DARI REDAKSI Dengan memanjatkan puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, kami dapat menerbitkan Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 1 Tahun 2014. Pada penerbitan ini redaksi telah berusaha untuk memilih artikel-artikel yang telah kami terima, dengan memperhatikan kaedah-kaedah yang telah ditentukan bagi suatu Jurnal Ilmiah. Pada penerbitan Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 1 Tahun 2014 ini memuat artikel mengenai: Pendidikan Politik Menyongsong Pemilu Legislatif Tahun 2014 dalam Ranah Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Deliberatif, Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang, Politik Agraria Di Yogyakarta: Identitas Patrimonial dan Dualisme Hukum Agraria, Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai Instrumen Perencanaan Penyusunan Undang-Undang, Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kota Medan, Kriteria Unsur Kegentingan yang Memaksa dalam Penerbitan Perppu, Permasalahan Kedaulatan Wilayah Ruang Udara di Indonesia, Tanggung Jawab Hukum dalam Kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100, Kerjasama Internasional Perpindahan Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia, dan Transparansi dan Akuntabilitas Penggalangan Dana Publik untuk Korban Banjir Jakarta 2013. Pada Jurnal Legislasi Indonesia Volume 11 Nomor 1 Tahun 2014 redaksi mengucapkan terima kasih dan memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Suhariyono, S.H., M.H., Bapak Linus Doludjawa, S.H. dan Bapak A. Ahsin Thohari, S.H., M.H. yang telah turut berpartisipasi sebagai pembaca ahli (Mitra Bestari). Saran dan kritik pembaca guna perbaikan dan penyempurnaan isi Jurnal Legislasi Indonesia serta sumbangan pemikiran dalam bentuk tulisan dari pembaca sangat kami harapkan.
Salam Redaksi.
iii
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014
DAFTAR ISI Dari redaksi Lembar Abstrak
iii vii - xii
Artikel: Pendidikan Politik Menyongsong Pemilu Legislatif Tahun 2014 dalam Ranah Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Deliberatif Nadir ............................................................................................................................................
1 - 14
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Muhammad Fadli .........................................................................................................................
15 - 24
Politik Agraria Di Yogyakarta: Identitas Patrimonial dan Dualisme Hukum Agraria Wasisto Raharjo Jati ....................................................................................................................
25 - 34
Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai Instrumen Perencanaan Penyusunan Undang-Undang Arrista Trimaya ............................................................................................................................
35 - 44
Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kota Medan Budi S.P. Nababan .......................................................................................................................
45 - 54
Kriteria Unsur Kegentingan yang Memaksa dalam Penerbitan Perppu Janpatar Simamora .....................................................................................................................
55 - 64
Permasalahan Kedaulatan Wilayah Ruang Udara di Indonesia May Lim Charity .........................................................................................................................
65 - 72
Tanggung Jawab Hukum dalam Kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100 Velliana Tanaya
73 - 84
Kerjasama Internasional Perpindahan Narapidana antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia Eka Martiana Wulansari .............................................................................................................
85 - 106
Transparansi dan Akuntabilitas Penggalangan Dana Publik untuk Korban Banjir Jakarta 2013 Sudaryatmo .................................................................................................................................
107 - 112
Panduan Untuk Penulis Jurnal Legislasi Indonesia ............................................................. 112-1 - 112-6
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees
UDC 342.8
UDC 342.8
Nadir
Nadir
Pendidikan Politik Menyongsong Pemilu Legislatif Tahun 2014 dalam Ranah Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Deliberatif
Political Education In Carry Out Legislative General Election Of 2014 In Pancasila And Deliberative Democracy Sphere
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Suksesnya pelaksanaan pemilu legislatif untuk memilih wakil-wakil rakyat tahun 2014 akan sangat ditentukan oleh suksesnya pelaksanaan pendidikan politik yang dilaksanakan partai politik, calon anggota legislatif, KPU atas nama negara, dan seluruh elemen masyarakat secara integral dan komprehensif dengan memberikan pengarahan positif kepada masyarakat guna mengetahui hak memilih dan dipilih sebagai warga negara yang beradap, demokratis, humanis, adil, damai, sejahtera dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
The success implementation of legislative general election in choosing people representatives of 2014 will very determined by the success implementation of political education conducted by political party, legislative candidates, General Election Commission (KPU) on behalf of state, and all society elements integrally and comprehensively give positive guidance to society about their rights in choose or to be chosen, democratic, humanist, fair, peace, secure and prosperous in life of nation and state.
Kata kunci: pendidikan politik, sejarah pemilu, pemilu 2014.
Keywords: political education, historical of election, election 2014.
UDC 342.59
UDC 342.59
Fadli, Muhammad
Fadli, Muhammad
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang
The Authority Of Corruption Eradication Commission On The Prosecution Of Money Laundering)
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penuntutan tindak pidana pencucian belum diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan manapun baik dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU). Akan tetapi kewenangan tersebut tetap dijalankan oleh Jaksa KPK dalam beberapa kasus. Hal tersebut menyebabkan dua hakim tindak pidana korupsi melakukan dissenting opinion. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimanakah kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang? Tugas KPK hanya melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU KPK. Sedangkan dalam UU PPTPPU KPK hanya sebagai penyidik tindak pidana asal. Oleh karena itu, kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang perlu diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan sehingga tercipta kepastian hukum dalam menjalankan kewenangan tersebut. Dengan demikian berkas hasil penyidikan gabungan antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang dapat langsung disatukan dakwaannya dalam bentuk kumulatif oleh Jaksa Penuntut Umum dan dapat tercipta suatu penuntutan yang efektif dan cepat (speedy prosecution) dengan demikian peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dapat diwujudkan sebagaimana Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
The authority of Corruption Eradication Commission (KPK) on the prosecution of money laundering has not been explicitly set in any legislation either in Law Number 30 Year 2002 on Corruption Eradication Commission or Law Number 8 Year 2010 on the Prevention and Eradication of Money Laundering. However the authority is still applied by prosecutor of KPK in several cases. Caused two judges of corruption court performed a dissenting opinion. Thus, the problem appears now is how the authority of the Commission in the prosecution of money laundering? The task of the Commission is only to investigate and to prosecute corruption cases as stipulated in the Law Commission. While the Law on the Prevention and Eradication of Money Laundering set Commission only as an investigator for predicate offense. Thus, the Authority of the Commission on the prosecution of money laundering should be set explicitly on the aforementioned laws so as to create legal certainty in the running of the authority. As of the combined result of the investigation paper between predicate offense and money laundering can be directly incorporated in the form of cumulative charges by the Public Prosecutor, so as to create an effective and speedy prosecution as such justice is simple, fast, and low cost can be realized as stipulated on Law Number 48 Year 2009 on Judicial Power.
Kata Kunci: Kewenangan, Penuntutan, Pencucian Uang, Jaksa, KPK.
Keywords: Authority, Prosecution, Money Laundering, Prosecutor, KPK.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees
UDC 340.155.1
UDC 340.155.1
Jati, Wasisto Raharjo
Jati, Wasisto Raharjo
Politik Agraria di Yogyakarta: Identitas Partrimonial dan Dualisme Hukum Agraria
Politic Of Agrarian In Yogyakarta: Identity & Agrarian Law Dualism
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis mengenai dualisme hukum agraria yang berada di Yogyakarta. Adapun dualisme tersebut telah termanifestasikan dalam dua bentuk yakni implementasi hukum agraria nasional maupun hukum agraria kerajaan. Adanya dualisme tersebut menyebakan adanya ambiguitas maupun ambivalensi dalam sistem pengaturan tanah di Yogyakarta. Ambiguitas tersebut berwujud pada dilemma status tanah antara tanah publik maupun tanah kerajaan. Ambivalensi dilihat dari sikap pemerintah provinsi yang terjebak dalam status sebagai wakil pemerintah pusat ataukah kerajaan. Implikasinya adalah konflik status tanah yang belum selesai hingga saat ini maupun komersialisasi tanah kraton. Maka artikel ini akan berusaha menguraikan lebih lanjut letak ambiguitas dan ambivalensi hukum agraria tersebut.
This article aims to analyze dualism case of the agrarian legal in Yogyakarta. The dualism has been manifested in two forms; the implementation of the national agrarian law and the royal agrarian law. The existence of such dualism has caused ambiguity and ambivalence in the regulation of land in Yogyakarta. The ambiguity manifested in dilemma between public land and royal land. Ambivalence came from the provincial government's attitude is trapped in status as representatives of the central government or kingdom. The implication caused the land status of the conflict have not been completed to date as well as the commercialization of the palace ground. Then, this article will elaborate further about the lies of ambiguity and ambivalence of the agrarian law.
Kata kunci:
Partrimonial
Keywords: ambiguity, ambivalence, national agrarian law, dualism, royal agrarian law.
ambiguitas, ambivalensi, hukum agraria nasional, dualisme, hukum agraria kerajaan.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees
belum dapat digunakan sebagai instrumen penyusunan Undang-Undang. Dengan demikian, penyusunan Prolegnas harus memuat justifikasi kebutuhan RUU secara nyata dan bukan hanya memuat judul RUU saja, berdasarkan beberapa indikator, yaitu: tolok ukur yang digunakan dalam penyusunan Prolegnas, koordinasi antara Pemerintah dan DPR dalam penyusunan dan penetapan Prolegnas, dan pengaruh politik hukum, khusunya politik perundangundangan agar penyusunan prolegnas sebagai instrumen perencanaan penyusunan Undang-Undang dapat menjadi optimal.
based on several indicators, such as the benchmarks used in the preparation of Prolegnas, coordination between the Government and the House of Representatives in preparation of law-making and listed bills on Prolegnas, its legal and political influences, especially in legislative politics so that the preparation of the Prolegnas as an instrument for law-making would be at its best.
Kata kunci:
Keywords: Prolegnas, instrument, bills, optimal.
Prolegnas, instrumen, Undang-Undang, optimal.
UDC 342.25
UDC 342.25
Nababan, Budi S.P.
Nababan, Budi S.P.
Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kota Medan
Encouraging The Birth Of The Local Regulation On Retribution Fees Renewal License For Hiring Foreign Workers At Medan City
UDC 340.14
UDC 340.14
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Trimaya, Arrista
Trimaya, Arrista
Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Sebagai Instrumen Perencanaan Penyusunan Undang-Undang
Optimalization of the Preparation of the National Legislation Program (Prolegnas) as a Law-Making Planning Instrument
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. Prolegnas adalah instrumen perencanaan penyusunan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi, sedangkan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Idealnya Prolegnas harus digunakan sebagai skala prioritas program pembentukan UndangUndang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang disusun untuk jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Pada kenyataannya, penyusunan Prolegnas belum dijalankan secara optimal, baik oleh DPR maupun oleh Pemerintah. Banyak RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas hanya sekadar dicantumkan judulnya saja, tanpa disertai dengan Naskah Akademiknya, bahkan substansi RUU tersebut belum dipersiapkan. Akibatnya DPR dan Pemerintah sebagai pemrakarsa RUU sering tidak mampu menjawab alasan mengapa suatu RUU perlu dibentuk. Hal ini membuat banyak kalangan menilai bahwa Prolegnas
Law-making planning is being exercise through Prolegnas. As an instrument for law-making planning, the Prolegnas is arranged according to the plan, as well as integrated and systematic in its nature. Initial preparation of the Prolegnas between the House of Representatives and the Government is coordinated by the House of Representatives through a House organ in charge with legislation. The preparation in the House of Representatives coordinated by Legislation Council (Baleg), while in the Government, it is being coordinated by the Ministry of Law and Human Rights of Republic of Indonesia. Ideally, the Prolegnas should serve as a priority in lawmaking for a forward looking on long, medium, and short terms national legal system. However, both the House of Representatives and the Government have failed to fully consider Prolegnas as a priority. There are some drafts in Prolegnas, listed only the title of the bill drafts, without any Academic Manuscript attachment, and worse, without proposed content of the bill. As a result, the House of Representatives and the Government as the initiator of the bill are often facing a problem of reasons behind a needed bill to be drafted. This is why some thoughts that Prolegnas can not deliver its function as an instrument for law-making planning. Therefore, the preparation of Prolegnas must justify the real need of any bills and not merely listing the title of the bills,
Globalisasi telah mempengaruhi situasi tenaga kerja, salah satunya adalah fenomena tenaga kerja asing. Kehadiran tenaga kerja asing merupakan tambang emas bagi pendapatan asli daerah. Berdasarkan ketetentuan Pasal 150 huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 20l2 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing, Pemerintah Daerah dapat memungut retribusi perpanjangan izin mempekerjakan tenaga kerja asing. Namun sampai saat ini Kota Medan belum memiliki Peraturan Daerah (perda) tentang Retribusi Perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sehingga terhadap tenaga kerja asing tidak dapat dipungut retribusi perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing. Dengan demikian jelas bahwa Perda tentang Retribusi Perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing conditio sine quanon bagi pemungutan retribusi perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kota Medan.
Globalization has affected the work force condition. One of the conditions is the foreign workers phenomenon. The attendance of foreign workers is a gold mine for local revenue. Based on Article 150 letter c of Law Number 28 of 2009 on Regional Tax and Regional Retribution as well as Article 15 paragraph (2) of Government Regulation Number 97 of 20l2 on Fees and Levies Traffic Control Extension License for Hiring Foreign Workers. Local Government can collect renewal license retribution for foreign workers. But until now Medan City does not have Local Regulations (Perda) on Fees Renewal License for Hiring Foreign Workers, so that the foreign workers are free from retribution renewal. It is clear that the Local Regulation on Fees Renewal License for Hiring Foreign Workers is a (conditio sine quanon) for license renewal retribution collecting for hiring foreign workers in Medan City.
Kata kunci:
Tenaga Kerja Asing, Retribusi, Peraturan Daerah.
Keywords: Foreign Workers, Retribution, Local Regulation.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees
UDC 342.51
UDC 342.51
Simamora, Janpatar
Simamora, Janpatar
Kriteria Unsur Kegentingan yang Memaksa dalam Penerbitan Perppu
The Criteria of Emergency Condition for Making Perppu
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1. Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bahwa dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Perppu. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Perppu memiliki landasan konstitusional yang cukup kuat dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Namun demikian, sampai saat ini belum ada pengaturan lebih lanjut tentang kriteria atau unsur-unsur apa saja yang termasuk dalam kategori “kegentingan yang memaksa”. Kondisi ini cukup berpotensi menimbulkan penerbitan Perppu oleh Presiden menjadi sangat subjektif. Kriteria suatu kondisi yang dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa sangat tergantung pada sudut pandang yang dipergunakan oleh seorang presiden. Padahal, Perppu merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang harus terikat dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka meminimalisasi dominasi pertimbangan subjektif presiden serta potensi penyimpangan kekuasaan dalam penerbitan Perppu, maka sangat diharapkan agar mekanisme politik di DPR dalam rangka pembahasan suatu Perppu dapat berlangsung secara objektif. Dengan demikian, pada akhirnya akan dapat dibuktikan bahwa kriteria kegentingan yang memaksa sebagai syarat mutlak penerbitan Perppu tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan subjektif Presiden.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1. Based on Article 22 paragraph (1) Constitution of the Republic of Indonesia 1945, in terms of the emergency condition, the president has the right to assign Perppu (Government Regulation Replacement). This provision indicates that Perppu has a strong foundation in Indonesian constitutional system. However, until today there is no further adjustment of the criteria or what elements are included in the category of "emergency condition". This could potentially lead to the issuance of Perppu by the president to be very subjective. Criteria for a condition that can be categorized as an emergency condition are highly dependent on the president's view. Whereas, Perppu is one of the laws and regulations that is bound by the principles of law making. In order to minimize the dominance of the subjective considerations and potential presidential power irregularities in the issuance of Perppu, it is expected that the political mechanism in Parliament in the framework of the discussion perppu can take place objective. Thus, it will ultimately be able to be evidenced that emergency condition criteria that force as an essential condition in publishing Perppu is not solely based on the subjective judgment of the president. Keyword: Perppu, emergency criteria, president's right.
Kata Kunci: Perppu, Kriteria Kegentingan, hak Presiden. UDC 341.226.2
UDC 341.226.2
Charity, May Lim
Charity, May Lim
Permasalahan Kedaulatan Wilayah Ruang Udara di Indonesia
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1. Masalah status hukum ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan suatu negara berdaulat yang digunakan untuk melakukan penerbangan sudah dibahas secara resmi dalam Konferensi Paris 1910. Seiring perkembangan waktu, pemahaman kedaulatan wilayah udara negara berkembang dan diatur dalam Konvensi Chicago dan hukum positif Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Akan tetapi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan belum menjawab persoalan kedaulatan wilayah udara. Penulis membeberkan praktek pelanggaran kedaulatan wilayah udara Indonesia dan bagaimana hukum positif Indonesia masih mempunyai kelemahan dalam mengatur masalah pelanggaran kedaulatan wilayah udara Indonesia. Permasalahan masuknya pesawat-pesawat asing ke wilayah udara Indonesia, penindakan hukum yang lemah akibat kurangnya pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan serta permasalahan Flight
The Problems of Indonesian Air Space Sovereignty Issue of legal status of the air space above the lands and waters of a sovereign state that is used to make the flights has been discussed formally in the Paris Conference in 1910. Over the years, understanding of air space sovereignty in any developing countries is set in the Chicago Convention and Indonesian positive law, namely Law Number 1 of 2009 on Aviation. However, Law Number 1 of 2009 about the flights has not answered the question of the sovereignty of airspace. The writer revealed the practice of Indonesian air space violation of sovereignty and how the Indonesian positive law still has weaknesses in regulating the violation of air space sovereignty of Indonesia. Problems in flux of foreign air craft to Indonesian air space, law enforcement is still weak due to the lack of regulation in the Law Number 1 of 2009 on Aviation and problems on Flight Information System (FIR) which is still managed by other countries, whereas the FIR airspace settings is in Indonesian airspace territory. These problems must be immediately sought the solution, and in this case the writer has an opinion to revise Law Number 1 of 2009 on
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees
Information System (FIR) yang masih dikelola oleh negara lain, padahal wilayah udara pengaturan FIR adalah wilayah udara Indonesia. Permasalahan tersebut harus segera dicari solusinya.
Aviation and build a cooperation of all parties to overcome Indonesian air space sovereignty issues. Keywords: flight, airspace territory.
Kata kunci: penerbangan, wilayah udara.
UDC 347.822.2
UDC 347.822.2
Tanaya, Velliana
Tanaya, Velliana
Tanggung Jawab Hukum dalam Kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100
Legal Responsibility in Sukhoi Superjet 100 Aircraft Accident
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Di era modern penggunaan pesawat sebagai transportasi utama sangat tinggi. Pada tahun 2001, sektor transportasi udara telah membuat perkembangan yang sangat tinggi dalam regulasi dan efek samping sehingga mengakibatkan banyak perusahaan penerbangan baru telah muncul. Mengingat fakta bahwa sebelumnya hanya ada beberapa penerbangan yang dikenal di Indonesia seperti Garuda Indonesia Airlines, Merpati Airlines, Mandala Airlines dan lain-lain Meningkatnya jumlah yang signifikan dari perusahaan maskapai baru adalah karena fleksibilitas dari peraturan baru yang dikeluarkan pada tahun 2001. Fleksibilitas peraturan baru dari maskapai penerbangan nasional Indonesia juga berdampak pada meningkatnya jumlah kecelakaan pesawat. Dari tahun ke tahun jumlah kecelakaan pesawat udara di Indonesia semakin meningkat. Bahkan setelah peraturan baru dibuat yang diharapkan dapat mengurangi jumlah kecelakaan pesawat, itu tidak menghentikan kecelakaan. Pada tanggal 9 Mei 2012, kecelakaan Pesawat Sukhoi Superjet 100 terjadi. Sukhoi Superjet 100 menghilang dalam penerbangan demonstrasi berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Indonesia. Pada tanggal 10 Mei, tampak bahwa pesawat jatuh langsung ke sisi gunung berbatu. Sukhoi Superjet 100 kecelakaan pesawat disebabkan oleh kelalaian kru dalam membuat keputusan. Karena kelalaian ini orang membutuhkan penjelasan dan tanggung jawab dari bandara, perusahaan pesawat terbang atau Airline crew. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian hukum ini adalah untuk menganalisis bentuk-bentuk tanggung jawab masing-masing pihak yang terlibat dalam kasus Sukhoi Superjet 100 kasus kecelakaan adalah Airport, Aircraft Company, Crew penerbangan dan Pemerintah. Hasil penelitian hukum ini juga dimaksudkan untuk memperjelas tanggung jawab berbagai pihak dalam kasus ini dan juga untuk memajukan hukum penerbangan di Indonesia.
In the modern era the use of aircraft as the main transportation is very high. In 2001, the air transport sector has made a very high development in regulation and the side effect thus resulting in many new airlines have emerged. Considering the fact that previously there is only a few airlines known in Indonesia such as Garuda Indonesia Airlines, Merpati Airlines, Mandala Airlines and etc. The significant increasing number of this new airline company is due to the flexibility of the new regulations issued in 2001. The flexibility of the new regulation of Indonesia national air carrier also impact on the increasing number of aircraft accidents. From year to year the number of aircraft accidents in Indonesia is increasing. Even after a new regulation is made which is expected to reduce the number of aircraft accidents, it didn't stop the accident. On May 9, 2012 the Sukhoi Superjet 100 Aircraft accident occurred. Sukhoi Superjet 100 disappeared in a demonstration flight departing from Halim Perdanakusuma Airport, Jakarta, Indonesia. On May 10, it appears that the planes crashed directly into the side of a rocky mountain. Sukhoi Superjet 100 plane crash was caused by the negligence of the crew in making decisions. Because of this negligence people need explanation and responsibility from airport, aircraft company or Airline crew. Therefore, the purpose of this legal research is to analyze the forms of responsibility of each party involved in the case Sukhoi Superjet 100 accident cases is the Airport, Aircraft Company, the Flight Crew and The government. The results of this legal research is also intended to clarify the responsibilities of the parties in this case and also to advance the aviation law in Indonesia.
Kata kunci: Bandara, perusahaan pesawat, awak pesawat.
Key words: Airport, Aircraft Company, Flight Crew.
Kata kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya
PENDIDIKAN POLITIK MENYONGSONG PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2014
Keywords sourced from the article This abstract sheet may be copied without permission and fees
DALAM RANAH DEMOKRASI PANCASILA DAN DEMOKRASI DELIBERATIF
UDC 341.232
UDC 341.232
Wulansari, Eka Martiana
Wulansari, Eka Martiana
Kerjasama Internasional Perpindahan Narapidana Antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia
Treaty on Transfer of Sentenced Person Between Foreigners and Indonesian Citizen
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), adalah suatu perjanjian antar negara dengan subjek hukum negara dan dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang Hukum Publik. Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP ) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memaksimalkan pembinaan kepada narapidana. Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), dapat dilaksanakan apabila negara di mana Pengadilan bersedia memindahkan narapidana ke negara asal dengan beberapa konsekuensi yaitu pertama, narapidana tetap harus menjalani hukuman sesuai yang telah diputuskan oleh pengadilan. Kedua, pemindahan narapidana mensyaratkan adanya Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Ketiga, pemindahan narapidana yang disepakati semata-mata adalah upaya memfasilitasi para narapidana untuk dapat menjalani hukumanya di negara asal.
Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP), which is an agreement between states with state as a legal subject made in writing and creates rights and obligations in the area of Public Law. Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP) is one of the government's efforts to maximize training to inmates. Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP), can be implemented if the state where the court is willing to move the prisoners to their home countries with few consequences: first, inmates still have to wak on the appropriate punishment that has been decided by the courts. Second, the transfer of inmates requires a court verdict that had been legally enforceable. Third, the agreed transfer of inmates is merely facilitating the inmates to wak on the appropriate punishment in the country of origin.
Kata Kunci: Kerjasama Internasional, Narapidana.
keywords: Treaty, Transfer of Sentenced Person.
(POLITICAL EDUCATION IN CARRY OUT LEGISLATIVE GENERAL ELECTION OF 2014 IN PANCASILA AND DELIBERATIVE DEMOCRACY SPHERE) Nadir Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan Jl. Raya Panglegur KM. 3,5 Pamekasan Madura Jatim Indonesia Email:
[email protected] (Naskah diterima 19/12/2013, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)
abstrak Suksesnya pelaksanaan pemilu legislatif untuk memilih wakil-wakil rakyat tahun 2014 akan sangat ditentukan oleh suksesnya pelaksanaan pendidikan politik yang dilaksanakan partai politik, calon anggota legislatif, KPU atas nama negara, dan seluruh elemen masyarakat secara integral dan komprehensif dengan memberikan pengarahan positif kepada masyarakat guna mengetahui hak memilih dan dipilih sebagai warga negara yang beradap, demokratis, humanis, adil, damai, sejahtera dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata Kunci: pendidikan politik, sejarah pemilu, pemilu 2014.
Abstract
Perpindahan
UDC 347.51
UDC 347.51
Sudaryatmo
Sudaryatmo
Transparansi dan Akuntabilitas Penggalangan Dana Publik Untuk Korban Banjir Jakarta 2013
Transparency and Accountability of Fundraising Public for Victims of Flood Jakarta 2013
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1.
Indonesian Journal of Legislation Vol. 11 No. 1.
Secara geografis sebagian besar dari wilayah Indonesia adalah masuk dalam kategori daerah rawan bencana. Baik bencana alam maupun bencana akibat ulah menusia selalu melahirkan korban, melahirkan duka. Dan tidak jarang intensitas bencana tidak bisa diprediksi, sehingga jangankan korban, pemerintah pun juga sering tidak berdaya karena besarnya jumlah dana yang diperlukan untuk penanganan korban bencana. Salah satu upaya untuk meringankan beban korban (dan juga Pemerintah) adalah melalui penggalangan dana publik. Artikel ini adalah penelitian pendahuluan tentang transparansi dan akuntabilitas penggalangan dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013. Penelitian ini hanya terbatas pada penggalangan dana publik yang dilakukan oleh lembaga. Baik lembaga yang secara khusus didirikian untuk misi sosial dan kemanusiaan, lembaga keagamaan, lembaga komersial, media massa, lembaga assosiasi pengusaha dan lembaga publik. Tujuan penelitian ini untuk memberikan masukan bagi pemerintah, dan mendorong lembaga yang melakukan penggalangan dana publik untuk lebih transparan dan akuntable dan sebagai sarana kontrol sosial.
Most of Indonesia's territory geographically belongs to the category of disaster-prone areas. Both natural disasters and disasters due to human behavior are always causing casualties, causing grief. And sometimes the intensity of disasters can't be predicted, so let the victims, the Government also often disempowered because of the large amount of funds required to handling the victims. One of the efforts to alleviate the burden of the victim (and the Government) is through a public fundraising. This article is preliminary research about the transparency and accountability of public fund raising for flood victims in Jakarta 2013. This study only restricts public fundraising conducted by the institute. Both institutions specifically established for social and humanitarian missions, commercial institutions, religious institutions, mass media, associated employers and public institutions.The purpose of this research is to provide input for the Government, prompting the institutions that perform public fundraising to be more transparent and accountable as a social control.
Kata Kunci: bencana, dana publik, banjir Jakarta.
Keywords: disaster, public fund, flood in Jakarta.
The success implementation of legislative general election in choosing people representatives of 2014 will very determined by the success implementation of political education conducted by political party, legislative candidates, General Election Commission (KPU) on behalf of state, and all society elements integrally and comprehensively give positive guidance to society about their rights in choose or to be chosen, democratic, humanist, fair, peace, secure and prosperous in life of nation and state. Keywords: political education, historical of election, election 2014.
A.
Pendahuluan
Salah satu ciri khas negara hukum adalah adanya pelaksanaan pemilihan umum anggota legislatif yang dilaksanakan sesuai dengan konstitusi suatu negara yang melekat dalam negara demokratis termasuk negara hukum Indonesia pelaksanaan pemilu legislatif diadakan tiap 5 (lima) tahun sekali sebagai salah satu bentuk pastisipasi rakyat secara langsung dalam pemilu legislatif. Dalam pandangan Fukuyama negara hukum bertalian dengan demokrasi karena esensi negara hukum adalah kesediaan penguasa tunduk pada hukum. Pelaksanaan pemilihan umum anggota legislatif sangat esensial dan massif dalam Negara demokrasi modern karenanya selalu menimbulkan problematika sosiokultural. Meskipun selalu menimbulkan problem tetapi harus diadakan pemilu legislatif untuk mengisi keanggotaan dalam parlemen. Oleh karena itu, teori demokrasi modern
mengajarkan harus ada organ yang disebut parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat, dalam bahasa Soepomo ketika pidato tanggal 31 Mei 1945 di depan sidang BPUPKI mengenai usul dasar Negara Indonesia merdeka yaitu “Sistem Badan Permusyawaratan”. Keanggotaan parlemen ini pada umumnya diisi melalui Pemilu, ada juga pengisiannya berdasarkan keturunan (seperti majelis tinggi di Inggris), tetapi umumnya pengisian keanggotaannya dilakukan melalui Pemilihan umum dengan sistem kepartaian. Jika dicermati dengan seksama ada yang menarik menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum calon anggota legislatif tahun 2014 mendatang partai-partai politik telah mulai menarik perhatian masyarakat melalui kegiatan memprolamirkan fotofoto kontestan calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota telah banyak dipasang di pinggir jalan. Selain itu juga tidak kalah menariknya
1
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14
mengenai jumlah Partai Politik yang tidak begitu banyak jika dibandingkan dengan Pemilihan Umum legislatif tahun 2004 dan 2009 pasca reformasi. Pemilihan umum tahun 2014 diikuti oleh 12 (dua belas) partai politik dan 3 (tiga) partai lokal Aceh. Pelaksanaan Pemilu di Indonesia yang digelar dalam kurun waktu 5 (lima) tahun sekali merupakan bentuk apresiasi demokrasi konstitusional dan terlaksananya tata kelola hak memilih dan dipilih bagi tiap warga Negara yang lazim dilakukan di banyak Negara di dunia. Adapun partai politik yang lolos verifikasi dan sebagai kontestan peserta Pemilu tahun 2014 berdasarkan nomor urut: 1.
Partai Nasdem
2.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
3.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
4.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
5.
Partai Golongan Karya (Golkar)
6.
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
7.
Partai Demokrat
8.
Partai Amanat Nasional (PAN)
9.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
10. Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) 11. Partai Damai Aceh (PDA) 12. Partai Nasional Aceh (PNA) 13. Partai Aceh (PA) 14. Partai Bulan Bintang (PBB) 15. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Pemilihan umum merupakan fasilitasi pelaksanaan kedaulatan rakyat memilih dan dipilih yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena itu, seyogyanya Pemilihan Umum harus mampu melibatkan partisipasi rakyat, bukan saja hanya pada tahap pencoblosan namun harus aktif dalam semua tahapan-tahapan pelaksanaannya. Pemilihan umum anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD Propinsi/kabupaten/kota di Negara kesatuan Republik Indonesia merupakan salah satu fasilitasi demokrasi untuk mengisi jabatan kekuasaan pembentuk undang-undang di
1
2
Parlemen. Pemilihan umum legislatif merupakan fasilitasi demokrasi yang dikemas sebagai perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih wakil-wakil rakyat di Parlemen. Pemilu dengan sistem kepartaian ini rakyat memilih partai, sedangkan partai-partai yang menjadi kontestan dalam pemilu mengumumkan nama-nama calonnya untuk menjadi anggota Parlemen.1 Karenanya, partai politik dibebani kewajiban untuk melaksanakan pendidikan politik kepada konstituen yang dapat digelar melalui kampanye partai politik atau media lainnya. Pendidikan politik bagi konstituen menyongsong pemilu legislatif tahun 2014 dimaksudkan agar dapat mengahasilkan anggota legislatif yang kridibel, akuntabel dan berkualitas yang memiliki kekuasaan utama membentuk peraturan perundang-undangan agar menghasilkan produk perundang-undangan yang responsif, otonom dan progresif serta jauh dari produk perundang-undangan pesanan politik, sehingga dengan pendidikan politik para konstituen mengetahui calon anggota legislatif yang benarbenar mampu duduk di parlemen. Jika dicermati pelaksanaan Pemilihan umum anggota legislatif bulan April tahun 2004 dan 2009 yang lalu terdapat banyak kelemahan: pertama, seperangkat peraturan perundang-undangan tentang Pemilu dan partai politik selalu berubah di mana setiap menjelang pelaksanaan Pemilu selalu memproduksi undang-undang baru. Kedua, pengaturan Pemilu yang berubah-ubah terutama terkait suara terbanyak yang bisa memicu sengketa. Ketiga banyaknya partai politik peserta pemilu sehingga menyulitkan masyarakat untuk memilih calon-calon anggota legislatif. Keempat, kecurangan terjadi di mana-mana sehingga memicu sengketa. Kelima, kurangnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilu, dan banyak kekurangan lainnya. Keadaan tersebut tentunya tidak ingin terulang kembali dalam pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2014. Dalam kaitannya dengan partisipasi masyarakat, Jazim Hamidi menilai partisipasi masyarakat pada dasarnya merupakan wujud dari demokrasi, di mana kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Implementasi dari prinsipnya ini bahwa seharusnya rakyat dalam proses politik berhak mengetahui, berpendapat,
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta: 2001, hlm. 75.
Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)
berperan serta, bereaksi baik positif maupun negatif dalam setiap kebijakan pemerintah sesuai dengan hati nurani mereka.2 Eksistensi partai politik benar-benar eksis tatkala mendekati pelaksanaan pemilu. Semua partai politik dengan calon anggota legislatifnya ramai-ramai menyuarakan dan mempedulikan keadaan masyarakat, sehingga populer di kalangan masyarakat. Namun demikian, tatkala pelaksanaan pemilu selesai, maka selesai pula dan beralih menyuarakan kepentingan internal partai politik atau kelompok partai mereka masing-masing. Eksistensi partai politik tersebut dapat dilihat ketika kampanye selesai, maka selesai pula tanggung jawab mereka. Seyogyanya fungsi partai politik melakukan pendidikan politik kepada konstituen/masyarakat luas tidak ada batasan waktu pelaksanaan pendidikan politik bagi konstituen/masyarakat baik sebelum pelaksanaan pemilihan umum ataupun setelah pemilihan umum seperti pada masa jaring aspirasi turun ke rakyat. Informasi dasar yang harus diperoleh masyarakat di antaranya rekam jejak dari kandidat itu sendiri latar belakang pendidikan, kemampuan dibidang ilmu hukum dan kemampuan dibidang lain sesuai dengan disiplin keilmuannya.
B.
Refleksi Singkat Pertumbuhan dan Perkembangan Pemilihan Umum Legislatif Di Indonesia
B.1. Pemilihan Umum Tahun 1955 Negara Indonesia salah satu Negara pertama kali setelah proklamasi kemerdekaan melaksanakan Pemilu sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab. Namun,
berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.3 Keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab pula. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan Negara dan tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan. Tidak terlaksananya pemilu pertama pada bulan Januari 1946 seperti yang diamanatkan oleh Maklumat 3 Nopember 1945, paling tidak disebabkan 2 (dua) hal : 1.
Belum siapnya pemerintah baru, termasuk dalam penyusunan perangkat Undang-Undang Pemilu;
2.
Belum stabilnya kondisi keamanan negara akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, apalagi pada saat yang sama gangguan dari luar juga masih mengancam.
Namun, tidaklah berarti bahwa selama masa konsolidasi kekuatan bangsa dan perjuangan mengusir penjajah itu, pemerintah kemudian tidak berniat untuk menyelenggarakan pemilu. Ada indikasi kuat bahwa pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya Undang-Undang Nomor 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas
2
Jazim Hamidi, Pembentukan Perda Partisipatif, Prestasi Pustaka, Jakarta: 2008, hlm. 46.
3
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.
3
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14
warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi. Kemudian pada tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan Undang-Undang Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena Pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum, tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya Undang-Undang ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. Undang-Undang inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi. Patut dicatat dan dibanggakan bahwa pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Menarik dari Pemilu 1955 adalah tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat. Misalnya, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan 4
4
partainya. Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Karena pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Konstituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya. Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibandingkan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. B.2. Pemilihan Umum Tahun 1971 Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai Presiden tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.4 Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian tanpa Undang-Undang kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno. Undang-Undang yang diadakan adalah Undang-Undang tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian Undang-Undang itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013
Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)
Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu. Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma. Pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar. Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI 5
dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi. B.3. Pemilihan Umum Tahun 1977 Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1977 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 2 Mei 1977 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) seIndonesia periode 1977-1982. Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu:5 1.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2.
Golongan Karya (Golkar)
3.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971. Pada Pemilu 1977 suara PPP naik di berbagai daerah, bahkan di DKI Jakarta dan DI Aceh mengalahkan Golkar. Secara nasional PPP berhasil meraih 18.743.491 suara, 99 kursi atau naik 2,17 persen, atau bertambah 5 kursi dibanding gabungan kursi 4 partai Islam dalam Pemilu 1971. Kenaikan suara PPP terjadi di banyak basis-basis eks Masjumi. Ini seiring dengan tampilnya tokoh utama Masjumi mendukung PPP. Tetapi kenaikan suara PPP di basis-basis Masjumi diikuti pula oleh penurunan suara dan kursi di basis-basis NU, sehingga kenaikan suara secara nasional tidak begitu besar. PPP berhasil menaikkan 17 kursi dari Sumatera, Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan, tetapi kehilangan 12 kursi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Secara nasional tambahan kursi hanya 5. PDI juga merosot perolehan kursinya dibanding gabungan kursi partai-partai yang berfusi sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang 1 kursi di banding gabungan suara PNI, Parkindo dan Partai Katolik. Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.
5
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14
B.4. Pemilihan Umum Tahun 1982 Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1982 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) seIndonesia periode 1982-1987. Pada Pemilu ini perolehan suara dan kursi secara nasional Golkar meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Hanya Jakarta dan Kalimantan Selatan yang berhasil diambil Golkar dari PPP. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu: 1.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2.
Golongan Karya (Golkar)
3.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya. B.5. Pemilihan Umum Tahun 1987 Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1987 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 23 April 1987 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1987-1992. Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu:6 1.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2.
Golongan Karya (Golkar)
3.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Hasil Pemilu kali ini ditandai dengan kemerosotan terbesar PPP, yakni hilangnya 33 kursi dibandingkan Pemilu 1982, sehingga hanya mendapat 61 kursi. Penyebab merosotnya PPP antara lain karena tidak boleh lagi partai itu memakai asas Islam dan diubahnya lambang dari Ka'bah kepada Bintang dan terjadinya penggembosan oleh tokoh-tokoh unsur NU,
Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)
terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara itu Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi. PDI, yang tahun 1986 dapat dikatakan mulai dekat dengan kekuasaan, sebagaimana diindikasikan dengan pembentukan DPP PDI hasil Kongres 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam, berhasil menambah perolehan kursi secara signifikan dari 30 kursi pada Pemilu 1982 menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987 ini. Namun sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.
Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan 7 kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan 6 kursi di Sumatera, akibatnya partai itu hanya mampu menaikkan 1 kursi secara nasional. Yang berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah adalah PDI. Pada Pemilu 1992 ini PDI berhasil meningkatkan perolehan kursinya 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya dalam dua pemilu, yaitu 1987 dan 1992, PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI.
B.6. Pemilihan Umum Tahun 1992
B.7. Pemilihan Umum Tahun 1997
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1992 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9 Juni 1992 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1992-1997.
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1997 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 29 Mei 1997 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se Indonesia periode 1997-2002. Pemilihan Umum ini merupakan yang terakhir kali diselenggarakan pada masa Orde Baru.
Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu:7 1.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2.
Golongan Karya (Golkar)
3.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya. Cara pembagian kursi untuk Pemilu 1992 juga masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Hasil Pemilu yang pemungutan suaranya dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 ini pada waktu itu agak mengagetkan banyak orang. Sebab, perolehan suara Golkar kali ini merosot dibandingkan Pemilu 1987. Kalau pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73,16 persen, pada Pemilu 1992 turun menjadi 68,10 persen, atau merosot 5,06 persen. Penurunan yang tampak nyata bisa dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibanding pemilu sebelumnya. PPP juga mengalami hal yang sama, meski masih bisa menaikkan 1 kursi dari 61 pada Pemilu 1987 menjadi 62 kursi pada Pemilu 1992 ini. Tetapi di luar Jawa suara dan kursi partai berlambang ka'bah itu merosot. Pada Pemilu 1992 partai ini kehilangan banyak kursi di luar Jawa, meski ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Malah partai itu tidak memiliki wakil sama sekali di 9 provinsi, termasuk 3 provinsi di
Pemilihan Umum ini diikuti 2 (dua) partai politik dan 1 (satu) Golongan Karya, yaitu:8 1.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
2.
Golongan Karya (Golkar)
3.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. PPP juga menikmati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 persen. Begitu pula untuk perolehan kursi. Pada Pemilu 1997 ini PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan Pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar. Sedangkan PDI, yang mengalami konflik internal dan terpecah antara PDI Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 persen, dan
hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan Pemilu 1992. Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya. Pemilu ini diwarnai oleh aksi golput oleh Megawati Soekarnoputri, yang tersingkir sebagai Ketua Umum PDI yang tidak diakui rezim pemerintah waktu itu. B.8. Pemilihan Umum Tahun 1999 Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.9 Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid di mana saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden. Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR di mana Pemilu tahun 1999 diikuti kurang lebih 48 (empat puluh delapan) Parpol di antaranya Partai Kebangkitan Bangsa; Partai Syarikat Islam Indonesia 1905; Partai Katolik Demokrat; Partai Rakyat Indonesia; Partai Politik Islam Indonesia Masyumi; dan Partai Bulan Bintang. B.9. Pemilihan Umum Tahun 2004 Pemilihan Umum Indonesia tahun 2004 adalah pemilu dimana rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden (sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999) pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah.
6
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.
8
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.
7
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.
9
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.
6
7
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14
Pentahapan Pemilu 2004 Pemilu tahun 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) seIndonesia periode 2004-2009. Hasil akhir pemilu menunjukan bahwa Golkar mendapat suara terbanyak. Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dua partai terbaru dalam pemilu ini, mendapat 7,45% dan 7,34% suara. Pemilihan umum 2004 dinyatakan sebagai pemilu paling rumit dalam sejarah demokrasi. B.10. Pemilihan Umum Tahun 2009 Pemilu tahun 2009 diselenggarakan untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9 April 2009 (sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 5 April, namun kemudian diundur. Ada 38 partai memenuhi kriteria untuk ikut serta dalam pemilu 2009. Partai Demokrat memenangkan suara terbanyak, diikuti dengan Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).10
C.
Pendidikan Politik Menyongsong Pemilu Legislatif Tahun 2014
C.1. P e n d i d i k a n Masyarakat
Politik
Pemberdayaan
Barang kali sudah banyak para ahli hukum dan politik yang memberikan pengertian pendidikan politik, istilah pendidikan politik dalam bahasa Inggris sering disamakan dengan istilah political sosialization. Istilah political sosialization jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan bermakna sosialisasi politik. Karenanya istilah political sosialization disamakan dengan pengertian pendidikan politik dengan istilah sosialisasi politik. Sebenarnya sosialisasi politik tidak dapat disamakan dengan pendidikan politik karena dalam sosialisasi politik bisa bermakna penyampaian
keinginan politik para calon anggota legislatif itu sendiri yang menjurus kearah mobilisasi masyarakat ke dalam satu calon anggota legislatif tertentu yang dapat bermakna positif atau negatif. Dalam pandangan Khoiron, Pendidikan politik sering disebut dengan istilah political forming atau politische bildung. Disebut forming karena di dalamnya terkandung intensitas untuk membentuk insan politik yang menyadari status, kedudukan politiknya di tengah masyarakat, sedangkan disebut bildung (pendidikan diri sendiri) karena istilah ini menyangkut aktivitas membentuk diri sendiri dengan kesadaran penuh tanggung jawab untuk menjadi insan politik.11 Pendidikan politik menurut Alfian (1986:235) dalam bukunya Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Pendidikan politik dalam hal ini dipahami sebagai perbuatan memberi latihan, ajaran, serta bimbingan untuk mengembangkan kapasitas dan potensi masyarakat dan calon anggota legislatif, melalui proses dialogis yang dilakukan oleh partai politik dan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab pemajuan bangsa. Pendidikan politik pada tingkatan warga yang masih pada tahapan memenuhi kebutuhan dasarnya atau sedang dalam menuju kesejahteraannya, diperlukan metode dan media yang mengakomodir kondisi tersbut. Pendidikan politik yang ahistoris atau yang tidak kontekstual dengan kebutuhan warga akan menjadi alat mimpi dan pembiusan masal belaka. Pendidikan politik akan dilecehkan dan akan tidak diterima oleh warga sendiri. Hal ini bisa dimengerti, bagaimana warga bisa mencerna dan memahami hal-hal idiologis. Apabila pendidikan politik ahistoris dan hanya pada tataran permukaan yang mengungkit emosi kepentingan, maka yang akan berkembang adalah politik uang atau politik bantuan.12 Sudarwo menilai pendidikan politik pemberdayaan masyarakat, yaitu suatu proses peningkatan daya masyarakat dalam meningkatkan
10 Anonymos, “hasil-pemilu/pemilu-legislatif”, dalam http://kpud-banjarkota.go.id/1/laporan-hasil-pemilu/pemilulegislatif/pemilu-legislatif-2014/15-pemilu-legislatif.html diakses 10 November 2013. 11 12
M. Nur Khoiron, et.al, Pendidikan Politik Bagi Warga Negara (Tawaran Operasional dan Kerangka Kerja). IKIS: Yogyakarta. hlm. 4.
Fajar Sudarwo, Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Penekatan Pendidikan Politik Untuk Mencegah Konflik Pemilukada, dalam google.com diakses 23 Mei 2013.
8
Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)
kualitas kehidupannya. Bukan proses memberi bantuan masyarakat untuk meningkatkan kualitas kehidupannya melainkan menghilangkan potensi dan daya masyarakat sendiri. Karena itu, metode dan media pendidikan politik yang berperspekti pemberdayaan adalah adalah mempunyai 2 (dua) output. Pertama, output strategis ideologis dan kedua, adalah output praktis pragmatis basic need. Dengan demikian, ada 5 (lima) model pendidikan politik berbasis pemberdayaan masyarakat yaitu:13
Kurangnya pendidikan politik masyarakat Indonesia menyebabkan masyarakat tidak mengetahui mengenai hak dan kewajibannya dalam pelaksanaan pemilu legislatif sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan personal calon anggota legislatif. Dalam demokrasi modern proses demokrasi yang sehat mensyaratkan adanya partisipasi politik yang responsif dalam ruang publik dari masyarakat warga. Partisipasi politik yang responsif hanya dapat dimungkinkan jika masyarakat warga pendididikan politiknya cukup memadahi.
1.
Penggerakan dan peningkatan daya warga dalam pemenuhan kebutuhan dasar.
C.2. Pendidikan Deliberatif
2.
Analisis kesadaran kritis terhadap lingkungan sosial, ekonomi, politik dan ekosisitem lingkungannya.
3.
Peningkatan membangun akses keberbagai pusat sumberdaya yang dapat mendukung kehidupannya.
Gagasan demokrasi deliberatif Habermas dicetuskan melihat gersangnya dominasi partisipasi masyarakat di dunia barat yang tidak memiliki ruang konsultasi publik dalam ranah politik, ekonomi, dan hukum.
4.
Partisipasi dalam organisasi rakyat yang dapat menjadi proses berafiliasi dan berganing politik dengan partai poltik.
5.
Membangun kemampuan dalam kontrol sosial dan berbagai kebijakan publik.
Pendidikan politik dengan perspektip pemberdayaan masyarakat diperlukan kecerdasan dan kreativitas dalam pengemasan modul dan kurikulum. Modul dan kurikulum pendidikan politik yang terbaik adalah apabila menggunakan media kerja yang langsung menyentuh kepentingan dan kebututuhan warga. Metode yang paling tepat digunakan adalah menggunakan metode pendidikan orang dewasa dengan pendekatan partisipatif.14 M. Shirozi, (2005 : 30) mengemukakan bahwa terdapat beberapa pemikiran yang mendukung mulai berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap hubungan antara pendidikan dan politik, yaitu: (i) adanya kesadaran tentang hubungan yang erat antara pendidikan dan politik. (ii) adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. (iii) adanya kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. (iv) diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik. (v) pentingnya pendidikan kewarganegaraan. 13
Ibid.
14
Ibid.
Politik
Dalam
Demokrasi
Secara etimologis deliberatif berasal dari kata deliberatio yang artinya konsultasi, musyawarah, atau menimbang-nimbang. Demokrasi bersifat deliberatif jika proses pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik, atau diskursus publik. Demokrasi deliberatif ingin meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam proses pebentukan aspirasi dan opini agar kebijakankebijakan dan undang-undang yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah. Intensifikasi proses deliberasi lewat diskursus publik ini merupakan jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi, Regierung der Regierten (pemerintahan oleh yang diperintah).15 Demokrasi deliberatif memiliki makna tersirat, yaitu diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.16 Dengan demikian, demokrasi deliberatif ingin membuka ruang yang lebih lebar bagi partisipasi warga Negara. Hal ini merupakan suatu upaya untuk semakin mendekat menuju cita-cita demokrasi itu sendiri, yakni pemerintah oleh yang memerintah. Bagi Habermas ruang publik suatu jaringan yang mengkomunikasikan informasi dari berbagai cara pandang yang disaring sedemikian rupa, sehingga menjadi opini publik yang relevan dengan permasalahan masyarakat. Ruang publik
15
F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, hlm. 126
16
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 128
9
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14
merupakan fenomena sosial seperti tindakan, pelaku, atau kolektivitas, tetapi ruang publik melampaui konsep sosiologi konvensional tentang tatanan sosial.17 Sebenarnya ada kesamaan antara demokrasi deliberatif dan demokrasi pancasila di mana demokrasi Pancasila juga mengajarkan diskursus publik, partisipasi politik masyarakat, serta kedaulatan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Cita-cita pendidikan politik yang ingin dibangun dalam konsep demokrasi deliberatif paling tidak, yaitu: Pertama, diskursus publik antara calon anggota legislatif dengan masyarakat sebagai konstituen dalam menyampaikan visi, visi yang akuntabel. Kedua, partisipasi masyarakat sebagai konstituen dalam menyampaikan aspirasi kepada calon anggota legislatif guna menghasilkan produk hukum yang responsif. Ketiga, kedaulatan rakyat sebagai konsekuensi fasilitasi diadakannya pelaksanaan pemilihan umum legislatif. Keempat, harmonisasi antara pemerintah dengan yang diperintah (pemerintah dengan warga negara). Kelima, uji publik calon anggota legislatif kepada masyarakat sebagai konstituen untuk diketahui layak tidaknya duduk sebagai anggota parlemen. Dalam demokrasi deliberatif, keputusan mayoritas dapat dikontrol melalui kedaulatan rakyat. Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pemegang mandat. Jika masyarakat sudah berani mengkritisi kebijakan pemerintah, maka secara tidak langsung mereka sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi berfungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik. Jika tidak ada keberanian untuk mengkritik kebijakan politik, maka masyarakat sudah tunduk patuh terhadap sistem.18 Dalam hubungan ini Fatkhurohman menilai, dalam demokrasi deliberatif Negara tidak lagi menentukan hukum dan kebijakan-kebijkan politik lainnya dalam ruang tertutup yang nyaman, tetapi masyarakat sispil melalui media dan organisasi yang vokal memainkan pengaruh yang sangat signifikan dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan politik itu. Medan publik menjadi arena di
Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)
mana perundang-undangan dipersiapkan dan diarahkan secara diskursif.19 Dalam hubungan ini menurut Carlyle bahwa aspek pertama dan yang paling mendasar dari pemikiran politik pada abad pertengahan adalah bahwa otoritas politik merupakan ekspresi dari keadilan sebuah prinsip yang diperoleh langsung dari hukum Romawi, prinsip penting yang kedua adalah hanya ada satu sumber otoritas politik, yaitu masyarakat itu sendiri.20 Dalam hubungan ini John Salisbury seorang filsuf Inggris di mana ia seorang pejuang ambisius demi kebebasan individual menyatakan bahwa setiap penguasa memiliki tanggung jawab terhadap masyarakatnya.21 C.3. Pendidikan Pancasila
Politik
Dalam
Suksesnya pelaksanaan pemilu legislatif bukan hanya sukses memilih para calon anggota legislator, tetapi juga terciptanya pemilih yang berkualitas sesuai dengan harapan peraturan perundangundangan di mana KPU berharap partisipasi masyarakat untuk Pemilu tahun 2014 mencapai 75 Persen. Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta tanggung jawab sebagai anggota legislatif. UndangUndang Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik tidak menyebutkan seperti apa dan bagaimana bentuk pendidikan politik yang harus dilakukan. Namun demikian, dalam konteks menyongsong Pemilu tahun 2014 setidak-tidaknya
17
Reza A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yokyakarta, Kanisius, 2007, hlm. F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta. Kanisius, 2009, hlm. 128.
