220
BAB VII DAMPAK HEGEMONI DAN KONTRA HEGEMONI PENGUASAAN CENDANA
Hegemoni dan kontra hegemoni sebagai sebuah ekspresi legalitas kekuasaan pihak penguasa atau pemerintah dan reaksi ketidaksetujuan masyarakat memunculkan berbagai dampak terhadap cendana, masyarakat, dan pemerintah. Apapun bentukbentuk dan faktor-faktor yang menyebabkan hegemoni dan kontra hegemoni dipastikan memunculkan berbagai dampak. Dampak-dampak akibat hegemoni dan kontra hegemoni tidak dapat dihindarkan dalam aktivitas penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di satu sisi hegemoni pemerintah dan kontra hegemoni masyarakat memunculkan dampak yang cenderung bersifat negatif, khususnya terhadap cendana selaku media hegemoni maupun kontra hegemoni, terhadap pemerintah selaku penghegemoni, maupun masyarakat selaku pihak yang dihegemoni dan melakukan kontra hegemoni. Namun di sisi lain juga memunculkan berbagai dampak yang relatif membawa manfaat positif bagi perkembangan cendana, pemerintah, maupun masyarakat.
7.1 Dampak Hegemoni Pemerintah Hegemoni pemerintah yang menguasai cendana secara sepihak tanpa memberi peluang memadai kepada masyarakat memunculkan perlawanan masyarakat yang dilakukan secara manifes maupun simbolik. Bentuk perlawanan (kontra hegemoni)
221 yang dilakukan cenderung berupa reaksi yang menyasar langsung kepada tanaman cendana sebagai objek sasaran. Masyarakat tidak mampu melakukan perlawanan secara terbuka karena adanya legitimasi kekuasaan yang dimiliki pemerintah. Melalui keabsahan (legitimacy) dan kekuasaan (power), pemerintah dapat melakukan tindak kekerasan (coercion) terhadap masyarakat yang melakukan penentangan secara manifes. Di samping itu, sisa-sisa feodalisme masa lampau telah membentuk karakter masyarakat yang taat pada pemimpin. Ketaatan pada pemimpin menghambat perlawanan masyarakat terhadap pemerintah secara terbuka. Jadi, hegemoni pemerintah menbawa berbagai dampak baik negatif maupun positif terhadap tanaman cendana, masyarakat, dan pemerintah. Identifikasi dampak hegemoni pemerintah diuraikan dalam sub bab berikut.
7.1.l Terhadap Cendana Dampak hegemoni pemerintah dalam penguasaan cendana tampak jelas adanya keterlibatan pemerintah dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan keberadaan cendana. Kelangkaan populasi cendana mendorong pemerintah melakukan proteksi hegemonis melalui beberapa bentuk peraturan pemerintah. Sejak tahun 2005, setelah peraturan pemerintah memberi peluang hak penguasaan kepada masyarakat tampaknya memberi angin segar yang berdampak positif terhadap keberadaan cendana. Hal ini tampak jelas dari adanya kerjasama pemerintah dengan berbagai komponen masyarakat terkait upaya pelestraian cendana. Pengawasan
222 terhadap cendana semakin efektif, cendana semakin diperhatikan, dan strategi pelestarian dan pengembangan cendana semakin jelas.
7.1.l.1 Pengawasan Cendana Semakin Efektif Hegemoni pemerintah dalam penguasaan cendana memungkinkan aparatus pemerintah melakukan observasi dan pengawasan secara menyeluruh melalui peraturan pemerintah yang telah terlegitimasi secara hukum. Legalitas hukum mempertahankan otoritas pemerintah melakukan kontrol terhadap keberadaan cendana maupun aktivitas masyarakat. Termasuk kekuasaan mengontrol, menangkap, dan menghukum anggota masyarakat yang mengambil cendana tanpa izin pemerintah. Di sini, terjadi proses pembentukan disiplin manusia sebagai individuindividu dan anggota masyarakat yang taat dan patuh pada aturan yang dikonstruksi oleh badan-badan pengawasan pemerintah. Pengawasan didukung aparatus hukum yang bergerak melakukan pemaksaan aktif berupa sangsi denda maupun hukuman kurungan atau penjara. Hukuman kurungan (penjara) dan denda sejumlah uang dijatuhkan bagi pelanggar adalah bentuk kekuasaan hegemoni represif yang diterapkan dalam penguasaan cendana. Dampak hegemoni pemerintah dalam penguasaan cendana tampak jelas adanya
pengawasan
pemerintah
terhadap
keberadaan
cendana.
Khususnya
pengawasan terhadap cendana yang tumbuh di tanah-tanah milik negara dan sebagian kecil di kawasan tanah ulayat adat. Pengawasan pemerintah terhadap cendana dijalankan dalam aktivitas berikut.
223 1) Pemerintah melakukan registrasi cendana. Melalui registrasi, setiap tanaman cendana yang ada di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan dicatat dan diketahui jumlahnya secara pasti. Keberhasilan regestrasi memudahkan pemerintah melakukan pengawasan dan menelusuri keberadaannya apabila cendana itu hilang. 2) Pemerintah melakukan pengawasan secara berkala. Cendana yang sudah diregistrasi kemudian diawasi secara berkala. Pengawasan bermanfaat untuk mengetahui perkembangan kondisi cendana, mengetahui cendana sudah layak ditebang, terkena penyakit, atau hilang Apabila cendana sudah layak ditebang segera disiapkan waktu penebangan yang tepat, jika mengalami tanda-tanda penyakit segera dicatat dan dilaporkan untuk melakukan tindakan pencegahan., apabila hilang segera ditelusuri untuk mengetahui pencuri dan membawanya ke jalur hukum yang berlaku.
7.1.l.2 Cendana Mulai Diperhatikan Setelah sekian lama cendana menjadi ajang pertarungan kekuasaan, pemerintah dan beberapa kalangan masyarakat mulai menaruh perhatian terhadap cendana. Banyak kalangan berupaya melestarikan cendana dan mengembalikan kejayaan cendana seperti masa lampau. Mereka umumnya sangat mengkhawatirkan cendana akan punah dari habitatnya kemudian melakukan berbagai kegiatan terkait upaya pelestarian dan pengembangan cendana. Perhatian terhadap cendana dilakukan berbagai pihak dengan dengan berbagai aktivitas berikut.
224 1) Simposium dan seminar Simposium dan seminar merupakan ajang mencari masukan dan solusi mengatasi permasalahan penguasaan cendana. Beberapa diskusi dan seminar telah diselenggarakan dan berhasil mempresentasikan beberapa permasalah cendana. Seminar penting dalam rangka mendukung perekonomian pemerintah otonomi daerah, telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Litbang Departemen Kehutanan Nusa Tenggara, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Seminar ini bertujuan menghimpun berbagai informasi tentang cendana untuk mencari peluang-peluang baru pengembangan cendana yang dapat dimanfaatkan sebagai komoditas utama perekonomian daerah otonomi di Nusa Tenggara Timur. Seminar-tersebut melibatkan berbagai komponen masyarakat membahas peran cendana sebagai komoditi utama perekonomian menuju peningkatan ekonomi masyarakat dalam bingkai otonomi daerah. 2) Keterlibatan lembaga swasta dalam pengembangan cendana. Keterlibatan lembaga swasta direalisasikan dalam pembentukan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan yayasan yang melakukan pengembangan dan budidaya cendana. Misalnya, lembaga swadaya masyarakat yang berada di bawah perusahaan milik Bob Hasan melakukan pengembangan cendana namun mengalami kendala terkait pembebasan tanah adat. Yayasan Masyarakat Sejahtera (YMS) ikut terlibat dalam budidaya cendana ialah mendampingi dan membina masyarakat mengembangkan cendana. Yayasan ini juga memprogramkan pengembangan cendana melalui pengadan benih cendana dan melakukan usaha
225 pembenihan. Di samping itu beberapa perusahaan yang berderak di bidang penyulingan minyak cendana berupaya membudidayakan beberapa tanaman cendana di areal lokasi perusahaan. Misalnya, perusahaan penyulingan minyak cendana di Desa Supul, telah menanam beberapa tanaman cendana di areal tanah milik perusahaan bersangkutan. 3) Terbitnya buku tentang cendana Selain tindakan nyata yang dilakukan pemerintah maupunlembaga swasta, beberapa kalangan memperhatikan cendana dengan menerbitkan buku terkait keberadaan cendana. Buku-buku tersebut umumnya mengupas permasalahan cendana mulai dari perjalanan sejarah, penguasaan, komoditas, namun yang paling sering dibahas adalah solusi dan rekomendasi mengatasi permasalah cendana. Di antaranya, berjudul Cendana (Santalum Album L.) Sumber Daya Daerah Otonomi Nusa Tenggara Timur Jurnal Ilmiah Berita Biologi Volume 5 Nomor 5 Agustus 2001; Cendana, Deregulasi, dan Strategi Pengembangannya ; Agroforestry Berbasisi Cendana Sebuah Paradigma Konservasi Flora Berpotensi di Lahan Kering NTT.
