BAB VII DAMPAK KEBWAKSANAAN PEMERINTAH
Shuai dengan uraian metodologi (Bab 111.3.4) dampak Kebijaksanaan Pemerintah terhadap tingkat keuntungan dan daya saing akan dianalisis dengan menggunakan metode Policv Analysis Matrix (PAM). Dalam ha1 ini yang dianalisis hanya dampak kebijaksanaan terhadap usaha mernproduksi CPO dan Inti Sawit, sedang dampak kebijaksanaan terhadap hasil-hasil usaha industri hilir tidak dilakukan karena keterbatasan data d m urgensinya yang tidak begitu besar lagi. Seperti terlihat dalam Bab IV keadaan daya saing dan penyebab-penyebab kelemahan daya saing industri hilir hasil-hasil kelapa sawit sebagian besar telah dapat disimpulkan. Analisis usaha produksi dengan metode PAM ini hanya dilakukan untuk 3 tahun deret waktu, yang masing-masing berselang 2 tahun, yaitu tahun 1985, 1987 dan 1989. Data yang digunakan dalam PAM adalah data rata-rata dari 6 perusahaan PTP, 3 perusahaan Swasta Asing, dan 3 perusahaan Swasta Nasional yang mengolah TBS.
1.
Hasil Perhitunean Data Untuk PAM
Dalam tabel VII. 1 disajikan hasil-hasil perhitungan data matrix PAM untuk rata-rata 3 kelompok perusahaan pada 3 tahun deret waktu. Pada harga privat untuk kolom penerimaan CPO
+ Inti (Rplkg) terlihat harga penjualan nyata
untuk masing-masing kelompok untuk 3 tahun. Untuk tahun 1985 harga penjualan paling tinggi adalah Swasta Nasional, tetapi tahun 1987 dan 1989 Swasta Asing memperoleh harga rata-rata paling tinggi. Dari kolom laba dapat terlihat, laba rata-rata paling tinggi setiap tahunnya adalah dari Swasta Asing. PTP pada tahun 1987 hanya memperoleh laba yang sangat kecil (Rp.3,03/kg) sedang di pihak perusahaan Swasta Nasional laba tahun 1987 dan 1989 negatif atau mengalami kerugian yang cukup
besar, yaitu
masing-masing Rp. 29,391kg dan 25,661kg. Dalam ha1 ini laba dalam harga privat adalah laba murni (real t v dan pajak penghasilan (PPh) telah diperhitungkan profit) karena bunga modal (menurut o ~ ~ o r t u n icost) dalam Biaya Produksi.
Tabel VII.1. Hasil Perhitungan Data Matrik PAM 3 Kelompok Perusahaan Tahun 1985, 1987 dan 1989
................................................................. Uraian Penerimaan Biaya (Rp./kg CPO + Inti ------------------Perusahaani Xahun
RP-/kg
Input tradable
Haraa Privat PTP I.
11.
Swasta Asing 1985 1987 1989
111. Swasta Nasional 1985 1987 1989
Haraa Sosial I. PTP
11.
Swasta Asing 1985 1987
111. Swasta Nasional 1985
Dam~akKebiiaksanaan I. PTP
11.
Swasta Asing 1985 1987 1989
111. Swasta Nasional 1985 1987 1989
Sumber : Hasil pengolahan data primer
Input non tradable
Laba RP-/kg
180 Keadaan setiap kolom dalam harga privat adalah merupakan hasil yang diperoleh sebagai akibat adanya kebijaksanaan pemerintah, yaitu meningkatkan atau menurunkan nilai masing-
masing kolom.
Perlu diperingatkan bahwa nilai-nilai yang diperoleh oleh kelompok Swasta Nasional sebenarnya kurang mewakili rata-rata seluruh kelompoknya karena hanya terdiri dari 3 kasus perusahaan dimana untuk tahun 1985 hanya diwakili satu kasus perusahaan (PTC1 tidak punya PKS) tahun 1987 diwakili 2 perusahaan (PTC1 dan PTC2 yang punya PKS) dan tahun 1989 oleh 2 perusahaan yang punya PKS (PTC2, PTC3). Oleh sebab itulah uraian besarnya laba Swasta Nasional tahun 1985, 1987 dan 1989 sangat dipengaruhi oleh perbedaan sampel pada tahun 1985, 1987 dan 1989. Harga sosial menggambarkan keadaan tanpa adanya pengaruh kebijaksanaan pemerintah, dimana semua harga menggunakan harga bayangan (shadow price) baik harga output maupun harga-harga input produksi. Dari tabel VII.1 dapat terlihat pada keadaan harga sosial atau tanpa adanya pengaruh kebijaksanaan pemerintah (tanpa pajak dan subsidi) laba kelompok PTP dan Swasta Asing meningkat pada ketiga tahun (1985, 1987 dan 1989) dibandingkan harga privat sedang pada Swasta Nasional pengaruhnya berbeda-beda setiap tahun, yaitu tahun 1985 dan 1987 menurunkan laba dan 1989 menaikkan laba atau menurunkan kerugian. 2.
Analisis Effisiensi peneeunaan Sumber dava domestik Effisiensi penggunaan sumberdaya domestik ( I n ~ u Non t Tradablg) dapat dilihat dari Ratio InDut
Non Tradable terhadap perbedaan Penerimaan dikurangi I n ~ u tTradable atau Nilai Tambah
Inr>ut
Tradable. Ratio ini pada harga privat atau analisis financial (disebut PCR = Private Cost Ratio) adalah menunjukkan effisiensi penggunaan Input Non Tradable pada tingkat perusahaan. Sedangkan ratio pada harga sosial atau analisis ekonomi, tidak lain adalah sama dengan koefisien BSD atau koefisien DRC (DRCR) seperti telah diuraikan dalam Bab IV. DRCR o -D(
Q)
menunjukkan
effisisensi penggunaan sumberdaya domestik (Input Non Tradable) dalam menghasilkan valuta asing (nilai tambah input tradable) atau menunjukkan ada tidaknya keunggulan komparatif dalam perdagangan internasional.
181 Dalam tabel VII.2 dapat dilihat effisiensi sumber daya domestik ini pada ketiga kelompok perusahaan. Dalam PCR terlihat pada kelompok PTP pada tahun 1985, 1987 dan 1989 masing-masing 0,838,
0,989 dan 0,876.Dapat terlihat tahun 1987 PCR hampir mendekati 1 sehingga laba pemsahaan menumn sangat rendah seperti terlihat dalam Tabel VII.1. Pada Swasta Asing besarnya PCR pada ketiga tahun hampir semuanya berkisar 0,6 yang berarti untuk menghasilkan Rp. 1,- keuntungan (Nilai Tambah Perusahaan) hanya diperlukan ongkos produksi dari sumber domestik sebesar Rp.0,60
(60 sen).