19 Fatkhurohman, Mengukur Kesamaan Paham Demokrasi Deliberatif, Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Konstitusional, dalam Jurnal Konstitusi: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Volume IV Nomor 2 November 2011, hlm. 43. 20
Richard M. Ketchum (ed), 2004. Pengantar Demokrasi, Yogyakarta: Niagara. hlm. 36-37
21
Richard M. Ketchum (ed), Op.Cit. hal. 37
22 Anwar C, Aanalisis Terhadap Perkembangan Sistem Pemilu Legislatif di Indonesia, dalam Jurnal Konstitusi: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Volume II Nomor 1 Juni 2009, hlm. 11
10
1.
Peningkatan penyampaian visi misi calon anggota legislatif dalam diskursus publik kepada semua elemen masyarakat guna diketahui capaian akhir visi misinya.
2.
Peningkatan daya pengetahuan masyarakat mengenai rekam jejak calon anggota legislatif tentang: latar belakang pendidikan, kompetensi pedagogi, kompetensi personal, kompetensi sociocultural, kompetensi pengetahuan ilmu hukum dan ilmu-ilmu lainnya, kompetensi moral, pengalaman organisasi, pengabdian masyarakat sehingga masyarakat mengetahui layak tidaknya calon anggota legislatif untuk duduk sebagai anggota DPR, DPD, DPRD.
Demokrasi
Perancang UUD 1945 dalam perdebatan di BPUPKI dan PPKI menyepakati bahwa UUD yang akan dibuat untuk menjadi landasan penyelenggaraan berbangsa dan bernegara adalah berdasarkan kedaulatan rakyat yang penyelenggaraannya menggunakan mekanismen demokrasi. Konsekuensinya, harus ada pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk diparlemen, baik pada parlemen pusat maupun pada parlemen daerah.22
18
dapat dikonstruksikan pendidikan politik bagi masyarakat sebagai konstituen agar tidak mudah dimobilisasi dan politik uang, yaitu:
3.
Peningkatan pemahaman masyarakat tentang kemampuan calon anggota legislatif dalam mengemban fungsi legislasi, anggaran, dan fungsi pengawasan.
4.
Peningkatan partisipasi politik masyarakat dalam pembentukan peraturan perundangundangan.
5.
Peningkatan inisiatif masyarakat dalam merespon dan merumuskan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah.
6.
Peningkatan penyampaian produk hukum pemilu mekanisme kampanye, tata cara pemilihan dan keabsahan pemilihan oleh KPU.
7.
Peningkatan kesadaran hak memilih dan dipilih serta kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Semua model atau bentuk pendidikan politik yang penulis uraian di atas, dapat dilaksanakan melalui dan kerjasama: (i) media elektronik televisi, radio, sms lewat HP. (ii) media cetak surat kabar harian, majalah. (iii) media mayantara internet. (iv) asosiasi masyarakat perkumpulan petani, perkumpulan dagang, jema'ah-jema'ah di desa-desa dan lembaga formal maupun non formal yang dapat memberikan tempat melakukan pendidikan politik. Dalam Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1982 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Politik Generasi muda disebutkan bahwa Pendidikan politik merupakan rangkaian usaha untuk meningkatkan dan memantapkan 23
kesadaran politik dan kenegaraan guna menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa. Pendidikan politik juga harus merupakan bagian proses perubahan kehidupan politik bangsa Indonesia yang sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha menciptakan suatu sistem politik yang benar-benar demokratis, stabil, efektif, dan efisien. Karenanya, pendidikan politik adalah proses penurunan nilainilai dan norma-norma dasar dari ideologi suatu negara yang dilakukan dengan sadar, terorganisir, dan berencana dan berlangsung kontinyu dari satu generasi kepada generasi berikutnya dalam rangka membangun watak bangsa (national character building). Nilai-nilai tersebut di atas adalah nilai-nilai Pancasila yang merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the faounding people Indonesia yang dituangkan dalam satu sistem saling mengisi dan saling mengkualifikasi. Asas-asas pokok yang dipergunakan dalam melaksanakan dan menyelenggarakan pendidikan politik pada prinsipnya didasarkan atas asas yang sesuai dengan keadaan serta sifat bangsa Indonesia. Ada pun asas-asas pelaksanaan pendidikan politik bagi generasi muda tersebut seperti tercantum dalam Inpres Nomor 12 Tahun 1982, adalah asas umum, demokrasi, keterpaduan, manfaat, bertahap, berjenjang, dan berkelanjutan, aman. Dalam hubungan ini Gaffar menilai, sedikitnya ada 3 (tiga) alasan utama mengapa pendidikan politik dan sosialisasi politik di Indonesia tidak memberi peluang yang cukup untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat, yaitu:23 1.
Dalam masyarakat Indonesia anak-anak tidak dididik untuk menjadi insan mandiri. Anakanak bahkan mengalami alienasi dalam politik keluarga. Sejumlah keputusan penting dalam keluarga, termasuk keputusan tentang nasib si anak, merupakan domain orang dewasa. Anakanak tidak dilibatkan sama sekali.
2.
Tingkat politisasi sebagian terbesar masyarakat Indonesia sangat rendah. Di kalangan keluarga miskin, petani, buruh, dan lain sebagainya, tidak memiliki kesadaran politik yang tinggi, karena mereka lebih terpaku kepada kehidupan ekonomi dari pada memikirkan segala sesuatu yang bermakna politik. Bagi mereka, ikut terlibat dalam wacana politik
Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar Indonesia, Yogyakarta 1999.
11
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14
tentang hak-hak dan kewajiban warga negara, hak asasi manusia dan sejenisnya, bukanlah skala prioritas yang penting. Karenanya tingkat sosialisasi politik warga masyarakat seperti ini baru pada tingkat kongnitif, bukan menyangkut dimensi-dimensi yang bersifat evaluatif. Karenanya kebijakan pemerintah menyangkut masalah penting bagi masyarakat menjadi tidak penting buat mereka. Karena ada hal lain yang lebih penting, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar.24 Miriam Budiardjo memberikan tesisnya bahwa partai politik memiliki sejumlah fungsi yang dapat difungsikan untuk melaksanakan pendidikan politik di antara beberapa fungsi yang lain, di mana dalam negara modern, partai politik mempunyai beberapa fungsi:25 1.
Sebagai Sarana Komunikasi Politik Parpol berfungsi menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpang-siuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Dalam masyarakat moderen yang begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di pandang pasir apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan “penggabungan kepentingan” (interest aggregation). Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan, “perumusan kepentingan” (interest articulation).
2.
Sebagai Sarana Sosialisasi dan Pendidikan Politik Di dalam ilmu politik, sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses dari seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik di dalam lingkungan masyarakat dimana ia berada. Biasanya proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Proses sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramah-ceramah penerangan, kursus-kursus kader, kursus penataran, dan sebagainya.
Seiring dengan fungsi partai politik di atas, maka partai politik dibebani tanggung jawab sebagai salah satu kewajiban memberikan
pendidikan politik kepada masyarakat berupa arahan kepada masyarakat bagaimana menjadi warga negara yang beradap, demokratis, adil damai, sejahtera dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan KPU sebagai penyelenggara Pemilu atas nama negara berkewajiban mendidik masyarakat agar menjadi warga yang demokratis, beradap menyongsong pemilu Tahun 2014 dikarenakan perkembangan masyarakat Indonesia menuntut peningkatan peran, fungsi, dan tanggung jawab partai politik dalam kehidupan demokrasi konstitusional sebagai sarana partisipasi politik masyarakat bangsa. D. Kesimpulan Undang-undang partai politik membebani kewajiban kepada partai politik untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, namun demikian pendidikan politik di Indonesia tidak hanya menjadi kewajiban partai politik, melainkan tanggung jawab kolektif antara KPU atas nama negara, partai politik dan seluruh elemen masyarakat. Keberhasilan pemilu tahun 2014 akan sangat ditentukan oleh suksesnya pendidikan politik itu sendiri meskipun undang-undang partai politik tidak menyebutkan seperti apa dan bagaimana pendidikan politik itu dilakukan, namun sekurang-kurangnya memberikan pengarahan kepada masyarakat pada waktu jaring aspirasi guna menjadi warga negara yang beradap, demokratis, adil damai, sejahtera dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menyongsong pemilu demokratis Tahun 2014.
tahun 2008 tentang Partai Politik memberikan kewajiban kepada partai politik untuk melakukan pendidikan politik, disarankan adanya perubahan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memberikan bentuk atau model pendidikan politik agar lebih jelas dan terarah. Setiap menjelang pelaksnaan Pemilu selalu memproduksi paket undang-undang politik baru, disarankan untuk melakukan reset terlebih dahulu agar undang-undang yang teleh dibentuk tidak mudah lekang waktu. Daftar Pustaka Anonymos, “hasil-pemilu/pemilu-legislatif”, dalam diakses 10 November 2013 C, Anwar. 2009. “Analisis Terhadap Perkembangan Sistem Pemilu Legislatif di Indonesia”, dalam Jurnal Konstitusi: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Volume II Nomor 1 Juni 2009. Fatkhurohman, 2011. “Mengukur Kesamaan Paham Demokrasi Deliberatif, Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Konstitusional”, dalam Jurnal Konstitusi: Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Volume IV Nomor 2 November 2011. Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Indonesia.
Hamidi, Jazim. 2008. Pembentukan Perda Partisipatif. Jakarta: Prestasi Pustaka. Harun, Andi. 2005. Angkasa Reformasi Terus Bergerak di Mana Sang Pelopor Mengorbit. Jakarta: Pustaka Cidesindo. Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Kansius. Hardiman, F. Budi. 2009. Demokrasi Deliberatif. Yogyakarta: Kanisius. Ketchum, Richard M. (ed). 2004. Pengantar Demokrasi. Yogyakarta: Niagara. Khoiron, M. Nur. et.al, 1999. Pendidikan Politik Bagi Warga Negara (Tawaran Operasional dan Kerangka Kerja).Yogyakarta. IKIS. Mahfud MD, Moh. 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Sudarwo, Fajar. Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Penekatan Pendidikan Politik Untuk Mencegah Konflik Pemilukada, dalam google.com. diakses 23 Mei 2013. Wattimena, Reza A. A. 2007. Melampaui Negara Hukum Klasik. Yokyakarta. Kanisius. http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_cont ent&task=view&id=43&Itemid=66 diakses 16 Desember 2013.
Sebagai sumbang saran yang dapat penulis ajukan dalam penulisan ini adalah (i) disarankan mendirikan lembaga informal yang mampu mengelola program pendidikan politik bagi pemilih dan calon anggota legislatif. (ii) Partai politik, KPU tidak dapat menjalankan pendidikan politik sehingga disarankan bekerja sama dengan seluruh elemen masyarakat dan pihak akademisi yang lebih mampu mengetahui kondisi sosial kemasyarakat dan demokrasi karena mereka sering action research. (iii) disarankan memberikan kesempatan kepada pihak LSM, media, Ormas, termasuk juga lembaga penelitian dan lembaga pemantau independent karena mereka memiliki akses dan tanggung jawab dalam melakukan pendidikan politik. (iv) Undang-undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2
24
Ibid.
25
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1991, hlm. 163
12
Pendidikan Politik Menyongsong.....(Nadir)
13
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 1 - 14
KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (THE AUTHORITY OF CORRUPTION ERADICATION COMMISSION ON THE PROSECUTION OF MONEY LAUNDERING) Muhammad Fadli Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Selatan Jl. Sultan Alauddin No. 102 Makassar Indonesia Telp. (0411) 854731 Fax. 0411871160 Email :
[email protected] (Naskah diterima 16/01/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014) Abstrak Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penuntutan tindak pidana pencucian belum diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan manapun baik dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU). Akan tetapi kewenangan tersebut tetap dijalankan oleh Jaksa KPK dalam beberapa kasus. Hal tersebut menyebabkan dua hakim tindak pidana korupsi melakukan dissenting opinion. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimanakah kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang? Tugas KPK hanya melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU KPK. Sedangkan dalam UU PPTPPU KPK hanya sebagai penyidik tindak pidana asal. Oleh karena itu, kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang perlu diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan sehingga tercipta kepastian hukum dalam menjalankan kewenangan tersebut. Dengan demikian berkas hasil penyidikan gabungan antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang dapat langsung disatukan dakwaannya dalam bentuk kumulatif oleh Jaksa Penuntut Umum dan dapat tercipta suatu penuntutan yang efektif dan cepat (speedy prosecution) dengan demikian peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dapat diwujudkan sebagaimana Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kata Kunci: Kewenangan, Penuntutan, Pencucian Uang, Jaksa, KPK.
Abstract The authority of Corruption Eradication Commission (KPK) on the prosecution of money laundering has not been explicitly set in any legislation either in Law Number 30 Year 2002 on Corruption Eradication Commission or Law Number 8 Year 2010 on the Prevention and Eradication of Money Laundering. However the authority is still applied by prosecutor of KPK in several cases. Caused two judges of corruption court performed a dissenting opinion. Thus, the problem appears now is how the authority of the Commission in the prosecution of money laundering? The task of the Commission is only to investigate and to prosecute corruption cases as stipulated in the Law Commission. While the Law on the Prevention and Eradication of Money Laundering set Commission only as an investigator for predicate offense. Thus, the Authority of the Commission on the prosecution of money laundering should be set explicitly on the aforementioned laws so as to create legal certainty in the running of the authority. As of the combined result of the investigation paper between predicate offense and money laundering can be directly incorporated in the form of cumulative charges by the Public Prosecutor, so as to create an effective and speedy prosecution as such justice is simple, fast, and low cost can be realized as stipulated on Law Number 48 Year 2009 on Judicial Power. Key words : Authority, Prosecution, Money Laundering, Prosecutor, KPK.
A.
Pendahuluan
Masalah tindak pidana pencucian uang atau money laundering belakangan ini makin mendapat perhatian khusus dari dunia internasional. Perhatian yang demikian ini dipicu semakin maraknya tindak pidana pencucian uang dari waktu ke waktu, namun di sisi lain 1
14
masih banyak negara belum menetapkan sistem hukumnya untuk memerangi atau menetapkannya sebagai kejahatan yang harus diberantas.1 Pada awalnya, secara internasional money laundering terkait dengan perdagangan obat bius/narkotika dan kejahatan besar lainnya, dan
N.H.T Siahaan, 2008, Money Laundering & Kejahatan Perbankan (edisi revisi), Jala Permata, Jakarta, hlm. 1.
15
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24
tidak dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan seperti korupsi. Kini pencucian uang sudah dikaitkan dengan proses atas uang hasil perbuatan kriminal yang umumnya dalam jumlah besar, sementara di berbagai negara, termasuk indonesia, uang yang diperoleh dari hasil korupsi adalah termasuk kategori kriminal, maka masalah money laundering dikaitkan pula dengan perbuatan korupsi.2 Menurut Adnan Buyung Nasution: “Sebagaimana terhadap kejahatan yang berkaitan dengan narkoba, pemberantasan pencucian uang juga dipandang sebagai suatu strategi untuk memberantas korupsi, yaitu dengan menghancurkan atau menghalangi pelaku untuk dapat menikmati hasil korupsi tersebut.” 3
Black's Law Dictionary memberikan pengertian pencucian uang atau (money laundering) adalah penyetoran/penanaman uang atau bentuk lain dari pemindahan/pengalihan uang yang berasal dari pemerasan, transaksi narkotika, dan sumber-sumber lain yang ilegal melalui saluran legal, sehingga sumber asal uang tersebut tidak dapat diketahui/dilacak. Dari terminologi dalam Black's Law Dictionary tersebut dapat diketahui bahwa berbagai bentuk dana “uang kotor” berasal dari kegiatan-kegiatan atau transaksi menyimpang, seperti hasil pemerasan, penghindaran pajak, bisnis perjudian, korupsi, komisi, pungli, sogokan, penyelundupan, serta perdagangan gelap narkotika dan obat terlarang.7
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU). Pencucian uang atau money laundering merupakan kejahatan yang berupa upaya untuk menyembunyikan asal-usul uang sehingga dapat dipergunakan sebagai uang yang diperoleh secara legal.4 Menurut Yenti Garnasih, “Pencucian uang merupakan suatu proses yang dilakukan untuk mengubah hasil kejahatan seperti, korupsi, kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan dan kejahatan serius lainnya, sehingga kejahatan tersebut menjadi nampak seperti hasil dari kegiatan yang sah karena asal-usulnya sudah 5 disamarkan atau disembunyikan.” Sedangkan dalam Black's Law Dictionary, money laundering diartikan sebagai berikut:6
Pemberantasan TPPU tidak terlepas dari pemberantasan tindak pidana korupsi. Korupsi merupakan salah satu tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang menganut asas kriminalitas ganda (double criminality). Kriminalitas ganda bermakna adanya dua kejahatan pidana yang masing-masing sebagai perbuatan tersendiri yang dalam terminologi hukum dikenal sebagai concursus realis yang terdiri dari kejahatan asal dan tindak pidana pencucian uang (money laundering).8 Salah satu tindak pidana asal pencucian uang berasal dari tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) huruf a UU PPTPPU. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) merupakan salah satu penyidik tindak pidana asal yang diatur dalam Pasal 74 UU PPTPPU. Adapun Penyidik dalam UU PPTPPU dirumuskan dalam ketentuan Pasal 74, yaitu: “Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.”
“term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that it's original sources can not be traced. Money laundering is a federal crime; 18 USCA 1956.”
2
Ibid., hlm. 3-4.
3 Yenti Garnasih, 2003, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundering), Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 6. 4
Iman Sjahputra, 2006, Money Laundering (Suatu Pengantar), Harvarindo, Jakarta, hlm. 2.
5
Yenti Garnasih, Penanganan Kejahatan Aliran Dana Perbankan, Korupsi, dan Pencucian Uang, Makalah disampaikan Pada Simposium Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi dengan tema “Rekonseptualisasi Politik Kriminal dan Persfektif Kriminologi dalam Penegakan Hukum di Indonesia”, diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar di Auditorium Prof. Amiruddin Universitas Hasanuddin Makassar, pada tanggal 19 Maret 2013, hlm. 7. 6 Juni Sjafrien Jahja, 2012, Melawan Money Laundering (mengenal, mencegah, & memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang), Visimedia, Jakarta, hlm. 3-4. 7
Ibid.
8 Juni Sjafrien Jahja, 2012, Melawan Money laundering (mengenal, mencegah, & memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang), Visimedia, Jakarta, hlm. 54.
16
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.....(Muhammad Fadli)
Penjelasan ketentuan Pasal 74 dalam UU PPTPPU menjelaskan bahwa: “Yang dimaksud dengan "penyidik tindak pidana asal" adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.” Berdasarkan penjelasan pasal tersebut, KPK diberi kewenangan oleh undang-undang dalam hal penyidikan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya sesuai dengan kewenangannya, yaitu penyidikan tindak pidana korupsi. Penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum diawali dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana. Sumber bahan masukan suatu tindak pidana berupa pengetahuan atau persangkaan telah terjadinya suatu perbuatan pidana dapat diperoleh penyidik dari berbagai sumber, yaitu dari adanya laporan, pengaduan, tertangkap, atau diketahui sendiri oleh aparat penegak hukum dari hasil penyidikan.9 Selanjutnya kewajiban penyidik untuk mencari atau mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi. Selanjutnya penyidik melimpahkan berkas perkara kepada penuntut umum guna dilakukan penuntutan tindak pidana di dalam persidangan. Menurut Wirjono Prodjodikoro, “Penuntutan adalah menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan, supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.” 10 Penuntutan tindak pidana pencucian uang yang
dilakukan oleh KPK belakangan ini dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Hal tersebut dikarenakan di dalam UU PPTPPU tidak diatur mengenai kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. Walaupun dalam UU PPTPPU penyidik KPK dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Akan tetapi kewenangan tersebut hanya terbatas pada kewenangan penyidikan sedangkan kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang belum diatur dalam UU PPTPPU atau dalam peraturan perundang-undangan manapun. Namun telah dipratikkan bahwa jaksa penuntut umum di KPK tetap menjalankan kewenangan penuntutan. Padahal Pasal 51 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya mengatur mengenai kewenangan Jaksa Penuntut Umum di KPK. Menurut Yenti Garnasih, “tidak ada satu pun pasal yang memberikan kewenangan penuntutan tindak pidana pencucian uang kepada KPK, baik itu UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maupun Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Jadi harus segera diberikan dasar hukum bagi KPK agar berwenang melakukan penuntutan perkara tersebut. Selama ini hakim pengadilan tipikor selalu memberikan opini yang berbeda (dissenting opinion) apabila Jaksa Penuntut Umum KPK mencantumkan pasal tindak pidana pencucian uang dalam dakwaannya. Vonis hakim dalam kasus Fathanah dan Djoko Susilo memperlihatkan adanya dissenting opinion. Kasus Djoko adalah yang pertama kali dan Fathanah adalah yang kedua kalinya. Beruntung hanya 2 hakim yang memberikan dissenting opinion, kalau 3 dari lima hakim yang mengadili perkara menyatakan dissenting opinion maka perkara tindak pidana pencucian uang bisa gugur di dalam vonis.”11 Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka akan dibahas mengenai bagaimanakah kewenangan penuntutan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK dalam praktik.
9
Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 60-61.
10
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), CV Sapta Artha Jaya Jakarta, hlm 164.
11 Yudho Rahardjo, Kewenangan Jaksa KPK Gunakan Pasal TPPU Harus Diperkuat, http://www.gresnews.com/berita/hukum/ 981111-kewenangan-jaksa-kpk-gunakan-pasal-tppu-harus-diperkuat/, diakses pada tanggal 10 Desember 2013.
17
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24
B.
Pembahasan
B.1. Negara Hukum Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Indonesia merupakan negara hukum yang berarti Indonesia menjunjung tinggi hukum dan kedaulatan hukum. Kekuasaan hukum terletak di atas segala kekuasaan yang ada dalam negara dan kekuasaan hukum terletak di atas segala kekuasaan yang ada dalam negara dan kekuasaan itu harus tunduk pada hukum yang berlaku. Hakikatnya adalah segala tindakan atau perbuatan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku, termasuk untuk merealisasikan keperluan atau kepentingan negara maupun keperluan warganya dalam bernegara.12 Salah satu asas penting dalam negara hukum adalah asas legalitas. Substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi berdasarkan undang-undang. Tanpa dasar undang-undang badan atau pejabat administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau mempengaruhi keadaan hukum warga masyarakat.13 Jadi badan atau lembaga negara manapun harus menjunjung tinggi asas legalitas sebagai asas yang wajib dijunjung dalam bingkai negara hukum, begitupula KPK dalam menjalankan tugas dan wewenang yang dimilikinya harus berlandasakan dengan asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (a) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jadi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang harus memiliki dasar hukum atau didasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang yang belum diatur dalam peraturan perundangundangan. B.2. Teori Kewenangan Pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), negara hukum yang menempatkan asas legalitas sebagai sendi utama
penyelenggaraan pemerintahan, wewenang pemerintahan (bestuursbevoegdheid) itu berasal dari peraturan perundang-undangan. R.J.H.M. Huisman menyatakan pendapat berikut: “Een bestuursorgaan kan zich geen bevoegdheid toeeigenen. Slechts de wet kan bevoegdheden verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet allen attribueren aan een bestuursorgaan, maar ook aan ambtenaren (bijvoorbeeld belastinginspecteurs, inspecteur voor het milieu enz.) of aan special colleges (bijvoorbeeld de kiesraad, de pachtkamer), of zelfs aan privaatrechtelijke rechtspersoonen”. (Organ pemerintah tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undangundang. Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai {misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan sebagainya} atau terhadap badan khusus {seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah}, atau bahkan terhadap badan hukum privat.14 Prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundangundangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundangundangan. Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), berdasarkan prinsip ini pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan. Secara teoritis, Kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu, atribusi, delegasi, dan mandat, sebagai berikut:15 a.
Atribusi Dalam istilah hukum, atribusi diterjemahkan sebagai “pembagian (kekuasaan); dalam kata atributie van rechtsmacht; pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi (kompetensi mutlak), sebagai lawan dari distributie van rechtmacht”. Salah satu kekuasaan yang diberikan oleh undang-
12 Muhammad Djafar Saidi, 2007, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 1. 13
Ni'matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 78.
14
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara edisi revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 100.
15 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, 2012, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa Cendekia, Bandung, hlm. 137-139.
18
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.....(Muhammad Fadli)
undang kepada pemerintah adalah atribusi. Menurut Indroharto, atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam perundangundangan baik yang dilakukan oleh original legislator atau delegated legislator. b.
Delegasi Delegasi dalam istilah hukum adalah penyerahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. HD. Van Wijk berpendapat bahwa pengertian delegasi adalah penyerahan wewenang pemerintah dari suatu badan atau pejabat pemerintahan lain. Bentuk delegasi yang biasa adalah bentuk di mana dalam instansi pertama suatu wewenang pemerintahan yang dilambangkan kepada suatu lembaga pemerintahan diserahkan oleh lembaga ini kepada lembaga pemerintahan lainnya.
c.
Mandat Wewenang yang didapat melalui atribusi dan delegasi bisa dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan jika pejabat yang memperoleh wewenang itu tidak sanggup untuk melakukan sendiri. H.D. Van Wijk menjelaskan arti mandat adalah suatu organ pemerintahan yang mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Berbeda dengan delegasi, mengenai mandat, pemberi mandat tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia menginginkannya, dan memberi petunjuk kepada mandataris tentang apa yang diinginkannya.
Hans Kelsen mengemukakan hanya perilaku manusia yang diberikan wewenang oleh tatanan hukum. Perilaku individu tersebut diberikan wewenang hukum dirinya yakni, kapasitas untuk menciptakan norma hukum. Kapasitas untuk bertindak pada dasarnya merupakan kapasitas untuk melakukan transaksi hukum. Kapasitas untuk melakukan transaksi hukum yaitu kapasitas untuk menciptakan kewajiban dan hak, juga merupakan wewenang hukum karena kewajiban hukum dan hak ditetapkan oleh norma-norma hukum dan norma-norma itu diciptakan dengan transaksi hukum.16 Menurut Hans Kelsen, hukum berupa peraturan-peraturan yang dibuat dan diakui oleh negara.17 16 17
Kewenangan merupakan kapasitas untuk bertindak yang diberikan kepada suatu individu oleh tatanan hukum untuk melakukan tindakan tertentu. Jadi dapat dikatakan bahwa kewenangan untuk melakukan tindakan hanya diberikan pada individu tertentu yang diberikan oleh tatanan hukum untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan hukum itu sendiri. Dengan demikian, kewenangan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan penuntutuan terhadap tindak pidana pencucian uang harus diberikan oleh tatanan hukum atau dapat dikatakan kewenangan yang dijalankan tersebut perlu mendapatkan dasar hukum dari peraturan perundang-undangan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 huruf (a) menyatakan, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada asas kepastian hukum. Jadi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku. B.3. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Salah satu tugas KPK berdasarkan Pasal 6 huruf (c) UU KPK yaitu, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, KPK bebas dari campur tangan pihak manapun termasuk dalam tugas, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Jaksa Penuntut umum KPK dalam menjalankan tugas berdiri sendiri dan bebas dari intervensi manapun. Jaksa penuntut umum yang bertugas di KPK diangkat dan diberhentikan oleh KPK sebagaimana Pasal 51 Ayat (1) UU KPK. Jadi kedudukan Jaksa Penunut Umum KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak lagi berada di bawah koordinasi Kejaksaan Agung. Hal tersebut juga tidak terlepas dari kesepakatan kerja sama yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dan KPK. Jaksa Penuntut Umum
Hans Kelsen, 2011, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, hlm. 165-167. Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dn Teori Peradilan (Judicialprudence), Kencana, Jakarta, hlm. Hlm.61.
19
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24
yang menjalankan tugas di KPK harus tunduk terhadap UU KPK. Adapun pengertian Jaksa Penuntut Umum dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yaitu, penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pasal 14 menyatakan Penuntut umum mempunyai wewenang: a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke pengadilan; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan penuntutan; h. menutup perkara demi kepentingan hukum; i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undangundang ini; j. melaksanakan penetapan hakim. Dari perincian wewenang tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa jaksa atau penuntut umum di indonesia tidak mempunyai wewenang menyidik perkara dalam tindak pidana umum, misalnya pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya dari permulaan ataupun lanjutan. Ini berarti jaksa atau penuntut umum di Indonesia tidak dapat melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap tersangka atau terdakwa. Ketentuan Pasal 14 ini disebut sistem tertutup, artinya tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan penyidikanmeskipun dalam arti inseidental dalam perkara-perkara berat, khususnya dari segi pembuktian dan masalah teknis yuridisnya. Pengecualiannya adalah jaksa atau penuntut umum dapat menyidik perkara dalam tindak pidana khusus, misalanya tindak pidana subversi, korupsi, dan lain sebagainya.18 Tindak pidana khusus tersebut termasuk tindak pidana pencucian uang. 18
20
Pengertian jaksa sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 1 Ayat (2) menyatakan pengertian penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan Pasal 1 Ayat (3) Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Jadi, Jaksa Penuntut Umum yang melaksanakan tugas di KPK pada dasarnya memiliki tugas dan fungsi yang sama sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu melakukan penuntutan terhadap tindak pidana dan melaksanakan penetapan hakim. Dalam UU KPK, Jaksa Penuntut Umum di KPK diberi tugas khusus yaitu, melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pasal 51 Ayat (1) UU KPK menentukan bahwa Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Ayat (2) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi, Ayat (3) Penuntut sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) adalah Jaksa Penuntut Umum. Pasal 72 Ayat (5) huruf c UU PPTPPU menjelaskan sebagai berikut, jika penuntut umum mengajukan surat permintaan keterangan mengenai harta kekayaan dari orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa maka surat permintaan tersebut harus ditandatangani oleh Jaksa Agung atau Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut umum, hal ini menunjukkan bahwa jaksa yang diberi kewenangan dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang dalam UU PPTPPU masih terbatas jaksa yang dibawahi oleh Kejaksaan Agung, bukan Jaksa Penuntut Umum yang
Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 21.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.....(Muhammad Fadli)
diangkat dan diberhentikan oleh KPK sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 51 Ayat (1) UU KPK. Mengingat karakteristik kasus tindak pidana pencucian uang bersifat kompleks dan multi dimensi serta praktik internasional di negara lain, Marwan Effendi berpendapat adalah hal yang tepat untuk memberikan Jaksa sebagai penyidik tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam penjelasan Pasal 4 UU PPTPPU yaitu, dampak positif Jaksa sebagai penyidik tindak pidana pencucian uang sebagai berikut: apabila dalam penyidikan tindak pidana korupsi jaksa penyidik menemukan adanya tindak pidana pencucian uang, maka Jaksa Penyidik tindak pidana asal atau penyidik predicate crime tidak perlu lagi menyerahkan kepada penyidik POLRI sehingga tidak akan terjadi proses saling menunggu penyelesaian penyidikannya.19 Dengan dilakukannya penyidikan sendiri oleh Jaksa Penyidik atau penyidik predicate crime terhadap tindak pidana pencucian uang bersamaan dengan penyidikan tindak pidana korupsi sangat mendukung proses penyidikan cepat (speedy investigation) hal mana sejalan dengan ketentuan Pasal 75 UU PPTPPU yaitu dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan tindak pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).20 Apabila berkas hasil penyidikan antara tindak pidana asal atau predicate crime dan tindak pidana pencucian uang atau dilimpahkan penyidik KPK kepada Jaksa penuntut umum yang ada di KPK, maka konsekuensi logisnya yaitu, Jaksa Penuntut Umum dapat menyatukan langsung dakwaannya dalam bentuk kumulatif, sehingga dapat tercipta suatu penuntutan yang cepat (speedy prosecution) dan efektif. Jika berkas penyidikan tindak pidana asal atau predicate crime dengan berkas tindak pidana pencucian uang terpisah penyidikannya maka proses persidangan juga akan disidangkan oleh majelis hakim yang berbeda karena majelis yang satu untuk tindak pidana asal dan majelis yang lain untuk tindak pidana pencucian uang,
karena belum tentu dapat dilimpahkan secara berbarengan. Oleh karena itu, jika penyidikan tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang di satu tangan, maka jaksa penuntut umum dapat mendakwakan secara kumulatif antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang dan melimpakannya secara bersamaan ke pengadilan. Dengan demikian akan terjadi suatu peradilan cepat (speedy trial) karena cukup disidangkan oleh suatu majelis hakim. 21 B.4. Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan Proses peradilan pidana terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui bagi para pencari keadilan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di pengadilan hingga tahap penjatuhan putusan pemidanaan bahkan upaya hukum jika dipergunakan oleh para pihak yang memerlukan waktu, tenaga, maupun biaya yang tidak sedikit bagi para pencari keadilan. Hal ini diatur di dalam Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 Ayat (4) yang menyebutkan bahwa: peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas ini menghendaki peradilan yang sederhana atau tidak terlalu formal legalistik, proses yang berbelit-belit dan berkepanjangan dan lebih mengutamakan keadilan dari pada kepastian hukum. Waktu yang dibutuhkan dalam proses yang sederhana adalah cepat dan biaya yang dibutuhkan dalam proses menjadi terjangkau oleh siapapun termasuk masyarakat tidak mampu. Asas ini masih menjadi keniscayaan dan masih dalam das sollen, karena dalam kenyataannya (das sein) semua proses peradilan terutama peradilan pidana, prosesnya menghabiskan waktu yang lebih banyak. Hal ini berkaitan dengan permasalahan kewenangan penuntutan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum KPK. Sebagaimana diketahui kewenangan penuntutan tersebut belum diatur secara jelas di dalam peraturan perundang-undangan sehingga penuntutan tindak pidana pencucian uang seharusnya diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum di bawah Kejaksaan Agung bukan Jaksa Penuntut Umum KPK sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengutip
19 Marwan Effendy, 2012, Sistem Peradilan Pidana (Tinjauan Terhadap beberapa perkembangan hukum pidana), Referensi, Jakarta, hlm. 72-73. 20
Ibid.
21
Ibid., hlm. 73.
21
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24
pendapat Mudzakir, “Kewenangan KPK dalam tindak pidana pencucian uang itu dasarnya adalah UU PPTPPU yang baru dan Undang-Undang Pengadilan Tipikor. Dalam undang-undang itu kewenangan KPK terbatas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Kewenangan penuntutan itu berada dan harus di tangan Jaksa di bawah Kejaksaan Agung. Tidak disebutkan bahwa termasuk jaksa yang dimiliki KPK.”22 Jika penuntutan tindak pidana pencucian uang yang disidik oleh KPK diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum di bawah Kejaksaan Agung tentunya tidak akan berjalan efektif, hal ini dikarenakan penuntutan tindak pidana korupsi yang disidik oleh KPK akan di sidangkan di tempat berbeda dengan penunututan tindak pidana pencucian uang yang disidik oleh KPK sehingga proses peradilan tidak lagi dapat berjalan efektif dan efisien [Hal tersebut disebabkan, hasil penyidikan penyidik KPK terhadap tindak pidana pencucian uang yang disidik bersama tindak pidana korupsi akan diserahkan kepada Kejaksaan Negeri kemudian dilakukan penuntutan tersendiri di pengadilan yang berbeda. Hal ini tentunya akan melalui proses yang panjang dan tidak efisien begitupula dalam hal pemeriksaan saksi-saksi di persidangan], karena saksi yang sama akan bersaksi di pengadilan yang berbeda. Hal tersebut sangat berbeda jauh dengan tujuan yang diharapkan dalam Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 Ayat (4) yang menyatakan bahwa: peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal yang lebih menghawatirkan adalah terjadinya disparitas putusan. Jika putusan peradilan terhadap tindak pidana asal tidak terbukti sedangkan di pengadilan berbeda tindak pidana pencucian uang tersebut terbukti dilakukan. Hal ini tentunya akan menjadi permasalahan ke depannya. Berdasarkan uraian di atas, diperlukan suatu solusi atau penyelesaian yang lebih mendasar dan ide pemikiran kembali sehingga kewenangan penuntutan KPK dalam tindak pidana pencucian uang memiliki kepastian hukum dan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan sehingga dapat benar-benar direalisasikan. Salah satu cara yang perlu dilakukan adalah segera melakukan revisi terhadap UU KPK dan UU PPTPPU untuk memperluas kewenangan Jaksa Penuntut Umum
KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Pasal 5 UU PTPK menyatakan bahwa: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Sedangkan dalam Pasal 6 UU PTPK, dinyatakan sebagai berikut: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UU PTPK, berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara: a. tindak pidana korupsi; b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengadilan tindak pidana korupsi kompetensi peradilan dalam menangani tindak pidana korupsi telah diperluas dalam mengadili tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya berasal dari tindak pidana korupsi. Seharusnya hal tersebut juga diatur pula dalam UU KPK maupun UU PPTPPU kewenangan penyidikan KPK sekaligus penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi. Dengan demikian, proses penyidikan dan penuntutannya dapat dilakukan secara efektif seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berwenang mengadili tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya berasal dari tindak pidana korupsi sehingga proses peradilan akan berjalan efektif dan efisien (speedy trial). Selain itu dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan bahwa: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Jadi perkara tindak pidana pencucian uang yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK ke pengadilan tindak pidana korupsi tetap menjadi wajib untuk diperiksa dan diadili oleh pengadilan tindak pidana korupsi. Jika melihat penggabungan proses penyidikan tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang, maka akan lebih efektif dan efisien jika berkas
22 Dewi Mardiani, Pakar: KPK Tak Keliru Bila Gunakan TPPU, http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/ 13/11/22/mwnyqt-pakar-kpk-tak-keliru-bila-gunakan-tppu, diakses pada tanggal 20 Desember 2013.
22
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi.....(Muhammad Fadli)
hasil penyidikan tindak pidana pencucian uang juga dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum KPK, tidak lagi melimpahkan kepada Jaksa penuntut Umum yang ada di Kejaksaan Negeri. Mengingat pengadilan tindak pidana korupsi yang dikhususkan mengadili tindak pidana korupsi telah diberikan wewenang oleh undang-undang mengadili tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi. Seharusnya kewenangan jaksa penuntut umum yang ada di KPK yang dikhususkan melakukan penuntutan tindak pidana korupsi diperluas dalam hal melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi, sehingga speedy investigation, speedy posecution, dan speedy trial dapat tercipta. Prinsip Speedy investigation, speedy prosecution, dan speedy trial sejalan dengan asas di KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman yaitu, asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya murah atau ringan dengan tetap mempertimbangkan keadilan dan kepastian hukum.23
C.
Penutup
UU KPK memberikan kewenangan kepada KPK dalam melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Akan tetapi di dalam undang-undang tersebut tidak diatur secara tegas mengenai kewenangan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang, sedangkan di dalam UU PPTPPU hanya memberikan kewenangan kepada KPK dalam menyidik tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asal (predicate crime) merupakan tindak pidana korupsi. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum di KPK masih sebatas kewenangan dalam melakukan penuntutan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Ayat (2) UU KPK. Di lain pihak, kewenangan pengadilan tindak pidana korupsi telah diperluas dalam mengadili tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya berasal dari tindak pidana korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sebaiknya kewenangan Jaksa Penuntut Umum KPK juga turut diperluas dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya atau predicate crime-nya adalah tindak pidana korupsi. Maka penuntutan dapat dilakukan secara efektif dan “tidak berbelitbelit” sehingga tindak pidana asal dan tindak 23
pidana pencucian uang dapat disidangkan satu pengadilan. Sebagai negara hukum segala tindakan pemerintah atau lembaga negara harus didasarkan atas ketentuan hukum yang berlaku. Kewenangan Jaksa Penuntut Umum KPK masih terbatas dalam penuntutan tindak pidana korupsi. Kewenangan penuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK terhadap tindak pidana pencucian uang belum diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan sehingga diperlukan dasar hukum ke depannya. Agar kewenangan tersebut dapat dijalankan dan selaras dengan kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang kewenangannya telah diperluas dalam mengadili tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya dari tindak pidana korupsi. Selain itu, jika Jaksa Penuntut Umum di KPK diberi kewenangan penuntutan, maka proses penyidikan hingga penuntutan tindak pidana pencucian uang di KPK dapat saling berkaitan sehingga proses peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan atau peradilan cepat (speedy trial) dan tidak berbelit-belit dapat diwujudkan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Daftar Pustaka Buku Ali, Achmad. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dn Teori Peradilan (Judicialprudence). Jakarta: Kencana. Djafar Saidi, Muhammad. 2007. Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Djaja, Ermansjah. 2009. Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Jakarta: Sinar Grafika. Effendy, Marwan. 2012. Sistem Peradilan Pidana (Tinjauan Terhadap beberapa perkembangan hukum pidana). Jakarta: Referensi. Garnasih, Yenti. 2003. Kriminalisasi Pencucian Uang (Money laundering). Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: CV Sapta Artha Jaya.
Marwan Effendy, Op.Cit., hlm. 75.
23
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 15 - 24
HR, Ridwan. 2011. Hukum Administrasi Negara edisi revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Huda, Ni'matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Jahja, Juni Sjafrien. 2012. Melawan Money laundering (mengenal, mencegah, & memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang). Jakarta: Visimedia. Kelsen, Hans. 2011. Teori Hukum Murni DasarDasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung: Nusa Media. Makarao, Muhammad Taufik dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia. Muhammad, Rusli. 2007. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung: PT Citra Aditya bakti. Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik Sudrajat. 2012. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung: Nuansa Cendekia.
Politik Kriminal dan Persfektif Kriminologi dalam Penegakan Hukum di Indonesia”, diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar di Auditorium Prof. Amiruddin Universitas Hasanuddin Makassar, pada tanggal 19 Maret 2013.
Rahardjo, Yudho. 2013. Kewenangan Jaksa KPK Gunakan Pasal TPPU Harus Diperkuat. http://www.gresnews.com/berita/hukum/9 81111-kewenangan-jaksa-kpk-gunakanpasal-tppu-harus-diperkuat/, (dikases pada tanggal 10 Desember 2013).
Wasisto Raharjo Jati Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Jalan Godean Km.5 Yogyakarta Indonesia (Naskah diterima 08/01/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014) Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menganalisis mengenai dualisme hukum agraria yang berada di Yogyakarta. Adapun dualisme tersebut telah termanifestasikan dalam dua bentuk yakni implementasi hukum agrarian nasional maupun hukum agraria kerajaan. Adanya dualisme tersebut menyebakan adanya ambiguitas maupun ambivalensi dalam sistem pengaturan tanah di Yogyakarta. Ambiguitas tersebut berwujud pada dilemma status tanah antara tanah publik maupun tanah kerajaan. Ambivalensi dilihat dari sikap pemerintah provinsi yang terjebak dalam status sebagai wakil pemerintah pusat ataukah kerajaan. Implikasinya adalah konflik status tanah yang belum selesai hingga saat ini maupun komersialisasi tanah kraton. Maka artikel ini akan berusaha menguraikan lebih lanjut letak ambiguitas dan ambivalensi hukum agraria tersebut. Kata kunci: ambiguitas, ambivalensi, hukum agraria nasional, dualisme, hukum agraria kerajaan.
Peraturan perundang-undangan
Abstract
Siahaan, N.H.T. 2008. Money Laundering & Kejahatan Perbankan Edisi Revisi. Jakarta: Jala Permata.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Garnasih, Yenti. Penanganan Kejahatan Aliran Dana Perbankan, Korupsi, dan Pencucian Uang, Makalah disampaikan Pada Simposium Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi dengan tema “Rekonseptualisasi
(POLITIC OF AGRARIAN IN YOGYAKARTA: PARTRIMONIAL IDENTITY & AGRARIAN LAW DUALISM)
[email protected]
Mardiani, Dewi. 2013. Pakar: KPK Tak Keliru Bila GunakanTPPU. http://www.republika. co.id/berita/nasional/hukum/13/11/22/m wnyqt-pakar-kpk-tak-keliru-bila-gunakantppu, diakses pada tanggal 20 Desember 2013.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Makalah
IDENTITAS PARTRIMONIAL & DUALISME HUKUM AGRARIA
Sumber Elektronik
Sjahputra, Iman. 2006. Money Laundering (Suatu Pengantar). Jakarta: Harvarindo.
Yusuf, Muhammad, dkk. 2011. Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. The Indonesia Netherlands National Legal Reports Program (NLPR): Jakarta.
POLITIK AGRARIA DI YOGYAKARTA:
This article aims to analyze dualism case of the agrarian legal in Yogyakarta. The dualism has been manifested in two forms; the implementation of the national agrarian law and the royal agrarian law. The existence of such dualism has caused ambiguity and ambivalence in the regulation of land in Yogyakarta. The ambiguity manifested in dilemma between public land and royal land. Ambivalence came from the provincial government's attitude is trapped in status as representatives of the central government or kingdom. The implication caused the land status of the conflict have not been completed to date as well as the commercialization of the palace ground. Then, this article will elaborate further about the lies of ambiguity and ambivalence of the agrarian law.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Keywords: ambiguity, ambivalence, national agrarian law, dualism, royal agrarian law
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
A.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun Kejaksaan Republik Indonesia
tentang
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Membincangkan masalah hukum agraria di Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah unik dalam lanskap politik agraria di Indonesia. Hal ini dikarenakan di daerah tersebut berlaku hukum nasional yakni UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria dan hukum kerajaan yang keduanya hingga kini masih eksis diberlakukan. Adanya dualisme hukum agraria tersebut menjadikan tanah-tanah yang berada di DIY sendiri menjadi tersekat-sekat antara tanah nasional, tanah penduduk, tanah Sultan (Sultan Ground), maupun tanah Pakualaman (Pakualaman Ground). Adanya perbedaan status tanah tersebut berasal dari adanya ketentuan Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan negara mengakui adanya status keistimewaan yang dimiliki daerah tertentu sebelum beridirinya republik. Hal itulah yang kemudian mengakomodasi tanah berbasis 1
24
Pendahuluan kerajaan sendiri memiliki keistimewaan khusus dalam sistem agraria di Indonesia. Kasus Yogyakarta sebenarnya sangatlah menarik untuk dicermati sebagai daerah kerajaan yang memiliki pengaturan tanah secara kultural tersendiri di saat daerah-daerah yang sebelumnya berstatus wilayah kerajaan mengafiliasikan diri ke dalam sistem agraria nasional. Hak ulayat kerajaan atas tanah masih diakui sebagai bentuk pengakuan status istimewa dari negara. Dalam pola pengaturan hak kepemilikan akan tanah ulayat/adat berlaku prinsip “het hoagste richtten aauzien van garand” dimana masyarakat memiliki hak adat tertinggi untuk mengambil manfaat atau hasil-hasil yang ada di wilayah lingkungan hidup mereka serta memiliki kearifan lokal untuk memiliki bersama.1 Pengertian
Maria Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,(Jakarta: Penerbit KOMPAS, 2008), hlm. 165.
25
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34
masyarakat di sini ditekankan sebagai masyarakat genealogis yang terbentuk karena adanya ikatan kekeluargaan sehingga membentuk suatu hubungan yang sangat akrab dan intim.2 Maka perkembangan dari hubungan tersebut menimbulkan adanya pola komunalisasi tanah secara sepihak oleh para elite dari masyarakat hukum adat tersebut sehingga kemudian membentuk kerajaan/daerah vorstenlanden sendiri. Vorstenlanden merupakan sebuah kerajaan dalam pola subordinasi kekuasaan kolonial yang terpisah dari pemerintahan kolonial seperti halnya Mangkunegaran, Kasunanan, Pakualaman, dan Kasultanan yang umumnya terletak di Jawa. Secara konstitusional, hak ulayat atas tanah di DIY diakui dari berbagai bentuk perundangan mulai dari UU No.3 Tahun 1950 (yang kemudian diubah menjadi UU No.9 Tahun 1955) tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta maupun yang terbaru kini UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta. Tanah kemudian dicantumkan sebagai bagian dari identitas kultural dan keistimewaan Yogyakarta. Sementara di lain pihak, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria juga diberlakukan sebagai Keppres No 33 tahun 1984 juncto Peraturan Mendagri No 66 tahun 1984, UUPA diberlakukan secara penuh di DI Yogyakarta tetapi dalam pengaturan penguasaan tanah hanya diatur beberapa konversi perorangan bekas hak adat menjadi hak milik, sedangkan untuk Tanah Kasultanan (Sultan Ground) dan tanah Pakualaman (Paku Alam Ground) belum diterapkan konversinya dalam sistem hukum tanah nasional. Adapun pemaknaan konversi tersebut dimaknai sebagai adanya landreform yang selama ini belum dilaksanakan di Yogyakarta. Permasalahan konversi tanah ini memang menjadi peka untuk dibicarakan karena hal tersebut sudah menyinggung eksistensi keistimewaan Kesultanan maupun Pakualaman. Dalam pasal 32 UU No.13 Tahun 2012 disebutkan bahwa kerajaan sendiri adalah subjek hukum yang mengatur tanah keprabon dan tanah non keprabon. Artinya negara nasional bertindak sebagai agen ganda yakni mengakui otoritas kerajaan dalam mengatur tanah, namun juga mengakui otoritas negara dalam mengatur tanah non keprabon. Sebenarnya yang menjadi masalah dalam dualisme hukum agraria di Yogyakarta adalah 2
26
masalah hak milik dan hak pakai tanah (angguduh) yang hingga kini belum terselesaikan dalam masalah agraria di Yogyakarta. Kedua hak tersebut yang secara bersamaan diakui hukum justru mengundang rivalitas dan kontestasi antar keduanya. Rivalitas keduanya bersumber pada pola saling klaim-mengklaim status tanah yang banyak terjadi kasusnya di Yogyakarta. Namun di lain kesempatan, kedua hak agraria tersebut juga memiliki harmonis Oleh karena itulah, sangatlah urgen dan signifikan untuk melihat penerapan dualisme hukum agraria yang berlaku di Yogyakarta ini. Maka yang menjadi pertanyaan penting dalam pembahasan ini adalah bagaimana bentuk prokontra dalam penerapan hukum agraria di Yogyakarta?. Pertanyaan tersebut menjadi penting bagi kita untuk melihat seberapa besar tingkat harmonisasi ataukah kontestasi dalam penerapan hukum agraria tersebut. Maka sebelum menjawab pertanyaan utama tersebut, alangkah baiknya bagi kita untuk mengetahui lebih lanjut histori legalitas hukum agraria dalam kasus Yogyakarta. B.
