekatan esai dapat dengan luas mencakup isi peristiwa yang dapat diketengahkan secara kronologis atau tematis. Menahan perhatian penonton untuk tetap menyaksikan sebuah pemaparan esai selama mungkin itu cukup berat, mengingat umumnya penonton lebih suka menikmati pemaparan naratif. Sebagai contoh, bila selama 30 menit diketengahkan peristiwa peledekan bom di Kuta, Bali secara esai, mungkin masih cukup menarik. Namun, jika durasinya diperpanjang menjadi 60 menit, cukup sulit untuk menahan perhatian penonton. Dengan demikian kita perlu menampilkan sosok atau profil dan kehidupan pelaku peristiwa biadab itu, serta dampak penderitaan para korban. Ini akan mampu memperkuat unsur human interest.37 Pada umumnya setiap isi penuturan film memerlukan sudut pandang (point of view) untuk menerangkan dari sisi mana dan siapa yang bertutur dalam film tersebut. Oleh karena itu diperlukan adanya semacam karakter atau tokoh yang akan menuturkan isi dan pesan dari film. Biasanya, soal ini diistilahkan benang merah penuturan (karakter yang mengikat keseluruhan cerita). Karakter bisa jadi semacam identitas yang dapat membangun rangsangan emosi.38
37
Ibid. Hal 88
38
Ibid. Hal 89
42
b. Gaya Membicarakan gaya dokumenter tak akan pernah ada habisnya, karena gaya terus berkembang sesuai kreatifitas sang dokumenteris. Gaya dalam dokumenter terdiri dari bermacam-macam kreatifitas, seperti gaya humoris, puitis, satire, anekdot, serius, semi serius, dan seterusnya.39 Dalam
gaya,
ada
tipe
pemaparan
eksposisi
(expository
documentary), ada pula observasi (observational documentary), selain gaya
interaktif
(interactive
documentary),
refeleksi
(reflexive
documentary), dan perfomatif (perfomative documentary). Tipe pemaparan ekposisi, terhitung konvensioanal, umumnya merupakan tipe format dokumenter televisi yang menggunakan narator sebagai penutur tunggal. Karena itu narasi atau narator disini disebut sebagai voice of god, karena aspek subjektifitas narator. Contohnya, antara lain adalah kemasan discovery channel dan national geographic.40 Tipe
observasi
(observational
documentary)
hampir
tidak
menggunakan narator. Konsetrasinya pada dialog antar-subjek-subjek. Pada tipe ini sutradara menempatkan posisinya sebagai observatory.41 Ada pula sutradara yang berperan aktif dalam filmnya, sehingga komunikasi sutradara dengan subjeknya ditampilkan dalam gambar (in frame). Tujuannya untuk memperlihatkan interaksi langsung antara 39
Ibid. Hal 90
40
Ibid.Hal 90
41
Ibid. Hal 90
43
sutradara dengan subjek, dan ini dinamakan gaya interaktif (interactive documentary).
Jika
ada
wawancara,
tipe
ini
tidak
sekedar
memperlihatkan adegan wawancara namun sekaligus memperlihatkan bagaimana wawancara itu dilakukan. Di sini sutradara memposisikan diri bukan sebagai observatory tetapi justru sebagai partisipan. 42 Yang kini sangat jarang ditemukan adalah film dengan gaya refleksi (reflexive documentary). Dokumentaris Rusia Dziga Vertov merupakan pelopor gaya ini. Yakni semua adegan harus apa adanya. Dia kemudian menekankan bahwa kamera merupakan mata film yang merekam berbagai realita yang disusun kembali berdasarkan pecahan shot demi shot yang dibuat.43 Gaya yang mendekati film fiksi adalah gaya perfomatif (perfomative documentary) karena disini yang lebih diperhatikan adalah kemasannya harus semenarik mungkin. Bila umumnya dokumenter tidak mementingkan alur penuturan atau plot, dalam gaya perfomatif
malah
lebih
diperhatikan.
Sebagian
pendapat
mengategorikan sebagai film semi dokumenter. 44 Film dokumenter Lipsync in My Life ini menggunakan tipe gaya interaktif (interactive documentary). Sutradara berperan aktif dalam filmnya sebagai interviewer, dimana ketika subjek memberikan cerita tentang kisah hidupnya, tatapan mata subjek tidak tertuju ke kamera, 42
Ibid. Hal 90 - 91
43
Ibid. Hal 91
44
Ibid. Hal 91
44
melainkan menatap mata sutradara sebagai
lawan
bicaranya.
Komunikasi sutradara dengan subjeknya ditampilkan dalam gambar (in frame). Tujuannya untuk memperlihatkan interaksi langsung antara sutradara dengan subjek, hal ini dilakukan agar subjek merasa lebih dekat ikatan emosionalnya, sehingga informasi yang didapatkan akan lebih mudah.
c. Bentuk Pada hakekatnya bentuk penuturan masih termasuk dalam bingkai gaya, hanya saja lebih spesifik. Pada prinsipnya setelah mendapatkan hasil riset, kita sudah dapat menggambarkan secara kasar bentuk penuturan yang akan dipakai. Dengan menentukan sejak awal bentuk yang akan dipilih sebagai kemasannya, selanjutnya pendekatan, gaya, dan struktur akan mengikuti ide dalam bentuk tersebut. Misalnya bila menginginkan bentuk penuturan laporan perjalanan, maka pendekatan, gaya, dan stukturnya dapat dirancang-dibangun. Mungkin dalam penuturan film dokumenter bentuk penuturan agak lebih diperhatikan dibanding dalm film cerita fiksi.45
d. Struktur Struktur adalah kerangka rancangan untuk menyatukan berbagai analisir film sesuai dengan yang menjadi ide penulis atau sutradara.
45
Ibid. Hal 92
45
Anasir dalam film dalam penulisan naskah terdiri dari rancang-bangun cerita yang memiliki tiga tahapan dasar baku, seperti: bagian awal (pengenalan/introduksi), bagian tengah cerita (proses krisis dan konflik, dan bagian akhir cerita (klimaks/antiklimaks). Ketiga bagian ini merupakan rangkuman dari susunan shot yang membentuk adegan (scene) sehingga sekuens (sequence).46 Dokumenter Lipsync in My Life dapat dilakukan dengan struktur tiga babak penuturan. Pada bagian awal untuk merangsang keingintahuan penonton, akan diperkenalkan suasana malam ibukota Jakarta, tepatnya di
diskotik moonlight. Lalu pada bagian tengah,
dikisahkan bagaimana profil, aktivitas sehari-hari, pementasan show lipsinger, serta konflik batin subjek utama. Di bagian akhir, karakter atau narasumber utama tersebut mengungkapkan harapan yang ingin dicapai dalam pilihan hidupnya.
46
Ibid. Hal 93