Pada kelompok Swasta Nasional (terdiri dari 3 sampel pemsahaan) dapat terlihat tahun 1985,PCR sama dengan 0,762 sehingga kasus dari 1 perusahaan ini (PTC1)yang tidak mempunyai PKS masih effisien dalam penggunaan sumber daya domestik. Tetapi tahun 1987 dan 1989, PCR lebih besar dari 1 sehingga tidak effisien menggunakan sumber daya domestik. Namun ada kecendemngan menurunnya PCR pada tahun 1989 dibanding dengan tahun 1987. Hal ini dapat dikaitkan dengan semakin besarnya jumlah produksi dari 2 sampel p e ~ ~ i 3 h a yang a n sama-sama mempunyai PKS. Dalam kolom DRCR dapat terlihat pada kelompok PTP dan Swasta Asing pada setiap tahun yang sama besarnya DRCR lebih kecil dari PCR atau berarti penggunaan sumberdaya domestik untuk menghasilkan nilai tambah dalam bentuk valuta asing (US $) semakin effisien dibanding effisiensi pada tingkat pem~i3haan.Hal ini berarti bahwa dengan di dihilangkannya kebijaksanaan (campur tangan) pemerintah pada kedua kelompok perusahaan ini akan menghasilkan effisiensi penggunaan sumber daya domestik yang lebih tinggi. Hubungan PCR dan DRCR juga menunjukkan apabila PCR iebih kecil dari 1, maka DRCR pada umumnya lebih kecil lagi atau ada keunggulan komparatif dalam penjualan ekspor DRCR bisa lebih besar lagi dari PCR kalau harga sosial lebih rendah dari harga privat seperti dialami Swasta Nasional. Pada kelompok Swasta Nasional DRCR yang lebih kecil dari PCR hanya terdapat pada tahun
1989 sedang sebelumnya DRCR selalu lebih besar dari PCR. Hal ini berarti bahwa dalam tahun 1985 dan 1987 kebijaksanaan pemerintah adalah menguntungkan perusahaan Swasta Nasional. Dalam bentuk besarnya penggunaan biaya sumberdaya domestik untuk menghasilkan 1 US$ dalam produksi CPO
+ Inti Sawit untuk
masing-masing kelompok pemsahaan pada 3 tahun, dapat terlihat
182
bahwa kelompok Swasta Asing menggunakan sumber daya domestik paling kecil. Jadi penggunaan modal asing dan ditranfernya sebagian keuntungan keluar negeri (bagian pemilik saham dari laba) justru meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya domestik dalam usaha kelapa sawit.
Tabel VII.2.
Effisiensi Penggunaan Sumberdaya ~omestik Pada Ketiga Kelompok Perusahaan Tahun 1985, 1987 Dan 1989
.......................................................... Perusahaanl Tahun
PCR
DRCR
DRC (BSD) Rp-/US$ a)
.......................................................... I.
PTP 1985 1987 1989 Rata-rata
0,838 0,989 0,876 019
0,765 0,821 0,783 0,79
917,23 1430,26 1434,83
11. SWASTA ASING 1985 1987 1989 Rata-rata
0,594 0,612 0,628 0,61
0,519 0,553 0,484 0,52
622,28 963,38 886,92
1II.SWASTA NASIONAL 1985 1987 1989 Rata-rata .
0,762 1,101 1,044 0,97
0,851 1,214 1,038 1,03
1020,35 2114,91 1902,ll
Keterangan : a) Harga bayangan Rp./l US$ Tahun 1985 = Rp.1199, 1987 = Rp. 1742,lO dan tahun 1989 = Rp. 1832,48 Surnber : Pengolahan data Tabel VII.l.
Keadaan Swasta Nasional dari 2 perusahaan yang mempunyai PKS pada tahun 1989 menunjukkan
PCR dan DRCR yang tidak begitu b e a r bedanya dari 1. Dari trend antara 1987 ke 1989 ke dua perusahaan ini yang sedang berkembang produksinya (TBS) dan PKSnya terlihat kemungkinannya untuk menurunkan PCR dan DRCR.
3.
D a m ~ a kkebiiaksanaan t e r h a d a ~h a r ~ ao u t ~ u dan t nilai ~enerimaan. Dampak kebijaksanaan pemerintah terhadap harga output (harga CPO
+
inti) yang diterima
perusahaan dapat diukur dengan membandingkan harga privat dengan harga sosial. Seperti dikemukakan harga sosial atau harga bayangan output yang diekspor didekati dengan harga fob, dengan memakai nilai tukar juga menurut harga bayangan nilai tukar dari valuta asing. Dalam Tabel VII.3 dapat dilihat dampak kebijaksanaan pemerintah terhadap harga output (CPO
+ inti) dan penerimaan pengusaha pada masing-masing kelompok perusahaan. Dampak kebijaksanaan Pemerintah terhadap harga output dapat dilihat dari indikator NPCO (Nominal Protection Coefficient on Tradable ournut) yaitu ratio harga privatlharga sosial. NPCO lebih kecil dari 1 berarti harga yang diterima perusahaan lebih kecil dari harga sosial (harga bayangan) sedang NPCO lebih besar dari 1 berarti harga penjualan perusahaan lebih tinggi dari harga sosial. Indikator lain dari dampak kebijaksanaan Pemerintah terhadap output adalah peningkatan atau penurunan penerimaan penjualan dengan menggunakan transfer ournut. Transfer output negatif berarti harga perusahaan lebih rendah dari harga sosial, sehingga ada pengurangan penerimaan perusahaan yang dapat diartikan sebagai pemindahan pendapatan kepada masyarakat atau pemerintah. Demikian sebaliknya bila transfer output positip ada pemindahan output dari masyarakat kepada perusahaan. Dari Tabel VII.3 dapat terlihat bahwa untuk kelompok PTP, NPCO selalu lebih kecil dari 1 dalam
3 tahun atau transfer output terjadi dari PTP ke masyarakatlpemerintah. Sedang untuk kelompok Swasta Asing terkecuali tahun 1987, NPCO juga dibawah 1 dan terjadi transfer penerimaan dari perusahaan kepada masyarakat. Untuk tahun 1989 transfer output itu terlihat cukup besar, yaitu minus Rp.39,65/Kg. Dalam kelompok Swasta Nasional dalam 3 tahun yang diobservasi NPCO selalu lebih besar dari 1 sehingga harga yang diterima perusahaan lebih tinggi dari harga sosial (harga fob dengan nilai tukar
bayangan). Transfer output per kg terlihat juga cukup besar sehingga keuntungan (dapat juga dianggap sebagai surplus produsen) diraih perusahaan yang ikut dalam sampel juga terlihat cukup besar. Adalah menarik untuk menganalisis penyebab lebih rendahnya harga penerimaan kelompok PTP dan Swasta Asing dibanding dengan harga fob, sedang dipihak lain Swasta Nasional dapat memperoleh harga yang lebih tinggi dibanding dengan harga fob.
Tabel VII.3. Dampak Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Harga Output dan Penerimaan Perusahaan
....................................................... NPCO
Perusahaan/ Tahun
Transfer output RP*/kg
....................................................... I. PTP 1985 1987 1989
0,979 0,967 0,980
11. SWASTA ASING 1985 1987 1989
0,999 1,003 0,929
-
2,59 -13,52 9,80
-
-
0,34 1,34 -39,65
111. SWASTA NASIONAL 1985 1987 1989 - - -
.- -
-
- -
1,043 1,062 1,035
17/83 24/44 17,19
-
Keterangan: NPCO = Nominal Protection Coefficient on Tradable Output Sumber : Pengolahan data Tabel VII.l. Sejak tahun 1978 dengan SKB Tiga Menteri sebagian besar produksi CPO dialokasikan untuk penjualan dalam negeri dengan jumlah alokasi dan harga penjualan dalam negeri ditetapkan pemerintah. Selain tahun 1982 dan 1986, harga penetapan D.N. selalu lebih rendah dari harga eksport fob setiap tahunnya dalam kurun waktu 1978
-
1989. Tetapi yang terkena allokasi penjualan D.N adalah para
produsen lama dimana dalam ha1 ini paling banyak adalah dari kelompok PTP dan Swasta Asing. Para produsen baru, menurut Arifin Kamdi (1989) masih belum terkena allokasi yang menurut perkiraannya pada tahun 1989 menjual 20 - 25% dalam pasaran bebas Dalam Negeri. Dalam ha1 ini menurut Arifin Kamdi dan menurut J.P Sitanggang (Diieksi PTP)") harga penjualan bebas Dalam Negeri umumnya lebih tinggi dari harga penetapan Pemerintah.
11)
Hutabarat M.S. dkk (Editor), 1989 Prosidiig Pemasaran Tandan Buah Segar Kelapa Sawit di Indonesia, Seminar sehari 16 November 1989. Medan Perkepi Komisariat Medan, hal. 109.