Konstelasi Hukum Agraria di Yogyakarta
Selama masa kolonialisme di Indonesia, Yogyakarta dinyatakan sebagai negeri yang merdeka dan diakui eksistensinya oleh penguasa pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia. Keberadaan tanah di Yogyakarta diakui setelah adanya perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1775. Yogyakarta bersama Surakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran diberikan status daerah kerajaan (vorstenlanden) dan Sultan sebagai pemilik hak mutlak tanah-tanah di wilayah itu (vorstdomein). Di dalam sebuah kerajaan tradisional yang bersifat feodal, persoalan yang bernilai strategis secara politik bagi kekuasaan Sultan adalah masalah agraria, dalam hal ini menyangkut kepemilikan atas tanahtanah di Kesultanan Yogyakarta. Tanah merupakan perlambang dari eksistensi kerajaan maupun legitimasi seorang raja memerintah masyarakatnya. Maka penguasaan atas seluruh tanah merupakan manifestasi dari hubungan patronase dari raja kepada masyarakatnya. Hubungan yang inheren tersebut ada dikarenakan adanya dua konsepsi yakni konsepsi vorstendomein (milik raja) dan juga vorsteneigendomsrecht (hak milik raja) yang kemudian mengkultuskan dan menahbiskan raja adalah segala – segalanya dan semua yang ada
Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal, (Jakarta : Grasindo, 2010), hlm.16.
Politik Agraria Di Yogyakarta.....(Wasisto Raharjo Jati)
dalam kerajaannya merupakan untuk raja/mutlak milik raja serta tidak dapat diganggu gugat. Hal itu kemudiaan diperkuat dengan dikukuhkannya Rijksblaad van Sultanaat Djogjakarta No. 16, pasal 1, tahun 1918 yang dikeluarkan oleh pihak kraton yang berbunyi
1)
“Sakabening bumi kang ora ana yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang egendom dadi bumi kagungane kraton ingsun Ngajogjakarta Hadiningrat” 3
2)
Artinya segala tanah yang tidak punya bukti kepemilikan ataupun bukan dalam kekuasaan hak eigendom pemerintahan kolonial menjadi tanah milik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam hal ini dapat pula dideskripsikan bahwa Yogyakarta memiliki pola kepatuhan terhadap kehidupan tanah leluhur serta memiliki corak keistimewaan dengan kraton yang dipimpin oleh sultan dan memiliki pola pengelolaan tanah sendiri. Aturan Rijkblad Kasultanan Tahun 1821 No.16 dan Rijkblad Puro Paku Alaman Tahun 1821 No.18 merupakan bentuk hukum agraria yang diberlakukan di Yogyakarta selama zaman kolonialisme Belanda. Adapun substansi dalam aturan tersebut meliputi pengaturan tanah yang terbagi hak-hak pakainya seperti berikut ini. 1)
“Siti Maosan Ndalem” yakni tanah yang berada dalam kontrol langsung Sultan Hamengkubuwono X seperti halnya bangunan Kraton Yogyakarta.
2)
“Siti Kejawen” yakni tanah yang yang diberikan oleh kerabat Sultan maupun abdi dalem seperti halnya bangunan ndalem bagi kerabat sultan maupun tanah perdikan bagi abdi dalem sebagai balas jasa pengabdian kepada kraton
3)
“Siti Magersari” yakni tanah yang digunakan publik sebagai wujud penghargaan kraton untuk masyarakat Yogyakarta.
Dalam hal ini tanah magersari sendiri merupakan hak guna lahan masyarakat untuk menumpang memakai tanah kraton sepanjang izin permohonan pemakaiannya disetujui oleh pihak kraton melalui kantor Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Wahono Sarto Kriyo dan Tepas Panitikismo. Adapun karakteristik tanah magersari ini antara lain dijelaskan di bawah ini :
Hak yang sangat lemah Dikarenakan bila sultan berkehendak atas suatu tanah magersari yang diduduki penduduk tertentu maka penduduk itu harus meninggalkan tanah tersebut dan pindah ke tempat lainnya. Turun - temurun (erfelijk gebruiksrecht) Kepemilikan tanah magersari sendiri bersifat trans generasi serta hanya generasi itu saja yang boleh memakai tanah tersebut dikarenakan adanya ikatan pola pewarisan hak pakai yang hierarkis dan kuat dari generasi dulu hingga sekarang.
3)
Tidak dapat dialihkan (tijdelijke vervreemding) Tidak dapat dialihkan di sini lebih diartikan sebagai status pengguna lahan tersebut tidak bole di serahterimakan orang lain yang tidak sesuai denga perjanjian sewa tanah dengan kraton dan juga diperjualbelikan tanpa seizin pihak kraton selaku pemilik tanah yang sah. Bentuk – bentuk hak konsensi lahan yang diperbolehkan dan juga diizinkan oleh pihak kraton antara lain seperti: 1) Hak amanggon Hak izin yang diberikan oleh pihak kraton untuk masyarakat Yogyakarta yang berminat menggunakan lahan magersari hanya untuk ditempati tinggal beserta bangunannya dan juga untuk melakukan kegiatan lainnya. 2) Hak anggadhuh Hak atas tanah magersari yang diberikan kepada masyarakat Yogyakarta dalam bentuk hak pakai lahan dan hak guna lahan. 3) Hak amakarya Hak amakarya di sini merupakan hak untuk mendayagunakan tanah magersari untuk menghasikan produk – produk yang menguntungkan (hasil pertanian).4
Hukum adat merupakan perangkat hukum yang beraneka ragam isi norma-norma hukumnya. Hukum adat masyarakat-masyarakat hukum adat yang mengatur pertanahan, pada dasarnya ada keseragaman karena mewujudkan konsepsi, asas-
3 Mungki Kusumaningrum, Status atas Hak Tanah Magersari di Yogyakarta, (Semarang : Progam Pascasarajana, 2004), tesis tidak dipubliksasikan, hlm. 52. 4 Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa Ke Masa,(Jakarta : Penerbit Obor, 2008), hlm. 68.
27
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34
asas hukum dan sistem pengaturan yang sama dengan hak penguasaan tertinggi yang dalam perundang-undangan dikenal sebagai hak ulayat. Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari istilah “adatrecht” yang pertama kalinya diperkenalkan oleh C. Snouck Hurgonje. Hukum adat disini diartikan sebagai adat-adat yang mempunyai akibat hukum. Yogyakarta sebagai daerah yang masih memiliki kesultanan telah melakukan politik kontrak dengan belanda ketika masa penjajahan. Mereka tidak di atur dengan sebuah UU (ordonantie) melainkan dalam sebuah perjanjian. Politik kontrak kesultanan Yogyakarta Pertama kali terjadi pada tanggal 13 Februari 1755. Yang dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti yang dilanjutkan dengan perjanjian-perjanjian berikutnya sampai pada politik kontrak kesultanan Yogyakarta terakhir yang dibuat pada tanggal 18 Maret 1940. Adapun sistem pola pengelolaan tanah tersebut dinamakan sebagai tanah/hak magersari dimana tanah kraton selain dipergunakan oleh sultan dan kerabatnya juga bisa dipergunakan oleh rakyatnya. Dari situ kemudian berkembang pandangan bahwa tanah magersari merupakan wujud caos ndalem perhatian raja terhadap rakyatnya. Oleh karena itu kemudian dalam implementasi level praksisnya adalah tanah kraton dipergunakan oleh rakyatnya hanya sebatas menempati dan membangun suatu bangunan tertentu tanpa melakukan kegiatan transaksi jual beli terhadap keberadaan tanah kraton yang dipakainya. Namun apabila ada rakyat yang tidak patuh dengan poin yang terakhir tersebut, maka yang bersangkutan harus bersiap hak guna pakai tanah magersari tersebut dan harus dikembalikan (dikundurake) kepada sultan selaku pemilik tanah yang sah. Hak magersari atau dalam bahasa kraton adalah ngindung secara harfiah merupakan hak seseorang untuk menumpang dengan asumsi mendirikan atau menempati suatu tanah pekarangan dengan izin tertentu pula. Makna ngindung sendiri dalam sistem agraria di Yogyakarta secara harfiah dimaknai sebagai menumpang atau secara perdata dapat diartikan sebagai hak guna bangunan yang didirikan di atas tanah kerajaan. Ngindung pada mulanya merupakan bentuk kebijakan raja terhadap bawahannya agar memiliki tempat tinggal tersendiri guna melancarkan tugas-tugasnya di kraton. Adapun pegawai kerajaan yang diberikan hak
ngindung biasanya disesuaikan dengan pangkat yang mereka peroleh dalam sistem birokrasi kerajaan. Adapun para kelompok priyayi biasanya memiliki hak ngindung yang lebih besar dibandingkan dengan pegawai kerajaan yang statusnya sebagai bangsawan.5 Bangsawan sendiri selain mempunyai hak guna bangunan juga memiliki hak menyewakan tanah. Hal ini terkait sebagai upaya menjaga hubungan patrimonialisme maupun loyalitas rakyat kepada kerajaan. Merekalah yang acap kali disebut sebagai broker tanah di masa kolonialisme karena seringkali menyewakan tanah untuk kepentingan partikelir seperti Sedangkan para pegawai kerajaan sendiri umumnya memiliki hak guna bangunan saja, namun tidak memepunyai hak menyewakan tanah kerajaan tersebut. Adapun ngindung (hak menumpang tanah) dalam perkembangannya kemudian diperluas tidak hanya dipergunakan oleh kalangan pegawai kraton maupun bangsawan semata. Namun juga diperluas penggunaan konsensi tanah kerajaan tersebut yang tidak hanya tersebar di wilayah Yogyakarta, namun juga ada yang berada di kawasan luar Yogyakarta diklaim ada tanah kerajaan tersebut. Model pembagian hak ngindung tersebut secara lebih jelasnya dapat dilihat berikut ini: a.
Tanah yang diberikan kepada hak pakai (Gebruiksrecht) kepada pemerintah Hindia Belanda (Gubermen), untuk kantor-kantor, sekolah-sekolah, rumah-rumah gadai, asramaasrama militer/polisi, kereta api. Hak pakai ini terdaftar pada kantor pendaftaran tanah (kadaster).
b.
Tanah yang diberikan kepada N.I.S untuk keperluan jalan kereta api.
c.
Tanah yang diberikan kepada orang asing/ timur asing dengan hak eigendom dan opstal, terdaftar pada kantor pendaftaran tanah.
d.
Tanah yang diberikan kepada underneming untuk emplasemen pabrik dan perumahan pegawainya dengan hak konsensi, telah berakhir perjanjiannya, sekarang diurus pemerintah Daerah DIY.
e.
Tanah yang diberikan dengan hak pakai kepada kerabat/sentono raja (tanah kesentanan).
f.
Tanah yang diberikan karena jabatan para abdi dalem sri sultan, seperti: Pepatih Dalem, Bupati Nayoko, Bupati.
5 Gatot Murniatmo, Pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah secara tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1989), hlm. 88.
28
Politik Agraria Di Yogyakarta.....(Wasisto Raharjo Jati)
g.
Tanah untuk buah-buahan, disebut tanah kebonan,
h.
Tanah untuk pembinaan agama islam, dinamakan tanah mutihan (tanah untuk mensucikan diri)
i.
Tanah untuk pejabat yang berjasa, disebut tanah pardikan (tanah pemberian karena jasajasanya)
j.
Tanah pekarangan untuk rakyat dalam kota diberikan dengan hak anganggo.
k.
Tanah untuk rakyat diluar kota, diberikan hak anggarap melalui bekel dan patuh, sebagian hasilnya dihaturkan kepada raja sebagai bulu bekti,glendong pengarem-arem.
Maka mengingat besarnya arti historis dan kemanfaatannya yang tinggi di kalangan masyarakat Yogyakarta. Koversi tanah kerajaan menuju tanah nasional yang dikuasai oleh negara sepenuhnya menjadi terhambat. Dalam hal ini, ada berbagai permasalahan yang tumpang tindih antara status tanah yang belum sepenuhnya jelas maupun hak pemakaiannya. Bagi pihak kraton, tanah jelas sangatlah penting sebagai aset ekonomi dan aset budaya yang telah berakar pada sejarah sehingga masih resisten dengan penguasaan negara. Namun di satu sisi pula, integrasi Yogyakarta kepada Republik Indonesia juga harus dimaknai sebagai bentuk afirmasi Yogyakarta kepada hukum agraria nasional sehingga wajib melepaskan tanah kerajaan. Maka dalam titik inilah, sebenarnya tanah sebagai bagian dari keistimewaan menjadi lokus masalah penting yang cukup pelik. Bahkan ada berbagai pihak yang menilai bahwa keberadaan tanah kerajaan yang berstatus sebagai Sultanaat Grond maupun Pakualaman Grond sendiri adalah free rider dalam UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta. Hal tersebut dikarenakan keistimewaan sendiri hanya cukup masalah budaya, tata ruang, maupun penetapan saja. Agenda landreform (mengganti hukum agraria kolonial dengan hukum agraria nasional) perlu dikedepankan dalam sistem pengaturan tanah di Yogyakarta.
C.
Kontestasi Hukum Agraria dengan Hukum Kraton
Sultan Hamengkubuwono IX sebenarnya sudah menyadari arti kepemilikan hak milik bagi masyarakat ketika mengintegrasikan diri dalam
wilayah republik. Hak milik sendiri bagi Sultan adalah upaya memutus feodalisme yang berakar dalam kultur masyarakat dengan memberikan kebebasan bagi masyarakat melalui hak kepemilikan tanah. Dalam aturan yang dikeluarkannya Peraturan Daerah No.5 Tahun 1954 tentang Hak Tanah di Yogyakarta. Sultan meniadakan hak keistimewaan kerajaan atas tanah di Yogyakarta maupun wilayah luar dengan menghapus Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 jo. Risjkblaad 1915 Nomor 23.6 Adanya hak ngindung selama ini dipandang tidak memiliki kepastian dan ketentraman hati bagi si pengguna tanah karena traumatik atas aksi pengambilalihan tanah secara paksa oleh otoritas kerajaan. Meskipun pengunaan hak ngindung sendiri dapat dilakukan secara turun-menurun, namun kerajaan masih memegang hak milik atas status tanah tersebut. Hal itulah yang kemudian direformasi oleh Sultan Hamengkubuwono IX dalam pasal 4 ayat 4 dalam perda tersebut bahwa masyarakat dapat melakukan sertifikasi hak milik atas tanah kerajaan jika tanah tersebut sudah ditempati selama 20 tahun. Artinya tanah kerajaan baik itu Sultanaat Grond maupun Pakualaman Grond bisa diakuisisi masyarakat berdasarkan hukum nasional. Perda No. 5 Tahun 1954 yang dikeluarkan oleh Sultan Hamengkubuwono IX merupakan pionir dalam pelaksanaan landreform di Indonesia sebelum diundangkannya UU No. 5 Tahun 1960. Sultan paham betul bahwa redistribusi tanah secara adil melalui sertifikasi hak milik merupakan sesuatu yang esensial dalam hajat hidup orang banyak. Hal inilah yang kemudian mendorong diterapkannya reformasi agraria dengan menkonversikan tanah kerajaan menjadi tanah privat. Selain masih mempertahankan hak eigendom yakni hak milik bersama bagi kepemilikan tanah komunal. Peraturan yang dibuat oleh Sultan tersebut sangatlah berani dan visioner. Berani dikarenakan kerajaan harus merelakan keistimewaan ekonomi yang dimilikinya atas persil-persil tanah tersebut dengan meredistribususikan tanah secara komunal kepada masyarakat luas. Visioner karena feodalisme yang berujung pada sikap penghambaan rakyat kepada rajanya harus direduksi karena baik raja maupun masyarakat saling membutuhkan dan berada dalam posisi yang setara. Secara garis besar, peraturan tersebut memang bagus, namun ada penggalan kekurangan yang
6 Munsyariff, “Kebijakan Pengaturan Pertanahan di Yogyakarta”, paper presented at Focus Group Discution Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional, 23 Desember 2010
29
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34
berada dalam aturan tersebut. Pemerintah daerah sendiri masih memegang prinsip domeinverklairing 1918 yang mana dikatakan semua tanah yang tidak bertuan dan tidak bisa dibuktikan secara hukum maka otomatis akan diakuisisi oleh pemerintah. Memang domeinverklaring tersebut dalam peraturan daerah tersebut sudah mereduksi pengaruh feodalisme kerajaan dalam hak milik menjadi hak asal-usul atas tanah ulayat sehingga kemudian membagi tanah di Yogyakarta menjadi dua macam yakni tanah keprabon dan tanah non keprabon. Masalahnya yang timbul kemudian adalah adanya multintepretasi dalam memaknai hak asal-usul tersebut sebagai bentuk klaim sepihak kerajaan atas tanah berdasarkan histori. Hal itulah yang kemudian menjadikannya sebagai lokus permasalahan dengan hukum agraria nasional. Sejatinya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Pokok Agraria ( UUPA) dan Keppres Nomor 33 Tahun 1984, membawa konsekuensi bahwa semua tanah di wilayah Propinsi DIY tunduk pengaturannya, penggunaannya, peruntukannya, peralihan ataupun kepemilikannya. Dalam Diktum IV UUPA disebutkan bahwa tanah swapraja dan tanah eksswapraja yang masih ada pada waktu berlakunya UU ini hapus danmenjadi tanah negara yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Adapun dalam ketentuan perundangan lainnya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 mengatur penggunaan/pemanfaatan tanah-tanah swapraja atau bekas swapraja yang hapus dan beralih kepada negara.7 Legitimasi kuat negara melalui tanah-tanah kraton Yogyakarta sebagai tanah eks swapraja dapat disimak dari pengaturan lahan di Yogyakarta adalah terletak pada poin pasal 3 dalam UU Pokok Agraria yang berbunyi antara lain: “ bahwa pelaksanaan tanah ulayat dan hak yang serupa dengan itu dari masyarakat – masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang – undang atau peraturan yang lebih tinggi lainnya.”
7
Politik Agraria Di Yogyakarta.....(Wasisto Raharjo Jati)
Artinya hak-hak tanah yang selama ini bernuansa feodalisme sendiri dikonversikan menjadi hukum nasional, misalnya saja: a.
Konversi Hak Anggaduh dan Anganggo menjadi Hak Milik
b.
Konversi Hak Andarbe menjadi Hak Pakai
c.
Konversi Hak Magersari/Ngindung dengan Hak Sewa,
Desa/Kalurahan
Oleh karena itulah, sebenarnya masih adanya status Sultanaat Grond maupun Pakualaman Grond sebenarnya tidak tersinkronisasi dengan UU Pokok Agraria. Hal tersebut dapat disimak sebagai berikut ini: 1)
2)
3)
Distorsi yang dimulai sejak pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria merupakan pemicu awal dari munculnya hak-hak atas tanah “melayang” yang terjadi sekarang ini. Sandaran hukum adat yang menjadi titik berat dalam Undang-Undang Pokok Agraria tidak secara konsisten dijabarkan dalam pasalpasalnya. Terlihat dari masih diadopsinya prinsip-prinsip hak atas tanah barat melalui konversi hak atas tanah barat seperti Hak Opstal menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Erfpacht menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Hal itu kemudian menjadi rancu bila dipaksakan dalam tanah magersari itu sendiri dikarenakan masyarakat Yogyakarta hanya mengenal hak milik dan hak pakai. Hak milik di sini kraton memiliki kepemilikan atas tanah dan hak pakai dapat dijelaskan masyarakat hanya diizinkan memakai tanah tersebut hanya untuk tempat tinggal semata. Undang-Undang Pokok Agraria ini bisa dibilang sebagai undang-undang sektoral dan masih ambigu dikarenakan posisi UU ini yang rentan untuk dibajak dan dilangkahi oleh UU lainnya semisal UU Pertambangan maupun UU Eksplorasi Migas yang bisa menuntut warga di sekitar area tambang tersebut untuk menyerahkannya kepada negara atas nama kesejahteraan umum dan itu pun tanpa harus melalui izin Undang-Undang Pokok Agraria.8 Tanah Ulayat/adat sendiri teralienasikan dengan berbagai peraturan penjelas maupun peraturan pendukung dari Undang-Undang Pokok Agraria maupun peraturan tersebut
sehingga masyarakat hukum adat sendiri merasa termarjinalkan untuk menggunakan tanah mereka sendiri dan apabila untuk menggunakannya maka harus minta izin dulu kepada negara.
ketentuan tersebut mengalami makna swapraja dalam UU No.3 Tahun 1950 sendiri tidak mengalami perubahan dimana status swapraja masih diikutkan dalam UU tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Maka yang menjadi hal krusial dalam menengahi dualism hukum agraria yang berada di Yogyakarta adalah adanya konsensus bersama terhadap intepretasi “hak asal-usul” maupun “setifikasi hak milik”. Selama ini yang berkembang dalam kontestasi penerapan hukum agraria melalui UU Pokok Agraria dengan hukum agraria kerajaan yang diatur dalam Surat Keputusan Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo No.29/ dan No.K/81 selalu menimbulkan multiintepretasi banyak pihak menyoal status tanah yang berada di Yogyakarta. Adapun wacana yang berkembang mengenai paradigma yang berkembang dalam memaknai hak asal-usul sendiri dimaknai hak yang berasal dari pengakuan sejarah bahwa semua tanah di Yogyakarta sendiri adalah milik kerajaan sebagai hak ulayat. Maka konteks tanah yang tidak bertuan atau tidak bisa dibuktikan legalitas hukumnya akan diakui sebagai tanah kerajaan. Sedangkan pemahaman sertifikasi hak milik sendiri dimaknai sebagai bentuk kepemilikan tanah melalui hak milik setelah menempati tanah tersebut selama 20 tahun. Kedua pemahaman tersebt setidaknya saling berivalitas selama ini sehingga sekiranya perlu dijernihkan pemaknaannya.
Adapun bagi Sultan Hamengkubuwono IX selaku integrator Yogyakarta memaknai dimensi keistimewaan hanya perihal suksesi kekuasaan dalam kepala daerah semata dengan tujuan eksistensi kraton dan pakualaman sebagai aset penjaga budaya tidaklah hilang sama sekali. Adapun mengenai peraturan pertanahan yang berada dalam substansi Perda No 5 Tahun 1954 diatur dalam status tanah keprabon dan tanah non keprabon. Artinya prinsip domeinverklairing 1918 yang termaktub dalam hak asal-usul sendiri lebih pada pengaturan tanah keprabon tersebut dan bukanlah merambah pula pada tanah keprabon tersebut. Namun kemudian makna hak asal-usul sendiri sering disalahtafsirkan sebagai pengakuan hak atas tanah yang dinilai belum dilegalkan dan tidak bertuan secara absolut menjadi milik kerajaan. Kondisi itulah yang seringkali menimbulkan adanya perasaan cemas jika adanya pengambilalihan oleh pemerintaha dengan mengatasnamakan kraton.
D. Multintepretasi atas “Hak Asal-Usul” dengan “Sertifikasi Hak Milik” dalam Dualisme Hukum Agraria di Yogyakarta Yang perlu untuk dijernihkan pertama kali mengenai kedua hal tersebut adalah status Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kawasan swapraja terleih dahulu. Status swapraja yang diberikan pada Yogyakarta pada dasarnya merupakan sebentuk kontral politik yang dilakukan oleh Hamengku Buwono IX dengan ubernur Jendral Tjarda van Sterkenborgh yang menghasilkan 59 pasal dan 16 ketentuan pokok, menghasilkan ketentuan tentang kekuasaan Sultan yang bersifat otonom dalam mengatur tanah miliknya sendiri (tanah Kasultanan/Sultan Ground). Makna swapraja yang ditekankan disini adalah perihal suksesi kekuasaan di Yogyakarta yang berlangsung secara turun-temurun. Adapun
Sedangkan yang dimaksudkan sertifikasi hak milik di Yogyakarta diatur dalam Kepres No. 33/1984, dan dilanjutkan dengan Perda DIY No. 5 Tahun 1984 menyebutkan bahwa UU Pokok Agraria sendiri mulai diberlakukan di Yogyakarta pada 1 April 1984. Dalam ketentuan perda tersebut disebutkan bahwa tanah-tanah kerajaan dapat disertifikasi hak milik oleh masyarakat jika sudah ditempati selama 20 tahun lebih, bahkan bisa dibeli dengan mengajukan konsensi pembelian kepada Panitikismo terlebih dahulu.9 Namun demikian, adanya praktik pembelian tanah secara besarbesaran atas tanah Sultan sendiri dinilai akan merugikan masyarakat kecil yang sudah menempati tanah kerajaan tersebut selama bertahun-tahun sehingga pada praktinya praktik UU Pokok Agraria sendiri belum diberlakukan dalam pengaturan tanah kerajaan. Namun dalam perkembangan berikutnya, manakala kraton dan pakualaman ditetapkan sebagai subjek hukum dalam UU No.13 Tahun 2012 dinilai menyebabkan kerancuan tersendiri. Rancunya ialah potensi konflik pemakaian Sultanaat Grond maupun penggusuran sepihak bisa dilakukan demi
Ibid, hlm. 14.
8
Ni'matul Huda, 2000, Beberapa Kendala dalam penyelesaian Status Tanah Bekas Swapraja di DIY, Jurnal Hukum, No. 13 Vol 7, hlm. 90-106.
30
9
Ahmad Nashih Lutfhi, Keistimewaan Yogyakarta : Yang diingat dan Yang dilupakan, (Yogyakarta: STPN Press, 2009), hlm. 165.
31
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34
kepentingan yang lebih besar. Sekali lagi hal tersebut menunjukkan adanya ambiguisme antara pemerintah dengan kerajaan dimana keberadaan tanah kerajaan sendiri masih dianggap sebagai persil ekonomi bagi kerajaan. Kondisi tersebut yang kemdian dimanfaatkan oleh para kerabat keratin dan pakualaman untuk berbisnis ekonomi dengan menggunakan tanah kraton dengan menyaru sebagai investor. Maka jika dirunut lebih mendalam lagi, dualisme hukum agraria di Yogyakarta lebih disebabkan adanya prinsip hukum yang dinilai masih mengambang dalam sistem agraria nasional. Pertama, terdapat dua paradigma hukum yang berlaku yakni Lex Specialis Derogat Legi Generalis dalam ketentuan pasal 32 UU No.13 Tahun 2012 tentang status kraton dan pakualaman dan Lex Superior Derogat Legi Inferiori dalam ketentuan Kepres No. 33/1984, dan dilanjutkan dengan Perda DIY No. 5 Tahun 1984. Dalam prinsip yang pertama, UU No 13 Tahun 2012 sendiri dapat dikatakan lex specialis karena adanya status keistimewaan bagi provinsi DIY sehingga diberikan kewenangan tersendiri tentang pembuatan sistem politik dan hukum salah satunya adalah pengaturan tanah dengan mengatasnamakan keistimewaan. Namun pada saat yang bersamaan, DIY sebagai bagian dari sistem NKRI juga diberlakukan UU Pokok Agraria melalui Keppres No. 3/1984 dimana Pemerintah DIY wajib menaatinya sebagai lex superior sehingga dalam peraturan sistem agraria di Yogyakarta. Pokok substansi yang mencolok dari UU PA ini adalah asas domeinverklairing yakni pemerintah provinsi atas nama pemerintah pusat bisa menganeksasi tanahtanah yang dinilai bermasalah dan tidak bisa dibuktikan secara legal. Pemerintah provinsi wajib melaksanakannya sebagai agen pemerintah pusat di daerah dengan mengimplementasikan UU Pokok Agraria tersebut. Hal inilah yang kemudian membuat posisi pemerintah DIY dalam upaya mengeksekusi tanah tak bertuan menjadi tidak jelas apakah bertindak atas pemerintah pusat ataukah kerajaan. Dari adanya ruang abu-abu itulah, komersialisasi tanah kraton maupun penyelewengan tanah kraton marak terjadi di Yogyakarta baik terselubung maupu legal-formal. Meskipun tanah non keprabon sendiri berstatus independen dari pengaturan kerajaan, namun bisa saja pemerintah provinsi melakukan pengaturan tanah tersebut dengan membonceng kepentingan pusat.
32
Politik Agraria Di Yogyakarta.....(Wasisto Raharjo Jati)
Selain halnya dualisme prinsip hukum yang mebuat posisi status tanah di Yogyakarta menjadi dalam posisi “ketidakpastian” dan “ketidakjelasan”. Masalah lainnya yang perlu dijernihkan adalah pola tumpang tindih dan maupun klaim sepihak. Hal inilah yang sekiranya membuat konflik antara pihak kraton/pakualaman dengan masyarakat perihal status tanah yang mereka tempati. Maka posisi pemerintah ataukah kerajaan menjadi kabur di sini dikarenakana tidak adanya posisi yang jelas antara dua entitas tersebut. Bagi pihak yang bersengkata dengan kraton terkait sengketa tanah kerajaan bisa mendalilkan pasal 7 dalam perda 5 tahun 1954 yang bisa melakukan sertifikasi hak milik jika sudah menempati 20 tahun atau dibeli dengan harga pantas. Sementara bagi pihak pemerintah/kraton, sengketa tersebut merupakan bagian dari upaya menghalang-halangi kraton dalam melakukan inventarisasi tanah maupun pemerintah dalam mengeksekusi tanah yang belum jelas statusnya tersebut. Tabel 1 Tahun Konflik Sengketa Tanah
Aktor yang Berkonflik 15 penghuni Asrama Gatitomo Tungkak dengan Kraton
2003
Konflik Sultanaat Grond
2006
Sengketa Pasir Besi di Pakualaman Grond
PPLP dengan Pemerintah dan Kraton/Pakualaman
2008
Penyelewengan dan komersialisasi Sultanaat Grond di Ambarrukmo
ahli waris Sultan Hamengku Buwono VII dengan pemerintah
2012
Konflik Hak Guna Sultanaat Grond
Lima warga Suryowijayan dengan Kraton/Pemerintah
2013
Konflik eksekusi tanah di bekas bioskop Indra
Ahli waris dengan Pemerintah
2013
Pembangunan Hotel Quest
Masyarakat dengan pemerintah / kraton
E.
Kesimpulan
Adanya dualisme dalam penerapan hukum agraria di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri telah membawa dampak pada ambiguitas dan ambivalensi terhadapa otoritas regulasi agraria daerah. Adapun ambiguitasnya terletak pada multintepretasi terhadap pemaknaan “hak asalusul” maupun “sertifikasi hak milik” dalam dualisme hukum agraria di Yogyakarta. Adanya hak asal-usul tersebut memberikan kewenangan bagi kraton untuk melakukan penataan dan menginventarisasi kembali tanah keprabon dan juga tanah non keprabon yang disinyalir dimiliki secara tidak sah. Sedangkan sertifikasi hak milik dimaknai sebagai bentuk demokratisasi agraria dengan memberikan sertifikasi hak milik tanah kepada masyarakat sesuai dengan agenda landreform UU Pokok Agrarai. Ambivalensi dilihat dari ketidakjelasan posisi pemerintah/kraton dalam sistem regulasi tanah di Yogyakarta. Sebagai bawahan pemerintah pusat, secara jelas pemerintah provinsi harus melaksanankan agenda reformasi agraria. Namun sebagai kraton, pemerintah dihadapkan pada konflik kepentingan mengingat banyaknya kepentingan baik internal kerabat maupun pebisnis yang menaruh bisnisnya ats tanah tersebut. Maka kondisi tersebut harus segera diakhiri dengan menetapkan satu hukum agraria saja yang berlaku di DIY dan membedakan dengan jelas antara pemerintah dengan kraton
supaya tidak ada lagi konflik kepentingan atas tanah-tanah tersebut. Daftar Pustaka Huda, Ni'matul. 2000, Beberapa Kendala dalam penyelesaian Status Tanah Bekas Swapraja di DIY. Jurnal Hukum. Kusumaningrum, Mungki. 2004. Status atas Hak Tanah Magersari di Yogyakarta. Tesis Pascasarjana UNDIP. Lutfhi, Ahmad Nashih. 2009. Keistimewaan Yogyakarta : Yang diingat dan Yang dilupakan, STPN Press, Yogyakarta. hlm. 165. Munsyariff, 2010. Kebijakan Pengaturan Pertanahan di Yogyakarta. Buletin BPN. Murniatmo, Gatot.1989. Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta, Depdikbud, Jakarta. hlm. 88. Saptomo, Ade. 2010. Hukum dan Kearifan Lokal, Grasindo, Jakarta. hlm.16. Sumardjono, Maria. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Penerbit KOMPAS, Jakarta. hlm. 165. Wiradi, Gunawan. 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa Dari Masa Ke Masa, Penerbit Obor, Jakarta. hlm.68.
Maka jika mencermati lebih lanjut mengenai tabulasi konflik tanah kerajaan yang berlangsung. Secara keseluruhan, konflik sendiri berlangsung dalam tiga ranah antara masyarakat, pemerintah, kraton sehingga sulit dibedakan mana yang benar mana yang salah. Dalam berbagai hal, masyarakat jelas berharap adanya sertifikasi hak milik bagi tanah yang dimilikinya agar terjadi kepastian hukum yang mententramkan hati penggunannya. Namun di sisi yang berlawanan, pemerintah jelas betindak dalam upaya pentertiban tanah sekaligus pula tetap menjaga sultanaat grond sebagai aset persil ekonomi bagi kerajaan.
33
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 25 - 34
OPTIMALISASI PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL (PROLEGNAS) SEBAGAI INSTRUMEN PERENCANAAN PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG (OPTIMALIZATION OF THE PREPARATION OF THE NATIONAL LEGISLATION PROGRAM (PROLEGNAS) AS A LAW-MAKING PLANNING INSTRUMENT) Arrista Trimaya Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Sekretariat Jenderal DPR-RI Jl. Jenderal Gatot subroto, Jakarta 10270, Indonesia Email:
[email protected] (Naskah diterima 06/01/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui.13/03/2014) Abstrak Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. Prolegnas adalah instrumen perencanaan penyusunan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi, sedangkan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Idealnya Prolegnas harus digunakan sebagai skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang disusun untuk jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Pada kenyataannya, penyusunan Prolegnas belum dijalankan secara optimal, baik oleh DPR maupun oleh Pemerintah. Banyak RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas hanya sekadar dicantumkan judulnya saja, tanpa disertai dengan Naskah Akademiknya, bahkan substansi RUU tersebut belum dipersiapkan. Akibatnya DPR dan Pemerintah sebagai pemrakarsa RUU sering tidak mampu menjawab alasan mengapa suatu RUU perlu dibentuk. Hal ini membuat banyak kalangan menilai bahwa Prolegnas belum dapat digunakan sebagai instrumen penyusunan Undang-Undang. Dengan demikian, penyusunan Prolegnas harus memuat justifikasi kebutuhan RUU secara nyata dan bukan hanya memuat judul RUU saja, berdasarkan beberapa indikator, yaitu: tolok ukur yang digunakan dalam penyusunan Prolegnas, koordinasi antara Pemerintah dan DPR dalam penyusunan dan penetapan Prolegnas, dan pengaruh politik hukum, khusunya politik perundang-undangan agar penyusunan prolegnas sebagai instrumen perencanaan penyusunan Undang-Undang dapat menjadi optimal. Kata kunci: Prolegnas, instrumen, Undang-Undang, optimal. Abstract Law-making planning is being exercise through Prolegnas. As an instrument for law-making planning, the Prolegnas is arranged according to the plan, as well as integrated and systematic in its nature. Initial preparation of the Prolegnas between the House of Representatives and the Government is coordinated by the House of Representatives through a House organ in charge with legislation. The preparation in the House of Representatives coordinated by Legislation Council (Baleg), while in the Government, it is being coordinated by the Ministry of Law and Human Rights of Republic of Indonesia. Ideally, the Prolegnas should serve as a priority in law-making for a forward looking on long, medium, and short terms national legal system. However, both the House of Representatives and the Government have failed to fully consider Prolegnas as a priority. There are some drafts in Prolegnas, listed only the title of the bill drafts, without any Academic Manuscript attachment, and worse, without proposed content of the bill. As a result, the House of Representatives and the Government as the initiator of the bill are often facing a problem of reasons behind a needed bill to be drafted. This is why some thoughts that Prolegnas can not deliver its function as an instrument for law-making planning. Therefore, the preparation of Prolegnas must justify the real need of any bills and not merely listing the title of the bills, based on several indicators, such as the benchmarks used in the preparation of Prolegnas, coordination between the Government and the House of Representatives in preparation of law-making and listed bills on Prolegnas, its legal and political influences, especially in legislative politics so that the preparation of the Prolegnas as an instrument for law-making would be at its best. Keywords: Prolegnas, instrument, bills, optimal.
34
35
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 35 - 44
A.
Pendahuluan
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebanyak 4 kali memberikan dampak yang sangat besar dalam sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan tersebut secara khusus telah menempatkan posisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang kekuasaan membentuk Undang-Undang, yang sebelumnya berada di tangan Presiden. Perubahan paradigma pemegang kekuasaan membentuk Undang-Undang pada dasarnya menguatkan posisi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, meskipun perubahan tersebut tidak menghapus keberadaan Presiden untuk turut membentuk Undang-Undang.1 Perubahan dalam sistem ketatanegaraan negara Republik Indonesia membawa konsekuensi bahwa DPR lebih proaktif dalam pembentukan Undang-Undang, walaupun dalam prosesnya tetap melibatkan Presiden melalui mekanisme pembahasan untuk mendapatkan persetujuan bersama.2 Atas dasar kekuasaan signifikan tersebut, DPR mempunyai fungsi legislasi, yaitu fungsi membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 69 huruf a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.3 Pembentukan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Pemerintah berpijak pada Prolegnas. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan4 mendefinisikan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Fokus utama Prolegnas tentu berkaitan juga dengan salah satu elemen dari hukum, yaitu materi/substansi hukum di dalam pembangunan sistem hukum yang mencakup empat unsur atau sub-sistem hukum yang satu sama lain saling terkait, yaitu: (1) materi atau substansi hukum; (2)
sarana atau kelembagaan hukum; (3) aparatur hukum; dan (4) budaya atau kesadaran hukum masyarakat. Perbedaan antara pengertian Prolegnas sebagai instrumen dan substansi tersebut penting untuk dikemukakan.5 Hal ini disebabkan selama ini pemahaman terhadap Prolegnas pada umumnya cenderung pada pengertian materi/substansi. Dengan demikian tidak mengherankan apabila ada sebagian orang yang menganggap bahwa sesungguhnya Prolegnas itu tidak penting karena hanya berupa “daftar keinginan” yang diajukan oleh Kementerian/LPNK, padahal sesungguhnya yang harus dikedepankan adalah kedudukannya sebagai instrumen/mekanisme yang merupakan bagian dari proses pembentukan peraturan perundangundangan. Hal ini secara jelas ditegaskan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 bahwa perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. Ketentuan mengenai Prolegnas juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Rancangan Peraturan Presiden. Secara garis besar dijelaskan bahwa dalam mempersiapkan Rancangan UndangUndang (RUU) yang datang dari Pemerintah, panitia antarkementerian dan pemrakarsa dapat mempersiapkan Naskah Akademik-nya terlebih dahulu. Dalam rapat antarkementerian, pemrakarsa dapat mengundang pakar, baik dari perguruan tinggi maupun pihak lainnya. Setelah RUU selesai dibahas, pemrakarsa diberikan kesempatan untuk mengadakan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi dimaksudkan sebagai perwujudan asas keterbukaan untuk mendapatkan masukan atas substansi RUU. Prosedur tersebut dalam praktiknya belum sepenuhnya dijalankan, baik oleh Pemerintah maupun oleh DPR. Hal inilah yang mengakibatkan penyusunan RUU tidak optimal. Banyak judul RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas hanya sekedar dicantumkan judulnya saja, tanpa disertai dengan Naskah Akademik,6 bahkan substansi RUU tersebut belum dipersiapkan. Pemrakarsa RUU sering tidak
1 Pataniari Siahaan, 2008. Membangun Kerangka Politik Perundang-undangan Yang Jelas dan Terarah Melalui Program Legislasi Nasional, Proceeding Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional, Baleg DPR RI, Jakarta, hlm. 71. 2
Ibid, hlm 72.
3
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043.
4
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
5
Ibid.
6
Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa materi yang diatur dalam Prolegnas yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.
36
Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional.....(Arrista Trimaya)
mampu menjawab alasan mengapa suatu RUU perlu dibentuk sehingga banyak kalangan menilai Prolegnas hanya merupakan kumpulan daftar judul RUU tanpa ada patokan yang jelas, baik dari Pemerintah maupun DPR dalam menentukan RUU yang menjadi prioritas. Daftar judul RUU yang telah ditetapkan dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2013 adalah 70 (tujuh puluh) RUU ditambah 5 (lima) RUU kumulatif terbuka.7 Dari 75 daftar RUU yang telah ditetapkan, terdapat judul RUU yang mempunyai kemiripan substansi atau kedekatan substansi. Hal ini terjadi karena tidak ada paparan atau keterangan singkat mengenai masing-masing substansi yang ingin diatur dalam setiap Rancangan Undang-Undang yang ada dalam Daftar Rancangan Undang-Undang Prolegnas 2013, antara lain: a.
substansi pada judul Rancangan UndangUndang tentang Keperawatan seharusnya dapat masuk dalam Rancangan UndangUndang tentang Tenaga Kesehatan; dan
b.
substansi pada judul Rancangan UndangUndang tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Rancangan UndangUndang tentang Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan seharusnya dapat digabungkan dalam satu judul karena substansi yang tercermin dari kedua judul tersebut saling berkaitan.
Judul RUU yang mempunyai kemiripan substansi atau kedekatan substansi tersebut dapat menimbulkan masalah dan akan membingungkan, terutama bagi pembentuk RUU terkait dengan ruang lingkup pengaturan dan materi muatan yang akan diatur.8 Hal ini menunjukkan proses penyusunan Prolegnas masih membuka peluang terjadinya ketidaktelitian. Dengan demikian menjadi sangat penting apabila penyusunan Prolegnas tahun yang akan datang tidak memuat judul RUU saja, tetapi juga mencantumkan ringkasan need analysis atau justifikasi kebutuhan RUU, sehingga duplikasi dapat dihindarkan.9
B.
Latar Belakang Masalah
Untuk menyusun suatu Prolegnas yang memuat justifikasi kebutuhan RUU secara nyata dan bukan hanya memuat judul RUU saja, harus dicantumkan suatu kajian yang memuat ringkasan kebutuhan tersebut berdasarkan beberapa indikator. Beberapa indikator yang dapat digunakan yaitu: apa saja tolok ukur yang digunakan dalam penyusunan Prolegnas? Bagaimana koordinasi antara Pemerintah dan DPR dalam penyusunan dan penetapan Prolegnas agar dapat berfungsi optimal sebagai instrumen perencanaan pembentukan Undang-Undang? dan apakah ada pengaruh politik hukum, khususnya politik perundang-undangan dalam penyusunan Prolegnas.
C.
Kerangka Teoritis
Hukum yang berisi norma-norma dan aturanaturan jika ingin ditaati oleh berbagai kepentingan harus dapat diimplementasikan dalam hukum positif yang berlaku dan harus direalisasikan di lapangan. Aktualisasi dari hukum positif tersebut tertuang dalam peraturan tertulis yang mengakomodasikan kepentingan para pihak terkait agar dapat memaksimalkan manfat yang akan diperoleh masyarakat. Khusus untuk UndangUndang, penuangannya dilakukan dalam bentuk legislasi, dimana legislasi adalah suatu proses pembentukan undang-undang (lege
7 Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 04/DPR RI/II/2012-2013 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2013. 8 Suhariyono AR.,2007. Peningkatan Kualitas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia Vol.4 No.2, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, hlm. 36. 9
Ahmad Yani, 2011. Pasang Surut Kinerja Legislasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 104.
10
Soetandyo Wignjosoebroto, 2008. Program Legislasi Nasional dan Kebutuhan Rakyat, Proceeding Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional, Baleg DPR RI, 21-22 Mei, Jakarta, hlm.86.
37
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 35 - 44
teraktualisasinya fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering), instrumen penyelesaian masalah (dispute resolution), dan instrumen pengatur perilaku masyarakat (social control).11
dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional; c.
menyelenggarakan sinergi antara lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundangundangan di tingkat pusat;
d.
mempercepat proses pembentukan perundang-undangan sebagai bagian dari pembentukan sistem hukum nasional;
D. Pembahasan D.1.Tolok Ukur Dalam Penyusunan Prolegnas Pembentukan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Pemerintah berpijak pada Prolegnas. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa perencanaan program pembentukan Undang-Undang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis diatur dalam Prolegnas. Lebih lanjut ketentuan Pasal 18 menyatakan bahwa dalam penyusunan Prolegnas tersebut penyusunan daftar RUU didasarkan atas: a.
perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
perintah Undang-Undang lainnya;
d.
sistem perencanaan pembangunan nasional;
e.
rencana pembangunan nasional;
f.
rencana pembangunan jangka menengah;
g.
rencana kerja Pemerintah dan rencana strategis DPR; dan
h.
aspirasi kebutuhan hukum masyarakat.
jangka
Sedangkan maksud dan tujuan penyusunan Prolegnas yaitu:
b.
f.
g.
panjang
Penyusunan Prolegnas didasarkan pada visi pembangunan nasional, yaitu terwujudnya Negara hukum yang adil dan demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang aspiratif.
a.
e.
memberikan gambaran obyektif tentang kondisi umum di bidang peraturan perundangundangan tingkat pusat; menyusun skala prioritas penyusunan RUU sebagai suatu program yang berkesinambungan dan terpadu sebagai pedoman bersama dalam pembentukan Undang-Undang oleh lembaga yang berwenang
h.
membentuk peraturan perundang-undangan sebagai landasan dan perekat bidang pembangunan lainnya, serta mengaktualisasikan fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial/pembangunan, instrumen pencegah/penyelesaian sengketa, pengatur perilaku anggota masyarakat dan sarana pengintegrasian bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia; mendukung upaya dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, terutama penggantian terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat; menyempurnakan peraturan perundangundangan yang sudah ada selama ini namun tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat; serta membentuk peraturan perundang-undangan baru sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.12
Pelaksanaan Prolegnas sampai dengan tahun 2009-2014 belum menunjukkan hasil pembangunan hukum yang sesuai dengan harapan dan rasa keadilan masyarakat. Hukum belum secara sungguh-sungguh memihak kepada kepentingan rakyat dan hukum yang berlaku masih belum dapat mengimplementasikan nilai-nilai atau norma-norma yang hidup di dalam masyarakat, padahal sudah ada penentuan skala priotas dalam Prolegnas. Dalam menyusun Prolegnas khususnya di DPR yang dikoordinasikan oleh Baleg memang sudah beberapa kali dilakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) guna menerima masukan dari masyarakat. 1 3 Meskipun demikian sesungguhnya usaha tersebut jauh dari maksimal. Partisipasi masyarakat dalam penyusunan Prolegnas seharusnya lebih dari sekedar RDPU,
11
Jurnal Legislasi Indonesia, 2005. Program Legislasi Nasional, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI,, Vol. 2, Nomor. 1-Maret, hlm. iii. 12 13
38
Proceeding Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional, 2008. Baleg DPR RI, Jakarta, hlm. 4. Ketentuan mengenai RDPU diatur dalam Pasal 137 ayat (2) Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional.....(Arrista Trimaya)
mengingat jika hanya melalui RDPU, batas waktu yang diberikan bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan sangat pendek. Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kualitas masukan/saran yang diberikan oleh masyarakat kepada Baleg. Prolegnas merupakan proses penting dalam perencanaan penyusunan Undang-Undang. Sebagai perangkat pengaturan legal–formal dalam kehidupan bernegara, Undang-Undang seharusnya dapat merespon kebutuhan masyarakat yang mendesak. Terlebih lagi dalam konteks perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tengah dilakukan di Indonesia. Undang-Undang seharusnya dapat secara jeli membidik persoalanpersoalan penting dalam masyarakat. Dalam konteks ini, prioritas penyusunan Undang-Undang menjadi hal yang strategis. Tidak adanya prioritas yang jelas sejak awal akan membuat UndangUndang yang penting justru hanya mendapatkan porsi waktu yang sedikit sehingga kualitas substansinya menurun untuk tetap dapat mengakomodasi aspirasi daerah. Di samping itu, ketentuan Perpres Nomor 68 Tahun 2005 harus benar-benar dijalankan, yaitu bahwa pengajuan Prolegnas jangan hanya juduljudul saja, tapi juga harus dilengkapi dengan NA sebagai landasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini dikuatkan dengan ketentuan Pasal 43 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa RUU yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. Kemudian, jika dalam keadaan tertentu Pemerintah akan mengajukan usul RUU di luar Prolegnas, maka terlebih dahulu harus mengajukan izin prakarsa kepada Presiden, dengan disertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU yang meliputi: a.
urgensi dan tujuan penyusunan;
b.
sasaran yang ingin diwujudkan;
c.
pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan
d.
jangkauan serta arah pengaturan.14
Sedangkan keadaan tertentu yang dimaksud adalah: 14
Pasal 3 ayat (1) Perpres Nomor 68 Tahun 2005.
15
Pasal 3 ayat (2) Perpres Nomor 68 Tahun 2005.
a.
untuk menetapkan Perpu menjadi UndangUndang;
b.
untuk meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional;
c.
untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi;
d.
untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan
e.
keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Baleg DPR dan Menteri.15
D.2.Koordinasi antara Pemerintah dan DPR dalam Penyusunan Prolegnas Sampai saat ini beberapa prosedur penyusunan Prolegnas belum efektif berlaku. Hal ini disebabkan karena: a.
penyusunan peraturan perundang-undangan masih mengabaikan pentingnya kegiatan koordinasi lintas atau antar-lembaga;
b.
sinkronisasi, harmonisasi seluruh peraturan perundang-undangan untuk membuka akses dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembentukan Undang-Undang; dan
c.
kurangnya sosialisasi produk perundangundangan yang terbentuk dan telah diundangkan.16
Berkaitan dengan harmonisasi masih terdapat permasalahan khusus, misalnya pengharmonisasian dalam kerangka penyusunan Prolegnas sampai saat ini belum berjalan dan belum terkonsepsi dengan jelas. Forum konsultasi sebagai media pengharmonisasian RUU pada saat ini dilaksanakan dalam bentuk rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas yang cenderung hanya menyusun daftar prioritas Prolegnas.17 Di samping itu, terdapat permasalahan lain yang sering timbul dalam penyusunan Prolegnas, yaitu tidak semua RUU diajukan instansi pemrakarsa melalui satu pintu, yaitu melalui Menteri Hukum dan HAM. Terdapat beberapa RUU yang tiba-tiba sampai ke DPR; sebagian RUU adalah non-Prolegnas bahkan berhasil disahkan oleh DPR. Setiap tahun terjadinya penambahan RUU prioritas
16 Penulis turut menjadi tim pendamping dalam pembahasan Perubahan RUU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan mendasarkan pada Risalah Pembahasan RUU dimaksud yang telah dibukukan oleh Sekretariat Jenderal DPR RI dalam Buku Proses Pembahasan Perubahan RUU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 17 Chairijah, 2008. Peran Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional. Disampaikan pada Diklat Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, hlm 5.