7.1.l.3 Strategi Pelestarian dan Pengembangan Cendana Semakin Jelas Perhatian berbagai pihak terhadap pengembangan cendana tampak dengan dibentuknya beberapa strategi pengembangan dan pelestarian cendana. Pihak-pihak yang telibat dalam usaha pelestarian dan pengembangan meliputi pemerintah sebagai pemangku kepentingan utama dalam upaya pelestarian dan pengembangan cendana.
226 Lembaga swasta, seperti LSM dan yayasan berperan memberi dukungan bagi keberhasilan kegiatan pelestarian dan pengembangan budidaya cendana. Masyarakat, khususnya petani cendana merupakan pelaksana teknis kegiatan pelestarian dan pengembangan cendana. Beberapa dampak hegemoni dan kontra hegemoni terhadap cendana yang telah digagas meliputi beberapa strategi berikut. 1) Strategi Perlindungan dan Pelestarian Cendana Beberapa kalangan, khususnya para peneliti dan akademisi mengusulkan strategi pengembangan dan pelestarian cendana dengan menyempurnakan teknik budidaya dan pengembangan model-model budidaya intensif. Penyempurnaan teknik budidaya dilakukan melalui penetapan teknologi, sedangkan budidaya intensif dilakukan melalui strategi pengembangan dan pelestarian cendana secara in situ (pengembangan cendana di habitatnya atau pun di hutan dan tanah negara) maupun ex situ (pengembangan cendana di luar habitatnya atau di lahan-lahan milik masyarakat). 2) Strategi Pemanfaatan Cendana merupakan komoditas unggulan yang diperdagangkan lintas daerah bahkan lintas negara maka dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai ekonomi cendana sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Strategi pemanfaatan cendana berlangsung optimal apabila didukung upaya peningkatan produksi cendana berkelanjutan pembangunan hutan tanaman cendana.
227 3). Strategi Pemasaran Pelaksanaan tata niaga cendana masih dirasakan adanya praktek-praktek yang merugikan petani cendana. Misalnya, Bupati Timor Tengah Selatan menetapkan harga dasar penjualan kayu cendana yang menjadi acuan pemerintah untuk menentukan jumlah pemungutan iuran hasil cendana, tetapi harga jual di pasaran jauh lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah. Beberapa kalangan menginginkan strategi perdagangan cendana diserahkan pada mekanisme pasar dengan kembalikan hak-hak rakyat yang telah dirampas oleh pemerintah pada cendana masa lalu. Strategi peningkatan pemasaran cendana meliputi peningkatan kualitas produk cendana, pengembangan pasar cendana, dan peningkatan intensitas promosi produk cendana.
7.1.2 Terhadap Pemerintah Pemerintah selaku lembaga negara memiliki peran penting mengatur mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik pemerintahan negara. Kekuasaan negara dan pemerintah meliputi seluruh kehidupan sosial dan ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan manusia sebagi individu maupun masyarakat. Dalam kaitan ini pemerintah selaku aparatus negara memiliki hak legal dan kekuasaan hegemonis untuk mengatur masyarakat. Kekuasaan hegemonis dan hak legal mengatur kehidupan masyarakat diperkuat kekuatan hukum. Dengan demikian, negara dan pemerintah adalah pusat radiasi hegemoni (Patria dan Arif, 2003:7).
228 7.1.2.1 Pemerintah Memiliki Otoritas Menguasai Cendana Sejalan dengan tanggung jawab pemerintah terkait pengelolaan sumber daya alam yang mengedepankan keadilan dan keselarasan hubungan manusia dengan alam, maka pengelolaan alam sepatutnya memperhatikan aspek pelestarian. Komitmen pemerintah melestarikan alam merupakan suatu keharusan sebagai pemegang otoritas kekuasaan. Selaku penguasa wilayah, pemerintah telah menguasai cendana untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pedapatan daerah tersebut nantinya digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang secara tidak langsung memenuhi kebutuhan prasarana masyarakat secara maksimal dan bermuara pada upaya kesejahteraan masyarakat. Namun dalam beberapa hal, peraturan pemerintah tidak dapat diterima atau ditentang masyarakat karena dianggap gagal mengakomodir kepentingan masyarakat dan tidak memberi kontribusi kesejahteraan ekonomi masyarakat itu sendiri. Meskipun demikian, hegemoni pemerintah melalui peraturan yang ditetapkan, memungkinkan pemerintah memiliki hak otoritas menguasai cendana terutama cendana yang tumbuh di lahan milik negara. Strategi pengembangan dan pelestarian cendana yang ditempuh pemerintah ditempuh sebagai berikut. 1) Program penanaman cendana di kantor pemerintah. Penanaman cendana di halaman kantor pemerintah merupakan salah satu upaya melestarikan cendana di Pulau Timor. Program ini telah dimulai sekitar tahun 1990-an yang mengharapkan semua kantor di tingkat provinsi maupun kabupaten menanam minibal satu pohon cendana di halaman kantor. Program ini relatif berhasil,
229 hampir sebagian besar kantor pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang terdapat pohon cendana. Program penanaman cendana juga berlanjut sampai ke tingkat kabupaten, misalnya halaman kantor Bupati Timor Tengah Selatan dan kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan. 2) Program penamanan cendana melibatkan masyarakat. Program pengembagan dan pelestarian cendana di beberapa desa dengan melibatkan masyarakat sudah mulai dirintis. Program ini adalah salah satu progran Pemda NTT untuk mengembalikan NTT sebagai provinsi cendana. Pemda NTT menargetkan hutan cendana seluas 3.500 hektar dalam periode tahun 2009-2014, dengan melakukan pengembangan dan penanaman cendana sebanyak 4,75 pohon selama lima tahun. Terkait program tersebut, Dinas Kehutanan Kabupaten TTS mencanangkan penanaman pohon cendana di beberapa desa antara lain di Desa Ponain, Nule, Polen, Bu’at, Ajaobaki. Di desa-desa tersebut pemerintah membangun areal hutan cendana sekaligus melakukan pembibitan dan penanaman. Upaya penanaman tersebut menjadi momentum kerjasama pemerintah dengan masyarakat dalam rangka mendorong pengembalian kejayaan cendana di Provinsi Nusa Tenggara Timur, khususnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
7.1.2.2 Pemerintah Menggalakkan Pelestarian Cendana Sejalan dengan tanggung jawab pemerintah tentang pengelolaan sumber daya alam yang mengedepankan keadilan dan keselarasan hubungan manusia dengan alam, maka pengelolaan alam sepatutnya memperhatikan aspek pelestarian. Dalam kaitan
230 ini, komitmen pemerintah untuk melestarikan alam merupakan suatu keharusan sebagai pemegang otoritas kekuasaan. Perlawanan masyarakat dan kekhawatiran berbagai
kalangan
tampaknya
telah
menggugah
nurani
pemerintah
untuk
melestarikan cendana. Beberapa strategi pengembangan dan pelestarian cendana yang sudah ditempuh sebagai berikut. 1) Program Penanaman Cendana di Kantor Pemerintah Penanaman cendana di halaman kantor pemerintah merupakan salah satu upaya melestarikan cendana di Pulau Timor. Program ini telah dimulai sekitar tahun 1990-an yang mengharapkan semua kantor di tingkat provinsi maupun kabupaten menanam minibal satu pohon cendana di halaman kantor. Program ini relatif berhasil, hampir sebagian besar kantor pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang terdapat pohon cendana. Program penanaman cendana juga berlanjut sampai ke tingkat kabupaten, misalnya halaman kantor Bupati Timor Tengah Selatan dan kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan. 2) Program Penamanan Cendana Melibatkan Masyarakat. Program pengembagan dan pelestarian cendana di beberapa desa dengan melibatkan masyarakat sudah mulai dirintis. Program ini adalah salah satu progran Pemda NTT untuk mengembalikan NTT sebagai provinsi cendana. Pemda NTT menargetkan hutan cendana seluas 3.500 hektar dalam periode tahun 2009-20014, dengan melakukan pengembangan dan penanaman cendana sebanyak 4,75 pohon selama lima tahun. Terkait program tersebut, Dinas Kehutanan Kabupaten TTS mencanangkan penanaman pohon cendana di