185 Karena sampel perusahaan Swasta Nasional yang diobservasi termasuk perusahaan baru, maka diperkirakan sebagian besar produksi mereka dijual dipasaran bebas dalam negeri dan dapat memperoleh harga yang lebih tinggi dari harga penetapan Pemerintah. Dipihak lain harga penjualan eksport Swasta Nasional dalam tahun 1987 dan 1989 adalah lebih rendah dari harga rata-rata penjualan eksport PTP dan Swasta Nasional. Jadi dalam penjualan Dalam Negeri Swasta Nasional diuntungkan tetapi dalam penjualan eksport dirugikan dibanding dengan PTP dan Swasta Asing. Dalarn kurun waktu 1985
-
1989 harga pasaran eksport CPO sedang mengalami periode
penurunan harga dan harga penetapan Pemerintah hanya berbeda lebih rendah 2,52%,2,35% dan 2,02% untuk tahun 1985, 1987 dan 1989 dari harga rata-rata eksport (fob) Indonesia. Perbedaan harga yang tidak begitu besar ini juga terlihat berkorelasi positip dengan NPCO yang dialami kelompok PTP. Mengenai rendahnya NPCO kelompok Swasta Asing dalam tahun 1989, sebenarnya hanya disebabkan harga rata-rata eksport salah, satu perusahaan (PTB3) yang jauh lebih rendah dari 2 perusahaan lainnya. Apa penyebab hal ini tidak diketahui. 4.
D a m ~ a kKebiiaksanaan T e r h a d a ~I n ~ u Tradable. t Dampak kebijaksanaan terhadap Input Tradable dapat diukur dengan pansfer I n ~ uTradable t yaitu
harga privat dikurangi harga sosial. Tanda negatip berarti harga privat lebih kecil dari harga sosial yang berarti perusahaan menerima subsidi dari masyarakatlpemerintah sehingga dapat membeli input dengan harga yang lebih murah. Sedang apabila tanda positip berarti harga privat lebih tinggi dari harga sosial yang berarti perusahaan dikenakan "pajak" sehingga perusahaan hams membeli input lebih mahal dari harga sosial (harga import dengan free trade). Dalam Tabel VII.4 dapat dilihat besarnya indikator-indikator dampak kebijaksanaan terhadap t Input Tradable terdiri dari NPCI, NPR, dan I n ~ u Transfer. Untuk kelompok PTP,tahun 1985 NPCI sedikit lebih kecil dari 1, yang berarti mendapat subsidi yang besarnya Rp. 1,92/kg atau 2,05% dari besarnya Input Tradable. Untuk tahun 1987 dan 1989 Input Tradable kena pajak yang besarnya masing-masing 8,01% dan 0,48% atau Rp.8,49/kg dan Rp.O,60/kg.
Untuk kelompok Swasta Asing dalam ketiga tahun, NPCI selalu lebih kecil dari 1 atau mendapat subsidi yang cukup besar, yaitu 19,18%, 17,14% dan 13,2096 masing-masing pada tahun 1985, 1987 dan 1989. Subsidi ini sebenarnya terutama disebabkan besarnya perbedaan biaya @os) Transfer ke luar negeri dan ongkos bunga modal. Dalam harga sosial transfer keluar negeri yang merupakan bagian keuntungan pemilik saham diperhitungkan dalam Biaya Tradable sedang dalam harga privat tidak ada transfer ke luar negeri tetapi hanya biaya bunga modal yang diperhitungkan sebagai biaya dan balas jasa pemilik modal di luar negeri.
1 VII.4. Dampak Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Input Tradeable Per Kelompok Perusahaan, 1985,1987,1989
................................................................. Perusahaanl Tahun
NPCI
NPR %
Transfer Per kg RP. /kg
--- -
I. PTP 1985 1987 1989 11. SWASTA ASING 1985 1987 1989 111. SWASTA NASIONAL 1985 1987 1989
Keterangan : NPCI =
Input Tradable Harga Privat : Input Tradable Harga Sosial NPR = (NPCI-1)x100% Transfer per kg = Input Tradable Harga Privat-Input Tradable Harga Sosial
Lebih jelas perincian Biaya Tradable untuk kelompok PTP dan Swasta Asing untuk tahun 1989 dapat dilihat dalam tabel VII.5 dan VII.6.
187 Untuk kelompok Swasta Nasional NPCI tahun 1985 dan 1987 terlihat lebih kecil dari 1 atau berarti mendapat subsidi masing-masing sebesar 15,4196 dan 1,0496. Sedang tahun 1989 NPCI lebih besar dari 1 atau dikenakan pajak 3,7596. Input Tradable terdiri dari beberapa jenis, diantaranya yang paling penting adalah pupuk, herbicida, pesticida, alat-alat pertanian, alat-alat angkutan, pabrik (PKS) dan BBM (merupakan unsur dari angkutan panen dan biaya pengolahan). Besarnya peranan masing-masing Input Tradable dalam Total Biaya Tradable untuk kelompok PTP tahun 1989 dapat terlihat dalam Tabel VII.5. Dari tabel terlihat pupuk menempati 20,4696 dalam harga privat dan 28,17% dalam harga sosial dan dampak kebijaksanaan adalah bersifat subsidi atau menurunkan harga privat sebesar Rp.9,46,-/kg atau 3796 dari harga sosial. Input Tradable lain yang memperoleh subsidi adalah angkutan ke pabrik yang besarnya 16,6696. Sedang input-input lainnya ternyata dikenakan pajak, masing-masing penyusutan umum 35,496, penyusutan pabrik 11,73 96, herbicida dan pesticida 8,5596 dan lain-lain 23,08%. Keseluruhan Input Tradable kelompok PTP dikenakan pajak sebesar 0,4896.
Tabel VII.5. Besar dan Prosentase Beberapa Input Tradable Dalam Total Input Tradable serta Dampak Masing-masing Input, Kelompok PTP, 1989 -------------------
Jenis Input
1. Pupuk 2. Penyusutan
Umum
- - - - -
Harga privat
Harga sosial --------------- --------------RP /kg
Dampak Kebijaksanaan
---------------
RP*/kg
%
25,57
20,46
35,03
28,17
-9,46
-37,O
19,44
15,56
14,35
11,54
5,08
35,4
13,71
11,O
12,27
9,86
1,44
11,73
22,OO
17,61
26,4
21,23
-4,40
-16,66
3,30 40,90
2,64 32,74
3,04 33,23
2,44 26,72
0,26 7,67
8,55 23,08
%
~ ~ . / k g /%"
3. Penyusutan
Pabrik 4. Angkutan ke
pabrik 5. Herbicida
Pesticida 6. Lain-lain
................................................................. Total 124,92 100 124,32 100 ot6 ................................................................. Sumber Keterangan
: Diolah dari data primer : a) Prosentase terhadap harga sosial
0,48
Selanjutnya dalam Tabel VII.6 dapat terlihat rincian beberapa Invut Tradable dan dampak masing-masing input untuk kelompok Swasta Asing tahun 1989. Dapat terlihat bahwa besarnya input tradable baik menurut harga privat dan harga sosial lebih besar pada kelompok Swasta Asing. Hal ini adalah disebabkan biaya bunga modal dimasukkan dalarn Input Tradable pada kelompok Swasta Asing, sedang pada kelompok PTP bunga modal termasuk Input Non Tradable (biaya domestik). Dari Tabel VII.6 dapat terlihat peranan bunga modal dan Transfer ke luar negeri paling besar pada Input Tradable kelompok Swasta Asing, yaitu 40,4696 pada harga privat dan 44,7896 pada harga sosial. Dampak kebijaksanaan dalam input ini adalah bersifat subsidi karena dalam harga sosial dilaksanakan Transfer ke luar negeri dari bagian keuntungan disamping pembayaran bunga modal pinjaman. Sedang dalam harga privat balas jasa terhadap pemilik modal dianggap hanya bunga modal yang besarnya menurut tingkat bunga uang pinjaman dari luar negeri. Dengan demikian laba bersih pada harga privat dapat lebih besar dari laba bersih pada harga sosial pada k'elompok Swasta Asing karena Transfer ke luar negeri (sebagian dari modal) tidak dimasukkan sebagai biaya pada harga privat.