39
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 35 - 44
dari jumlah yang telah ditetapkan. Untuk keadaan tertentu sebagaimana ditentukan oleh Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 hal ini diperbolehkan, misalnya untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam, dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui DPR dan pemerintah. Permasalahan lainnya adalah penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah seringkali tidak didukung oleh kelengkapan data pokok program pengajuan RUU maupun data pendukung dari Kementerian/LPNK yang mengajukan program RUU-nya sehingga berakibat kurangnya akurasi dalam pengelolaannya. Intinya, koordinasi dan konsultasi penyusunan Prolegnas antara Badan Legislasi dan Menteri Hukum dan HAM merupakan suatu forum untuk membicarakan pembangunan hukum dalam kurun waktu tertentu. Pada kenyataannya, koordinasi dan konsultasi ini masih bersifat menggabungkan antara RUU dari DPR dan RUU dari Pemerintah. Dalam hal ini kondisi yang dihadapi adalah adanya kesulitan untuk menentukan alasan mengapa suatu RUU masuk ke dalam Prolegnas. Kesulitan yang paling tampak dalam koordinasi penyusunan Prolegnas adalah menetapkan urutan prioritas RUU untuk satu tahun. Penataan Prolegnas berdasarkan urutan akan mengalami kesulitan, pertama, terkait dengan indikator yang akan digunakan dan, kedua, berhubungan dengan implementasi program.18 Dengan demikian dalam menetukan prioritas RUU salah satu indikator yang digunakan adalah bahwa RUU tersebut sudah tersusun draf RUU-nya dan sudah dilengkapi dengan Naskah Akademiknya. Sistem dan prosedur semakin penting sebagai pedoman penyusunan Prolegnas dan penyusunan RUU, baik di lingkungan DPR maupun Pemerintah, yang memuat tahapan penyiapan dan penyusunan Prolegnas dan RUU, mulai dari kegiatan inventarisasi, pengumpulan data, penyusunan draf Prolegnas atau Naskah Akademik RUU, sampai pada penetapan Prolegnas atau perumusan naskah awal RUU.19
Menurut penelitian yang dilakukan PSHK, proses penentuan prioritas input penyusunan Prolegnas lebih banyak diwarnai oleh daftar kriteria topik tanpa penjelasan mengenai masalah yang ada, signifikansi dan urgensi, pokok-pokok pengaturan, dan ruang lingkup peraturan. Prosedurnya pun biasanya berupa pengumpulan daftar usulan tanpa pembahasan. Akibatnya seringkali daftar UndangUndang dalam Prolegnas tidak mempunyai visi, yaitu ke arah mana negara mau dibawa dalam konteks pembentukan peraturan perundangundangan. Padahal visi dalam pembentukan Undang-Undang merupakan hal penting karena kebanyakan perubahan sistemik dalam masa transisi dilakukan melalui Undang-Undang.20 Dengan demikian untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, mutlak diperlukan koordinasi antara DPR dan Pemerintah dalam penyusunan dan penetapan Prolegnas, khususnya dalam penentuan RUU skala prioritas. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pengaturan materi muatan dari judul-judul RUU yang sudah diajukan dalam Prolegnas. Penyusunan Prolegnas oleh DPR dan Pemerintah harus dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan sistematis yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh DPR melalui Baleg sehingga Prolegnas dapat berfungsi optimal sebagai instrumen perencanaan pembentukan Undang-Undang.21 D.3.Pengaruh Politik Hukum dalam Penyusunan Prolegnas Di masa orde baru, proses legislasi dijauhkan dari masyarakat. Partisipasi tidak dikenal dalam istilah penyusunan peraturan perundangundangan. Elite politik mendominasi proses legislasi. Masyarakat diposisikan sebagai obyek pembangunan, bukan pelaku perubahan sosial. Hukum juga digunakan sebagai alat untuk melakukan rekayasa sosial (law as a tool of social engineering),22 suatu perubahan sosial yang dirancang penguasa untuk mencapai target pembangunannya. Ketika hukum menjadi alat rekayasa sosial, peraturan pun dilihat sebagai alat untuk membentuk perubahan sosial tertentu yang diinginkan penguasa.
18 Muhammad A.S Hikam, 2005. Pembentukan Undang-Undang Berdasarkan Program legislasi Nasional, dalam Jurnal Legislasi Indonesia: Program Legislasi Nasional, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI,), Nomor 1 Vol. 2, Jakarta, hlm. 28. 19
Ibid.
20
Masukan PSHK Untuk Badan Legislasi DPR Dalam Penyusunan Program Legislasi Nasional, disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Badan Legislasi DPR, November, 2004. 21 22
Pasal 2 Perpres Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.
Teori ini dikemukakan oleh Roscoe Pound,seorang ahli Sosiologi hukum, menurutnya hukum merupakan alat dan sarana untuk merekayasa tertib kehidupan dalam masyarakat.
40
Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional.....(Arrista Trimaya)
Perancangan peraturan atau proses legislasi mau tidak mau bertumpu pada visi pemegang kekuasaan negara, bahkan mencari dan mempertahankan kekuasaan pun menjadi persoalan. Ini mewarnai proses legislasi dan menjadikannya sebagai politik legislasi. Artinya cara-cara pembentukan peraturan dengan sengaja dipilih oleh penguasa. Cara-cara tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan oleh penguasa. Akibatnya, peraturan bisa diarahkan pada tujuan-tujuan tertentu. Keadaan tersebut masih berlangsung sampai era reformasi ini. Dalam penyusunan Prolegnas, kerapkali dijumpai intervensi dalam penyusunan dan pembuatan Undang-Undang dari segi politik. Banyak RUU yang kental dengan muatan politik lebih diutamakan untuk dibahas daripada RUU yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Misalnya, saat pembahasan RUU Pemilu dan RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, lebih banyak diminati oleh ”wakil rakyat” daripada saat pembahasan RUU di bidang kesejahteraan rakyat. Hal ini disebabkan dalam dua RUU tersebut banyak kepentingan ”yang bermain” untuk mengatasnamakan partai politiknya. Disini jelas terlihat bahwa hukum sebagai produk politik, dalam arti Undang-Undang yang dihasilkan nantinya merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan.23 Namun demikian, memang dibenarkan jika politik dapat melakukan intervensi terhadap pembentukan dan pelaksanaan hukum sebab hukum bukanlah merupakan suatu subsistem yang steril dari subsistem-subsistem kemasyarakatan lainnya. Khusus untuk politik legislasi berkisar antara lain pada: a.
sasaran pengaturan;
b.
peran elite politik;
c.
peran masyarakat;
d.
posisi perancang; dan
e.
metode perancangan peraturan.24
Sebagian besar kehidupan sosial-ekonomi rakyat semakin berkembang. Keadaan ini juga 23
menciptakan kebutuhan akan legislasi. Hukum diperlukan untuk mengambil tindakan apapun yang mempengaruhi orang, badan, properti, atau hak. Namun selain fungsi legislasi, fungsi lain juga diperlukan, seperti melangsungkan debat pada permasalahan-permasalahan kepentingan nasional, mendiskusikan anggaran, ventilasi kepentingan publik, dan lain-lain.25 Untuk meminimalisir intervensi politik dalam produk legislasi yang dihasilkan, sangat diperlukan konfigurasi politik demokratis, di mana dalam susunan sistem politik membuka kesempatan bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik.26 Konsep participary governance juga dapat diterapkan dalam penyusunan Prolegnas yang aspiratif. Masyarakat tidak semestinya berdiam diri dan mengeluhkan pemerintahan yang tidak peduli pada persoalan masyarakat. Masyarakat mempunyai hak dan kewajiban untuk menyampaikan pesan pada Pemerintah tentang kebutuhannya, serta bagaimana Pemerintah seharusnya memenuhi kebutuhan mereka tersebut, lewat kebijakan yang diambil. Partisipasi bertujuan memastikan keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan. Meningkatkan partisipasi akan membantu memastikan bahwa kepentingan masyarakat dapat lebih besar terpenuhi dan dapat menghasilkan titik temu antara kepentingan tersebut dengan solusi yang diambil, yang pada akhirnya meningkatkan kepuasan banyak pihak akan suatu kebijakan.27
E.
Kesimpulan
1.
Prolegnas harus disusun dengan tolak ukur kebutuhan riil masyarakat dan harus sungguh-sungguh memihak kepada kepentingan rakyat pada umumnya. DPR dan Pemerintah harus mempunyai jangkauan ke
Satya Arinanto, 2007. Hukum Sebagai Produk Politik dan Politik Hukum. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.4.
24
Rival Gulam Ahmad, Bivitri Susanti, et.al. 2007. Jurus Merancang Peraturan Untuk Transformasi Sosial: Sebuah Manual Untuk Praktisi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta, hlm. 21. 25 M.P. Jain, Administrative Law Of Malaysia and Singapore, 1989. Kuala Lumpur: Malayan Law Jurnal Pte. Ltd, dalam Satya Arinanto,2008. Politik Hukum 3, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.19. 26
Satya Arinanto, Op.Cit., hlm. 6.
27
Derick W. Brinkerhoff dan Benjamin L. Crosby, Managing Policy Reform, Concepts, and Tools for Decision Makers in Developing and Trasitioning Countries, 2002. Kumarian Press Inc., California, hlm. 55 dalam Bivitri Susanti, Rival Ghulam Ahmad, et.al., 2006. Catatan PSHK tentang Kinerja Legislasi DPR 2005, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta, hlm. 59.
41
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 35 - 44
depan (visioner) dalam pembuatan RUU, maksudnya RUU yang disusun sedapat mungkin akan mengimplementasikan nilainilai atau norma-norma yang hidup di dalam masyarakat serta mengakomodir permasalahan di masyarakat. Dalam pengajuan Prolegnas juga harus dilengkapi dengan NA sebagai landasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatkan bahwa RUU yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. 2.
3.
Koordinasi antara DPR dan Pemerintah dalam penyusunan dan penetapan Prolegnas mutlak diperlukan, khususnya dalam penentuan RUU skala prioritas. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pengaturan materi muatan dari judul-judul RUU yang sudah diajukan dalam Prolegnas. Penyusunan Prolegnas oleh DPR dan Pemerintah harus dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan sistematis yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh DPR melalui Baleg sehingga Prolegnas dapat berfungsi optimal sebagai instrumen perencanaan pembentukan Undang-Undang. Pengaruh politik hukum, khusunya politik perundang-undangan dalam penyusunan Prolegnas, masih sangat kuat terutama dalam penyusunan dan pembahasan RUU yang kental dengan muatan politis. Namun, untuk meminimalisir intervensi politik dalam produk legislasi yang dihasilkan, sangat diperlukan partisipasi rakyat dalam penyusunan Prolegnas agar RUU yang dihasilkan dapat optimal untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Daftar Pustaka
Buku
Susanti, Bivitri. Rival Ghulam Ahmad, et.al. 2006. Catatan PSHK tentang Kinerja Legislasi DPR 2005. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. Wignjosoebroto, Soetandyo. 2002. Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Elsam dan Huma. Yani, Ahmad. 2011. Pasang Surut Kinerja Legislasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Artikel AR, Suhariyono. 2007. Peningkatan Kualitas Pembentukan Peraturan Perundangundangan di Indonesia. Jurnal Legislasi Indonesia Vol.4 No.2, Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Hikam, A.S Muhammad. 2005. Pembentukan Undang-Undang Berdasarkan Program legislasi Nasional, dalam Jurnal Legislasi Indonesia: Program Legislasi Nasional. Vol. 2, Nomor. 1-Maret, Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI. Oka Mahendra, A.A. 2005. Program Legislasi Nasional Instrumen Perencanaan Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, dalam Jurnal Legislasi Indonesia: Program Legislasi Nasional, Vol. 2, Nomor. 1Maret, Jakarta: Dierktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI.
Thaib, Dahlan. 2008. Membangun Kualitas Produk Legislasi Nasional dan Daerah. Proceeding Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta: Baleg DPR RI.
Arinanto, Satya. 2008. Politik Hukum 1. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2008. Program Legislasi Nasional dan Kebutuhan Rakyat. Proceeding Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta: Baleg DPR RI.
42
Sumber Lain Yang Tidak Diterbitkan Arinanto, Satya. 2008. Hukum Sebagai Produk Politik dan Politik Hukum. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Chairijah. 2008. Peran Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional. Disampaikan pada Diklat Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundangundangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta. Peraturan Dasar dan Peraturan Perundangundangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043.
______Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan., Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234. ______Peraturan Presiden tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional. Perpres Nomor 61 Tahun 2005. ______Peraturan Presiden tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Rancangan Peraturan Presiden. Perpres Nomor 68 Tahun 2005. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Keputusan DPR tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2013. Keputusan DPR Nomor: 04/DPR RI/II/2012-2013, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Keputusan DPR tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Keputusan DPR Nomor 08/DPR RI/I/2005-2006, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI.
Siahaan, Pataniari. 2008. Membangun Kerangka Politik Perundang-undangan Yang Jelas dan Terarah Melalui Program Legislasi Nasional. Proceeding Workshop dan FGD Prolegnas Sebagai Politik Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta: Baleg DPR RI.
Ahmad, Rival Gulam. Bivitri Susanti, et.al. 2007. Jurus Merancang Peraturan Untuk Transformasi Sosial: Sebuah Manual Untuk Praktisi. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan,
Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009. Evaluasi Prolegnas 2005-2009. Jakarta: Badan Legislasi DPR Republik Inndonesia.
Optimalisasi Penyusunan Program Legislasi Nasional.....(Arrista Trimaya)
43
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 35 - 44
MENDORONG LAHIRNYA PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DI KOTA MEDAN (ENCOURAGING THE BIRTH OF THE LOCAL REGULATION ON RETRIBUTION FEES RENEWAL LICENSE FOR HIRING FOREIGN WORKERS AT MEDAN CITY) Budi S.P Nababan Fungsional Perancang Pertama Peraturan Perundang-undangan pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara Jl. Putri Hijau No. 4, Medan 20112, Indonesia, Telp. 0813-61459795 Email :
[email protected] (Naskah diterima 27/01/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014) Abstrak Globalisasi telah mempengaruhi situasi tenaga kerja, salah satunya adalah fenomena tenaga kerja asing. Kehadiran tenaga kerja asing merupakan tambang emas bagi pendapatan asli daerah. Berdasarkan ketetentuan Pasal 150 huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 20l2 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing, Pemerintah Daerah dapat memungut retribusi perpanjangan izin mempekerjakan tenaga kerja asing. Namun sampai saat ini Kota Medan belum memiliki Peraturan Daerah (perda) tentang Retribusi Perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sehingga terhadap tenaga kerja asing tidak dapat dipungut retribusi perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing. Dengan demikian jelas bahwa Perda tentang Retribusi Perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing conditio sine quanon bagi pemungutan retribusi perpanjangan lzin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kota Medan. Kata kunci: Tenaga Kerja Asing, Retribusi, Peraturan Daerah.
Abstract Globalization has affected the work force condition. One of the conditions is the foreign workers phenomenon. The attendance of foreign workers is a gold mine for local revenue. Based on Article 150 letter c of Law Number 28 of 2009 on Regional Tax and Regional Retribution as well as Article 15 paragraph (2) of Government Regulation Number 97 of 20l2 on Fees and Levies Traffic Control Extension License for Hiring Foreign Workers. Local Government can collect renewal license retribution for foreign workers. But until now Medan City does not have Local Regulations (Perda) on Fees Renewal License for Hiring Foreign Workers, so that the foreign workers are free from retribution renewal. It is clear that the Local Regulation on Fees Renewal License for Hiring Foreign Workers is a (conditio sine quanon) for license renewal retribution collecting for hiring foreign workers in Medan City. Keywords: Foreign Workers, Retribution, Local Regulation.
A.
Pendahuluan
Secara harafiah globalisasi berarti proses transformasi dari fenomena lokal menuju ke arah global. Globalisasi telah mengubah masyarakat dan jika masyarakat berubah, hukum pun akan ikut berubah sesuai dengan adagium ibi societas ibi ius. Salah satu wujud nyata dari globalisasi adalah terjadinya pergerakan aliran modal dan investasi ke
berbagai penjuru dunia, terjadi pula migrasi penduduk atau pergerakan tenaga kerja antar negara. Pergerakan tenaga kerja antar negara ini dikenal dengan globalisasi tenaga kerja.1 Globalisasi tenaga kerja telah mempengaruhi situasi keterampilan dan pengetahuan tenaga kerja di Indonesia.2 Di Indonesia kehadiran pekerja asing sebagai suatu kebutuhan sekaligus tantangan yang
1 Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 27 No. 4, 2008, hlm 64. 2 Dionisius Narjoko, Policy Brief: Akibat Globalisasi Terhadap Kinerja Tenaga Kerja Pengalaman dari Sektor Tekstil dan Garmen Indonesia. http://www.dlsu.edu.ph/research/centers/aki/_pdf/_onGoingProjects/_indonesia/pbEmployment Drivers.pdf, diakses 27 Desember 2013.
44
45
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 45 - 54
tidak dapat dihindari lagi, karena negara kita membutuhkan tenaga asing pada berbagai sektor.3 Tenaga kerja asing (selanjutnya disingkat TKA) sudah menjadi fenomena yang lumrah sebagai bagian dari tenaga kerja di Indonesia. Pada akhir tahun 2005 tercatat sebanyak 50.903 TKA yang bekerja di Indonesia. Jumlah ini meningkat dibandingkan pada tahun 2004 yang berjumlah 43.091 orang. Sebagian besar TKA tersebut bekerja di sektor industri yaitu 13.212 orang (25,95 %), sektor perdagangan sebanyak 9.817 orang (19,28 %) dan paling sedikit di sektor pertanian sebanyak 1.103 orang (2,17 %). Selanjutnya jumlah TKA atau ekspatriat yang bekerja di Indonesia per Januari hingga Agustus 2013 sebanyak 48.002 orang.4 Kehadiran TKA dalam perekonomian nasional suatu negara mampu menciptakan kompetisi yang bermuara pada efisiensi dan meningkatkan daya saing perekonomian. Dipandang dari filosofis dan spirit globalisasi, pada negara berkembang penggunaan TKA dimaksudkan untuk alih pengetahuan (transfer of knowledge) dan alih teknologi (transfer of technology).5 Dalam menggunakan TKA, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) mensyaratkan pemberi kerja TKA untuk mendapatkan izin tertulis dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau Pejabat yang ditunjuk yaitu izin memperkerjakan tenaga kerja asing yang dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (selanjutnya disingkat IMTA) ini sebenarnya merupakan tambang emas bagi Pemerintah Daerah. Retribusi Perpanjangan IMTA merupakan salah satu retribusi yang diperbolehkan Pemerintah Pusat untuk dipungut oleh Pemerintah Daerah dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Daerahnya. Sebagai bagian dari negara hukum, tentunya segala kebijakan dan tindakan Pemerintah Kota Medan harus berdasarkan aturan hukum. Hal ini menjadi syarat mutlak untuk memungut pajak
maupun retribusi dari masyarakat, karena pemungutan pajak dan retribusi tanpa didasari aturan hukum merupakan perampokan. Di Amerika Serikat dikenal dengan dalil “Taxation Without Representation Is Robbery” sedangkan di Inggris dikenal dengan dalil “No Taxation Without Representation”. Kedua dalil tersebut memiliki esensi yang sama dengan kandungan Pasal 23A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara harus diatur dengan undang-undang”. Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 23A konstitusi ini, tanpa adanya pengaturan (regeling) tidak ada landasan yuridis bagi Pemerintah untuk memungut pajak ataupun retribusi. Cukup banyak orang asing yang bekerja di Kota Medan,6 namun sayangnya sampai sekarang Kota Medan belum memiliki peraturan daerah sebagai dasar hukum dalam pemungutan retribusi perpanjangan IMTA. Padahal keberadaan para TKA tersebut mampu memberikan kontribusi bagi kas daerah Kota Medan. Oleh karena itu penulis mencoba mengkaji mengapa diperlukan Peraturan Daerah Tentang Retribusi Perpanjangan IMTA di Kota Medan. Dalam hal ini penulis mengkajinya secara yuridis normatif yang didasarkan pada sumber kepustakaan mengenai penggunaan tenaga kerja asing, pengaturan hukum terhadap tenaga kerja asing, serta retribusi daerah.
B.
Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah.....(Budi S.P Nababan)
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, saat ini komposisi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah adalah sebanyak 49% maksimal diisi oleh TKA, sisanya 51% diisi oleh TKI.8 Tujuan penggunaan TKA adalah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil dan profesional di bidang tertentu yang belum dapat diisi oleh tenaga kerja Indonesia serta mempercepat proses pembangunan nasional dengan jalan mempercepat alih ilmu pengetahuan dan tekonologi dan meningkatkan investasi asing sebagai penunjang pembangunan di Indonesia.9 Oleh karena itu, pada prinsipnya ada 2 (dua) alasan utama mempekerjakan TKA, yakni: a.
b.
TKA yang akan dipekerjakan harus memiliki keahlian (skill) atau wawasan pada bidang tertentu yang belum dipunya atau dikuasai oleh tenaga kerja Indonesia sehingga diharapkan terjadinya alih pengetahuan (transfer of knowledge) dan alih teknologi (transfer of technology).
Dalam penempatan TKA di Indonesia, beberapa yang penting yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut: a.
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan TKA adalah warga Negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. TKA di Indonesia dibatasi dan sangat selektif penggunaan. Hal ini dimaksudkan dalam rangka mendayagunakan tenaga kerja Indonesia secara optimal serta memberikan kesempatan kerja yang lebih luas bagi tenaga kerja Indonesia.7 Menurut Sunarno, Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga di
TKA yang bersangkutan membawa modal (sebagai investor) dalam rangka membuka lapangan pekerjaan atau kesempatan kerja yang lebih luas;
Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk, kecuali bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler tidak wajib memiliki izin.
b.
Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.
c.
Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
d.
Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri.10 Untuk mendapatkan izin penggunaan TKA,
perusahaan pengguna TKA harus membuat lebih dulu Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang dibuat oleh Pemberi Kerja TKA (kecuali Instansi Pemerintah, BadanBadan Internasional dan Perwakilan Negara Asing) untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Dengan kata lain RPTKA merupakan dasar untuk mendapatkan izin mempekerjakan tenaga kerja asing. RPTKA ini sekurang-kurangnya memuat alasan penggunaan, jabatan TKA, jangka waktu penggunaan, dan penunjukkan tenaga kerja pendamping.
C.
Pengaturan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Asing
Ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan, pengaturan mengenai TKA pada dasarnya adalah untuk menjamin dan memberi kesempatan kerja yang layak bagi warga negara Indonesia di berbagai lapangan dan level pekerjaan. Karenanya dalam mempekerjakan TKA di Indonesia dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang ketat dimulai dengan seleksi dan prosedur perizinan hingga pengawasan. Sampai dengan sekarang pengaturan hukum tentang TKA masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut yang masih relevan antara lain: a.
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Bab VIII menyangkut penggunaan TKA;
b.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
c.
Keputusan Presiden Nomor 75 tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang;
d.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: 223/Men/2003 tentang Jabatan-Jabatan Di Lembaga Pendidikan Yang Dikecualikan Dari Kewajiban Membayar Kompensasi;
3
Situasi Tenaga Kerja Dan Kesempatan Tenaga Kerja Di Indonesia, Jakarta 2006, Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan Badan Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I. 4
Tahun 2013 Jumlah Pekerja Asing Di Indonesia Menurun. http://www.m.tribunnews.com, diakses tanggal 20 Januari 2014.
5 Tim Perbankan dan Enquiry Point, Tenaga Kerja Asing Pada Perbankan Nasional. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 5, Nomor 3, Desember 2007, hlm 1. 6
Berdasarkan data yang ada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan sebanyak 148 pencari kerja pada tahun 2012 menyampaikan permohonan izin untuk menjadi tenaga kerja asing. Kota Medan Dalam Angka 2013, Badan Pusat Statistik Kota Medan. 7
46
Penjelasan Pasal 42 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
8 Pemerintah Akan Atur Tenaga Kerja Asing, http://www.m.tempo.co/read/news/2013/11/06/090527514/, diakses tanggal 27 Januari 2014. 9
HR Abdussalam, Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta, Restu Agung, 2008, hlm 322.
10
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) secara khusus diatur dalam Kepmenekertrans Nomor 220 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pengesahan RPTKA. RPTKA menjadi dasar untuk memperoleh IMTA. Adapun pengaturan IMTA diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 20/Men/2004 Tentang Tata Cara Memperoleh IMTA dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 07/Men/2006 Tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh IMTA.
47
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 45 - 54
e.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: 228/Men/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing;
f.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: 20/Men/III/2004 tentang Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing;
g.
h.
i.
j.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: No. 21/Men/IV/2004 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing Sebagai Pemandu Nyanyi; Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: 07/MEN/III/2006 juncto Nomor: 15/MEN/2006 tentang Penyederhanaan Prosedur Penerbitan Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing; Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: 02/Men/XII/2004 tentang Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Bagi Tenaga Kerja Asing; dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: 02/Men/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Selain diatur dalam peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan, penggunaan TKA juga harus memperhatikan peraturan lain seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1994 tentang Pengawasan Orang Asing dan Tindakan Keimigrasian dan Peraturan Daerah tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dimana TKA tersebut bekerja.
D.
Retribusi Daerah Dalam Bingkai Otonomi Daerah
Perkembangan masyarakat Indonesia di era orde baru telah memberikan pengalaman yang cukup berarti, antara lain kebijakan di daerah yang diputuskan dari pusat berdasarkan pendekatan “top down” sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan di daerah, maka salah satu cara mengatasi 11 12
ketidaksesuaian antara kebijakan yang ditetapkan pusat dengan kondisi daerah adalah harus segera dibuat sebuah kerangka kebijakan yang sangat strategis. Kerangka inilah yang dikenal dengan otonomi daerah.11 Kerangka otonomi daerah telah disusun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang ini kemudian dilengkapi dengan sejumlah peraturan turunannya telah membawa perubahan dalam pelaksanaan tata kepemerintahan di daerah. Pemerintahan daerah menurut Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ialah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Asas otonomi daerah ialah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Sedangkan tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/ kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dalam alam otonomi, Pemerintah Daerah diberikan kesempatan agar berkembang sesuai dengan kemampuan sendiri dan tidak bergantung sepenuhnya pada Pemerintah Pusat. Selain itu dalam otonomi daerah terjadi efisiensi alokasi arus barang publik ke daerah, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat lokal guna mendorong demokratisasi, mengakomodasi aspirasi dan partisipasi masyarakat daerah. Selanjutnya Pemerintah Daerah diberi kewenangan membuat kebijakan untuk mengatur rumah tangganya sendiri (desentralisasi).12 Seiring dengan kewenangan yang telah diberikan, Pemerintah Daerah juga dibebani tanggung jawab
Syaukani, Menatap Harapan Masa Depan Otonomi Daerah, Gerbang Dayaku, Yogyakarta, 2000, hlm 139-140.
Adapun keuntungan yang dapat diperoleh dari kebijakan desentralisasi, yakni: a. Memberikan peluang akses bagi Daerah setidaknya terhadap ketersediaan anggaran dalam APBN dan optimalisasi penerimaan Daerah; b. Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota berada pada posisi yang relatif lebih baik daripada Pemerintah Pusat dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas perpajakan pada sektor tertentu bagi perekonomian daerah; c. Daerah dapat membantu meningkatkan mobilisasi sumber-sumber penerimaan daerah sejalan dengan meningkatnya penerimaan perpajakan nasional. Jusuf Anwar, Tantangan Implementasi Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 Dalam Membangun Ekonomi Daerah. Makalah Seminar Program Magister Ekonomika UGM, Sheraton Mustika Hotel, Yogyakarta, 4 Juni 2005, hlm 5.
48
Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah.....(Budi S.P Nababan)
yang sangat besar dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya. Ini berarti Pemerintah Daerah membutuhkan pendanaan yang sangat besar dalam mendanai kelangsungan hidup daerahnya. Untuk mendukung pendanaan atas urusan Pemerintah Daerah, undang-undang tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah menegaskan bahwa sumbersumber pendanaan pelaksanaan pemerintahan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain pendapatan yang sah. Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan Daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.13 Pendapatan Asli Daerah antara lain berupa pajak daerah dan retribusi daerah, diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan retribusi daerah, UndangUndang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang lama hanya mengatur prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis retribusi yang dapat dipungut daerah, sehingga provinsi maupun kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan jenis retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Pemberian peluang Pemerintah Daerah untuk menetapkan retribusi selain yang telah ditentukan dalam peraturan pemerintah pada awalnya diharapkan agar dapat meningkatkan penerimaan daerah, namun kenyataannya hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh daerah memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak pungutan daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang dan jasa antar daerah.14 Menyadari bahwa kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat itu kurang mendukung pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Pusat menggantinya dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) dengan tujuan sebagai berikut: 1.
Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
2.
Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
3.
Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Lahirnya Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru tersebut juga diikuti dengan sejumlah peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5358). Bahkan beberapa Pemerintah Daerah telah merespons ketentuan Pasal 150 huruf c UndangUndang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dengan membentuk Perda tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing, seperti Provinsi Bali, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dan Kota Batam.
E.
Pembentukan Perda Tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Di Kota Medan
Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
13 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438). 14 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049).
49
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 45 - 54
pembentukan Perda. Meskipun demikian, bukan berarti dalam pembentukan perda mengabaikan hak-hak masyarakat, Pemerintah Daerah terikat oleh rambu-rambu hukum tertentu, yang tidak lain sesungguhnya merupakan hak konstitusional warga negara.15 Suatu perda merupakan refleksi dari suatu kebijakan (political will) yang ditindaklanjuti dengan proses pembuatan keputusan (policy making) dan proses pembuatan ketentuan hukum (law making process). Proses pembuatan suatu perda tidak bisa dilakukan oleh eksekutif saja namun harus melibatkan lembaga legislatif. Oleh karenanya para pembuat kebijakan (policy makers) dan pembuat perda (law makers) baik di eksekutif maupun di legislatif perlu memiliki pemahaman yang baik atas permasalahan yang dihadapi di daerah. 16 Keberadaan Perda dalam otonomi daerah sangat penting artinya sebab Perda merupakan konsekuensi logis dari wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.17 Selain membentuk Perda dalam melaksanakan otonomi, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk menggali potensi Pendapatan Asli Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 150 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah18, jenis Retribusi Daerah dapat ditambah sepanjang memenuhi
kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang. Salah satu retribusi daerah yang dapat ditambah adalah retribusi perpanjangan IMTA yang tergolong dalam retribusi perizinan tertentu. Kewenangan Pemerintah Daerah untuk memungut retribusi perpanjangan IMTA mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2013 sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Peraturan Pemerintah tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing. Hal ini untuk memberikan kesempatan kepada daerah mempersiapkan kebijakan daerah dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA. IMTA adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja Tenaga Kerja Asing. Adapun yang dimaksud dengan Perpanjangan IMTA adalah izin yang diberikan oleh gubernur atau bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.19 Sedangkan Retribusi Perpanjangan IMTA adalah pungutan atas pemberian perpanjangan IMTA kepada pemberi kerja tenaga kerja asing.
Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah.....(Budi S.P Nababan)
masyarakat, mengingat retribusi perpanjangan IMTA sebelumnya merupakan pungutan Pemerintah Pusat berupa PNBP yang kemudian menjadi retribusi daerah. Selain itu tarif retribusi perpanjangan IMTA yang akan ditetapkan berdasarkan tingkat penggunaan jasa dan tidak melebihi tarif PNBP perpanjangan IMTA yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. Pemanfaatan penerimaan retribusi perpanjangan IMTA diutamakan untuk mendanai kegiatan pengembangan keahlian dan keterampilan tenaga kerja lokal yang alokasinya ditetapkan melalui APBD. Namun sayangnya pihak eksekutif maupun pihak legislatif Kota Medan sepertinya belum menyadari sepenuhnya potensi ini. Padahal Kota Medan sebagai kota terbesar ke tiga di Indonesia memiliki cukup banyak orang asing yang memohon izin untuk bekerja seperti yang tersaji pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 1 Pemohon Izin TKA Tahun 2012
Pemungutan retribusi perpanjangan IMTA di Kota Medan relatif tidak akan menambah beban bagi
3
4
5
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan
1
-
1
1
-
1
Industri Pengolahan
35
1
36
Listrik, Gas, dan Air
-
-
-
Bangunan
-
-
-
15
3
18
1
1
2
2
-
2
38
50
88
93
55
148
Perdagangan, Hotel, dan Restoran Angkutan, pergudangan, dan komunikasi Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan/Tanah, dan Jasa Keuangan Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perorangan
David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm.7.
Total
17 Buchari Zaenun, Administrasi dan Manajemen Pemerintah Negara Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1990), hlm. 5. 18 Pasal 150 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049); “Jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam Pasal 110 ayat (1), Pasal 127, dan Pasal 141 sepanjang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.
Retribusi Jasa Umum: 1.
b.
c.
50
2)
Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha atau Retribusi Perizinan Tertentu;
Untuk tahun 2013 sendiri menurut Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, ada sekitar 350 orang jumlah tenaga kerja asing yang melapor ke Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan. Mereka yang melapor tersebut di antaranya berkewarganegaraan Malaysia, RRC, dan Jerman. Sebagian besar di antaranya bekerja sebagai pendidik karena kebanyakan perusahaan dan lembaga pendidikan jasa pariwisata mempekerjakan ekspatriat untuk meningkatkan kualitas lulusan ataupun karyawannya. Selain itu ada juga yang bekerja sebagai general manager di hotel atau restoran, atau juru masak sejenis koki, chef, dan pastri. Ada juga yang bekerja di perusahaan perkebunan. Mayoritas TKA berjenis kelamin laki-laki dan rata-rata berusia diatas 30 tahun.20 Pemungutan retribusi perpanjangan IMTA dapat menambah pundi-pundi kas daerah Kota Medan. Namun karena tidak adanya perda yang mengatur hal tersebut maka TKA tidak bisa dikenakan retribusi perpanjangan izin IMTA dan menimbulkan kesan bagi masyarakat bahwa TKA tidak mempunyai kontribusi terhadap pendapatan daerah Kota Medan. Menanggapi hal tersebut, Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan mengatakan bahwa kebanyakan TKA selama ini membayar biaya perpanjangan izin dana pengembangan keterampilan dan keahlian (DPKK) langsung kepada Pemerintah Pusat, sedangkan ke kas Pemerintah
Dalam hal pemberi kerja TKA akan memperpanjang IMTA, maka harus mengajukan permohonan perpanjangan kepada Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota; Perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh : a.
Direktur untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi.
b.
Gubernur atau Pejabat yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
c.
Bupati/Walikota atau Pejabat yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
2.
jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi;
3.
jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau Badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum;
4.
jasa tersebut hanya diberikan kepada orang pribadi atau Badan yang membayar retribusi dengan memberikan keringanan bagi masyarakat yang tidak mampu;
3)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh ) hari kerja sebelum jangka waktu berlakunya IMTA berakhir.
4)
Permohonan perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengisi formulir perpanjangan IMTA dengan melampirkan:
5.
Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya;
6.
Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah yang potensial; dan
7.
pemungutan Retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik.
Retribusi Jasa Usaha:
a.
Copy IMTA yang masih berlaku;
b.
Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
1.
Retribusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau Retribusi Perizinan Tertentu; dan
c.
Copy polis asuransi;
2.
jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai Daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah.
d.
Pelatihan kepada TKI pendamping;
Retribusi Perizinan Tertentu: 1.
19
1)
Laki-laki Perempuan Jumlah
2
Pertambangan dan Penggalian
15 Refly Harun, Mempertimbangkan Hak-hak Konstitusional Warga Negara dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, Makalah disampaikan dalam Expert Meeting: Penguatan Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Padang 21-22 Februari 2005, hlm. 8. 16
Lapangan Usaha
No.
Sumber: Kota Medan Dalam Angka 2013.
perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka asas desentralisasi;
2.
perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum; dan
3.
biaya yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan; ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.
Adapun proses perpanjangan IMTA adalah sebagai berikut:
5)
e.
Copy keputusan RPTKA yang masih berlaku; dan
f.
Foto berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lengkap, maka Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota menerbitkan IMTA paling lama 3 (tiga) hari kerja.
Adapun IMTA dapat diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA dengan ketentuan setiap kali perpanjangan paling lama 1 (satu) tahun. 20 Kebanyakan Tenaga Kerja Asing Di Medan Berprofesi Sebagai Pendidik, http://www.m.ayogitabisa.com/berita-gita/, diakses tanggal 19 Januari 2014.
51
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 45 - 54
Kota tidak ada. Berdasarkan DPKK, biaya perpanjangan izin TKA sebesar USD 1.200 per tahun. Seharusnya ketika masa izin habis maka TKA tersebut memperpanjang izin ke dinas tenaga kerja di tempatnya bekerja.21 Solusi terhadap persoalan tersebut adalah dengan membentuk Perda tentang Retribusi Perpanjangan IMTA. Sebenarnya Pemko Medan tahun 2013 telah mengusulkan Ranperda tentang Retribusi Perpanjangan IMTA kedalam Program Legislasi Daerah Tahun 2013, namun disayangkan hingga akhir tahun 2013 ranperda ini belum selesai dibahas. Kemudian pada tanggal 9 Januari 2014 DPRD Kota Medan telah menetapkan Program Legislasi Daerah Tahun 2014 yang memuat 24 (dua puluh empat) usulan ranperda yang terdiri dari 24 ranperda (12 ranperda di antaranya sisa masa kerja 2013 dan 12 ranperda lainnya merupakan usulan baru dari Pemko Medan). Ke 12 ranperda sisa masa kerja 2013 tersebut sudah diajukan Pemko Medan, salah satunya adalah Ranperda tentang Retribusi Perpanjangan IMTA.22 Sudah menjadi rahasia umum jika tahun 2014 ini merupakan tahun politik, di mana anggota DPRD disibukkan dengan urusan kampanye untuk mencalonkan diri kembali sebagai anggota legislatif baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun pusat. Namun demikian bukan berarti DPRD harus melalaikan tugasnya di bidang legislasi. Ranperda tentang Retribusi Perpanjangan IMTA haruslah menjadi skala prioritas untuk dibahas dan ditetapkan menjadi Perda Kota Medan mengingat potensi TKA yang bekerja di Kota Medan.
F.
Penutup
Mendorong Lahirnya Peraturan Daerah.....(Budi S.P Nababan)
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing. Dengan demikian jelas bahwa Perda Kota Medan tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing conditio sine qua non bagi pemungutan retribusi perpanjangan IMTA.
Daftar Pustaka Buku Abdussalam, HR. 2008. Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta: Restu Agung. Badan Penelitian, Departemen R.I. 2006. Kesempatan Jakarta.
Pengembangan, dan Informasi Tenaga Kerja dan Transmigrasi Situasi Tenaga Kerja Dan Tenaga Kerja Di Indonesia.
Internet
Kebanyakan Tenaga Kerja Asing Di Medan Berprofesi Sebagai Pendidik, http://www.m.ayogitabisa.com/berita-gita/, diakses tanggal 19 Januari 2014. Narjoko, Dionisius. Policy Brief: Menanggapi Akibat Globalisasi Terhadap Kinerja Tenaga Kerja: Pengalaman dari Sektor Tekstil dan Garmen Indonesia, http://www.dlsu.edu.ph/ research/centers/aki/_pdf/_onGoingProjects /_indonesia/pbEmployment Drivers.pdf, diakses 27 Desember 2013.
Hingga Pertengahan Januari 2014 Pemko Sudah Ajukan 12 Ranperda ke DPRD Medan, http://www.suaranasionalnews.com/?p=37 765. diakses tanggal 20 Januari 2014.
Pemerintah Akan Atur Tenaga Kerja Asing, http://www.m.tempo.co/read/news/2013/1 1/06/090527514/, diakses tanggal 27 Januari 2014.
Kota
Tenaga Kerja Asing Tak Punya Kontribusi, http://www.m.koransindo.com, diakses tanggal 20 Januari 2014.
Medan Dalam Angka 2013, http//:www.medankota.bps.go.id, diakses tanggal 23 Januari 2014.
Kairupan, David. 2013. Aspek Hukum Penanaman Modal Asing Di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Syaukani. 2000. Menatap Harapan Masa Depan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Gerbang Dayaku. Siregar, Mahmul. 2008. Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia. Jurnal Hukum Bisnis Volume 27 Nomor 4. Tim Perbankan dan Enquiry Point. 2007. Tenaga Kerja Asing Pada Perbankan Nasional. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 5 Nomor 3, Desember.
Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk memungut Retribusi Perizinan Tertentu selain yang telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang salah satunya adalah Retribusi Perpanjangan IMTA.
Makalah
Kota Medan sebagai salah satu daerah yang memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi belum memiliki payung hukum untuk memungut retribusi tentang perpanjangan IMTA, sehingga sudah sewajarnyalah membentuk Perda Retribusi tentang Perpanjangan IMTA. Hal ini sesuai dengan
Anwar, Jusuf. Tantangan Implementasi UndangUndang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 Dalam Membangun Ekonomi Daerah. Makalah Seminar Program Magister Ekonomi UGM, Sheraton Mustika Hotel, Yogyakarta 4 Juni 2005.
21
Harun, Refly. Mempertimbangkan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Dalam Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, Makalah disampaikan dalam Expert Meeting: Penguatan Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Padang 21-22 Februari 2005.
Zaenun, Buchari. 1990. Administrasi dan Manajemen Pemerintah Negara Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Haji Mas Agung.
Tenaga Kerja Asing Tak Punya Kontribusi, http://www.m.koransindo.com, diakses tanggal 20 Januari 2014.
22
Menanggapi Program Legislasi Daerah ini, Budiman Panjaitan, Ketua Badan Legislasi DPRD Medan, menjelaskan tidak bisa memastikan kapan ke 12 Ranperda tersebut bisa selesai dibahas dan disahkan menjadi Perda. Hingga Pertengahan Januari 2014 Pemko Sudah Ajukan 12 Ranperda ke DPRD Medan, http://www.suaranasionalnews.com/?p=37765. diakses tanggal 20 Januari 2014.
52
53
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 45 - 54
KRITERIA UNSUR KEGENTINGAN YANG MEMAKSA DALAM PENERBITAN PERPPU (THE CRITERIA OF EMERGENCY CONDITION FOR MAKING PERPPU) Janpatar Simamora Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan Jln. Sutomo No. 4A Medan 20234, Indonesia E-mail:
[email protected] (Naskah diterima 11/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014) Abstrak Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bahwa dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Perppu. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Perppu memiliki landasan konstitusional yang cukup kuat dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Namun demikian, sampai saat ini belum ada pengaturan lebih lanjut tentang kriteria atau unsur-unsur apa saja yang termasuk dalam kategori “kegentingan yang memaksa”. Kondisi ini cukup berpotensi menimbulkan penerbitan Perppu oleh Presiden menjadi sangat subjektif. Kriteria suatu kondisi yang dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa sangat tergantung pada sudut pandang yang dipergunakan oleh seorang presiden. Padahal, Perppu merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang harus terikat dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka meminimalisasi dominasi pertimbangan subjektif presiden serta potensi penyimpangan kekuasaan dalam penerbitan Perppu, maka sangat diharapkan agar mekanisme politik di DPR dalam rangka pembahasan suatu Perppu dapat berlangsung secara objektif. Dengan demikian, pada akhirnya akan dapat dibuktikan bahwa kriteria kegentingan yang memaksa sebagai syarat mutlak penerbitan Perppu tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan subjektif Presiden. Kata kunci: Perppu, Kriteria Kegentingan, hak Presiden. Abstract Based on Article 22 paragraph (1) Constitution of the Republic of Indonesia 1945, in terms of the emergency condition, the president has the right to assign Perppu (Government Regulation Replacement). This provision indicates that Perppu has a strong foundation in Indonesian constitutional system. However, until today there is no further adjustment of the criteria or what elements are included in the category of "emergency condition". This could potentially lead to the issuance of Perppu by the president to be very subjective. Criteria for a condition that can be categorized as an emergency condition are highly dependent on the president's view. Whereas, Perppu is one of the laws and regulations that is bound by the principles of law making. In order to minimize the dominance of the subjective considerations and potential presidential power irregularities in the issuance of Perppu, it is expected that the political mechanism in Parliament in the framework of the discussion perppu can take place objective. Thus, it will ultimately be able to be evidenced that emergency condition criteria that force as an essential condition in publishing Perppu is not solely based on the subjective judgment of the president. Keywords: Perppu, emergency criteria, president's right.
A.
Pendahuluan Setelah cukup lama menuai perdebatan di tengah-tengah publik, akhirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan sah menjadi undang-undang setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perppu ini sendiri ditetapkan di Yogyakarta pada 17 Oktober 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diundangkan pada tanggal yang sama. Dilihat dari proses awal pembentukannya, Perppu ini dianggap sebagai jalan penyelamatan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang
54
belakangan mengalami ketergerusan wibawa dan kepercayaan publik, khususnya pasca terbongkarnya dugaan kasus suap yang melibatkan mantan Ketua MK, Akil Mochtar. Sebagaimana disebutkan Janpatar Simamora dalam tulisannya yang berjudul “Integritas MK Tumbang” di Koran Jakarta, edisi Senin 07 Oktober 2013 bahwa mencuatnya aksi operasi tangkap tangan yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah dinas Ketua MK pada Rabu malam, 02/10/2013, menjadi sejarah baru dalam perspektif pembongkaran kasus suap yang melibatkan petinggi negara selevel pimpinan lembaga tinggi negara. Dalam aksi KPK itu, Akil
55
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 55 - 64
Mochtar tertangkap basah bersama Chaerunisa, politisi sekaligus anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar serta seorang pengusaha. Mereka terseret dalam arus penangkapan yang sedang digulirkan KPK karena diduga sedang melakukan transaksi penyerahan sejumlah uang terkait dengan sengketa pilkada di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Jujur harus diungkapkan bahwa tertangkapnya Akil Mochtar yang tidak lain adalah pimpinan tertinggi di MK ketika itu telah menggemparkan dunia peradilan negeri ini. Tidak hanya itu, kasus suap yang paling menggemparkan ini juga telah menumbangkan marwah MK yang selama ini dikenal publik sebagai lembaga yang masih bersih dan jauh dari noda liar penelikungan hukum. Dunia penegakan hukum benar-benar telah terjerembab dalam suasana duka yang cukup mendalam dan akan sulit dipulihkan pada kedudukan semula. Persepsi sejumlah pihak selama ini yang menempatkan MK sebagai lembaga peradilan yang (cukup) bersih dan memberikan banyak harapan bagi para pencari keadilan, ternyata tidak jauh beda dengan lembaga peradilan lainnya. Bahkan, persoalan suap yang melibatkan Ketua MK kala itu seolah telah “berhasil” memutarbalikkan harapan publik selama ini. MK yang kerap didengungkan dengan pernyataan “masih bersih” ternyata sangat berseberangan dengan fakta yang sesungguhnya. Kalau sudah demikian, barangkali pernyataan yang jauh lebih relevan untuk digulirkan adalah mungkin “MK masih kotor”. Kekotoran tersebut justru langsung menancap di pusaran kekuasaan lembaga peradilan yang merupakan lembaga yang dibidani melalui reformasi konstitusi (constitution reform) itu. Sang pengawal konstitusi itu ternyata tidak jauh bedanya dengan sejumlah oknum penegak hukum yang begitu mudah menggadaikan sumpah jabatan dengan segepok materi yang disuguhkan oleh mereka-mereka yang hendak meruntuhkan wibawa penegakan hukum demi memenuhi hasrat pribadi dan golongannya.
Kondisi itulah yang kemudian membuat pemerintah mengambil langkah hukum dalam bentuk penerbitan Perppu. Versi pemerintah kala itu, bahwa pasca tertangkapnya Akil Mochtar oleh KPK dalam dugaan kasus suap telah menimbulkan suatu kondisi kegentingan di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya kegentingan dalam bidang dunia peradilan. Wibawa MK yang sebelumnya begitu kukuh sebagai lembaga peradilan yang dipersepsikan publik masih bersih, ternyata dalam sekejap melorot drastis dan menimbulkan guncangan kepercayaan publik terhadap lembaga pengawal konstitusi itu. Namun demikian bahwa belakangan, cukup banyak pihak yang mempersoalkan urgensi penerbitan Perppu kala itu. Pasalnya, tidak ditemukan adanya unsur kegentingan yang memaksa sebagai syarat utama dalam penerbitan Perppu. Kasus yang mendera mantan Ketua MK, Akil Mochtar dipersepsikan tidaklah dapat dikategorikan sebagau suatu kondisi yang berdampak pada keadaan bangsa dan negara dalam situasi kegentingan yang memaksa. Oleh sebab itu, semestinya tidak relevan jika bila kemudian persoalan itu dijadikan dasar dalam penerbitan sebuah Perppu. Polemik itupun pada akhirnya berujung pada langkah pengajuan judicial review ke MK atas Perppu dimaksud. Namun sayangnya kemudian, berhubung karena Perppu dimaksud sudah disahkan menjadi undangundang 1 , maka MK menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak dapat diterima karena sudah kehilangan objek.2 Sebenarnya dalam catatan historisnya, jauh sebelum keluarnya Perppu Nomor 1 Tahun 2013 itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah beberapa kali mengeluarkan produk hukum yang bernama Perppu. Dalam kurun waktu sejak Susilo Bambang Yudhoyono menduduki jabatan sebagai presiden hingga tahun 2010, setidaknya tercatat sudah 16 Perppu yang telah diterbitkan.3 Dari sekian banyak Perppu dimaksud, selalu saja
1
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 19 Desember 2013. Pengesahan Perppu ini diwarnai dengan mekanisme voting dengan peta suara, sebanyak 221 anggota DPR mendukung dan 148 anggota DPR yang menolak. Adapun proses pembacaan putusan di MK terkait dengan pengujian Perppu ini baru dilakukan pada tanggal 30 Januari 2014. 2 Setidaknya terdapat 4 (empat) permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan 1 (satu) dalam Penetapan MK dalam perkara yang sama karena pemohon menarik kembali permohonannya. Namun dari seluruh permohonan dimaksud, MK berkesimpulan bahwa permohonan Pemohon telah kehilangan objek, sehingga secara otomatis, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan pokok permohonan Pemohon tidak lagi dipertimbangkan. Atas dasar itulah kemudian MK memutuskan bahwa permohonan para pemohon tidak dapat diterima. 3 Adapun keenambelas Perppu dimaksud di antaranya adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai Berlakunya UU No. 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; Perppu Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepaulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; Perppu Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji; Perppu Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Perppu Nomor 2 Tahun 2006 tentang
56
Kriteria Unsur Kegentingan.....(Janpatar Simamora)
diwarnai dengan ragam kritikan yang pada intinya hendak menegaskan bahwa sesungguhnya tidak cukup alasan bagi pemerintah untuk mengeluarkan Perppu. Sejumlah dasar yang dijadikan Presiden dalam penerbitan sejumlah Perppu selama ini selalu diklaim sejumlah kalangan tidak cukup memadai untuk dikategorikan sebagai suatu kondisi “kegentingan yang memaksa” sebagai landasan utama dalam penerbitan sebuah Perppu. Ketidakjelasan parameter noodverordenings dalam Perppu telah mengundang perdebatan hangat di masyarakat. Parameter 'kegentingan yang memaksa' merupakan parameter yang subjektif yang ditentukan Presiden. Karena subjektif itulah, frasa 'kegentingan yang memaksa' menjadi kabur dan dapat dimultitafsirkan serta berpotensi menjadi alat presiden untuk melanggengkan kekuasaannya. Dengan demikian, penting bagi kita untuk menelaah apa sebenarnya tujuan dari Pasal 22 UUDNRI Tahun 1945 yang memberikan payung hukum untuk pembentukan Perppu.4 Apa pula sesungguhnya kriteria unsur “kegentingan yang memaksa”?. Mengapa penerbitan Perppu selama ini begitu sering memunculkan silang pendapat di tengah-tengah publik?. Hal inilah yang akan menjadi objek bahasan pada bagian berikutnya dalam tulisan ini. B.1. Landasan Perppu
Konstitusional
Pembentukan
Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, keberadaan Perppu cukup mendapat landasan konstitusional yang memadai sebagai sebuah produk hukum. Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, maka presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perppu). Selanjutnya dalam ayat (2) pasal tersebut ditentukan pula bahwa Perppu dimaksud harus mendapat persetujuan dari DPR dalam persidangan
berikutnya. Namun dalam hal DPR tidak memberikan persetujuan, maka Perppu dimaksud harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebaliknya, jika ternyata kemudian DPR berkesimpulan bahwa Perppu dimaksud layak untuk disetujui, maka dengan sendirinya Perppu dimaksud akan disahkan menjadi undang-undang. Didasarkan pada ketentuan dimaksud, sesungguhnya keberadaan Perppu cukup mendapat landasan konstitusional sebagai hak seorang presiden. Perppu mendapat pengakuan dalam konstitusi seperti halnya undang-undang. Oleh sebab itu, menjadi sangat beralasan bagi seorang presiden jika bila kemudian ditemukan halhal yang termasuk dalam kategori kegentingan yang memaksa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mengeluarkan sebuah produk hukum yang bernama Perppu. Selanjutnya, guna menindaklanjuti ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya terkait dengan keberadaan Perppu sebagai salah satu produk hukum yang merupakan ranah kewenangan presiden, maka keberadaannya pun dipertegas kembali dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa adapun jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di tanah air saat ini terdiri dari: a)
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945;
Republik
b)
Ketetapan Majelis permusyawaratan Rakyat;
c)
Undang-Undang/Peraturan Pengganti Undang-Undang;
d)
Peraturan Pemerintah;
e)
Peraturan Presiden;
f)
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g)
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pemerintah
Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan Perikanan Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; Perppu Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU No. 36/2000 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi UU; Perppu Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; Perppu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; Perppu Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; Perppu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan; Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan; Perppu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; Perppu Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Perppu Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang; Perppu Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 1992 tentang Keimigrasian; dan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Lihat dalam “Sejak Bung Karno Hingga Presiden SBY Sudah Terbit 207 Perppu”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d00987b78d15/sejak-bung-karno-hingga-sby-sudah-terbit-207-perppu, diakses pada 03 Februari 2014. 4 Janpatar Simamora, Multitafsir Pengertian “Ihwal Kegentingan yang Memaksa” dalam Penerbitan Perppu, Jurnal Mimbar Hukum UGM Yogyakarta, Volume 22 Nomor 1, Februari 2010, hlm. 58.