231 beberapa desa antara lain di Desa Ponain, Nule, Polen, Bu’at, Ajaobaki. Di desadesa tersebut pemerintah membangun areal hutan cendana sekaligus melakukan pembibitan dan penanaman. Upaya penanaman tersebut menjadi momen kerjasama pemerintah dengan masyarakat dalam mendorong pengembalian kejayaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
7.1.2.3 Pemerintah Mulai Memperhatikan Aspirasi Masyarakat Hegemoni pemerintah dan kontara hegemoni masyarakat dalam penguasaan cendana mengharuskan pemerintah memperhatikan aspirasi masyarakat. Terlebihlebih setelah pemerintahan otomi daerah
berlaku penuh di tingkat kabupaten,
masing-masing pemerintah kabupaten diberi hak mengelola semua potensi daerah sesuai aspirasi masyarakat. Hak mandiri untuk mengelola wilayah mengharuskan pemerintah mengkaji ulang peraturan penguasaan cendana yang telah ditetapkan. Era reformasi dan otonomi daerah, cendana masih di bawah kontrol pemerintah kabupaten, namun telah mulai memberi peluang penguasaan kepada masyarakat, khususnya pada tanaman cendana yang tumbuh di lahan-lahan milik masyarakat. Pemerintah berkomitmen memajukan kesejahteraan masyarakat dan memperhatikan kepentingan masyarakat, meskipun belum sepenuhnya terwujud. Beberapa tindakan pemerintah yang mulai memperhatikan aspirasi masyarakat sebagai berikut. 1) Pemerintah Merevisi Peraturan Penguasaan Cendana Hegemoni pemerintah yang memunculkan perlawanan masyarakat membawa dampak positif terhadap peraturan pemerintah, khususnya peraturan pemerintah
232 dalam penguasaan cendana. Peraturan tentang penguasaan cendana yang tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat mulai dikaji ulang dan direvisi. Sejak penyerahan penguasaan cendana kepada pemerintah kabupaten, pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan telah melakukan revisi peraturan daerah terkait penguasaan cendana seperti tabel 7.1. Tabel 7.1 Revisi Peraturan Pemerintah dalam Penguasaan Cendana No 1
2
3
Peraturan Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan Nomor 25 tahun 2001 Keputusan Bupati Timor Tengah Selatan Nomor 8 Tahun 2002 Peraturan Bupati Timor Tengah Selatan Nomor 12 Tahun 2005
Cakupan Mengatur Penguasaan Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan
Materi Cendana yang tumbuh di atas tanah negara menjadi milik pemerintah Kabupaten TTS. Cendana yang tumbuh di tanah milik masyarakat menjadi hak milik pemilik tanah dengan pembagian 90 % untuk pemilik cendana dan 10 % pemerintah penetapan harga Harga jual kayu teras kelas A (kelas bagus dasar penjualan dan wangi) mimimal Rp 2.500 perkilogram kayu cendana Kayu gubal (kayu kelas rendah) minimal Rp 800 perkilogram Mekanisme dan sistem pemungutan hasil hutan cendana pada lahan milik masyarakat
Setiap orang atau badan usaha yang melakukan pemungutan cendana pada lahan miliknya harus memiliki izin dari Bupati melalu Dinas Kehutanan. Pemerolehan izin harus melalui Kepala Desa, Camat, Dinas Kehutanan, dan Bupati. Setiap orang dan atau badan usaha yang menyimpan, menimbun cendana wajib dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) dari Dinas Kehutanan.
2) Pemerintah Berhati-Hati Menetapkan Peraturan Belajar dari pengalaman masa lalu, peraturan penguasaan cendana dapat berhasil apabila didukung oleh tertib hukum yang tidak merugikan masyarakat. Dengan demikian pemerintah mulai berhati-hati menerapkan peraturan. Pemerintah mulai
233 memperhatikan kepentingan masyarakat. Kehati-hatian pemerintah menetapkan peraturan terkait penguasaan cendana tampak dalam upaya pemerintah mengembalikan kepemilikan cendana kepada masyarakat. Peraturan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan menetapkan langkah-langkah pembagian kepemilikan cendana yang dianggap ideal dengan pembagian 90 %-10 % sejak tahun 2005. Konsekuensi yang harus dipikul pemerintah adalah berkurangnya kontribusi cendana terhadap pendapatan daerah.
7.1.3 Terhadap Masyarakat Keterlibatan masyarakat dalam penguasaan cendana telah terjadi sejak zaman pemerintahan lokal sampai dengan masa kolonial. Pada masa ini kerajaan lokal cendana dikuasai oleh usif, namun usif juga memberi hak penguasaan kepada pemimpin-pemimpin klen yang memiliki kekuasaan atas wilayah adat. Pasa masa kolonial penguasaan cendana tetap berada di tangan usif, tetapi masih dalam pengawasan pemerintah kolonial. Penjualan produksi cendana dikuasa oleh pemerintah kolonial, dan para usif diwajibkan menjual cendana hanya kepada pemerintah kolonial. Dampak positif hegemoni dan kontra hegemoni penguasaan cendana terhadap masyarakat.
7.1.3.1 Memotivasi Minat Masyarakat Mengembangkan Cendana Hegemoni pemerintah dalam penguasaan cendana, mengharuskan pemerintah melakukan penanaman cendana di beberapa tempat. Upaya demikian diharapkan
234 dapat memotivasi masyarakat menanam cendana secara mandiri. Perhatian masyarakat terhadap cendana mulai tumbuh setelah pemerintah daerah menetapkan aturan yang memberi peluang hak penguasaan cendana kepada masyarakat. Ditetapkannya peraturan tersebut, tampaknya cendana memberi angin segar bagi pengembangan dan kelestarian tanaman cendana. Perlahan-lahan, sedikit-demi sedikit minat masyarakat mengembangkan cendana mulai tumbuh. Di beberapa desa telah ada usaha masyarakat mengembangkan cendana, misalnya di Amarasi Kupang ditanam 550 pohon cendan berusia 3-4 tahun hasil penanaman sejak tahun 2007. Cendana itu milik 110 keluarga yang tergabung dalam 11 kelompok petani cendana (Suara Pembaruan, Jumat 27 Februari 2009 : 28). Di desa Nule dan Desa Polen beberapa masyarakat mengembangkan usaha penanaman dan pembibitan cendana untuk dijual kepada masyarakat umum. Bahkan beberapa anggota masyarakat mulai mengurus izin awal penanaman cendana di Kantor Dinas Kehutanan. Beberapa anggota masyarakat di Desa Polen, Supul, Nule, dan Mnelalete mulai mencoba menanam cendana pada lahan-lahan miliknya terutama lahan-lahan kosong yang tidak jauh dari pantauan si pemilik. Dengan harapan beberapa puluh tahun ke depan hasil panen kayu cendana dapat digunakan sebagai penunjang perekonomian keluarga. Usaha-usaha pelestarian dan pemanfaatan telah dikembangkan pemerintah untuk mengembalikan kejayaan kayu cendana mendapat respon positif dari masyarakat.
Sinergi
antara
pemerintah
dengan
masyarakat
memungkinkan
pelaksanaan upaya konservasi cendana dan menepis kerisauan berbagai kalangan
235 menganggap cendana akan punah. Upaya pengembangan mengembalikan kejayaan cendana yang dijalankan pemerintah dapat terlaksana jika ada toleransi dan kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat. Pengembangan cendana yang melibatkan masyarakat bermanfaat untuk menepis anggapan bahwa wangi cendana kini hanya tinggal cerita, dan berupaya mengharumkan kembali cendana Nusa Tenggara Timur termasuk Kabupaten Timor Tengah Selatan (Kompas, Rabu, 16 Desember 2009 : 5).