Tabel VII.6.
Besar dan Prosentase Beberapa Input Tradable dalam Total Input Tradable serta Dampak ~asing-masingInput, Kelompok Swasta Asing, 1989
.................................................................. Jenis Input Harga privat Harga sosial Dampak ____________-______------------Kebijaksanaan ---------------Rp./kg % RP*/kg % Rp. /kg %') .................................................................. 1. Bunga modal dan transfer ke
73,02
40,46
93,12
44,78
-20,lO
-21,58
38,88
21,54
33,53
16,12
5,35
15,95
16,02 24,25
8,87 13,43
19,261 33,25
9,26 16,OO
-3,24 -9,OO
-16,82 -37,08
23,20 5,lO
12,85 4,70
27,20 2,50
13,OO 1,23
-4,OO 2,54
-15,73 99,21
LN 2. Penyusutan modal 3. Biaya Pengolahan 4. Pupuk 5. Angkutan ke pabrik 6. Lain-lain
.................................................................. Total 180,47 100 207,92 100 -27,45 .................................................................. Keterangan Sumber,
: a) Prosentase terhadap Harga Sosial : Data primer diolah
-13,20
189 Selanjutnya dapat terlihat penyusutan modal pada kelompok Swasta Asing adalah cukup b e a r (2134% dari Input Tradable) dimana biaya ini menjadi lebih besar karena dampak kebijaksanaan pajak yang besarnya 15,95%. Tetapi sebenarnya jumlah total penyusutan modal pada PTP yang terdiri dari penyusuta* umum, penyusutan pabrik ditambah penyusutan tanaman (tidak dimasukkan dalam Tabel V11.5 karena sebagian besar masuk Input Non Tradable) masih lebih besar pada kelompok PTP. Sama halnya dengan PTP dampak kebijaksanaan pada penyusutan modal adalah bersifat pajak sehingga memperbesar biaya privat. Biaya pengolahan pada kelompok Swasta Asing sebagian dimasukkan dalam Input Tradable yaitu biaya pemeliharaan pabrik, pemakaian BBM
+ pelumas, bahan laboratorium dan bahan pembungkus
(packing). Dampak kebijaksanaan dalam ha1 biaya pengolahan terlihat mengurangi harga privat atau dengan perkataan lain menerima subsidi yang besarnya 16,8296. Hal ini antara lain dalam bentuk subsidi BBM, minyak pelumas, bahan laboratorium dan bahan pembungkus. Pupuk dalam jumlah biaya absolut dan prosentase lebih kecil pada kelompok Swasta Asing tetapi menerima subsidi yang sama besarnya dengan kelompok PTP (37,082). Sedang angkutan ke pabrik besarnya dan prosentasenya lebih besar pada kelompok Swasta Asing tetapi menerima subsidi hampir sama dengan PTP, yaitu sebesar 15,73%. 5.
D a m ~ a kKebijaksanaan T e r h a d a ~I n ~ u Non t Tradable Dampak kebijaksanaan terhadap Input Non Tradable diukur dengan Factor Transfer, yaitu harga
privat dikurang harga sosial. Dari Tabel VII. 1 dapat terlihat bahwa untuk kelompok PTP Factor Transfer selalu positip setiap tahun yaitu masing-masing Rp. 20,42, Rp. 30,59, dan Rp. 30,13 untuk tahun 1985, 1987 dan 1989. Factor Transfer yang positip ini berarti kenaikan harga yang dibayar perusahaan, akibat kebijaksanaan Pemerintah. Sama halnya dengan kelompok PTP, untuk kelompok Swasta Asing juga terdapat factor transfer positip untuk tahun 1985, 1987 dan 1989 yang cukup besar yaitu masing-masing Rp.32,56, Rp.34,45 dan Rp.43,45. Jadi kelompok PTP dan Swasta Asing sama-sama dikenakan pajak terhdap Input Non Tradable
190 yang cukup besar. Pada kelompok Swasta Nasional untuk tahun 1985 dan 1989 juga terkena F ~ X U Transfer positip, terutama untuk 1989 yang cukup besar yaitu Rp.24,37. Tetapi untuk tahun 1987 terjadi hal sebaliknya dimana Factor Transfer adalah negatip yang berarti mendapat subsidi.
ha dilihat perincian I n ~ uNon t Tradable untuk tahun 1989 dapat dilihat peranan masing-masing Input dan dampaknya seperti pada Tabel VII. 7. Jenis-jenis Input Non Tradable terpenting adalah' tenaga kerja (upah dan gaji staf dan pegawai bulanan) bunga modal dan pajak yang dapat dibagi atas pajak-pajak tetap dan pajak penghasilan (PPh). Untuk kelompok PTP menurut harga privat dapat terlihat peranan Input tenaga kerja 27,8956, bunga modal 31,68 96 dan PPh 25,0696. Dampak kebijaksanaan terhadap pembayaran (biaya) tenaga kerja terlihat adalah positip, jadi menaikkan harga yang dibayar perusahaan dibanding dengan harga sosial (harga bayangan) yang besarnya 10,112 dari harga sosial. Penyebab hal ini antara lain adalah Peraturan upah minimum dan Peraturan pengupahan serta Tunjangan Sosial yang diperlakukan Pemerintah terhadap tenaga kerja PTP, terutama buruh tetap, pegawai bulanan non staf dan pegawai staf. Hal yang sama juga berlaku untuk perkebunan Swasta Nasional dan Swasta Asing meskipun data Swasta Asing tidak dapat diperoleh secara lengkap. Bunga modal ternyata mengalami Factor Transfer positip pada PTP yang cukup besar, yaitu 49,29% dari bunga modal menurut harga sosial. Penyebab ha1 ini adalah perbedaan tingkat bunga yang dikenakan pada harga privat dan harga sosial yang cukup besar. Pada harga privat bunga modal terdiri dari 2 jenis yaitu bunga modal sendiri dan bunga modal pinjaman. Bunga modal sendiri dikenakan bunga deposito yang berlaku di Bank dikurangi pajak bunga deposito, sedang bunga modal pinjaman dikenakan bunga menurut bunga yang harus dibayar terhadap pinjaman tersebut. Dalam ha1 ini untuk tahun 1989, bunga deposito adalah 16% dikurangi 15% pajak deposito, yaitu 13,646 sedang bunga modal pinjaman dikenakan 12,5% sesuai dengan bunga pinjarnan yang diperoleh PTP sejak tahun 1982. Dipihak lain bunga harga sosial diperkirakan menurut metode yang telah diuraikan dalam metodologi dimana akibat pengaruh inflasi sebesar 6,41% tahun 1989, maka tingkat bunga riil untuk harga bayangan turun menjadi 6,75 % .
Tabel VI1.7.