57
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 55 - 64
Kemudian dalam ayat (2) pasal tersebut ditegaskan bahwa adapun kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan dalam hierarki dimaksud adalah didasarkan pada hierarki atau urutan daripada peraturan perundang-undangan tersebut. Konsep ini sama halnya dengan pandangan Hans Kelsen yang mengatakan bahwa kesatuan norma-norma hukum ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu, yakni norma yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi dan pada akhirnya membentuk suatu kesatuan tatanan hukum.5 Dilihat dari hierarki peraturan perundangundangan dimaksud, tampak dengan jelas bahwa keberadaan Perppu cukup diakui secara tegas sama halnya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hierarki peraturan perundangundangan, Perppu ditempatkan sejajar dengan undang-undang. Kemudian dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa yang menjadi materi muatan Perppu adalah sama halnya dengan materi muatan undang-undang.6 Sedangkan materi muatan undang-undang sebagaimana disebutkaan dalam Pasal 10 ayat (1) adalah berisikan hal-hal sebagai berikut:
Kriteria Unsur Kegentingan.....(Janpatar Simamora)
a)
Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b)
Perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;
c)
Pengesahan perjanjian internasional;
d)
Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e)
Pemenuhan masyarakat.
kebutuhan
hukum
dalam
Dalam perjalanan sejarahnya, sekalipun telah beberapa kali dilakukan penggantian regulasi terkait dengan hierarki peraturan perundangundangan, keberadaan Perppu selalu mendapat ruang pengaturan yang cukup memadai seperti halnya peraturan perundang-undangan lainnya. Pada saat berlakunya TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan,7 Perppu diakui keberadaannya dengan derajat hierarki tersendiri, yaitu setingkat di bawah undang-undang dan setingkat di atas Peraturan Pemerintah. Kemudian, pada saat keberadaan TAP MPR Nomor III/MPR/2000 digantikan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,8 keberadaan Perppu disejajarkan dengan undang-undang. Dilihat dari sejumlah pengaturan dimaksud, tentu dapat dipahami bahwa sesungguhnya keberadaan Perppu cukup mendapat eksistensi selama ini. Hal ini menunjukkan betapa urgensinya
5 Hans Kelsen, 1971. General Theory of Law and State, Russel and Russel: New York (Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media: Bandung, hlm. 179.) 6
Ketika materi muatan Perppu disamakan dengan materi muatan undang-undang, maka sebagai konsekuensinya bahwa materi muatan Perppu juga harus memuat atau mencerminkan asas-asas peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. adapun asas-asas dimaksud adalah: pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 7
Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan yang merupakan pedoman dalam pembentukan aturan hukum di bawahnya diatur dalam Pasal 2 TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dengan tata urutan sebagai berikut:
keberadaan Perppu dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Bahkan sebelum amandemen UUD 1945, terdapat penjelasan yang pada intinya menegaskan bahwa Pasal 22 UUD 1945 adalah mengenai noodverordeningsrecht presiden. Aturan semacam ini memang sangat dibutuhkan dalam rangka terjaminnya keselamatan negara oleh pemerintah pada saat keadaan genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan cepat. 9 Dengan demikian, maka secara konstitusional, tidak terbuka ruang untuk memperdebatkan keberadaan Perppu itu sendiri dalam perspektif landasan hukumnya. Kalaupun hendak dipersoalkan, barangkali hanya terkait dengan mekanisme penerbitannya serta unsurunsur yang harus dipenuhi dalam proses penerbitan Perppu dimaksud. B.2. Unsur Kegentingan yang Memaksa dalam Penerbitan Perppu Sampai saat ini, belum ditemukan satu regulasi pun yang mengatur masalah penerbitan Perppu secara detail oleh presiden. Misalnya, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan “ihwal kegentingan yang memaksa” sebagai syarat mutlak dalam penerbitan Perppu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, apa saja yang menjadi unsur-unsur pokok dari istilah “kegentingan yang memaksa” juga belum diketemukan sampai sekarang. Sejumlah pertanyaan inilah yang kemudian kerap mengemuka di tengah-tengah publik ketika presiden menerbitkan suatu Perppu. Jika diartikulasikan satu per satu secara gramatikal kata-kata “ihwal kegentingan yang memaksa”, maka dapat dipahami bahwa istilah “ihwal” memiliki makna “hal atau perihal”. Sedangkan istilah “kegentingan” kurang lebih mengandung makna “dalam keadaan bahaya atau
darurat maupun dalam suasana tegang”. Adapun istilah “memaksa” dalam hal ini dapat diartikan sebagai “sesuatu yang sangat mendesak”. Menurut Jimly Asshiddiqie,10 bila kemudian dilakukan penelahaan lebih jauh terkait dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 bahwa setidaknya terdapat sejumlah unsur secara kumulatif yang kemudian dapat membentuk suatu keadaan darurat bagi negara (state of emergency) serta menimbulkan suatu kondisi kegentingan yang memaksa. Adapun unsur-unsur dimaksud yaitu, pertama, adanya ancaman yang membahayakan (dangerous threat), kedua, adanya kebutuhan yang mengharuskan (reasonable neccesity), dan ketiga adalah terkait dengan unsur adanya keterbatasan waktu (limited time). Istilah “kegentingan yang memaksa” dapat juga digambarkan sebagai suatu kondisi yang tidak normal sehingga membutuhkan upaya-upaya di luar kebiasaan untuk segera mengakhiri kondisi dimaksud. Dalam kondisi yang demikianlah, maka kehadiran Perppu diharapkan menjadi instrumen hukum laksana undangundang yang berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat.11 Menurut Bagian Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen), frasa “hal ihwal kegentingan yang memaksa” merupakan terjemahan dari noodverordeningsrecht. Dalam bahasa hukum Amerika, hal ini sama dengan konsep “clear and present danger”, situasi bahaya yang terang benderang.12 Dengan demikian, maka setidaknya dapat dirinci sejumlah unsur-unsur dari istilah “ihwal kegentingan yang memaksa” sebagai berikut: a)
Terdapat suatu kondisi atau keadaan yang sangat genting, berbahaya;
b)
Situasi dimaksud dapat keselamatan bangsa dan
mengancam negara jika
1.
Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3.
Undang-Undang;
4.
Peraturan Presiden;
4.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
5.
Peraturan Daerah.
5.
Peraturan Pemerintah;
Dalam ayat (2) dijelaskan bahwa Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Sedangkan dalam ayat (3) disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Adapun dalam ayat (4) disebutkan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Lalu kemudian dalam ayat (5) disebutkan bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
6.
Keputusan Presiden; dan
7.
Peraturan Daerah.
Kemudian dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dijelaskan bahwa Perppu dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut : 1.
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
2. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan tidak mengadakan perubahan. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut harus dicabut.
9 Ibnu Sina Candranegara, Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar Lembaga Negara,Jurnal Yudisial, Volume 5 Nomor 1, April 2012, hlm. 3.
8 Adapun jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan ketika itu diatur dalam Pasal 7ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dengan jenis dan hierarki sebagai berikut:
11
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3.
Peraturan Pemerintah;
58
10
Jimly Asshiddiqie. 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 207.
Reza Fikri Febriansyah. 2009, Eksistensi dan Prospek Pengaturan Perppu dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia, Desember 30, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/75-eksistensi-dan-prospek-pengaturan-perppu-dalam-sistem-normahukum-negara-republik-indonesia.html, diakses pada 20 Desember 2013. 12
Haposan Siallagan dan Janpatar Simamora. 2011, Hukum Tata Negara Indonesia, UD. Sabar, Medan, hlm. 47-48.
59
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 55 - 64
pemerintah tidak secepatnya mengambil tindakan konkret; c)
Keadaan dimaksud membutuhkan proses penanganan secara cepat. Jadi ada semacam “paksaan” untuk diselesaikan dengan segera;13
d)
Tidak ada alternatif sebagai sarana lain sebagaimana lazimnya dalam kondisi normal yang mampu untuk menyelesaikan keadaan genting dimaksud.
e)
Dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Sekalipun misalnya, kriteria atau unsur-unsur istilah “ihwal kegentingan yang memaksa” dapat diuraikan secara lebih spesifik, namun harus diakui bahwa hal itu tidak serta merta akan menjadikan jaminan bahwa presiden akan merujuk hal dimaksud dalam proses penerbitan Perppu. Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Jika dikaji secara mendalam pasal dimaksud, maka sesungguhnya begitu nyata terlihat adanya subjektivitas presiden dalam menerbitkan sebuah Perppu.
sebagai sebuah persoalan yang mengandung unsur ihwal kegentingan yang memaksa, namun belum tentu presiden akan mempunyai pandangan yang sama dengan pandangan masyarakat luas. Sebagai pemegang otoritas penuh, pandangan presiden lah yang akan menjadi dasar dan ukuran bagi terbitnya suatu Perppu. Apalagi kemudian dalam Pasal 22 ayat (1) ditemukan kata “berhak”. Dari sudut pandang kekuasaan presiden, hak untuk menetapkan Perppu atas dasar penilaian presiden sendiri yang bersifat sepihak mengenai adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa itu, dapat dikatakan bahwa hal itu bersifat subjektif.14 Hal ini dikarenakan presiden memiliki hak sepenuhnya untuk menetapkan suatu Perppu jika bila memang syarat-syarat untuk itu sudah cukup memadai menurut pandangan subjektif seorang presiden. Di sinilah kelahiran sebuah Perppu berpeluang menimbulkan polemik karena terkesan tidak objektif. Memang terasa tidak adil apabila kemudian sebuah produk hukum yang akan berlaku secara umum justru diputuskan dengan sejumlah syarat maupun kriteria yang sangat subjektif. Namun demikian bahwa konstitusi telah menegaskan hal dimaksud sebagai hak seorang presiden. Jika memang pada akhirnya dirasa tidak adil atau tidak mencerminkan nilai-nilai partisipatif, maka yang harus digagas kemudian adalah bagaimana agar ketentuan penerbitan Perppu oleh presiden mendapat ruang pengaturan yang lebih detail, jelas dan tegas. Jadi, bukan dengan mempersoalkan pandangan subjektif presiden dalam menerbitkan Perppu, karena kewenangan penerbitan Perppu telah diamanatkan konstitusi sebagai hak penuh seorang presiden.
Artinya bahwa syarat objektivitas penerbitan Perppu tidak dapat dipaksakan kepada presiden sebagai pemegang otoritas penuh penerbitan Perppu. Kalaupun hendak dikoreksi, maka hal itu dapat dilakukan melalui jalur politik di DPR pada saat pembahasan Perppu menjadi undang-undang. Presiden diberikan keleluasaan dalam menafsirkan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan “ihwal kegentingan yang memaksa”. Atas dasar itulah maka kemudian setiap kali presiden menerbitkan Perppu, maka setiap saat itu juga akan muncul pro kontra pandangan terkait dengan keberadaan Perppu itu sendiri.
B.3. Optimalisasi Peran DPR dalam Pengesahan Perppu Menjadi UU
Presiden bisa saja melihat suatu persoalan dan kemudian mengkategorikannya sebagai suatu ihwal kegentingan yang memaksa, sehingga harus mengeluarkan Perppu dalam rangka mengatasi persoalan dimaksud. Namun demikian, masyarakat atau berbagai kalangan bisa saja melihat persoalan yang sama tersebut sebagai sesuatu hal yang belum termasuk dalam kategori ihwal kegentingan yang memaksa. Demikian juga sebaliknya, masyarakat bisa saja melihat suatu persoalan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara
Upaya melakukan pengaturan terkait dengan mekanisme dan syarat penerbitan Perppu secara lebih detail, jelas dan tegas sebagaimana dalam uraian di atas tentunya bukanlah hal mudah. Pasalnya, ketentuan mengenai kewenangan proses penerbitan Perppu diatur dalam UUD sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22. Sebagai konsekuensi dari pola pengaturan yang demikian, proses perubahannya hanya dapat dilakukan melalui proses amandemen terhadap UUD itu sendiri. Sementara mengingat rumitnya serta panjangnya
13
Ibid., hlm. 48.
14
Ni'matul Huda, Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 5, Oktober 2010, hlm. 77.
60
Kriteria Unsur Kegentingan.....(Janpatar Simamora)
proses perubahan terhadap UUD, maka menjadi kurang efektif kiranya kalau hanya mengharapkan perubahan mengenai mekanisme dan syarat penerbitan Perppu oleh presiden melalui pintu amandemen terhadap UUD itu sendiri. Guna lebih mengobjektifkan penerbitan Perppu, ditemukan pintu masuk lainnya selain daripada lewat jalur amandemen terhadap UUD NRI Tahun 1945. Adapun pintu masuk tersebut adalah melalui proses persetujuan di DPR terhadap sebuah Perppu dalam rangka pengesahannya menjadi undang-undang. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa Perppu yang telah dikeluarkan presiden harus mendapat persetujuan oleh DPR dalam persidangan berikutnya. Apabila kemudian sebuah Perppu mendapat persetujuan dari DPR, maka secara otomatis Perppu dimaksud akan berubah wujud menjadi undang-undang. Namun manakala DPR melakukan penolakan, maka dengan sendirinya pula Perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Proses politik di DPR ini dapat digunakan sebagai sarana dalam rangka mengobjektifkan sebuah Perppu yang dikeluarkan oleh presiden, atau setidak-tidaknya dapat meminimalisasi sisi subjektif presiden dalam menerbitkan Perppu. Dengan demikian, kelahiran dan keberadaan sebuah Perppu tidak terkesan hanya didominasi pandangan presiden semata, namun ditemukan mekanisme “pertanggungjawaban” secara politis oleh presiden terhadap DPR dalam menerbitkan sebuah Perppu. Dalam hal proses penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 misalnya, setidaknya terdapat dua pertimbangan pokok yang dijadikan presiden dalam menerbitkan dimaksud, yaitu: a)
b)
bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (5) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara; dan bahwa untuk menyelamatkan demokrasi dan Negara hukum Indonesia serta untuk mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang-Undang Dasar, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terutama terhadap ketentuan mengenai syarat dan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon hakim konstitusi serta pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi. Dalam hal ini, apa yang menjadi pertimbangan pemerintah memang cukup realistis. Pasalnya, kasus yang menimpa Akil Mochtar kian menambah kondisi penegakan hukum yang begitu carut marut, sehingga tidak mengherankan jika kemudian kepercayaan publik begitu tergerus habis terhadap lembaga penegak hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Janpatar Simamora dalam tulisannya “Mengadili Sang Pengadil” di Harian Waspada, Edisi Senin, 07 Oktober 2013 bahwa perkara yang menimpa Akil Mochtar telah mengakibatkan lembaga penegak hukum menjadi kehilangan pamor dan wibawanya. Yang bergejolak dan berkuasa justru wajah hukum dengan menonjolkan kekuasaan dan kekuatan uang. Semua orang tahu bahwa dalam alam penegakan hukum, salah satu asas yang sering didengungdengungkan berbagai pihak ke permukaan adalah asas equality before the law. Asas ini menekankan adanya persamaan di hadapan hukum. Siapapun sama di hadapan hukum, tanpa mengenal adanya pengecualian. Ketika seseorang diduga melakukan pelanggaran hukum atau jenis perbuatan lainnya yang bertentangan dengan hukum, maka proses penyelesaiannya adalah melalui mekanisme hukum yang berlaku. Namun fakta menunjukkan bahwa hukum tidak jarang justru begitu mudah lumpuh ketika berhadapan dengan kekuatan materi dan kekuasaan. Hukum begitu gampang dibeli dengan imbalan sejumlah uang dan kekuasaan. Terlepas dari itu, dalam perjalanannya kemudian, setelah Perppu Nomor 1 Tahun 2013 bergulir ke DPR dalam rangka memperoleh persetujuan, tampaknya mayoritas anggota DPR memiliki pandangan yang sama bahwa tragedi suap yang menimpa salah satu hakim MK cukup layak dijadikan sebagai salah satu persoalan bangsa dan negara yang memenuhi kriteria atau unsur kegentingan yang memaksa sebagaimana syarat utama dalam penerbitan sebuah Perppu. Sehingga dengan demikian, maka Perppu dimaksud diterima DPR dan disetujui menjadi undang-undang.
61
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 55 - 64
Hal itu menunjukkan bahwa upaya untuk lebih mengobjektifkan proses penerbitan Perppu masih bisa dilakukan selain melalui mekanisme perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945. Tinggal kemudian yang menjadi persoalan adalah bagaimana agar DPR dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik, khususnya dalam rangka menilai layak tidaknya sebuah Perppu untuk diterima keberadaannya dan disahkan menjadi sebuah undang-undang. Hal ini sangat penting untuk ditegaskan agar kemudian proses politik dalam rangka mendapatkan persetujuan terhadap Perppu untuk menjadi undang-undang tidak terkesan hanya sebatas formalitas belaka atau seperti “tukang stempel” yang hanya menerima dan mengesahkan tanpa melalui proses pengkajian secara matang. Kalau mekanisme politik di DPR dapat berjalan dengan baik, maka sesungguhnya tidak perlu dikhawatirkan hak subjektif presiden dalam menerbitkan sebuah Perppu. Kalaupun pada akhirnya sisi subjektif pertimbangan presiden teramat kentara pada saat terbitnya sebuah Perppu, maka DPR dapat “mengubahnya” menjadi lebih objektif melalui proses politik di Senayan atau bahkan menolaknya untuk menjadi sebuah undang-undang. Dengan demikian, setiap Perppu yang dikeluarkan oleh presiden akan benar-benar didasarkan pada fakta nyata bahwa negara dan bangsa sedang dalam keadaan kegentingan yang memaksa sebagaimana kriteria atau unsur keadaan memaksa menurut pandangan mayoritas penduduk negeri ini.
C.
Penutup
Kewenangan presiden dalam menerbitkan Perppu merupakan kewenangan konstitusional karena diatur dalam UUD. Namun sampai saat ini, belum ditemukan adanya pengaturan terkait apa sesungguhnya yang dimaksud dengan “ihwal kegentingan yang memaksa” dalam penerbitan Perppu. Namun semikian, jika dicermati kata-kata “ihwal kegentingan yang memaksa”, maka setidaknya dapat diidentifikasi sejumlah kriteria atau unsur yang tergolong dalam kategori kegentingan yang memaksa, yaitu, pertama, terdapat suatu hal atau keadaan yang sangat darurat atau mendesak; kedua, tidak ada alternatif sarana lain sebagaimana lazimnya dalam kondisi normal yang mampu untuk menyelesaikan keadaan darurat atau mendesak dimaksud dan
62
Kriteria Unsur Kegentingan.....(Janpatar Simamora)
ketiga, keadaan dimaksud membutuhkan proses penanganan secara cepat sehingga “dipaksa” untuk diselesaikan dengan segera.
Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media: Bandung.
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Sekalipun dapat diidentifikasi sejumlah kriteria atau unsur yang dapat dikategorikan sebagai suatu kegentingan yang memaksa, namun demikian mengingat penerbitan Perppu merupakan kewenangan mutlak presiden, maka menjadi sangat dimungkinkan terjadi di mana Perppu yang dikeluarkan disandarkan pada pertimbangan subjektif seorang presiden. Oleh sebab itu, kiranya perlu dipertegas apa sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah “ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 serta apa saja syarat-syarat yang terkandung di dalamnya. Hanya saja mengingat rumitnya dan panjangnya proses yang harus dilalui dalam melakukan amandemen terhadap UUD, maka peran DPR dalam pembahasan Perppu pada sidang berikutnya diharapkan dapat berjalan optimal. Sehingga dengan demikian, maka kadar subjektif pertimbangan presiden dalam menerbitkan Perppu akan dapat diminimalisasi dan diarahkan menuju pertimbanganpertimbangan seobjektif mungkin.
Siallagan, Haposan dan Simamora, Janpatar. 2011, Hukum Tata Negara Indonesia, Medan: UD. Sabar.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 94/PUUXI/2013, tentang perkara Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Daftar Pustaka Asshiddiqie, Jimly. 2007, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada. Candranegara, Ibnu Sina, Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar Lembaga Negara, Jurnal Yudisial, Volume 5 Nomor 1, April 2012. Febriansyah, Reza Fikri. 2009, Eksistensi dan Prospek Pengaturan Perppu dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia, Desember 30, http://ditjenpp. kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/75eksistensi-dan-prospek-pengaturan-perppudalam-sistem-norma-hukum-negararepublik-indonesia.html, diakses pada 20 Desember 2013.
Simamora, Janpatar, Multitafsir Pengertian “Ihwal Kegentingan yang Memaksa” dalam Penerbitan Perppu, Jurnal Mimbar Hukum UGM Yogyakarta, Volume 22 Nomor 1, Februari 2010. 2010, “Sejak Bung Karno Hingga Presiden SBY Sudah Terbit 207 Perppu”, http://www. hukumonline.com/berita/baca/lt4d00987b 78d15/sejak-bung-karno-hingga-sby-sudahterbit-207-perppu, diakses pada 03 Februari 2014. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum dan sesudah amandemen). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi UndangUndang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Undan-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUUXI/2013, tentang perkara Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUUXI/2013, tentang perkara Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUUXI/2013, tentang perkara Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUUXI/2013.
Huda, Ni'matul, Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 5, Oktober 2010. Kelsen, Kelsen. 1971, General Theory of Law and State, Russel and Russel: New York (Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, 2011,
63
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 57 - 66
PERMASALAHAN KEDAULATAN WILAYAH RUANG UDARA DI INDONESIA (THE PROBLEMS OF INDONESIAN AIR SPACE SOVEREIGNTY) May Lim Charity Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jl. HR. Rasuna Said Kav.6-7, Jakarta Selatan Indonesia Email :
[email protected] (Naskah diterima 17/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014) Abstrak Masalah status hukum ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan suatu negara berdaulat yang digunakan untuk melakukan penerbangan sudah dibahas secara resmi dalam Konferensi Paris 1910. Seiring perkembangan waktu, pemahaman kedaulatan wilayah udara negara berkembang dan diatur dalam Konvensi Chicago dan hukum positif Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Akan tetapi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan belum menjawab persoalan kedaulatan wilayah udara. Penulis membeberkan praktek pelanggaran kedaulatan wilayah udara Indonesia dan bagaimana hukum positif Indonesia masih mempunyai kelemahan dalam mengatur masalah pelanggaran kedaulatan wilayah udara Indonesia. Permasalahan masuknya pesawat-pesawat asing ke wilayah udara Indonesia, penindakan hukum yang lemah akibat kurangnya pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan serta permasalahan Flight Information System (FIR) yang masih dikelola oleh negara lain, padahal wilayah udara pengaturan FIR adalah wilayah udara Indonesia. Permasalahan tersebut harus segera dicari solusinya. Kata kunci: penerbangan, wilayah udara. Abstract Issue of legal status of the air space above the lands and waters of a sovereign state that is used to make the flights has been discussed formally in the Paris Conference in 1910. Over the years, understanding of air space sovereignty in any developing countries is set in the Chicago Convention and Indonesian positive law, namely Law Number 1 of 2009 on Aviation. However, Law Number 1 of 2009 about the flights has not answered the question of the sovereignty of airspace. The writer revealed the practice of Indonesian air space violation of sovereignty and how the Indonesian positive law still has weaknesses in regulating the violation of air space sovereignty of Indonesia. Problems in flux of foreign air craft to Indonesian air space, law enforcement is still weak due to the lack of regulation in the Law Number 1 of 2009 on Aviation and problems on Flight Information System (FIR) which is still managed by other countries, whereas the FIR airspace settings is in Indonesian airspace territory. These problems must be immediately sought the solution, and in this case the writer has an opinion to revise Law Number 1 of 2009 on Aviation and build a cooperation of all parties to overcome Indonesian air space sovereignty issues. Key words : flight, airspace territory.
A.
Pendahuluan
Masalah status hukum ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan suatu negara berdaulat yang digunakan untuk melakukan penerbangan mulai dibahas secara resmi dalam Konferensi Paris 1910 yang berlangsung dari 10 Mei dan berakhir 29 Juni 1910. Latar Belakang Konferensi Paris 1910 adalah kenyataan banyaknya penerbangan yang berlangsung di Eropa tanpa memperhatikan kedaulatan negara di bawahnya (negara kolong) karena pada saat itu belum ada pengaturannya. Balon bebas tinggal landas dari suatu negara dan mendarat di negara lain tanpa ada izin dari negara yang bersangkutan akan membahayakan. Pesawat udara dapat digunakan untuk mengangkut militer, 1
64
mata-mata yang dapat mengancam keamanan nasional negara di bawahnya.1 Di Indonesia, penerbangan sudah diatur sejak zaman dahulu. Landasan hukum penerbangan adalah Luchtvaart Besluit 1932 (Staatblad 1934 No.118) dan Luchtvaart Ordonantic 1934 (Staatblad 1934 No. 205 jo Staatblad 1942 No. 36). Selanjutnya Luchtvaart besluit diganti dengan Undang-Undang Nomor 83 tahun 1958 tentang Penerbangan. Kemudian Undang-Undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan. Seiring berjalannya waktu berganti dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992 tentang Penerbangan, berganti lagi sampai terakhir
H.K.Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik , Jakarta, 2012, Rajawali Pers, hlm. 11.
65
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 65 - 72
yang dipakai sekarang adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Tentu pemikiran para ahli dan anak bangsa dalam menelurkan ide terhadap Undang-Undang Penerbangan tersebut harus diapresiasi setinggi mungkin. Pada prinsipnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur permasalahan lebih rinci bila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992 yang hanya terdiri dari 15 bab dan 76 pasal. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan terdiri dari 24 Bab dan 446 pasal. Menilik dari ketentuan Undang-Undang tersebut, rasa-rasanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan lebih bisa memberikan kepastian hukum secara lebih baik bagi semua pihak. Akan tetapi persoalan penerbangan sekarang ini dan ke depannya menjadi tidak mudah. Banyak persoalan dari berbagai sisi, antara lain dibukanya single european sky dan kemudian lahir ruang udara baru yaitu ruang udara baru Uni Eropa.2 Sejalan dengan kebijakan open sky tersebut, tentu saja Indonesia sebagai bagian dari World Trade Organization (WTO) menginginkan hal itu juga dilakukan di tanah air. Belum lagi persoalan angkutan penerbangan sipil dengan segala lingkup permasalahannya. Tulisan ini tidak membahas mengenai persoalan-persoalan tersebut, akan tetapi mencoba fokus pada persoalan penerbangan yang terkait dengan prinsip kedaulatan udara terhadap praktek di lapangan dengan banyaknya pelanggaran pesawat asing yang melanggar kedaulatan wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mencoba menawarkan solusi melalui revisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Seperti kita ketahui bersama, di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, yaitu pelanggaran wilayah diatur dalam Pasal 401, Pasal 402 dan Pasal 414. Pasal 401 menyebutkan “Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terlarang dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sedangkan menurut Pasal 402 menyebutkan
“Orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara yang hanya dapat digunakan untuk penerbangan pesawat udara negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Pasal 414 menyebutkan “Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”. Walaupun pengaturan mengenai kedaulatan wilayah udara sudah dimuat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, namun dalam pandangan penulis, ketentuan tersebut tidaklah memadai. Bila berbicara mengenai kedaulatan sebuah negara, kita jangan hanya berbicara mengenai kedaulatan tanah dan kedaulatan air, tapi juga kedaulatan menyeluruh termasuk kedaulatan udara.
B.1. Sejarah Kedaulatan Wilayah Udara Di bidang ruang udara, kedaulatan tersebut telah diperkenalkan oleh Montgolfer Bersaudara yang berhasil meluncurkan balon pertama berawak pada tahun 1783. Akan tetapi profesi hukum ternyata sangat lambat menangani masalahmasalah hukum di bidang penggunaan ruang udara. Baru pada tahun 1901, seorang ahli hukum Perancis, Fauchille yang sangat visioner mengetengahkan bahwa ruang udara di atas wilayah suatu negara membutuhkan kebebasan untuk pemanfaatan penerbangan.3 Di antara para ahli hukum internasional pada umumnya belum ada kesepakatan yang baku secara internasional dapat diterima mengenai pengertian udara (air law). Kadang-kadang digunakan istilah hukum udara (air law) atau hukum penerbangan (aviation law) atau hukum navigasi udara (air navigation law) atau hukum pengangkutan udara (air transportation law) dan hukum aeronautika penerbangan (aeronautical law) atau hukum udara aeronautica (air-aeronautical law) saling bergantian tanpa dibedakan satu terhadap lain. Istilah aviation law atau navigation law atau air transportation law atau aerial law atau
2 OECD, OECD Workshop on Principle for The Liberalizationof Air Cargo Transportation, Principles for The Liberalization of Air Cargo, 2000. http://www.oecd.org/dataoecd/7/9/1806687.pdf. 3
66
H. Priyatna Abdurrasyid, Pertumbuhan Tanggung Jawab Hukum Pengangkut Udara, Jakarta, 2013, PT. Fikahati Aneska 2013, hlm. 2.
Permasalahan Kedaulatan Wilayah.....(May Lim Charity)
aeronautical law atau air aeronautical law pengertian yang lebih sempit dibandingkan dengan air law.4 Undangan Konferensi Paris 1910 disampaikan kepada negara-negara Eropa seperti Austria, Hongaria, Inggris, Belgia, Bulgaria, Denmark, Prancis, Jerman, Portugal, Rumania, Rusia, Spanyol, Swedia, Swiss dan Turki pada Agustus 1909. Dalam undangan tersebut termuat beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Pemerintah Prancis kepada setiap negara. Antara Desember 1908 sampai dengan Agustus 1909 kedua pemerintah Inggris dan Prancis sepakat menghindari pembahasan masalah-masalah mendasar, terutama apakah ruang udara yang digunakan untuk penerbangan internasional merupakan wilayah negara di bawahnya (negara kolong) atau apakah ruang udara merupakan ruang bebas yang dapat digunakan untuk keluar masuk pesawat udara milik negara lain.5 Konvensi Paris 1919 yang berjudul Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation yang ditandatangani pada 13 Oktober 1919 tersebut terdiri dari dua bagian, masing-masing: naskah utama (the main part) dan naskah tambahan. Naskah utama masing-masing mengatur kedaulatan atas wilayah udara, lintas damai (innocent passage), zona larangan terbang (nationality and registration mark), sertifikat pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara dan radio penerbangan, izin penerbangan, keberangkatan dan kedatangan pesawat udara, larangan pengangkutan bahan berbahaya, klasifikasi pesawat udara (aircraft classification), komisi navigasi penerbangan dan ketentuan penutup dan naskah tambahan terdiri atas delapan Annex (A-H).6 B.2. Prinsip Kedaulatan Negara di Ruang Udara di Atas Wilayahnya Masalah pemikiran ruang udara telah merupakan persoalan jauh sebelum ruang udara tersebut dijadikan daerah lintas penerbangan.7 Memang timbul perdebatan apakah ruang udara tersebut benar-benar bebas, untuk mempertahankan kedaulatan sebuah negara di bawahnya ataukah terbatas, seperti laut teritorial sebagaimana diatur dalam hukum laut
internasional, dalam arti ada lintas damai bagi pesawat udara asing. Di Indonesia sendiri kedaulatan wilayah udara tersebar di berbagai peraturan antara lain: -
Undang-Undang No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Pasal 1 angka 2 “Wilayah udara adalah wilayah kedaulatan udara diatas wilayah daratan dan perairan Indonesia” Pasal 5 “Negara Kesastuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”
-
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara Pasal 6 ayat 1 c “Batas wilayah negara di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan dilaut, dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan Hukum Internasional”
-
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang Pasal 6 ayat 5 “Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri”
-
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan Pasal 1 angka 3 “Ruang Udara adalah ruang yang mengelilingi dan melingkupi seluruh permukaan bumi yang mengandung udara yang bersifat gas”
Article 1 Chicago Convention 1944 8 menyatakan “The contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory”. Artinya, dapat kita simpulkan kedaulatan di atas teritorial wilayah negara merupakan kedaulatan penuh dari suatu negara. Konvensi Internasional yang mengatur penerbangan sipil internasional dan telah mengikat 190 negara adalah Convention on International Civil Aviation atau sering dikenal dengan sebutan
4
H.K Martono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, Jakarta, 2013, Rajawali Pers, hlm. 3.
5
H.K Martono. Op Cit, hlm. 12.
6
Ibid, hlm. 27-28.
7
H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Jakarta, 2003. PT. Fikahati Aneka, hlm. 127.
8
Lihat Chicago Convention On International Civil Aviation, 7 December 1944.
67
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 65 - 72
Konvensi Chicago 1944 (Chicago Convention). Dalam pasal 37 dengan jelas dikatakan bahwa untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan negara peserta Konvensi Chicago 1944 harus berupaya mengelola penerbangan sipil (personil, pesawat, jalur penerbangan dan lain lain) dengan peraturan, standar, prosedur dan organisasi yang sesuai (uniform) dengan standar yang dibuat International Civil Aviation Organization (ICAO). Untuk itu ICAO selalu membuat dan memperbarui standar and recomended practices (SARPs) yang dituangkan dalam Annexes 1-18 dengan berbagai dokumen dan circular penjabarannya yang harus dipatuhi oleh negara peserta Konvensi Chicago.9 B.3. Contoh Kasus Pelanggaran Wilayah Udara Indonesia
Kedaulatan
Permasalahan masuknya pesawat asing ke daerah wilayah kedaulatan Indonesia sudah sering terjadi. Ada beberapa contoh kasus pelanggaran wilayah udara Indonesia: 1.
10
Kasus di Pulau Bawean
Kejadian penegakan hukum oleh TNI Angkatan Udara pada tanggal 3 Juli 2003 adalah pada saat dilaporkan bahwa ada 5 Pesawat F-18 yang terbang dari Kapal Induk USS Carl Vinson yang berlayar pada ALKI dan berada di sekitar Pulau Bawean. Pesawat tersebut terbang dengan melaksanakan berbagai manuver, ketinggian bervariasi antara Flight Level 15.000-35.000 feet, kecepatan sekitar 450 Kts dan Squawk number (IFF mode 3/A) 1200. Tidak ada komunikasi dengan ATC Bali atau Surabaya sebagai unit PLLU tersebut, karena pesawat tersebut tidak melakukan komunikasi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan penerbangan. Leader Pesawat TNI AU melaksanakan misi identifikasi visual dan pesawat F-18 tersebut diminta kontak ke ATC setempat karena “Bali Control” tidak mengetahui status mereka, akhirnya pesawat tersebut kembali ke Pangkalan Iswahyudi. 2.
Kasus di Bandara Mopah Merauke11 Pada tanggal 10 November 2008, Pesawat jenis
Permasalahan Kedaulatan Wilayah.....(May Lim Charity)
V8 bernomor VH3-PFP milik Cape Air Transport, pesawat dengan pilot Captain William Henry Scott Bloxam, warga negara Australia. Saat itu pesawat tidak membawa surat izin penerbangan (security clearance dan data approval) maupun visa. Istri sekaligus copilot bernama Vera Scott Bloxam dan penumpang Hubert Hofer, Karen Burke dan Keith Rowald Mortimer. 3.
12
Kasus di Sultan Iskandar Muda Tanggal 20 Mei 2013, pesawat Donnier 328 (USAF) rute Maldives-Banda Aceh (BTJ) tidak dilengkapi dengan Flight Clearance for Indonesian Territory.
Pelanggaran wilayah udara tersebut masih banyak lagi. Pelanggaran wilayah udara tersebut tidak terjadi di wilayah udara Indonesia saja. Hal tersebut juga terjadi di negara-negara lain. Seperti diketahui kedaulatan udara Indonesia adalah bagian tugas utama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyatakan “TNI bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara meliputi”: a. mempertahankan kedaulatan wilayah negara; b. Melindungi kehormatan dan dan keselamatan bangsa; c. Melaksanakan Operasi Militer Selain Perang; d. Ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Sementara tugas TNI angkatan Udara menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia adalah a. melaksanakan tugas TNI di bidang matra pertahanan; b. Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan internasional yang telah diratifikasi; c. Melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra udara serta d. Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan udara. Permasalahannya, point (b) yaitu “menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan internasional yang telah diratifikasi” belum jelas, karena menurut ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009
9.
Yadi Supriyadi, Keselamatan Penerbangan Terori dan Problematikanya, Jakarta, 2012, PT. Telaga Ilmu Indonesia, hlm. 5.
10.
Suara Merdeka, 1993. AS terbukti Langgar Kedaulatan Udara RI., http://www. suaramerdeka.com/harian/0307/09/nas15.html.
11. Tekno Kompas.Com, 2008. Lima Warga Australia Menerobos ke Merauke, http://tekno.kompas.com.read/2008/09/ 15/00391254/lima.warga.australia.menerobos.ke.merauke. 12. Nuga.Co, 2013. Pesawat Militer As di SIM Bisa Terbang lagi, http://www.nuga.co/nuga-news/pesawat-militer-as-di-sim-bisaterbang -lagi.html.
68
tentang Penerbangan “ketentuan lebih lanjut mengenai pelanggaran wilayah kedaulatan, penetapan kawasan udara terlarang, kawasan udara terbatas, pelaksanaan tindakan terhadap pesawat udara dan personel pesawat udara serta tata cara dan prosedur pelaksanaan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah” Menjadi pertanyaan kritis apakah pemahaman kita sama dalam penuangan pelanggaran wilayah udara tersebut melalui Peraturan Pemerintah, misalnya saja mengenai security clearance (perizinan keamanan terbang) dan Flight Approval (izin terbang). Pengaturan mengenai keduanya harus benar-benar detail dan rinci, misalnya mengenai security clearance yang hendaknya dilakukan juga kepada penerbangan sipil tidak berjadual. Mungkin akan timbul perdebatan mengenai ini di berbagai instansi terkait, akan tetapi menurut penulis wilayah nusantara Indonesia yang begitu luas sangat memungkinkan sekali bagi pelanggaran wilayah kedaulatan negara seperti pemotretan wilayah udara ilegal, survey iegal teradap sumber daya alam Indonesia, terorisme, penyelundupan senjata dan lainnya. Selain itu mengenai flight approval (izin terbang). Pada saat ini yang bisa diefektifkan dalam penanganan pelanggaran pesawat udara asing yang tidak memiliki flight approval hanya Pasal 17 Peraturan Dirjen Hubud No. Skep/195/IX/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Persetujuan Terbang (Flight Approval) yang menentukan bahwa pesawat udara yang tidak memiliki Flight Approval dikenakan biaya pendaratan tambahan: a.
untuk kegiatan angkutan udara dalam negeri sebesar 100 kali dari biaya pendaratan yang telah ditetapkan;
b.
untuk kegiatan angkutan udara luar negeri sebesar Rp. 60.000.000,-
Pasal 414 ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan “Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”. Sementara izin yang dimaksud adalah izin dari Menteri Perhubungan Udara dan ini adalah izin mengenai angkutan udara dan sanksinya berupa peringatan, pembekuan sertifikat
dan atau pencabutan sertifikat (ketentuan Pasal 63 ayat (5)) dan bukan pelanggaran wilayah udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan penjelasannya (memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin). Selain itu pada ketentuan Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan ditentukan: personel pesawat udara, pesawat udara, dan seluruh muatannya yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diperiksa dan disidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Permasalahannya adalah norma hukum aerial instrusion tersebut tidak diikuti dengan sanksi dan tindak pidananya, baik itu pidana maupun alternatif sanksi lainnya. Ketentuan hukum yang ada hanya diatur dalam bentuk Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 195/XI/2008. B.4. Permasalahan Wilayah Udara di Lintas Batas Negara Ketentuan Article 2 Chicago Convention 1944 menyatakan “for the purpose of this convention the territory of a State shall be deemed to be the land areas dan territorial waters adjacent thereto under the soverignty, suzerainty, protection or mandate of such State”. Artinya, negara pihak Konvensi Chicago harus memberikan pelayanan lalu lintas pener-bangan wilayah udaranya. Wilayah udara dimaksud disebut Flight Information Region (FIR). Secara lebih singkat FIR adalah FIR adalah wilayah udara yang di dalam wilayah udara tersebut diberikan flight information services dan flight alerting services. Pemberian pelayanan ini adalah untuk keselamatan penerbangan. Flight Information Services terdiri dari SIGMET (Significant Meteorological Information) dan AIRMET (AIRman's Meteorological Information), sementara Flight Alerting Services adalah pemberian informasi jika keadaan darurat, atau mengadakan koordinasi dengan otoritas terkait untuk menangani keadaan darurat. Di Indonesia sendiri, wilayah udara Indonesia dibagi dalam tiga zona FIR: a.
FIR Jakarta meliputi wilayah bagian Barat Indonesia mulai bagian barat Pulau Kalimantan hingga bagian Barat Indonesia mulai Barat Jawa Tengah;
b.
FIR Ujung Pandang meliputi wilayah bagian timur Indonesia;
c.
FIR Singapura meliputi wilayah Kepulauan Riau dan Natuna.
69
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 65 - 72
Penulis menyadari FIR tentu saja bukan merupakan wilayah kedaulatan negara, sehingga memberikan pengelolaan FIR kepada negara lain bukanlah berarti memberikan pengelolaan batas wilayah udara kepada negara lain. Akan tetapi berkaitan dengan permasalahan tersebut, dalam Pasal 458 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan disebutkan: “Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku” Untuk itulah perlu kiranya kepekaan kita bersama dalam mengantisipasi persoalan ini, karena ada wilayah udara Indonesia yang dikelola oleh negara tetangga, yaitu wilayah Indonesia yang berada di FIR Singapura. Wilayah udara ini dibagi dalam penggolongan Zona yaitu: a.
Zona A: sekitar Batam dan sebagian Provinsi Riau dikelola Singapura.
b.
Zona B: sekitar perairan perbatasan di Laut Natuna dikelola oleh Malaysia.
c.
Zona C: sekitar perairan Laut Natuna hingga perairan Belitung dan perairan Kalimantan Barat dikelola Singapura.
Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang menyatakan “Wilayah udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia” dan Pasal 5 “Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”. Selain itu, sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia yang meratifikasi Konvensi Chicago 1944 menganut pemahaman setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayahnya dan tidak dikenal adanya hak lintas damai. Berdasarkan Article 11 Chicago Convention 1944 : “subject to the provision of this convention, the laws and regulations of a contracting State relating to the admission to or departure from its territory of aircraft engaged in International air navigation or to the operation and navigation of such aircraft while within its territory shall be applied to the aircraft of all contracting States without distinction as to nationality ans shall be complied with by such aircraft upon
70
Permasalahan Kedaulatan Wilayah.....(May Lim Charity)
entering or departing from a while within the territory of that State”, Singapura dan Malaysia memiliki kewenangan memberikan pelayanan lalu lintas penerbangan di FIR singapura termasuk wilayah Indonesia Riau dan Natuna, akan tetapi wilayah udara di wilayah Indonesia tetap adalah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
C.
Penutup
Kedaulatan wilayah udara sebuah negara adalah kedaulatan sebagaimana tercantum dalam Article 1 Chicago Convention 1944 yang menyatakan bahwa wilayah udara yang berada di atas wilayah teritorial suatu negara adalah hak eksklusif negara bersangkutan. Hukum positif Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, menyatakan Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia.
H. Priyatna Abdurrasyid, Pertumbuhan Tanggung Jawab Hukum Pengangkut Udara, Jakarta, 2013, PT. Fikahati Aneska H.K Martono, Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional, Jakarta, 2013, Rajawali Pers H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Jakarta, 2003., PT. Fikahati Aneska Yadi Supriyadi, Keselamatan Penerbangan Terori dan Problematikanya, Jakarta, 2012, PT. Telaga Ilmu Indonesia Suara Merdeka, 1993. AS terbukti Langgar Kedaulatan Udara RI., http://www.
suaramerdeka.com/harian/0307/09/nas15. html Tekno Kompas.Com, 2008. Lima Warga Australia Menerobos ke Merauke, http://tekno. kompas.com.read/2008/09/15/00391254/l ima.warga.australia.menerobos.ke.merauke Nuga.Co, 2013. Pesawat Militer As di SIM Bisa Terbang lagi, http://www.nuga.co/nuganews/pesawat-militer-as-di-sim-bisa-terbang -lagi.html Convention On International Civil Aviation Signed At Chicago, On 7 December 1944 (Chicago Convention)
Permasalahan yang terjadi di wilayah udara Indonesia sangat beranekaragam, di antaranya masuknya pesawat-pesawat asing ke wilayah udara Indonesia dengan ketentuan hukum yang minim di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan serta permasalahan Flight Information Region (FIR) yang masih dikelola oleh negara lain. Penulis menyarankan untuk segera dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan terkait permasalahan kedaulatan wilayah udara Indonesia. Perlu kiranya kerjasama dari berbagai instansi terkait dalam kaitan revisi Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan dan lobi internasional terhadap pengelolan FIR oleh negara tetangga supaya kedaulatan wilayah udara yang berada di atas territori Indonesia menjadi sepenuhnya milik Indonesia.
Daftar Pustaka H.K.Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik , Jakarta, 2012, Rajawali Pers OECD, OECD Workshop on Principle for The Liberalizationof Air Cargo Transportation, Principles for The Liberalization of Air Cargo, 2000. http://www.oecd.org/dataoecd/7/ 9/1806687.pdf
71
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 65 - 72
TANGGUNG JAWAB HUKUM DALAM KECELAKAAN PESAWAT TERBANG SUKHOI SUPERJET 100 (LEGAL RESPONSIBILITY IN SUKHOI SUPERJET 100 AIRCRAFT ACCIDENT) Velliana Tanaya Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan M.H. Thamrin Boulevard 1100 Lippo Village Tangerang Indonesia Email :
[email protected] (Naskah diterima 14/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)
Abstrak Di era modern penggunaan pesawat sebagai transportasi utama sangat tinggi. Pada tahun 2001, sektor transportasi udara telah membuat perkembangan yang sangat tinggi dalam regulasi dan efek samping sehingga mengakibatkan banyak perusahaan penerbangan baru telah muncul. Mengingat fakta bahwa sebelumnya hanya ada beberapa penerbangan yang dikenal di Indonesia seperti Garuda Indonesia Airlines, Merpati Airlines, Mandala Airlines dan lainlain Meningkatnya jumlah yang signifikan dari perusahaan maskapai baru adalah karena fleksibilitas dari peraturan baru yang dikeluarkan pada tahun 2001. Fleksibilitas peraturan baru dari maskapai penerbangan nasional Indonesia juga berdampak pada meningkatnya jumlah kecelakaan pesawat. Dari tahun ke tahun jumlah kecelakaan pesawat udara di Indonesia semakin meningkat. Bahkan setelah peraturan baru dibuat yang diharapkan dapat mengurangi jumlah kecelakaan pesawat, itu tidak menghentikan kecelakaan. Pada tanggal 9 Mei 2012, kecelakaan Pesawat Sukhoi Superjet 100 terjadi. Sukhoi Superjet 100 menghilang dalam penerbangan demonstrasi berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Indonesia. Pada tanggal 10 Mei, tampak bahwa pesawat jatuh langsung ke sisi gunung berbatu. Sukhoi Superjet 100 kecelakaan pesawat disebabkan oleh kelalaian kru dalam membuat keputusan. Karena kelalaian ini orang membutuhkan penjelasan dan tanggung jawab dari bandara, perusahaan pesawat terbang atau Airline crew. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian hukum ini adalah untuk menganalisis bentuk-bentuk tanggung jawab masing-masing pihak yang terlibat dalam kasus Sukhoi Superjet 100 kasus kecelakaan adalah Airport, Aircraft Company, Crew penerbangan dan Pemerintah. Hasil penelitian hukum ini juga dimaksudkan untuk memperjelas tanggung jawab berbagai pihak dalam kasus ini dan juga untuk memajukan hukum penerbangan di Indonesia. Kata kunci: Bandara, perusahaan pesawat, awak pesawat.
Abstract In the modern era the use of aircraft as the main transportation is very high. In 2001, the air transport sector has made a very high development in regulation and the side effect thus resulting in many new airlines have emerged. Considering the fact that previously there is only a few airlines known in Indonesia such as Garuda Indonesia Airlines, Merpati Airlines, Mandala Airlines and etc. The significant increasing number of this new airline company is due to the flexibility of the new regulations issued in 2001. The flexibility of the new regulation of Indonesia national air carrier also impact on the increasing number of aircraft accidents. From year to year the number of aircraft accidents in Indonesia is increasing. Even after a new regulation is made which is expected to reduce the number of aircraft accidents, it didn't stop the accident. On May 9, 2012 the Sukhoi Superjet 100 Aircraft accident occurred. Sukhoi Superjet 100 disappeared in a demonstration flight departing from Halim Perdanakusuma Airport, Jakarta, Indonesia. On May 10, it appears that the planes crashed directly into the side of a rocky mountain. Sukhoi Superjet 100 plane crash was caused by the negligence of the crew in making decisions. Because of this negligence people need explanation and responsibility from airport, aircraft company or Airline crew. Therefore, the purpose of this legal research is to analyze the forms of responsibility of each party involved in the case Sukhoi Superjet 100 accident cases is the Airport, Aircraft Company, the Flight Crew and The government. The results of this legal research is also intended to clarify the responsibilities of the parties in this case and also to advance the aviation law in Indonesia. Keyword: Airport, Aircraft Company, Flight Crew.
72
73
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84
A.