7.1.3.2 Mendukung Peningkatan Peluang Ekonomi Masyarakat Sejak zaman kolonial hingga Bangsa Indonesia merdeka, penguasaan dan pengelolaan cendana berada di tangan pemerintah sedangkan masyarakat hanya sebagai pemelihara dan juru tebang dengan imbalan tidak memadai. Penguasaan cendana oleh pemerintah selama ini hanya dimanfaatkan untuk meningkakan perekonomian pemerintah daerah. Hampir setengah atau 40 % pendapatan daerah berasal dari produksi kayu cendana. Kontribusi ekonomi cendana yang relatif besar terhadap pemerintah daerah, ternyata belum mampu memberi manfaat ekonomi secara langsung kepada masyarakat. Tidak sedikit masyarakat merasa tidak memperoleh manfaat bahkan dirugikan dengan pola-pola penguasaan demikian. Belakangan ini, beberapa kalangan telah tahu bahwa cendana yang tumbuh di lahan milik menjadi hak pemilik lahan. Beberapa anggota masyarakat mulai menanaman dan membudidayakan cendana sebagai salah satu mata pencaharian sampingan untuk meningkat perekonomian keluarga. Misalnya, Bapak Jamelan dari
236 Desa Polen membuka usaha pembibitan cendana untuk di jual kepada masyarakat yang berminat. Biji cendana ia semai menjadi bibit dalam kantong plastik (polybag), kemudian bibit cendana yang telah tumbuh dengan tinggi sekitar 5-10 centimeter dijual dengan harga Rp. 2.500 perkantong. Usaha serupa juga di lakukan oleh Bapak Agustinus Banantuan di Desa Nule untuk menunjang ekonomi. Ia membudidayakan cendana untuk dijual kepada masyarakat yang membutuhkan maupun kepada Dinas Kehutanan. Menurut penuturan Bapak Agustinus Banantuan (Bapak Agus), Dinas kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan sering membeli anakan cendana untuk ditanam di hutan dan tanah milik negara. Sama seperti Bapak Jamelan, Bapak Agus menjual cendana dengan harga bervariasi tergantung besar kecilnya tanaman. Semakin besar dan berkualitas tanaman tersebut maka harga semakin tinggi. “Dinas sengaja beli bibit karena tidak mau tanggung resiko. Kita sengaja tanam cendana untuk kita jual. Tapi tanam bibit cendana sulit, harus ada tanaman lain untuk kasi makan. Pelihara susah kurang air dia kering....sedikit ada hujan bibit busuk,......mati” (wawancara dengan Agustinus Banantuan, tanggal 12 Agustus 2010). Nilai ekonomi cendana yang tinggi memberi keuntungan besar kepada masyarakat apabila dikelola dengan baik dan proses penguasaan atau regulasi berjalan secara adil dan memberi porsi seimbang dan batas-batas kepemilikan yang jelas antara masyarakat dan pemerintah. Sebab, cendana yang merupakan tanaman komoditas unggulan, adalah salah satu hasil produksi kayu mewah yang dapat dijual dengan takaran kilogram bukan gelondongan. Nilai ekonomi cendana yang tinggi dan
237 pengembalian hak epemilikan kepada masyarakat, tampaknya telah mendorong minat masyarakat mulai tergerak menanam cendana seperti dikemukakan Johanes Huan berikut. “Di kampung saya tanam beberapa pohon cendana di belakang rumah, agar dapat diawasi langsung, agar tidak hilang. Cendana saya tanam sekitar tahun 1980-an untuk diambil daun dan batangnya sebagai obat. Saat itu saya tidak berfikir nanti cendana itu diambil pemerintah atau bukan, yang saya pikir hanya dapat bahan obat. Sekarang telah layak panen dan pemerintah izinkan masyarakat punya cendana. Tapi saya tidak tebang dan tidak jual itu cendana. Cendana sengaja saya simpan untuk jual saat harga tinggi atau saat perlu uang. Sekarang saya punya empat puluh pohon cendana tahun 2005 untuk topang ekonomi keluarga nanti” (wawancara dengan Johanes Huan, pemilik cendana, tanggal 14 Agustus 2010). Pernyataan di atas menunjukkan minat masyarakat menanam cendana mulai tumbuh Meskipun hasil penanaman sekarang baru bisa dinikmati 20-40 tahun mendatang, itu dianggap investasi untuk diwariskan kepada anak cucu. Seperti dikemukakan Bapak Jonanes Huan salah seorang pegawai Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan yang memiliki kebun cendana sengaja tidak menjual cendana yang dimiliki. Sebab ia yakin nilai ekonomi cendana di masa-masa mendatang akan tetap tinggi dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat.
7.2 Dampak Kontra Hegemoni Masyarakat Sama halnya dengan hegemoni pemerintah, kontra hegemoni masyarakat terkait penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan memunculkan berbagai dampak terhadap cendana, masyarakat, maupun pemerintah. Kontra
238 hegemoni yang merupakan bentuk perlawanan masyarakat terhadap pemerintah cenderung berupa perilaku negatif yang membawa dampak signifikan terhadap terhadap populasi cendana, pemerintah, maupun masyarakat. Dampak perlawanan masyarakat ternyata menarik perhatian berbagai pihak terhadap cendana, masyarakat, maupun pemerintah. Kontra hegemoni masyarakat ternyata memicu upaya pengembangan cendana yang melibatkan masyarakat, serta adanya kemauan pemerintah merevisi peraturan yang tidak mendukung aspirasi masyarakat. berbagai dampak kontra hegemoni masyarakat diuraiak dalam sub bab berikut.
7.2.1 Terhadap Cendana Cendana sebagai produk unggulan Kabupaten Timor Tengah Selatan, menjadi ajang hegemoni pemerintah dan kontra hegemoi masyarakat. Hegemoni pemerintah dalam penguasaan cendana ditetapkan dalam berbagai bentuk peraturan pemerintah yang cenderung bersifat menghegemoni masyarakat. Masyarakat pun melakukan penentangan (kontra hegemoni) yang diekspresikan dengan berbagai bentuk perilaku simbolik maupun secara manifes. Perilaku manifes maupun simbolik yang dilakukan masyarakat membawa berbagai dampak terhadap cendana, masyarakat, maupun pemerintah. Cendana mengalami dampak terparah karena cendana sebagai objek hegemoni dan kontra hegemoni tidak mampu menentang kehendak manusia. Cendana tidak mampu bertahan di antara dua kepentingan, yakni kepentingan pemerintah dan kepentingan masyarakat. Beberapa dampak kontra hegemoni masyarakat terhadap keberadaan cendana dapat diidentifikasi sebagai berikut.
239 7.2.1.1 Populasi Cendana Semakin Merosot Penebangan cendana terus berlanjut dan memunculkan kekhawatiran akan lenyapnya cendana dari Pulau Timor. Kemudian pemerintah menetapkan peraturan yang bersifat menghegemoni dan menguasai semua aktivitas yang berhubungan dengan keberadaan cendana. Ternyata, hegemoni penguasaan cendana oleh pemerintah belum mampu menyelesaikan masalah kemerosotan populasi cendana. Hegemoni pemerintah justru memunculkan beberapa permasalahan baru yang merangsang masyarakat berperilaku negatif sebagai bentuk kontra hegemoni masyarakat terhadap hegemoni pemerintah yang menguasai semua cendana. Beberapa kontra hegemoni masyarakat yang menyebabkan kemerosotan populasi cendana dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Keengganan masyarakat mengembangkan cendana akibat kurangnya dukungan pemerintah. Pemerintah dianggap tidak memberi peluang kepada masyarakat untuk mengembangkan cendana, karena secara legalitas formal pemerintah dianggap tidak menciptakan iklim yang kondusif. Peraturan pemerintah dianggap telah mengkebiri hak masyarakat untuk mengembangkan cendana ke arah yang bersifat komersial. 2) Pemusnahan anakan cendana, bermula dari peraturan pemerintah yang menguasai cendana secara total tanpa memberi porsi memadai kepada masyarakat. Pemusnahan anakan cendana yang tumbuh liar di lahan-lahan milik merupakan jalan pintas yang ditempuh masyarakat guna menghindari kerugian material dan menghindari permasalahan hukum dikemudian hari. Kekuatan hukum
yang
240 menyertai peraturan pemerintah dapat menyeret pemilik lahan jika cendana tersebut mati atau pun hilang. 3) Sikap apatis terhadap cendana, muncul berkaitan dengan anggapan masyarakat bahwa kebijakan peraturan daerah tentang penguasaan kayu cendana tidak menguntungkan masyarakat. Bahkan dianggap sebagai bentuk monopoli yang semata-mata menguntungkan pemerintah. Sikap acuh masyarakat tampak dengan adanya sikap tidak merasa ikut memiliki ketika menemukan cendana beserta anakan-anakan cendana yang ada di lahan-lahan negara maupun yang tumbuh di lahan masyarakat. Secara moral mereka merasa tidak ikut memiliki dan tidak memiliki tanggung jawab untuk ikut serta menjaga dan memeliharanya. 4) Sikap pesimis, juga berawal dari peraturan pemerintah yang menguasai keseluruhan cendana dan tidak memberi keleluasaan masyarakat untuk memiliki tanaman cendana secara mandiri. Hal memunculkan perilaku apatis (tidak mempunyai harapan baik) terhadap cendana, karena tidak merasakan keuntungan ekonomi langsung dari keberadaan pohon cendana tersebut. Bahkan mereka menganggap tidak menanam cendana adalah salah satu cara menjauhkan diri dari permasalahan. Keengganan masyarakat mengembangkan cendana yang direalisasikan dengan pemusnahan anakan cendana, sikap apatis, maupun pesimis menghambat perkembangan populasi cendana. Dalam perjalanan waktu, populasi cendana semakin menyusut dan dikhawatirkan akan lenyap. Menurut catatan Penerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan, populasi pohon cendana tahun 1973 berjumlah
241 178.995 pohon. Tahun 1977 tercatat sekitar 92.939 pohon, dan tahun-tahun selanjutnya diperkirakan menurun drastis. Pada tahun 1996 Kabupaten Timor Tengah Selatan hanya mampu menghasilkan 1.744.161 kilogram kayu cendana. Tahun berikutnya terus-menerus mengalami kemerosotan dan hanya mampu menghasilkan sekitar 25.650 kilogram per tahun. Keadaan demikian memaksa penerintah melarang penebangan cendana, namun peraturan itu ternyata belum mampu meningkatkan populasi cendana secara optimal.