Dampak Kebijaksanaan Terhadap I n p u t Non Tradable Secara T o t a l dan P a r s i a l Kelompok Perusahaan, 1989
......................................................................................................... : Jurlah : input : non Tra: RplKg Harga Prlvat I.Rata-rataPTP: I .R a t - a t S. Asing 111. Rata-rata S. Nasional
:
:
Z
:
RplKg
:
I I
I
1
I
I
I
I
I
I
I
I I
1
I I
1 I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I I
92,44: 27,89: 105
:
a)
: 31,bE: : :
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I I
I 1
I I
I I
1 I
I
I
I
I
I
I
I
I I
: 19,16 : 177,83 : 45,83 :
1
t.a
:
I I
I I
I
I
I
I
I I
I I
I I
I
:
I I
9,64 ; 2,40
: 12b,05 : 32,51 I I
1
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I I
I
I
I I
I
I
I I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I I
I I
I
I
I I
I
1
I
I I
I I
I
I
I I
I I
I I
I I
I I
I I
: : :
301,28 17117
: : :
83,95:27,86: a
I I
: a : : 18,35 :
I I
I I
I
I
I
1 I
I
I
0 0
: : I I
0
0 0
1
: I I
I
0
I
I
I I
I
0
:204,b7:56,35
I I
I I
I
I
I I
I 1
I
a I
I I
I I
I I
a I
I I
I I
I
I I
I
I I
I I
I I
I
I
I
I
I I
I
I
I
I I
1
I
I
I
I
I
I I
I I
I
I
1
8,49 ilO,llb'~ 34.67 j49.20~':
aI
43,35 24,57
I
1 I
I
I
30,13
I
I I
I
I I
: : : :
I I
I
I
1
I I
I
I
I
I I
I I
I
I
Paapak Kebljaksana-: I an I
I
I I
I
I I
I
I
I 1
I
I
I
:171,17: 100
I I
I
I
: 147,O : 48,79
0
I I
I I
I I
bb,bb
0
I 1
1
I
I I
I
:
I
I I
I
: : :
: : 91,82 : 25,B : a)
I
I I
363,16
I
70,33:23,34:
: :
I I
I I
I I
10.83 a I
: :
7,66 :11,50
: :
I
I
I
I
I
I
I I
I I
I 1
I
I I
I I
I I
t.a
: t.a I
a)
:
85,89 :93,54
Z
10,83: 3,26: 25,Ob: 7,86: 98,09: 29,59 : 72,78 : 33,92 : 141,74 : 66,07 t.a
I
I I
74,32
Z
I I
I
I
:
I
I
387,72
RplKg
I
I I
I I
: I
I
t.a
Z
I I
I
:
: 1 I
I
t.a
RplKg
I I
I
I I
: : :
:
Z
1 I
I
331,41 214,52
: I I
1
: : : :
RplKg
I I
I I I I
I
I.Rata-rata PTP 11. Rata-rata S. Asing 111. Rata-nta S. Nasional
RplKg
I
I I
I.Rata-rataPTP: 11. Rata-rata S. Asing 111. Rata-rata S. Nasional
:
I I
I I
Harga Sosial
: Perbangian input non tradable :--------------------------------------------------: Lain-lain : Tenaga kerja : Bunga modal : Pajak-2 tetap : PPIl
j : : I I
t.a t.a
: I I
25,Ob
: I I
: :
72,78: 9,64:
I I
I
I
I
I
I
I I
I I
I
j : :
48,91
1 I
33,21b1 I I
29,43 78,62
: 17,19 : 38,41
I I
I I
I
1
I
I
Ketcrmgan : t.a. = tidak ada data. a) = untuk Swasta k i n g bunga rodal tidak terrasuk Input Non Tradable tetapi dirasukkan pada Input Tradable b l = Prosentase terhadap Harga Sosial.
192 Perbedaan besarnya tingkat bunga modal menurut harga privat dan harga sosial serta besarnya modal tetap kelompok PTP per Kg h a i l produksi CPO
+ Inti menyebabkan bunga modal pada harga
privat cukup besar yaitu rata-rata Rp. 105 per Kg. Untuk kelompok Swasta Nasional Factor Transfer dalam bunga modal juga sangat besar (9334% dari harga sosial) dan besarnya bunga modal per Kg pada harga privat sangat tinggi (Rp. 177,83) karena modal tetap yang sangat besar per kg h a i l yang diproduksi. Hal ini disebabkan 2 kasus Swasta Nasional baru mendirikan pabrik (PKS) dan jumlah yang diolah m S ) masih terbatas (masih jauh dibawah kapasitas terpasang PKS). Pajak-pajak tetap yang dibayar kelompok PTP, seperti PBB, HGU, PPN dan lain-lain ternyata agak kecil yaitu Rp.10,83 per Kg atau 3,26% dari Input Non Tradable. Sedang dipihak lain pajak penghasilan (PPh) yang diperhitungkan secara teoritis berdasarkan nilai keuntungan bersih adalah cukup besar yaitu rata-rata Rp. 25,06 per Kg atau 7,86% dari seluruh Input Non Tradable. Dari 6 kasus PTP,
5 diantaranya terkena kategori pajak 35% (keuntungan diatas Rp.50. juta) sedang 1 perusahaan mengalami kerugian setelah diperhitungkan bunga modal. Meskipun menurut peraturan perpajakan yang berlaku sejak tahun 1984, PPh wajib dibayar sesuai dengan besarnya keuntungan tetapi pemotongan atau keringanan pajak PPh (fasilitas fiskal) dapat diberikan Menteri Keuangan, yaitu : (1) untuk pembayaran bonus karyawan, (2) untuk peremajaan yang dilakukan, dan (3) untuk perluasan tanaman baru dan pembangunan PKS. Dengan alasan-alasan diatas maka hampir semua PTP membayar PPh lebih rendah dari PPh teotetis seperti yang diperhitungkan dalam Tabel VII.7. Besarnya PPh secara teoretis untuk kelompok Swasta Asing adalah jauh lebih besar dari PTP yaitu Rp.72,78 per Kg atau 33,9296 dari Input Non Tradable. Karena tingkat peremajaan dan perluasan tanaman baru umumnya jauh lebih rendah pada perusahaan Swasta Asing, maka fasilitas fiskal yang diperoleh Swasta Asing adalah kecil sehingga pembayaran PPh nyata adalah jauh lebih tinggi pada kelompok Swasta Asing.
193 Dalam hal Swasta Nasional, dari 2 kasus perusahaan 1 perusahaan terkena pajak PPh sedang 1 lagi masih mengalami kerugian. Sehingga secara rata-rata PPh yang dibayar masih kecil yaitu hanya Rp.9,64 per kg dan hanya 2,48% dari total Input Non Tradable.
6.
p a m ~ a kkebijaksanaan secara total H a i l dampak kebijaksanaan output, dampak kebijaksanaan Input Tradable dan kebijaksanaan
Input Non Tradable adalah dampak kebijaksanaan menyeluruh (total). Indikator-indikator untuk ini dipakai
Net Transfer, PC Profitabilitv Coefficient) dan SRP (Subsidy Ratio to Producer). Hasil- hasil indikator ini untuk ketiga kelompok perusahaan dapat dilihat dalam Tabel VII.8.
Tabel VII.8. Dampak Kebijaksanaan Total Per Kelompok Perusahaan 1985, 1987 dan 1989.
................................................................ Perusahaanltahun Tahun
Net Transfer RP/K~
PC
................................................................ I. PTP 0,685 1985 - 21,lO 0,054 1987 - 52,60 0,535 1989 - 40,52
SRP %
5,56 12,59 7,90
11. Swasta Asing 1985 1987 1989 111. Swsata Nasional 1985 1987 1989
1,817 8,28 - 34,02 0,519 6,92 - 27,13 2,55 12,28 a ............................................................... Keterangan : Net Transfer = laba harga privat - laba harga
Sosial PC = Profitability Coefficient = laba harga privatllaba harga sosial SRP = Subsidy Ratio to Producers = (Net Transfer : Harga Sosial) X 100 % a) = Karena laba harga privat dan laba harga Sosial sama - sama bertanda negatip, PC tidak berlakultidak dapat dipakai.
Sumber
: Diolah dari Tabel VII.l
194 Pada kelompok PTP Net Transfer selalu negatip yang besarnya masing-masing minus Rp.21,10, Rp.52,60 dan Rp.40,52
untuk tahun 1985, 1987 dan 1989. Ini adalah merupakan pengalihan laba
perusahaan kepada masyarakat, atau semacam pajak yang ditarik Pemerintah dari perusahaan untuk kepentingan masyarakat. Sejalan dengan Net Transfer Negatip, maka PC lebih kecil dari 1 dimana semakin besar Net Transfer negatip semakin kecil PC. Dipihak lain juga Net Transfer negatip mengakibatkan SRP (Subsidv Patio to ProduSfS)yang negatip. SRP adalah menunjukkan bagian dari harga dunia yang diambil sebagai pajak atau diberikan sebagai subsidi untuk mencapai hasilltujuan seluruh kebijaksanaan. Dari kelompok PTP ditarik pajak bersih masing-masing sebesar 5,5646, 12,592 dan 7,9096 dari harga CPO
+ Inti dunia (ekspor) untuk tahun 1985,1987 dan 1989.