Pendahuluan
Pada jaman dahulu sebelum terjadinya revolusi industri, manusia harus berjalan kaki dari satu tempat untuk menuju ke tempat lainnya. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia menciptakan roda pada tahun 3500 Sebelum Masehi (untuk selanjutnya akan disebut “SM”) sebagai cikal bakal penemuan transportasi modern. Pada tahun 2000 SM manusia kemudian mulai menggunakan tenaga kuda sebagai sarana transportasi. Perkembangan di bidang transportasi ini terus berlanjut sampai pada tahun 1750-1850 dimana terjadinya Revolusi Industri yaitu perubahan radikal dalam usaha mencapai produksi dengan menggunakan mesin-mesin, baik untuk tenaga penggerak maupun untuk tenaga pemroses.1 Puncak perkembangan transportasi udara terjadi pada tahun 1903 ketika Orville Wright dan Wilbur Wright atau yang dikenal dengan Wright Bersaudara berhasil menerbangkan pesawat terbang ciptaannya di Amerika Serikat.2 Setelah penemuan Wright bersaudara, pesawat terbang kemudian mengalami banyak perubahan dan modifikasi untuk mengakomodasi kebutuhan transportasi udara baik untuk kebutuhan jarak dekat maupun jauh dan tidak hanya di Amerika Serikat namun juga di berbagai negara, termasuk Indonesia.3 Pada tahun 1911 telah dilakukan demonstrasi penerbangan pesawat bermotor pertama di Indonesia tepatnya di Surabaya dan seiring dengan perkembangan-perkembangan industri di Indonesia, muncullah maskapai penerbangan pertama di Indonesia.. Maskapai penerbangan sendiri merupakan suatu perusahaan penerbangan yang bergerak dalam bidang angkutan udara yang mengangkut penumpag, barang, pos, dan kegiatan keudaraan lainnya dengan mengangkut bayaran, dengan menggunakan pesawat terbang bersayap tetap maupun bersayap putar yang melakukan kegiatan penerbangan secara berjadwal maupun tak berjadwal.4 Pengaturan mengenai penerbangan yang pertama terdapat dalam Undang-undang Republik 1
Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)
Indonesia No. 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan yang kemudian diganti dengan Undang-undang Republik Indonesia No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Undang-undang ini pada akhirnya dicabut karena dianggap tidak efektif dengan absennya pasal-pasal penting, sebagai berikut:
persaingan antar maskapai-maskapai penerbangan baru yang muncul membuat penggunaan jasa pesawat terbang menjadi meningkat dan hal tersebut dapat dilihat dengan banyaknya pengguna pesawat terbang yang seringkali memenuhi bandara udara.
1.
Sumber daya yang professional pengoperasian penerbangan5
2.
Persyaratan kepemilikan pesawat udara untuk memperoleh ijin usaha angkutan udara niaga.6
3.
Sanksi administratif, sanksi peringatan atau pencabutan sertifikat, lebih lanjut lagi sebagian sanksinya dijabarkan dalam peraturan pemerintah, sedangkan peraturan pemerintah tidak terdapat sanksi administratif.7
Peningkatan penyelenggaraan angkutan udara nasional di Indonesia berdampak pula pada meningkatnya angka kecelakaan pesawat terbang yang menjadi semakin sering terjadi. Dari tahun ke tahun jumlah kecelakaan pesawat terbang di Indonesia tak dapat dianggap sebagai hal yang ringan. Jenis kecelakaan yang terjadi bervariasi, yaitu dari kecelakaan ringan seperti pendaratan yang keluar landasan sampai dengan kecelakaan berat yang terjadi pada saat penerbangan di udara (cruising flight) yang berakibat fatal.9 Jumlah korban yang timbul dari kecelakaan tersebut tidaklah sedikit, yaitu hampir lebih dari 500 (lima ratus) jiwa setiap tahunnya. Akibat tingginya tingkat kecelakaan pesawat terbang Indonesia, Uni Eropa melarang semua pesawat terbang Indonesia. Pada tahun 2008, ICAO pun menemukan terlalu banyak kecelakaan yang melibatkan pesawat terbang Indonesia, sehingga ICAO, FAA dan Tim Uni Eropa menyimpulkan adanya penyimpangan yang serius di Indonesia.10 Hal ini menyebabkan jatuhnya pengaturan atau penguasaan sebagian wilayah udara Indonesia di bawah pengawasan Pemandu Lalu Lintas Udara negara lain. Pemandu Lalu Lintas Udara adalah pengawas lalu lintas udara yang bertujuan memandu dan meningkatkan keselamatan penerbangan, keterpadanan dan pergerakan seluruh pesawat udara di ruang udara.11
dalam
Undang-undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan diharapkan dapat mengatasi kekurangan dari undang-undang yang sebelumnya. Pada tahun 2001, terjadi kemajuan yang sangat pesat di bidang transportasi udara yang ditandai dengan banyaknya maskapai penerbangan baru yang bermunculan. Hal ini merupakan fakta yang mengejutkan mengingat sebelumnya hanya dikenal beberapa maskapai penerbangan seperti Garuda Indonesia Airlines, Merpati Airlines, Mandala Airlines dan sebagainya. Penambahan maskapai penerbangan yang signifikan ini terjadi karena adanya kelonggaran dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan Republik Indonesia (untuk selanjutnya akan disebut “MENHUB RI”) pada tahun 2001 yaitu Keputusan Menteri No 11 Tahun 2001 yang merubah kebijakan nasional tentang industri udara. Dengan keputusan tersebut pemerintah merubah jenjang tahapan pemberian ijin yang diterbitkan untuk kegiatan angkutan udara niaga, yang meliputi daerah operasi, rute dan pengaturan kapasitas yang semakin terbuka.8 Hal ini menyebabkan semakin banyaknya maskapai yang hadir di Indonesia dan menurunnya harga tiket yang tadinya sangat mahal. Penurunan harga tiket pesawat terbang sebagai akibat
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke-4, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), hlm. 773.
2
“Moda Transportasi/Sejarah transportasi,
, diakses 25 Januari 2014 3
“Moda Transportasi/Sejarah transportasi”, Loc.cit.
4
Martono,Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, edisi 1: PT.Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 369.
5
Reputasi penerbangan di Indonesia yang sebelumnya sudah cukup buruk menjadi semakin buruk ditambah lagi pengaturan lalu lintas udara yang dikuasai oleh negara lain. Dari segi teknis, kualitas peralatan sudah sangat tua dan juga kurang memadainya pendidikan di bidang yang bersangkutan juga menyebabkan Indonesia tertinggal dari kemajuan teknologi dan pengoperasian lalu lintas udara dari negara lain. Hal ini menunjukan bahwa pengaturan bandar udara terhadap lalu lintas udara tidak efisien.12 Kelancaran lalu lintas udara diatur oleh Bandar
udara yang berfungsi untuk membantu Pilot dalam mengendalikan keadaan darurat, memberikan informasi yang dibutuhkan pilot (seperti informasi cuaca, informasi navigasi penerbangan, dan informasi lalu lintas udara).13 Pembentukan Undang-undang Penerbangan yang baru diharapkan dapat menurunkan jumlah kecelakaan pesawat terbang, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Regulasi baru tersebut nampaknya tidak diperdulikan oleh beberapa maskapai penerbangan, melihat masih tingginya angka kecelakaan pesawat dan semakin banyak munculnya maskapai penerbangan baru di Indonesia yang masih tidak memenuhi standar kelaikudaraan, Kelaikudaraan adalah terpenuhinya persyaratan minimum kondisi pesawat udara dan atau komponen-komponennya untuk menjamin keselamatan penerbangan dan mencagah terjadinya pencemaran lingkungan.14 Salah satu penyebab tingginya angka kecelakaan pesawat yang di Indonesia adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan penerbangan serta peralatan yang dipakai. Profesionalitas sangat diperlukan dalam pelaksanaan tugas di bidang penerbangan mengingat tanggung jawab yang sangat besar sehingga apabila terjadi 1 (satu) kesalahan yang kecil saja dapat memakan korban puluhan atau bahkan ratusan jiwa. Rendahnya kualitas dan profesionalitas di bidang penerbangan dapat dilihat dari kasus kecelakaan Adam Air Penerbangan KI574 di perairan majene Sulawesi Barat pada tanggal 1 Januari 2007. Kecelakaan ini terjadi karena Kapten penerbang pesawat terlalu sibuk untuk mencari letak malfunction pesawat sehingga tidak memperhatikan ketinggian pesawat terbang dan pada akhirnya pesawat terbang terlalu rendah sehingga mendarat di perairan dan tenggelam.15 Penyebab jatuhnya pesawat terbang Adam Air adalah kerusakan pada alat sistem navigasi yang membantu pesawat untuk mengetahui arah. Setelah kecelakaan Adam Air baru diketahui bahwa seringkali terjadi kerusakan diperangkat sistem navigasi pesawat saat terbang. Akan tetapi oleh pihak Adam Air komponen tersebut tidak langsung diganti tetapi hanya diperbaiki dan dianggap masih
9
Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Cetakan ke II: (PT.Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 297.
10
Chappy Hakim, Awas Ketabrak Pesawat Terbang,(Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia), 2009, hlm. 88.
Martono & Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara, Cetakan ke II: (PT.Raja Grafindo Persada, 2010), hal.22.
11
Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Op.cit., hlm. 189.
6
Ibid., hlm. 19.
12
Chappy Hakim, Awas Ketabrak Pesawat Terbang Ibid.,hlm. 6.
7
Ibid., hlm. 43.
8
“Perkembangan Pengaturan Kegiatan Angkutan Udara Dalam Negeri”, , diakses 12 oktober 2012.
74
13
Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan ,Op.cit., hlm. 190.
14
Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan ,Op.cit., hlm. 119.
15
“Adam Air Penerbangan KI-574”, , diakses 12 Oktober 2012.
75
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84
layak beroperasi. 16 Hal seperti inilah yang menyebabkan kecelakaan pesawat terjadi tidak hanya satu atau dua kali saja dalam setahun dan rata-rata kasus kecelakaan pesawat terbang terjadi karena kelalaian teknis serta kelalaian manusia. Kecelakaan pesawat terbang menyebabkan kerugian bagi pihak maskapai penerbangan dan terutama keluarga korban karena selain kehilangan salah satu anggota keluarganya seringkali korban kecelakaan pesawat sangat susah untuk ditemukan jenazahnya. Bilamana dilihat dari peningkatan jumlah kasus kecelakaan pesawat di Indonesia dari tahun ke tahun seharusnya dilakukan upaya untuk dapat memajukan profesionalitas pengelolaan di bidang penerbangan dan pemerintah sebagai pembuat peraturan segera mengambil tindakan yang sifatnya menanggulangi dan mengatasi agar tingkat kecelakaan pesawat di Indonesia semakin berkurang. Upaya yang dapat ditempuh oleh pihak maskapai penerbangan adalah dengan merekrut sumber daya manusia yang berkualitas serta professional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya mengingat tingginya risiko di bidang penerbangan yakni menyangkut nyawa banyak orang. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah pengguna jasa pesawat terbang. Dalam 1 (satu) pesawat dapat mengangkut kira-kira 50 (lima puluh) sampai 100 (seratus) orang penumpang tergantung jenisnya. Contoh lainnya dari rendahnya kualitas dan profesionalitas sumber daya manusia di maskapai penerbangan Indonesia adalah jatuhnya pesawat Merpati Nusantara Airlines Penerbangan 8968 di Papua tahun 2011. Hasil dari penyelidikan adalah kecelakaan ini disebabkan oleh kesalahan pilot. Hal ini disebabkan pilot membatalkan pendaratan dan membelokan pesawat ke arah kiri secara tajam dengan kemiringan yg sangat tinggi yaitu 38 (tiga puluh delapan) derajat. Hal itu juga diikuti dengan ketidakpatuhan pilot untuk mengikuti prosedur normal untuk menarik sirip sayap (flap) sehingga mengakibatkan pesawat kehilangan ketinggian secara cepat.17 Kedua contoh kecelakaan pesawat terbang yang pernah terjadi di Indonesia membawa pada kesimpulan bahwa tidak dapat dipungkiri lagi sudah terjadi pelanggaran hampir di setiap aspek
Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)
dalam maskapai penerbangan, yakni lapangan, manajemen dan teknis penerbangan. Maskapai penerbangan Internasional negara lain hampir tidak pernah mengalami kecelakaan pesawat pada waktu yang berdekatan. Hal tersebut dikarenakan adanya kepatuhan, kedisiplinan dan profesionalitas dalam melaksanakan kewajibannya dan tanggung jawabnya. Apabila terjadi satu kecelakaan yang kecil saja, maka sudah dapat dipastikan bahwa maskapai penerbangan itu akan dilarang untuk beroperasi, atau harus dilakukan pemeriksaan secara mendetail oleh pihak yang berwenang di bidang penerbangan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan berikutnya. Kedisiplinan maskapai penerbangan asing dikarenakan kuatnya penegakan regulasi dari pihak pembuat undang-undang sedangkan di Indonesia dengan lemahnya penegakan hukum di bidang penerbangan maka tidaklah asing bila setiap tahunnya terjadi kecelakaan pesawat di Indonesia. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kecelakaan pesawat terbang dapat saja terjadi dalam berbagai aspek sehingga tidak hanya maskapai penerbangan saja yang selalu diminta pertanggung jawaban karena masih terdapat pihak lain seperti pengelola Bandar udara serta awak pesawat yang dapat saja berkontribusi dalam kecelakaan tersebut. Seperti halnya dalam kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100 yang terjadi pada tanggal 9 Mei 2012 ketika sebuah pesawat Sukhoi Superjet 100 menghilang dalam penerbangan demonstrasi yang berangkat dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Indonesia. Pada tanggal 10 Mei, reruntuhan Superjet Sukhoi terlihat di tebing di Gunung Salak, sebuah gunung berapi di provinsi Jawa Barat. Karena bidang yang luas di mana puing-puing pesawat menabrak gunung, penyelamat menyimpulkan bahwa pesawat langsung menabrak sisi berbatu gunung. Kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 ini disebabkan oleh kelalaian pihak awak pesawat dalam mengambil keputusan.18 Hal ini kemudian membuka ruang bagi orang untuk mendapatkan pertanggung jawaban baik dari pihak pengelola Bandar Udara, Awak Pesawat atau Maskapai Penerbangan dalam hal terjadinya kecelakaan pesawat terbang, yang akan tim peneliti
16 “Adam Air Penerbangan 574 Bagian 2: Pemeliharaan Pesawat”, diakses 12 Oktober 2012. 17 “Merpati Nusantara Airlines Penerbangan 8968”, , diakses 12 Oktober 2012. 18 Kecelakaan Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak Kecelakaan_Sukhoi_Superjet_100_di_Gunung_Salak>, diakses 20 November 2012.
76
teliti lebih lanjut dalam penelitian berjudul “Tanggung Jawab Hukum dalam Kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100” dengan rumusan masalah Bagaimana Bentuk Pertanggung Jawaban Hukum Oleh Bandara, Awak Pesawat, Perusahaan Penerbangan dan Pemerintah Dalam Kecelakaan Pesawat Terbang Sukhoi Superjet 100?
B.
Pembahasan dan Analisis
B.1. Kronologis Kecelakaan Pesawat Udara Sukhoi Superjet 100, di Gunung Salak, Jawa Barat tanggal 9 Mei 2012 Pada tanggal 9 Mei 2012, pesawat Sukhoi RRJ95B, registrasi 97004 dengan nomor penerbangan RA 36801 yang dioperasikan oleh Sukhoi Civil Aircraft Company melakukan penerbangan promosi (demonstration flight) dari Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma. Penerbangan yang mengalami kecelakaan adalah penerbangan kedua pada hari itu. Dalam penerbangan tersebut terdapat 45 orang yang terdiri dari 2 pilot, 1 navigator, 1 flight test engineer dan 41 orang penumpang yang terdiri dari 4 orang personil dari Sukhoi Civil Aircraft Company (SCAC), 1 orang personil dari pabrik mesin pesawat (SNECMA) dan 36 orang tamu undangan yang terdiri dari 34 orang warga negara Indonesia, 1 warga negara Amerika dan 1 warga negara Perancis. Penerbangan direncanakan menggunakan aturan terbang secara instrumen (Instrument Flight Rules/IFR) pada ketinggian 10.000 kaki selama 30 menit dengan bahan bakar yang mampu untuk terbang selama 4 jam. Wilayah yang diijinkan untuk penerbangan ini adalah di area Bogor sementara itu pilot mempunyai asumsi bahwa penerbangan tersebut telah disetujui untuk terbang ke arah radial 200 HLM VOR sejauh 20 Nm.19 Peta yang tersedia pada pesawat tidak memuat informasi mengenai area Bogor sebagai area latih pesawat militer maupun kontur dari pegunungan disekitarnya. Dalam penerbangan tersebut Pilot In Command (PIC) bertugas sebagai pilot yang mengemudikan pesawat dan Second In Command (SIC). Bertugas sebagai pilot monitoring. Di-cockpit, pada tempat duduk observer (jump seat) duduk seorang wakil dari calon pembeli. Pada pukul 07:20 UTC (Universal Time Coordinated) atau 14:20 WIB, pesawat tinggal
landas dari landasan 06, kemudian berbelok ke kanan hingga mengikuti ke radial 200 HLM VOR dan naik ke ketinggian 10.000 kaki. Pada pukul 07:24 UTC (14:24 WIB), pilot melakukan komunikasi dengan Jakarta Approach dan memberikan informasi bahwa pesawat telah berada pada radial 200 HLM VOR dan telah mencapai ketinggian 10.000 kaki. Pada pukul 0726 UTC (1426 WIB), pilot minta ijin untuk turun ke ketinggian 6.000 kaki serta untuk membuat orbit (lintasan melingkar) ke kanan. Ijin tersebut diberikan oleh petugas Jakarta Approach. Tujuan pilot untuk turun ke ketinggian 6.000 kaki dan membuat orbit adalah agar pesawat tidak terlalu tinggi untuk proses pendaratan di Halim menggunakan landasan 06.20 Pada pukul 07:32:26 UTC (1432 lewat 26 detik WIB, berdasarkan waktu yang tercatat di Flight Data Recorder/FDR pesawat menabrak tebing Gunung Salak pada radial 198 dan 28 Nm HLM VOR, atau pada koordinat 06°42'45”S 106°44'05”E dengan ketinggian sekitar 6.000 kaki di atas permukaan laut. Tiga puluh delapan (38) detik sebelum benturan, Terrain Awareness Warning System (TAWS) memberikan peringatan berupa suara: “TERRAIN AHEAD, PULL UP” dan diikuti oleh enam (6) kali “AVOID TERRAIN”. PIC mematikan (inhibit) TAWS tersebut karena berasumsi bahwa peringatan-peringatan tersebut diakibatkan oleh database yang bermasalah. Tujuh (7) detik menjelang tabrakan, terdengar peringatan berupa suara “LANDING GEAR NOT DOWN” yang berasal dari sistem peringatan pesawat. Peringatan “LANDING GEAR NOT DOWN” aktif apabila pesawat berada pada ketinggian kurang dari 800 kaki di atas permukaan tanah dan roda pendarat belum diturunkan.21 Pada jam 0750 UTC (1450 WIB) petugas Jakarta Approach menyadari bahwa target pesawat Sukhoi RRJ95B sudah hilang di layar radar. Tidak ada bunyi peringatan sebelum lenyapnya titik target pesawat dari layar radar. Pada tanggal 10 Mei 2012 (keesokan harinya), Badan Search and Rescue Nasional (BASARNAS) berhasil menemukan lokasi pesawat. Semua awak pesawat dan penumpang meninggal dalam kecelakaaan ini serta pesawat dalam kondisi hancur. Pada tanggal 15 Mei 2012, Cockpit Voice
19 Aircraft Accident Investigation Report “Sukhoi Civil Aircraft Company Sukhoi RRJ-95B; 97004 Mount Salak, West Java”. National Transportation Safety Committee, 18 Desember 2012, hal. ix. 20
Aircraft Accident Investigation Report ,Loc.cit., hal.ix.
21
Aircraft Accident Investigation Report. Loc.cit., hal.ix.
77
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84
Recorder (CVR) telah ditemukan dalam keadaan hangus akan tetapi memory module dalam keadaan baik dan berisikan 2 jam rekaman dengan kualitas yang baik. Pada tanggal 31 Mei 2012, Flight Data Recorder (FDR) ditemukan dalam keadaan baik dan berisikan 150 jam rekaman dari 471 parameters. Kedua flight recorder (black box) ini dibaca di laboratorium recorder milik KNKT oleh ahli dari KNKT dan disaksikan oleh ahli dari Russia. Seluruh parameter berhasil di-download dan dari hasil download tersebut tidak ditemukan adanya indikasi kerusakan sistem pada pesawat selama penerbangan. Hasil simulasi yang dilakukan setelah kejadian diketahui bahwa, TAWS berfungsi dengan baik dan memberikan peringatan dengan benar. Simulasi juga menunjukan bahwa benturan dapat dihindari jika dilakukan tindakan menghindar (recovery action) sampai dengan 24 detik setelah peringatan TAWS yang pertama.22 Pelayanan Jakarta Radar belum mempunyai batas ketinggian minimum untuk melakukan vector pada suatu daerah tertentu dan Minimum Safe Altitude Warning (MSAW) yang ada pada sistem tidak memberikan peringatan kepada petugas Jakarta Approach sampai dengan pesawat menabrak. Vector adalah perintah berupa arah yang diberikan oleh pengatur lalu lintas udara kepada pilot pada pelayanan radar.23 B.2. Tanggung Jawab Bandar Udara dalam Kecelakaan Pesawat Sukhoi Superjet 100
kecelakaan karena memberikan ijin penurunan ketinggian jelajah pesawat dari semula 10.000 kaki (3.048 meter dpl) menjadi 6.000 kaki (1.830 meter dpl) padahal di selatan Bogor ada jajaran Gunung Halimun dan Salak, masing-masing memiliki ketinggian puncak 6.219 kaki (1.895 meter dpl) dan 7.151 kaki (2.180 meter dpl). Sesuai dengan kotak hitam perekam data, menunjukkan bahwa semua sistem dalam pesawat Sukhoi SuperJet-100 berfungsi normal hingga detik terakhir tanpa ada masalah. Meskipun kawasan Gunung Salak saat itu diliputi awan Cumulonimbus, tetapi tidak terjadi hempasan yang menurunkan ketinggian pesawat secara drastis.24 Guna melakukan demo terbang (joyflight) di Indonesia, SCAC menetapkan Bandara Halim Perdanakusuma sebagai basis dan memilih PT Indoasia Ground Utama sebagai kru darat untuk mempersiapkan semua kebutuhan pra- dan pascaterbang. Mengingat padatnya lalu lintas udara di ruang udara Jakarta bagian utara, maka demo terbang bakal dilakukan di ruang udara Jakarta bagian selatan dan bakal berlangsung dua kali. Sempat muncul usulan rute demo terbang Jakarta-Pelabuhan Ratu, namun pada akhirnya disepakati demo terbang hanya berlangsung atas Depok-Bogor sejauh maksimum 25 mil nautika (45 km) dari bandara Halim Perdanakusuma dengan ketinggian jelajah maksimum 10.000 kaki (3.048 meter dpl). Dengan demikian demo terbang hanya akan berlangsung di ruang udara Atang Sanjaya Training Area, yang adalah kawasan militer hingga ketinggian maksimum 6.000 kaki (1.828 meter dpl).
Bandar Udara bertanggung jawab menyediakan pelayanan PKP-PK (Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran) yang berkewajiban untuk memberikan pertolongan guna menyelamatkan para penumpang, sekaligus menghindari kerugian yang lebih besar sebagai dampak dari suatu kecelakaan pesawat terbang. Bandara juga bertanggung Jawab untuk memastikan suatu pesawat dapat mendarat dan lepas landas dengan aman, dimana peran Pengatur Lalu Lintas sangat besar untuk memastikan terjaminnya suatu keamanan penerbangan di udara sesuai dengan Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil 139 Sub Bagian 139H dalam poin 139.135 tentang penerapannya PK-PK.
Di atas batas ketinggian 6.000 kaki ini bukanlah kawasan militer sehingga diperbolehkan untuk lalu lintas udara sipil. Yang menjadi titik kesalahan kru darat, mereka tidak menyertakan peta topografi dan mem-briefing karakter ruang udara tujuan sehingga pilot dan kopilot menganggap (bahkan meyakini) ruang udara itu adalah datar (seperti ternyata dalam percakapan pilot dengan tamu undangan di kokpit pada pukul 14:30:44 s/d 14:30:48 WIB) tanpa menyadari bahwa persis di sisi selatan terdapat jajaran Gunung Halimun dan Gunung Salak.
Dalam hal kecelakan Sukhoi Superjet, banyak dugaan bahwa pengatur lalu lintas udara (air traffic controler/ATC) Jakarta yang menyebabkan
ATC Jakarta pun turut menanggung beban, yang diawali dari kekeliruan pencatatan Sukhoi SuperJet-100 dalam database mereka menjadi
Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)
Sukhoi-30, sehingga di tampilan di layar radar adalah Su-30 (akronim Sukhoi-30). Padahal Su-30 adalah akronim untuk pesawat militer, sehingga petugas ATC Jakarta pun menganggap penerbangan Sukhoi SuperJet-100 itu sebagai penerbangan “militer” yang membuatnya diperkenankan untuk turun ke ketinggian 6.000 kaki saat berada di ruang udara Atang Sanjaya Training Area, padahal seharusnya tidak diperbolehkan. Kesalahan berikutnya, ruang udara Gunung Salak dan Gunung Halimun ternyata tidak dimasukkan pula dalam database radar sehingga tidak diketahui nilai ketinggian jelajah minimal untuk terbang di sini. Dan kesalahan berikutnya lagi, meski radar ATC Jakarta memiliki sistem alarm yang bakal memberitahukan petugas jika ada pesawat yang terbang terlalu rendah (dibawah ketinggian jelajah minimal), namun pada saat tragedi terjadi alarm itu ternyata dalam kondisi nonaktif. Masalah kurangnya sumberdaya manusia di ATC Jakarta juga menjadi bidikan KNKT mengingat saat penerbangan Sukhoi SuperJet-100 itu berlangsung, petugas ATC Jakarta yang mengawasinya juga harus menangani 14 penerbangan lainnya secara simultan dan sendirian sehingga terpaksa berperan sebagai petugas, asisten dan supervisor sekaligus. Beban kerja yang berat inilah yang menyebabkan menghilangnya Sukhoi SuperJet-100 dari layar radar baru disadari dalam 24 menit pasca kecelakaan. Sebaliknya otorisasi penurunan ketinggian jelajah ke 6.000 kaki ternyata tidak menjadi masalah mengingat hal itu memang diperbolehkan dengan catatan hanya sebatas di ruang udara Atang Sanjaya Training Area. ATC Jakarta pun turut menanggung beban, yang diawali dari kekeliruan pencatatan Sukhoi SuperJet-100 dalam database mereka menjadi Sukhoi-30, sehingga di tampilan di layar radar adalah Su-30 (akronim Sukhoi-30). Padahal Su-30 adalah akronim untuk pesawat militer, sehingga petugas ATC Jakarta pun menganggap penerbangan Sukhoi SuperJet-100 itu sebagai penerbangan “militer” yang membuatnya diperkenankan untuk turun ke ketinggian 6.000 kaki saat berada di ruang udara Atang Sanjaya Training Area, padahal seharusnya tidak diperbolehkan.
Ada beberapa factor sehingga kemungkinan terjadinya kelalaian atau kelengahan sangat besar dalam melaksanakan pekerjaan bagi ATC. Faktorfaktor tersebut meliputi:25 1.
Personal Kebutuhan akan personal di bidang ATC sangat jelas. Pada unit Are Control Centre kebutuhan idealnya adalah 10 (sepuluh) orang dengan perincian sebagai berikut:26 a. 2 (Dua) Orang sebagai shift leader/ supervisor yang mengawassi setiap Air Traffic Controller yang sedang bertugas dan mengatur mekanisme kerja pada saat itu. b. 4 (empat) Senior Air Traffic Controller yang memiliki Radar Rating yang melakukan fungsi pengaturan dan pemanduan lalu lintas udara dengan memeprgunakan peralatan radar. c. 2 (dua) orang Senior Air Traffic Controller yang melakukan pengaturan lalu lintas udara tanpa peralatan radar. d. 2 (dua) orang Junior Air Traffic Controller sebagai Flight Data. Tidaklah jarang hanya ada 5 (lima) orang saja pada prakteknya di lapangan. Dalam kondisi seperti dalam kenyataan diatas peranan supervisor hampir tidak terlihat. Hal mana disebabkan karena mereka ikut juga bekerja sebagai controller sehingga fungsi pengawasan tidak berjalan semestinya. Pada setiap shift selalu dibagi menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok bagian barat dan kelompok bagian timur yang biasanya terdiri dari 3 (tiga) orang, yaitu:27 a. Satu orang shift leader; b. Satu orang Senior Air Traffic Controller yang memiliki Radar Rating; c. Satu orang Senior Air Traffic Controller (non radar). Mengingat bahwa unit-unit ATC bekerja selama 24 jam, maka waktu kerjanya dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:28 a. Kelompok pagi, dari jam 07.00-14.00; b. Kelompok siang, dari jam 14.00-19.00; c. Kelompok malam, dari jam 19.00-07.00.
25
Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Cetakan Kedua, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 146.
22
Aircraft Accident Investigation Report Loc.cit., hal.x.
26
Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 146.
23
Aircraft Accident Investigation Report Loc.cit., hal.x.
27
Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 147.
24
Aircraft Accident Investigation Report Loc.cit., hal.x.
28
Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 147.
78
79
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84
2.
Kapasitas Kerja Kurang personal juga mempengaruhi kapasitas kerja, karena disamping harus mengadakan pengaturan dan pengawasan lalu lintas udar, seorang ATC juga harus melakukan Koordinasi. Untuk satu pesawat udara paling sedikit memerlukan 2 (dua) kali koordinasi. Apabila pada saat jadwal penerbangan yang padat, maka kurang lebi haru dilakukan 40 (empat puluh) kali koordinasi dan hal ini menyangkut hal-hal pokok saja. Agar koordinasi berjalan lancar seharusnya hal ini dilakukan oleh seorang Asisten Controller sehingga Air Traffic Controller dapat memaksimalkan peforma kerjanya pada pengaturan dan pengendalian pesawat udara yang aktif saja. Dalam pelaksanaan tugas ATC seringkali pada saat yang sama seorang ATC harus melakukan 2 (dua) pekerjaan sekaligus, hal ini dapat dilakukan berkat kemantapan serta pengalaman yang bersangkutan. Akan tetapi tidak semua orang mempunyai kapasitas yang sama. Terlebih dalam pekerjaan ini membutuhkan ketelitian dan ketangkasan dalam mengambil kebijaksanaan dalam suatu keputusan yang harus seketika itu dilaksanakan.29
3.
Sarana Komunikasi Dalam hal sarana komunikasi terdapat TX (Transmitter) dan RX (Receiver), yaitu suatu perangkat pesawat radio untuk memancarkan dan menerima. Akan tetapi pada keadaaan cuaca buruk pesawat radio seringkali terganggu, terkadang pemberian instruksi harus diulang berkali-kali karena suara yang didengar tidak jelas atau terputus-putus. Berikut adalah perangkat-perangkat komunikasi dalam hal pengendalian lalu lintas udara, yaitu:30 a. Local Baterray, merupakan perangkat komunikasi didarat yang dipergunakan untuk mengadakan kordinasi sesama unit ATC. b. Inter Automatic Direct Speech, merupakan perangkat komunikasi sesama ATC unit pada pelabuhan udara yang berbeda.
Seringkali dalam operasi penerbangan perangkat-perangkat ini berbunyi pada saat yang bersamaan. Seorang Pemandu ATC harus mampu mendengarkan dan mencatat semua yang dikoordinasikan, bila terjadi kesalahan maka dapat mengakibatkan kejadian yang fatal.31
2011 (untuk selanjutnya akan disebut “PM No.77/2011”) mengenai Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Mengenai tanggung jawab pengangkut Angkutan Udara yang dimaksud dengan pengangkut dalam PM No.77/2011 pasal 1 ayat 2, yaitu:
Dalam hal pertanggung jawaban di dalam dunia Penerbangan terdapat dua macam tanggung jawab, masing-masing dalam arti liability dan tanggung jawab dalam arti responsibility.32 Dalam hal Liability ATC tidak bertanggung jawab untuk membayar kerugian yang diderita oleh pihak korban kecelakaan pesawat, sebab tanggung jawab tersebut ditanggung oleh perusahaan penerbangan berdasarkan Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan ajaran hukum yang berlaku.33 Menurut ajaran hukum tersebut majikan dan pegawainya dianggap menjadi satu untuk keperluan tanggung jawab. Tanggung jawab dalam hal Responsibility berdasarkan Undang-undang Dasar Republik 1945 siapa pun akan diperlakukan sama didepan hukum, termasuk dengan pemandu lalu lintas udara (ATC). Pemandu lalu lintas udara tetap bertanggung jawab terhadap tindakannya tergantung tingkat kesalahan yang dilakukan. Mereka dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan maupun tertulis, cabut sertifikat kecakapan, tidak ada perpanjangan sertifikat kecakapan dan sampai dapat diajukan di pengadilan sesuai dengna tingkat kesalahan mereka.34 Akan tetapi dalam kasus Sukhoi pihak bandara dianggap tidak bersalah sehingga tidak ada pertanggung jawaban yang dituntut. Hal ini dikarenakan kesalahan berada pada pihak pilot in command dan sesuai dengan Undang-undang yang berlaku pihak perusahaan penerbangan yang bertanggung jawab atas kecelakaan pesawat Sukhoi.
“Badan Usaha Angkutan Udara, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Penerbangan, dan/atau badan usaha selain Badan Usaha Angkutan Udara yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.”
B.3. Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan dalam Kecelakaan Pesawat Sukhoi. Dalam hal jatuhnya pesawat Sukhoi, perusahaan penerbangan Sukhoi yang berasal dari Rusia yang bernama Sukhoi Civil Aircraft Company (untuk selanjutnya akan disebut “SCAC”) harus memberikan ganti rugi pada pihak keluarga korban sesuai dengan Peraturan Menteri No. 77 Tahun
29
Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 148.
30
Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm. 148.
31
Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dna Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Ibid., hlm.148.
32
Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan,Op.cit, hlm. 380.
33
Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan,Op.cit,hlm. 380.
34
Martono, Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, Op.cit, hlm. 380.
80
Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)
Dalam PM No.77/2011 juga terdapat definisi kecelakaan dalam pasal 1 ayat 12 yaitu, Kecelakaan adalah peristiwa pengoperasian pesawat udara yang mengakibatkan kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang digunakan dan/atau korban jiwa atau luka serius. Sesuai dengan PM No.77/2011 dalam kasus kecelakaan Sukhoi, SCAC milik Rusia ini harus memberikan asuransi sebagai bentuk pertanggung jawaban atas kecelakaan pesawat Sukhoi yang jatuh pada tanggal 9 Mei 2012 lalu. Jenis Tanggung jawab dan besaran ganti kerugian ini diatur dalam Bab II PM No.77/2011 dimana Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap: a.
Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka;
b.
Hilang atau rusaknya bagasi kabin;
c.
Hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat
d.
Hilang, musnah, atau rusaknya kargo;
e.
Keterlambatan angkutan udara; dan
f.
Kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.
Menteri Perhubungan meminta agar SCAC untuk memberikan Asuransi pada pihak keluarga korban dan ahli waris dari korban kecelakaan pesawat. Sesuai dengan PM No.77/2011 pasal 3 huruf (a) ,yaitu: “Penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp.1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang.” Setelah hasil Investigasi KNKT atas kecelakaan pesawat ini maka SCAC diwajibkan untuk memberikan pertanggung jawaban berupa asuransi
senilai Rp.1.250.000.000 ( satu milyar dua ratus lima puluh juta rupiah) sebagai ganti rugi atas kecelakaan pesawat yang menimpa keluarga penumpang pesawat Sukhoi. B.4.Tanggung Pemerintah dan KNKT dalam Kecelakaan Pesawat Sukhoi. Pemerintah yang sebagaimana disebut dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk memberikan sanksi administratif dalam hal terjadi kecelakaan dibidang penerbangan. Pihak-pihak tersebut adalah Menhub, Dirjen Perhubungan Udara dan KNKT. Dalam hal ini Menhub sebagai pemegang otoritas penerbangan nasional yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan penerbangan sipil terutama dalam aspek keamanan terbang memberikan tugas pada Dirjen Perhubungan Udara untuk mengawasi pelaksanaan Investigasi Kecelakaan pesawat terbang yang dilaksanakan oleh KNKT. Disini KNKT bertugas untuk mencari sumber permasalahan dalam kecelakaan pesawat terbang Sukhoi dan berkewajiban untuk melaporkan hasil Investigasi kepada Dirjen Perhubungan Udara. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM 25 Tahun 2009 mengenai Pendelegasian Kewenangan Menteri Perhubungan Kepada Direktur Jendral Perhubungan Udara Di Bidang Penerbangan dalam pasal 1 (Satu). Sedangkan KNKT sendiri diatur dalam Peraturan Pressiden No.2 Tahun 2012. KNKT sebagai pihak Investigator juga berfungsi sebagai berikut: 1.
Komite bertanggung jawab untuk menyelidiki dan melaporkan kecelakaan sistem transportasi udara, insiden serius dan kurangnya keamanan dalam pengoperasian sistem transportasi udara di Indonesia.
2.
Komite ini juga berpartisipasi sebagai perwakilan yang terakreditasi di luar negeri dalam investigasi kecelakaan dan insiden serius yang melibatkan transportasi yang dibangun, terdaftar dan atau pengoperasian pesawat Indonesia.
3.
Komite melakukan investigasi dan studi sistem transportasi udara untuk mengidentifikasi, memperbaiki dan mencari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keamanan dan berpotensi menjadi faktor-faktor yang signifikan dalam kecelakaan.
81
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84
4.
Komite bertanggung jawab untuk secara independen menasihati Menteri komunikasi melalui NTSC pada tren keselamatan dan isuisu keamanan luas.
5.
Penyelidikan kecelakaan pesawat yang dilakukan sesuai dengan Annex 13 dari Konvensi mengenai penerbangan sipil internasional, dan mempertimbangkan hukum Indonesia dengan peraturan yang ada.
Dalam Investigasi kecelakaan suatu pesawat seperti dalam hal kasus kecelakaan Sukhoi, KNKT berfungsi untuk mencari “Apa yang salah dan Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab kecelakaan dalam Pesawat”. Tujuan KNKT dalam melaksanakan Investigasi untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang serupa dimasa mendatang. Dalam hasil laporan Investigasi KNKT ditemukan 3 (tiga) factor yang berkontribusi terhadap kecelakaan pesawat Sukhoi ini, yaitu: 1.
Awak pesawat tidak menyadari kondisi Pegunungan di sekitar jalur penerbangan yang dilalui karena beberapa factor yang berakibat awak pesawat mengabaikan peringatan dari TAWS.
2.
Pelayangan Radar belum mempunyai batas ketinggian minimum pada pesawat yang diberikan vector (perintah berupa arah yang diberikan oleh pengatur lalu lintas udara kepada pilot pada pelayanan radar). Sistem dari Radar di Jakarta belum dilengkapi dengan MSAW (minimum safe altitude warning) yang berfungsi untuk daerah Pegunungan Salak.
3.
82
lalai dalam kecelakaan pesawat, akan tetapi para pihak yang dipersalahkan tewas seketika pada saat kecelakaan pesawat dan pihak ATC disini dianggap tidak bersalah. Jadi kesalahan sepenuhnya terletak pada pilot pesawat Sukhoi yang lalai dalam mengambil keputusan disaat darurat.
C.
diberikan vector (perintah berupa arah yang diberikan oleh pengatur lalu lintas udara kepada pilot pada pelayanan radar). Sistem dari Radar di Jakarta belum dilengkapi dengan MSAW (minimum safe altitude warning) yang berfungsi untuk daerah Pegunungan Salak. 3. Terjadi pengalihan perhatian terhadap awak pesawat dari percakapan yang berkepanjangan dan tidak terkait dengan penerbangan. Hal ini menyebabkan pilot yang menerbangkan pesawat tidak dengan segera mengubah arah pesawat ketika orbit dan pesawat keluar tanpa sengaja.
Kesimpulan
Dari seluruh uraian uraian dalam penelitian ini, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pihak Bandara, Awak Pesawat, Perusahaan Penerbangan dan Pemerintah memiliki tanggung jawab hukum secara berbeda-beda dalam hal kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 ini. Untuk lebih jelasnya mengenai masing-masing tanggung jawab adalah sebagai berikut: a.
Terjadi pengalihan perhatian terhadap awak pesawat dari percakapan yang berkepanjangan dan tidak terkait dengan penerbangan. Hal ini menyebabkan pilot yang menerbangkan pesawat tidak dengan segera mengubah arah pesawat ketika orbit dan pesawat keluar tanpa sengaja.
Setelah Investigasi kecelakaan selesai KNKT berkewajiban untuk mengumumkan hasil laporan yang sudah disetujui oleh Menhub dan Dirjen Perhubungan Udara kepada Publik yang kita kenal sebagai “Media Release” dan pihak KNKT harus mengeluarkan rekomendasi keselamatan kepada Dirjen Perhubungan Udara, Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Departemen Industri Penerbangan dan Industri Rusia SCAC. Menhub dan Dirjen Perhubungan Udara sebagai pemegang otoritas tertinggi disini bertanggung jawab untuk memberikan sanksi administratif pada pihak yang
Tanggung Jawab Hukum Dalam Kecelakaan.....(Velliana Tanaya)
b.
Pihak Bandara tidak bertanggung jawab untuk membayar kerugian yang diderita oleh pihak korban kecelakaan pesawat akan tetapi pihak bandara berkewajiban untuk memberikan pertolongan dalam kecelakaan penerbangan sesuai dengan Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil 139 Sub Bagian 139H, sebab tanggung jawab tersebut ditanggung oleh perusahaan penerbangan berdasarkan Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan ajaran hukum yang berlaku. Akan tetapi ATC dapat dikenai tanggung jawab secara administratif oleh Menhub apabila terjadi kelalaian dalam pengoperasian lalu lintas penerbangan dalam kasus Sukhoi Superjet 100 pihak Bandara dinyatakan tidak bersalah dan pihak KNKT sudah mengkonfirmasi bahwa kecelakaan pesawat tersebut semata-mata dikarenakan kelalaian pilot dan dikarenakan pilot tewas seketika dalam kecelakaan naas tersebut maka pihak perusahaan penerbangan yang berkewajiban untuk bertanggung jawab kepada keluarga pihak korban kecelakaan tersebut. Sesuai dengan hasil investigasi KNKT menonjolkan bahwa sebab kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 disebabkan oleh kelalaian pilot. Dimana terdapat 3 (tiga) faktor utama: 1. Awak pesawat tidak menyadari kondisi Pegunungan di sekitar jalur penerbangan yang dilalui karena beberapa factor yang berakibat awak pesawat mengabaikan peringatan dari TAWS. 2. Pelayangan Radar belum mempunyai batas ketinggian minimum pada pesawat yang
Dalam hal ini pilot sebagai pihak yang bertanggung jawab sepenuhnya atas kecelakaan pesawat terbang ini seharusnya diberikan sanksi administratif atas kelalaiannya. c.
d.
Perusahaan penerbangan SCAC sebagai perusahaan penerbangan yang terlibat dalam kecelakaan ini bertanggung jawab sepenuh pada korban dan brrkewajiban untuk mengganti rugi atas kerugian yang diderita atas keluarga pihak korban kecelakaan SCAC berkewajiban memberikan ganti rugi berupa asuransi pada pihak keluarga korban sekitar Rp.1.250.000.000,- ( satu milyar dua ratus lima puluh juta rupiah) sesuai dengan Peraturan Menteri No.77 Tahun 2011 angka 3 huruf (a). Pemerintah yang memegang otoritas tertinggi adalah Menhub dimana Menhub bertugas untuk melaporkan hasil kecelakaan pesawat udara yang terjadi di Indonesia pada presiden. Dibawah Menhub terdapat Dirjen Hubud yang bertugas untuk memberikan perintah kepada KNKT, mengawasi pelaksanaan Investigasi dan memberikan sanksi kepada pihak yang dianggap lalai dalam kecelakaan pesawat. Setelah Dirjen Hubud terdapat sebuah lembaga yang bertugas untuk melakukan penyelidikan terhadap sebab dan faktor sebuah kecelakaan transportaidi Indonesia yaitu KNKT. Setelah hasil investigasi selesai, pihak KNKT berkewajiban untuk melapor kepada Dirjen Hubud dan Melakukan Media Release untuk kejelasan mengenai sebab kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100. Setelah hasil laporan KNKT diterima oleh Dirjen Hubud maka barulah Dirjen Hubud dapat menetapkan sanksi administratif apakah yang akan
diberikan pada pihak-pihak yang lalai. Disinilah letak tanggung jawab pemerintah yaitu mencari titik terang suatu insiden kecelakaan transportasi, memberikan sanksi administratif dan memberikan kejelasan kepada publik perihal kecelakaan Sukhoi Superjet 100. Tugas dan Tanggung Jawab Pemerintah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM 25 Tahun 2009 mengenai Pendelegasian Kewenangan Menteri Perhubungan Kepada Direktur Jendral Perhubungan Udara Di Bidang Penerbangan dalam pasal 1 (Satu). Sedangkan KNKT sendiri diatur dalam Peraturan Pressiden No.2 Tahun 2012.
Daftar Pustaka Buku: Aircraft Accident Investigation Report “Sukhoi Civil Aircraft Company Sukhoi RRJ-95B; 97004 Mount Salak, West Java”. National Transportation Safety Committee, 18 Desember 2012 Hakim, Chappy, Awas Ketabrak Pesawat Terbang, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2009, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke-4, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995 Martono. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Cetakan Kedua,, Bandung: Mandar Maju, 1995 Martono,Kamus Hukum dan Regulasi Penerbangan, edisi 1, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2007 Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Cetakan ke II, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2007 Martono & Ahmad Sudiro, Hukum Angkutan Udara, Cetakan ke II, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2010
Website : Moda
Transportasi/Sejarah transportasi, , diakses 25 Januari 2014
83
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 73 - 84
Perkembangan Pengaturan Kegiatan Angkutan Udara Dalam Negeri”, , diakses 25 Januari 2014 Adam Air Penerbangan KI-574”, , diakses 27 Januari 2014 Adam Air Penerbangan 574 Bagian 2: Pemeliharaan Pesawat”,
penerbangan-mainmenu-48/104-adamair?start=2,> diakses 27 Januari 2014
KERJASAMA INTERNASIONAL PERPINDAHAN NARAPIDANA ANTARA WARGA NEGARA ASING DAN WARGA NEGARA INDONESIA
Merpati Nusantara Airlines Penerbangan 8968”, , diakses 27 Januari 2014
(TREATY ON TRANSFER OF SENTENCED PERSON BETWEEN FOREIGNERS AND INDONESIAN CITIZEN) Eka Martiana Wulansari Bagian Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia, Deputi Perundang-undangan Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta 10270 Indonesia Email : [email protected] (Naskah diterima 07/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)
Kecelakaan Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak , diakses 28 Januari 2014
Abstrak Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), adalah suatu perjanjian antar negara dengan subjek hukum negara dan dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang Hukum Publik. Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP ) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memaksimalkan pembinaan kepada narapidana. Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), dapat dilaksanakan apabila negara di mana Pengadilan bersedia memindahkan narapidana ke negara asal dengan beberapa konsekuensi yaitu pertama, narapidana tetap harus menjalani hukuman sesuai yang telah diputuskan oleh pengadilan. Kedua, pemindahan narapidana mensyaratkan adanya Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Ketiga, pemindahan narapidana yang disepakati semata-mata adalah upaya memfasilitasi para narapidana untuk dapat menjalani hukumanya di negara asal. Kata kunci: Kerjasama Internasional, Perpindahan Narapidana.
Abstract Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP), which is an agreement between states with state as a legal subject made in writing and creates rights and obligations in the area of Public Law. Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP) is one of the government's efforts to maximize training to inmates. Treaty on Transfer of sentenced Person (TSP), can be implemented if the state where the court is willing to move the prisoners to their home countries with few consequences: first, inmates still have to wak on the appropriate punishment that has been decided by the courts. Second, the transfer of inmates requires a court verdict that had been legally enforceable. Third, the agreed transfer of inmates is merely facilitating the inmates to wak on the appropriate punishment in the country of origin. Keywords: Treaty, Transfer of Sentenced Person.
A.
Pendahuluan
Bagi Indonesia, meningkatnya hubungan dengan negara-negara lain telah membawa dampak bagi peningkatan arus orang dan barang yang keluar dan masuk Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di negara lain maupun Warga Negara Asing (WNA) yang berada di Indonesia. Peningkatan mobilitas antar negara berimplikasi pada perlunya dipatuhi hukum nasional yang mengatur interaksi orang dan barang di wilayah tersebut. Pelanggaran hukum nasional sering kali berdampak pada sanksi hukum termasuk pemidanaan pelaku tindak pidana tampa membedakan kewarganegaraan yang bersangkutan. Keadaan ini mendorong masyarakat internasional untuk membentuk suatu mekanisme pemindahan narapidana dari negara tempat yang
84
bersangkutan di negara asal guna menjalani sisa masa hukumannya, dalam suatu prosedur yang dikenal sebagai Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP). Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) semakin mengemuka di era globalisasi dimana interaksi dan hubungan antar negara maupun “people to people contact” menjadi semakin meningkat. Dalam prosesnya, norma-norma hukum Internasional dan hukum nasional berlaku sebagai aturan yang dijadikan dasar bagi suatu negara didalam menerapkan suatu kebijakan. Pertimbangan utama dilakukannya pemindahan narapidana ini adalah karena alasan kemanusiaan, antara lain, perbedaan bahasa, kebudayaan, agama atau jarak yang jauh dengan keluarganaya sering mengakibatkan narapidana mengalami kesulitan
85
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106
dalam proses rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi ke dalam masyarakat. Kebebasan dasar dan hak dasar yang disebut dengan Hak asasi Manusia (HAM) yang melekat pada manusia secara kodrati merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa (YME). Pancasila sebagai dasar negara mengandung pemikiran yang sejalan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan YME dengan mengandung dua aspek yang terdiri atas aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas (bermasyarakat).1 Kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain, dan HAM tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap HAM berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu setiap orang, pemerintah, negara, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk bertanggung jawap dalam menghormati, mengakui, melindungi, membela dan menjamin HAM pada setiap manusia tampa kecuali, termasuk HAM bagi narapidana dalam pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Hal ini berarti bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kewajiban menghormati HAM tersebut, tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Tahun 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya terutama yang berkaitan dengan persamaan kedudukan setiap warga negara dalam hukum dan pemerintahan, dan hak asasi untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Narapidana pada dasarnya tidak berbeda dengan manusia lainya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Dalam hal ini, yang harus diberantas adalah faktorfaktor yang dapat menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikanya menjadi masyarakat yang baik, taat kepada hukum,
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaam sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai. LAPAS merupakan tempat untuk mencapai tujuan pemidanaan tersebut melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Dalam sistem Pemasyarakatan Indonesia, narapidana diintegrasikan dalam masyarakat, maka gerak usaha berpusat dan ditujukan kepada integritas kehidupan dan penghidupan dari narapidana bersangkutan.2 Tujuan utama dari sistem Pemasyarakatan adalah rehabilitasi, yang diatur dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Pasal 10 ayat (4) yang telah dirativikasi dengan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Rativikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558) Dalam Article 10:4 menyatakan: “The penitentiary system shall comprise treatment of prisoners the essential aim of which shall be their reformation and social rehabilitation”. Menurut Jhon Kaplan alasan yang dapat digunakan dalam memidana penjahat adalah rehabilitasi (rehablitation):3 The mot immediately appealing justification for punishment is the claim that it may be used to prevent crime by so changing the personality of the offender that he will conform to the dictates of law, in a word by reforming him...(banyak permohonan dengan segera membenarkan pemidanaan sebagai tuntutan dan hal tersebut dapat digunakan mencegah kejahatan dengan merubah kepribadian prilaku kejahatan begitu ia akan mematuhi hukum, dalam satu kata untuk memperbaiki dia). Rehabilitasi disini juga diartikan sebagai tujuan dari pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan, dikemukaan oleh Herbert L. Parker menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yaitu pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view).4 Menurut Sahardjo, tujuan pidana penjara adalah Pemasyarakatan.“Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat
2 Piagam Pemasyarakatan Indonesia, Bunga Rampai Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta: 27 April 2002. hlm 29. 3 Alasan yang dapat digunakan dalam memidana penjahat terdiri atas: pembalasan (retribution), menakutkan (deterrence), membuat tidak mampu (incapacitation), dan rehabilitasi (rehablitation),Jhon Kaplan, Criminal Justice Introductory Cases and Material, the Foundation Press Inc, New York, 1978, hlm.27. 4
86
Herbert L. Parker, The Limit of The Criminal Sanction, Stanford University Press, California: 1968, hlm.9.