7.2.1.2 Munculnya Stigma Negatif Terhadap Cendana Hegemoni pemerintah terkait penguasaan cendana memunculkan stigma negatif terhadap sosok tanaman cendana. Stigma negatif muncul sejak berlakunya peratuan pemerintah yang menguasai semua tanaman cendana. Terutma pasca berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1986, maka sosok pohon cendana semakin semakin dibenci. Cendana dianggap kayu milik istana, kayu milik pemerintah, kayu setan, atau pun kayu yang mendatangkan permasalahan. Sesungguhnya persengketaan penguasaan cendana untuk mencapai tujuan tertentu telah ada sejak masa lampau, sejak dikenalnya cendana sebagai komoditas perdagangan dunia. Perjalanan sejarah menmbuktikan bahwa cendana telah menebar aroma kekuasaan dan konflik kepentingan sejak dulu hingga sekarang. Sejak masa lampau potensi alam Timor seperti kayu cendana, madu, dan lilin menjadi ajang pertarungan
kekuasaan
pihak-pihak
yang
ingin
memperoleh
keuntungan.
Persengketaan memperebutkan hak monopoli penguasaan cendana terus berlanjut
242 selama berabad-abad, dan bergerak mengikuti alur zaman. Penguasa atau raja-raja lokal, pedagang asing, dan penguasa kolonial sangat berkepentingan dalam perebutan kekuasaan tersebut. Masing-masing pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut disertai tendensi tertentu sehingga keberadaan cendana menjadi selalu ajang perebutan kekuasaan antara penguasa lokal, penguasa kapital, dan penguasa kolonial. Sengketa penguasaan cendana yang berkepanjangan memunculkan stigma negatif terhadap sosok pohon cendana itu sendiri. Cendana pun menjadi korban akibat ketidaknyambungan pemikiran antara pemerintah dengan masyarakat. Maka, cendana dianggap sebagai kayu istana, kayu milik pemerintah, kayu bermasalah, kayu berkah, sekaligus kayu setan. Masing-masing stigma negatif terkait sosok cendana dilatarbelakangi beberapa penyebab berikut. 1) Cendana sebagai kayu istana Cendana sebagai kayu istana bermula dari strata masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan masa lampau yang terkelompok menjadi kelompok-kelompok tertentu. Golongan tertinggi adalah golongan usif terdiri atas para raja dan keluarganya sebagai penguasa wilayah. Ia beserta keluarganya menempati rumah disebut sonaf (istana) dan menjalankan pemerintahan dari dalam sonaf dibantu beberapa orang kepercayaan. Usif (raja) dan sonaf (istana) memiliki posisi sosial tertinggi dan memiliki hak absolut mengatur wilayah kekuasaannya termasuk menguasai cendana di wilayah tersebut. Pola pemerintahan tradisional dan sistem kepercayaan masyarakat memposisikan usif dan sonaf selaku penguasa wilayah dan penguasa cendana. Hanya usif yang memiliki kuasa terhadap cendana, dan
243 setiap penebangan pohon cendana harus sepengetahuan usif. Dengan demikian cendana pada masa lampau identik dengan puteri sonaf atau puteri rumah yang tetap setia menjaga menopang dan menopang kebutuhan seisi rumah dan menjadikan cendana sebagai tiang penyangga perekonomian sonaf. 2) Cendana sebagai kayu milik pemerintah Stigma terkait anggapan cendana sebagai kayu milik pemerintah (hau plenat) berangkat dari pola-pola penguasaan cendana yang memposisikan pihak penguasa sebagai pemilik cendana. Pola-pola demikian telah berlangsung sejak zaman kerajaan lokal, zaman kolonial, zaman kemerdekaan, bahkan sampai sekarang. Pada masa lampau cendana dimonopoli oleh penguasa lokal (usif), pemerintah kolonial (Portugis, Belanda, Jepang). Pada masa kemerdekaan dan Orde Baru dikuasai oleh pemerintah, sehingga muncul sebutan kayu cendana sebagai hau plenat (kayu milik pemerintah). Era reformasi dan otonomi daerah pun masih menempatkan cendana di bawah kontrol pemerintah kabupaten. Setiap orang atau badan usaha yang akan melakukan pemungutan cendana pada lahan miliknya harus memiliki izin mulai dari tingkat desa camat, dinas kehutanan, dan terakhir bupati sebagai pihak yang mengeluarkan izin. Pola-pola regulasi dan birokrasi demikian tetap memposisikan cendana sebagai hau plenat (kayu milik pemerintah). 3) Cendana sebagai kayu bermasalah Cendana sebagai kayu bermasalah (hau malasi) bermula dari pemberian posisi sosial relatif tinggi. Permasalahan terkait penguasaan cendana telah ada sejak
244 zaman kolonial sampai sekarang. Portugis maupun Belanda digunakan sebagai ajang pengerukan keuntungan ekonomi sehingga memunculkan berbagai masalah. Bahkan, pemerintah Belanda menetapkan denda dan hukuman penjara bagi orang yang menyebabkan kayu cendana mati, terbakar, penebangan liar, dan mencuri kayu cendana. Pola-pola demikian tetap berlangsung setelah masa kemerdekaan sampai dengan masa reformasi. Bahwa pemerintah menguasai semua cendana berupa tanaman hidup atau pun telah mati di dalam daerah Timor. Bagi orang yang menebang, merusak, memiliki, memperdagangkan, dan menyangkut kayu cendana tanpa izin diancam hukuman kurungan atau denda 4) Cendana sebagai kayu setan Stigma yang menganggap cendana sebagai kayu setan (hau nitu), merupakan bentuk kontradisksi peran cendana sebagai kayu berkah dan memiliki kekuatan magis (hau meni). Sebagai kayu berkah yang memiliki kekuatan magis, cendana digunakan sebagai salah satu bahan persembahan kepada uis neno dan uis pah. Bahkan aroma wangi cendana diyakini dapat mengusir roh jahat. Di samping itu, di balik sosok cendana berkembang mitos bahwa cendana merupakan penjelmaan roh atau arwah Puteri Sonba’i yang sengaja dibunuh dan dikorbankan dalam upacara tertentu untuk menghindarkan rakyat dari derita kelaparan akibat kemarau panjang dan kegagalan panen. Cendana sebagai kayu berkah pun dipertentangkan menjadi hau nitu (kayu setan). Stigma hau nitu muncul sejalan dengan perubahan keyakinan masyarakat dan sosok cendana yang seringkali memunculkan kesengsaraan atau penderitaan hidup. Cendana yang semula
245 dipercaya mempunyai kekuatan magis dan mendatangkan kebahagianan, justru mendatangkan kesengsaraan hidup. Masyarakat yang memiliki cendana tanpa izin pemerintah dipastikan akan mengalami kesusahan yakni mendapat ganjaran hukuman atau denda. Berdasarkan kondisi demikian, cendana yang semula dianggap kayu berkah (hau meni) berubah menjadi kayu setan (hau nitu).
7.2.2 Terhadap Pemerintah Pemerintah selaku lembaga negara memiliki peran penting mengatur mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik pemerintahan negara. Kekuasaan negara dan pemerintah meliputi seluruh kehidupan sosial dan ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan manusia sebagi individu maupun masyarakat Dalam kaitan ini pemerintah selaku aparatus negara memiliki hak legal dan kekuasaan hegemonis untuk mengatur masyarakat. Kekuasaan hegemonis dan hak legal mengatur kehidupan masyarakat
diperkuat kekuatan hukum. Dengan demikian,
negara dan pemerintah adalah pusat radiasi hegemoni (Patria dan Arif, 2003:7). Negara dan pemerintah selaku pusat hegemoni memiliki wewenang mengatur kehidupan masyarakat melalui berbagai bentuk peraturan pemerintah yang harus ditaati masyarakat. Termasuk peraturan pemerintah terkait penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi, bahkan memaksa masyarakat mematuhi peraturan yang telah ditetapkan. Hal ini menjadi akar kontra hegemoni di kalangan masyarakat sebagai
246 pihak yang dikuasai dan memunculkan stigma negatif terhadap kinerja pemerintah, yang didentifikasi sebagai berikut.