Pada kelompok Swasta Asing, Net Transfer dan SRP juga selalu negatip dalam 3 tahun yang berarti ada pengurangan laba perusahaan dibanding dengan laba sosial. Tetapi besarnya Net Transfer dan SRP relatip kecil untuk tahun 1985 dan 1987. Hanya tahun 1989 Net Transfer dan SRP menjadi lebih besar dari kelompok PTP. Pada kelompok Swasta Nasional Net Transfer dan SRP tahun 1985 dan 1987 positip yang berarti perusahaan Swasta Nasional tersebut masih menerima subsidi dari masyarakat yang besarnya Rp.34,02 dan Rp.27,13 pada tahun 1985 dan 1987. Atau dalam bentuk SRP maka subsidi tersebut besarnya 8 , 2 8 2 dan 6,92% dari harga dunia (harga eksport) untuk tahun 1985 dan 1987. Tetapi pada tahun 1989 meskipun dengan laba privat dan laba sosiallnegatip, perusahaan Swasta Nasional telah dikenakan Net Transfer Negatip yang hasilnya menambah kerugian perusahaan. Narnun dalam ratio terhadap harga ekspor besarnya pajak perusahaan Swasta Nasional hanya sebesar 2,552 7.
Kesim~ulanPAM Kesimpulan dari dampak kebijaksanaan Pemerintah pada perusahaan-perusahaan kelapa sawit
dalam kurun waktu 1985-1989 adalah : 1) Pada umumnya tanda net transfer dan SRP (negatip atau positip) adalah sesuai dengan keadaan perusahaan dimana pada waktu perusahaan mengalami kerugian (laba negatip) ada Net transfer dari
195 masyarakatlpemerintah kepada perusahaan dan pada waktu perusahaan mengalami laba positip ada Net Transfer kemasyarakat atau Pemerintah. Hanya dalam kasus perusahaan Swasta Nasional tahun 1989 h.al ini belum sesuai dengan keadaan perusahaan. Pada umumnya tanda Net Transfer atau SRP adalah negatif yang berarti secara bersih perusahaanperusahaan kelapa sawit selalu dikenakan pajak bersih oleh Pemerintah. Hal ini juga berarti bahwa DRCR (koefisien BSD) pada umurnnya selalu lebih kecil dari PCR (Private Cost Ratio) yang menunjukkan tingkat keuntungan finansial perusahaan. Dengan demikian umumnya perusahaan yang mempunyai keuntungan positip (ROIbersih positip) selalu mempunyai DRCR lebih kecil dari 1 atau selalu mempunyai keunggulan komparatif. 2) Tetapi besarnya net transfer per tahun dan antar perusahaan belum selalu proporsionil dengan keadaan perusahaan, misalnya Net Transfer PTP kemasyarakat adalah cukup besar pada tahun 1987 tetapi pada saat itu laba perusahaan PTP secara keseluruhan adalah kecil. Demikian juga Net Transfer kelompok perusahaan Swasta Asing tahun 1987 adalah relatif kecil pada ha1 laba perusahaan adalah cukup besar. Namun demikian sebagian kepincangan ini agaknya telah dinetralisir Pemerintah dengan adanya fasilitas perpajakan (fasilitas fiskal).
3)
Kebijaksanaan penetapan penjualan CPO dalam negeri (quota dan penetapan harga) tidak begitu besar mempengaruhi perbedaan harga privat dan harga sosial pada kelompok PTP namun pada kelompok Swasta Asing dan Swasta Nasional masih relatif besar pengaruhnya. Disatu pihak harga sosial bisa lebih besar bedanya dibanding dengan harga privat namun disatu pihak dengan adanya harga pasaran bebas dalam negeri diluar harga penetapan pemerintah, harga privat bisa lebih besar dari harga sosial.
4)
Tingkat bunga uang deposit0 dan besarnya tingkat inflasi saling menetralisir tingkat bunga modal menurut harga sosial, sehingga dalarn periode 1985-1989 hanya berkisar 11,43
- 6,75%.
Narnun
tingkat bunga modal sendiri dan tingkat bunga pinjaman perusahaan meskipun lebih rendah dari tingkat bunga pinjaman komersial di Bank masih lebih tinggi dari tingkat bunga riil menurut harga bayangan. Hal ini menyebabkan biaya input non tradable dalam bunga modal masih cukup besar bedanya dari bunga harga sosial.
196 5)
Besarnya pajak PPh yang dikenakan pada perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang umumnya terkena tingkat 35% cukup besar pengaruhnya pada besarnya biaya Input Non Tradable dan tingkat laba harga privat. Tetapi untuk kelompok perusahaan Swasta Asing terlihat tingkat besarnya PPh ini masid menjamin adanya tingkat laba privat dan PCR yang cukup besar. Hal ini disebabkan effisiensi ongkos produksi Swasta Asing yang umumnya jauh lebih tinggi dari kelompok lain.
8.
P a m ~ a kKebiiaksanaan Pemerintah sebelum Tahun 1985, Dalam analisis dampak kebijaksanaan pemerintah dengan pendekatan PAM hanya dilakukan untuk
3 tahun dalam kurun waktu 1985-1989. Untuk memperjelas pengamh kebijaksanaan
pernerintah
terhadap tingkat keuntungan dan daya saing perusahaan kelapa sawit juga akan dijelaskan beberapa dampak kebijaksanaan pemerintah yang penting dalam kurun waktu sebelum tahun 1985. a.
Kebijaksanaan perdagangan Pengawasan Pemerintah terhadap pemasaran eksport adalah terutama dalam 3 hal yaitu :
1) Menentukan besarnya quota eksport tahunan berdasarkan keadaan produksi dan kebutuhan dalam negeri. 2)
Memperlakukan izin eksport bagi setiap pengiriman barang keluar negeri.
3)
Membatasi eksportir yang berhak melaksanakan eksport yaitu ekportir yang telah terdaftar dan diakui sebagai eksportir terdaftar oleh Departemen Perdagangan. Keputusan diatas dicantumkan dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi tahun 1978,
dimana barang-barang yang diawasi eksportnya ada 18 macam termasuk minyak kelapa
sawit, Stearin
dan minyak kelapa. Juga SKB Tiga Menteri tahun 1978 mewajibkan para produsen minyak kelapa sawit (PTP dan Swasta) untuk menjual sejumlah tertentu dari produksinya kepada para pengolah (prosesor Industri Hilir) dengan jurnlah quota dan harga ditetapkan Pemerintah setiap tahunnya. Yang paling merugikan produsen kelapa sawit ialah sering adanya perbedaan harga penetapan Pemerintah dan harga eksport yang cukup besar, terutama tahun 1978, 1979, 1980, 1984 dan 1988. Dipihak lain waktu harga penetapan Pemerintah lebih tinggi dari harga eksport, seperti tahun 1987 dan 1986 produsen mengalami kesulitan penjualan hasil produksinya karma quota yang ditentukan untuk penjualan dalam negeri tidak semuanya dibeli oleh Industri Hilir. Akhirnya terjadi pemasaran bebas dengan harga yang lebih rendah dari harga penetapan Pemerintah.
Pembatasan eksportir dan perlunya izin eksport juga menyebabkan para eksportir sulit membuat kontrak jangka panjang dalam penjualan ekspor karena takut tidak dapat memenuhinya (Arifin Karndi, 1989). Sejak Januari 1988 dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Perdagangan diadakan penyederhanaan ketentuan di bidang eksport antara lain: (i) Export dapat dilakukan oleh pengusaha yang memiliki Surat Izin Perdagangan (SIUP). (ii) Barang-barang yang diawasi eksportnya hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri Perdagangan. Sejak Juni tahun 1991 SKB Tiga Menteri tahun 1978 telah dicabut dan ekport CPO dibebaskan dari ketentuan quota penjualan Pemerintah dalam penjualan Dalam Negeri. b.