Kerjasama Internasional Perpindahan.....(Eka Martiana Wulansari)
daripada sebelum ia dipenjarakan” dan “tidak boleh selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat”. Hal ini mengandung makna bahwa pemenjaraan harus diletakkan dalam kerangka untuk membangun para pelanggar hukum agar mereka dapat kembali berintegrasi secara sehat dengan masyarakat. Sahardjo kemudian sepuluh prinsip pembinaan dan bimbingan bagi narapidana. Prinsip-prinsip untuk bimbingan dan pembinaan terdiri atas:5 orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikankepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik danberguna dalam masyarakat; penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara; rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan; negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga; selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat; pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak bolehbersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara; bimbingan dan didikan harus berdasarkan asas pancasila; tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagaimanusia meskipun ia telah tersesat, tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat; narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan; dan sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satuhambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.6 Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.7
Narapidana merupakan manusia yang memiliki spesifikasi tertentu. Secara umum narapidana adalah manusia biasa, seperti kita semua, tetapi kita tidak dapat menyamakan begitu saja, karena menurut hukum, ada spesifikasi tertentu yang menyebabkan seseorang disebut narapidana. Narapidana adalah orang yang tengah menjalani pidana, tidak peduli apakah itu pidana penjara, pidana denda atau pidana percobaan. Namun pada umumnya orang hanya menyebut narapidana bagi mereka yang sedang menjalani pidana penjara. Karena memiliki spesifikasi tertentu, maka dalam membina narapidana tidak dapat disamakan dengan kebanyakan orang. Membina narapidana harus menggunakan prinsipprinsip pembinaan narapidana. Prinsip-prinsip yang paling mendasar kemudian dinamakan prinsip-prinsip dasar pembinaan narapidana. Ada empat komponen penting dalam pembinaan narapidana,8 yaitu: diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri; keluarga, adalah anggota keluarga inti, atau keluarga dekat; masyarakat, adalah orang-orang yang berada di sekeliling narapidana pada saat masih di luar lembaga permasyarakatan rutan, dapat masyarakat biasa, pemuka masyarakat, atau pejabat setempat; dan petugas, dapat berupa petugas kepolisian, pengacara, petugas keagamaan, petugas sosial, petugas Lembaga Permasyarakatan, Rutan, Balai Bispa, Hakim Wasmat dan lain sebagainya. Keempat komponen pembina narapidana, harus tahu akan tujuan pembinaan narapidana, perkembangan pembinaan narapidana, kesulitan yang dihadapi dan berbagai program serta pemecahan masalah. Dalam membina narapidana, keempat komponen harus bekerjasama dan saling memberi informasi, terjadi komunikasi timbal balik, sehingga pembinaan narapidana dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memaksimalkan pembinaan kepada narapidana. Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), dapat dilaksanakan apabila negara dimana Pengadilan bersedia memindahkan narapidana ke negara asal dengan beberapa konsekuensi yaitu pertama, narapidana tetap harus menjalani hukuman sesuai yang telah diputuskan oleh pengadilan. Kedua,
5 Sahardjo, S.H., "Pohon Beringin Pengayom hukum Pancasila", Pidato pengukuhan pada tanggal 3 Juli 1963, di Istana Negara, Universitas Indonesia, hlm. 8 dan 15. 6
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
7
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
8
Adi Sujatno, Pencerahan Di Balik Penjara, Mizan Media Utama (MUU), Juli, 2008.
87
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106
pemindahan narapidana mensyaratkan adanya Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Ketiga, pemindahan narapidana yang disepakati semata-mata adalah upaya memfasilitasi para narapidana untuk dapat menjalani hukumanya di negara asal.9
B.
Urgensi Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) di Indonesia
Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem. Sebagai suatu sistem, maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Sedikitnya ada empat belas komponen yaitu: falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan sistem, klasifikasi, pendekatan klasifikasi, perlakuan terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana, keluarga narapidana dan pembina/pemerintah. Pembinaan narapidana dilakukan di tempat pembinaan. Tempat pembinaan narapidana terdiri atas:10 1.
Di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narapidana harus dipidana dan dibina di Lembaga Pemasyarakatan saja. Narapidana yang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan, pada dasarnya selama menjalani pidana, telah kehilangankebebasan untuk bergerak, artinya narapidana yang bersangkutanhanya dapat bergerak di dalam Lembaga Pemasyarakatan sajaKebebasan bergerak, kemerdekaan bergerak, telah dirampasuntuk jangka waktu tertentu, atau bahkan seumur hidup. Namun dalam kenyataannya, bukan hanya kemerdekaan bergerak sajayang hilang, tetapi juga berbagai kemerdekaan yang lain ikut terampas. Dalam proses pemidanaan, Lembaga Pemasyarakatan yang mendapat porsi besar dalam melaksanakan pemidanaan, setelah melalui proses persidangan di pengadilan. Pada awalnya tujuan pernidanaan adalah penjeraan, membuat pelaku tindak pidana menjadi jera untuk melakukan tindak pidana lagi. Tujuan itu kemudian berkembang menjadi perlindungan hukum, baik kepada masyarakat (pihak yang dirugikan) maupun kepada pelaku tindak pidana (pihak yang merugikan), agar
Kerjasama Internasional Perpindahan.....(Eka Martiana Wulansari)
keduanya tidak melakukan tindakan hukum sendiri-sendiri. Berangkat dari upaya perlindungan hukum, maka pelaku tindak pidana dalam menjalani pidananya, juga mendapat perlakuan yang manusiawi, mendapat jaminan hukum yang memadai.
beban yang berat bagi setiap narapidana. Sehingga diperlukan pemikiran untuk memecahkan.Berbagai dampak psikologis tersebut antara lain:11 a. Loos of personality, seorang narapidana selama dipidana akan kehilangan kepribadian diri, identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana selama menjalani pidana, diperlakukan yang sama atau hampir sama antara satu narapidana dengan narapidana lainnya. Kenyataan ini akan membentuk satu kepribadian yang khas pula, yaitu kepribadian narapidana. Cara perlakuan terhadap narapidana oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan, lebih menjurus kepada pola hidup feodalisme, sehingga terjadi klas-klas tertentu dalam struktur kemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan. Masyarakat narapidana terhagi dalam stratifikasi sosial, antara lain: klas petugas (penguasa, priyayi), klas narapidana pembantu pegawai (tamping, pemuka), klas narapidana jenis kejahatan keras (perampok, pembunuh), dan klas narapidana jenis kejahatan ringan (pencurian, penipuan). Stratifikasi sosial tersebut membentuk tingkat penguasaan wilayah yang berdasar kekuatan, besar, banyak atau kerasnya tingkat kejahatan yang dilakukan. Seorang narapidana yang telah banyak melakukan kejahatan dengan kekerasan, akan disegani dan berpengaruh diantara teman-temannya. Demikian pula seorang narapidana yang berkali-kali masuk Lembaga Pemasyarakatan hanya karena kasus pencurian, akan disepelekan oleh teman-temannya. Akibatnya dalam kehidupan kelompok berdasarkan sel tempat tinggalnya, akan muncul satu pimpinan kelompok, yang ditakuti dan disegani. Dalam kumpulan sel yang disebut blok akan muncul pula satu pimpinan blok (non formal leader), sekalipun dalam blok tersebut telah ditunjuk seorang pimpinan yang sah (formal leader). Munculnya dualisme kepemimpinan dalam blok akan menimbulkan persaingan yang keras, sehingga dapat terjadi perkelahian karena berebut kekuasaan. Keadaan yang
Bentuk perlakuan dituangkan dalam usaha Lembaga Pemasyarakatan untuk membina narapidana, untuk mengenal diri sendiri, sehingga dapat merubah diri sendiri menjadi lebih baik, menjadi positif, tidak lagi melakukan tindak pidana dan mampu mengembangkan diri sendiri menjadi manusia yang lebih berguna bagi nusa, bangsa, agama, dan keluarganya. Berbagai upaya telah dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan pidana yang efektif dan efisien, agar narapidana dapat mengenal diri sendiri. Usaha itu berupa pembagian Lembaga Pemasyarakatan menurut usia, misalnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak di Blitar, Tangerang, Plantungan dan Kalimantan. Lembaga Pemasyarakatan Khusus Pemuda di Tangerang, Lembaga Pemasyarakatan Dewasa Muda di Sukamiskin Bandung, dan Lembaga Pemasyaraktan Dewasa dihampir semua kota kabupaten. Begitu juga didirikan Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan jenis kelamin, misalnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus Wanita di Malang, Semarang, Tangerang dan Medan. Lembaga Pemasyarakatan juga dibagi berdasarkan kapasitasnya, yaitu Lembaga Pemasyarakatan Kelas I. II. dan III. Masih dalam kaitan upaya melaksanakan pemidanaan, telah dipisahkan menurut tugasnya antara Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara (Rutan). Sekali pun telah diusahakan berbagai hal dalam rangka pembinaan narapidana selama menjalani pidana, namun ternyata dampak psikologis akibat pidana penjara masih nampak dan memerlukan pemikiran yang tuntas. Bagaimana juga dampak psikologis akibat dari pidana penjara, jauh lebih berat dibanding pidana penjara itu sendiri. Sehingga sebenarnya seorang narapidana tidak hanya dipidana secara fisik, tetapi juga secara psikologis. Pidana secara psikologis merupakan
9 Op.cit.,Penelaahan tentang Transfer of Prisioners, sebagai Salah Satu Tugas Seksi Bantuan Hukum Timbak Balik pada Sub Bidang Ekstradisi dan Bantuan Hukum Timbal Balik, Direktorat Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementrian Hukum dan HAM 10
88
Adi Sujatno, Pencerahan Di Balik Penjara, Mizan Media Utama (MUU), Juli, 2008.
11
demikian akan memecah belah kepribadian narapidana, yang dari luar (sebelum masuk Lembaga Pemasyarakatan) telah mengalami keretakan kepribadian. Banyak sekali narapidana yang kehilangan kepribadiannya, setelah berada di Lembaga Pemasyarakatan, karena tidak mampu menahan goncangan kehidupan dalam Lembaga Pemasyarakatan. b. Loos of security, selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas. Seseorang yang secara terus menerus diawasi, akan merasakan kurang aman, merasa selalu dicurigai, dan merasa selalu tidak dapat berbuat sesuatu atau bertindak, karena takut kalau tindakannya merupakan suatu kesalahan, yang dapat berakibat dihukum atau mendapat sanksi. Pengawasan yang dilakukan setiap saat, narapidana menjadi ragu dalam bertindak, kurang percaya diri, jiwanya menjadi labil, salah tingkah dan tidak mampu mengambil keputusan secara baik. Situasi yang demikian, dapat mengakibatkan narapidana melakukan tindakan kompensasi demi stabilitas jiwanya. Padahal tidak setiap kompensasi berdampak positip. Rasa tidak aman di dalam Lembaga Pemasyarakatan akan tetap terbawa sampai keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, dan baru akan hilang jika mantan narapidana telah mampu beradaptasi dengan masyarakat. c. Loos of liberty, pidana hilang kemerdekaan telah merampas berbagai kemerdekaan individual, misalnya kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan membaca surat kabar secara bebas, melakukan hobby, mendengarkan radio, menonton televisi, memilih dan dipilih dalam pemilu, dan sederetan kemerdekaan individual lainnya. Secara psikologis, keadaan yang demikian menyebabkan narapidana menjadi tertekan jiwanya, pemurung, malas, mudah marah, dan tidak bergairah terhadap programprogram pembinaan bagi diri sendiri. Padahal pembinaan narapidana memerlukan stabilitas kepribadian, rasa aman dan perasaan bebas untuk menentukan sikap.
Ibid.
89
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106
d. Loos of personal communication, kebebasan untuk berkomunikasi terhadap siapa pun juga terbatasi. Narapidana tidak bisa bebas untuk berkomunikasi dengan relasinya. Keterbatasan ini disebabkan karena setiap pertemuan dengan relasi dan keluarganya waktunya sangat terbatas dan kadangkala pembicaraan didengar oleh petugas yang mengawasinya. Begitu juga halnya dengan surat-surat yang harus diperiksa/ditilik, buku bacaan dan surat kabar harus disensor dulu. Sebagai manusia sosial, narapidana memerlukan komunikasi dengan teman, keluarga atau dengan orang lain. Keterbatasan kesempatan untuk berkomunikasi merupakan beban psikologi tersendiri. e. Loos of good and service, narapidana juga merasakan kehilangan akan pelayanan. Dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana harus mampu mengurus dirinya sendiri. Mencuci pakaian, menyapu ruangan, mengatur tempat tidurnya sendiri dan lain sebagainya. Narapidana tidak boleh memilih warna pakaian, atau membuat pakaian dengan model tersendiri, semua telah diatur agar sama, baik mengenai warna maupun modelnya. Begitu juga mengenai masakan, dan menu makanan, semua telah diatur oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan. Hilangnya pelayanan, menyebabkan narapidana kehilangan rasa affection, kasih sayang, yang biasanya didapat di rumah. Hal ini menyebabkan seseorang menjadi garang, cepat marah, atau melakukan hal-hal lain sebagai kompensasi kejiwaannya. f. Loos of Heterosexual, selama menjalani pidana, narapidana ditempatkan dalam blok-blok sesuai dengan jenis kelaminnya. Penempatan ini menyebabkan narapidana juga merasakan betapa naluri seks, kasih sayang, rasa aman bersama keluarga ikut terampas. Kasih sayang terhadap anak, isteri/suami dan anggota keluarga yang lain tak dapat ditemui selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Akan menyebabkan penyimpangan seksual, misalnya homoseks, lesbian, masturbasi, dan lain sebagainya. Semua merupakan penyaluran nafsu seks yang terpendam. Tentu saja merupakan abnormalitas seksual, yang jika
90
Kerjasama Internasional Perpindahan.....(Eka Martiana Wulansari)
tidak ditangani secara benar akan tetap berlanjut setelah lepas dari Lembaga Pemasyarakatan. g. Loos of Prestige, narapidana juga telah kehilangan harga dirinya. Bentuk-bentuk perlakuan dari petugas terhadap narapidana telah membuat narapidana menjadi terampas harga dirinya. Misalnya, penyediaan tempat mandi yang terbuka untuk mandi bersama-sama, WC yang terbuka, kamar tidur (sel) yang hanya berpintu teralis besi dan lain sebagainya. Alasan keamanan menjadi dasar utama dari perlakuan terhadap narapidana, tetapi dampak psikologis menjadi lebih besar dibanding hasil dari alasan keamanan tersebut. Kebiasaan-kebiasaan tersebut akan membuat narapidana memiliki harga diri yang rendah.
berhenti, terus berkembang. Kreatifitas tidak hanya berhenti dengan berpikir saja, tetapi juga menuntut untuk diwujudkan. Proses perwujudan yang akan menjadi kendala bagi narapidana, sehingga menjadi masalah tersendiri, menjadi problem psikologis bagi narapidana. 2.
Berbagai bentuk pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan dan memenuhi syarat untuk menjalani pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan, sebagian telah dilaksanakan pemerintah oleh Lembaga Pemasyarakatan, tetapi sebagian lagi masih merupakan gagasan, ide yang masih memerlukan pengembangan. Bentuk pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan yaitu:12 a. Pembinaan dalam keluarga narapidana. Bentuk pembinaan ini adalah pembinaan narapidana yang ditempatkan di dalam keluarga narapidana sendiri. Narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu, kepadanya dapat diberikan pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan. Pembinaan dapat berupa VI (Voorwaardelyke Invrijheidsstelling) dalam bahasa Indonesia disebut Pelepasan Bersyarat, atau PRT (Pre Release Treatment) yang juga disebut sebagai cuti bersyarat. Baik VI maupun PRT merupakan bentuk dari pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan, artinya narapidana yang mendapatkan VI atau PRT masih tetap berstatus sebagai narapidana, hanya tidak menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan, tetapi tinggal dalam keluarganya, sampai habis masa pidananya. Selama tinggal di keluarganya, narapidana tersebut dapat melakukan semua aktivitasnya sebagai manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Jadi memperoleh kebebasan yang mutlak, sama dengan manusia pada umumnya. Untuk mendapatkan VI maupun PRT diperlukan persyaratan administrasi tertentu, sehingga tidak semua narapidana bisa mendapatkan VI atau PRT. Selama di keluarganya, narapidana tersebut mendapat bimbingan dari petugas Balai Bispa. Perkembangan
h. Loos of Belief, akibat dari berbagai perampasan kemerdekaan, sebagai dampak dari pidana penjara, narapidana menjadi kehilangan akan rasa percaya diri sendiri. Ketidakpercayaan akan diri sendiri, disebabkan tidak ada rasa aman, tidak dapat membuat keputusan, kurang mantap dalam bertindak, kurang memiliki stabilitas jiwa yang mantap. Ketidakpercayaan terhadap diri sendiri akan mengganggu program pembinaan, sebab kreatifitas narapidana juga tidak dapat tersalurkan dengan sempurna. Rasa percaya diri sangat penting sekali dalam membina narapidana. Kepercayaan dirinya dapat dicapai jika narapidana telah mengenal diri sendiri. i.
Loos of Creativity, selama menjalani pidana, narapidana juga terampas kreatifitasnya, ide-idenya, gagasan-gagasannya, imajinasinya, bahkan juga impian dan citacitanya. Karena apa yang menjadi citacitanya tidak segera dapat terwujud, tidak segera dapat dilaksanakan. Kemandegan dalam melaksanakan kreatifitas manusia, akan mengganggu jiwa seseorang. Seperti halnya kebutuhan manusia yang lain, seperti makan, membaca, maka kreatifitas adalah bagian dari kebutuhan manusia dalam proses berpikir. Manusia ingin selalu mengembangkan diri dalam berkreasi, menemukan sesuatu, dan pikiran manusia tidak akan berhenti berpikir. Itulah sebabnya krcatifitas juga tidak pernah
Di luar Lembaga Pemasyarakatan
12
pembinaan dan kepribadian narapidana menjadi tugas dan pengawasan Balai Bispa. Selama tidak melakukan tindak pidana atau melanggar hukum yang berlaku, narapidana yang mendapat VI/PRT akan tetap menjalani sisa pidananya di luar Lembaga Pemasyarakatan. Peran Kepala Desa dan masyarakat untuk membina dan memberikan informasi kepada pihak Lembaga Pemasyarakatan tentang narapidana yang menjalani VI/PRT sangat diharapkan sekali, sebab setiap masukan, baik yang positif maupun yang negatif akan sangat berguna bagi perkembangan pembinaan narapidana di Indonesia. b. P e m b i n a a n d a l a m L e m b a g a Pemasyarakatan Terbuka. Narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu dan telah mendapat ijin dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan, dapat ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Terbuka, jika narapidana tersebut bersedia. Lembaga Pemasyarakatan Terbuka, merupakan bangunan rumah biasa yang ditempatkan di alam terbuka, biasanya di tanah pertanian milik Lembaga Pemasyarakatan, atau tanah pertambakan, perkebunan dan lain sebagainya. Para narapidana tersebut bertugas menggarap tanah pertanian, perkebunan atau tambak. Mereka dapat berbaur dengan masyarakat di sekitarnya. Melakukan kegiatan kemasyarakatan atau keagamaan dengan masyarakat di sekitarnya, menerima kunjungan keluarga dan lain sebagainya. Pengawasan jauh lebih longgar dibanding saat berada di Lembaga Pemasyarakatan. c. Bekerja di luar Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana juga dapat bekerja atau sekolah di luar Lembaga Pemasyarakatan. Untuk dapat bekerja, sekolah atau kuliah di luar Lembaga Pemasyarakatan, harus memenuhi persyaratan tertentu. Narapidana yang bekerja, sekolah, kuliah diluar Lembaga Pemasyarakatan, kalau pagi hari keluar dari Lembaga Pemasyarakatan untuk menunaikan tugasnya, dan setelah selesai kembali lagi ke Lembaga Pemasyarakatan. Jadwal pekerjaan, sekolah, kuliah harus diberikan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan/
Ibid.
91
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106
Rutan, agar pihak yang mengawasi narapidana tersebut tahu kapan narapidana harus kembali ke Lembaga Pemasyarakatan. Supaya narapidana tidak menggunakan waktu luangnya untuk kegiatan lain, selain yang telah diijinkan. d. Pidana Waktu Luang. Seseorang yang telah dipidana, se-harusnya dapat meng4jukan permohonan kepada hakim, untuk menjalankan pidananya hanya pada saat/waktu luang saja. Terutama untuk pidana jangka pendek, misalnya pidana karena pelanggaran lalu lintas, pidana karena tidak punya KTP dan lain sebagainya. Pidana yang hanya berkisar empat belas hari sampai satu bulan, dapat dilakukan hanya pada saat waktu luang saja, misalnya pada hari libur Sabtu dan Minggu sejumlah pidana yang dijatuhkan kepadanya. Pidana waktu luang belum diterapkan di Indonesia, karena perangkat bukunya belum ada. Tetapi bukan tidak mungkin, pidana waktu luang diterapkan di Indonesia dimasa mendatang, apalagi penerapan beberapa undang-undang sudah mulai dijalankan secara konsisten. Dengan menjalani pidana waktu luang, seorang narapidana akan memperoleh banyak keuntungan, misalnya tidak kehilangan pekerjaan, tercegah penularan kejahatan dan beberapa kehilangan akibat pidana penjara dapat dikurangi. e. Rumah Transisi. Dalam pembinaan narapidana di Indonesia, rumah transisi belum ada. Rumah transisi adalah sebuah rumah biasa yang ditempati oleh keluarga petugas dan dalam keluarga itu juga ditempatkan narapidana yang telah memenuhi syarat untuk bekerja atau belajar di luar Lembaga Pemasyarakatan. Jadi narapidana yang telah memenuhi persyaratan dan dapat bekerja atau belajar di luar Lembaga Pemasyarakatan, ditempatkan dalam sebuah rumah di luar Lembaga Pemasyarakatan yang disebut rumah transisi. Rumah transisi dapat ditempati petugas dengan keluarganya, tetapi dapat pula ditempatkan petugas Lembaga Pemasyarakatan yang ditugaskan secara bergilir. Dalam rumah transisi, narapidana dapat bergaul dengan 13
92
Ibid.
Kerjasama Internasional Perpindahan.....(Eka Martiana Wulansari)
masyarakat pada umumnya, dapat mengikuti kegiatan kemasyarakatan, keagamaan, atau kegiatan lain yang diijinkan oleh undang-undang. Rumah ini dimaksudkan untuk transisi narapidana sebelum secara langsung dan penuh hidup dengan masyarakat tanpa pengawasan petugas. Fungsi rumah transisi juga mempersiapkan narapidana untuk mulai bekerja, sehingga setelah habis menjalani pidana, sudah mempunyai pekerjaan atau penghasilan yang tetap. Rumah transisi didirikan di tengah pemukinan penduduk, dapat di tengah kota, pinggiran kota, atau di desa. Penempatan narapidana di rumah transisi juga harus diperhatikan tentang keahlian, latar belakang pendidikan/ pekerjaan, sehingga lebih cepat menyesuaikan dengan masyarakat sekitarnya, atau lebih cepat mendapatkan pekerjaan. Rumah transisi dapat berupa sebuah rumah, tetapi dapat pula berupa rumah susun, atau bagian dari rumah susun. Artinya sebagian rumah susun digunakan untuk rumah transisi, sedang bagian yang lain digunakan untuk masyarakat biasa. Pada dasarnya tujuan pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan adalah mengurangi dampak psikologis akibat pidana penjara, disamping juga upaya untuk mendekatkan diri dari narapidana kepada masyarakat. Seringkali seorang narapidana yang selama bertahun-tahun di dalam Lembaga Pemasyarakatan, kurang tahu akan perkembangan di luar Lembaga Pemasyarakatan. Baik perkembangan fisik akibat pembangunan, atau perkembangan berita, teknologi dan perkembangan masyarakat. Dengan pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan, secara perlahan-lahan narapidana akan mampu beradaptasi dengan masyarakatnya. Setelah habis masa pidananya, narapidana benar-benar telah siap untuk terjun ke masyarakat.13 Dalam upaya meningkatkan pembinaan bagi narapidana, Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) merupakan salah satu bentuk dari Perjanjian Internasional yang berkaitan dengan narapidana, yang dimaksud dengan narapidana adalah WNA dan WNI yang melakukan kejahatan disuatu negara, dan diputuskan bersalah oleh Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, sehingga ia
tersebut harus menjalani hukumanya di negara tersebut.14 Dalam Pasal 2, UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Lembar Tambahan Negara Nomor 4634), yang menjadi WNI adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Ugensi Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) di Indonesia antara lain adanya kepentingan nasional yang mendesak dan semakain banyak negara sahabat yang menawarkan pembentukan kerjasama Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) dengan Indonesia namun belum dapat direspon di antaranya Malaysia, Thailand, China/Hongkong, filiphina, Perancis, Nigeria, Iran, India, bulgaria, Rumania, Brasil, Australia, dan Suriah.
Narapidana WNA dalam LAPAS Indonesia mengalami permasalahan yang sangat kompleks diantaranya tentang perbedaan kebiasaan, kebudayaan dan bahasa. Selain itu narapidana juga mengalami permasalahan dalam menjalani ibadah yang sesuai dengan agama dan kepercayaanya juga permasalahan makanan. Untuk mengurangi permasalahan tersebut perangkat hukum yang perlu dipersiapkan diantaranya, setiap LAPAS harus menerapkan Standar Perlakuan Minimum PBB terhadap narapidana. Selain itu perlu dibentuk skema Transfer of Sentenced Person (TSP) sebagai bentuk bantuan hukum terhadap narapidana WNA dan sebagai bentuk kerjasama internasional. Mekanisme lainya yang perlu diperhatikan adalah model regional dari Transfer of Sentenced Person (TSP), Standar Transfer of Sentenced Person (TSP) dari PBB dan Undang-Undang yang bersifat nasional yang mengatur tentang Transfer of Sentenced Person (TSP).15
Permintaan dari negara-negara sahabat tersebut perlu dipertimbangkan dengan positif dalam upaya menjaga bilateral yang telah berlangsung dengan baik dan saling menguntungkan. Sampai saat ini Indonesia belum dapat menaggapi permintaan dari negara-negara sahabat karena belum adanya legislasi nasional mengenai Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP). Dapat dipahami bahwa tawaran negaranegara asing untuk membentuk kerjasama Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) dengan Indonesia di dasari pada kepentingan jangka pendek untuk memulangkan warga negara mereka yang dipidana di Indonesia. Di lain pihak, seharusnya pemerintah Indonesia juga dapat berupaya untuk meluangkan warga negaranya yang di hukum di luar negeri, guna melindungi dan menjamin perlindungan HAM mereka dengan memberikan hak-hak rehabilitasi, reintegrasi dan asimilasi untuk kembali ke masyarakat.
Di Indonesia, Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) baru memperoleh perhatian pada awal tahun 2000, namun masih terbatas pada beberapa instansi yang terkait dengan permasalahan Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP). Faktor-faktor yang menyebabkan adanya perhatian pemerintah terhadap Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) yaitu, pertama, keanggotaan Indonesia pada beberapa Konvensi Internasional, antara lain United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime (UNTOC) dan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Kedua, tawaran dari negara lain untuk membentuk perjanjian bilateral Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP).
Dalam hal, kepentingan nasional yang mendesak dapat terlihat dalam data yang dikeluarkan Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementrian Luar Negeri RI pada tahun 2012, jumlah WNI di luar negeri lebih dari 4.5 juta orang. Angka tersebut belum termasuk WNI undocumented yang jumlahnya juga sangat signifikan. Mayoritas WNI tersebut adalah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mayoritas wanita dengan tingkat pendidikan rendah, sehingga rentan terkena permasalahan hukum. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya kasus hukum yang dialami oleh WNI luar negeri seperti ditunjukan pada Tabel 1 sampai dengan Tabel 4 berikut ini.16
14
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, CV Yrama Widya, Bandung: 2005, Note.8, hlm. 169.
15
Mark Andrew Sherman, Transfer Of Prisoners Under International Instruments And Domestic Legislation: A Comparative Study, By Michael Plachta. Frieburg, Germany: Max-Planck-Institut, 1993. Pp. 565. Dm 58 (Softcover), The George Washington University, George Washington Journal of International Law and Economics, 1995, hlm. 495 16
Ibid.,hlm. 3
93
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106
Tabel 1 Data WNI di Luar Negeri Tahun 2011-201217 Wilayah
Jumlah
%
Afrika Eropa Amerika Asia Pasifik Timur Tengah Total
5.918 85.393 185.159 2.654.796 90.465 1.205.652 4.227.383
0.14% 2.02% 4.38% 62.80% 2.14% 28.52% 100.00%
Tabel 2 Profil WNI di Luar Negeri Tahun 2011-201218 4.227.383
Total TKI (60%) Profesional (8%)
2.536.429 338.190
ABK (6%)
253.624
Pelajar (20%)
845.476 253.646
WNI lainya (ibu rumah tangga menikah dengan WNA, dll) (6%)
Tabel 3 Jumlah WNI yang di Penjara di Luar Negeri Tahun 2011-201219 Negara
Kasus
Jumlah
Australia People Smuggling (383), Narkoba (3), Keimigrasian (2)
288
Terorisme (10), Narkoba (7), Perampokan (1)
18
Filipina
Perampokan dan Pencurian (24), Kemigrasian (3), Tindakan 36 Asusial (2), Pemerkosaan (2), Penyendupan (2), Narkoba (1) Pembunuhan (1) Memiliki Bahan Peledak (1) 2 Vietnam Narkoba (1), Pencurian (1) Kamboja Pencurian (1) 1 Brunai
Pencurian (1) Laos Thailand Keimigrasian/legal entry (12), Perampokan (3)
1 15
Malaysia Pelanggaran Imigrasi (2430), Perkelahian (832), Kepemilika Senjata Api (24), Ketertiban Umum (2), Lain-lain (80), Illegal Fishing (1), Narkoba (703), Perampokan (3)
4073
Total
4415
Tabel 4 Kasus-Kasus WNI Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri Tahun 2011-201220 2011 Jumlah Jumlah Sisa Kasus yang Kasus 2011 Dilepaskan 2011 dari Ancaman Hukuman Mati Tahun 2011 40 33 Arab Saudi 7 Malaysia 149 133 16 RRC 14 11 3 2 Iran 3 1 Singapura 2 1 1 Brunai 1 1 Darussalam 209 172 37 Total Negara
2012 Jumlah Jumlah yang Jumlah Kasus Dilepaskan Kasus 2012 dari Ancaman yang Hukuman Masih di Mati Tahun Proses 2012 33 66 19 0 1 0
30 31 11 1 -
36 168 11 1 1 1
119
73
218
Permasalahan WNI di Luar Negeri sangat beragam,antara lain:Evakuasi WNI terkait dengan
konflik politik dan bencana alam;Penanganan kasus-kasus WNI/TKI di luar negeri yang terancam hukuman mati; pemulangan TKI dari shelter berbagai Perwakilan RI;penanganan WNI overstayers di Arab Saudi;penanganan WNI pendatang asing tanpa ijin (PATI) di Malaysia; kasus-kasus penembakan WNI oleh Polisi Di Raja Malaysia (PDRM); penanganan ABK WNI yang terlibat dalam penyelundupan manusia (people smuggling) di Australia; dan kasus ABK korban ekspoitas.21 Langkah-Langkah Strategis Perlindungan terhadap WNI, selama ini antara lain: Pertama, langkah pencegahan (preventive), yaitu program kegiatan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kasus. Langkah pencegahan ini disesuaikan dengan karakteristik permasalahan yang berbeda di setiap perwakilan. Langkah-langkah tersebut berupa kampanye penyadaran publik; desiminasi informasi; kerjasama dengan para stakelolder baik di pusat maupun daerah; welcoming program; outreach pelayanan kekonsuleran; pemberdayaan masyarakat di luar negeri; pendidikan dan pelatihan bagi SDM di perwakilan. Kedua, langkah deteksi dini(early detection), yaitu program kegiatan yang bertujuan agar permasalahan atau kasus dapat segera diketahui sebelum menjadi isu yang tidak terkendali.Langkah-langkah tersebut berupa pengembangan data base system basis IT; singkronisasi dan integrasi database; penyediaan hotline service; kunjungan ke penjara, tahanan imigrasi, polisi dan sebagainya; penguatan jejaring kerja kepada pejabat instansi setempat dan stakeholders lainya baik di pusat maupun Pemerintah RI. Ketiga, langkah perlindungan secara cepat dan tepat (immediate response) yaitu, program kegiatan untuk menyelesaikan kasus yang telah terjadi. Langkah-langkah tersebut berupa menanggapi secara cepat dan tepat setiap pengaduan masyarakat; melakukan penanganan khusus secara terukur; optimalisasi satgas Citizen Service di Perwakilan RI; menyediakan sleter untuk perlindungan fisik; pemberian bantuan hukum; pemberian bantuan sosial dan kemanusiaan; dan repratiasi.22 Dengan adanya hukum nasional
17 Penanganan Kasus WNI di Luar Negeri, Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementrian Luar Negeri RI, di sampaikan pada acara Focus Group Discussion(FGD) “Persepektif Nasional Pelaksanaan Kerjasama Internasional Transfer of Sentences Persons”, Bandung, 8-10 Maret 2013. 18
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid.
21
Ibid,
22
Ibid.
94
Kerjasama Internasional Perpindahan.....(Eka Martiana Wulansari)
tentang Transfer of Sentenced Person (TSP) di Indonesia merupakan salah satu langkah-langkah strategis dari pemeritah agar lebih mudah dalam melindungi WNI di luar negeri. Di lain pihak, banyak narapidana WNA yang saat ini di penjara di Indonesia, dan seringkali menimbulkan permasalahan karena adanya tuntutan perlakuan yang dikaitkan dengan penegakan nilai-nilai Universal HAM. Disamping itu, keterbatasan kapasitas lembaga pemasyarakatan untuk dapat menampung seluruh narapidana WNA di Indonesia turut menjadi faktor yang perlu dipertibangkan dalam menjawap tawaran kerjasama Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP). Salah satu keuntungan adanya hukum nasional mengenai Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) adalah Indonesia dapat memiliki kepastian hukum dan parameter yang jelas dalam pelaksanaan Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) sesuai kepentingan nasional dan dalam koridor yang dimungkinkan berdasarkan hukum internasional, termasuk jenis-jenis kejahatan berat tertentu yang mungkin bertentangann dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia. Adanya dasar hukum juga memberikan kepastian bagi seluruh instansi terkait dalam menyusun posisi terkait dengan tawaran kerja sama Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP). Penyusunan legislasi nasional dapat mengacu atau mengadaptasi ketentuan yang terkait Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) yang telah disepakati pada forum multiteral, bilateral dan hukum nasional dengan mempertimbangkan kepentingan umum dan rasa keadilan masyarakat. Dalam skema kerjasama Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) harus tetap mengacu pada perlunya masing-masimg negara menghornmati dan menegakan hukum nasional dimana hukuman pidana dijatuhkan termasuk aspek penegakan hukum dan pemantuan pelaksanaan hukum. Seiring dengan semakin berkembangnya rezim hukum Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) dan pratiknya yang telah lazim di manca negara, serta guna memenuhi kebutuhan Indonesia untuk
melindungi warganegaranya di luar negeri yang sedang menjalani hukuman, maka bagi pemerintah RI dapat segera untuk menyamarkan persepsi dan mengambil langkah-langkah kongkrit untuk mempersiapkan suatu instrumen hukum nasional yang mengatur kewenangan, prosedur dan mekanisme Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) antar negara. C.
Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP)
Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), merupakan suatu perjanjian antar negara dengan subjek hukum negara dan dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang Hukum Publik. Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) dapat saja termuat dalam satu atau lebih dari satu dokumen dan dapat saja di beri nama apapun yang dalam proses pembuatannya di sesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012). Hal ini merupakan salah satu cara untuk mewujudkan tujuan negara dan pembangunan hukum nasional yang dilakukan dengan pembentukan peraturan perundangundangan yang baru sebagai landasan hukum mekanisme kerja Hukum Internasional. Instrumen kerjasama dalam Hukum Internasional baik secara bilateral maupun multilateral, digunakan oleh negara-negara yang masih dalam satu kawasan maupun tidak, terutama untuk menyamakan persepsi tentang Hukum Positif di masing-masing negara. Instrumen hukum yang digunakan dalam kerjasama Hukum Internasional antara lain Perjanjian Ekstradisi; Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance In Criminal Matters/MLA); Perjanjian Perpindahan Narapidana (Treaty On Transfer of Sentenced Person/TSP); The Transfer of Criminal Proceedings; Law Enforcement Cooperation; Joint Investigation; dan Handing Over of Property.23 Indonesia sudah memiliki dua Instrumen
23 “Perjanjian Ekstradisi” adalah penyerahan orang oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan orang yang disangka atau dipidana karena melakukan kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdeksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memidananya (Pasal 1, UU Nomor 1 Tahun 1979);“Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLA)” adalah merupakan bantuan berkenaan dengan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang diminta; “Perjanjian Perpindahan Narapidana (Treaty on Transfer of Sentenced Person/TSP)” adalah kerjasama negara-negara anggota dapat mempertimbangkan untuk mengadakan kesepakatan atau perjanjian bilateral atau multilateral untuk mentransfer terdakwa yang dihukum penjara kewilayah hukum mereka atau bentuk lain dari penghilangan kebebasan karena tindak pidana yang dimaksud di dalam konvensi dengan tujuan agar mereka dapat menyelesaikan hukumanya disana; “The Transfer of Criminal Proceedings”, adalah kerjasama negara-negara anggota akan mempertimbangkan kemungkinan untuk saling mentransfer hasil dari penyidikan suatu tindak pidana yang disebutkan di dalam konvensi di dalam kasus-kasus dimana transfer itu dianggap sebagai kepentingan dari administrasi yang layak, khususnya dalam contoh-contoh yang layak, khususnya dalam contoh-contoh yang memberikan yuridiksi, denganmaksud untuk menkonsentrasikan penyidikan; “Law Enforcement Cooperation”, adalah kerjasama negara-negara anggota yang
95
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106
kerjasama dalam Hukum Internasional, yaitu “Perjanjian Ekstradisi” dan “Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLA)”. Perjanjian Ekstradisi di Indonesia diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3130). Indonesia juga sudah melakukan beberapa Perjanjian Ekstradisi diantaranya adalah:24 Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Malaysia dalam UU Nomor 9 Tahun 1974 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 3044); Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Filipina dalam UU Nomor 10 Tahun 1976 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3078); Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Thailand dalam UU Nomor 2 Tahun 1978 (Diundangkan di Jakartapada tanggal 18 Maret 1978); Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Australia dalam UU Nomor 8 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indoesia Tahun 1994 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 3565); dan Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Korea dalam UU Nomor 42 Tahun 2007 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Antara Republik Indonesia dan Republik Korea (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4771). Sedangkan, Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLA) di Indonesia diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4607). Indonesia juga sudah melakukan Perjanjian Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Indonesia dengan China (RRC) dalam
UU Nomor 8 Tahun 2006 tentang Bantuan Perjanjian Timbal Balik Dalam Masalah Pidana antara Indonesia dengan Republik Rakyat China (RRC) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4621). Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), berbeda dengan Perjanjian Ekstradisi dan Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLA). Perjanjian Ekstradisi adalah bentuk kerjasama Internasional di bidang hukum dimana dikehendaki untuk tuntutan hukum atau menjalani hukuman yang belum terpenuhi atas pelanggaran hukum atau kriminal terhadap hukum negara pemohon, dan Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance in Criminal Matters/MLA) adalah bentuk kerjasama Internasional yang merupakan bantuan berkenaan dengan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang diminta. Sedangkan Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) adalah bentuk kerjasama Internasional dimana narapidana sudah menjalani hukumannya di suatu negara, kemudian dipindahkan ke negara asalnya untuk menjalani sisa hukumanya. Prosedur Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) berbeda dengan pertukaran narapidana (exchange of prisioners) yang biasanya terkait dengan Prisioners of Wars (POW) dimana pertukaran dilakukan dengan resiprokal dengan jumlah tahanan yang sama atau senilai. Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) adalah upaya memindahkan narapidana yang dilakukan atas dasar kasus per kasus sesuai dengan kepentingan negara pada saat itu dan tidak selalu bersifat resipokal.25 Salah satu faktor dalam hukum internasional dibentuknya mekanisme Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) adalah hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3)
Kerjasama Internasional Perpindahan.....(Eka Martiana Wulansari)
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang dishkan pada tanggal 25 Januari 2011, dan telah diratifikasi atau disetujui oleh 167 Negara, menetapkan bahwa "penting Tujuan "dari sistem pemasyarakatan adalah" reformasi dan rehabilitasi sosial "dari tahanan. ketentuan International Perjanjian sehubungan dengan "rehabilitasi sosial".26 Di berbagai negara telah mempunyai pengaturan tentang Transfer of Sentenced Person (TSP) sebagai dasar dalam kesepakatan antara negara pengukum dengan negara penerima di seluruh dunia untuk melakukan Transfer of Sentenced Person (TSP). Alasan dilakukannya Transfer of Sentenced Person (TSP) karena alasan kemanusian dan hak asasi manusia. Selain itu Transfer of Sentenced Person (TSP) juga meyebabkan penghematan anggaran rehabilitasi terhadap WNA dan dapat menurunkan angka residivis.27 Pengaturan mengenai Transfer of Sentenced Person (TSP) di bebagai negara sangat beragam. Berikut berupakan beberapa prinsip umum dari Transfer of Sentenced Person (TSP), antara lain: Prinsip dari Transfer of Sentenced Person (TSP) merupakan perpindahan seorang terpidana yang dapat ditransfer dari yurisdiksi/negara mentransfer ke yurisdiksi/negara penerima yang dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam perjanjian antara kedua negara yang telah bersepakat untuk melakukan perpindahan narapidana untuk menyelesaikan sisa masa hukumannya di negara asalnya.28
terpidana dapat ditransfer ke wilayah lain, dalam rangka untuk menjalani sisa masa hukuman yang dijatuhkan pada dirinya. Untuk itu terpidana dapat mengajukan permohonan Transfer of Sentenced Person (TSP). Transfer of Sentenced Person (TSP) dapat diminta/diajukan oleh wilayah negara penghukum maupun wilayah negara peminta.30 Prinsip-Prinsip yang diberlakukan dalam Transfer of Sentenced Person (TSP ) terdiri atas:31 1.
Setiap orang yang dipidana dengan pidana perampasan kemerdekaan harus diperlakukan dengan menghormati hak asasi manusia;
2.
Setiap orang yang menjalani masa hukuman perampasan kemerdekaan masih mempuyai hak walaupun dalam masa penahanan;
3.
Ada batasan waktu minimum bagi pidana perampasan kemerdekaan yang akan diajukan untuk permohonan pertukaran narapidana;
4.
Kondisi penjara untuk menjalani sisa hukuman tidak boleh melanggar hak asasi manusia;
5.
Dalam menjalani masa hukuman di pejara harus mengedepankan rehabilitasi terhadap terpidana;
6.
Setiap narapidana di berikan hak untuk mengajukan permohonan perukaran narapidana agar lebih dekat dengan kebudayaan narapidana sehingga rehabilitasi terhadap terpidana dapat terpenuhi;
7.
Dilakukan kerjasama dengan dinas sosial untuk membantu rehabilitasi narapidana;
Transfer of Sentenced Person (TSP) dapat terjadi apabila ada kesepakatan antara kedua negara untuk melakukan perpindahan/transfer terhadap narapidana dari wilayah Negara penghukum ke wilayah Negara asal terpidana dalam rangka untuk mejalani sisa masa hukuman yang harus dijalani yang sesuai dengan kesepakatan.29
8.
Setiap petugas penjara harus melaksanakan pelayanan publik di penjara sesuai dengan standar minimum di penjara yang berlaku dan melakukan pembinaan terhadap narapidana;.
9.
Prinsip-prinsip umum tentang Transfer of Sentenced Person (TSP) yaitu para pihak yang sepakat dalam pengalihan terpidana. Seorang
Pemerintah melakukan pengawasan terhadap penjara secara reguler maupun independen.
Secara garis besar prinsip-prinsip Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) yang berkaitan
26
United Nations Office on Drugs And Crime, Vienna, Handbook on the International Transfer of Sentenced Persons, United Nations, New York, 2012
bekerjasama secara erat, sejalan dengan sistem hukum dan administrasi domestik masing-masing untuk meningkatkan efektifitas tindakan penegakan hukum untuk memerangi kejahatan yang dimaksud dalam konvensi; ”Joint Investigation”adalah kerjasama penyidikan antara dua atau lebih negara melalui perjanjian berdasarkan kasus per kasus;“Handing Over of Property”, adalah kerjasama dimana pihak yang diminta sepanjang hukumnya memperbolehkan dan atas permintaan dari pihak peminta wajib menyita dan menyerahkan barang yang mungkin diperlukan sebagai bahan pembuktian atau yang diperoleh sebagai hasil dari kejahatan itu dan yang terdapat pada orang yang dituntut pada waktu penahanan dilakukan atau yang ditemukan sesudah itu. H.R Abdussalam, Hukum Pidana Internasional 2 (dua), Jakarta: Restu Agung, 2006, hlm.12-13. 24 25
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT Revika Aditama, Bandung: 2000, hlm.228.
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementrian Luar Negeri RI, pada Pertemuan Focus Groub Discussion (FGD) mengenai “Persepektif Nasional pelaksanaan Kerja Sama Internasional Transfer of Sentence Persons (TSP)”, Bandung, 8-10 maret 2013, hlm. 2
96
27 Australian Institute of Criminology, Trends & Issues, In Crime and Criminal Justice, No.38,The International Transfer of Prisoners, July 1992, Canberra ACT 2601, Australia, http://www.aic.gov.au 28 Article 2, The Agreement for the Transfer of Sentenced Persons between the Government of The Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of China and the Government of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland entered into force on 19 March 1998. 29 Article 3, Treaty on the Transfer of Sentenced Persons between the Government of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and the Government of the United Arab Emirates, London 24 January 2013 30
Article 2, Convention on the Transfer of Sentenced Persons Strasbourg, 21.III.1983
31
Council of Europe, Committee of Ministers, Recommendation Rec(2006)2 of the Committee of Ministers to member stateson the European Prison Rules
97
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106
dengan Kedaulatan Hukum antara lain:32 1. 2.
3.
Transfer of Sentenced Person (TSP) dilakukan berdasarkan suatu Perjanjian; Transfer of Sentenced Person (TSP) adalah mutlak untuk melanjutkan masa menjalani hukuman (continued of enforcement) dan bukan untuk mengubah atau mengurangi masa menjalani hukuman (conversion of enforcement); Narapidana merupakan administering/receiving state;
warganegara
4.
Dual Criminality;
5.
Pelaksanaan putusan setelah dipindahkan dapat dilakukan dengan berkelanjutan (continued enforcement) atau dikonversikan (conversion of sentence);
6.
Narapidana yang telah dipindahkan dapat diberikan ampunan (pardon), amnesty (amnesty), atau dikomutasikan (commutation);
7.
Terdapat Jumlah minimum sisa masa hukuman yang harus dijalani di negara Pentransfer sebelum narapidana dapat mengajukan permohonan pemindahan (alasan praktis);
8.
9.
Terdapat ketentuan dan mekanisme yang memastikan bahwa hukuman bagi terpidana telah berkekuatan hukum tetap, tanpa adanya hak untuk upaya hukum, dan terpidana tidak diperlukan lagi dalam proses hukum (bagi dirinya atau perkara lain, pidana maupun perdata); Pemindahan baru dapat dilaksanakan secara mutlak jika mendapat persetujuan 3 (tiga) pihak yaitu: persetujuan narapidana sendiri (sentenced persons) tanpa diwakilkan, persetujuan negara Peminta (Requesting State), dan persetujuan negara Pentransfer (Transfering state);
10. Prinsip penolakan negara Pentransfer untuk melaksanakan pemindahan narapidana harus tanpa kewajiban untuk menyampaikan alasan penolakan (wihout obligation to obtain the explanation); 11. Bersifat Non Retroactive; dan
12. Tetap diperlukan hak monitoring di Indonesia.Hanya berlaku bagi terpidana yang di-vonis hukuman penjara dalam periode waktu tertentu. Untuk melaksanakan Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) dibutuhkan suatu Perjanjian bilateral atau multilateral antar negara. Ada 2 (dua) tipe perjanjian internasional atau konvensi tentang bentuk dasar dariTreatyon Transfer of Sentenced Person (TSP):33 1.
2.
Multilateral Treaty, adalah perjanjian legal antara beberapa negara, seperti yang dikenal pada saat ini yaituCouncil of Europe Convention on the Transfer of Sentenced Persons atau Konvensi Dewan Eropa tentang Transfer Narapidana. Konvensi ini telah ditandatangani oleh 44 (empat puluh empat) negara, termasuk Canada. Bentuk perjanjian internasional lainnya adalah perjanjian multilateral Commonwealth of Nations Scheme for the Transfer of Convicted Offenders atau Pedoman negara-negara Commenwealth tentang Transfer Tahanan atau orang yang terhukum yang ditandatangani oleh 7 (tujuh) negara, dan The Inter-American Convention on Serving Criminal Sentences Abroad atau Konvensi Antar Negara Bagian Amerika tentang Layanan Hukuman Pidana Luar Negeri yang ditandatangani oleh 6 (enam) negara; dan Perjanjian bilateral adalah perjanjian antar dua negara dan dalam perkembangannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing negara. Misalnya, Australia menandatangani perjanjian bilateral tentangTreaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) dengan Thailand pada awal tahun 2001,34 Perjanjian Bilateral antara Perancis dan Thailand Nomor 24319 tentang Convention on the cooperation in the execution of penal sentences” yang ditandatangani pada tanggal 29 Agustus 1983. Filipina membuat Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) dengan Spanyol dengan Resolusi Nomor 39 tentang “Resolution Concurring In the Ratification of The Treaty on The Transfer of Sentenced Persons Between The Republic of The Philippines and
32 Reda Manthovani, Kejaksaan, dalam FGD: Persfektif Nasional Implementasi Internasional Transfer of Sentenced Person,Hotel Grand Royal Panghegar, Bandung, 9 Maret 2013 33 34
Prisoners Transfer Treaties. http://travel.state.gov/law/legal/trcatv/treatv 1989.html. tanggal 26 Juli 2009.
Agreement between the Government of Australia and the Government of the Kingdom of Thailand on The Transfer of Offenders and Cooperation In the Enforcement Of Penal Sentences, date 26th July 2001, Volume 2208. 1-39238.