7.2.2.1 Pemerintah Dianggap Tidak Adil dalam Penguasaan Cendana Hegemoni pemerintah atau penguasa terhadap cendana sesuangguhnya telah berlangsung sejak berabad-abad lampau, sejak berkembangnya masa keusifan (kerajaan) sampai dengan masa reformasi dan otonomi daerah sekarang ini. Praktek hegemoni menonjol era tahun 1980-an setelah penguasaan cendana berada di tangan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hegemoni kepemilikan cendana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 16 tahun 1986 yang menetapkan bahwa semua cendana yang berada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi hak milik pemerintah yang digunakan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Pemerintah menguasai semua tanaman cendana yang ada di dalam maupun di luar kawasan hutan negara termasuk penanaman, pemeliharaan, perlindungan, pemungutan hasil, ekploitasi, pengangkutan, penjualan, dan penelitian diatur oleh pemerintah. Sesuai peraturan itu, masyarakat tidak memperoleh hak penguasaan cendana meskipun cendana itu tumbuh di lahan milik masyarakat. Justru, cendana yang tumbuh di lahan milik masyarakat harus dijaga dan dipelihara oleh pemilik lahan agar tidak mati atau hilang. Apabila cendana itu hilang atau mati maka yang menanggung resiko adalah pemilik lahan. Pemilik lahan dianggap lalai memelihara aset negara atau pemerintah. Masyarakat yang lalai memelihara milik pemerintah hingga
247 menyebabkan cendana terpotong, hilang, atau mati dapat dijatuhi hukuman penjara atau denda sejumlah uang sesuai peraturan yang berlaku. Peraturan demikian sangat memberatkan masyarakat dan menganggap pemerintah tidak berperilaku adil terhadap masyarakat. Melalui peraturan yang diciptakan, pemerintah telah monopoli penguasaan cendana sedangkan masyarakat tidak mendapat hak untuk mengambil bagian dalam penguasaan cendana tersebut. Pemerintah dianggap mengambil keuntungan secara sepihak dan sebaliknya memberi beban dan penderitaan kepada masyarakat. Ketidakadilan pemerintah dirasakan pula ketika berlangsung operasi sahabat untuk mendata jumlah kayu cendana yang beredar di masyarakat. Operasi sahabat dilakukan karena pemerintah memprediksi bahwa produksi cendana yang ada di masyarakat cukup banyak dan tidak dilaporkan kepada pemerintah. Dalam operasi sahabat itu, pemerintah berhak menyita kayu temuan yang tidak dilaporkan oleh masyarakat. Ketidakadilan pemerintah dengan memonopoli cendana dan menggelar operasi sahabat, direspon secara negatif oleh masyarakat dengan melakukan melakukan penebangan liar, perdagangan gelap, dan pemunahan anakan cendana secara tersembunyi untuk menghindari jeratan hukum. Kondisi demikian berlangsung dalam rentang waktu relatif lama, dan membawa dampak negatif terhadap populasi cendana. Cendana pun semakin langka dan harga jual cendana melambung tinggi. Akibatnya, cendana semakin diburu dan menimbulkan daya atraktif untuk menebang cendana. Cendana muda yang belum berteras ditebang tergiur nilai ekonomi, apalagi cendana yang tidak dijaga secara intensif dipastikan akan hilang tanpa bekas.
248 Kondisi rawan cendana dan rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat secara perlahan-lahan dihapus dengan melakukan revisi peraturan pemerintah. Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan telah menetapkan pembagian jelas antara cendana yang ada di lahan milik negara dengan cendana di lahan milik masyarakat. Meskipun demikian, pemerintah tetap memegang kendali terkait mekanisme dan sistem pemungutan hasil hutan cendana pada lahan milik masyarakat. Unsur-unsur hegemoni pemerintah masih ada dalam peraturan Bupati Timor Tengah Selatan Nomor 12 Tahun 2005, tentang mekanisme dan sistem pemungutan hasil hutan cendana pada lahan milik masyarakat. Peraturan tersebut menetapkan bahwa setiap orang atau badan usaha yang akan melakukan pemungutan hasil hutan cendana pada lahan miliknya harus memiliki izin dari Dinas Kehutanan. Pemelohan izin harus melalui kepala desa tempat kayu cendana itu tumbuh untuk mendapat surat keterangan kepemilikan kayu cendana yang sah. Berdasarkan surat keterangan tersebut kemudian dapat mengajukan izin kepada Dinas kehutanan yang kemudian dilanjutkan kepada bupati. Selanjutnya, bupati menunjuk instansi terkait untuk melakukan pemeriksaan lokasi dan layak atau tidaknya cendana ditebang. Setiap orang dan atau badan usaha yang menyimpan, menimbun cendana wajib dilengkapi surat keterangan dari Dinas Kehutanan.
7.2.2.2 Pemerintah Dianggap Belum Berhasil Melestarikan Cendana. Pemberlakuan peraturan pemerintah yang menghegemoni pada dasarnya, bertujuan menghindarkan cendana dari ambang kepunahan. Tetapi aplikasi ide-ide
249 tersebut bertolak belakang dengan ide-ide awal, justru hak penguasaan cendana dimanfaatkan sebagai komoditas unggulan dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa memberi hak kepada masyarakat. Ini memunculkan berbagai bentuk respon masyarakat yang cenderung bersifat negatif. Respon negatif tersebut justru menyebabkan populasi cendana semakin punah sehingga dituntut untuk memperbaiki regulasi penguasaan cendana yang sejalan dengan prinsip-prinsip pelestarian cendana. Dalam konteks situasi sosial masyarakat lokal, peraturan pemerintah yang menghegemoni tidak sejalan dengan prinsip-prinsip budaya lokal. Masyarakat selaku pihak yang terhegemoni memandang ketetapan pemerintah hanya menguntungkan pihak pemerintah semata dan merugikan masyarakat. Walaupun demikian, pemerintah selaku pihak yang berkuasa cenderung menjadi dominan karena berkat kekuasaan yang mereka miliki itu, mereka berada dalam posisi yang menguntungkan untuk mendesak atau memaksa
pihak lain (masyarakat) untuk menerima dan
mentaati peraturan pemerintah terkait penguasaan cendana Meskipun telah menetapkan dan memberlakukan peraturan yang bersifat menghegemoni dengan menguasai dan mengontrol aktivitas cendana, pemerintah dianggap tidak mampu melestarikan populasi cendana sesuai tujuan awal untuk melestarikan populasi cendana. Populasi cendana terus-menerus mengalami kemesotan, antara tahun 1970-1997 menunjukkan bahwa kemerosotan populasi cendana berlangsung signifikan. Hal ini disebabkan pemerintah kurang konsisten menangani masalah cendana, khususnya setelah cendana menjadi urusan pemerintah provinsi seperti dikemukakan Cornelis Tapatab.
250 “Pada masa itu ketika saya masih jabat bupati....ya..... sekitar tahun 1980an masalah cendana jadi urusan gubernur. Saat itu penebangan cendana meningkat tajam, terjadi penebangan liar, pencurian didukung oknumoknum aparat keamanan. Gubernur lakukan operasi sahabat untuk cari tahu jumlah cendana yang ada di masyarakat. Dalam operasi sahabat itu, gubernur instruksikan penyitaan kayu cendana yang disimpan masyarakat dan belum diregistrasi pemerintah. Pemerintah juga libatkan pengusaha untuk beli kayu cendana sitaan. Naah....sejak itu pemerintah dengan pengusaha terlibat jual beli cendana, penebangan semakin meningkat, kayu yang belum punya isi (teras) juga mereka tebang. Situasi ini ancam kelestarian cendana” (wawancara dengan Cornelis Tapatab di So’e tanggal 11 Agustus 2010). Masa kejayaan cendana masa lampau telah berbalik, Kabupaten Timor Tengah Selatan yang dikenal sebagai penghasil cendana terbesar telah mulai menyusut. Pada tahun 1973 dicatat bahwa populasi kayu cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan berjumlah 178.995 pohon terdiri dari pohon tua 45.192 pohon, pohon muda 31.160, anakan 192.193 pohon. Pada tahun 1997 dicatat bahwa jumlah ponon tua tersisa 3.170 pohon, pohon muda 13.796 pohon, semai 38,935 pohon, dan sapihan 37.038 pohon. Seluruh populasi cendana itu tersebar di seluruh kecamatan dengan jumlah yang berbeda-beda tiap kecamatan. Angka populasi tertinggi berada di Kecamatan Amanuban Barat dengan jumlah 841 pohon tua (Oematan, 2006 : 21-22). Kemerosotan populasi cendana yang berkepanjangan tanpa ada usaha-usaha memadai guna memulihkannya menyebabkan kelangkaan cendana serta mahalnya harga pasaran kayu cendana. Eksploitasi cendana semata-mata mengandalkan tegakan pohon cendana alami tanpa diikuti upaya penanaman yang memadai. Pemerintah sendiri tidak memiliki anggaran memadai untuk melaksanakan pembudidayaan. Ini membuktikan bahwa pemerintah tidak mampu melestarikan ataupun meningkatkan
251 populasi cendana. Padahal pemerintah telah mengatur pelaksanaan kebijakan dan pengawasan pemerintah mengelola semua aspek terkait dengan eksistensi kayu cendana mulai dari penelitian, pembibitan, penanaman, pengawasan, perlindungan, sampai dengan penjulan hasil tebangan. Bahkan pemerintah telah menetapkan larangan penebangan cendana, dan upaya mutakhir pemerintah mengembalikan hak penguasaan cendana kepada masyarakat. Pelaksanaan kebijakan itu telah dituangkan dalam butir-butir peraturan, dan didukung kegalitas kekuasaan serta kekuatan hukum, tetapi populasi cendana tidak kunjung meningkat. justru mengalami penurunan terus-menerus. Data Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur mencatat bahwa tahun 1987 jumlah populasi cendana 544.952 pohon, tahun 1997 sebanyak 250.940 pohon. Data ini menunjukkan dalam kurun waktu 10 tahun telah terjadi penyusutan populasi cendana sebanyak 46.05 %. Berdasarkan catatan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah belum mampu melestarikan cendana.