Kebijaksanaan Perpajakan Sebelum adanya peraturan perpajakan PPh tahun 1984, berlaku peraturan Pajak Perseroan atau
PPS. Sebelum tahun 1980, PPS adalah 20% untuk laba sarnpai Rp.10 juta dan 45% untuk laba diatas Rp. 10 juta. Antara tahun 1980 ke tahun 1983 perhitungan tarip PPS adalah, laba sampai Rp. 100 juta dikenakan 20% dan laba diatas Rp.100 juta sampai Rp.300 juta PPS 35% dan di atas Rp.300 juta di kenakan PPS 45%. Dengan demikian sebelum PPh tahun 1984, peraturan PPS masih lebih memberatkan pemsahaan sehingga mengurangi daya saingnya. Selain PPS dan PPh beberapa pajak yang cukup penting yang dikenakan pada perusahaan kelapa sawit adalah : 1) Pajak eksport (PE) untuk CPO dan Inti Sawit. Sebelum 1976 besarnya PE adalah 10% dari nilai penjualan dan sesudah 1 April 1976 diturunkan menjadi 5%. 2)
Pungutan Cess terhadap CPO yang sebelum 1 April 1976 sebesar 2,66 US $ Cent per kg ekport atau rata-rata 0 , 7 5 2 dari harga jual ekport. Tujuan Cess adalah untuk dana rehabilitasi (peremajaan) dan pengembangan budidaya tersebut yang distribusinya dilakukan Pemerintah. Tetapi sejak 1 April 1976 pungutan Cess dihentikan oleh Pemerintah.
198 3)
Pajak ekport Tambahan (PET) diperlakukan sejak 18 Januari 1982, besarnya PET ditetapkan dengan rumus : PET = (harga patokan - harga pokok jual) X Gradian % dimana : Harga patokan = ditetapkan Merfteri Perdagangan Harga pokok jual = seluruh biaya produksi pemasaran sampai FOB dan laba layak, ditentukan Menteri Perdagangan. Gradian juga ditetapkan Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan. Perkembangan PE dan PET pada tahun 1969-1971 di atas 1096, tahun 1973-1978 bervariasi
6-9%, tahun 1979-1980 : 8-10% tetapi dalam kurun waktu 1981-1986 turun dibawah 10%. Sejak tahun 1987-1989, PE dan PET dihapus, sejalan dengan penurunan harga CPO dan Inti Sawit. Masalah dalam perkembangan PE dan PET adalah tidak selalu sejalan dengan perkembangan harga CPO. Juga dengan adanya PET, perbedaan harga ekport dan harga penjualan Dalam Negeri tidak seberapa lagi sehingga kurang merangsang eksport CPO. Disamping pajak-pajak di atas, maka beberapa jenis pajak yang membebani pengusaha kelapa sawit adalah Pajak Import seperti untuk loco, pupuk, besi, bahan-bahan kimia, herbicida, Pesticida, pompa semprot, goni dan alat-alat angkutan. Beberapa jenis pajak yang cukup besar adalah herbicida dan pesticida (40%), pompa-pompa dan alat pabrik (30%) pompa semprot dan traktor (20%) dan bahan kimia (15%). c.
Kebijaksanaan Pertanahan.
Bagi Perusahaan perkebunan adalah kewajiban memperoleh HGU yang memerlukan biaya dan waktu pengurusan. Selain pembayaran HGU maka pemilik HGU juga dikenakan pajak tanah dan bangunan yang dikenal dengan Ipeda dan PBB. HGU dibayar sekaligus disamping adanya pembayaran tahunan dan perusahaan umumnya melakukan penyusutan (amortisasi) untuk masa 30 tahun. Berdasarkan Nilai Aktiva HGU (nilai buku)dalam periode 1975 - 1989 ternyata Nilai HGU tidaklah begitu besar. Untuk tahun 1988 berkisar Rp.2.11OIHa sampai dengan Rp. 19.6801Ha dan tahun 1987-88 berkisar Rp. 1.1901Ha sampai dengan Rp. 13.000,- sedang untuk tahun 1989 yang tertinggi adalah Rp.22.0201Ha dari seluruh kelompok perusahaan.
199 Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri 1975, dasar pembayaran HGU 1975 untuk Propinsi Aceh adalah Rp. 10.000tHa dan Sumatera Utara Rp. 15.000 /Ha. Berdasarkan datadata pengurusan HGU PIRBUN dari beberapa PTP, dari tahun 1981-1988, ada 3 hal yang memerlukan pengurusan dan pembiayaan memperoleh hak tanah, yaitu : (i) Pemetaan Tata Guna Tanah berkisar Rp.22.800 (ii) Pengurusan Hak Tanah Rp.4.625 (iii) Pendaftaran Tanah Rp.13.330
- Rp.45.0001Ha.
- Rp.8.0251Ha.
- Rp.32.5001Ha.
Dengan demikian ada kenaikan nilai pengurusan dan biaya HGU Perkebunan meskipun relatip kecil sampai tahun 1989. Mengenai besarnya PBB terlihat adanya perbedaan antara lokasi (Kabupaten) dan ada kenaikan yang cukup besar setiap tahumya dalam kurun waktu 1984 - 1989. Tahun 1985, PBB Rp.21.000 25.600
- Rp.22.000/Ha,
- Rp.67.000IHa
tahun 1986 antara Rp.34.750
- Rp.
berkisar
55.800,- dan tahun 1988 antara Rp.
untuk Kelompok PTP. Jadi meskipun tarip PBB masih jauh lebih rendah dari
sewa tanah tetapi pengaruhnya terhadap ongkos produksi sudah cukup nyata. d.
Kebijaksanaan Harga Input Produksi. Seperti diuraikan dalam analisis keuntungan jangka pendek (Bab V) input-input produksi seperti
upah tenaga kerja, harga pupuk, angkutan panen, berpengaruh cukup nyata terhadap tingkat keuntungan. Kebijaksanaan Pemerintah yang menyangkut Input Produksi adalah penetapan harga dan upah minimum, subsidi, pengadaanlproduksi, pemasaran dan pemutusan hubungan kerja serta pensiun. Beberapa kebijaksanaan yang mempengaruhi biaya produksi adalah : (1) Upah dan Tunjangan Sosial Tenaga Kerja.
Peraturan-peraturan dalam hal ini adalah menetapkan upah minimum, peraturan tunjangan sosial, asuransi tenaga kerja dan peraturan pensiun. Peraturan-peraturan ini meliputi, tenaga kerja buruh tetap (SKU), pegawai bulanan dan pegawai staf. Dampak dari peraturan ini adalah meningkatkan tingkat upah dan biaya produksi, sehingga umumnya menjadi lebih tinggi dari harga bayangan (harga sosial).
(2) Harga Pupuk.
Seperti terlihat bagian (share) pupuk cukup besar dalam biaya produksi variabel maupun biaya produksi total (7 - 15%). Dalam perkembangan harganya, ternyata laju pertumbuhan harga pupuk lebih rendah dari laju pertumbuhan ongkos produksi. Hal ini adalah disebabkan subsidi yang masih tetap diberikan Pemerintah dalarn kurun waktu 1979 - 1989. Dalam Lampiran tabel 111.4 dapat terlihat bahwa subsidi pupuk adalah cukup bear, misalnya Urea berkisar 30,61%
- 48,862, TSP berkisar 51,61% - 67,7% tetapi ada kecenderungan besarnya subsidi
dikurangi sejak tahun 1986. Dan pupuk yang telah diproduksi dalam Negeri (Urea, TSP, Dolornit) diketahui produksinya berkembang cukup cepat dan ada kecenderungan ongkos produksinya secara relatip menurun. Mengenai pupuk yang diimport (Kieserite, MOP dan Borax) sejak tahun 1980 tidak ada dialami kesulitan pengadaannya tetapi masih diberikan subsidi cukup besar. Masalah peningkatan harga pupuk yang cukup besar pernah dialami dalam periode 1973 - 1975. Akibat dari peningkatan harga pupuk ini, perusahaan-perusahaan kelapa sawit menurunkan pemakaian pupuknya @ell, W., 1978). (3) Harga herbicida.