98
Kerjasama Internasional Perpindahan.....(Eka Martiana Wulansari)
The Kingdom of Spain”. Amerika Serikat memiliki 12 (dua belas) perjanjian bilateral tentang transfer narapidana asing, yaitu dengan negara Bolivia, Canada. Prancis, Hongkong SAR, Kepulauan Marshall, Mexico, Micronesia, Palau, Panama, Peru. Thailand, dan Turki. Berkaitan dengan Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), ada satu prinsip lagi yang dianut oleh PBB (United Nations) yaitu prinsip 20 (dua puluh) dalam prinsip-prinsip utama perlindungan untuk semua orang yang sedang menjalani penahanan dalam penjara dalam bentuk apapun, menyebutkan bahwa: jika tahanan atau narapidana begitu menghendakinya, ia dapat, jika memungkinkan, ditempatkan ditempat penahanan atau pemenjaraan yang berada cukup dekat dengan kediaman tetapnya”. Hal ini penting untuk mempertahankan hubungan dengan para anggota keluarga dan teman-teman. Jika para tahanan dan terpidana ditempatkan jauh dari rumah mereka, hal ini memembuat kunjungan sebagaimana halnya dengan cuti mengunjungi keluarganya menjadi lebih berat dan menghabiskan lebih banyak biaya. Kemungkinan dari perpindahan ke suatu tempat yang lebih dekat ke rumah harus dibicarakan dengan semua tahanan sesegera mungkin setelah kedatanganya di penjara. Di dalam banyak sistem mungkin sulit, khususnya untuk tahanan wanita dan anak, karena jumlah LAPAS atau penjara wanita dan anak di tempat yang diinginkan lebih sedikit dari pada jumlah LAPAS umum. Dalam kasus para narapidana, ada pengertian bahwa mereka harus jika memungkinkan, bisa menjalani hukuman tersebut di negara mereka (Bentuk perjanjian dalam pemindahan untuk tahanan orang asing, diangkat dalam Kongres Kejahatan Ke-7 PBB, Tahun 1985).35 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memberikan pedoman Model Treaty mengenai Transfer of Sentenced Person (TSP) sejak Tahun 1990, dengan Resolusi Majelis Umum PBB (United Nations Resolution Nomor A/RES/45/119 tentang United Nations Model Treaty on The Transfer of Supervision of Offenders Conditionally Sentenced or Conditionally Released). Dasar pertimbangan utama adanya perjanjian mengenai Transfer of Sentenced Person (TSP) adalah HAM. Dalam Transfer of Sentenced Person (TSP), HAM yang melekat dan
menjadi dasar pertimbangan dilakukanya perjanjian tersebut adalah kondisi-kondisi seperti:36 1.
Seorang narapidana yang melakukan tindak pidana di suatu negara dan dijatuhi hukuman atau pidana di negara tersebut tetap mendapat hak untuk mendapat perlakuan dan hak yang sama dengan narapidana lainya.
2.
Seorang narapidana yang di penjara atau dikurung jauh dari negaranya, menimbulkan dampak seolah-olah narapidana tersebut mendapat 2 (dua) kali hukuman, disatu sisi narapidana tersebut harus menyerahkan kebebasannya selama menjalani hukuman akan tetapi narapidana tersebut juga mengalami beberapa kendala tambahan seperti komunikasi/bahasa asing dengan petugas LAPAS maupun narapidana lainnya yang akan mudah terjerat melakukan berbagai pelanggaran dalam ketentuan LAPAS, kendala menjalankan Agama dan Kepercayaanya, kebersihan yang kurang memadai dan keterbatasan tenaga medis.
3.
Seorang narapidana yang jauh dari lingkungan dimana dia biasa bertempat tinggal sehingga akan menyulitkan dalam proses pembinaan dan rehabilitasinya.
4.
Seorang narapidana yang jauh dari lingkungan dimana dia biasa bertempat tinggal sehingga menyebabkan narapidana menderita karena hilangnya kontak dengan keluarganya dan akan memakan biaya yang mahal LAPAS untuk mendatangkan keluarga narapidana.
5.
Untuk menjauhkan perasaan dari narapidana akan adanya tindakan diskriminasi, pengucilan atau perasaan asing dengan narapidana lainya.
Beberapa negara yang sudah melaksanaan Transfer of Sentenced Person (TSP) diantaranya adalah Amerika Serikat (USA) dan Hongkong; Kerajaan Spayol dan Republik Colombia. Transfer of Sentenced Person (TSP) merupakan perkembangan baru di dunia modern yang dilaksanakan pertama kali di Syria dan Lebanon pada Tahun 1951. Dikawasan Eropa mekanisme Transfer of Sentenced Person (TSP) baru berkembang sejak Tahun 1962 yaitu di 5 (lima) negara Skandinavia yang membuat perjanjian yang salah satu isinya memuat ketentuan mengenai dapat diberlakukannya
35 Membuat Standar-Standar Bekerja, dalam Buku Panduan Internasional mengenai PratekPemenjaraan yang Baik, Penal Reform Internasional, Maret, 2001, hlm. 150-151. 36
Majalah Hukum dan HAM Vol. VII No. 31 Maret-April 2009, Perjanjian Transfer of Sentenced Person, Jakarta: 2009, hlm.39.
99
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106
Keputusan Pengadilan suatu negara di negara lain yang terlibat dalam perjanjian.37 Di Afrika, Transfer of Sentenced Person (TSP) baru berkembang pada Tahun 1961 yaitu pada 12 (dua belas) negara bekas jajahan Perancis yang membuat perjanjian dalam masalah peradilan. Sedangkan di Amerika Serikat (USA) Transfer of Sentenced Person (TSP) baru berkembang pada Tahun 1971 dengan mengadakan perjanjian dalam masalah peradilan dengan Mexico, kemudian dengan Kanada. Perkembangan lebih cepat dicapai di Eropa dimana pada Tahun 1983 dibawah Komite Eropa mengenai masalah kejahatan telah menghasilkan Konvensi Eropa mengenai Convention of The Transfer of Sentenced Person, yang ditandatangani di Strasbourg pada tanggal 21 Maret Tahun 1983, dan ditandatangani oleh kurang lebih 44 (empat puluh empat) negara, baik oleh anggota maupun bukan anggota dari Council of Europe. Hingga Tahun 1996 Konvensi ini telah diratifikasi lebih dari 30 (tiga puluh negara) termasuk Amerika Serikat (USA). Negara-negara Liga Arab pada Tahun 1983 juga telah mempunyai perjanjian Transfer of Sentenced Person (TSP) dalam bentuk Riyadh Arab Agreement on Yudicial 1983 dan juga telah menghasilkan Arab Agreement on Yudicial Cooperation. Di kawasan Amerika Selatan juga telah mempunyai perjanjian Transfer of Sentenced Person (TSP), dalam bentuk Inter-American Convention on Serving of Criminal Sentences Aboard pada Tahun 1980, namun sampai dengan Tahun 1996 hanya 2 (dua) negara saja yang ikut meratifikasinya yaitu Kanada dan Venezuela, sedangkan negara lainya baru pada tahap penandatanganan.38 Ratifikasi perjanjian antara Pemerintah USA dengan Pemerintah Hong Kong pada tanggal 15 April tahun 1997 tentang Transfer of Sentenced Person (TSP) antara kedua negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Europe Convention on The Transfer of Sentenced. Perjanjian ini terjadi pada saat Pengembalian Hong Kong dari dibawah kedaulatan Inggris ke Cina. Sedangkan Cina bukan merupakan bagian dari Uni Eropa maka dalam pelaksanaanya perlu adanya perjanjian bilateral antara Hong Kong dengan USA. Isi dari perjanjian tersebut antara lain definisi dan istilah
yang digunakan dalam perjanjian; para pihak menentukan wilayah mana yang akan dilaksanakan Transfer of Sentenced Person (TSP);para pihak menunjuk otoritas pelaksana Transfer of Sentenced Person (TSP); para pihak menentukan jangka waktu atau sisa pidana yang harus dijalani apabila melakukan Transfer of Sentenced Person (TSP); mengharuskan bagi setiap narapidana yang akan ditranfer telah menyetujui secara sukarela untuk melakukan Transfer of Sentenced Person (TSP); mempersiapkan dana untuk memenuhi syaratsyarat administrasi dalam proses melaksanakan Transfer of Sentenced Person (TSP); mempersiapkan fasilitas pelaksanaan Transfer of Sentenced Person (TSP); menetapkan bahasa yang digunakan dan dalam membuat permintaan Transfer of Sentenced Person (TSP) dan alokasi biaya dan perjanjian Transfer of Sentenced Person (TSP)mulai berlaku 30 (tiga puluh) hari setelah para pihak saling menyetujui atau sepakat masing-masing persyaratan untuk dilakukan Transfer of Sentenced Person (TSP).39 Di USA, sudah dikenal mekanisme perjanjian bilateral dan multilateral mengenai perpindahan narapidana asing ke negara asalnya tetapi mekanisme perjanjian perpindahan narapidana ini belum diatur dalam Undang-Undang Kongres yang menerapkan kebutuhan perpindahan narapidana tersebut. Karena belum diatur dalam UndangUndang Kongres maka kebutuhan, kendala-kendala dan keberhasilan pelaksanaan perpindahan narapidana di setiap negara-negara bagian di USA tidaklah sama. Di USA hampir semua narapaidana dapat mengajukan permohonan perpindahan untuk menjalani sisa masa hukumanya di negara asalnya. Hal tersebut diberitahukan bahwa perpindahan narapidana merupakan hak mereka untuk melakukanya pada waktu yang tepat. Efektifitas perpindahan narapidana asing ini dirasakan sebagai salah satu cara untuk mengoptimalkan rehabilitasi terhadap narapidana tersebut dengan menyelesaikan sisa masa tahananya di negara asalnya karenadari segi bahasa, budaya dan kedekatan narapidana dengan keluarganya.40 Pada saat ini hampir sebagian besar negara di dunia telah melakukan pemindahan narapidana
37 Penelaahan tentang Transfer of Prisioners, sebagai Salah Satu Tugas Seksi Bantuan Hukum Timbak Balik pada Sub Bidang Ekstradisi dan Bantuan Hukum Timbal Balik, Direktorat Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementrian Hukum dan HAM, 2006, hlm.4. 38
Ibid., hlm. 5.
39
Marian Nash Leich, Prisoner Transfer Treaties, Contemporary Practice of The United States Relating to International Law, The American Society of International Law, 1997, hlm.616 40 Louis Antonacci, Lessons From Lagrand: An Argument For The Domestic Enforceability Of Treaty-Based Rights Under International Prisoner Transfer Treaties, Santa Clara Journal of International Law, 2005. hlm. 22.
100
Kerjasama Internasional Perpindahan.....(Eka Martiana Wulansari)
antar negara. Apabila kita melihat tetangga dekat Indonesia seperti Malayasia, Filipina, Thailand, Vietnam, semuanya telah memiliki perangkat hukum nasional sebagai landasan hukum Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) Indonesia hingga saat ini belum dapat menerapkan perpindahan narapidana dengan alasan belum adanya hukum nasional yang mengatur, walaupun telah ada keperluan dan urgensi untuk dilakukannya hal tersebut. Saat ini terdapat banyak WNI yang menjalani pidana penjara di berbagai negara, selain itu terdapat pula permintaan dari beberapa negara lain untuk memulangkan WNI Indonesia yang ditahan di luar negara untuk menjalani rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi mereka ke dalam masyarakat, namun hal tersebut belum bisa dilakukan karena ketiadaan dasar hukum nasional. Prinsip-prinsip Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) antar negara belum dikenal dalam sistem hukum Indonesia, yang dikenal hanyalah prinsip pemindahan narapidana asing di dalam negeri. Oleh karena itu, dasar hukum sampai saat ini merujuk kepada sumber hukum internasional yang berlaku. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara anggota PBB, merujuk kepada Model Treaty mengenai Transfer of Sentenced Person (TSP)sejak tahun 1990, dengan Resolusi Majelis Umum PBB (UN Resolution No. A/RES/45/119) tentang United Nations Model Treaty on The Transfer of Supervision of Offenders Conditionally Sentenced or Conditionally Released, atau bisa diartikan, Model Perjanjian tentang Transfer Pengawasan dari Narapidana dalam keadaan Pidana Bersyarat dan Bebas Bersyarat. Keberadaan model perjanjian ini belum dikenal dalam hukum nasional Indonesia. Jika memang Indonesia sepakat untuk menjalankan Treatyon Transfer of Sentenced Person (TSP) dibutuhkan suatu Perjanjian bilateral atau multilateral antar negara, maka harus ada Lembaga Pemrakarsa.41
Transfer of Sentenced Person (TSP) di Indonesia belum mempunyai perangkat peraturan perundang-undangan pokok yang mengatur tentang mekanisme, muatan materi dan tatacara pelaksanaan dari Transfer of Sentenced Person (TSP). Sebagai suatu bentuk kerjasama internasional, dasar hukum dalam melaksanakan Transfer of Sentenced Person (TSP) di Indonesia hanya ditekankan dalam beberapa Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia sebagai mekanisme kerja Hukum Internasional, antara lain: United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime (UNTOC)42 dan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)43 di mana Indonesia sudah menjadi negara pihak kedua konvensi tersebut. Namun, perlu dipahami bahwa United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime (UNTOC) dan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), hanya mengatur mengenai pemindahan narapidana untuk jenis kejahatan yang masuk dalam ruang lingkup UNTOC dan UNCAC, sedangkan jenis yang diharapkan dapat diatur dalam perjanjian bilateral dengan negara lain yang meliputi semua jenis kejahatan sesuai dengan hukum nasional Indonesia. Dalam kaitanya dengan Perjanjian Internasional dalam UU Nomor Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyatakan bahwa dalam hal penandatanganan Perjanjian Internasional, dilakukan oleh Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, atau Menteri Luar Negeri. Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) merupakan Perjanjian Internasional, bukan kerjasama tehnik dalam sebagai pelaksana Perjanjian Internasional yang sudah ada, oleh karena itu dalam pembuatan Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) ini yang akan menandatangani adalah Presiden, dan bentuk perjanjianya akan diratifikasi dalam bentuk Undang-Undang karena karena menyangkut
41 Dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan itikad baik berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri yang dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) sesuai dengan pasal 5 ayat 1 UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UUPI). 42 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime yaitu Konvensi PBB menentang Tindak Pidana Transasional yang Terorganisasi, yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 5 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4960). Dalam article 17 tentang Transfer of Sentenced Person, menyatakan bahwa: “State parties may consider bilateral or multilateral agrrement or arrangements on the transfer to their territory of person sentenced to imprisonment or other from of deprivation of liberty for offences covered by this Convention, in other that they may complete their sentences their”. (negara-negara peserta Konvensi harus mempertimbangkan untuk membuat perjanjian bilateral atau multilateral atau mengatur mengenai pemindahan narapidana ke wilayah territory mereka untuk menjalani sisa hukuman penjara atau pembatasan atas gerak lainya yang dilindungi oleh Konvensi ini). 43 United Nations Convention Against Corruption, yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi Anti Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4620), dalam Bab IV (empat) memuat mengenai transfer narapidana WNA dan WNI, bantuan hukum timbal balik, transfer proses pidana, kerjasama penegakan hukum, penyelidikan bersama, dan tehnik-tehnik penyelidikan khusus. Dalam article 45menyatakan bahwa: ”State may consider entering into bilateral or multilateral agrrement or arrangements on the transfer to their territory of person sentenced to imprisonment or other from of deprivation of liberty for offences established in accordance with this convention in order that they may complete their sentences there”.(negara dapat membuat perjanjian bilateral atau multilateral atau mengatur pemindahan narapidana atau orang yang telah dijatuhi hukuman untuk kembali ke wilayah mereka untuk menyelesaikan masa hukumannya).
101
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106
kedaulatan, HAM dan pembentukan kaidah hukum baru,sehingga dalam proses pembuatanya harus melihat mekanisme Perjanjian Internasional yang sudah diakui dengan undang-undang.44 Di Indonesia undang-undang merupakan bentuk dari peraturan perundang-undangan yang mengikat secara nasional, pembaharuan masyarakat dengan jalan hukum berarti pembahuan hukum melalui undang-undang dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini selaras dengan teori hukum pembangunan yang dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja, bahwa hukum merupakan sarana pembaharuan dalam masyarakat, dengan menjadikan hukum sebagai sarana untuk mengubah alam pemikiran masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern.45
narapidana tersebut harus menyerahkan kebebasannya selama menjalani hukuman akan tetapi narapidana tersebut juga mengalami beberapa kendala tambahan seperti komunikasi/bahasa asing dengan petugas LAPAS maupun narapidana lainnya yang akan mudah terjerat melakukan berbagai pelanggaran dalam ketentuan LAPAS, kendala menjalankan Agama dan Kepercayaanya, kebersihan yang kurang memadai dan keterbatasan tenaga medis; dan 3.
4.
D. Penutup Bahwa Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) semakin mengemuka di era globalisasi dimana interaksi dan hubungan antar negara maupun “people to people contact” menjadi semakin meningkat. Dalam prosesnya, norma-norma hukum Internasional dan hukum nasional berlaku sebagai aturan yang dijadikan dasar bagi suatu negara didalam menerapkan suatu kebijakan. Pertimbangan utama dilakukannya pemindahan narapidana ini adalah karena alasan kemanusiaan, antara lain, perbedaan bahasa, kebudayaan, agama atau jarak yang jauh dengan keluarganaya sering mengakibatkan narapidana mengalami kesulitan dalam proses rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi ke dalam masyarakat. Dasar pertimbangan utama adanya perjanjian mengenai Transfer of Sentenced Person (TSP) adalah HAM. Dalam Transfer of Sentenced Person (TSP), HAM yang melekat dan menjadi dasar pertimbangan dilakukanya perjanjian tersebut adalah kondisi-kondisi seperti: 1.
2.
Seorang narapidana yang melakukan tindak pidana di suatu negara dan dijatuhi hukuman atau pidana di negara tersebut tetap mendapat hak untuk mendapat perlakuan dan hak yang sama dengan narapidana lainya; Seorang narapidana yang di penjara atau dikurung jauh dari negaranya, menimbulkan dampak seolah-olah narapidana tersebut mendapat 2 (dua) kali hukuman, disatu sisi
5.
Seorang narapidana yang jauh dari lingkungan dimana dia biasa bertempat tinggal sehingga akan menyulitkan dalam proses pembinaan dan rehabilitasinya. Seorang narapidana yang jauh dari lingkungan dimana dia biasa bertempat tinggal sehingga menyebabkan narapidana menderita karena hilangnya kontak dengan keluarganya dan akan memakan biaya yang mahal LAPAS untuk mendatangkan keluarga narapidana. Untuk menjauhkan perasaan dari narapidana akan adanya tindakan diskriminasi, pengucilan atau perasaan asing dengan narapidana lainya.
Prinsip-prinsip Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) antar negara belum dikenal dalam sistem hukum Indonesia, yang dikenal hanyalah prinsip pemindahan narapidana asing di dalam negeri. Oleh karena itu, dasar hukum sampai saat ini merujuk kepada sumber hukum internasional yang berlaku. Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara anggota PBB, merujuk kepada Model Treaty mengenai Transfer of Sentenced Person (TSP)sejak tahun 1990, dengan Resolusi Majelis Umum PBB (UN Resolution No. A/RES/45/119) tentang United Nations Model Treaty on The Transfer of Supervision of Offenders Conditionally Sentenced or Conditionally Released, atau bisa diartikan, Model Perjanjian tentang Transfer Pengawasan dari Narapidana dalam keadaan Pidana Bersyarat dan Bebas Bersyarat. Keberadaan model perjanjian ini belum dikenal dalam hukum nasional Indonesia. Jika memang Indonesia sepakat untuk menjalankan Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP) dibutuhkan suatu Perjanjian bilateral atau multilateral antar negara, maka harus ada Lembaga Pemrakarsa, dan Undang-Undang nasional tentang Treaty on Transfer of Sentenced Person (TSP), karena
44
Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 10, Undang-Undang Nomor Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
45
Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, PT Alumi, Bandung: 2002, hlm.89.
102
Kerjasama Internasional Perpindahan.....(Eka Martiana Wulansari)
menyangkut kedaulatan, HAM dan pembentukan kaidah hukum baru, sehingga dalam proses pembuatanya harus melihat mekanisme Perjanjian Internasional yang sudah diakui dengan undangundang.
Daftar Pustaka Buku Abu Daud Busroh, “Ilmu Negara”, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2009. Adi Sujatno, Pencerahan Di Balik Penjara, Mizan Media Utama (MUU), Juli, 2008 A.V. Dicey, The Relation Between Law and Public Opinion; Richard D. Schwartz and Jerome H. Skolnik (eds), Society and the Legal Order, Basic Books Inc. Publishers, New York, London, 1970 Bernard Arif Sidharta, Penelitian Hukum Normatif, Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal, dalam buku Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta: 2011 Carl J.Friedrich (editor), The Phillosophy of Kant. Immanuel Kant's Moral and Political Writings, The Modern Library, New York, 1949 David J. Harris, Cases and Materials on International Law, London: Sweet and Maxwell, 1982
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, Cetakan Ketiga, Juli 2007 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmaja. Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2000 Keterangan Pemerintah dalam RUU tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, Risalah Proses Pembahasan RUU tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, Biro Persidangan DPR RI, 2006. L.B. Curzon, Roman Law, London, 1966 Majalah Hukum dan HAM Vol. VII No. 31 MaretApril 2009, Perjanjian Transfer of Sentenced Person, Jakarta: 2009. Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana, Jakarta, 2003, hal. 88-90. Muladi, HAM dalam Persepektif Sistem Peradilan Pidana, dalam HAM Hakekat, Implikasinya dalam Presepektif Hukum dan Masyarakat, PT Refika Aditama, Cetakan Pertama: Januari 2005
Djokosoetono, dihimpun oleh Harun Al Rasyid, “Ilmu Negara”, In-Hill-Co, Jakarta, 2006
Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, 1988
Frans E. Likadja dan Daniel Frans Bessie, Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, PT Alumi, Bandung: 2002
Haula Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Keni Media, Bandung, Cetakan4, 2011
M.N. Shaw, Internasional Law, Butterworths, 2nd., ed., 1986
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan dari General Theory of Law and State , Nusamedia dan Penerbit Nuansa, Bandung, 2006
Membuat Standar-Standar Bekerja, dalam Buku Panduan Internasional mengenai Pratek Pemenjaraan yang Baik, Penal Reform Internasional, Maret, 2001
Herbert L. Parker, The Limit of The Criminal Sanction, Stanford University Press, California: 1968
Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge: Cambridge University Press, 1997
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, CV Yrama Widya, Bandung: 2005, Note.8
N.A. Maryan Green, Internasional Law of Peace, London, Mc Donald and Evans, 2nd.ed., 1998, hal.213.
Jhon Kaplan, Criminal Justice Introductory Cases and Material, the Foundation Press Inc, New York, 1978
Penanganan Kasus WNI di Luar Negeri, Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, Direktorat
103
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106
Jenderal Protokol dan Konsuler Kementrian Luar Negeri RI, di sampaikan pada acrara Focus Group Discussion(FGD) “Persepektif Nasional Pelaksanaan Kerjasama Internasional Transfer of Sentences Persons”, Bandung, 8-10 Maret 2013. 2008 Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Cet.1, Visimedia, Jakarta: 2007 Penelaahan tentang Transfer of Prisioners, sebagai Salah Satu Tugas Seksi Bantuan Hukum Timbak Balik pada Sub Bidang Ekstradisi dan Bantuan Hukum Timbal Balik, Direktorat Pidana Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementrian Hukum dan HAM, 2006 Phillip C. Jessup, Transnational Law, New York, 1968 Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII), Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII) atau PUSHAM UII, Yogyakarta, 2008, Cetakan Pertama Piagam Pemasyarakatan Indonesia, Bunga Rampai Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta: 27 April 2002. Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT Revika Aditama, Bandung: 2000 ________________,makalah yang disampaikan pada “Seminar Legislasi Nasional”, Badan Legislatif DPR RI”, Jakarta, 21 Mei 2005.Soehino, “Ilmu Negara”, liberty, Yogyakarta, 1980 Soerjono Soekanto dalam Beberapa PermasalahanHukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia (Suatu Tinjauan Secara Sosiologis), Cetakan 3, UI Press, Jakarta, 1983
Vinogradof, Historical types of International Law, Biblliotheca Visserania I,1923. Vaughan Lowe. International Law, Clarendon Law Series, Oxford University Press, 2007
Jurnal Agreement between the Government of Australia and the Government of the Kingdom of Thailand on The Transfer of Offenders and Co-operation In the Enforcement Of Penal Sentences, date 26th July 2001, Volume 2208. 1-39238. Australian Institute of Criminology, trends & issues, in crime and criminal justice, No.38,The International Transfer of Prisoners, July 1992, ISSN 0817-8542, ISBN 0 642 18071 7, GPO Box 2944, Canberra ACT 2601, Australia,
http://www.aic.gov.au Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementrian Luar Negeri RI, pada Pertemuan Focus Groub Discussion (FGD) mengenai “Persepektif Nasional Pelaksanaan Kerja Sama Internasional Transfer of Sentence Persons (TSP)”, Bandung, 8-10 Maret 2013 Ekkehart Muller-Rappard, The Transfer Of Sentenced Persons-Comments on The Relevant Council of Europe Legal Instruments, The Pace University School of Law, Pace Yearbook of International Law, 1991:155 Mark Andrew Sherman, Transfer Of Prisoners Under International Instruments And Domestic Legislation: A Comparative Study, By Michael Plachta. Frieburg, Germany: Max-PlanckInstitut, 1993. Pp. 565. Dm 58 (Softcover), The George Washington University, George Washington Journal of International Law and Economics, 1995: 495 Marian Nash Leich, Prisoner Transfer Treaties, Contemporary Practice of The United States Relating to International Law, The American Society of International Law, 19:616
Sub Direktorat Statistik dan Dokumentasi, Direktorat Bina Registrasi dan Statistik, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta: 2012.
Majalah Hukum dan HAM Vol. VII No. 31 MaretApril 2009, PerjanjianTransfer of Sentenced Person, Jakarta
United Nations Office on Drugs And Crime, Vienna, Handbook on the International Transfer of Sentenced Persons, United Nations, New York, 2012
Louis Antonacci, Lessons From Lagrand: An Argument For The Domestic Enforceability Of Treaty-Based Rights Under International Prisoner Transfer Treaties, Santa Clara
104
Kerjasama Internasional Perpindahan.....(Eka Martiana Wulansari)
Journal of International Law, 2005: 22 Reda Manthovani, Kejaksaan, dalam FGD: Persfektif Nasional Implementasi Internasional Transfer of Sentenced Person, Hotel Grand Royal Panghegar, Bandung, 9 Maret 2013 Taman, Fajar, 23 November Tahun 2009, 20:18:13 GMT.Sudah Siapkah Kita Menghadapi Pemindahan Narapidana Antar Negara (Transfer of Sentenced Person/TSP), Majalah Hukum dan HAM Online, Vol. 5 Nomor 26, http:majalah.depkumham.go.id/node/141, The Agreement for the Transfer of Sentenced Persons between the Government of The Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of China and the Government of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland entered into force on 19 March 1998. Treaty on the Transfer of Sentenced Persons between the Government of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and the Government of the United Arab Emirates, London 24 January 2013.
Tanggung Jawab Negara (State Responsibility), Selasa, 02 April 2013, www.goggle.com UN Convention Against Transnational Organized Crime, www.unodc.org/unodc/en/ treaties/.../signatures.ht.. UN Convention Against Corruption, www.unodc.org/ .../Convention/08-50026_E.pdf UN Charter, treaties.un.org/doc/Publication/ CTC/uncharter.pdf
Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Indonesia,Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. ________, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1974 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Malaysia (LN Nomor 36, Tahun 1974, LTN Nomor 3044). ________,Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1976 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Filipina (LN Nomor 38, Tahun 1976, LTN Nomor 3078).
ASEAN Charter, www.asean.org/archive/.../ ASEAN-Charter.pdf
________,Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1978 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Thailand (LN Nomor 12, Tahun 1978, LTN Nomor 3117).
Convention on the Transfer of Sentenced Persons Strasbourg, 21.III.1983, conventions.coe.int/ Treaty/en/Treaties/.../112.htm
________,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi (LN Nomor 2, Tahun 1979, LTN Nomor 3130).
Council of Europe, Committee of Ministers, Recommendation Rec(2006)2 of the Committee of Ministers to member stateson the European Prison Rules, https://wcd.coe.int/ ViewDoc.jsp?id=955747
________,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), (LN Nomor 76, Tahun 1981, LTN Nomor 3209).
Internet
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, www.jimly.com Mohd. Burhan Tsani (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada), Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Republik Indonesia (dalam perspektif Hukum Tata Negara), http://www.scribd.com/doc/l6710653/Stat us-Hukum-Internasional-Dan-PerjanjianInternasional-Dalam-Hukum-Nasional-RIDalam-Perspektif-Hukum-Tata-Negara. 1 Desember 2009 Prisoners Transfer Treaties. http://travel.state.gov/ law/legal/trcatv/treatv 1989.html. tanggal 26 Juli 2009.
________,Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (LN Nomor 77, Tahun 1995, LTN Nomor 3614). ________,Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (LN Nomor 165, Tahun 1999, LTN Nomor 3886). ________,Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Manusia (LN Nomor 185, Tahun 2000, LTN Nomor 4012). ________,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Manusia (LN Nomor 18, Tahun 2006, LTN Nomor 4607). ________,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006 tentang Bantuan Perjanjian Timbal Balik
105
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 85 - 106
Dalam Masalah Pidana antara Indonesia dengan Republik Rakyat China (RRC),Manusia (LN Nomor 33, Tahun 2006, LTN Nomor 4621). ________,Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi Anti Korupsi (LN Nomor 32, Tahun 2006, LTN Nomor 4620). ________,Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Manusia (LN Nomor 63, Tahun 2006, LTN Nomor 4643). ________,Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Konvensi PBB menentang Tindak
Pidana Transasional yang Terorganisasi Manusia (LN Nomor 5, Tahun 2009, LTN Nomor 4960).
TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PENGGALANGAN DANA PUBLIK UNTUK KORBAN BANJIR JAKARTA 2013 (TRANSPARENCY AND ACCOUNTABILITY OF FUNDRAISING PUBLIC FOR VICTIMS OF FLOOD JAKARTA 2013)
________,Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan Manusia (LN Nomor 68, Tahun 1999, LTN Nomor 3845).
Sudaryatmo Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Kantor Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jl. Pancoran Barat VII No. 1, Durentiga, Jakarta Selatan, Indonesia Email : [email protected] (Naskah diterima 13/02/2014, direvisi 03/03/2014, disetujui 13/03/2014)
________,Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Manusia (LN Nomor 61, Tahun 2006, LTN Nomor 4632).
Abstrak Secara geografis sebagian besar dari wilayah Indonesia adalah masuk dalam kategori daerah rawan bencana. Baik bencana alam maupun bencana akibat ulah menusia selalu melahirkan korban, melahirkan duka. Dan tidak jarang intensitas bencana tidak bisa diprediksi, sehingga jangankan korban, pemerintah pun juga sering tidak berdaya karena besarnya jumlah dana yang diperlukan untuk penanganan korban bencana. Salah satu upaya untuk meringankan beban korban (dan juga Pemerintah) adalah melalui penggalangan dana publik. Artikel ini adalah penelitian pendahuluan tentang transparansi dan akuntabilitas penggalangan dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013. Penelitian ini hanya terbatas pada penggalangan dana publik yang dilakukan oleh lembaga. Baik lembaga yang secara khusus didirikian untuk misi sosial dan kemanusiaan, lembaga keagamaan, lembaga komersial, media massa, lembaga assosiasi pengusaha dan lembaga publik. Tujuan penelitian ini untuk memberikan masukan bagi pemerintah, dan mendorong lembaga yang melakukan penggalangan dana publik untuk lebih transparan dan akuntable dan sebagai sarana kontrol sosial. Kata kunci: bencana, dana publik, banjir Jakarta.
Abstract Most of Indonesia's territory geographically belongs to the category of disaster-prone areas. Both natural disasters and disasters due to human behavior are always causing casualties, causing grief. And sometimes the intensity of disasters can't be predicted, so let the victims, the Government also often disempowered because of the large amount of funds required to handling the victims. One of the efforts to alleviate the burden of the victim (and the Government) is through a public fundraising. This article is preliminary research about the transparency and accountability of public fund raising for flood victims in Jakarta 2013. This study only restricts public fundraising conducted by the institute. Both institutions specifically established for social and humanitarian missions, commercial institutions, religious institutions, mass media, associated employers and public institutions.The purpose of this research is to provide input for the Government, prompting the institutions that perform public fundraising to be more transparent and accountable as a social control. Keywords: disaster, public fund, flood in Jakarta.
A.
Pendahuluan
Secara geografis sebagian besar dari wilayah Indonesia adalah masuk dalam kategori daerah rawan bencana. Wilayah sekitar cincin api dari sepanjang bukit barisan di Sumatra, menyusur Pulau Jawa sampai ke Nusa Tenggara, kemudian naik ke atas sampai ujung Pulau Sulawesi adalah wilayah yang sangat rawan terjadi bencana gempa tektonik. Selain faktor alam, aktivitas pertambangan, perkebunann dan konversi lahan untuk perumahan/industri yang tidak terkendali berpotensi juga mengganggu daya dukung lingkungan dan berakibat timbulnya bencana
106
ekologis seperti banjir yang akhir-akhir ini terjadi di beberapa daerah. Baik bencana alam maupun bencana akibat ulah menusia selalu melahirkan korban, melahirkan duka. Dan tidak jarang intensitas bencana tidak bisa diprediksi, sehingga jangankan korban, pemerintah pun juga sering tidak berdaya karena besarnya jumlah dana yang diperlukan untuk penanganan korban bencana. Salah satu upaya untuk meringankan beban korban (dan juga Pemerintah) adalah melalui penggalangan dana publik. Apa saja aspek yang
107
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 107 - 112
harus diperhatikan dalam penggalangan dana publik untuk korban bencana? Artikel ini adalah penelitian pendahuluan tentang transparansi dan akuntabilitas penggalangan dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013. Adapun maksud dan tujuan dilakukan penelitian dengan obyek penggalangan dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013, yaitu yang pertama sebagai bahan masukan bagi pemerintah (Pusat dan Daerah) untuk perbaikan, baik di level regulasi dan pengawasan, khususnya aktivitas penggalangan dana publik untuk keperluan sosial/kemanusiaan. Kedua, mendorong lembaga yang melakukan penggalangan dana publik untuk lebih transparan dan akuntable dalam melakukan penggalangan dan pendistribusian dana publik, sehingga bisa meningkatkan kepercayaan (trust) masyarakat terhadap lembaga yang bersangkutan. Ketiga, sebagai bentuk kontrol sosial atas aktivitas penggalangan dana publik dan mencegah adanya pihak-pihak yang menyalahgunakan bencana sebagai kedok untuk mencari keuantungan pribadi. Kempat, adanya lembaga penggalang dana publik yang kredibel, dapat meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menyisihkan sebagian harta untuk didonasikan, sekaligus untuk menggalang solidaritas terhadap korban bencana banjir, sehingga dapat meringankan penderitaan korban banjir; Penelitian ini hanya terbatas pada penggalangan dana publik yang dilakukan oleh lembaga, baik lembaga yang secara khusus didirikian untuk misi sosial dan kemanusiaan, lembaga keagamaan, lembaga komersial, media massa, lembaga assosiasi pengusaha dan lembaga publik. Penggalangan dana publik yang dilakukan oleh perorangan/kelompok masyarakat tidak termasuk dalam obyek kajian dalam penelitian ini. Karena alasan terbatasnya anggaran penelitian, dari daftar lembaga yang melakukan penggalangan dana publik, dipilih 11 lembaga. Kepada 11 lembaga penggalang dana publik tersebut,YLKI mengirimkan donasi untuk korban banjir, masing-masing Rp 100.000,- ( seratur ribu rupiah ) melalui transfer bank kepada 10 lembaga, dan satu lembaga donasi melalui SMS sebesar Rp 5000 ( lima ribu rupiah ). Dengan demikian, dalam penelitian ini YLKI juga bertindak dalam kapasitas sebagai donatur.
Tiga bulan sejak mengirimkan donasi untuk korban banjir, YLKI mengirimkan surat kepada 11 lembaga untuk meminta laporan pertanggungjawaban penggalangan dana publik bagi korban banjir Jakarta, meliputi jumlah dana publik yang berhasil dihimpun, distribusi dimana dana publik disalurkan kepada korban banjir, termasuk jumlah penerima manfaat. Hal yang juga tidak kalah penting adalah dari total dana publik yang bisa dihimpun, berapa persen yang digunakan untuk biaya operasional lembaga dan berapa persen yang disalurkan ke korban banjir.
B.
Pembahasan
B.1. Regulasi tentang Penggalangan Dana Publik untuk Kerperluan Bencana Pada 26 April 2007, Pemerintah telah mengundangkan Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sejak itu, Undang-undang tersebut menjadi acuan dalam penanggulangan bencana. Salah satu aspek penting dalam penanggulangan bencana adalah soal pendanaan. Namun sayangnya, Undang-undang penanggulangan bencana belum mengatur secara detail soal aspek pendanaan, lebih khusus lagi penggalangan dana publik untuk keperluan bencana. Dalam Undang-undang penanggulangan bencana diatur, bahwa pendanaan pananggulangan bencana menjadi tanggung jawab pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah.1 Lebih lanjut diatur, pemerintah mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat.2 Namun undangundang penanggulangan bencana belum mengatur bagaimana bentuk dan mekanisme partisipasi masyarakat dalam penggalangan dana publik untuk penanggulangan bencana. Baik partisipasi dalam kapasitas sebagai penyelenggara penggalangan dana publik, seperti syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi sebuah lembaga sebelum melakukan aktivitas penggalangan dana publik, maupun partisipasi masyarakat sebagai donatur, seperti misalnya apa saja hak-hak donatur yang harus diperhatikan lembaga yang melakukan penggalangan dana publik. Pengaturan penggalangan dana publik yang lebih detail diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Transparansi Dan Akuntabilitas Penggalangan.....(Sudaryatmo)
Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan pengumpulan sumbangan. Ada dua substansi penting dalam PP ini. Pertama, perlunya izin dari pejabat yang berwenang bagi setiap lembaga yang melakukan penggalangan dana publik untuk keperluan sosial/kemanusiaan.3 Pengertian pejabat yang berwenang ini tergantung dari ruang lingkup aktivitas penggalangan dana publik. Untuk penggalangan dana publik/sumbangan berskala nasional atau lintas propinsi diperlukan izin dari Kementrian Sosial. Untuk kegiatan berskala propinsi atau lintas kabupaten/kota diperlukan izin dari Gubernur, dan untuk penggalangan dana publik/sumbangan berskala kabupaten/kota diperlukan izin dari Bupati/Walikota.4 Kedua, substansi pengaturan tentang rasio antara biaya operasional (overhead) lembaga dibandingkan dengan total sumbangan/dana publik yang berhasil dihimpun. Pembiayaan usaha pengumpulan dana publik/sumbangan adalah maksimal 10 persen dari total sumbangan yang dihimpun.5 Ketentuan ini penting dalam rangka untuk memastikan bahwa dana yang dihimpun dari publik akan sebagian besar diperuntukan bagi korban bencana, bukan untuk pengurus lembaga yang melakukan aktivitas penggalangan dana publik. B.2. Perijinan Terkait aspek perijinan, dari 11 lembaga yang melakukan penggalangan dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013, ada tiga yang memiliki perijinan. Satu lembaga memberikan penjelasan tertulis bahwa perijinannya sedang dalam proses, dan tujuh lembaga tidak memberikan informasi tentang perijinan yang menjadi pijakan hukum lembaga tersebut melakukan penggalangan dana publik. Dari tiga lembaga yang memiliki perijinan, dua lembaga mengantongi ijin dari Kementrian Sosial (PKPU, Elshinta Peduli dan MNC TV Peduli). MNC TV Peduli memiliki perijinan dari Kementrian Sosial: No. 360/HUK-PS/2013. Perijinan yang dimiliki MNC TV Peduli cukup detail dan jelas, baik mengenai tujuan perijinan, yaitu untuk penggalangan dana publik bagi korban banjir di Jakarta, jangka waktu penggalangan dana publik, juga termasuk kewajiban MNC TV Peduli untuk membuat laporan kepada Pemda DKI, paling lambat
tiga bulan setelah kegiatan penyaluran dana bantuan banjir selesai distribusikan. PKPU memiliki ijin untuk ruang lingkup kegiatan berskala nasional dari Kementrian Sosial Nomor No.08/HUK/2011, yang apabila dibaca dengan teliti, perijinan itu hanya untuk melakukan kegiatan sosial. Tidak ada statement dalam ijin tersebut untuk melakukan kegiatan penggalangan dana publik, juga tidak ada mekanisme pelaporan kepada Kementrian Sosial. Ijin yang dimiliki Elshinta Peduli yaitu ijin dari Kementrian Sosial dengan Nomor ijin 639/HUKPS/2005. Namun ijin tersebut sudah daluwarsa dan tidak pernah diperbaharui. Sedangkan PT XL Axiata, melalui penjelasan tertulis kepada YLKI, menyatakan ijin penggalangan dana publik untuk korban banjir Jakarta masih dalam proses dan kegiatan ini sudah dikomunikasikan kepada Dinas Sosial Pemda DKI. B.3. Profil Lembaga Profil lembaga yang melakukan penggalangan dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013 cukup beragam. Dari 11 lembaga tersrbut, yang paling banyak adalah lembaga sosial kemanusiaan dan keagamaan ( Aksi Cepat Tanggap, Lazismu, PKPU, PMI DKI Jakarta, Daarut Tauhid), disusul lembaga komersial (MNC TV, Radio Elshinta, PT XL Axiata, Mabua Harley Davidson ). Sisanya lembaga negara (DPR RI) dan himpunan assosiasi pengusaha (HIPMI Jaya ). Bagi lembaga sosial, kemanusiaan dan keagamaan, melakukan kegiatan penggalangan dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013 tidak begitu aneh, karena lembaga ini didirikan dari awal memang untuk melakukan kegiatan sosial kemanusiaan dan pada saat yang sama juga memiliki kegiatan penggalangan dana publik. Namun tidak demikian halnya dengan lembaga komersial. Kalau lembaga komersial memiliki kepedulian pada korban banjir dalam bentuk sebagai donatur tidak ada masalah. Akan tetapi ketika lembaga komersial juga melakukan penggalangan dana publik, suatu wilayah yang bukan core bisnisnya, ini hal yang layak dipertanyakan, karena aktivitas penggalangan dana publik bukan urusan sederhana, tetapi membutuhkan keahlian, manajemen khusus baik dalam pengelolaan, pendistribusian dan pelaporan.
3
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.
1
Pasal 60 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
4
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.
2
Pasal 60 ayat (2) undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
5
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan.
108
109
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 107 - 112
Ada tiga kategori lembaga komersial dalam menunjukkan kepedulian pada korban banjir. Pertama, sebagai donatur sebagaimana disebutkan di atas. Kedua, sebagai penggalang/ pengumpul dana publik, kemudian dana yang terkumpul disalurkan kepada lembaga yang memiliki keahlian di bidang penanganan bencana. Ketiga, sebagai pengumpul dana publik sekaligus mendistribusikan dana publik yang berhasil dihimpun. Kategori ketiga ini sebaiknya dihindari, kecuali lembaga komersial tersebut membuat lembaga khusus di luar struktur korporasi yang khusus bergerak di bidang sosial kemanusiaan. Di luar lembaga sosial kemanusiaan dan lembaga komersial, yang agak aneh adalah adanya lembaga negara yang juga melakukan penggalangan dana publik, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila0 memiliki kepedulian terhadap korban banjir, DPR harusnya tidak bertindak seperti lembaga sosial kemanusiaan, tetapi akan lebih strategis apabila menggunakan kewenangan yang dimilikinya, yaitu melalui instrumen legislasi atau kewenangan budgeting dalam bentuk menambah alokasi anggaran untuk keperluan bencana, bukan ikut-ikutan lembaga swadaya masyarakat untuk melakukan penggalatan dana publik. B.4. Rekening Penyaluran donasi untuk kepentingan publik/ korban bencana banjir adalah salah satu aspek penting dalam pengelolaan penggalangan dana publik. Pertama, rekening harus atas nama rekening lembaga, sehingga semua arus uang masuk akan tercatat oleh bank. Dari sepuluh lembaga yang menyediakan akses sumbangan melalui bank, 9 lembaga menggunakan rekening lembaga dan satu lembaga (DPR) menggunakan rekening pribadi salah satu staf Ketua DPR. Satu lembaga menggunakan akses sumbangan melalui SMS (PT XL Axiata). Penggunaan rekening lembaga dalam penggalangan dana publik oleh lembaga sosial kemanusiaan tidak merupakan masalah dan memang seharusnya begitu. Namun tidak demikian halnya dengan lembaga komersial. Penggalangan dana publik oleh lembaga komersial dengan menggunakan rekening atas nama PT, seperti yang dilakukan MNC TV Peduli dan Mabua Harley Davidson berpotensi menimbulkan masalah, karena dana publik bercampur dengan dana
110
corporasi. Sebuah lembaga komersial yang memiliki kepedulian pada korban banjir dengan melakukan penggalangan dana publik, seyogyanya membuat lembaga sosial terpisah, dengan menggunakan rekening lembaga sosial, bukan rekening atas nama PT, seperti yang dilakukan Elshinta peduli kemanusiaan. Penggalangan dana publik yang dilakukan DPR dengan menggunakan rekening pribadi adalah sebuah kesalahan fatal. Selain melanggar ketentuan yang ada, juga kelihatan DPR menggampangkan masalah dalam hal aktivitas melakukan penggalangan dana publik. Hal ini memprihatinkan, karena DPR yang seharusnya tahu peraturan, justru berbuat melanggar peraturan. B.5.Laporan ke Donatur Salah satu hak donator adalah memperoleh laporan penggunaan dana publik yang berhasil dihimpun, sesuai dengan peruntukan sebagaimana dijanjikan di awal, yaitu untuk korban banjir Jakarta. Dari 11 lembaga yang melakukan penggalangan dana publik, ada empat lembaga yang memberikan laporan tertulis ke YLKI ( MNC TV Peduli, PT XL Axiata, ACT dan Elshinta Peduli ). Itupun setelah YLKI mengirimkan surat, meminta laporan. Seharusnya, ada atau tidak ada permintaan, sebagai bentuk apresiasi kepada donatur, lembaga yang melakukan penggalangan dana publik mengirimkan laporan kepada donatur. Rendahnya kesadaran lembaga yang memberikan laporan kepada donatur ini menunjukkan masih rendahnya perhatian lembaga yang melakukan penggalangan dana publik terhadap hak-hak donatur. B.6. Laporan Keuangan dapat Diakses di Website Hal yang tidak kalah penting dalam penggalangan dana publik adalah aspek transparansi. Salah satu yang bisa dilakukan adalah mempublikasikan laporan keuangan yang telah di audit dalam website lembaga, sehingga dengan mudah dapat diakses oleh donatur/publik. Dari 11 lembaga yang melakukan penggalangan dana publik, semuanya mempunyai website, namun hanya ada dua lembaga (MNC TV Peduli dan PKPU ) yang mencantumkan laporan keuangan dalam website, sehingga dapat diakses oleh publik/donatur.
Transparansi Dan Akuntabilitas Penggalangan.....(Sudaryatmo)
B.7. Ratio Biaya Overhead Lembaga Dibanding Biaya Program
sama juga melakukan sosialisasi hak-hak donatur.
Bagi para donatur, ketika mau menyumbang ke suatu lembaga, angka ratio biaya overhead lembaga dibanding biaya program ini sangat penting. Apakah dana publik yang terhimpun ini sebagian besar memang jatuh ke korban, atau habis untuk biaya overhead untuk menggaji pengurusnya.
C.
Dari 11 lembaga yang melakukan penggalangan dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013, hanya ada dua lembaga yang memberikan keterangan ( ACT dan PT XL Axiata ). Untuk ACT, dari total dana publik yang berhasil dihimpun untuk korban banjir Jakarta 2013 sebesar Rp 263.566.618, dipakai untuk biaya operasional lembaga sebesar Rp 13.179.330 atau setara 5 persen dari total dana terkumpul, dan sisanya full untuk korban banjir Jakarta dalam bentuk bantuan pangan, sandang dan personal hygiene. Untuk PT XL Axiata, dari total dana yang berhasil dihimpun melalui SMS, setelah dipotong Pajak Pertambahan Nilai 10 %, sebesar Rp 54.964.503. Ini berasal dari 5.625 pengirim SMS dengan nilai sumbangan Rp 2000 per SMS dan 9.443 pengirim SMS dengan nilai sumbangan Rp 5.000 per SMS. Dana tersebut disalurkan kepada korban banjir Jakarta melalui Yayasan Dompet Dhuafa dalam bentuk program pemulihan ekonomi masyarakat pasca bencana banjir di Kelurahan Jati Pulo Jakarta Barat. Dari total dana untuk korban banjir yang disalurkan melalui Yayasan Dompet Dhuafa tersebut, jumlah sebesar Rp 5.500.000,atau setara 10 persen dari total dana terhimpun digunakan untuk fee manajemen Dompet Dhuafa.
Kesimpulan
Setiap kali terjadi bencana selalu diikuti dengan maraknya penggalangan dana publik. Sebagai bentuk partisipasi masyarakat, hal ini merupakan fenomena positip. Namun demikian, perlu ada penataan, sehingga penggalangan dana publik dapat benar-benar bermanfaat bagi korban bencana. Sebagian lembaga yang melakukan penggalangan dana publik, belum sepenuhnya memberi perhatian yang memadai tentang arti pentingnya hak-hak donatur. Di balik sebuah lembaga yang melakukan aktifitas penggalangan dana publik, melekat kewajiban untuk memperhatikan hak-hak donatur. Dari uraian di atas, ada sejumlah rekomendasi. Pertama, perlu ada pembenahan di aspek regulasi. Undang-undang penanggulangan bencana sudah menyinggung soal arti pentingnya partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana, termasuk aspek penggalangan dana publik. Namun pengaturan masih sangat umum dan kurang spesifik detail dan perlu disinergikan dengan regulasi di sektor perpajakan, khususnya adanya kebijakan insentif perpajakan bagi organisasi nirlaba/donatur. Kedua, perlu ada rating lembaga yang melakukan penggalangan dana publik. Ini penting, bagi masyarakat selaku donatur sebagai panduan dan referensi dalam menyalurkan donator, dan juga bagi lembaga yang melakukan penggalangan dana publik untuk semakin peduli pada hak-hak donatur.
B.8. Hak-Hak Donatur Masyarakat yang menyumbang sebagai donatur mempunyai hak sebagai donatur. Hak-hak donatur ini harus diperhatikan oleh setiap lembaga yang melakukan aktivitas penggalangan dana publik. Dari 11 lembaga yang melakukan penggalangan dana publik untuk korban banjir Jakarta 2013, perhatian akan arti penting hak-hak donatur masih sangat minim. Hampir tidak ditemukan lembaga yang pada saat mendorong masyarakat untuk menyumbang, pada saat yang
Daftar Pustaka Buku : Abidin, Hamid., Kusumastuti, Yuni., Saidi, Zaim., 2007. Kebijakan Insentif Perpajakan untuk Organisasi Nirlaba: Pelajaran dari Mancanegara, Piramedia, Depok. Dirjdosisworo, Soedjono, 2002. Memorandum Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. Silk, Thomas (editor), 1999. Filantropi dan Hukum di Asia: Tantangan untuk Indonesia, Asia Pacific Philanthrop Consortium , Jakarta.
111
Vol. 11 No. 1 - Maret 2014 : 107 - 112
Peraturan Perundang-undangan: Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
(Lembaran Negara tahun 1980 Nomor 49 ). Artikel: Sudaryatmo, Aturan penggalangan dana publik untuk bencana, Koran Tempo, 16 Oktober 2009.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 214, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2273).
Sudaryatmo, Bencana dan Pelembagaan Filantropi, Kompas, 3 Juni 2006.
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan
Sudaryatmo, Aksi Filantropi Pascabencana, Koran Tempo, 10 Juni 2006.
112
112-1
112-2
112-3
112-4
112-5
112-6