7.2.3 Terhadap Masyarakat Hegemoni pemerintah yang kurang memberi rasa keadilan kepada masyarakat lokal telah mendorong masyarakat melakukan kontra hegemoni. Kontra hegemoni merupakan bentuk penenetangan masyarakat terhadap wewenang pemerintah yang dianggap memonopoli dan tidak memberi hak memadai kepada masyarakat. penentangan atau kontra hegemoni yang dilakukan berupa perlawnan secara nyata maupun tidak nyata. Secara nyata (manifes) masyarakat melakukan penentangan
252 dengan melakukan aksi penerabasan anakan cendana maupun pemotongan cendana tanpa izin. Sedangak secara tidak nyata cenderung bersifat acuh dan pesimis. Kontra hegemoni demikian memunculkan dampak dan opini negatif berikut.
7.2.3.1 Masyarakat Dianggap Tidak Taat Peraturan. Sesungguhnya karakteristik masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan mengidikasikan karakter yang taat pada aturan adat dan patuh terhadap pemimpin. Ketaatan pada adat dan kepatuhan pada pemimpin dipengaruhi konsep-konsep sisasisa feodalisme masa lampau yang menganggap golongan usif sebagai golongan masyarakat yang dihormati dan dijadikan panutan. Ketaatan pada adat tampak pula ketika seorang mafefa (juru bicara adat) menjelaskan masalah adat harus menggunakan bahasa daerah, mengenakan pakaian tradisional beserta segala atributnya, didahului makan sirih pinang dan minum sofi (tuak). Ketika proses pembicaraan adat itu berlangsung, harus didampingi kepala adat yang berasal dari keluarga mantan usif selaku pengawas agar mafefa tidak sampai membuka aib adat. Di samping itu, aturan adat menekankan bahwa masyarakat lokal merupakan pemegang hak ulayat tanah adat. Masyarakat yang memiliki tanah sebatas wilayah adatnya berhak memanfaatkan dan mengambil berbagai hasil alam di wilayah tersebut. Termasuk mendapatkan bagian hasil cendana yang tumbuh di wilayah ulayat adat tersebut. Mereka terlibat dalam ritual penebangan cendana dan berhak ikut memperoleh hasil tebangan. Setelah zaman kemerdekaan hak ulayat itu diambil alih pemerintah. Pengambilalihan tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat
253 lokal. Masyarakat tetap menganggap mereka punya hak terhadap tanah ulayat adat dan berhak memperoleh hasil dari tanah ulayat tersebut. Mereka tetap memanfaatkan sumberdaya hutan di wilayah adatnya karena masih menganggap “mengambil harta dari negeri sendiri” yang menjadi haknya (Universitas Nusa Cendana, 2001: 69). Sesuai pemahaman masyarakat, pengambilan cendana di tanah ulayat adat dianggap perilaku wajar dan menjadi hak masyarakat pemilik ulayat adat tersebut. Perilaku yang masih sering dilakukan sampai saat ini adalah mengambil kulit batang cendana untuk dimanfaatkan sebagai obat dan campuran sirih pinang. Pemerintah menganggap perilaku demikian sebagai pencurian atau tidak taat pada peraturan. Berdasarkan peraturan pemerintah, pengambilan cendana dalam bentuk apapun dianggap sebagai perilaku tidak taat pada aturan. Mereka dapat didenda atau dijatuhi hukuman penjara walaupun sekedar memotong ranting cendana. Perilaku masyarakat yang tidak taat terhadap peraturan muncul karena dua hal yakni; 1) Kebijakan pemerintah tidak memberi hak penguasaan cendana kepada masyarakat. Pemerintah menguasai semua tanaman cendana baik di hutan milik negara maupun di lahan masyarakat. Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, sebagian besar cendana tumbuh di lahan-lahan masyarakat yang menjadi tanah ulayat adat. Sebagai tanah adat masyarakat merasa berhak mengambil cendana di kawasan tanah adat, perilaku demikian dianggap tidak mentaati peraturan . 2) Peraturan pemerintah tidak sejalan dengan aturan adat. Peraturan adat memberi peran kepada masyarakat lokal khususnya para amaf selaku kepala klen untuk menguasai sumber daya alam di wilayah tertentu dan
254 memanfaatkannya untuk kesejahteraan seluruh anggota klennya. Sebaliknya, peraturan pemerintah menganggap semua cendana di seluruh wilayah di Pulau Timor adalah milik pemerintah. Ketidaksinkronan antara peraturan adat dengan peraturan pemerintah memunculkan perilaku masyarakat yang memusnahkan anakan cendana, menebang cendana tanpa izin pemerintah, tidak melaporkan tegakan cendana yang tumbuh di tanah ulayat adat, sehingga masyarakat lokal dianggap tidak taat pada peraturan.
7.2.3.2 Masyarakat Dianggap Tidak Peduli Terhadap Cendana Stigma yang menganggap masyarakat tidak peduli terhadap cendana dilatarbelakangi ketetapan pemerintah yang kurang mencerminkan rasa keadilan. Usaha-usaha masyarakat untuk ikut menguasai dan memanfaatkan potensi alam terhalang peraturan pemerintah yang menguasai semua cendana di semua wilayah, baik di lahan milik negara maupun di lahan miliknya sendiri. Usaha masyarakat untuk ikut menikmati keuntungan ekonomi dari potensi tanaman cendana yang tumbuh di lahannya sendiri terhalang aturan pemerintah. Bahkan usaha-usaha menanam cendana untuk kepentingan konsumsi masyarakat lokal tidak mendapat penghargaan setimpal. Cendana yang tumbuh secara alami di lahan-lahan mereka, telah dipelihara dengan susah payah selama bertahun-tahun, akhirnya menjadi milik pemerintah tanpa imbalan memadai. Kondisi ini merugikan masyarakat, karena keinginan beberapa masyarakat mengembangkan populasi cendana di lahan milik untuk kepentingan komoditas belum didukung secara penuh oleh pemerintah.
255 Meskipun saat ini telah ditetapkan peraturan pemerintah yang memberi keleluasaan penguasaan kepada masyarakat, masyarakat tetap tidak peduli dan tidak tergerak untuk ikut mengembangkan cendana. Ketidakpedulian masyarakat terhadap cendana merupakan dampak negatif peraturan penguasaan cendana yangcenderung menghegemoni. Kebijakan pemerintah dinilai tidak ada dampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Ketidakpedulian masyarakat terhadap cendana pada masa otonomi daerah tampak jelas pada era tahun 1980-1990 terutama pasca pemberlakuan Perda Nomor 16 tahun 1986. Pada dasarnya, perda terbebut mempunyai tujuan menghindarkan cendana dari ambang kepunahan. Tetapi aplikasi ide-ide tersebut tidak memihak masyarakat dan bertolak belakang dengan ide-ide awal. Dampak dari kebijakan ini menyebabkan masyarakat tidak bergairah menanam cendana. Bahkan merespon dengan perilaku negatif. Diam-diam masyarakat memusnakan cendana yang tumbuh di kebun-kebun miliknya agar tidak memunculkan masalah. Hal ini justru menyebabkan populasi cendana semakin terancam punah. Hegemoni penguasaan cendana oleh pemerintah telah menimbulkan tiga dampak negatif terhadap pengembangan cendana yakni; (1) menghilangkan rasa ikut memiliki cendana dikalangan masyarakat, (2) menyuburkan ketidakpedulian masyarakat terhadap cendana, (3) meningkatkan kecenderungan masyarakat melakukan pelanggaran norma hukum. Di samping itu, hegemoni pemerintah memunculkan unsur traumatis dan kerumitan mengurus izin kepemilikan seperti kutipan hasil wawancara berikut.