Peranan biaya herbicida dalam total biaya produksi berkisar 0,5% - 3%, dimana herbicida terdiri dari yang jenis mahal dan yang jenis relatip murah. Sejak tahun 1987 herbicida mahal cenderung menurun harganya tetapi herbicida murah tetap mengalami kenaikan harga. Herbicida sebagian diproduksi (dirakit) dalam Negeri tetapi sebagian diimport. Dalarn rangka proteksi industri yang baru tumbuh onfant industry) dalam tahun 1975 import herbicida dilarang, sehingga harga herbicida Dalam Negeri jauh lebih tinggi dari harga internasional. Adanya trend penurunan harga herbicida mahal sejak 1987, mungkin disebabkan semakin banyaknya produsen sehingga persaingan semakin b e a r diantara produsen. (4) Harga BBM.
BBM yang banyak digunakan Perusahaan Kelapa Sawit adalah minyak solarldiesel untuk pengangkutan dan pengolahan TBS di PKS. Harga bayangan tahun 1985-1989 berkisar lebih tinggi
20 1 35%-25%. Meskipun trend subsidi menurun tetapi besarnya peranan BBM dalam biaya produksi tidak melebihi 3% sehingga dampak subsidi BBM sebenarnya tidak melebihi penurunan biaya produksi sekitar 1%. e.
Kebijaksanaan Penelitian dan Pengembangan. Salah satu pendorong utama dalam pengembangan perkelapa sawitan di Indonesia adalah akibat
laju pertumbuhan produktivitas TBSIHa dan CPO
+ Intima yang cukup tinggi. Seperti terlihat
dalam
Lampiran Tabel VI. 1 dalam kurun waktu 1969 - 1989 rata-rata produktivitas TBS PTP dan Swasta Asing berkembang 2,096 dan 2,94% per tahun. Selain itu rendemen mks (CPO) dan Inti Sawit PTP dan Swasta Asing dalarn kurun waktu yang sama berkembang rata-rata 0,8696 dan 1,26%/tahun (Lampiran Tabel V1.2). Sehingga produktivitas mks
+ is PTP berkembang dari rata-rata 3043,7 k g h a tahun 1969 menjadi
rata-rata 5359,l k g h a tahun 1989 dan Swasta Asing berkembang dari rata-rata 2298,6 kglha tahun 1969 menjadi 5216,I k g h a tahun 1989. (Lampiran Tabel VI.2). Produktivitas mks
+ is yang tinggi per ha
diakui beberapa penulis antara lain H. Bonar (1986), S. Mielke (1982) merupakan tulang punggung dari kelapa sawit menghadapi saingannya minyak nabati lain. Kemajuan yang pesat dalam peningkatan produktivitas mks
+
is memungkinkan penurunan ongkos produksi kelapa sawit sehingga dapat
memperbesar pangsa eksport dan pangsa dalam konsumsi minyak nabati dan lemak dunia. Berhasilnya peningkatan produktivitas kelapa sawit, sebagian besar adalah sebagai hasil penelitian dan pengembangan di Indonesia. Hasil-hail penelitian dan pengembangan yang telah diperoleh antara lain penciptaan bibit unggul (varitas DXP), pengembangan sistim pemupukan, persarian buatan (artificial pollination), perbanyakan bibit yang seragam (klon-klon) melalui sistim kultur jaringan dan pengembangan pengolahan TBS. Dalam penelitian dan pengembangan ini berperan 4 Balailhsat Penelitian kelapa sawit di Indonesia yang semuanya berlokasi di Sumatera Utara, yaitu h s a t Penelitian Perkebunan Medan (ex RISPA), Pusat Penelitian Marihat (P3M), Research Station PT Socfindo (bekerjasama dengan IRHO) dan Research Station PT.Lonsum. Salah satu kebijaksanaan Pemerintah dalam penelitian dan pengembangan ini adalah pendirian P3M yang khusus menangani budi daya kelapa sawit serta pengadaan dana penelitian dan pengembangan staf penelitian pada kedua Pusat Penelitian milik Pemerintah.
202 Salah satu bukti yang paling jelas dalarn peranan Pusat Penelitian di atas adalah dalam pengembangan dan penyebar luasan bibit unggul. Pada tahun 1987, P3M telah mampu menghasilkan bibit untuk 150 - 160.000 Haltahun, BPPM 12 - 15.000 Haltahun dan Socfindo 15 - 16.000 Haltahun. Sampai tahun 1984 bibit untuk perluasan areal, konversi dan peremajaan kelapa sawit, 85% - 90% adalah produksi dari P3Mla. Namun akhir-akhir ini dilaporkan Indonesia mengimport bibit kelapa sawit dalam jumlah besar karena kurangnya kapasitas produksi bibit dibanding permintaan". 9.
Kesim~ulan Beberapa kesimpulan dari dampak kebijaksanaan Pemerintah sebelum tahun 1985 adalah :
1) Beberapa kebijaksanaan cukup memberatkan sehingga mengurangi daya saing secara financial dari perusahaan-perusahaan kelapa sawit. Meskipun tingkat keuntungan sebelum tahun 1985 pada umumnya masih rnemberikan daya saing minimum layak atau memadai, tetapi tarip pajak penghasilan (PPS, PPh) serta pajak-pajak lainnya sangat besar pengaruhnya menurunkan daya saing. Akibat ha1 ini adalah terhambatnya perluasan' usaha, dan pengembangan t:ksport, sehingga momentum harga eksport yang cukup baik sebelum 1985 tidak banyak dinikrnati Indonesia. Misalnya PTP mulai mengembangkan perluasan dalam skala cukup besar mulai 1979 dan Swasta Nasional baru mulai 1982. Sedang pada pihak Swasta Asing meskipun mernperoleh daya saing yang cukup tinggi, perluasan usaha relatip kecil karena pembatasan konsesi HGU. 2)
Beberapa kebijaksanaan yang meningkatkan daya saing Perusahaan kelapa sawit diberikan Pemerintah dalam bentuk subsidi, terutama biaya pengurusan hak tanah (HGU) dan pajak tanah (PBB), harga pupuk, harga BBM dan kredit untuk perluasan usaha, peremajaan dan pembangunan PKS. Narnun kredit subsidi terbesar diberikan untuk PTP dan PIRBUN. (sejak 1980).
3)
Kebijaksanaan Pemerintah yang sangat penting meningkatkan daya saing finansial perusahaan sekaligus dengan keuntungan komparatif usaha produksi kelapa sawit adalah dalam ha1 peningkatan
12) S. Syukur dan Adtin M . Lubis. Bahan Tanaman DXP dalam Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Marihat, 1939. hal. 135.
13)
Ferry Firdaus. Bila kebun sawit kekurangan bibit dalam Warta Ekonomi No.3/IV115 Juni 1992, hal. 23-24.
kemampuan penelitian dan produksi bibit unggul melalui Pusat Penelitian milik Pemerintah yang menangani budidaya kelapa sawit. Akibat hal ini terdapat laju pertumbuhan produktivitas TBS dan CPO + Inti yang cukup besar yang merupakan tulang punggung peningkatan keunggulan komparatif usaha produksi kelapa sawit. Tetapi pada akhir-akhir ini permintaan bibit kelapa sawit begitu cepat berkembang sehingga tidak dapat dipenuhi dari produksi kebun bibit (Pusat-pusat Penelitian Dalarn Negeri). Pengimporan bibit dari Luar Negeri mengandung beberapa tisiko, oleh sebab itu perlu dipelajari secara mendalam segi negatip dan risiko yang akan dihadapi dalam pengimporan bibit ini.