256 “Sekarang ada peraturan pemerintah yang mengembalikan kepemilikan cendana kepada masyarakat. Pemerintah daerah hanya mengambil 10 %. Itupun untuk surat izin kepemilikan cendana. Tetapi masyarakat enggan mengurus surat izin cendana yang tumbuh di ladangnya yang hanya masih satu atau dua batang saja, terlalu rumit. Jadinya kita jual kepada pengumpul. Pengumpul ini yang urus izin. Jadinya ya.. sama saja keuntungan sedikit dan birokrasi tetap rumit” (wawancara dengan Johanes Huan, pemilik cendana, tanggal 14 Agustus 2010). Hasil wawancara tersebut bahwa upaya pemerintah mengembalikan hak kepemilikan cendana kepada masyarakat belum memperoleh respon positif. Masyarakat tetap menganggap bahwa mengembangkan cendana tidak memperoleh keuntungan memadai. Kepudulian masyarakat mengembangkan cendana relatis masih rendah, sehingga masyarakat dianggap tidak peduli terhadap cendana.
7.3 Refleksi Hegemoni pemerintah dan kontra hegemoni masyarakat terkait penguasaan cendana di kabupaten Timor Tengah Selatan bermula dari perbedaan pemahaman antara masyarakat dengan pemerintah. Masing-masing memiliki sudut pandang berbeda terhadap posisi cendana. Pemerintah menilai kemerosotan populasi diduga akibat perilaku masyarakat yang menebang kayu cendana secara serampangan untuk dijual tanpa berupaya menanam kembali. Pemerintah memandang perlu menetapkan peraturan untuk melindungi populasi cendana dan memanfaatannya untuk pelestarian dan peningkatan pendapatan daerah. Sedangkan masyarakat menganggap pemerintah telah menguasai semua cendana tanpa memberi hak penguasaan kepada masyarakat dianggap telah
257 mengingkari aturan adat. Peraturan yang ditetapkan dianggap semata-mata menguntungkan pihak pemerintah dan mengabaikan hak penguasaan masyarakat. Bahkan pemerintah dianggap tidak adil dan merugikan kepentingan masyarakat, sehingga memunculkan kontra hegemoni yang diwujudkan dalam berbagai perilaku simbolik maupun manifes. Secara manifes (verbal) masyarakat merespon dengan perilaku represif berupa tindakan nyata yang menentang peraturan pemerintah, misalnya melakukan pencurian dan penebangan liar. Secara simbolik (non verbal) masyarakat merespon dengan beberapa perilaku tersembunyi misalnya sikap tidak peduli. Reaksi masyarakat terhadap peraturan pemerintah yang dianggap memonopoli kepemilikan cendana memunculkan istilah-istilah tertentu sesuai keadaan yang menyertainya. Masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan menyebut cendana dengan istilah hau meni (kayu arwah), hau plenat (kayu milik pemerintah), hau mamalasi (kayu yang mendatangkan masalah), dan hau nitu (kayu setan). Sejak pelaksanaan pemerintahan otomoni daerah kepada pemerintah kabupaten, pola-pola penguasaan cendana direvisi sesuai kondisi wilayah masingmasing kabupaten. Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan mulai merevisi mekanisme penguasaan cendana sejak tahun 2001. Peraturan tersebur telah memberi porsi pengusaan yang cukup besar kepada masyarakat. Semua cendana yang tumbuh di hutan dan di atas tanah negara di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi milik pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sedangkan cendana yang tumbuh di tanah milik masyarakat menjadi hak milik pemilik tanah
258 bersangkutan dengan pembagian 90 % untuk masyarakat pemilik cendana dan 10 % sebagai retribusi kepada pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Meskipun kepemilikan cendana di lahan-lahan milik telah diserahkan penguasaannya kepada masyarakat, hegemoni pemerintah masa lampau masih menyisakan unsur traumatis dan kerumitan mengurus izin kepemilikan seperti kutipan hasil wawancara berikut. “Sekarang ada peraturan pemerintah yang kembalikan cendana pada masyarakat. Pemerintah daerah hanya ambil 10 % untuk urus surat izin. Tetapi masyarakat enggan mengurus surat izin cendana yang tumbuh di ladangnya yang hanya masih satu atau dua batang saja, terlalu rumit. Jadi kita jual pada pengumpul. Pengumpul ini yang urus izin. Jadi, ya.. sama saja, untung sedikit, urus rumit...” (wawancara dengan Johanes Huan, pemilik cendana, tanggal 14 Agustus 2010). Traumatis masyarakat yang berdampak terhadap rendahnya minat masyarakat mengembangkan cendana, juga didukung kurangnya pengetahuan pembudidayaan berdasatkan teknologi tepat guna dan pandangan masyarakat bahwa cendana tidak boleh dibudidayakan karena menentang kodrat alam. Pandangan dimikian sedikitdemi sedikit memang sudah mulai bergeser, beberapa masyarakat sudah mulai menanam tetapi belum melakukan pembudidayaan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Mereka masih mengandalkan penanaman cendana secara alami berdasarkan tradisi turun-temurun. Meskipun demikian, sebagian masyarakat sudah ada yang berhasil menerapkan pengetahuan lokal dalam pengembangan cendana, misalnya Ibu Katerina Koniki di Kabupaten Sumba Barat bahkan telah mendapatkan penghargaan kalpataru dari pemerintah.
259 Selain diperlukan strategi komunikasi dan cara alih teknologi yang tepat, maka masih banyak kegiatan penelitian cendana yang harus dilakukan untuk memberikan sumbangan nyata bagi upaya pelestarian dan pengembangan cendana. Faktor lingkungan ekstrim menyebabkan pengembangan cendana memerlukan perlakuan dan perhatian khusus. Ancaman kebakaran, gangguan ternak dan ancaman keamanan tanaman menjadi faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan cendana sehingga perlu menerapkan prinsip-prinsip silvikultur intensif. Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) silvikultur intensif cendana sebagian sudah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian dan menunjukan hasil yang signifikan. Hal yang perlu terus dikembangkan adalah bagaimana IPTEK dapat dirakit menjadi tepat guna sehingga secara sosial mudah diterapkan masyarakat dan tidak memerlukan biaya mahal. Kebijakan mendasar yang perlu dilakukan adalah membangkitkan kembali kesadaran masyarakat agar berpartisipasi aktif untuk menanam dan melestarikan cendana yang tersisa. Partisipasi masyarakat menjadi kunci yang sangat penting karena cendana merupakan jenis tanaman yang memerlukan perawatan yang intensif. Populasi cendana yang terus menurun akan mengancam kelestarian cendana sehingga perlu tindakan segera untuk meningkatkan populasinya baik melalui upaya konservasi maupun pengembangan tanaman cendana. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan cendana perlu segera dikaji dan diperbaiki untuk menjadi dasar hukum yang mampu pelestarian dan pengembangan cendana secara operasional. Guna mencapai tujuan pelestarian dan pengembangan potensi cendana ada beberapa program aksi dan
260 kegiatan yang dilaksanakan antara lain pemberdayaan peran tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, lembaga profesi, dan institusi lokal. Pemberdayaan peran media cetak dan elektronik lokal dan nasional juga perlu dilaksanakan untuk menyebarluaskan informasi dan dapat menggugah masyarakat lokal maupun nasional untuk ikut berpaptisipasi mengembangkan dan melestarikan cendana. Aspek penting yang perlu segera dijalankan dalam strategi perlindungan dan pelestarian cendana adalah inventarisasi potensi dan sebaran cendana, pelestarian atau konservasi cendana, dan kebun bibit rakyat. Selain inventarisasi potensi, sebaran, dan konservasi, pembentukan kebun bibit rakyat merupakan program yang melibatkan masyarakat secara langsung. Kebun bibit rakyat merupakan cara tepat untuk mengatasi masalah kelangkaan bibit berkualitas, sehingga pembentukan kebun bibit rakyat dilaksanakan semaksimal mungkin. Dalam hal ini, sebanyak mungkin dipilih pohon induk milik masyarakat yang bijinya dimanfaatkan sebagai sumber bibit berkualitas dengan pemberian kompensasi tertentu kepada pemilik pohon induk bersangkutan. Apabila hasil pembudidayaan tidak memadai, Dinas Kehutanan membeli dari orang yang memang sengaja membudidayakan cendana. Satu hal yang tidak kalah penting adalah perluasan jangkauan pendidikan dan pembinaan generasi muda tentang pelestarian cendana pada tingkat sekolah. Pendidikan pada tingkat sekolah merupakan upaya penyadartahuan dan komunikasi antara pemerintah sebagai otoritas penguasa wilayah dan masyarakat selaku habitat pendukung kelestarian cendana. Keduanya memiliki tanggung jawab agar pengelolaan cendana di masa yang akan datang dapat berjalan dengan baik
261 Pentingnya kesadaran bersama antara pemerintah dengan masyarakat dapat mendorong pengelolaan cendana yang lebih bijak dan tidak merugikan masyarakat. Aksi ini meliputi implementasi kegiatan pengembangan cendana di lahan masyarakat, pemberian penghargaan kepada masyarakat yang memberikan kontribusi nyata terhadap pelestarian dan pengembangan cendana, pembentukan kelompok tani cendana, pembentukan forum cendana, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kelompok tani cendana.